4
KEADAAN UMUM MASYARAKAT DAN LOKASI PENELITIAN
4.1 Latar Historis, Geografis dan Demografis Etnis Bugis dan Makassar Etnis Bugis dan Makassar adalah etnis yang mendiami bagian terbesar dari jazirah selatan pulau Sulawesi. Jazirah itu adalah provinsi Sulawesi Selatan, yang sekarang terdiri dari 24 Kabupaten. Etnis Bugis, adalah etnis yang tergolong ke dalam suku-suku Deutero Melayu yang masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata Bugis berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina yang terdapat di Pammana (Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau ―orang-orangnya‖ atau pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar di dunia34. Lain halnya dengan suku Bugis, nama Makassar berasal dari nama Melayu untuk sebuah etnis yang mendiami pesisir selatan pulau Sulawesi. Orang Makassar menyebutnya ―Mangkassara‖ berarti mereka yang bersifat terbuka. Etnis Makassar ini adalah etnis yang berjiwa penakluk namun demokratis dalam memerintah, gemar berperang dan jaya di laut. Tak heran pada abad ke-14-17, dengan simbol Kerajaan Gowa, mereka berhasil membentuk satu wilayah kerajaan yang luas dengan kekuatan armada laut yang besar berhasil membentuk suatu Imperium bernafaskan Islam, mulai dari keseluruhan pulau Sulawesi, Kalimantan bagian Timur, NTT, NTB, Maluku, Brunei, Papua dan Australia bagian utara. Mereka menjalin kerjasama dengan Bali, Malaka, Banten dan seluruh kerajaan lainnya
34
Menurut Pelras 2000; Nurhayati; 2005; Nirwan A. Arzuka 2000, I Lagaligo adalah epic terpanjang di dunia, bahkan mengalahkan Mahabrata dari India. I Lagaligo memiliki jumlah lembaran lebih dari 9000 halaman. Karya sastra I Lagaligo ini menceritakan perjalanan hidup Sawerigading Opunna Ware (Yang dipertuan di Ware). Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton.
95
dalam lingkup Nusantara maupun Internasional (khususnya Portugis). Kerajaan ini juga menghadapi perang yang dahsyat dengan Belanda hingga kejatuhannya akibat adu domba Belanda terhadap Kerajaan taklukannya. Dalam perkembangannya, komunitas Bugis dan Makassar berkembang dan membentuk
beberapa
kerajaan
lain.
Masyarakat
Bugis
kemudian
mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan Sawitto (Kabupaten Pinrang), Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk etnik Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Pare-pare, Barru, atau menempati wilayah utara provinsi Sulsel. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Sementara itu, daerah utama etnis Makassar adalah; kota Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng dan Selayar. Daerah etnis Makassar berjejer di sepanjang garis bagian selatan Sulsel. Suku Bugis mendiami bagian utara, dan suku Makassar menempati wilayah selatan provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel). Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tercatat 45.519,24 km2 yang secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 21 Kabupaten dan 3 kota, dengan 296 Kecamatan dan 2.946 Desa/kelurahan. Penduduk Sulawesi Selatan berdasarkan data Biro Dekonsentrasi Bagian Kependudukan Pemprov. Sulawesi Selatan pada tahun 2009 berjumlah 7.874.439 jiwa, dengan persentase yang bersuku Bugis-Makassar sekitar 89 persen, yang tersebar di 24 Kabupaten/kota. Persentase jumlah penduduk suku Bugis di Sulawesi Selatan adalah sekitar 62,5% dan suku Makassar sekitar 26,7. 4.2 Bentuk Perkampungan dan Mata Pencaharian Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampung lama. Suatu kampung lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami 10-200 rumah, letak rumahnya berderet menghadap ke selatan atau barat. Jika terdapat sungai di tempat tersebut maka
96
sedapat mungkin rumah-rumah dibangun dengan membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat (pocci tana) dengan suatu pohon waringin yang besar dan kadang-kadang terdapat juga rumah pemujaan (saukang). Sebuah kampung lama dipimpin seorang matowa (kepala desa) beserta kedua pembantunya disebut sariang atau parennung. Gabungan kampung dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa Bugis, pa‟rasangan atau bori dalam bahasa Makassar. Pemimpin wanua disebut arung palili untuk suku Bugis, sedangkan orang Makassar menyebutnya karaeng. Bentuk rumah dan masjid, dibangun di atas tiang dan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus yaitu : (a). karaeng dalam bahasa Bugis atau pammakkang dalam bahasa Makassar, yakni bagian rumah di bawah atap yang dipakai untuk menyimpan padi, persediaan pangan, dan juga bendabenda pusaka; (b). awaso dalam bahasa Bugis atau passiringang dalam bahasa Makassar, bagian di bawah lantai panggung dipakai untuk, menyimpan alat-alat pertanian , kandang ayam, kambing, dan sebagainya. Pada zaman sekarang tempat ini berubah fungsi menjadi tempat tinggal manusia. Hampir semua rumah Bugis dan Makassar yang berbentuk adat, mempunyai suatu panggung di depan pintu masih di bagian atas dari tangga, panggung ini biasa disebut tamping, tempat bagi para tamu untuk menunggu sebelum dipersilahkan oleh tuan rumah untuk masuk ke ruang tamu. Proses pembangunan untuk rumah suku Bugis dan Makassar, biasanya menggunakan beberapa ramuan pada tiang utama yang akan didirikan, bahkan, kadang-kadang menggunakan kepala kerbau setelah kerangka rumah berdiri. Proses semacam ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya malapetaka. 4.3 Stratifikasi Sosial dan Transformasi Elite Masyarakat Bugis dan Makassar H. J. Friedericy menggambarkan pelapisan masyarakat Bugis dan Makassar yang dibuatnya berdasarkan buku kesusasteraan asli Bugis dan Makassar, La Galigo. Menurut Friedericy, masyarakat Bugis dan Makassar memiliki tiga lapisan utama: a)
Ana‟karaeng dalam bahasa Makassar. Lapisan ini adalah
lapisan kaum kerabat raja-raja; b)
To maradeka dalam bahasa Makassar,
lapisan ini adalah lapisan orang merdeka; c) Ata‟, yakni lapisan budak. 97
Dalam usahanya untuk mencari latar belakang terjadinya pelapisan masyarakat, Friedericy berpedoman kepada peranan tokoh-tokoh yang disebut dalam La Galigo dan ia berkesimpulan, bahwa masyarakat Bugis dan Makassar pada mulanya hanya terdiri dari dua lapisan masyarakat. Lapisan Ata merupakan suatu perkembangan kemudian yang terjadi dalam zaman perkembangan dari organisasi-organisasi pribumi di Sulawesi Selatan. Pada abad ke-20 lapisan ata dihilangkan karena larangan dari pemerintah colonial dan Desakan dari tokoh agama setempat. Sesudah perang dunia ke-2, arti dari perbedaan antara lapisan karaeng, to maradeka, dan ata semakin berkurang. Dalam kehidupan masyarakat juga sudah mulai berkurang dengan cepat, walaupun masih dipakai, akan tetapi tidak lagi mempunyai arti seperti masa lalu (fase tradisional dan fase Islam modern), pada masa sekarang, makna stratifikasi social pada etnis Bugis dan Makassar
justru sering diperkecil dengan sengaja. Sebab
Stratifikasi sosial lama, sering dianggap sebagai hambatan untuk kemajuan. Sedangkan stratifikasi sosial masyarakat Sulawesi Selatan dalam Latoa (Mattulada, 1977) memberikan peranan dalam kehidupan, bukan hanya menurut penjiwaan. Pada umumnya persekutuan orang Bugis berdasarkan prinsip genealogis atau persekutuan kekerabatan, sehingga orang Bugis dan Makassar tidak terlalu terikat kepada wilayah tertentu dalam mencari nafkah. Karena dimana saja mereka berkumpul bersama-sama dalam suatu persekutuan genealogis seperti dijumpai adanya: 1. Ajjoareng
(orang
yang
menjadi pemimpin) bernama Arung (Bugis) dan Ponggawa (Makassar) adalah tokoh yang dijadikan sumbu kegiatan integratif dan perkembangan hidup kebudayaan secara keseluruhan. Sejak Kerajaan Bone kehilangan kedaulatannya pada tahun 1950 istilah ajjoareng (pemimpin) tidak lagi berarti aparat kekuasaan pemerintahan formal; 2. Joa (pengikut) pada zaman dulu terdiri atas lapisan masyarakat maradeka (merdeka) yang menunjukkan kesetiaan kepada ajjoareng (pemimpin). Dalam proses integrasi kegiatan antar lingkaran pusat dan lingkaran di luarnya diatur oleh Pangadereng (pedoman hidup) yang meliputi semua lingkaran kehidupan. Sekarang tidak ada lagi arung (Bugis) atau pampawa ade (penjaga adat) dalam arti ajjoareng (pemimpin), namun puncak piramida sosial diduduki oleh
98
kelompok elite baru yang terdiri atas aparat kekuasaan negara, seperti gubernur dan bupati/walikota, golongan cendekiawan, militer dan pemilik modal. Setelah masa penjajahan Belanda golongan elite kembali menempati kedudukan elite yang baru, dengan komposisi elite inilah yang berlangsung sampai kemerdekaan RI, sebagai berikut: (1). Kaum Anakarung (bangsawan) yang setia kepada Belanda dan golongan bangsawan yang berpendidikan (ambtenaar) sebagai kelas utama. (2). Kaum ambtenaar gubernermen, kalangan cendekiawan yang mendapatkan pendidikan formal dan kalangan ulama Islam/adat serta pemimpin gerakan sosial sebagai kelas menengah. (3). Kaum hartawan, pedagang dan pengusaha, sebagai elite kelas dasar. Pelapisan sosial dalam Makassar adalah: (1). Karaeng (bangsawan), terdiri dari bangsawan murni (anak ti'no'), bangsawan setengah murni (anak sipue) dan bangsawan darah (anak cerak) dan bangsawan rendah (anak karaeng sala). (2). Tumaradeka ( orang biasa dari lapisan menengah yang merdeka), terdiri dari orang baik-baik (tubajik) dan orang kebanyakan (Tusamarak). (3). Ata (abdi), sebagai lapisan bawah yang terdiri dari abdi karena keturunan (ata sossorang), abdi yang diusir dari lingkungan keluarganya (ata nibuang) dan abdi yang digadaikan/tidak mampu bayar utang (tumangngirang). Sedangkan pelapisan sosial dalam masyarakat Bugis, khususnya di Bone adalah: (1). Bangsawan Bone (anakarung to Bone) terdiri dari anak bangsawan penuh (anakarung matase) yang terbagi lagi menjadi putra mahkota (anakarung mattola) dan putra/putri raja (anakarung matase) dan bangsawan (anakarung) yang terbagi lagi menjadi bangsawan warga istana (anakarung ri bolang), bangsawan separuh (anakarung sipue) dan bangsawan berdarah campuran (anak cerak). (2). Orang merdeka (to maradeka) terdiri dari kepala kaum/anang (to deceng) dan rakyat kebanyakan (to sama). (3). Hamba (ata) yang terdiri dari hamba karena keturunan (ata mana) dan hamba baru (ata mabuang).35 Setelah To Manurung disepakati sebagai elite sentral dalam kehidupan masyarakat, terjadi pengelompokan elite baik secara struktural dan fungsional. Secara struktural ada kelompok elite bangsawan yang disebut Arung (raja), 35
Mattulada. 1975. Latoa Lukisan Analitis Terhadap Antropologi Politik Orang Bugis. Makassar: Hasanuddin Pers. hlm. 438.
99
Anakarung, Gallarang, Karaeng, Ana karaeng, Puang dan Daeng serta Matoadi, Ulu anang dan Ampu lembang. Pengelompokan elite bersifat vertikal dan antara elite terjadi stratifikasi sesuai dengan posisi dan kekuasaan yang dimiliki dalam pemerintahan. Disamping terjadi pengelompokan elite secara struktural terjadi pula pengelompokan secara fungsional, dimana elite dikelompokkan sesuai dengan kemampuan, kelebihan dan fungsinya dalam masyarakat. Terjadi pengelompokan elite seperti cendekiawan dan akademisi (tu caradde), pengusaha atau orang kaya (tu kalumannyang), pemberani atau pahlawan (tu barani), pemimpin pemerintahan (to mapparenta) dan pemimpin kerohanian (tu panrita). Sedangkan pengelompokan elite secara fungsional lebih bersifat horizontal. Setiap lapisan masyarakat dapat menjadi bagian dari kelompok elite sepanjang memiliki kemampuan sesuai dasar pengelompokan, tanpa membedakan asal usul dan status dasar. Terbukanya peluang untuk menjadi elite bagi setiap lapisan masyarakat menyebabkan munculnya berbagai pengelompokan elite di Sulawesi Selatan. Setiap elite membentuk kelompok sesuai dengan profesinya. Ada kelompok militer, pengusaha, partai politik, suku, bangsawan, ulama dan berbagai kelompok elite lainnya. Sedangkan budaya masyarakat Bugis dan Makassar dapat dilihat dari nilai dasar budaya politiknya yang terdiri dari enam nilai yang disebut sebagai enam pegangan (enam akkateneningeng) yang dijadikan pegangan dalam menjalankan pemerintahan, yakni; (i) Konsisten (ada tongeng), bahwa seseorang patut dijadikan pemimpin adalah kata-katanya dapat dipegang; (ii) Kejujuran (lempuk), bahwa seorang raja atau pemimpin memelihara kejujuran dan tidak mengambil hak rakyatnya; (iii) Ketegasan (getteng), bahwa ketegasan dan keteguhan pemimpin berpegang pada prinsip pengayom masyarakat; (iv) Kepatutan (asittinajang), bahwa seseorang diangkat menjadi pemimpin berdasarkan kepatutan atau kepantasan, yang berhubungan dengan kemampuan jasmani dan rohani; (v)
Saling menghargai
(sipakatau), bahwa dalam interaksi sosial harus saling menghargai; (vi) Tawakal (mappesona ri pawinruk seuwae), nilai religius yang mempedomani tindakan manusia dan pertanggungjawaban kepada penciptanya. Selain keenam pedoman hidup yang disebut pangadereng bagi orang Bugis dan Makassar, juga sangat memegang kuat yang namanya Siri' Na Pacce (perasaan malu dan sepenanggungan). Siri ' merupakan salah satu nilai penting
100
dalam budaya masyarakat Sulawesi Selatan yang secara fenomenal mewarnai kebudayaan di seluruh suku asli di Sulawesi Selatan. Secara harfiah Siri ' dalam Bahasa Bugis dan Bahasa Makassar berarti rasa malu, dan lebih dihayati sebagai makna kultural. Makna kultural siri ' diartikan sebagai sistem nilai kultural kepribadian sebagai anggota masyarakat Bugis Makassar. Menurut Erlington bahwa siri‟ bagi orang Bugis merupakan tujuan hidup yang paling tinggi, karena itu penting untuk menjaga siri'nya, akibatnya bahwa jika seseorang bangsawan tinggi yang cukup bijaksana dan punya keluarga besar secara otomatis punya pengaruh yang besar dalam
masyarakat. Karena jika
banyak orang yang bersatu siri' (maseddi siri') dengannya dan akan mendengarkan petunjuk dan nasehatnya, maka mereka telah menjaga siri ' (harga diri) keluarga atau kelompoknya, orang Bugis dan Makassar lebih menerima nasehat dari orang tuanya atau keluarganya daripada orang lain. Sehingga dalam masyarakat Sulawesi Selatan hanya dikenal dua golongan yaitu keluarga dan orang lain dalam pengertian maseddi siri ' (bersatunya rasa malu). Konsep yang berpadanan dengan siri ' adalah Pacce (Makassar), Pesse (Bugis) yang berarti sependeritaan. Pacce berfungsi sebagai pemersatu, penggalang solidaritas, serta pemuliaan humanitas (sipakatau) sebagai motivasi kesetiakawanan sosial suku bangsa Bugis Makassar, sehingga bagi orang Bugis dan Makassar Siri ‟ dan Pacce adalah ikatan pemersatu dalam upaya menegakkan serta memulihkan harga diri (siri '). 4.4 Budaya dan Tipologi Masyarakat Orang Bugis dan Makassar yang tinggal di daerah pedesaan masih terkait norma-norma yang keramat dan sifatnya sakral, biasa disebut panngadereng. Sistem adat ini terbagi menjadi 5 unsur: (i)
Ade, terbagi menjadi dua; pertama, Ade
akkalabinengeng, unsur ini mengenai hal ihwal perkawinan serta hubungan kekerabatan dan sopan santun dalam pergaulan antar kerabat. Kedua, Ade tana, unsur ini mengenai hal ihwal bernegara dan memerintah suatu negara berwujud hukum negara, hukum antarnegara, serta etika dan pembinaan insan politik; (ii)
Bicara,
adalah konsep yang bersangkut paut dengan peradilan atau kurang lebih sama dengan, hukum
acara serta hak-hak dan kewajiban seseorang yang mengajukan
101
kasusnya ke pengadilan; (iii) Rappang, berarti contoh, perumpamaan, kias, atau analogi. Unsur ini menjaga kepastian dari suatu hukum tak tertulis, dalam masa lampau sampai sekarang. Selain itu rappang juga berisi pandangan-pandangan keramat untuk mencegah tindakan-tindakan yang bersifat gangguan terhadap hak milik, serta ancaman terhadap warga negara; (iv)
Wari,
adalah
unsur
yang
mengklasifikasikan segala benda, peristiwa, dan aktifitas dalam kehidupan bermasyarakat. Misalnya, untuk memelihara tata susunan dan tata penempatan benda di kehidupan bermasyarakat, untuk memelihara jalur keturunan yang mewujudkan pelapisan sosial, untuk memelihara hubungan kekerabatan antara raja suatu negara dengan raja negara lain; (v)
Sara, unsur yang mengandung pranata-pranata dan
hukum Islam, serta unsur yang melengkapi keempat unsur lainnya. Religi suku Bugis dan Makassar pada zaman pra Islam adalah sureq galigo, sebenarnya keyakinan ini telah mengandung suatu kepercayaan pada satu dewa tunggal, biasa disebut patoto‟e (dia yang menentukan nasib), dewata seuwae (Tuhan tunggal), turie a rana (kehendak yang tertinggi). Sisa kepercayaan ini masih tampak jelas pada orang To lotang di Kabupaten Sidenreng Rappang dan orang Amma Towa di Kajang Kabupaten Bulukumba. Saat agama Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada awal ke-17, ajaran agama Islam mudah diterima masyarakat. Karena sejak dulu mereka telah percaya pada dewa tunggal. Proses penyebaran Islam dipercepat dengan adanya kontak terus menerus antara masyarakat setempat dengan para pedagang melayu Islam yang telah menetap di Makassar. Pada abad ke-20 karena banyak gerakan-gerakan pemurnian ajaran Islam seperti Muhammadyah, maka ada kecondongan untuk menganggap banyak bagian-bagian dari panngadereng itu sebagai syirik, tindakan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan karena itu sebaiknya ditinggalkan. Demikian Islam di Sulawesi Selatan telah juga mengalami proses pemurnian. Sekitar
91% dari penduduk Sulawesi Selatan adalah pemeluk agama
Islam36, sedangkan hanya 10% memeluk agama Kristen Protestan atau Katolik.
36
Berdasarkan Sulsel Dalam Angka 2009, masyarakat Sulsel yang beragama Islam sebanyak 91,2%, disusul masing-masing; Protestan; 4,3%, Katolik; 1,6%, sisanya terdiri dari Hindu, Budha dan lainnya. Penduduk Sulawesi Selatan berjumlah 7.805.024 jiwa, dengan komposisi laki-laki sebesar 3.763.085, dan perempuan 4.041.939, dengan rasio jenis kelamin 93,10.
102
Umat Kristen atau Katolik umumnya terdiri dari pendatang-pendatang orang Maluku, Minahasa, dan lain-lain atau dari orang Toraja. Mereka ini tinggal di kota-kota terutama di Makassar. Dalam masyarakat Sulawesi Selatan, martabat keturunan tidak hanya kokoh secara kultural tetapi juga sangat berharga secara tradisional. Konsekuensinya, golongan bangsawan menduduki tempat di puncak stratifikasi sosial. Mengenai golongan bangsawan ini, perlu dijelaskan bahwa ada dua golongan yang dalam literatur mengenai Sulawesi Selatan sering kali disamakan begitu saja. 37 Golongan pertama adalah kaum bangsawan yang merupakan keturunan langsung dari raja yang pertama, sedangkan golongan kedua adalah para bangsawan yang tidak ada hubungannya dengan raja yang pertama. Namun, golongan kedua tetap disebut sebagai bangsawan karena, selain mempunyai benda kebesaran atau gaukang, berjasa pula atas wilayah tertentu secara turun-temurun. Meskipun golongan bangsawan masih terpecah-pecah dalam beberapa golongan, secara langsung maupun tidak langsung, mereka menjadi penguasa kerajaan dan menikmati hakhak yang melekat pada jabatan yang dipegangnya. Tepat di bawah kaum bangsawan adalah kelas orang-orang merdeka. Mereka adalah orang biasa yang sangat besar jumlahnya dan bekerja di berbagai lapangan pekerjaan. Kata merdeka yang digunakan di Sulawesi Selatan berasal dari deskripsi dalam bahasa Sanskerta tentang seorang yang memiliki kekayaan spiritual atau kekayaan besar (mahardika). Bila pada mulanya orang Sulawesi Selatan merupakan campuran dari beberapa ras, dalam perkembangannya kemudian tidak mengherankan kalau di daerah ini terdapat sejumlah kesatuan sosial. Secara horizontal, hal ini ditandai dengan kenyataan adanya perbedaan suku bangsa dan masing-masing mempunyai identitas kebudayaan sendiri-sendiri. Kepercayaan keagamaan juga bermacammacam, mulai dari agama besar dunia seperti Islam dan Kristen sampai dengan sejumlah kepercayaan asli yaitu animisme dan dinamisme. Adaptasi ekonomi juga memperlihatkan perbedaan seperti seminomaden yang
berpindah-pindah,
penanam padi, nelayan, pedagang, dan industri rumah tangga. Struktur masyarakat ditandai oleh adanya perbedaan secara vertikal antara lapisan atas dan lapisan 37
Lihat histografi perbudakan di Sulsel
103
bawah yang cukup tajam, sedang struktur politik tradisional terdapat mulai dari anak suku sampai dengan kerajaan. Adanya perbedaan suku bangsa, agama, dan mata pencaharian hidup dalam kepustakaan ilmu-ilmu sosial sering kali disebut sebagai ciri masyarakat yang majemuk. Ada dua faktor yang menyebabkan masyarakat Sulawesi Selatan bersifat majemuk. Faktor pertama, terletak pada keadaan geografis yang membagi Sulawesi Selatan atas sejumlah wilayah dan daerah yang terpencil. Ketika nenek moyang orang Sulawesi Selatan mula-mula datang secara bergelombang sebagai imigran dari berbagai penjuru, keadaan geografis semacam itu telah memaksa mereka untuk tinggal menetap di daerah yang terpisah-pisah satu dengan yang lain. Di kemudian hari, isolasi geografis yang demikian mengakibatkan penduduk yang menempati setiap wilayah atau daerah tumbuh menjadi kesatuan suku bangsa yang lain. Tiap kesatuan suku bangsa terdiri dari sejumlah anak suku yang dipersatukan oleh ikatan emosional serta memandang diri mereka masing-masing sebagai satu jenis tersendiri. Faktor kedua, adalah letak wilayah Sulawesi Selatan, yaitu di antara Samudra Indonesia Pasifik, yang sangat mempengaruhi terciptanya pluralitas agama dalam masyarakat. Dikarenakan letaknya di tengah lalu lintas perdagangan laut inter Sulsel, masyarakat Sulawesi Selatan telah sejak lama memperoleh berbagai pengaruh kebudayaan bangsa asing dan suku bangsa Indonesia. Pengaruh yang pertama kali menyentuh mereka adalah kebudayaan Kristen yang dibawa oleh bangsa Portugis, sementara pengaruh agama Islam yang diperkenalkan oleh suku bangsa Melayu dan Jawa menyusul kemudian. Meskipun menurut pendapat J. Noorduyn; pada pertengahan abad ke-16, agama Kristen dan Islam sudah dianut di Sulawesi Selatan, lebih tepat dikatakan bahwa pada masa itu yang paling dominan terjadi adalah "syncretic", yaitu bercampurnya kepercayaan animisme dengan ajaran agama Islam dan Kristen. Pada abad ke-17, tepatnya 22 September 1605, Islam diakui sebagai agama resmi Kerajaan Makassar dan sepanjang abad ini Islam disebarkan ke daerahdaerah yang diduduki oleh suku bangsa Bugis.38
38
J. Noorduyn,Islamisasi Makassar,(Jakarta:Bratara,1920),hlm.35.
104
Pengaruh kebudayaan Barat mulai memasuki Sulawesi Selatan melalui kedatangan bangsa Portugis pada 1538. Selain urusan dagang, kedatangannya juga dalam rangka penyebaran agama Kristen Katolik. Di daerah Pare-pare, Pangkajene, dan Sidenreng mereka berhasil menanamkan pengaruh. Raja di situ merasa tertarik dan kemudian berusaha memeluknya. Ketika bangsa Belanda mendesak bangsa Portugis keluar dari Sulawesi Selatan pada 1660, pengaruh agama Katolik pun segera digantikan oleh Kristen Protestan. Namun demikian, sikap bangsa Belanda yang lebih lunak dalam soal keagamaan dibandingkan dengan bangsa Portugis mengakibatkan pengaruh agama Kristen Protestan hanya mampu memasuki daerah-daerah yang sebelumnya tidak cukup kuat dipengaruhi Islam seperti di daerah Toraja. Hasil akhir dari semua pengaruh kebudayaan tersebut kita jumpai dalam bentuk pluralitas agama di dalam masyarakat. Di daerah yang berada di dalam jalur perdagangan inter Sulsel sering terdapat golongan Islam modernis, sedang golongan Islam konservatif banyak ditemukan di daerah pedalaman. Di daerah pegunungan, seperti di dataran tinggi Toraja, berkembang ajaran agama Kristen Protestan dan Kristen Katolik. Perbedaan geografis, seperti disebutkan di atas, tergambar dalam tiga tipe umum masyarakat Sulawesi Selatan yaitu (1) daerah persawahan di pedalaman yang meskipun secara formal menganut agama Islam, tetapi masih percaya pada hal-hal yang terdapat dalam kepercayaan asli; (2) rakyat pantai yang berorientasi dagang, dan sangat kuat keIslamannya; dan (3) penduduk yang mendiami daerah yang bergununggunung yang pada umumnya masih kuat menganut kepercayaan asli.39 Tipe masyarakat pertama adalah para petani yang tinggal di pedalaman yang merupakan sebagian besar dari suku Bugis. Kebudayaan penduduk pedalaman meskipun amat khas milik mereka sendiri, tetapi sesungguhnya banyak terambil dari tradisi kerajaan yang pernah berkuasa di situ. Rakyatnya amat mementingkan norma dan aturan yang sangat formal serta adanya keterikatan yang kuat terhadap perbedaan status antara kaum bangsawan dan rakyat biasa.
39
Mengenai penggolongan masyarakat sulawesi selatan ke dalam tiga tipe umum berdasarkan tempat tinggal di ambil dari model yang di kemukakan ol eh hildred Geerts,Aneka Budaya dan Komunitas di Indonesia (terj.), (Jakarta:yayasan ilmu-ilmu sosial,1981) hlm. 1-6.
105
Tipe masyarakat yang kedua adalah rakyat pantai yang kuat keIslamannya. Tipe ini menyangkut sedemikian banyaknya kelompok yang tersebar luas. Kunci persamaan mereka terletak dalam sejarah, sama-sama ikut serta dalam perdagangan inter Sulsel pada abad ke-14-18. Di pelabuhan Makassar tumbuh suatu masyarakat yang terdiri dari susunan yang amat berbeda coraknya. Misalnya, bangsa asing yang terdiri dari orang Portugis, Belanda, Arab, dan Cina serta suku bangsa Melayu, Jawa, dan Bugis yang secara tidak ketat diperintah oleh Sultan Makassar yang beragama Islam. Keragaman etnis dan kecenderungan berdagang merupakan ciri khas yang menonjol dari rakyat yang tinggal di daerah pantai. Islam beserta sejumlah pola kebudayaan yang berhubungan dengannya seperti penghormatan kepada hukum agama, serta jenis-jenis tertentu dari lagu, tarian, dan kesusastraan adalah unsur pemersatu yang amat penting. Tipe ketiga adalah kelompok-kelompok kesukuan yang digabungkan bersama-sama ke dalam satu tipe masyarakat, kelompok ini cenderung memperlihatkan, corak kebudayaan yang beraneka ragam. Kebanyakan dari mereka tetap dalam keadaan terpencil sepenuhnya dari dunia luar. Masing-masing mengembangkan pola hidup khas mereka sendiri. Penggolongan atau pengkategorian masyarakat Sulawesi Selatan ke dalam tiga tipe umum seperti diuraikan di atas sangat diperlukan sebagai suatu kerangka kemungkinan untuk menempatkan masing-masing golongan etnik yang beragam itu ke dalam bagian-bagian yang lebih sempit jangkauannya. Tipe sebenarnya mengandung abstraksi, menghimpun kriteria tertentu yang dianggap sifat-sifat khas atau golongan, gejala-gejala yang dianggap mewakili suatu tertentu. Dalam kenyataannya, tipe itu tidak ditemukan dalam bentuk murni karena selalu ada percampuran di antara kriteria yang dianggap sebagai sifat-sifat khas. Di samping itu, terdapat beberapa kelompok bercorak khas yang tidak dapat dimasukkan ke dalam kerangka di atas atau beberapa kelompok penting yang mengingkari pembagian ke dalam tipe satu, dua, dan tiga. Kelompok yang masuk dalam golongan ini adalah suku bangsa Duri dan Mandar yang dalam abad-abad yang lalu telah mengalami perubahan yang amat cepat dan luas. Suatu tipologi kelompok orang Sulawesi Selatan haruslah pula mencakup dimensi perubahan. Pengkategorian yang dibuat di sini adalah pengkategorian
106
para penanam padi di ladang yang tinggal di pegunungan dan penanam padi di sawah, yang diairi pada dataran rendah, antara yang tradisional dan pascatradisional, antara konservatif tradisional dan modernis, merupakan suatu langkah ke arah itu. 4.5 Profil Desa Lokasi Penelitian Pada aras makro penelitian ini dilaksanakan di Propinsi Sulawesi Selatan (Sulsel) dengan memilih etnis Bugis dan Makassar sebagai sampel utama. Propinsi Sulsel setidaknya memiliki empat etnis asli; Bugis, Makassar, Mandar, Toraja. Berdasarkan jumlah penduduk dan letak geografisnya, etnis Bugis adalah etnis yang paling banyak penduduknya dan paling luas wilayahnya. Kemudian di susul oleh etnis Makassar. Secara historis, kedua etnis ini sama-sama memiliki tradisi kekuasaan di jazirah Sulawesi. Simbol kekuasaan yang paling fenomenal dalam sejarah ditandai oleh kepemimpinan Arung Palaka pada etnis Bugis dan Sultan Hasanuddin mewakili etnis Makassar. Karena sama-sama memiliki tradisi kekuasaan dari fase tradisional sampai fase sekularisme (reformasi), kedua etnis tersebut selalu mengalami kontestasi merebut panggung kekuasaan. Meskipun terdapat banyak kerajaan kecil yang berkedudukan di beberapa kabupaten di Sulsel, akan tetapi kerajaan utama di Sulsel adalah kerajaan Bone yang menjadi representasi etnis Bugis dan kerajaan Gowa yang menjadi kebanggaan etnis Makassar. Gambaran tersebut menjadi salah satu sebab pada penelitian ini
untuk memilih Kabupaten Bone mewakili etnis Bugis dan
Kabupaten Gowa mewakili etnis Makassar untuk level mezzo. Sedangkan pada aras mikro penelitian ini menentukan empat Desa utama sebagai sampel; masing-masing dua Desa mewakili dua etnis. Etnis Bugis diwakili oleh Desa Ancu Kecamatan Kajuara dan Desa Benteng Tellue Kecamatan Amali Kabupaten Bone. Sedangkan pada etnis Makassar diwakili oleh Desa Manjapai Kecamatan Bontonompo dan Desa Manuju Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa. Desa Ancu Desa Ancu adalah salah satu Desa yang berada di Kecamatan Kajuara, Kabupaten Bone, terletak persis di pinggir pantai Teluk Bone, sekitar 72 km dari 107
ibu kota Kabupaten Bone. Berbatasan dengan Kelurahan Awang Tangka di sebelah selatan, Desa Angkue dan Desa Pude di sebelah utara, dan Desa Raja di sebelah barat, sementara di bagian timur berbatasan dengan Teluk Bone. Mata pencaharian utama warga di Desa Ancu adalah pada bidang pertanian dan
nelayan.
Untuk
memenuhi
kebutuhan
sehari-hari,
masyarakat
mendapatkannya di salah satu pasar lokal yang terdapat di Bojo yang beraktivitas satu kali dalam seminggu, yakni setiap hari selasa. Desa Ancu, sebelum memasuki masa kemerdekaan adalah salah satu desa yang memiliki sejarah kekuasaan, karena salah satu wilayah dari kekuasaan kerajaan (akkarungeng) Awang Tangka. Di Kecamatan Kajuara saat sebelum memasuki masa kemerdekaan dan masih menggunakan sistem pemerintahan kerajaan, Kecamatan Kajuara terbagi dalam tiga wilayah Akkarungeng‘, Awang Tangka, Tarasu dan Gona. Ketiga nama akkarungeng tersebut kini masing-masing menjadi satu Desa, Desa Tarasu, Desa Gona, sedangkan untuk Awang Tangka menjadi sistem pemerintahan kelurahan. Di awal kemerdekaan Indonesia, para keluarga bangsawan yang saat itu memegang kekuasaan kerajaan masih berlanjut dengan diangkat menjadi kepala distrik. Desa Ancu, secara administratif, terbagi dalam dua wilayah dusun dengan empat rukun tetangga (RT). Penduduk Desa Ancu pada tahun 2007 tercatat sebanyak 818 jiwa dengan pembagian, laki-laki sebanyak 365 jiwa dan perempuan 453 jiwa yang terdiri dari 172 kepala rumah tangga dengan tingkat kepadatan penduduk 234/Km². Desa Benteng Tellue Desa Benteng Tellue juga dikenal dengan nama Tabbae‘. Desa ini berada di Kecamatan Amali Kabupaten Bone. Secara geografis, posisi desa berada pada daerah pedalaman, berbatasan langsung dengan dua kabupaten; Wajo dan Soppeng. Meskipun secara geografis posisi desa sangat marginal dari kota Kabupaten Bone, akan tetapi tingkat popularitas desa Benteng Tellue melampaui desa dan kelurahan di Kabupaten Bone, bahkan sangat popular di Sulsel. Desa Benteng Tellue terletak di bagian Utara Bone yang berjarak ± 49 km dari Watampone (ibukota Kabupaten Bone), ± 8 km dari Taretta ibu kota kecamatan Amali. 108
Penduduk desa Benteng Tellue berjumlah ± 1584 jiwa dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) mencapai 575 rumah tangga yang terdiri dari tiga dusun, yakni dusun Tabba‘e sebanyak 569 jiwa dengan 187 KK, dusun Botto‘ dengan 678 jiwa meliputi 301 KK, dan dusun Curikki sejumlah 377 jiwa dengan 90 KK. Secara geografis letak desa Benteng Tellue berada di daerah berbukit yang cukup subur dengan komoditas pertanian utama saat ini adalah kakao, jagung, pisang. Kakao dipetik seminggu atau dua minggu sekali dan dijual untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Jagung kuning sebagai tanaman berjangka pendek ditanam dan dipanen dua kali setahun. Sementara pisang dipanen seminggu dua kali juga sebagai komoditas yang menjadi penghasilan utama juga bagi banyak warga Desa. Pisang hasil pertanian warga desa Benteng Tellue diangkut oleh beberapa truk hingga puluhan per minggunya ke beberapa pasar lokal di Makassar dan Gowa. Komoditas lainnya adalah Padi, Kelapa, Ubi kayu, Ubi Jalar, Kacang Tanah, kacang Ijo, dan tembakau. Desa Manjapai Desa Manjapai adalah desa yang terletak pada dataran rendah di Kecamatan Bontonompo Kabupaten Gowa. Kira-kira 5 kilometer dari ibu kota Kabupaten Gowa, atau sekitar 20 kilometer dari Kota Makassar. Desa Manjapai memiliki empat dusun yang memiliki luas masing-masing; Kaluarrang (71,26 ha); Data ( 239,33ha); Karebasse (62,73ha); dan Jannaya (79,75ha). Jadi luas keseluruhan desa Manjapai adalah : 453,07 ha persegi. Terletak pada dataran rendah di pinggir pantai. Pada awal perkembangan Kerajaan Gowa, Desa Manjapai menjadi salah satu daerah yang memproduksi elite-elite Istana Kesultanan Gowa. Setelah Gowa takluk pada Belanda, peranan elite-elite Manjapai terus mengalami penurunan fungsi politik dan ekonominya. Desa Manjapai kembali menjadi mesin produksi elite ketika Belanda menyerah dan Indonesia merdeka. Selain melalui tentara, para elite di desa Manjapai juga diproduksi melalui organisasi Muhammadyah. Pada awal tahun 1950-an, Muhammadyah mulai mewarnai kehidupan keagamaan dan pendidikan masyarakat Desa Manjapai.
109
Desa Manuju Desa Manuju berada di Kecamatan Manuju Kabupaten Gowa berada pada posisi di atas 500 dari permukaan laut. Sebagian wilayah Desa Manuju digenangi Dam Bili-Bili, dam terbesar di Sulawesi Selatan. Dengan posisinya di atas 500 dpl, kondisi klimatologi Desa Manuju sangat cocok untuk ditanami tanaman perkebunan seperti durian, kakao, rambutan dan tanaman tahunan lainnya. Kehidupan ekonomi masyarakat Manuju sebagian besar menggantungkan diri pada sector pertanian sawah dan perkebunan. Pada pertengahan abad 16, kehidupan politik Kerajaan Gowa sangat memperhitungkan keberadaan Manuju. Karena Manuju adalah salah satu dari Sembilan anggota Bate Salapang yang memiliki otoritas politik yang sangat tinggi untuk turut menentukan nasib politik Istana Kerajaan Gowa Salah satu literatur yang memuat informasi sejarah Manuju adalah buku kecil yang berjudul ‗Sejarah kerajaan Borisallo dan Manuju‘ yang ditulis oleh Zainuddin Tika dan kawan-kawan (2008). Dalam buku tersebut disebutkan bahwa kerajaan Borisallo dan kerajaan Manuju adalah dua kerajaan bersaudara dalam kerajaan Gowa yang masuk menjadi anggota Bate Salapanga sejak tahun 1565, yakni masa Raja Gowa XII I Manggorai Daeng Mammeta Karaeng Bontolangkasa. Selanjutnya, keanggotaan Borisallo dan Manuju dalam Bate Salapanga diperkuat pada masa pemerintahan I Mallingkaang Daeng Nyonri pada tahun 1894 dan bahkan di sebutkan hingga hari ini (Zainuddin Tika, dkk, 2008). Berdasarkan kedudukan politik masa lalunya, Desa Manuju memiliki tradisi kekuasaan yang berbasiskan aristokrasi (kekaraengan). Para penguasa di Desa Manuju selalu bersumber dari genetika kekaraengan. Dari pertengahan abad 16 hingga kini, desa yang berada di kaki Gunung Bawakaraeng itu selalu dipimpin oleh kalangan karaeng. Informasi seputar kekaraengan Manuju dapat ditelusuri eksistensinya pada tahun 1900 saat Manuju menjadi salah satu anggota Bate Salapanga dengan gelar ‗Karaeng‘ di mana delapan di antaranya adalah Gallarang Mangasa, Gallarang Tombolo, Gallarang Saumata, Gallarang Sudiang, Gallarang Paccellekang, Karaeng Pattallassang, Karaeng Bontomanai, dan Karaeng Borongloe. Informasi ini sejalan dengan tuturan lisan dari warga dusun Panyikkokang (salah satu dusun di desa Manuju) yang menyebutkan bahwa keberadaan ‗Karaeng Manuju‘ setidaknya dimulai tahun 1900 atau akhir tahun 1890an.
110