4
Hasil dan Pembahasan
4.1 Isolasi Kitin Kitin banyak terdapat pada dinding jamur dan ragi, lapisan kutikula dan exoskeleton hewan invertebrata seperti udang, kepiting dan serangga. Bahan-bahan yang terdapat dalam cangkang udang ini adalah kitin (15 - 40%), protein (20 - 40%) dan kalsium karbonat (20 – 50%). Pada penelitian ini telah berhasil diisolasi kitin dari cangkang kulit udang melalui tiga tahap reaksi yaitu pertama, tahap deproteinasi atau tahap penghilangan protein . Didalam kulit udang, kitin terikat secara kovalen dengan protein spesifik yang mengelilinginya.Sehingga akan mengganggu proses isolasi kitin tersebut. Oleh karena itu, diperlukan basa yang kuat untuk memutuskan ikatan kovalen tersebut, maka digunakan larutan NaOH 3,5 % pada suhu 60 )C selama 2 jam. Terlepasnya protein dari kulit udang ditandai dengan terbentuknya larutan berwarna oranye kekuningan serta menandakan adanya pigmen warna yang terkandung didalam cangkang kulit udang. Untuk memisahkannya, dilakukan penyaringan biasa. Adapun efektivitas penghilangan protein ini dipengaruhi oleh tiga faktor, pertama yaitu kekuatan basa pengekstrak, lama waktu ekstraksi dan suhu ekstraksi..Prosedur percobaan ini merupakan adopsi dari metode isolasi kitin dari kulit udang oleh Hong K. dkk. Tahap kedua adalah demineralisasi atau tahap penghilangan mineral. Garam mineral yang paling banyak terkandung di dalam kulit udang adalah CaCO3, Ca3(PO4)2.Untuk menghilangkannya, dilakukan dengan menambahkan larutan HCl 1M selama 2 jam tanpa pemanasan. Reaksi yang terjadi adalah reaksi asam-basa karena tidak terjadi perubahan bilangan oksidasi. Warna yang ditimbulkan hasil reaksi adalah putih ke-oranyean. Pemisahan dilakukan dengan penyaringan biasa dan untuk menghilangkan kandungan HCl pada proses isolasi ini, dilakukan pencucian dengan menggunakan aqua dm.
Reaksi yang terjadi selama
demineralisasi adalah sebagai berikut: CaCO3(s) + 2HCl(aq) Ca3(PO4)2 (aq) + 4 HCl (aq)
CaCl2 (aq) + H2O (l) + CO2 (g) 2 CaCl2 (aq) + Ca(H2PO4)2 (aq)
52
Tahap ketiga adalah tahap dekolorisasi atau penghilangan warna. Kitin pada cangkang kulit udang
berikatan
dengan
pigmen
astaxanthin
dan
kantaxanthin
membentuk
kompleks.Berdasarkan gambar 4.1 ,yang menunjukkan struktur astaxanthin mengandung ikatan –C=C- yang dapat mengganggu pada spektroskopi IR karena serapannya hampir sama dengan serapan –C-N- (1675-1500 cm-1) pada kitin.
Gambar 4.1 Struktur astaxanthin dan cantaxantin Untuk menghilangkannya dapat dilakukan dengan penambahan reagen oksidator seperti aseton,asam oksalat, kaporit atau KMnO4. Pada penelitian ini, telah dipilih aseton sebagai oksidator karena ada kesesuaian kepolaran. Proses ekstraksi dengan aseton dilakukan dengan metode soxhlet. Namun, penggunaan metode ini tidak optimum karena warna kitin yang diperoleh tidak benar-benar putih serta memerlukan waktu yang relatif lama .Oleh karena itu, dipergunakan metode lain dengan prinsip yang sama yaitu ekstraksi dengan cara menambahkan aseton secara langsung ke dalam padatan kitin disertai dengan pemanasan dan pengadukan pada tempat yang tertutup agar aseton tidak menguap. Faktor lamanya ekstraksi juga sangat mempengaruhi hasil yang diperoleh. Disamping penggunaan aseton sebagai oksidator, pada penelitian sebelumnya, digunakan larutan kaporit atau NaOCl yang dapat menghasilkan kitin berwarna putih karena daya hidrolisisnya lebih kuat.,tetapi memiliki kelemahan yaitu tidak ramah lingkungan. Setelah melalui ketiga tahap tersebut, akhirnya diperoleh kitin bebas protein, mineral serta pigmen sebanyak 19,2602 gram.. Dengan persen hasil yang diperoleh sebanyak 25,52%. Hasil persen akhir keseluruhan dapat terlihat pada tabel 4.1
53
Tabel 4.1 Persen kehilangan berat dari isolasi kitin No
Proses
Berat (gram)
% kehilangan berat
1
Deproteinasi
38,1194
50,52 %
2
Demineralisasi
23,4086
31,02 %
3
Dekolorinasi
19,2602
25,52 %
Tabel 4.1 menunjukkan kesesuaian hasil yang diperoleh jika dibandingkan dengan literatur, yaitu komposisi kitin berkisar 15-40 %. Untuk membuktikan isolasi kitin telah berhasil, maka dilakukan pengujian berupa kelarutan didalam larutan asam asetat 3 %, dan pengukuran spektrum inframerah dengan menggunakan pelet KBr.
4.2 Konversi Kitin menjadi Kitosan Kitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak lebih dari 70% dengan melibatkan rekasi hidrolisis oleh basa kuat. Oleh karena itu,untuk mendapatkan kitosan, kitin sebanyak 19,2602 gram yang telah di peroleh di reaksikan dengan larutan NaOH 50 % ,reaksi dilakukan pada temperatur 105oC. Deasetilasi merupakan penghilangan gugus N-asetil asetamida pada kitin menjadi gugus amina yang kita kenal dengan kitosan. Suhu harus dijaga konstan berkisar 1000C - 105oC. Gambaran mekanisme reaksi deasetilasi kitin dapat terlihat pada gambar berikut ini :
54
H
OH
H OH
H OH
OH O
H OH
OH O
OH O
O
OH O
O O H
H H OH O
OH-
C
H H
O H
H
NH
H
NH
OH O
C
H
NH
OH -
C
O
H H
NH
OH O
C
H
-
OH
O H
H OH
H OH
H OH
OH O
OH O O
H OH
OH O
- CH3COO-
O H
H OH OH O
O H
NH2
O
H
H
H
NH
H OH O
C
H
H
NH
H
NH
H
OH -
OH
C
O -
H
OH
O
C
H
O
Gambar 4.2 Mekanisme reaksi konversi kitin menjadi kitosan Banyaknya gugus asetil yang terlepas dinyatakan dengan derajat deasetilasi. Terlihat pada Gambar 4.2 bahwa perbedaan antara kitin dengan kitosan, terletak pada atom C nomor 2. Pada kitin, semua unti monosakaridanya memiliki gugus asetamida sedangkan pada kitosan sebagian unit monosakaridanya memiliki gugus amina .
4.3 Karakterisasi Kitin dan Kitosan
Untuk memastikan telah terbentuk kitosan maka tes awal yang dapat dilakukan adalah dengan melarutkan kitosan di dalam larutan asam asetat. Karena antara kitin dengan kitosan memiliki sifat kelarutan yang berbeda..Berdasarkan penelitian dari Mia, diketahui bahwa kitosan dapat larut di dalam larutan asam asetat 1 % maupun larutan asam asetat 3% . Pada penelitian ini, di lakukan pengujian kelarutan kitosan terhadap larutan asam asetat, dengan mengunakan perbandingan jumlah kitosan yang digunakan, seperti terlihat pada tabel 4.2, menunjukkan bahwa pada komposisi 1 % (v/v) larutan kitosan, persen kelarutannya sangat besar .Sehingga pada penelitian ini, digunakan larutan kitosan sebanyak 1 % (v/v) yaitu untuk setiap 1 gram kitosan, ditambahkan larutan asam asetat 3 % sebanyak 100 mL .
55
Tabel 4.2 Persen Kelarutan Kitosan Gram Kitosan awal
Residu
% kelarutan
1 % larutan kitosan
1,5008 (150 mL pelarut)
0,2260 gram
82,27 %
2 % larutan kitosan
2,0076 (100 mL pelarut)
1,3218 gram
34,16 %
Selain uji kelarutan, dapat juga dilakukan dengan pengukuran spektrum Inframerah dengan menggunakan pelet KBr untuk melihat gugus-gugus fungsi yang terikat.
100 %T 90
1595.13
1654.92
-C=O- amida
2881.65
50
3446.79 3367.71
-C-H- metil 40
30
-C-O-eter aromatik
1151.50 1095.57
60
894.97
70
1421.54 1381.03 1325.10
1251.80
80
-C-O-alkohol 2
0
-C-O-alkohol 1
0
-NH- amina primer
-O-H-alkohol 4500 4000 Khitosanc
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4.3 Spektrum Inframerah Kitosan Dapat terlihat pada Gambar spektrum 4.3, puncak-puncak umum dari kitin dan kitosan terlihat pada Tabel 4.3
56
Tabel 4. 3 Data Spektrum Inframerah Kitosan Bilangan gelombang
Jenis Ikatan
Keterangan
1200-1705 cm-1
C-O-C
Eter siklik
1680-1630 cm-1
C=O
Asetamida
3200 – 3600 cm-1
O-H
hidroksi
3500-3300 cm-1
N-H
Vibrasi stretching
1380
C-H
CH3 pada Amida
1050+- 10 cm-1
C-O
Alkohol primer
1100 cm-1
C-O
Alkohol sekunder
Spektrum kitin dan kitosan dapat dibedakan dengan melihat berkurangnya intensitas gugus – C=O- (asetamida) pada bilangan gelombang 1665,4 cm-1 yang menunjukkan kitin telah terdeasetilasi ,sedangkan intensitas untuk N-H yaitu pada 3448,8 cm-1 mengalami kenaikan. Hal ini terjadi karena pada kitosan mengandung banyak ikatan N-H. Pada Gambar spektrum 4.3 terdapat gugus –C=O pada –CO2- dengan intensitas yang cukup tinggi, hal ini dikarenakan ketika pengerjaan pembuatan pelet, kondisi ruangan tidak konstan kemungkinan berasal
dari
udara
lingkungan.
Spektrum
kitin
terlihat
pada
Gambar
97.5 %T
894.97
1203.58
1259.52
90
-C=O- amida
1662.64 1631.78
3479.58
52.5
0
1072.42
-C-O-alkohol 2
1022.27
1377.17 1571.99
60
-O-H-alkohol
698.23
956.69
-C-O-alkohol 1 1155.36
-C-O-eter aromatik
67.5
1317.38
75
1435.04
3111.18
2881.65
82.5
0
-NH- amina primer 45
4.4
4500 Kitin-1
4000
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4.4 Spektrum inframerah kitin Untuk lebih memastikan telah berhasilnya sintesis kitosan, pada penelitian ini dilakukan pengukuran derajat deasetilasi dengan metoda baseline pada sepektrum inframerah. Metode
57
ini di adopsi dari penelitian
Domszy dan Robert . Dengan menggunakan rumus :
⎡⎛ A ⎞ 1 ⎤ % N-deasetilasi={100 - ⎢⎜ 1658 ⎟ x ⎥ } x 100% A 1,33 3448 ⎝ ⎠ ⎣ ⎦ dimana A1658 merupakan nilai absorban pada bilangan gelombang 1658 cm-1 yang merupakan pita amida yang menunjukkan jumlah gugus N-asetil, sedangkan A3448 merupakan nilai absorban pada bilangan gelombang 3448 cm-1 yang merupakan pita O-H hidroksil sebagai standar dalam . Faktor ‘1,33’ dinyatakan sebagai nilai perbandingan A1658 / A3448 untuk semua gugus N-asetil pada kitosan terdeasetilasi . Pada penelitian ini diperoleh nilai derajat deasetilasi mencapai 79,31 %, sedangkan berdasarkan literatur, disebutkan bahwa dikatakan kitosan ketika besarnya nilai derajat deasetilasi lebih dari 70 %. Pengukuran derajat deasetilasi memberikan karakteristik tertentu pada kitosan ,yaitu nilai berat molekul ratarata. Berat molekul rata-rata yang diperoleh dari hasil deasetilasi sebanyak 1,16 x 107 gr/mol. Pengukuran berat molekul ini sangat besar bila dibandingkan dengan literatur berkisar 1,0 x104 – 1,0 x106 gr/mol . Hal ini dikarenakan perbedaan derajat deasetilasi . Semakin besar nilai derajat deasetilasinya, maka nilai berat molekul rata-rata dari kitosan akan berkurang.
4.4 Membran Kitosan dan Membran Kitosan-TEOS Kitosan yang diperoleh dapat dibuat film tipis (membran) dengan ketebalan tertentu .Pembuatan Membran kitosan dapat dilakukan dengan inversi fasa , yaitu proses transformasi polimer dari fasa cair ke fasa padat dengan kondisi terkendali penguapan pelarut pada suhu tertentu (Mulder, 1996) tahapannya adalah dengan membuat larutan kitosan 1% sebagai larutan cetak , yang kemudian di cetak ke dalam suatu cawan petri dengan volume 20 mL ,selanjutnya pelarut dibiarkan menguap sehingga yang tertinggal adalah endapan polimer yang tercetak didalam cawan petri. Untuk melepaskan membran tersebut dapat dilakukan dengan perendaman dengan larutan NaOH 2 M, kemudian didiamkan selama kurang lebih 30 menit, dan membran siap diangkat, yang kemudian dicuci dengan aqua dm untuk menghilangkan larutan NaOH yang menempel . Pada proses ini, larutan NaOH berperan sebagai nonpelarut atau suatu koagulan. Dengan metoda inversi fasa ini dapat diperoleh membran yang porous . Proses selanjutnya adalah sintesis membran kitosan-TEOS, yaitu mengikatsilangkan suatu material anorganik yaitu tetraetilortosilikat (TEOS) kedalam suatu polimer organik. Tahap sintesis dilakukan dengan penambahan langsung TEOS kedalam larutan kitosan 1% melauli proses sol-gel.Proses ini melibatkan dua reaksi yaitu reaksi hidrolisis dan reaksi kondensasi ,
58
mekanisme yang terjadi :
Gambar 4..5 Mekanisme hidrolisis dan kondensasi dari TEOS Membran kitosan serta turunannya yang berhasil di sintesis yaitu CTSN ; CTSN-0,5 ; CTSN-1; CTSN-1,5; serta CTSN-2. Angka dibelakang kode CTSN menyatakan volume (mL) TEOS yang ditambahkan .Untuk membuktikan CTSN bereaksi dengan TEOS dan terjadi pengikatsilangan, dilakukan pengukuran berat molekul rata-rata, dan juga dilakukan pengukuran spektrum inframerah terhadap membran. Pada pengukuran berat molekul terdapat perbedaan dimana BM CTSN = 1,16 x 107 Da, sedangkan pada membran CTSN-1,5 BM= 2,23 x 107 Da. Dari data ini dapat diperoleh berapa banyak TEOS yang terikat silang. Selisih BM jika dibagi dengan Mr dari TEOS, diperoleh 51.612 molekul TEOS yang terikat. Pada pengukuran spektrum inframerah dengan penggunaan pelet KBr, hasil spektrum yang diperoleh terlihat pada Gambar 4.8 . Tipe membran yang digunakan adalah CTSN-1,5.
59
105 %T 90
0
567.07
657.73
1153.43
Si-O-R alifatik
1033.85
-N-H-amina 1
1091.71
3311.78
3363.86
-O-H alkohol
3452.58
-C=O- amida 0
667.37
954.76
1377.17
Si-OH ulur
1078.21
2910.58
15
2870.08
30
1581.63
1656.85
45
1323.17
1421.54
60
607.58
896.90
Si-H ulur
530.42
1261.45
75
-15 4500 4000 3500 mEMBRAN kHITOSAN
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4.6 Spektrum Inframerah membran CTSN-1,5
Sedangkan puncak-puncak yang muncul pada bilangan gelombang tertentu dapat terlihat pada tabel 4.4 Tabel 4..4 Data spektrum inframerah dari membran kitosan-TEOS Bilangan gelombang
Ikatan
910-830 cm-1
Si-OH
1110-1000 cm-1
Si-O-Si dan Si-O-C (alifatik)
2250-2100 cm-1-
Si-H ulur
1200-1705 cm-1
C-O-C eter siklik
1680-1630 cm-1
C=O amida
3200 – 3600 cm-1
O-H hidroksi
3500-3300 cm-1
N-H primer
1380
C-H metil
1050+- 10 cm-1
C-O alkohol 10
1100 cm-1
C-O alkohol 20
60
Kemungkinan besar pengikatsilangan yang terbentuk adalah antara gugus –CH2O-Si-O-Si(ikatan Si-O-R ,R=alifatik ), hal ini ditunjukkan dengan adanya puncak pada bilangan gelombang 1110-1000 cm-1 sedangkan gugus NH2 tetap menjadi gugus amina bebas. Usulan mekanisme pengikatsilangan dapat terlihat Gambar 4.6 . OH OH
Si O
OH
Si HO
OH
H OH
H OH
H OH2
OH O *
O H
OH OH
OH O
OH O
O H
H
H OH
*
H
NH3 H
OH
O H
H
NH *
OH
H
C
O
OH
OH O O H H
NH3
NH
H
* OH O
n
C
H n
OH
OH
O
Si
Si O
OH
H
O HO
H
-H2O OH O
OH O
* O
H
H OH
O H H
NH3
NH
H
* OH O
C
H
n
Gambar 4.7 Mekanisme pengikatsilangan kitosan-TEOS
Sealiain terjadi pengikatsilangan, kemungkinan besar masuknya TEOS ke dalam matriks kitosan melalui interaksi ionik nya, namun interaksi ini tidak dapat terlihat di dalam spektrum inframerah . (Gambar 4.8)
61
Interaksi lain yang mungkin terjadi adalah OH
OH
O Si
Si O
OH
H
O
HO
H OH O
OH O
* O
O H
H
H
* H
NH3
NH
H
OH
OH
O HO
O
C
H
Si
HO
OH
O HO HO
H
n
Si OH
Gambar 4.8 Interasksi kitosan-TEOS Terdapat interaksi van der waals antara gugus amino dengan gugus silanol (Si-OH) , serta ikatan hidrogen pada gugus asetamida dengan gugus silanol ,yang dapat menyumbangkan sifat kekuatan pada membran kitosan-TEOS. Namun diperlukan analisis lanjut untuk memastikannya yaitu dengan C12 NMR.
4.5 Pengaruh Suhu terhadap Membran Ketahanan terhadap temperatur juga digunakan sebagai parameter suksesnya suatu sel bahan bakar. Selama ini, suhu operasi di dalam sel bahan bakar berbasis metanol dilakukan pada temperatur 800 C. Dengan disintesisnya membran kitosan-TEOS, yang mengandung atom silika, diharapkan dapat digunakan pada suhu operasi tinggi. Karena
TEOS memiliki
0
temperatur dekomposisi mencapai suhu 160 C . Pada percobaan ini, dilakukan pengukuran secara gravimetri yaitu dengan mengukur selisih massa membran sebelum pemanasan dan setelah pemanasan, serta melihat perubahan fisik dari membran tersebut . Pada Tabel 4.5 menunjukkan pengaruh suhu terhadap membran yang dinyatakan dengan persen kehilangan berat :
62
Tabel 4.5 Data persen kehilangan berat pada berbagai suhu Type Membran
Suhu
Suhu
Suhu
Suhu
60 0C
80 0=C
100 0C
120 0C
CTSN
3,03 %
2,22%
14,53%
11,53%
CTSN-0,5
3,43 %
8,23%
12,70%
16,67%
CTSN-1
3,33 %
1,01%
16,27%
20,40%
CTSN-1,5
1,73 %
5,08%
11,37%
43,75%
CTSN-2
8,90 %
32,45%
14,22%
14,76%
Hasil penelitian menunjukkan telah terjadi kenaikan persen kehilangan massa dari membran dengan meningkatnya temperatur. Dengan kata lain, semakin besar suhu yang digunakan maka semakin besar juga massa membran yang hilang. Hal ini disebabkan oleh lepasnya H2O melalui reaksi intramolekul selama pemanasan berlangsung. Begitupun pada fisik membran terjadi perubahan warna membran dari transparan menjadi kekuningan. Ini menunjukkan bahwa membran telah mengalami degradasi. Analisis pengaruh suhu terhadap ketahanan membran pada penelitian ini perlu dipastikan dengan analisis TGA (termogravimetri analysis). Adapun usulan mekanisme yang terjadi ditunjukkan pada Gambar 4.10 OH
OH
O
Si
Si O
OH
H
OH
O
OH O * O
H
H OH
H2O
O H
OH O O
H
H
H
NH *
OH O
C
OH
H
OH O
* O
H
NH2
H
dipanaskan
OH O
O
O
H
H
OH Si
Si O
HO
O
H H
NH2
NH
H
* OH O
n
C
H
n
Gambar 4..9 Mekanisme lepasnya air (H2O)
63
4.6 Analisis Derajat Penyerapan Air Salah satu karakteristik membran yang dapat digunakan sebagai elektrolit di dalam fuel cell adalah derajat penyerapan airnya. Nilai ini ditentukan dengan metode gravimetri yaitu dengan menghitung selisih massa basah dengan massa kering dari membran. Nilai ini juga menentukan sifat fisik dari membran,apakah tahan terhadap air atau tidak, karena di dalam aplikasinya menggunakan larutan metanol (ada kandungan airnya). Makin banyak air yang diserap, biasanya konduktivitas membran akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh peranan molekul air yang dapat membuat spesi pembawa muatan terdisosiasi dan mempermudah mobilitas spesi tersebut, yaitu proton. Tetapi ada batasannya, jika derajat penyerapannya terlalu tinggi (lebih dari 50%) maka membran menjadi lunak..Sehingga life time membran akan singkat. Meningkatnya gugus yang hidrofil akan meningkatkan derajat penyerapan air. Tabel 4.7 menunjukkan derajat penyerapan air pada membran kitosan-TEOS pada berbagai suhu.
Tabel 4.6 Data Persen Penyerapan Air pada Variasi Suhu Type Membran
suhu 25 )C
Suhu 80 )C
suhu 100 0-C
suhu 120 0C
CTSN
4,34%
20,51%
69,32 %
2,17%
CTSN-0,5
5,71%
10,19%
7,50 %
4,50%
CTSN-1
4,54%
39,35%
59,31 %
2,77%
CTSN-1,5
3,70%
64,42%
21,93 %
4,13%
-
52,03%
68,24 %
3,71%
CTSN-2
Kitosan memiliki rantai utama yang hidrofilik karena adanya gugus amina bebas dan gugus hidroksi pada atom karbon no. 6 nya .Dengan adanya penambahan volume TEOS, berarti akan meningkatkan derajat hidrofilisitas dari rantai utama kitosan . Hal ini berimbas pada meningkatnya derrajat penyerapan airnya. Pada suhu ruang (25 0C), dari data hasil penelitian yang terlihat pada tabel 4.7, terjadi anomali pada membran CTSN-1,5 yang menunjukkan nilai persen penyerapan airnya lebih kecil dari kitosan. Pada tabel 4.7 juga menunjukkan dengan meningkatnya suhu pemanasan, nilai persen penyerapan air kecenderungannya semakin besar. Hal ini dikarenakan semakin banyak spesi yang menambah sifat hidrofilisitasnya, yaitu gugus hidroksi, namun ketika suhu pemanasan
64
mencapai 120 0C, nilai persen penyerapan airnya menurun drastis. Hal ini disebabkan oleh dampak dari degradasi membran yang cukup tinggi dengan melihat penurunan nilai persen berat membran pada suhu 1200C. Sehingga ada kemungkinan lepasnya molekul air pada interaksi intramolekul semakin banyak.
4.7 Analisis Kapasitas Penukar Ion Kapasitas penukar ion menunjukkan jumlah gugus ionik dalam matriks polimer yang secara tidak langsung berkaitan dengan konduktivitas proton suatu polimer (Becker,2002). Gambar 4.10 menunjukkan hasil nilai kapasitas penukar ion pada suhu 60 0C, dengan meningkatnya penambahan volume TEOS, maka nilai kapasitas penukar ion cenderung meningkat. Begitupun dengan kenaikan suhu hingga 100 0C terjadi peningkatan nilai kapasitas pertukaran ionnya. Hal ini membuktikan bahwa di dalam struktur kitosan hanya memiliki gugus NH2 sebagai gugus ioniknya, sedangkan pada membran CTSN-TEOS terdapat gugus NH2 dan gugus Si-OH yang dapat bertindak sebagai gugus ioniknya. Nilai kapasitas pertukaran proton pada suhu 60 0C
Nilai Kapasitas pertukaran proton (meq/gr)
0,06 0,05 0,04 0,03 0,02 0,01 0 0
0,5
1
1,5
2
2,5
Volume TEOS yang ditambahkan (mL)
Gambar 4.10 Grafik Perubahan nilai ion H+ variasi penambahan TEOS Sedangkan pada suhu 1200C, terjadi penurunan nilai pertukaran ion, hal ini menunjukkan adanya hubungan dengan proses degradasi, dimana ketika terjadi proses degradasi dengan peningkatan suhu, gugus-gusus ionik seperti –OH- yang berkompeten untuk dapat menukarkan proton, mengalami interaksi dengan gugus silanol (Si-OH) membentuk ikatan Si-O-Si. Berdasarkan data yang diperoleh, dan terlihat pada tabel 4.8 menunjukkan bahwa nilai kapasitas penukar ion tertinggi dimiliki oleh type membran CTSN-1,5 yaitu 0,114 meq/gram. Yang ternyata masih berada jauh dibawah nilai kapasitas penukar ion pada Nafion yang mencapai 0,9 meq/gram.
65
Untuk lengkapnya dapat terlihat di Tabel 4.7 : Tabel 4.7 Data Nilai Ion H+ (meq/gram) parameter suhu Type Membran
Suhu 25 0C
Suhu 60 0C
Suhu 100 0C
Suhu 120 0C
CTSN-0,5
0,01
0,02
0,09
0,04
CTSN-1
0,01
0,04
0,01
0,01
CTSN-1,5
0,02
0,04
0,11
0,07
CTSN-2
-
0,05
0,07
0,04
4.8 Analisis Permeabilitas Metanol Besarnya nilai permeabilitas metanol menjadi faktor utama untuk melihat berapa besar nilai metanol cross-over yang terjadi pada sistem fuel cell. Hal ini akan berdampak kepada besarnya nilai konduktivas yang dihasilkan.Besarnya nilai permeabilitas metanol ditunjukkan dengan adanya proses difusi metanol melewati membran . Untuk melihat kemampuan membran dalam melewatkan proton dan transport metanol dinyatakan dengan nilai fluks (J), yang didasarkan pada hukum pertama Fick’s . Berdasarkan analisis kromatograpi gas (GC) diperoleh kurva aluran konsentrasi metanol pada kompartemen permeat terhadap waktu .Terlihat pada Gambar 4.13 menunjukkan bahwa dengan meningkatnya waktu permeasi, maka semakin banyak metanol yang berdifusi, walaupun ada kalanya metanol berdifusi kembali ke kompartemen umpan.
66
Perubahan konsentrasi metanol terhadap waktu permeasi 10 y = 0,0643x + 4,5589 R2 = 0,5157
[Metanol] M
8 6
y = 0,1101x + 0,5612 R2 = 0,7525
4 2
y = 0,0541x - 0,6098 R2 = 0,8738
0 -2 0
20
40
60
80
Waktu (menit) CTSN
CTSN-1,5
CTSN-2
Linear (CTSN)
Linear (CTSN-2)
Linear (CTSN-1,5)
Gambar 4.11 Kurva Perubahan konsentrasi metanol terhadap waktu permeasi Berdasarkan persamaan yang diungkapkan oleh xiao zhang,dkk. Besarnya nilai permeabilitas metanol dapat diperoleh dengan menghitung terlebih dahulu besarnya nilai koefisien permeabilitasnya, yaitu dengan mengalurkan kurva antara –ln Cf/Co terhadap waktu. Dimana Cf menyatakan besarnya nilai konsentrasi metanol yang melewati membran, sedangkan untuk C0 menyatakan besarnya nilai konsentrasi metanol awal. Dengan menggunakan rumus : − ln
Cf C
= 0
Axp xt , yang merupakan turunan dari hukum Vf
Fick’s pertama . Kemiringan dari kurva yang diperoleh dinyatakan sebagai koefisien permeabilitas (p, cm3 cm-2) ,kurva yang diperoleh seperti terlihat pada Gambar 4.12 :
67
- ln Cf/Co
Penentuan koefisien permeabilitas 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1,5 1 0,5 0
CTSN y = -0,0545x + 4,7905 R2 = 0,9193
CTSN-1,5 CTSN-2 Linear (CTSN)
y = -0,0221x + 1,9015
Linear (CTSN-2)
R2 = 0,5924
Linear (CTSN-1,5)
y = -0,0097x + 1,0216 R2 = 0,1876
0
20
40
60
80
waktu (menit)
Gambar 4.12 Grafik Penentuan Koefisien Permeabilitas Metanol
Besarnya nilai permeabilitas yang diperoleh kemudian digunakan untuk memperoleh nilai fluks dan selektivitas membran sebagai karakteristiknya. Diperoleh nilai permeabilitas metanol seperti terlihat pada tabel dibawah ini : Tabel 4.8 Data Permeabilitas Metanol pada Membran No
Type Membran
Permeabilitas 2
(cm /menit)
Fluks
Fluks
proton
metanol
Selektivitas membran
1
CTSN
0,20
0,85
0,17
5,13
2
CTSN-1,5
0,22
0,15
0,03
4,71
3
CTSN-2
0,01
0,34
0,001
0,00044
Adapun nilai selektivitas dinyatakan dengan persamaan α =
JH+ J methanol
. Berdasarkan tabel
4.9, menyatakan bahwa CTSN tanpa TEOS memberikan hasil yang lebih baik .
4.9 Analisis Konduktivitas Membran Besarnya nilai konduktivitas proton suatu membran merupakan parameter optimalisasi penggunaan membran tersebut sebagai elektrolit dalam sistem fuel cell . Pada penelitian ini dilakukan pada satu frekuensi 50 Herzt
karena keterbatasan alat serta waktu. Dengan
68
mengetahui R (tahanan membran) hasil konversi dari hantaran, maka konduktivitas dapat m
ditentukan dengan persamaan pada BAB II , yaitu :
σ=
l RA
, dimana nilai tahanan diperoleh dari 1/hantaran (S).
Dari data yang diperoleh pada frekuensi 50 Hz, dengan meningkatnya volume TEOS yang ditambahkan, nilai konduktivitasnya meningkat . Hal ini ada kesesuaian dengan meningkatnya nilai persen kehilangan massa pada suhu 1000C, karena terbentuknya ikatan silang yang memungkinkan terjadi penyempitan pori-pori pada membran.
Nilai konduktivitas x 10-4(S/cm)
Nilai Konduktivitas Proton variasi suhu 8 7 6 5
CTSN
4
CTSN-1,5
3 2 1 0 0
20
40
60
80
100
120
140
Suhu (celsius)
Gambar 4.13 Grafik Konduktivitas proton pada membran CTSN dan membran CTSN-1,5 Pengukuran dilakukan dalam keadaan basah . Diharapkan dengan adanya spesi air didalam matriks polimer, sehingga spesi-spesi pembawa muatan akan terdisosiasi oleh air dan dapat bergerak menghantarkan proton. Makin banyak jumlah molekul air dalam matriks polimer maka konduktivitas akan meningkat. Hal ini disebabkan oleh spesi pembawa muatan yang terdisosiasi bertambah banyak dan pergerakannya pun akan semakin cepat. Adanya gugus ionik dalam matriks polimer seperti hidroksi akan meningkatkan konduktivitas, terutama pada keadaan basah. -
Mekanisme yang terjadi pada CTSN basah diperkirakan melibatkan spesi OH sebagai spesi pembawa muatan. Gugus NH kitosan akan terprotonasi dalam air menjadi NH 2
3
+
menurut
reaksi : +
-
NH + H O → NH + OH 2
2
3
-
Spesi OH inilah yang bebas bergerak dan berkontribusi pada konduktivitas (Wan.Y, 2003) .
69
4.10
Scanning Electron Microscopy (SEM)
Teknik analisis yang dapat memberikan gambaran jelas mengenai struktur pori membran adalah Scanning Electron Microscopy (SEM) ) .Pada Gambar 4.16 memperlihatkan morphology dari membran. Ada korelasi ketika suatu membran yang memiliki nilai permeabilitas metanol besar , maka struktur porinya akan lebih besar. Serta terlihat pada penampang lintang yang menunjukkan adanya perubahan, pada kitosan pori-porinya halus sedangkan pada membran kitosan-TEOS 1,5 terdapat perubahan ukuran pori . Semakin besar konsentrasi membran, permukaan dan penampang polimer akan semakin kompak dan rapat. Porositas permukaan membran pun menurun seiring dengan bertambahnya konsentrasi polimer. Peningkatan konsentrasi polimer akan mengurangi konsentrasi pelarut yang digunakan, sehingga pada saat koagulasi parsial pelarut, membran dengan konsentrasi polimer yang besar akan memiliki lapisan atas yang lebih kaya polimer, dan menghasilkan membran dengan lapisan aktif yang lebih rapat (dense).Terjadinya pengikatan silang antara TEOS dengan kitosan terlihat pada SEM dimana pori-porinya jauh lebih rapat, terlihat pada perbesaran 5000 kali.
70
Penampang lintang CTSN
Penampang lintang CTSN-1,5
Kitosan permukaan bawah perbesaran Kitosan-1,5 Permukaan bawah perbesaran 2000 x 2000 x
Kitosan permukaan atas perbesaran 5000 x
Kitosan-1,5 permukaan atas perbesaran 5000 x
Gambar 4.14 SEM dari Membran CTSN dan Membran CTSN-1,5
71