BAB 2 KAJIAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN RANCANGAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Teori 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut Mathis dan Jackson (2006), “Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) adalah suatu sistem formal dalam sebuah organisasi untuk memastikan penggunaan bakat dan kompentensi manusia secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan organisasi.” Pengertian Manajemen Sumber Daya Manusia menurut Hasibuan (2003) adalah “ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. Manajemen Sumber daya Manusia adalah bidang manajemen yang khusus mempelajari hubungan dan peranan manajemen manusia dalam organisasi perusahaan.” Berdasarkan Veithzal Rivai (2009), “Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan salah satu bidang dari manajemen umum yang meliputi segi-segi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengendalian. Proses ini terdapat dalam fungsi atau bidang produksi, pemasaran, keuangan, maupun kepegawaian. Karena sumber daya manusia dianggap semakin penting perannya dalam pencapaian tujuan perusahaan, maka berbagai pengalaman dan hasil penelitian dalam bidang SDM dikumpulkan secara sistematis dalam apa yang disebut manajemen sumber daya manusia.” Menurut Dessler (2003) “Sumber daya manusia adalah kebijakan dari praktik yang dibutuhkan seseorang untuk menjalankan aspek orang atau SDM dari posisi seorang manajemen, meliputi perekrutan, penyaringan, pelatihan, pengimbalan dan penilaian.” Jadi, berdasarkan beberapa definisi yang diatas, manajemen sumber daya manusia dapat disimpullkan sebagai proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengontrolan terhadap sumber daya manusia dalam organisasi untuk mencapai tujuan secara efektif dan efisien.
8
9 2.1.2 Pengertian Budaya Organisasi Budaya organisasi telah diketengahkan sebagai nilai-nilai, prinsip-prinsip, tradisi, dan cara-cara bekerja yang dianut bersama oleh para anggota organisasi dan memengaruhi cara mereka bertindak. Dalam kebanyakan organisasi, nilai-nilai dan praktik-praktik yang dianut bersama ini telah berkembang pesat seiring dengan perkembangan zaman dan benar-benar sangat memengaruhi bagaimana sebuah organisasi dijalankan. Stephen P.Robbins dan Mary Coulter (2009). Menurut Robbins dan Timothy (2008:511), kultur organisasi mengacu pada sebuah sistem makna bersama yang dianut oleh para anggota yang membedakan organisasi tersebut dengan organisasi lainnya. Sistem makna bersama ini, ketika dicermati secara lebih saksama adalah sekumpulan karakteristik kunci yang dijunjung tinggi oleh organisasi. Greenberg dan Baron (2003:515) mendefinisikan budaya organisasi sebagai kerangka kognitif yang terdiri dari sikap, nilai-nilai, norma-norma, perilaku, dan harapan bersama oleh anggota organisasi. Pada akar budaya organisasi tersimpan seperangkat karakteristik inti yang dihargai secara kolektif oleh anggota dalam suatu organisasi. Menurut McShane dan Von Glinow (2003:498) budaya organisasi adalah pola dasar asumsi bersama, nilai-nilai dan keyakinan yang dianggap sebagai cara yang benar memikirkan dan bertindak atas masalah dan peluang yang dihadapi organisasi. Budaya organisasi mendifinisikan apa yang penting dan apa yang tidak penting didalam perusahaan. 2.1.2.1 Karakteristik Budaya Organisasi Penelitian Robbins dan Judge (2008:511) menunjukkan bahwa ada tujuh karakteristik utama yang secara keseluruhan merupakan hakikat kultur sebuah organisasi: 1. Inovasi dan keberanian mengambil resiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil resiko. 2. Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
10 3. Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan umtuk mencapai hasil tersebut. 4. Orientasi
orang.
Sejauh
mana
keputusan-keputusan
manajemen
mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada dalam organisasi. 5. Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan-kegiatan kerja diorganisasikan pada tim ketimbang pada individu-individu. 6. Keagresifan. Sejauh mana orang bersifat agresif dan kompetitif ketimbang santai. 7. Stabilitas.
Sejauh
mana
kegiatan-kegiatan
organisasi
menekankan
dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan. Masing-masing karakteristik ini berada di suatu kontinum mulai dari rendah sampai tinggi. Karenanya, menilai organisasi berdasarkan ketujuh karakteristik ini akan menghasilkan suatu gambaran utuh mengenai kultur sebuah organisasi. Gambar ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki oleh anggota tentang organisasi. 2.1.2.2 Nilai-Nilai inti organisasi yang dicerminkan dalam budaya Menurut Greenberg dan Baron (2003:515) pada akar budaya organisasi tersimpan seperangkat karakteristik inti yang dihargai secara kolektif oleh anggota dalam suatu organisasi. Tabel 2.1. Nilai-Nilai inti Organisasi Nilai-Nilai inti organisasi yang dicerminkan dalam budaya Organisasi dapat dibedakan melalui nilai-nilai yang mendasari organisasi itu sendiri, seperti yang diringkaskan di bawah ini: 1. Kepekaan terhadap kebutuhan pelanggan dan karyawan 2. Minat dalam memiliki karyawan yang menghasilkan ide-ide baru 3. Kemauan untuk mengambil resiko 4. Nilai yang ditempatkan pada orang 5. Opsi keterbukaan komunikasi yang tersedia 6. Keramahan dan Pengertian karyawan terhadap satu sama lain Sumber: Greenberg dan Baron
11 2.1.2.3 Element dari budaya organisasi Menurut McShane dan Von Glinow (2003:498) elemen dari budaya organisasi meliputi: Artifacts of organizational culture
Physical Structure Rituals and Ceremonies Stories and Legends Language
Beliefs
Organisation Culture
Values Assumptions Gambar 2.1. Elemen dari Budaya Organisasi Sumber : McShane dan Von Glinow
Dapat dilihat bahwa asumsi, nilai-nilai dan kepercayaan yang merepresentasikan suatu budaya organisasi beroperasi di bawah permukaan perilaku organisasi. Mereka tidak bisa diobservasi secara langsung, namun efeknya di mana-mana. Asumsi merepresentasikan bagian paling mendalam dalam sebuah budaya organisasi karena asumsi dilakukan secara tidak sadar dan terkadang disia-siakan.
2.1.2.4 Fungsi Budaya Organisasi Fungsi budaya organisasi menunjukan peranan atau kegunaan dari budaya organisasi. Menurut Greenberg dan Baron (2003) fungsi budaya organisasi adalah: 1. Budaya memberikan rasa identitas Semakin jelas persepsi dan nilai-nilai bersama organisasi didefinisikan, semakin kuat orang dapat disatukan dengan misi organisasi dan merasa menjadi bagian penting darinya. 2. Budaya membangkitkan komitmen pada misi organisasi Kadang-kadang sulit bagi orang untuk berpikir di luar kepentingannya sendiri, seberapa besar akan memengaruhi dirinya. Tetapi apabila terdapat strong culture, orang akan merasa bahwa mereka menjadi bagian dari yang besar, dan terlibat dalam keseluruhan kerja organisasi. lebih besar dari setiap
12 kepentingan individu, budaya mengingatkan orang tentang apa makna sebenarnya organisasi itu. 3. Budaya memperjelas dan memperkuat standar perilaku Budaya membimbing kata dan perbuatan pekerja, membuat jelas apa yang harus dilakukan dan kata-kata dalam situasi tertentu, terutama berguna bagi pendatang baru. Budaya mengusahakan stabilitas bagi perilaku, keduanya dengan harapan apa yang harus dilakukan pada waktu yang berbeda dan juga apa yang harus dilakukan individu yang berbeda disaat yang sama. Suatu perusahaan dengan budaya yang kuat mendukung kepuasan pelanggan, pekerja mempunyai pedoman tentang bagaimana harus perilaku.
2.1.2.5 Asal Mula Budaya
Manajemen Puncak Falsafah Pendiri organiassi
Kriteria seleksi
Budaya Organisasi Sosialisasi
Gambar 2.2 Bagaimana Suatu Budaya Organisasi Ditetapkan dan Dipelihara. Sumber: Stephen Robbins / Mary Coulter
Menurut Robbins dan Coulter (2009), budaya asli diturunkan dari falsafah pendiri. Hal ini, nantinya, berpengaruh kuat pada kriteria yang digunakan dalam proses pengupahan. Tugas manajemen puncak adalah menetapkan pengharapan umum seperti apa sikap yang dapat diterima dan apa yang tidak. Proses sosialisasi, jika berhasil, akan menyesuaikan nilai-nilai karyawan baru pada organisasi selama proses seleksi dan memberikan dukungan penting ketika para karyawan telah bergabung.
13 2.1.2.6 Dua Dimensi yang Mendasari Budaya Organisasi Menurut Greenberg dan Baron (2003:519) sistem mengkategorikan variasi budaya organisasi disebut dengan Double S cube. Nama ini muncul dengan adanya fakta bahwa pendekatan yang dilakukan mencirikan budaya organisasi melalui dua dimensi independen, dimana kedua dimensi tersebut dimulai dengan huruf SSociability and Solidarity. Dengan mengkombinasikan tinggi dan rendahnya tingkat kedua dimensi tersebut, empat tipe dasar budaya organisasi dapat dikembangkan. Kemudian menyadari bahwa masing-masing dari keempat budaya organisasi memiliki kualitas yang positif dan negatif – oleh karena itu dimensi ketiga telah ditetapkan.
2.1.2.7 Pengertian Dua Dimensi yang Mendasar The sociability Dimension: Dimensi pertama, sociability, mengukur tingkat keramahan dari anggota organisasi. Diantara hal-hal yang diperhatikan oleh seorang anggota baru organisasi dalam sebuah perusahaan, hal pertama yang diperhatikan adalah tingkat keramahan orang-orang yang ada di dalamnya. Sebagian ada yang sangat ramah dan memiliki anggota yang suka bersosialisasi dan pergi keluar bersama-sama (high sociability). Yang lain, sebaliknya, terdiri dari orang-orang yang sebagian besar menahan diri dari bersosialisasi dan lebih nyaman untuk menyendiri (low sociability). Sociability memiliki sisi negatif dan positif. Sisi positifnya adalah, Keramahan membantu meningkatkan kreatifitas karena mendorong orang untuk bekerja sama dalam sebuah kelompok dan berbagi informasi, membuat para anggota terbuka dengan ide-ide baru. Sisi negatif nya adalah, tinggi nya tingkat sociability dapat menyebabkan anggota organisasi untuk membentuk suatu grup informal yang sangat dapat mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Oleh karena itu, anggota dengan tingkat keramahan yang tinggi terkadang enggan untuk tidak menyetujui dan mengkritik sesama anggota kelompoknya. The Solidarity Dimension: Dimensi kedua, solidarity, fokus pada sejauh mana anggota organisasi memiliki pemahaman yang sama atas pekerjaan dan tujuan organisasi mereka. Polisi dalam mengejar seorang kriminal dan ahli bedah dalam melakukan operasi memiliki tingkat solidaritas yang tinggi karena mereka mereka cenderung untuk tetap bersatu dalam cara yang sangat terfokus untuk mencapai tujuan yang telah disepakati. Sering kali ditemukan dimana anggota bekerja sama
14 dalam suatu tugas namun mereka memiliki fokus yang saling berbeda. Kelompok dengan solidaritas rendah seperti ini dapat ditemukan ketika sebuah komite terdiri dari individu yang memiliki minat/kepentingan yang rendah terhadap tugas yang sedang dikerjakan. Tingginya tingkat solidaritas dapat bermanfaat ketika harus menyelesaikan pekerjaan yang sangat penting. Tetapi pada saat yang sama, tingkat solidaritas yang tinggi dapat menyebabkan perbedaan terhadap orang-orang yang tidak termasuk dalam kelompok tersebut.
2.1.2.8 Tipe-Tipe Budaya Organisasi Robbins dalam Wibowo (2010:27) mengelompokkan tipe budaya menjadi networked culture, mercenary culture, fragmented culture dan communal culture. Penetapan tipe budaya tersebut dilakukan dengan menarik hubungan antara tingkat sosiabilitas dan solidaritas. Dimensi sosiabilitas ditandai oleh tingkat persahabatan terutama ditemukan diantara anggota organisasi. Adapun dimensi solidaritas ditandai oleh tingkat dimana orang dalam organisasi berbagi pengertian bersama tentang tugas dan tujuan untuk apa mereka bekerja. 1. Network culture: Organisasi memandang anggota sebagai suatu keluarga dan teman (high on sociability, low on solidarity). Budaya ini ditandai oleh tingkat sosiabilitas
atau
kesenangan
bergaul
tinggi
dan
tingkat
solidaritas
atau
kesetiakawanan rendah. Orang cenderung membiarkan pintunya terbuka, berbicara tentang bisnis secara bebas, kebiasaan informal, dan menggunakan banyak waktu untuk sosialisasi. Orang biasanya saling mengetahui satu sama lain dengan cepat dan merasa bahwa mereka adalah bagian dari anggota kelompok. 2. Mercenary Culture: organisasi memfokus pada tujuan (low on sociability, high on solidarity). Budaya organisasi ini ditandai oleh tingkat sosiabilitas rendah dan tingkat solidaritas tinggi. Mercenary culture melibatkan orang yang sangat fokus dalam menarik dalam melakukan pekerjaan. Komunikasi cenderung cepat. Kemenangan adalah segalanya dan orang didorong untuk melakukan pekerjaan berapa lama pun waktu yang diperlukan untuk membuatnya terwujud. 3. Fragmented Culture: Organisasi yang dibuat dari para individualis (low on sociability, low on solidarity). Budaya ini ditandai oleh solidaritas dan sosiabilitas rendah. Orang yang bekerja dalam fragmented culture sedikit melakukan kontak dan
15 dalam banyak hal mereka bahkan tidak saling mengenal. Orang akan berbicara dengan orang lain apabila dirasakan perlu dan berguna untuk melakukannya. 4. Communal Culture: Organisasi menilai baik persahabatan dan kinerja (high on sociability, high on solidarity). Budaya ini ditandai oleh sosiabilitas dan solidaritas tinggi. Anggota communal culture sangat bersahabat satu sama lain dan bergaul dengan baik, baik secara pribadi maupun professional. Komunikasi mengalir dengan sangat mudah diantara orang pada semua tingkatan organisasi dan dalam semua bentuk. Setiap orang sangat bersahabat sehingga tidak ada perbedaan antara pekerjaan dan bukan pekerjaan. Pekerja sangat kuat mengidentifikasi dengan communal organization. Mereka mengenakan logo perusahaan, mereka hidup dalam kepercayaan perusahaan dan mereka sangat membela perusahaan ketika berbicara dengan orang luar.
Gambar 2.3: Tipe Budaya Organisasi Sumber: Robins dalam Wibowo
2.1.2.9 Budaya Kuat versus Budaya Lemah Robbins dan Judge (2008), Kultur yang kuat memiliki dampak yang lebih besar terhadap perilaku karyawan dan lebih terkait langsung dengan menurunnya perputaran karyawan. Dalam kultur yang kuat, nilai-nilai inti organisasi dipegang teguh dan dijunjung bersama. Semakin banyak anggota yang menerima nilai-nilai inti dan semakin besar komitmen mereka terhadap berbagai nilai itu, semakin kuat
16 kultur tersebut. Selaras dengan definisi ini, kultur yang kuat akan memiliki pengaruh yang besar terhadap perilaku anggota-anggotanya karena kadar kebersamaan dan intensitas yang tinggi menciptakan suasana internal berupa kendali perilaku yang tinggi. Salah satu hasil spesifik dari kultur yang kuat adalah menurunnya tingkat perputaran karyawan. Kultur yang kuat menunjukkan kesepakatan yang tinggi antar anggota mengenai apa yang diyakini organisasi. Keharmonisan tujuan semacam ini membangun kekompakan, loyalitas, dan komitmen keorganisasian. Sifat-sifat ini, pada gilirannya, memperkecil kecenderungan karyawan untuk meninggalkan organisasi. Menurut Robbins dan Coulter (2010) berikut perbedaan budaya kuat dengan budaya lemah : Tabel 2.2 Perbedaan budaya kuat dengan budaya lemah Budaya Kuat
Budaya Lemah
Nilai-nilai diterima secara luas
Nilai-nilai hanya dianut oleh segolongan orang saja di dalam organisasi,biasanya kalangan manajemen puncak
Budaya
memberikan
konsisten
kepada
pesan para
yang Budaya memberikan pesan yang saling
karyawan bertolak-belakang mengenai apa yang
mengenai apa yang dipandang berharga dipandang berharga dan penting dan penting Para karyawan sangat mengidentikkan Para karyawan tidak begitu peduli dengan jati
diri
mereka
dengan
budaya identitas budaya organisasi mereka
organisasi Terdapat kaitan yang erat diantara Tidak ada kaitan yang kuat diantara nilaipenerimaan nilai-nilai dan perilaku para nilai dan perilaku para anggota organisasi anggota organisasi Sumber: Robbins & Coulter
17 2.1.2.10 Mengapa dan Bagaimana Budaya Organisasi Berubah Greenberg dan Baron (2003:528) mengatakan, dunia dimana semua organisasi beroperasi selalu berubah-ubah. Peristiwa eksternal seperti pergeseran kondisi pasar, teknologi baru, perubahan pada peraturan pemerintah, dan banyak faktor lain nya yang berubah dengan pergantian waktu, mengharuskan suatu organisasi untuk mengubah cara dia melakukan bisnis, dan oleh karena itu mengubah budayanya juga. Composition of the workforce: Dari waktu ke waktu, orang yang memasuki sebuah organisasi akan berbeda-beda dengan orang yang sudah ada didalamnya, dan perbedaan ini dapat menimpa budaya yang sudah ada dalam organisasi. Contohnya, orang dari kelompok etnis yang berbeda atau latar belakang budaya yang berbeda memiliki padangan yang kontras mengenai aspek-aspek perilaku dalam bekerja, memiliki pandangan yang berbeda mengenai cara berpakaian, dan pentingnya untuk selalu berada tepat waktu. Dengan kata lain, ketika orang-orang dengan nilai-nilai dan latar belakang yang berbeda masuk kedalam organisasi, perubahan dalam budaya organisasi dapat diharapkan. Mergers and Acquisitions: Peristiwa dimana suatu organisasi membeli atau menyerap organisasi lain. Ketika ini terjadi, akan dilakukan analisa yang sangat hatihati terhadap keuangan dan asset material organsasi yang diakuisisi. Namun, sangat jarang bahwa petimbangan apapun diberikan kepada budaya organisasi yang di akuisisi. Ini sangat disayangkan, karena telah ada beberapa kasus dimana penggabungan dua organisasi yang tidak kompatibel telah menyebabkan masalah serius disebut sebagai culture clashes. Seperti yang bisa anda bayangkan, kehidupan dalam perusahaan dengan budaya yang tidak kompatibel cenderung berkonflik, dan sangat mengganggu, sering menghasilkan argumen dan perbedaan pendapat. Planned Organisational Change: Sebuah perusahaan dapat memutuskan untuk merubah budayanya untuk memecahkan masalah. Perubahan budaya organisasi juga dapat disebabkan ketika perusahaan memutuskan untuk merubah struktur internal atau operasi dasar organisasi. Ketika organisasi telah sampai pada keputusan ini, banyak praktek-praktek di perusahaan yang mencerminkan dan berkontribusi terhadap budaya organisasi dapat berubah. Responding to the internet: Tidak dapat dipungkiri bahwa internet menjadi salah satu pengaruh terbesar terhadap budaya organisasi sekarang ini. Dibandingkan dengan bisnis tradisional, dimana semua bergerak dengan lambat dan skeptic, budaya
18 internet sangat lincah, begerak dengan cepat, dan reseptif terhadap solusi-solusi baru. Berbagi informasi adalah kunci, dimana organisasi tidak hanya menerima namun menyerap jaringan komunikasi yang lebih luas dan hubungan bisnis dengan melintasi batas-batas organisasi. Untuk menyimpulkan, jelas bahwa meskipun budaya organisasi pada umumnya stabil, namun budaya organisasi tidak tetap/abadi. Pada kenyataannya budaya sering berkembang dalam menanggapi kekuatan eksternal (contoh: perubahan pada komposisi tenaga kerja, dan teknologi informasi) serta dalam upaya untuk mengubah desain organisasi (contoh: melalui merger dan perubahan struktur perusahaan). Aspek penting dari budaya dimana organisasi sering kali berusaha untuk mengubah adalah cara organisasi melakukan pendekatan terhadap masalah dengan kreatif dan inofatif.
2.1.3 Kepuasan Kerja Karyawan Menurut Robbins & Coulter (2009) kepuasan kerja adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima pekerja dan jumlah yang mereka yakini seharusnya mereka terima.
Menurut Kalleberg (1977) dalam Tricia A. Seifert dan Paul D. Umbach (2006) kepuasan kerja mengacu pada orientasi afektif secara keseluruhan pada individu terhadap peran yang saat ini mereka duduki. Menurut Robert L. Mathis dan John H. Jackson (2006:121), kepuasan kerja merupakan keadaan emosional yang positif yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang.
Menurut Luthans (2005), Kepuasan kerja adalah keadaan emosional yang merupakan hasil dari evaluasi pengalaman kerja seseorang.
Menurut Robins & Judge (2007), kepuasan kerja dapat didefinisikan sebagai perasaan positif terhadap pekerjaan mereka yang dihasilkan dari evaluasi karakteristik. Seseorang dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi memegang
19 perasaan positif terhadap pekerjaan mereka, sememtara orang yang tidak puas memegang perasaan negatif terhadap pekerjaan mereka.
Menurut
Greenberg
dan
Baron
(2003:148),
kepuasan
kerja
dapat
didefinisikan sebagai perilaku positif atau negative seseorang terhadap pekerjaannya.
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja adalah sikap dan perasaan positif yang dirasakan oleh karyawan karena mereka telah melakukan pekerjaan dengan baik dan mendapatkan penghargaan yang sesuai dengan apa yang telah dia lakukan.
2.1.4.1 Mengukur Kepuasan kerja Greenberg dan Baron (2003:151), Meskipun orang memiliki banyak perilaku yang berbeda terhadap beberapa aspek dari pekerjaannya, ini tidak mudah untuk di nilai. Karena perilaku tidak dapat di observasi secara langsung dan kita tidak dapat menyimpulkan keberadaannya berdasarkan perilaku seseorang. Oleh karena itu kita harus mengandalkan apa yang orang katakan untuk menentukan perilaku mereka. Berikut adalah beberapa teknik yang dapat digunakan untuk meilai kepuasan kerja seseorang: Rating Scale and Questionnaires: Pendekatan yang paling sering digunakan untuk mengukur kepuasan kerja melibatkan penggunaan kuesioner yang dispesialisasikan dengan skala rating yang harus di lengkapi. Menggunakan metode ini, orang menjawab pertanyaan yang memungkinkan mereka untuk melaporkan reaksi mereka terhadap pekerjaan mereka. Beberapa skala yang berbeda telah dikembangkan untuk tujuan ini, dan ini sangat bervariasi dalam bentuk dan ruang lingkup. Salah satu instrumen popular yang digunakan adalah Job Descriptive Index (JDI). Sebuah kuesioner dimana orang menunjukkan apakah beberapa kata sifat menggambarkan aspek tertentu dari pekerjaan mereka. Pertanyaan pada JDI menangani lima aspek yang berbeda dari pekerjaan: pekerjaan itu sendiri, gaji, kesempatan promosi, supervisi, dan orang-orang (co worker). Critical Incidents: Teknik kedua yang digunakan untuk menilai kepuasan kerja adalah
dengan
menggunakan
teknik
critical
incident.
Disini
individual
mesdeskripsikan peristiwa yang berkaitan dengan pekerjaan mereka yang mereka
20 anggap sangat memuaskan atau tidak memuaskan. Jawaban mereka kemudia di diperiksa untuk mengungkapkan tema yang mendasari.
Interviews: Prosedur ketiga untuk menilai kepuasan kerja melibatkan proses mewawancarai karyawan secara tatap muka. Dengan menanyai orang-orang secara pribadi mengenai perilaku mereka, dimungkinkan untuk mengeksplor diri mereka lebih dalam lagi dari pada menggunakan kuesioner yang sudah terstruktur dengan rapih. Dengan mengajukan pertanyaan secara hati-hati kepada karyawan dan merekam jawaban mereka secara sistematis,memungkinkan pihak perusahaan untuk mengetahui penyebab berbagai sikap yang berhubungan dengan pekerjaan.
2.1.4.2 Teori Kepuasan Kerja Menurut Wibowo (2007, p300), kepuasan kerja memiliki dua teori, dalam pendapatnya dikatakan bahwa teori kepuasan kerja mencoba mengungkapkan apa yang membuat sebagian orang lebih puas terhadap pekerjaannya dari pada beberapa lainnya. Teori ini juga mencari landasan tentang proses perasaan orang terhadap kepuasan kerja. Dalam teori kepuasan kerja ada Two-Factor Theory dan Value Theory.
1. Two Factor Theory Teori kepuasan kerja yang menganjurkan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan merupakan
bagian dari kelompok variabel yang berbeda, yaitu Motivators
dan Hygiene factors.
Pada teori ini, ketidakpuasan dihubungkan dengan kondisi si sekitar pekerjaan
(seperti
kondisi
kerja,
pengupahan,
keamanan,
kualitas
pengawasan, dan hubungan dengan orang lain), dan bukannya dengan pekerjaan itu sendiri. Karena faktor ini mencegah reaksi negatif, dinamakan sebagai hygiene atau maintenance factors. Sebaliknya, kepuasan ditarik dari faktor yang terkait dengan pekerjaan itu sendiri atau hasil langsung daripadanya, seperti sifat pekerjaan, prestasi dalam pekerjaan, peluang promosi dan kesempatan untuk pengembangan diri dan pengakuan. Karena
21 faktor ini berkaitan dengan tingkat kepuasan kerja tinggi, dinamakan motivators 2. Value Theory Kepuasan kerja terjadi pada tingkat dimana hasil pekerjaan diterima individu seperti yang diharapkan. Semakin banyak orang menerima hasil, akan semakin puas. Semakin sedikit mereka menerima hasil, akan kurang puas.
2.1.4.3 Respon Terhadap Ketidakpuasan Kerja Menurut Robbins dan Judge (2007, p.83) ketidakpuasan karyawan dapat dinyatakan dengan sejumlah cara, diantaranya: a
Keluar (Exit): Perilaku yang mengarah untuk meninggalkan organisasi. Mencakup pencarian suatu posisi baru maupun meminta berhenti.
b
Suara (Voice): Dengan aktif dan konstruktif mencoba memperbaiki kondisi. Mencakup saran perbaikan, membahas problem-problem dengan atasan, dan beberapa bentuk kegiatan serikat buruh.
c
Kesetiaan (Loyalty): Pasif tetapi optimis menunggu membaiknya kondisi. Mencakup berbicara membela organisasi menghadapi kritik luar dan mempercayai organisasi dan manajemennya untuk melakukan hal yang tepat.
d
Pengabaian (Neglect): Secara pasif membiarkan kondisi memburuk, termasuk kemangkiran atau datang terlambat secara kronis, upaya yang dikurangi, dan tingkat kekeliruan yang meningkat
Gambar 2.4: Respon terhadap ketidakpuasan kerja
22 Sumber: Robins dan Judge
2.1.4.4 Panduan Meningkatkan Kepuasan Kerja Menurut Greenberg dan Baron (2003, p. 159) ada beberapa cara untuk meningkatkan kepuasan dan mencegah ketidakpuasan pada pekerjaan, diantaranya sebagai berikut: a. Membuat pekerjaan menyenangkan Karyawan akan lebih puas dengan pekerjaan yang mereka senangi ketimbang dengan pekerjaan yang membosankan. Meskipun beberapa pekerjaan secara instrinsik membosankan, pekerjaan tersebut masih mungkin meningkatkan kesenangan ke dalam setiap pekerjaan. b. Karyawan dibayar secara adil Karyawan yang meyakini bahwa sistem pengupahan organisasinya tidak adil akan cenderung tidak puas dengan pekerjaannya. Hal ini diberlakukan tidak hanya untuk gaji dan upah per jam, tetapi juga fringe benefit. Konsisten dengan value theory, karyawan yang merasakan dibayar secara adil dan apabila karyawan diberi peluang untuk memilih fringe benefit yang paling mereka inginkan, maka kepuasan kerjanya cenderung akan meningkat. c. Mencocokan karyawan dengan pekerjaan yang sesuai dengan minatnya. Semakin banyak karyawan menemukan bahwa dirinya dapat memenuhi minatnya pada pekerjaan mereka, maka mereka akan lebih puas terhadap pekerjaannya. Perusahaan dapat menawarkan jasa konseling individu kepada pekerja sehingga kepentingan pribadi dan professional dapat diidentifikasi dan disesuaikan. d. Mengindari kebosanan dan Pekerjaan yang berulang-ulang. Kebanyakan karyawan cenderung mendapat sedikit kepuasan apabila mereka dihadapi dengan pekerjaan yang membosankan dan berulang-ulang. Sesuai dengan two-factor theory, karyawan jauh lebih puas dengan pekerjaan yang meyakinkan mereka memperoleh sukses dengan secara bebas melakukan kontrol atas bagaimana cara mereka melakukan sesuatu.
23 2.1.4.5 Dimensi Kepuasan Kerja Dimensi kepuasan kerja menurut Kalleberg (1977) dalam Tricia A. Seifert dan Paul D. Umbach (2006): Dengan menggunakan analisis faktor, penelitian ini menemukan enam dimensi kepuasan kerja. Kalleberg menemukan bahwa kepuasan kerja dapat dibagi menjadi dua, yaitu intriksik (mengacu pada pekerjaan itu sendiri) atau ektrinsik (mewakili aspek pekerjaan ekternal atau tugas itu sendiri). Kalleberg (1977) mendefinisikan dimensi intrinsik sebagai sejauh mana pekerjaan itu menarik, mandiri dan dimana hasilnya itu jelas. Mengenai dimensi ekstrinsik, ia dibangun sebagai berikut: 1. Financial: mengacu pada item seperti gaji, tunjangan dan keamanan pekerjaan 2. Career: peluang yang disediakan pekerjaan untuk kemajuan karir 3. Convenience: dimensi kenyamanan berfokus pada kenyamanan dari pekerjaan (yaitu, kenyamanan perjalanan ke dan dari tempat kerja, kebebasan dari tuntutan yang saling bertentangan, tidak ada jumlah pekerjaan yang berlebihan, dan waktu untuk melakukan pekerjaan. 4. Relationships with co-workers: hubungan dengan rekan kerja dan termasuk kesempatan untuk berteman dengan orang-orang ditempat kerja serta friendliness, helpfulness, and personal interest rekan kerja terhadap individu 5. Adequacy of resources: tingkat dimana sumberdaya yang dibutuhkan untuk melakukan pekerjaan dengan baik tersedia untuk pekerja. 2.1.4 Pengertian Person-Environment Fit (P-E Fit) Menurut Edwards (1996:292) dalam Kamarul Zaman Ahmad dan Kayathry a/p Veerapandian (2012) pada dasarnya, P-E fit mewujudkan premis bahwa sikap, perilaku dan hasil tingkat individu lainnya yang timbul bukan dari orang atau lingkungan secara terpisah, melainkan dari hubungan antara dua. Menurut Kristof (1996) dalam Kamarul Zaman Ahmad dan Kayathry a/p Veerapandian (2012) kecocokan terjadi ketika sebuah organisasi memenuhi, kebutuhan, keinginan atau preferensi.
24 Jadi, dari kedua definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa individu dan lingkungannya memiliki hubungan yang sangat dekat. Mereka saling berkaitan. Kecocokan antara orang dan lingkungannya akan menimbulkan rasa kepuasan terhadap pekerjaan yang dia lakukan. 2.1.4.1 Dimensi Person-Environment Fit (P-E Fit) P-E fit juga beroperasi secara simultan pada tiga tingkatan yang berbeda: Person-job Fit (PJ fit), Person-group fit (PG fit) dan Person-organisation fit (PO fit), dan efek kumulatif dari semua tiga tingkat harus diperiksa menurut Kristof et al. (2005) dalam Kamarul Zaman Ahmad dan Kayathry a/p Veerapandian (2012). Person-Job Fit: Berhubungan dengan bagaimana orang tersebut cocok dengan jenis pekerjaan yang sedang dia pegang saat ini. Person-Group Fit: Seberapa baik seseorang bisa bergaul dengan anggota timnya atau rekan kerjanya. Person-Organisation Fit: Berhubungan dengan seberapa baik nilai-nilai dan perilaku seseorang sesuai dengan budaya organisasi. 2.1.5 Penelitian Terdahulu
Tabel 2.3 Penelitian Terdahulu No.
Judul Jurnal
Pengarang
Objek
Hasil
Penelitian 1
The
Mediating Kamarul Zaman Private
Effect
of Ahmad,
Person-
Kayathry
and Penelitian
Public Sector sebelumnya from various yang
Environment Fit Veerapandian
organization
dilakukan
on
in Malaysia
cenderung
the
telah
Relationship
melihat Person-
Between
Environment Fit
Organisational
(P-E
Culture and Job
sebagai
Satisfaction
prediktor
(2012)
kinerja
Fit)
hasil
25 karyawan , Namun penelitian
ini
adalah
salah
satu
studi
pertama
yang
memberikan bukti
PE
Fit
sebagai mediator hubungan antara budaya organisasi
dan
hasil
kepuasan
kerja
.
Data
diperoleh
dari
full-time karyawan yang bekerja di sektor swasta
dan
publik
dari
berbagai organisasi
di
Malaysia ( n = 204 ) . P-E
Fit
merupakan mediator penting
dari
hubungan antara budaya organisasi
dan
kepuasan kerja.
26 Ini
memiliki
implikasi
luas
untuk konsultan pengembangan organisasi yang berniat
untuk
membentuk berbagai budaya organisasi, pada asumsi
bahwa
budaya organisasi tertentu
akan
menyebabkan hasil kerja yang diinginkan. Manajer
perlu
memperhatikan tidak
hanya
terhadap budaya organisasi mereka seperti pelatihan, penghargaan, kerja tim dan komunikasi, tetapi
juga
memastikan bahwa
ada
kesesuaian antara individu dan lingkungan kerja
27 mereka.
Dua
hipotesis
telah
diuji
dan
didukng.
Hasil
penelitian menunjukkan bahwa
budaya
organisasi memiliki hubungan yang signifikan
dan
positif terhadap kepuasan
kerja
karyawan (H1). PersonEnvironment Fit memiliki pengaruh mediasi
yang
signifikan terhadap hubungan antara budaya organisasi dengan kepuasan
kerja
(H2). 2
Person-
Kamarul Zaman Private
Environment
Ahmad,
Fit: The Missing Kayathry Link
in
Culture-
dari
Public Sector penelitian a/p from various adalah
the Veerapandian,
Organisational
and Tujuan
Wee Yu Ghee
ini untuk
organization
mengetahui
in Malaysia
pengaruh mediasi
dari
28 Commitment
Person-
Relationship
Environment Fit
(2011)
pada hubungan antara
budaya
organisasi dengan komitmen organisasi. Data diperoleh
dari
karyawan penuh-waktu yang bekerja di sektor
swasta
dan publik dari berbagai organisasi
di
Malaysia (n=204). PersonEnvironment fit ditemukan menjadi mediator penting
dari
hubungan antara budaya organisasi dengan komitmen organisasional. Dua
hipotesis
diuji
dan
didukung. Hasil
29 penelitian menunjukkan bahwa
budaya
organisasi memiliki hubungan yang signifikan
dan
positif terhadap komitment organisasional (H1).
Person-
Environment Fit memiliki pengaruh mediasi
yang
signifikan terhadap hubungan antara budaya organisasi
dan
komitmen organisasi (H2). 3
The
Mediating KamarulZaman
Effect
of Ahmad
Private
and Dua
hipotesis
Public Sector telah diuji dan
Person-
from various didukung. Hasil
Environment Fit
organization
penelitian
on
in Malaysia
menunjukkan
the
Relationship
bahwa
between
organisasi
Organisational
memiliki
Culture
hubungan yang
Staff (2012)
and
Turnover
budaya
signifikan negative
dan
30 terhadap keinginan
staff
untuk berpindah (H1).
Person-
Environment Fit memiliki pengaruh mediasi
yang
signifikan terhadap hubungan antara budaya organisasi
dan
keinginan
staff
untuk berpindah (H2). 4
Job Satisfaction Lloyd and
Stebbins,
Organizational
B. Dent
Culture (2011)
H. 35
private Penelitian
Eric sectors,
ini
dilakukan
educational,
dengan melihat
nonprofit,
kepuasan
health care, dan government
kerja budaya
organisasi
and military menggunakan organizations sampel
yang
sangat beragam. Tiga
dalil
menyatakan bahwa,
satu,
kepuasan
kerja
individu berkorelasi dengan budaya organisasi yang
31 konstruktif, dua, kepuasan
kerja
individu berkorelasi negatif
dengan
budaya organisasi yang pasif/defensif dan
tiga,
kepuasan
kerja
individu
juga
berkorelasi negative dengan budaya organisasi yang agresif
/
defensif. 5
The
Adel Mohamed National Oil Tujuan
Relationship
Ali Shurbagi & Corporation
penelitian
between
Ibrahim
adalah
Organizational
Zahari
Bin of Libya
dari ini untuk
menyelidiki
Culture and Job
hubungan antara
Satisfaction
budaya
in
National Oil
organisasi
dan
Corporation of
kepuasan
kerja
Libya
di Nasional Oil Corporation of Libya.
Dengan
menggunakan kuesioner, data yang dikumpulkan dari
227
32 karyawan NOC of Libya . Data responden budaya organisasi
dan
kepuasan
kerja
dikumpulkan dengan menggunakan The Organizational Culture Assessment Instrument (OCAI)
yang
dikembangkan oleh
(Cameron
& Quinn, 2006). The
Job
Satisfaction Survey
(JSS)
dikembangkan oleh
Spector
(1997). Statistik deskriptif adalah tujuan penelitian
dari ini
untuk menyelidiki hubungan antara budaya organisasi dengan
33 kepuasan
kerja
di National Oil Corporation di Libya.
Dengan
menggunakan kuesioner, data yang dikumpulkan dari
227
karyawan NOC of
Libya.
Deskriptif statistik dilaporkan, diikuti oleh ratarata,
standar
deviasi, analisis reliabilitas, korelasi pearson dan
pengujian
hipotesis menggunakan T-test
dan
analisis regresi. Dari
penelitian
ini
dapat
disimpulkan bahwa hubungan antara budaya organisasi seperti
klan,
adhocracy, pasar
34 dan
budaya
hirarki, dan lima aspek kepuasan kerja
memiliki
hubungan yang positif
dan
signifikan. Sumber: Penulis
2.2 Kerangka Pemikiran Budaya Organisasi (X):
Kepuasan Kerja (Y):
-Inovasi dan keberanian mengambil resiko
-Intriksik -Ekstrinsik: •
Financial
•
Career
- Orientasi hasil
•
Convenience
-Orientasi orang
•
Relationship
- Perhatian pada halhal rinci
with Co-
- Orientasi tim
Workers -Keagresifan
•
- Stabilitas
resources
Person-Environment Fit (Z) -Person Group Fit -Person Job Fit -Person Organization Fit
Gambar 2.3: Kerangka Pemikiran Sumber: Penulis
Adequacy of
35 2.3 Rancangan Hipothesis Tujuan-1 Ho: Budaya Organisasi tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan H1: Budaya Organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan Tujuan-2 Ho: Budaya Organisasi tidak berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan dengan Person-Environment Fit sebagai variabel moderasi H1: Budaya Organisasi berpengaruh terhadap kepuasan kerja karyawan dengan Person-Environment Fit sebagai variabel moderasi