IV. 4.1.
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN
Umum
4.1.1. Letak geografis Kawasan TNKL terletak di wilayah Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan posisi geografis 8°43’ - 8°48’ LS, 121°44’ - 121°51’ BT. Kawasan TNKL masuk ke dalam lima wilayah kecamatan yaitu Kelimutu, Detusoko, Ndona, Ndona Timur dan Wolojita. Selain memiliki keanekaragaman hayati yang cukup bernilai tinggi, kawasan TNKL juga memiliki keunikan dan nilai estetika yang menarik yaitu dengan adanya tiga buah danau berwarna (Gambar 6), yang berada di puncak Gunung Kelimutu (1.690 meter dari permukaan laut). Warna air dari ketiga danau tersebut berbeda satu sama lain dan selalu berubah dari waktu ke waktu terutama warna air Tiwu Nuamuri Koofai yaitu terjadi 12 kali perubahan dalam jangka waktu 25 tahun (BTNK 2008b). Selain disebabkan oleh aktivitas gunung berapi Kelimutu, perubahan warna ini diduga akibat adanya pembiasan cahaya matahari, adanya mikro biota air, terjadinya zat kimiawi terlarut, dan akibat pantulan warna dinding dan dasar danau (BTNK 2008a). 4.1.2. Sejarah Kawasan Penetapan TNKL melalui proses sejarah yang cukup panjang. Sejarah penunjukan dan penetapan batas kawasan Taman Nasional Kelimutu (BTNK 2008a) dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur melalui SK. No. 45/BKLH/Tahun 1982 tanggal 30 Maret 1982 menunjuk Kawasan Hutan Sokoria seluas ± 5.000 ha yang terletak di Kabupaten Tingkat II Ende sebagai Hutan Wisata yang selanjutnya diberi nama: Taman Wisata Kelimutu. 2) Menteri Kehutanan dengan Keputusan No.89/KPTS-II/1983 tanggal 2 Desember 1983 telah menunjuk areal hutan di Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur seluas ± 1.667,962 ha sebagai kawasan hutan tetap, diantaranya terletak di Kelompok Hutan Sokaria (RTK.52) Pulau Flores. 3) Kawasan hutan tersebut butir a, telah dilakukan pemancangan batas hutan di lapangan pada Bulan Desember 1983 sampai dengan Januari 1984 yang hasilnya dituangkan dalam Berita Acara Pengumuman Pemancangan Batas Hutan dari Kelompok Hutan Sokaria (RTK.52) tanggal 1 Februari 1984.
35
Sumber: dokumentasi KOMPAS 22 Juni 2009
Gambar 6 Pemandangan Danau Kelimutu dilihat dari udara. 4) Dengan adanya pengumuman batas tersebut nomor 3) dan tidak adanya klaim dari masyarakat atas pengumuman tersebut, kemudian pada tanggal 19 Juni 1984 Panitia Tata Batas menandatangani Berita Acara Tata Batas dari Kelompok Hutan Sokaria (RTK.52) Wilayah Kabupaten Tingkat II Ende. 5) Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan No. 185/KPTS-II/1984 tanggal 4 Oktober 1984 menunjuk Danau Kelimutu dan Kawasan Hutan di Sekitarnya seluas ± 5.000 ha yang terletak di Daerah Tingkat II Ende Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur sebagai Hutan Suaka Alam cq. Cagar Alam seluas 16 Ha, dan sebagai Hutan Wisata cq. Taman Wisata seluas ± 4.984 Ha. 6) Pada Tanggal 6 Maret 1985, Menteri Kehutanan mengesahkan Berita Acara Tata Batas tersebut nomor 4). 7) Menteri Kehutanan melalui Surat Keputusan No. 279/KPTS-II/1992 tanggal 26 Februari 1992 mengubah fungsi dan menunjuk Cagar Alam Danau Kelimutu dan Taman Wisata Kelimutu di Kabupaten Dati II Ende, Propinsi Tingkat I Nusa Tenggara Timur seluas ± 5.000 ha menjadi Taman Nasional dengan nama “ Taman Nasional Kelimutu”. 8) Penetapan pengukuhan kawasan Taman Nasional Kelimutu sesuai hasil tata batas 1984 seluas 5.356,5 ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No.679/KPTS-II/1997 tanggal 10 Oktober 1997. 9) Taman Nasional Kelimutu ditunjuk sebagai Taman Nasional Model dengan Keputusan Dirjen PHKA Nomor SK.69/IV-Set/HO/2006 tanggal 3 Mei 2006 tentang penunjukan 20 (duapuluh) Taman Nasional sebagai Taman Nasional Model.
36 4.1.3. Organisasi pengelola Taman Nasional Kelimutu dikelola oleh sebuah Unit Pelaksana Teknis yang bernama Balai Taman Nasional Kelimutu yang secara struktural berada di bawah Ditjen PHKA Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Kantor BTNKL berada di Kota Ende dengan alamat Jalan El Tari nomor 16. Terdapat dua Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTNW) yaitu di Moni dan Detusoko. Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Moni terdiri dari Resort Kelimutu, Resort Wolojita dan Unit Pengelola Wisata, sedangkan SPTNW II Detusoko terdiri dari Resort Detusoko, Resort Ndona Timur dan Resort Ndona. Balai Taman Nasional Kelimutu dikepalai oleh seorang Kepala Balai yang didukung oleh pejabat struktural dan fungsional untuk menjalankan pengelolaan. Struktur organisasi yang ada berdasarkan SK Kepala Balai Taman Nasional Kelimutu nomor: SK.567/BTNKL-1/2007 tanggal 7 September 2007
adalah
seperti Gambar 7. KEPALA BALAI Kepala Sub Bagian Tata Usaha
K oor din ator Urusan Adm. Pe rkantor an
K epala Seksi Pengel ol aan Taman Nasi onal Wilayah I
Petugas Resor t Pengel olaan TN Wil. Keli mu tu
Petugas R esor t Pengelolaan TN Wi l. W olojita
Kepal aSeks i Pengelolaan Taman Nas ion al Wilayah I I
Kelompok Jabatan Fungsion al
Pet ugasUnit Pelayanan Wi sata
K oord inatorUr usan Tekn is
Petugas Resor t Pengelo laan TN Wil. Detuso ko
Petu gas Resort Pengelolaan TN Wil. Ndona
Petugas R esort P engelolaan TN Wil. Ndo na Timu r
Gambar 7 Struktur Organisasi Balai Taman Nasional Kelimutu. 4.1.4. Luas kawasan dan zonasi Luas kawasan TNKL adalah 5.356,50 ha dengan garis batas total sepanjang 48.423,44 m terdiri dari 241 pal batas kawasan hutan yang
37 membatasi badan Taman Nasional dengan 23 desa di 5 wilayah kecamatan di Kabupaten Ende (Rekonstruksi Batas Kawasan Taman Nasional Kelimutu Kelompok Hutan Sokoria (RTK 52) Wilayah Kabupaten Ende Prov. Nusa Tenggara Timur- Badan Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VIII DenpasarDesember 2006). Untuk mengelola kawasan ini pihak pengelola telah membagi kawasan ke dalam beberapa zona, yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona rehabilitasi. Zona inti terletak di sekitar danau berwarna dimana terdapat ekosistem alamiah dan khas yang berupa hamparan lahan berbatu dengan solum yang tipis yang didominasi oleh jenis Vaccinium varingiaefolium (Arngoni) dan Rhododendron renschianum (Turuwara). Keadaan tanah pasir berbatu dengan uap belerang yang sangat terasa membuat hanya sedikit jenis yang bertahan hidup di daerah ini. Zona rimba terdiri dari ekosistem montana dan sub montana yang ada di kawasan, zona rehabilitasi merupakan lahan yang terbuka dan rusak sebagai akibat dari adanya perambahan atau kebakaran, sedangkan zona pemanfaatan merupakan sebuah jalur yang membentang dari Pos Moni hingga di sekitar puncak Gunung Kelimutu (Gambar 8).
Gambar 8 Peta zonasi kawasan TNKL.
38 4.2.
Biofisik
4.2.1. Klimatologi dan tipe-tipe ekosistem di dalam kawasan Klimatologi Kawasan TNKL beriklim tropis dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 1.615 - 3.363 mm/tahun. Musim hujan dimulai bulan Desember hingga Maret. Bulan Oktober dan November merupakan bulan terkering. Suhu udara berkisar antara 25,5 - 31 ºC, sedangkan suhu minimum 11,6 ºC yang terjadi pada bulan Juli – Agustus (BTNK 2008b). Pada musim hujan, flora dalam kawasan tampak menghijau tetapi pada musim kering terutama pada bulan Oktober dan November banyak tumbuhan yang menggugurkan daunnya. Kondisi tanah dan iklim berpengaruh langsung terhadap keanekaragaman flora dan fauna beserta ekosistem yang ada di atasnya. Ekosistem Taman Nasional Kelimutu secara umum merupakan tipe ekosistem hutan pegunungan (1.000–1.700 meter dari permukaan laut). Ekosistem pegunungan TNKL terdiri dari berbagai tipe hutan dan tipe penutupan lahan yang terkait erat dengan fenomena geomorfologi yang unik. Tipe-tipe vegetasi yang ada sangat beragam meliputi: jenis Vaccinium varingiaefolium (Arngoni) dan Rhododendron renschianum (Turuwara). Tipe hutan didominasi oleh Casuarina junghuniana (Bu), rerumputan di lereng bukit, dan semak belukar. Berdasarkan ketinggian tempat dan suhu udara kawasan TNKL dapat dibagi menjadi 2 tipe ekosistem hutan yaitu sub montane dan montane. Tipe hutan sub montane Zona sub montane secara keseluruhan tergolong tipe hutan hujan tropis dataran rendah sampai pegunungan dengan tingkat keanekaragaman jenis dan kerapatan yang paling tinggi. Kawasan hutan ini merupakan sebagian besar kawasan TNKL, memiliki ketinggian antara 1.000 - 1.500 meter dari permukaan laut, dengan suhu dalam kisaran 27° - 30° C. Formasi hutan sub montane didominasi oleh hutan alam yang membentang di sepanjang lereng bukit dengan beberapa variasi semak belukar. Vegetasi hutan pada zona ini lebih banyak didominasi oleh suku Lauraceae dan Rosaceae. Pada kawasan hutan Gunung Kelimutu dan Gunung Keli Bara (Bu Ria, Saga, dan Kanga Ria), jenis yang banyak dijumpai di zona sub montane antara lain adalah Litsea diversifolia, Actinodaphne glomerata,
39 Eucalyptus urophylla, Cryptocarya densiflora, Prunus arborea, Ficus sp. Lapisan di bawahnya dapat dijumpai jenis pohon Schefflera lucida, dan Cyathea sp (paku pohon). Pada daerah semak belukar dan terbuka, vegetasi didominasi oleh Eupatorium odoratum (Kerinyu), dan Melastoma malabatricum (Mboa). Tipe hutan montane Zona montane terletak di puncak-puncak gunung memiliki ketinggian antara 1.500-1.700 meter dari permukaan laut dengan suhu dalam kisaran 25°27°C. Tipe vegetasi pada zona ini didominasi jenis-jenis Casuarina junghuniana (Bu), Glochidion philippicum (Longgo Baja), Eurya acuminata (toko kata), dan Homalantus giganteus (Kebu). Pada bagian bawah terdapat Eupatorium odoratum (Kerinyu), Imperata cylindrica (Ki), Pteris sp. (Paku) dan Gleichenia linearis (Kepa). Ekosistem khas dijumpai di sekitar kawah danau, yaitu terlihat lapisan tanah yang terbuka dengan penutupan vegetasi Vaccinium varingiaefolium (Arngoni) dan Rhododendron renschianum (Turuwara). Keadaan tanah pasir berbatu dengan uap belerang yang sangat terasa membuat tidak ada jenis vegetasi lain yang bertahan hidup di daerah ini. Kedua jenis vegetasi tersebut termasuk kategori kerdil yang biasa menghuni daerah alpine/sub alpine (ketinggian di atas 2.000 meter dari permukaan laut). 4.2.2. Flora dan fauna Flora Hasil inventarisasi flora pohon oleh BTNKL dan LIPI (BTNK 2007) diketahui bahwa terdapat 78 jenis pohon yang terkelompok dalam 36 suku. Suku yang memiliki jenis terbanyak adalah Euphorbiaceae berjumlah 10 jenis, Lauraceae berjumlah 7 jenis, Fabaceae berjumlah 6 jenis, Moraceae berjumlah 5 jenis, Myrtaceae dan Arecaceae masing-masing berjumlah 4 jenis, Actinidiaceae, Ulmaceae dan Meliaceae masing-masing berjumlah 3 jenis, Melastomataceae, Ericaceae, Rubiaceae, Theaceae, Apocynaceae dan Elaeocarpaceae masingmasing berjumlah 2 jenis dan 21 suku yang lain masing-masing memiliki 1 jenis. Hasil inventarisasi tersebut juga menemukan 2 jenis tumbuhan sebagai flora endemik kelimutu yaitu Uta onga (Begonia kelimutuensis) dan Turuwara (Rhododendron renschianum) serta satu ekosistem spesifik kelimutu yaitu Ekosistem Vaccinium dan Rhododendron - EkosVR (Gambar 9). Dua jenis flora
40 yang diwaspadai status kelangkaannya yaitu Jita/Pulai (Alstonia scholaris) dan Upe/Ketimun (Timonius timon). Sebagai kawasan konservasi yang perlu diwaspadai dalam pelestarian flora adalah jenis-jenis yang jumlahnya terbatas dan persebarannya hanya pada satu zona saja. Jenis-jenis tersebut jika mengalami gangguan akan mudah terjadi kelangkaan. Sementara itu, jenis flora yang persebarannya luas pada keempat zona adalah Mboa atau dalam bahasa umumnya Senduduk atau Harendong (Melastoma malabathricum).
Gambar 9 Begonia kelimutuensis sebagai flora endemik Kelimutu. Fauna Potensi fauna dapat menggambarkan kelestarian ekosistem tempat hidupnya. Fauna memegang peranan kunci pada jaring-jaring makanan suatu ekosistem, baik sebagai mangsa maupun predator. Pada ekosistem yang sehat, keberadaan sejumlah jenis avifauna dan mamalia menjadi indikator sekaligus penentu stabilnya ekosistem. Jenis burung menjadi parameter utama dalam monitoring biodiversitas fauna karena sifatnya yang mudah dijumpai, jumlah lebih melimpah, dan relatif tidak terpengaruh dengan aktivitas pengamatan pada jarak dekat. Hasil pengamatan avifauna oleh BTNKL dan LIPI (BTNK 2007), menunjukkan komunitas burung di daerah ini masih bagus, dengan dijumpainya bermacam kelompok burung dari burung pemangsa, pemakan bangkai, pemakan serangga, pemakan biji-bijian, pemakan ikan sampai burung pengisap
41 madu. Keanekaragaman avifauna yang paling tinggi dijumpai di zona pemanfaatan, diikuti oleh zona inti dan zona rimba. Hal ini didukung oleh keanekaragaman tumbuhan sebagai sumber pakan dan tempat hidupnya. Jenis fauna lainnya didapatkan 14 jenis mamalia terdiri dari 4 jenis kelelawar, 3 jenis tikus, 1 jenis cucurut, 1 jenis kera, 1 jenis musang, 2 jenis babi hutan, 1 jenis landak dan 1 jenis tikus besar. Dalam kawasan TNKL ditemukan 3 jenis mamalia yang Endemik Flores adalah Tikus lawo (Rattus hainaldi), Deke (Papagomys armandvillei) dan Babi hutan flores/wawi ndua (Sus heureni), serta ditemukan juga 4 jenis ular, 1 jenis kadal dan 2 jenis molusca. Fauna langka yang ada di TNKL (BTNK 2007) antara lain 5 jenis burung endemik flores dan 2 jenis burung berada pada kategori kritis, 4 jenis fauna lainnya endemik flores dan 2 jenis diantaranya dalam kategori rawan (Tabel 4). Tabel 4 Jenis-jenis fauna langka di TNKL No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Status CR EN
1 Pergam katanjar/Lodo 2 Sikatan dada merah/Singgiwela 3 Cekakak tunggirputih/Vengga 4 Opior paruh-tebal/Anake 5 Opior jambul/Anake 6 Kancilan Flores/Anake soko 7 Cikrak 8 Otomop alor 9 Tikus besar Flores/Deke 10 Tikus lawo 11 Babi hutan flores/Wawi ndua
VU
Ducula rosacea Ficedula dumetoria
*
Halcyon fulgida
*
Heleia crassirostris Lophozosterops dohertyi Pachycephala mudiga Phylloscopus presbytes Otomops johnstonei Papagomys armadvillei Rattus hainaldi Sus heureni
Endemik NT flores *
* * * * *
* * * * *
Keterangan: CR: Critically Endangered= kritis; EN: Endangered= genting; VU: Vulnerable= rawan; NT: Near Threatened= kritis
4.2.3. Kondisi geologis Tiga danau dengan warna berbeda di Kelimutu merupakan fenomena unik yang menjadi perhatian dunia. Perbedaan ketiga warna menurut ahli geologi terjadi karena adanya beberapa senyawa kimia bereaksi. Kawah Tiwu Nua Muri Koo Fai berwarna hijau muda karena ion Fe2+ yang bereaksi dengan sulfat (SO42+) membentuk endapan ferosulfat (FeSO4). Kawah Tiwu Atapolo berwarna coklat kemerahan karena dari Fe3+ membentuk senyawa feri hidroksida
42 (Fe(OH)3) berupa koloid di dalam air kawah (bukan di permukaan air kawah) dan residu di dasar kawah. Kawah Tiwu Ata Mbupu berwarna hijau tua kehitaman diduga merupakan refleksi warna tumbuh-tumbuhan/cemara gunung yang banyak ditemukan di sekitar bibir kawah. Pada saat tertentu warna Tiwu Ata Mbupu akan berubah menjadi coklat kemerahan, sebagaimana warna daun kering cemara gunung yang mengapung di permukaan kawah (BTNK 2008a). 4.2.4. Daerah Aliran Sungai (DAS) sekitar TNKL Daerah Aliran Sungai (DAS) di sekitar Danau Kelimutu dan TNKL merupakan daerah tangkapan air bagi dua DAS yang penting, yaitu DAS Loworea dan DAS Wolowona. Kedua DAS tersebut memiliki beberapa anak sungai antara lain Lowo Ai Merah, Lowo Napu, Lowo Made, Lowo Ai Ero, Lowo Ai Pade, Lowo Mutu, Lowo Ai Ndoe, Lowo Ai Bai, Lowo Ria, Lowo Marru, Lowo Ae Kola. Sungai yang berair sepanjang tahun yaitu Lowo Ae Merah dan Lowo Ae Bai, merupakan sumber air utama bagi kepentingan budidaya pertanian, pemukiman dan lain-lain baik bagi masyarakat di sekitar kawasan maupun yang berada di bagian hilir. Daerah danau tiga warna pada TNKL ditempati oleh rangkaian perbukitan berelief halus hingga kasar, dengan ketinggian antara 500 hingga 1.700 meter di atas permukaan laut, yang terbentuk oleh aktivitas vulkanik. Kondisi morfologi yang demikian menghasilkan pola aliran sungai yang bervariasi seperti subdendritik dan radier (BTNK 2008b). Berdasarkan pola aliran sungai yang ada menunjukkan bahwa hampir semua kawasan TNKL merupakan zona tangkapan air yang perlu dilindungi agar sumberdaya air terjaga secara berkesinambungan. 4.3.
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitar Kawasan
4.3.1. Kependudukan Kawasan TNKL terletak di 24 desa sebagai daerah penyangga. Jumlah penduduk di sekitarnya 21.811jiwa dengan jumlah rumah tangga 5.437 KK. Luas desa-desa penyangga TNKL adalah 218,47 km2 atau 21.847 ha atau berarti empat kali luas TNKL. Keadaan ini bisa berarti bahwa kawasan TNKL didalam kondisi cukup stabil. Oleh karena itu dengan perbandingan jumlah penduduk dan luasan desa, maka secara rata-rata penguasaan lahan adalah 3,94 ha/KK. Apabila kesuburan lahan cukup baik atau produktifitas lahan memadai, maka
43 penguasaan lahan per KK yang hampir 4 ha ini cukup dapat memberikan kesejahteraan bagi petani penggarapnya (BTNK 2008b). Desa Saga dan Desa Wologai Tengah, merupakan desa dengan penduduk yang cenderung homogen. Menurut BPS (2009b) sebagian besar penduduk pada kedua desa adalah petani (Tabel 5). Tabel 5 Karakteristik penduduk di lokasi penelitian No
Uraian
Desa Saga Jumlah Persentase (orang) (%)
Jumlah penduduk: • Laki laki 337 • Perempuan 405 • Jumlah 742 2 Banyaknya angkatan kerja: • Laki laki 209 • Perempuan 232 • Jumlah 441 3 Banyaknya RT menurut pekerjaan dengan pendapatan terbesar: • Petani: 135 - Tanaman pangan 19 - Tanaman perkebunan 116 • Pedagang 6 • Pengusaha 5 • Karyawan: - PNS 10 - Non PNS 4 6 • Pensiunan Sumber: Kecamatan Detusoko dalam Angka 2009
Desa Wologai Tengah Jumlah Persentase (orang) (%)
1
45,42 54,58
378 444 822
45,99 54,01
47,39 52,61
290 294 584
49,66 50,34
81,33
88,00
3,61 3,01
132 61 71 3 2
6,02 2,41 3,61
5 6 2
3,33 4,00 1,33
2,00 1,33
4.3.2. Mata pencaharian penduduk Mayoritas penduduk yang tinggal di sekitar TNKL bermata pencaharian sebagai petani (BPS 2009a). Pengamatan di tingkat lapangan, sebagian besar penduduk memiliki mata pencaharian petani berladang rotasi. Masyarakat membuat ladang setiap tahun untuk kemudian berpindah ke lokasi lain dengan rotasi 3-5 tahun. Walaupun demikian, petani peladang ini juga sudah memiliki kebun menetap berupa kebun kopi atau kakao/cokelat, bahkan sebagian juga sudah bertani sawah. Ladang yang dibuka setiap tahun seluas 0,5 – 1 ha dengan jenis-jenis tanaman padi, jagung, ketela pohon, ubi jalar, kemudian juga sayurmayur seperti wortel, ketimun, sawi, bayam, kacang-kacangan dan lain-lain. Setelah setahun atau dua tahun dirasakan kesuburan lahan sudah menurun masyarakat akan berpindah membuat ladang baru. Begitu seterusnya setelah 35 tahun bisa kembali ke tempat semula. Apabila lahan cukup datar, subur, maka
44 sesudah dibuat ladang tidak ditinggalkan (bero) begitu saja tetapi dibentuk menjadi kebun menetap. Di lahan kebun ini mereka menanam kopi atau kakao/cokelat dengan tanaman inang pada umumnya seperti kemiri, ampupu (Eucalyptus urophylla), dadap atau pohon-pohon campuran lainnya. Pendapatan per kapita Kecamatan Detusoko cukup tinggi yaitu 336 kg beras/kapita. Data tersebut menunjukkan bahwa pendapatan per kapita Kecamatan Detusoko berada di atas garis kemiskinan atau di atas 320 kg beras/kapita. Sementara itu pengamatan di tingkat lapangan dan data sekunder (BTNK 2008b), diperoleh informasi bahwa pendapatan per kapita bervariasi antara 150-250 kg beras/kapita, yang berarti termasuk miskin dan bahkan sangat miskin. 4.3.3. Tata guna lahan Pengggunaan lahan yang dilakukan oleh masyarakat desa penyangga sekitar TNKL meliputi antara lain pekarangan, kebun, ladang, sawah, hutan rakyat/kebun kayu, hutan negara, dan padang rumput (Tabel 7). Pekarangan adalah sistem pengelolaan lahan di sekitar rumah tinggal dengan ditanami tanaman pertanian dan pohon-pohon, sering terdapat juga hewan ternak atau empang ikan. Tidak semua desa penyangga terdapat pekarangan karena sempitnya lahan untuk tempat tinggal atau susunan rumah adat yang tidak memprioritaskan terbentuknya pekarangan (seperti di Nduaria dan Kelikiku). Walaupun demikian, banyak pekarangan yang telah berkembang dengan baik seperti di Desa Saga dengan rumah yang berjajar di tepi jalan utama. Kebun, biasanya agak jauh dari rumah tinggal, berkembang pesat di daerah yang relatif datar. Biasanya kebun terdiri dari 2 atau lebih strata tajuk, yaitu tanaman pokok dan pelindung. Ditemukan 4 atau 5 pola kebun, yaitu dibagi strata bawah terdiri dari kopi, cokelat, vanili atau salak, kemudian distrata atas terdiri dari ampupu, kemiri, dadap, cengkeh, jambu mete, dan lain-lain. Sawah di beberapa daerah lembah berkembang bagus, biasanya ada aliran air/sungai dari atas (gunung-gunung di TNKL) seperti Koanara, Wologai, dan Wolofeo. Hutan rakyat atau kebun kayu, biasanya terdiri dari pohon kayukayuan. Adapun jenis-jenis vegetasi yang terdapat di setiap penggunaan lahan seperti tertera pada Tabel 6.
45 Tabel 6 Jenis tanaman di setiap penggunaan lahan No Penggunaan Lahan 1 Pekarangan
Strata Bawah
Strata Atas
Jahe, Kencur, Kopi, Cokelat, Vanili, Nenas, Jeruk, Pisang, Salak, Jaranan (sebagai pagar), Pepaya 2 Kebun Kopi, Cokelat, Vanili, Jeruk, Markisa 3 Ladang Padi, Ketela Pohon, Ubi Jalar, Sargum, Sayur, Empon empon 4 Hutan Rakyat Pisang, Mulwo, Juwet, Rumput gajah, Empon empon.
Cengkeh, Apukat, Mangga, Nangka, Kelapa, Pinang, Dadap, Rambutan, Durian, Kelengkeng. Kemiri, jambu mete, Asam, Dadap, Ampupu. Ampupu, Kemiri, Bambu, Randu, Aren, Tarap, Ficus, kayu Manis, Durian, Suren, Kayu Masohi.
Sumber: RPJP TN Kelimutu Periode 2009-2029
Dari data pada Tabel 7 nampak bahwa lahan tergarap (sudah dikurangi hutan negara) adalah 6.852 Ha, dengan jumlah keluarga 3.337 KK. Oleh karena itu lahan tergarap hanya 2.0 ha/KK atau setengahnya dari luas penguasaan lahan. Tabel 7 Data penggunaan lahan Kecamatan Detusoko No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tata Guna Lahan Sawah Pekarangan Kebun Ladang Padang Tak diusahakan Hutan rakyat Hutan Negara Perkebunan Rawa Empang Lain-lain Jumlah
Luas (Ha) 935 1.403 1.502 1.205 204 1.167 401 7.145 5 10 5 15 13.997
% 6,60 10,02 10,73 8,60 1,40 8,30 2,80 51,00 0,03 0,06 0,03 0,09 100,00
Keterangan Jumlah KK = 3.337 Lahan tergarap = 6.852 Ha
Sumber: RPJP TN Kelimutu Periode 2009-2029
4.4.
Adat Istiadat dan Budaya Masyarakat di Sekitar Kawasan Keberadaan masyarakat Lio tidak bisa dilepaskan dengan kawasan
TNKL. Ikatan batin keduanya sudah terjalin sejak dulu. Masyarakat Lio mempunyai kepercayaan atau keyakinan, bahwa di kawasan Kelimutu (di puncak dan di danaunya) merupakan tempat tinggal arwah nenek moyangnya, juga tempat tinggal para arwah nantinya. Karena adanya keterikatan batin dan keterikatan wilayah yang sudah berjalan ratusan tahun tersebut, menyebabkan masyarakat Lio sangat tergantung pada kawasan ini. Sangatlah mustahil apabila masyarakat akan merusak kawasan ini, sebaliknya akan menjaga, merawat, dan
46 mempertahankannya, apabila terdapat gangguan dari luar. Oleh karena itu, pihak BTNKL perlu melibatkan masyarakat Lio, untuk diajak berpartisipasi mengelola kawasan ini. Untuk itu perlu suatu upaya untuk memanfaatkan kearifan tradisional masyarakat, demi meningkatkan potensi kawasan TNKL agar lebih dikenal dunia serta lebih banyak dikunjungi wisatawan. Hal ini secara tidak langsung akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Lio, yang berada di sekitar kawasan TNKL. Saat ini masyarakat Lio berada pada masa transisi, masa perubahan, masa peralihan, sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat Lio adalah masyarakat transisional. Kondisi dimana sebuah masyarakat di satu sisi telah menginjak dunia atau alam modern/kemajuan, namun di sisi lain juga belum sepenuhnya meninggalkan alam tradisional, dunia adat mereka. Masyarakat Lio sudah mengenal produk teknologi tinggi seperti handphone, televisi, sepeda motor, parabola, serta barang-barang elektronik lainnya. Namun, masyarakat Lio tetap melaksanakan tradisi, ritual adat dalam berbagai aspek kehidupannya seperti penentuan hari baik, ritual yang berkaitan dengan kematian, kelahiran, dan lain-lain. Potensi yang begitu luar biasa, baik potensi budaya maupun potensi alamnya, apabila dikelola secara profesional akan menjadi daya tarik yang luar biasa. Potensi budaya masyarakat Lio yang eksotis, merupakan modal untuk mengembangkan dan melibatkan masyarakat adat untuk berperan aktif. Wisata budaya dapat dikembangkan dengan cara menggali potensi budaya di setiap desa, baik berupa kesenian, ritual, dan kerajinan. Wisatawan setelah mengunjungi Danau Kelimutu, diarahkan agar berkeliling ke desa-desa di sekitar kawasan TNKL. Hal ini merupakan kontribusi TNKL secara langsung agar dapat dirasakan oleh masyarakat di sekitar kawasan TNKL, namun harus didukung dengan semacam pembekalan/pelatihan di bidang pariwisata, jasa, bahasa, ketrampilan, pengetahuan agar wisatawan dapat mendapatkan informasi yang memuaskan.
Upaya
yang
telah
dilakukan
BTNKL
yaitu
memfasillitasi
pelaksanaan upacara adat tahunan di puncak Kelimutu yang disebut pati ka du’a bapu ata mata. Upacara ritual ini dimaksudkan untuk menghormati nenek moyang suku Lio yaitu dengan memberikan makanan persembahan (Gambar 10).
47
Gambar 10 Tari adat Gawi yang dilaksanakan setelah upacara adat Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata oleh para ketua adat (Mosalaki). Keberadaan kepala desa yang rata-rata juga merupakan seorang ketua adat (mosalaki), memberikan keuntungan ganda baik bagi pemerintah daerah maupun bagi masyarakat Lio sendiri. Masyarakat Lio masih taat dengan ketentuan-ketentuan adat, dengan peraturan-peraturan adat, dengan pimpinan adat mereka, maka jabatan rangkap tersebut sangat tepat dilaksanakan. Program-program
pemerintah
akan
banyak
mendapatkan
dukungan,
mendapatkan sambutan yang baik, berhasil dilaksanakan berkat peranan kepala desa yang juga seorang mosalaki. Masyarakat akan lebih mau mendengarkan perintah-perintah pimpinan adat mereka, dibandingkan dengan pihak luar yang belum mengerti serta mendalami adat mereka. Oleh karena itu pihak BTNKL bisa lebih mengintensifkan hubungan dengan para kepala desa yang berada di sekitar kawasan taman nasional, agar masyarakat Lio bisa benar-benar ikut menjaga, mengamankan, melestarikan aset nasional yang sangat berharga ini. Kehidupan beragama masyarakat Lio bisa sejalan dengan kehidupan adat mereka. Hal ini terlihat seperti halnya dalam acara keagamaan Katolik yaitu komuni suci pertama/sambut baru, kegiatan ini biasanya disejalankan dengan ritual dalam menyambut seorang anak menjelang masa akil baliq (inisiasi). Kegiatan tersebut dilaksanakan secara adat, dengan acara pembunuhan babi yang ditusuk dengan sebatang besi yang membara, agar darah tidak banyak keluar sehingga rasa dagingnya lebih enak. Padahal kegiatan keagamaan (Katolik) tidak ada acara seperti itu, namun masyarakat masih tetap melaksanakan tradisi mereka/kepercayaan dalam mengungkapkan rasa syukur
48 kepada penguasa langit dan bumi (Du’a Ngga’e), seperti dalam ungkapan adat Du’a Ghale, Lulu Wula, Gha’e Ghale dan Wana Tana. Kearifan tradisional masyarakat Lio dalam pengolahan atau penggarapan lahan, sawah, seperti yang tercermin dalam sistem kebe kolo yakni sistem terasering, salah satu bentuk kepedulian masyarakat terhadap lingkungannya. Masyarakat Lio dalam mengolah ladang/sawah, selalu menjaga keharmonisan dengan alam lingkungannya. Mereka sadar kehidupan tergantung dari bagaimana memperlakukan alam, serta bagaimana memperlakukan lingkungan di sekitarnya. Hal ini juga terlihat dari kesadaran mereka berkaitan dengan pembangunan rumah adat, yang membutuhkan kayu adat (wowo, najubalu, mbu) yang berada di kawasan TNKL, mereka sedikit demi sedikit berusaha menggantikan dengan kayu lain (nangka, kelapa). Juga adanya upaya pembibitan/pembudidayaan kayu-kayu adat tersebut untuk ditanam di luar kawasan TNKL, sehingga nantinya kawasan TNKL benar-benar terjaga, lestari, dan tidak mengalami kerusakan/pengrusakan/perambahan dari masyarakat di sekitarnya.