BAB 2 PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Sumberdaya Hutan Hutan dapat definisikan sebagai tempat berupa lahan yang luas yang terdiri dari komponen-komponen biotik dan abiotik yang di dalamnya terdapat ekosistem yang saling mempengaruhi satu sama lain dan tidak dapat dipisahkan. Hal ini setara dengan yang tercantum dalam UU RI No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pasal 1 sebagaimana dikutip Sabara (2006) yang mendefinisikan hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan juga dapat didefinisikan menurut kepentingan para aktor yang memiliki kepentingan atas hutan. Banyak aktor yang memiliki kepentingan atas hutan. Akan tetapi, dalam banyak kasus pengelolaan hutan, aktor-aktor yang berkepentingan hanya dirumuskan dalam tiga aktor, seperti yang dirumuskan oleh Tadjudin (2000), yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat. Pemerintah mendefinisikan hutan sebagai sebuah karunia Tuhan yang dapat
dimanfaatkan
dan
dilestarikan
keberadaanya
untuk
kesejahteraan
masyarakat. Berbeda dengan pemerintah, swasta atau pelaku bisnis mengartikan hutan sebagai komoditas yang dapat menghasilkan uang dan keuntungan yang besar. Masyarakat pun memiliki arti tersendiri mengenai hutan. Masyarakat mengartikan hutan sebagai tempat menggantungkan hidup, sistem perekonomian, dan tempat spiritual yang menghubungkan masyarakat dengan alam, sehingga tercipta keharmonisan antara keduanya. Seperti dalam mengartikan definisi hutan, Tadjudin (2000) membagi kepemilikan hutan menjadi tiga kategori, yaitu milik pemerintah, milik swasta, dan milik masyarakat. Fuad et al. (2002) membagi kepemilikan sumberdaya hutan menjadi empat kategorisasi, yaitu state property (milik negara), private property (milik swasta), common pool resources dan common property. Pada dasarnya, keduanya sependapat dalam mengkategorisasikan kepemilikian hutan. Namun, ada sedikit perbedaan dalam pengkategorisasian oleh Fuad et al. (2002), yang
8
membagi kepemilikan masyarakat menjadi dua kategori yaitu common pool resources dan common property. Kepemilikan hutan oleh negara atau pemerintah, menurut Tadjudin (2000) muncul ketika negara memakai rujukan formal tentang penguasaan sumberdaya hutan di Indonesia yang berlBapak/Ibus kepada Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945: ”bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dalam UUD tersebut sudah jelas tersurat bahwa sumberdaya alam hanya dikuasai oleh negara bukan dimiliki, dan secara tersirat jelas pula bahwa sumberdaya alam adalah sumberdaya publik. Namun, karena konsep sumberdaya publiklah, maka negara mengklaim bahwa sumberdaya alam adalah milik negara, yang pengelolaannya diatur oleh negara. Peran negara sangat dominan, selain klaim kepemilikan, aspek pengelolaan dan pengawasan sumber daya hutan juga diatur oleh pemerintah. Fuad et al. (2002) merepresentasikan rejim kepemilikian hutan oleh negara melalui badan usaha negara. Kepemilikan hutan oleh swasta, hanya terbatas pada hak akses atas sumberdaya hutan. Hak akses ini terdistribusi baik dalam hak milik individual maupun kelompok. Dalam UU Pokok Kehutanan dan peraturan perundangundangan yang membawahinya, hak akses atas swasta hanya terbatas pada hak penguasaan terhadap sumberdaya hutan, bukan hak memiliki. Terdapat kekuasaan yang besar bagi para pemiliknya dalam mengelola sumberdaya hutan dengan berorientasi pemanfaatan fungsi hutan secara intensif. Kepemilikan hutan oleh masyarakat (komunal), dalam penguasaanya dibagi menjadi dua kategori, yaitu common pool resources (CPR) dan common property (milik bersama). Masyarakat sebagai komunitas yang telah mendiami kawasan hutan sejak lama, menjadikan keberadaan hutan benar-benar melekat dalam kehidupannya. Namun, karena kepemilikan hutan oleh masyarakat bersifat komunal, maka hutan dimiliki bersama-sama sebagai properti masyarakat. Dalam kategorisasi menurut Fuad et al. (2002), hal ini termasuk dalam common pool resources. Common Pool Resources sendiri mengandung arti sebagai sumber daya yang memiliki akses terbuka dan sumber daya yang dimiliki secara komunal.
9
Sumber daya sebagai common property (milik bersama) diartikan oleh Fuad et al. (2002) dengan menerapkan prinsip pelibatan aktif dari masyarakat sekitar (lokal) dan menjadi salah satu alternatif kuat bagi dasar pengelolaan sumberdaya hutan yang akan datang. 2.1.2 Konservasi Sumberdaya Hutan Konservasi sumberdaya alam pada hakikatnya adalah upaya pemeliharaan serta pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari dan bijaksana agar dapat digunakan secara berkelanjutan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan Wiratno et al. (2004) yang mengemukakan bahwa konservasi adalah pengelolaan kehidupan alam oleh manusia, guna memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya secara berkelanjutan bagi generasi saat ini, serta memelihara potensinya guna menjamin aspirasi dan kebutuhan generasi yang akan datang. Mac Kinnon dalam Alikodra (2005) sebagimana dikutip Kuswijayanti (2007) bahkan mengeluarkan sebuah konsep konservasi modern yaitu suatu pemeliharaan sekaligus juga pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bijaksana. Konsep ini didasarkan adanya dua kebutuhan; 1) kebutuhan untuk merencanakan sumberdaya didasarkan pada inventarisasi secara akurat, dan 2) kebutuhan untuk melakukan tindakan perlindungan agar sumberdaya tidak habis. Berdasarkan definisi International Union For Conservation of Natureand Nature Species (IUCN 1994), kawasan konservasi merupakan kawasan daratan dan/atau perairan yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pelestarian keanekaragaman hayati sumberdaya alam dan budaya (Safitri, 2006). Sumberdaya alam yang sulit tergantikan karena keberadaannya terbatas membuat Pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya dengan tujuan mewujudkan kelestarian sumberdaya alam serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat mendukung kesejahteraan masyarakat sekaligus menetapkan hukuman bagi pelanggarnya. Lee et al. (2001) merumuskan kebijakan-kebijakan terpenting yang mempengaruhi munculnya konservasi di Indonesia, selain UU No. 5 Tahun 1990. UndangUndang No. 41 Tahun 1999 mengenai Kehutanan (menggantikan UU No. 5 Tahun 1967) yang memberikan beberapa perubahan dalam kerangka hukum bagi
10
kehutanan, salah satunya dengan memberi ketentuan bagi pengelolaan kawasan oleh masyarakat. Undang-undang ini juga menyebutkan bahwa peraturan koservasi masih wewenang pemerintah pusat. Ada pula Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres), dan Keputusan Menteri (Kepmen) yang mengatur berbagai aspek pengelolaan pelestarian. Beberapa peraturan perundangundangan tersebut yaitu: PP No. 15 Tahun 1984, PP No. 28 Tahun 1985, PP No. 18 Tahun 1994, PP No. 68 Tahun 1998, Keppres No. 43 Tahun 1978, dan peraturan lainnya yang terkait dengan pengelolaan pelestarian alam. Kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal konservasi dipengaruhi pula oleh konferensi-konferensi Internasional. Wiratno et al. (2004) menyebutkan ada dua konferensi penting yang mempengaruhi kebijakan konservasi di Indonesia. Pertama, World Conservation Strategy tahun 1980, yang menghasilkan sebuah arahan untuk konsep konservasi dunia dengan menghasilkan buku yang berjudul “World Conservation Strategy”. Kedua, Kongres Taman Nasional dan Kawasaan Lindung Sedunia ke-III di Bali tahun 1982, yang menghasilkan pembangunan taman nasional di Indonesia sebagai salah satu bentuk kawasan konservasi. Wiratno et al. (2004) juga menyebutkan, sebagian kawasan konservasi di Indonesia memang ditunjuk berdasarkan hasil studi Mac Kinnon yang dituangkan dalam Rencana Konservasi Nasional tahun 1980 yang didasarkan pada prinsip “save it” karena harus berlomba dengan penetapan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK). 2.1.3 Konflik Sumberdaya Hutan 2.1.3.1 Pengertian Konflik Konflik dapat diartikan sebagai pertarungan antara dua pihak atau lebih, baik individu maupun kelompok yang biasanya disebabkan oleh perbedaan nilai, pandangan, aktivitas, status, dan kelangkaan sumberdaya alam. Pernyataan ini diperkuat oleh pernyataan Fuad dan Maskanah (2000), Ibrahim (2002) sebagaimana dikutip Ilham (2006) serta Fisher et al. (2001) yang mengungkapkan bahwa konflik muncul karena ada sasaran-sasaran yang tidak sejalan atau tidak sama. Konflik akan selalu ditemui selama manusia menjalankan peranannya di dalam kehidupan. Manusia melakukan berbagai usaha untuk memenuhi
11
kebutuhnnya, yang dalam pelaksanaannya manusia harus melaksanakan hak dan kewajibannya. Ketika merealisasikan hak-hak manusia yang merupakan bagian dari komunal, sering terjadi benturan-benturan antara pemenuhan hak-hak tersebut. Benturan-benturan tersebut menimbulkan ketidakadilan dan memicu tumbuhnya konflik antar manusia. Menurut Wiradi (2002) sebagaimana dikutip Sardi (2010) konflik adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua individu atau kelompok dalam memperebutkan obyek yang sama demi kepentingannya. Pada tahapan ”berlomba” saling mendahului untuk mencapai tujuan, sifatnya masih dalam batas persaingan. Tetapi ketika mereka saling memblokir jalan lawan dan saling berhadapan maka terjadilah ”situasi konflik” Konflik selalu diidentikkan dengan kekerasan, ancaman, dan segala hal yang berkonotasi negatif. Padahal konflik dapat bersifat positif. Seperti pendapat Mitchell et al. (2000) dan Hendricks (2004) sebagimana dikutip Hasanah (2008) yang mengungkapkan bahwa konflik membantu mengidentifikasi proses pengelolaan sumberdaya dan lingkungan yang tidak berjalan secara efektif, mempertajam gagasan atau informasi yang tidak jelas, dan menjelaskan kesalahpahaman. 2.1.3.2 Sumber-sumber Konflik Menurut Tadjudin (2000), sumber konflik adalah perbedaan dan perbedaan tersebut bersifat mutlak yang artinya secara obyektif memang berbeda. Namun perbedaan tersebut hanya ada pada tingkat persepsi (Tadjudin, 2000). Pihak lain bisa dipersepsikan memiliki sesuatu yang berbeda dan pihak lain dicurigai sebagai berbeda, meski secara obyektif sama sekali tidak terdapat perbedaan. Perbedaan bisa terjadi pada tataran (Tadjudin, 1999), misalnya: 1. Perbedaan persepsi. Konflik ini terjadi antara pemungut ranting kayu jati dan petugas Perhutani. Pemungut ranting kayu jati (untuk kayu bakar) mempersepsikan ranting kayu jati sebagai barang yang ”relatif tidak berguna” bagi Perhutani, karena itu mereka menganggap bahwa memangkas dan memungutnya dalam jumlah kecil dapat dimaklumi. Sebaliknya bagi Perhutani, menganggap bahwa memangkas dan
12
memungut ranting itu merupakan pelanggaran hukum, yang apabila dikhawatirkan akan meningkat menjadi pelanggaran yang lebih besar, karena itu perbuatan para pemungut ranting kayu jati tidak dimaklumi. 2. Perbedaan pengetahuan. Para peladang-berotasi di Kalimatan memiliki pengetahuan lokal yang teruji, bahwa menanam padi varietas lokal tanpa pemupukan pada lahan yang ditebas-bakar secara berkala itu merupakan tindakan yang paling baik ditinjau dari segi produktivitas maupun kelestarian lingkungan. Pemerintah menganggap bahwa peladang-berotasi itu selain tidak produktif juga merusak lingkungan (karena boros lahan). Karena itu, pemerintah menganggap bahwa merubah pola perladanganberotasi menjadi perladangan menetap merupakan kebijakan yang tepat, namun masyarakat menolaknya, sehingga terjadilah konflik. 3. Perbedaan tatanilai. Bagi masyarakat Dayak, kayu besi merupakan tanaman yang sangat sakral, dan dalam tatanilainya tanaman tersebut merupakan bagian kehidupan spiritualnya di mana pun tanaman itu tumbuh. Sementara itu, bagi pengusaha HPH, kayu tersebut merupakan komoditi perdagangan yang memiliki nilai ekonomi tinggi, dan karena tumbuh dalam wilayah konsesinya, maka sudah sepatutnya jika ia menebang dan menjualnya. Ketika itu dilakukan, munculah konflik antara pengusaha HPH dengan masyarakat Dayak. 4. Perbedaan kepentingan. Pengelola Taman Nasional Meru Betiri memiliki kepentingan untuk melakukan konservasi kawasan taman nasional, dan dengan demikian tidak memperkenankan kegiatan pendayagunaan di dalam kawasan taman nasional. Sementara itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Jember berkepentingan untuk meningkatkan perekonomian daerah dan masyarakat di sekitar kawasan dengan melakukan kegiatan produktif di dalam kawasan (zona penyangga dan zona rehabilitasi) taman nasional tersebut. 5. Perbedaan akuan hak ”pemilikan”. Masyarakat di desa Dwikora (Lampung) menganggap bahwa hak pemilikan lahan perkebunan kopi yang mereka budidayakan itu sah karena merekalah yang membuka lahan,
13
membudidayakannya dan merawatnya sepanjang tahun, ditambah dengan kenyataan bahwa tempat tinggal mereka itu merupakan desa definitif. Pemerintah menganggap bahwa akuan itu tidak sah, karena desa mereka ada dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung. Pemerintah menganggap sudah semestinya untuk ”mengusir” masyarakat dari dalam hutan lindung, sementara itu masyarakat menganggap bahwa tindakan pemerintah itu merupakan tindakan sepihak yang sewenang-wenang. Penyebab konflik yang ditekankan oleh Fisher et al. (2001) adalah isu-isu utama yang muncul pada waktu menganalisis konflik, yaitu isu kekuasaan, budaya, identitas, gender dan hak. Isu-isu ini muncul ketika mengamati interaksi antar pihak yang bertikai, yang pada satu kesempatan tertentu akan menjadi latar belakang konflik serta berperan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi secara diam-diam. Konflik dalam konteks sumberdaya alam, biasanya juga terletak pada perbedaan nilai, model pengelolaan serta kepemilikan (Tadjudin, 2000). Pemerintah mendefinisikan hutan sebagai sumberdaya yang perlu dijaga dan dilestarikan
keberadaannya
untuk
kesejahteraan
masyarakat.
Swasta
mengartikannya sebagai komoditi yang menghasilkan keuntungan. Masyarakat yang menganggap hutan sebagai tempat menggantungkan hidup dan memiliki nilai spiritual. Namun, Widjarjo et al. (eds) (2001) sebagaimana dikutip Ilham (2006) menyebutkan bahwa dari pengalaman empirik berbagai daerah di Indonesia, maka dapat dinyatakan bahwa penyebab konflik atas sumber daya alam adalah konflik yang bersifat struktural yang terjadi terjadi ketika ada ketimpangan dalam melakukan akses dan kontrol terhadap sumber daya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konflik kehutanan, menurut Fuad et al. (2002) adalah sebagai berikut : 1
Perbedaan pesepsi politik dan hukum antara pemerintah dengan masyarakat dalam hal klaim dan pengakuan hak pada kawasan hutan. Politik negara menguasai sumberdaya hutan sebagai akses publik dan tidak mengakui hak-hak masyarakat lokal.
14
2
Penguasaan dan akses masyarakat lokal tidak diimbangi dengan usaha pengamanan, sehingga banyak terjadi pengalihan atau penentuan hak baru pada kawasan hutan dengan kepentingan ekonomi.
3
Sektorisme kebijakan negara terhadap sumberdaya alam, pengaturan, pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang parsial.
4
Sistem kelola dengan pemberian konsesi HPH yang ditentukan terpusat menciptakan pertentangan dan benturan nilai-nilai kelestarian sumberdaya hutan dengan kepentingan ekonomi.
Konflik pengelolaan sumberdaya hutan yang sering terjadi adalah konflik antara masyarakat di dalam dan di sekitar hutan terutama hutan konservasi, dengan berbagai pihak luar yang dianggap memiliki otoritas dalam pengelolaan sumberdaya hutan, seperti pemerintah dan swasta (Ulfah, 2007). Gambar 1. Aras Permasalahan Konflik Sumberdaya Hutan Kepentingan internasional
Negara
Makro/Global
Pengusaha
Masyarakat
Mikro/Lokal
Sumber: Fuad dan Maskanah (2000)
Gambar 1 menjelaskan bahwa level konflik pengelolaan sumberdaya hutan (SDH), pada akhirnya akan menimbulkan perebutan atas nama kebutuhan dan kepentingan yang berbeda terhadap sumberdaya hutan; antara pemerintah atau negara, penguasaha atau investor, serta rakyat pada umumnya menyebabkan hubungan ketiganya menjadi tidak harmonis. Seringkali apa yang dicita-citakan pemerintah belum dapat diterima sepenuhnya oleh masyarakat lokal, karena
15
pelaksanaannya di lapangan berbeda dengan aturan formal dalam tingkat kebijakan. Demikian pula yang terjadi antara pengusaha dan pemerintah, ketika prosedur pengurusan berbagai izin pengelolaan sumberdaya hutan harus melewati serangkaian birokrasi. Ketimpangan-ketimpangan tersebut akan saling terkait dan berpotensi menimbulkan konflik di lingkungan mikro atau di tingkat nasional di suatu negara. Pada saat yang sama, proyek-proyek pembangunan di negara-negara berkembang tidak terlepas dari kepentingan global terutama faktor investasi negara maju bagi tetap berlangsungnya produksi, distribusi dan pemasaran. Tidak dapat dipungkiri bahwa investasi sektor kehutanan termasuk industrinya, melibatkan aliran modal asing dalam jumlah yang cukup besar. Oleh karena itu, dalam melihat konflik di tingkat lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan tidak berarti harus menutup mata terhadap adanya kepentingan yang lebih besar (Fuad dan Maskanah, 2000). 2.1.3.3 Wujud, Level dan Ruang Konflik Kebanyakan konflik memiliki penyebab ganda sebagai kombinasi dari masalah hubungan antar pihak yang bertikai yang mengarah pada konflik yang terbuka (Fuad dan Maskanah, 2000). Untuk itu Fuad dan Maskanah (2000) melakukan pemetaan konflik, yakni mengelompokkannya dalam ruang-ruang konflik dengan menggunakan kriteria-kriteria sebagai berikut: 1. Konflik Data, terjadi ketika orang mengalami kekurangan informasi yang dibutuhkan untuk mengambil keputusan yang bijaksana, atau mendapat informasi yang salah, atau tidak sepakat mengenai apa saja data yang relevan, atau menerjemahkan informasi dengan cara yang berbeda, atau memakai tata cara pengkajian yang berbeda. 2. Konflik Kepentingan, terjadi karena persaingan kepentingan, dimana ketika suatu pihak atau lebih meyakini bahwa untuk memuaskan kebutuhannya, pihak lain harus berkorban. 3. Konflik Hubungan antar Manusia, terjadi karena adanya emosi-emosi negatif yang kuat, salah persepsi, salah komunikasi atau tingkah laku negatif yang berulang.
16
4. Konflik Nilai, dikarenakan oleh sistem kepercayaan yang tidak bersesuaian, baik yang dirasakan maupun memang ada (nyata). 5. Konflik Struktural, terjadi ketika ada ketimpangan untuk melakukan akses dan kontrol terhadap sumberdaya, pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang formal untuk menetapkan kebijakan umum. Konflik dapat berwujud konflik tertutup (latent), mencuat (emerging), dan terbuka (manifest) seperti yang diungkapkan oleh Fuad dan Maskanah (2000). Selain itu, Fuad dan Maskanah (2000) juga membagi konflik menjadi dua jenis menurut level permasalahannya, yaitu konflik vertikal dan konflik horizontal. Dalam konflik sumberdaya alam, konflik yang terjadi dapat berwujud tertutup, mencuat, maupun terbuka, tergantung karakteristik aktor-aktor yang berselisih. Menurut level permasalahannya, konflik sumberdaya alam cenderung berwujud konflik vertikal, yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat. Konflik juga dapat dibedakan menjadi konflik fungsional dan konflik disfungsional. Konflik fungsional adalah konflik yang mampu mendukung proses pencapaian tujuan kelompok serta mampu meningkatkan kinerja kelompok. Konflik disfungsional adalah konflik yang dapat menghambat kinerja kelompok (Robbins, 1993 dalam Tadjudin, 2000). Terdapat beberapa karakteristik dari konflik seperti yang dijelaskan Hendricks (1996) sebagaimana dikutip oleh Ilham (2006), yaitu: (1) dengan meningkatnya konflik, perhatian pada konflik itu akan meningkat; (2) keinginan untuk menang meningkat seiring dengan meningkatnya keinginan pribadi; (3) orang yang menyenangkan dapat menjadi berbahaya bagi orang lain, seiring dengan meningkatnya konflik; (4) strategi manajemen konflik yang berhasil pada tingkat konflik tertentu, sering tidak efektif pada tingkat konflik yang lebih tinggi; (5) onflik dapat melampaui tahapan yang lazim; (6) seseorang dapat menjadi individu yang berbeda selama berada dalam konflik. Beberapa perilaku yang mungkin muncul dalam konflik (Hae et al., 2000 sebagaimana dikutip Ilham (2006)) antara lain: 1. Persepsi pengotak-ngotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap kelompok cenderung membatasi diri pada kelompoknya. Satu wilayah
17
yang sebelumnya tidak terpisah akhirnya dibelah sesuai dengan identitas warganya. Akibat pertikaian yang berlangsung selama 20 tahun lebih di Belfast, pemisahan kelompok Nasionalis (yang kebanyakan Protestan) dan kelompok pro-kemerdekaan (yang kebanyakan Katolik) sudah sampai pada pembuatan tembok setinggi 5 meter. Begitu pula di Ambon, walaupun belum ada tembok pemisah, segresi wilayah kelompok muslim dan kristen sudah terjadi. 2. Stereotip. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan dalam tuturan turun temurun. Tujuannya biasanya bersifat negatif, untuk merendahkan pihak lawan. 3. Demonisasi (penjelek-jelekan). Setelah muncul stereotip, muncul pula aksi demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematis ini menghasilkan citra negatif yang sangat seram. Pernyataan yang muncul misalnya: ”Si A dari suku X, hati-hati....., orang yang bersuku X itu pembunuh darah dingin... Dia itu bangsa pemenggal kepala dan peminum darah manusia”. 4. Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan pada kelompok lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke mulut sampai penggunaan selebaran bahkan lewat media massa koran, radio, dan televisi. 5. Pemaksaan (koersi). Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok sendiri atau kelompok lain. 2.1.3.4 Tahap-tahap Konflik Konflik berubah setiap saat, melalui berbagai aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda. Tahap-tahap ini penting diketahui untuk membantu menganalisis berbagai dinamika dan kejadian yang berkaitan dengan masing-masing tahap konflik (Fisher et al., 2001). Analisis dasar tahapan konflik terdiri dari lima tahap, yaitu: 1. Prakonflik. Ini merupakan periode di mana terdapat ketidaksesuaian sasaran antara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Mungkin
18
terdapat ketegangan hubungan di antara beberapa pihak dan/atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain pada tahap ini. 2. Konfrontasi. Pada tahap ini, konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan aksi demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya. 3. Krisis. Tahap ini merupakan puncak konflik, ketegangan dan/atau kekerasan terjadi paling hebat. Komunikasi normal di antara kedua pihak kemungkinan putus. Pernyataan umum cenderung menuduh atau menentang pihak lain. 4. Akibat. Suatu krisis akan menimbulkan akibat. Satu pihak ingin menaklukan pihak lain, satu pihak mungkin menyerah atau menyerah atas desakan pihak lain. Kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi, dengan atau tanpa bantuan perantara. Apapun keadaaannya, tingkat ketegangan konfrontasi dan kekerasan pada tahap ini agak menurun, dengan kemungkinan adanya penyelesaian. 5. Pascakonflik. Situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah normal di antara kedua pihak. Namun, jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasaran yang saling bertentangan tidak diatasi dengan baik tahap ini sering kembali menjadi situasi prakonflik. 2.1.3.5 Teori Konflik Fairuza (2009) mengungkapkan bahwa teori konflik pada dasaranya berusaha menjelaskan dan menganalisis secara komperehensif konflik dalam kehidupan sosial, meliputi: 1) sebab/isu konflik; 2) fungsi konflik; 3) bentuk/ekspresi (intensitas) konflik; dan 4) aktor/pelaku konflik. Teori konflik merupakan teori penting masa kini yang menekankan kenyataan sosial di tingkat struktur sosial daripada tingkat individual, antarpribadi, atau antar budaya. 1. Konflik berdasarkan Sebab/Isu Konflik Coser (1957) membuat suatu pembedaan yang penting mengenai konflik yang disebabkan isu-isu realistik, yang disebut dengan konflik realistik,
19
dan konflik yang disebabkan oleh isu-isu non realistik, yang disebut dengan konflik non realistik. Konflik realistik merupakan suatu alat untuk suatu tujuan tertentu jika tujuan itu tercapai mungkin akan menghilangkan sebab-sebab dasar dari konflik itu. Artinya, jika masing-masing aktor konflik telah memperoleh sumber konflik yang berupa materi, maka konflik akan berhenti dengan sendirinya. Konflik realistik memiliki sumber yang konkret atau bersifat material, seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Konflik non realistik didorong oleh keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis misalnya konflik antar agama, antar etnis, dan konflik antar kepercayaan lainnya. Konflik non realistik merupakan tujuan dari konflik itu sendiri. Konflik ini merupakan suatu cara untuk menurunkan ketegangan di dalam kelompok atau mempertegas identitas suatu kelompok. Cara ini mewujudkan bentukbentuk kekerasan yang sesungguhnya berasal dari sumber-sumber lain. 2. Fungsi Konflik dan Kekerasan Konflik Teori konflik fungsi menjelaskan kaitan antara kekerasan konflik dan fungsi konflik (Fairuza, 2009). Pandangan Coser (1957) mengenai konflik sosial sebagai suatu hasil dari faktor-faktor lain daripada perlawanan kelompok kepentingan.serta pandangan bahwa konflik berdampak pada stabilitas dan perubahan sosial. Coser menekankan bahwa konflik sosial berfungsi dalam sistem sosial, khususnya dalam hubungannya pada kelembagaan yang kaku, perkembangan teknis, produktivitas, dan kemudian memperhatikan hubungan antara konflik dan perubahan sosial. Berkaitan dengan kekerasan konflik, disebut Coser sebagai kebrutalan konflik. Menurut Fisher et al. (2001), kekerasan adalah bentuk tindakan, perkataan, sikap sebagai struktur atau sistem yang menyebabkan kerusakan secara fisik, mental, sosial dan lingkungan, dan/atau menghalangi seseorang untuk meraih potensinya secara penuh. Kekerasan dapat dilihat pada kasus-kasus pemukulan seseorang terhadap orang lain dan menyebabkan luka-luka. Suatu kerusuhan yang menyebabkan orang lain atau komunitas mengalami luka-luka atau kematian dari serbuan
20
kelompok lainnya juga merupakan bentuk kekerasan. Ancaman atau teror dari satu kelompok yang menyebabkan ketakutan atau trauma psikis juga merupakan bentuk kekerasan. 3. Konflik berdasarkan Sasaran dan Perilaku Berdasarkan sasaran dan perilaku, Fisher et al. (2001) konflik dapat diklasifikasikan dalam empat tipe, yaitu: 1) tanpa konflik, setiap kelompok atau masyarakat ingin hidup damai. Jika mereka ingin agar keadaan ini terus berlangsung, mereka harus hidup bersemangat dan dinamis, memanfaatkan konflik perilaku dan tujuan, serta mengelola konflik secara kreatif. 2) konflik laten, merupakan konflik yang sifatnya tersembunyi sehingga perlu diangkat ke permukaan agar dapat ditangani secara efektif. 3) konflik terbuka, adalah konflik yang berakar ’dalam’ dan ’sangat nyata’, sehingga memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai efeknya. 4) konfli di permukaan, adalah konflik yang memiliki akar dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman
mengenai
sasaran
yang
dapat
diatasi
dengan
meningkatkan komunikasi. 4. Konflik berdasarkan Tahapan/Intensitas Ariyanti (2008) mengungkapkan bahwa bila dua pihak atau lebih berinteraksi, maka mereka akan ada dalam suatu kontinium yang terentang dari kondisi ’tanpa konflik’ sampai dengan ’ada konflik yang tidak terpecahkan’. Robbins dalam Tadjudin (2000) menggolongkan konflik menurut intensitasnya, yaitu sebagai berikut: 1) memiliki sedikit ketidaksetujuan atau sedikit kesalahpahaman. Perbedaan yang paling ringan adalah perbedaan persepsi dan perbedaan pemaknaan terhadap suatu masalah. Perbedaan ini masih tersimpan dalam ingatan di setiap individu atau kelompok yang berinteraksi; 2) mempertanyakan hal-hal yang berbeda. Pihak-pihak tertentu sudha mulai mempertanyakan hal-hal yang dianggapnya berbeda tetapi belum ada vonis bahwa pihak lain itu keliru atau tidak; 3) mengajukan serangan-serangan verbal. Perbedaan sudah diungkapkan secara terbuka dan sudah ada vonis bahwa pihak lain
21
itu keliru, tetapi belum muncul koersi verbal agar pihak lain itu bersikap seperti yang diinginkannya; 4) mengajukan ancaman dan ultimatum. Koersi verbal mulai muncul. Ada upaya agar pihak lain itu bersikap seperti dirinya (yang diharapkan dan diinginkan oleh dirinya); 5) melakukan serangan fisik secara agresif. Bentuk pemaksaan sudah meningkat dalam bentuk paksaan fisik; dan 6) melakukan upaya-upaya untuk merusak atau menghancurkan pihak lain. Pihak-pihak tertentu akan melakukan segala cara untuk memaksakan keinginannya walaupun hal tersebut akan merugikan pihak lain. 2.1.4 Pengelolaan dan Penyelesaian Konflik Konflik dapat dikelola melalui tiga dasar penyelesaian (Condliffe, 1991 sebagaimana dikutip Sardjono, 2004), yaitu: (1) langsung antar pihak yang bersengketa (one-to-one), dimana masing-masing pihak yang bersengketa bertindak untuk menyelesaikannya sendiri; (2) mewakilkan kepada pihak lain (representational), dimana pihak-pihak yang bersengketa diwakili pihak lain seo\perti pengacara, teman kolega, dan asosiasi resmi; dan (3) menggunakan pihak ketiga berdasarkan inisiatif mereka sendiri atau atas pemintaan kedua belah pihak yang bersengketa atau karena hak yang dimilikinya. Condliffe (1991) sebagaimana dikutip Sardjono (2004), juga mengajukan delapan prosedur umum dalam rangka penyelesaian konflik, yaitu: Lumping it, Avoidance or exit, Coersion, Negotiation, Conciliation, Mediaton, Arbitration, dan Adjudication. 1. Lumping it. Terkait dengan kegagalan salah satu pihak yang bersengketa untuk menekankan tuntutannya. Dengan kata lain isu yang dilontarkan diabaikan (simply ignored) dan hubungan dengan pihak lawan terus berjalan. 2. Avoidance or exit. Mengakhiri hubungan dengan meninggalkannya. Dasar pertimbangannya adalah pada keterbatasan kekuatan yang dimiliki (powerlessness) salah satu pihak ataupun alasan-alasan biaya sosial, ekonomi atau psikologis. 3. Coersion. Satu pihak yang bersengketa menerapkan keinginan atau kepentingannya pada pihak yang lain.
22
4. Negotiation. Kedua belah pihak menyelesaikan konflik secara bersamasama (mutual settlement) tanpa melibatkan pihak ketiga. 5. Concilliation.
Mengajak
(menyatukan)
kedua
belah
pihak
yang
bersengketa untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan untuk menyelesaikan persengketaan. 6. Mediation. Pihak ketiga yang mengintervensi suatu pertikaian untuk membantu pihak-pihak yang bersengketa mencapai kesepakatan. 7. Arbitration. Bilamana kedua belah pihak yang bersengketa menyetujui intervensi pihak ketiga dan kedua belah pihak sudah harus menyetujui sebelumnya untuk menerima setiap keputusan pihak ketiga. 8. Adjudication. Apabila terdapat intervensi pihak ketiga yang memiliki otoritas untuk mengintervensi persengketaan dan membuat serta menerapkan keputusan yang diambil baik yang diharapkan maupun tidak oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Dari kedelapan prosedur umum penyelesaian konflik di atas, hanya butir negoisasi, konsiliasi dan mediasi yang merupakan penyelesaian konflik di luar pengadilan yang dipandang kondusif. Hal ini dikarenakan ketiganya mengandung unsur win-win solution yang sifatnya lebih langgeng. Sebagaimana yang disinggung oleh Sardjono (2004), bahwa penyelesaian konflik melalui jalur formal legal yang akan diperoleh adalah ’menang-kalah’ atau ’gembira-kecewa’. Oleh karena itu, cara ini hanya akan ditempuh bila: (1) upaya penyelesaian melalui perundingan menemui jalan buntu; (2) tingkat pelanggaran atau tuntutan telah melampaui batas toleransi; dan (3) merupakan kebiasaan dan kepentingan publik. Fuad dan Maskanah (2000) menyebutkan bahwa khusus mengenai konflik yang terjadi dalam pengelolaan sumberdaya hutan, UU No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengatur bahwa penyelesaian sengketa kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para pihak yang bersengketa (Pasal 74, ayat 1). Penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan dimaksudkan untuk mencapai kesepakatan mengenai
23
pengambilan suatu hak, besarnya ganti rugi, dan/atau mengenai bentuk tindakan tertentu yang harus dilakukan untuk memulihkan fungsi hutan (Pasal 75). 2.1.5 Masyarakat Adat Nasdian dan Dharmawan (2007) sebagaimana dikutip oleh Tishaeni (2010) menyebutkan pemahaman yang lebih luas mengenai “komunitas” ialah suatu unit atau kesatuan social yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of common interest) baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai territorial. Istilah community dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat”. Istilah komunitas dalam batasbatas tertentu dapat menunjuk pada warga sebuah desa, kota, suku atau bangsa. Apabila anggota-anggota suatu kelompok, baik kelompok besar maupun kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut komunitas. Komunitas adat menurut Siregar (2002) sebagaimana dikutip oleh Aulia (2010) adalah komunitas yang hidup berdasarkan asal usul leluhur di atas wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial yang diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya. Komunitas adat juga merupakan kelompok sosial yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan, baik sosial ekonomi maupun politik. Definisi masyarakat adat berdasarkan hasil Kongres Masyarakat Adat Nasional 1, seperti yang diungkapkan oleh Moniaga (2004) sebagaimana dikutip Khalil (2009), yaitu kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Menurut Keraf (2002) ada beberapa ciri yang membedakan masyarakat adat dengan kelompok masyarakat lainnya, yaitu: 1. mendiami tanah-tanah milik nenek moyangnya, baik seluruhnya atau sebagian.
24
2. mempunyai garis keturunan yang sama, yang berasal dari penduduk asli daerah tersebut. 3. mempunyai budaya yang khas, yang menyangkut agama, sistem suku, pakaian, tarian, cara hidup, peralatan sehari-hari, termasuk untuk mencari nafkah. Kleden et al. (2009) menyebutkan bahwa pada pertemuan pergerakan masyarakat adat pertama digelar di Jakarta pada Maret 1999, istilah Indegenous People berubah menjadi “masyarakat adat”. Masyarakat adat memiliki definisi sebagai komunitas yang tinggal di wilayah adat nenek moyangnya dan memiliki kedaulatan atas lahan dan sumberdaya alam. Mereka juga memiliki nilai-nilai dan idelogi, struktur sosial, sistem ekonomi dan politik dan budaya yang diatur oleh hukum dan institusi adat. Menurut Syafaat et al. (2008) sebagaimana dikutip oleh Tishaeni (2010), masyarakat adat dimaksudkan sebagai kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun temurun) di wilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, politik, ekonomi, budaya, sosial dan wilayah sendiri. Lebih lanjut Syafaat et al. (2008) mengemukakan bahwa pengertian tersebut sesuai dengan Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 1969 Pasal 1 (1.b) yang isinya sebagai berikut, “Tribal peoples adalah mereka yang berdiam di Negara-negara merdeka di mana kondisi sosial, budaya, dan ekonominya membedakan mereka dari masyaraka lainnya di Negara tersebut.” Definisi formal komunitas adat terpencil menurut Keppres RI No. 111/1999 adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik, sedangkan definisi operasional menurut Keppres tersebut, komunitas adat terpencil adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal, relatif kecil, tertutup, tertinggal, homogeni, terpencar dan berpindah-pindah, kehidupannya masih berpegang teguh pada adat istiadat, pada kondisi geografis yang sulit dijangkau. Penghidupannya tergantung pada sumberdaya alam setempat dengan teknologi yang masih sederhana dan ekonomi yang subsistem serta
25
terbatasnya akses pelayanan sosial dasar. Secara teknis definisi operasional tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut: Tabel-1 Kriteria Komunitas Adat No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
12 13
UNSUR Jumlah Komuntas
URAIAN Kecil, terjangkau oleh hubungan personal Beragam Suku Homogen, menurut garis keturunan sesuku Sikap terhadap Perubahan Tertutup Letak Geografi Umumnya terpencil dan relatif sulit dijangkau Teknologi Sederhana, tetapi fungsional bahan dan manfaat sesuai dengan kebutuhan Ketergantungan pada Lingkungan Relatif tinggi antar anggota komunitas Hidup dan SDA dalam memanfaatkan SDA Kehidupan Sosial Bertumpu pada Sistem Kekerabatan Sistem Ekonomi Kehidupan dan Sistem Ekonomi Subsisten Pelayanan Sosial Dasar Belum ada atau sangat terbatas Transportasi Belum ada atau ditempuh melalui jalur transportasi tertentu Hubungan Sosial Hubungan di dalam komunitasnya dan dengan komunitas lain menurut kepentingan tertentu Mata Pencaharian Hidup Umumnya meramu makanan, berburu, dan dari hasil hutan Institusi Sosial Kepercayaan tradisi nenek moyang
Sumber: Keppres RI No. 111/1999 tentang Pembinaan Komunitas Adat Terpencil
Apabila merujuk pada definisi operasional pada tabel-1, maka masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi masih memenuhi kriteria-kriteria sebagai masyarakat adat. Sebagai contoh, dalam aspek ketergantungan terhadap Lingkungan Hidup dan SDA, masyarakat adat Kasepuhan Sinar Resmi memiliki ketergantungan yang tinggi dalam memenuhi kebutuhan akan kayu bakar untuk memasak, kayu untuk membangun sarana dan prasarana, serta hasil hutan non kayu untuk tambahan pangan. Selain itu, dalam aspek perubahan dan teknologi masyarakat Kasepuhan sangat terbuka dengan adanya perubahan dan masuknya teknologi baru, namun masih mempertahankan teknologi tradisional terutama dalam pengolahan pertaniannya dan tidak bertentangan dengan adat yang telah diturunkan leluhurnya. Institusi sosial masyarakat masih mempercayai segala hal yang diturunkan oleh para leluhur dalam menjalani kehidupan.
26
Ada pun unsur institusi sosial yang hidup dalam komunitas adat terpencil (KAT) dapat dilihat sebagai berikut: Tabel-2 Unsur Institusi Sosial dalam Komunitas Adat No 1 2
Institusi Sosial Kepercayaan Pengetahuan
3
Pendidikan
4
Kesehatan
5
Perkawinan
6
Keturunan
7
Politik
8
Kepemilikan
9
Bahasa
Uraian Tradisi nenek moyang Transformasi dari generasi ke generasi, secara lisan, praktek dan teladan Di dalam keluarga (individu), kerabat (sosial) dan magang dalam praktek Preventif dan kuratif oleh dukun atau penyembuh lain melalui mantra, jampi, dan obat-obatan tradisional Endogami dalam satu suku besar, dan eksogami dalam suku lainnya Komunitas bentukan melalui garis keturunan satu sub suku Di bawah tradisi pemimpin komunitas atau suku yang kharismatik melalui otoritas adat Kepemilikan individu terbatas, diperoleh melalui warisan. Kepemilikan sosial luas karena digunakan untuk kepentingan bersama yang diatur menurut adat. Alat komunikasi penting berdasarkan bahasa lisan
Sumber: Keppres RI No. 111/1999 tentang Pembinaan Komunitas Adat Terpencil
Masyarakat adat Kasepuhan hingga saat ini masih memenuhi kriteria sebagai komunitas adat seperti yang disebutkan dalam tabel-2. Dalam aspek pendidikan dan pengetahuan, walaupun masyarakatnya sudah mengenyam pendidikan formal, mereka masih mendapatkan pendidikan dan pengetahuan yang berasal dari keluarga secara turun temurun terutama terkait spiritualitas dan sistem pertanian. Dalam aspek kepercayaan, walaupun semua masyarakat mengaku beragama Islam, mereka masih menjalankan ritual-ritual yang berasal dari para leluhur dan mempercayai segala hal yang berasal dari para leluhur. Aspek kesehatan, masih ada penyembuh-penyembuh yang berasal dari adat, yang disebut dengan Dukun Manusia (berperan untuk menyembuhkan penyakit manusia), Paraji (berperan dalam membantu persalinan), dan Dukun Hewan (berperan untuk menyembuhkan pernyakit pada hewan). Aspek kepemilikan dalam hal lahan, masih bersifat komunal, dan penggunaan lahan diatur oleh Abah sebagai pimpinan
27
adat. Bahasa yang digunakan sehari-hari dan dalam upacara dan ritual adat masyarakat adat Kasepuhan adalah bahasa Sunda. 2.2 Kerangka Pemikiran Sumberdaya hutan dipersepsikan sebagai kawasan yang menjadi milik publik, yang berarti siapa pun boleh mengaksesnya. Pernyataan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan bahwa hutan dan sumberdaya lainnya dikuasai oleh negara dan untuk kemakmuran rakyat, menjadikan hutan seharusnya menjadi sumbedaya bersama yang boleh diakses siapa saja. Pengelolaan sumberdaya hutan ditujukan untuk konservasi jika mengikuti kebijakan pada UU No.5 Tahun 1990 dan UU No.41 Tahun 1999. Itu artinya, sumberdaya hutan hanya diperuntukkan untuk upaya konservasi, dan tidak untuk dimiliki maupun diakses oleh masyarakat, kecuali di zona-zona tertentu. Akibat dari pengelolaan sumberdaya hutan secara konservasi yang mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, timbul ketidakadilan sumberdaya hutan terhadap masyarakat, sehingga menimbulkan konflik kehutanan antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah membatasi akses masyarakat ke dalam hutan, tetapi memberikan hak pengelolaan hutan kepada swasta sehingga akhirnya menimbulkan ketidakadilan dan berujung pada konflik sumberdaya hutan seperti yang terjadi pada kasus Taman Nasional Gunung Halimun-Salak. Gambar 2. Bagan alur berpikir Analisis Konflik Sumberdaya Hutan di Kawasan Konservasi
Sumberdaya Hutan
Sumber-sumber Konflik: • Perbedaan Persepsi • Perbedaan Nilai • Perbedaan Pengetahuan • Perbedaan Akuan Hak Kepemilikan
Keterangan:
Konflik: Konflik Kehutanan Konflik Lahan Konflik Air
Penyelesaian konflik yang telah dilakukan
Aspek yang diteliti Aliran Pembahasan
28
Gambar 2 menjelaskan bahwa sumberdaya hutan sebagai sumberdaya publik yang dapat diakses oleh siapa saja. Pernyataan UUD 1945 Pasal 33 Ayat 3 yang menyatakan bahwa hutan dan sumberdaya lainnya dikuasai oleh Negara dan untuk kemakmuran rakyat, menjadikan hutan seharusnya menjadi sumbedaya bersama yang boleh diakses siapa saja, dan tidak dimiliki secara individual maupun kelompok. Namun, dalam mengartikannya terkadang timbul perbedaan yang dapat menjadi sumber timbulnya konflik. Selain perbedaaan dalam menilai sumberdaya
hutan
(perbedaan
tatanilai),
perbedaan
persepsi,
perbedaan
pengetahuan, perbedaan kepentingan, dan perbedaan akuan hak pemilikan juga menjadi sumber-sumber penyebab konflik lainnya. Konflik yang terjadi pun dapat berada pada basis konflik kehutanan, konflik lahan, maupun konflik air. Upaya pengelolaan dan penyelesaian konflik dilakukan dalam menangani konflik. Upaya-upaya tersebut dapat ditempuh melalui jalur persidangan maupun di luar persidangan. 2.3 Definisi Konseptual 1. Sumberdaya hutan adalah semua unsur-unsur hayati, baik hewan maupun tumbuhan dan unsur nonhayati yang membentuk ekosistem hutan. 2. Sumber-sumber
konflik
merupakan
penyebab-penyebab
terjadinya
konflik. 3. Perbedaan persepsi merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan dalam mempersepsikan sumberdaya hutan. 4. Perbedaan pengetahuan merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan pengetahuan dalam mengelola sumberdaya hutan. 5. Perbedaan tatanilai merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan dalam memaknai dan menilai hutan. 6. Perbedaaan kepentingan merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan kepentingan dalam mengelola dan memanfaatkan hutan. 7. Perbedaaan akuan hak pemilikan merupakan sumber konflik yang terjadi karena ada perbedaan dalam pengakuan kepemilikan (klaim) terhadap hutan (wilayah yang sama). 8. Konflik Kehutanan adalah benturan antar dua pihak yang disebabkan adanya perbedaan nilai, kepentingan, akuan hak kepemilikan, perbedaan 29
pengetahuan, dan perbedaan persepsi antar pihak-pihak yang bertikai atas sumberdaya hutan. 9. Basis konflik adalah arena di mana konflik terjadi, dapat berupa basis kehutanan, basis lahan, dan basis air. 10. Alternatif pengelolaan dan penyelesaian konflik merupakan upaya-upaya yang dilakukan dalam menangangi konflik di luar persidangan yang mengadung unsur win-win solution. 11. Negosiasi adalah pihak yang berkonflik bersama-sama menyelesaikan konflik tanpa melibatkan pihak ketiga. 12. Konsoliasi adalah menyatukan kedua belah pihak yang berkonflik untuk bersama-sama melihat konflik dengan tujuan menyelesaikan konflik. 13. Mediasi adalah penyelesaian konflik dengan intervensi oleh pihak ketiga yang bersifat netral untuk mencapai kesepakatan. 14. Komunitas Adat adalah komunitas yang tinggal di wilayah adat nenek moyangnya dan memiliki kedaulatan atas lahan dan sumberdaya alam, juga memiliki nilai-nilai dan idelogi, struktur sosial, sistem ekonomi dan politik dan budaya yang diatur oleh hukum dan institusi adat.
30