BAB 2 KERANGKA TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kerangka Teori 2.1.1 Manajemen Sumber Daya Manusia 2.1.1.1 Pengertian Manajemen Manajemen merupakan ilmu dan seni mengatur proses pemanfaatan sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya secara efektif dan efisien untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Suwatno, 2013:16). Menurut Robbins dan Coulter (2010:7), manajemen adalah aktivitas kerja yang melibatkan koordinasi dan pengawasan terhadap pekerjaan orang lain, sehingga pekerjaan tersebut dapat diselesaikan secara efisien dan efektif. Menurut Terry dalam Nawawi (2005:39), manajemen adalah pencapaian tujuan (organisasi) yang sudah ditentukan sebelumnya dengan mempergunakan bantuan orang lain.
2.1.1.2 Pengertian Sumber Daya Manusia Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan salah satu bidang dari manajemen
umum
yang
meliputi
segi-segi
perencanaan,
peorganisasian,
pelaksanaan, dan pengendalian yang dimana proses ini terdapat dalam fungsi-fungsi SDM karena SDM semakin penting perannya dalam pencapai tujuan perusahaan, maka berbagai pengalaman dan hasil penelitian dalam bidang SDM dikumpulkan secara sistematis dalam apa yang disebut manajemen sumber daya manusia (Rivai, 2013:1) Menurut Hasibuan dalam Hartatik (2014:13) Manajemen Sumber Daya Manusia adalah ilmu dan seni mengatur hubungan dan peranan tenaga kerja agar efektif dan efisien membantu terwujudnya tujuan perusahaan, karyawan dan masyarakat. Menurut Nawawi (2005:42), manajemen sumber daya manusia adalah proses mendayagunakan manusia sebagai tenaga kerja secara manusiawi, agar potensi fisik dan psikis yang dimilikinya berfungsi maksimal bagi pencapaian tujuan organisasi. 11
12
2.1.1.3 Fungsi Manajemen Sumber Daya Manusia Menurut pendekatan dari sudut pandang dan fungsi, seorang manajer menjalankan fungsi-fungsi atau aktivitas-aktivitas tertentu dalam rangka mengelola pekerjaan orang lain secara efektif dan efisien dengan mengklasifikasikan fungsi manajemen sumber daya manusia ke dalam kelompok berikut: 1)
Perencanaan,yaitumendefinisikan sasaran-sasaran, menetapkan strategi, dan mengembangkan rencana kerja untuk mengelola aktivitas-aktivitas
2)
Pengorganisasian, menentukan apa yang harus diselesaikan, bagaimana caranya, dan siapa yang akan mengerjakannya.Fungsiinipentingsaat terjadi restrukturisasi atas operasinya seperti perubahan jabatan
3)
Kepemimpinan, memotivasi, memimpin dan tindakan-tindakan lainnya yang melibatkan interaksi dengan orang lain.
4)
Pengendalian, mengawasi aktivitas-aktivitas demi memastikan segala sesuatunya terselesaikan sesuai rencana (Robbins dan Coulter, 2010:9).
. 2.1.2 Kepemimpinan 2.1.2.1 Definisi Kepemimpinan Kepemimpinan memiliki konsep yang sangat luas dan kompleks.Seperti yang disimpulkan oleh Stogdil, terdapat definisi tentang kepemimpinan dengan jumlah orang yang telah mencoba mendefinisikan konsep tersebut (Yukl, 2010:3). Namun, terdapat beberapa definisi yang dapat dianggap cukup mewakili konsep kepemimpinan, antara lain: kepemimpinan menurut Rauch dan Behling adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi kearah pencapaian tujuan (Yukl, 2010:4). Kepemimpinan menurut Jacobs dan Jacques adalah sebuah proses member arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif dan mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran (Yukl, 2010:4). Dan menurut Robbins dan Judge (2008), kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi grup kearah pencapaian visi atau merancang keberhasilan. Menurut Soekarso et al (2010:10) kepemimpinan merupakan proses pengaruh sosial, yaitu suatu kehidupan yang mempengaruhi kehidupan lain, kekuatan yang mempengaruhi perilaku orang lain ke arah pencapaian tujuan tertentu. Menurut Colquitt et al dalam Wibowo (2013:264) mendefinisikan
13
kepemimpinan sebagai penggunaan kekuasaan dan pengaruh untuk mengarahkan aktivitas pengikut kearah pencapaian tujuan. Arah tersebut dapat mempengaruhi interpretasi kejadian pengikut, organisasi aktivitas pekerja mereka, komitmen mereka terhadap tujuan utama, hubungan mereka dengan pengikut, atau akses mereka pada kerjasama dan dukungan dari unit kerja lain. 2.1.2.2 Peranan Pemimpin Peran manajer sebagai pemimpin adalah kunci bagi penerapan perubahan strategi.Peranan pemimpin adalah menyusun arah perusahaan, mengkomunikasikan ini dengan karyawan, memotivasi para karyawan dan melakukan tinjauan jangka panjang (Rivai, 2013:821). Covey dalam Rivai (2013) membagi peran kepemimpinan menjadi 3 bagian, yaitu: 1. Pathfinding (pencarian alur) yaitu peran untuk menetukan visi dan misi yang pasti. 2. Aligning (penyelaras) yaitu peran memastikan bahwa struktur, sistem, dan proses operasional organisasi memberikan dukungan pada pencapaian visi dan misi. 3. Empowering (pemberdayaan) yaitu peran untuk menggerakan semangat dalam diri orang-orang dalam mengungkapkan bakat, kecerdikan, dan kreativitas untuk mampu mengerjakan apapun dan konsistensi dengan prinsip-prinsip yang di sepakati. 2.1.2.3 Fungsi – fungsi Kepemimpinan Berdasarkan pendapat Soekarso et al (2010:22-23) agar kelompok berjalan dengan efektif, maka seorang pemimpin harus melaksanakan dua fungsi utama yaitu sebagai berikut: 1. Fungsi yang berhubungan dengan tugas atau pemecahan masalah, mencakup penetapan struktur tugas, pemberian saran dan penyelesaian, informasi dan pendapat. 2. Fungsi yang berhubungan dengan pemeliharaan kelompok atau sosial, mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok atau organisasi berjalan lebih baik atau efektif, persetujuan dengan kelompok lain, pengaruh perbedaan pendapat dan sebagainya. Fungsi-fungsi kepemimpinan dalam organisasi dapat disebut dengan “enam F”, antara lain :
14
a. Fungsi pengambilan keputusan ( Decision Making) b. Fungsi pengarahan (Directing) c. Fungsi pendelegasian (Delegation) d. Fungsi pemberdayaan (Empowerment) e. Fungsi fasilitas (Facilitating) f. Fungsi pengendalian (Controlling)
2.1.2.4 Sumber Daya Kepemimpinan Berdasarkan pendapat Soekarso et al (2010:26) seorang pemimpin hanya dapat melakukan fungsi kepemimpinannya apabila memiliki kekuatan berupa suatu sumber daya tertentu, seperti : a. Pengaruh (Influence) Kepemimpinan merupakan proses pengaruh sosial dalam hubungan interpersonal. Pemimpin mempengaruhi bawahan atau pengikut kearah yang diinginkan. b. Kekuasaan (Power) Pemimpin hanya dapat melakukan fungsi kepemimpinannya apabila memiliki suatu sumber daya tertentu, yaitu power.Dalam hal ini power berarti daya, atau dalam teori kepemimpianan power adalah sebagai kekuasaan. c. Legitimasi (Legitimacy) Kepemimpinan memerlukan legitimasi agar posisi formal keberadaan pemimpin dan kekuasaan mendapat pengakuan resmi dalam organisasi. d. Indiosinkratik kredit (Indiosyncracy credit) Konsep Indiosinkratik merupakan elemen penting dari analisis teori pertukaran (exchange theory).Bagaimanapun pemimpin atau anggota dalam menjalankan tugas mempunyai peran masing-masing sesuai dengan kelompok atau organisasi. e. Wewenang (Authority) Wewenang merupakan dasar hukum untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas dan tanggung jawab dapat dilaksanakan dengan baik. f. Politik (Politic)
15
Dalam organisasi terdapat keterbatasan sumber daya, keanekaragaman struktur, perbedaan kepentingan dan terjadi perubahan, maka agar mendapatkan lebih berperan atau lebih berkuasa dalam organisasi maka diperlukan tindakan-tindakan tertentu yaitu politik. 2.1.2.5 Teori Gaya Kepemimpinan Gaya kepemimpinan adalah perilaku atau tindakan pemimpin dalam mempengaruhi para anggota/pengikut serta melaksanakan tugas-tugas pekerjaan manajerial (Soekarso et al, 2010:11). Dharma dalam Sudaryono (2014:200) mendefinisikan bahwa gaya kepemimpinan adalah pola tingkah laku yang ditunjukkan seseorang pada saat ia mencoba mempengaruhi orang lain. Sedangkan Robins dan Judge (2008) mengidentifikasi empat jenis gaya kepemimpinan antara lain : 1. Gaya kepemimpinan kharismatik Menurut House dalam Yukl (2010:294) kepemimpinan karismatik ditandai dengan adanya seorang pemimpin yang mempunyai dampak yang mendalam dan tidak biasa terhadap pengikutnya.Pengikutnya merasa bahwa keyakinan-keyakinan pemimpin adalah benar dan mereka menerimanya tanpa mempertanyakan lagi, singkatnya mereka terlibat secara emosional terhadap misi organisasi tersebut.Teori ini mengenali bagaimana para pemimpin karismatik berperilaku, ciri dan keterampilan mereka, serta kondisi dimana mereka paling mungkin muncul.Shamir telah merevisi dan memperluas teori itu dengan menggabungkan perkembangan baru dalam pemikiran tetang motivasi manusia dan gambaran yang lebih rinci tetang pengaruh pemimpin pada pengikut. Asumsi berikut telah dilakukan mengenai motivasi manusia : perilaku adalah ekspresi dari perasaan seseorang, nilai dan konsep diri dan juga berorientasi sasaran dan pragmatis, konsep diri seseorang terdiri dari hierarki identitas dan nilai social, orang secara intrinstik termotivasi untuk memperkuat dan mempertahankan kepercayaan diri dan nilai mereka, dan orang secara intrinstik termotivasi untuk memelihara konsistensi di antara berbagai komponen dari konsep diri mereka dan antara konsep diri mereka dengan perilaku (Yukl, 2010:294). Terdapat beberapa karakteristik dari kepemimipinan karismatik, antara lain: Mempunyai visi, berani mengambil resiko untuk mencapai misinya, peka terhadap kebutuhan pengikutnya, mereka dapat menunjukan perilaku yang luar biasa. Maka dalam kepemimpinan karismatik, para pengikut terpacu kemampuan
16
kepemimpinan yang heroik atau yang luar biasa ketika mereka mengamati perilakuperilaku tertentu pemimpin mereka.
2. Gaya kepemimpinan transaksional merupakan pemimpin yang memandu atau memotivasi dengan cara memberikan reward pada para pengikut mereka menuju sasaran yang ditetapkan dengan memperjelas persyaratan peran dan tugas. Menurut Robbins dan Judge (2008:91) pemimpin transaksional adalah pemimpin yang memandu atau memotivasi pengikutnya untuk mencapai tujuan dengan menjelaskan peran dan tugas yang diharuskan.Karakteristik dari kepemimpinan transaksional adalah contingent reward, management by exception (active), management by exception (passive), dan laissez-faire.Contingent reward adalah pertukaran antara penghargaan dengan usaha, harapan penghargaan untuk kinerja yang baik, menghargai prestasi.Management by exception (active) adalah memantau dan mencari terhadap penyimpangan aturan dan standar, mengambil tindakan perbaikan.Management by exception (passive) adalah mengintervensi hanya jika sesuatu berjalan dengan tidak terstandar.Laissez-faire
adalah
melepaskan
tanggung
jawab,
menghindari
yang
memberikan
pembuatan keputusan (Robbins dan Judge, 2008:91).
3. Gaya kepemimpinan transformasional Pemimpin
transformasional
adalah
pemimpin
pertimbangan dan rangsangan intelektual yang diindividualkan dan memiliki kharisma.Dengan kepemimpinan transformasional, para pengikut merasakan kepercayaan, kekaguman, kesetiaan dan penghormatan terhadap kepemimpinan serta mereka termotivasi untuk melakukan lebih daripada yang awalnya diharapkan dari mereka. Menurut Bass, pemimpin mengubah dan memotivasi para pengikutnya dengan membuat pengikutnya lebih sadar mengenai pentingnya hasil pekerjaan, mendorong mereka untuk lebih mementingkan organisasi daripada kepentingan diri sendiri, dan mengaktifkan kebutuhan mereka yang lebih tinggi (Yukl, 2010:304305). Inspirasi yang diberikan oleh pemimpin dengan tipe ini adalah dengan memberikan tantangan dan ajakan serta mendidik.Pemimpin dalam teori ini adalah individu yang penuh perhatian, menyediakan dukungan, pengarahan dan pelatihan pada pengikutnya. Komponen-komponen kepemimpinan transformasional (Bass dan
17
Riggio, 2006), yaitu: Idealized influence, Inspirational motivation, Intellectual stimulation, dan Individualized consideration. Idealized influence dapat dilakukan oleh pemimpin transformasional karenapemimpin dapat menjadikan dirinya menjadi contoh untuk pengikutnya karena mereka disanjung, dihormati dan dipercaya. Pemimpin yang ingin mengidealkan pengaruh akan berkeinginan untuk mengambil resiko dan konsisten dalam mencapai tujuannya, daripada bertindak sewenang-wenang. Mereka dapat memperhitungkan hal yang benar, mendemonstrasikan standar tinggi dari etika dan memimpin dengan bermoral.Inspirational motivation adalah motivasi yang inspirasional dilakukan pemimpin transformasional dengan cara memberikan arti dan tantangan dalam pekerjaan pengikutnya. Intellectual stimulation adalah stimulasi-stimulasi kepada usaha-usaha pengikutnya untuk berinovasi dan kreatif yang dilakukan dengan mempertanyakan asumsi-asumsi, membuat pola pikir yang berbeda dalam melihat masalah, dan menghadapi situasi yang sama dengan cara yang berbeda. Individualized consideration adalah perhatian khusus yang diberikan oleh pemimpin transformasional kepada setiap kebutuhan pengikutnya untuk mencapai kemajuan dengan memposisikan diri sebagai penasihat.
4. Gaya kepemimpinan visioner Kemamuan menciptakan dan mengartikulasikan visi yang realistis, kredibel, dan menarik mengenai masa depan organisasi atau unit organisasi yang tengah tumbuh dan membaik dibanding saat ini. Visi ini jika diseleksi dan diimplementasikan secara tepat, mempunyai kekuatan besar sehingga bisa mengakibatkan terjadinya lompatan awal ke masa depan dengan membangkitkan keterampilan, bakat, dan sumber daya untuk mewujudkannya (Robbins dan Judge, 2008:95). 2.1.2.6 Kepemimpinan dalam Keselamatan Kerja Beberapa
tahun
kepemimpinandalam
terakhir,
keselamatan
banyak kerja.
penulis
Berdasarkan
menyoroti riset
dari
pentingnya penelitian
sebelumnya yang dipimpin oleh Barling, Loughlin, Kelloway, dilakukan pengujian terhadap hubungan antara perubahan pola keselamatan kerja dan kepemimpinan transformasional dijajaran manajer langsung dengan keselamatan kerja (keselamatan yang terkait dengan kejadian) yang dipengaruhi oleh kesadaran keselamatan dan iklim keselamatan kerja (Martinez-Corcoles et al, 2011). Mereka menemukan bahwa
18
keselamatan yang terkait dengan kejadian, hampir selalu mempertimbangkan perilaku keselamatan kerja yang diprediksi oleh iklim keselamatan kerja, dan iklim keselamatan kerja diprediksi secara positif oleh kepemimpinan transformasional. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Martinez-Corcoles et al (2011) diidentifikasi jenis-jenis perilaku pemimpin yang seharusnya ditunjukan untuk mempengaruhi perilaku keselamatan kerja dari pekerja.Pendekatannya adalah mempelajari perilaku-perilaku spesifik dari pemimpin yang seharusnya dapat menstimulasi perilaku yang lebih aman dijajaran bawahnya.Konsep tersebut di atas adalah empowering leadership dengan menggunakan dimensi Empowering Leadership Model (ELQ) dari Arnold et al dalam Martinez-Corcoles et al (2011). Konsep ini mengakui bahwa fungsi utama dari pemimpin adalah untuk meningkatkan potensi tim untuk menjalankan manajemen mereka sendiri dengan mencontoh perilaku pemimpin itu sendiri, maka penerapan keselamatan kerja banyak tergantung kepada pimpinan. Keselamatan kerja di perusahaan bersifat “manageable” sehingga menangani harus sesuai dengan norma manajemen K3. Dalam manajemen K3 keberhasilan program K3 diukur dari top manajemen dapat menggerakkan semua lapisan organisasi untuk melaksanakan program K3. Dengan kata lain K3 di perusahaan adalah tanggung jawwab semua lapisan organisasi sesuai dengan kewenangannya dalam menyukseskan program K3 (Hadipoetro, 2014:82). Menurut Arnold et al dalam Martinez-Corcoles et al (2011) kepemimpinan untuk menyukseskan keselamatan kerja terdapat 5 dimensi. Yang pertama adalah leading by example, yaitu menunjukkan bahwa seberapa sering pimpinan menetapkan standar yang tinggi dalam aspek K3, menunjukkan perilaku
baik, memimpin dengan memberikan
contoh. Yang kedua participative decicion making, yaitu dilihat dari seberapa sering pemimpin mendorong anggota mengekspresikan ide dan saran, mendengarkan ide dan saran dari anggota, menggunakan saran untuk membuat keputusan, dan menyadari area kerja yang membutuhkan pelatihan.Yang ketiga seorang pemimpin juga perlu melakukan coaching, dimana coaching yang dimaksud disini adalah peran seorang pemimpin dalam mengajarkan anggota untuk menyelesaikan masalah, memberikan perhatian kepada usaha kelompok, serta membantu kelompok untuk fokus kepada tujuan. Yang keempat yaitu informing, dimana seorang pemimpin harus bisa menjelaskan kepada kelompok cara memberikan andil, menjelaskan tujuan dari peraturan perusahaan, menjelaskan peraturan dan harapan, dan
19
menjelaskan keputusan yang pimpinan buat. Yang terakhir adalah showing concern/interacting with employe, yaitu suatu interaksi yang dilakukan pemimpin berupa menunjukkan perhatian terhadap anggota, menyiapkan waktu berdiskusi, memperlihatkan perhatian kepada kesuksesan anggota. Di
Indonesia
terdapat
aturan
sistem
manajemen
kesehatan
dan
keselamatankerja (SMK3) yang diatur dalam Permenaker 05/Men/1996. Dalam peraturan ini, salah satunya adalah mengatur syarat uraian jabatan disusun dengan memperhatikan aspek K3 yang menjadi tanggung jawabnya. Di sini dicantumkan tanggung jawab pada level manajemen atau supervisor secara umum adalah memastikan K3 dikelola dengan baik dalam area tanggung jawabnya. Tanggung jawab dan wewenang level manajemen, antara lain adalah memastikan pekerja menggunakan alat pelindung diri sesuai dengan persyaratan, memberikan pemahaman pada pekerja tentang potensi bahaya yang dapat terjadi di tempat kerja, dan membuat instruksi kerja atau prosedur tentang penggunaan alat pelindung diri, jika hal tersebut diperlukan.
2.1.3 Budaya Organisasi 2.1.3.1 Definisi Budaya Organisasi Menurut Kilman, Saxton dan Serpa dalam kajian ilmu antropologi, budaya adalah falsafah, idiologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma yang dimiliki bersama dan mengingat suatu masyarakat (Nimran, 2013:126). Menurut Griffin dan Ebert dalam Nimran (2013:127), karakteristik-karakteristik yang dimiliki bersama oleh semua kebudayaan antara lain kebudayaan meliputi keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia, kebudayaan adalah hasil belajar, kebudayaan adalah milik bersama, kebudayaan didasarkan pada lambang, kebudayaan didasarkan pada akal, kebudayaan diteruskan dari satu generasi kepada generasi yang lain. Brown menyimpulkan bahwa budaya organisasi mengacu pada rumusan kepercayaan, nilai-nilai, dan cara belajar dari pengalaman yang dibangun sepanjang sejarah organisasi dan dimanifestasikan dalam tiap pengaturan material dan perilaku dari tiap anggota organisasi tersebut (Susanto et al, 2008:6). Menurut Bennis dalam (Susanto et al, 2008:7), budaya organisasi mempunyai 3 tingkatan, yaitu Artefak (artifacts) yang merupakan tingkatan budaya paling atas yang terdiri dari aspek-
20
aspek yang secara nyata dapat dilihat kasat mata, didengar, dan dirasakan oleh orang yang berada di luar organisasi. Contohnya: produk, bentuk arsitektur bangunan. Keyakinan dan nilai yang diadopsi (espoused beliefs and values) merupakan budaya yang secara tegas dinyatakan di organisasi. Contohnya: pernyataan misi, slogan. Sedangkan, asumsi dasar (shared tacit assumption) merupakan asumsi tersirat yang dibagi bersama.Suatu elemen dasar dari budaya yang tidak terlihat dan secara tidak sadar diidentifikasi dalam interaksi sehari-hari dalam organisasi.Asumsi dasar seperti persepsi, alam bawah sadar, dan keyakinan yang dianggap benar.
2.1.3.2 Fungsi Budaya Organisasi Menurut Robbins dan Coulter (2006:294) budaya menjalankan sejumlah fungsi di dalam organisasi, yaitu: a.
Budaya mempunyai peran menetapkan tapal batas, artinya budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan yang lainnya.
b.
Budaya memberikan rasa identitas ke anggota organisasi.
c.
Budaya mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan pribadi seseorang.
d.
Budaya meningkatkan kemantapan sistem sosial.
e.
Budaya merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar yang tepat mengenai apa yang harus dikatakan dan dilakukan oleh karyawan.
f.
Budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan mekanisme pengendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku para karyawan.
Menurut Robbins dan Judge (2008:262) budaya organisasi memiliki beberapa fungsi, yaitu budaya menciptakan perbedaan yang jelas antara satu organisasi dengan organisasi yang lain, budaya memberikan identitas bagi anggota organisasi, budaya mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas dan pada kepentingan individu, budaya itu meningkatkan kemantapan sistem sosial, budaya sebagai mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu serta membentuk sikap dan perilaku karyawan.
21
2.1.3.3 Budaya Keselamatan Kerja Konsep budaya keselamatan kerja atau iklim keselamatan kerja dianggap sebagai salah satu prinsip manajemen yang utama. Hal ini dikarenakan, budaya keselamatan kerja atau iklim keselamatan kerja merupakan nilai-nilai dasar dalam hal keselamatan, sikap dalam kegiatan operasional, peningkatan mutu, proses belajar berkelanjutan dan proses perbaikan dalam pola pikir terhadap K3 yang didasarin tanpa paksaan (Manik dalam Lisnandhita, 2014:18). Namun, sampai saat ini dalam banyak literatur, konsep budaya keselamatan kerja dan iklim keselamatan kerja memiliki definisi yang sama atau salah satunya merupakan bagian dari yang lain, sehingga hal ini menimbulkan perdebatan mengenai kedua konsep tersebut (Martinez-Corcoles et al, 2011). Pada penelitian ini, budaya keselamatan kerja dan iklim keselamatan kerja dianggap memiliki perbedaan konsep. Menurut Mathis dan Jackson dalam Martinez-Corcoles et al (2011), keselamatan berarti perlindungan terhadap kesejahteraan fisik, mental dan stabilitas emosi secara umum seseorang terhadap cedera yang terkait dengan pekerjaan. Budaya keselamatan kerja merupakan sub komponen dari budaya organisasi yang membahas keselamatan kerja individu, pekerjaan dan hal-hal yang diutamakan oleh organisasi mengenai keselamatan kerja. Pembentukan budaya keselamatan kerja yang baik adalah untuk mencegah munculnya tindakan tidak aman dari pekerja dan kondisi tidak aman pada lingkungan kerja. Definisi budaya keselamatan kerja menurut Turner dalam Martinez-Corcoles et al (2011) adalah serangkaian dari kepercayaan, norma, perilaku, aturan, dan praktek teknis dan sosial yang sangat berhubungan dengan upaya meminimalkan bahaya dan kecelakaan kerja yang akan menimpa pekerja, manajer, pelanggan, dan masyarakat. Dimensi dari budaya keselamatan kerja sangat bervariasi, variasi ini disebabkan perbedaan jenis industri, perbedaan teori, dan persepsi dari peneliti.Pada penelitian ini, dimensi budaya keselamatan kerja yang digunakan terdiri atas 3 dimensi. Yang pertama komitmen dalam
proses
pengambilan
keputusan
yang
berkaitan
dengan
pekerjaan,
pengalokasian sumberdaya, dan dalam pembuatan prosedur kerja. Kedua adalah komunikasi yaitu komunikasi yang baik dengan bawahannya serta dalam surat kabar. Dan yang ketiga adalah manajemen organisasi yaitu mengatur sebuah organisasi dalam dalam pengoperasian perusahaan, menyelesaikan konflik keselamatan kerja dalam produksi, dalam pujian pada bawahan, dalam proses mengubah manajemen, dalam rapat, dalam hubungan dengan pembuatan peraturan, dalam perilaku sehari-
22
hari dari pekerja, dalam perilaku sehari-hari dari pimpinan, dalam menerima pegawai, dalam pelatihan pegawai, dalam menyusun tujuan, dalam penilaian kerja dari pekerja (Martinez-Corcoles et al, 2011). Terdapat prinsip-prinsip yang biasa dapat diikuti oleh seorang pimpinan perusahaan dalam perencanaan keselamatan dan efisiensi produksi. Prinsip- prinsip keselamatan kerja yang diterapkan di perusahaan ini kemudian akan menjadi budaya perusahaan yang biasanya ditunjukan dari model pakaian kerja, pemakaian warna, tanda-tanda peringatan, alat-alat pelindung diri, proses penerimaan pegawai, dan program-program lainnya. Pendekatan keselamatan kerja melalui budaya perusahaan banyak ditunjukan dalam bentuk artefak. Contoh artefak budaya keselamatan yang pertama adalah dalam pemilihan atau penggunaan pakaian kerja. Terdapat ketentuan-ketentuan yang harus diperhatikan dalam model pakaian kerja, antara lain harus dapat mengurangi bahaya, pas di tubuh dan tidak ada bagian yang mudah mengakibatkan kecelakaan kerja. Yang kedua adalah alat-alat perlindungan diri seperti sepatu pengaman, sarung tangan, helm, pelindung telinga dan pelindung paru-paru.Yang ketiga ditunjukan dalam pemakaian aneka warna dipakai untuk maksud keselamatan.Dalam hubungan ini, terdapat penggunaan warna seperti warna-warna yang menandakan daerahdaerah berbahaya, warna-warna yang menandakan daerah-daerah dengan fungsi tertentu, dan warna-warna yang berefek psikologi yang baik.Dan bentuk artefak yang terakhir adalah peringatan dan tanda-tanda dapat membawakan suatu pesan intruksi, pesan peringatan, atau pemberian keterangan secara umum.Peringatan dan tandatanda dibuat untuk menunjang tindakan-tindakan keamanan (Martinez-Corcoles et al, 2011). Pendekat keselamatan kerja melalui budaya perusahaan juga ditunjukkan dari bentuk keyakinan dan nilai yang diadopsi, misalnya proses seleksi penerimaan pegawai. Hal ini digunakan sebagai salah satu cara mengurangi tindakan tidak aman. Tujuannya adalah untuk mengisolasi sifat yang dapat memicu kecelakaan pada pekerjaan yang bersangkutan, kemudian menyaring kandidat berdasarkan sifatnya. Contohnya adalah pertanyaan tentang keselamatan dalam wawancara seleksi atau adanya proses seleksi yang menguji keselamatan kerja. Selain itu, terdapat programprogram yang dilakukan oleh pemimpin yang juga termasuk dalam bentuk budaya ini. Contohnya: memuji pekerja saat mereka memilih perilaku yang aman, mendengar saat pekerja menawarkan usulan, kekhawatiran atau keluhan, menjadi
23
contoh yang baik, misalnya dengan mengikuti setiap aturan keselamatan dan prosedur, mengunjungi daerah pabrik secara teratur, memelihara komunikasi yang terbuka, misalnya dengan memberitahu pekerja sebanyak mungkin tentang aktivitas keselamatan seperti menguji alarm, mengubah peralatan atau prosedur keselamatan, menghubungkan
bonus
dengan
perbaikan
keselamatan,
dan
memberikan
penghargaan untuk pekerja yang dapat mengenali potensi bahaya dalam produksi (Martinez-Corcoles et al, 2011). Setelah prinsip keselamatan kerja diterapkan, tentunya harus dilaksanakan. Pelaksanaanya dapat dilihat dengan tercapainya keteraturan lingkungan kerja yang baik.Hal ini tidak terlepas dari peran serta aktif dari pekerja. Contohnya dengan melakukan hal-hal berikut ini: menyingkirkan benda-benda yang tidak diperlukan, menyimpan barang secara rapi, dan membuang sampah dengan baik. Rencanarencana ini akan lebih baik saat dilaksanakan sebagai tindakan pencegahan.
2.1.4 Iklim Organisasi 2.1.4.1 Definisi Iklim Organisasi Menurut James dan James, dalam kajian psikologi, iklim diartikansebagai persepsi individual dalam lingkungan kerja, lalu ketika persepsi tersebut disebarkan oleh anggota organisasi maka persepsi tersebut disebut sebagai iklim organisasi (Neal dan Griffin dalam Martinez-Corcoles et al, 2011). Iklim organisasi adalah konsep yang membahas tentang keadaan yang terjadi di dalam organisasi yang dipersepsikan oleh anggota organisasi. Litwin dan Stinger dalam Martinez-Corcoles et al (2011) menjelaskan iklim berorganisasi sebagai sesuatu yang dapat dipersepsikan oleh pekerja, dapat diukur dalam lingkungan kerja serta berpengaruh pada motivasi, perilaku karyawan dan pekerjaan yang dilakukannya.
2.1.4.2 Iklim Keselamatan Kerja Menurut Cabrera et al keselamatan kerja adalahpersepsi yang dibagi oleh anggota organisasi tentang lingkungan kerjanya dan peraturan keselamatan kerja dalam organisasi (Yule dalam Martinez-Corcoles et al, 2011). Istilah “perceived safety climate” mengacu pada persepsi individual mengenai aturan, prosedur, dan praktek yang terkait dengan keselamatan kerja di tempat kerja. Iklim keselamatan
24
kerja merupakan persepsi pekerja atas kebijakan, prosedur dan praktek yang terkait dengan keselamatan. Dalam tingkat yang lebih luas, Neal dan Griffin dalam Martinez-Corcoles et al (2011) menggambarkan iklim keselamatan sebagai persepsi pekerja terhadap nilai keselamatan dalam sebuah organisasi. Menurut Mearns et al dalam Bosak et al, (2013), iklim keselamatan terdiri atas 3 dimensi.Yang pertama manajemen komitmen, yaitu komitmen dalam penggunaan alat perlindungan diri, penerapan serta kesepakatan mengenai penerapan K3.Yang kedua priority of safety, yaitu menaati dan menanamkan isu K3.Dan yang ketiga adalah preasure for production (tekanan kerja), yaitu tekanan dalam kerja yang meliputi kecepatan dan beban kerja. Menurut Zohar dalam Martinez-Corcoles, et al (2011), iklim keselamatan kerja merefleksikan prioritas keselamatan kerja yang diyakininya dan persepsi tersebut memperkirakan perilakuyang akan terlihat (Neal dan Griffin dalam Martinez-Corcoles et al, 2011). Iklim keselamatan kerja yang positif akan lebih memotivasi pekerja untuk terikat dengan aktifitas-aktifitas yang menyangkut keselamatan kerja dibandingkan dengan pekerja yang berada dalam grup yang memiliki iklim keselamatan kerja yang negatif. Seseorang yang termotivasi untuk terikat dengan aktifitas keselamatan kerja, lambat laun akan lebih suka untuk memperlihatkan perilaku keselamatan kerja tersebut. Budaya keselamatan kerja dan iklim keselamatan kerja adalah konsep yangsaling berhubungan.Iklim keselamatan kerja juga dipengaruhi oleh budaya keselamatan kerja, karena budaya keselamatan kerja adalah faktor kunci untuk menjelaskan faktor manusia dalam bidang keselamatan. Schein dalam MartinezCorcoles et al (2011) berpendapat bahwa ketika budaya organisasi telah ada dan telah melekat, maka itu akan menentukan persepsi, perasaan, gagasan organisasi dari anggotanya. Hal ini diperkuat dengan pendapat dari Guldenmund yaitu iklim keselamatan kerja menunjukan manifestasi budaya yang nyata dalam organisasi (Martinez-Corcoles et al, 2011).
2.1.5 Perilaku Organisasi 2.1.5.1 Definisi Perilaku Organisasi Perilaku individu adalah suatu fungsi dari interaksi antara individu dengan lingkungannya (Thoha, 2009). Individu membawa tatanan dalam organisasi berupa kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan, kebutuhan dan pengalaman masa
25
lainnya. Karakteristik organisasi antara lain sistem penghargaan dan pengendalian. Selanjutnya kedua karakteristik ini akan berinteraksi dan mewujudkan perilaku individu dalam organisasi (Rivai, 2013). Menurut Johns dalam Nimran (2013:2) Perilaku organisasi adalah suatu istilah yang menunjukkan kepada sikap dan perilaku individu dan kelompok dalam organisasi, yang berkenaan dengan studi sistematis tentang sikap dan perilaku, baik yang menyangkut pribadi maupun antar pribadi di dalam konteks organisasi.
2.1.5.1 Perilaku keselamatan kerja Neal dan Griffin dalam Martinez-Corcoles et al (2011), menemukan bahwa iklim keselamatan kerja menjadi prediktor dari kecelakaan, meskipun hubungan ini dijembatani oleh perilaku aman. Dengan kata lain, menurut Hofmann dan Stetzer jika pekerja memiliki iklim keselamatan kerja yang positif, pekerja akan menghindari perilaku tidak aman (Martinez-Corcoles et al, 2011), yang kemudian menurut Reason juga Neal dan Griffin, hal tersebut menjadi prediktor terjadinya kecelakaan dan luka-luka (Martinez-Corcoles et al, 2011). Kajian tersebut menunjukan bahwa perilaku keselamatan kerja mencegah terjadinya kecelakaan dan luka-luka.Selain itu, perilaku keselamatan kerja menunjukan nilai, keyakinan, dan sikap terhadap keselamatan kerja, dimana hal-hal tersebut berhubungan erat dengan kajian mengenai budaya keselamatan kerja dan iklim keselamatan kerja. Schein dalam Martinez-Corcoles et al (2011) berpendapat bahwa ketika budaya organisasi telah ada dan telah melekat, maka itu akan menentukan persepsi, perasaan, gagasan organisasi dan perilaku anggotanya. Menurut Clarke dalam Martinez-Corcoles et al (2011), pola perilaku pekerja dipengaruhi oleh persepsi pekerja yang fokus terhadap keselamatan kerja, saat budaya keselamatan kerja yang telah ada di perusahaan kuat. Menurut Mearns et al dalam Martinez-Corcolez et al (2011) perilaku keselamatan kerja terdapat satu dimensi yaitu, pelaksanaan aturan keselamatan kerja dimana didalamnya membahas tentang mematuhi aturan keselamatan kerja, menaati prosedur kerja, melakukan SOP dalam mencapai target, mencapai target yang lebih baik dengan menaati peraturan, kondisi tempat kerja memungkinkan untuk bekerja sesuai peraturan, insentif mendorong untuk menaati peraturan, tidak mengambil jalan pintas yang menyebabkan risiko, menaati peraturan tanpa tekanan manajemen, tidak mengikuti rekan kerja yang tidak menaati peraturan.
26
Perilaku juga sering diartikan sebagai tindakan atau kegiatan yang ditampilkan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain dan lingkungan disekitarnya atau bagaimana manusia beradaptasi terhadap lingkungannya. Perilaku pada hakikatnya adalah aktifitas atau kegiatan nyata yang ditampikan seseorang yang dapat teramati secara langsung maupun tidak langsung.Perilaku keselamatan kerja adalah tindakan atau kegiatan yang berhubungan dengan faktor-faktor keselamatan kerja.Faktor iklim keselamatan lebih berpengaruh terhadap perilaku keselamatan jika dibandingkan dengan pengalaman pekerja. Diperlukan strategi gabungan antara iklim keselamatan dan pengalaman kerja untuk meningkatkan perilaku keselamatan secara maksimal guna mencapai total budaya keselamatan(www.healtsafetyprotection.com). Behavioral safety adalah suatu pendekatan sistimatis dalam penelitian psikologi tentang perilaku manusia di dalam lingkungan kerja.Safety behavior memfokuskan pada identifikasi dari unsafe behavior. Menurut Miner dalam Lisnandhita (2014:24), unsafe behavior adalah tipe perilaku yang mengarah pada kecelakaan seperti bekerja tanpa menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa ijin, menyingkirkan peralatan keselamatan, operasi pekerjaan pada kecepatan yang berbahaya, menggunakan peralatan tidak standar, bertindak kasar, kurang pengetahuan, cacat tubuh atau keadaan emosi yang terganggu. Program behavioral based safety antara lain: membudayakan keselamatan kerja sebagai komitmen dari top manajemen, memberikan pelatihan kepada pemimpin di seluruh jajaran untuk menjadi penyebar perubahan perilaku keselamatan kerja, melakukan observasi di tempat kerja, melakukan tindakan perbaikan, memproses reaksi dari para individu, mengumpulkan data dan laporan dasar, menganalisa laporan dan rekomendasi, dan mengevaluasi (Sentral sistem consulting, 2012). Tujuan praktis dari penelaahan studi perilaku organisasi adalah untuk mendeterminasi
bagaimanakah
perilaku
manusia
itu
mempengaruhi
usaha
pencapaian tujuan-tujuan organisasi.Agar perilaku manusia membentuk perilaku organisasi yang sesuai dengan tujuan organisasi, maka diperlukan sebuah sistem yang mencakup seluruh kegiatan di perusahaan. Salah satu cara untuk mencapai hal tersebut dalam hal mencapai keselamatan kerja dalam organisasi adalah dengan penerapan sistem manajemen K3 di perusahaan yang dapat membentuk pekerja yang produktif, sehat, dan berkualitas. Beberapa Negara sudah mengembangkan Sistem Manajemen K3 (SMK3) sendiri, salah satunya adalah Indonesia. Hal ini menunjukan adanya perhatian yang kuat dari negara-negara tersebut terhadap K3. Kebanyakan
27
sistem yang diterapkan dibuat dalam bentuk undang-undang atau ketetapan menteri. Di Indonesia, peraturan tentang K3 dibuat oleh menteri tenaga kerja dan transmigrasi, aturannya sendiri berdasarkan Permenaker 05/MEN/1996. Prinsip dasar dari sistem manajemen ini adalah penerapan pengaturan undang-undang dan pengawasan serta perlindungan para buruh. Tujuan dari sistem manajemen K3 adalah sebagai alat untuk mencapai derajat tertinggi kesehatan tenaga kerja, sebagai upaya untuk mencegah dan memberantas penyakit dan kecelakaankecelakaan akibat kerja, meningkatkan efisiensi dan produktivitas tenaga manusia, menghilangkan kelelahan kerja, meningkatkan kepuasan kerja serta memberikan perlindungan bagi masyarakat di sekitar perusahaan dari bahaya polusi. Manfaat penerapan SMK3 adalah perlindungan karyawan, memperlihatkan kepatuhan pada peraturan dan undang-undang, mengurangi biaya, membuat sistem manajemen yang efektif, meningkatkan kepercayaan pelanggan. Penerapan K3 yang baik dan terarah dalam suatu wadah industri akan memberikan dampak baik, salah satunya adalah sumber daya manusia yang berkualitas (Suardi, 2007).
2.2 Penelitian Terdahulu Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu NO 1
Judul
Pengarang
Tujuan
Hasil
Leadership and employees’ perceived safety behaviours in a nuclear power plant: A structural equation model
Mario MartinezCorcoles, Francisco Gracia, Ines Tomas, Jose M. Peiro (2011)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perilaku pemimpinan mempengaruhi perilaku keselamatan kerja dengan mempertimbangkan beberapa faktor yaitu budaya keselamatan dan iklim keselamatan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketika budaya keselamatan kuat, perilaku pemimpin akan menghasilkan iklim keselamatan yang tinggi di antara anggota dan memprediksi perilaku keamanan pada pekerja
28
2
Authentic leader, safe work: the influence of leadership on safety performance
Flavia de Souza Costa Neves Cavazotte, Cristiano Jose Pereira Duarte, Anna Maria Calvao Gobbo (2013)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kepemimpinan yang autentik terhadap perilaku keselamatan kerja
Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat pengaruh kepemimpinan yang autentik terhadap perilaku keselamatan kerja. Dimana kepemimpinan menjadi rute untuk mempromosikan perilaku yang aman bagi pengikut mereka.
3
Safety Culture in Combating Occupational Safety and Health Problems in the Malaysian Manufacturing Sectors
Noor Aina Amirah, Wan Izatul Asma, Mohd Shaladdin Muda, Wan Abd Aziz Wan Mohd Amin (2013)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh budaya keselamatan kerja terhadap perilaku keselamatan kerja
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh budaya keselamatan kerja terhadap perilaku keselamatan kerja. Masalah menunjukkan bahwa perilaku keselamatan kerja dan kepatuhan terhadap OSHA akan menyebabkan keselamatan positif, budaya yang pada gilirannya akan menyebabkan pengurangan kecelakaan
4
Examining Safety Behaviour With the Safety Climate and the Theory of Planned Behaviour
Ceren AVCI and Ali YAYLI (2014)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh iklim keselamatan kerja terhadap perilaku keselamatan kerja
Hasil penelitian mengungkapkan bahwaiklimkeselamatan, dan normanormakeselamatanrekan kerjamemilikiefek langsungdan tidak langsungpada perilakukeselamatan
Sumber : Penulis
29
2.3 Kerangka Pemikiran Penelitian ini diawali dengan menuliskan latar belakang penelitian lalu membatasi masalah yang ada dan merumuskannya kebeberapa masalah yang akan dijadikan tujuan dari penelitian. Setelah menemukan tujuan penelitian, selanjutnya, mencari dan mengumpulkan informasi berupa teori dan fakta-fakta atau bukti-bukti yang terkait dengan variabel yang diteliti, yaitu variabel kepemimpinan, budaya keselamatan kerja, iklim keselamatan kerja,dan perilaku keselamatan kerja agar landasan penelitian ini semakin kuat. Langkah berikutnya adalah pengumpulan data yang dilakukan dengan wawancara dan penyebaran kuesioner pada karyawan perusahaan.
Budaya Keselamatan Kerja
Perilaku Keselamatan Kerja
Kepemimpinan
Iklim Keselamatan Kerja Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Sumber : Peneliti
30
2.4 Hipotesis Berdasarkan masalah yang diajukan dalam penelitan ini, maka hipotesis sementara yang dapat disimpulkan dipenelitian ini yaitu:
1. Hipotesis pengujian antara Kepemimpinan terhadap Perilaku Keselamatan Kerja pada PT. SUTRA MANDIRI. Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara kepemimpinan terahadap Perilaku keselamatan kerja Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap Perilaku Keselamatan Kerja
2. Hipotesis pengujian antara Kepemimpinan terhadap Budaya Keselamatan Kerja pada PT. SUTRA MANDIRI. Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap Budaya Keselamatan Kerja Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinanterhadap Budaya Keselamtan Kerja
3. Hipotesis pengujian antara Kepemimpinan terhadap Iklim Keselamatan Kerja pada PT. SUTRA MANDIRI. Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap Iklim Keselamtan Kerja Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap Iklim Keselamatan Kerja
4. Hipotesis pengujian antara Budaya Keselamatan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja pada PT. SUTRA MANDIRI. Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara Budaya Keselamatan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Budaya Keselamatan Kerjaterhadap Perilaku Keselamtan Kerja
31
5. Hipotesis pengujian antara Iklim Keselamatan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja pada PT. SUTRA MANDIRI. Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara Iklim Keselamatan Kerja terhadap Perilaku Keselamatan Kerja Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Iklim Keselamatan Kerjaterhadap Perilaku Keselamtan Kerja
6. Hipotesis pengujian antara Kepemimpinan terhadapBudaya Keselamatan Kerjadan dampaknya terhadap perilaku keselamatan kerja pada PT. SUTRA MANDIRI. Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap Budaya Keselamtan Kerja dan dampaknya terhadap Perilaku Keselamatan Kerja Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap Budaya Keselamatan Kerja dan dampaknya terhadap Perilaku Keselamatan Kerja
7. Hipotesis pengujian antara Kepemimpinan terhadapIklim Keselamatan Kerja dan dampaknya terhadap Perilaku Keselamatan Kerja pada PT. SUTRA MANDIRI. Ho: tidak ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadap Iklim Keselamtan Kerja dan dampaknya terhadap Perilaku Keselamatan Kerja Ha: ada pengaruh yang signifikan antara Kepemimpinan terhadapIklim Keselamatan Kerja dan dampaknya terhadap Perilaku Keselamatan Kerja
32