i
ADAPTASI TANAMAN GANDUM (Triticum aestivum L.) TOLERAN SUHU TINGGI DAN PENINGKATAN KERAGAMAN GENETIK MELALUI INDUKSI MUTASI DENGAN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA
AMIN NUR
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
ii
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Adaptasi Tanaman Gandum (Triticum aestivum L.) Toleran Suhu Tinggi Dan Peningkatan Keragaman Genetik Melalui Induksi Mutasi Dengan Menggunakan Iradiasi Sinar Gamma adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor
Bogor,
Maret 2013
Amin Nur NRP A263090051
iii
ABSTRACT AMIN NUR. Adaptation of Wheat Lines (Triticum aestivum L.) Tolerance High Temperature and Improved Genetic Variation Through Mutation Induction Using Gamma-ray irradiation. Supervised by : TRIKOESOEMANINGTYAS, SUDIRMAN YAHYA AND NURUL KHUMAIDA Characteritation of ten wheat introduced genotypes and two varieties of wheat in two seasons and elevations showed different responses tested at any observed agronomical characters. Agronomical and physiological characters with high heritability estimated value and wide genetic variability were plant height, spikelet number and flag leaf area. There were five traits that directly affected seed weight/plant namely number of seeds/spike, number of seeds/plant, chlorophyll a, chlorophyll b and total chlorophyll characters. Index genotype sensitivity to high temperatures vary greatly based on the character were observed, the yield character of OASIS/SKAUZ//4 * BCN Var-28 genotype had a medium tolerance in two seasons. The G-21 and LAJ tolerance can be selected based on weight of seeds/spike, chlorophyll b, and yield characters, while Oasis tolerance can be selected based on the length of spike and grain weight/plant (2010). Genotype Oasis, H-21, and LAJ, Basribey tolerance can be selected based on the weight of seeds/plant and seed weight/spike. The Interaction of genotype x season x elevation significantly affected plant height, days of flowering, number of spikelet, number of floret, seed weight/spike, seed filling rate, yield, flag leaf area, stomata density, chlorophyll b and the leaves greeness characters. There only the location x genotype interactions affected the harvest, percent floret sterile, the number of seeds/panicle, 1000 grain weight, number and weight malai/m2 seeds/plants. Two genotypes had higher yield than comparable varieties -1 Selayar the Basribey (2.00 t.ha-1) and Alibey (2.13 t.ha-1 ) in both elevation and two seasons. The HP 1744 is-1a stable genotype (1.75 t.ha ), H-21 (1.82 t.ha-1) and varieties Selayar (1.92 t.ha ). The results showed that the orientation of dose dose> 400 gy cause seedling growth under stress and cause the sprouts do not contain chlorophyll. Dose of 300 gy field research led to the death of 50% of the population in the irradiated plants. Gamma ray irradiation at 300 gy dose did not show significant effect on all the characters in M1 plants. The genetic diversity of the population appears M2 of all strains were irradiated. The characters that unaffected by the season, but only by the location x genotype interactions were the harvest time, percent of 2hollow floret, the number of seeds/spike, 1000-1 grain weight, number -1of spike/m and seed weight/plant. Basribey (2.00 t.ha ) and Alibey (2.13 t.ha ) genotypes had higher yield than comparator varieties (Selayar) in both elevations and two seasons. The stable genotype were HP 1744 (1.75 t.ha -1 ), H-21 (1.82 t.ha-1) and Selayar (1.92 t.ha-1) varieties. The results of orientation dose showed that the > 400 gy dosage caused seedling growth experienced stress and the sprouts did not contain chlorophyll. Dose of 300 gy on field research led to the death of 50% of the irradiated plant population. Gamma ray irradiation with dose of 300 gy did not show significant effect on all the characters in M1 plants. The character with moderate to wide genetic variability was harvest time. The number of hollow floret had wide genetic variability excepting in M 2 population derived from Selayar varieties. The form of M3 populations at >1000 m asl was better than < 400 m asl elevation. The M3 population had the highest median alteration were Kasifbey, Rabe and Basribey. Genetic variability and value of estimated heritability in elevation of <400 m asl wider and higher than >1000 m asl. Generally, the value of estimated heritability and genetic variability in the observed characters of the M4 generation either from elevation < 400 m asl and > 1000 m asl were high and wide, unless the character of grain weight/spike. Keywords: adaptation, wheat lines, genetic variability, high temperature stress, gamma ray irradiation
iv
RINGKASAN AMIN NUR. Adaptasi Tanaman Gandum (Triticum aestivum L.) Toleran Suhu Tinggi dan Peningkatan Keragaman Genetik Melalui Induksi Mutasi dengan Menggunakan Iradiasi Sinar Gamma Dibimbing oleh TRIKOESOEMANINGTYAS, SUDIRMAN YAHYA DAN NURUL KHUMAIDA Penelitian ini terdiri dari dua tahap penelitian besar yaitu 1) Adaptasi genotipe gandum introduksi dua elevasi yaitu elevasi < 400 m dpl (Bogor) dan > 1000 m dpl (Cipanas) masing-masing dua musim, penelitian di masing-masing elevasi dan musim disusun berdasarkan rancangan acak kelompok 3 ulangan, 2) Peningkatan keragaman genetik dengan induksi mutasi dengan menggunakan iradiasi sinar gamma, penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu orientasi dosis 0 – 1000 gy, penanaman empat genotipe dan dua varietas materi M1 dengan dosis 300 gy di elevasi >1000 m dpl, selanjutnya populasi M2 ditanam pada elevasi <400 m dpl, kemudian dilanjutkan populasi M3, pertanaman dibagi dua yaitu elevasi < 400 m dpl dan > 1000 m dpl, benih M4 dipilih diseleksi per malai masing-masing 300 malai/elevasi untuk penanman populasi M4 kembali ditanam di elevasi <400 m dpl. Hasil karakterisasi sepuluh genotipe gandum introduksi dan dua varietas gandum nasional menunjukkan perbedaan respon didua elevasi dan dua musim terhadap karakter agronomi dan fisiologi yang diamati. Karakter agronomi dan fisiologis yang memiliki nilai duga heritabilitas tinggi dengan keragaman genetik luas adalah karakter tinggi tanaman jumlah spikelet dan luas daun bendera. Karakter yang berkorelasi nyata dan positif dengan karakter bobot biji/tanaman adalah karakter jumlah biji/malai, bobot biji/malai dan jumlah biji/tanaman. Hanya klorofil b berpengaruh langsung terhadap bobot biji/tanaman dikedua elevasi, sementara empat karakter lain seperti jumlah biji/malai, jumlah biji/tanaman, klorofil a dan klorofil total memberikan respon yg berbeda. Indeks kepekaan genotipe terhadap suhu tinggi sangat bervariasi berdasarkan karakter yang diamati, berdasarkan karakter hasil genotipe OASIS/SKAUZ//4*BCNVar28 memiliki toleransi medium di dua musim. Genotipe G-21 dan LAJ toleransinya dapat diseleksi berdasarkan bobot biji/malai, klorofil b dan hasil, sementara Oasis toleransinya dapat diseleksi berdasarkan panjang malai dan bobot biji/tanaman (2010). Genotipe Oasis, H-21, Basribey dan LAJ toleransinya dapat diseleksi berdasarkan bobot biji/tanaman dan bobot biji/malai Interaksi musim x elevasi x genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter tinggi tanaman, umur berbunga, jumlah spikelet, jumlah floret, bobot biji/malai, laju pengisian biji, hasil, luas daun bendera, kerapatan stomata, klorofil b dan kehijauan daun. Sementara enam karakter hanya dipengaruhi interaksi lokasi x genotipe yaitu umur panen, persen floret hampa, jumlah biji/malai, bobot 1000 biji, jumlah malai/m2 dan bobot biji/tanaman. Penampilan karakter agronomi dan fisiologis umumnya mengalami penurunan seiring dengan penurunan elevasi dari elevasi >1000 m dpl ke elevasi <400 m dpl. Tidak terdapat genotipe yang memperlihatkan hasil lebih baik dari varietas Selayar di Bogor, sementara di elevasi >1000 m dpl pengujian 2011 terdapat dua genotipe memiliki hasil lebih tinggi dari varietas Selayar yaitu Basribey (4.31 t.ha-1) dan Alibey (4.74 t.ha-1). Terdapat dua genotipe yang memiliki hasil lebih tinggi dari varietas pembanding
v
Selayar di kedua elevasi yaitu Basribey (2.00 t.ha-1) dan Alibey (2.13 t.ha-1 ). Genotipe yang memperlihatkan hasil stabil adalah HP 1744 (1.75 t.ha-1), H-21 (1.82 t.ha-1) dan varietas Selayar (1.92 t.ha-1), Menemen (1.82 t.ha-1) merupakan genotipe yang spesifik lingkungan Orientasi dosis dilakukan dengan meradiasi satu varietas yaitu Nias dengan dosis 0 – 1000 gy. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis > 400 gy hanya menyebabkan penghambatan pertumbuhan dan menyebabkan kecambah menjadi abnormal atau tidak memiliki klorofil namun tidak menyebabkan kematian dari tanaman yang diiradiasi. Dosis 300 gy pada penelitian lapang menyebabkan kematian 50% dari populasi tanaman yang di iradiasi. Penelitian selanjutnya dengan meradiasi empat genotipe dan dua varietas pada dosis 300 gy. Iradiasi sinar gamma dengan dosis 300 gy tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap semua karakter pada tanaman M1. Karakter dengan keragaman genetik sedang sampai luas adalah karakter umur panen, jumlah floret hampa, kecuali pada populasi M2 turunan varietas Selayar. Penampilan populasi tanaman M3 di elevasi > 1000 m dpl lebih baik dibanding di elevasi <400 m dpl. Populasi Tanaman M3 memiliki perubahan nilai tengah paling tinggi adalah M3Kasifbey, M3Rabe dan M3Basribey. Keragaman genetik dan nilai duga heritabilitas elevasi <400 m dpl lebih luas dan tinggi dibandingkan elevasi >1000 m dpl. Umumnya nilai duga heritabilitas dan keragaman genetik generasi M4 pada karakter yang diamati baik yang berasal dari elevasi < 400 m dpl maupun elevasi > 1000 m dpl umumnya tinggi dan luas, kecuali pada karakter bobot biji/malai. Kata Kunci : adaptasi, galur gandum, keragaman genetik, cekaman suhu tinggi iradiasi sinar gamma
vi
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau meyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
vii
ADAPTASI TANAMAN GANDUM (Triticum aestivum L.) TOLERAN SUHU TINGGI DAN PENINGKATAN KERAGAMAN GENETIK MELALUI INDUKSI MUTASI DENGAN MENGGUNAKAN IRADIASI SINAR GAMMA
AMIN NUR
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman (PBT)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
viii
viii
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu E. Kusumo, MS (Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB) Dr. Ir. Miftahuddin, MS (Staf Pengajar Departemen Biologi, Fakultas MIPA, IPB) Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, MSc (Staf Pengajar Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB)
Dr. Ir. Hasil Sembiring, MSc (Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor)
ix
Judul Disertasi
: Adaptasi Tanaman Gandum (Triticum aestivum L.) Toleran Suhu Tinggi dan Peningkatan Keragaman Genetik Melalui Induksi Mutasi dengan Menggunakan Iradiasi Sinar Gamma
Nama
: Amin Nur
NRP
: A263 09 0051
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc Ketua
Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya MSc. Anggota
Dr. Ir. Nurul Khumaida, MSi Anggota
Diketahui,
Ketua Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman
Dr. Ir.Trikoesoemaningtyas, MSc.
Tanggal Ujian : 10 Januari 2013
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr
Tanggal Lulus :
x
PRAKATA Segala puja, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T., atas segala limpahan, rahmat, berkah, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Disertasi yang berjudul “Adaptasi Tanaman Gandum (Triticum aestivum L.) Toleran Suhu Tinggi dan Peningkatan Keragaman Genetik Melalui Induksi Mutasi Dengan Menggunakan
Iradiasi Sinar Gamma”
merupakan kelengkapan tugas akhir pada Program Doktor Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada : 1.
Dr. Ir. Trikoesoemaningtyas, MSc sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Sriani Sujiprihati MS (Almarhumah), Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya MSc dan Dr. Ir. Nurul Khumaida MSi sebagai anggota komisi pembimbing atas dorongan moril, motivasi, pengarahan, masukan dan diskusi sejak perencanaan dan penyusunan penelitian hingga penyelesaian tulisan. Ucapan terima kasih kepada Dr. Muh.Syukur, SP, MSi dan Prof. Dr. Ir. Sudirman Yahya sebagai penguji luar komisi pada ujian prelim lisan, Dr. Ir. Yudiwanti Wahyu MS dan Dr. Ir. Miftahuddin, MS sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup, serta Dr. Ir. Hasil Sembiring MSc dan Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor MSc sebagai penguji luar komisi pada ujian terbuka yang telah memberikan saran dan masukan guna memperbaiki disertasi ini
2.
Kepala Badan Litbang Pertanian dan ketua Komisi Pembinaan SDM Badan Litbang Pertanian yang telah memberikan kesempatan dan beasiswa untuk melaksanakan tugas belajar pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
3.
Kepala Pusat Penelitian Tanaman Pangan dan Kepala Balai Penelitian Serealia Lain (Balitser) Maros yang telah memberikan izin belajar.
4.
Direktur Seameo-Biotrop dan Kepala Balai penelitian Tanaman Hias yang telah memberikan ijin untuk melakukan penelitian.
xi
5.
Dr. Ir. Supriyanto, Dr. Muh.Azrai, SP, MSi dan Imam Mawardi, kami ucapkan banyak terima kasih atas segala bantuannya dan motivasinya selama melakukan penelitian di Seameo-Biotrop.
6.
Aziz Natawijaya, SP, MSi, Haji Kumiyun, Irawan, Dian Fahtianty SP, Mas Djoko, Mas Bambang, pak Yudi, Hasnah SP dan Karlina Syahruddin yang telah banyak membantu dalam melaksanakan penelitian
7.
Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana angkatan 2009 dan rekan-rekan lain yang tidak dapat penulis sebutkan semuanya yang telah berbagi ilmu dan kerjasamanya. Rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan yang tiada henti penulis
sampaikan kepada Ibunda tercinta Hj. Sitti Hamsinah dan Ayahanda H. Badaruddin Gassing serta mertua penulis Drs. H. Muh. Djafar dan Hj. Sitti Hasnah atas do’a restu, dorongan dan motivasinya selama ini. Kepada Saudaraku kakanda Dr. Ir. H.Nasaruddin MS/H.Agustini, Drs. Ansar/Dra. Bungadia, Dr. Drs. Adnan MSc/Dra. Marliyah, Prof. Dr. Ir. Muh. Farid, MP/Ir. Darpenidar, Dra. Wahidah Masnani M.Hum/Drs. Alwi M.Hum, Sitti Naimah Masyhar, S.Si Apt M.Kes/Ahmad Munatsir, ST, Hamsurijal ST/Jumriani Mustafa, SKM, Abdul Malik Musafir ST, MT/Siti Halimah Larekeng, SP, MS, adikku tercinta Siti Fatimah S.Si MSc dan Rahmah, SP, MSi serta semua keponakan yang tidak dapat penulis sebut satu per satu juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Kepada istriku tercinta Hj. Suminarti, S.SosI MA dan anakku tercinta Azkana Ratifah Zulaikhatul Amin terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya atas segala do’a, dorongan, kesabaran, ketabahan, keikhlasan dan ketulusannya mendampingi penulis dalam segala suka dan duka sehingga mampu menyelesaikan disertasi ini. Akhir kalam, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan. Bogor,
Maret 2013 Amin Nur
xii
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Watampone pada tanggal 17 Agustus 1976 sebagai putra kesepuluh dari dua belas bersaudara pasangan H. Badaruddin Gassing dan Hj. Sitti Hamsinah Dg.Nikaya. Penulis menikah dengan Hj. Suminarti, S.SosI, M.Ag pada tanggal 26 Februari 2005 dan saat ini telah dikaruniai seorang putri yaitu Azkana Ratifa Zulaikhatul Amin (1 tahun 10 bulan). Penulis menempuh Jenjang pendidikan di Program Diploma Tiga (D3) Pertanian Jurusan Budidaya Tanaman Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, lulus tahun 1998. Selanjutnya penulis melanjutkan Studi jenjang Sarjana (S1) Program Studi Pemuliaan Tanaman Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin, lulus tahun 2000. Tahun 2007 penulis melanjutkan jenjang Magister pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman (PBT) Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tahun yang sama 2009 penulis mengikuti pendidikan program doktor pada Mayor Pemuliaan dan Bioteknologi Tanaman (PBT) Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tahun 2001 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil dan ditempatkan di Balitkabi (Balai Penelitian Tanaman Kacang dan Umbi-umbian Malang), Jawa Timur sebagai staf peneliti pemuliaan tanaman kedelai. Tahun 2005 – sekarang
penulis bekerja di Balitsereal (Balai Penelitian Tanaman
Serealia) Maros, Sulawesi Selatan sebagai staf peneliti pemuliaan tanaman Sereal (Jagung, gandum dan sorghum). Beasiswa pendidikan S2 dan S3 diperoleh dari Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian Republik Indonesia. Sebagian disertasi ini telah dipublikasikan pada jurnal Agrivigor Vol. 11 (3) tahun 2012 dengan judul Evaluasi dan Keragaman Genetik Galur Gandum Introduksi (Triticum aestivum L) di Agroekosistem Tropis dan dipresentasikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia (PERIPI) dengan judul Keragaman Genetik, Heritabilitas dan Indeks Sensivisitas Karakter Agronomi Genotipe Gandum (Triticum Aestivum L) Introduksi di Agroekosistem Tropis di Jawa Barat
xiii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........................................................................................
xvi
DAFTAR GAMBAR...................................................................................
xx
DAFTAR LAMPIRAN................................................................................
xxii
PENDAHULUAN........................................................................................ Latar Belakang .…………………………………………………….. Perumusan Masalah………………………………………………… Tujuan Penelitian …………………………………………………... Manfaat Penelitian………………………………………………….. Hipotesis …………………………………………………………… Alur Penelitian………………………………………………………
1 1 6 7 8 8 9
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………. Asal dan Konstitusi Genetik Tanaman Gandum…………………… Adaptasi Tanaman terhadap Perubahan Lingkungan……………… Identifikasi Sifat Morfofisiologis Utama…………………………… Peningkatan keragaman Genetik melalui Pemuliaan Mutasi………. Induksi Mutasi dengan Iradiasi Sinar Gamma……………………… Cekaman Suhu Tinggi………………………………………………. Mekanisme dan Toleransi terhadap Cekaman Suhu Tinggi………... Interaksi Genetik x Lingkungan…………………………………….. Stabilitas Model AMMI…………………………………………….. Metode Shuttle Breeding………………………………………………….
10 10 12 13 15 16 18 19 22 23 24
KARAKTERISASI KARAKTER AGRONOMI DAN FISIOLOGIS GENOTIPE GANDUM (Triticum aestivum) INTRODUKSI DI AGROEKOSISTEM TROPIKA Abstrak……………………………………………………………... Abstract……………………..……………………………………… Pendahuluan..................................................................................... Bahan dan Metode............................................................................ Tempat dan Waktu Penelitian.................................................. Rancangan Penelitian dan Bahan Genetik............................... Pelaksanaan Penelitian............................................................. Analisis Data............................................................................ Hasil dan Pembahasan……………………………………………... Agroekologi Lingkungan Seleksi…………………………….. Penampilan Pertumbuhan dan Perkembangan Genotipe Gandum Introduksi di Agroekosistem Tropis………………...
25 25 26 28 28 28 28 31 36 36 37
xiv
Penampilan Karakter Agronomi Genotipe Gandum Introduksi di Agroekosistem Tropis………………………... Penampilan Karakter Fisiologis Genotipe Gandum Introduksi di Agroekosistem Tropis……………………….. Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Karakter Agronomi dan Fisiologis pada Agroekosistem Tropis……………………………………………………….. Hubungan Kausal Karakter Agronomi dan Fisiologis Genotipe Gandum Introduksi terhadap Bobot Biji/Tanaman di Agroekosistem Tropis……………………………………. Indeks Kepekaan Karakter Agronomi dan Fisiologis terhadap Cekaman Suhu Tinggi pada Beberapa Genotipe Gandum……………………………………………………... Simpulan …………………………………………………………...
40 51
57
59
65 71
INTERAKSI GENETIK X LINGKUNGAN DAN STABILITAS HASIL GENOTIPE GANDUM INTRODUKSI (Triticum aestivum L) DI AGROEKOSISTEM TROPIKA Abstrak……………………………………………………………... Abstract…………………………………………………………….. Pendahuluan.................................................................................... Bahan dan Metode........................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian.................................................. Rancangan Penelitian dan Bahan Genetik............................... Pelaksanaan Penelitian............................................................. Analisis Data............................................................................ Hasil dan Pembahasan……………………………………………... Interaksi Musim x Elevasi x Genotipe Gandum Introduksi di Agroekosistem Tropis………………………………………… Interaksi Genetik x Lingkungan Genotipe Gandum Introduksi di Agroekosistem Tropis……………………………………… Penampilan Karakter Agronomi Genotipe Gandum Introduksi di Agroekosistem Tropis……………………………………... Penampilan Karakter Fisiologis Genotipe Gandum Introduksi di Agroekosistem Tropis…………………………. Stabilitas Hasil Genotipe Gandum Introduksi Di Agroekosistem Tropis………………………………………... Simpulan …………………………………………………………..
98 104
RESPON DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI M2 HASIL IRADIASI SINAR GAMMA BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI TERHADAP CEKAMAN SUHU TINGGI Abstrak……………………………………………………………... Abstract…………………………………………………………….. Pendahuluan.....................................................................................
105 105 106
72 72 73 75 75 75 75 78 80 80 81 86 93
xv
Bahan dan Metode........................................................................... Tempat dan Waktu Penelitian............................................... Orientasi Dosis Iradiasi Sinar Gamma.................................. Respon Genotipe Gandum terhadap Iradiasi Sinar Gamma... Keragaman Populasi M2 Hasil Iradiasi Sinar Gamma terhadap Cekaman Suhu Tinggi Berdasarkan Karakter Agronomi…………………………………………………… Hasil dan Pembahasan……………………………………………... Orientasi Dosis Iradiasi Sinar Gamma.................................. Respon Genotipe Gandum terhadap Iradiasi Sinar Gamma... Keragaman Populasi M2 Hasil Iradiasi Sinar Gamma terhadap Cekaman Suhu Tinggi Berdasarkan Karakter Agronomi…………………………………………………… Simpulan …………………………………………………………… SELEKSI POPULASI M3 DAN M4 TERHADAP CEKAMAN SUHU TINGGI DI AGROEKOSISTEM TROPIS BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI Abstrak……………………………………………………………... Abstract…………………………………………………………….. Pendahuluan..................................................................................... Bahan dan Metode............................................................................ Tempat dan Waktu Penelitian............................................... Seleksi Populasi M3 pada Kondisi Optimal dan Cekaman Suhu Tinggi......................................................................... Seleksi Pedigree Populasi M4 terhadap Cekaman Suhu Tinggi.................................................................................... Hasil dan Pembahasan……………………………………………... Seleksi Populasi M3 pada Kondisi Optimal dan Cekaman Suhu Tinggi......................................................................... Seleksi Pedigree Populasi M4 terhadap Cekaman Suhu Tinggi.................................................................................... Simpulan……………………………………………………………
108 108 108 108
109 111 111 114
116 125
126 126 127 129 129 129 130 131 131 140 146
PEMBAHASAN UMUM…………………………………………………...
147
SIMPULAN DAN SARAN………………………………………………… Simpulan………………………………………………………….. Saran……………………………………………………………….
153 153 154
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….
155
LAMPIRAN…………………………………………………………………
168
xvi
DAFTAR TABEL 1
Klasifikasi beberapa spesies Triticum berdasarkan kelas ploidi………….
12
2
Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan karakter gandum introduksi pada masing-masing lokasi……………………………………………….
31
3
Analisis ragam gabungan menggunakan model acak…………………….
31
4
Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………………
41
Umur berbunga dan umur panen genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………………………………
43
Panjang malai dan jumlah spikelet genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………………………………
44
Jumlah floret hampa dan persentase floret hampa genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………………
45
Bobot biji/tanaman dan bobot biji/malai genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………………
47
Jumlah malai/meter dan laju pengisian biji genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………………
48
Bobot 1000 biji dan hasil genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011…………………………………………………..
49
Jumlah biji/malai dan jumlah biji/tanaman genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………………
50
Luas daun bendera dan ketebalan daun genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………………
53
Kehijauan daun dan kerapatan stomata genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………………
54
Klorofil a dan klorofil b genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011…………………………………………………..
56
Nisbah klorofil a/b dan klorofil total genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………………
57
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
xvii
16
Parameter genetik karakter agronomi dan morfologis genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………...
58
Analisis korelasi karakter agronomi dan fisiologis genotipe gandum introduksi terhadap karakter bobot biji/tanaman…………………………
61
Indeks kepekaan karakter agronomi genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropis..................................................................................
68
Indeks kepekaan karakter agronomi genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropis..................................................................................
69
Indeks kepekaan karakter agronomi genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropis..................................................................................
70
Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan karakter agronomi genotype gandum introduksi pada masing-masing lokasi…………………………
78
Ragam gabungan musim, elevasi dan genotipe menggunakan model acak………………………………………………………………………
78
23
Analisis ragam gabungan lokasi dan galur model acak …………………
78
24
Analisis ragam gabungan model AMMI (Additive Main Effects and Multiplicative Interaction)…………………………………………………………
79
Analisis ragam gabungan musim, elevasi dan genotipe karakter agronomi, morfologi dan fisiologi genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropis ……………………………………………………
82
Analisis ragam gabungan lokasi dan genotipe karakter agronomi dan fisiologi genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………………………………………………
85
Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011………..
86
Umur berbunga dan umur panen galur genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011…………………………...
87
Panjang malai dan jumlah spikelet genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011…………………………
88
Persentase floret hampa dan jumlah floret hampa genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011………….
89
17
18
19
20
21
22
25
26
27
28
29
30
xviii
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
Jumlah biji/malai dan jumlah biji/tanaman genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………
90
Bobot biji/malai dan bobot biji/tanaman genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011…………………...
91
Laju pengisian biji dan jumlah malai/m2 genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………..
92
Bobot 1000 biji dan hasil genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011…………………………..
93
Luas daun bendera dan kerapatan stomata genotipe gandum introduksi pada agroekosistem MH 2010 dan MK 2011………………………..
94
Klorofil a klorofil b dan nisbah klorofil a/b genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011……………………..
95
Klorofil total, ketebalan daun dan kehijauan genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011………….
97
Rata-rata hasil genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011…….…………………………………………...
98
Analisis ragam model AMMI2 untuk hasil genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011…………………….
100
Rata-rata hasil, galat baku, kuadrat tengah interaksi dan kuadrat tengah regresi sebelas genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011………………………………………………...
103
Analisis ragam karakter agronomi beberapa genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011.…………………...
114
Perbedaan nilai tengah karakter agronomi populasi M1 hasil iradiasi sinar gamma (300 gy) dengan kontrol …………………………………..
115
Nilai tengah karakter agronomi populasi M2 hasil iradiasi sinar gamma (300 gy) pada cekaman suhu tinggi………………………………………
117
Nilai tengah karakter agronomi populasi M2 galur gandum introduksi pada cekaman suhu tinggi………………………………………………...
118
xix
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
Keragaman genetik dan heritabilitas karakter agronomi populasi M2 pada cekaman suhu tinggi………………………………………………...
122
Keragaman genetik dam heritabilitas karakter agronomi populasi M2 pada cekaman suhu tinggi……………………………………………….
124
Nilai tengah karakter agronomi populasi M3 hasil iradiasi sinar gamma di Bogor dan Cipanas……………………………………………………..
133
Komponen ragam dan keragaman karakter kehijauan daun, tinggi tanaman, panjang malai dan jumlah spikelet/malai gandum populasi M3 hasil iradiasi sinar gamma di Bogor dan Cipanas ………………………
134
Komponen ragam dan keragaman karakter jumlah floret hampa, jumlah anakan produktif, bobot biji/malai dan jumlah biji/malai gandum populasi M3 hasil iradiasi sinar gamma di Bogor dan Cipanas…………
136
Komponen ragam dan keragaman karakter bobot biji/tanaman dan jumlah biji/tanaman gandum populasi M3 hasil iradiasi sinar gamma di Bogor dan Cipanas………………………………………………………..
137
Kemajuan genetik akibat seleksi genotipe gandum generasi M3 pada kondisi optimum dan cekaman suhu tinggi………………………………
139
Nilai tengah karakter agronomi 499 galur mutan turunan dari Dewata, Selayar, Oasis, Rabe, Kasifbey dan Basribey pada kondisi cekaman suhu tinggi……………………………………………………………………..
142
Nilai tengah karakter agronomi 499 galur mutan turunan dari Dewata, Selayar, Oasis, Rabe, Kasifbey dan Basribey pada kondisi cekaman suhu tinggi……………………………………………………………………...
143
Nilai tengah karakter agronomi 124 galur mutan (59 hasil seleksi Cipanas) dan (65 hasil seleksi bogor) terpilih turunan dari Dewata, Selayar, Oasis, Rabe, Kasifbey dan Basribey cekaman suhu tinggi……...
144
xx
DAFTAR GAMBAR 1
Bagan Alir Penelitian…………………………………………………
9
2
Asal Gandum Tetraploid dan hexaploid. Spesies T.turgidum Tetraploid berasal dari kombinasi genom A dari T.monococcum dan genom B dari spesies liar, sedang T.aestivum Hexaploid berasal dari kombinasi genom AB dari T.turgidum dan genom D dari Ae. Tauchi
11
Skema siklus resproduksi sereal dan pengaruh cekaman abiotik pada Setiap perbedaan tahap perkembangan reproduksi………………….
20
Hubungan sebab akibat antara karakter tanaman (1,2,3,....k) terhadap hasil (Y)………………………………………………………………
34
Periode perkecambahan dan Pertumbuhan tanaman gandum umur 2 hst hingga 55 hst di elevasi (>1000 mdpl) dan elevasu (<400 mdpl)...
37
Keragaan jumlah anakan galur gandum (A) Elevasi >1000 m dpl) dan (B) Elevasi < 400 m dpl…………………………………………
38
Penampilan galur gandum introduksi HP 1744 (A) fase vegetatif elevasi < 400 m dpl (Bogor), (B) fase generatif elevasi < 400 m dpl (Bogor), (C) fase vegetatif elevasi >1000 m dpl (Cipanas), (D) fase generatif elevasi >1000 m dpl (Cipanas) MH 2010……………
39
Keragaan gandum varietas Dewata (A) elevasi < 400 m dpl (Bogor) dan (B) elevasi > 1000 m dpl (Cipanas)……………………………...
39
Penampilan ketebalan daun menggunakan metode mikro teknik dengan pembesaran 10x (A) Selayar Cipanas (1170 m dpl), (B) Selayar Bogor (<400 mdpl), (C) HP 1744 Cipanas dan (D) HP 1744 Bogor…………………………………………………………………..
52
10 Penampilan stomata gandum a Dewata di Cipanas, b Dewata di Bogor, c HP 1744 di Cipanas dan d HP1744 di Bogor………………..
55
11 Diagram lintas galur gandum introduksi karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman di Bogor MH 10/ MH 11…….
63
12 Diagram lintas galur gandum introduksi karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman di Cipanas MH 10/MH 11….
64
13 Grafik biplot genotipe dan karakter berdasarkan indeks kepekaan Dengan menggunakan komponen utama tahun 2010……………….
66
3
4
5
6
7
8
9
xxi
14 Grafik biplot genotipe dan karakter berdasarkan kndeks kepekaan Dengan menggunakan komponen utama tahun 2011…………………
67
15 Kurva respon penampilan potensi dan rata-rata hasil galur gandum di Agroekosistem tropis………………………………………………….
99
16 Biplot AMMI 1dengan tingkat kesesuaian 98 % ...............................
101
17 Biplot AMMI 2 dengan tingkat kesesuaian 96,1 %............................
102
18 Penampilan dosis iradiasi sinar gamma 0 – 700 gy terhadap laju perkecambahan biji gandum…………………………………………..
111
19 Penampilan pertumbuhan kecambah biji gandum pada dosis iradiasi sinar gamma 600, 700, 800, 900 dan 1000 gy pada umur 7 HST……..
112
20 Penampilan pertumbuhan kecambah gandum di lapangan pada dosis iradiasi sinar gamma (A) 0 gy, (B) 100 gy, (C) 200 gy, (D) 300 gy, (E) 400 gy dan (F) 500 gy pada umur 15 HST……………………….
113
21 Box plot umur berbunga dan umur panen tetua dan populasi M2 hasil iradiasi sinar gamma pada lingkungan cekaman suhu tinggi…..
119
22 Box plot kehijauan daun dan tinggi tanaman tetua dan populasi M2 hasil iradiasi sinar gamma pada lingkungan cekaman suhu tinggi…...
119
23 Box plot panjang malai dan jumlah spikelet tetua dan populasi M2 hasil iradiasi sinar gamma pada lingkungan cekaman suhu tinggi…..
120
24 Box plot jumlah spikelet hampa, jumlah biji/malai dan bobot biji/malai tetua dan populasi M2 hasil iradiasi sinar gamma pada lingkungan cekaman suhu tinggi……………………………………...
121
25 Penampilan populasi tanaman M3 gandum hasil iradiasi sinar gamma di lokasi cekaman suhu tinggi (Bogor A dan C) dan lokasi optimum (Cipanas B dan D)…………………………………………………….
131
26 (A) penampilan populasi mutan generasi M4 terpilih toleran suhu tinggi, (B) populasi mutan generasi M4 tidak dapat bertahan hidup dengan adanya cekaman suhu tinggi (C) penampilan populasi mutan generasi M4 menjelang panen dan (D) penampilan hamparan populasi mutan generasi M4………………………………………………………………………………..
140
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
1
Rata-rata kondisi lingkungan selama penelitian 2010 dan 2011…….
2
Hasil analisis contoh tanah…………………………………………...
169
3
Deskripsi Gandum Dewata dan Selayar……………………………...
169
4
Deskripsi Gandum Basribey, Alibey dan Menemen…………………
170
5
Laju Dosis Iradiasi sinar Gamma pada bulan Mei 2009 dengan aktivitas 1046,16976 ci……………………………………………….
171
Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman galur gandum introduksi di lokasi Bogor…………………………………………………………..
172
Matriks korelasi karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman galur gandum introduksi di lokasi Bogor………………
173
Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman galur gandum introduksi di lokasi Cipanas………………………………………………………...
174
Matriks korelasi karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman galur gandum introduksi di lokasi Cipanas…………….
175
6
7
8
9
10 Analisis kandungan klorofil………………………………………….
168
176
1
PENDAHULUAN Latar Belakang Peningkatan laju pertambahan penduduk dunia yang tinggi, industrialisasi dan pemakaian bahan bakar fosil serta eksplorasi sumber daya alam yang dilakukan mengubah dan mempercepat perubahan susunan atmosfer bumi. Fenomena ini menyebabkan perubahan iklim global yang memicu terjadinya pemanasan global. Peningkatan suhu global berpotensi mempengaruhi produksi pertanian sehingga berdampak pada kemampuan dunia dalam memenuhi kebutuhan pangan.
Di Indonesia perubahan iklim global ini berdampak secara
langsung terhadap sektor pertanian, karena keberhasilan produksi pertanian sangat tergantung pada kondisi iklim (Warren et al. 2006).
Analisis keterkaitan
perubahan iklim dengan produksi pangan strategis ditujukan untuk mendapatkan berbagai opsi dan strategi adaptasi tanaman terhadap perubahan iklim di Indonesia. Menurut laporan dari Inter Panel Climate Change (IPCC), pada tahun 2025 - 2100 suhu global akan naik 0,3 oC per dekade mencapai sekitar 1 - 3 oC di atas nilai sekarang, dan menyebabkan pemanasan global. Peningkatan suhu dapat menyebabkan perubahan distribusi geografis dan musim tanam
pada
tanaman pertanian (Jones et al. 1999; Porter 2005). Strategi adaptasi yang paling mendesak dilakukan untuk menanggulangi pemanasan suhu tinggi terhadap pertanian di Indonesia menurut World Development Report (2008) antara lain: menanam varietas yang memiliki daya adaptasi tinggi, mengubah masa tanam menyesuaikan cuaca dan mempraktekkan pertanian dengan masa tanam yang lebih singkat. Selain itu diperlukan penelitian yang intensif serta diseminasi yang terpadu atas berbagai varietas baru komoditas pertanian yang memiliki daya tahan tinggi terhadap kekeringan, banjir, peningkatan temperatur serta memiliki potensi emisi CO2 yang rendah. Gandum sebagai tanaman serealia penting di dunia, memiliki peran strategis dalam mendukung ketahanan pangan dan pemenuhan kebutuhan pangan manusia.
Menurut Wittenberg (2004) bahwa gandum sebagai sumber pangan,
2
dikonsumsi sekitar dua milyar penduduk di dunia (sekitar 36% dari total penduduk dunia). Ditinjau dari kandungan nutrisi, gandum merupakan tanaman serealia yang memiliki komposisi nutrisi lebih tinggi dibanding tanaman serealia lain. Komposisi protein gandum (13%), jagung dan Oats (10%), Padi (8%), Barley dan Rye (12%), sedang karbohidrat gandum (69%), padi (65%), Barley (63%) dan Rye (71%).
Jagung (72%)
Namun yang paling penting adalah gandum
memiliki kandungan glutein tinggi yang dapat mencapai 80% dari biji gandum. Kandungan glutein yang tinggi merupakan karakter kandungan fitokimia yang khas untuk gandum dibanding serealia lain. Glutein adalah protein yang bersifat kohesif dan liat yang berperan sebagai zat penentu elastisitas adonan berbasis tepung. Tepung terigu sebagai produk olahan dari biji gandum sebagai bahan baku makanan yang tidak asing lagi di Indonesia, konsumsi terbesar adalah 35% untuk konsumsi rumah tangga baik dalam bentuk mie basah atau mie kering, 25% untuk industri roti, 20% industri mie instant, 15% untuk industri cake dan biskuit, sisanya
5%
untuk gorengan.
Jenis makanan tersebut sangat disukai oleh
masyarakat mulai dari anak-anak sampai kalangan orang dewasa/orang tua, baik dari kalangan bawah sampai tingkat atas. Beragamnya produk olahan berbasis terigu menyebabkan produksi terigu dan permintaan gandum meningkat sebanding dengan tingkat konsumsi masyarakat terkait dengan tingkat pendapatan dan laju pertambahan penduduk yang selalu meningkat (Adnyana et al. 2006) Konsumsi tepung terigu per kapita di Indonesia setiap tahunnya terus meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan semakin membaiknya gizi masyarakat terutama di perkotaan yaitu mulai dari 6.18 kg/kapita pada tahun 1984 menjadi 15.84 kg/kapita pada tahun 2003,
dan
meningkat menjadi 16.9 kg/kapita pada tahun 2005. Data Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (APTINDO), konsumsi terigu Indonesia meningkat sangat signifikan dari 9.9 kg per kapita pada 2002, menjadi 17.11 kg per kapita pada 2007 atau sekitar 12% dari konsumsi pangan Indonesia dan pada tahun 2009 mencapai 17.7 kg/kapita. Karena itu, impor gandum juga terus mengalami peningkatan, pada tahun 2003 hanya sekitar 3.736 juta ton, pada tahun 2005
3
mencapai 4.5 juta ton, kemudian mengalami peningkatan mencapai 4.770.000 ton (US$ 697.524.000) pada tahun 2007 dan pada tahun 2010 mencapai level 5 juta ton. Data BPS menunjukkan bahwa impor biji gandum tahun 2011 telah mencapai 5.4 juta ton dengan pengekspor utama dari Australia sebanyak 3.7 juta ton, Canada 982.200 ton dan Amerika Serikat 747.900 ton. Sedangkan impor tepung terigu tahun 2011, mencapai 680.100 ton dengan nilai 281.7 juta dolar AS. Pengekspor tepung terigu utamanya berasal dari Turki sebanyak 387.400 ton dan Sri Lanka 207.800 ton serta sisanya dari Ukraina, Belgia, dan Australia. Asosiasi
Produsen
Tepung
Terigu
Indonesia
(Aptindo)
memperkirakan
permintaan tepung terigu dalam negeri pada 2012 naik 6 persen dibanding 2011 yang mencapai 4.7 juta ton. Jika dikaji lebih lanjut, kebijakan impor gandum untuk jangka pendek merupakan salah satu solusi untuk menjawab peningkatan permintaan kebutuhan terigu di dalam negeri.
Namun untuk keperluan
jangka panjang bukan
merupakan solusi yang baik untuk memenuhi kebutuhan terigu dalam negeri, sebab akan menyebabkan ketergantungan negara terhadap negara-negara pengekspor gandum dan menguras devisa Negara. Pengembangan gandum
dunia saat ini, terutama di negara-negara
berkembang, dihadapkan pada masalah cekaman lingkungan. Dua jenis cekaman utama yang dihadapi gandum adalah kekeringan dan suhu tinggi. Produksi gandum menurun secara nyata pada lingkungan dengan cekaman kekeringan paling tidak pada 15 juta ha areal pertanaman gandum di negara berkembang. Lebih dari 7 juta ha gandum ditanam pada lingkungan dengan cekaman suhu tinggi yaitu rata-rata suhu harian lebih dari 17.5°C pada bulan terdingin. Sementara cekaman suhu pada fase akhir pertumbuhan menjadi masalah pada 40% areal pertanaman gandum di daerah temperate yang mencapai 36 juta ha (Reynolds 2002). Gandum merupakan komoditas yang banyak dikembangkan di daerah subtropis, oleh karena itu pengembangan gandum di Indonesia lebih sesuai dibudidayakan di dataran tinggi (>800 mdpl) dengan suhu sekitar 22 – 24oC. Sementara itu, kondisi iklim yang demikian hanya dapat ditemukan di beberapa wilayah tropis di Indonesia dan apabila gandum dibudidayakan di daerah tersebut,
4
akan bersaing dengan komoditas yang sering ditanam di dataran tinggi seperti sayuran dan tanaman hortikultura lainnya yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi.
Disamping itu sosialisasi pengembangan gandum masih kurang di
masyarakat dan tidak tersedianya pasar dan petani belum begitu mengenal cara pengolahan gandum. Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki variasi lingkungan geofisik yang sangat besar dan memberikan lingkungan tumbuh bagi tanaman yang sangat besar pula variasinya. Kondisi tersebut memberikan petunjuk adanya variasi ciri-ciri dan potensi-potensi khusus dari suatu wilayah yang perlu dimanfaatkan secara baik.
Adanya variasi lingkungan makro tersebut tidak
menjamin suatu genotipe/varietas tanaman akan tumbuh baik dan memberikan hasil panen tinggi di semua wilayah. Hal ini terkait dengan kemungkinan ada tidaknya interaksi antara genotipe tanaman dengan kisaran variasi lingkungan. Beberapa usaha yang telah dilakukan untuk memperoleh varietas gandum yang sesuai untuk daerah tropis. CIMMYT (International Maize and Wheat Improvement Center) mengadakan seleksi untuk gandum yang toleran terhadap temperatur dan curah hujan yang tinggi. Peneliti Indonesia telah mengevaluasi genotipe-genotipe gandum introduksi dan juga mengadakan seleksi dari populasi bersegregasi (Gayatri et al. 1985; Dasmal et al. 1994). Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa hasil gandum di Lembang (Jabar 1100 m dpl) mencapai 3.34 ton ha-1, varietas Nias di Malino dapat menghasilkan 5.37 t/ha pada 2001, tetapi pada 2002 produksi tertinggi hanya 2.05 t/ha karena perbedaan kesuburan tanah (Dahlan et al. 2003). Pada tahun 2003 telah berhasil dirilis varietas baru gandum yang lebih adaptif pada ketinggian 1000 mdpl yaitu varietas SELAYAR (HAHN/2*WEAVER CMBW 89 Y 01231-OTOPM-16Y-010M-1Y-010M) dan DEWATA (DWR-162) yang berasal dari Negara India Untuk meningkatkan daya saing dan produksi gandum dalam negeri sebagai sumber pangan dan diversifikasi pangan, perlu dilakukan usaha ekstensifikasi di ketinggian tempat yang lebih rendah melalui perakitan varietas gandum yang dapat beradaptasi pada suhu tinggi dan dataran rendah (400- 600 mdpl). Salah satu faktor pembatas usaha ekstensifikasi gandum didataran rendah adalah cekaman suhu. Menurut Peet dan Willits (1998) cekaman suhu tinggi sering didefinisikan sebagai kenaikan suhu yang melebihi ambang kerusakan
5
untuk periode waktu yang cukup menyebabkan kerusakan yang tidak dapat balik (irreversibel) pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga batasan suhu tinggi untuk tiap tanaman akan tergantung wilayah atau habitat asal tanaman. Akibat suhu tinggi terjadi perubahan agregasi dan denaturasi protein serta peningkatan fluiditas membran sel, secara tidak langsung terjadi inaktivasi enzimenzim di dalam mitokondria dan kloroplas, penghambatan sintesa protein, degradasi protein dan kehilangan integritas membran (Howarth 2005 dalam Wahid et al. 2007).
Menurut Maestri et al. (2002) komposisi protein pada
tepung gandum yang dihasilkan yang berpengaruh terhadap kemampuan mengembang pada roti (bread-making quality/BMQ). Pendekatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan adaptasi tanaman terhadap cekaman abiotik secara historis menggunakan penilaian berbasis lapangan untuk mengidentifikasi kultivar toleran, diikuti dengan program pemuliaan dan menyeleksi genotipe pada lingkungan bercekaman penuh untuk mendapatkan genotipe yang toleran serta diperoleh karakter tanaman yang diinginkan sebagai kriteria seleksi sesuai dengan target cekaman (Blum 1983; Hall 1992). Perbaikan sifat tanaman memerlukan keragaman genetik. Peningkatan keragaman genetik dan perbaikan varietas untuk satu atau dua sifat dapat dilakukan melalui persilangan dan induksi mutasi genetik (Witjaksono 2003). Salah satu mutagen fisik yang sering digunakan adalah sinar gamma. Teknik induksi mutasi sangat baik digunakan untuk tanaman yang mengalami masalah karena tidak tersedianya sumber tetua. Gandum di Indonesia termasuk tanaman yang memiliki sumber keragaman genetik sangat rendah sehingga untuk mendapatkan karakter baru unggul dengan teknik hibridisasi menjadi sulit dilakukan (Micke & Donini 1993). Menurut Soepomo (1968), peluang dapat tidaknya terjadi mutasi dan persentasenya tergantung pada jumlah tanaman, umur tanaman, bagian tanaman, fase pertumbuhan dan lamanya penyinaran. Dosis iradiasi dibagi tiga yaitu tinggi (> 10 k Gy), sedang (1-10k Gy) dan rendah (<1 k Gy). Perlakuan dosis tinggi akan mematikan bahan yang dimutasi atau mengakibatkan sterilitas. Pada umumnya dosis yang rendah dapat mempertahankan daya hidup atau tunas, dapat memperpanjang waktu kemasakan buah dan sayur, serta meningkatkan kadar protein, pati, dan kadar minyak pada jagung, kacang dan bunga matahari.
6
Tanaman mutan juga memiliki daya tahan yang lebih baik terhadap serangan patogen dan kekeringan (Soedjono 2003). Dosis iradiasi yang diberikan untuk mendapatkan mutan tergantung pada jenis tanaman, fase tumbuh, ukuran, kekerasan dan bahan yang akan dimutasi (Soedjono 2003). Perubahan sifat pada mutan mencapai 95-98%, umumnya dari sifat dominan ke resesif.
Soedjono (2003) melaporkan jumlah kultivar mutan
yang dilepas sebagai hasil mutasi induksi sebanyak 64.49% dari iradiasi sinar gamma. Induksi mutasi terhadap biji gandum dengan kadar air 11% telah dilaksanakan di laboratorium Brookhaven National, Upton New York, Amerika Serikat dengan dosis 150−250 Gy sinar-X atau 8.38 x 1012 Nth/cm2 Nth. Turunan M2 dianalisis secara kimia dan fisika, dan menghasilkan beberapa mutan yang berbeda sifat klorofilnya (Mugnozza et al. 1993). Induksi mutasi dengan menggunakan iradiasi sinar gamma, telah banyak digunakan untuk menginduksi mutasi pada beberapa genera tanaman, diantaranya Chrysanthemum morifolium (Yamaguchi et al. 2008), Ipomea batatas (Wang et al. 2006), Orthosiphon stamineus (Pick Kiong et al. 2008), Saccharum sp. (Patade dan Suprasanna 2008), Sorghum bicolor (Larik et al. 2009), padi (Bibi et al. 2009), Triticum aestivum (Singh dan Balyan 2009), dan kacang-kacangan (Tah & Saxena 2009). Perumusan Masalah Permintaan global gandum diperkirakan akan meningkat sekitar 1.3 % per tahun, dan sekitar 1.8% per tahun di negara-negara berkembang selama 20 tahun berikutnya (Rosegrant et al. 1995). Untuk mengatasi permintaan ini dengan peningkatan produksi gandum melalui peningkatan penggunaan lahan sangat tidak mungkin. Daerah budidaya gandum di negara-negara berkembang diharapkan akan meningkat hanya 0.14% per tahun pada 2020 (Rosegrant et al. 1995). Dengan demikian, sebagian besar diperlukan peningkatan produksi harus berasal dari peningkatan hasil rata-rata. Kebutuhan gandum Indonesia secara nasional setiap tahunnya mengalami peningkatan, hingga tahun 2009, nilai impor gandum Indonesia mencapai 4.77 t/thn biji gandum dengan tingkat kebutuhan tepung terigu 17.77 kg/kapita. Dengan harga saat ini US$ 593/ton dibutuhkan devisa hampir US$ 2.4 miliar atau Rp 22.1 triliun.
7
Gandum merupakan komoditas yang banyak dikembangkan di daerah subtropis. Oleh karena itu, gandum lebih sesuai dibudidayakan di dataran tinggi (>800 mdpl) dengan suhu sekitar 22 – 24oC. Sementara itu, kondisi iklim yang demikian hanya dapat ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia dan apabila gandum dibudidayakan di daerah tersebut, maka akan bersaing dengan komoditas yang sering ditanam di dataran tinggi seperti sayuran dan tanaman hortikultura lainnya yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi. Disamping itu sosialisasi pengembangan gandum masih kurang di masyarakat dan tidak tersedianya pasar dan petani belum begitu mengenal cara pengolahan gandum Pengembangan gandum di Indonesia sangat potensial dengan melihat potensi sumber daya lahan. Oleh karena itu perlu dirakit varietas yang toleran terhadap suhu tinggi atau varietas yang dapat beradaptasi pada ketinggian < 800 m.dpl.
Dalam merakit varietas yang toleran terhadap suhu tinggi, perlu adanya
pemahaman terhadap karakter-karakter morfofisiologis yang dapat dijadikan sebagai karakter seleksi yang berhubungan langsung produksi dan karakter tersebut memiliki nilai heritabilitas tinggi. Perbaikan adaptasi terhadap suhu tinggi, memerlukan keragaman genetik yang tinggi.
Upaya peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan dengan
introduksi varietas gandum yang toleran terhadap suhu tinggi, kemudian diadaptasikan di Indonesia. Pemuliaan mutasi dengan menggunakan iradiasi sinar gamma merupakan salah satu upaya meningkatkan keragaman genetik. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh karakter morfofisiologis yang dapat dijadikan sebagai karakter seleksi toleran terhadap suhu tinggi dan mendapatkan galur atau galur mutan yang berdaya hasil tinggi pada kondisi cekaman suhu tinggi. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Mendapatkan karakter morfofisiologis yang dapat dijadikan sebagai karakter seleksi untuk mendapatkan gandum toleran terhadap cekaman suhu tinggi.
2.
Mengetahui pengaruh interaksi genetik x lingkungan dan genotipe stabil di agroekosistem tropis
3.
Mendapatkan keragaman genetik gandum melalui induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma.
8
4.
Mendapatkan mutan yang dapat beradaptasi baik di agroekosistem tropis, khususnya dataran rendah Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh karakter morfofisiologis tanaman gandum yang adaptif terhadap suhu tinggi yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk seleksi dalam pengembangan varietas gandum toleran terhadap suhu tinggi. 2. Penelitian ini diharapkan memperoleh keragaman genetik yang lebih tinggi melalui teknik induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma. Hipotesis Hipotesis yang dikemukakan pada penelitian ini adalah : 1. Terdapat karakter morfofisiologis gandum yang dapat dijadikan sebagai karakter seleksi toleran terhadap cekaman suhu tinggi. 2. Terdapat pengaruh interaksi genetic x lingkungan dan genotype stabil di agroekosistem tropis 3. Terdapat keragaman genetik gandum melalui induksi mutasi dengan iradiasi sinar gamma 4. Terdapat galur mutan yang beradaptasi baik di agroekosistem tropis dan toleran terhadap suhu tinggi dengan produksi tinggi.
9
Alur Penelitian Untuk mencapai tujuan penelitian dan menjawab hipotesis yang diajukan dilakukan percobaab dengan skema penelitian seperti pada Gambar 1. ADAPTASI TANAMAN GANDUM TOLERAN SUHU TINGGI DAN PENINGKATAN KERAGAMAN GENETIK MELALUI INDUKSI DENGAN MENGGUNAKAN MUTASI SINAR GAMMA
Pemuliaan mutasi Radiasi sinar gamma 300 Gy (M1)
Studi Morfofisiologi
Elevasi <400 m dpl
Verifikasi karakter Morfofisiologis
Studi keragaman populasi (M2)
Elevasi < 400 m dpl Seleksi pada cekaman suhu tinggi (M3)
Seleksi pada cekaman suhu tinggi (M4) Pedigree
Elevasi > 1000 m dpl
Elevasi > 1000 m dpl
Karakter Adaptasi Cekaman Suhu Tinggi Seleksi pada lingkungan optimal (M4) Pedigree
Seleksi pada cekaman suhu tinggi (M5) Karakter morfofisiologi sebagai karakter seleksi dan diperoleh mutan yang dapat beradaptasi baik pada agroekosistem tropis dengan produksi tinggi
Gambar 1 Bagan alir penelitian.
10
TINJAUAN PUSTAKA Asal dan Konstitusi Genetik Tanaman Gandum Gandum telah ditanam di Asia bagian barat daya, geografik pusat dari asalnya, selama lebih dari 10.000 tahun. Spesies liarnya masih tumbuh di Libanon, Syria, bagian utara Israel, Iraq, dan bagian timur Turki. Manusia mulai memuliakan gandum pada awal tahun 1800-an. Semenjak itu mulai ada perbaikan kualitas bulir dan peningkatan hasil, modifikasi dalam arsitektur tanaman serta peningkatan ketahanan kekeringan, masa simpan, hama dan penyakit (Sleper & Poehlman 2006) Bukti tertua bagi penanaman gandum datangnya dari Syria, Jordan, Turki, Armenia dan Irak. Sekitar 9000 tahun yang lalu, gandum einkorn liar ditemui dan ditanam pada lembah subur. Sekitar 8000 tahun yang lalu, melalui mutasi dikenallah gandum emmer dengan benih yang lebih besar, tetapi tidak mampu disebarkan oleh angin (Wikipedia 2011).
Gandum (Triticum aestivum)
merupakan spesies yang berasal dari genus Triticum, Tribe Triticeae, dan Famili Poaceae. Triticeae merupakan Tribe dari famili Poaceae yang terdiri lebih dari 15 genus dan 300 spesies yang termasuk gandum dan barley. Genus Triticum berkerabat dengan Hordeum, Avena, Secale, Zea, dan Oryza (Wittenberg 2004). Spesies – spesies yang termasuk di dalam genus Triticum dikelompokkan ke dalam tiga kelas ploidi yaitu diploid(2n=2x=14), tetraploid (2n=4x= 28) dan heksaploid (2n=6x=42) (Gambar 1) (Sakamura 1918 dalam Wittenberg 2004; Fehr 1987; Sleper & Poehlman 2006).
Saat ini terdapat 11 spesies diploid, 12
spesies tetraploid, dan 6 spesies heksaploid yang sudah diidentifikasi dan dideskripsikan (Sleper & Poehlman 2006). Namun hanya dua spesies dari genus Triticum yang memiliki nilai ekonomis penting yaitu Triticum aestivum dan Triticum turgidum. Triticum aestivum merupakan gandum yang umum dikenal yang dimanfaatkan untuk bahan baku roti.
Triticum turgidum yang dikenal
dengan gandum durum digunakan untuk membuat pasta. Wilson (1955) mengklasifikasikan gandum berdasarkan kegunaannya yang meliputi gandum keras (hard wheat) yang memiliki kandungan gluten dan protein tinggi serta cocok untuk pembuatan roti;
gandum lunak (soft wheat) yang memiliki
kandungan gluten dan protein yang lebih rendah, cocok untuk pembuatan kue-kue
11
kering, biskuit, dan crackers, dan gandum durum, Gandum durum : gandum yang memiliki kandungan gluten dan protein sangat rendah, cocok untuk pembuatan macaroni dan spaghetti.
Fehr (1987) mengklasifikasikan beberapa spesies
Triticum berdasarkan kelas ploidinya (Tabel 1).
Spesies Diploid T.monococcum
Spesies tidak dikenal
X 2n=2x = 14 (BB)
2n=2x = 14 (AA)
2x = 14 (AB) Penggandaan Kromosom
T.turgidum Gandum Tetraploid
Ae.tauchi
X 2n=2x = 14 (DD)
2n=4x = 28 (AABB)
3x = 21 (ABD) Penggandaan Kromosom
T.aestivum Gandum Hexaploid
2n=6x = 42 (AABBDD)
Gambar 2 Asal gandum tetraploid dan hexaploid. spesies T.turgidum, tetraploid berasal dari kombinasi genom A dari T.monococcum dan genom B dari spesies liar, sedang T.aestivum, hexaploid berasal dari kombinasi genom AB dari T.turgidum dan genom D dari Ae. Tauchi.
12
Tabel 1. Klasifikasi Beberapa Spesies Triticum Berdasarkan Kelas Ploidi Species Diploid Species (2n = 14) T. Monoccocum var. monoccocum T. Monoccocum var. boeoticum T. Dichasians T. Tauschii T. Comosum T. Speltoides T. Umbellatum Spesies Tetraploid (2n = 4x = 28) T. turgidum L. var. dococcon T. turgidum L. var. durum T. turgidum L. var. turgidum T. turgidum L. var. polonicum T. turgidum L. var. carthlicum T. turgidum L. var. dicoccoides T. timopheevii var. araraticum T. cylindricum T. ventricosum T. triunciale T. ovatum T. kotschyi Spesies Heksaploid (2n = 6x = 42) T. aestivum L. var. aestivum T. aestivum L. var. spelta T. aestivum L. var. compactum T. aestivum L. var. sphaerococcum T. syriacum T. juvenile T. triaristatum Sumber : Fehr (1987)
Genome
Status
AA AA CC DD MM SS UU
Budidaya spesies liar spesies liar spesies liar spesies liar spesies liar spesies liar
AABB AABB AABB AABB AABB AABB AAGG DDCC DDMM UUCC UUMM UUSS
Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya spesies liar spesies liar spesies liar spesies liar spesies liar spesies liar spesies liar
AABBDD AABBDD AABBDD AABBDD DDMMSS DDMMUU UUMMMM
Budidaya Budidaya Budidaya Budidaya spesies liar spesies liar spesies liar
Adaptasi Tanaman terhadap Perubahan Lingkungan Adaptasi tanaman adalah kemampuan tanaman untuk menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungan yang spesifik seperti kondisi suhu, cahaya, dan ketersediaan mineral dan hara. Memahami mekanisme genetik dan fisiologis tanaman dengan perubahan-perubahan kondisi lingkungan sangat penting untuk menciptakan strategi yang efisien untuk mengembangkan kultivar tahan cekaman untuk sistem produksi yang berkelanjutan.
13
Menurut Rao (2001) perbaikan adaptasi tanaman terhadap lingkungan dapat dicapai dengan dua pendekatan umum: perubahan lingkungan pertumbuhan, atau dengan pengembangan genotipe tanaman. Seringkali gabungan pendekatan tersebut yang paling efektif. Peningkatan hasil panen yang dicapai oleh pemulia tanaman umumnya terutama disebabkan pada perubahan-perubahan yang terbagi dalam dua kategori (1) perubahan agronomi melalui perbaikan adaptasi genetik untuk mengatasi kendala biotik utama dalam produksi tanaman (misalnya, hama dan penyakit) dan abiotik (misalnya, suhu, kekeringan, kekurangan dan keracunan mineral, dan salinitas) serta (2) meningkatkan potensial hasil genetik di atas kultivar standar dalam lingkungan yang sama (Evans 1993; Miflin 2000). Pendekatan yang paling berhasil untuk meningkatkan adaptasi tanaman pangan dan pakan terhadap cekaman abiotik secara historis menggunakan penilaian berbasis lapangan untuk mengidentifikasi kultivar toleran, diikuti dengan program pemuliaan dan menyeleksi genotipe pada lingkungan bercekaman penuh untuk mendapatkan galur-galur yang toleran serta diperoleh karakter tanaman yang diinginkan sebagai kriteria seleksi sesuai dengan target cekaman (Blum 1983; Hall 1992). Sebuah program pengembangan tanaman yang efektif untuk meningkatkan adaptasi tanaman secara genetik terhadap faktor-faktor cekaman abiotik akan termasuk (1) mengidentifikasi plasma nutfah toleran terhadap faktor interes cekaman abiotik, (2) karakterisasi sifat tanaman dan mekanisme yang bertanggung jawab atas adaptasi genetik unggul, (3) menentukan mekanisme warisan untuk sifat utama tanaman, (4) mengidentifikasi lokus sifat kuantitatif (QTLs) terkait dengan sifat kunci yang terlibat dalam toleransi cekaman dalam menyeleksi dengan bantuan marker (marker-assisted selection) dalam populasi layak, dan (5) mengembangkan skema peningkatan genetik yang terintegrasi. Identifikasi Sifat Morfofisiologis Utama Efektivitas seleksi untuk sifat-sifat morfofisiologis tergantung pada faktorfaktor seperti heritabilitas, korelasi genetik antara sifat-sifat, input yang diperlukan untuk mengukur suatu sifat, intensitas seleksi dan cara di mana seleksi diintegrasikan ke dalam program pemuliaan (Buttery et al. 1981). Penelitian
14
tentang respon tanaman pada iklim yang berbeda dan faktor-faktor cekaman edafik menunjukkan bahwa variasi genetik tersedia untuk sejumlah sifat fisiologis penting. Pemulia telah mencoba untuk memasukkan variasi genetik ini ke dalam kultivar yang menunjukkan semua toleransi tanaman terhadap cekaman. Selain itu, banyak metode yang diusulkan oleh ahli fisiologi untuk memantau toleransi terhadap cekaman didasarkan pada penampilan masingmasing sel tunggal, jaringan, organ, atau individu tanaman dan tidak memberikan indikasi yang baik pada semua respon tanaman terhadap cekaman ketika ditumbuhkan dalam pembibitan berjarak tanam atau dalam lingkungan yang kompetitif di lapangan. Ceccarelli et al. (1991a) berpendapat bahwa seleksi untuk satu sifat sering tidak berhasil, terutama pada lingkungan yang tak terduga di mana frekuensi, waktu, dan tingkat keparahan cekaman tidak diketahui. Simulasi
pemodelan
dapat
membuat
kontribusi
penting
untuk
meningkatkan adaptasi tanaman terhadap lingkungan bercekaman penuh. Kemampuan kita untuk menilai secara akurat berbagai proses interaksi selama siklus hidup tanaman terbatas, dan pengembangan model dapat menghapus banyak "hunch taking" dalam memilih sifat-sifat fisiologis yang relevan untuk manipulasi genetika (Moorby 1987; Shorter et al. 1991). Hasil benih dapat digambarkan sebagai akumulasi laju fotosintat, intensitas atau fraksi asimilat yang terbentuk untuk dialokasikan benih, durasi photoassimilate partitioning untuk benih, dan sejauh mana remobilisasi dari bahan asimilasi sebelumnya ke benih. Boote dan Tollenaar (1994) menggunakan simulasi pertumbuhan tanaman untuk mengevaluasi hipotesis respon hasil pada banyak sifat-sifat genetis. Dengan menggunakan pendekatan pemodelan, mereka membuat evaluasi yang sistematis tentang pentingnya sifat tanaman sebagai efek dari 5P potensi hasil: prior events- peristiwa sebelum (kanopi vegetatif dengan tillering yang memadai dan penentuan posisi buah-fruiting sites), fotosintesis, partitioning, pod-filling or grain-filling period (periode pengisian poling/biji), dan prior accumulation (sebelum akumulasi) serta remobilization of photosynthates and minerals (remobilisasi fotosintat dan mineral). Mereka menemukan bahwa dari lima P terdaftar, lamanya periode pengisian polong yang paling mungkin untuk menjelaskan peningkatan hasil sebelumnya, sekarang dan masa depan. Mereka
15
menyarankan bahwa perbaikan hasil juga berasal dari peningkatan toleransi terhadap cekaman sejauh fotosintesis dipertahankan, pengisian biji lebih panjang, dan mobilisasi lebih lambat. Peningkatan Keragaman Genetik melalui Pemuliaan Mutasi Upaya perbaikan sifat genetik dan peningkatan keragaman genetik tanaman gandum di Indonesia selama ini hanya bertumpu pada introduksi galurgalur homosigot atau yang telah dilepas sebagai varietas di Negara tertentu, karena tanaman gandum pada dasarnya merupakan tanaman subtropik yang diupayakan untuk dikembangkan diderah tropik, khususnya di Indonesia. Hal ini merupakan penyebab utama rendahnya keragaman genetik tanaman gandum di Indonesia.
Peningkatan keragaman genetik tanaman gandum yang telah
diintroduksi, dapat dilakukan melalui hibridisasi dan induksi mutasi. Pemuliaan secara mutasi dapat diinduksi dengan mutagen fisik atau mutagen kimia.
Pada
umumnya
tahap
mutagen
fisik
dapat
menyebabkan
mutasi
pada
kromosom,sedangkan mutagen kimia umumnya menyebabkan mutasi pada tahapan gen atau basa nitrogen (Aisyah 2006) Mutasi adalah suatu perubahan baik terhadap gen tunggal, terhadap sejumlah gen atau terhadap susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel seperti tunas, biji dan sebagainya. Secara molekuler, dapat dikatakan bahwa mutasi terjadi karena adanya perubahan urutan (sequence) nukleotida DNA kromosom, yang mengakibatkan terjadinya perubahan pada protein yang dihasilkan (Poespodarsono 1988). Pemuliaan mutasi adalah metode pemuliaan untuk meningkatkan keragaman genetik dalam rangka perbaikan varietas tanaman yang dilakukan dengan menggunakan mutagen fisik atau kimia (Chopra 2005). Mutagen fisik, sebagai contoh sinar gamma, telah banyak digunakan untuk menginduksi mutasi pada beberapa genera tanaman, diantaranya Chrysanthemum morifolium (Yamaguchi et al. 2008), Ipomea batatas (Wang et al. 2006), Orthosiphon stamineus (Pick Kiong et al. 2008), Saccharum sp. (Patade & Suprasanna 2008), Sorghum bicolor (Larik et al. 2009), padi (Bibi et al. 2009), Triticum aestivum (Singh & Balyan 2009), dan kacang-kacangan (Tah & Saxena 2009).
16
Induksi Mutasi dengan Iradiasi Sinar Gamma Induksi mutasi dimulai sejak ditemukannya sinar X, gamma dan neutron seratus tahun yang lalu dan menjadi salah satu teknologi yang dalam perbaikan sifat utama tanaman (Ahloowalia 2001). Semula, para pakar/pemulia tanaman menganggap bahwa induksi mutasi merupakan suatu teknik pemuliaan yang kurang meyakinkan. Namun, seiring dengan berkembangnya bioteknologi, keberhasilan regenerasi sel berdasarkan teori
toti potensi, dan terbentuknya
variasi somaklonal, induksi mutasi merupakan terobosan dalam pemuliaan tanaman yang menjanjikan, khususnya bagi tanaman yang berbiak secara vegetatif. Teknik tersebut dapat menunjang perolehan varietas mutan baru yang bermanfaat bagi perkembangan dunia usaha. Iradiasi sinar gamma merupakan teknologi radiasi bagian dari teknologi nuklir yang menggunakan radioisotope. Dibandingkan zat kimia biasa, radioisotope memiliki kelebihan sifat fisik, yaitu memancarkan sinar radioaktif. Keberhasilan perlakuan iradiasi sangat ditentukan oleh sensitivitas genotipe yang diiradiasi terhadap dosis radiasi yang diberikan. Tingkat sensitivitas tanaman dipengaruhi oleh jenis tanaman, fase tumbuh, ukuran, dan bahan yang akan dimutasi, serta sangat bervariasi antar jenis tanaman dan antar genotipe (Banerji & Datta 1992).
Broertjes dan van Harten (1988) menyatakan bahwa semakin
banyak kadar oksigen dan molekul air (H2O) berada dalam materi yang diradiasi, maka semakin banyak pula radikal bebas yang terbentuk sehingga materi menjadi semakin sensitif. Sensitivitas terhadap radiasi dapat diukur berdasarkan nilai LD50 (lethal dose 50) yaitu dosis yang menyebabkan kematian 50% dari populasi tanaman yang diradiasi.
Dalam induksi mutasi, beberapa studi menunjukkan
bahwa dosis optimum yang dapat menghasilkan mutan terbanyak umumnya diperoleh di sekitar LD (Datta 2001). Untuk mendapatkan nilai lethal dosis 50 (LD50), digunakan program best curve-fit analysis, yaitu satu program analisis statistik yang dapat digunakan untuk mencari persamaan model terbaik. Dosis iradiasi sinar gamma dapat diukur dalam satuan Gray (Gy), 1 Gy sama dengan 0,10 krad yakni 1 J energy per kg iradiasi yang dihasilkan (Anonimous 1997). Dosis iradiasi juga merupakan salah satu faktor penentu perlakuan radiasi. Dosis yang tinggi umumnya mengakibatkan kematian,
17
sedangkan pada dosis rendah umumnya hanya menyebabkan perubahan abnormal pada fenotipe tanaman. Pengaruh dosis radiasi terhadap persen kematian, pertumbuhan, dan fertilitas telah banyak dilaporkan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa biji-biji yang diradiasi sinar gamma dengan dosis yang tinggi akan mengganggu sintesa protein (Xiuzher, 1994), keseimbangan hormon, pertukaran gas di daun (Stoeva & Bineva 2001), pertukaran air dan aktivitas enzim (Stoeva et al. 2001). Pada dosis sedang sampai rendah, kemampuan adaptasi tanaman dapat dipertahankan, dan bersifat dapat balik. Hasil penelitian Mandal dan Basu (1986) menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma pada beberapa dosis yang berbeda tidak berpengaruh terhadap daya berkecambah benih padi, terutama
pertumbuhan
tetapi berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit,
akar
bibit.
Iradiasi
sinar
gamma
menyebabkan
terganggunya proses pembelahan sel, mengakibatkan terbentuknya sel-sel yang abnormal, dan menurunkan frekuensi pembelahan sel yang berakibat pada menurunnya laju pertumbuhan bibit,
serta aberasi pada sifat-sifat morfologi.
Pada tanaman Nicotiana iradiasi dengan dosis tinggi mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman, degradasi klorofil dan kerusakan morfologi pada tanaman (Wada et al. 1998). Sebaliknya, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan radiasi yang menggunakan dosis rendah dapat memperbaiki perkecambahan benih. (1986a)
Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Sheppard
dan Sheppard (1987b) pada gandum dan barley yang menunjukkan
bahwa dosis yang rendah dapat menstimulasi perkecambahan. Pada penelitian lainnya dengan menggunakan kisaran dosis 1-4 krad, juga memberikan hasil yang sama, yaitu menstimulasi perkecambahan gandum dan barley, dimana daya berkecambah akan menurun dengan meningkatnya dosis radiasi; kecenderungan yang sama juga ditunjukkan oleh karakter tinggi bibit (Khanna 1986). Pertumbuhan bibit dipengaruhi oleh dosis radiasi yang digunakan. Hasil penelitian Mahto et al. (1989) menunjukkan bahwa daya berkecambah dua kultivar chickpea di lapang tidak dipengaruhi oleh iradiasi sinar gamma pada dosis 15 krad, akan tetapi daya berkecambah akan menurun secara nyata dengan meningkatnya dosis radiasi dari 30 krad menjadi 75 krad.
Kawamura et al.
(1992a) melakukan penelitian terhadap biji-biji padi yang diradiasi menggunakan
18
sinar gamma dengan dosis minimal 50 krad. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis radiasi berpengaruh terhadap panjang akar, tetapi tidak pada parameter daya berkecambah. Hasil yang sama juga ditunjukkan hasil penelitian Kawamura et al. (1992b) yang menunjukkan bahwa panjang akar dan tunas bibit gandum lebih sensitif terhadap perlakuan iradiasi sinar gamma dibandingkan dengan proses perkecambahan itu sendiri. Akan tetapi, hasil yang berbeda ditunjukkan oleh hasil penelitian Irfag (2003) pada gandum (Triticum aestivum) dengan empat dosis radiasi (100, 200, 300, dan 400 Gy) yang menunjukkan bahwa persentase perkecambahan menurun seiring dengan kenaikan dosis radiasi. Hasil tersebut didukung oleh hasil penelitian dari Singh dan Balyan (2009). Perbaikan sifat gandum dengan menggunakan iradiasi sinar gamma telah dilakukan di beberapa negara diantaranya adalah Argentina (1 mutan), Chili (1 mutan), Cina (124 mutan), Bulgaria (2 mutan), Finlandia (1 mutan), Jepang (2 mutan), Jerman (2 mutan), Rusia (36 mutan), india (4 mutan), Hongaria (1 mutan), Irak (60 mutan), Italia (2 mutan), Swiss (1 mutan), Mongolia (3 mutan), Amerikan (3 mutan) dan Pakistan (6 mutan). Mutan gandum yang pertama tahun 1966 terhadap biji dengan iriradiasi sinar X, J, β, laser, neutron cepat, EI, MNH dan sinar gamma meningkatkan produksi, umur genjah, tahan dingin, patogen, rebah, lebih kerdil dan kualitas biji lebih baik (Cheng et al. 1990; Vrinten et al. 1999). Cekaman Suhu Tinggi Cekaman suhu tinggi sering didefinisikan sebagai kenaikan suhu yang melebihi
ambang kerusakan untuk periode waktu yang cukup menyebabkan
kerusakan yang
tidak dapat balik (irreversibel) pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Secara umum, tingginya suhu lingkungan diatas 10150C adalah dianggap heat stress atau cekaman suhu tinggi. Namun, cekaman suhu memiliki fungsi yang sangat kompleks (suhu dalam derajat), lamanya, dan laju peningkatan suhu. Sejauh mana hal ini terjadi di zona iklim spesifik tergantung pada kemungkinan dan periode suhu tinggi yang terjadi pada siang hari dan/atau malam hari. Toleransi cekaman suhu secara umum didefinisikan sebagai kemampuan tanaman untuk tumbuh dan menghasilkan secara ekonomi pada suhu/temperatur tinggi (Peet & Willits 1998).
19
Cekaman suhu mengancam produksi tanaman di seluruh dunia (Hall, 2001).
Emisi Gas akibat kegiatan manusia secara substansial menambah
konsentrasi
gas rumah kaca
terutama CO2, metana, dan nitrous oksida,
klorofluorokarbon. Model perbedaan sirkulasi global memperkirakan bahwa gas rumah kaca dunia secara bertahap akan meningkatkan suhu
rata-rata dunia.
Menurut laporan dari Inter Panel Climate Change (IPCC), suhu global akan naik 0,30C per dekade (Jones et al. 1999) mencapai sekitar 1 dan 30C di atas nilai sekarang pada tahun 2025 dan 2100, dan menyebabkan pemanasan global. Peningkatan suhu dapat menyebabkan perubahan distribusi geografis dan musim pertumbuhan tanaman pertanian dengan membiarkan ambang suhu untuk awal musim dan kematangan tanaman lebih awal (Porter 2005). Suhu yang sangat tinggi, menyebabkan kerusakan parah dan bahkan kematian sel dapat terjadi dalam beberapa menit, yang dapat dikaitkan sebagai keruntuhan organisasi selular (Schoffl et al. 1999). Pada suhu yang sedang, kerusakan atau kematian sel mungkin terjadi hanya setelah paparan suhu jangka panjang. Rusak/cedera langsung karena suhu
tinggi termasuk diantaranya
denaturasi protein dan
agregasi, dan peningkatan fluiditas membran lipid. Cedera tidak langsung atau lambat akibat cekaman suhu tinggi meliputi inaktivasi enzim dalam kloroplas dan mitokondria, hambatan
sintesis protein, degradasi protein dan hilangnya
integritas membran (Howarth, 2005). Mekanisme dan Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Suhu Tinggi Perkembangan reproduksi tanaman dimulai dengan perubahan suatu meristem vegetatif menjadi meristem bunga juga termasuk perkembangan struktur bunga dan reproduksinya, pembentukan gametofit jantan dan betina, pembuahan dan akhirnya perkembangan benih (Gambar 1). Waktu peralihan dari perkembangan vegetatif
ke reproduktif dikendalikan oleh isyarat lingkungan
seperti photoperiod (panjang hari panjang /pendek) dan suhu (vernalisation) (Amasino 2010; Trevaskis 2010). Penyesuaian waktu berbunga merupakan mekanisme adaptasi yang penting terhadap kondisi lingkungan agar terhindar dari cekaman abiotik seperti es, panas dan kekeringan dalam lingkungan tertentu. Pemuliaan untuk varietas berperiode pendek atau panjang, adalah suatu strategi pemuliaan yang umum untuk memaksimalkan hasil dan adaptasi terhadap lingkungan tertentu tetapi, mekanisme penghindaran dapat membatasi potensi
20
hasil ketika kondisi menguntungkan karena durasi tanaman mungkin terlalu singkat untuk mencapai hasil maksimum. Selanjutnya, mekanisme penghindaran tidak melindungi tanaman saat kejadian cekaman abiotik tak terduga terjadi. Hal ini benar terutama jika peristiwa cekaman pendek dan sementara (misalnya, dingin, panas atau kekeringan). Dalam kasus ini, mekanisme toleransi diperlukan untuk melindungi perkembangan reproduksi dan menjamin pembentukan bulir maksimum. Dalam kondisi lapangan, sulit untuk membedakan antara mekanisme menghindari dan toleransi. Skrining untuk plasma nutfah toleran di lapangan paling sering menghasilkan seleksi galur stress-avoiding dengan waktu pembungaan yang berubah daripada galur murni toleran terhadap cekaman.
Gambar 3 Skema siklus resproduksi sereal dan pengaruh cekaman abiotik pada Setiap perbedaan tahap perkembangan reproduksi (Dolferus et al. 2011)
Dua komponen berkontribusi pada adaptasi tanaman terhadap suhu tinggi : yaitu (1) penghindaran (avoidance) panas, di mana jaringan tanaman yang mengalami iradiasi matahari tinggi atau udara panas memiliki suhu yang lebih rendah daripada tanaman kontrol dan (2) toleransi panas, di mana fungsi tanaman esensial dipertahankan ketika jaringan menjadi panas. Tanaman mewujudkan mekanisme yang berbeda untuk bertahan hidup di
21
bawah suhu tinggi, termasuk jangka panjang evolusi phenologi dan adaptasi morfologi dan jangka pendek penghindaran atau mekanisme aklimatisasi seperti mengubah orientasi daun, pendinginan melalui proses transpirasi, atau perubahan komposisi membran lipid. Dalam banyak tanaman, pematangan awal erat berkorelasi dengan kerugian hasil yang lebih kecil di bawah suhu tinggi, yang dapat dikaitkan dengan keterlibatan mekanisme penghindaran (Adams et al. 2001). Berbagai mekanisme respon tanaman terhadap cekaman suhu tinggi dan perannya dalam cekaman, toleransi merupakan hal yang sangat dasar dan penting. Beberapa mekanisme toleransi termasuk ion transporter,
osmoprotectants,
radikal bebas, embriogenesis terlambat, protein berlimpah dan faktor-faktor yang terlibat dalam pancaran sinyal dan kontrol transkripsional penting untuk melawan efek cekaman (Wang et al. 2004). Suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pra-dan pasca-panen, termasuk suhu panas daun dan ranting, terbakar matahari pada daun, cabang dan batang, penuaan daun dan absisi, peningkatan hambatan tajuk dan akar, kerusakan dan perubahan warna buah dan mengurangi hasil (Guilioni et al. 1997; Ismail & Hall 1999; Vollenweider & Gunthardt –Goerg 2005). Di daerah beriklim sedang, heat stress telah dilaporkan sebagai salah satu penyebab paling penting dalam pengurangan hasil panen dan produksi bahan kering dalam banyak tanaman, termasuk jagung (Giaveno & Ferrero 2003). Cekaman suhu tinggi sendiri atau dalam kombinasi dengan kekeringan, adalah sebuah kendala umum selama tahapan pengisian biji dan anthesis pada banyak tanaman sereal pada daerah yang beriklim sedang. Sebagai contoh, cekaman suhu tinggi memperpanjang waktu pengisian biji-bijian, menurunkan berat kernel gandum hingga 7% pada musim semi (Guilioni et al. 2003). Pengurangan serupa terjadi pada pati, protein dan isi minyak kernel jagung (Wilhelm et al. 1999) dan kualitas biji-bijian sereal lain (Maestri et al. 2002). Pada gandum, berat dan jumlah gandum tampaknya peka terhadap cekaman suhu tinggi, seperti jumlah butir per malai menurun dengan meningkatnya suhu (Ferris et al. 1999). Pada tingkat sub-seluler, modifikasi besar terjadi di kloroplas, yang menyebabkan perubahan signifikan dalam fotosintesis.
Sebagai contoh, suhu
tinggi mengurangi fotosintesis melalui perubahan struktur thylakoids (Karim et al. 1997).
Penelitian mengungkapkan bahwa efek tertentu pada suhu tinggi
22
menyebabkan hilangnya membran tylakoid, ukuran atau pembengkakan grana. Sebagai respon terhadap cekaman suhu tinggi, kloroplas dalam sel mesofil tanaman anggur menjadi berbentuk bulat, stroma lamella menjadi bengkak, dan isi vakuola berbentuk rumpun, sedangkan krista terganggu dan mitokondria menjadi kosong (Zhang et al. 2005). antena-depleted
Perubahan tersebut mengakibatkan pembentukan
fotosistem-II (PSII) dan karenanya mengurangi kegiatan
fotosintesis dan pernafasan (Zhang et al. 2005). Interaksi Genetik x Lingkungan Kajian interaksi genetik x lingkungan telah banyak dipaparkan antara lain Finlay-Wilkinson (1963), Eberhart-Russell (1966), Luthra dan Singh (1974) serta Freeman (1980),
Gauch (1992) dan Yan (2000).
Menurut Allard dan
Bradsaw (1964), interaksi genotipe lingkungan tersebut bersifat kompleks karena bervariasinya komponen-komponen faktor lingkungan. Yang dan Baker (1991), melukiskan interaksi genotipe x lingkungan sebagai perbedaan yang tidak tetap diantara genotipe-genotipe yang ditanam dalam satu lingkungan ke lingkungan yang lain.
Macam
interaksi tersebut
penting diketahui karena dapat menghambat kemajuan seleksi dan sering mengganggu dalam pemilihan varietas-varietas unggul dalam suatu pengujian varietas (Eberhart-Russell 1966) dan seringkali
menyulitkan pengambilan
kesimpulan secara sahih jika suatu percobaan varietas genotipe dalam kisaran lingkungan yang luas (Nasrullah 1981). Pemahaman
interaksi
genetik
x
lingkungan
diperlukan
untuk
mengidentifikasi galur yang hasilnya tinggi untuk lingkungan spesifik atau stabil pada lingkungan yang luas. Pemilihan galur untuk lingkungan spesifik didasarkan pada nilai duga interaksi genetik x lingkungan yang nyata yang menggambarkan kemampuan suatu genotip mengekspresikan sejumlah besar gen-gen yang menguntungkan pada lingkungan tertentu sehingga diperoleh hasil yang tinggi. Sebaliknya, pemilihan galur yang beradaptasi pada lingkungan yang luas didasarkan pada nilai duga interaksi genetik x lingkungan tidak nyata yang menggambarkan kemampuan suatu galur berpenampilan sama pada kondisi lingkungan yang berbeda (Soemartono et al. 1992). Untuk mendapatkan galur yang beradaptasi luas tersebut, perlu diperhatikan stabilitas hasil secara sistematis
23
dan kontinu mulai dari pembentukan populasi dasar sampai tahap evaluasi (Dahlan 2004). Dari uji multilokasi tersebut, diajukan dua calon varietas jagung unggul baru berumur sedang dengan potensi hasil tinggi. Keunggulan dan kelemahan dari varietas yang diusulkan, diuraikan lebih lanjut pada hasil dan pembahasan hasil uji adaptasi/multilokasi. Stabilitas model AMMI (Adittive Main and Multiplication Interaction) Stabilitas adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan daya hasil terhadap perubahan kondisi lingkungan. artinya
Stabilitas ini dapat bersifat dinamik
selalu berubah pada kisaran tertentu pada lingkungan yang berbeda,
sedangkan bersifat statis adalah kondisi dimana daya hasil suatu genotipe selalu tetap pada berbagai lingkungan. Dalam mengukur stabilitas hasil suatu genotipe, Finlay-Wilkinson (1963) menggunakan koefisien regresi sebagai ukuran stabilitas, Eberhart-Russell menggunakan rata-rata jumlah kuadrat simpangan regresi (Si2), Bilbro dan Ray (1976) menggunakan koefisien determinasi (=R2) untuk menggantikan Si2 dengan pertimbangan selain R2 dapat menggambarkan ukuran variasi juga mudah dihitung dan ditafsirkan. Lin et al. (1986) menggunakan besaran yang dinamakan ekovalen sebagai ukuran stabilitas, Shukla (1972) menggunakan besaran yang disebut varians stabilitas untuk menyatakan genotipe yang stabil, Gauch (1992) menggunakan model AMMI dengan menyatakan genotipe yang stabil berdasarkan gabungan antara analisis ragam dan analisis komponen utama.
Yan (2000)
dengan menyatakan genotipe yang stabil dengan model Biplot Analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data percobaan dua faktor perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif sedangkan pengaruh interaksi di modelkan dengan model bilinier. Model Ammi digunakan untuk menganalisis
percobaan
lokasi
ganda.
Pada
dasarnya
model
AMMI
menggabungkan analisis ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan analisis komponen utama ganda dengan pemodelan bilinier bagi pengaruh interaksi (Gauch & Zobel 1988).
24
Metode Shuttle Breeding Metode shuttle breeding merupakan salah satu metode dalam program pemuliaan tanaman yang betujuan untuk merakit varietas tanaman pada lingkungan bercekaman baik biotik maupun abiotik pada wilayah yang luas. Metode ini pada awalnya dikembangkan antar instansi. Sejumlah besar materi genetik yang mempunyai potensi dapat mengatasi masalah dikirim ke suatu wilayah, kemudian dievaluasi secara sistematik dengan melibatkan berbagai pihak di wilayah tersebut. Materi genetik yang mampu bertahan dalam lingkungan seleksi,
selanjutnya
dikembangkan
sedangkan
materi
genetik
lainnya
dikembalikan ke institusi penyelenggara pemuliaan untuk keperluan perbaikan genetik. Materi genetik yang telah diperbaiki dikirimkan kembali ke wilayah bermasalah untuk mengetahui respons seleksi tahap lanjut. Proses tersebut dapat terjadi berulang-ulang hingga diperoleh satu atau dua materi genetik yang mantap untuk mengatasi suatu masalah. Rangkaian kegiatan pemuliaan tersebut dikenal dengan istilah shuttle breeding (Balitsa 2002). Kelebihan metode shuttle breeding dalam merakit varietas untuk lingkungan
bercekaman
dipertahankan
jika
salah
adalah satu
materi
genetik
lingkungan
yang
digunakan
(cekamannya
sangat
dapat tinggi)
menyebabkan materi genetik mati, lingkungan optimal digunakan sebagai backup materi genetik, seleksi langsung pada lingkungan bercekaman berpotensi untuk memaksimalkan ekspresi gen-gen yang dapat mengendalikan daya hasil maupun daya adaptasi tanaman terhadap cekaman lingkungan (Ceccareli et al. 2007). Kegiatan shuttle breeding menggunakan materi generasi awal dari program pemuliaan. Seleksi tahap pertama biasanya dilakukan oleh breeder untuk memilih individu tanaman
atau sekelompok tanaman yang
memiliki
karakter unggul berdasarkan penilaian tertentu. Individu-individu tanaman yang tidak memiliki karakter unggul tidak disertakan pada seleksi berikutnya. Seleksi selanjutnya dilaksanakan berdasarkan bercekaman yang merupakan lingkungan target.
Seleksi generasi selanjutnya
individu dikembalikan pada lingkungan
optimal yang bertujuan untuk perbanyakan benih untuk seleksi selanjutnya yang lebih luas. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga didapatkan materi genetik yang betul-betul toleran pada lingkungan bercekaman.
25
KARAKTERISASI KARAKTER AGRONOMI DAN FISIOLOGIS GENOTIPE GANDUM [(Triticum aestivum (L.)] INTRODUKSI DI LINGKUNGAN AGROEKOSISTEM TROPIS ABSTRAK Karakterisasi karakter agronomi dan fisiologis genotipe gandum introduksi merupakan salah satu kegiatan dalam program pemuliaan untuk mengetahui karakter yang berperan dalam peningkatan hasil, khususnya di agroekosistem tropis. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan karakter agronomi dan fisiologis yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi serta mendapatkan genotipe gandum adaptif di agroekosistem tropis khususnya cekaman suhu tinggi. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Seameo-Biotrop (< 400 m dpl) dan kebun percobaan Balithi-Cipanas (>1000 m dpl). masing masing dua musim tanam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakterisasi genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropis memberikan respon yang berbeda untuk karakter agronomi, pada karakter fisiologis, genotipe yang memperlihatkan pengaruh nyata hanya terhadap karakter luas daun bendera, kehijauan daun dan kerapatan stomata. Terdapat tiga karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi yang diikuti dengan keragaman genetik yang luas yaitu karakter tinggi tanaman, jumlah spikelet, dan luas daun bendera. Karakter yang menunjukkan korelasi nyata dan positif dengan karakter bobot biji/tanaman adalah karakter jumlah biji/malai, bobot biji/malai dan jumlah biji/tanaman. Terdapat satu karakter yang berpengaruh langsung terhadap bobot biji/tanaman yaitu klorofil b, sementara empat karakter lainnya yaitu karakter jumlah biji/malai, jumlah biji/tanaman, klorofil a, dan klorofil total berpengaruh langsung namun nilainya bervariasi. Indeks kepekaan genotipe terhadap suhu tinggi sangat bervariasi berdasarkan karakter yang diamati, berdasarkan karakter hasil genotipe OASIS/SKAUZ //4* BCN Var-28 memiliki toleransi medium di dua musim. Genotipe G-21 dan LAJ toleransinya dapat diseleksi berdasarkan bobot biji/malai, klorofil b, dan hasil, sementara Oasis toleransinya dapat diseleksi berdasarkan panjang malai dan bobot biji/tanaman (2010). Genotipe Oasis, H-21, Basribey dan LAJ toleransinya dapat diseleksi berdasarkan bobot biji/tanaman dan bobot biji/malai. Kata Kunci : karakterisasi, genotipe gandum, agroekosistem tropis ABSTRACT Characterization of agronomical and physiological characters of introduced wheat lines is one of the activities in breeding programs to know the characters that play a role in improving yields, particularly in tropical agro-ecosystems. The study aimed to obtain agronomical and physiological characters that can be used as selection criteria and to attain the adaptive lines of wheat in tropical agroecosystems, especially in high temperature stress. Research carried out in SEAMEO-BIOTROP (<400 m.asl) and Balithi-Cipanas experiment gardens (> 1000 m.asl), in two cropping seasons, respectively. The results showed that the characterization of introduced genotype in tropical agro-ecosystems provided
26
different response in agronomical and physiological characters but only the leaf area, leaf greenness and density of stomata characters gave different responses. The characters that have highly heritability value followed by highly genetic variability were plant height, number of spikelet and leaf area characters. The characters that showed significant and positive correlation with the character of seed weight/plant were the number of seeds/spike, seed weight/spike and number of seeds/plant. Only chlorophyl b affected directly to the weight of seed/plant in both elevations, while other four characters namely number of seed/spike, number of seed/plant, chlorophyl a and total chlorophyl gave different effect. Index genotipe sensitivity to high temperatures vary greatly based on the characters were observed. Based on the character of yield of genotype OASIS/SKAUZ//4*BCN Var-28 had a medium tolerance in two seasons. The tolerance of G-21 and LAJ genotype can be selected based on the weight of seeds/spike, chlorophyll b, and the yield, while Oasis tolerance can be selected based on the length of spike and seed weight/plant (2010). Keyword : characterization, wheat lines, tropical agro-ecosystems
PENDAHULUAN Latar Belakang Gandum (Triticum aestivum L.) merupakan salah satu tanaman subtropics yang banyak digunakan di Indonesia sebagai bahan baku pangan yang dapat diolah menjadi berbagai produk krupuk, mie
dan macaroni.
makanan seperti roti, kue kering, biskuit, Hasil sampingannya yaitu gabah dan dedak
digunakan sebagai pakan dan jerami gandum dapat dipakai sebagai bahan kerajinan tangan. Tepung terigu sebagai produk olahan dari biji gandum sebagai bahan baku makanan yang tidak asing lagi di Indonesia, konsumsi terbesar adalah 35% konsumsi rumah tangga baik dalam bentuk mie basah atau mie kering, 25% industri roti, 20% industri mie instant, 15% industri cake dan biskuit, sisanya 5% untuk gorengan (Andyana et al. 2006). Hal ini menyebabkan volume impor biji gandum Indonesia tiap tahun mengalami peningkatan, selain biji gandum, beberapa perusahaan telah mengimpor dalam bentuk tepung terigu. Kebutuhan gandum dalam bentuk tepung terigu dalam negeri seluruhnya tergantung dari impor. Data BPS menunjukkan bahwa impor biji gandum tahun 2011 telah mencapai 5.4 juta ton berasal dari Australia sebanyak 3.7 juta ton, Canada 982.200 ton dan Amerika Serikat 747.900 ton. Sementara impor tepung
27
terigu tahun 2011, mencapai 680.100 ton dengan nilai 281.7 juta dolar AS (BPS 2012) dengan sumber utamanya berasal dari Turki sebanyak 387.400 ton dan Sri Lanka 207.800 ton serta sisanya dari Ukraina, Belgia, dan Australia. Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia (Aptindo) memperkirakan permintaan tepung terigu dalam negeri pada 2012 naik 6 persen dibanding 2011 yang mencapai 4.7 juta ton (Aptindo 2012). Hal ini menyebabkan potensi pengembangan gandum di Indonesia masih sangat tinggi. Kendala yang dihadapi dalam upaya pengembangan gandum di Indonesia adalah tanaman gandum berasal dari lingkungan subtropika dengan suhu 8 – 10oC. Daerah potensial untuk pengembangan gandum di Indonesia sebagian besar di daerah ketinggian di atas 1000 m dpl dengan suhu udara yang rendah yaitu 15 – 20oC. Pada ketinggian tersebut tanaman gandum bersaing dengan tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomis jauh lebih tinggi dari gandum. Tujuan pengembangan gandum ke depan adalah merakit varietas gandum yang dapat beradaptasi baik di dataran rendah dan toleran suhu tinggi dengan suhu ratarata 25 – 35oC (Handoko 2007). Menurut Sastrosoemarjo et al. (2004), pengembangan areal pertanaman gandum di Indonesia diharapkan tidak menggunakan daerah – daerah berelevasi tinggi, karena akan bersaing dengan produksi komoditas hortikultura. Cekaman suhu tinggi menjadi salah satu faktor pembatas dalam upaya pengusahaan gandum di daerah berelevasi rendah dan medium, karena pada dasarnya gandum merupakan tanaman subtropis yang menghendaki suhu 10 21oC sebagai suhu optimalnya untuk proses pertumbuhan dan perkembangan (Ginkel & Villareal 1996). Menurut Peet dan Willits (1998) cekaman suhu tinggi sering didefinisikan sebagai kenaikan suhu yang melebihi ambang kerusakan untuk periode waktu yang cukup menyebabkan kerusakan yang tidak dapat balik (irreversibel) pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman, sehingga batasan suhu tinggi untuk tiap tanaman akan relatif tergantung wilayah atau habitat asal tanaman. Setiap tanaman memiliki respon yang berbeda dan spesifik untuk tiap tipe cekaman. Pada dasarnya tanaman akan mengembangkan diri terkait dengan mekanisme adaptasi tanaman pada keadaan tercekam. Suhu tinggi yang bersifat
28
sementara maupun konstan menyebabkan perubahan morfo-anatomis, fisiologis dan biokomiawi pada tumbuhan. Hal tersebut dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan serta menyebabkan berkurangnya hasil yang bernilai ekonomi (Wahid et al. 2007). Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam pengembangan gandum ke depan, khususnya elevasi medium dan rendah adalah mengakarakterisasi karakter-karakter morfo-anatomis, fisiologis yang dapat memberikan kontribusi peningkatan hasil dari setiap genotipe yang toleran suhu tinggi. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengkarakterisasi karakter
agronomi dan
fisiologis, yang dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi dan mendapatkan genotipe gandum introduksi yang adaptif di agroekosistem tropis, khususnya cekaman suhu tinggi. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Seameo-Biotrop pada elevasi < 400 m dpl dan kebun percobaan Balithi - Cipanas pada elevasi >1000 m dpl masing masing dua musim tanam. Penelitian berlangsung mulai bulan Mei 2010 - Juli 2011. Rancangan Penelitian dan Bahan Genetik Penelitian di masing – masing musim dan elevasi dilaksanakan
dengan
menggunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) yaitu 3 ulangan, ukuran plot 1.5 x 5 m.
Materi evaluasi terdiri atas 10 genotipe yaitu
Oasis/Skauz//4*BCN, HP 1744, Laj/MO88, Rabe/MO88, Basribey, Alibey, Menemen, G-21, G-18, dan H-21 serta dua varietas nasional sebagai pembanding yaitu Selayar, dan Dewata. Pelaksanaan Penelitian Pengolahan lahan.
Lahan dibersihkan dari gulma kemudian dicangkul
untuk membalikkan tanah. Tanah digemburkan dan dibuat petakan sepanjang
29
5 m dengan lebar 1.5 m, jumlah petakan semua di setiap musim dan lokasi adalah 36 petakan. Penanaman. Sebelum ditanam benih gandum diberi perlakuan pestisida atau seed treatment untuk menghindari semut dan lalat bibit di lokasi penelitian. Insektisida seed treatment yang digunakan adalah karbaril 85%. Penanaman dilakukan dengan cara larikan. Setiap genotipe ditanam/petak terdiri dari 6 baris. Jarak antar barisan 25 cm, benih dilarik dalam baris.
Jumlah benih yang
digunakan untuk setiap baris 10 – 12 g sehingga total benih yang dibutuhkan dalam satu petak 60 – 72 g. Setelah penanaman ditaburi insektisida karbofuran 3% Pemupukan. Pupuk yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis masing-masing 300, 200 dan 100 kg.ha-1. Pemupukan diberikan dua kali yaitu pemupukan pertama pada umut tanaman 10 HST dengan dosis 150, 200 dan KCl 100 kg.ha-1, pupuk SP-36 dan KCl diberikan sekaligus. Pemupukan kedua pada umut 30 HST dengan dosis 150 kg.ha-1 Urea. Pemeliharaan.
Pemeliharaan
dilakukan
meliputi
penyiangan,
penyiraman, pengendalian hama dan penyakit. Intensitas penyiangan dilakukan tergantung
dari
kecepatan
perkembangan
gulma
disekitar
pertanaman.
Penyiangan (weeding) dilakukan secara manual dengan menggunakan cangkul atau sabit. Penyiangan pertama dilakukan sebelum pemupukan pertama (10 HST), penyiangan kedua sebelum pemupukan kedua (30 HST) dan penyiangan selanjutnya dilakukan pada saat tanaman memasuki fase generatif. Pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan insektisida Deltamethrin 25 g/l untuk mengendalikan belalang, walang sangit dan aphids, sedangkan pengendalian penyakit menggunakan fungisida
difekonazol 250 g/l untuk
mengendalikan cendawan. Pengamatan.
Pengamatan dilakukan terhadap karakter morfologi,
fisiologi dan agronomi tanaman gandum. Karakter – karakter tersebut adalah : 1) Tinggi tanaman (cm) yaitu tinggi tanaman
diukur dari permukaan tanah
sampai ujung malai, 2) Jumlah anakan produktif yaitu jumlah anakan yang membentuk malai, 3) Umur berbunga (hari) yaitu Jumlah hari dari waktu tanam sampai lebih dari 50 % tanaman telah mengeluarkan malai dalam setiap plot, 4) Umur panen (Hari) yaitu Jumlah hari dari waktu tanam sampai lebih dari
30
50% tanaman telah menguning malainya dalam setiap plot, 5) Panjang malai (cm) yaitu diukur mulai dari lingkaran cincin sampai ujung malai tidak termasuk bulu, 6) Jumlah spikelet/malai, 7) Jumlah floret hampa/malai, 8) Persentase floret hampa/malai, 9) Bobot biji/tanaman, 10) Bobot biji/malai (g), 11) Jumlah malai/m2 yaitu jumlah malai yang dihitung pada 4 baris tengah panjang 1 m, 12) Laju pengisian biji (Hari) yaitu jarak antara umur berbunga hingga dan umur panen, 13) Bobot 1000 biji (g), 14) Hasil (kg.p-1) yaitu berat biji dalam satu petakan, 15) Jumlah biji/malai, 16) Jumlah biji/Tanaman,. Karakter fisiologis terdiri dari karakter 1) Kerapatan stomata yaitu menentukan jumlah stomata per satuan luas daun, pengamatan dilakukan dengan mengambil sampel dari bagian tengah daun bendera dengan menggunakan selulosa asetat (cat kuku) pada bagian bawah daun untuk mencetak pola stomata pada permukaan daun. Kerapatan stomata dihitung dengan rumus *) : Ǿok = Ǿol x pl /pk Diameter bidang pandang ( 10 x 40) = 5 x 10-1mm = 0.5 mm Dimana : Ǿ ok = diameter bidang pandang dengan obyektif perbesaran kuat Ǿ ol = diameter bidang pandang dengan obyektif perbesaran lemah pl
= perbesaran lensa obyektif lemah
pk
= perbesaran lensa obyektif kuat
Luas bidang pandang
= ¼ πd2 = ¼ (3.14) (0.5)2 = 0.19625 mm2 Jumlah stomata
Kerapatan stomata
=
-------------------Luas bidang pandang
2) Luas daun bendera (LD) diukur dengan menggunakan leaf area meter. Luas daun diukur pada saat tanaman telah mengeluarkan malai dan daun bendera telah terbuka sempurna dengan cara destruktif tanaman pinggir, 3) Klorofil a, klorofil b, klorofil total dan nisbah klorofil a/b metode disajikan pada lampiran 9, 5) Ketebalan daun, diukur dengan menggunakan metode mikro teknik, 6) Intensitas
31
kehijauan daun yaitu di ukur menggunakan chlorophyl meter pada saat tanaman memasuki fase generatif dan daun bendera telah berkembang penuh. Analisis Data Data hasil pengamatan berupa karakter morfologi dan fisiologis di analisis dengan menggunakan analisis ragam, ragam gabungan dua musim dua lokasi, nilai heritabilitas, korelasi dan analisis lintas.
Analisis dilakukan mengikuti
metode yang dikemukakan oleh Singh dan Chaudhary (1985) dan Falconer (1989). 1.
Analisis Ragam dan Ragam Gabungan Dua Musim dan Dua Lingkungan Analisis ragam digunakan untuk mengetahui ada tidaknya keragaman pada
genotipe gandum yang diuji pada dua musim dan dua lokasi, sedangkan analisis ragam gabungan dua musim dan dua lokasi untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh musim dan lokasi genotipe gandum yang diuji. Model analisis ragam dan ragam gabungan disajikan pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2. Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan karakter gandum introduksi pada masing-masing lokasi Sumber keragaman
Derajat bebas Kuadrat tengah
Ulangan Genotipe Galat
r-1 g-1 (g-1)(r-1)
KT1 KT2
Kuadrat tengah harapan 2 + r2g 2
Keterangan : r = ulangan, g = genotipe, 2g = ragam genotipe, 2 = ragam galat
Tabel 3. Analisis Ragam Gabungan Menggunakan Model Acak Sumber keragaman Musim (M) Lokasi (L) MxL Ulangan/ML Genotipe (G) MxG LxG MxLxG Galat
Derajat bebas (m-1) (l-1) (m-1) (l-1) (r-1) ml (g-1) (m-1) (g-1) (l-1) (g-1) (m-1) (l-1) (g-1) (g-1) (r-1) ml
Kuadrat tengah KT9 KT8 KT7 KT6 KT5 KT4 KT3 KT2 KT1
Kuadrat tengah harapan ζ2+rζ2glm+lrζ2gm+rmζ2gl+lrmζ2g ζ2 + rζ2glm + rmζ2gl ζ2 + rζ2glm + rlζ2gm ζ2 + rζ2glm ζ2
Keterangan : r = ulangan, M = Musim, L = lokasi, G = genotipe, 2g = ragam genotipe, 2m = ragam musim, 2l = ragam lokasi, ζ2gml = ragam interaksi, 2 = ragam galat
32
2.
Pendugaan ragam, heritabilitas dalam arti luas dan koefisien keragaman genetik. Pendugaan komponen ragam terdiri dari ragam genetik, ragam fenotipik,
ragam musim, ragam lokasi, lingkungan dan ragam interaksi. Menurut Hallauer dan Miranda (1995), ragam fenotipik (2P), ragam genotipik (2G), ragam musim (2M), ragam lokasi (2L), ragam lingkungan (2E), dan ragam interaksi (ζ2
GML)
dihitung sebagai berikut: ζ2 P
= ζ2g + ζ2gl/l + ζ2gm/m + ζ2glm/lm + ζ2e/rlm;
ζ2 g
= KT5 – (KT4 + KT3 – KT2)/ rml;
ζ
2
ζ
2
gl
= (KT3 – KT2) /rm ;
gm
= (KT4 – KT2) / rl
ζ2 gml
= (KT2 – KT1) / r;
ζ2
= KT1 Menurut Stansfield (1983) nilai duga heritabilitas dan kriterianya dihitung
dengan menggunakan rumus : ζ2 G h2 (bs)
=------ x 100% ζ2 P
Kriteria nilai heritabilitas :
h2 > 0,5 : heritabilitas tinggi
h2 terletak antara 0,2 – 0,5 : heritabilitas sedang
h2 < 0,2 : heritabilitas rendah Koefisien keragaman genetik diduga berdasarkan ragam genotipik (ζ2G)
dan luas atau sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter ditentukan berdasarkan standar deviasi ragam genetik yang diduga menurut rumus berikut: ζ(ζ2G) =
2 (rlm) 2
KT52 KT32 KT42 KT22 db 2 db 2 db 2 db 2 gm gl gml g
Apabila ζ2G > 2 ζ(ζ2G) : keragaman genetiknya luas, sedangkan ζ2G < 2 ζ(ζ2G) : keragaman genetiknya sempit. Dimana : KT5 : kuadrat tengah genotipe KT4 : kuadrat tengah musim x genotipe;
33
KT3
: kuadrat tengah lokasi x genotipe;
KT2
: kuadrat tengah musim x lokasi x genotipe;
r
: ulangan;
l
: lokasi;
m
: musim;
dbg : derajat bebas genotipe;
3.
dbgl
: derajat bebas genotipe x lokasi;
dbgm
: derajat bebas genotipe x musim;
dbgml
: derajat bebas genotipe x musim x lokasi;
Analisis korelasi sederhana (simple correlation) Keeratan hubungan antara dua karakter tanaman dapat diketahui melalui
metode analisis korelasi sederhana. Metode ini mampu mendeteksi secara linier antara dua karakter (Singh 2004). Dalam program pemuliaan, metode ini sangat bermanfaat dalam mengetahui ada tidaknya hubungan antara karakter yang ada dengan karakter utama, sehingga berguna untuk memperbaiki respon ikutan (Correlated respons) dalam penerapan seleksi tak langsung (indirect selection) (Nasution et al. 2007) Dua variabel dapat dikatakan berkorelasi positif, jika keduanya cenderung berubah secara bersama dengan arah yang sama yaitu meningkat atau menurun secara bersama. Dikatakan berkorelasi negatif jika kedua karakter berubah dalam arah yang berlawanan yaitu apabila satu karakter meningkat maka karakter lainnya mengalami penurunan, sedangkan dikatakan tidak berkorelasi apabila kedua karakter cenderung berubah dengan tidak ada hubungan satu dengan yang lain. Formula analisis korelasi sederhana menurut Gaspersz (1992) disajikan sebagai berikut : rx y
n xiyi xi yi
n xi
2
xi n yi 2 yi 2
2
Keterangan : rxy = Korelasi antar karakter X dan Y; n Karakter X; y = Nilai Karakter Y
= Jumlah Pengamatan; x
= Nilai
34
4) Analisis lintasan (path analysis) Analisis lintasan adalah bentuk analisis regresi terstruktur yang membahas hubungan kausal antara karakter-karakter baku dalam system tertutup (Gaspersz 1992). Melalui analsis ini dapat diketahui kontribusi berupa pengaruh langsung (direct effects) dan pengaruh tidak langsung (indirect effects) antar karakter bebas terhadap karakter respon (Singh 2004). Besarnya pengaruh langsung dan tidak langsung untuk masing-masing karakter terhadap hasil ditentukan dengan analisis lintas (Path Analysis) seperti yang dikemukakan oleh Sing dan Chaudhary (1985): 1
p1g r1g 2
Hasil (Y)
r2g
p2g
r3g
p3g
3
rkg pkg Psg
k
S
Gambar 4 Hubungan sebab akibat antara karakter tanaman (1,2,3,....k) terhadap bobot biji/tanaman (Y). dimana : P1g, P2g, P3g, ..., Pkg adalah koefisien lintas, yang menunjukkan pengaruh langsung dari beberapa sifat tanaman (1,2,3,..., k) terhadap suatu sifat (Y); sedangkan Psg adalah koefisien lintas yang menunjukkan pengaruh langsung sifat-sifat yang lain (sisa) terhadap suatu sifat (Y). Koefisien lintas P1g, P2g, P3g, ..., Pkg diduga melalui persamaan berikut:
35
Sementara koefisien lintas Psg diestimasi melalui persamaan berikut : 1 = P2sg + P21g + ... + P2kg + ... + 2P1gr12P2g + ... + 2P1g r1k Pkg + ... +2P3gr3kPkg 5) Indeks kepekaan terhadap cekaman suhu tinggi. Pengelompokkan genotipe toleran, medium toleran, kepekaan terhadap cekaman suhu tinggi didasarkan kepada nilai indeks kepekaan suhu tinggi yang dihitung menggunakan persamaan yang dikemukakan Fischer dan Maurer (1978), dengan persamaan : S = (1-Yis/Yio)/(1-Xts/Xto) dimana : S
= indeks kepekaan genotipe tertentu;
Yis = nilai tengah karakter amatan untuk genotipe ke-i di dataran rendah; Yio = nilai tengah karakter amatan untuk genotipe ke-i di dataran tinggi; Xts = nilai tengah karakter amatan untuk populasi di dataran rendah; Xto = nilai tengah karakter amatan untuk populasi di dataran tinggi. Genotipe gandum diklasifikasikan toleran jika memiliki S < 0.5, moderat jika 0.5 < S <1, dan sensitif jika S >1 (Fischer & Maurer 1978).
36
HASIL DAN PEMBAHASAN Agroekologi Lingkungan Seleksi Lahan di dua elevasi penelitian merupakan lahan kering yang selama ini digunakan untuk menanam tanaman semusim. Di elevasi > 1000 m dpl (Cipanas) umumnya digunakan untuk menanam tanaman sayuran dan hortikultura lain, sedang di elevasi < 400 m dpl (Bogor) umumnya digunakan untuk menanam tanaman jagung dan sorgum. Analisis tanah kedua elevasi penelitian disajikan pada Lampiran 2 Iklim di wilayah Kecamatan Cipanas dapat dikatagorikan sebagai daerah beriklim tropis basah (humid tropical climate) karena termasuk tipe Af sampai Am dari klasifikasi iklim Koppen. Curah hujan rata-rata tahunan di kecamatan Cipanas yaitu berkisar 1000 mm dengan 9 bulan basah dan 3 bulan kering, sedangkan di sekeliling daerah pegunungan mencapai 2500-3000 mm. Variasi suhu bulanan berkisar antara 22 - 25ºC.
Selama musim hujan, secara tetap
bertiup angin dari barat laut yang membawa udara basah dari laut cina selatan dan bagian barat laut jawa. Pada musim kemarau, bertiup angin kering bersuhu relatif tinggi dari arah Australia yang terletak di tenggara (sumber buku laporan tahunan Badan Pusat Statistik Kabupaten Cianjur 2006). Tanaman gandum merupakan tanaman yang berasal dari lingkungan Subtropis yang memiliki sifat responsif terhadap fotoperiodisme dan termasuk tanaman ‘hari panjang’ (long day plant) yaitu proses perkembangan tanaman semakin cepat dengan panjang hari (periode dari matahari terbit hingga terbenam) yang semakin lama. Di Indonesia karakteristik
umum
lingkungan
daerah
tropis
dicirikan
oleh
keseragaman kondisi iklim dilihat dari sisi suhu udara, kelembaban relatif, lama penyinaran dan intensitas penyinaran. Perbedaan panjang hari dari waktu ke waktu tidak terlalu besar.
Curah hujan merupakan parameter atmosfir yang
paling bervariasi, sehingga merupakan peubah iklim yang paling menentukan system pola tanam (Oldeman 1975). Khusus di Bogor berdasarkan musim tanam sebelumnya, ditetapkan penelitian tanaman gandum dimulai pada akhir musim hujan sampai musim kemarau (April-September).
Pada saat penelitian tahun
2010 dilaksanakan, curah hujan yang turun jauh di atas normal (Lampiran 1).
37
Keadaan ini menyebabkan kondisi kedua elevasi hampir sama, yang berakibat pada penampilan potensi genetik kurang optimal. Penelitian kedua tahun 2011 bulan (Maret – Juni) pada awal pertumbuhan curah hujan tinggi,
setelah
memasuki masa generatif sampai pengisian biji curah hujan rendah. Penampilan Pertumbuhan dan Perkembangan Genotipe Gandum Introduksi di Agroekosistem Tropis Pengamatan beberapa hari setelah tanam hingga umur 55 Hst memperlihatkan bahwa perkecambahan benih gandum didataran rendah mengalami cekaman hingga beberapa hari dari kondisi normal dimana harus berkecambah. Hingga umur 30 Hst perkembangan anakan pada dataran rendah mengalami cekaman, jika dibandingkan dengan perkembangan anakan di dataran tinggi. Anakan gandum didataran rendah baru mulai berkembang pada umur 35 – 40 Hst, hal ini juga sangat ditentukan oleh genotipe gandum itu sendiri. Pengaruh jangka panjang cekaman suhu tinggi pada pengembangan benih dapat mencakup tertunda perkecambahan atau kehilangan vigor, pada akhirnya menyebabkan berkurangnya kemunculan dan pembentukan bibit.
Di bawah suhu rata-rata
harian, pertumbuhan koleoptil jagung berkurang pada 400C dan berhenti pada 450C (Weaich et al. 1996). Tahap perkecambahan benih gandum 2 Hst hingga 55 Hst (gambar 5). Elevasi tinggi (>1000 mdpl)
2 hst
3 hst
4 hst
10 hst
30 hst
55 hst
30 hst
55 hst
Elevasi rendah (<400 mdpl)
2 hst
3 hst
4 hst
10 hst
Gambar 5 Periode perkecambahan dan pertumbuhan tanaman gandum umur 2 hst hingga 55 hst di elevasi (>1000 m dpl) dan elevasu (<400 m dpl).
38
Gambar 6 memperlihatkan penampilan jumlah anakan pada elevasi tinggi (>1000 m dpl) dan elevasi rendah (<400 m dpl). Semakin rendah elevasi tempat seperti di Bogor mempengaruhi pembentukan jumlah anakan, bahkan ada kecenderungan jumlah anakan mulai berkurang ketika tanaman mulai memasuki fase generatif (Tabel 3).
Hal ini disebabkan karena anakan yang terbentuk mengering
sebelum mengeluarkan malai. Suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pra-dan pasca-panen, termasuk suhu panas daun dan ranting, terbakar matahari pada daun, cabang dan batang, penuaan daun dan absisi, peningkatan hambatan tajuk dan akar, kerusakan dan perubahan warna buah dan mengurangi hasil (Guilioni et al. 1997; Ismail & Hall 1999; Vollenweider & Gunthardt -Goerg 2005). Di daerah beriklim sedang, cekaman suhu telah dilaporkan sebagai salah satu penyebab paling penting dalam pengurangan hasil panen dan produksi bahan kering pada berbagai spesies tanaman, termasuk jagung (Giaveno & Ferrero 2003).
A
B
Gambar 6 Keragaan jumlah anakan galur gandum (A) Elevasi >1000 m dpl) dan (B) Elevasi < 400 m dpl. Gambar 7 memperlihatkan penampilan genotipe gandum introduksi di dua agroekosistem pada saat umur 30 HST dan genotipe gandum memasuki fase reproduktif. Gambar tersebut menunjukkan bahwa perbedaan lingkungan sangat mempengaruhi respon pertumbuhan dan keseragaman tanaman. elevasi yaitu semakin rendah elevasi
Perbedaan
variasi suhu semakin meningkat.
39
Kombinasi antara suhu dengan kelembaban, curah hujan dan lama penyinaran serta intensitas penyinaran yang tinggi menambah tingkat cekaman terhadap pertumbuhan dan perkembangan hingga produksi tanaman gandum.
A
B
C
D
Gambar 7 Penampilan galur gandum introduksi HP 1744 (A) fase vegetatif elevasi < 400 m dpl (Bogor), (B) fase generatif elevasi < 400 m dpl (Bogor), (C) fase vegetatif elevasi >1000 m dpl (Cipanas), (D) fase generatif elevasi >1000 m dpl (Cipanas) MH 2010.
A
B
Gambar 8 Keragaan gandum varietas Dewata (A) elevasi < 400 m dpl (Bogor) dan (B) elevasi > 1000 m dpl (Cipanas).
40
Gambar 8 memperlihatkan keragaan varietas Dewata pada dua elevasi yang berbeda tahun 2010. Pengaruh elevasi dari elevasi >1000 m dpl ke elevasi <400 m dpl ini sangat besar terhadap pertumbuhan dan perkembangan varietas Dewata. Varietas ini merupakan salah satu varietas pembanding peka terhadap cekaman suhu suhu tinggi. Varietas Dewata tidak mengeluarkan malai hingga genotipe gandum lainnya telah panen. Hal ini menyebabkan pengamatan karakter mofofisiologis, agronomi tidak dapat dilakukan pada pertanaman pertama. Gandum merupakan tanaman yang beradaptasi pada iklim subtropis dan tumbuh baik pada suhu 10 - 21oC.
Selain beradaptasi pada suhu rendah, gandum juga memerlukan tingkat
kelembaban yang rendah.
Pada kelembaban 40%, gandum dapat tumbuh baik
sampai suhu 28oC, namun pada kelembaban 80% hanya dapat tumbuh pada suhu 23oC (Ginkel dan Villareal 1996). Penampilan Karakter Agronomi Genotipe Gandum Introduksi di Agroekosistem Tropis Analisis ragam (Tabel 4) menunjukkan bahwa keragaan penampilan genotipe gandum berpengaruh nyata terhadap karakter tinggi tanaman di elevasi < 400 m dpl MH 10 dan MK 11 serta elevasi >1000 m dpl MK 11, sedangkan di elevasi <400 m dpl
MK 11 dan elevasi >1000 m dpl MH 11 genotipe
berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah anakan produktif.
Uji dunnet
memperlihatkan bahwa karakter tinggi tanaman genotipe H-21 G-21 dan G-18 berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar pada elevasi < 400 mdpl MH 10. Sementara di elevasi < 400 m dpl MK 11 dan elevasi >1000 m dpl MH 10 dan MK11 tidak terlihat genotipe yang memiliki tinggi tanaman nyata lebih tinggi dibanding dengan kedua varietas pembanding. Tidak terdapat genotipe yang memiliki jumlah anakan produktif yang lebih tinggi dibanding kedua varietas pembanding Selayar dan Dewata di kedua elevasi. Perbedaan respon kedua karakter tersebut diduga disebabkan oleh pengaruh musim dan ketinggian elevasi. Penurunan elevasi diikuti oleh peningkatan suhu, menyebabkan terjadi pernghambatan dalam peningkatan tinggi tanaman dan jumlah anakan. Hal ini terlihat pada karakter tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif di elevasi lebih rendah dibandingkan elevasi tinggi.
41
Tabel 4. Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011
Genotipe
Tinggi tanaman (cm) Elevasi Elevasi < 400 m dpl >1000 m dpl MH10 MK11 MH10 MK11
Oasis/skauz// 4*bcn var-28 63.44 54.08 Hp 1744 59.11 47.09b Laj/mo88 57.45 46.90b Rabe/mo88 59.43 48.36b H-21 73.77a 57.83 G-21 74.36a 61.98 G-18 72.61a 64.03 Menemen 56.63 52.14 Basribey 55.89 58.39 Alibey 58.35 52.28 Selayar (a) 58.46 54.01 Dewata (b) 55.93 Rata-rata 62.68 54.42 Genotipe ** ** KK (%) 5.3 8.6 Dunnett 0.05 2.98 2.98
61.87 74.00 61.93 64.83 67.07 75.27 66.67 67.73 68.47 68.70 54.10 67.30 66.49 tn 12.9 2.98
71.63 67.30b 70.53 70.57 79.60 74.63 78.40 64.40ab 66.57b 66.23b 76.07 70.03 71.33 ** 5.9 2.98
Jumlah anakan produktif Elevasi Elevasi < 400 m dpl >1000 m dpl MH10 MK11 MH10 MK11 2.1 2.1 2.4 2.3 2.7 2.7 2.7 2.7 2.2 2.7 2.4 2.5 tn 17.5 2.98
0.6 1.0 0.5ab 1.1 0.6b 1.2 1.3 0.8 0.8 0.9 1.0 0.8 0.9 ** 21.3 2.98
5.3 5.5 5.2 5.2 6.3 5.3 6.3 7.1 5.6 6.5 5.3 5.3 5.7 tn 16.2 2.98
6.7 6.2 7.1 5.5 10.5 9.9 6.5 5.8 6.1 6.2 6.4 6.3 6.9 tn 12.2 2.98
Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata
Perkembangan jumlah anakan produktif sangat ditentukan oleh faktor lingkungan khususnya suhu udara, semakin tinggi suhu udara cenderung memperlambat perkembangan jumlah anakan produktif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Handoko (2007) bahwa perkembangan jumlah anakan sangat dipengaruhi oleh suhu udara. Pada suhu udara 16.5OC dengan elevasi 1650 m dpl mampu menghasilkan enam anakan dibandingkan suhu udara 24.7OC sementara elevasi 28 m dpl hanya mampu menghasilkam empat anakan. Dampak besar suhu tinggi pada pertumbuhan tajuk adalah penurunan panjang ruas pertama yang dapat mengakibatkan kematian dini tanaman (Hall 1992). Misalnya tanaman tebu tumbuh di bawah cekaman suhu tinggi ditunjukkan ruas lebih pendek, penuaan dini dan mengurangi total biomas (Ebrahim et al. 1998). Tidak terdapat genotipe yang memiliki karakter tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif yang konsisten pada kedua elevasi.
42
Analisis ragam Tabel 5 memperlihatkan genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter umur berbunga dan umur pada elevasi <400 m dpl. Sementara di elevasi >1000 m dpl MH 10 genotipe berpengaruh nyata terhadap penampilan umur panen. Uji lanjut dunnet memperlihatkan bahwa hanya genotipe HP 1744 dan Alibey yang memiliki karakter umur berbunga yang berbeda nyata lebih rendah
dibanding dengan varietas Selayar pada elevasi <400 mdpl MH 10.
Sementara di elevasi <400 m dpl MK11 terdapat lima genotipe yang memiliki umur berbunga lebih lama dibandingkan dengan kedua varietas pembanding, sedangkan genotipe HP 1744 memiliki kecenderungan lebih genjah dibanding kedua varietas pembanding.
Karakter umur panen hanya genotipe HP 1744
berbeda nyata lebih genjah dibanding varietas Selayar pada elevasi > 1000 mdpl MH 10. Sementara di elevasi < 400 m dpl MK 11 dan elevasi > 1000 m dpl genotipe memiliki umur panen hampir sama dengan kedua varietas pembanding. Perbedaan umur berbunga dan umur panen diduga akibat pengaruh elevasi kedua lokasi.
Elevasi rendah khususnya 2010 tanaman mengalami dua jenis cekaman
yaitu cekaman curah hujan tinggi dan suhu tinggi.
Perilaku berbunga dan
pembungaan tanaman erat kaitannya dengan kondisi fisiologis tanaman dan pengaruh faktor lingkungan yang secara khusus meliputi pegaruh intensitas dan lamanya penyinaran, pengaruh suhu, dan ketersediaan air pada lingkungan tumbuh tanaman (Glover 2007). Genotipe yang memiliki kriteria umur genjah merupakan genotipe yang dikehendaki oleh sebagian pemulia tanaman, selain kriteria tinggi tanaman, ketahanan penyakit dan hasil (Poespodarsono, 1988) karena berkaitan dengan umur panen yang umumnya lebih cepat. Pada suhu tinggi yang di ikuti oleh kekeringan, umur berbunga dan umur panen tanaman gandum lebih cepat. Genotipe HP 1744 merupakan genotipe yang memiliki umur berbunga lebih genjah dibanding varietas Selayar dan genotipe lainnya di elevasi < 400 m dpl (Bogor) yaitu 43 hari, sementara di elevasi > 1000 m dpl (Cipanas) genotipe yang memiliki umur berbunga lebih genjah adalah Rabe/MO88.
Genotipe yang
memiliki umur panen lebih genjah dibanding varietas pembanding dan genotipe lainya adalah genotipe HP 1744.
Penyesuaian waktu berbunga merupakan
mekanisme adaptasi tanaman gandum yang penting terhadap kondisi lingkungan yang diinginkan karena dapat menghasilkan penghindaran terhadap cekaman abiotik khususnya cekaman panas dalam lingkungan tertentu (Dolferus 2011).
43
Tabel 5. Umur berbunga dan umur panen genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011
Genotipe
Umur berbunga (Hari) Umur panen (Hari) Elevasi Elevasi Elevasi Elevasi < 400 mdpl >1000 mdpl < 400 m dpl >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11
Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar (a) Dewata (b) Rata-rata Genotipe Kk (%)
62 43a 68 70 69 72a 69 67 67 57a 68 65 ** 4.9
60ab 43 67ab 47 60b 65ab 63ab 60ab 57b 57b 50 52 57 ** 5.2
62 62 63 61 62 65 64 66 66 63 62 64 63 tn 6.2
60 61 60 59 58 62 61 62 60 61 58 59 60 tn 4.3
93a 80a 101 94a 101 100a 100a 96a 90a 86a 108 95 ** 3.3
81 76 88ab 86ab 83 94ab 90ab 82 82 79 75 76 83 ** 4.5
98b 92a 99b 93b 105 103 108a 96b 95b 81b 100 99a 97 ** 3.1
99 95 99 97 9 106 104 102 94 102 100 100 100 tn 4.9
Dunnett 0.05
2.98
2.98
2.98
2.98
2.98
2.98
2.98
2.98
Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata
Cekaman suhu tinggi cenderung berpotensi mempercepat fase vegetatif tanaman sedangkan cekaman curah hujan
tinggi diduga sebagai penyebab
luruhnya polen. Cekaman suhu tinggi mempercepat perkembangan stigma dan ovul sehingga mengurangi masa reseptifnya dan berpengaruh terhadap keberhasilan pertemuan antara gamet betina dan jantan.
Suhu tinggi juga
berpengaruh terhadap sinkronisasi antara fase perkembangan bunga dengan aktivitas serangga penyerbuk (Hedhly et al. 2008). Pengujian genotipe gandum di elevasi berbeda dan dua musim memperlihatkan pengaruh nyata terhadap karakter panjang malai antar genotipe, kecuali pada pengujian di elevasi > 1000 m dpl MH10. Sementara itu genotipe memperlihatkan pengaruh nyata terhadap jumlah spikelet/malai di kedua musim dan elevasi.
Hasil uji dunnet 0.05 memperlihatkan bahwa genotipe G-21 dan
G-18 memiliki panjang malai dan jumlah spikelet berbeda nyata lebih panjang
44
dan tinggi dibanding varietas Selayar di elevasi < 400 m dpl. Sementara genotipe H-21 memiliki panjang malai dan jumlah spikelet lebih panjang dan tinggi disbanding varietas Selayar pada elevasi < 400 m dpl MH 10. Panjang malai dan jumlah spikelet/malai disajikan pada Tabel 6. Perbedaan respon panjang malai, jumlah spikelet, jumlah floret hampa dan persentase floret hampa (Tabel 6 dan 7) menunjukkan bahwa karakter tersebut sangat peka terhadap perubahan musim dan elevasi.
Karakter panjang malai dan jumlah spikelet/malai ditentukan oleh
pasokan asimilat pada fase vegetatif sebagai sumber source untuk membentuk malai pada fase generatif.
Jika sumber source tidak mencukupi dalam
pembentukan sink (fase generatif), maka pembentukan spikelet menjadi rendah. Hal ini terlihat panjang malai dan jumlah spikelet di elevasi < 400 m dpl (Bogor) lebih pendek dan rendah.
Penurunan hasil yang diinduksi oleh panas
berhubungan dengan pemendekan periode pertumbuhan bulir dan berkurangnya kemampuan untuk mensintesa pati. Tabel 6. Panjang malai dan jumlah spikelet genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Panjang malai (cm) Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar (a) Dewata (b) Rata-rata Genotipe KK (%) Dunnett 0.05
Jumlah Spikelet/malai
Elevasi < 400 m dpl MH10 MK11
Elevasi >1000 m dpl MH10 MK11
Elevasi < 400 m dpl MH10 MK11
Elevasi >1000 m dpl MH10 MK11
7.63 7.21 6.69a 6.98 8.66a 8.64a 8.32a 7.74 7.45 7.58 7.32
8.47 10.8 8.43 7.73 9.27 10.0 9.82 8.55 8.28 8.18 8.30 8.90 8.90 tn 17.5 2.98
14.40 12.73 12.98 13.04 17.39a 16.31a 16.09a 14.74 16.56a 14.50 13.58
19.37b 18.63 16.63ab 18.07 18.57b 18.63 17.30b 17.80 20.60 19.43 21.97 19.10 21.47 19.93 20.57 21.57a 19.27b 19.90 19.67 20.00 19.40b 18.23 a 20.97 20.20a 19.65 19.65 ** ** 5.4 5.30 2.98 2.98
7.66 ** 3 2.98
7.18 5.86ab 5.97ab 5.79 b 7.23 7.89 a 8.10 a 7.19 7.27 6.88 6.89 7.27 6.96 ** 5.3 2.98
8.87 8.67ab 9.03 8.37ab 9.30 8.80 9.53 9.10 8.77 8.77 9.57 9.53 8.89 ** 3.8 2.98
14.76 ** 5.1 2.98
14.93 12.40b 12.90b 12.63b 15.17 17.87a 17.03a 15.50 16.03 14.87 14.53 15.77 14.97 ** 6.8 2.98
Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata
45
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
jumlah floret hampa dan
persentase floret hampa baik di elevasi tinggi maupun rendah mengalami peningkatan,
tingginya peningkatan jumlah floret hampa dan persentase floret
hampa terlihat pada elevasi < 400 m dpl MK 11. Uji dunnet memperlihatkan bahwa tidak terdapat genotipe yang memiliki jumlah floret hampa dan persentase floret hampa nyata lebih rendah dari varietas Selayar pada elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl MH 10. Sementara pada elevasi < 400 m dpl MK 11 jumlah floret hampa dan persentase floret hampa memperlihatkan
bahwa
genotipe Menemen nyata lebih rendah dibanding varietas Dewata. Jumlah floret hampa dan persentase floret hampa disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Jumlah floret hampa dan persentase floret hampa genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011
Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar (a) Dewata (b) Rata-rata Genotipe Kk (%) Dunnett 0.05
Jumlah floret hampa/malai Persentase floret hampa/malai Elevasi Elevasi Elevasi Elevasi < 400 mdpl >1000 mdpl < 400 mdpl >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 14.31 23.50 19.38 19.02 28.58 22.72 15.83 14.23 17.12 13.67 17.06 18.67 tn 16.6 2.98
26.87b 31.63b 32.47 32.23 31.83b 45.77ab 35.70 25.17b 32.37 25.47b 31.53b 39.70a 32.56 ** 9.7 2.98
30.40 25.35 25.60 21.10b 27.63 33.13 33.07 30.07 20.65b 35.85 28.00 31.87 28.56 ** 13.6 2.98
19.77 23.27 20.87 17.67 14.65 21.05 21.05 20.00 15.23 15.60 20.65 23.20 28.56 tn 22.00 2.98
33.06 61.58 49.84 48.47 54.79 46.24 32.81 32.21 34.23 31.38 42.01 42.42 tn 14 2.98
59.72b 85.10a 84.53a 84.77a 69.81 85.27a 69.64b 53.93ab 67.19b 57.25a 72.40 83.95 72.80 ** 8.5 2.98
52.35 50.71 45.88 40.73 44.74 50.27 51.29 48.74 35.46 60.81 48.29 47.71 48.08 * 13 2.98
35.67 42.82 37.22 33.22 25.41 37.18 35.25 31.37 25.81 25.87 37.63 38.29 33.81 tn 22 2.98
Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata
Peningkatan jumlah floret hampa dan persentase floret hampa pada elevasi tersebut diduga oleh akibat kekeringan/tidak ada hujan pada saat pengisian biji yang diikuti dengan peningkatan suhu. Jumlah floret hampa dan persentase floret
46
hampa berdampak langsung terhadap penurunan bobot biji/malai dan bobot biji/tanaman pada lingkungan di Bogor. Hal ini diduga bahwa penurunan elevasi dan peningkatan suhu rata-rata 20oC menjadi 25oC sangat besar pengaruhnya terhadap
perubahan
dan
keragaman
karakter
tersebut.
Karakter
ini
menggambarkan kemampuan genotipe dalam menghasilkan polen dan stigma fungsional, kemampuannya untuk tetap mempertahankan proses penyerbukan, kemampuan dalam translokasi fotosintat ke malai, dan kemampuan dalam pemenuhan kapasitas sink. Genotipe gandum yang ditanam di dua agroekosistem menunjukkan perilaku fenologi reproduksi yang berbeda.
Hasil pengamatan,
di elevasi tinggi secara umum tanaman gandum memasuki fase heading sekitar pukul 11.00-13.00, lamanya waktu perkembangan dari booting phase ke heading phase 4-6 hari, sementara di dataran rendah lamanya waktu perkembangan dari booting phase ke heading phase terjadi lebih cepat dengan waktu berkisar 2-4 hari dan memasuki fase heading berkisar dari pukul 10.00 – 11.30 (Natawijaya 2012) Bobot biji/tanaman dan bobot biji/malai secara potensial sebenarnya ditentukan sinkronisasi waktu terjadinya penyerbukan. Faktor lain yang menentukan bobot biji/malai pada tanaman gandum di elevasi rendah dengan suhu tinggi adalah rentan pasokan asimilat (source) dalam membentuk sink terhambat dan viabilitas polen menjadi rendah. Analisis ragam (Tabel 8) menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter bobot biji/tanaman pada elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl MK 11, sementara untuk kedua elevasi genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter bobot biji/malai. Uji dunnet menunjukkan bahwa karakter bobot biji/tanaman pada genotipe G-18 berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar pada elevasi < 400 m dpl MH 10, sementara di MK 11 genotipe G-18 berbeda nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas Selayar dan Dewata. Untuk karakter bobot biji/malai pada genotipe G-18 berbeda nyata lebih tinggi dibanding Selayar pada elevasi < 400 m dpl MH 10. Elevasi > 1000 m dpl MH 10 genotipe Menemen berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar dan Dewata, namun genotipe lain yang berpengaruh nyata lebih tinggi dibanding Dewata adalah Oasis, G-18, Basribey dan Alibey. Suhu tinggi berpengaruh langsung terhadap pengisian bulir pada serealia meliputi laju pengisian bulir yang lebih cepat, penurunan bobot bulir, biji keriput, berkurangnya laju akumulasi pati dan perubahan komposisi lipid dan polipeptida (Stone 2001).
47
Tabel 8. Bobot biji/tanaman dan bobot biji/malai genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011
Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar (a) Dewata (b) Rata-rata Genotipe KK (%) Dunnett 0.05
Bobot biji/tanaman (g) Bobot biji/malai (g) Elevasi Elevasi Elevasi Elevasi <400 mdpl >1000 mdpl <400 mdpl >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 1.51 0.92a 2.08 1.31 2.12 2.06 3.27a 2.20 2.00 1.83 2.17 1.95 ** 7.5 2.98
0.59 0.27a 0.19a 0.18a 0.39 0.35a 0.7ab 0.7ab 0.51 0.63b 0.58 0.38 0.46 ** 4.9 2.98
4.65 6.13 7.35 7.36 7.99 6.05 8.44 6.53 6.69 6.10 4.37 5.46 6.43 tn 12.5 2.98
8.80 7.04 7.37 6.58b 12.39 9.13 10.4a 10.34 9.96 8.81 7.96 11.24 9.17 * 9.3 2.98
0.50 0.31a 0.63 0.41a 0.58 0.56 0.82a 0.60 0.67 0.50 0.65 0.56 ** 14.6 2.98
0.30b 0.12a 0.13a 0.09a 0.19 0.18a 0.31b 0.4ab 0.26b 0.32b 0.29 0.17a 0.23 ** 17.7 2.98
0.72 0.96 1.16a 1.16a 1.10 0.96 1.16a 0.81 1.00 0.81 0.70 0.91 0.95 * 19.8 2.98
1.15 0.95 1.01 0.99 1.53a 1.31 1.44 1.47 1.36 1.19 1.09 1.29 1.23 ** 14 2.98
Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata
Analisis ragam (Tabel 9) memperlihatkan bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah malai/meter2 di elevasi > 1000 m dpl, demikian halnya genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter laju pengisian biji di elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl pada MH 10. Rata-rata laju pengisian biji di elevasi < 400 m dpl 5 – 10 hari lebih cepat dibanding di elevasi >1000 m dpl.
Uji beda nyata
memperlihatkan bahwa tidak terdapat genotipe yang diuji memiliki jumlah malai/meter2 nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas pembanding di kedua elevasi. Uji beda nyata terhadap karakter laju pengisian biji memperlihatkan bahwa hanya genotipe RABE/MO88 yang memiliki laju pengisian biji nyata lebih lama dibanding kedua varietas pembanding Selayar dan Dewata.
Suhu tinggi yang disertai
ketersediaan air yang kurang diduga mempercepat terjadinya proses pematangan biji, hal ini terlihat dari hasil penelitian di elevasi < 400 m dpl MK 11 lebih cepat dibanding lokasi lainnya. Suhu 35 – 36°C selama 3 atau 4 hari dapat merubah morfologi
48
bulir dan mengurangi ukuran bulir pada gandum (Maestri et al. 2002). Rata-rata kehilangan hasil pada gandum akibat suhu tinggi sekitar 10 – 15% terutama disebabkan oleh penurunan berat bulir yang mencapai 4% untuk setiap peningkatan suhu 1°C di atas suhu optimum. Tabel 9. Jumlah malai/meter dan laju pengisian biji genotipe introduksi gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011
Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar (a) Dewata (b) Rata-rata Genotipe KK (%) Dunnett 0.05
Jumlah malai/mr2 Elevasi Elevasi < 400 mdpl >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 261.00 296.75 167.25 200.00 234.00 150.67 219.50 198.00 239.50 240.00 225.00 221.06 tn 21.9 2.98
196.67 277.43 197.33 226.52 184.50 207.9 ab 173.33 222.14 226.33 245.71 178.33 211.36b 186.33 224.09 263.67 255.71 232.50 262.26 237.33 275.59 271.67 249.76 220.67 260.90 214.06 243.28 tn ** 17.9 6.9 2.98 2.98
441.50 300.67 309.00 329.33 372.00 368.00 255.00 429.50 414.50 495.50 362.50 384.50 371.83 ** 15.9 2.98
Laju Pengisian biji (hari) Elevasi Elevasi < 400 mdpl >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 31a 37 33 25a 32a 28a 30a 29a 23a 29a 40 30 ** 10.9 2.98
21 33 21 39ab 23 29 28 22 26 22 25 26 26 ** 15.0 2.98
35 30b 36 32b 44 38 44 31b 29b 34b 38 45 35 ** 12.8 2.98
39 40 40 38 40 44 44 40 34 41 42 40 40 tn 10.8 2.98
Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata
Hasil panen genotipe gandum berbeda antar genotipe dan elevasi, namun dapat dilihat dari hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin rendah elevasi dengan suhu udara yang lebih tinggi menyebabkan hasil panen semakin berkurang (Tabel 10). Analisis ragam menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap bobot 1000 biji pada elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl pada MH 10, sementara itu genotipe berpengaruh nyata terhadap hasil biji di kedua elevasi pengujian. Uji dunnet memperlihatkan bahwa tidak terdapat genotipe yang memiliki bobot 1000 biji nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas pembanding. Basribey ( 0.37 kg.p-1)
Karakter hasil biji genotipe
berbeda nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas
49
pembanding pada elevasi < 400 m dpl MK 11, sementara di elevasi > 1000 m dpl genotipe Alibey (2.36 kg.p-1) memiliki hasil nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas pembanding. keseimbangan sistem
Faktor utama yang menentukan hasil panen tinggi adalah source dan sink yang berjalan
lancar.
Suhu tinggi
mempercepat perkembangan tanaman sehingga tidak memberikan kesempatan tanaman untuk mengumpulkan biomassa yang
cukup banyak, khususnya organ
vegetatif sebagai sumber source dalam menghasilkan biji (sink). Penampilan karakter bobot 1000 biji dan hasil biji genotipe gandum introduksi dan varietas pembanding disajikan pada Tabel 10. Tabel 10. Bobot 1000 biji dan hasil genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011
Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar (a) Dewata (b) Rata-rata Genotipe KK (%)
Dunnett 0.05
Bobot 1000 biji (g) Hasil (kg.p-1) Elevasi Elevasi Elevasi Elevasi < 400 m dpl >1000 m dpl < 400 m dpl >1000 m dpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11
26.21 * 10.3
16.77b 20.60 17.63 16.58b 21.29 22.53 24.41 16.89b 20.83 16.72b 19.39 23.49 19.76 ** 12.2
28.30 29.95 31.43 32.33 24.99 28.31 26.54 21.02 23.91 22.94 24.42 24.63 26.56 * 14
28.11 31.04 28.72 29.13 29.37 29.58 28.17 26.94 28.07 28.07 30.09 25.82 28.59 tn 7
0.43 0.23a 0.22a 0.26a 0.34 0.21 0.37 0.32a 0.37 0.39 0.49 0.33 ** 21.5
0.33b 0.35b 0.31 0.14a 0.24 0.16a 0.18 0.21 0.37ab 0.12a 0.28 0.20 0.24 ** 17.9
1.05 1.20b 1.26b 1.36 1.43b 1.13 0.70ab 1.19 1.12b 1.30 1.46b 0.71a 1.20 ** 19.9
1.84 1.63 1.07a 1.22 1.71 1.41 1.65 1.82 2.15b 2.36ab 1.68 1.40 1.66 ** 12.5
2.98
2.98
2.98
2.98
2.98
2.98
2.98
2.98
27.91 25.85 25.93 24.22 29.00 25.63 29.44 23.08a 21.91b 24.66 30.66
Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata
Analisis ragam Tabel 11 memperlihatkan bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap jumlah biji/malai di elevasi < 400 m dpl MK 11, sementara di elevasi > 1000 m dpl genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah biji/tanaman. Uji dunnet memperlihatkan bahwa terdapat tiga genotipe memiliki jumlah biji/malai nyata lebih tinggi dibanding kedua varietas pembanding yaitu Basribey (21.33), Oasis/skauz//4*bcn var-28 (18.25), dan Alibey (17.75).
50
Penurunan jumlah biji/malai dari elevasi tinggi ke elevasi rendah cenderung tidak begitu besar, namun penurunan yang cukup besar nampak pada jumlah biji/tanaman, hal ini diduga erat hubungannya dengan jumlah anakan produktif di elevasi tinggi cukup tinggi. Keragaman hasil pada sereal, khususnya gandum lebih sering berkaitan dengan perbedaan jumlah bulir per meter persegi daripada perbedaan pada bobot bulir individu dan perbedaan hasil panen karena lokasi dan tahun (Magrin et al. 1993). Karakter agronomi yang menunjukkan konsisten dipengaruhi oleh genotipe adalah jumlah spikelet/malai, bobot biji/malai, dan hasil. Karakter agronomi jumlah spiklet dan hasil merupakan karakter yang memberikan respon dengan adanya perubahan elevasi.
Terjadinya perbedaan respon setiap karakter agronomi diantara
genotipe yang diuji mengindikasikan bahwa perubahan lingkungan dengan variasi cekaman yang berbeda sangat mempengaruhi pertumbuhan sampai panen tanaman dan keragaman genetik antar genotipe. Tabel 11. Jumlah biji/malai dan jumlah biji/tanaman genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011
Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar (a) Dewata (b) Rata-rata Genotipe KK (%) Dunnett 0.05
Jumlah biji/malai Jumlah biji/tanaman Elevasi Elevasi Elevasi Elevasi < 400 mdpl >1000 mdpl < 400 mdpl >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 28.90 13.42a 19.54a 20.11a 22.00 23.40 32.45 30.00 32.55 29.83 27.21 25.40 tn 10.6 2.98
18.25ab 7.25 8.15 4.80a 10.30 7.80 14.45 21.33ab 14.65b 17.75ab 12.07 7.60 12.03 ** 19.3 2.98
22.00 21.60 31.25 30.80 32.65 32.77 31.33 31.63 31.93 24.00 25.93 28.40 28.69 tn 19.2 2.98
36.13 30.93 35.03 35.73 47.13 40.53 43.17 49.27 44.47 44.40 37.63 35.63 40.01 tn 18.6 2.98
86.70 40.25a 65.15 65.94 80.67 85.56 129.8 111.1 97.65 109.3 91.09 87.56 ** 9.0 2.98
36.50b 17.03 11.68 9.60a 20.60 15.60 33.72b 42.67ab 29.30 35.50b 24.13 17.27 24.47 ** 11.4 2.98
141.33 139.10 197.92 194.63 239.05 206.37 226.67 258.67 212.03 175.50 164.10 170.40 193.81 tn 13.5 2.98
278.80 228.60 258.50 238.13 379.43a 276.13 318.97 345.07a 323.33 328.03 275.87 310.30 296.76 tn 11.5 2.98
Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata
51
Penampilan Karakter Fisiologis Genotipe Gandum Introduksi di Agroekosistem Tropis Meningkatnya pemahaman tentang respon hasil terhadap perubahan dalam ketersediaan asimilat selama fase fonologi yang berbeda telah dihasilkan suatu kemajuan besar dalam fisiologi tanaman dan praktek managemen.
Asimilasi
karbon ditugaskan pada organ tanaman yang berbeda (daun, batang, akar, organ reproduksi dan lain-lain) sebagai hasil dari serangkaian proses metabolism dan transportasi yang mengatur aliran energi melalui
sistem source dan sink.
Fisiologi tanaman mengeksplorasi berbagai perilaku tanaman, di mana fisiologi tanaman berkonsentrasi pada bagaimana genotipe yang berbeda dan bagaimana suatu genotipe dapat mengungguli genotipe lain di bawah lingkungan tertentu atau kondisi cekaman tertentu (Evans 1984). Hasil penelitian menunjukkan bahwa genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter luas daun bendera di kedua elevasi, sementara karakter ketebalan daun hanya berpengaruh nyata pada elevasi < 400 m dpl MK 11 (Tabel 12). Uji dunnet memperlihatkan bahwa genotipe G-21 dan G-18 memiliki luas daun bendera nyata lebih tinggi disbanding dengan varietas Selayar pada elevasi > 1000 m dpl MH 10, Faktor-faktor lingkungan seperti ketersediaan air, suhu, fotoperiode, intensitas cahaya dan ketersediaan nutrisi menentukan sejauh mana potensi ini dapat tercapai (Rao 2001). Luas daun bendera memegang peranan penting sebagai bagian source dalam menyerap energi radiasi surya yang digunakan dalam aktifitas fotosintesis. Suhu tinggi pada tanaman gandum secara rata-rata menghambat perkembangan daun selama fase vegetatif, sehingga mengurangi kapasitas fotosintesis selama pengisian biji. Besarnya respon karakter ketebalan daun bendera di elevasi < 400 m dpl pada musim kering, diduga lebih disebabkan oleh pengaruh suhu tinggi dengan kondisi lingkungan yang kekurangan air. Pengurangan atau pun peningkatan ketebalan daun berkaitan langsung dengan intensitas cahaya terhadap sel-sel palisade, pada intersitas cahaya tinggi dengan suhu yang lebih tinggi menyebabkan sel-sel palisade lebih panjang dan tersusun atas dua atau tiga lapisan (Taiz & Zeiger 2002, Salisbury & Ross 1992, Logan et al. 1999). Ketersediaan air dalam tubuh tanaman diperoleh melalui proses fisiologis dan hilangnya air dari permukaan bagian tanaman melalui proses transpirasi. Kondisi
52
dimana tanaman kekurangan air menyebabkan penutupan stomata, penggulungan, senenscence daun, dan degradasi klorofil. Kekurangan air juga dapat menyebabkan pertumbuhan luas daun, tinggi batang menjadi
menurun serta
organ reproduktif yang terbentuk lebih kecil dari ukuran normal. Kekeringan yang terjadi pada masa generatif akan mempercepat waktu panen dan kualitas biji menjadi rendah (Banziger et al. 2000). Rata-rata penampilan karakter luas daun bendera dan ketebalan daun bendera genotipe gandum introduksi pada lingkungan tropika basah disajikan pada Gambar 9.
A
C
B
D
Gambar 9 Penampilan ketebalan daun menggunakan metode mikro teknik dengan pembesaran 10x (A) Selayar elevasi > 1000 m dpl, (B) Selayar elevasi < 400 m dpl), (C) HP 1744 elevasi > 1000 m dpl dan (D) HP 1744 Bogor.
53
Tabel 12. Luas daun bendera dan ketebalan daun bendera genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011
Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar (a) Dewata (b) Rata-rata Genotipe KK (%) Dunnett 0.05
Luas Daun Bendera (cm) Elevasi Elevasi <400 mdpl >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 8.19 8.33 6.88 6.24 11.67 11.60 10.52 7.77 9.15 6.95 7.89 8.65 ** 19.5 2.98
13.61 9.72b 8.78b 8.74b 13.81 18.0 16.8 12.36 14.78 13.34 12.55 17.79 12.96 ** 21.2 2.98
12.85 12.00 13.05 10.79 14.4 17.5a 17.3 a 13.62 11.61 11.06 12.71 14.50 13.36 ** 18.5 2.98
12.4b 22.8 15.1b 16.5 18.3 17.9 20.5 14.9b 12.5b 13.1b 16.5 22.9 16.41 ** 22.5 2.98
Ketebalan Daun Bendera (µm) Elevasi Elevasi <400 mdpl >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 216.1 206.8 231.9 222.9 209.1 232.6 221.2 222.1 211.2 228.3 235.1 221.56 tn 11.9 2.98
177.6 147.2 138.4 183.6 169.0 187.8 187.4 163.8 162.8 181.0 154.3 172.4 168.5 ** 8.2 2.98
166.9 194.3 211.2b 217.1 186.7 219.2 203.9 204.7 178.9 162.8 181.4 219.6 193.4 tn 14.4 2.98
164.4 145.7 158.9 160.4 164.6 172.7 147.3 181.3 158.9 166.8 167.3 164.2 162.6 tn 9.8 2.98
Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata
Genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter kehijauan daun di elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl MK 11, sementara genotipe berpengaruh nyata terhadap kerapatan stomata di elevasi < 400 m dpl MK 11 dan elevasi > 1000 m dpl
MH 10 (Tabel 13).
Uji dunnet memperlihatkan bahwa hanya
genotipe G-21 memiliki kehijauan daun nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar pada elevasi > 1000 m dpl MH 10, sedangkan karakter kerapatan stomata genotipe Alibey nyata lebih tinggi dibanding dengan kedua varietas pembanding Selayar dan Dewata.
Kehijauan daun yang nampak terbentuk diduga karena
klorofil pada daun mengabsorbsi cahaya merah dan biru sedang cahaya hijau ditransmisikan atau direfleksikan (Buchanan et al. 2000; Malkin dan Niyogi 2000; Taiz & Zeiger 2002). Semakin hijau semakin tinggi kandungan klorofil daun semakin hijau helaian daun. Sementara karakter kerapatan stomata terlihat tidak konsisten. Genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter kerapatan stomata
54
pada elevasi < 400 m dpl MK 11 dan elevasi > 1000 m dpl MH 10, namun di elevasi < 400 m dpl di MH 10 dan elevasi > 1000 m dpl MK 11 genotipe tidak berpengaruh nyata. Rata-rata penampilan karakter kehijauan daun dan kerapatan stomata disajikan pada Tabel 13. Perubahan elevasi dan musim di samping mempengaruhi kerapatan stomata juga menyebabkan terjadinya perubahan ukuran stomata menjadi lebih kecil. Penampilan ukuran stomata di lingkungan tropika basah disajikan pada Gambar 10. Tabel 13. Kehijauan daun dan kerapatan stomata genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011
Genotipe Oasis/skauz//4* bcn var-28
Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar (a) Dewata (b) Rata-rata Genotipe KK (%) Dunnett 0.05
Kehijauan Daun Kerapatan Stomata Elevasi Elevasi Elevasi Elevasi <400 mdpl >1000 mdpl <400 mdpl >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 44.9 42.0a 43.7 43.0a 44.4 41.7a 44.6 43.1a 42.6a 44.0 47.9 43.8 * 4.2 2.98
40.6a 41.4a 38.9a 39.6a 41.3a 40.5a 41.7a 40.6a 42.5a 40.8a 45.7 b 40.5 41.2 ** 2.7 2.98
43.3 39.1b 43.7 42.9 46.0 46.6a 45.4 42.1 44.0 42.7 41.0b 46.9a 43.4 ** 5 2.98
47.5 47.0 47.1 48.8 45.9 44.6 45.8 47.2 46.1 47.1 49.3 46.3 46.9 tn 3.6 2.98
50.9 49.2 56.1 57.8 58.6 52.7 61.2 67.9 49.3 52.7 50.9 55.2 tn 18 2.98
39.9a 52.7 40.8a 56.1 41.6a 53.5 60.3 62.0 37.4a 62.0 67.9b 48.4a 52.2 ** 12.9 2.98
51.8 49.3 66.2 71.3a 56.1 56.1 67.9 62.9 57.8 73.0ba 52.7 54.4 60.5 ** 12.2 2.98
60.6 49.3 63.9 61.7 57.2 57.8 59.5 67.9 64.5 56.6 56.6 65.7 59.6 tn 13.8 2.98
Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata
55
Sementara karakter fisiologi lain, genotipe tidak memperlihatkan pengaruh nyata terhadap karakter klorofil a, nisbah klorofil a/b dan klorofil total pada dua elevasi dan musim, sedang karakter klorofil b genotipe berpengaruh nyata pada elevasi > 1000 m dpl MH 10. Genotipe yang tidak berpengaruh nyata terhadap karakter fisiologis memperlihatkan bahwa genotipe tersebut mampu memberikan kompensasi terhadap perubahan elevasi dan perubahan musim tanam. Rata-rata penampilan karakter klorofil a, klorofil b, nisbah klorofil a/b dan klorofil total disajikan pada Tabel 14 dan 15. Namun demikian klorofil a dan b pada dua elevasi MK 11 lebih tinggi dibanding di MH 10. Penyebab tingginya klorofil a dan b di MK 11 diduga karena pengujian MK 11 merupakan musim kering dan diikuti oleh suhu yang lebih tinggi khususnya di elevasi < 400 m dpl. Hal ini diduga sebagai salah salah satu mekanisme toleransi terhadap kondisi kering dan cekaman suhu tinggi. Kemampuan tanaman melawan degradasi klorofil sangat penting
bagi
adaptasi
tanaman
terhadap
cekaman
lingkungan
dengan
meningkatkan jumlah kloroplas per luas daun dengan peningkatan jumlah klorofil per kloroplas (Hale & Orchut 1987, Okada 1992)
A
B
C
D
Gambar 10
Penampilan stomata gandum (A) Dewata di Cipanas, (B) Dewata di Bogor, (C) HP 1744 di Cipanas, (D) HP1744 di Bogor.
56
Kehilangan klorofil menurunkan kapasitas
daun berfotosintesis dan
kemasakan dini memperpendek durasi pengisian bulir. Karena terdapat hubungan yang dekat antara fotosintesis dan produktivitas pada gandum, maka penurunan luas daun dan waktu pengisian biji menurunkan produksi secara nyata pada gandum.
Menurut Reynolds et al. (1994) dalam Yang et al. (2002) bahwa
kemampuan tanaman untuk mempertahankan klorofil selama masa pemasakan biji merupakan indikator yang sangat efesien untukk sifat toleransi terhadap panas pada tanaman gandum. Tabel 14. Klorofil a dan klorofil b genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011
Genotipe Oasis/skauz//4 *bcn var-28
Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar (a) Dewata (b) Rata-rata Genotipe KK (%) Dunnett 0.05
Klorofil a Klorofil b Elevasi Elevasi Elevasi Elevasi <400 mdpl >1000 mdpl <400 mdpl >1000 mdpl MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 MH10 MK11 1.41 1.55 1.25 1.57 1.54 1.52 1.39 1.67 1.70 1.43 1.46 1.50 tn 14.6 2.98
3.37 3.48 3.69 3.02 3.51 3.40 3.08 3.56 3.65 4.30 3.90 3.88 3.54 tn 15 2.98
1.46 1.76 1.61 1.62 1.46 1.42 1.52 1.50 1.81 1.63 1.76 1.36 1.59 tn 12.8 2.98
5.80 5.61 5.99 5.92 4.98 4.98 5.02 6.28 5.85 5.54 5.25 5.74 5.57 tn 10.8 2.98
0.70 0.57 0.51 0.62 0.61 0.67 0.56 0.66 0.68 0.58 0.61 0.62 tn 16.3 2.98
3.19 3.28 3.27 3.04 3.18 3.22 3.09 3.15 3.22 3.12 3.20 3.37 3.18 tn 4.5 2.98
0.64 0.80b 0.66 0.65 0.60 0.60 0.63 0.72 0.76 0.76 0.72 0.56 0.68 * 12.6 2.98
4.05 4.08 4.05 3.90 4.32 4.22 4.35 3.91 3.98 4.09 4.09 4.09 4.10 tn 4.1 2.98
Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata
Peningkatan nisbah klorofil a/b di MH 10 di dua elevasi berhubungan dengan peningkatan klorofil a pada MH 10 dan penurunan klorofil b di dua elevasi. penurunan klorofil b berkaitan dengan penurunan protein klorofil
a/b
pada LHC II menyebabkan antenna pada PSII mengecil yang mengakibatkan rendahnya efisiensi pemanenan cahaya (Hidema et al. 1992).
57
Tabel 15. Nisbah klorofil a/b dan klorofil total genotipe gandum indtroduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Nisbah Klorofil a/b Elevasi Elevasi < 400 mdpl >1000 mdpl
Genotipe
Klorofil Total Elevasi Elevasi < 400 mdpl >1000 mdpl
MH10
MK11
MH10
MK11
MH10
MK11
MH10
MK11
2.07 2.86 2.45 2.53 2.53 2.27 2.46 2.54 2.52 2.48 2.40
0.33 0.33 0.35 0.33 0.35 0.33 0.32 0.36 0.35 0.44 0.38 0.34 0.35 tn 17.3 2.98
2.27 2.22 2.46 2.50 2.44 2.39 2.42 2.06 2.37 2.22 2.43 2.43 2.34 tn 8.5 2.98
0.25 0.25 0.25 0.26 0.23 0.24 0.23 0.26 0.25 0.24 0.24 0.24 0.24 tn 4 2.98
2.11 2.12 1.75 2.20 2.15 2.19 1.96 2.33 2.38 2.00 2.07
4.43 4.55 4.82 4.02 4.62 4.45 4.08 4.69 4.79 5.68 5.11 5.03 4.66 tn 15 2.98
2.10 2.55 2.27 2.26 2.06 2.02 2.14 2.22 2.57 2.39 2.48 1.92 2.28 tn 11.9 2.98
7.24 6.99 7.48 7.44 6.14 6.16 6.19 7.89 7.33 6.89 6.54 7.14 6.94 tn 11.4 2.98
Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar (a) Dewata (b) Rata-rata Genotipe KK (%) Dunnett 0.05
2.46 tn 13.7 2.98
2.11 tn 13.8 2.98
Keterangan : MH 10 = Musim Hujan; MK 11 = Musim kering;; a = berbeda nyata dengan varietas Selayar pada uji dunnet 0.05; b = berbeda nyata dengan varietas Dewata pada uji dunnet 0.05; *= berpengaruh nyata pada taraf 0.05 , **: berpengaruh nyata pada taraf 0.01, tn: Tidak berpengaruh nyata
Pendugaan Komponen Ragam dan Nilai Heritabilitas Karakter Agronomi dan Fisiologis pada Agroekosistem Tropis Analisis heritabilitas (Tabel 16) menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman, umur panen, panjang malai, jumlah spikelet, jumlah biji/malai, jumlah malai/m-2, luas daun bendera, bobot biji/tanaman, jumlah biji/tanaman dan kerapatan stomata memiliki nilai heritabilitas yang tinggi, karakter dengan nilai heritabilitas sedang adalah umur berbunga, bobot biji/malai, bobot 1000 biji, hasil, klorofil a,
klorofil total dan ketebalan daun bendera, sedang karakter
dengan nilai heritabilitas rendah adalah jumlah anakan produktif, jumlah floret hampa, persen floret hampa, laju pengisian biji, klorofil b, nisbah klorofil a/b dan kehijauan daun.
58
Tabel 16. Parameter genetik karakter agronomi dan morfologis genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis Karakter Tinggi Tanaman Anakan Produktif Umur Berbunga Umur Panen Panjang malai Jumlah spikelet Floret hampa Persen floret hampa Jumlah biji/malai Jumlah biji/tan Bobot biji/malai Bobot biji/tan. Laju Pengisian biji Jumlah malai/meter Bobot 1000 biji Hasil Luas daun Kerapatan Stomata Klorofil A Klorofil B Nisbah klorofil a/b Klorofil total Ketebalan daun Kehijauan daun
σ2 E
σ2GML σ2 GL
σ2GM
σ2 G
29.17 0.44 11.43 30.28 0.75 0.91 13.63 44.14 23.89 1923 0.02 1.49 17.63 1846 7.93 0.11 5.19 68.64 0.20 0.17 0.04 0.34 478.17 3.21
19.09 0.01 8.41 9.55 0.05 0.59 10.25 3.14 0.19 0 0.01 0.35 11.35 147.0 1.93 0.22 3.70 34.81 0.03 0.05 0.00 0.05 37.28 2.20
0 0.01 16.73 0 0.10 0 7.38 51.89 10.07 0 0.00 0 2.83 278.7 1.90 0 0.10 0 0 0 0.00 0 0 0
18.21 0.01 2.39 13.62 0.13 1.79 0.04 0 9.59 428.2 0.00 0.28 0.00 595.7 0.45 0.04 3.70 20.60 0.01 0 0.00 0.03 24.86 0.12
0 0.03 1.29 10.01 0.09 0 0 11.65 1.76 297.9 0.00 0.15 2.27 306.0 0.44 0 0 0 0 0.01 0.00 0 14.13 0
σ2 P 25.41 0.05 5.45 18.53 0.17 2.01 3.74 4.42 11.63 531.6 0.01 0.49 4.29 786.3 1.60 0.10 5.06 35.02 0.04 0.02 0.00 0.07 74.03 0.94
h2 (bs) σ(σ2G) 71.66 19.19 43.89 73.49 71.82 88.85 1.07 0 82.47 80.56 43.95 57.00 0 75.8 28.44 37.94 73.17 58.82 38.14 0 0 41.93 33.59 13.04
9.20L 0.04S 7.77S 10.1S 0.13S 0.77L 4.61S 19.8S 7.86S 295.4S 0.01S 0.29S 4.61S 488 S 1.59S 0.04S 1.85L 13.6S 0.02S 0.02S 0.00S 0.03S 45.2S 0.65S
Keterangan : S = Sempit, L = Luas, ζ2 P = Ragam fenotipe, ζ2 G = Ragam genetik, dimana nilai (-) diasumsikan nol dalam perhitungan heritabilitas, ζ(ζ2G) = Standar deviasi ragam genetik, ζ2 E = Ragam lokasi, ζ2 GxE = Ragam interaksi, h2 (bs) = Heritabilitas.
Terdapat tiga karakter yang memiliki kriteria keragaman genetik luas adalah tinggi tanaman, jumlah spikelet dan luas daun bendera. Karakter dengan nilai heritabilitas tinggi dan diikuti oleh keragaman genetik luas adalah tinggi tanaman, jumlah spikelet dan luas daun. Menurut Lopez et al (2012) bahwa karakter tinggi tanaman, umur panen, umur berbunga, panjang malai, bobot 1000 biji dan hasil memiliki nilai heritabilitas tinggi pada pengujian beberapa lingkungan suhu sedang. Interaksi musim x elevasi x genotipe berpengaruh terhadap perubahan nilai heritabilitas dalam arti luas. Hal ini dapat dilihat pada beberapa karakter yang dipengaruhi interaksi memperlihatkan nilai heritabilitas yang rendah seperti umur berbunga, floret hampa, hasil, klorofil b dan kehijauan daun. Karakter dengan nilai heritabilitas rendah – sedang dengan keragaman genetik sempit diduga karena tingginya cekaman lingkungan selama pertumbuhan tanaman, sehingga karakter tersebut tidak dapat memunculkan potensi genetiknya secara optimum.
Cekaman lingkungan yang dialami tanaman selama pertumbuhan
59
bukan hanya cekaman suhu tinggi, namun cekaman curah hujan tinggi salah satu faktor pembatas yang menghambat perkembangan tanaman, khususnya pada saat pengisian biji. Hubungan kausal karakter agronomi dan fisiologis genotipe gandum introduksi terhadap bobot biji/tanaman di agroekosistem tropis Analisis Korelasi Sederhana (Simple correlation analysis) Produksi yang tinggi dapat dicapai oleh tanaman sangat di pengaruhi oleh keseimbangan source (fase vegetatif) dan sink (fase generatif). Keseimbangan source dan sink ini ditunjang kematangan oleh keragaan karakter pada fase vegetatif dan generatif. Jika karakter penunjang ini mengalami cekaman dalam perkembangannya, secara langsung ataupun tidak langsung berpengaruh terhadap peningkatan hasil. Hal ini dapat diduga hubungan keterkaitan antar karakter tersebut melalui analisis korelasi.
Keeratan hubungan antar karakter sangat
penting dalam program pemuliaan, khususnya dalam melakukan seleksi yang berhubungan dengan peningkatan hasil. Berdasarkan hasil analisis korelasi antar karakter di lingkungan agroekosistem yang berbeda dengan musim yang berbeda memperlihatkan bahwa hubungan karakter bobot biji/tanaman dengan karakter lain berbeda-beda (Tabel 17). Bobot biji/tanaman berkorelasi positif dengan jumlah floret hampa, persentase floret hampa, luas daun bendera, klorofil a dan klorofil b, namun karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur berbunga, umur panen, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, laju pengisian biji, nisbah klorofil a/b, ketebalan daun, kehijauan daun dan jumlah biji.tanaman berkorelasi negatif dengan bobot biji/tanaman di lokasi Bogor. Hal berbeda diperlihatkan di elevasi > 1000 m dpl dimana karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, bobot biji/malai, laju pengisian biji, jumlah malai/meter2, hasil, luas daun bendera, klorofil a, klorofil b, klorofil total, kehijauan daun dan jumlah biji/tanaman berkorelasi sangat nyata dengan bobot biji/tanaman.
Sementara analisis korelasi gabungan kedua elevasi dan musim
menunjukkan bahwa bobot biji/tanaman berkorelasi dengan karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen, panjang malai, jumlah spikelet, jumlah floret, jumlah biji/malai, jumlah biji/tanaman, bobot biji/malai, jumlah
60
malai/meter, bobot 1000 biji, hasil/petak, luas daun bendera, kerapatan stomata, klorofil a, klorofil b, klorofil total, ketebalan daun dan kehijauan daun. Elevasi > 1000 m dpl merupakan lokasi yang baik untuk pertumbuhan dan produksi tanaman gandum, sedang elevasi < 400 m dpl merupakan lokasi elevasi rendah dengan
cekaman suhu tinggi, sehingga pertumbuhan dan produksi tanaman
gandum berada dalam cekaman. Untuk target suhu tinggi perlu diperhatikan bagaimana respon karakter agronomi dan fisiologis di kedua elevasi tersebut terhadap peningkatan produksi. Perbaikan dan peningkatan keragaman karakter agronomi dan fisiologis menjadi sangat penting terhadap peningkatan adaptasi tanaman di lingkungan yang mengalami cekaman. Secara khusus, di Meksiko dengan irigasi penuh, model tersebut menjelaskan 15% variasi hasil sementara di bawah cekaman (kekeringan, panas dan kombinasi panas dengan kekeringan di Meksiko), model ini menjelaskan antara 25 dan 34% variasi hasil (Lopes et al. 2012).
Pada penelitian ini karakter yang memperlihatkan korelasi nyata dan
positif dengan karakter bobot biji/tanaman di dua elevasi pengujian adalah karakter jumlah biji/malai, bobot biji/malai dan jumlah biji/tanaman. Kasno et al. (1987) mengemukakan bahwa untuk memperbaiki hasil yang penampilannya sangat dipengaruhi oleh faktor non genetik (faktor lingkungan), seleksi dapat dilakukan melalui komponen hasil yang mempunyai korelasi erat dengan hasil.
61
Tabel 17. Analisis korelasi karakter agronomi dan fisiologis genotipe gandum introduksi gandum terhadap karakter bobot biji/tanaman. Karakter Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan produktif Umur berbunga (hari) Umur panen (hari) Panjang malai (cm) Jumlah spikelet/malai Jumlah floret/malai Jumlah floret hampa/malai Persentase floret hampa Jumlah biji/malai Jumlah biji/tanaman Bobot biji/malai Laju pengisian biji (hari) Jumlah malai/meter2 Bobot 1000 biji (g) Hasil (kg.p-1) Luas daun bendera (cm) Kerapatan stomata Klorofil a Klorofil b Nisbah klorofil a/b Klorofil total Ketebalan daun (µm) Kehijauan daun
Elevasi < 400 m dpl MH10 MK11 * 0.349 0.294tn ** 0.524 0.19tn 0.588** 0.232tn ** 0.481 -0.12tn ** 0.408 0.556** 0.402* 0.388* * 0.402 0.388* tn -0.227 -0.395* ** -0.420 -0.808** 0.585** 0.856** ** 0.784 0.921** ** 0.898 0.952** ** -0.179 -0.423** -0.262tn 0.357* tn 0.266 -0.05tn tn 0.255 -0.136tn 0.296tn 0.31tn tn 0.174 0.305tn tn -0.080 0.068tn tn 0.023 -0.11tn -0.176tn 0.122tn tn -0.053 0.077tn tn 0.050 0.237tn 0.323tn 0.308tn
Elevasi > 1000 m dpl MH10 MK11 tn 0.102 0.485** ** 0.575 0.611** 0.073tn 0.168tn tn 0.164 0.116tn tn 0.02 0.391* -0.024tn 0.434** tn -0.024 0.434** tn -0.164 -0.213 tn -0.2 -0.32 tn 0.528** 0.874** ** 0.728 0.793** ** 0.813 0.551** ** 0.1 0.042** -0.2tn 0.019tn tn 0.077 -0.30tn tn 0.064 0.195tn 0.176tn 0.187tn tn 0.323 0.127tn tn -0.308 -0.14tn tn -0.137 0.28 tn -0.188tn -0.27tn tn -0.27 -0.15tn tn 0.11 0.19tn 0.213tn -0.28tn
Elevasi < 400 m dpl MH 10/MK 11 -0.33** -0.677** -0.27* -0.572** -0.158tn 0.20tn 0.20tn 0.447** 0.378** -0.351** -0.736** -0.473** -0.475** 0.044 tn -0.612** 0.013 tn 0.603** -0.031 tn 0.775** 0.806** -0.792** 0.772** -0.552** -0.363**
Elevasi > 1000 m dpl MH 10/MK 11 0.41** 0.622** -0.172 tn 0.144 tn 0.092 tn 0.078 tn 0.078 tn -0.485** -0.533** -0.446** 0.847** 0.639** 0.233** 0.388** 0.109 tn 0.412** 0.384** 0.186 0.511** 0.567** -0.567** 0.503** -0.224* 0.31**
Rata-Rata gabungan 0.634** 0.92** 0.122tn 0.603** 0.625** 0.731** 0.731** -0.316** -0.62** 0.827** 0.958** 0.958** 0.61** 0.568** 0.547** 0.865** 0.474** 0.336** 0.386** 0.246** -0.118tn 0.369** -0.182* 0.536**
Keterangan : * : Nyata pada taraf uji P 0,05, ** : Sangat nyata pada taraf uji P 0,01, tn : tidak nyata pada taraf uji P 0,05 dan P 0,01
61
62
Analisis Lintasan (Path analysis) Analisis lintasan merupakan bentuk analisis regresi linier terstruktur yang memperlihatkan hubungan dan pengaruh antar karakter-karakter baik pengaruh langsung (direct effect) maupun pengaruh tidak langsung (indirect effect) antar karakter bebas terhadap karakter respon (Singh 2004). Karakter yang dilibatkan dalam analisis ini berjumlah 24 karakter, namun setelah dilakukan analisis regresi sederhana hanya 22 karakter yang dapat dilanjutkan dalam analisis lintasan. Terdapat dua karakter yang memiliki multikolinearitas yang tinggi, yaitu jumlah floret hampa dan laju pengisian biji.
Menurut Gasperz (1995) analisis lintasan
dapat menutupi yang sering terjadi pada analisis korelasi yaitu adanya kolinearitas atau saling interaksi antara komponen hasil yang dapat membuat penafsiran menjadi tumpang tindih.
Kontribusi setiap karakter terhadap bobot biji/tanaman
genotipe gandum yang diuji di agroekosistem tropis disajikan pada Tabel Lampiran 6 Hasil analisis lintas genotipe karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman pada elevasi < 400 m dpl MH 10/MK 11 disajikan pada Gambar 11. Terdapat 7 dari 22 karakter yang di analisis memiliki pengaruh langsung yang tinggi terhadap bobot biji/tanaman yaitu klorofil b (1.19), jumlah biji/malai (0.64), bobot biji/malai (0.21), klorofil a (0.35), nisbah klorofil a/b (0,45), klorofil total (-0.69) dan jumlah biji/tanaman (-1.24). Pengaruh langsung klorofil b terhadap bobot biji/tanaman dibandingkan karakter jumlah biji/malai yang diduga berhubungan langsung dengan bobot biji/tanaman.
Makna dari
besaran tersebut adalah setiap kenaikan satu simpangan baku karakter klorofil b akan menaikkan karakter bobot biji/tanaman sebesar 1.19, demikian halnya karakter yang lain. Nilai pengaruh langsung jumlah biji/malai terhadap bobot biji/tanaman lebih tinggi dibanding dengan karakter jumlah biji/tanaman. Kedua karakter ini memperlihatkan hubungan lebih erat dengan bobot biji/tanaman. Gambar 12, memperlihatkan hubungan kausal karakter bebas (X) dengan karakter respon (Y) pada elevasi > 1000 m dpl MH 10/MK 11. Terdapat tujuh karakter yang menunjukkan pengaruh langsung terhadap bobot biji/tanaman yaitu jumlah anakan produktif (0.33), jumlah biji/tanaman (0.45), bobot biji/malai (0.44), Klorofil b (-0.42), jumlah biji/malai (0.48), klorofil a (4.49) dan klorofil
63
total (-3.75) Berbeda di elevasi < 400 m dpl nilai pengaruh langsung jumlah biji/tanaman negatif, namun pengujian di elevasi > 1000 m dpl menjadi positif. Demikian halnya dengan karakter fisiologis klorofil b di elevasi < 400 m dpl memiliki pengaruh langsung tertinggi, namun pengujian di elevasi > 1000 m dpl turun menjadi negatif. Hal ini di sebabkan perubahan nilai tersebut akibat dari tingginya cekaman lingkungan di elevasi < 400 m dpl khususnya cekaman suhu tinggi.
Gambar 11 Diagram lintas genotipe gandum introduksi karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman di Bogor MH 10/ MH 11. JBM : jumlah biji/malai, JBT : jumlah biji/tanaman, klor A : klorofil A, klor B : Klorofil B,; NAB : nisbah klorofil a/b, KT : klorofil total. Karakter
yang konsisten memiliki pengaruh langsung yang tinggi
terhadap bobot biji/tanaman di elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl adalah karakter klorofil b, sementara karakter lain seperti jumlah biji/malai, jumlah biji/tanaman, klorofil a, dan klorofil total bervariasi. Karakter klorofil b ini dapat digunakan sebagai karakter seleksi untuk cekaman suhu tinggi dan di lingkungan optimal karena karakter tersebut termasuk sebagai karakter konstitutif. Keempat karakter lainnya seperti jumlah biji/malai, jumlah biji/tanaman, klorofil a, dan klorofil total termasuk sebagai karakter inducible, karakter ini hanya muncul ketika tanaman berada dalam kondisi tercekam.
64
Berdasarkan hasil analisis korelasi dan analisis lintas, dapat diidentifikasi bahwa karakter jumlah biji/malai, jumlah biji/tanaman, klorofil a, klorofil b dan klorofil total merupakan karakter yang cocok sebagai karakter sekunder untuk kriteria seleksi. Seleksi untuk merakit varietas gandum yang adaptif dan berdaya hasil tinggi dapat efektif jika menggunakan karakter-karakter di atas sebagai kriteria seleksi dengan pertimbangan (1) kedua karakter tersebut memiliki korelasi genetik yang erat dengan karakter bobot biji/malai; (2) kedua karakter tersebut memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung yang tinggi; (3) Beberapa karakter kuantitatif yang lain memiliki pengaruh tidak lansung yang tinggi terhadap bobot biji/malai jika melalui kedua karakter tersebut.
Gambar 12 Diagram lintas genotype gandum introduksi karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman di Cipanas MH 10/ MH 11. JAPRO : jumlah anakan produktif; JBM : jumlah biji/malai, BBM : bobot biji/malai, JBT : jumlah biji/tanaman, klor A : klorofil A, klor B : Klorofil B, KT : klorofil Total.
65
Indeks Kepekaan Karakter Agronomi dan Fisiologis terhadap Suhu Tinggi pada Beberapa Genotipe Gandum Indikator toleransi tanaman terhadap suatu lingkungan bercekaman pada fase akhir pertumbuhan dicerminkan oleh ada tidaknya penurunan produksi dan perubahan karakter agronomi, fisiologi dan komponen hasil yang mendukung produksi.
Hasil pengujian menunjukkan terdapat variasi dari nilai indeks
kepekaan suhu tinggi, baik antara genotipe yang diuji maupun dari karakter agronomi dan fisiologis yang diamati di elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl tahun 2010. Berdasarkan karakter hasil terdapat dua genotipe yang memperlihatkan toleransi medium terhadap suhu tinggi yaitu OASIS/SKAUZ //4* BCN Var-28 (0.55) dan Alibey (0.56), lebih baik dibandingkan dengan varietas
Dewata (pembanding peka), namun masih kurang toleran dibandingkan varietas Selayar (0.05) sebagai varietas pembanding toleran. Berdasarkan karakter bobot biji/tanaman genotipe yang paling toleran adalah HP 1744 (-0.09) dan RABE/MO88 (0.29).
Nilai indeks kepekaan pada tahun 2011 menunjukkan bahwa terdapat variasi respon dari genotipe yang diuji dan karakter agronomi dan fisiologis yang diamati. Genotipe yang memperlihatkan genotipe toleran berdasarkan karakter jumlah anakan produktif adalah OASIS/SKAUZ //4* BCN Var-28, LAJ/MO88 dan H-21, sedang berdasarkan karakter bobot biji/tanaman genotipe yang memperlihatkan toleran adalah G-18 ( 0.45) dan Menemen (0.42). Berdasarkan karakter hasil genotipe HP 1744 di tahun 2010 termasuk peka, tapi pengujian di tahun 2011 di elevasi yang sama menunjukkan respon medium. Hanya genotipe OASIS/SKAUZ //4* BCN Var-28 yang konsisten toleran terhadap suhu tinggi di kedua elevasi pada tahun 2010 dan 2011. Hasil pengujian Yang et al. (2002b) menunjukkan adanya variasi nilai HSI diantara 30 genotipe gandum heksaploid hasil persilangan antara gandum durum x Aegilops tauschii. Sebagian besar genotipe menunjukkan sifat peka terhadap suhu tinggi yang ditunjukkan oleh nilai HSI di atas 1.00. Dengan adanya beberapa karakter nilai indeks kepekaan diperlukan pengelompokan terhadap toleransinya terhadap suhu tinggi. Analisis komponen utama
merupakan
suatu
pendekatan
yang
dapat
dilakukan
dalam
mengelompokkan tingkat toleransi genotipe terhadap suhu tinggi dengan
66
berdasarkan nilai indeks kepekaan. Analisis ini digunakan dengan mereduksi sejumlah karakter asal (p) yang saling berkorelasi menjadi q peubah baru yang tidak berkorelasi (q
Gambar 13 Grafik Biplot Genotipe dan Karakter berdasarkan Indeks kepekaan dengan menggunakan komponen utama tahun 2010.
67
Gambar 14 Grafik Biplot Genotipe dan Karakter berdasarkan Indeks kepekaan dengan menggunakan komponen utama tahun 2011.
68 68
Tabel 18. Indeks kepekaan genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropis berdasarkan karakter agronomi Genotipe OASIS/SKAUZ //4* BCN Var-28 HP 1744 LAJ/MO88 RABE/MO88 H-21 G-21 G-18 MENEMEN BASRIBEY ALIBEY SELAYAR
TT 1.09 0.85 0.98 0.97 1.17 1.05 1.16 0.88 0.86 0.90 1.14
JPR 0.83 0.77 1.07 1.00 1.04 1.29 1.09 0.92 0.87 1.06 1.08
Indeks Kepekaan 2010 UB UP PM JSP 0.97 0.67 1.07 1.11 1.09 1.08 1.06 1.00 0.98 0.88 1.08
0.99 0.90 1.06 1.05 0.99 1.01 0.95 1.03 0.97 0.92 1.12
1.05 0.77 0.90 1.03 1.10 1.02 1.00 1.05 1.04 1.08 1.02
0.98 1.00 0.92 0.99 1.13 0.99 1.00 0.95 1.15 0.97 0.92
FLH PHM 0.70 1.42 1.15 1.37 1.60 1.05 0.72 0.70 1.25 0.56 0.92
0.71 1.39 1.24 1.35 1.40 1.05 0.72 0.74 1.09 0.58 0.99
TT 0.99 0.92 0.87 0.90 0.96 1.10 1.08 1.06 1.16 1.04 0.93
JPR
Indeks Kepekaan 2011 UB UP PM JSPT
-2.12 5.69 16.93 10.32 -4.21 5.63 9.82 0.00 -5.37 3.41 6.21
1.06 0.74 1.18 0.84 1.08 1.11 1.09 1.02 0.99 0.98 0.90
0.98 0.91 1.06 1.07 1.02 1.07 1.05 0.97 1.06 0.93 0.90
1.06 0.85 0.83 0.87 1.01 1.19 1.13 1.03 1.08 1.01 0.93
1.03 0.87 0.88 0.90 1.01 1.22 1.11 0.93 1.04 0.96 1.03
Keterangan : TT : Tinggi tanaman; JPR : Jumlah anakan produktif; UB : Umur Berbunga; UP : Umur Panen; JSP : Jumlah spikelet; FLH : Floret hampa; PHM : Persentase floret hampa
FLH 0.81 0.81 0.93 1.09 1.30 1.31 1.02 0.75 1.27 0.97 0.91
PHM 0.78 0.93 1.06 1.19 1.28 1.07 0.92 0.80 1.21 1.03 0.90
69
Tabel 19. Indeks kepekaan genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropis berdasarkan karakter agronomi Genotipe
JBM
BBM
Indeks Kepekaan 2010 LPB JMM B1000B Yield
BBT
JBT
JBM
BBM
Indeks Kepekaan 2011 LPB JMM B1000B Yield
BBT JBT
OASIS/SKAUZ //4* BCN Var-28 1.49 1.53 1.03 1.03 1.01 0.55 0.75 1.37 1.69 0.98 0.81 0.77 0.88 0.61 0.78 1.57 HP 1744 0.68 1.59 1.45 1.43 0.88 1.49 -0.09 0.64 0.71 1.47 1.27 1.14 0.99 0.59 1.75 0.87 LAJ/MO88 0.70 0.71 1.05 0.88 0.84 1.51 1.01 0.73 0.72 1.38 0.80 1.04 0.91 1.18 1.98 0.34 RABE/MO88 0.73 1.13 0.89 0.98 0.76 1.24 0.29 0.76 0.38 1.47 1.59 0.91 0.84 1.95 2.04 0.51 H-21 0.76 0.85 0.84 1.04 1.19 0.81 0.96 0.75 0.70 0.84 0.88 1.06 1.08 1.00 0.83 0.64 G-21 0.80 1.01 0.86 0.78 0.92 1.90 1.20 0.93 0.59 1.00 1.01 0.84 1.14 1.59 1.19 0.65 G-18 1.18 0.34 0.80 1.07 1.14 1.23 1.84 1.29 1.10 0.77 0.97 1.27 1.30 1.29 0.45 1.27 MENEMEN 1.08 1.09 1.08 0.85 1.11 1.00 1.26 0.96 1.46 0.68 0.84 1.07 0.92 1.06 0.42 1.49 BASRIBEY 1.16 0.73 0.90 1.00 0.93 0.84 1.02 1.03 1.08 0.87 1.17 0.97 1.11 0.39 0.82 1.08 ALIBEY 1.41 1.36 0.99 0.95 1.09 0.56 0.93 1.40 1.33 0.91 0.82 0.83 0.88 1.05 0.70 1.30 SELAYAR 1.19 1.11 1.24 0.98 1.29 0.05 1.83 1.24 1.04 1.04 0.91 1.30 0.96 0.87 0.89 1.04 2 Keterangan : JBM : Jumlah biji/malai; BBM : Bobot biji/malai; LPB : Laju pengisian biji; JMM : Jumlah malai/meter ; B1000B : Bobot 1000 biji; Yield : Hasil; BBT : Bobot biji/tanaman; JBT : Jumlah biji/tanaman.
69
70
70
Tabel 20. Indeks kepekaan genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropis berdasarkan karakter agronomi Genotipe
LD
Indeks Kepekaan 2010 KST KLA KLB NAB KT
KTD KHD LD
Indeks Kepekaan 2011 KST KLA KLB NAB KT
KTD KHD OASIS/SKAUZ //4* BCN Var-28 0.98 1.08 0.91 0.83 0.75 1.08 1.13 1.02 1.40 0.75 0.89 1.02 1.02 0.90 1.04 0.97 HP 1744 1.07 1.09 1.01 0.96 1.34 0.90 0.93 1.06 0.53 1.22 0.97 1.05 1.04 0.96 0.97 1.00 LAJ/MO88 0.79 0.93 0.49 1.33 0.94 0.68 0.96 0.99 0.71 0.72 0.98 1.05 1.00 0.97 0.84 0.94 RABE/MO88 0.85 0.89 1.14 1.04 0.98 1.08 0.90 0.99 0.64 1.04 0.75 0.98 0.99 0.77 1.11 0.92 H-21 1.29 1.15 1.18 1.16 1.00 1.14 0.98 0.96 0.96 0.83 1.10 0.95 1.06 1.12 0.99 1.02 G-21 1.06 1.03 1.16 0.98 0.85 1.20 0.93 0.88 1.30 1.06 1.05 0.99 1.07 1.06 1.05 1.03 G-18 0.96 0.99 0.83 1.24 0.97 0.91 0.95 0.97 1.06 1.16 0.91 0.90 1.11 0.94 1.23 1.04 MENEMEN 0.87 1.19 1.42 0.83 1.19 1.22 0.95 1.01 1.04 1.05 0.89 1.03 0.94 0.89 0.87 0.98 BASRIBEY 1.23 0.93 1.24 0.75 1.03 1.10 1.03 0.96 1.52 0.66 0.99 1.05 0.97 0.98 0.99 1.05 ALIBEY 0.94 0.79 0.83 1.00 1.07 0.86 1.22 1.02 1.29 1.25 1.31 0.97 0.86 1.29 1.05 0.99 SELAYAR 0.95 1.06 0.84 0.96 0.92 0.89 1.13 1.16 0.96 1.38 1.21 1.01 0.96 1.19 0.89 1.06 Keterangan : LD : Luas daun bendera; KST : Kerapatan stomata; KLA : Klorofil a; KLB : Klorofil b; NAB : Nisbah klorofil a/b; KT : Klorofil total; KTD : Ketebalan daun bendera; KHD : Kehijauan daun.
71
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian di atas maka dapat disimpulkan bahwa : 1.
Genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropis memperlihatkan respon yang berbeda untuk karakter agronomi, sedangkan untuk karakter fisiologis genotipe hanya berpengaruh nyata pada karakter luas daun bendera, kehijauan daun dan kerapatan stomata.
2.
Terdapat tiga karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi yang diikuti oleh keragaman genetik yang luas yaitu karakter tinggi tanaman, jumlah spikelet dan luas daun bendera.
3.
Karakter klorofil b, memiliki korelasi positif terhadap bobot biji/tanaman dan berpengaruh langsung terhadap hasil di dua elevasi dan musim.
4.
Genotipe yang memiliki toleransi medium berdasarkan hasil biji adalah OASIS/SKAUZ //4* BCN Var-28.
5.
Genotipe
G-21 dan LAJ dapat diseleksi berdasarkan bobot biji/malai,
klorofil b, dan hasil biji (2010). Genotipe Oasis, H-21, Basribey dan LAJ berdasarkan bobot biji/tanaman dan bobot biji/malai (2011). 6.
Genotipe OASIS/SKAUZ //4* BCN Var-28 dapat diseleksi berdasarkan panjang
bobot biji/tanaman di semua lingkungan.
72
INTERAKSI GENETIK X LINGKUNGAN DAN STABILITAS HASIL GENOTIPE GANDUM INTRODUKSI [(Triticum aestivum (L.)] DI AGROEKOSISTEM TROPIKA ABSTRAK Penampilan yang diperlihatkan oleh suatu tanaman di sebut fenotipe yang merupakan hasil ekspresi dari penampilan genotipe tanaman pada suatu lingkungan tertentu dan interaksinya. Penelitian bertujuan untuk memperoleh informasi tentang pengaruh interaksi genotipe x lingkungan dan stabilitas hasil genotipe gandum di agroekosistem tropika. Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Seameo-Biotrop (< 400 m.dpl) dan kebun percobaan Balithi-Cipanas (>1000 m.dpl). masing masing dua musim tanam. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh interaksi musim x elevasi x genotipe terhadap karakter tinggi tanaman, umur berbunga, jumlah spikelet, jumlah floret, bobot biji/malai, laju pengisian biji, hasil, luas daun bendera, kerapatan stomata, klorofil b dan kehijauan daun, sementara karakter yang tidak dipengaruhi oleh interaksi musim x genotipe x elevasi, tapi hanya interaksi genotipe x elevasi adalah karakter umur panen, persen floret hampa, jumlah biji/malai, bobot 1000 biji, jumlah malai/m2 dan bobot biji/tanaman. Penampilan karakter agronomi dan fisiologis umumnya mengalami penurunan dengan penurunan elevasi dari Cipanas (>1000 mdpl) ke Bogor (< 400 m dpl). Terdapat dua genotipe yang memiliki hasil lebih tinggi dari varietas pembanding Selayar yaitu Basribey (2.00 t.ha-1) dan Alibey (2.13 t.ha-1 ). Genotipe yang memperlihatkan hasil stabil adalah HP 1744 (1.75 t.ha-1), H-21 (1.82 t.ha-1) dan varietas Selayar (1.92 t.ha-1) , Menemen (1.82 t.ha-1) merupakan genotipe yang spesifik lingkungan Kata Kunci : interaksi genetik x lingkungan, genotipe gandum, stabilitas hasil, agroekosistem tropis ABSTRACT The appearance shown by a plant called phenotype is a result of expression from genotipe of lines on ap articular environment and their interactions. The study aimed to obtain information about the influence of genetic x environment interactions and stability of the wheat lines yield in tropical agro-ecosystems. The research carried out in SEAMEO-BIOTROP (<400 m.dpl) and Balithi-Cipanas research stations (> 1000 m.asl), respectively, in two cropping seasons. The results showed that the interaction of genotype x season x elevation effected the plant height, days of flowering, spikelet number, floret number, seed weight per spike, seed filling rate, yield, flag leaf area, stomata density, chlorophyll b and green leaves characters, while some characters were not influenced by the interaction of season x genotype x elevation, but affected by the interaction of genotype x elevation namely harvesting time, percent of hollow floret, seeds number per spike, 1000 grains weight, spike number per m2 and seeds weight per plant characters. Appearance of agronomical and physiological characters generally decreased by the decreasing of elevation from Cipanas (> 1000 m.asl) to
73
Bogor (<400 m asl). There was no lines showed better yield than Selayar variety in Bogor, while in Cipanas there were two lines which higher yield than Selayar variety namely Basribey (4.31 t.ha-1) and Alibey (4.74 t.ha-1). The lines that showed a stable yield were HP 1744 (1.75 t.ha-1), H-21 (1.82 t.ha-1), while Selayar (1.92 t.ha-1) and Menemen (1.82 t.ha-1) varieties were the specific environmental lines Key words: genetic x environment interaction, genotipes of wheat, yield stability, tropical agroecosystems PENDAHULUAN Latar Belakang Potensi pengembangan gandum di Indonesia sangat tinggi, dimana permintaan gandum setiap tahun sebagai bahan baku pangan sangat tinggi. Namun di sisi lain pengembangan gandum di Indonesia mengalami beberapa kendala yaitu adaptasi tanaman gandum yang berasal dari agroekosistem subtropika dengan suhu (8 – 10oC). Agroekosistem Indonesia dengan suhu yang mirip dengan agroekosistem subtropika adalah sebagian besar berada di daerah dengan ketinggian > 1000 m dpl dengan suhu udara yang rendah (15 – 20oC). Pada ketinggian tersebut tanaman gandum bersaing dengan tanaman hortikultura yang memiliki nilai ekonomis jauh lebih tinggi dari gandum. pengembangan gandum ke depan harus diarahkan dengan
Tujuan
merakit varietas
gandum yang dapat beradaptasi baik di dataran rendah dan toleran suhu tinggi dengan suhu rata-rata (25– 35oC) (Handoko 2007). Faktor pembatas pengembangan tanaman gandum di dataran rendah adalah besarnya cekaman lingkungan. Dua jenis cekaman utama yang dihadapi tanaman gandum adalah kekeringan dan suhu tinggi.
Efek suhu tinggi
menyebabkan bunga rontok, aborsi, pengurangan viabilitas butir tepung sari, gangguan pembentukan tabung polen dalam tangkai putik dan mengurangi ukuran biji.
Menurut Stone (2001) pengaruh suhu tinggi terhadap perkembangan bulir
pada serealia meliputi laju perkembangan bulir yang lebih cepat, penurunan berat bulir, biji keriput, berkurangnya laju akumulasi pati dan perubahan komposisi lipid dan polipeptida.
74
Besarnya pengaruh penurunan elevasi terhadap pertumbuhan dan penurunan produksi gandum serta adanya respon yang berbeda dari tiap genotipe terhadap perubahan lingkungan, menyebabkan perlu adanya kajian khusus mengenai interaksi genetik x lingkungan.
Penampilan fenotip tanaman
merupakan hasil ekspresi dari penampilan genotipe tanaman pada suatu lingkungan tertentu dan interaksinya (Brennan & Byth 1979).
Menurut Allard
dan Bradsaw (1964), interaksi genotipe lingkungan tersebut bersifat kompleks karena bervariasinya komponen-komponen faktor lingkungan. Adanya pengaruh interaksi genetik x lingkungan menyebabkan sulit untuk menentukan genotipe yang stabil dan spesifik lingkungan. Yang dan Baker (1991), menyatakan bahwa interaksi genotipe x lingkungan sebagai perbedaan yang tidak tetap diantara genotipe - genotipe yang ditanam dalam satu lingkungan ke lingkungan yang lain.
Macam interaksi
tersebut penting diketahui karena dapat menghambat kemajuan seleksi dan sering mengganggu dalam pemilihan varietas-varietas unggul dalam suatu pengujian varietas (Eberhart-Russell 1966) dan seringkali
menyulitkan pengambilan
kesimpulan secara sahih jika suatu percobaan varietas/genotipe dalam kisaran lingkungan yang luas (Nasrullah 1981). Mekanisme stabilitas secara umum dikelompokkan dalam empat hal yaitu heterogenitas genetik, kompensasi komponen hasil, ketenggangan terhadap deraan (stress tolerance) dan daya pemulihan yang cepat terhadap deraan. Stabilitas adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan daya hasil terhadap perubahan kondisi lingkungan. Stabilitas dapat bersifat dinamik artinya selalu berubah pada kisaran tertentu pada lingkungan yang berbeda atau bersifat statis artinya kondisi dimana daya hasil suatu genotipe selalu tetap pada berbagai lingkungan. Mekanisme stabilitas lebih dikendalikan oleh kompensasi dari komponen hasil jika genotipe tersebut mampu mempertahankan hasil yang tinggi di lingkungan yang optimal Metode yang telah banyak digunakan untuk menganalisis stabilitas adalah model Eberhart dan Russell (1966) berdasarkan metode regresi, namun metode ini hanya mampu menggambarkan genotipe yang stabil dan tidak stabil. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk menganlisis stabilitas adalah model
75
AMMI (Additive Main Effects and Multiplicative Interaction). Kelebihan model AMMI adalah mampu memetakan genotipe yang stabil dan tidak stabil, disamping itu dapat memetakan genotipe spesifik lingkungan. Model AMMI dapat menggambarkan struktur interaksi yang sangat kompleks sehingga hasilnya dapat menjelaskan pengaruh interaksi dengan lebih baik. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh informasi tentang pengaruh interaksi genetik x lingkungan dan stabilitas karakter hasil genotipe gandum di agroekosistem tropis. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Seameo-Biotrop pada elevasi < 400 m dpl dan kebun percobaan Balithi-Cipanas pada elevasi >1000 m dpl. masing masing dua musim tanam. Penelitian berlangsung mulai bulan Mei 2010 - Juli 2011. Rancangan Penelitian dan Bahan Genetik Penelitian dimasing – masing musim dan lingkungan dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan, ukuran plot 1.5 x 5 m.
Materi evaluasi terdiri atas 10 genotipe (Oasis/Skauz//4*BCN,
HP 1744, Laj/MO88, Rabe/MO88, Basribey, Alibey, Menemen, G-21, G-18, dan H-21) dan dua varietas nasional sebagai pembanding (Selayar, dan Dewata). Pelaksanaan Penelitian Pengolahan lahan.
Lahan dibersihkan dari gulma kemudian dicangkul
untuk membalikkan tanah. Tanah digemburkan dan dibuat petakan sepanjang 5 m dengan lebar 1.5 m, jumlah petakan semua di setiap musim dan lokasi adalah 36 petakan. Penanaman. Sebelum ditanam benih gandum diberi perlakuan pestisida atau seed treatment untuk menghindari semut dan lalat bibit di lokasi penelitian.
76
Insektisida seed treatment yang digunakan adalah karbaril 85%. Penanaman dilakukan dengan cara larikan.
Setiap genotipe ditanam/petak terdiri dari 6
baris. Jarak antar barisan 25 cm, benih dilarik dalam baris. Jumlah benih yang digunakan untuk setiap baris 10 – 12 g sehingga total benih yang dibutuhkan dalam satu petak 60 – 72 g. Setelah penanaman ditaburi insektisida karbofuran 3% Pemupukan. Pupuk yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari Urea, SP-36 dan KCl dengan dosis masing-masing 300, 200 dan 100 kg.ha-1. Pemupukan diberikan dua kali yaitu pemupukan pertama pada umut tanaman 10 HST dengan dosis 150, 200 dan KCl 100 kg.ha-1.
Pupuk SP-36 dan KCl
diberikan sekaligus. Pemupukan kedua pada umut 30 HST dengan dosis 150 kg.ha-1 Urea. Pemeliharaan. Pemeliharaan yang dilakukan meliputi penyiangan, penyiraman, pengendalian hama dan penyakit. Intensitas penyiangan dilakukan tergantung
dari
kecepatan
perkembangan
gulma
disekitar
pertanaman.
Penyiangan (weeding) dilakukan secara manual dengan menggunakan cangkul atau sabit.
Penyiangan pertama dilakukan sebelum pemupukan pertama
(10 HST), penyiangan kedua sebelum pemupukan kedua (30 HST) dan penyiangan selanjutnya dilakukan pada saat tanaman memasuki fase generatif. Pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan insektisida Deltamethrin 25 g/l untuk mengendalikan belalang, walang sangit dan aphids, sedangkan pengendalian penyakit menggunakan fungisida
difekonazol 250 gr/l untuk
mengendalikan cendawan. Pengamatan.
Pengamatan dilakukan terhadap karakter morfologi,
fisiologi dan agronomi tanaman gandum. Karakter – karakter tersebut adalah : 1) Tinggi tanaman (cm) yaitu tinggi tanaman
diukur dari permukaan tanah
sampai ujung malai, 2) Jumlah anakan produktif yaitu jumlah anakan yang membentuk malai, 3) Umur berbunga (Hari) yaitu Jumlah hari dari waktu tanam sampai lebih dari 50% tanaman telah mengeluarkan malai dalam setiap plot, 4) Umur panen (Hari) yaitu Jumlah hari dari waktu tanam sampai lebih dari 50 % tanaman telah menguning malainya dalam setiap plot, 5) Panjang malai (cm) yaitu diukur mulai dari lingkaran cincin sampai ujung malai tidak termasuk bulu, 6) Jumlah spikelet/malai, 7) Jumlah floret hampa/malai,
8) Persentase floret
hampa/malai, 9) Bobot biji/tanaman, 10) Bobot biji/malai (g), 11) Jumlah
77
malai/m2 yaitu jumlah malai yang dihitung pada 4 baris tengah panjang 1 m, 12) Laju pengisian biji yaitu jarak antara umur berbunga hingga dan umur panen, 13) Bobot 1000 biji (g), 14) Jumlah biji/malai, 15) Jumlah biji/Tanaman, 16) Hasil biji (t.ha-1) yaitu hasil biji diperoleh dari hasil panen seluruh plot dengan menyisakan baris pinggir yang kemudian dikonversikan ke dalam t.ha-1. Karakter fisiologis terdiri dari karakter 1) Kerapatan stomata yaitu menentukan jumlah stomata per satuan luas daun, pengamatan dilakukan dengan mengambil sampel dari bagian tengah daun bendera dengan menggunakan selulosa asetat (cat kuku) pada bagian bawah daun untuk mencetak pola stomata pada permukaan daun. Kerapatan stomata dihitung dengan rumus *) : Ǿok = Ǿol x pl /pk Diameter bidang pandang ( 10 x 40) = 5 x 10-1mm = 0.5 mm Dimana : Ǿ ok = diameter bidang pandang dengan obyektif perbesaran kuat Ǿ ol = diameter bidang pandang dengan obyektif perbesaran lemah pl
= perbesaran lensa obyektif lemah
pk
= perbesaran lensa obyektif kuat
Luas bidang pandang
= ¼ πd2 = ¼ (3.14) (0.5)2 = 0.19625 mm2
Kerapatan stomata
=
Jumlah stomata -------------------Luas bidang pandang
2) Luas daun bendera (LD) diukur dengan menggunakan leaf area meter. Luas daun diukur pada saat tanaman telah mengeluarkan malai dan daun bendera telah terbuka sempurna dengan cara destruktif tanaman pinggir, 3) Klorofil a, klorofil b, klorofil total
dan nisbah klorofil a/b, metode disajikan pada lampiran 9,
5) Ketebalan daun, diukur dengan menggunakan metode mikro teknik, 6) Intensitas kehijauan daun yaitu di ukur menggunakan chlorophyl meter pada saat tanaman memasuki fase generatif dan daun bendera telah berkembang penuh.
78
Analisis Data Data hasil pengamatan berupa karakter morfologi dan fisiologis di analisis dengan menggunakan analisis ragam, ragam gabungan dua musim dua lokasi, dan analisis stabilitas hasil dengan menggunakan model AMMI (Singh dan Chaudhary 1985; Falconer 1989; Gauch 1992). Analisis Ragam dan Ragam Gabungan Tabel 21. Analisis ragam dan kuadrat tengah harapan karakter agronomi gandum introduksi pada masing-masing lokasi Sumber Keragaman Ulangan Genotipe Galat
Db r-1 g-1 (g-1)(r-1)
KT
KT Harapan
KT1 KT2
2 + r2g 2
Keterangan : r = banyaknya ulangan, g = banyaknya genotipe, 2g = ragam genotipe, 2 = ragam galat
Tabel 22. Ragam gabungan musim, lokasi dan genotipe menggunakan model acak Sumber Kuadrat Derajat bebas Kuadrat tengah harapan keragaman tengah KT9 Musim (M) (m-1) KT Lokasi (L) (l-1) 8 KT7 MxL (m-1) (l-1) KT6 Ulangan/ML (r-1) ml KT5 Genotipe (G) (g-1) ζ2+rζ2glm+lrζ2gm+rmζ2gl+lrmζ2g KT4 MxG (m-1) (g-1) ζ2 + rζ2glm + rmζ2gl KT3 LxG (l-1) (g-1) ζ2 + rζ2glm + rlζ2gm MxLxG (m-1) (l-1) (g-1) KT2 ζ2 + rζ2glm KT1 Galat (g-1) (r-1) ml ζ2 Keterangan : r = ulangan, M = Musim, L = lokasi, G = genotipe, 2g = ragam genotipe, 2m = ragam musim, 2l = ragam lokasi, ζ2gml = ragam interaksi, 2e = ragam galat
Tabel 23. Analisis ragam gabungan lokasi dan genotipe model acak Sumber keragaman Lokasi (L) Ulangan/Lokasi Genotipe (G) Genotipe x Lokasi Galat
Derajat bebas l-1 l (r-1) (g-1) (g-1)(l-1) l (g-1)(r-1)
Kuadrat tengah KT5 KT4 KT3 KT2 KT1
KT Harapan ζ2 + g ζ2 r / l + gr ζ2 l ζ2 + g ζ2 r / l ζ2 + r ζ2 gl + rl ζ2 g ζ2 + r ζ2gl ζ2
Keterangan : r = banyaknya ulangan, l = lokasi, g = banyaknya genotipe, 2g = ragam genotipe, ζ2gl = ragam interaksi, 2 = ragam galat
79
Analisis Stabilitas dengan Menggunakan model AMMI (Additive Main Effects and Multiplicative Interaction) Analisis stabilitas model AMMI biasa diterapkan pada uji daya hasil. Model AMMI (Additive Main Effects and Multiplicative Interaction) menggabungkan analisis ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan analisis komponen utama ganda dengan pemodelan bilinier bagi pengaruh interaksi. Model AMMI dapat digunakan untuk menganalisis percobaan lokasi ganda. Asumsi yang mendasari pengujian ini adalah perlakuan dan lingkungan bersifat aditif, ragam yang homogen dan galat bebas (Mattjik & Sumertajaya 2006). Gauch (1992) menggunakan model AMMI dengan menyatakan genotipe yang stabil berdasarkan gabungan antara analisis ragam dan analisis komponen utama, dan Yan (2000) dengan menyatakan genotipe yang stabil dengan model biplot. Model AMMI secara lengkap: 0
Ygen = μ+αg+βe+∑√λnφgnρen+δge+εgen
Keterangan: g=1,2,…,a; e=1,2,…,b; n=1,2,…,m Parameter √λn adalah nilai singular untuk komponen bilinier ke - n. Pengaruh ganda genotipe ke - g melalui komponen bilinier ke-n dilambangkan dengan φgn, dan ρen merupakan pengaruh ganda lokasi ke-e melalui komponen bilinier ke-n.
Asumsi - asumsi yang mendasari analisis ragam adalah galat
percobaan menyebar saling bebas mengikuti sebaran normal dengan ragam homogen (εijk ~ N (0,ζ2ε) (Mattjik & Sumertajaya 2006). Tabel 24. Analisis ragam gabungan model AMMI Sumber keragaman Genotipe Lingkungan Interaksi GxL KUI-1 KUI-2 … KUI-r Simpangan Galat percobaan Total
Db a-1 b-1 (a-1)(b-1) a+b-1-2 a+b-1-4 … a+b-2r Substraksi ab(r-1) abr-1
Jumlah Kuadrat JKGenotipe JKLingkungan JKGL r1 r2 … rr JKS=JKGL-r1-…-rr JKG JKT
Kuadrat Tengah KTGenotipe KTLingkungan KTGL KTKUI1 KTKUI2 … KTKUIr KTS
80
HASIL DAN PEMBAHASAN Interaksi Musim x Elevasi x Genotipe Gandum Introduksi di Aagroekosistem Tropis Analisis ragam gabungan musim x elevasi x genotipe (Tabel 25) menunjukkan bahwa musim berpengaruh sangat nyata terhadap beberapa karakter kecuali karakter tinggi tanaman, jumlah spikelet, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, bobot biji/tanaman, laju pengisian biji dan kerapatan stomata. Pengaruh elevasi dan interaksi musim x elevasi sangat nyata hampir terhadap semua karakter, kecuali karakter umur berbunga (elevasi), luas daun bendera, kerapatan stomata, nisbah klorofil a/b dan kehijauan daun (musim x elevasi). Genotipe gandum yang diuji berpengaruh nyata terhadap agronomis dan fisiologis kecuali terhadap karakter jumlah anakan produktif, kerapatan stomata dan kehijauan daun. Interaksi musim x elevasi x genotipe, genotipe x lokasi dan genotipe x musim berpengaruh nyata dan sangat nyata terhadap karakter umur berbunga, jumlah floret hampa, bobot biji/malai, laju pengisian biji, hasil, luas daun bendera dan kehijauan daun, namun karakter panjang malai, jumlah biji/tanaman, jumlah malai/m2, klorofil a, nisbah klorofil a/b, klorofil total dan ketebalan daun tidak dipengaruhi oleh interaksi tersebut. Besarnya pengaruh interaksi
mengindikasikan
perbedaan
lingkungan
dan
musim
terhadap
pertumbuhan dan perkembangan genotipe gandum. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan suhu, kelembaban, lama penyinaran dan intensitas penyinaran di masing-masing lingkungan dimana tanaman gandum merupakan tanaman yang sangat responsif terhadap faktor lingkungan tersebut di atas. Menurut Handoko (2007) yang mempengaruhi selama periode pertumbuhan dan perkembangan genotipe gandum adalah suhu udara. Setiap penurunan ketinggian tempat terjadi kenaikan suhu udara. Hal ini menjadi cekaman utama selama periode pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Suhu rata-rata pada elevasi > 1000 m dpl berkisar 20.2oC – 20.66 oC sedangkan pada elevasi < 400 m dpl mencapai 25.9oC – 26.0 oC dengan kelembaban masing-masing 81.3% - 84.4% (BMG 2012). Rata-rata kehilangan hasil pada gandum akibat suhu tinggi sekitar 10 – 15% terutama disebabkan oleh penurunan berat bulir yang mencapai 4% untuk setiap peningkatan suhu 1°C di atas suhu optimum.
81
Nilai kuadrat tengah interaksi musim x elevasi x genotipe lebih kecil dibandingkan dengan pengaruh musim, elevasi atau pengaruh genotipe. Hal ini mengindikasikan bahwa karakter yang memperlihatkan interaksi musim x elevasi x genotipe ekspresinya lebih banyak ditentukan oleh lokasi, khususnya ketinggian elevasi. Adanya variasi lingkungan tumbuh makro tidak akan menjamin suatu genotipe atau varietas tanaman tumbuh baik dan menghasilkan hasil panen yang tinggi di semua wilayah dalam kisaran area yang luas, atau sebaliknya (Baihaki, Wicaksono 2005). Karakter yang tidak dipengaruhi oleh interaksi memberikan gambaran bahwa karakter tersebut mampu melakukan kompensasi terhadap perubahan elevasi dan musim.
Perbedaan faktor penginduksi aktivasi faktor
transkripsi di dua kondisi agroekosistem yang berbeda menjadi salah satu penyebab perbedaan ekspresi gen yang menyebabkan perbedaan nilai fenotipe (Griffiths et al. 2008). Interaksi Genetik x Lingkungan Genotipe Gandum Introduksi Di Agroekosistem Tropis Hasil analisis ragam gabungan elevasi di elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl (Tabel 26) memperlihatkan adanya perbedaan respon dari setiap genotipe yang diuji. Hasil pengujian di Bogor pada elevasi < 400 m dpl (Bogor) memperlihatkan bahwa lokasi, genotipe dan interaksi lokasi x genotipe berpengaruh nyata terhadap
karakter agronomi yaitu tinggi tanaman, anakan
produktif, umur berbunga, umur panen, panjang malai, jumlah floret hampa, persen floret hampa, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, laju pengisian biji, jumlah malai/meter, bobot 1000 biji, hasil, jumlah biji/tanaman,
sementara
karakter fisiologis lokasi, genotipe dan interaksi lokasi x genotipe hanya berpengaruh nyata terhadap karakter kerapatan stomata. Di Cipanas pada elevasi > 1000 m dpl lokasi, genotipe dan interaksi lokasi x genotipe berpengaruh nyata terhadap karakter jumlah floret hampa, hasil dan luas daun bendera. Sementara untuk karakter lainnya memiliki respon yang berbeda.
78
82 Tabel 25. Analisis ragam gabungan musim, elevasi dan genotipe karakter agronomi, morfologi dan fisiologi genotipe gandum introduksi di Agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Karakter Tinggi tanaman Jumlah anakan produktif Umur berbunga Umur panen Panjang malai Jumlah spikelet Jumlah floret hampa Persentase floret hampa Bobot biji/tanaman Bobot biji/malai Jumlah malai/meter Laju Pengisian Biji Bobot 1000 Biji Jumlah biji/malai Jumlah biji/tanaman Hasil Luas daun Kerapatan stomata Klorofil a Klorofil b Nisbah Klorofil a/b Klorofil Total Ketebalan daun Kehijauan daun
Musim 93.8tn 7.7** 941.3** 679.6** 3.4* 0.7 tn 145.8** 1770** 0.160tn 0.04 tn 143188** 0.485tn 22.8** 13.5 tn 11.36* 5.4** 446.5** 118.0tn 298.3** 294.6** 146.2** 427.6** 58105** 8.8**
Elevasi 3605.5** 598.8** 28.7tn 2992.5** 89.3** 696.9** 95.3** 8812.7** 82.26** 15.89** 279082** 2856** 103.1** 8074.2** 2327** 177.4** 548.8** 1306.7** 37.1** 8.0** 0.4** 49.3** 9569.8** 227.5**
Musimx Elevasi 1487.3** 26.5** 169.3** 1860.0** 5.4** 2.7** 4201.8** 16027** 8.45** 2.99** 140564** 677.28** 82.3** 5012.6** 473.9** 10.8** 12.9tn 41.4tn 30.8** 5.9** 0.002tn 36.9** 4100.4** 316.2tn
Genotipe 243.4** 0.8tn 174.7** 262.4** 3.3* 22.6tn 83.7** 434.3** 0.26** 0.1** 12946** 82.06** 4.2** 210.5** 14.19** 0.7** 49.0** 313.4** 0.34tn 0.02tn 0.03tn 0.65tn 857.1tn 9.94**
Kuadrat tengah Genotipe x Musim 66.75* 0.62tn 44.04** 119.45** 1.12 tn 1.29 tn 39.03** 123.48** 0.11* 0.07** 4120tn 68.66** 2.06* 35.03 tn 2.35tn 0.51** 3.99** 86.47 tn 0.24 tn 0.04* 0.04tn 0.39tn 674.76tn 9.39**
Genotipex Elevasi 44.59tn 0.47tn 136.34** 39.81tn 1.22tn 2.39** 88.96** 364.83** 0.10* 0.06** 3956tn 65.32** 3.17** 84.86** 3.80tn 0.46** 16.89** 152.77* 0.22tn 0.02tn 0.05tn 0.40tn 473.85tn 8.88**
Keterangan : * : Nyata pada taraf uji P 0,05, ** : Sangat nyata pada taraf uji P 0,01, tn : tidak nyata pada taraf uji P 0,05 dan P 0,01
Musim x Elevasix Genotipe 86.44** 0.35 tn 36.94** 57.21 tn 0.59 tn 2.74** 44.47** 53.54 tn 0.09 tn 0.05** 2292 tn 51.68** 1.73 tn 24.46 tn 0.90 tn 0.76** 16.29** 173.02* 0.28tn 0.03* 0.05tn 0.51tn 589.9 tn 9.80**
83
Analisis gabungan kedua elevasi yaitu Bogor dengan elevasi < 400 m dpl dan Cipanas dengan elevasi > 1000 m dpl memperlihatkan bahwa genotipe, elevasi dan interaksi genotipe x elevasi berpengaruh nyata terhadap karakter tinggi tanaman, umur berbunga, umur panen, jumlah spikelet, jumlah floret hampa, persen floret hampa, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, laju pengisian biji, jumlah malai/meter, bobot 1000 biji, hasil, bobot biji/tanaman, luas daun bendera, kerapatan stomata dan kehijauan daun. Hal ini menunjukkan bahwa adanya interaksi genotipe x lingkungan (G x E) yang nyata disebabkan oleh pengaruhi genotipe dan lingkungan yang nyata secara bersama. Namun demikian, tidak secara otomatis pengaruh genotipe dan lingkungan yang nyata menyebabkan adanya interaksi G x E yang nyata.
Interaksi yang berpengaruh nyata tersebut
menunjukkan bahwa faktor elevasi berpengaruh secara nyata terhadap ekspresi gen - gen adaptasi pada genotipe yang diuji untuk mendapatkan hasil yang tinggi. Petersen (1994) yang mengemukakan bahwa hasil panen merupakan karakter kuantitatif sehingga faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap penampilan hasil tanaman. Untuk itu, diperlukan pengujian dengan pengulangan musim dan lokasi yang lebih banyak untuk mengetahui stabilitas dan adaptabilitas dari suatu varietas baru. Perbedaan faktor penginduksi aktivasi faktor transkripsi di dua kondisi agroekosistem yang berbeda menjadi salah satu penyebab perbedaan ekspresi gen yang menyebabkan perbedaan nilai fenotipe (Griffiths et al. 2008). Perbedaan respon setiap genotipe diduga kuat karena perbedaan elevasi dan perbedaan suhu kedua. Bogor merupakan lokasi dengan elevasi rendah (<400 m dpl) dengan suhu yang relatif lebih tinggi 25OC dibandingkan lokasi di Cipanas dengan elevasi (>1000 m dpl) dengan suhu 20OC. Menurut Martin dan Leonard (1967) tanaman gandum dapat tumbuh pada kondisi suhu udara yang tinggi (> 20oC) dengan syarat kondisi tersebut tidak bertepatan dengan kelembaban yang tinggi. Kondisi suhu dan kelembaban udara yang tinggi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan tanaman gandum sebagai akibat tingginya serangan penyakit.
84
Berdasarkan analisis gabungan memperlihatkan bahwa umumnya karakter fisiologis tidak memberikan respon yang nyata dengan adanya perbedaan lokasi. Hal ini menunjukkan bahwa karakter fisiologis ini tidak terpengaruh dengan terjadinya penurunan elevasi dan peningkatan suhu dari 20oC menjadi 25oC. Karakter fisiologis ini khususnya karakter klorofil a, nisbah klorofil a/b, klorofil total dan ketebalan daun mampu melakukan kompensasi dengan adanya perubahan lingkungan. Untuk seleksi kedepan dalam program pemuliaan perlu difokuskan pada karakter yang tidak mampu melakukan kompensasi dengan perubahan lingkungan, khususnya cekaman suhu tingg. Perubahan anatomis pada tanaman terhadap cekaman suhu tinggi meliputi berkurangnya ukuran sel, penutupan stomata dan terbatasnya kehilangan air, meningkatnya kepadatan stomata dan trikorma, pembesaran pembuluh xilem pada akar dan tajuk (Anon et al. 2004). Berdasarkan hasil analisis ragam gabungan (Tabel 25 dan 26) karena adanya perubahan partisi ragam dan memperlihatkan bahwa setelah dilakukan partisi ragam dengan mengeluarkan musim dari model ragam nampak bahwa terdapat beberapa karakter yang tidak dipengaruhi oleh musim, namun hanya dipengaruhi oleh interaksi elevasi x genotipe yaitu karakter umur panen, persen floret hampa, jumlah biji/malai, bobot 1000 biji, jumlah malai/m2 dan bobot biji/tanaman, sedangkan karakter yang tidak dipengaruhi oleh interaksi musim x genotipe x elevasi adalah jumlah anakan produktif, panjang malai, jumlah biji/tanaman, klorofil a,
nisbah klorofil a/b, klorofil total dan ketebalan daun.
Hal ini
menunjukkan bahwa karakter tersebut dapat digunakan sebagai kriteria seleksi untuk lingkungan bercekaman, khususnya suhu tinggi. Karakter panjang malai dan jumlah biji/tanaman dapat digunakan sebagai kriteria seleksi pada generasi awal dengan pertimbangan nilai heritabilitas yang tinggi masing-masing 71.82 dan 80.56 (Tabel 16), sedangkan karakter jumlah anakan produktif dan karakter fisiologis dapat digunakan sebagai kriteria seleksi pada generasi lanjut karena nilai heritabilitas sedang.
85
Tabel 26. Analisis ragam gabungan lokasi dan genotipe karakter agronomi dan fisiologi genotipe gandum introduksi di Agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Bogor Karakter Tinggi tanaman Anakan produktif Umur berbunga Umur panen Panjang malai Jumlah spikelet Jumlah floret hampa
Persen loret hampa Bobot biji/tan. Bobot biji/malai Jumlah malai/m2 Laju PengisianBiji Bobot 1000 Biji Jumlah biji/malai Jumlah biji/tan. Hasil Luas daun bendera Kerapatan stomata Klorofil A Klorofil B Nisbah klorofil a/b Klorofil total Ketebalan daun Kehijauan daun
Lokasi Genotipe 1164.16** 220.64** 33.47** 0.40* ** 954.56 297.80** 2394** 191.27** 8.68** 2.77** tn 0.32 15.46** ** 2957 118.69** ** 14225 664.97** tn 15.08 1.91tn ** 1.83 0.06** 954.56* 5270** * 320.76 68.35** ** 759.90 30.44** ** 2773 176.30** ** 64329 1743** * 0.60 0.19** 305.56** 32.20** tn 149.58 274.67** ** 68.71 0.20tn ** 108.42 0.01tn ** 73.63 0.06tn ** 106.63 0.33tn 46538** 603.50tn 109.73* 14.99**
Cipanas Lokasi x Genotipe 38.04* 0.34* 78.86** 96.47** 0.28** 1.57* 41.99** 83.57* 2.49tn 0.02** 3429.75* 98.02** 14.43* 21.27** 482.92** 0.03* 5.73tn 166.86* 0.24tn 0.01tn 0.06tn 0.41tn 531.33tn 3.17tn
Lokasi 595.70** 6.51 tn 190.13** 6.42tn 0.01 tn 3.60 tn 1497** 3667** 135.77** 27450** 297478** 266.42 tn 74.21** 13573** 190777** 18.39* 219.92** 0.49 tn 288.85** 210.79** 79.84** 398.31** 19441** 190.78**
Genotipe 64.69 tn 0.84 tn 11.57tn 83.01** 1.93 tn 9.80** 56.00** 124.44* 8.58** 47.83 tn 11722** 83.28** 28.67** 27.96 tn 8408* 1.24** 37.87** 172.23** 0.35 tn 0.03 tn 0.02 tn 0.66 tn 757.72 tn 4.53 tn
Gabungan Lokasi x Genotipe 114.15* 1.32 tn 2.01tn 37.28 * 1.36 tn 2.55* 37.86* 88.46tn 5.44 tn 48.01 tn 3680 tn 31.94 tn 14.34 tn 25.12 tn 1849tn 1.10** 16.76** 100.42 tn 0.28 tn 0.05** 0.03tn 0.48tn 742.38tn 16.85**
Elevasi 1728.87** 209.22** 384.74** 1935** 32.70** 227.55** 1457.20** 8869 ** 516.14** 6.31** 178829** 1177** 550.40** 4367** 470577** 64.49** 336.08** 494.70** 122.10** 102.85** 48.90** 171.25** 23925** 184.18**
Genotipe 243.41** 0.76 tn 173.46** 214.61** 3.26** 22.32** 83.86** 434.26** 6.61** 0.12** 13155** 82.06** 33.22** 210.51** 7955** 0.68** 49.03** 310.26** 0.35 tn 0.17 tn 0.34 tn 0.65 tn 857.00 tn 9.94**
Keterangan : * : Nyata pada taraf uji P 0,05, ** : Sangat nyata pada taraf uji P 0,01, tn : tidak nyata pada taraf uji P 0,05 dan P 0,01
Genotipe x Elevasi 65.93tn 0.52 tn 72.70** 60.23** 0.98 tn 2.09** 57.39** 180.64** 2.77* 0.62** 4112** 61.89** 18.40** 48.12** 1772tn 0.58** 12.39** 136.95** 0.25 tn 0.30* 0.45 tn 0.43 tn 579.55 tn 9.36**
85
86
Penampilan Karakter Agronomi Genotipe Gandum Introduksi Di Agroekosistem Tropis Keragaan batang penting dalam penentuan produktivitas sereal karena mempengaruhi potensial hasil dan kerebahan. Uji BNT memperlihatkan bahwa tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif di elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl tidak berbeda nyata dibanding dengan varietas selayar sebagai varietas pembanding (Tabel 27). Sementara tinggi tanaman rata-rata di Bogor dan Cipanas genotipe H-21, G-21 dan G-18 berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas selayar. Rata – rata tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif di elevasi < 400 m dpl lebih rendah dibandingkan di elevasi > 1000 m dpl. Penurunan tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif diduga disebabkan oleh perbedaan elevasi kedua lokasi. Bogor berelevasi rendah dengan suhu 25oC yang lebih tinggi dibanding Cipanas elevasi tinggi dengan suhu 20oC. Pertumbuhan dan perkembangan gandum optimum berada pada kisaran 15 – 20oC. Hasil penelitian Vaz et al. (2004) menunjukkan bahwa cekaman suhu tinggi menurunkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah tandan bunga dan berat kering tanaman Psygmorchis pusilla Dodson and Dressler secara in vitro. Tabel 27. Tinggi tanaman dan jumlah anakan produktif genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Tinggi tanaman (cm) Genotipe Oasis/skauz //4* bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-rata
Jumlah anakan produktif
Elevasi < 400 m dpl
Elevasi > 1000 mdpl
Ratarata
Elevasi< 400 mdpl
Elevasi> 1000 mdpl
Ratarata
58.76 53.10 52.18 53.90 65.80 68.17 68.32 54.39 57.14 55.31 56.24 58.48
66.75 70.65 66.23 67.70 73.33 74.95 72.53 66.07 67.52 67.47 65.08 68.93
62.76 b 61.87 b 59.21 b 60.80 b 69.57 a 71.56 a 70.43 a 60.23 b 62.33 b 61.39 b 60.66 b 63.71
1.51 1.66 1.32 1.86 1.73 1.97 2.09 1.83 1.49 1.95 1.86 1.75
6.00 5.83 5.71 5.35 6.50 5.55 6.37 6.48 5.85 6.37 5.85 5.99
3.76 3.74 3.52 3.61 4.12 3.76 4.23 4.16 3.67 4.16 3.86 3.87
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf 5%
87
Uji beda nyata memperlihatkan genotipe yang diuji di elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl memiliki umur berbunga dan umur panen yang berbeda dengan varietas pembanding. Genotipe yang memiliki umur berbunga dan umur panen nyata lebih genjah dibandingkan varietas Selayar adalah HP 1744 di elevasi < 400 m dpl, sementara di elevasi > 1000 m dpl umur berbunga tidak berbeda dengan varietas Selayar. Umur panen genotipe HP1744 berbeda nyata lebih genjah dibanding varietas Selayar.
Fase reproduksi pada berbagai tanaman yang
paling peka terhadap suhu tinggi adalah gametogenesis (8-9 hari sebelum anthesis) dan pembuahan (1-3 hari setelah anthesis) (Foolad, 2005).
Respon
genotipe dan gametophytes jantan dan betina terhadap suhu tinggi bervariasi, namun umumnya ovula lebih sensitif daripada serbuk sari (Peet and Willits 1998). Umur berbunga dan umur panen genotipe gandum introduksi disajikan pada Tabel 28. Tabel 28. Umur berbunga dan umur panen genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Umur berbunga (Hari) Genotipe Oasis/skauz //4* bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-rata
Umur panen (Hari)
Elevasi < 400 m dpl
Elevasi > 1000 mdpl
Ratarata
Elevasi < 400 m dpl
Elevasi > 1000 m dpl
Ratarata
61d-g 43d 68ab 58fg 64a-d 69a 66a-c 64b-e 62b-e 57c-f 59e-f 61
61d-g 61ef 61d-f 60d-g 60d-g 64b-e 62c-f 64b-e 63b-e 62c-f 60e-f 62
61bc 52e 64ab 59d 62a-d 66a 64ab 64a-c 62a-d 59cd 59cd 61
87kl 78n 94g-i 90i-l 92h-i 97d-g 95e-h 89j-l 86lm 82mn 91h-k 89
98c-g 96d-h 99c-g 95f-h 102a-c 104ab 106a 99 c-f 95 g-i 100c-e 100b-d 99
93b-d 87e 97ab 92b-d 97ab 101a 100a 94b-d 90de 91c-e 96bc 94
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf uji 5%
Karakter panjang malai genotipe gandum introduksi di elevasi < 400 m dpl dan elevasi > 1000 m dpl tidak memperlihatkan perbedaan nyata dengan varietas Selayar, namun rata-rata kedua elevasi memperlihatkan perbedaan yang nyata antara genotipe yang diuji dengan varietas pembanding (Tabel 29). Terdapat lima genotipe yang memiliki panjang malai lebih panjang dibanding varietas Selayar
88
yaitu HP 1744, H-21, G-21, G-18 dan menemen.
Karakter jumlah spikelet
genotipe gandum introduksi kedua lokasi berbeda nyata dengan varietas Selayar. Genotipe-genotipe yang memiliki jumlah spikelet nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar di kedua elevasi adalah H-21, G-21, G-18, Menemen dan Basribey.
Kedua karakter panjang malai dan jumlah spikelet mengalami
penurunan dengan penurunan elevasi. Untuk mendapatkan genotipe yang toleran suhu tinggi, khususnya di lingkungan elevasi rendah perlu dilakukan seleksi genotipe dengan tingkat kehampaan floret yang rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah
floret hampa dan persentase floret hampa dikedua elevasi masih sangat tinggi (Tabel 30). Genotipe yang diuji berbeda nyata dengan varietas Selayar, tetapi tidak terdapat genotipe yang betul-betul menunjukkan jumlah floret hampa dan persentase floret hampa konsisten lebih rendah dibanding varietas Selayar. Tingginya jumlah floret hampa dan persentase floret hampa dikedua elevasi, khususnya elevasi < 400 m dpl (Bogor) yang lebih tinggi diduga disebabkan oleh kegagalan pada berkembangnya tepung sari, sehingga tidak mampu memproduksi biji.
Pengaruh sangat negatif dari suhu
pada suhu musim panas
selama
pengisian bulir terkait langsung dengan hasil panen gandum (Kristensen et al. 2011; Brisson et al. 2010) Tabel 29. Panjang malai dan jumlah spikelet genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Panjang malai (cm) Genotipe Oasis/skauz //4* bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-rata
Elevasi < 400 mdpl
7.40 6.53 6.33 6.39 7.94 8.27 8.21 7.46 7.36 7.23 7.11 7.29
Jumlah spikelet
Elevasi > 1000 mdpl
Ratarata
Elevasi< 400 mdpl
8.67 9.75 8.73 8.05 9.29 9.41 9.68 8.83 8.53 8.48 8.93 8.94
8.03a-c 8.14a-c 7.53c 7.22c 8.61ab 8.84ab 8.94a 8.14a-c 7.94a-c 7.85bc 8.02a-c 8.12
14.67i 12.56j 12.94j 12.84j 16.28h 17.09gh 16.56gh 15.12i 16.29h 14.68h 14.06h 14.83
Elevasi > 1000 mdpl
Ratarata
19.00c-e 17.35gh 18.60ef 17.55fg 20.02a-c 20.53ab 20.70ab 21.07a 19.58b-e 19.83b-c 18.82de 19.37
16.83c-e 14.96f 15.77ef 15.19f 18.15ab 18.81a 18.63a 8.09ab 17.94a-c 17.26b-d 16.44de 17.10
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf uji 5%
89
Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter jumlah biji/malai di kedua elevasi dan antar genotipe yang diuji berbeda nyata. Karakter jumlah biji/tanaman tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata antar genotipe yang diuji, walaupun terdapat perbedaan yang sangat nyata jumlah biji/tanaman antar elevasi (Tabel 31). Baik karakter jumlah biji/malai maupun jumlah biji/ tanaman mengalami penurunan mencapai 50% dengan kenaikan suhu. Genotipe yang memperlihatkan jumlah biji/malai berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar di kedua lokasi adalah genotipe G-18, Menemen, Basribey dan Alibey. Tabel 30. Persentase floret hampa dan jumlah floret hampa genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Persentase floret hampa Genotipe Oasis/skauz //4* bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-rata
Elevasi < 400 mdpl
Elevasi > 1000 mdpl
46.39ef 73.34a 67.19ab 66.62ab 62.30bc 65.76ab 51.23de 43.07e-h 50.71de 44.32e-g 57.20cd 57.10
44.01e-g 46.77ef 41.55f-h 36.98g-i 35.07hi 43.73e-g 43.27e-h 40.06f-h 30.63i 43.34e-h 42.96e-h 40.76
Jumlah floret hampa
Ratarata
Elevasi <400 mdpl
Elevasi > 1000 mdpl
Ratarata
45.20cd 60.05a 54.37ab 51.80a-c 48.69b-d 54.74ab 47.25b-c 41.56d 40.67d 43.83cd 50.08bc 48.93
20.59e-h 27.57bc 25.93bc 25.63b-d 30.21ab 34.24a 25.76b-d 19.70f-h 24.74c-e 19.57gh 24.29c-f 25.29
25.08c-e 24.31c-f 23.23c-g 19.38gh 21.14d-h 27.09bc 27.06bc 25.03c-e 17.94h 25.73b-d 24.33c-e 23.67
22.84bc 25.94a-c 24.58bc 22.50bc 25.67bc 30.67a 26.41ab 22.36bc 21.34c 22.65bc 24.31bc 24.48
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf uji 5%
Penurunan jumlah biji/tanaman di Cipanas (246 biji) menurun menjadi 56 biji di Bogor.
Suhu tinggi merupakan penyebab gugur bunga, sehingga
menurunkan biji per tanaman dan hasil biji pada tanaman Brassica napus (Angga et al. 2000) B. rapa (Morrison & Stewart, 2002) dan B. juncea (Gan et al. 2004). Reproduksi terutama untuk menghasilkan biji sering tertekan oleh tingginya suhu sehingga meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan vegetatif. Inisiasi bunga berkurang pada suhu lebih dari 32 °C dan pembentukan biji tertunda pada 30-40 °C (Thomas et al. 2003). Porter dan Gawith (1999) melaporkan suhu optimal untuk pengisian bulir gandum berada antara 19.3OC dan 22.1OC.
90
Tabel 31. Jumlah biji/malai dan jumlah biji/tanaman genotipe gandum pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Jumlah biji/malai Genotipe Oasis/skauz //4* bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-rata
Elevasi < 400 mdpl
Elevasi > 1000 mdpl
23.58gh 10.33j 13.85ij 12.45j 16.15ij 15.60ij 23.45gh 25.67g 23.60gh 23.79gh 19.64hi 18.92
29.07e-g 26.27fg 33.14c-e 33.27c-e 39.89ab 36.65a-d 37.25a-d 40.45a 38.20a-c 34.20b-e 31.78d-f 34.56
Jumlah biji/tanaman Ratarata
26.32b-d 18.30e 23.50c-e 22.86de 28.02a-d 26.13b-d 30.35ab 33.06a 30.90ab 29.00a-c 25.71b-d 26.74
Elevasi < 400 mdpl
Elevasi > 1000 mdpl
61.60 28.64 38.42 37.77 50.63 50.58 81.76 76.88 63.48 72.38 57.61 56.34
210.07 183.85 228.21 216.38 309.24 241.25 272.82 301.87 267.68 251.77 219.98 246
Ratarata
135.83a-c 106.25c 133.3a-c 127.08bc 179.94ab 145.92a-c 177.29ab 189.38a 165.58ab 162.07a-c 138.80a-c 151
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf uji 5%
Penurunan jumlah biji/malai dan jumlah biji/tanaman berdampak langsung terhadap penurunan karakter bobot biji/malai dan bobot biji/tanaman. Hal ini terlihat pada Tabel 32, bahwa karakter bobot biji/malai dan rata-ratanya berbeda nyata antar genotipe yang diuji baik dalam lokasi maupun antar lokasi. Karakter bobot biji/tanaman hanya memperlihatkan perbedaan nyata antar genotipe di ratarata kedua lokasi pengujian. Hanya genotipe Menemen memiliki bobot biji/malai (0.81g) berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar (0.68 g) di kedua lokasi pengujian, karakter bobot biji/tanaman genotipe Menemen paling tinggi dibanding genotipe lain dan varietas Selayar. Tanaman sereal hanya dapat menerima rentang suhu yang sempit, yang jika melebihi selama fase pembungaan dapat merusak pembuahan dan produksi benih, sehingga mengurangi hasil (Porter 2005). Gerbang et al. (2010) telah menghitung efek dari cekaman suhu tinggi selama pengisian bulir menggunakan jumlah hari dimana suhu maksimum melebihi 250C selama pengisian bulir sebagai indikator. Studi-studi ini menunjukkan bahwa setiap hari di atas 25OC dapat dihubungkan dengan kerugian rata-rata sekitar 0.8 g dari seribu bobot biji, yang setara dengan 0.15 t.ha-1 kehilangan hasil.
91
Tabel 32. Bobot biji/malai dan bobot biji/tanaman genotipe gandum pada pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-Rata
Bobot biji/malai (g) Elevasi < Elevasi > Rata400 m dpl 1000 mdpl rata 0.40g-i 0.21j 0.38hi 0.25ij 0.39hi 0.37h-j 0.56g 0.49gh 0.46gh 0.41g-i 0.47gh 0.40
0.93ef 0.96ef 1.08c-e 1.07c-e 1.31a 1.13b-d 1.30ab 1.14b-d 1.18a-c 1.00d-f 0.89f 1.09
0.67cd 0.59d 0.73b-d 0.66cd 0.85ab 0.75b-d 0.93a 0.81a-c 0.82a-c 0.70b-d 0.68 cd 0.74
Bobot biji/tanaman (g) Elevasi < Elevasi > Rata400 m dpl 1000 m dpl rata 1.05 0.59 2.47 2.32 1.25 1.21 1.99 1.47 1.26 1.23 1.37 1.47
6.73 6.59 7.36 6.97 10.19 7.59 9.44 8.43 8.32 7.45 6.17 7.75
3.89ab 3.59b 4.92ab 4.64ab 5.72a 4.40ab 5.72a 4.95ab 4.79ab 4.34ab 3.77b 4.61
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf uji 5%
Pengujian genotipe di agroekosistem tropis, menunjukkan bahwa karakter laju pengisian biji dan jumlah malai berbeda nyata antar genotipe yang diuji dan antar lokasi, demikian halnya dengan rata-rata kedua lokasi (Tabel 33). Rata-rata laju pengisian biji di Bogor lebih cepat 8 hari dibanding lokasi Cipanas. Hal ini disebabkan karena lokasi di Bogor merupakan lokasi dengan elevasi rendah dengan suhu yang lebih tinggi 5oC dibanding lokasi Cipanas. Hasil penelitian Yang et al. (2002) menunjukkan bahwa semakin peka tanaman terhadap suhu tinggi maka waktu pengisian biji menjadi lebih pendek dan bobot biji yang dihasilkan pun menjadi berkurang. Semenov (2009) menggunakan pendekatan yang sama untuk mengevaluasi genotipe kemungkinan toleran terhadap cekaman suhu tinggi yaitu sekitar waktu bunga mekar dan waktu pembentukan jumlah biji sangat rentan.
Pendekatan ini memungkinkan untuk mengukur kemajuan waktu
keluar bunga yang akan diperlukan untuk mengkompensasi peningkatan cekaman suhu tinggi.
92
Tabel 33. Laju pengisian biji dan jumlah malai/meter2 genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-Rata
Laju pengisian biji (Hari) Elevasi < Elevasi > Rata400 mdpl 1000 mdpl rata 26.17j-l 35.00c-g 26.83i-l 31.67f-j 27.58i-l 28.33i-l 28.92h-l 25.50kl 24.25l 25.67kl 32.67e-i 28.42
37.33b-f 34.75d-h 37.83a-e 34.67d-h 42.00ab 40.67a-c 43.58a 35.42c-g 31.25g-k 37.50b-f 39.92a-d 37.72
31.75 ab 34.88 a 32.33 ab 33.17 ab 34.79 a 34.50 a 36.25 a 30.46 ab 27.75 b 31.58 ab 36.29 a 33.07
Jumlah Malai (m2) Elevasi< Elevasi > Rata400 mdpl 1000mdpl rata 228.8g-i 247.0e-h 175.9 j 186.7 ij 230.2g-i 164.5 j 202.9h-j 230.8f-i 236.0f-h 238.7f-h 248.3e-g 217.26
359.5 ab 263.6d-g 258.4e-g 275.7d-f 308.9 cd 289.7 de 239.5f-h 342.6a-c 338.4 bc 385.5 a 306.1 cd 306.18
294.1 ab 255.3 bcd 217.2 d 231.2 cd 269.5 abc 227.1 cd 221.2 d 286.7 ab 287.2 ab 312.1 a 277.2 ab 261.72
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf uji 5%
Rata-rata jumlah malai/m2 (217.26) di Bogor nyata lebih rendah dibanding di Cipanas. Penurunan jumlah malai di Bogor diduga akibat suhu tinggi yang menyebabkan jumlah benih yang berkecambah menjadi berkurang dan menghambat
pembentukan
jumlah
anakan.
Suhu
dapat
menentukan
perkecambahan biji, pertumbuhan akar, pembentukan akar, dan pembungaan (Kigel 1994). Respon hasil dipengaruhi oleh lingkungan namun juga bagaimana sifat tersebut berhubungan satu sama lain dipengaruhi secara berbeda tergantung pada lingkungan yang dianalisis. Karakter bobot 1000 biji dan hasil memperlihatkan perbedaan yang nyata antar genotipe dan antar lokasi serta rata-rata lokasi (Tabel 34). Tidak terdapat genotipe yang berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar di Bogor untuk karakter bobot 1000 biji dan hasil. Terdapat dua genotipe yang memiliki hasil berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar yaitu Barisbey dan Alibey.
Hasil penelitian menunjukkan genotipe unggul berdaya
hasil tinggi menunjukkan peningkatan jumlah malai/m2, berat 1000 biji, penurunan umur berbunga dan umur panen (Aisawi et al. 2010).
93
Tabel 34. Bobot 1000 biji dan hasil genotipe gandum introduksi agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-Rata
Bobot 1000 biji (g) Elevasi < Elevasi > Rata400 mdpl 1000 mdpl rata 22.34f-j 23.22f-j 21.78g-j 20.40ij 25.14d-g 24.08e-i 26.92be 19.98j 21.37h-j 20.69ij 25.03d-h 22.81
28.21a-d 30.49ab 30.07ab 30.73a 27.18a-e 28.94a-c 27.36a-e 23.98e-i 25.99c-f 25.51c-f 27.25a-e 27.79
25.27a-c 26.86a 25.93ab 25.56a-c 26.16ab 26.51ab 27.14a 21.98c 23.68a-c 23.10bc 26.14ab 25.30
Hasil (kg.p-1) Elevasi < Elevasi > 400 mdpl 1000 mdpl 0.73fg 0.36gh 0.31h 0.35gh 0.54f-h 0.39f-h 0.73fg 0.69f-h 0.62f-h 0.71fg 0.78f 0.56
2.75c-e 2.92b-d 2.38e 2.62de 3.06bc 2.48e 2.41e 3.12bc 3.27b 3.74a 3.06bc 2.89
Ratarata 1.74b-d 1.64b-d 1.35d 1.48cd 1.80bc 1.43cd 1.57b-d 1.90ab 1.95ab 2.22a 1.92ab 1.73
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf uji 5%
Penampilan Karakter Fisiologis Genotipe Gandum Introduksi Di Agroekosistem Tropis Hasil penelitian (Tabel 35) menunjukkan bahwa luas daun berbeda nyata antar genotipe di kedua lokasi pengujian.
Genotipe H-21,
G-21 dan G-18
menunjukkan perbedaan yang nyata lebih luas dibandingkan dengan varietas Selayar di kedua lokasi.
Penurunan luas daun diduga akibat penurunan elevasi
yang diikuti dengan peningkatan suhu, berpengaruh terhadap penurunan produksi. Luas daun yang tinggi akan menghasilkan assimilat hasil fotosintesis yang mencukupi dalam pembentukan sink.
Penurunan luas daun juga diikuti oleh
penurunan kerapatan stomata daun. Rata-rata penurunan kerapatan stomata di Cipanas (60.3) menurun menjadi (53.70), walaupun penurunan ini dimasingmasing lokasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Rata-rata kerapatan stomata kedua lokasi berbeda nyata antar genotipe, namun tidak terdapat genotipe yang berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar.
94
Tabel 35. Luas daun bendera dan kerapatan stomata genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Luas daun bendera Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-Rata
Elevasi < 400 mdpl
10.90fg 9.03g-i 7.83hi 7.49i 12.74d-f 14.80b-d 13.68c-e 10.07f-i 11.97ef 10.14f-i 10.22f-h 10.81
Elevasi > 1000 mdpl
12.61d-f 17.38ab 14.05c-e 13.65c-e 16.36a-c 17.73a 18.90a 14.30c-e 12.05ef 12.10d-f 14.61c-e 14.88
Kerapatan stomata Ratarata
11.76c 13.20bc 10.94c 10.57c 14.55ab 16.26a 16.29a 12.18bc 12.01bc 11.12c 12.42bc 12.84
Elevasi <400 mdpl
45.44 50.96 48.41 56.90 50.11 53.08 60.72 64.97 43.31 57.32 59.45 53.70
Elevasi > 1000 mdpl
Ratarata
56.19 50.81cd 49.26 50.11d 65.11 56.76a-d 66.53 61.71a-c 56.62 53.36b-c 56.90 54.99a-d 63.69 62.21ab 65.39 65.18a 61.15 52.23b-d 64.83 61.08a-c 54.64 57.04a-d 60.03 56.86
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf uji 5%
Selain kerapatan stomata, ukuran dan bentuk stomata di Bogor, lebih kecil mengecil dan tidak beraturan bentuknya pada genotipe dan varietas yang diduga peka terhadap suhu tinggi. Perubahan ukuran stomata akibat suhu tinggi, diduga terkait dengan upaya mengurangi kehilangan air dari jaringan daun tanaman. Status air tanaman adalah variabel yang paling penting karena perubahan suhu (Mazorra et al. 2002). Pada kondisi cekaman lingkungan yang tinggi genotipe akan mengadaptasikan diri dengan cara menurunkan kerapatan stomata (Logan et al. 1999). Pada tingkat tanaman, perubahan yang terjadi umumnya adanya kecenderungan penurunan ukuran sel, penutupan stomata dan pengurangan kehilangan air, peningkatan kerapatan stomata dan trichoma, ukuran pembuluh xilem yang lebih besar pada akar dan tunas (Anon et al. 2004). Menurut Zhang et al. (2005), cekaman suhu tinggi mengakibatkan kerusakan pada struktur seluler termasuk organel dan sitoskeleton
95
Tabel 36. Klorofil a, klorofil b dan nisbah klorofil a/bgenotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-Rata
Elevasi < 400 mdpl 2.39 2.52 2.47 2.30 2.52 2.46 2.24 2.61 2.68 2.86 2.68 2.52
Klorofil a Elevasi > 1000 mdpl 3.63 3.68 3.80 3.77 3.22 3.20 3.27 3.89 3.83 3.58 3.50 3.58
Ratarata 3.01 3.10 3.14 3.03 2.87 2.83 2.75 3.25 3.25 3.22 3.09 3.05
Elevasi <400 mdpl 1.94 0.72 0.77 0.69 0.75 0.75 0.70 0.76 0.77 0.89 0.82 0.87
Klorofil b Elevasi > 1000 mdpl 2.34 0.92 0.95 0.96 0.78 0.80 0.79 1.05 0.95 0.91 0.85 1.03
Ratarata 2.14 0.82 0.86 0.83 0.77 0.77 0.75 0.91 0.86 0.90 0.83 0.95
Nisbah klorofil a/b Elevasi Elevasi > Rata<400 mdpl 1000 mdpl rata 1.20 1.59 1.40 1.43 1.44 1.30 1.39 1.45 1.44 1.46 1.39 1.41
1.26 1.23 1.35 1.38 1.34 1.31 1.33 1.16 1.31 1.23 1.34 1.29
1.23 1.41 1.38 1.40 1.39 1.31 1.36 1.30 1.37 1.35 1.37 1.35
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf uji 5%
95
96
Penampilan Karakter fisiologis khususnya karakter klorofil a, klorofil b, nisbah klorofil a/b, klorofil total dan ketebalan daun tidak berbeda nyata antar genotipe yang diuji dan kedua lokasi (Tabel 36 dan 37). Namun rata-rata genotipe yang diuji mengalami penurunan pada karakter klorofil a, klorofil b, dan klorofil total seiring dengan penurunan elevasi dari Cipanas ke biotrop.
Hal ini
mengindikasikan bahwa karakter fisiologis seperti klorofil a, klorofl b, dan klorofil total tidak mempengaruhi aktivitas fisiologis dari genotipe yang diuji. Sehingga perbaikan karakter perlu difokuskan ke karakter agronomi, sedang karakter fisiologis dalam perbaikan varietas toleran suhu tinggi adalah genotipe yang mampu mempertahankan aktivitas fisiologis dengan baik. Sementara karakter klorofil a/b dan ketebalan daun mengalami peningkatan dengan penurunan elevasi (Tabel 36 dan 37). Hal ini diduga bahwa salah satu mekanisme tanaman toleran suhu tinggi dengan meningkatkan ketebalan daun. Genotipe tomat maupun tebu berbeda dalam kapasitas mereka untuk termotoleran, peningkatan klorofil nisbah a/b yang diamati pada genotipe toleran di bawah suhu tinggi, menunjukkan bahwa perubahan ini berhubungan dengan tomat termotoleran (Camejo et al. 2005; Wahid & Ghazanfar, 2006).
97
Tabel 37. Klorofil total, ketebalan daun dan kehijauan daun genotipe gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Genotipe Oasis/skauz// 4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-Rata
Klorofil total Elevasi < Elevasi > 400 mdpl 1000 mdpl 3.27 3.34 3.29 3.11 3.38 3.32 3.02 3.51 3.58 3.84 3.59 3.39
4.67 4.77 4.87 4.85 4.10 4.09 4.17 5.05 4.95 4.64 4.51 4.61
Rata-rata
3.97 4.05 4.08 3.98 3.74 3.70 3.59 4.28 4.27 4.24 4.05 4.00
Ketebalan daun Elevasi < Elevasi > 400 mdpl 1000 mdpl 196.84 177.02 185.14 203.24 189.04 210.17 204.29 192.94 186.98 204.68 194.71 195.00
165.64 169.98 185.08 188.75 175.69 195.96 175.59 193.01 168.90 164.79 174.34 177.97
Rata-rata
181.24 173.50 185.11 195.99 182.37 203.06 189.94 192.97 177.94 184.73 184.53 186.49
Kehijauan daun Elevasi < Elevasi > 400 mdpl 1000 mdpl 42.72d-f 41.75 f 41.32 f 41.28 f 42.88 c-f 41.10 f 43.17 b-f 41.83 f 42.58 ef 42.42ef 46.80 a 42.53
45.43ab 43.07 c-f 45.40 ab 45.83 a 45.98 a 45.62 a 45.62 a 44.67 a-e 45.07a-c 44.88a-d 45.17a-c 45.16
Rata-rata
44.08 ab 42.41 b 43.36 b 43.56 b 44.43 ab 43.36 b 44.39 ab 43.25 b 43.83 ab 43.65 b 45.98 a 43.84
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf uji 5%
97
98
Stabilitas Hasil Genotipe- Gandum Introduksi Di Agroekosistem Tropis Penampilan hasil genotipe introduksi di agroekosistem tropis dengan elevasi yang berbeda memperlihatkan respon sangat beragam dan beberapa diantaranya memiliki potensi dan rata-rata hasil yang nyata lebih unggul dibanding dengan varietas Selayar, namun tidak terdapat genotipe yang memiliki potensi dan rata-rata hasil yang konsisten di dua lokasi baik pada MH maupun MK. Tidak adanya genotipe yang konsisten khususnya di Bogor diduga karena elevasi yang rendah dengan suhu yang tinggi. Di Bogor MH/MK dan rata-rata hasil tidak memperlihatkan adanya genotipe yang memiliki potensi dan rata-rata hasil berbeda nyata lebih tinggi dibanding dengan varietas Selayar, demikian halnya di Cipanas MH. Sementara di Cipanas MK terdapat dua genotipe dengan potensi hasil berbeda nyata lebih tinggi dibanding varietas Selayar yaitu Basribey (4.31 t.ha-1) dan Alibey (4.74). Potensi hasil didefinisikan sebagai hasil dari suatu genotype saat ditumbuhkan dalam suatu lingkungan yang adaptif, dengan hara dan air tidak terbatas serta dengan cekaman hama, penyakit, gulma dan faktor cekaman lainnya yang dikontrol secara efektif (Fischer 1999).
Hasil gandum
introduksi di agroekosistem tropis disajikan pada Tabel 38 Tabel 38. Hasil gandum introduksi pada agroekosistem tropis MH 2010 dan MK 2011 Genotipe Oasis/skauz//4*bcn var-28 Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-Rata
Elevasi < 400 m dpl Elevasi > 1000 m dpl MH10 MK11 MH10 MK 11 0.86 g-j 0.66 g-j 1.81 d-j 3.70 a-c 0.46 j 0.71 g-j 2.58 c-e 3.26 a-d 0.44 j 0.62 h-j 2.61 c-e 2.16 c-h 0.51 j 0.28 j 2.79 b-e 2.45 c-f 0.69 g-j 0.48 j 2.69 c-e 3.42 a-c 0.43 j 0.32 j 2.13 c-i 2.83 b-e 0.73 g-j 0.36 j 1.52 e-j 3.30 a-d 0.63 h-j 0.41 j 2.59 c-e 3.65 a-c 0.74 g-j 0.74 g-j 2.23 c-g 4.31 ab 0.78 g-j 0.25 j 2.74 b-e 4.74 a 0.98 f-j 0.56 ij 2.77 b-e 3.36 a-d 0.66 0.49 2.40 3.38
Rata-rata 1.76 ab 1.75 ab 1.46 b 1.51 ab 1.82 ab 1.43 b 1.47 b 1.82 ab 2.01 ab 2.13 a 1.92 ab 1.73
Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama, pada kolom atau baris yang sama tidak berbeda nyata menurut uji BNT pada taraf uji 5%
99
Gambar 15
memperlihatkan penampilan potensi dan rata-rata hasil
genotipe-genotipe gandum di Bogor jauh lebih rendah dibandingkan di Cipanas. Tidak terdapat genotipe-genotipe yang konsisten mengungguli genotipe lain di lokasi dan musim yang berbeda. Genotipe Alibey merupakan genotipe yang memiliki hasil tertinggi di elevasi > 1000 m dpl (Cipanas) MK 11 di ikuti oleh Basribey dan Oasis dengan hasil masing-masing 4.74 t.ha-1, 4.31 t.ha-1dan 3.70 t.ha-1. Berdasarkan rata-rata elevasi hasil tertinggi terdapat pada gentotipe Alibey (2.13 t.ha-1). Menurut Petersen (1994) bahwa hasil panen merupakan karakter kuantitatif sehingga faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap penampilan hasil tanaman, terlebih lagi jika dihadapkan pada sebagian kondisi lingkungan mengalami cekaman. Pengujian di lingkungan yang memiliki perbedaan sangat ekstrim (optimal dan lingkungan bercekaman) memang sangat menyulitkan untuk mendapatkan genotipe toleran dengan potensi hasil yang baik. Namun demikian pengujian ini setidaknya memberikan gambaran bagaimana respon genotipegenotipe ini jika ditanam pada lingkungan yang berbeda.
Gambar 15 Kurva respon penampilan potensi dan rata-rata hasil galur gandum di Agroekosistem tropis.
100
Stabilitas Hasil Model AMMI Berdasarkan analisis ragam gabungan (Tabel 26) memperlihatkan lokasi, genotipe dan interaksi genetik x lingkungan terhadap karakter hasil.
Perbedaan
tanggap genotipe yang diuji pada setiap lingkungan mencerminkan adanya variasi lingkungan pengujian. Hal ini menunjukkan bahwa karakter hasil diantara ke sebelas genotipe yang diuji tanggapnya terhadap ke dua lokasi MH dan MK untuk tidak sama. Hal ini dapat diartikan bahwa diantara genotipe tersebut terdapat genotipe yang tumbuh baik pada lokasi dan musim tertentu dan memberikan penampilan hasil baik. Yang dan Baker (1991), melukiskan interaksi genotipe x lingkungan sebagai perbedaan yang tidak tetap diantara genotipe-genotipe yang ditanam dalam satu lingkungan ke lingkungan yang lain.
Bentuk interaksi
tersebut penting diketahui karena dapat menghambat kemajuan seleksi dan sering mengganggu dalam pemilihan varietas-varietas unggul dalam suatu pengujian varietas (Eberhart-Russell 1966) dan seringkali
menyulitkan pengambilan
kesimpulan secara sahih jika suatu percobaan varietas.genotipe dalam kisaran lingkungan yang luas (Nasrullah 1981). Analisis ragam model AMMI2 untuk hasil genotipe gandum introduksi di Agroekosistem tropis disajikan pada Tabel 39 Tabel 39. Analisis ragam model AMMI2 untuk hasil genotipe gandum introduksi di Agroekosistem tropis. Sumber Keragaman Genotipe Lokasi Genotipe x Lokasi Ammi 1 Ammi 2 Ammi 3 Total
db 10 3 30 12 10 8 43
Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F PROB 2.261 0.226 64.490 21.496 5.786 0.193 4.333 0.361** 4.472 0.002 1.229 0.123* 4.37 0.024 0.225 0.281 1 72.537
Analisis ragam gabungan dengan model AMMI menunjukkan bahwa banyaknya komponen yang dapat dipertimbangkan dan berpengaruh nyata adalah AMMI 1 dan AMMI 2 (Tabel 40). Pengaruh utama interaksi dengan penggunaan model AMMI 1 dapat menerangkan sebesar 98% (Gambar 14) dan AMMI 2 dengan dua komponen ini menerangkan keragaman interaksi sebesar 96.1% (Gambar 15), sehingga baik model AMMI 1 dan AMMI 2 yang tidak dapat dijelaskan oleh model ini hanya sebesar 2% dan 3.9%.
101
Hasil plot IPCA 1 pada model AMMI 1 menunjukkan bahwa genotipe 6 (G-21) dan genotipe 3 (LAJ/MO88) mempunyai rata – rata indeks penampilan hasil terendah, sedangkan genotipe 10 mempunyai rata-rata indeks penampilan hasil
tertinggi.
Pada
gambar
16
terlihat
bahwa
genotipe
1
(OASIS/SKAUZ//4*BCN Var-28) dan 2 (HP1744) memiliki rata-rata indeks penampilan hasil yang sama tetapi pengaruh interaksinya dengan lokasi berbeda. Menurut Sumertajaya (2005) bahwa untuk mengetahui daya adaptasi tanaman secara komprehensip dapat dilakukan dengan penggabungan respon yang selanjutnya disebut sebagai indeks penampilan tanaman.
Gambar 16 Biplot AMMI 1dengan tingkat kesesuaian 98 %. Stabilitas hasil adalah kemampuan genotipe untuk mempertahankan daya hasil terhadap perubahan kondisi lingkungan. Model AMMI (additive main effect and multiplicative interaction) merupakan suatu model gabungan dari pengaruh aditif pada analisis ragam dan pengaruh multiplikasi pada analisis komponen utama (Mattjik & Sumertajaya 2000).
Struktur interaksi antara genotipe dan
lokasi dapat dilihat dari biplot AMMI 2. Hasil biplot ini dapat menggambarkan keragaman interaksi sebesar 96.1 %.
102
Dari hasil biplot AMMI 2, nampak bahwa Analisis model biplot AMMI 2 ini mampu memetakan genotipe stabil, genotipe belum stabil dan genotipe yang spesifik lokasi. Genotipe HP 1744, H-21 dan Selayar (pembanding) merupakan genotipe stabil. Genotipe yang mempunyai respon stabil adalah genotipe yang posisinya mendekati titik nol. Hasil biplot AMMI 2 ini belum memperlihatkan genotipe yang stabil melebihi hasil dari varietas pembanding yaitu varietas Selayar (1.92 t.ha-1) (Gambar 17).
Gambar 17 Biplot AMMI 2 dengan tingkat kesesuaian 96,1 %. Genotipe G-21 termasuk genotipe stabil, namun memiliki rata-rata hasil di bawah dari rata lingkungan (1.73 t.ha-1). Genotipe belum stabil dengan hasil lebih tinggi dari varietas pembanding adalah genotipe Basribey dan Alibey, sedangkan genotipe menemen temasuk genotipe yang spesifik lokasi di Cipanas musim kering. Genotipe yang hasilnya cenderung baik bila diadaptasikan pada daerah tertentu dapat dipertimbangkan untuk dilanjutkan terus dengan tujuan untuk mendapatkan varietas unggul spesifik lokasi, seperti genotipe Menemen.
103
Tabel 40 memperlihatkan bahwa kisaran hasil dari semua lingkungan pengujian antara 1.43 – 2,13 t.ha-1 dengan genotipe tertinggi adalah Alibey (2,13 t.ha-1) diikuti Basribey (2,00 t.ha-1), Selayar (1,92 t.ha-1), H-21 dan Menemen masing-masing (1,82 t.ha-1) dan terendah genotipe G-21 (1.43 t.ha-1). Kriteria genotipe stabil adalah genotipe yang memiliki nilai koefisien regresi = 1 dengan galat baku, kuadrat interaksi dan kudrat regresi yang kecil, sementara genotipe yang tidak stabil atau spesifik lokasi memiliki nilai koefisien regresi > 1 dengan nilai galat baku, kuadrat interaksi dan kudrat regresi yang besar. Berdasarkan kriteria di atas maka genotipe stabil adalah HP1744, H-21 dan Selayar, kestabilan genotipe ini ditampilkan pada Gambar 17 Tabel 40. Rata-rata hasil, galat baku, kuadrat tengah interaksi dan kuadrat tengah regresi sebelas genotipe gandum introduksi di agroekosistem tropika Genotipe Oasis/skauz//4*bcn Hp 1744 Laj/mo88 Rabe/mo88 H-21 G-21 G-18 Menemen Basribey Alibey Selayar Rata-rata
Ratarata 1.76 1.75 1.46 1.51 1.82 1.43 1.48 1.82 2.00 2.13 1.92 1.73
Bi 0.95 0.98 0.69 0.86 1.04 0.89 0.89 1.12* 1.17 1.45 0.96 1.00
Galat Baku 0.21 0.11 0.25 0.25 0.06 0.04 0.20 0.01 0.20 0.14 0.09 0.14
Kuadrat interaksi 0.17 0.04 0.43 0.29 0.02 0.03 0.19 0.03 0.22 0.47 0.03 0.17
Kuadrat Regresi 0.02 0.00 0.55 0.12 0.01 0.07 0.07 0.08 0.18 1.18 0.01 0.21
MSDEV 0.25 0.07 0.37 0.38 0.02 0.01 0.24 0.00 0.25 0.12 0.05 0.16
104
SIMPULAN 1. Interaksi genotipe x musim x elevasi berpengaruh nyata terhadap karakter tinggi tanaman, umur berbunga, jumlah spikelet, jumlah floret, bobot biji/malai, laju pengisian biji, hasil, luas daun bendera, kerapatan stomata, klorofil b dan kehijauan daun. Terdapat karakter yang tidak dipengaruhi oleh musim yaitu karakter umur panen, persen floret hampa, jumlah biji/malai, bobot 1000 biji, jumlah malai/m2 dan bobot biji/tanaman 2. Penampilan karakter agronomi dan fisiologis mengalami penurunan seiring dengan penurunan elevasi dari elevasi >1000 m dpl ke elevasi < 400 m dpl. 3. Terdapat dua genotipe yang memiliki hasil lebih tinggi dari varietas pembanding Selayar yaitu Basribey (2.00 t.ha-1) dan Alibey (2.13 t.ha-1 ). 4. Genotipe dengan hasil stabil adalah HP 1744 (1.75 t.ha-1), H-21 (1.82 t.ha-1) dan varietas Selayar (1.92 t.ha-1), Menemen (1.82 t.ha-1) merupakan genotipe yang spesifik lingkungan
105
RESPON DAN KERAGAMAN GENETIK POPULASI M2 HASIL IRRADIASI SINAR GAMMA BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI TERHADAP CEKAMAN SUHU TINGGI ABSTRAK Keragaman genetik merupakan dasar utama untuk merakit varietas dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Untuk merakit varietas gandum di agroekosistem tropis, perlu adanya upaya peningkatan keragaman genetik. Salah satu upaya peningkatan keragaman genetik melalui introduksi galur – galur yang adaptif untuk agroekosistem tropis. Selanjutnya galur – galur yang adaptif keragamannya lebih ditingkatkan melalui iradiasi sinar gamma. Penelitian ini bertujuan mengetahui respon beberapa galur terhadap iradiasi sinar gamma dan memperoleh informasi mengenai keragaman genetik dari galur yang diiradiasi sinar gamma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis > 400 gy menyebabkan pertumbuhan kecambah mengalami cekaman dan menyebabkan kecambah tidak memiliki klorofil. Dosis 300 gy penelitian lapang menyebabkan kematian 50 % dari populasi tanaman yang di iradiasi. Iradiasi sinar gamma dengan dosis 300 gy tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap semua karakter pada tanaman M1. Terdapat perubahan nilai tengah yang lebih baik karakter jumlah biji/malai dan jumlah spikelet hampa pada populasi M1Oasis dan M1Rabe. Keragaman genetik nampak populasi generasi M2 dari semua galur yang diiradiasi. Populasi M2 dari galur OASIS/SKAUZ//4*BCN, Kasifbey dan Dewata merupakan populasi hasil iradiasi yang memiliki perubahan nilai tengah semua karakter paling banyak dibandingkan populasi M2 hasil iradiasi lainnya. Pengaruh interaksi iradiasi dan cekaman suhu tinggi menyebabkan populasi keragaman genetik dari galur dan varietas pada generasi M2. Karakter yang memiliki keragaman genetik sedang sampai luas adalah karakter umur panen, karakter jumlah floret hampa termasuk luas, kecuali pada populasi M2 turunan varietas Selayar. Karakter yang memiliki keragaman genetik sedang hingga luas diikuti dengan nilai heritabilitas arti luas sedang hingga luas. Kata Kunci : keragaman genetik, populasi M2 dan iradiasi sinar gamma ABSTRACT Genetic variability is the main basis for assembling varieties in plant breeding activities. In order to assemble varieties of wheat in tropical agroecosystems needs the efforts to increase genetic variability. The one effort to increase the genetic variability is through introduction of adaptive strains to tropical agroecosystems. Furthermore, the variability of adaptive strains was enhanced through gamma ray irradiation. This research aims to study the response of some strains to gamma irradiation and to obtain the information on the genetic variability of irradiated strains. The results showed that High dose (> 400 gy) caused the seedling growth was under pressure and the sprouts did not have chlorophyll. Dose of 300 gy in the field research led to the death of 50% of the irradiated plant population. Gamma-ray irradiation at dose of 300 gy had no significant effect on all the characters in M1 plants. There was greater median alteration at the number of seeds / spike and number of hollow spikelet in M1 population of Oasis and Rabe. The genetic variability showed in the generation of M2 population of all irradiated strains. M2 population of strains OASIS/SKAUZ//4*BCN, Kasifbey and Dewata were the irradiated population that have more the mean changes on all characters
106
than the other irradiated M2 population result. Effect of irradiation and hightemperature stress interaction led to variability on population of strains and varieties in M2 generation. The characters that have a moderate to high genetic variability were harvesting time character, a number of empty floret had high variability, except in M2 population of derived Selayar varieties. The characters that had a moderate to high genetic variability followed by moderate to high broadsense hertability values. Keywords: Genetic variability, population M2 and gamma ray irradiation
PENDAHULUAN Latar Belakang Gandum bukan tanaman asli Indonesia, sehingga pengembangan gandum di Indonesia terkendala dengan tidak adanya sumber plasma nutfah gandum diberbagai wilayah Indonesia sebagai sumber keragaman genetik.
Untuk
meningkatkan keragaman genetik gandum di Indonesia dilakukan introduksi galur-galur yang dianggap dapat beradaptasi baik di agroekosistem tropis Indonesia. Introduksi tanaman merupakan salah satu cara dalam meningkatkan keragaman genetik tanaman gandum dalam memdukung keberhasilan kegiatan pemuliaan tanaman. Khusus untuk tanaman gandum sumber genetik sebagai plasma nutfah baik yang berada di bank gen dan lokal di seluruh dunia diperkirakan mencapai 400.000 aksesi meskipun banyak aksesi telah banyak mengalami duplikasi (Poelhman dan Sleeper 2006). Sementara koleksi galur-galur di Indonesia, khususnya di Balitsereal yang telah diintroduksi berjumlah 101 aksesi (Balitser 2011) Keragaman genetik merupakan dasar utama dalam upaya perbaikan karakter tanaman dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Dengan keragaman genetik yang luas maka peluang untuk mendapatkan individu tanaman yang bagus/superior makin besar.
Keefektifan seleksi dalam program kegiatan
pemuliaan ditentukan oleh luasnya keragaman genetik untuk karakter yang akan diseleksi dalam populasi (Hiremath et al. 2011). Genotipe introduksi dari berbagai negara, selain diadaptasikan langsung untuk
mendapatkan
genotipe-genotipe
yang
dapat
beradaptasi
baik
di
agroekosistem tropis Indonesia, juga dapat diperluas keragaman genetiknya
107
melalui persilangan/hibridisasi atau mutasi.
Salah satu kegiatan mutasi yang
sering digunakan dalam meningkatkan keragaman genetik tanaman adalah iradiasi sinar gamma. Teknologi iradiasi merupakan bagian dari teknologi nuklir yang menggunakan radioisotop. Dibandingkan zat kimia, radioisotope memiliki kelebihan sifat fisik, yaitu memancarkan sinar radioaktif. Kelebihan ini telah dimanfaatkan dalam berbagai kegiatan penelitian termasuk perbenihan tanaman dan pemuliaan tanaman. Secara fisiologis, radiasi dengan sinar gamma menyebabkan terbentuknya elektron bebas yang dapat menginduksi terbentuknya radikal yang dapat bereaksi dengan makromolekul (IAEA 1977). Reaksi radikal dengan makromolekul dapat bersifat merusak. Iradiasi sinar gamma pada tanaman gandum ini diharapkan agar karakterkarakter yang terdapat dalam dalam satu lokus yang sering diturunkan secara bersama-sama melalui teknik persilangan dapat dipisahkan. Salah satu contoh 3 kromosom dalam suatu kelompok homologus ABD sering mengandung lokuslokus yang bersamaan untuk suatu karakter tertentu seperti 2 gen untuk ketahanan karat daun terletak pada kromosom 2A, 3 gen pada kromosom 2B, dan 3 gen pada kromosom 2D. lokus-lokus yang berulang memberi kesan bahwa genom A, B dan D mungkin berasal dari satu nenek moyang (Sleeper & Poelhman 2006). Hasil iradiasi diperbanyak untuk mendapatkan populasi dengan keragaman genetik yang luas seperti yang diharapkan. Selanjutnya setiap generasi dapat di seleksi berdasarkan metode pemuliaan.
Penggabungan metode seleksi dapat
mengefektifkan dan mengefisienkan program seleksi yang dilakukan.
Pada
generasi awal benih M2 menggunakan metode Bulk , selanjutnya generasi M3 menggunakan metode seleksi pedigree. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui respon beberapa genotipe terhadap iradiasi sinar gamma dan memperoleh informasi mengenai keragaman genetik dari genotipe yang diiradiasi sinar gamma.
108
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Iradiasi sinar gamma dilaksanakan di Laboratorium Batan, Pasar Jum’at, Jakarta.
Penelitian terbagi atas dua tahap yaitu a). Orientasi dosis iradiasi sinar
gamma b). Penanaman benih yang telah diiradiasi M1 untuk mengetahui respon genotipe terhadap dosis iradiasi sinar gamma, c) Perbanyakan dan studi keragaman populasi M2 hasil iradiasi sinar gamma terhadap cekaman suhu tinggi berdasarkan karakter agronomi. Penelitian berlangsung mulai Mei 2010 - Juli 2011. Radiosensivitas Iradiasi Sinar Gamma. Penembakan sinar gamma dilaksanakan di Laboratorium Batan, Pasar Jum’at, Jakarta.
Meteri genetik yang digunakan dalam penelitian ini adalah
varietas Nias. Benih yang diiradiasi dengan sinar gamma dengan laju aktivitas 1046,16976 ci dengan lama penyinaran 0 – 71 menit (Tabel Lampiran 4). Dosis iradiasi yang digunakan adalah 0, 100, 200, 300, 400, 500, 600, 700, 800, 900 dan 1000 gy. Benih gandum ditanam dalam bak plastik ukuran, setiap lubang tanam terdiri dari 2 benih/lubang tanam sebanyak 7 lubang tanam, sehingga jumlah benih yang ditanam setiap ulangan adalah 14 benih. Penanaman di lapangan dilakukan untuk menverifikasi dosis iradiasi sinar gamma lingkungan yang lebih heterogen. Respon Genotipe terhadap Iradiasi Sinar Gamma Materi genetik yang digunakan untuk iradiasi sinar gamma adalah benih Basribey, Kasifbey (Turki), OASIS/SKAUZ//4*BCN, RABE/MO 88 (India) dan Selayar dan Dewata (varietas nasional) dengan dosis iradiasi sinar gamma 300 gy. Benih gandum yang telah diiiradiasi M1 diperbanyak pada lingkungan optimal untuk mendapatkan benih M2 Perbanyakan benih yang telah diiradiasi M1 disusun dalam bentuk Rancangan Petak Terpisah diulang 3 kali. Petak utama terdiri dari kontrol dan Iradiasi, sedangkan anak petak adalah varietas/genotipe introduksi. Ukuran petak penelitian 1 x 5 m. Setiap galur ditanam 4 baris sepanjang 5 m, jarak tanam 25
109
cm antar baris, benih dilarik dalam barisan. Pemupukan diberikan dua kali yaitu saat tanaman berumur 10 Hst dengan dosis 150 kg.ha-1 Urea, 200 kg.ha-1 SP36 dan KCl 100 kg.ha-1 dan pemupukan kedua dengan dosis Urea 150 kg.ha-1 umur 30 Hst. Sebelum ditanam benih diberi insektisida Carbaryl 85% dan pada saat tanam lubang larikan diberi Karbofuran 3%. Benih dipanen secara terpisah dari masing-masing nomor tanaman M1, kemudian dikeringkan untuk mendapatkan populasi generasi (M2). Data yang dikumpulkan antara lain umur berbunga (Hst), umur masak (Hst), tinggi tanaman (cm), jumlah spiklet, jumlah floret hampa, panjang malai (cm), jumlah biji /malai (g), bobot biji/malai, bobot 1000 biji (g), kehijauan daun dan luas daun. Data yang dikumpulkan dianalisis ragam berdasarkan analisis ragam model split plot. Menurut Mattjik dan Sumertajaya (2006) Model linier dari rancangan petak terpisah secara umum dapat dituliskan sebagai berikut: Model : Yijk = μ + αi + δik + βj + (αβ)ij + εijk
Keterangan : Yijk = nilai pengamatan pada faktor A taraf ke-i,
faktor B taraf ke-j dan
ulangan ke-k μ
= rataan umum
αi
= pengaruh utama faktor A (petak utama) taraf ke-i
δik
= pengaruh acak faktor A (petak utama)
βj
= pengaruh utama faktor B (anak petak) taraf ke-j
(αβ)ij = interaksi dari faktor A dan faktor B εijk
= pengaruh acak yang menyebar normal (0,ζ2)
Keragaman Populasi M2 Hasil Iradiasi Sinar Gamma terhadap Cekaman Suhu Tinggi Berdasarkan Karakter Agronomi Benih gandum yang ditanam adalah benih gandum turunan pertama M2 dari iradiasi sinar gamma dari galur (Basribey, Kasifbey, OASIS SKAUZ//4*BCN, RABE/MO 88) dan varietas (Selayar dan Dewata). Penelitian dilaksanakan di ketinggian (<400 mdpl) dikebun percobaan Seameo-Biotrop Bogor.
Penelitian
dilaksanakan mulai bulai Januari – April 2011. Pengolahan tanah, pemupukan, pemeliharaan dari hama dan penyakit sama seperti penelitian di atas. Pada tahap penelitian ini diamati keragaman pada karakter umur berbunga (hari), umur masak (hari), tinggi tanaman (cm), jumlah spiklet, jumlah
110
floret, jumlah floret hampa, panjang malai (cm), jumlah biji /malai (g), bobot biji/malai, kehijauan daun, dan nilai heritabilitas. Pada turunan M2 ini malai dari masing-masing tanaman pada masing-masing varietas dipanen secara massa (bulk) untuk dilanjutkan penanaman pada pada M3. Variasi genetik pada generasi M2 dihitung dengan rumus sebagai berikut; ( x 2 ) [( x) 2 / n]
2
n 1
ζ2M2 = ζ2p; ζ2p = ζ2g + ζ2e; ζ2 g = ζ 2 p - ζ 2 e = ζ2M2 - ζ2M0, dimana : ζ2 = ragam n = jumlah anggota populasi ζ2p = ragam fenotip ζ2g = ragam genotip ζ2e = ragam lingkungan ζ2M2 = ragam populasi M2 ζ2M0 = ragam populasi M0 (populasi sebagai kontrol) nilai heritabilitas dihitung dengan menggunakan rumus : h2 = ζ2g/ζ2p
(Singh dan Chaudhari 1979)
Kriteria nilai heritabilitas :
h2 > 0.5 : nilai heritabilitas tinggi
h2 terletak antara 0.2 – 0.5 : nilai heritabilitas sedang
h2 < 0.2 : nilai heritabilitas rendah.
Variasi genetik ditentukan berdasarkan pada koefisien variasi genetik (KVG) menggunakan metode yang dikemukakan oleh Singh dan Chaudhary (1985) sebagai berikut : KVG (
g
) x100%
x
Dimana : ζg = akar varian genotip; X = rata-rata nilai sifat Nilai KVG mutlak yang tertinggi ditetapkan dari nilai KVG relatif 100%.
111
HASIL DAN PEMBAHASAN Radiosensivitas Iradiasi Sinar Gamma. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosis iradiasi sinar gamma tidak memperlihatkan pengaruh terhadap daya kecambah benih gandum. Penampilan perkecambahan benih gandum yang diiradiasi sinar gamma dengan dosis 0, 100, 200, 300, 400, 500, 600, 700, 800, 900 dan 1000 gy disajikan pada Gambar 18.
Gambar 18 Penampilan dosis irradiasi sinar gamma 0 – 700 gy terhadap laju perkecambahan biji gandum. Iradiasi sinar gamma hanya memperlihatkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan kecambah gandum. Dosis 100, 200 dan 300 memperlihatkan daya kecambah lebih baik dibandingkan dengan kontrol (tidak diiradiasi sinar gamma). Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan irrradiasi yang menggunakan dosis rendah dapat memperbaiki perkecambahan benih. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Sheppard (1986a) dan Sheppard (1987b) pada gandum dan barley yang menunjukkan bahwa dosis yang rendah dapat menstimulasi perkecambahan. Penelitian lainnya dengan menggunakan kisaran
112
dosis 1-4 krad, juga memberikan hasil yang sama, yaitu menstimulasi perkecambahan gandum dan barley, dimana daya berkecambah akan menurun dengan meningkatnya dosis radiasi; kecenderungan yang sama juga ditunjukkan oleh karakter tinggi bibit (Khanna 1986). Dosis 400 dan 500 gy memperlihatkan bahwa pertumbuhan kecambah gandum mulai mengalami penurunan. Bahkan pada dosis 600, 700, 800, 900 dan 1000 gy kecambah gandum yang muncul mulai tidak berwarna hijau atau tidak memperlihatkan adanya klorofil (abnormal) dan pertumbuhan juga kerdil (Gambar 19). Hasil penelitian menunjukkan bahwa biji yang diiradiasi dengan sinar gamma dosis tinggi menyebabkan terganggunya sintesa protein (Xiuzher, 1994), keseimbangan hormon, pertukaran gas di daun (Stoeva & Bineva 2001), pertukaran air dan aktivitas enzim (Stoeva et al. (Nicotiana)
iradiasi
dengan
dosis
tinggi
2001).
mengakibatkan
Pada tembakau terhambatnya
pertumbuhan tanaman, degradasi klorofil, dan kerusakan morfologi pada tanaman (Wada et al. 1998).
Gambar 19 Penampilan pertumbuhan kecambah biji gandum pada dosis iradiasi sinar gamma 600, 700, 800, 900 dan 1000 gy pada umur 7 HST. Penelitian lapang (Gambar 20) menunjukkan bahwa dosis mulai dosis 300 gy telah menghambat perkecambahan dan pertumbuhan gandum, sementara pada dosis 400 gy pertumbuhan gandum mulai memperlihatkan cekaman yang kuat, dimana pertumbuhan bibit gandum menjadi kerdil. Mulai dosis 500 gy hingga dosis 1000 gy benih gandum sudah tidak mampu menembus tanah di lapangan. Radiasi sinar gamma menyebabkan terganggunya proses pembelahan sel, mengakibatkan terbentuknya sel-sel yang abnormal, dan menurunkan frekuensi
113
pembelahan sel yang berakibat pada menurunnya laju pertumbuhan bibit, serta aberasi pada sifat-sifat morfologi (Mandal & Basu 1986).
Kawamura et al.
(1992b) yang menunjukkan bahwa panjang akar dan tunas bibit gandum lebih sensitif terhadap perlakuan iradiasi sinar gamma dibandingkan dengan proses perkecambahan itu sendiri.
A
B
C
D
E
F
Gambar 20 Penampilan pertumbuhan kecambah gandum dilapangan pada dosis irradiasi sinar gamma (A) 0 gy, (B) 100 gy, (C) 200 gy, (D) 300 gy, (E) 400 gy dan (F) 500 gy pada umur 15 HST.
114
Respon Genotipe Gandum terhadap Iradiasi Sinar Gamma Analisis ragam (Tabel 41) menunjukkan bahwa induksi iradiasi memperlihatkan pengaruh nyata terhadap umur panen, luas daun, panjang malai, floret hampa, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, jumlah spiklet, bobot 1000 biji sedangkan parameter tinggi tanaman, jumlah anakan, umur berbunga, dan kehijauan daun tidak memperlihatkan respon yang nyata, sementara genotipe yang memperlihatkan pengaruh nyata terhadap umur panen, luas daun, panjang malai, jumlah spikelet, dan floret hampa, parameter yang tidak memperlihatkan respon nyata adalah tinggi tanaman, jumlah anakan, umur berbunga, kehijauan daun, jumlah biji/malai, bobot biji/malai dan bobot 1000 biji. Tabel 41. Analisis ragam karakter agronomi beberapa genotipe gandum pada perlakuan Iradiasi sinar gamma Karakter Tinggi Tanaman Jumlah Anakan Umur Berbunga Umur Panen Kehijauan Daun Luas Daun Panjang Malai Jumlah Spiklet Floret Hampa Jumlah Biji/Malai Bobot Biji/Malai Bobot 1000 biji
Iradiasi 0.408 tn 0.007 tn 10.800 tn 16.133* 34.776 tn 16.048 * 0.261* 19.200** 8.382* 1815.852 * 0.004 * 111.994 **
Kuadrat Tengah Genotipe Iradiasi x Genotipe 92.922 tn 63.408 tn 0.792 tn 2.022 tn 22.417 tn 12.550 tn 122.533** 17.467 tn 6.044 tn 9.527 tn 22.515** 6.310 tn 3.324** 0.369 tn 10.225** 3.843 tn 0.337* 0.169 tn 58.415 tn 67.992 tn 0.063 tn 0.036 tn 30.191 tn 13.368 tn
KK 14.994 13.796 7.573 3.402 6.614 11.397 4.509 7.519 11.763 17.377 13.294 16.102
Keterangan : PU = Petak Utama; AP = Anak Petak; KK = Koefisien Keragaman; * dan ** = nyata pada taraf uji P 0,05 dan P 0,01
Analisis interaksi iradiasi x genotipe, untuk semua karakter tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata. Pengaruh interaksi yang tidak nyata pada semua karakter yang diamati menunjukkan bahwa penampilan fenotipe pada generasi M1 tidak menunjukkan adanya perubahan respon genotipe dari suatu perlakuan iradiasi dengan perlakuan kontrol. Hanya hasil mutasi dominan yang terekspresikan pada generasi M1. Mutasi dapat menghasilkan kimera, yaitu dimana keturunan-keturunan sel-sel mutan dan sel-sel normal akan menghasilkan jaringan yang berbeda.
Tanaman M1 biasanya bersifat kimerik, melalui pertumbuhan
tanaman M1, kesempatan kompetisi antara mutan dan non mutan terjadi (Nasir
115
2002). Keragaman genetik akan muncul pada generasi atau keturunan berikutnya dari biji atau tanaman yang diperlakukan dengan mutagen. Keragaman terbesar umumnya muncul pada generasi atau keturunan M2.
Berdasarkan penelitian
Manjaya dan Nandanwar (2007), dengan dosis penyinaran sinar gamma 250 Gy berhasil menginduksi terjadinya mutasi dan menyebabkan terjadinya keragaman genetik pada kedelai cv JS 80-21.
Uji t memperlihatkan bahwa terdapat
perbedaan yang nyata luas daun bendera pada populasi M1O dan M1D dengan kontrol. Terdapat perubahan nilai tengah yang lebih baik M1O dan M1R pada jumlah biji/malai, demikian halnya jumlah floret hampa mengalami penurunan floret hampa pada populasi M1O, M1R dan M1D (Tabel 42). Tabel 42. Perbedaan nilai tengah karakter agronomi populasi M1 hasil iradiasi sinar gamma (300 gy) dengan kontrol Karakter KHD LD PM JS JBM SHMP TT JA BBM B1000B UB UP
IR IR K IR K IR K IR K IR K IR K IR K IR K IR K IR K IR K IR K
M1Oasis 45.1±1.6 43.3±2.5 12.9**±0.5 12.9±01.4 8.1±0.05 8.5±0.3 17.8±0.8 19.4±0.5 46.4*±5.4 22.0±8.3 2.3**±1.0 10.1±1.4 57.8±3.5 61.9±4.6 5.0±0.5 6.7±0.9 0.8±0.2 1.0±0.1 32.3±5.1 28.3±4.6 57.7±2.1 62.3±4.2 96.7±2.5 97.7±2.1
M1Rabe M1Basribey 45.3±1.8 46.6±4.1 42.9±1.5 44.0±3.4 13.7±1.1 12.7±2.6 11.3±0.9 11.6±0.6 8.3±0.7 7.8±0.5 7.7±0.3 8.3±0.5 18.4±2.4 16.2±1.4 17.3±0.3 19.3±2.2 47.5*±6.4 39.4±0.4 30.8±6.1 31.9±5.4 * 2.6 ±1.2 3.1±0.5 7.0±1.4 6.4±0.2 60.3±8.4 62.3±7.6 64.8±10.0 68.5±4.2 6.0±0.4 6.8±1.4 6.2±0.3 6.8±0.4 1.0±0.05 1.1±0.06 1.2±0.2 1.0±0.1 31.2±4.1 30.1±4.2 32.3±2.0 23.9±5.2 61.3±6.7 62.7±2.9 61.3±4.2 66.3±1.5 98.3±4.9 100.3±2.5 93.0±3.0 95.3±2.5
M1Selayar 46.6±1.6 41.0±4.8 12.1±1.0 12.7±1.2 8.3±0.1 8.3±0.2 17.2± 19.4±0.2 36.4±1.4 25.9±7.4 5.1±3.7 9.3±2.3 61.9±9.7 54.1±3.8 6.7±1.3 5.9±0.8 1.0±0.08 0.8±0.2 30.5±1.7 24.4±5.1 61.7±5.5 61.7±3.8 99.3±3.2 99.7±4.9
M1Dewata 45.4±2.9 46.9±0.9 19.0*±1.9 14.5±1.5 9.5**±0.1 10.1±0.1 19.8*±0.6 22.1±0.3 47.2±2.6 28.4±10.4 4.1*±1.5 10.0±0.5 70.5±15.2 64.7±11.4 7.2±1.1 5.8±0.3 0.8±0.07 0.9±0.1 28.8±4.7 24.6±2.0 65.3±6.4 63.0±3.6 106.3±6.4 108.0±2.0
Keterangan : IR = Iradiasi sinar gamma; K = Kontrol (Tidak diiradiasi); KHD = Kehijauan daun; LD = Luas Daun; PM = Panjang Malai; JS = Jumlah Spikelet, JSH = Jumlah spikelet hampa; TT = Tinggi tanaman; JA = Jumlah anakan; BBM = Bobot biji/malai; UB = Umur berbunga, UP = Umur panen;
116
Populasi M1Basribey dan M1Selayar tidak mengalami perubahan nilai tengah yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol. Peningkatan keragaman genetik pada populasi tanaman M1 pada lima galur yang diiradiasi tidak memperlihatkan adanya keragaman, hal ini disebabkan karena keragaman genetik muncul tertinggi berada pada populasi tanaman M2 di mana segregasi tertinggi terjadi. Menurut Mugnozza et al. (1993) bahwa Mutasi induksi terhadap biji gandum dengan kadar air 11% memperlihatkan beberapa mutan yang sifat khlorofilnya berbeda pada turunan M2 setelah dianalisis secara kimia dan fisika. Bahwa teknik mutasi iradiasi sinar gamma berpengaruh terhadap peningkatan jumlah khlorofil daun kedelai sehingga mempengaruhi morfologi tanaman tersebut (Hindriana 2004). Handayani (2006) yang meradiasi mata tunas terminal atau lateral mawar mini dengan dosis maksimal 3 krad, memperoleh fenotip yang berbeda dengan induk untuk warna, bentuk bunga dan jumlah petalnya. Keragaman Populasi M2 Hasil Iradiasi Sinar Gamma terhadap Cekaman Suhu Tinggi Berdasarkan Karakter Agronomi Tabel 43 dan 44 menunjukkan perlakuan iradiasi sinar gamma (300 gy) pada cekaman suhu tinggi menghasilkan perbedaan nilai tengah setiap karakter populasi M2 hasil iradiasi dengan kontrol.
Karakter yang memperlihatkan
perbedaan yang sangat nyata terhadap semua karakter dari populasi M2 hasil iradiasi dibanding dengan kontrol adalah M2Oasis, M2Kasifbey dan M2Dewata. Populasi M2 hasil iradiasi M2Basribey, M2Rabe dan M2Selayar memperlihatkan perbedaan sangat nyata untuk karakter umur panen, jumlah floret hampa dan jumlah biji/malai.
Sementar karakter umur berbunga, kehijauan daun, tinggi
tanaman, panjang malai, jumlah spikelet, jumlah floret dan bobot biji/malai dari setiap populasi M2 hasil iradiasi M2Basribey, M2Rabe dan M2Selayar berbeda dengan tetua asalnya. Keragaman yang muncul dari setiap genotipe hasil iradiasi pada setiap karakter yang berbeda disebabkan karena adanya perbedaan kontitusi genetik dan respon terhadap iradiasi sinar gamma.
Induksi mutasi dapat
menyebabkan terjadinya keragaman pada populasi generasi M2 akibat tingginya segeregasi dari gen yang mengalami mutasi (Tah 2006; Pavadai et al. 2010) .
117
Tabel 43. Perbedaa nilai tengah karakter agronomi populasi M2 hasil iradiasi sinar gamma (300 gy) dengan kontrol pada cekaman suhu tinggi. Populasi M2Oasis Oasis M2Kasifbey Kasifbey M2Basribey Basribey M2Rabe Rabe M2Selayar Selayar M2Dewata Dewata
UB UP 53.8**±3.2 69.7**±7.6 52.3±3.7 80.3±2.1 49.5**±4.9 63.1**±3.1 58.5±5.5 85.7±6.1 49.3±32.1 64.6**±5.7 52.4±3.0 81.3±3.0 55.4**±4.8 74.5*±5.9 42.3±2.7 75.7±3.4 46.1±6.4 61.4**±7.6 45.3±4.4 76.7±4.2 ** 48.0 ±3.8 66.6**±5.2 51.7±3.4 82.3±3.0
Karakter KHD TT PM 44.1**±4.2 54.0**±6.6 6.4**±1.2 41.1±3.9 65.9±7.1 7.8±0.8 42.8**±5.0 58.7**±9.0 6.7**±0.8 44.4±5.1 74.3±10.8 7.8±1.4 43.5**±4.7 68.3**±7.4 7.6±1.1 41.5±3.7 60.8±6.4 7.6±0.9 44.8±4.3 64.2±39.9 6.6*±1.0 44.2±3.1 63.9±5.6 6.8±0.8 40.2**±5.2 55.8±8.6 6.3**±2.9 42.8±4.2 70.3±10.4 7.5±1.3 ** 43.6±26.1 63.3 ±43.2 7.0**±1.1 43.0±4 78.8±6.8 8.3±1.0
Keterangan : UB : Umur Bunga, UP : Umur panen; KHD : Kehijauan daun; TT : Tinggi tanaman; PM : Panjang Malai; * : Berbeda nyata dengan populasi kontrol (0 gy) pada taraf 5 % berdasarkan uji t; ** : Berbeda nyata dengan populasi kontrol (0 gy) pada taraf 1 % berdasarkan uji t.
Perbedaan nilai tengah populasi M2 hasil iradiasi turunan dari M2Oasis, M2Kasifbey, M2Basribey, M2Rabe, M2Selayar dan M2Dewata diduga karena keragaman genetik yang muncul akibat iradiasi sinar gamma dan adanya interaksi dengan cekaman lingkungan, khususnya cekaman suhu, sementara perbedaan yang muncul pada kontrol diduga karena disebabkan faktor cekaman lingkungan, khususnya cekaman suhu tinggi.
Mutasi dengan iradiasi sinar gamma
meningkatkan produksi, umur genjah, tahan dingin, patogen, rebah, lebih kerdil dan kualitas biji lebih baik pada kondisi lingkungan yang optimal (Cheng et al. 1990; Vrinten et al. 1999). Namun pada lingkungan bercekaman keragaman yang muncul pada populasi M2 selain disebabkan oleh dua faktor dosis iradiasi sinar gamma dan juga cekaman oleh lingkungan. Tabel 44 dan 45 menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai tengah pada karakter agronomi populasi M2 dengan genotipe kontrol. Nilai tengah umur berbunga populasi M2 berbeda nyata lebih tinggi dibanding kontrol Oasis dan Rabe, sedang nilai tengah populasi M2 berbeda nyata lebih rendah dibanding kontrol kasifbey dan dewata.
Sementara nilai tengah karakter umur panen
populasi M2 umumnya berbeda nyata lebih rendah dibanding semua kontrol. Iradiasi sinar gamma menyebabkan populasi M2 lebih genjah dibanding kontrol. M2Oasis, M2Kasifbey dan M2Basribey memiliki laju pengisian biji yang lebih
118
cepat dibanding genotipe kontrol Oasis, Kasifbey dan Basribey.
M2Rabe
memiliki umur berbunga lebih dalam dibanding genotipe kontrol Rabe, namun umur panennya sama dengan genotype kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa populasi M2Rabe memiliki laju pengisian biji yang lebih cepat. Tabel 44. Nilai tengah karakter agronomi populasi M2 galur gandum introduksi pada cekaman suhu tinggi Populasi M2Oasis Oasis M2Kasifbey Kasifbey M2Basribey Basribey M2Rabe Rabe M2Selayar Selayar M2Dewata Dewata
JSP 14.1**±2.8 16.3±2.1 13.5**±3.0 16.6±1.7 15.2**±2.3 16.3±2.1 14.6±2.5 14.2±1.4 11.7**±2.1 14.6±2.3 14.6**±2.6 16.9±2.4
Karakter JFRTH JBM 23.1**±7.2 19.0**±7.6 17.5±6.2 31.5±8.0 22.1**±8.4 18.4**±8.0 24.8±5.5 25.0±5.1 33.0**±6.5 12.6**±4.8 19.9±5.6 29.2±7.1 25.6**±6.6 18.3**±7.5 17.5±5.9 25.2±6.1 ** 20.6 ±5.9 14.5**±6.6 25.7±11.1 18.0±8.9 ** 29.2 ±10.0 14.6**±8.1 21.4±7.2 29.4±8.0
BBM 0.6**±0.4 0.9±0.2 0.3**±0.2 0.8±0.2 0.4**±0.2 0.8±0.2 0.5**±0.2 0.7±0.2 0.4±0.2 0.4±0.2 0.4**±0.2 0.9±0.3
Keterangan : JSP : Jumlah spikelet, JFRT : Jumlah floret; JFRTH : Jumlah floret hampa; JBM : Jumlah biji/malai; BBM : Bobot biji/Malai;
Gambar 21,
memperlihatkan bahwa keragaman muncul paling tinggi
untuk karakter umur berbunga dan umur panen terdapat pada populasi M2Selayar, M2Rabe dan M2Oasis (umur panen), selain memiliki keragaman tinggi, juga memperlihatkan bahwa populasi ini termasuk berumur genjah. Sehingga generasi selanjutnya seleksi dapat difokuskan untuk mendapatkan galur mutan umur genjah pada tiga populasi di atas. Keragaman karakter kehijauan daun hasil iradiasi sinar gamma tidak terlalu tinggi, namun populasi M2Selayar, M2Kasifbey dan M2Rabe nyata lebih tinggi dibanding M2Oasis, M2Basribey dan M2Dewata. Sementara karakter tinggi tanaman keragaman tertinggi terlihat pada populasi M2Kasifbey diikuti populasi M2Selayar, M2Rabe (Gambar 22). kedua karakter ini tidak memiliki keragaman yang cukup luas, namun pada beberapa populasi M2 terdapat beberapa individu yang dapat diseleksi secara positif.
119
Gambar 21 Box plot umur berbunga dan umur panen tetua dan populasi M2 hasil irradiasi sinar gamma pada lingkungan cekaman suhu tinggi.
Gambar 22 Box plot kehijauan daun dan tinggi tanaman tetua dan populasi M2 hasil irradiasi sinar gamma pada lingkungan cekaman suhu tinggi. Karakter panjang malai pada populasi M2 yang memperlihatkan keragaman tertinggi terlihat pada populasi M2Kasifbey dan M2Dewata, namun tidak terdapat nilai tengah yang berbeda nyata lebih tinggi dibanding dengan semua kontrol tetua asalnya. spikelet/malai
Sementara nilai tengah karakter jumlah
juga tidak memperlihatkan perbedaan yang nyata lebih tinggi
dibanding semua kontrol tetua, namun terdapat
keragaman paling tinggi
diperlihatkan pada populasi M2Kasifbey dan M2Oasis (Gambar 23).
120
Gambar 23 Box plot panjang malai dan jumlah spikelet tetua dan populasi M2 hasil irradiasi sinar gamma pada lingkungan cekaman suhu tinggi. Untuk karakter jumlah floret hampa diharapkan kedepan pada populasi selanjutnya semakin rendah.
Keragaman jumlah floret hampa paling tinggi
diperlihatkan pada populasi M2Dewata, M2Kasifbey dan M2Rabe (Gambar 24). Sementara karakter jumlah biji/malai yang menunjukkan keragaman paling tinggi adalah populasi M2Dewata, M2Oasis dan M2Kasifbey, dibanding dengan M2Basribey, M2Selayar dan M2Rabe.
Sementara keragaman paling tinggi
populasi M2 untuk karakter bobot biji/malai diperlihatkan pada populasi M2Oasis dan M2Rabe (Gambar 24). Untuk mendapatkan individu – individu segregan yang tinggi dengan tujuan lingkungan bercekaman, maka pengujian segregan dapat dilakukan langsung pada lingkungan bercekaman (direct breeding). Sehingga penampilan segregan yang diperlihatkan sudah terdapat interaksi genotipe x lingkungan. Kendala pengujian di lingkungan bercekaman adalah tingkat cekaman tidak dapat dikontrol. Cekaman suhu tinggi yang tidak terkontrol dapat berakibat negatif, karena jika cekaman menjadi sangat tinggi dapat menyebabkan populasi yang diuji semuanya mati.
121
Gambar 24 Box plot jumlah spikelet hampa, jumlah biji/malai dan bobot biji/malai tetua dan populasi M2 hasil irradiasi sinar gamma pada lingkungan cekaman suhu tinggi. Hasil penelitian Tabel 45, menunjukkan bahwa karakter umur berbunga pada populasi M2Selayar memiliki ragam genetik paling tinggi (22.23) dibanding populasi M2 lainnya dengan nilai duga heritabilitas sedang (48.22), sementara umur panen populasi M2 yang memiliki ragam genetik tinggi adalah M2Oasis (53.08) dan M2Selayar (39.81) dengan keragaman genetik luas 76.10 dan 64.83 dan nilai duga heritabilitas tinggi masing-masing 0.93 dan 0.69.
Hal ini
menunjukkan bahwa untuk mendapatkan galur mutan dengan umur yang lebih genjah dapat berfokus pada populasi M2Selayar. Iradiasi sinar gamma dapat mengubah karakter morfologi dan agronomi tanaman pear seperti mengurangi
122
ukuran tanaman, mempercepat panen, perubahan warna, dan kulit buah (Predieri et al. 1997). Karakter kehijauan daun dan tinggi tanaman hanya populasi M2Rabe memiliki ragam genetik tinggi 12.57 dengan nilai duga heritabilitas tinggi 0.57 dan keragaman genetik sedang 28.08 jika dibanding dengan populasi M2 lainnya. Karakter tinggi tanaman populasi M2Rabe dan M2Dewata yang memiliki ragam genetik dan koefisien keragaman genetik luas dengan nilai duga heritabilitas luas masing-masing ragam genetik (57.14, 73.21), koefisien keragaman genetik (93.03, 121.31) dan nilai duga heritabilitas (0.65, 0.61). Program seleksi selnajutnya untuk lingkungan bercekaman suhu tinggi, khusus untuk tinggi tanaman dapat difokuskan pada populasi M2Rabe dan M2Dewata. Tabel 45. Keragaman genetik dam heritabilitas karakter agronomi populasi M2 pada cekaman suhu tinggi. Karakter
Populasi Hasil Iradiasi (300 gy) M2K M2B M2R M2S
M 2O M2D Umur Berbunga ζ2g 3.92 -6.37 2.57 16.05 22.23 2.96 ζ2p 13.98 18.22 11.53 22.82 41.31 14.20 h2bs 0.28 0.0 0.22 0.70 0.54 0.21 KKg 7.27 -12.82 5.46 28.98 48.22 6.17 Kriteria KKG sempit sempit sempit sedang sedang Sempit Umur panen ζ2g 53.08 28.07 22.92 23.76 39.81 18.08 ζ2p 57.30 37.57 32.09 35.14 57.38 26.53 h2 bs 0.93 0.75 0.71 0.68 0.69 0.68 KKg 76.10 44.47 35.45 31.91 64.83 27.14 Kriteria KKG luas sedang sedang sedang luas sedang Kehijauan daun ζ2g 2.97 1.07 7.43 12.57 10.37 5.60 ζ2p 17.91 25.78 21.44 22.20 27.61 21.32 h2 bs 0.17 0.04 0.35 0.57 0.38 0.26 KKg 6.73 2.50 17.09 28.08 25.79 13.41 Kriteria KKG Sempit sempit sempit sedang sedang sempit Tinggi tanaman ζ2g -6.49 35.33 14.33 57.14 -33.58 73.21 2 ζp 43.51 115.66 55.41 88.41 74.26 119.96 h2 bs 0.0 0.31 0.26 0.65 -0.45 0.61 KKg -12.02 60.24 20.99 93.05 -60.13 121.31 Kriteria KKG sempit luas sempit luas sempit luas Keterangan : M3O : M3Oasis; M3K : M3Kasifbey; M3B : M3Basribey; M3R : M3Rabe; M3S : M3Selayar; M3D : M3Dewata ζ2g : ragam genotip; ζ2f : ragam fenotip; h2 : Heritabilitas dalam arti luas; KKG : Koefisien keragaman genetik
123
Sementara karakter lain pada Tabel 46 menunjukkan untuk karakter panjang malai hanya populasi M2Selayar dengan ragam genetik dan koefisien keragaman genetik luas dengan nilai duga heritabilitas tinggi masing 7.05, 0.81 dan 11.65.
Karakter jumlah floret hampa terdapat empat populasi dengan
koefisien keragaman genetik luas yaitu M2Oasis (59.81), M2Kasifbey (180.12), M2Basribey (35.07) dan M2M2Rabe (36.55), namun yang memiliki ragam genetik tertinggi dan nilai duga heritabilitas luas hanya populasi M2Kasifbey. Jumlah biji/malai ragam genetik tinggi dan koefisien keragaman genetik luas dengan nilai duga heritabilitas tinggi adalah populasi M2Kasifbey masing-masing 36.56, 199.00 dan 0.58 floret hampa dan jumlah biji/malai memperlihatkan keragaman genetik sempit hingga luas.
Sementara bobot biji/malai ragam genetik dan
heritabilitas tinggi hanya pada populasi M2Oasis.
Rendahnya dan tingginya
perbedaan ragam genetik, koefisien keragaman genetik dan nilai duga heritabilitas pada populasi M2 dari beberapa karakter yang diamati disebabkan karena perbedaan konstitusi genetik dari galur yang diiradiasi, perbedaan asal galur yang diiradiasi, perbedaan tanggap populasi M2 terhadap cekaman suhu tinggi. Khusus untuk karakter jumlah biji/malai dan bobot biji/tanaman umumnya memiliki ragam genetik dan nilai duga heritabilitas rendah dengan koefisien keragaman genetik sempit disebabkan karakter ini merupakan karakter yang paling sensitive terhadap perubahan suhu. Pengujian populasi langsung pada lingkungan target bercekaman, khusunya cekaman suhu menyebabkan keragaman genetik dan nilai duga heritabilitas rendah, karena adanya pengaruh interaksi genetik dengan lingkungan yang sangat besar sehingga mempengaruhi ekspresi gen dalam bentuk penampilan feotipe tanaman (Beebe et al. 2008; Witcombe et al. 2008)
124
Tabel 46. Keragaman genetik dam heritabilitas karakter agronomi populasi M2 pada cekaman suhu tinggi. Karakter
M 2O
Populasi M2 Hasil Iradiasi (300 gy) M2K M2B M2R M2S
M2D
Panjang malai ζ2g 0.64 1.41 0.32 0.42 7.05 0.38 ζ2p 1.32 1.99 1.12 1.08 8.67 1.42 h2bs 0.49 0.71 0.28 0.39 0.81 0.27 KKg 9.98 21.16 4.24 6.41 111.65 5.45 Kriteria KKG sempit sempit Sempit sempit luas sempit Jumlah spikelet ζ2g 3.39 6.35 0.83 4.27 -0.65 2.43 ζ2p 7.67 9.18 5.09 6.19 4.35 6.98 h2bs 0.44 0.69 0.16 0.69 -0.15 0.35 KKg 24.12 47.02 5.43 29.16 -5.53 16.64 Kriteria KKG sempit sedang sempit sedang sempit Sempit Jumlah floret hampa ζ2g 13.84 39.86 11.56 9.37 -86.21 48.22 ζ2p 51.75 69.68 42.47 43.97 34.88 100.16 h2bs 0.27 0.57 0.27 0.21 -2.47 0.48 KKg 59.81 180.12 35.07 36.55 -419.33 165.29 Kriteria KKG luas luas luas luas sempit Luas Jumlah biji/malai ζ2g -5.39 36.56 -28.13 18.86 -35.63 3.36 ζ2p 57.91 62.90 22.72 55.48 43.00 66.64 h2bs -0.09 0.58 -1.24 0.34 -0.83 0.05 KKg -28.33 199.00 -223.11 103.22 -246.32 23.05 Kriteria KKG sempit luas sempit luas sempit Sempit Bobot biji/malai ζ2g 0.11 0.01 -0.01 0.01 0.01 -0.02 2 ζp 0.15 0.05 0.02 0.05 0.05 0.05 h2bs 0.72 0.16 -0.57 0.18 0.12 -0.37 KKg 16.88 2.70 -3.47 1.96 1.41 -5.40 Kriteria KKG sempit sempit sempit sempit sempit sempit Keterangan : M3O : M3Oasis; M3K : M3Kasifbey; M3B : M3Basribey; M3R : M3Rabe; M3S : M3Selayar; M3D : M3Dewata; ζ2g : ragam genotip; ζ2f : ragam fenotip; h2 : Heritabilitas dalam arti luas; KKG : Koefisien keragaman genetik
125
SIMPULAN 1. Irradiasi sinar gamma meningkatkan keragaman genetik Populasi M2 dari genotipe
OASIS/SKAUZ//4*BCN
Kasifbey
dan
Dewata
dengan
perubahan nilai tengah semua karakter paling banyak dibandingkan populasi M2 hasil iradiasi lainnya. 2. Pengaruh interaksi iradiasi dan
cekaman suhu tinggi menyebabkan
populasi keragaman genetik dari genotipe dan varietas pada generasi M2 sangat beragam mulai dari sempit hingga luas. Karakter yang memiliki keragaman genetik sedang sampai luas adalah karakter umur panen, karakter jumlah floret hampa termasuk luas, kecuali pada populasi M2 turunan varietas Selayar.
126
SELEKSI POPULASI M3 DAN M4 TERHADAP CEKAMAN SUHU TINGGI DI AGROEKOSISTEM TROPIS BERDASARKAN KARAKTER AGRONOMI ABSTRAK Keberhasilan merakit varietas terhadap suatu cekaman dalam program pemuliaan tanaman sangat ditentukan oleh ketersediaan keragaman genetic, ketepatan menerapkan metode seleksi dan kemampuan pemulia dalam mengidentifikasi genotipe yang memperlihatkan ketahanan terhadap cekaman tertentu. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan genotipe gandum yang toleran terhadap cekaman suhu tinggi dan mendapatkan informasi tentang pendugaan parameter genetik serta kemajuan genetik dari populasi mutan melalui metode shuttle breeding. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penampilan populasi tanaman M3 di elevasi > 1000 m dpl lebih baik dibanding di elevasi < 400 m dpl. Populasi Tanaman M3 yang memiliki perubahan nilai tengah yang paling tinggi adalah M3Kasifbey, M3Rabe dan M3Basribey. Populasi Tanaman M3Oasis merupakan populasi yang mampu beradaptasi terhadap cekaman suhu tinggi berdasarkan karakter jumlah floret hampa, jumlah anakan produktif, bobot biji/malai, jumlah biji/malai, bobot biji/tanaman dan jumlah biji/tanaman. Keragaman genetik dan nilai duga heritabilitas elevasi < 400 m dpl (Bogor) lebih luas dan tinggi dibandingkan elevasi > 1000 m dpl (Cipanas). Galur generasi M4 berasal dari seleksi M3 memiliki perbaikan nilai tengah pada karakter jumlah biji/malai lebih baik dibanding Rabe dan Selayar, demikian pula pada karakter jumlah biji/tanaman lebih baik dibanding Selayar, Rabe, Kasifbey dan Basribey. Nilai duga heritabilitas dan keragaman genetik generasi M4 pada karakter yang diamati baik seleksi dari elevasi < 400 m dpl maupun elevasi > 1000 m dpl umumnya tinggi dan luas, kecuali pada karakter bobot biji/malai. Kata Kunci : Seleksi, populasi M3, M4, kaarakter agronomi dan suhu tinggi ABSTRACT The success of assemble varieties to the stress in plant breeding programs are largely determined by the availability of genetic variation, the accuracy to apply the selection method and the ability of the breeder to identify the genotipe that show resistance to particular stress. The research aims to get the wheat genotipes that tolerant to high temperature stress and to get information about the estimation of genetic parameters and genetic advance from the mutant population through shuttle breeding method. The results showed that the appearance of the M3 plant population at > 1000 m asl was better than <400 m asl elevations. Population of M3 which had the highest median alterations were Kasifbey, Rabe and Basribey.Oasis population was able to adapt to high temperature stress based on number of hollow floret, number of productive tillers, grain weight/spike, number of seeds/spike, seed weight/plant and number of seeds/plant characters. Genetic variability and estimated heritability value in <400 m asl (Bogor) wider and higher than in > 1000 m asl (Cipanas) elevations. M4 line generation from the selection of M3 population has improved the median on number of seeds/spike
127
character better than Rabe and Selayar, as well as the number of seed/plant character better than the Selayar, Rabe, Kasifbey and Basribey varieties. Generally, the heritability estimated value and genetic variability in the M4 generation on the observed characters from <400 m asl and > 1000 m asl elevations were high and wide, unless the character of grain weight/spike. Keywords: Selection, M3, M4 Populations, agronomy character and high temperature PENDAHULUAN Latar Belakang Pemuliaan tanaman merupakan kegiatan yang harus berlangsung secara berkesinambungan.
Keberhasilan program pemuliaan gandum di Indonesia
sangat ditentukan oleh ketersediaan keragaman genetik dan ketepatan dalam menerapkan metode seleksi dengan memanfaatkan informasi genetik dan heritabilitas (Makmur 1990; Roy 2000). Sebagai tanaman subtropis, materi penelitian gandum umumnya diintroduksi dari berbagai negera, khususnya bekerjasama dengan lembaga internasional yaitu CIMMYT. Materi genetik yang diintroduksi selanjutnya diadaptasikan di lingkungan agroekosistem tropis sebagai langkah awal penyesuain lingkungan tumbuh dan sekaligus melakukan penapisan pada kondisi cekaman suhu tinggi. Salah satu upaya untuk meningkatkan keragaman genetik dan sekaligus menyeleksi pada lingkungan bercekaman dari galur-galur diintroduksi adalah iradiasi sinar gamma dilanjutkan dengan metode shuttle breeding.
Kegiatan
pemuliaan yang diarahkan untuk mengatasi masalah biotik dan abiotik di wilayah yang luas dengan melakukan seleksi secara di lingkungan yang berbeda secara bergantian sehingga diperoleh materi genetik yang mantap untuk mengatasi suatu masalah. Rangkaian kegiatan pemuliaan tersebut dikenal dengan istilah shuttle breeding (Balitsa 2002). Materi genetik yang telah di iradiasi (M1) dengan sinar gamma diperbanyak pada lingkungan optimal, kemudian keragaman populasi generasi M2 diseleksi pada lingkungan bercekaman suhu tinggi. Generasi M3 dikembalikan pada lingkungan optimal dilanjutkan dengan seleksi pada generasi M4 langsung dikondisikan lingkungan bercekaman suhu tinggi. Dengan metode shuttle breeding dapat diperoleh galur – galur mutan putatif yang memiliki daya
128
adaptasi luas sehingga galur-galur yang diperoleh diadaptasikan di lingkungan optimal tetap dapat mengekspresikan gen-gen yang mengatur produksi tinggi, di lingkungan bercekaman suhu tinggi dapat mengekspresikan gen-gen yang mengatur toleransinya terhadap suhu tinggi. Keberhasilan program pemuliaan, khususnya pada lingkungan bercekaman sangat ditentukan oleh ketepatan dalam menerapkan metode seleksi dengan memanfaatkan informasi genetik dan hertabilitas (Roy 2000). Seleksi langsung pada lingkungan bercekaman secara terus menerus dari generasi awal hingga dilepas sebagai varietas dapat menyebabkan varietas tersebut memiliki daya adaptasi yang sempit, karena gen-gen yang selalu terekspresi adalah gen-gen toleransi terhadap cekaman. Menurut Ceccereli et al. (2007b) seleksi langsung pada lingkungan target untuk memaksimalkan ekspresi gen-gen yang mengendalikan daya hasil maupun daya adaptasi tanaman terhadap cekaman. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan genotipe gandum yang toleran terhadap cekaman suhu tinggi dan mendapatkan informasi tentang parameter genetik serta kemajuan genetik dari populasi mutan yang diseleksi dengan metode shuttle breeding.
129
BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Iradiasi sinar gamma dilaksanakan di Laboratorium Batan, Pasar Jum’at, Jakarta.
Penelitian terbagi atas dua tahap yaitu a). seleksi pedigree populasi
generasi M3 pada kondisi optimum dan kondisi cekaman terhadap cekaman suhu tinggi, b) seleksi pedigree populasi generasi M4 terhadap cekaman suhu tinggi Penelitian berlangsung mulai Juni - Desember 2011. Seleksi Populasi M3 pada Kondisi Optimal dan Cekaman Suhu Tinggi Benih gandum yang diuji adalah benih gandum turunan Kedua (M3) dari hasil iradiasi sinar gamma dari galur (Basribey, Kasifbey, OASIS SKAUZ//4*BCN, RABE/MO 88) dan varietas (Selayar dan Dewata). Penelitian dilaksanakan di dua elevasi yaitu elevasi >1000 m dpl di kebun percobaan Balithi Cipanas dan elevasi < 400 m dpl dikebun percobaan Seameo-Biotrop Bogor. Penelitian dilaksanakan mulai bulai Juni – September 2011. Pengolahan tanah sampai siap tanam dilakukan dua minggu sebelum tanam dalam sebuah petak tanam yang sebelumnya telah diberi pupuk kandang. Benih M3 dari masing-masing varietas/galur ditanam dalam barisan dengan jarak tanam 25 cm antar baris, benih dilarik dalam barisan. Pemupukan diberikan dua kali yaitu pada saat tanaman berumur 10 HST dengan dosis dengan dosis 150 kg.ha-1 Urea, 200 kg.ha-1 SP36 dan KCl 100 kg.ha-1 dan pemupukan kedua dengan dosis Urea 150 kg.ha-1 pada umur 30 HST.
Sebelum ditanam benih diberi insektisida
Carbaryl dan pada saat tanam lubang larikan diberi Carbofuran. Tahap penelitian ini diamati keragaman pada karakter umur berbunga (Hari), umur masak (Hari), tinggi tanaman (cm), Jumlah anakan produktif, jumlah spikelet, jumlah floret, jumlah floret hampa, panjang malai (cm), jumlah biji /malai (g), bobot biji/malai, bobot 1000 biji (g), kehijauan daun. Turunan M3 ini akan dilakukan seleksi pedigree berdasarkan penampilan morfologi tanaman yang mampu beradaptasi baik pada kondisi optimum maupun yang mengalami cekaman suhu tinggi dan di identifikasi barisan-barisan yang unggul, kemudian diseleksi beberapa tanaman yang paling baik dari masing-masing varietas untuk dilanjutkan penanaman pada M4.
130
Seleksi Pedigree Populasi M4 terhadap Cekaman Suhu Tinggi Benih gandum yang diuji adalah benih M4 gandum genotip mutan hasil seleksi dari M3 yang berasal dari iradiasi sinar gamma 300 gray dari varietas/galur (Basribey, Kasifbey, OASIS SKAUZ//4*BCN, RABE/MO 88) dan varietas (Selayar dan Dewata).
Penelitian disusun dalam rancangan augmented dimana
perlakuan kontrol varietas/galur ditanam di dalam petakan dari perlakuan dosis iradiasi. Benih M4 yang terpilih berasal dari dua elevasi yaitu elevasi > 1000 m dpl dan elevasi < 400 m dpl. Dari enam varietas/galur yang diiradiasi masing-masing terpilih 50 malai M4 dari setiap elevasi, sehingga terdapat 300 malai M4 yang terpilih yang mewakili elevasi dari enam varietas/galur yang diiradiasi. Sehingga jumlah malai yang terpilih secara keseluruhan adalah 600 malai dari populasi M4. Setiap malai ditanam dalam barisan dengan jarak tanam 25 cm antar baris sepanjang 2.5 m, benih dilarik dalam barisan. Pemupukan diberikan dua kali yaitu pada saat tanaman berumur 10 HST dengan dosis dengan dosis 150 kg.ha-1 Urea, 200 kg.ha-1 SP36 dan KCl 100 kg.ha-1 dan pemupukan kedua dengan dosis Urea 150 kg.ha-1 pada umur 30 HST. Sebelum ditanam benih diberi insektisida Carbaryl dan pada saat tanam lubang larikan diberi Carbofuran. Tahap penelitian ini diamati keragaman pada karakter umur berbunga (Hari), umur masak (Hari), tinggi tanaman (cm), Jumlah anakan produktif, jumlah spikelet, jumlah floret, jumlah floret hampa, panjang malai (cm), jumlah biji /malai (g), bobot biji/malai, bobot 1000 biji (g), kehijauan daun. Kemajuan genetik (KG) dihitung berdasarkan metode yang dikemukakan oleh Singh dan Chaudhary (1985). KG = h. i . ζp Dimana, h
= Heritabilitas dalam arti luas
i
= Intensitas seleksi dalam satuan baku. Pada intensitas seleksi 5% nilai i = 2,06 (Fehr, 1987)
ζp
= Akar varians fenotip
Dengan kriteria KG sebagai berikut : 0,00 – 3,30 % = Rendah; 3,31 – 6,60 % = Agak rendah; 6,61 – 10,00 % = Agak tinggi; > 10,00 % = Tinggi
131
HASIL DAN PEMBAHASAN Seleksi Populasi M3 pada Kondisi Optimal dan Cekaman Suhu Tinggi Penampilan pertumbuhan tanaman pada umur 30 HST kedua elevasi disajikan pada gambar 25.
Kondisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman
populasi M3 antara elevasi < 400 m dpl dan > 1000 m dpl sangat jauh berbeda. Elevasi < 400 m dpl (Bogor) pada saat pertanaman hingga populasi tanaman M3 berumur 30 HST tidak pernah turun hujan dengan suhu rata-rata 26oC dengan suhu maksimum 32oC berbeda dengan elevasi > 1000 m dpl (Cipanas) suhu ratarata 20.7oC (Gambar 25 A dan B).
A
C
B
D
Gambar 25 Penampilan populasi tanaman M3 gandum hasil irradiasi sinar gamma di lokasi cekaman suhu tinggi (Bogor A dan C) dan lokasi optimum (Cipanas B dan D)
132
Perkembangan selanjutnya sebagian populasi tanaman M3 elevasi < 400 m dpl yang diiradiasi yang tidak mampu bertahan terhadap cekaman suhu tinggi mengalami kematian seperti terlihat pada Gambar 25 C, sedangkan di Cipanas yang dengan suhu lebih rendah, genotipe gandum memperlihatkan penampilan pertumbuhan yang sangat baik dan seragam (Gambar 25 D).
Penyebab utama
tertekannya pertumbuhan dan perkembangan populasi tanaman M3 di elevasi < 400 m dpl adalah cekaman suhu tinggi.
Suhu optimal pertumbuhan hingga
pengisian bulir gandum berada antara 19.3oC dan 22.1oC. Salah satu pengaruh peningkatan suhu pada gandum adalah terjadinya perubahan tahapan fenologi yang lebih awal. Nilai tengah karakter agronomi populasi M3 disajikan pada Tabel 47. Penampilan populasi tanaman M3 di elevasi > 1000 m dpl lebih baik dibandingkan di elevasi < 400 m dpl.
Karakter tinggi tanaman dari populasi M3Basribey,
M3Selayar, M3Rabe dan M3Dewata hasil iradiasi mengalami perubahan nilai tengah paling tinggi dibanding M3Oasis dan M3Kasifbey. Karakter panjang malai populasi generasi M3Kasifbey dan M3Basribey mengalami perubahan nilai tengah paling tinggi dibanding M3Oasis, M3Selayar, M3Rabe dan M3Dewata. Karakter jumlah spikelet populasi M3Oasis M3Kasifbey, dan M3Rabe hasil iradiasi memiliki perubahan nilai tengah paling tinggi dibanding M3Basribey, M3Selayar dan M3Dewata. Karakter jumlah floret hampa dari semua populasi generasi M3 memiliki perubahan nilai tengah yang paling tinggi diantara semua karakter yang diamati baik di elevasi < 400 m dpl (Bogor) maupun di elevasi > 1000 m dpl (Cipanas) (Tabel 48). Mutasi pada gandum yang disertai dengan seleksi dapat menghasilkan peningkatan nilai tengah pada karakter yang diamati dibandingkan populasi tanaman kontrol (Kusaksiz & Dere 2010). Peningkatan nilai tengah karakter agronomi pada populasi generasi M 3 dari galur dan varietas yang diiradiasi berbeda baik di elevasi < 400 m dpl maupun di elevasi > 1000 m dpl, namun semua karakter agronomi di elevasi < 400 m dpl mengalami penghambatan pertumbuhan dan perkembangan dibanding di elevasi > 1000 m dpl. Diduga penyebab utama penghambatan pertumbuhan dan perkembangan semua karakter agronomi dan penurunan hasil gandum di elevasi < 400 m dpl adalah adanya cekaman suhu tinggi. Populasi tanaman M3
133
dari Oasis merupakan populasi yang mampu beradaptasi pada kondisi cekaman suhu tinggi dibandingkan populasi M3 lainnya hasil iradiasi berdasarkan karakter jumlah floret hampa, jumlah anakan produktif, bobot biji/malai, jumlah biji/malai, bobot biji/tanaman dan jumlah biji/tanaman. Tabel
47.
Elevasi <400 m dpl 1000 m dpl <400 m dpl 1000 m dpl <400 m dpl 1000 m dpl <400 m dpl 1000 m dpl <400 m dpl 1000 m dpl <400 m dpl 1000 m dpl <400 m dpl 1000 m dpl <400 m dpl 1000 m dpl <400 m dpl 1000 m dpl <400 m dpl 1000 m dpl
Nilai tengah karakter agronomi populasi M3 hasil iradiasi sinar gamma di Bogor dan Cipanas. Populasi Iradiasi M3 M3Oasis M3Kasifbey M3Basribey M3Rabe M3Selayar ----------- Kehijauan Daun ----------42.1±3.7 43.1±7.9 42.7±5.2 39.6**±7.1 43.6±4.7 * ** 49.2 ±5.1 48.5 ±5.1 44.9±4.0 50.0±5.2 50.2**±5.6 ----------Tinggi Tanaman (cm) -------62±10.5 56±12.6 62**±8.9 44*±8.9 60**±9.8 ** ** ** ** 69.1 ±7.3 77 ±11.9 83 ±10 80 ±12 72**±8.1 ----------- Panjang Malai (cm) -----------6.8**±1.2 6.8**±1.2 7.1*±1.1 5.1±1.3 6.6**±1.1 8.6±1.2 8.8**±1.1 9.4**±1.4 9.7**±1.5 8.4±1.0 ----------Jumlah spikelet ----------14.0**±2.6 13.8*±2.5 13.9±2.4 10.3±2.7 13.6**±2.2 ** ** ** 21.2 ±2.0 21.9 ±1.4 22.4 ±1.7 20.9**±2.3 21.3**±2.1 ------- Jumlah Floret Hampa -------10.1**±6.5 12.2**±6.2 20.2**±10.5 13.0**±6.7 11.4**±6.0 23.5**±9.6 27.4**±10 31.2**±10.7 28.8**±11 27.9**±12 -------- Jumlah Anakan Produktif ---------1.9±1.3 1.5**±1.1 1.5*±0.9 0.2±0.5 1.3±0.9 4.9±1.2 5.4±1.0 5.4*±1.1 5.3**±1.5 5.1±1.5 --------- Bobot biji/Malai (g) ----------0.9**±0.3 0.9**±0.3 0.6**±0.3 0.5**±0.3 0.9**±0.3 1.6±0.3 1.7±0.5 1.4±0.4 1.5±0.5 1.3±0.3 -------- Jumlah Biji/Malai --------32**±10.8 29**±9.3 21**±9.1 18**±9.1 29**±9.0 ** 40.2±9.4 38.4 ±9.9 36±10 34±9.1 35.9**±10 ---------- Bobot Biji/Tanaman (g) -------2.9±2.2 2.3**±1.7 1.7**±1.2 0.7**±0.7 2.1±1.3 ** ** ** ** 9.6 ±2.7 10.7 ±3.0 9.2 ±2.9 9.8 ±3.9 9.8**±3.9 ---------- Jumlah Biji/Tanaman -----------106**±76 78±52 56**±36 25*±22 72**±44 * 215.9±80 244.1±67 232.4 ±78 215.9±80 219.9*±82
M3Dewata 41.8*±4.1 47.0*±4.3 61**±10.8 72**±10.4 6.8±5.0 10.7**±1.8 13.1±2.6 21.6**±2.5 13.1**±6.8 25.7*±12.8 0.9±0.7 4.9±1.4 0.7**±0.3 1.3±0.3 26**±9.3 39±11.9 1.5±1.0 9.8**±3.9 53**±34 232.2±89
Populasi hasil iradiasi di Bogor menunjukkan respon yang beragam. Hal ini disebabkan karena populasi generasi M3 ini masih heterogen disamping itu tingginya tingkat cekaman suhu yang disertai dengan ketersediaan air kurang menyebabkan beberapa individu tanaman dalam populasi tidak dapat bertahan hidup (Gambar 25 C).
Komponen ragam dan keragaman karakter kehijauan
134
daun, tinggi tanaman, panjang malai dan jumlah spikelet/malai gandum populasi M3 hasil iradiasi sinar gamma di Bogor dan Cipanas disajikan pada Tabel 48. Tabel 48. Komponen ragam dan keragaman karakter kehijauan daun, tinggi tanaman, panjang malai dan jumlah spikelet/malai gandum populasi M3 hasil iradiasi sinar gamma di Bogor dan Cipanas Populasi M3 Hasil Iradiasi sinar gamma (300 gy) M3O M3K M3B M3S M3R M3D Bogor ------ Kehijauan Daun -----ζ2p (ragam fenotip) 13.40 62.64 26.75 50.05 22.56 16.55 ζ2g (ragam genetik 1.51 47.34 10.23 38.50 3.56 5.74 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.11 0.76 0.38 0.77 0.16 0.35 SM L SM L SM KKg(Keragaman genetik) 3.58 109.91 23.97 97.12 8.17 13.75 SM Cipanas ζ2p (ragam fenotip) 26.17 25.54 16.30 26.71 31.62 18.59 ζ2g (ragam genetik 8.96 -0.10 -2.14 1.30 -6.56 -12.70 H2 (Heritabilitas) 0.34 0.00 -0.13 0.05 0.00 0.00 KKg(Keragaman genetik) 18.2SM -0.22 SM -4.78 SM 2.61 SM -13.1SM -27.02 SM Bogor ------ Tinggi Tanaman (cm) ------ζ2p (ragam fenotip) 110.70 157.55 79.36 79.67 95.87 117.19 ζ2g (ragam genetik 38.14 93.45 22.82 55.33 39.05 66.09 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.34 0.59 0.29 0.69 0.41 0.56 KKg(Keragaman genetik) 61.14L 167.4 L 36.57SD 124.5 L 65.4 L 108.6L Cipanas ζ2p (ragam fenotip) 53.86 141.88 104.68 137.25 65.59 107.96 ζ2g (ragam genetik -4.35 29.45 -5.55 28.84 18.48 -44.11 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.00 0.21 0.00 0.21 0.28 0.00 KKg(Keragaman genetik) -6.3SM 38.39SD -6.66 S 35.9SD 25.6SD -60.93 SM Bogor ------ Panjang Malai (cm) -----2 ζ p (ragam fenotip) 1.53 1.32 1.17 1.75 1.21 24.57 ζ2g (ragam genetik -0.15 0.03 -0.41 0.23 -0.59 23.33 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.00 0.02 0.00 0.13 0.00 0.95 KKg(Keragaman genetik) -2.2SM 0.40 SM -5.78SM 4.5SM -8.9SM 344.15 L Cipanas ζ2p (ragam fenotip) 1.38 1.17 1.90 2.33 1.07 3.14 2 ζ g (ragam genetik 0.03 -0.65 -0.68 0.03 -0.26 -0.78 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.02 0.00 0.00 0.01 0.00 0.00 KKg(Keragaman genetik) 0.39SM -7.38 SM -7.2SM 0.35SM -3.1SM -7.30 SM Bogor ------ Jumlah spikelet/Malai -----ζ2p (ragam fenotip) 6.76 6.03 5.78 7.12 4.73 7.00 2 ζ g (ragam genetik -0.27 0.72 -0.97 -0.87 -3.07 2.04 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.00 0.12 0.00 -0.12 0.00 0.29 KKg(Keragaman genetik) -1.9SM 5.2SM -6.98SM -8.4SM -22.7SM 15.6 M Cipanas ζ2p (ragam fenotip) 3.90 2.10 2.73 5.07 4.52 6.08 ζ2g (ragam genetik -7.83 -4.04 -10.42 -8.86 -3.04 -8.29 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 SM SM SM SM SM KKg(Keragamangenetik) -36.9 -18.4 -46.5 -42 -14 -38.4SM Keterangan : M3O : M3Oasis; M3K : M3Kasifbey; M3B : M3Basribey; M3R : M3Rabe; M3S : M3Selayar; M3D : M3Dewata; L : Keragaman genetik dalam arti luas; SD : Keragaman genetik dalam arti sedang; SM : Keragaman genetik dalam arti sempit Komponen Ragam
135
Informasi tentang keragaman yang disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan dan koefisien keragaman genetik dapat mempermudah dalam menyeleksi suatu karakter kearah yang lebih baik. Hasil pendugaan komponen ragam, nilai hertabilitas dan keragaman genetik disajikan pada Tabel 48, 49 dan 50. Keragaman genetik dari galur/varietas yang diiradiasi dengan sinar gamma tergantung pada karakter agronomi yang diamati. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa karakter kehijauan daun populasi generasi M3 di elevasi < 400 m dpl (kondisi cekaman suhu) yang memperlihatkan keragaman genetik luas dengan nilai hertabilitas tinggi adalah dari populasi M3Kasifbey dan M3Selayar, sedangkan untuk karakter tinggi tanaman, keragaman genetik luas dan nilai hertabilitas tinggi diperoleh pada populasi M3Kasifbey, M3Selayar dan M3Dewata.
Untuk karakter panjang malai, hanya populasi
M3Dewata yang menunjukkan keragaman genetik dan nilai hertabilitas tinggi. Populasi M3Basribey memiliki keragaman genetik luas dan heritabilitas tinggi hanya pada karakter jumlah floret hampa. Karakter jumlah biji/malai memiliki keragaman genetik luas dengan nilai hertabilitas tergolong sedang dapat diamati pada populasi tanaman M3Kasifbey, M3Selayar dan M3Dewata. Demikian halnya populasi M3Kasifbey, M3Selayar dan M3Rabe memiliki keragaman genetik luas dengan heritabilitas sedang, kecuali M3Dewata memiliki keragaman genetik luas dan heritabilitas tinggi. Sementara karakter lainnya di elevasi < 400 m dpl (Bogor) umumnya memiliki keragaman genetik dari sempit – sedang, demikian juga nilai hertabilitas tergolong rendah – sedang. Keragaman genetik sifat toleransi terhadap suhu tinggi ditemukan pada gandum lokal (Hede et al. 1999) dan kerabat liarnya (Yang et al. 2002). Gandum liar dengan genom D mempunyai kemampuan untuk bertahan lebih tinggi pada musim panas di daerah temperate dibandingkan gandum yang hanya memiliki genom A atau B (Ehdaie dan Waines 1992 dalam Yang et al 2002). Populasi generasi M3 yang konsisten memperlihatkan keragaman genetik luas dengan nilai hertabilitas tinggi pada karakter kehijauan daun, tinggi tanaman, jumlah biji/malai dan jumlah biji/tanaman di Bogor adalah Kasifbey dan Selayar.
136
Tabel 49. Komponen ragam dan koefisien keragaman genetik karakter jumlah floret hampa, jumlah anakan produktif, bobot biji/malai dan jumlah biji/malai gandum populasi M3 hasil iradiasi sinar gamma di Bogor dan Cipanas Komponen Ragam
Populasi M3 Hasil Iradiasi sinar gamma (300 gy) M3K M3B M3S M3R M3D ----- Jumlah floret Hampa -----42.24 38.10 109.93 44.76 36.26 45.96 8.26 -13.22 74.56 -14.28 -7.62 -2.33 0.20 0.00 0.68 0.00 0.00 0.00 81.9 L -108SM 369.84 L -109SM -67 SM -17 SM
M3O
Bogor ζ2p (ragam fenotip) ζ2g (ragam genetik H2 (Heritabilitas arti luas) KKg(Keragaman genetik) Cipanas ζ2p (ragam fenotip) 92.68 105.61 113.91 120.06 145.99 163.04 ζ2g (ragam genetik -44.73 9.12 26.34 -3.17 28.77 -56.23 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.00 0.09 0.23 0.00 0.20 0.00 KKg(Keragaman genetik) -190SM 33.27 84.40 L -11SM 103.2L -219SM Bogor ----- Jumlah anakan produktif ----ζ2p (ragam fenotip) 1.78 1.19 0.90 0.22 0.86 0.48 2 ζ g (ragam genetik 0.34 -0.27 -0.43 -0.09 -0.27 -0.09 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.19 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 KKg(Keragaman genetik) 18SM -19 SM -28SM -36SM -21SM -9.6SM Cipanas ζ2p (ragam fenotip) 1.37 0.97 1.19 2.24 2.36 2.03 ζ2g (ragam genetik -0.48 -3.34 -3.21 -0.35 -0.85 -3.34 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 KKg(Keragaman genetik) -9.9SM -61.9SM -59.2SM -6.6SM -17 SM -68 SM Bogor ----- Bobot biji/Malai ----ζ2p (ragam fenotip) 0.11 0.10 0.09 0.10 0.09 0.09 ζ2g (ragam genetik 0.04 0.03 0.02 0.04 0.02 0.04 2 H (Heritabilitas arti luas) 0.37 0.25 0.22 0.45 0.26 0.40 KKg(Keragaman genetik) 4.40SM 2.99SM 3.14SM 8.52SM 2.93SM 4.84SM Cipanas ζ2p (ragam fenotip) 0.11 0.21 0.13 0.21 0.10 0.10 ζ2g (ragam genetik -0.07 0.00 -0.02 0.06 -0.01 -0.01 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.00 0.00 0.00 0.27 0.00 0.00 SM SM SM SM SM KKg(Keragaman genetik) -4.5 -0.2 -1.7 3.7 -0.4 -0.4 SM Bogor ----- Jumlah biji/Malai ----ζ2p (ragam fenotip) 117.50 87.21 83.43 82.77 81.43 86.10 ζ2g (ragam genetik 38.40 21.65 -8.35 31.18 7.28 25.63 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.33 0.25 0.00 0.38 0.09 0.30 KKg(Keragaman genetik) 120L 74 L -39SM 174L 25SD 98.07 L Cipanas ζ2p (ragam fenotip) 88.88 98.12 103.21 82.28 102.04 140.92 ζ2g (ragam genetik -13.02 -49.48 -10.63 -8.16 4.17 -65.21 H2 (Heritabilitas arti luas) 0.00 0.00 0.00 0.00 0.04 0.00 KKg(Keragaman genetik) -33 SM -129SM -30SM -24SM 12 SM -167SM Keterangan : M3O : M3Oasis; M3K : M3Kasifbey; M3B : M3Basribey; M3R : M3Rabe; M3S : M3Selayar; M3D : M3Dewata; L : Keragaman genetik dalam arti luas; SD : Keragaman genetik dalam arti sedang; SM : Keragaman genetik dalam arti sempit
137
Tabel 50.
Komponen ragam dan keragaman karakter bobot biji/tanaman dan jumlah biji/tanaman gandum populasi M3 hasil iradiasi sinar gamma di Bogor dan Cipanas
Komponen Ragam
Populasi M3 Hasil Iradiasi sinar gamma (300 gy) M3K M3B M3S M3R M3D ----- Bobot biji/Tanaman (g) ----4.69 2.78 1.36 0.52 1.79 0.98 1.32 -0.19 -1.96 -0.19 -0.11 0.39 0.28 -0.07 -1.44 -0.37 -0.06 0.40 45 SD -8.5SM -116SM -27 SM -5.5SM 27 SD
M3O
Bogor ζ2p (ragam fenotip) ζ2g (ragam genetik H2 (Heritabilitas) Kkg (Keragaman genetik) Cipanas ζ2p (ragam fenotip) 7.31 9.15 8.49 14.95 14.95 14.95 ζ2g (ragam genetik -1.05 -7.23 -8.09 5.92 6.89 -8.46 2 H (Heritabilitas) -0.14 -0.79 -0.95 0.40 0.46 -0.56 Kkg (Keragaman genetik) -11SM -67 SM -88 SM 61L 71L -87SM Bogor ----- Jumlah biji/Tanaman -----ζ2p (ragam fenotip) 5746.3 2705.9 1293.2 465.85 2005.8 1125.2 ζ2g (ragam genetik 2834.9 222.1 -2016 175.32 441.73 594.08 2 H (Heritabilitas) 0.49 0.08 -1.56 0.38 0.22 0.53 Kkg (Keragaman genetik) 2687L 283L -3593SM 715L 618L 1125L Cipanas ζ2p (ragam fenotip) 6410.5 4472.3 6078.7 6410.5 6731.5 7846.9 ζ2g (ragam genetik -443.4 -11282 -10079 -443.4 -2237 -7553 2 H (Heritabilitas) -0.07 -2.52 -1.66 -0.07 -0.33 -0.96 SM -4623SM -4338SM -205SM -1017SM -3253SM Kkg (Keragaman genetik) -205 Keterangan : M3O : M3Oasis; M3K : M3Kasifbey; M3B : M3Basribey; M3R : M3Rabe; M3S : M3Selayar; M3D : M3Dewata; L : Keragaman genetik luas; SD : Keragaman genetik sedang; SM : Keragaman genetik sempit
Pada elevasi > 1000 m dpl (Cipanas), keragaman genetik dan nilai duga hertabilitas dalam arti luas dari karakter yang diamati umumnya rendah hingga sedang. Keragaman genetik luas dan nilai duga hertabilitas arti luas yang tinggi hanya terlihat pada karakter bobot biji/tanaman pada populasi tanaman M3Selayar dan M3Rabe, sedangkan karakter jumlah floret hampa pada populasi tanaman M3Rabe memperlihatkan keragaman genetik luas, namun nilai duga hertabilitas arti luas sedang. Hasil ini menunjukkan bahwa seleksi yang dilakukan pada kondisi optimum (Cipanas) hanya didukung oleh nilai hertabilitas dan keragaman genetik yang rendah dibandingkan dengan seleksi yang dilakukan pada kondisi cekaman suhu tinggi. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilaporkan Hanafiah (2012) pada populasi generasi M3, bahwa seleksi yang dilakukan pada kondisi optimum memiliki nilai hertabilitas dan keragaman genetik yang tinggi dibandingkan seleksi langsung pada kondisi cekaman kekeringan.
Tingginya
keragaman genetik dan nilai hertabilitas populasi generasi M3 pada beberapa
138
karakter yang diamati pada kondisi cekaman suhu tinggi (Bogor) menunjukkan bahwa populasi generasi M3 masih memiliki tingkat segregasi yang tinggi. Menurut Blum (2005) bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi nilai hertabilitas pada karakter yang diamati pada kondisi lingkungan bercekaman yaitu adanya gen-gen ketahanan terhadap cekaman pada populasi yang diuji dan akan efektif jika dilakukan pada kondisi cekaman dan tingkat kehomogenan kondisi cekaman dimana seleksi dilakukan. Cekaman suhu tinggi merupakan cekaman yang terjadi secara terus menerus mulai dari awal pertumbuhan hingga panen dengan tingkat cekaman sangat fluktuatif, hal ini juga menyebabkan respon genotipe yang diuji sangat beragam. Seleksi pada lingkungan homogen pada kondisi cekaman suhu tinggi, akan menghasilkan nilai duga hertabilitas yang lebih baik dibandingkan nilai hertabilitas pada lingkungan yang tidak homogen (Blum 2005) Tabel 51 menunjukkan bahwa seleksi terhadap karakter jumlah biji/malai dan jumlah biji/tanaman dari populasi M3 pada cekaman suhu tinggi (Bogor) menghasilkan nilai tengah tertinggi pada populasi generasi M3 Oasis dengan nilai tengah masing-masing 42.7 dan 178 dari nilai tengah populasi dasar 32.3 dan 105.5. Jika dibandingkan dengan populasi kontrol dengan nilai tengah masingmasing hanya 22.0 dan 73.7. Selain itu populasi M3 yang juga memiliki jumlah biji/malai dan jumlah biji/tanaman adalah Populasi generasi M3Kasifbey dengan nilai tengah masing-masing 38.5 dan 125.4 dari populasi dasar 29.3 dan 78.4 serta lebih tinggi dibandingkan populasi kontrol dengan nilai tengah hanya 23.1 dan 74.2. Seleksi pada kondisi optimum (Cipanas) terhadap karakter jumlah biji/malai genotipe terpilih dengan nilai tengah tertinggi adalah populasi generasi M3Dewata diikuti oleh M3 Oasis dengan nilai tengah masing-masing 51.8 dan 49.9 dari populasi dasar 39.2 dan 40.2 dan lebih tinggi jika dibandingkan dengan populasi kontrol hanya 37.2 dan 37.4, sedangkan untuk karakter jumlah biji/tanaman populasi generasi M3 hasil iradiasi yang memiliki nilai tengah tertinggi adalah populasi generasi M3Kasifbey dan diikuti oleh populasi generasi M3Dewata dengan nilai masing-masing 300.1 dan 301.1 dari populasi dasar 244.1 dan 232.1 lebih tinggi dibandingkan dengan populasi kontrol yaitu 223.6 dan
139
219.6. Seleksi individu tanaman terpilih berdasarkan karakter jumlah biji/malai dan jumlah biji/tanaman pada generasi M3 pada lingkungan cekaman suhu tinggi menyebabkan perbaikan nilai tengah genotipe terpilih dibandingkan dengan nilai tengah populasi dasar dari masing-masing populasi galur. Nilai kemajuan genetik (nilai diferensial seleksi) disertai dengan nilai duga hertabilitas yang sedang pada karakter jumlah biji/malai dan jumlah biji/tanaman dipengaruhi oleh interaksi genotipe x cekaman lingkungan. Tabel 51.
Elevasi
Kemajuan genetik akibat seleksi genotipe gandum generasi M3 pada kondisi optimum dan cekaman suhu tinggi Galur/ Genotipe
Populasi Hasil Iradiasi Generasi M3 PK
PD
GT
DS
PK
PD
GT
DS
Jumlah Biji/Malai Jumlah Biji/Tanaman Oasis 22.0 73.7 M3Oasis 32.3 42.7 10.3 105.5 178.6 73.0 1000 m dpl Oasis 37.4 211.1 M3Oasis 40.2 49.9 9.7 215.9 233.9 18.0 <400 m dpl Kasifbey 23.1 74.2 M3Kasifbey 29.3 38.5 9.2 78.4 125.4 47.1 1000 m dpl Kasifbey 34.2 223.6 M3Kasifbey 38.4 48.3 9.9 244.1 301.1 57.0 <400 m dpl Basribey 30.3 93.1 M3Basribey 21.4 21.6 0.1 56.1 54.3 -1.9 1000 m dpl Basribey 37.8 267.5 M3Basribey 36.0 46.1 10.1 232.4 294.7 62.4 <400 m dpl Selayar 13.1 17.6 M3Selayar 18.0 26.1 8.1 24.5 40.9 16.4 1000 m dpl Selayar 33.5 197.0 M3Selayar 34.1 43.2 9.1 215.9 274.5 58.6 <400 m dpl Rabe 18.7 50.1 M3Rabe 29.3 38.2 8.9 71.5 108.0 36.6 1000 m dpl Rabe 32.5 193.9 M3Rabe 36.0 40.3 4.4 219.9 231.7 11.8 <400 m dpl Dewata 17.1 33.5 M3Dewata 26.1 36.6 10.5 52.8 85.9 33.1 1000 m dpl Dewata 37.2 219.6 M3Dewata 39.2 51.8 12.6 232.2 300.1 67.9 Keterangan : PK : Populasi control; PD : Populasi Dasar; GT : Genotipe terpilih; DS : Diferensial seleksi <400 m dpl
140
Seleksi Pedigree populasi M4 terhadap cekaman suhu tinggi Dari evaluasi lanjut generasi M4 yang tepilih dari lingkungan bercekaman (suhu tinggi di Bogor ) dan lingkungan optimum (Cipanas) masing-masing terpilih 50 malai dari enam populasi galur yang diiradiasi sinar gamma. Total populasi generasi M4 yang dilanjutkan 600 galur terpilih.
Berdasarkan hasil
penelitian menunjukkan bahwa dari 600 galur mutan generasi M4 yang dapat bertahan hidup hingga berproduksi hanya 498 galur mutan. Sebanyak 102 galur mutan yang ditanam tidak dapat bertahan hidup hingga berproduksi. Dari 498 galur mutan yang bertahan hidup di Bogor terdapat 250 galur mutan yang berasal dari Cipanas dan 248 galur mutan yang berasal dari Bogor. Penampilan populasi mutan generasi M4 di lapangan disajikan pada gambar 26.
A
B
C
D
Gambar 26 (A) Populasi mutan generasi M4 terpilih toleran suhu tinggi, (B) populasi mutan generasi M4 tidak dapat bertahan hidup pada cekaman suhu tinggi (C) populasi mutan generasi M4 menjelang panen dan (D) penampilan hamparan populasi mutan generasi M4 .
141
Berdasarkan Tabel 52, memperlihatkan bahwa umumnya perubahan nilai tengah karakter dari karakter yang diamati pada populasi mutan yang diseleksi secara langsung pada lingkungan target (Bogor) mulai generasi M2 hingga generasi M4 tidak begitu berbeda jika dibandingkan perubahan nilai tengah populasi mutan yang diseleksi dengan metode shuttle breeding (seleksi dilakukan secara bertahap terhadap lingkungan target). Hal ini menunjukkan bahwa metode seleksi untuk mendapatkan galur yang toleran terhadap lingkungan bercekaman, khususnya cekaman suhu tinggi di agroekosistem tropis dapat dilakukan secara langsung pada lingkungan target atau secara bertahap. Kelebihan seleksi secara bertahap (shuttle breeding) jika tingkat cekaman tinggi populasi tanaman materi genetik yang di miliki masih ada yang dapat dipertahankan. Ceccareli et al. (2007) dalam Wirnas (2007) seleksi untuk perbaikan toleransi cekaman harus dilakukan di lingkungan target sehingga dapat memaksimalkan ekspresi gen – gen yang mengendalikan daya adaptasi tanaman. Jika melihat perubahan nilai tengah mutan (Tabel 53) secara keseluruhan pada keragaan karakter agronomi yang diamati pada populasi mutan generasi M4 menunjukkan adanya perbaikan nilai tengah pada beberapa karakter, walaupun perbaikan tersebut tidak begitu signifikan. Perbaikan karakter nampak terlihat pada karakter jumlah biji/malai dibandingkan dengan Rabe dan Selayar, untuk karakter jumlah biji/tanaman perbaikan nampak pada Selayar, Rabe, Kasifbey dan Basribey. Umumnya perbaikan nilai tengah pada semua karakter diperlihatkan pada turunan Rabe. Galur Rabe merupakan salah satu galur yang di identifikasi sebagai galur yang sangat peka terhadap cekaman suhu tinggi, sedangkan varietas Selayar merupakan varietas yang medium toleran.
139 142
Tabel 52. Nilai tengah karakter agronomi 499 galur mutan turunan dari Dewata, Selayar, Oasis, Rabe, Kasifbey dan Basribey pada kondisi cekaman suhu tinggi Galur Karakter Bobot biji/petak Jumlah biji/malai Bobot biji/malai Bobot biji/tanaman Jumlah biji/tanaman Jumlah spikelet hampa Jumlah floret hampa Jumlah floret Kehijauan daun Umur berbunga Umur panen Tinggi tanaman Panjang malai Jumlah spikelet Jumlah anakan produktif
Cipanas 6.7±6.4 24.0±8.5 0.5±0.2 2.0±1.4 94±63 9.9±7.6 18.4±7.9 42.3±7.3 44.6±3.9 61.9±5.3 90.6±4.7 54.7±8.1 7.2±0.9 14.1±2.4 3.8±2.0
Bogor 7.1±6.3 24.3±8.1 0.5±0.2 2.2±1.5 106±67 10.1±7.0 18.5±6.7 42.8±6.9 44.9±3.9 62.0±4.2 91.2±4.1 55.1±7.8 7.5±2.8 14.3±2.3 4.2±2.0
Nilai tengah Mutan
Dewata
Selayar
Oasis
Rabe
6.9±6.4 24.1±8.4 0.5±0.22 2.1±1.5 100±65 9.9±7.4 18.5±7.5 42.6±7.1 44.8±3.9 61.9±4.8 90.9±4.4 54.9±7.9 7.4±2.1 14.2±2.4 4.0±2.0
6.7±0.6 26.7±0.2 0.5±0.0 2.8±0.4 129.2±0.0 9.5±0.9 21.3±2.5 48.2±2.3 45.7±1.1 62.3±0.2 92.3±0.2 55.1±5.2 7.4±0.5 16.1±0.8 5.4±0.5
6.6±2.2 22.6±1.8 0.5±0.1 2.0±0.1 92.1±1.4 10.3±0.2 20.0±1.6 41.1±1.2 44.0±3.3 61.0±2.8 92.3±1.7 50.8±0.9 7.0±0.4 13.4±1.1 3.5±0.0
14.8±6.2 31.7±1.7 0.6±0.1 4.0±0.1 176.0±0.0 19.0±0.6 12.6±0.8 46.8±0.2 45.7±0.8 61.4±1.7 92.0±0.8 53.8±1.8 7.3±0.3 15.6±0.2 4.9±0.1
9.9±0.7 14.6±1.3 0.3±0.1 0.9±0.1 48.6±0.0 1.2±0.2 26.5±1.9 38.3±1.8 43.3±3.6 58.0±0.8 91.7±1.9 45.3±9.1 6.1±1.1 11.4±2.0 2.7±0.4
Kasifbey Basribey 4.7±0.1 20.2±0.7 0.5±0.0 2.1±0.2 81.5±0.0 6.3±3.2 18.5±2.3 40.3±2.9 44.3±0.8 58.1±2.3 87.4±3.9 56.3±0.3 7.1±0.5 13.9±1.2 4.4±0.2
4.0±1.0 24.0±2.0 0.4±0.1 1.9±0.3 93.6±0.0 9.1±1.6 19.2±0.8 44.7±1.2 43.7±0.6 62.3±0.9 91.0±0.7 54.5±3.0 7.6±0.3 14.9±0.4 4.4±0.0
140
Tabel 53.
Ragam genetik, heritabilitas, dan koefisien keragaman genetik karakter agronomi 499 galur mutan turunan dari Dewata, Selayar, Oasis, Rabe, Kasifbey dan Basribey pada kondisi cekaman suhu tinggi
Karakter Agronomi Bobot Biji/petak Jumlah Biji/Malai Bobot Biji/Malai Bobot Biji/Tanaman Jumlah Biji/Tanaman Jumlah Spikelet Hampa Jumlah Floret hampa Jumlah floret Kehijauan Daun Umur Berbunga Umur Panen Tinggi Tanaman Panjang Malai Jumlah Spikelet Jumlah Anakan Produktif
ζ2 e 16.2 33.7 0.0 1.0 1929 33.3 19.9 15.1 1.1 4.0 3.5 16.2 0.3 3.0 1.0
2
ζp 41.4 70.9 0.1 1.9 3930 57.6 62.9 53.4 15.6 27.7 22.4 65.0 0.9 5.9 4.0
Cipanas ζg H2 25.2 0.6 37.3 0.5 0.0 0.8 0.9 0.5 2001 0.5 24.3 0.4 43.0 0.7 38.3 0.7 14.5 0.9 23.8 0.9 18.9 0.8 48.8 0.8 0.6 0.7 3.0 0.5 3.0 0.8 2
2
KKg ζp 375.1L 39.7 155.3 L 65.7 9.1SM 0.0 SD 47.2 2.3 2134 L 4478 246.4 L 48.4 233.9 L 45.4 90.4 L 47.6 32.6 L 15.2 38.4 L 17.5 21.0SD 16.5 89.2 L 61.1 8.1 L 7.8 21.0SD 5.3 L 78.9 3.9
Bogor ζg H2 23.4 0.6 32.1 0.5 0.0 0.7 1.4 0.6 2549 0.6 15.1 0.3 25.5 0.6 32.4 0.7 14.1 0.9 13.6 0.8 13.0 0.8 44.9 0.7 7.5 1.0 2.3 0.4 3.0 0.8 2
2
2
KKg ζp ζg 330.0 L 40.5 19.4 131.9 L 70.2 40.1 5.4SM 0.0 0.0 L 61.5 2.1 1.7 2411 L 4242 3114 150.1 L 53.0 25.9 137.8 L 54.6 30.3 75.7 L 54.0 49.4 31.4 L 19.3 18.5 21.9 L 30.3 29.0 14.2SD 36.0 32.3 81.4 L 68.9 57.0 100.3 L 4.4 4.4 16.1SD 6.0 5.5 L 70.2 4.0 3.6
Gabungan ζ2 e H2 KKg 21.2 0.5 280.4 L 32.3 0.6 166.3 L 0.0 0.7 6.8 SM 0.6 0.8 79.5 L 1432 0.7 3122 L 27.8 0.5 260.5 L 22.3 0.6 164.6 L 5.2 0.9 115.9 L 0.8 1.0 41.4 L 0.9 1.0 46.8 L 3.3 0.9 35.5 L 9.6 0.8 103.8 L 0.0 1.0 59.2 L 0.6 0.9 38.6 L 0.3 0.9 88.9 L
143
141 144
Tabel 54. Nilai tengah karakter agronomi 124 galur mutan (59 hasil seleksi Cipanas) dan (65 hasil seleksi bogor) terpilih turunan dari Dewata, Selayar, Oasis, Rabe, Kasifbey dan Basribey pada kondisi cekaman suhu tinggi Karakter Bobot Biji/petak Jumlah Biji/Malai Bobot Biji/Malai Bobot Biji/Tanaman Jumlah Biji/Tanaman Jumlah Spikelet Hampa Jumlah Floret hampa Jumlah floret Kehijauan Daun Umur Berbunga Umur Panen Tinggi Tanaman Panjang Malai Jumlah Spikelet Jumlah Anakan Produktif
Galur Mutan Cipanas Bogor 16.4±5.9 15.6±5.8 29.8±7.2 30.3±5.5 0.68±0.2 0.7±0.1 3.1±1.4 3.2±1.6 138.6±68 144.3±69 14.8±6.5 15.0±5.2 15.1±7.1 15.7±6.1 44.9±6.0 45.9±4.8 44.6±4.0 44.8±4.5 62.5±6.7 61.4±3.8 90.8±3.8 91.5±3.6 58.3±7.3 58.6±7.7 7.6±0.8 7.6±0.8 15.0±2.0 15.3±1.6 4.7±2.1 4.7±1.9
Nilai Tengah Mutan 16.0±5.8 30.0±6.3 0.7±0.2 3.1±1.5 141.6±69 14.9±5.9 15.4±6.5 45.4±5.4 44.8±4.2 62.0±5.4 91.1±3.7 58.5±7.5 7.6±0.8 15.1±1.8 4.7±2.0
Dewata
Selayar
Oasis
Rabe
Kasifbey
Basribey
7.1±1.0 7.9±3.4 18.1±9.1 9.4±5.5 9.4±6.5 26.8±0.3 24.5±2.8 33.9±3.1 17.1±3.2 23.1±4.2 0.5±0.0 0.5±0.1 0.7±0.2 0.4±0.1 0.6±0.1 3.1±0.6 2.5±0.9 4.1±0.2 2.2±1.6 2.8±0.9 141.8±10 114.5±43 194.5±26 106.2±69 112.0±32 10.2±1.6 9.8±3.5 18.1±3.5 1.8±1.3 8.3±5.2 23.0±4.2 19.5±5.5 13.5±4.4 28.6±5.4 21.3±8.6 49.8±3.9 43.9±3.5 47.4±1.3 45.7±8.1 44.5±6.6 46.5±1.9 44.9±3.8 44.7±4.4 44.5±4.6 44.8±1.2 62.5±0.4 62.5±4.1 62.3±2.5 63.7±3.4 60.3±5.0 92.5±0.4 95.0±5.6 92.0±0.8 93.7±0.9 89.3±5.4 58.8±9.1 52.1±1.8 58.7±7.6 61.7±12 60.7±6.2 7.7±0.8 7.3±0.6 7.4±0.4 7.7±1.1 7.6±1.2 16.6±1.3 14.6±1.2 15.8±0.4 15.2±2.7 14.8±2.2 5.8±0.8 4.9±2.6 5.9±1.4 5.9±3.0 4.8±0.5
4.7±1.8 26.4±3.9 0.5±0.1 2.3±0.6 115.4±18 11.0±3.1 19.8±1.5 46.2±2.4 43.7±0.6 63.0±1.6 91.5±1.2 56.6±5.1 8.0±0.5 15.4±0.8 4.4±0.0
145
Hasil penelitian pada Tabel 55 menunjukkan bahwa nilai duga heritabilitas dan keragaman genetik dari generasi M4 mutan baik generasi yang berasal dari Cipanas maupun generasi mutan M4 yang diseleksi secara langsung di Bogor dan gabungannya umumnya tinggi dengan nilai masing – masing 0.5 -1.0 dan 21.9 – 3122. Karakter yang memiliki nilai duga hertabilitas tinggi, namun tidak diikuti dengan keragaman genetik yang luas adalah karakter bobot biji/malai. Tingginya nilai duga hertabilitas dan keragaman genetik memperlihatkan tingginya keragaman dari galur mutan yang di uji dan karakter-karakter tersebut lebih dominan dikendalikan oleh faktor genetik dibandingkan oleh faktor lingkungan. Seleksi pada populasi mutan generasi M4 dilakukan berdasarkan pada karakter bobot biji/petak dan jumlah biji/tanaman sehingga diperoleh populasi mutan sebanyak 124 nomor terpilih. Dari seleksi pedigree tersebut kelihatan adanya perbaikan dan peningkatan nilai tengah pada karakter bobot biji/petak, jumlah biji/malai, bobot biji/malai, bobot biji/tanaman dan jumlah biji/tanaman dibandingkan dengan varietas/galur asal Selayar Rabe, Kasifbey dan Basribey. Adapun mutan Oasis dan Dewata tidak nampak adanya perbaikan nilai tengah. Oasis merupakan salah satu galur yang diidentifikasi sebagai galur yang toleran panas, sedangkan varietas dewata pada saat evaluasi diidentifikasi sebagai varietas peka, namun pengujian dengan mutannya memperlihatkan penampilan yang berbeda pada saat pengujian pertama. Menurut Sleeper dan Poehlman (2006) bahwa efektifitas seleksi untuk mendapatkan genotipe unggul dan toleran terhadap cekaman tertentu sangat ditentukan oleh keragaman genetik populasi dan seberapa besar gen tersebut dapat diwariskan pada generasi selanjutnya.
146
SIMPULAN 1.
Penampilan populasi M3 di elevasi > 1000 m dpl lebih baik dibanding di elevasi < 400 m dpl. Populasi M3 yang memiliki perubahan nilai tengah yang paling tinggi adalah Kasifbey, Rabe dan Basribey.
2.
Keragaman genetik dan nilai duga heritabilitas elevasi < 400 m dpl (Bogor) lebih luas dan tinggi dibandingkan elevasi > 1000 m dpl Cipanas).
3.
Galur generasi M4 memiliki perbaikan nilai tengah pada karakter jumlah biji/malai lebih baik dibanding Rabe dan Selayar, demikian pula jumlah biji/tanaman lebih baik dibanding Selayar, Rabe, Kasifbey dan Basribey.
4.
Nilai duga heritabilitas dan keragaman genetik generasi M4 pada karakter yang diamati baik yang berasal dari elevasi < 400 m dpl maupun elevasi > 1000 m dpl umumnya tinggi dan luas, kecuali karakter bobot biji/malai.
5.
Terdapat 124 galur mutan memiliki potensi hasil tinggi untuk dilanjutkan pada generasi selanjutnya.
147
PEMBAHASAN UMUM Upaya pengembangan gandum di Indonesia perlu dilakukan karena sampai tahun 2012, import gandum telah mencapai 7 juta ton.
Pengembangan
gandum di Indonesia banyak menghadapi kendala , tetapi kendala yang utama adalah karena tanaman gandum merupakan tanaman yang memiliki daerah adaptasi pada lingkungan subtropis sedangkan Indonesia merupakan lingkungan tropis. Lingkungan subtropis ini umumnya memiliki empat musim, sehingga jenis gandum yang dikembangkan ada dua yaitu winter wheat (gandum musim dingin) dan spring wheat (gandum musim semi). Menurut sleeper dan Poehlman (2006) bahwa pengembangan gandum suatu daerah harus memenuhi salah satu syarat karakteristik fisiologis dari tiga karakteristik fisiologis pengembangan gandum yaitu vernalisasi, hardiness atau toleran dingin dan respon terhadap photoperiod. Gandum musim dingin (winter wheat)
merupakan gandum yang umumnya
dikembangkan di daerah subtropis dengan karakteristik
utama adalah
kemampuan tanaman tersebut untuk mengeras dan bertahan terhadap suhu dingin dengan syarat vernalisasi dan cekaman suhu dingin, namun kemampuan setiap genotipe untuk bertahan terhadap suhu dingin bervariasi dan memerlukan dengan syarat photoperiod. Indonesia sebagai lingkungan tropis memiliki karakteristik lingkungan dengan variasi suhu dengan kisaran 16 – 40OC. Variasi suhu di lingkungan tropis ini sangat dipengaruhi oleh ketinggian tempat/elevasi dan musim.
Semakin
rendah ketinggian tempat suhu lingkungan semakin tinggi. Di lingkungan tropis memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, dimusim hujan umumnya suhu lebih dingin jika dibandingkan pada saat musim kemarau. Pengembangan gandum di Indonesia harus memiliki karakteristik utama adalah toleran terhadap suhu tinggi, tidak membutuhkan vernalisasi pada saat memasuki fase generatif dan tidak dipengaruhi oleh photoperioditas. Gandum jenis ini adalah gandum musim semi (spring wheat) yang dikembangkan disubtropis pada daerah-daerah temperate atau pada saat memasuki musim semi, dimana gandum musim dingin tidak dapat bertahan hidup. Dengan demikian
148
gandum yang sesuai dikembangkan di Indonesia adalah gandum spring wheat tipe gandum hard wheat.
Pada dasarnya pertanaman gandum spring wheat di
lingkungan tropis dataran tinggi telah mengalami cekaman suhu tinggi. Kiriteria toleransi terhadap suhu tinggi di lingkungan subtropis adalah suhu di atas 10OC sedangkan suhu paling rendah di Indonesia adalah 16OC.
Di Indonesia tipe
gandum spring wheat merupakan tipe tanaman mesofil atau tanaman pecinta suhu sedang yaitu dapat tumbuh dan berkembang pada kisaran suhu 10O – 30OC, penderaan suhu di atas kisaran tersebut menyebabkan tanaman ini mengalami cekaman suhu (Harjadi 1987). Penelitian dan pengembangan gandum di Indonesia hingga tahun 2008 diarahkan pada lingkungan dengan elevasi > 1000 m dpl dengan kisaran suhu 16 – 20OC. Penelitian dan pengembangan dilakukan pada lingkungan tersebut, karena selama ini dianggap tanaman gandum tidak dapat berkembang di dataran < 1000 m dpl karena tingginya suhu pada lingkungan tersebut. Sampai saat ini terdapat 3 varietas yang telah dirilis sebagai varietas nasional yaitu Dewata, Selayar dan Nias dengan daerah adaptasi >1000 m dpl. DWR 162 yang dilepas sabagai varietas dengan nama Dewata adalah hasil introduksi dari India sebagai galur yang toleran suhu tinggi (heat tolerant). Sejak tahun 2009, penelitian diarahkan untuk merakit varietas gandum toleran terhadap suhu tinggi pada dataran medium hingga rendah (< 400 m dpl). Dari hasil penelitian di elevasi rendah menunjukkan bahwa galur DWR 162 (Dewata) yang toleran suhu tinggi di India, ternyata peka terhadap cekaman suhu tinggi di dataran rendah di daerah tropika.
Hal ini
menunjukkan bahwa varietas yang beradaptasi pada suhu tinggi di lingkungan subtropis berbeda responnya pada lingkungan tropis. Sebagai upaya mengkarakterisasi genotipe gandum introduksi dan dua varietas gandum nasional telah dilakukan evauasi di dua elevasi yaitu dataran tinggi dan dataran rendah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan respon dan keragaan genotipe yang dievaluasi pada dua elevasi tempat dan dua musim untuk setiap karakter agronomi yang diamati. Untuk karakter fisiologis, perbedaan respon genotipe hanya teramati pada karakter luas daun bendera, kehijauan daun dan kerapatan stomata. Karakter yang keragaannya dipengaruhi genotipe pada dua elevasi dan musim adalah jumlah spikelet, bobot
149
biji/malai, hasil dan luas daun bendera.
Perbedaan respon setiap genotipe
disebabkan adanya interaksi genotipe x musim x elevasi. Interaksi tersebut terkait dengan pengaruh lingkungan (elevasi x musim) dan pengaruh genetik setiap genotipe. Adanya interakasi genotipe x lingkungan pada karakter yang diamati menyebabkan tidak semua karakter mempunyai nilai heritabilitas yang tinggi. Hasil
analisis
pendugaan
nilai
heritabilitas
dan
keragaman
genetik
memperlihatkan bahwa tidak semua karakter agronomi memperlihatkan nilai heritabilitas yang tnggi, Hanya karakter tinggi tanaman jumlah spikelet dan luas daun bendera yang memiliki nilai duga heritabilitas tinggi dan diikuti dengan keragaman genetik yang luas. Hal ini mengindikasikan bahwa respon genotipe yang diperlihatkan berbeda-beda pada setiap karakter, kecuali karakter tinggi tanaman, jumlah spikelet dan luas daun bendera lebih dominan dipengaruhi oleh faktor lingkungan dibandingkan pengaruh genetik. Heritabilitas dalam arti luas diartikan sebagai nisbah antara besaran varians genetik total dengan varians fenotipik karakter yang bersangkutan.
Dalam pemilihan karakter morfologi,
fiosiologi dan agronomi untu dijadikan kriteria seleksi, nilai heritabilitas yang tinggi merupakan suatu prasyarat untuk menjadikan suatu karakter sebagai kriteria seleksi tak langsung. Johnson et al. (1955) menyatakan bahwa nilai duga heritabilitas yang tinggi dari suatu sifat mengindikasikan bahwa seleksi terhadap sifat tersebut dapat dimulai dari generasi awal, namun jika sifat yang memiliki heritabilitas sedang hingga rendah baiknya dilakukan seleksi pada generasi lanjut. Selain nilai heritabilitas, suatu karakter dapat dijadikan sebagai kriteria seleksi tak langsung jika memiliki keeratan hubungan dengan hasil pada kondsisi tercekam.
Hasil analisis korelasi menunjukkan bahwa hubungan bobot
biji/tanaman dengan karakter lain berbeda-beda baik di elevasi < 400 m dpl (Bogor) maupun elevasi >1000 m dpl (Cipanas). Di elevasi < 400 m dpl memperlihatkan korelasi negatif, sebaliknya pengujian di elevasi > 1000 m dpl (Cipanas) menperlihatkan hubungan korelasi positif, namun terdapat karakter yang memperlihatkan hubungan korelasi nyata dengan karakter bobot biji/tanaman di kedua elevasi pengujian adalah karaker jumlah biji/malai, bobot biji/malai dan jumlah biji/tanaman. Sementara analisis korelasi gabungan kedua
150
elevasi dan musim menunjukkan bahwa bobot biji/tanaman berkorelasi dengan karakter tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, umur panen, panjang malai, jumlah spikelet, jumlah floret, jumlah biji/malai, jumlah biji/tanaman, bobot biji/malai, jumlah malai/meter, bobot 1000 biji, hasil/petak, luas daun bendera, kerapatan stomata, klorofil a, klorofil b, klorofil total, ketebalan daun dan kehijauan daun. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh langsung (direct effects) dan pengaruh tidak langsung (indirect effects) karakter tersebut terhadap peningkatan bobot biji/tanaman maka dilihat dengan analisis lintasan (path analysis). Analisis lintasan menunjukkan bahwa karakter klorofil b, memiliki pengaruh langsung di dua elevasi dan musim sementara empat karakter lain seperti jumlah biji/malai, jumlah biji/tanaman, klorofil a, dan klorofil total berpengaruh langsung namun di kedua elevasi dan musim, namun nilainya cukup beragam. Dari analisis indeks kepekaan terhadap cekaman suhu tinggi berdasarkan karakter hasil hanya genotipe OASIS/SKAUZ //4* BCN Var-28 yang memiliki toleransi medium di kedua lokasi dan musim. Kasno et al. (1987) mengemukakan bahwa untuk memperbaiki hasil yang penampilannya sangat dipengaruhi oleh faktor non
genetik (interaksi lingkungan x genetik) seleksi dapat dilakukan
melalui komponen hasil yang mempunyai korelasi erat dengan hasil.
Hasil
analisis komponen utama menunjukkan bahwa toleransi dapat diseleksi berdasarkan bobot biji/malai, klorofil b, dan hasil dan terpilih genotipe G-21 dan LAJ, sementara Oasis terpilih sebagai toleran berdasarkan panjang malai dan bobot biji/tanaman (2010). Pada pengujian tahun 2011, genotipe Oasis, H-21, Basribey dan LAJ terseleksi berdasarkan bobot biji/tanaman dan bobot biji/malai. Dari hasil evaluasi memperlihatkan bahwa penampilan karakter agronomi dan fisiologis umumnya mengalami penurunan seiring dengan penurunan elevasi dari elevasi > 1000 m dpl (Cipanas) ke elevasi < 400 m dpl (Bogor). Hal ini berdampak pada tidak adanya genotipe yang meperlihatkan hasil lebih baik dari varietas Selayar di elevasi < 400 m dpl, sementara di elevasi > 1000 m dpl pada tahun 2011 terdapat dua genotipe yang memiliki hasil lebih tinggi dari varietas Selayar yaitu Basribey (4.31 t.ha-1) dan Alibey (4.74). Namun dari sisi kestabilan terdapat genotipe yang memperlihatkan hasil stabil adalah HP 1744 (1.75 t.ha-1),
151
H-21 (1.82 t.ha-1)
dan varietas Selayar (1.92 t.ha-1), sedangkan genotipe
Menemen (1.82 t.ha-1) merupakan genotipe yang spesifik lingkungan. Tidak adanya genotipe yang memperlihatkan hasil yang lebih baik jika dibandingkan dengan varietas Selayar menyebabkan perlu dilakukan upaya peningkatan keragaman genetik dari genotipe-genotipe gandum yang ada, dalam rangka memperoleh varietas gandum yang beradaptasi di daerah tropika dan berdaya hasil tinggi. Metode peningkatan keragaman genetik yang dilakukan adalah dengan metode induksi mutasi dengan menggunakan mutagen fisik yaitu iradiasi sinar. Berdasarkan hasil orientasi dosis iradiasi sinar gamma 0 – 1000 gy dengan menggunakan satu varietas yaitu Nias menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa dosis > 400 gy hanya menyebabkan terjadinya penghambatan pertumbuhan kecambah dan menyebabkan kecambah menjadi abnormal atau tidak memiliki klorofil, namun tidak menyebabkan kematian dari tanaman yang diiradiasi. Hal ini sejalan dengan penelitian Tah (2006) terdapat penurunan tinggi tanaman pada tanaman kacang hijau [Vigna radiata (L) Wilczek] setelah perlakuan iradiasi sinar gamma pada dosis 100, 200, 300 dan 400 gy, dimana penurunan tertinggi pada dosis 400 gy. Penelitian lanjutan di lapangan untuk menverifikasi penelitian dari tingkat kecambah, hasil menunjukkan dosis > 400 gy di lapangan memperlihatkan tingkat kematian tanaman > 50 %, sedangkan pada dosis 300 gy memperlihatkan bahwa 50 % dari biji yang ditanam tidak hidup. Dosis iradiasi yang tinggi dapat merusak dan terganggunya system metabolisme, keseimbangan hormon dan aktivitas enzim pada sel tanaman (Moghaddam et al. 2011) Berdasarkan penelitian di atas penelitian selanjutnya dengan meradiasi empat genotipe dan dua varietas pada dosis 300 gy.
Pertanaman benih M1
dilakukan pada lingkungan optimal dengan elevasi > 1000 m dpl (Cipanas). Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan iradiasi sinar gamma dengan dosis 300 gy menyebabkan perubahan nilai tengah. Terdapat perubahan nilai tengah yang lebih baik karakter jumlah biji/malai dan jumlah spikelet hampa pada populasi M1Oasis dan M1Rabe. Keragaman yang muncul pada populasi M1 masih disebabkan oleh faktor gangguan fisiologi selain genetik. Menurut Brown
152
(1973) bahwa iradiasi pada generasi M1 mengalami perubahan aktivitas fisiologis seperti perubahan sintesa proten dan lemak di dalam sel. Pertanaman benih M2 dilakukan pada lingkungan target terhadap cekaman suhu tinggi dengan elevasi < 400 m dpl (Bogor), hasil ini menunjukkan bahwa Iradiasi sinar gamma dengan dosis 300 gy dapat menginduksi peningkatan keragaman genetik pada generasi M2 dari galur dan varietas yang di iradiasi. Populasi M2 dari galur OASIS/SKAUZ//4*BCN Kasifbey dan Dewata merupakan populasi hasil iradiasi yang memiliki perubahan nilai tengah semua karakter paling banyak dibandingkan populasi M2 hasil iradiasi lainnya.
Pengaruh
interaksi iradiasi dan cekaman suhu tinggi menyebabkan populasi keragaman genetik dari galur dan varietas pada generasi M2 sangat beragam mulai dari sempit hingga luas. Karakter yang memiliki keragaman genetik sedang sampai luas adalah karakter umur panen, sementara karakter jumlah floret hampa termasuk luas, kecuali pada populasi M2 turunan varietas Selayar. Penampilan populasi tanaman M3 di elevasi > 1000 m dpl lebih baik dibanding di elevasi < 400 m dpl.
Populasi Tanaman M3 yang memiliki
perubahan nilai tengah yang paling tinggi adalah M3Kasifbey, M3Rabe dan M3Basribey.
Populasi tanaman M3Oasis merupakan populasi yang mampu
beradaptasi terhadap cekaman suhu tinggi berdasarkan karakter jumlah floret hampa, jumlah anakan produktif, bobot biji/malai, jumlah biji/malai, bobot biji/tanaman dan jumlah biji/tanaman.
Keragaman genetik dan nilai duga
heritabilitas pada elevasi < 400 m dpl (Bogor) lebih luas dan tinggi dibandingkan elevasi > 1000 m dpl (Cipanas). Keragaman genetik yang tinggi pada generasi M2 dan M3 dari populasi yang ada merupakan bahan yang baik untuk seleksi. Metode seleksi untuk mengembangkan varietas gandum dengan tingkat adaptasi yang baik
terhadap agroekosistem tropika dan mempunyai potensi hasil
yang baik dilakukan dengan metode shuttle breeding. Pada pembentukan galur dilakukan
secara bergantian antara lingkungan berelevasi tinggi dan elevasi
rendah, dengan lingkungan berelevasi tinggi. Galur generasi M4 berasal dari seleksi populasi tanaman M3 memiliki perbaikan nilai tengah pada karakter jumlah biji/malai lebih baik dibanding Rabe dan Selayar, demikian pula pada karakter jumlah biji/tanaman lebih baik
153
dibanding Selayar, Rabe, Kasifbey dan Basribey. Umumnya nilai duga heritabilitas dan keragaman genetik generasi M4 pada karakter yang diamati baik yang berasal dari elevasi < 400 m dpl maupun elevasi > 1000 m dpl umumnya tinggi dan luas, kecuali pada karakter bobot biji/malai. Metode shuttle breeding cukup efektif untuk menyeleksi galur mutan dengan potensi hasil tinggi terhadap cekaman suhu tinggi.
Shuttle breeding
disamping dapat meningkatkan ekspresi gen-gen toleransi terhadap ketahanan terhadap cekaman lingkungan, dapat juga digunakan sebagai replikasi material genetik, ketika mengalami cekaman lingkungan yang sangat berat. Galur mutan M5 hasil iradiasi merupakan galur yang sudah cukup seragam, sehingga galur M5 yang dihasilkan akan di evaluasi lebih lanjut pada elevasi < 400 m dpl di lingkungan tropis lain di Indonesia untuk melihat stabilitas hasil biji. Hasil galur mutan M6 selanjutnya di uji daya hasil pada lingkungan cekaman suhu tinggi dan selanjutnya galur mutan M7dilakukan uji multilokasi untuk pelepasan varietas gandum yang toleran terhadap cekaman suhu tinggi pada dataran < 400 m dpl.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Terdapat perbedaan respon dari setiap karakter dan keragaman yang dipengaruhi interaksi musim x genotipe x elevasi dan genotipe x elevasi terhadap karakter yang diamati. Terdapat tiga karakter dengan nilai duga heritabilitas tinggi dan keragaman genetik luas yaitu tinggi tanaman, jumlah spikelet dan luas daun bendera. 2. Karakter
klorofil b memiliki korelasi positif dan pengaruh langsung
terhadap peningkatan bobot biji/tanaman. 2. Genotipe OASIS/SKAUZ //4* BCN Var-28 memiliki toleransi medium berdasarkan hasil biji, genotipe G-21 dan LAJ bobot biji/malai, klorofil b, dan nisbah klorofil b/a dan hasil, sementara Oasis toleransinya dapat diseleksi berdasarkan panjang malai dan bobot biji/tanaman (2010).
154
Genotipe Oasis, H-21, Basribey dan LAJ diseleksi berdasarkan bobot biji/tanaman dan bobot biji/malai. 3. Genotipe hasil stabil adalah HP 1744 (1.75 t.ha-1), H-21 (1.82 t.ha-1) dan varietas pembanding Selayar (1.92 t.ha-1), Menemen (1.82 t.ha-1) merupakan genotipe yang spesifik lingkungan. 4. Iradiasi sinar gamma meningkatkan keragaman genetik populasi OASIS/SKAUZ//4*BCN Kasifbey dan Dewata pada populasi generasi M2. 5. Perubahan nilai tengah paling tinggi populasi M3 adalah M3 Kasifbey, M3Rabe dan M3Basribey. Keragaman genetik dan nilai duga hertabilitas populasi tanaman M3 pada elevasi < 400 m dpl lebih luas dan tinggi dibanding elevasi > 1000 m dpl. 6. Terdapat perbaikan nilai tengah generasi M4 karakter jumlah biji/malai genotipe Rabe dan varietas Selayar, sementara karakter jumlah biji/tanaman lebih baik dibanding Selayar Rabe, Kasifbey dan Basribey 7. Terdapat 124 galur mutan memiliki potensi hasil tinggi untuk dilanjutkan pada generasi selanjutnya. Saran Pengujian dan penerapan metode shuttle breeding untuk menyeleksi genotipe dan generasi awal gandum hasil persilangan maupun hasil mutasi terhadap cekaman suhu tinggi perlu dikaji lebih lanjut
khususnya
pada elevasi yang memiliki perbedaan jelas musim kering dan musim hujan. Populasi mutan yang terpilih (M5) perlu dilanjutkan pada yang lebih luas untuk melihat toleransinya terhadap dan daya hasil.
agroekosistem
cekaman suhu tinggi
155
DAFTAR PUSTAKA Adams SR, Cockshull KE, Cave CRJ. 2001. Effect of temperature on the growth and development of tomato fruits. Ann. Bot. 88, 869–877. Adnyana MO, Subiksa M, Argosubekti N, Hakim L dan Pabbage MS. 2006. Prospek dan arah pengembangan agribisnis gandum. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian . Departemen Pertanian. Ahlowalia BS, Maluszynski M. 2001. Induced mutation A new paradigm in plant breeding. Euphytica 118:167-173. Aisawi K, Foulkes J, Reynolds MP, Mayes S. 2010. The physiological basis of the genetik progress in yield potential of CIMMYT wheat varieties from 1966 to 2009. In: 8th International Wheat Conference, Abstracts of Oral and Poster Presentations, St. Petersburg, Russia, p. 349. Aisyah IS. 2006. Induksi Mutagen Fisik pada Anyelir (Dianthus caryopphyllus Linn.) dan Pengujian Stabilitas Mutannya yang diperbanyak secara Vegetatif [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Bogor. 195 hal. Allard RW, Bradshaw AD. 1964. Implication of Genotype Environment Interaction in Applied Plant Breeding. Crop.Sci. 4 : 503 – 507. Amasino R 2010. Seasonal and developmental timing of flowering, Plant J. 61 1001–1013. Angga SV, Cutforth HW, Miller PR, Mc Conkey BG, ENTZ MH, Volkmar K, Brandt S. 2000. Response of three Brassica species to high temperature injury during reproductive growth. Can. J Plant Sci., 80:693-710. Anon S, Fernandez JA, Franco JA, Torrecilas A, Alarcon JJ, Sanchez BMJ. 2004. Effects of water stress and night temperature preconditioning on water relations, morphological, and anatomical changes of Lotus creticus. Plants Sci Hortic 101 : 333-342 Anonimous. 1997. Irradiation of horticultural crops at Iowa State University. Hort. Sci. 32(4):582-585. Aptindo 2012. www.bataviase.co.id [10 Maret 2012] Baihaki, A Dan N. Wicaksana. 2005. Interaksi genotip x lingkungan, Adaptabilitas dan stabilitas hasil dalam pengembangan tanaman varietas unggul di Indonesia. Zuriat 16 (1) : 1 – 8. [BALITSA] Balai Penelitian Tanaman Sayur 2002. Merakit Varietas Unggul Hortikultura Melalui Shuttle Breeding (diunduh 2012Nopember 10) tersedia pada: www.google.com.
156
[BALITSER] Balai Penelitian Tanaman Serealia 2011. Highlight Balitsereal. Maros, Sulawesi Selatan. [BPS] Badan Pusat Statistik 2012. www.bps.go.id (februari 2012) Banerji BK, Datta SK. 1992. Gamma ray induced flower shape mutation in chrysanthemum cv Java. J. Nuclear Agric. Biol. 21(2):73-79. Bänziger M, Edmeades GO, Beck D, Bellon M 2000. Breeding for Drought and Nitrogen Stress Tolerance in Maize From Theory to Practice. Mexico, CIMMYT. Barnabas B, Jager K, Feher A. 2008. The effect of drought and heat stress on reproductive processes in Cereals. Plant Cell Environment 31 : 11-38. Beebe SE, Rao IM, Cajiao C, Grajales M. 2008. Selection for drought resistance in common bean also improves yield in phosphorus limited and favorable environments. Crop Sci. 48 : 582 – 592. Bibi S, Khan IA, Bughio H, Odhano IA, Asad MA, Khatri A. 2009. Genetic differentiation of rice mutants based on morphological traits and molecular marker (RAPD). Pak. J. Bot., 41 (2): 737-743. Bilbro, JD. and LL. Ray. 1976. Environmental Stability and Adaptation of Several Cotton Cultivars. Crop Sci 16 : 821-824 Blum
A 1983. Genetic and physiological relationship in plant breeding for drought tolerance. Agric Water Manage 7:195–205.
Boote KJ, Tollenaar M. 1994. Modeling genetic yield potential. In: KJ Boote, JM Bennett, TR Sinclair, GM Paulson, eds. Physiology and Determination of Crop Yield. Madison, WI: ASA-CSSA-SSSA, , pp 533–565. Brennan PS, Byth DE. 1979. Genotype x Environment Interaction for Wheat Yields and Selection for Widely Adapted Wheat genoyypes. Aust. J.Agric. Res. 30 : 221-232. Brisson N, Gate P, Gouache D, Charmet G, Oury FX, Huard F. 2010. Why are wheat yields stagnating in Europe? A comprehensive data analysis for France. Field Crops Res 119, 201–212. Broertjes C. dan van Harten AM. 1988. Applied mutation breeding for vegetative propagated crops. Elsevier, Netherland. p. 345. Brown JK. 1973 Radiation Biology, radioisotope course for graduates. Australian School of Nuclear Technology. Lucas Height. Sidney. Buchanan BB, Gruissem W, Jones RI. 2000. Biochemistry and moleculer biology of plants Maryland : American Society of plants physiologist.
157
Buttery BR, Buzzell RI, Findlay WI. 1981. Relationships among photosynthetic rate, bean yield and other characters in field-grown cultivars of soybean. Can J Plant Sci 61:191–198. Camejo D, Rodr´ıguez P, Morales A, Dell’amico, JM, Torrecillas A, Alarc´on JJ. 2005. High temperature effects on photosynthetic activity of two tomato cultivars with different heat susceptibility. J. Plant Physiol. 162, 281–289 Ceccareli S, Erskine, Humblin, Brando. 2007b. Genotype by environment interaction and international breeding program. http://www.icrisat .com [2 juni 2012]. Ceccarelli S, Acevedo E, Grando S. 1991a. Analytical breeding for stress environments: single traits, architecture of traits or architecture of genotipes. Euphytica 56:169–185, 1991. Chalal GS, Gosal SS. 2003. Principles and procedurs of Plant Breeding. Biotechnological and Conventional Approaches. New Delhi: Narosa Publishing House Cheng XY, Gao MW, Liang ZQ and Liu KZ. 1990. Effect of mutagenic treatments on somaclonal variation in wheat (Triticum aestivum). Plant Breeding 105 : 47 – 52. Chopra V. 2005. Mutagenesis: Investigating the process and processing the outcome for crop improvement. Current Sci., 89: 353–359. Dahlan
MM, Rudijanto, Murdianto J, Yusuf M. 2003. Usulan Pelepasan Varietas Gandum. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan pengembangan Pertanian.
Dahlan MM. 2004. Stabilitas jagung hibrida. Disampaikan pada Seminar Puslitbang Tanaman Pangan pada tanggal 15 Januari 2004. 10 hal. Dasmal. A. Kaher dan M. Yusuf. 1994. Penampilan galur-galur terigu pada dua waktu tanam. Pemberitaan Penelitian Sukarami. 23:8-11. Datta SK. 2001. Mutation studies on garden chrysanthemum: A review. Sci. Hort. 7:159-199. Dolferus R, Xuemei Ji, Richard AR 2011. Abiotic stress and control of grain number in cereal. Plant Sci.181: 331– 341 Eberhart SA, Russel WA. 1966. Stability parameters for comparing varieties. Crop Sci. 6:36-40.
158
Ebrahim MK, Zingsheim O, El-Shourbagy MN, Moore PH, Komor E. 1998. Growth and sugar storage in sugarcane grown at temperature below and above optimum. J. Plant Physiol. 153, 593–602. Evans LT 1984. Physiological aspects of varietal improvement. In: JP Gustafson, ed. Gene Manipulation in Plant Improvement. New York: Plenum, pp 121– 146. Evans LT. 1993. Crop Evolution, Adaptation and Yield. Cambridge: Cambridge University Press. Falconer DS. 1989. Introduction to Quantitative Genetics. John Willey and Sons. Inc. New York. 438p. Fehr WR. 1987. Principles of Cultivar Development. Theory and Technique. Vol.1. Macmillan Publishing Company. NY. Ferris R, Ellis RH, Wheeler TR, and Hadley P. 1999. Effect of high temperature stress at anthesis on grain yield and biomass of field grown crops of wheat. Plant Cell Environ. 34, 67–78. Finlay KW, Wilkinson GN. 1963. The analysis of adaptation in a plant breeding program. Aust. J. Agric. Res. 13:742-754. Fischer RA, Maurer R. 1978. Drought resistance in spring wheat cultivars; I. Grain yield responses. Aust. J. Agric. Res. 29:897-912. Foolad
MR. 2005. Breeding for abiotic stress tolerances in tomato. In: Ashraf,M., Harris, P.J.C. (Eds.), Abiotic Stresses: Plant Resistance Through Breeding and Molecular Approaches. The Haworth Press Inc., New York, USA,pp. 613–684.
Freeman GH. 1980. Modern statistical methods for analyzing genotype x environment ointeraction, p. 118-125. In M.S. Kang (Ed.): Genotype By Environment Interaction and Plant Breeding. Louisiana State Univ. Agr. Center. 392p. Gan Y, Angadi SV, Cutforth HW, Potts D, Angadi VV, Mc Donald CL. (2004). Canola and mustard response to short period of high temperature and water stress at different developmental stages. Can. J. Plant Sci., 84:697704 Gaspersz V. 1992. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Tarsito. 719 Hal.
Bandung:
Gauch HGJr. 1992. Statistical Analysis of Regional Yield Trials : Ammi Analysis of Factorial Designs. Elsevier Science Pub. Amsterdam, Netherlands. Gauch HGJr, Zobel RW. 1988. Identifying mega – environments and targeting genotypes. Crop.Sci. 37 : 311-326.
159
Gayatri B, Subandi, Sutjihno, Kusuma R. 1989. Risalah Seminar hasil penelitian Tanaman Pangan Ballitan Bogor. Vol.1 : 108 – 114. Giaveno C, Ferrero J. 2003. Introduction of tropical maize genotypes to increase silage production in the central area of Santa Fe, Argentina. Crop Breed. Appl. Biotechnol. 3, 89–94. Ginkel VM, Villareal RL. 1996. Triticum L. Di dalam : Grubben GJH, Soetjipto Partohardjono, editor. Plant resource of South-East Asia (PROSEA) No. 10. Leiden, Netherland : Backhuys Publishers. p. 137-143. Glover B. 2007. Understanding Flowers and Flowering An Integrated Approach. New York, USA : Oxford University Press. Goldsworthy PR, Fisher NM. 1992. The Physiologies of Tropical Field Crops. (Terjemahan Tosari. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik). Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Guilioni L, W´ery J, Lecoeur J. 2003. High temperature and water deficit may reduce seed number in field pea purely by decreasing plant growth rate. Funct. Plant Biol. 30, 1151–1164. Guilioni L, Wery J, Tardieu F. 1997. Heat stress-induced abortion of buds and flowers in pea: is sensitivity linked to organ age or to relations between reproductive organs? Ann. Bot. 80, 159–168. Hale MG, Orcutt DM. 1987. The Physiology of Plants under Stress. New York : John Wiley and Sons. Hall AE. 1992. Breeding for heat tolerance. Plant Breed Rev 10:129–168, Hall AE. 2001. Crop Responses to Environment.CRC. Press LLC, Boca Raton, Florida. Hallauer AR, Miranda JB. 1995. Quantitave Genetics in Maize Breeding. 2nd ed. Iowa State Univ. Press, Ames. Hanafiah DS. 2012. Perbaikan karakter agronomi dan adaptasi terhadap cekaman kekeringan pada kedelai [(Glycine max (L.) Merr] melalui induksi mutasi mikro [Disertasi], Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Handayani W. 2006. Keragaman Genetik Mawar Mini dengan Iradiasi Sinar Gamma. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol.28 No. 4:17-18. Handoko 2007. Gandum 2000 “Penelitian dan Pengembangan Gandum Di Indonesia. Seameo – Biotrop, Bogor Indonesia. Harjadi SR, Yahya S. 1987. Fisiologi cekaman lingkungan. PAU Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.
160
Hede AR, Skovmand B, Reynolds MP, Crossa J, Vilhelmsen AL, Stolen O. 1999. Evaluating genetic diversity for heat tolerance traits in Mexican wheat landraces. Genet. Resources Crop Evol. 46: 37–45. Hedhly A, Hormaza JI, Herrero M. 2008. Global warming and sexual plant reproduction. Trends in Plant Science 14 (1) : 30-36 Hidema J, Makino A, Kurita Y, Mae T, Ohjima K. 1992. Changes in the level of chlorophyll and light-harvesting chlorophyll a/b protein of PS II in rice leaves agent under different irradiances from full expansion through senescense. Plant Cell Physiol. 33 : 1209 – 1214. Hindriana AF. 2004. Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma terhadap Kandungan Khlorofil, Khloroplas dan Biomassa Glycine max. JBPTITBBI / 200402-19 10 :24 : 11 Hiremath CP, Nadaf HL, Keerthi CM. 2011. Induced genetik variability and correlation studies for yield and its component traits in groundnut (Arachis hypogea L). Electronic Journal of Plant Breeding. Howarth CJ. 2005. Genetic improvements of tolerance to high temperature. In: Ashraf M, Harris PJC. (Eds.), Abiotic Stresses: Plant Resistance Through Breeding and Molecular Approaches. Howarth Press Inc., New York. IAEA 1977. Manual and Mutation Breeding. 1th edition. Joint FAO/IAEA Division of Atomic Energy in Food and Agriculture Irfag M, Nawab K. 2003. A study to determine the proper dose of gamma radiation for inducing beneficial genetic variability in bread wheat (Triticum aestivum L.). Asian J. of Plant Sci. 2(13):999-1003. Ismail AM, Hall AE. 1999. Reproductive-stage heat tolerance, leaf membrane thermostability and plant morphology in cowpea. Crop Sci. 39, 1762– 1768. Johnson HW, Robinson HF, Comstock RE. 1955. Genotypic and phenotypic correlation in soybean and their implication in selection. Agr. J., 47 : 477 – 483. Jones PD, New M, Parker DE, Mortin S, Rigor IG. 1999. Surface area temperature and its change over the past 150 years. Rev. Geophys. 37,173–199. Karim MA, Fracheboud Y, Stamp P. 1997. Heat tolerance of maize with reference of some physiological characteristics. Ann Bangladesh Agri 7 : 27-33. Kasno A, Bari A, Matjik AA, Solahuddin S, Somaatmadja S, Subandi. 1987. Telaah interaksi genotipe x lingkungan pada kacang tanah. Pendugaan parameter.
161
Kawarnura Y, Suzuki N, Uchiyama S, Saito Y. 1992a. Germination test for identification of gamma-irradiated rice. Radiat. Phys. Chem. 39: 203-207. Kawarnura Y, Suzuki N, Uchiyama S, Saito Y. 1992b. Germination test for identification of gammairradiated wheat. Radiat. Phys. Chem. 40: 17-22. Khanna VK. 1986. Effect of gamma radiation on seedling growth and cell division in wheat and Triticale. Acta Bot. lndica, 14 (suppl.): 43-49. Kotak S, Larkindale J, Lee U, Von Koskull-Do P, Vierling E. dan Scharf KD. 2007. Complexity of the heat stress response in plants. Current Opinion in Plant Biology 10:310–316 Kristensen K, Schelde K, Olesen J. 2011. Winter wheat yield response to climate variability in Denmark. Journal of Agricultural Science 149, 33–47. Kusaksiz T, Dere S. 2010. A study on the determination of genotypic variation for seed yield and its utilization through selection in durum wheat (Triticum durum Desf) mutan populations. Turkish Journal of Field Crops 15(2):188-192 Lambers H, FS Chapin III, TL Pons 1998. Plant Physiological Ecology. New York: Springer-Verlag : p 540. Larik AS, Memon S, Soomro ZA. 2009. Radiation induced polygenic mutations in sorghum bicolor. J. Agric. Res. 47 (1). Lin CS, Binns MR, Lefkovich LP. 1986. Stability Analysis : Where do we stand? Crop.Sci. 26 : 894-899. Logan BA, Demmig-Adams B, Adams WW. 1999. Acclimation of photosynthesis to the environment. In Singhal GS, Renger G, Sopory SK, Irrang KD, Govindjee (eds) Concepts in photobiology : Photosynthesis and photomorphogenesis. Boston : Kluwer Academic Publisher. p : 477512. Lopes MS, Reynolds MP, Jalal-Kamali MR, Moussa M, Feltaous Y, Tahir ISA, Barma N, Vargas M, Mannes Y, Baum M 2012b. The yield correlations of selectable physiological traits in a opulation ofadvanced spring wheat lines grown in warm and drought environments. Luthra GP, Singh RK. 1974. A Comparison of Different Stability Models in Wheat Theory. Appl.Genet. 45 : 143 – 149. Maestri E, Klueva N, Perrotta C, Gulli M, Nguyen HT, Marmiroli N. 2002. Molecular genetics of heat tolerance and heat shock proteins in cereals.Plant Mol. Biol. 48, 667–681.
162
Magrin GO, Hall AJ, Baldy C, Grondona MO. 1993. Spatial and interannual variations in the phototemal quotient: implications for the potential kernel number of wheat crops in Argentina. Agric For Meteorol; 67:29–41. Mahto RN, Hague MDF, Prasad P. 1989. Biological effects of gamma rays in chickpea. Indian J Pulses Res, 2: 97-101. Makmur A. 1990. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Jakarta : Rineka Cipta. Malkin R, Niyogi K 2000. Photosyntesis. Dalam Buchanan BB, Gruissem W, Jones RI (eds). Biochemistry and moleculer biology of plants. Rockville Maryland : American Society of plants physiologist. Pp.568-628. Manjaya JG, Nandanwar RS. 2007. Genetic improvement to soybean vanety JS 8021 through induced mutations. Plant Mutation Reports 1(3):36-40. Martin JH, Leonard WH. 1967. Principles of field crop production. The Mac Milan Company. Collier Mac Milan Ltd. London.pp. 391 – 448. Mattjik AA, Sumertajaya IM. 2006. Perancangan percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab Edisi ke-2. IPB Press Bogor Mazorra LM, Nunez M, Echerarria E, Coll F, S´anchez-Blanco MJ. 2002. Influence of brassinosteriods and antioxidant enzymes activity in tomato under different temperatures. Plant Biol. 45, 593–596. Micke A, B Donini. 1993. Induce mutation. In :Plant Breeding Principle and Prospects (Eds. Hasyward, M.D., Bose mark, N.O., and Romagosa, I.). Chapmant and Hall London. Miflin B. 2000. Crop improvement in the 21st century. J Exp Bot 51:1–8, Moghaddam SS, Jaafar H, Ibrahim R, Rahmat A, Abdul Azis M, Philip E. 2011. Effect on acute gamma radiation on physiological traits and flavanoid accumulation of Centella asiatica. Molecular Journal 16 : 4994-5007. Moor by J. 1987. Can models hope to guide change? Ann Bot 60:175–188. Morrison MJ, Stewart DW. 2002. Heat stress during flowering in summer brassica. Crop Sci. 42, 797–803. Mugnozza GTS, Amato FD, Avanzi S, Bagnara D, Belli MC, Bozzimi A, Brunori A, Cervigni T, Devreux M, Donini B, Giorgi B, Martoni G, Monti LM, Moschini E, and Mosconi C. 1993. Mutation breeding for durum wheat (Triticum aurgidum sp). Durum improvement in Italy. Mutation Breeding Rev. 10 : 1 – 28 Nasir M. 2002. Bioteknologi Molekuler : Teknik Rekayasa Genetik Tanaman. Penerbit P.T Citra Aditya Bakti. Bandung.
163
Nasrullah 1981. A Modified Prosedure for Identifying Varietal Stability. Agric. Sci. 3(4) : 153-159. Nasution MA, Poerwanto R, Sobir, Surahman M, Trikoesoemaningtyas. 2007. Pendugaan parameter genetik dan hubungan antar hasil dengan beberapa karakter kuantitatif dari Plasmanutfah Nenas (Ananas comosus L.Merr) Koleksi PKBT IPB dalam Proseding Seminar Nasional Hasil Penelitian yang Dibiayai oleh Hibah Kompetitif. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Natawijaya A. 2012. Analisis genetik dan seleksi generasi awal segregan gandum (Triticum aestivum L.) berdaya hasil tinggi [Thesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian bogor Okada K, Yasunori I, Kazuhiko S, Tadahiko M, Sakae IC. 1992. Effect of light on degradation of chlorophyll and proteins during senescence of detaches rice leaves. Plant Cell Physiol. 33: 1183-1191 Oldeman LR. 1975. An agroclimatic map of java and madura. Cont. Cent. Res. Inst. Agric. Bogor. No. 17. P. 22 Patade VY, Suprasanna P. 2008. Radiation induced in vitro mutagenesis for sugarcane improvement. Sugar Tech. 10 (1):14-17. Pavadai P, Girija M, Dhanavel. 2010. Effect of gamma rays on some yield parameters and protein content of soybean in M2, M3 and M4 generation. Journal of Experimental Sciences 1(6): 8 -11. Peet MM, Willits DH. 1998. The effect of night temperature on greenhouse grown tomato yields in warm climate. Agric. Forest Meteorol. 92, 191– 202. Petersen RG. 1994. Agricultural Field Experiment, Design and Analysis. Marcel Dekker, Inc. New York. Pick Kiong AL, Lai AG, Hussein S, Harun AR. 2008. Physiological responses of Orthosiphon stamineus planlets to gamma irradiation. American-Eurasian Journal of Sustainable Agriculture. 2(2):135-149. Poespodarsono S. 1988. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor. Porter JR, Gawith M. 1999. Temperatures and the growth and development of wheat: a review. European Journal of Agronomy 10, 23–36. Porter JR. 2005. Rising temperatures are likely to reduce crop yields. Nature 436, 174. Predieri S, Magli M, Zimmerman RH. 1997. Pear mutagenesis : In vitro treatments with gamma rays and field selection for vegetative form traits. Euphytica 93:227-237
164
Rao IM. 2001. Role of Physiology in Improving Crop Adaptation to Abiotic Stresses in the Tropics: The Case of Common Bean and Tropical Forages, in Handbook of Plant and Crop Physiology Second Edition eds. Mohammad Pessarakli, University of Arizona, Tucson Arizona Reynolds MP. 2002. Physiological approaches to wheat breeding. Di dalam : Curtis, B.C., Rajaram, S. dan Macpherson, H.G. (Eds): Bread Wheat Improvement and Production. Roma: FAO. 567 hal. Rosegrant MW, Agcaoili-Sombilla M, Perez ND. 1995. Global Food Projections to 2020:Implications for Investment. Washington: IFPRI,. Roy D. 2000. Plant Breeding, Analysis and Exploitation of Variation. New Delhi Narosa Publishing House Ruelland E, Zachowski A. 2010. How plants sense temperature. Environmental and Experimental Botany 69 (2010) 225–232. Salisbury FB, Ross CW. Pub.Co.
1992.
Plant Physiology. 4th edition.
Wadsworth
Sastrosoemarjo S, Bahmany N, Trikoesoemaningtyas. 2004. Evaluasi daya adaptasi galur-galur introduksi tanaman gandum pada daerah elevasi rendah. Prosiding Simposium PERIPI, Bogor, 5-7 Agustus 2004. Schoffl F, Prandl R, Reindl A. 1999. Molecular responses to heat stress. In: Shinozaki, K., Yamaguchi-Shinozaki, K. (Eds.), Molecular Responses to Cold, Drought, Heat and Salt Stress in Higher Plants. R.G. Landes Co., Austin, Texas, pp. 81–98. Semenov MA, Halford NG, 2009. Identifying target traits and molecular mechanisms for wheat breeding under a changing climate. Journal of Experimental Botany 60, 2791–2804. Sheppard SC, Evenden WG. 1986a. Factors controlling the response of field crops to very low doses of gamma radiation of the seed. Canad. J Plant Sci., 66: 431-441. Sheppard SC, Regiting PJ. 1987b. Plant effects: factors controlling the hormesis response in irradiated seed. Health Phys., 52: 599-605. Shukla GK. 1972. Some Statistical Aspects of partitioning GenotipeEnvironmental Components of Variability. Heredity 29 : 237-245. Singh NK, Balyan HS. 2009. Induced mutation in Bread Wheat (Triticum aestivum L.) CV. Kharcia 65 for reduced plant height and improve grain quality traits. Adv. In Biol. Res. 3(5-6):215-221.
165
Singh P. 2004. Quantitative Genetics at A. Glance. New Delhi: Kalyani Publisher Singh RK, Chaudhary BD. 1985. Biometrical Methods in Quantitative Genetiks Analysis. New Delhi : Kalyani Publisher. Sleper DA, Poehlman, JM. 2006. Breeding Field Crops. Ed. Ke-5. Iowa : Blackwell Publishing. Soedjono S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi Somaklonal Dalam Pemuliaan Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian 22(2). Soemartono, Nasrullah dan Hartiko H. 1992. Genetika Kuantitatif dan Bioteknologi Tanaman. PAU Bioteknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada. PAU Bioteknologi Universitas Gadjah Mada : 37 h. Soepomo R. 1968. Ilmu Seleksi dan Teknik Kebun Percobaan. Universitas Indonesia, Jakarta. 128 hal. Stanfield WD. 1983. Theory and Problems of Genetic. 2nd Ed. New York: McGraw-Hill. Stoeva N, Bineva Z. 2001. Physiological response of beans (Phaseolus vulgaris L.) to gamma-radiation contamination I. Growth, photosynthesis rate and contents of plastid pigments. J. Env. Prot. Eco., 2: 299-303. Stoeva N, Zlatev Z, Bineva Z. 2001. Physiological response of beans (Phaseolus vulgaris L.) to gamma-radiation contamination, II. Water-exchange, respiration and peroxidase activity. J.Env. Prot. Eco., 2: 304-308. Stone P. 2001. The effects of heat stress on cereal yield and quality. Di dalam : A.S. Basra (Ed.) Crop Responses and Adaptations to Temperature Stress. Binghamton NY : Food Products Press. 243–291 hal. Sumertajaya IM. 2005. Kajian Pengaruh Inter Blok dan Interaksi pada Uji Lokasi Ganda dan Respon Ganda (Recovery interblok and interactions effects on multilocation trials and multi respons) [Disertasi]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Tah PR, Saxena S. 2009. Induced synchrony in pod maturity in mungbean (Vigna radiata). Int. J. Agric. Biol. 11(3). Tah PR. 2006. Studies on gamma ray induced mutations in Mungbean (Vigna radiata (L) Wilczek). Asian Journal of Plant Science 5(1) : 61-71 Taiz L, Zeiger E 2002. Plant Physiologis. California : The Benjamin/Cummings Pub.Co., Inc. Thomas JMG, Boote KJ, Allen LH, Gallo-Meagher JrM, Davis JM. 2003. Elevated temperature and carbon dioxide effects on soybean seed germination and transcript abundance. Crop Sci., 43: 1548-1557.
166
Trevaskis B 2010. The central role of the VERNALIZATION1 gene in the vernalization response of cereals, Funct. Plant Biol. 37 479–487. Vaz AP, Figueiredo-Ribeiro RCL, Kerbauy GB. 2004. Photoperiod and temperature effects on in vitro growth and flowering of P. pusilla, an epiphytic orchid. Plant Physiology and Biochemistry 42: 411–415 Vollenweider P, Gunthardt-Goerg MS. 2005. Diagnosis of abiotic and biotic stress factors using the visible symptoms in foliage. Environ. Pollut. 137, 455–465. Vrinten P, Nakamura T, Yamamori M. 1999. Molecular characterization of waxy mutations in wheat. Mol. Gen Genet. 261 : 463 – 471. Wada H, Koshiba T, Matsui T, Satô M, 1998. Involvement of peroxidase in differential sensitivity to _-radiation in seedlings of two Nicotiana species. Plant Sci. 132, 109–119. Wahid
A, Ghazanfar A. 2006. Possible involvement of some secondary metabolites in salt tolerance of sugarcane. J. Plant Physiol. 163, 723–730.
Wahid A, Gelani S, Ashraf M, Foolad MR. 2007. Heat tolerance in plants: an overview. Environ Exp Bot 61: 199 – 223. Wang W, Vinocur B, Shoseyov O, Altman A. 2004. Role of plant heat-shock proteins and molecular chaperones in the abiotic stress response. Trends Plant Sci. 9, 244–252. Wang Y, Wang F, Zhai H, Liu Q. 2006. Production of useful mutant by chronic irradiation in sweetpotato. Scientia Horticulture. 111: 173-178. Warren RN, Amell N, Nichols R, Levy P, Price J. 2006. Understanding The Regional Impact of Climate Change. Research Report Prepared for The Stern Review, Tyndall Center Working Paper 90, Norwich. Avialable From www.tyndall.ac.uk/publications/working.paper/twp90.pdf Wikipedia. 2011. Wheat. http://en.wikipedia.org/wiki/Wheat. (Akses tanggal 13 Januari 2011). Wilhelm EP, Mullen RE, Keeling PL, Singletary GW. 1999. Heat stress during grain filling in maize: effects of kernel growth and metabolism. Crop Sci. 39, 1733–1741 Wilson HK. 1955. Grain Crops. McGraw Hill Book Company, Inc. New York. Wirnas D. 2007. Pembentukan kriteria seleksi berdasarkan analisis kuantitatif dan molekuler bagi kedelai toleran intensitas cahaya rendah [Disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Wiryosimin S. 1995. Mengenal Asas Proteksi Iradiasi. ITB, Bandung. 237 hal.
167
Witcombe JR, Hollington PA, Howarth CJ, Reader S, Steele KA. 2007. Breeding for abiotic stresses for sustainable agriculture. Phil.Trans R. Soc. B. 363 : 703-716. Witjaksono 2003. Bioteknologi Untuk Perbaikan Tanaman Buah. Laboratorium Kultur Sel dan Jaringan Tanaman, Bidang Botani. Pusat Penelitian Biologi-LIPI, Bogor. Witternberg H. 2004. The Inheritance and Molecular Mapping of Genes for Postanthesis Drought Tolerance (PADT) in Wheat [Dissertation]. Martin Luther Universitat. World Development Report, 2008. Global Warming. Adaptasi Pertanian dalam Pemanasan Global. http://www.michellehenry.fr/warming40.gif. diakses Xiuzher L. 1994. Effect of irradiation on protein content of wheat crop. J. Nucl. Agricul. Sci.China, 15, 53-55. Yamaguchi H, Shimizu A, Degi K, Morishita T. 2008. Effect of dose and dose rate of gamma ray irradiation on mutation induction and nuclear DNA content in chrysanthenum. Breed. Sci. 58: 331-335. Yan W, Hunt LA, Sheng Q, Slavnies Z. 2000. Cultivar evaluation and megaenvironment investigation based on GGE biplot. Crop. Sci. 40 : 597-605. Yang RC, Baker RJ. 1991. Genotipe x Environment Interactions in Two Wheat Crosses. Crop.Sci. 31 : 63-87. Yang J, Sears RG, Gill BS, Paulsen GM. 2002. Growth and senescence characteristics associated with tolerance of wheat-alien amphiploids to high temperature under controlled conditions. Euphytica 126: 185–193. Zhang JH, Huang WD, Liu YP, Pan QH. 2005. Effects of temperature acclimation pretreatment on the ultrastructure of mesophyll cells in younggrape plants (Vitis vinifera L. cv. Jingxiu) under cross-temperature stresses. J. Integr. Plant Biol. 47, 959–970.
168
LAMPIRAN Lampiran 1. Rata-rata temperatur lingkungan selama penelitian 2010 dan 2011
Bulan Mei Juni Juli Agustus Rata-rata Bulan Maret April Mei Juni Rata-rata
Temperatur Cipanas 2010 Bogor 2010 Rata-rata Max Min Rata-rata Max ----------- °C ----------19.2 18.6 26.7 32.7 21.2 18.0 25.9 31.2 21.1 17.6 25.8 31.5 21.1 17.5 25.8 31.8 20.7 26.0 31.8 Temperatur Cipanas 2011 Bogor 2011 Rata-rata Max Min Rata-rata Max ----------- °C ----------20.4 26.0 17.7 25.7 30.9 20.1 24.4 17.9 25.8 31.8 20.7 24.6 17.6 26.1 32.0 19.7 24.5 17.0 26.1 32.2 20.2 24.9 17.5 25.9 31.7
Min 23.7 23.1 22.9 22.7 23.1
Min 22.8 23.0 23.0 22.5 22.8
Keterangan: Max : Maksimum; Min : Minimum
Lampiran 2. Rata-rata kondisi lingkungan selama penelitian 2010 dan 2011. Cipanas 2010 Bogor 2010 Penyinaran matahari Penyinaran Matahari Bulan CH Intensitas Lama RH CH Intensitas Lama RH -mm- Cal/Cm² -jam- -%- -mm- Cal/Cm² -jam- -%Mei 388.8 3 84.16 330.9 300 6 84 Juni 197.7 4 84.50 303.4 255 4 86 Juli 158.1 3 82.48 270.4 273 5 84 Agustus 212.1 3 83.77 477.7 302 6 84 Rata239.2 3 83.73 345.6 282.5 5 85 rata Cipanas 2011 Bogor 2011 Penyinaran Matahari Penyinaran Matahari Bulan CH Intensitas Lama RH CH Intensitas Lama RH -mm- Cal/Cm² -jam- -%- -mm- Cal/Cm² -jam- -%Maret 279.6 1 85 169 280 4 82 April 414.1 3 86 273 433 5 84 Mei 304.5 2 86 401 404 5 84 Juni 110.5 3 79 272 375 7 77 Rata277.2 2 84 278.8 373 5 81.8 rata Keterangan: CH : Curah hujan; RH : Kelembaban
169
Lampiran 3.
Hasil analisis contoh tanah
Bogor Parameter Nilai Kriteria*)
pH H2O KCl 5.5 4.7 Masam
N-Tot (%) 0.15 Rendah
pH H2O KCl 5.4 4.8 Masam
N-Tot (%) 0.29 Sedang
P2O5 (ppm) 32.7 Sedang
K2O (ppm) 267.5 Sangat Tinggi
KCl 1N Al3+ H+ 0.00 0.02 Sangat Rendah
Cipanas KCl 1N K2O (ppm) Al3+ H+ Nilai 111.7 0.01 0.02 Kriteria*) Sangat Sangat Rendah Tinggi *) Berdasarkan kriteria kesuburan tanah Laboratorium Service SeameoBiotrop Parameter
P2O5 (ppm) 39.2 Sedang
Lampiran 4. Deskripsi Gandum Dewata dan Selayar
Galur Asal
Tahun di Lepas Waktu Berbunga Waktu Panen Hasil Bobot 1000 Biji Ukuran Biji Kandungan Protein Kaandungan Maltosa Kandungan Gluten Kandungan Abu Resistan
DEWATA DWR 162 (Inttroduksi dari India)
2003 59 HST 129 HST 2.96 ton/ha 46 g Sedang 13.94 % 3.19 % 12.9 % 1.78 % MR to scab disease, MR to Sclerotium rollsfii
SELAYAR HAHN/2*WEAVER CMBW 89 Y 01231OTOPM-16Y-010M-1Y010M 2003 58 HST 125 HST 2.95 ton/ha 46 g Medium 11.7 % 1.9 % 9.3 % 11.9 % MR to scab disease, S to Sclerotium rollsfii
170
Lampiran 5. Deskripsi Gandum Basribey, Menemen dan Alibey
Nama Tahun di Lepas Rambut Warna Malai Warna Biji Tinggi Tanaman Tipe Umur Panen Bobot 1000 Biji Kadar Protein Hasil Resistan
BASRIBEY Basribey 1995
MENEMEN Menemen 2004
ALIBEY Alibey 2004
Tidak ada Putih
Berambut Putih
Berambut Putih
Putih 95 – 100 cm
Putih 90 – 100 cm
Putih 90 – 100 cm
Spring Agak Genjah 33-39 g
Spring Agak genjah 32 – 36 g
Spring Agak Genjah 33 - 35 g
11.7 – 13.00 %
12.2 %
12.4 %
10 ton/ha Karat Kuning: Peka Karat Bergaris: Agak Tahan Karat Daun: Peka
7.2 ton/ha Karat Kuning: Agak Tahan Karat Bergaris: -
7.3 ton/ha Karat Kuning: Tahan Karat Bergaris: -
Karat Daun: -
Karat Daun: -
171
Lampiran 6. Laju Dosis Iradiasi sinar Gamma pada bulan Mei 2009 dengan aktivitas 1046,16976 ci
Rad 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 20 25 30 35 40 50 60 70 80 90 100 150 200 250 300 350 400 450 500 600 700 800
Laju Dosis Bulan Mei 2009 Aktivitas 1046,16976 ci Gy Menit Detik 10 43 detik 20 1 26 30 2 09 40 3 12 50 3 35 60 4 18 70 5 01 80 6 44 90 6 27 100 7 10 150 10 45 200 14 20 250 17 55 300 21 30 350 25 05 400 28 40 500 35 50 600 43 00 700 50 10 800 57 20 900 64 30 1000 71 40 1500 107 50 2000 143 20 2500 179 10 3000 215 00 3500 250 50 4000 286 40 4500 322 30 5000 358 20 6000 430 00 7000 501 40 8000 573 20
172 172
Lampiran 7. Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman genotipe gandum introduksi di lokasi Bogor
Keterangan : PL = Pengaruh langsung; PB : Peubah bebas yang dibakukan; PL: Pengaruh Langsung; PT : Pengaruh total; Z1: Tinggi tanaman; Z2 : Jumlah anakan produktif; Z3 : Umur berbunga (Hst); Z4 : Umur panen (Hst); Z5 : Panjang malai; Z6 : Jumlah spikelet; Z7: Persen floret hampa; Z8 : Jumlah biji/malai; Z9 : Bobot biji/malai; Z10 : Jumlah malai/m2; Z11 : Bobot 100 biji; Z12 : Hasil; Z13 : Jumlah biji/tanaman; Z14 : Luas Daun; Z15 : Kerapatan stomata; Z16 : Klorofil A; Z17 : Klorofil B; : Z18 : Rasio Klorofil B/A; Z19 : Rasio Klorofil A/B; Z20 : Klorofil total; Z21 : Ketebalan daun; Z22 : Kehijauan daun;; PT = Pengaruh total.
173
Lampiran 8. Matriks korelasi karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman genotipe gandum introduksi di lokasi Bogor
Keterangan : PB : Peubah bebas yang dibakukan; Z1: Bobot biji/tanaman; Z2 : Tinggi tanaman; Z3 : Jumlah anakan produktif; Z4 : Umur berbunga (Hst); Z5 : Umur panen (Hst); Z6 : Panjang malai; Z7 : Jumlah spikelet; Z8: Persen floret hampa; Z9 : Jumlah biji/malai; Z10 : Bobot biji/malai; Z11 : Jumlah malai/m2; Z12 : Bobot 100 biji; Z13 : Hasil; Z14 : Jumlah biji/tanaman; Z15 : Luas Daun; Z16 : Kerapatan stomata; Z17 : Klorofil A; Z18 : Klorofil B; : Z19 : Rasio Klorofil B/A; Z20 : Rasio Klorofil A/B; Z21 : Klorofil total; Z22 : Ketebalan daun; Z23 : Kehijauan daun.
173
174 174
Lampiran 9. Pengaruh langsung dan tidak langsung karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman genotipe gandum introduksi di lokasi Cipanas
Keterangan : PL = Pengaruh langsung; PB : Peubah bebas yang dibakukan; PL: Pengaruh Langsung; PT : Pengaruh total; Z1: Tinggi tanaman; Z2 : Jumlah anakan produktif; Z3 : Umur berbunga (Hst); Z4 : Umur panen (Hst); Z5 : Panjang malai; Z6 : Jumlah spikelet; Z7: Persen floret hampa; Z8 : Jumlah biji/malai; Z9 : Bobot biji/malai; Z10 : Jumlah malai/m2; Z11 : Bobot 100 biji; Z12 : Hasil; Z13 : Jumlah biji/tanaman; Z14 : Luas Daun; Z15 : Kerapatan stomata; Z16 : Klorofil A; Z17 : Klorofil B; : Z18 : Rasio Klorofil B/A; Z19 : Rasio Klorofil A/B; Z20 : Klorofil total; Z21 : Ketebalan daun; Z22 : Kehijauan daun;; PT = Pengaruh total.
175
Lampiran 10. Matriks korelasi karakter agronomi dan fisiologis terhadap bobot biji/tanaman genotipe gandum introduksi di lokasi Cipanas
Keterangan : PB : Peubah bebas yang dibakukan; Z1: Bobot biji/tanaman; Z2 : Tinggi tanaman; Z3 : Jumlah anakan produktif; Z4 : Umur berbunga (Hst); Z5 : Umur panen (Hst); Z6 : Panjang malai; Z7 : Jumlah spikelet; Z8: Persen floret hampa; Z9 : Jumlah biji/malai; Z10 : Bobot biji/malai; Z11 : Jumlah malai/m2; Z12 : Bobot 100 biji; Z13 : Hasil; Z14 : Jumlah biji/tanaman; Z15 : Luas Daun; Z16 : Kerapatan stomata; Z17 : Klorofil A; Z18 : Klorofil B; : Z19 : Rasio Klorofil B/A; Z20 : Rasio Klorofil A/B; Z21 : Klorofil total; Z22 : Ketebalan daun; Z23 : Kehijauan daun.
175
176
Lampiran 8 Analisis kandungan Klorofil Pelarut yang digunakan untuk analisis klorofil adalah acetris (aseton dan tris 1 % PH 8 dengan perbandingan 85 : 15). Tahapan kerja yang dilakukan sebagai berikut :
Sampel daun berat 0.005 g
Sampel digerus + 2 ml asetris
Masukkan ke microtube 2 ml
Centrifuge 14000 rpm, 10 menit
Pipet 1 ml supernatant + 3 ml asetris masukkan ke tabung reaksi
Spektrofotometer ( = 663,647 dan 537 nm