BAB II KAJIAN TEORI PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1
Kajian Teori Pustaka
2.1.1 Kepatuhan Wajib Pajak 2.1.1.1 Pengertian Kepatuhan Definisi kepatuhan perpajakan menurut James yang dikutip oleh Gunadi (2005, 5) menyatakan bahwa : “Kepatuhan pajak (tax compliance) berarti bahwa wajib pajak mempunyai kesediaan untuk memenuhi kewajiban pajaknya sesuai aturan yang berlaku tanpa perlu diadakan pemeriksaan, investigasi seksama (obtrusive investigasi) peringatan, ataupun ancaman dan penerapan sanksi baik hukum maupun administrasi.” Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela merupakan tulang punggung self assessment system, dimana Wajib Pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakannya dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar serta melaporkan pajaknya tersebut. Menurut Safri Nurmantu (2003, 86), terdapat dua macam kepatuhan yaitu kepatuhan material dan kepatuhan formal. Kepatuhan material adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak secara substantif /hakekat memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa undang-undang perpajakan. Sedangkan yang dimaksud kepatuhan formal adalah suatu keadaan dimana Wajib Pajak memenuhi kewajiban perpajakan secara formal sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
9
10
perpajakan. Kewajiban perpajakan formal diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2.1.1.2 Pengertian Wajib Pajak Pengertian Wajib Pajak termuat dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu : Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak yang terdaftar di Kantor Pelayanan Pajak ada 2 jenis, yaitu Wajib Pajak Orang Pribadi dan Wajib Pajak Badan. Wajib Pajak mempunyai nomor identitas berupa NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) sebagai penanda dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di bidang perpajakan.
2.1.1.3 Kriteria Kepatuhan Wajib Pajak Kepatuhan perpajakan yang dikemukakan oleh Norman D. Nowak sebagai ”suatu iklim” kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajiban perpajakan tercermin dalam situasi (Devano, 2006:110) sebagai berikut : a.”Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan. b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya.”
11
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/PMK.03/2007, wajib pajak dimasukkan dalam kategori wajib pajak patuh apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : a. tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan; b. tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua jenis pajak, kecuali tunggakan pajak yang telah memperoleh izin mengangsur atau menunda pembayaran pajak; c. Laporan Keuangan diaudit oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian selama 3 (tiga) tahun berturut-turut; dan d. tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terakhir. Kepatuhan Wajib Pajak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kepatuhan Wajib Pajak Badan dalam membayar PPh Pasal 25 dan melaporkan SPT Masa sesuai dengan peraturan perpajakan yang berlaku. Didalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Pasal 9 ayat 1 disebutkan bahwa : “Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.” Sedangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007 disebutkan bahwa penyampaian SPT Masa paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
12
2.1.2 Hasil Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak 2.1.2.1 Pengertian Pemeriksaan Pajak Di dalam Pasal 29 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa : “Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Pemeriksaan pajak merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak kepada Wajib Pajak sebagai bagian dari sistem perpajakan di Indonesia yang menganut self assessment system. Di dalam Pasal 1 ayat 25 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa : “Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Dalam sistem self assessment yang diterapkan di Indonesia, pemeriksaan pajak merupakan pilar dari penegakan hukum (law enforcement). Tujuan pemeriksaan pajak adalah untuk menguji kepatuhan wajib pajak dan bukan untuk menetapkan besarnya pajak terutang, akan tetapi Surat Ketetapan Pajak dapat timbul akibat dari pelaksanaan pemeriksaan pajak (Gunadi, 2002). Hasil pemeriksaan diharapkan memberikan deterrent effect kepada Wajib Pajak sehingga kepatuhan di dalam pemenuhan kewajiban perpajakan menjadi lebih baik ditahun-tahun mendatang. Pemeriksaan pajak merupakan instrumen yang baik untuk meningkatkan tingkat kepatuhan Wajib Pajak, baik secara formal maupun material dari peraturan perpajakan,
13
yang tujuan utamanya adalah untuk menguji dan meningkatkan tax compliance seorang Wajib Pajak (Diaz Priatara, 2000;24). Karena jumlah Wajib Pajak jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pemeriksa pajak, maka tidak mungkin pemeriksaan dilakukan kepada semua Wajib Pajak. Oleh karena itu, prioritas pemeriksaan lebih diutamakan pada Wajib Pajak dengan resiko tinggi melakukan penggelapan pajak.
2.1.2.2 Jenis-Jenis Pemeriksaan Pajak Menurut SE-03/PJ.7/2001 jenis-jenis pemeriksaan pajak terdiri dari : 1. “Pemeriksaan Rutin, yaitu pemeriksaan yang bersifat rutin dilakukan terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya. 2. Pemeriksaan Kriteria Seleksi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terhadap Wajib Pajak tertentu berdasar skor otomatis secara komputerisasi. 3. Pemeriksaan Khusus, yaitu pemeriksaan yang dilakukan terutama terhadap Wajib Pajak sehubungan dengan adanya keterangan atau masalah yang berkaitan dengannya. 4. Pemeriksaan Wajib Pajak Lokasi, yaitu pemeriksaan yang dilakukan atas cabang, perwakilan, pabrik dan atau tempat usaha dari Wajib Pajak Domisili. 5. Pemeriksaan Tahun Berjalan, yaitu pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang dilakukan dalam Tahun berjalan untuk jenis-jenis pajak tertentu atau seluruh jenis Pajak (all taxes) dan untuk mengumpulkan data atau keterangan atas kewajiban pajak lainnya. 6. Pemeriksaan Bukti Permulaan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan. 7. Pemeriksaan Lapangan, yaitu pemeriksaan yang dilakukan di tempat Wajib Pajak seperti kantor, pabrik, tempat usaha, tempat tinggal atau tempat lain yang diduga ada kaitannya dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. 8. Pemeriksaan Kantor yaitu pemeriksaan yang dilakukan di Kantor Direktorat Jenderal Pajak 9. Pemeriksaaan Terintegrasi, yaitu pemeriksaaan yang dilaksanakan dengan pertukaran data dan informasi dari para Wajib Pajak terperiksa yang terdapat hubungan yang terintegrasi seperti Wajib Pajak Domisili dengan Wajib Pajak Lokasi atau dari Wajib Pajak-Wajib Pajak terperiksa yang ada hubungan usaha dan finansial.”
14
2.1.2.3 Tujuan dan Sasaran Pemeriksaan Pajak Dalam Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 199/PMK.03/ 2007 tanggal 28 Desember 2007 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, diuraikan bahwa tujuan dari pemeriksaan pajak adalah untuk memperoleh bahan-bahan yang dijadikan dasar untuk : 1. “Menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan, dan pembinaan kepada Wajib Pajak. Ini dapat dilakukan dalam hal : a. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan lebih bayar, termasuk yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak; b. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang menyatakan rugi; c. tidak menyampaikan atau menyampaikan Surat Pemberitahuan tetapi melampaui jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Teguran; d. melakukan penggabungan, peleburan, pemekaran, likuidasi, pembubaran, atau akan meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya; atau e. menyampaikan Surat Pemberitahuan yang memenuhi kriteria seleksi berdasarkan hasil analisis risiko (risk based selection) mengindikasikan adanya kewajiban perpajakan Wajib Pajak yang tidak dipenuhi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 2. Tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan. Ini dapat dilakukan dalam hal : a. Pemberian Nomor Pokok Wajib Pajak secara jabatan b. Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak c. Pengukuhan atau pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak d. Wajib Pajak mengajukan keberatan e. Pengumpulan bahan guna penyusunan Norma Penghitungan Penghasilan Neto f. Pencocokan data dan atau alat keterangan g. Penentuan Wajib Pajak berlokasi di daerah terpencil h. Penentuan satu atau lebih tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai i. Pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan untuk tujuan lain selain huruf a sampai dengan huruf h.” Sedangkan sasaran pemeriksaan pajak menurut Mardiasmo (2002:36-37) adalah untuk mencari adanya : 1. “Interpretasi Undang-Undang yang tidak benar 2. Kesalahan hitung 3. Penggelapan secara khusus dari penghasilan
15
4. Pemotongan dan pengurangan tidak sesungguhnya, yang dilakukan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.”
2.1.2.4 Ruang Lingkup Pemeriksaan Pajak Ruang lingkup pemeriksaan pajak menurut Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 123/PMK.03/2006 tanggal 7 Desember 2006 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 545/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, terdiri dari : 1. “Pemeriksaan Lapangan yang meliputi suatu jenis pajak, beberapa jenis pajak atau seluruh jenis pajak, untuk tahun berjalan dan/atau tahun-tahun sebelumnya dan/atau untuk tujuan lain yang dilakukan di tempat Wajib Pajak dan di kantor Direktorat Jenderal Pajak; 2. Pemeriksaan Kantor yang meliputi suatu jenis pajak tertentu baik tahun berjalan dan/atau tahun-tahun sebelumnya yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.”
2.1.2.5 Norma Pemeriksaan Pajak Menurut Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 199/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 545/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, bahwa pemeriksaan pajak dilakukan harus berpedoman pada norma pemeriksaan tertentu yang berkaitan dengan pemeriksaan pajak. 1. Norma Pemeriksaan yang berkaitan dengan Pelaksanaan Pemeriksaan adalah sebagaimana di atur dalam Pasal 8 adalah sebagai berikut: a. “pelaksanaan Pemeriksaan harus didahului dengan persiapan yang baik, sesuai dengan tujuan Pemeriksaan, dan mendapat pengawasan yang seksama; b. luas Pemeriksaan (audit scope) ditentukan berdasarkan petunjuk yang diperoleh yang harus dikembangkan melalui pencocokan data, pengamatan,
16
c. d. e.
f. g. h. i. j.
permintaan keterangan, konfirmasi, teknik sampling, dan pengujian lainnya berkenaan dengan Pemeriksaan; temuan Pemeriksaan harus didasarkan pada bukti kompeten yang cukup dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; Pemeriksaan dilakukan oleh suatu tim Pemeriksa Pajak yang terdiri dari seorang supervisor, seorang ketua tim seorang atau lebih anggota tim; Tim Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dapat dibantu oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian tertentu yang bukan merupakan Pemeriksa Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), baik yang berasal dari Direktorat Jenderal Pajak maupun yang berasal dari instansi di luar Direktorat Jenderal Pajak yang telah ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak sebagai tenaga ahli seperti peterjemah bahasa, ahli di bidang teknologi informasi, dan pengacara; Apabila diperlukan, Pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dapat dilakukan secara bersama-sama dengan tim pemeriksa dari instansi lain; Pemeriksaan dapat dilaksanakan di kantor Direktorat Jenderal Pajak, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak, tempat tinggal Wajib Pajak, atau ditempat lain yang dianggap perlu oleh pemeriksa Pajak; Pemeriksaan dilaksanakan pada jam kerja dan apabila diperlukan dapat dilanjutkan di luar jam kerja; pelaksanaan Pemeriksaan didokumentasikan dalam bentuk Kertas Kerja Pemeriksaan; Laporan Hasil Pemeriksaan digunakan sebagai dasar penerbitan surat ketetapan pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak.”
2. Norma Pemeriksaan yang berkaitan dengan Pemeriksa Pajak dalam rangka Pemeriksaan Lapangan sebagaimana di atur dalam Pasal 11 adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. f.
“menyampaikan pemberitahuan secara tertulis tentang akan dilakukan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu melakukan Pemeriksaan; menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan; menyampaikan Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; memberikan hak hadir kepada Wajib Pajak dalam rangka Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan dalam batas waktu yang telah ditentukan;
17
g. h. i.
melakukan pembinaan kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan, dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan; dan merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.”
3. Norma Pemeriksaan yang berkaitan dengan Pemeriksa Pajak dalam rangka Pemeriksaan Kantor sebagaimana di atur dalam Pasal 11 adalah sebagai berikut: a. “memperlihatkan Tanda Pengenal Pemeriksa Pajak dan Surat Perintah Pemeriksaan kepada Wajib Pajak pada waktu Pemeriksaan; b. menjelaskan alasan dan tujuan Pemeriksaan kepada Wajib Pajak yang akan diperiksa; c. memperlihatkan Surat Tugas kepada Wajib Pajak apabila susunan tim Pemeriksa Pajak mengalami perubahan; d. memberitahukan secara tertulis hasil Pemeriksaan kepada Wajib Pajak; e. melakukan Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan apabila Wajib Pajak hadir dalam batas waktu yang telah ditentukan; f. memberi petunjuk kepada Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya agar pemenuhan kewajiban perpajakan dalam tahun-tahun selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan; g. mengembalikan buku atau catatan, dokumen yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lainnya yang dipinjam dari Wajib Pajak paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan; dan h. merahasiakan kepada pihak lain yang tidak berhak segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka Pemeriksaan.”
2.1.2.6 Jangka Waktu Penyelesaian Pemeriksaan Menurut Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 199/PMK.03/2007 tanggal 28 Desember 2007 Tentang Perubahan Atas Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 545/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, jangka waktu penyelesaian pemeriksaan ditetapkan sebagai berikut:
18
a. “Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 6 (enam) bulan yang dihitung sejak tanggal Wajib Pajak datang memenuhi surat panggilan dalam rangka Pemeriksaan Kantor sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. b. Pemeriksaan Lapangan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) bulan dan dapat diperpanjang menjadi paling lama 8 (delapan) bulan yang dihitung sejak tanggal Surat Perintah Pemeriksaan sampai dengan tanggal Laporan Hasil Pemeriksaan. c. Apabila dalam Pemeriksaan Lapangan ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa transaksi keuangan yang memerlukan pengujian yang lebih mendalam serta memerlukan waktu yang lebih lama, Pemeriksaan Lapangan dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. d. Dalam hal Pemeriksaan dilakukan berdasarkan kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2), jangka waktu Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak.” Dalam rangka pelaksanaan pengawasan atas waktu penyelesaian pemeriksaan, Kepala Unit Pelaksana Pemeriksaan Pajak (Ka UP3) harus melaporkan Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Pajak yang telah diterima oleh Wajib Pajak dan Surat Panggilan yang telah dikirim ke Wajib Pajak kepada Ka Kanwil DJP atasannya. Daftar dibuat setiap bulan dan dikirimkan kepada Ka Kanwil DIP atasannya paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2.1.2.7 Hasil Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak Pelaksanaan
pemeriksaan
pajak
dalam penelitian
ini
adalah
kegiatan
menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan hasil dari pelaksanaan pemeriksaan pajak adalah diterbitkannya Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh Kantor Pelayanan Pajak.
19
Pelaksanaan pemeriksaan pajak dalam penelitian ini didefinisikan sebagai jumlah SKP (SKPLB, SKPKB, SKPN dan SKPKBT) yang diterbitkan setiap bulan oleh KPP Pratama Bandung Bojonagara. Fungsi dari SKP adalah sebagai koreksi jumlah pajak yang terutang menurut SPT yang dilaporkan oleh Wajib Pajak, sebagai sarana untuk mengenakan sanksi, sebagai sarana untuk menagih pajak dan sebagai sarana untuk memberitahukan jumlah pajak yang terutang. Selain itu jika dari hasil pemeriksaan ternyata Wajib Pajak mengalami Lebih Bayar maka SKP yang diterbitkan dapat digunakan sebagai sarana untuk mengembalikan kelebihan pajak yang telah dibayar oleh Wajib Pajak. Pelaksanaan pemeriksaan pajak diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah Pemeriksaan Pajak oleh pejabat yang berwenang dan berakhir dengan disetujuinya Laporan Pemeriksaan Pajak. Laporan Pemeriksaan Pajak disusun secara ringkas dan jelas, memuat ruang lingkup sesuai dengan tujuan pemeriksaan, memuat kesimpulan pemeriksa pajak yang didukung temuan yang kuat tentang ada tidaknya penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan, dan memuat pula pengungkapan informasi lain yang terkait. Penghitungan besarnya pajak terutang menurut Laporan Pemeriksaan Pajak diberitahukan kepada Wajib Pajak, kecuali jika pemeriksaan akan dilanjutkan dengan tindakan penyidikan. Wajib Pajak harus menyampaikan tanggapan secara tertulis atas pemberitahuan hasil pemeriksaan. Berdasarkan tanggapan tersebut, Pemeriksa Pajak mengundang Wajib Pajak untuk menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (Closing Conference). Apabila wajib Pajak tidak memberikan tanggapan dan atau tidak
20
menghadiri Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan, Surat Ketetapan Pajak (SKP) diterbitkan secara jabatan berdasarkan hasil pemeriksaan yang disampaikan kepada Wajib Pajak. Menurut Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan meliputi : 1. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) “Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.” SKPKB dapat diterbitkan apabila : -
Jumlah pajak yang terutang tidak atau kurang dibayar berdasarkan hasil pemeriksaan pajak.
-
SPT tidak disampaikan tepat waktu, setelah ditegur secara tertulis tidak juga disampaikan dalam waktu menurut surat teguran.
-
Kewajiban menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan tidak dipenuhi, sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak terutang.
Fungsi SKPKB antara lain : -
Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak
-
Sebagai sarana untuk mengenakan sanksi di bidang perpajakan
-
Sebagai alat untuk menagih hutang pajak
21
2. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) "Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.” SKPKBT dapat diterbitkan apabila : -
Berdasarkan data baru dan atau data yang semula belum terungkap menyebabkan penambahan pajak yang terutang dalam surat ketetapan pajak sebelumnya.
-
Ditemukan lagi data yang semula belum terungkap pada saat penerbitan SKPKBT. Dengan demikian SKPKBT dapat diterbitkan lebih dari satu kali.
Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 10 tahun sesudah saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak atau Tahun Pajak. 3. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB) “Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPKLB) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau seharusnya tidak terutang.” SKPLB dapat diterbitkan apabila : -
Untuk pajak penghasilan orang pribadi atau badan, jumlah kredit pajak yang telah dibayarkan lebih besar dari jumlah pajak yang terutang
-
Untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN), jumlah Pajak Masukan yang telah dibayarkan lebih besar dari jumlah Pajak Keluaran yang terutang
22
4. Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) “Surat Ketetapan Pajak Nihil (SKPN) adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.”
2.1.3 Penerimaan Pajak Penghasilan Badan 2.1.3.1 Pengertian Penerimaan Penerimaan berasal dari kata terima yang berarti mendapat (memperoleh sesuatu), sedangkan penerimaan berarti perbuatan menerima. Maka dapat disimpulkan bahwa penerimaan pajak merupakan jumlah kontribusi masyarakat (yang dipungut berdasarkan undang-undang) yang diterima oleh negara dalam suatu masa yang akan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penerimaan pajak yang dimaksud dalam penelitian ini adalah penerimaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Bojonagara yang bersumber dari pajak yang dikenakan terhadap Wajib Pajak Badan berkenaan dengan penghasilan yang diperolehnya selama satu tahun pajak.
2.1.3.2 Pengertian Pajak Pengertian pajak menurut Undang-Undang Pasal 1 ayat 1 Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yaitu : “Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
23
Menurut Soeparman yang dikutip oleh R. Santoso Brotodihardjo (2002; 6) pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1. “Pajak dipungut berdasarkan kekuatan Undang-Undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditujukan adanya kontraprestasi oleh pemerintah 3. Pajak di pungut oleh negara 4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk Public Invesment 5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan yang tidak budgeter, yaitu mengatur.”
2.1.3.2.1 Fungsi Pajak Dalam kaitannya dengan pembangunan dan kesejahteraan, pajak memiliki fungsi yang dapat dipakai untuk menunjang tercapainya suatu masyarakat yang adil dan makmur secara merata. Fungsi-fungsi pajak menurut Waluyo dan Wirawan B.Ilyas (2005, 6) adalah sebagai berikut: 1. “Fungsi Penerimaan (Fungsi Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah. Sebagai contoh yaitu dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur (Fungsi Regulerend) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap barang mewah.”
2.1.3.2.2 Jenis-Jenis Pajak Menurut Mardiasmo (2001; 6-7), pajak dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu : 1. “Menurut golongannya :
24
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: pajak penghasilan b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: PPN 2. Menurut sifatnya : a. Pajak subjektif, yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. b. Pajak objektif, yaitu tanpa memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh : PPN 3. Menurut lembaga pemungutnya : a. Pajak pusat, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai anggaran rumah tangga negara. Contoh : PPN, PPh, PPnBM, Bea Meterai, PBB b. Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai anggaran rumah tangga daerah. Contoh : Pajak hotel, Pajak restoran”
2.1.3.2.3 Surat Pemberitahuan (SPT) Menurut Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud dengan : “Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Kantor Pelayanan Pajak tidak wajib untuk menentukan besarnya jumlah pajak yang terhutang, tetapi mempunyai wewenang untuk menerbitkan surat ketetapan pajak apabila ternyata data atau perhitungan yang diberitahukan dalam surat pemberitahuan tidak benar atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Fungsi surat pemberitahuan menurut Mardiasmo (2001, 20) adalah sebagai berikut :
25
1. “Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terhutang 2. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan atau pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak atau bagian tahun pajak 3. Untuk melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan orang pribadi atau badan lain dalam satu masa pajak, yang telah ditentukan oleh peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku.” Selanjutnya mengenai jenis surat pemberitahuan sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 1 angka 12 dan 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, menyatakan jenis-jenis SPT yaitu : 1. “Surat Pemberitahuan Masa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Masa Pajak 2. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.” Menurut Pasal 3 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, batas waktu penyampaian SPT adalah sebagai berikut : 1. “Untuk Surat Pemberitahuan Masa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir Masa Pajak. 2. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak. 3. Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun Pajak.” Menurut Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, sanksi terlambat atau tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan adalah sebagai berikut : a.
“Untuk Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar Rp500.000,00 (lima ratus ribu rupiah)
26
b. c. d.
Untuk Surat Pemberitahuan Masa lainnya Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak badan sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) Untuk Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi sebesar Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah).”
2.1.3.2.4 Surat Tagihan Pajak (STP) Menurut Pasal 1 angka 20 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud dengan Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda. Apabila Wajib Pajak tidak atau belum melunasi kewajiban pajaknya maka dapat diterbitkan surat tagihan pajak dan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda administrasi. Menurut Pasal 14 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, surat tagihan pajak dapat dikeluarkan apabila : a. “Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar. b. Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan/atau salah hitung. c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan/atau bunga d. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak, tetapi tidak tepat waktu e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, selain: 1. identitas pembeli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya; atau
27
2. identitas pembeli serta nama dan tandatangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahan dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak pedagang eceran f. Pengusaha Kena Pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan faktur pajak g. Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (6a) Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.” Menurut Mardiasmo (2000, 33) fungsi surat tagihan pajak adalah : 1. “Sebagai koreksi atas jumlah pajak yang terutang menurut SPT Wajib Pajak 2. Sarana untuk mengenakan sanksi administrasi berupa bunga atau denda 3. Alat untuk menagih pajak.”
2.1.3.2.5 Surat Setoran Pajak (SSP) Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan, yang dimaksud dengan : “Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan” Surat setoran pajak mempunyai beberapa bentuk yang telah ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Terdapat banyak macam formulir yang masing-masing diberi kode sendiri-sendiri, seperti : a) Untuk setoran pajak penghasilan tahunan (Ps.29 PPh) selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga pada suatu tahun pajak (KP.U.7) b) Untuk setoran pajak yang dipotong oleh pemberi kerja selambat-lambatnya 10 hari setelah terhutangnya pajak (KP.U.7)
28
c) Untuk setoran pajak yang dipotong berdasarkan Ps. 23 dan 26 UU PPh, selambat-lambatnya 10 hari setelah terhutangnya pajak (KP.U.7) d) Untuk setoran pajak penghasilan bulanan selama tahun pajak berjalan berdasarkan ketentuan Ps. 25 UU PPh, selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya, digunakan kode KP.U.7 e) Untuk setoran PPN, PPnBM, Bea Meterai, bea lelang dan pajak tidak langsung lainnya digunakan formulir dengan kode KP.U.BA juga dibuat dalam rangkap empat (4)
2.1.3.3 Pajak Penghasilan Pengertian penghasilan menurut Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan yaitu : “Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun.” Dasar hukum pengenaan pajak penghasilan adalah UU No. 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 36 Tahun 2007. Pajak penghasilan digolongkan sebagai pajak langsung, dimana beban pajak tersebut ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan dan tidak dapat dibebankan kepada orang lain. Menurut sifatnya, pajak penghasilan digolongkan dalam pajak subjektif yaitu dalam pengenaan pajak penghasilan didasarkan pada subjeknya, jika tidak ada subjek pajaknya maka tidak dapat dikenakan pajak penghasilan.
29
2.1.3.4 Pajak Penghasilan (PPh) Badan Pajak Penghasilan Badan adalah pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak Badan dalam suatu Tahun Pajak. Sistem perpajakan di Indonesia menganut prinsip convinience to pay, yang berarti bahwa Wajib Pajak diharapkan membayar pada saat yang paling menguntungkan bagi dirinya. Salah satu contohnya adalah pembayaran pajak dengan cara membayar angsuran setiap bulan. Dengan adanya pembayaran angsuran pajak maka Wajib Pajak lebih ringan bebannya dalam membayar beban pajak pada akhir tahun pajak dan bagi pemerintah merupakan pemasukan untuk penerimaan negara. Pembayaran angsuran pajak dalam tahun berjalan dikenal dengan nama Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25. Menurut Pasal 25 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, PPh Pasal 25 merupakan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar pajak penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu, dikurangi dengan : -
Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dan Pasal 23 serta Pajak Penghasilan yang dipungut sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22; dan
-
Pajak Penghasilan yang dibayar atau yang terutang di luar negeri yang boleh dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24;
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
30
Pajak Penghasilan Pasal 25 harus dibayarkan/disetor selambat-lambatnya tanggal lima belas bulan takwim setelah masa pajak berakhir dan Wajib Pajak harus menyampaikan/melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa selambat-lambatnya dua puluh hari setelah masa pajak berakhir.
2.2
Kerangka Pemikiran dan Hipotesis Menurut Rachmat Soemitro yang dikutip oleh Siti Resmi (2005; 1) : “Pajak merupakan iuran rakyat kepada Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontraprestasi) secara langsung dapat ditunjukkan, dan yang digunakan untuk pengeluaran umum.”
Oleh sebab itu penerimaan negara dari sektor pajak sangat diharapkan eksistensinya untuk membiayai seluruh kebutuhan dalam rangka pembangunan nasional. Pajak yang berlaku di Indonesia khususnya Pajak Pusat terdiri atas Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penjualan Barang Mewah, dan Bea Meterai merupakan sumber penerimaan negara yang dapat diandalkan dalam pembiayaan pengeluaran negara. Dari berbagai macam jenis Pajak Pusat diantaranya adalah Pajak Penghasilan yang terdiri atas Pajak Penghasilan Orang Pribadi dan Badan. Pengertian Orang Pribadi dan Badan menurut Waluyo (2005; 58) adalah sebagai berikut : 1. “Orang Pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia. 2. Badan merupakan sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan satu kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha.”
31
Tingkat kepatuhan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakannya menurut Erly Suandy (2003;103) dapat dilihat atas indikator : 1. “Patuh terhadap kewajiban intern, yakni dalam pembayaran/pelaporan SPT Masa setiap bulan 2. Patuh terhadap kewajiban tahunan, yakni dalam menghitung pajak atas dasar self assessment system, melaporkan perhitungan pajak dalam SPT pada akhir tahun pajak serta melunasi hutang pajak 3. Patuh terhadap ketentuan material dan yuridis formal perpajakan melalui pembukuan sebagaimana mestinya.” Kesadaran dan kepatuhan membayar pajak tergantung kepada masalah-masalah teknis menyangkut metode pemeriksaan dan perhitungan pajak sebagai perwujudan pelaksanaan undang-undang pajak, di samping itu juga tergantung kepada hati sanubari Wajib Pajak sampai sejauh mana Wajib Pajak tersebut mematuhi undang-undang pajak. Sistem perpajakan yang berlaku di Indonesia pada saat ini adalah self assessment system, dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan oleh undang-undang untuk menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dengan demikian Wajib Pajak harus aktif dalam menghitung dan melaporkan jumlah pajak terutangnya tanpa campur tangan fiskus. Sistem ini diberlakukan untuk memberi kepercayaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat guna meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dalam menyetorkan pajaknya. “Sistem pemungutan pajak suatu negara apakah menganut self assessment system atau official assessment system akan sangat berpengaruh terhadap optimalisasi pemasukan dana ke kas negara” (Safri Nurmantu, 2003:108). Tercapainya penerimaan pajak suatu negara tergantung pada berhasil atau tidaknya sistem pemungutan pajak
32
yang diberlakukan di suatu negara. Dalam pelaksanaan self assessment system Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk memenuhi dan melaksanakan sendiri kewajiban perpajakannya dan peran aktif Wajib Pajak turut menentukan tercapainya rencana penerimaan pajak. Dalam pelaksanaan self assessment system ternyata tidak selamanya berjalan sesuai dengan yang diharapkan, pada prakteknya sering kali muncul permasalahan, di antaranya adalah kecurangan, kelalaian serta perlawanan-perlawanan dari Wajib Pajak itu sendiri. Rimsky K. Judisseno (2004;8) mengemukakan dua jenis perlawanan yang dilakukan Wajib Pajak sebagai berikut: 1. “Perlawanan pasif merupakan produk dari ketidaktahuan dari masyarakat terhadap pengetahuan perpajakan. Masyarakat secara tidak sadar sudah melakukan perlawanan dalam bentuk tidak membayar pajak. Dalam perlawanan pasif tidak terlihat adanya unsur kesengajaan dari masyarakat untuk menghindari pembayaran pajak, bahkan menghambatnya. Mereka tidak tahu tentang untuk apa, bagaimana, kapan dan kepada siapa pajak harus dibayarkan. 2. Perlawanan aktif adalah suatu bentuk perlawanan beresiko tinggi karena dalam perlawanan ini jelas-jelas Wajib Pajak menghindar dari kewajiban perpajakannya bahkan melalaikan serta bermain di dalamnya.” Untuk menghindari adanya kelalaian, kecurangan dan perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh Wajib Pajak tersebut maka perlu dilakukan upaya pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pemeriksa pajak kepada Wajib Pajak sebagai bagian dari sistem perpajakan di Indonesia yang menganut self assessment system. Di dalam Pasal 1 ayat 25 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa : “Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan
33
kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.” Sedangkan ruang lingkup pemeriksaan menurut Erly Suandy (2003;102) terdiri dari : 1. “Pemeriksaan Sederhana Kantor (PSK) Yaitu pemeriksaan sederhana yang dilakukan terhadap Wajib Pajak di kantor Unit Pelaksanaan Pemeriksaan Sederhana, untuk satu jenis pajak tertentu, baik untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya. 2. Pemeriksaan Sederhana lapangan (PSL) Yaitu pemeriksaan sederhana yang dilakukan terhadap Wajib Pajak di lapangan dan di kantor Unit Pelaksanaan Pemeriksaan Sederhana, untuk seluruh jenis pajak (all taxes) atau jenis-jenis pajak tertentu dan atau untuk tujuan lain, baik untuk tahun berjalan dan atau tahun-tahun sebelumnya.” Pemeriksaan dilakukan dalam hal terdapat kelalaian, kecurangan dan perlawanan dari Wajib Pajak terhadap kebenaran Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampaikannya, karena SPT ini merupakan suatu sarana yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang, dan laporan tentang pemenuhan pembayaran pajak yang dilaksanakan sendiri dalam tahun pajak. Berdasarkan kerangka pemikiran tersebut di atas maka penulis dapat menarik kesimpulan dan membuat hipotesis yang sesuai dengan judul penelitian yaitu Pengaruh Kepatuhan Wajib Pajak Dan Hasil Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak Terhadap Penerimaan Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Bandung Bojonagara adalah sebagai berikut : “Jika Kepatuhan Wajib Pajak dan Hasil Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak dilaksanakan dengan baik maka akan berpengaruh terhadap Penerimaan Pajak.”
34
Dari uraian tersebut dapat diikhtisarkan dalam gambar 2-1 berikut ini :
Pembangunan nasional
Sumber penerimaan negara dari sektor pajak
Faktor yang mempengaruhi penerimaan pajak
Kepatuhan Wajib Pajak
Faktor lain
Hasil Pelaksanaan Pemeriksaan Pajak
Penerimaan Pajak Penghasilan Badan …… Tidak diteliti —► Diteliti Gambar 2-1 Skema Kerangka Pemikiran