Ana alisis : Sttimulasi Ke ebijakan Be elanja Transfer ke Daerah dalam Perbaikan ketimpang gan Kondis si Ekonomi Regional ( Pemikiran terhadap Kebijakan Alokasi Tra ansfer ke D Daerah 201 14 )
SE
TJ
EN
D
PR
Belanja transfer ke daerah h terdiri dari d Dana Perimbang gan ( Dan na Alokasi kasi Khusu us, Dana Bagi Hasil) serta Da ana Otonom mi khusus Umum, Dana Alok suaian. Sec cara umum m belanja transfer ke daerah h memiliki dan Dana Penyes enetapkan besaran a alokasinya. Tiap tahu unnya dan na transfer formula dalam me erungannya a selalu me eningkat. kecende
R
I
Landasa an Pemikira an
D
AN
PE L
AK
SA
N
AA
N
AP
BN
–
Grafik 1. Belanja Transfer ke k Daerah
Grafik 2. A Alokasi DA AU
AN G
G
AR
AN
Sum mber : APBN dan Nota Keuangan K 20 009 – 2013,, diolah.
BI
R
O
AN
AL
IS
A
35 50
1.14 311 273.8 2
30 00 25 50 20 00
186
192
225
15 50 10 00 50 5 0
Sumber : APBN dan Nota K Keuangan 20 009 – 2013, diolah.
Grafik 3. Alokasi A DB BH
15 50
108.4
96.7
89.6
01.9 10
D
73..8
EN
50 5
PR
R
I
10 00
BN
–
SE
TJ
0
N
AA
Grafik 4. Alokasi DA AK
N
AP
Sumber : APBN dan Nota K Keuangan 20 009 – 2013, diolah.
AK
SA
40 0
20 0
D
AN
21.1
25.2
26.1
2011
2012
31.6
AR
10 0
24.8
AN
PE L
30 0
AN G
G
0
2009
2010
20 013
IS
A
Keuangan 20 009 – 2013, diolah. Sumber : APBN dan Nota K
BI
R
O
AN
AL
Selama Tahun 20 009-2013 dana tran nsfer pemerintah pu usat ke pemerintah en/kota ma aupun provinsi) rata a-rata men ngalami pe eningkatan daerah (kabupate % Pada tahun 2013 3, hampir s seluruhnya a dari 524 daerah (3 33 provinsi 14,26 %. dan 491 kabupatten/kota ) mendapa atkan kena aikan DAU dari alok kasi tahun d an Pendap patan Dala am Negerii (PDN) y yang menjjadi basis 2012, dikarenaka prosentase DAU mengalam mi peningkatan signiifikan dari Rp273,8T T menjadi 1T. Rp311,1
90,28
41,99
2009
90,64
53,48
2010
89,35
53,58
2011
89,07
2012
88,81
AP
BN
2008
SE
Provinsi
–
Kabupaten/Kota
TJ
Kontribusi (%)
Tahun
D
EN
Tabel 1. Persentase Kontribusi Dana Transfer terhadap Pendapatan Daerah
N
50,67
AA
49,38
AK
SA
N
Sumber : Direktorat EPIKD-DJPK 2013, diolah.
PE L
Permasalahan : Ketimpangan Ekonomi Regional
AL
IS
A
AN G
G
AR
AN
D
AN
Tujuan utama tranfer ke daerah, dalam kebijakan desentralisasi fiskal ( sesuai UU No. 33 Tahun 2004 ) adalah sebagai : (1) kesinambungan kebijakan fiskal (fiscal sustainability) secara makro; (2)mengoreksi ketimpangan vertikal (vertical imbalance) antara Pusat dan Daerah; (3)mengoreksi ketimpangan horisontal (horizontal imbalance) antar daerah; (4)meningkatkan akuntabilitas, efektivitas & efisiensi Pemda; (5)meningkatkan kualitas pelayanan publik; (6)meningkatkan partisipasi masyarakat dlm pembuatan keputusan. Untuk itu instrumen transfer menjadi sangat strategis untuk tujuan meminimumkan ketimpangan fiskal antar daerah, sekaligus memeratakan kemampuan antar daerah (equalization grant).
O
AN
Bagaimanakah impact transfer ke daerah terhadap ketimpangan ekonomi regional setelah lebih dari 10 tahun pelaksanaannya? Beberapa data mengenai kondisi historis ketimpangan ekonomi regional Indonesia, diuraikan sebagai berikut :
BI
R
I R
PR
Dalam kurun waktu 2009-2013 seperti halnya tahun-tahun sebelumnya, masih terlihat bahwa ketergantungan keuangan daerah akan transfer dari pemerintah pusat cukup tinggi. Walau nilainya secara absolut cenderung menurun, namun proporsi dana transfer mendominasi pendapatan daerah. Proporsi dana transfer rata-rata 5 tahun terakhir pada kabupaten/kota mencapai 90% sedangkan di daerah provinsi dominasinya mencapai 53%.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 3
Distribusi Penduduk dan Pendapatan Domestik Regional Bruto Tabel 2. Distribusi Penduduk 1971–2010 (%)
17.7
19.1
20.4
21.3
Jawa
64.7
62.1
60.2
57.5
Bali & Nusa Tenggara
5.6
5.4
5.3
5.5
Kalimantan
4.4
4.6
5.1
5.8
Sulawesi
6.6
7.1
7.0
7.3
Maluku & Papua
0.9
1.8
2.0
SE
TJ
Sumatera
I
2010
R
1990
PR
1980
D
1971
EN
Region : Kepulauan
–
2.6
AP
BN
Sumber : Data BPS 1970- 2011, diolah.
1971
1980
2010
Sumatera
29.0
32.3
25.2
23.0
Jawa
54.5
46.5
56.8
58.8
Bali & Nusa Tenggara
3.4
2.5
2.9
2.8
Kalimantan
5.4
11.3
9.1
9.2
6.0
4.8
4.1
4.6
1.7
2.6
1.9
2.3
AN
PE L
AK
N
1990
SA
Region : Kepulauan
D
Sulawesi
AN
Maluku & Papua
AA
N
Tabel 3. Pendapatan Domestik Regional Bruto PDRB 1971–2010 (%)
AN G
G
AR
Sumber : Data BPS 1970- 2011, diolah.
A
Tabel 4. Distribusi PDRB Jawa/Luar Jawa 1971- 2010 (%) Distribusi
PDRB/kapita
PDRB
(relatif thd Jawa)
BI
R
O
AN
AL
IS
Region : Kepulauan 1971
1990
2010
1971
1990
2010
Sumatera
29.0
25.2
23.0
1.94
1.31
1.07
Jawa
54.5
56.8
58.1
1.00
1.00
1.00
Bali & Nusa Tenggara
3.4
2.9
2.7
0.71
0.59
0.49
Kalimantan
5.4
9.1
9.1
1.41
1.89
1.56
Sulawesi
6.0
4.1
4.6
0.94
0.62
0.62
Maluku & Papua
1.7
1.9
2.4
1.24
1.06
0.90
Sumber : Data BPS 1970- 2011, diolah.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 4
I R
PR
Dari gambaran tersebut, terlihat bahwa dari tahun 1971 – 2010 distribusi PDRB nyaris tidak berubah dan proporsi relatif pendapatan per kapita regional terhadap regional pulau Jawa secara umum justru menurun.
D
Gambaran ini sejalan dengan hasil analisis Analis APBN yang dalam
EN
spasial-lag model 1 tidak menemukan perbedaan signifikan pertumbuhan
AP
BN
–
SE
TJ
PDRB dari 420 kabupaten/kota sebagai dampak dari kebijakan transfer ke daerah, walaupun secara absolut signifikan berdampak pada peningkatan PDRB. Dominasi pertumbuhan di Jawa terlihat juga pada trend pertumbuhan PDRB kurun waktu 2004-2010, dimana proporsi Jawa pada pertumbuhan PDB lebih dari 50% tiap tahun. 2
AK
SA
N
AA
N
Meskipun BPS mencatat indeks Williamson yang digunakan untuk mengukur kesenjangan antar wilayah, dan disparitas ekonomi wilayah mencatat angka 0,82 pada 2010; 0,836 pada 2006; 0,871 pada 2005; dan 0,869 pada 2004, terus membaik namun angka tersebut masih mengambarkan adanya kesenjangan yang cukup tinggi secara absolut.
AN
D
AN
PE L
Temuan lain indeks williamson (IW) 3 ternyata tidak memperlihatkan perbaikan ketimpangan fiskal antar daerah. Pengamatan pada tahun 2001, 2008 dan 2010, angka IW tetap berada pada posisi 0,7. Artinya, diukur dengan IW, ketimpangan fiskal antar daerah tidak mengalami pemburukan, namun juga tidak membaik.
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
AR
Selain Indeks williamson, beberapa metode lain yang dapat digunakan untuk mengukur ketimpangan fiskal antara daerah seperti [1] Rata-rata PDRB (Mean) [2]koefisien variasi (KV) dan [3] rasio pendapatan PDRB maksimum terhadap PDRB minimum (RMM) juga memperlihatkan tidak adanya perbaikan yang signifikan dari ketimpangan kondisi perekonomian antar daerah.
; dimana R2= 0,988. corr2=0,844.
1
Model
2
Tim Analis APBN, ‘Analisis Kontribusi Transfer Daerah (DAU,DBH dan DAK) terhadap Pertumbuhan PDRB’, Bagian Analisa APBN Setjen DPR RI : 2008. Bambang Juanda, Evaluasi Kebijakan Transfer ke Daerah, 2013. Prof. Robert A. Simanjuntak, Ph.D, Pengalokasian APBN ke Daerah : DAU, LPEM, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia , 2013.
3
.
= 0,05.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 5
Tabel 5. Ketimpangan Fiskal Antar Daerah PDRB Indikator
2001
205,044
616,643
705,198
2,505,932
2.838.845
KV
0,76
1,16
1,02
1,13
1,16
RMM
32:1
60:1
42:1
69:1
74:1
2010
R PR
2008
D
Mean
2002
I
2000
TJ
EN
Sumber : Data BPS 1970- 2011, diolah
N
AA
N
AP
BN
–
SE
Angka koefisien variasi memperlihatkan bahwa ketimpangan fiskal antar daerah kabupaten/kota dalam periode 2001-2010 tidak mengalami perbaikan. Sedangkan rasio PDRB maksimum dengan minimum (RMM) 4 justru menunjukkan dalam periode 2001-2010 terjadi peningkatan ketimpangan. Jika pada tahun 2001 RMM adalah 60:1 (pendapatan perkapita daerah terkaya adalah 60 kali pendapatan perkapita daerah termiskin, maka pada tahun 2010 RMM meningkat menjadi 74:1).
AK
SA
Kebijakan : Keberpihakan kepada Pemerataan Pembangunan
A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE L
Sebagai suatu masalah struktural, ketimpangan ekonomi regional membutuhkan kebijakan pemerintah yang bersifat extraordinary. Sepeti diketahui, kebijakan otonomi daerah ( sesuai UU No. 32 Tahun 2004) seharusnya menempatkan Pemerintah Daerah sebagai unit ekonomi untuk penciptaan kesejahteraan rakyat. Oleh karenanya diperlukan sinergi kebijakan dan pendanaan pembangunan di tingkat pusat dan regional. Dimana pembangunan yang direncanakan pemerintah pusat harus bisa optimal dieksekusi di daerah, begitu pula apa yang menjadi kebutuhan-kebutuhan pemerintah daerah juga harus bisa ditangkap oleh pemerintah pusat melalui mekanisme perencanaan pembangunan.
BI
R
O
AN
AL
IS
Stimulus terhadap Pertumbuhan PDRB Daerah
Mengingat besarnya ketergantungan daerah terhadap dana transfer dari Pemerintah Pusat, maka konstruksi bentuk pendanaan (ketentuan terhadap mekanisme perencanaan, penggunaan hingga pertanggung jawaban) menjadi sangat strategis. Pendanaan dari pusat harus bisa dievaluasi dengan mudah sehingga dapat menjadi masukan perbaikan.
4
RMM = r Max/r Min :1 , KV = ρ/ʍ x 100% dimana r nilai PDRB, ρ=nilai PDRB polpulasi, ʍ= nilai PDRB rata-rata.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 6
EN
D
I R
PR
Menjadi penting untuk melakukan analisis bentuk transfer yang paling mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, salah satu metode yg bisa dilakukan dengan menjadikan pertumbuhan PDRB menjadi acuan. Beberapa penelitian Elfira (2005), Nugroho (2005), Waluyo (2007), Adi (2007) dalam Setiadi (2009)5 mengungkapkan bahwa dengan variasi yang berbeda, transfer ke daerah signifikan pempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah. Disimpulkan juga bahwa bentuk transfer yang spesifik peruntukannya, terutama untuk kegiatan pembangunan infrastruktur lebih berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi.
N
AP
BN
–
SE
TJ
Senada dengan hal tersebut, estimasi model ekonometrika gabungan 10 provinsi (Jawa/Bali dan luar Jawa/Bali) diperoleh besaran hubungan antara investasi prasarana jalan dengan pertumbuhan ekonomi nasional 0,92%. 6 Hubungan investasi infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi, adalah sebesar 60% (Suyono Dikun, 2003). Bahkan studi dari World Bank (1994) disebutkan elastisitas PDB (Produk Domestik Bruto) terhadap infrastruktur di suatu negara dapat mencapai 0,44.
D
AN
PE L
AK
SA
N
AA
Secara empiris dapat ditarik kesimpulan bahwa pembangunan infrastruktur mempunyai efek stimulasi yang relatif besar terhadap pertumbuhan ekonomi (secara makro dan mikro) serta perkembangan suatu negara atau wilayah. Pembangunan infrastruktur mutlak diperlukan terutama dalam upaya meningkatkan perekonomian suatu wilayah. Dengan adanya infrastruktur dapat mempermudah aktivitas ekonomi masyarakat dan juga meningkatkan produktivitas serta output/pendapatan.
AR
AN
Keberpihakan : Pembangunan Daerah Tertinggal
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
Ketimpangan ekonomi wilayah di suatu negara ditandai dengan adanya daerah-daerah yang memiliki kondisi atau karakteristik ekonomi yang berbeda secara signifikan (berada dibawah rata-rata kondisi wilayah lainnya). Di Indonesia wilayah yang memiliki ketimpangan ekonomi ini dikenal dengan istilah daerah tertinggal.
Daerah tertinggal merupakan suatu wilayah yang dihuni oleh komunitas dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik. 7 Daerah tertinggal memerlukan berbagai kebijakan khusus untuk
5
6
7
Setiadi, Handriyanto. ‘Pengaruh Sumber-Sumber APBD (DAU, DAK dan PAD) terhadap Pertumbuhan PDRB Kabupaten/Kota di Indonesia, FE Trisakti, 2009. Harlan Pangihutan, 2008, Pangihutan, Pemodelan Hubungan Investasi Prasarana Jalan Dengan Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dan Regional, Kolokium Puslitbang Jalan dan Jembatan TA. 2008, pp 1-2, 2008. Ir. HA. Helmy Faizal Zaini, Strategi Percepatan Pembangunan daerah Tertinggal, Kementerian PDT RI, 2010.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 7
BN
–
SE
TJ
EN
D
R
PR
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 20102014, telah ditetapkan daftar 183 kabupaten yang masuk katagori daerah tertinggal. Penentuan 183 kabupaten tertinggal tersebut didasarkan pada perhitungan 6 (enam) kriteria utama, yaitu : (1) perekonomian masyarakat, (2) sumberdaya manusia; (3) infrastruktur (prasarana); (4) kemampuan keuangan lokal (celah fiskal); (5) aksesibilitas dan (6) karakteristik daerah.8 Selain kriteria dasar tersebut, juga dipertimbangkan kondisi kabupaten yang berada di daerah perbatasan antar negara, daerah rawan bencana dan daerah yang ditentukan secara khusus.
I
menstimulasi menjadi daerah maju dengan komunitas yang kualitas hidupnya sama atau tidak jauh tertinggal dibandingkan dengan masyarakat Indonesia lainnya.
AK
SA
N
AA
N
AP
Setidaknya hingga 5 tahun terakhir, secara secara khusus keberpihakan APBN pada daerah tertinggal terdapat pada ketentuan pengalokasian DAK, dimana terdapat formulasi penilaian Kriteria Khusus, berdasarkan karakteristik daerah, antara meliputi: daerah Tertinggal. Beberapa tahun terakhir juga muncul keberpihakan kebijakan dalam APBN, misalnya pada kebijakan APBN 2013.
AN
PE L
Dalam APBN 2013, terdapat tambahan DAK yang dialokasikan untuk 183 daerah tertinggal dan diarahkan penggunaannya untuk Bidang Infrastruktur Jalan dan Infrastruktur Pendidikan.
AN G
G
AR
AN
D
Pilihan untuk meletakkan porsi tambahan pada DAK, cukup beralasan mengingat DAK mengutamakan kegiatan pembangunan dan/atau pengadaan dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar masyarakat dengan umur ekonomis yang panjang dan sesuai prioritas nasional.
BI
R
O
AN
AL
IS
A
Selain dalam format alokasi DAK, keberpihakan terhadap daerah tertinggal juga dilakukan dalam format dana penyesuaian, walau tidak juga secara spesifik menunjuk daerah tertinggal tetapi menggunakan kriteria-kriteria kemampuan keuangan dan infrastruktur daerah untuk pengalokasiannya. Secara historis dalam 3 tahun terakhir terdapat alokasi dana penyesuaian yang dipergunakan untuk mendanai kegiatan pembangunan infrastruktur.
8
BPS, Sistem Informasi Statistik Daerah Tertinggal, 2013.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 8
R
PR
Pada APBN 2012 ditetapkan Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (DP2D2) .Penggunaan DP2D2 ditujukan untuk mendukung kegiatan di bidang infrastruktur jalan, irigasi, dan air minum. 10
I
Pada APBN 2011 ditetapkan Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) yang dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan infrastruktur dan percepatan pembangunan daerah. 9
SE
TJ
EN
D
APBN 2013 juga mengalokasikan dana penyesuaian berupa Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi (P2D2) yang akan diberikan kepada Pemerintah daerah percontohan atas keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan infrastruktur yang didanai melalui DAK dengan hasil/output yang sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan.
AP
BN
–
Tabel 6. Alokasi DAK 2012 Tambahan Daerah Tertinggal
10,48
14,93
12,92
Non Tertinggal 46,44
57,27
48,49
70,63
48,49
81,56
AA
N
SA
AK 14.92
Tertinggal
AN
14,93
Tertinggal
PE L
2012 2013 Sebelum DAK Tambahan 2013 setelah DAK tambahan
Non Tertinggal 14,30
Rata-rata (miliar)
N
Alokasi (triliun)
Tahun Anggaran
AN
D
Sumber : APBN dan Nota Keuangan 2012-2013, diolah
G
AR
Keberpihakan : Prioritas Sektor Ekonomi
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
Memperkecil ketimpangan dalam rangka mewujudkan keadilan sosial merupakan alasan utama bagi mendesaknya kebutuhan APBN yang berperspektif keadilan. Kebijakan desentralisasi fiskal, seharusnya menjadi salah satu jawaban untuk penyelesaian masalah ketimpangan ekonomi ini. Namun karena terbatasnya APBN, kebijakan anggaran dipataskan pada pilihan-pilihan, sehingga perumusan prioritas menjadi langkah yang sangat strategis.
9
10
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor.25/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Penyesuaian Infrastruktur Daerah (DPID) Tahun Anggaran 2011. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 149/PMK.07/2012 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana Proyek Pemerintah Daerah dan Desentralisasi tahun anggaran 2012.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 9
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
Prioritas lainnya dalam dimensi ekonomi, seperti penanggulangan Kemiskinan, ketahanan Pangan, infrastruktur, iklim investasi dan usaha serta energi. Kemudian prioritas yang menyangkut dimensi kewilayahan seperti infrastruktur, daerah tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Pascakonflik. Semua prioritas tentu bersifat sangat umum, sehingga kemudian diperlukan kejelian masing-masing kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah menterjemahkan dalam prioritasnya masingmasing.
R
I
Setidaknya ada 2 dimensi pertimbangan dalam menentukan prioritas alokasi anggaran, (1) sektor ekonomi, (2) kewilayahan. Prioritas utama pembangunan pastilah yang menyangkut pelayanan publik seperti beberapa prioitas yang terdapat dalam RPJMN 2010-2014 seperti reformasi birokrasi dan tata kelola pemerintahan, pendidikan, dan kesehatan.
PE L
AK
SA
N
AA
N
AP
Pada tahapan pembahasan pengalokasian anggaran untuk membiayai berjalannya pembangunan sesuai prioritas-prioritas tersebut, Pemerintah dan DPR kembali dihadapkan pada pilihan-pilihan 2 dimensi diatas. Untuk itu diperlukan dasar pemikiran, analisis dan data-data pendukung yang memadai untuk menjadi bahan pertimbangan. Karena bila seperti yang tentukan dalam RPJP dan RPJMN bahwa target pertumbuhan ekonomi adalah salah satu tujuan utama, maka ketepatan pengalokasian menjadi syarat utama.
AR
AN
D
AN
Sebagai contoh, berikut dilakukan analisis sederhana mengenai dampak stimulasi transfer kedaerah yang spesifik, yaitu DAK terhadap pertumbuhan PDRB daerah.
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
Analisis dilakukan dengan statistik parametrik sederhana, terlebih dulu melakukan Clustering11 wilayah kabupaten kota dengan melakukan pembagian 3 dimensi pengelompokan, yaitu: (1) kapasitas fiskal, dengan mengelompokan kondisi fiskal tinggisedang-rendah, menggunakan rasio dari variabel besaran sumber pendapatan daerah yang antara lain terdiri dari PAD, Bagi Hasil Pajak dan Bagi Hasil SDA; (2) kondisi geografis, dengan mengelompokan Jawa/Bali dan Non Jawa/Bali dan (3) sektor ekonomi unggulan daerah, dengan mengelompokkan basis perekonomian sektor pertanian dan non basis pertanian, dilakukan dengan pengelompokan proporsi PDRB sektor pertanian /PDRB total.
11
Clustering menggunakan prosedur Non Hirarkhi Parallel Threshold (K-Means Analysis), uji Bartlett sphericity dan uji Kaiser-Mayer-Olkin (KMO).
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 10
Tabel 7. Nilai PDRB dan PDRB sektor pertanian terhadap belanja transfer spesifik (alokasi DAK dan DAK pertanian) dengan Clustering Karakteristik Kewilayahan Kabupaten/Kota (2005-2010)12
R PR
Kapasitas Fiskal Tinggi
EN
D
Kapasitas Fiskal Sedang
Luar
Jawa/Bali
Luar
Jawa/Bali
0,871
0,941
0,871
0,852
0,54
0,64
sig.
sig.
sig.
sig.
sig.
.
sig.
–
Korelasi
Luar
TJ
Jawa/Bali
SE
Kapasitas Fiskal Rendah
Clustering Wilayah
I
Korelasi alokasi DAK Total terhadap PRDB Total
AP
BN
Korelasi alokasi DAK Pertanian terhadap PRDB Sektor Pertanian Kapasitas Fiskal Sedang
AA
N
Kapasitas Fiskal Rendah Luar
0,897
0,987
(Pertanian)
0,352
0,715
0,852
0,423
0,524
sig.
sig.
sig.
sig.
0,541
0,523
0,534
0,361
0,767
sig.
sig.
sig.
sig.
sig.
sig.
D
(Non Pertanian)
Luar
AN
Korelasi
Jawa/Bali
PE L
sig.
.
Kapasitas Fiskal Tinggi
Luar
SA
Korelasi
Jawa/Bali
N
Jawa/Bali
AK
Clustering Wilayah
AN
sig.
AR
.
AN G
G
Sumber : hasil analisis.
AN
AL
IS
A
Dari tabel diatas, secara sederhana dapat dilihat bahwa ketepatan sasaran dalam pengalokasian anggaran sangat krusial. Hal ini dikarenakan ada perbedaan yang signifikan dampak transfer ke daerah yang dialokasikan ke pada daerah (kabupaten/kota) dengan dimensi kapasitas fiskal, geografis kepulauan dan sektor ekonomi utama daerah.
BI
R
O
Secara umum, korelasi alokasi DAK terhadap pertumbuhan PDRB lebih besar pada daerah-daerah dengan kapasitas fiskal rendah. Sedangkan perbedaan dampak terhadap wilayah kepulauan Jawa/Bali dan luar Jawa/Bali tidak signifikan. Sedangkan secara lebih khusus, korelasi DAK bidang pertanian terhadap pertumbuhan PDRB sektor pertanian lebih 12 Menggunakan koefisien korelasi Pearson (r), dengan uji normalitas Kolmogorov -
Smirnov dan uji Shapiro Wilk, dengan data panel 362 kabupaten kota tahun 20052010.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 11
EN
D
PR
R
I
besar pada daerah-daerah dengan basis ekonomi pertanian. Pada daerah-daerah dengan kapasitas fiskal tinggi, bahkan tidak ditemukan signifikansi korelasi DAK bidang pertanian terhadap pertumbuhan PDRB sektor pertanian.
SE
TJ
Kegagalan Transfer Daerah Mendorong Pertumbuhan Ekonomi: Proporsi Besar Belanja Pegawai
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE L
AK
SA
N
AA
N
AP
BN
–
Kegagalan transfer daerah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah juga disebabkan sebagian besar transfer tersebut habis digunakan untuk membiayai belanja pegawai daerah. Hasil kajian yang dilakukan oleh Fitra13 tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat 124 daerah yang belanja pegawainya menghabiskan 60 persen lebih anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) 2011. Apabila dipersempit lagi, ada 16 daerah yang menggunakan 70 persen atau lebih dana APBD hanya untuk membayar gaji pegawai. Bahkan terdapat daerah yang 83 persen anggarannya tersedot untuk APBD. Pemerintahpun mengakui masalah terkait dengan belanja pegawai dan belanja rutin yang sangat besar. Akibatnya, ruang untuk belanja pembangunan dan pelayanan publik menjadi kecil.14
13
14
Fitra, ‘Tahun Pembajakan Anggaran Oleh Elit, Mengabaikan Kesejahteraan Rakyat’ Catatan Akhir Tahun: Refleksi atas Penganggaran’. 2011. Boediono Belanja Pegawai Masih Jadi Masalah Otda, http://www.republika.co.id /berita/nasional/umum/13/02/12/mi3wo2-wapres-belanja-pegawai-masih-jadimasalah-otda , 12 Februari 2013.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 12
Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan
R
PR
A. belanja transfer ke daerah yang merupakan pendanaan dari kebijakan desentralisasi fiskal (otonomi daerah) mengalami peningkatan setiap tahun.
I
Kesimpulan
terhadap
peningkatan
TJ
positif
SE
C. Belanja transfer berdampak pertumbuhan ekonomi daerah.
EN
D
B. Proporsi dari kontribusi dana transfer ke daerah relatif tinggi untuk daerah ( provinsi kabupaten/kota).
AP
BN
–
D. Belanja transfer berdampak positif sangat lemah terhadap peningkatan/perbaikan kesenjangan ekonomi antar wilayah dan daerah. Diperlukan kebijakan khusus (extraordinary) pada alokasi APBN untuk usaha peningkatan/perbaikan kesenjangan ekonomi antar wilayah dan daerah.
F.
Alokasi belanja infrastruktur memiliki dampak positif yang paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi daerah.
AK
SA
N
AA
N
E.
PE L
G. Secara umum, korelasi alokasi DAK terhadap pertumbuhan PDRB lebih besar pada daerah-daerah dengan kapasitas fiskal rendah. Korelasi DAK bidang pertanian terhadap pertumbuhan PDRB sektor pertanian lebih besar pada daerah-daerah dengan basis ekonomi pertanian.
g.
ketepatan sasaran dalam pengalokasian anggaran sangat krusial.
AN G
G
AR
AN
D
AN
F.
Rekomendasi Kebijakan
BI
R
O
AN
AL
IS
A
1. Sejalan dimungkinkan oleh aturan perundang-undangan yang berlaku, seperti halnya ketentuan dalam UU No.33/2004 tentang Perimbangan Keuangan, untuk mengatasi kesenjangan ekonomi antar wilayah dan daerah diperlukan pengalokasian secara khusus (extraordinary) kepada daerah tertinggal. 2. Clustering daerah yang lebih terperinci dengan basis perekonomian daerah, untuk menjadi pertimbangan pengalokasian transfer ke daerah yang spesifik seperti DAK.
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 13
Clustering
BI
R
O
AN
AL
IS
A
AN G
G
AR
AN
D
AN
PE L
AK
SA
N
AA
N
AP
BN
–
SE
TJ
EN
D
PR
3. Diperlukan landasan hukum bagi keberpihakan kepada perbaikan kesenjangan ekonomi daerah selain unsur-unsur yang terdapat dalam UU No.32/2004, sehingga pengalokasian kepada daerahdaerah tertinggal ini tidak menjadi polemik hukum.
R
I
ini dapat memanfaatkan semua sumberdaya dan data, seperti Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) serta Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 14
transfer
ke
daerah
menjadi
strategis
untuk
tujuan
PR
meminimumkan ketimpangan fiskal antar daerah, sekaligus memeratakan
R
Instrumen
I
Executive Summary
D
kemampuan antar daerah (equalization grant). Namun, impact transfer ke
EN
daerah terhadap ketimpangan ekonomi regional setelah lebih dari 10 tahun
TJ
pelaksanaannya hampir tidak terlihat. Distribusi PDRB nyaris tidak berubah
SE
dan tidak menemukan perbedaan signifikan pertumbuhan PDRB sebagai
–
dampak dari kebijakan transfer ke daerah. Padahal, belanja transfer ke
BN
daerah yang merupakan pendanaan dari kebijakan desentralisasi fiskal
AP
(otonomi daerah) mengalami peningkatan setiap tahun. disimpulkan
bahwa
secara
umum
N
analisis,
AA
Dalam
belanja
transfer
N
berdampak positif terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah,
SA
namun berdampak positif sangat lemah terhadap peningkatan/perbaikan
AK
kesenjangan ekonomi antar wilayah dan daerah.
PE L
Untuk itu, diperlukan kebijakan khusus (extraordinary) pada alokasi APBN
AN
untuk usaha peningkatan/perbaikan kesenjangan ekonomi antar wilayah
D
dan daerah. Kebijakan ini dilakukan dengan memberikan transfer khusus
AN
bagi daerah-daerah tertinggal, terutama untuk penggunaan pembangunan
AR
infrastruktur yang memiliki dampak positif yang paling besar terhadap
G
pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, penggunaan harus tepat sasaran
AN G
dalam pengalokasian anggaran, dikarenakan ada perbedaan yang signifikan dampak
transfer
ke
daerah
yang
dialokasikan
ke
pada
daerah
A
(kabupaten/kota) dengan dimensi kapasitas fiskal, geografis kepulauan dan
BI
R
O
AN
AL
IS
sektor ekonomi utama daerah
Biro Analisa Anggaran dan Pelaksanaan APBN – SETJEN DPR‐RI | 15