Penerapan Scaffolding, Tools, dan Internalisasi dari Teori Vygotsky Pada Proses Pembelajaran Di Sekolah Dasar Swasta T, Jakarta Barat (Analisis Kualitatif) Amelia Irawan, Edward Andriyanto Soetardhio 1. 2.
Psikologi, Universitas Indonesia, Depok Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
E-mail :
[email protected]
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran mengenai penerapan konsep scaffolding, tools, dan internalisasi dari teori Vygotsky pada proses pembelajaran di sekolah dasar swasta T di Jakarta Barat. Data dalam penelitian didapat dengan metode observasi dan wawancara yang kemudian dianalisis secara kualitatif. Observasi dan wawancara tersebut dilakukan di sebuah kelas saat sebuah materi pertama kali dibahas hingga selesai. Dalam penelitian ini, scaffolding dilihat melalui kontingensi, means, dan intentions nya dengan bantuan konsep yang dikembangkan oleh van de Pol et al (2012); Tools dilihat melalui penggunaan technical dan psychological tools selama interaksi kelas berlangsung; dan internalisasi dilihat melalui think aloud anak dalam menyelesaikan soal soal terkait materi yang telah dibahas. Hasil penelitian menunjukkan banyaknya scaffolding yang tidak kontingen, pemakaian means scaffolding berupa hints dan questioning, pemakaian intentions scaffolding berupa task approach, dan kaitannya dengan pembahasan soal yang dilakukan; perbedaan proses internalisasi yang terjadi pada anak; dan penggunaan, alasan serta fungsi tools.
Application of Scaffolding, Tools, and Internalization of Vygotsky’s Theory in Learning Process at T Private Elementary School, West Jakarta (Qualitative Analysis) Abstract The purpose of this study is to describe the application of scaffolding, tools, and internalization of Vygotsky’s theory in learning process at T private elementary school in West Jakarta. Data are collected through observation and interview method that will be analyzed qualitatively. Observation and interview were conducted in a classroom when a subject matter was first discussed until complete. In this research, The concept of scaffolding is seen through its contingency, means, and intentions with the help of concept developed by van de Pol (2012); tools through the usage of technical and psychological tools in class interactions; and internalization through children’s think aloud while answering the questions related to subject. Result of this study show that most of scaffolding are not contingent, the application of questioning and hints as means of scaffolding, the application of task approach as intentions of scaffolding and its relationship with problem discussion; differences of internalization processs; and the usage, reason, and function of tools. Keywords : internalization; qualitative analysis; scaffolding; tools; Vygotsky
Pendahuluan Pendidikan merupakan aspek penting dalam hidup manusia dimana pendidikan dapat membantu manusia mengembangkan kemampuan dan keterampilan untuk mempertahankan
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
hidupnya. Di Indonesia, dikenal Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 47 Tahun 2008 mengenai program wajib belajar bagi seluruh Warga Negara Indonesia (Kementerian Agama, 2008). Jenjang program wajib belajar yang paling dasar dan landasan dari jenjang pendidikan yang lebih tinggi adalah SD. Sekolah Dasar (SD), berdasarkan status kepemilikannya, dibagi menjadi dua yakni SD swasta dan SD negeri. Secara umum, SD swasta lebih unggul dibandingkan dengan SD negeri. Hal ini terlihat dari peringkat dan rata-rata nilai Ujian Nasisonal SD swasta yang lebih tinggi (Sistem Informasi Manajemen Pendidikan [Simdik], 2011) serta prestasi SD negeri dalam bidang olimpiade sains (Dinas Pendidikan Kota Surabaya, 2013). Selain keunggulan tersebut, ditemukan pula fakta mengenai jumlah SD swasta di Indonesia yang terus bertambah setiap tahunnya (Departemen Pendidikan Nasional, 2008). Adanya fakta mengenai bertambahnya jumlah sekolah dasar swasta setiap tahunnya, prestasi yang baik dari SD swasta, membuat peneliti tertarik untuk melihat lebih lanjut proses pembelajaran yang terjadi di SD swasta. Proses pembelajaran ini akan lebih lanjut ditelaah dengan bantuan salah satu teori psikologi yang telah ajeg, yakni teori Vygotsky. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung mengenai penerapan konsepkonsep dari teori Vygotsky pada proses pembelajaran di sebuah sekolah. Payung penelitian ini kemudian dibagi ke dalam beberapa penelitian yang melibatkan jenis sekolah yang berbeda di tiap penelitiannya.
Tinjauan Teoritis Vygotsky Vygotsky merupakan seorang socioculturalist yang menekankan pada lingkungan yang memiliki peran pada proses pembelajaran anak. Proses pembelajaran anak terjadi saat anak, orang lain, dan konteks sosial terlebur menjadi satu dalam sebuah aktivitas (Miller, 2011). Terdapat beberapa konsep dari teori Vygotsky diantaranya yakni zone proximal development (ZPD), scaffolding, internalisasi, tools. Beberapa hubungan tersebut saling berhubungan satu sama lain, yang dapat dilihat di dalam skemadi bawah ini.
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
Gambar 1 Gambaran konsep ZPD
ZPD didefinisikan sebagai jarak antara level perkembangan aktual anak, yang ditentukan melalui pemecahan masalah secara mandiri, dengan level yang lebih tinggi, yakni level perkembangan potensial anak yang ditentukan dari pemecahan masalah yang dapat anak lakukan di bawah arahan orang dewasa atau dengan kolaborasi dengan more knowledgeable others (Vygotsky dalam Daniels[Ed.], 2003; Miller, 2011). Jarak ini dapat dipersempit dan anak dapat mencapai level perkembangan potensialnya dengan bantuan scaffolding. Scaffolding merupakan proses dimana seseorang yang lebih kompeten (more knowledgable others) membantu anak dalam menyelesaikan suatu permasalahan atau melaksanakan tugas yang pada nantinya dapat dikerjakan sendiri oleh anak (Bowler, Large, Beheshti, & Nesset, n.d.). Proses scaffolding selalu terjadi dalam sebuah interaksi, namun tidak semua interaksi dapat dikatakan sebagai scaffolding. Sebuah interaksi dapat dikategorikan sebagai scaffolding apabila interaksi tersebut mencakup tiga karakteristik scaffolding (van de Pol, Volman, dan Beishuizen, 2010), yakni contingency, fading, dan transfer of responsibility.
Gambar 2 Model Konseptual Scaffolding (dikutip dari van de Pol, Volman, dan Beishuizen, 2010)
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
Pada awal proses scaffolding, more knowledgebale others memegang sebagian besar peran dalam menyelesaikan suatu tugas bersama dengan anak. Selama berinteraksi dengan anak dalam penyelesaian tugas tersebut, more knowledgeable others memberikan bantuan kepada anak dimana bantuan ini akan berkurang (fading) seiring dengan waktu. Salah satu yang menjadi penekanan dalam proses ini yakni fading yang dilakukan oleh more knowledgeable others harus disesuaikan dengan level perkembangan dan kompetensi anak saat itu. Tujuan dari fading adalah transfer of responsibility atau perpindahan tanggung jawab yang bertahap. Sebagian besar tanggung jawab tadinya dipegang oleh more knowledgeable others akan berpindah ke anak seiring dengan berkurangnya bantuan yang diberikan. Apabila fading dan transfer of responsibility muncul, maka proses scaffolding tersebut dapat dikatakan kontingen (van de Pol et al, 2012). Oleh karena itu lah, kontingensi menjadi fitur yang paling penting dalam proses scaffolding. Contingency merupakan adaptasi bantuan atau kontrol yang diberikan oleh more knowledgeable others terhadap level performa anak pada saat itu. Kontingensi, di dalam konteks belajar mengajar, dapat dirumuskan dalam dua aturan dasar yakni (Wood, Wood, dan Middleton dalam van de Pol et al, 2012): ketika anak gagal, maka kontrol guru dinaikkan; ketika anak berhasil, maka kontrol guru dikurangi. Selain kontingensi, scaffolding juga dapat dilihat melalui means dan intentions. Means merupakan cara scaffolding diberikan. Means terdiri dari 6 jenis yakni (Tharp dan Gallimore dalam van de Pol, Volman, dan Beishuizen, 2009; van de Pol, Volman, dan Beishuizen, 2010) Tabel 1 Tabel Means Means
Feedback
Hints
Deskripsi Evaluasi atau umpan balik yang diberikan guru sebagai respon dari pekerjaan atau jawaban yang diberikan anak
benar dipakai di sini, tapi peletakannya masih salah” “ Ada dua jenis simbol yang
membantu anak sehingga mereka dapat melanjutkan proses
digunakan untuk mengonversi
belajarnya. Guru tidak memberi keseluruhan solusi ataupun
15 ke bilangan romawi, coba
instruksi yang detil mengenai materi yang dipelajari anak.
simbolnya apa saja?”
yang harus dilakukan atau penjelasan mengenai bagaimana sesuatu seharusnya diselesaikan dan mengapa harus demikian. Instructing mencakup pertanyaan retoris dan permintaan guru untuk melakukan sesuatu terkait materi Explaining
“Nah, V dan I nya memang
Kata kunci atau petunjuk yang diberikan guru untuk
Guru memberi informasi kepada anak mengenai apa saja Instructing
Contoh
Penyediaan informasi yang lebih detil oleh seorang guru.
“Untuk mengonversi puluhan, kamu bisa memulainya dengan mengonversi puluhan dulu, baru satuan” “ Ya, bilangan romawi untuk
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
Guru memberikan seluruh informasi mengenai konsep yang
angka 1 adalah I, 2 adalah II,
dibahas.
tiga adalah III. Namun, untuk angka 4... ” “Untuk mengerjakan
Modelling
Guru mendemonstrasikan suatu tingkah laku (verbal atau
penjumlahan bilangan romawi,
non-verbal) yang dapat diimitasi oleh anak. Modelling
pertama-tama kita konversikan
merupakan sebuah proses dan bukan sebuah produk dari
dulu bilangan soalnya seperti ini
pembelajaran.
(sambil menuliskan di papan tulis)”
Mengajukan pertanyaan kepada anak. Pertanyaan ini Questioning
membutuhkan proses kognitif dan kemampuan linguistik
“Kenapa bilangan romawi untuk
yang aktif dari anak. Questioning memicu anak untuk
angka 4 tidak boleh IIII ?”
berpikir dan membantu guru mengarahkan anak agar mereka menimbulkan reaksi spesifik yang diharapkan.
Intentions merupakan tujuan pemberian scaffolding. Berdasarkan tujuan pemberian scaffolding, Wood et al (dalam van de Pol, Volman, dan Beishuizen, 2009) membaginya menjadi enam, yakni: Tabel 2 Tabel Intentions Intentions Task Approach
Deskripsi −
−
Contoh
Guru mengambil alih sebagian peran anak
“ Coba lihat contoh soal di papan.
melalui aktivitas anak pada saat itu. Pemberian
Bilangan romawi untuk angka 15.
bantuan ini ditujukan agar anak dapat
Puluhannya dikerjakan lebih
mengerjakan tugas lainnya yang serupa.
dulu.. X.. lalu 5 kita letakkan di
Guru biasanya akan menggunakan means
sebelahnya... V...Jadi XV.
scaffolding berupa instructing dan hints dalam task approach. General Principles
Guru memberikan prinsip –prinsip umum (misalnya
“Ada beberapa peraturan dalam
penjelasan sebuah konsep) untuk membangun atau
mengonversi bilangan romawi.
menyediakan struktur yang membantu anak untuk
Yang pertama, apabila simbol
menerapkan pengalaman belajar mereka.
romawi yang lebih kecil terletak di depan simbol romawi yang lebih besar itu artinya dikurang.“
Subject-matter
−
−
Guru mengambil alih sebagian peran anak
“Bilangan romawi untuk angka
terhadap materi tertentu yang saat itu sedang
4..IV, bilangan romawi untuk
dihadapi atau dipikirkan oleh anak.
angka 6.. VI. Ini berarti kalau I
Guru biasanya akan menggunakan means
nya diletakkan di depan artinya
scaffolding berupa explaining dan modelling
dikurang, kalau di belakang
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
dalam subject-matter. Recruitment
Frustration control
artinya ditambah”
Guru membuat anak tertarik dengan tugasnya dan
“ Kalian pernah lihat ga simbol-
membantu mereka untuk tetap pada ketentuan tugas
simbol yang bapak tulis di
yang ada
depan?”
Guru memotivasi anak dengan menggunakan
“ Wah, bagus sekali...jawaban
reward dan punishment dan mencegah atau
kamu benar”
meminimalisasi rasa frustrasi anak.
“ Tuh kan, kamu bisa. Pintar sekali”
Miscellaneous
-
-
Dalam memberikan scaffolding, more knowledgeable other dan anak menggunakan tools yang berasal dari budayanya. Tools terdiri dari dua macam, yakni dari psychological tools dan technical tools (Miller, 2011). Psychological tools mengarahkan pikiran serta tingkah laku sedangkan technical tools merupakan perantara yang menghubungkan antara aktivitas manusia dengan dunia atau objek eksternalnya. Selama proses scaffolding, proses internalisasi terjadi. Proses internalisasi berlangsung dalam dua tahap yakni intermental dan intramental. Tahap intermental terjadi saat anak berinteraksi dengan lingkungannya yang dilanjutkan dengan tahap intramental, yakni saat anak berinteraksi dengan dirinya sendiri untuk merekonstruksi persepsi mereka. Karakteristik Anak Usia Sekolah Anak usia sekolah berada dalam tahap perkembangan middle and late childhood. Tahap ini mencakup rentang usia anak dari 6 hingga 11 tahun. Memasuki tahap perkembangan middle and late childhood, anak mulai berinteraksi dengan lingkungan sosial yang lebih luas dibandingkan sebelumnya (Santrock, 2011). Seiring dengan anak masuk ke dunia sekolah, kemampuan anak dalam meregulasi dan mempertahankan atensinya meningkat. Mereka telah mampu memroses informasi, merencanakan, dan memonitor tingkah laku mereka. Meningkatnya kemampuan-kemampuan ini mengarah pada fungsi eksekutif mereka, yakni anak secara sadar dapat mengatur pemikiran emosi, dan tindakan mereka untuk mencapai suatu tujuan tertentu (Luna et al dalam Papalia, Olds, dan Feldman, 2009). Selain fungsi eksekutif, metakognisi pada anak pun mulai berkembang. Metakognisi merupakan kesadaran anak akan proses berpikir mereka. Kesadaran ini membantu anak dalam memonitor pemahamannya dan memungkinkan mereka untuk mengembangkan strategi pemecahan masalah.
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
Karakteristik Anak Kelas 4 SD Anak-anak yang berada di kelas empat sekolah dasar pada umumnya sangat peduli dengan hampir segala sesuatu yang terjadi di sekolah (Mike, 2010). Secara kognitif, rasa keingin tahuan mereka meningkat dan mereka menjadi lebih rajin; sedangkan secara sosialemosional, mereka membutuhkan banyak dukungan. Para guru yang mengajar di kelas empat ini diharapkan mampu membentuk iklim kelas yang aman dan nyaman untuk anak sehingga anak dapat merasa cukup aman dan tenang dalam menghadapi resiko-resiko akademis yang muncul. Anak-anak di kelas empat sekolah dasar pada umumnya juga lebih suka melakukan aktivitas di dalam kelompok dibandingkan bekerja sendiri (Junior Achievement, n.d.). Mereka mulai mampu untuk memahami abstraksi serta hubungan sebab akibat, namun mereka masih membutuhkan pengalaman nyata di dalam lingkungan sosialnya.
Metode Penelitian Permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana gambaran penerapan konsep – konsep dari teori Vygotsky dalam interaksi guru dan anak di sebuah kelas yang ada pada sekolah dasar swasta T di Jakarta Barat?”. Permasalahan penelitian ini dibagi lagi ke dalam beberapa subpertanyaan, yakni : • Bagaimana gambaran kontingensi pada scaffolding dalam interaksi belajar antara guru dan anak di kelas pada sekolah dasar swasta T? • Bagaimana gambaran means (cara pemberian scaffolding) oleh guru kepada anaknya selama berinteraksi di sekolah dasar swasta T ? • Bagaimana gambaran intentions (tujuan pemberian scaffolding) oleh guru kepada anak dalam berinteraksi di kelas di sekolah dasar swasta T ? • Bagaimana gambaran penggunaan technical tools pada kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar swasta T ? • Bagaimana gambaran penggunaan psychological tools pada kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar swasta T ? • Bagaimana gambaran proses internalisasi yang terjadi pada anak yang berpartisipasi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah dasar swasta T ? Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, yakni penelitian yang didasarkan pada gambaran kompleks dan menyeluruh, analisis data yang terperinci dari informan, dan diselenggarakan dalam setting alamiah (Creswell, 1998). Gambaran mengenai
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
penerapan konsep dari teori Vygotsky tidak dapat terlihat jelas hanya melalui angka-angka atau perhitungan yang dilakukan pada penelitian kuantitatif. Secara lebih spesifik, pendekatan yang digunakan peneliti adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Hal ini dikarekan peneliti ingin melihat gambaran mengenai suatu fenomena, yakni proses pembelajaran. Partisipan dalam penelitian ini adalah seorang guru dan anak-anak di sebuah kelas di sekolah dasar swasta T di Jakarta Barat. Partisipan dipilih dengan metode purposeful sampling method dengan tujuan memilih subjek yang dapat membantu peneliti dalam menjelaskan sebuah fenomena (Creswell, 2012). Metode purposeful sampling method yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan sampel homogen. Metode pengambilan sampel homogen dilakukan dengan mengambil sampel yang merupakan bagian dari subkelompok tertentu sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Penelitian dilakukan pada sekolah dasar swasta yang tidak berbasis agama tertentu, memiliki akreditasi yang baik, dan telah berdiri lama di daerah tersebut. Di dalam sekolah tersebut, penelitian akan terfokus pada sebuah kelas pada tingkat 4 SD. Pemilihan kelas 4 SD terkait dengan karakteristik anak usia sekolah dan anak-anak kelas 4 SD. Mata ajar yang digunakan dalam penelitian ini adalah mata pelajaran matematika dengan pertimbangan bahwa matematika merupakan modal dasar manusia dalam melakukan kegiatan sehari-hari serta modal dasar bagi ilmu sains terapan lainnya (Soyemi dalam Umameh, n.d.). Namun, kemampuan matematika di Indonesia masih kurang dan menduduki peringkat 64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam survey PISA 2012 (OECD, 2012). Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah observasi dan wawancara. Observasi digunakan untuk melihat proses scaffolding, dan tools yang digunakan. Wawancara digunakan untuk melihat proses internalisasi anak dan keterangan tambahan yang berasal dari guru. Peneliti melakukan observasi terhadap proses pembelajaran yang terjadi dari awal materi dibahas hingga selesai. Setiap akhir sebuah pertemuan, peneliti meminta bantuan dari tiga orang anak untuk diwawancara dan dilihat proses internalisasinya. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah struktur yang dikembangkan oleh van de Pol et al (2012). Pengukuran scaffolding dapat dilihat melalui percakapan guru dan anak selama proses interaksi di kelas berlangsung. Interaksi tersebut dibagi menjadi dua kelompok yakni percakapan yang dilakukan guru dan percakapan yang dilakukan anak. Dari percakapan yang dilakukan guru, akan dapat dilihat derajat kontrol yang dilakukan oleh guru tersebut (TDc). Penjelasan lebih lanjut mengenai derajat kontrol guru dapat dilihat dalam tabel berikut.
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
Tabel 3 Derajat Kontrol Guru (TDc) Derajat TDc
Deskripsi pemberian kontrol
Contoh
Guru tidak terkait konten
Apa yang dikatakan oleh guru
“Pelajaran ini akan berakhr dalam 5 menit
(TDcNOC)
tidak terkait dengan konten
lagi. Kalian tidak boleh ke toilet sekarang.”
Tidak ada kontrol (TDc0)
Guru tidak terlibat percakapan dengan anak/grup anak • Guru tidak menyediakan konten informasi yang baru
Kontrol sangat rendah (TDc1)
• Guru mengeluarkan respon elaborasi • Guru menanyakan pertanyaan umum dan terbuka
Pada kondisi saat guru belum menghampiri anak atau saat guru mulai meninggalkan anak setelah berinteraksi dengan anak. • “Kenapa kalian memilih tiga konse tersebut?” • “Apa persamaan dari ketiga konsep tersebut?” • “Apa saja yang sudah kamu tulis?”
• Guru tidak menyediakan konten informasi yang baru • Guru mengeluarkan respon elaborasi yang umumnya ditujukan untuk mengelaborasi Kontrol rendah (TDc2)
atau menjelaskan sesuatu (pertanyaan “mengapa”) • Guru menanyakan pertanyaan lebih detail namun masih bersifat
Guru: “Menurut kamu apa yang dimaksud dengan “kemakmuran”?” Murid: “Ketika bangsa Polandia datang kesini.” Guru: “Menurut kamu, kenapa mereka datang kesini?”
pertanyaan terbuka
• Guru tidak menyediakan konten Kontrol sedang (TDc3)
informasi yang baru • Guru mengeluarkan respon singkat • Guru menyediakan konten informasi baru
Kontrol tinggi (TDc4)
• Guru mengeluarkan respon • Guru memberikan pertanyaan dengan hint • Guru menyediakan konten
Kontrol paling tinggi (TDc5)
informasi baru • Guru tidak mengeluarkan respon
• Menjawab ya/tidak atau memberikan pertanyaan pilihan ganda • Memberi feedback; Guru menunjukkan bahwa ada sesuatu yang belum tepat tetapi tidak menunjukkan jawabannya • “Apakah kamu pernah terpikir tentang pasar internal? (ketika konsep “pasar internal” belum pernah dimunculkan) • “Coba pikirkan tentang (konsep baru)” • “Jawabannya adalah “kemakmuran” “. • “Kemakmuran sebenarnya terkait dengan menghasilkan uang, dan hak, sebagai contoh, hak yang kamu miliki
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
• Guru memberikan penjelasan
untuk dihargai.”
atau jawaban dari pertanyaan
Percakapan yang dilakukan anak digunakan untuk melihat level pemahaman mereka (SU). Percakapan yang dilakukan oleh anak dikategorisasikan ke dalam lima level skala (PinoPasternak et al dalam van de Pol et al, 2012). Pemahaman anak dikodifikasi berdasarkan penilaian nyata dari guru dalam fragmen interaksi yang ada. Ketika guru menyetujui jawaban yang diberikan oleh anak, maka pemahaman anak dapat dikategorikan dalam pemahaman yang baik, namun sebaliknya ketika guru tidak menyetujui jawaban yang diberikan anak maka pemahaman anak tersebut dapat dikategorikan sebagai pemahaman rendah atau tidak paham. Anak dapat dikategorikan memiliki pemahaman sebagian ketika guru menanyakan lebih lanjut terhadap jawaban yang diberikan. Level pemahaman anak dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 4 Level Pemahaman Siswa (SU) Level SU
Deskripsi Level
Level 0 (SU0)
Tidak paham atau pemahaman rendah
Level 1 (SU1)
Pemahaman sebagian
Level 2 (SU2)
Pemahaman baik
Level X (SUX)
Pemahaman tidak dapat diketahui
Tidak terkait konten (SUNOC)
Giliran anak berbicara tetapi pembicaraan tidak terkait konten
Derajat kontrol guru dan level pemahaman siswa dalam satu fragmen interaksi, selanjutnya digunakan untuk melihat kontingensi scaffolding. Berdasarkan contingency rules yang dikemukakan oleh Wood et al (dalam van de Pol et al, 2012), apabila guru meningkatkan derajat kontrolnya ketika anak menunjukkan pemahaman yang kurang dan menurunkan derajat kontrolnya ketika anak menunjukkan pemahaman yang baik, maka scaffolding tersebut dikatakan kontingen. Scaffolding yang diberikan juga dapat dikatakan kontingen apabila guru tetap pada derajat kontrol yang sebelumnya digunakan atau meningkatkan derajat kontrol tersebut saat anak menunjukkan pemahaman sebagian.
Hasil Penelitian Scaffolding
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
Selama tiga hari proses observasi proses pembelajaran kelas mengenai bilangan romawi, didapatkan interaksi yang kontingen dan interaksi yang tidak kontingen. Interaksi tidak kontingen dapat dilihat dalam contoh interaksi berikut. “Kalau empat boleh begini ga?” (TDc3) “Ngga!” (SU2) “Ngga, batasnya paling maksimal ti..” (TDc5)
Pada potongan interaksi di atas, guru memberi pertanyaan yang memungkinkan anak untuk menimbulkan respon singkat (ya atau tidak). Pemberian scaffolding tersebut masuk ke dalam level kontrol yang sedang (TDc3). Pertanyaan guru tersebut dapat dijawab anak dengan benar, sehingga pemahaman anak dapat dikatakan sudah baik (SU2). Sebagai respon, guru langsung memberikan keseluruhan alasan mengapa bilangan romawi untuk angka empat tidak boleh ditulis dengan ‘IIII’. Pemberian penyelesaian atau penjelasan secara menyeluruh tanpa mengharapkan respon dari anak termasuk dalam kontrol scaffolding paling tinggi yakni TDc5. Hal ini menunjukkan bahwa guru justru meningkatkan kontrolnya di saat anak telah menunjukkan pemahaman yang baik sehingga scaffolding tersebut dikategorikan tidak kontingen. Scaffolding tidak kontingen lainnya juga ditemukan ketika guru menggunakan kontrol yang sama di saat pemahaman anak telah baik (misalnya TDc3-SU2-TDc3) maupun saat pemahaman anak masih buruk (misalnya TDc3-SU0-TDc3). Scaffolding yang guru berikan juga peneliti kategorikan tidak kontingen ketika guru melemparkan peran more knowledgeable other kepada anak lain ketika satu anak menunjukkan pemahaman yang kurang. “D... Berapa D?” (TDc 3) “400!” (SU0) “500.” (TDc 5)
Lain halnya dengan potongan percakapan sebelumnya, potongan percakapan di atas, merupakan contoh dari scaffolding yang kontingen. Pertama-tama guru memberikan pertanyaan yang membutuhkan respon pendek dari anak dan guru tidak memberikan informasi baru dan kata kunci apapun sehingga ungkapan guru tersebut termasuk dalam level kontol guru yang sedang (TDc3). Ternyata anak masih salah dalam menjawab pertanyaan yang guru berikan. Maka, pemahaman anak termasuk dalam pamahaman yang rendah atau belum paham (SU0). Sebagai respon dari jawaban anak, guru memberikan kontrol yang lebih tinggi dengan memberikan jawaban dari pertanyaan tersebut (TDc5). Guru meningkatkan
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
kontrolnya ketika anak menunjukkan pemahaman yang buruk, Oleh karena itulah, potongan interaksi di atas merupakan interaksi pemberian scaffolding yang kontingen. Dari hari pertama dan hari kedua ditemukan lebih banyaknya interaksi yang tidak kontingen dibandingkan dengan interaksi yang kontingen sedangkan pada hari ketiga, peneliti tidak melakukan pengolahan data scaffolding dikarenakan adanya interaksi yang terlalu sedikit dan hanya diisi oleh kegiatan ujian. Pada hari pertama interaksi yang tidak kontingen ditemukan sebanyak 45 dari 49 interaksi yang ada sedangkan pada hari kedua sebanyak 28 dari 34 interaksi yang ada. Banyaknya interaksi yang tidak kontingen mungkin disebabkan oleh tujuan pembelajaran bilangan romawi, yakni anak dapat mengetahui arti dari sebuah bilangan romawi yang akan ditemukan anak dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini menyebabkan guru seringkali mengajukan bentuk pertanyaan yang sama atau langsung memberikan penyelesaian masalah sekalipun anak telah menunjukkan pemahaman yang baik. Dalam pemberian scaffolding, terlihat banyaknya pemakaian intentions berupa task approach yang digunakan guru dalam menanyakan bilangan romawi untuk angka tertentu dimana anak hanya diharapkan dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan benar. Task approach banyak digunakan karena strategi guru dalam mengajar adalah dengan selalu melihat pemahaman anak sehingga banyak sekali latihan soal yang diberikan selama interaksi kelas. Selain task approach, guru juga menggunakan frustration control dimana guru mengajak anak untuk bertepuk tangan ketika anak berhasil menjawab dengan benar; recruitment, dimana guru mengajak anak bermain dan bernyanyi untuk mengembalikan atensi anak; general principles; dan subject-matter. Means yang banyak digunakan guru dalam memberikan scaffolding yakni questioning dan hints. Selain questioning dan hints, terlihat pula pemakaian means berupa feedback, instructing, explaining, dan modelling. Tools Technical tools yang digunakan saat proses pembelajaran di kelas yakni • Papan Tulis dan Spidol Papan tulis dan spidol ini digunakan hampir di seluruh sesi interaksi pada tiga pertemuan tersebut. Guru menggunakan papan tulis dan spidol untuk menerangkan materi yang diajarkan, memberikan contoh soal, dan soal yang harus dikerjakan oleh anak. Papan tulis juga digunakan oleh anak, dimana mereka memakai tools ini untuk mengerjakan dan membahas soal bersama-sama. Pemakaian tools ini dirasa guru merupakan media yang paling mudah bagi guru untuk menjelaskan mengenai bilangan romawi dibandingkan dengan media
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
lainnya. Bilangan romawi memiliki bentuk baku yang sudah ada sehingga guru tidak merasa harus untuk memakai tools lain seperti pada materi-materi lain yang diajarkannya. • Permainan Guru menggunakan permainan di sela-sela kegiatan belajar pada pertemuan pertama. Permainan yang dilakukan merupakan permainan yang sederhana dan tidak menggunakan alat apapun. Permainan sederhana ini digunakan guru dengan tujuan agar anak tidak merasa terlalu tegang saat belajar, terlebih setelah suasana kelas mulai tidak nyaman untuk belajar. Selain itu, permainan juga digunakan untuk menarik kembali atensi anak yang mulai menghilang. • Lagu Guru juga menggunakan lagu sebagai technical tools dalam proses belajar mengajar di kelas. Lagu ini dipakai oleh guru pada pertemuan kedua dan ketiga. Oleh guru, lagu tersebut seringkali dijadikan sebagai bentuk permainan dimana pada akhir lagu, guru memberikan instruksi kepada anak untuk melakukan sesuatu. Tujuan guru memakai lagu sama dengan tujuan guru memakai permainan yakni agar anak tidak merasa tertekan selama belajar di dalam kelas. Selain itu, lagu juga dimaksudkan guru untuk mengembalikan atensi anak sehingga anak dapat lebih fokus dalam menyimak materi yang diajarkan. • Buku Referensi Selain ketiga technical tools di atas, guru secara tidak langsung juga menggunakan berbagai buku referensi sebagai dasar guru dalam memberikan materi di kelas. Namun, dalam kegiatan di kelas, buku-buku referensi tersebut tidak dipakai baik oleh guru maupun oleh anak. Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan guru dan observasi yang dilakukan selama interaksi kelas berlangsung, ditemukan beberapa psychological tools yang dapat membantu anak dalam menguasai bilangan romawi dari awal hingga pengurangan dalam bilangan romawi. Psychological tools yang ditemukan yakni, pemahaman mengenai rumus bilangan romawi dalam mengonversi bilangan, penguasaan bilangan dasar romawi, dan konsep penjumlahan serta pengurangan dalam bilangan bulat. Pada awal perkenalan mengenai bilangan romawi, anak membutuhkan pemahaman mengenai rumus dalam mengonversi bilangan romawi serta mampu menghafal bilangan dasar romawi, yakni satu hingga sepuluh, lima puluh, seratus, lima ratus, dan seribu. Penguasaan bilangan dasar romawi dan pemahaman mengenai rumus bilangan romawi ini nantinya membantu anak dalam bentuk-bentuk bilangan romawi yang lebih sulit seperti 49, 78, dan sebagainya. Selanjutnya, konsep mengenai penjumlahan dan pengurangan dalam bilangan
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
bulat dapat membantu anak ketika mereka belajar mengenai penjumlahan dan pengurangan dalam bilangan romawi. Untuk dapat mengerjakan sebuah soal penjumlahan dan pengurangan dalam bilangan romawi, anak terlebih dahulu sudah harus menguasai konsep penjumlahan dan pengurangan dalam bilangan bulat. Butuhnya pemahaman anak mengenai penjumlahan dalam bilangan bulat dapat dilihat dari potongan think aloud yang dilakukan anak ketika mereka mengerjakan soal yang diberikan oleh peneliti, yakni sebagai berikut. “49 + 27.. 40 XL, sembilan satu X ditambah 60, 60 LX, em 7.. VII sama dengan 49 ditambah 67 (membentuk penjumlahan menurun) sama dengan.. Sembilan ditambah tujuh. 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16. Empat, lima. Seratus sebelas. Seratus sebelas sama dengan 100 C. 100 C 16 nya, em, XV satu.”
Dalam mengerjakan satu dari beberapa soal yang diberikan, anak menggunakan struktur penjumlahan ke bawah untuk menghitung penjumlahan dalam bilangan bulat terlebih dahulu baru mengonversikan hasil penjumlahannya ke dalam bilangan romawi. Hal yang sama berlaku pula untuk pengurangan dalam bilangan romawi. Seorang anak dari tiga anak yang mengerjakan soal dari peneliti bahkan terlihat membutuhkan baik pemahaman mengenai pengurangan dan penjumlahan dalam bilangan bulat untuk dapat mengerjakan soal pengurangan dalam bilangan romawi. Peneliti menemukan kemungkinan bahwa psychological tools mengenai pemahaman konsep penjumlahan dan pengurangan dalam bilangan bulat juga dibutuhkan anak untuk menguasai kemampuan mengonversi bilangan bulat ke dalam bilangan romawi. Hal ini terlihat dari potongan penjelasan guru berikut. “Jadi untuk angka sembilan, sepuluh (menuliskan bilangan romawi sepuluh) dikurang satu (menuliskan bilangan romawi satu di depan bilangan romawi sepuluh), dan kemudian sepuluh (menuliskan bilangan romawi sepuluh).” “Ini sepuluh. Berarti sebelas berapa sebelas? X (menuliskan simbol X) ditambah satu (menambahkan I dibelakang X).” “Tadi bapak guru sudah menerangkan ya.. kalau dibelakang itu ditambah, kalau di depan itu dikurang.”
Melalui potongan penjelasan guru di atas, dapat dilihat bahwa untuk membentuk bilangan romawi 9, seorang anak harus menguasai konsep pengurangan dalam bilangan bulat (sepuluh harus dikurang satu agar menjadi sembilan). Begitu pula halnya dengan bilangan romawi 11 dimana seorang anak harus menguasai konsep penjumlahan dalam bilangan bulat (sepuluh harus ditambah dengan satu agar menjadi sebelas) terlebih dahulu agar dapat membentuk bilangan romawi sebelas dengan tepat.
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
Selain beberapa psychological tools yang disebutkan oleh guru, peneliti melihat bahwa anak juga membutuhkan pemahaman mengenai bilangan bulat dan kemampuan menghapal simbol-simbol bilangan romawi untuk dapat mengonversikan bilangan bulat ke dalam bilangan romawi. Simbol-simbol romawi yang dimaksud adalah I, V, X, L, C, D, dan M yang merupakan simbol-simbol dasar bilangan romawi. Internalisasi Setelah tiga hari proses wawancara dan observasi, didapat gambaran mengenai konsep konversi, penjumlahan, dan pengurangan dalam bilangan romawi. Hasil proses internalisasi anak dapat dilihat dalam tabel berikut. Tabel 5 Hasil Internalisasi Hari Pembahasan ke-‐ 1 Konversi
Anak 1
Anak 2
Anak 3
Pemahaman sebagian
Pemahaman sebagian
Pemahaman sebagian
Penjumlahan bil. romawi
Berhasil menginternalisasi struktur
Berhasil menginternalisasi struktur
Tidak berhasil menginternalisasi struktur
2
Pengurangan bil. romawi
Berhasil menginternalisasi struktur
Berhasil menginternalisasi struktur
Tidak berhasil menginternalisasi struktur
3
Konversi
Sebagian tidak terlihat
Pemahaman utuh
Sebagian tidak terlihat
Penjumlahan & pengurangan bil. romawi
Berhasil menginternalisasi struktur
Berhasil menginternalisasi struktur
Tidak berhasil menginternalisasi struktur
Pada konsep konversi bilangan romawi, terdapat dua aturan dasar pengonversian yang dibahas oleh guru saat proses intermental terjadi. Kedua aturan tersebut yakni simbol I tidak boleh dipakai lebih dari tiga secara berturut-turut dan peraturan keduanya yakni ketika sebuah bilangan romawi yang lebih kecil diletakkan di depan bilangan romawi yang lebih besar maka bilangan romawi yang lebih besar dikurang dengan bilangan romawi yang lebih kecil. Sebaliknya, ketika bilangan romawi yang lebih kecil diletakkan di belakang bilangan romawi yang lebih besar, artinya bilangan romawi yang lebih besar ditambah dengan bilangan romawi yang kecil. Pada konsep konversi terlihat bahwa ketiga anak berhasil menginternalisasi sebagian dari aturan tersebut di hari pertama dan seorang anak berhasil menginternalisasi keseluruhan aturan pada hari ketiga. Pada konsep penjumlahan dan pengurangan bilangan romawi, guru memberikan struktur penyelesaian dengan mengonversi bilangan soal, menyelesaikan penjumlahan atau pengurangan yang ada, dan kemudian mengonversikan bilangan hasil. Saat proses wawancara
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
berlangsung, terlihat bahwa anak pertama dan anak kedua berhasil menginternalisasi struktur tersebut, namun tidak demikian pada anak ketiga. Anak ketiga tampak menyelesaikan penjumlahan atau pengurangan yang ada lebih dahulu baru kemudian mengonversi semua bilangan yang ada. Peneliti memperkirakan anak telah memahami konsep konversi bilangan romawi dan konsep penjumlahan serta pengurangan dengan baik. Namun, anak masih sulit dalam menggabungkan kedua konsep tersebut dalam satu persoalan sehingga anak cenderung mengerjakannya secara terpisah-pisah
Kesimpulan Selama proses belajar mengajar berlangsung, banyak ditemukan interaksi atau pemberian scaffolding yang tidak kontingen. Guru cenderung memberikan kontrol yang sama atau lebih tinggi ketika anak telah menunjukkan pemahaman yang baik. Pola interaksi ini terjadi secara berulang dari hari pertama hingga hari ketiga. Di samping interaksi yang cenderung tidak kontingen, ditemukan pula pemakaian means berupa hints, questioning, feedback, instructing, explainng, dan modelling. Selama interaksi berlangsung, means yang paling banyak dipakai guru yakni hints dan questioning. Hints dan questioning dipakai saat guru menjelaskan materi dan melakukan pembahasan soal. Pada proses pembelajaran di kelas, guru banyak menggunakan intentions berupa task approach. Penggunaan task approach ini terlihat dalam kegiatan pembahasan soal-soal di kelas. Selain task approach, intentions yang juga digunakan oleh guru yakni frustration control, recruitment, general principles, dan subject-matter. Guru, selama berinteraksi dengan anak di kelas, menggunakan beberapa technical tools. Technical tools yang paling banyak dipakai guru adalah papan tulis dan spidol. Papan tulis dan spidol digunakan guru untuk menjelaskan konsep dan membahas soal-soal. Selain papan tulis dan spidol, guru juga memakai technical tools lain, seperti permainan, lagu, dan buku referensi. Selain technical tools, terdapat pula penggunaan psychological tools yakni pemahaman mengenai rumus bilangan romawi dalam mengonversi bilangan, penguasaan bilangan dasar romawi, dan konsep penjumlahan serta pengurangan dalam bilangan bulat. Ketiga psychological tools ini digunakan pada semua proses pembelajaran dari hari pertama hingga hari ketiga. Berdasarkan observasi yang dilakukan, ditemukan pula psychological tools berupa pemahaman mengenai bilangan bulat dan kemampuan menghapal simbol-simbol bilangan romawi yang juga dibutuhkan dalam memahami materi bilangan romawi.
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
Jika dilihat dari proses internalisasinya, ketiga anak terlihat telah memiliki pemahaman yang baik mengenai materi yang dibahas. Terdapat beberapa proses internalisasi yang berbeda pada anak, akan tetapi anak tetap mampu menyelesaikan permasalahan dengan benar. Selama hari pertama hingga hari ketiga tidak terlihat adanya peningkatan pemahaman pada anak.
Diskusi Hasil penelitian ini berebeda dengan hasil penelitian mengenai hal serupa yang pernah dilakukan oleh van de Pol dan rekan-rekannya (van de Pol et al, 2012). Penelitian tersebut melihat interaksi yang terjadi antara guru dengan sekelompok kecil anak dan menunjukkan adanya interaksi yang kontingen. Van de Pol dan rekan-rekannya, dalam penelitian ini, menggunakan model of contingent teaching dimana tiap langkah diidentifikasi secara terpisah pada setiap interaksi yang muncul. Melalui model ini, diketahui bahwa banyaknya interaksi yang kontingen terkait dengan penggunaan informasi mengenai pemahaman anak sebagai dasar guru dalam memberikan bantuan. Sebaliknya, hasil penelitian ini serupa dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh Ruiz-Primo dan Furtak pada tahun 2007 (van de Pol et al, 2012). Penelitian ini menunjukkan banyaknya interaksi tidak kontingen. Interaksi yang tidak kontingen ini sebagian besar disebabkan oleh adanya bantuan yang tidak diadaptasi dengan pemahaman anak. Penggunaan informasi mengenai pemahaman anak inilah yang memungkinkan ditemukannya hasil kontingensi scaffolding yang tidak kontingen. Guru mungkin kurang menggunakan informasi mengenai pemahaman anak sebelum memberikan bantuan sehingga bantuan atau scaffolding yang diberikan kurang tepat. Hal ini terlihat pada interaksi dimana guru terlihat menggunakan level kontrol yang sama ataupun yang lebih tinggi sekalipun anak telah menunjukkan pemahaman yang baik. Hal ini dapat memperlihatkan bahwa guru tidak memberikan bantuan sesuai dengan pemahaman yang telah dimiliki oleh anak. Sebagai akibatnya, bantuan yang diberikan oleh guru tidak berkurang dan tanggung jawab anak terhadap materi tersebut tidak bertambah sehingga scaffolding yang kontingen pun tidak muncul. Cara guru dalam mengajar selama tiga hari pengamatan mungkin dapat dijelaskan lebih lanjut dalam metode pembelajaran rote learning. Rote learning didefinisikan sebagai proses belajar yang bertujuan agar seseorang dapat mengulang apa yang ada di ingatannya dan bukan merupakan proses pembelajaran yang bertujuan untuk memahaminya (Cambridge International Dictionary of English dalam Xiuping, 2004). Proses ini mencakup metode
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
menghapal dan pengulangan dalam proses belajarnya. Sistem rote learning tidak melibatkan proses yang memungkinkan anak memahami atau menginterpretasi informasi yang mereka terima. Metode rote learning tergambarkan dalam proses belajar mengajar yang dilakukan guru, yakni menekankan pada nilai dari sebuah simbol bilangan romawi dengan mengulang peraturan yang ada dan menanyakan secara berulang mengenai nilai dari sebuah bilangan romawi atau sebaliknya. Cara mengajar yang dilakukan guru diprediksi terkait dengan materi yang dibahas, yakni bilangan romawi. Proses belajar mengenai materi tersebut akan lebih cenderung mengarah pada metode menghapal simbol-simbol yang memang sudah ada dan diperkuat oleh guru dengan adanya pengulangan dalam bentuk pertanyaan. Walaupun dengan metode belajar mengajar demikian, anak terlihat dapat menyelesaikan permasalahan dengan baik namun, peneliti mencurigai kemungkinan ditemukannya pemahaman yang kurang apabila anak ditanyakan konsep yang lebih dalam mengenai bilangan romawi tersebut. Peneliti menyadari adanya kekurangan – kekurangan dalam proses penelitian yang dilakukan. Kekurangan ini tentunya tidak terlepas dari apa yang peneliti lakukan selama proses pengumpulan data berlangsung. Peneliti menyadari kurangnya probing yang dilakukan saat wawancara dilakukan, baik pada anak maupun pada guru. Hal ini mungkin menjadi salah satu penyebab keterbatasan deskripsi yang dapat peneliti uraikan dalam hasil penelitian. Selama pengumpulan informasi mengenai sekolah dan subjek penelitian, peneliti merasa terburu-terburu dan tidak berhasil mendapatkan banyak informasi. Akibatnya, gambaran mengenai subjek menjadi kurang rinci dan dalam. Hal ini mungkin menjadi salah satu penyebab kurang dalamnya analisis yang dapat dilakukan peneliti mengenai fenomena. Peneliti juga merasa kurang membentuk rapport sebelum wawancara dilakukan. Waktu yang disediakan oleh guru yakni sepuluh menit sebelum pelajaran usai dimana jam berikutnya merupakan jam istirahat. Peneliti ingin menyelesaikan proses wawancara sebelum jam istirahat dimulai agar anak tidak terdistraksi dengan keinginannya untuk istirahat dan tidak terganggu pula dengan teman-teman lainnya yang sedang istirahat. Namun, hal ini justru dapat menjadi penyebab ragu-ragunya anak saat memberikan jawaban atas pertanyaan peneliti.
Saran Saran Metodologis − Pengumpulan informasi mengenai materi yang akan dibahas di kelas sehingga peneliti dapat mempersiapkan segala sesuatunya dengan lebih matang.
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
− Penelitian lainnya dengan menggunakan metode wawancara perlu memantapkan konsep dan teknik mengenai wawancara sebelum pengambilan data. − Perlu dilakukannya wawancara mengenai pemahaman aktual anak sebelum pembahasan suatu materi dimulai, sehingga proses internalisasi dapat lebih tergambarkan dengan jelas. − Penelitian mengenai proses internalisasi perlu memberikan instruksi yang jelas kepada anak dan meminta anak untuk latihan think aloud secara berulang hingga anak benar-benar mampu melakukan apa yang diharapkan. Saran Praktis − Melalui penelitian ini, sekolah dapat lebih mengenal konsep scaffolding, tools, dan internalisasi dari teori Vygotsky yang mungkin dapat dipelajari lebih lanjut dalam sebuah pelatihan. Hasil pelatihan ini kemudian dapat diterapkan dalam mengajar di kelas. − Hasil penelitian ini dapat menjadi referensi tambahan bagi sekolah dalam melakukan evaluasi terhadap sistem atau metode belajar mengajar di kelas sehingga proses belajar mengajar di kelas dapat berlangsung lebih baik dan efektif.
Daftar Referensi Bowler, L., Large, A.,Beheshti, J., Nesset, V. (n.d.). Children and adults working together in the zone of proximal development: a theory for user-centered design. McGill University Creswell, J.W. (1998). Qualitative inquiry and research design: choosing among five traditions. United States of America : SAGE Publications Creswell, J.W. (2012). Educational research : Planning, conducting, and evaluating quantitative and qualitative research. Boston: Pearson Education Daniels, Harry (Ed.). (2003). An introduction to vygotsky. New York: Taylor & Francis Depdiknas. (2008). Perkembangan jumlah sekolah dasar menurut status tiap provinsi. Diunduh dari http://data.menkokesra.go.id/content/jumlah-sekolah-di-indonesia Dinas Pendidikan. (2014). Data pendidikan tahun 2007-2008. Diunduh dari http://www.jakarta.go.id/web/bankdata/listings/details/622 Dinas Pendidikan. (2014). Jumlah sekolah SD berdasarkan status. Diunduh dari http://www.jakarta.go.id/web/bankdata/listings/details/1264 Dinas Pendidikan. (2014). Data mengenai jumlah sekolah, siswa, dan guru berdasarkan status tahun pelajaran 2011-2012. Diunduh dari http://www.jakarta.go.id/web/bankdata/listings/details/2178 Dinas Pendidikan Kota Surabaya. (2013). Pengumuman lomba olimpiade MIPA SD/MI tahun 2013 tingkat kota surabaya. Diunduh dari http://dispendik.surabaya.go.id/index.php/pengumuman/745-pengumuman-lombaolimpiade-mipa-sd-mi-tahun-2013 Junior achievement. (n.d.). Student characteristics – elementary school. Diunduh dari
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014
http://www.jani.org/images/pdfs/volunteer_resources/JA_Elementary_Student_Characteristics.pdf Kemenag. (2008). Peraturan pemerintah republik indonesia nomor 47 tahun 2008. Mike, Anderson. (2010). What every 4th grade teacher needs to know: about setting up and running a classroom. Northeast Foundation For Children Miller, P.H. (2011). Theories of developmental psychology. New York : Worth Publishers OECD. (2013). PISA 2012 Results in Focus : what 15-year-olds know and what they can do with what they know. OECD Papalia, D.E., Olds, S.W., Feldman, R.D. (2009). Human development. New York: The McGraw Hill Companies Santrock, J.W. (2011). Educational psychology. New York: McGraw-Hill Sistem Informasi Manajemen Pendidikan [Simdik]. (2011). Peringkat nilai ujian nasional SD/MI swasta jakarta timur tahun pelajaran 2012/2013. Diunduh dari http://www.simdik.info/hasilun/index.aspx/ Sistem Informasi Manajemen Pendidikan [Simdik]. (2011). Peringkat nilai ujian nasional SD/MI negeri jakarta timur tahun pelajaran 2012/2013. Diunduh dari http://www.simdik.info/hasilun/index.aspx/ Umameh, M. (n.d.). Survey of students poor performance in mathematics in SSCE. Diunduh dari www.academia.edu/2646236/Survey_of_students_poor_performance_on_Mathematics_in_SSCE) van de Pol, Volman, dan Beishuizen. (2009). Patterns of contingent teaching in teacher-student interaction. Learning and instruction, 1-12 van de Pol, Volman, dan Beishuizen. (2010). Scaffolding in teacher-student interaction: A decade of research. Educ Psychol Rev, 22, 271-296 van de Pol et al. (2012). Measuring scaffolding in teacher – small group interactions. Pedagogy: New Developments in the Learning Sciences. Hauppage: Nova Science Publishers. Xiuping, Li. (2004). An analysis of chinese efl learners’beliefsabout the role of rote learning in vocabulary learning strategies. United Kingdom: University of Sunderland
Penerapan scaffolding…, Amelia Irawan, FPsi UI, 2014