IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Kabupaten Tangerang Kabupaten Tangerang merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Banten dengan ibukotanya adalah Tigaraksa. Kabupaten ini terletak tepat di sebelah barat Jakarta, berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Provinsi DKI Jakarta di timur, Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Lebak di selatan, serta kabupaten Serang di timur (Gambar 13). Cisauk
Kabupaten Tangerang
Selat Sunda
Provinsi Banten
Kota Tangsel
Provinsi Jabar
Gambar 13 Letak Kabupaten Tangerang dan Kota Tangsel Kabupaten Tangerang memiliki topografi yang relatif datar, terdiri dari 2 bagian, yaitu: dataran rendah di bagian utara dengan ketinggian berkisar antara 0 – 25 meter di atas permukaan laut, yaitu kecamatan Teluk Naga, Mauk, Kemiri, Sukadiri, Kresek, Kronjo, Pasarkemis, dan Sepatan dan Dataran Tinggi dari bagian tengah ke arah selatan dengan ketinggian lebih dari 25 meter di atas permukaan laut. Kemiringan lereng rata-rata 3 – 8 % menurun ke utara. Ketinggian wilayah berkisar antara 24 – 62 m di atas permukaan laut. Wilayah bagian utara merupakan daerah pesisir pantai sepanjang kurang lebih 50 km. Sebagian besar wilayah Kabupaten Tangerang merupakan dataran rendah. Sungai Cisadane, sungai terpanjang di Tangerang, mengalir dari selatan dan bermuara di Laut Jawa.
60
Kabupaten Tangerang merupakan wilayah perkembangan Jakarta. Secara umum, Kabupaten Tangerang dapat dikelompokkan menjadi tiga wilayah pertumbuhan, yakni: 1. Pusat Pertumbuhan Wilayah Serpong, berada di bagian timur (berbatasan dengan Jakarta), difokuskan sebagai wilayah permukiman dan komersial. 2. Pusat Pertumbuhan Balaraja dan Tigaraksa, berada di bagian barat, difokuskan sebagai daerah sentra industri, permukiman, dan pusat pemerintahan. 3. Pusat Pertumbuhan Teluk Naga, berada di wilayah pesisir, untuk industri pariwisata alam dan bahari, industri maritim, perikanan, pertambakan, dan pelabuhan. Sebagian penduduk Kabupaten Tangerang kebanyakan mereka bekerja di Jakarta. Beberapa perumahan memiliki fasilitas yang lengkap, sehingga menjadi kota mandiri; diantaranya adalah: Bumi Serpong Damai, dan Lippo Karawaci. Wilayah terbangun di Kabupaten Tangerang, sebagian besar terdapat di wilayah Selatan, terutama di bagian timur yang berbatasan dengan kota Tangerang dan DKI Jakarta. Wilayah di utara merupakan wilayah pesisir pantai yang masih berupa lahan hijau (sawah). Selain itu, juga terdapat beberapa daerah pengembangan kota, yaitu kawasan Pusat Pemerintahan Tigaraksa dan Kawasan Kota Baru Bumi Serpong Damai di bagian selatan Kabupaten Tangerang.
4.2 Kondisi Kota Tangerang Selatan Kota Tangerang Selatan adalah salah satu kota dari 8 kabupaten/kota di Provinsi Banten. Kota Tangerang Selatan merupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang, diresmikan sebagai daerah otonom pada tanggal 28 Oktober 2008 dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2008. Kota Tangerang Selatan merupakan daerah strategis karena berbatasan langsung dengan DKI Jakarta, berjarak + 20 kilometer ke ibukota negara dan + 20 menit dari Bandara Internasional Soekarno Hatta. Batas-batas administrasi KotaTangerang Selatan menurut Undang-Undang 51 Tahun 2008 adalah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Pinang, Kecamatan Larangan, Kecamatan Ciledug Kota Tangerang. Sebelah timur berbatasan dengan Kota Jakarta Selatan, Provinsi DKI Jakarta. Sebelah selatan berbatasan dengan Kota Depok dan Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dan sebelah barat berbatasan
61
dengan Kecamatan Cisauk, Kecamatan Pagedangan, Kecamatan Kelapa Dua, Kabupaten Tangerang. Secara administratif Kota Tangerang Selatan terdiri atas 7 (tujuh) kecamatan, yaitu (1) Serpong dengan luas 2,404 ha, (2) Serpong Utara dengan luas 1,784 ha, (3) Ciputat dengan luas 1,838 ha, (4) Ciputat Timur dengan luas 1,543 ha, (5) Pondok Aren dengan luas 2,988 ha, (6) Pamulang dengan luas 2,682 ha, (7) Setu dengan luas 1,480 ha dan total luas Kota Tangerang Selatan adalah 14,719 ha. Penduduk kota Tangerang Selatan, provinsi Banten pada tahun 2010 sebanyak 1,290,322 jiwa. Secara umum Kota Tangerang Selatan merupakan dataran rendah dengan letak ketinggian dari permukaan laut +44 m. Kota Tangerang Selatan merupakan daerah beriklim tropis, temperatur ratarata berkisar antara 23.5 – 32.6 °C dan temperatur minimum terendah yaitu 22.8°C. Rata-rata kelembaban udara dan intensitas matahari sekitar 78.3% dan 59.3%. Keadaan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 486 mm, sedangkan rata-rata curah hujan dalam setahun adalah 177.3 mm. Rata-rata kecepatan angin dalam setahun adalah 3.8m/detik dan kecepatan maksimum 12.6 m/detik. Penggunaan lahan Kota Tangerang Selatan sebagian besar adalah untuk perumahan dan permukiman yaitu seluas 9,941.41 ha atau 67.54% dari 14,719 ha. Sawah ladang dan kebun menempati posisi kedua terluas dengan 2,794.41 ha atau18.99 %. Penggunaan lahan paling kecil adalah untuk pasir dan galian yaitu seluas 15.27 ha atau 0.1%. Jenis komoditas pertanian yang diproduksi antara lain padi sawah, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kacang panjang, cabe rawit, bayam, terung, kangkung, petsai/sawi, dan cabe besar. Bebagai jenis ternak terdapat di Kota Tangerang Selatan. Untuk ternak besar terdiri dari sapi potong, kerbau dan kuda dengan dominasi sapi potong sebanyak 5,073 ekor. Untuk ternak kecil terdiri dari domba, babi, dan kambing dengan dominasi populasi terbesar adalah kambing sebanyak 14,279 ekor. Unggas yang paling besar populasinya adalah ayam ras petelur sebanyak 1,244,888 ekor.
4.3 Kondisi Lokasi Kecamatan Cisauk 4.3.1
Umum Luas wilayah kecamatan Cisauk yaitu 2,831.5 ha, terdiri dari 6 (enam) desa,
sementara luas wilayah kecamatan Setu adalah 1,480 ha dan luas masing-masing
62
desa tertera pada Tabel 15 dan Peta Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu dan sekitarnya tertera pada Gambar 14 dan 15. Tabel 15 Luas Wilayah di kecamatan Cisauk dan Setu Kec. Cisauk, Kab. Tangerang No Nama Desa Luas (ha) 1.
Cisauk
2. 3. 4. 5. 6.
Sampora Cibogo Suradita Mekarwangi Dangdang Jumlah
No
Kec.Setu, Kota Tangsel Nama Desa Luas (ha)
484.7
1.
Muncul
325.0 411.0 664.3 434.5 512.0 2,831.5
2. 3. 4. 5. 6.
Setu Bakti Jaya Keranggan Kademangan Babakan Jumlah
372.0 204.4 226.0 217.0 322.4 138.2 1,480.0
(Sumber : Laporan Bulanan kec. Cisauk, Mei 2009 dan kec. Setu, Des 2010)
Batas-batas wilayah Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu: - Sebelah Utara berbatasan dengan kecamatan Pagedangan dan Serpong - Sebelah Timur berbatasan dengan kecamatan Serpong - Sebelah Barat berbatasan dengan kecamatan Pagedangan dan Legok - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor Berdasarkan data Laporan Bulanan kecamatan Cisauk bulan Mei 2009 dan Kecamatan Setu bulan Desember 2010 mempunyai: - Jumlah desa = 12 Desa - Jumlah RW/RT= 93 / 491 - Jumlah penduduk= 105,307 jiwa Jumlah rumah yang terdapat di kawasan permukiman di Cisauk pada tahun 2009 adalah sebanyak 23,9495 unit yang dapat dibagi kedalam 3 kelompok berdasarkan kondisi rumahnya yaitu rumah permanen sebanyak 14,665 unit atau 61.23 %, semi permanen sebanyak 7,553 unit atau 21.54 %, dan temporer sebanyak 1,731 unit atau 7.23%. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 17. Jumlah rumah terbanyak adalah desa Kademangan yaitu sebanyak 6,136 unit dan yang paling sedikit adalah desa Sampora yaitu sebanyak 717 unit.
63
Kec. Setu
Kec. Cisauk
Gambar 14 Peta Kecamatan Cisauk dan Kecamatan Setu, provinsi Banten 63
64
Cisauk Setu
Gambar 15 Kawasan Permukiman di Cisauk dan sekitarnya Tabel 16 Jumlah Penduduk Kec. Cisauk dan Kec. Setu Tahun 2009 Kec.
Cisauk
Setu
Luas Wilayah (ha)
Jumlah Pendudk (jiwa)
434.05
5,358
Dandang
512
3
Suradita
4
Cibogo
5 6
Perempuan
Jumlah KK
Kepadatan
2,716
2,642
1,223
12.34
4,892
2,406
2,486
1,067
9.55
664
12,632
6,594
6,038
2,171
19.02
411
9,270
4,447
4,823
1,744
22.55
Cisauk Sampora
484.7 325.0
10,305 4,158
5,097 2,223
5,208 1,935
2,127 1,066
21.26 12.79
7
Muncul
372.0
7,987
4,108
3,879
2,143
21.47
8
Setu
264.2
9,197
4,583
4,614
2,263
34.81
BSD
9
Bakti Jaya
226.0
15,200
7,900
7,300
3,800
67.25
BSD
10
Keranggan
217.0
5,313
2,610
2,703
1,224
24.48
11
Kademangan
322.4
12,742
6,420
6,261
3,321
39.52
12
Babakan
138.2
8,253
4,140
4,113
1,423
59.71
4370.55
105,307
53,244
52,002
23,572
28.73
No
Desa
1
Mekarwangi
2
Jumlah
Lakilaki
(Keterangan : Monogram Kantor Kecamatan Cisauk dan Setu tahun 2009), BSD artinya masuk wilayah pengembangan BSD.
Ket
BSD
BSD
65
Kondisi sosial masyarakat di Cisauk sepertinya mewakili potret umum kawasan di Tangerang yang terdesak oleh industri dan pertumbuhan yang cepat. Masyarakat, secara umum, tidak siap menghadapi perubahan. Mereka yang dulunya hidup dari bertani, tidak lagi memiliki tanah. Anak-anak muda nyaris tanpa ketrampilan yang memadai, tergiring ke pabrik-pabrik yang tersebar di Kabupaten Tangerang. Di kanan kiri, terbentang komplek perumahan,bahkan sebuah komplek perumahan terhampar 'memotong’' desa. Misalnya, jarak dengan tetangga atau saudara yang awalnya dekat, tidak lagi bisa ditempuh dalam waktu singkat karena umumnya perumahan dikelilingi pagar. Jalan harus berputar jauh, butuh waktu dan ongkos. Perubahan-perubahan ini, membawa dampak yang tidak sederhana terhadap kultur dan psikologi masyarakat. Tabel 17 Jumlah dan kondisi rumah di Kec. Cisauk dan Kec. Setu Tahun 2009 Kec
No.
Desa
Temporer
Mekarwangi Dangdang Suradita Cisauk Cibogo Cisauk Sampora Jumlah 1 Kranggan 2 Muncul 3 Setu 4 Babakan Setu 5 BaktiJaya . 6 Kademangan Jumlah Jumlah Keseluruhan Persentase (%)
500 97 490 312 210 17 1,626 26 20 17 25 10 7 105 1.731 7,23
1 2 3 4 5 6
Semi Permanen 200 485 1,500 420 258 25 2,888 150 60 950 1,400 95 2,010 4,665 7.553 21,54
Permanen 180 346 700 155 1,755 675 3,811 961 1,020 932 810 3,012 4,119 10,854 14.665 61,23
Jumlah 880 928 2,690 887 2,223 717 8,325 1,137 1,100 1,899 2,235 3,117 6,136 15624 23.949 100,00
(Sumber: Kantor Kecamatan Cisauk dan Setu, tahun 2009)
Dalam skala regional kawasan permukiman di Cisauk memiliki potensi yang dapat mempengaruhi perkembangan kota yaitu: 1. Kecamatan Cisauk memiliki akses yang tinggi ke beberapa simpul pelayanan utama, yaitu ke Jakarta, Tangerang, dan Kabupaten Bogor. Hal tersebut terlihat dengan adanya jaringan jalan Kabupaten, akses ke jalan tol Serpong yang menghubungkan Serpong dengan Jakarta (Bintaro).
66
2. Kecamatan Cisauk merupakan hinterland (daerah belakang) bagi pengembangan Serpong, sehingga segala perkembangan yang terjadi di Serpong akan berpengaruh pada perkembangan di kecamatan Cisauk. 3. Berdasarkan RTRW Kabupaten Tangerang tahun 2006, kecamatan Cisauk berfungsi sebagai kegiatan permukiman dan perkotaan. 4. Adanya Puspiptek sebagai pusat pengembangan teknologi. 5. Adanya sarana pendidikan tinggi (ITI), sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. 6. Adanya kawasan industri Tekno Park yang dapat menyerap tenaga kerja. Disamping itu dalam skala regional kawasan permukiman di Cisauk memiliki permasalahan diantaranya adalah: 1. Adanya akses yang tinggi ke beberapa simpul pelayanan utama, yaitu ke Jakarta, Tangerang, dan Kabupaten Bogor, dapat mendorong percepatan pembangunan dan perkembangan kota yang tidak terkendali. 2. Terjadi arus commuter yang tinggi dimana hal ini
dapat menimbulkan
kemacetan lalu lintas. 4.3.2 Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di Kecamatan Cisauk pada tahun 2009 terdiri dari penggunaan lahan terbangun sebesar ± 2,045.92 ha atau 47.74% dan tidak terbangun ± 2,239.93 ha atau 52.26%. Penggunaan lahan untuk permukiman sebesar ± 1,978.50 ha atau 46.16 %, pertanian lahan basah sebesar ± 931.12 ha atau 21.73% dan lahan kering ± 668,00 ha atau 15,59%. Masih tersedianya lahan bagi pengembangan kegiatan perkotaan yang cukup apabila hal ini dilihat dari masih luasnya lahan yang belum terbangun. Permasalahan dan penggunaan lahan yang terjadi di Kecamatan Cisauk saat ini antara lain pola penggunaan lahan di Kecamatan Cisauk belum terkendali dan belum terstruktur dengan baik. Permasalahan lain adalah belum adanya kejelasan beberapa fungsi ruang kawasan seperti antara fungsi kawasan lindung (konservasi) dan kawasan budidaya. Penyebaran permukiman penduduk yang tidak teratur cukup menyulitkan pelayanan sarana dan prasarana lingkungannya. Penggunaan lahan di Cisauk secara lebih terinci seperti tertera pada Tabel 18.
67
Tabel 18 Penggunaan Lahan di Cisauk No
Penggunaan Lahan
I Lahan Terbangun 1. Pemukiman & Pekarangan 2. Bangunan Pemerintah, Sekolah. 3. Perdagangan 4. Industri Subtotal II Lahan tidak terbangun 1. Sarana olah raga 2. Pertanianlahanbasah 3. Pertanian lahan kering/ladang/tegalan 4. Perkebunan 5. Empang/kolam 6 Danau/rawa 7 Pekuburan 8. Lain-lain Sub total Jumlah Keseluruhan
Luas (ha)
Prosentase (%)
1,978.50 21.32 36.10 10.00 2,04.,92
46.16 0.50 0.84 0.23 47.74
26.00 931.12 668.00 342.86 63.79 55.70 31.00 121.46 2,239.93
0.61 21.73 15.59 8.00 1.49 1.30 0.72 2.83 52.26
4,285.85
100.00
Sumber: Laporan Bulanan Umum, Kantor Kecamatan Cisauk dan Setu tahun 2009
4.3.3 Potensi dan Permasalahan Fisik Potensi fisik dasar yang dimiliki oleh kawasan permukiman di Cisauk antara lain luas wilayah kawasan permukiman di Cisauk ± 4,285.85 ha yang terletak di ketinggian 24 - 62 meter di atas permukaan laut dengan topografi yang relatif datar dan
kemiringan 3 - 8%, memiliki kesesuaian lahan untuk kegiatan perkotaan.
Potensi air tanah rata-rata 5.70 liter/detik/km2 (0.057 liter/detik/ha) dengan kedalaman air tanah antara 1-150 meter. Potensi air permukaan yang tersedia: Sungai Cisadane, Sungai Angke, Sungai Jaletreng dan Sungai Cimanceuri dengan debit air total sebesar 6,130 liter/detik. Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah di Jl. Raya Puspiptek, Desa Babakan, Kecamatan Setu, Kota Tangerang Selatan cukup mengganggu lingkungan karena lokasinya di tanah milik pribadi dan beroperasi tanpa izin dan setiap hari bau tak sedap menyengat akibat kegiatan tersebut. Tempat pembuangan sampah yang dioperasikan secara liar berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan dan membahayakan masyarakat di sekitarnya karena tidak dikelola sesuai kaidah-kaidah teknis maupun manajemen pengelolaan sampah.
68 68
Gambar 16 Peta penggunaan lahan di Kecamatan Cisauk dan Setu tahun 2010
69
Permasalahan fisik dasar yang dimiliki oleh kawasan permukiman Cisauk diantaranya wilayah kawasan permukiman di Cisauk yang terbagi dua oleh Sungai Cisadane mengakibatkan perkembangan yang terjadi antara daerah barat sungai dengan daerah sebelah timur tidak seimbang dengan kata lain daerah timur sungai sudah lebih berkembang. Di kecamatan Cisauk saat ini masih terdapat lahan-lahan kosong yang menjadi tempat penambangan pasir dan batu. Hal ini mengakibatkan terbentuknya lubang-lubang bekas galian yang menjadi danau/situ yang dalam, sehingga sulit untuk diurug kembali. Akibat adanya galian pasir dan batu di kecamatan Cisauk, maka setiap hari truk-truk pengangkut pasir dan batu dengan beban melebihi perencanaan selalu mondar mandir melalui jalan raya yang berdampak pada kerusakan jalan sebelum waktunya. Saluran drainase primer kawasan permukiman di Cisauk berupa sungai yaitu Sungai Cisadane dan Sungai Jaletreng yang melintasi kawasan permukiman di Cisauk, serta Sungai Cimanceuri dan Sungai Angke di perbatasan sebelah Barat dan Timur kawasan permukiman di Cisauk. Saluran drainase sekundernya adalah kalikali kecil dan saluran irigasi yang terdapat di areal persawahan. Saluran drainase tersiernya adalah berupa saluran buatan di pinggir-pinggir jalan. Jaringan drainase kawasan permukiman di Cisauk, secara umum masih menggunakan saluran drainase alami atau saluran irigasi. Sistem drainase buatan terdiri dan selokan-selokan yang terdapat disisi jalan dan saluran irigasi. Saluran alamiah memanfaatkan aliran sungai-sungai yang ada. Sebagian besar masih bersifat alamiah (konstruksi dari tanah) dan hanya sebagian kecil yang sudah permanen. Saluran drainase yang sudah cukup baik dan permanen terdapat di beberapa ruas jalan yang terdapat di bagian timur kawasan permukiman di Cisauk, sedangkan saluran drainase di luar ruas jalan tersebut pada umumnya bersifat alamiah dan tidak berfungsi dengan baik sehingga apabila terjadi turun hujan tidak dapat menampung limpasan air hujan tersebut, dan sebagai akibatnya akan menimbulkan genangan air. Penyaluran air dari drainasedrainase tersebut tersebar ke persawahan, danau bekas galian pasir, dan sungai. Untuk pembuangan air kotor, pada umumnya penduduk masih banyak menggunakan saluran terbuka dimana air kotor buangan rumah tangga dibuang ke saluran drainase dan saluran irigasi. Namun untuk sebagian penduduk lainnya, pembuangan air limbah sudah dilakukan dengan baik, dimana pembuangan air kotor dilakukan ke septick tank atau saluran tertutup.
70
Untuk memenuhi kebutuhan air bersih kawasan permukiman di Cisauk, sumber air baku yang dimanfaatkan adalah air tanah dangkal dengan kedalaman 715 m. Fluktuasi muka air tanah sangat tergantung oleh musim. Sumber air tanah dangkal hanya dipergunakan sebagai sumber penunjang dan untuk kebutuhan jangka pendek. PDAM Kabupaten Tangerang mengambil air baku sungai Cisadane di wilayah Cisauk yang diolah menjadi air bersih tetapi pelayanannya masih terbatas. Sistem transportasi di kawasan permukiman di Cisauk terdiri dari pola jaringan jalan, sarana terminal dan stasiun kereta api, dan moda angkutan kota. Jaringan jalan tersebut menghubungkan desa dengan desa yang ada kawasan permukiman di Cisauk, kawasan permukiman di Cisauk dengan kecamatan lain yang ada di kabupaten Tangerang dan kota Tangsel, dan menghubungkan kawasan permukiman di Cisauk dengan Kabupaten Bogor yang ada di Propinsi Jawa Barat. Kawasan permukiman di Cisauk terdapat sarana perhubungan lain, yaitu sebuah stasiun kereta api yang melayani jalur kereta Bogor — Serpong atau Serpong — Jakarta. Sampai saat ini masalah transportasi yang ada di kawasan permukiman di Cisauk adalah sebagai berikut: 1.
Belum adanya terminal untuk kegiatan angkutan umum, baik untuk melayani dalam kawasan permukiman maupun untuk angkutan yang melayani dari kawasan permukiman Cisauk ke luar wilayah kawasan.
2.
Belum dilalui sarana angkutan umum yang melewati kawasan permukiman di Cisauk sebelah barat.
3.
Masih banyaknya jalan yang perlu peningkatan, yaitu jalan perkerasan ± 30 km, dan jalan tanah ± 75 km.
4.3.4
Ekosistem Sub DAS Cisadane Kawasan Sub DAS Cisadane dengan beberapa anak sungainya merupakan
kawasan dengan fungsi utama untuk konservasi air dan tanah. Dengan daerah tangkapan seluas 1,500 km2, Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai utama di Provinsi Banten dan Jawa Barat. Fluktuasi aliran Sungai Cisadane sangat bergantung pada curah hujan di daerah tangkapannya (catchment area). Aliran yang tinggi terjadi saat musim hujan dan menurun saat musim kemarau. Debit normal Sungai Cisadane adalah 70 m3/detik. Berdasarkan pemantauan di stasiun Pengamat Serpong, aliran sungai terendah yang pernah terjadi tercatat sebesar 2.93 m³/detik di
71 tahun 2001 dan tertinggi 973.35 m3/detik pada tahun 2007. Sub DAS Cisadane dengan luas 140,046 ha wilayahnya meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang dan merupakan DAS dengan wilayah terluas di Jabodetabek. Bagian hulu berada di Gunung Salak – Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke Laut Jawa. Panjang sungai ini sekitar 80 km. Berdasarkan topografinya, bagian hulu sub DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan ketinggian mencapai 3,000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40%, sedangkan bagian hilir sampai bagian tengah merupakan daerah datar hingga bergelombang. Di bagian tengah yang wilayahnya meliputi Kota Bogor, Rumpin, Serpong, dan Cisauk terdapat lahan terbangun tersebar merata. Kurang lebih 17.7% dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun. Kawasan permukiman di Cisauk, provinsi Banten berada di bagian tengah sub DAS Cisadane yang subur namun kondisi teknisnya kurang bagus karena aktivitas domestik dan industri. Sub DAS Cisadane yang wilayahnya meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Tangerang dan Kabupaten Tangerang dan luasnya 140,046 ha merupakan DAS dengan wilayah terluas di Jabodetabek sebagaimana terlihat pada Gambar 17. Bagian hulu berada di Gunung Salak – Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke laut Jawa. Panjang sungai ini kurang lebih 80 km. Berdasarkan topografinya, bagian hulu sub DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan ketinggian mencapai 3,000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40%. Bagian tengah sampai bagian hilir merupakan daerah datar hingga bergelombang. Di bagian tengah yang wilayahnya meliputi antara lain Kota Bogor, Rumpin, Serpong, dan Cisauk terdapat lahan terbangun tersebar merata. Kurang lebih 17.7% dari total luas DAS ini adalah merupakan lahan terbangun dan seluas ± 15.45% merupakan daerah pemukiman. Kecenderungan yang terjadi sejalan dengan pertambahan penduduk yang terus terjadi adalah lahan terbangun terus meningkat sedangkan lahan pertanian dan lahan konservasi cenderung menurun. Gambar 18 memperlihatkan aliran permukaan di wilayah sub DAS Cisadane bagian tengah. Distribusi aliran permukaan terbesar berasal dari Rumpin sebesar 100 m3/ detik dan aliraqn distribusi terkecil berasal dari Parung Panjang sekitar 1.5 m3/ detik. Aliran distribusi dari Kecamatan Cisauk sebesar lebih dari 40 m3/ detik dan Kecamatan Serpong sekitar 5 m3/ detik.
72
Cisauk
DAS Cisadane
Gambar 17 Peta Sub DAS Cisadane
Gambar 18 Distribusi aliran permukaan di wilayah sub DAS Cisadane tengah (Sumber : BPDAS Citarum-Ciliwung- Penyusunan Rencana Detil Penanganan Banjir di Wilayah Jabodetabekjur, 2009)
4.4 Tinjauan Kebijakan Pengembangan Kawasan Permukiman Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan kawasan permukiman telah menjadi dasar dalam pengembangan kawasan permukiman di
73
Cisauk, provinsi Banten. UU No.4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman mengatur bagaimana mengadakan rumah dan meningkatkan kualitas permukiman. Pengembangan permukiman akan dilakukan melalui pengelolaan tanah untuk permukiman skala besar yang dikenal dengan nama Kawasan Siap Bangun (KASIBA) dan dengan memepertimbangkan rencana tata ruang (Anonim, 1992). Menurut UU ini permukiman ditempatkan dalam kerangka pikir tata ruang yang mencakup metropolitan, kota dan desa. Sebagai tindak lanjut dari UU tersebut terbit Peraturan Pemerintah (PP) No.80/1999 tentang Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba) yang berdiri sendiri. Secara implisit UU dan PP tersebut bertujuan untuk mengendalikan pembangunan perumahan dan permukiman yang terkotak-kotak dan terfragmentasikan dalam kelompok kecil (kurang dari 1000 unit) sehingga menimbulkan ketidakefisienan. Berubahnya lingkungan strategis yang ditandai dengan berubahnya sistem politik dan ketatanegaraan seperti otonomi daerah, pemberdayaan masyarakat, kesetaraan dan keterbukaan, maka UU No.4 Tahun 1992 dirasakan kurang sesuai sehingga terbit UU Perumahan dan Kawasan Permukiman No.1 Tahun 2011 yang sasarannya antara lain memberikan kepastian hukum dalam penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman; mendukung penataan dan pengembangan wilayah serta penyebaran penduduk yang proporsional melalui pertumbuhan lingkungan hunian dan kawasan permukiman sesuai dengan tata ruang; meningkatkan daya guna dan hasil guna sumberdaya alam bagi pembangunan perumahan; memberdayakan para pemangku kepentingan bidang pembangunan perumahan dan kawasan permukiman; dan menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau (Anonim, 2011). Persoalan yang penting untuk diperhatikan adalah masalah ruang yang dilihat sebagai tempat berlangsungnya interaksi sosial, yang mencakup manusia dengan seluruh kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya dengan ekosistemnya, seperti sumberdaya alam dan sumberdaya buatan berlangsung. Ruang perlu ditata agar dapat memelihara keseimbangan lingkungan dan memberikan dukungan yang nyaman terhadap manusia serta mahluk hidup lainnya dalam melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan hidupnya secara optimal. UU Penataan Ruang no.26/ Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur bahwa pengembangan kawasan permukiman harus dimulai dengan penyusunan rencana tata ruang yang dilanjutkan
74
dengan perumusan kebijakan strategis tata ruang, program sektoral, dan pelaksanaan pembangunan secara terpadu (Anonim, 2007). Untuk mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan perlu dilakukan penataan ruang yang dapat mengharmonisasikan lingkungan alam dan lingkungan buatan, yang mampu mewujudkan keterpaduan penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan, serta yang dapat memberikan perlindungan terhadap fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan hidup akibat pemanfaatan ruang. Kaidah penataan ruang ini harus dapat diterapkan dan diwujudkan dalam setiap proses perencanaan tata ruang wilayah. UU No.32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah menetapkan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan (Anonim, 2004). Dampak dari pelaksanaan UU ini adalah perhatian pemerintah daerah terhadap pengembangan permukiman disesuaikan dengan prioritas dan kepentingan masing-masing pemerintah daerah. tuntutan otonomisasi mengehendaki penyelenggaraan perumahan dan permukiman menerapkan pola pembangunan dilaksanakan secara desentralisasi. Masalah lingkungan pada kawasan permukiman dan perumahan, yang umumnya muncul sebagai akibat dari tingkat urbanisasi dan industrialisasi yang tinggi, serta dampak pemanfaatan sumberdaya dan teknologi yang kurang terkendali. Peraturan Menteri Perumahan Rakyat tentang Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Permukiman di Daerah (RP4D) merupakan kebijakan Pemerintah Daerah mengenai penanganan perumahan dan permukiman yang merupakan turunan dari Rencana Tata Ruang Wilayah. Sebagai wilayah kabupaten yang termasuk salah satu penyangga ibukota Jakarta, permasalahan perumahan dan permukiman di Kabupaten Tangerang merupakan masalah yang cukup mendesak. Sebagian warga Jakarta yang tergusur mencari lahan tempat tinggal di Kabupaten Tangerang, sehingga keterjangkauan adalah aspek penting yang perlu diperhatikan. Keputusan Menteri Negara Perumahan Rakyat No.04/KPTS/BKP4N/1995 tentang Pedoman Pembangunan Perumahan dan Permukiman dengan Lingkungan Hunian yang Berimbang antara lain untuk (1) mewujudkan kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman yang sehat, aman, serasi dan teratur, (2) mewujudkan
75
kawasan dan lingkungan perumahan dan permukiman yang terdiri dari rumah mewah, rumah menengah dan rumah sederhana, (3) mewujudkan kesetiakawanan sosial, kekeluargaan dan kebersamaan, dan (4) menjamin tercapainya target pembangunan perumahan dan permukiman terutama rumah sederhana. UU RI No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan perhatian khusus terhadap peran masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup. Lingkungan diartikan sebagai satuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan dan mahluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia dan mahluk hidup lainnya. Intinya, lingkungan adalah suatu satuan ruang dengan berbagai unsur dan proses yang terjadi didalamnya. Pengelolaan lingkungan hidup, menurut undangundang ini merupakan upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan yang meliputi perumusan kebijakan, penataan, pemanfaatan, pengembangan pemulihan, pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup (Anonim, 1997). Dalam Peraturan Pemerintah nomor 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dikenal istilah AMDAL dan ANDAL. AMDAL adalah keseluruhan tata cara untuk menghasilkan sarana pengendalian dampak oleh adanya suatu kegiatan sedangkan ANDAL adalah suatu kegiatan pengkajian untuk menghasilkan suatu informasi bagi pengambilan keputusan suatu proyek. Dengan demikian ANDAL merupakan bagian dari AMDAL.Tahapan yang perlu dilakukan untuk membuat analisis mengenai dampak lingkungan adalah : − Penyajian Informasi Lingkungan (PIL) adalah suatu studi yang hasilnya digunakan untuk memutuskan perlu tidaknya suatu proyek disertai ANDAL. − Kerangka Acuan ANDAL (KAA) merupakan penuangan hasil PIL kedalam petunjuk pelaksanaan ANDAL. − Analisis Dampak Lingkungan (ANDAL) yaitu studi tentang dampak lingkungan oleh kegiatan yang direncanakan yang hasilnya digunakan untuk memutuskan dapat tidaknya kegiatan yang direncanakan dilanjutkan dan syarat yang harus dipenuhi bila kegiatan tersebut dilanjutkan. − Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL) merupakan petunjuk tentang bagaimana mencegah atau mengatasi dampak-dampak yang tidak diinginkan.
76 − Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL) merupakan petunjuk untuk mengikuti dan mengamati segala perubahan lingkungan setelah kegiatan dilaksanakan. Beberapa lahan penambangan bahan galian golongan C seperti penambangan pasirterdapatdi kecamatan Cisauk. Bahan galian golongan C merupakan bahan galian yang dikategorikan sebagai bahan galian non strategis. Bahan galian golongan C meliputi bahan galian industri dan bahan galian bangunan. Jenis bahan galian industri antara lain asbes, batu gamping, feldspar, pasir kwarsa, lempung, trass, oker, batu tulis/slate, dan zeolit. Bahan galian bangunan meliputi andesit, diorit, pasir dan batu, serta marmer. Kesuburan tanah pada lokasi bekas tambang sangat rendah karena rendahnya kandungan bahan organik dan nitrogen di dalamnya. Dengan kondisi tanah seperti ini akan terus mengalami degradasi apabila tidak dikelola secara benar dengan segera. Luas areal pertambangan semakin lama semakin bertambah. Pada umumnya pengusaha memperluas kawasan yang ditambangnya dengan cara membeli lahan pertanian penduduk setempat. Berhubung keadaan lahan yang kritis, tidak produktif, dan hanya cocok ditanami dengan tanaman tahunan yang produksinya juga tidak memadai, maka sangat wajar jika masyarakat terdorong untuk menjual tanahnya. Masyarakat yang telah kehilangan lahan pertaniannya pada umumnya bekerja sebagai pekerja tambang atau merantau ke luar daerah. Status tanah yang diusahakan untuk pertambangan kemudian menjadi tanah milik pengusaha tambang. Karena status tanah bekas tambang yang telah beralih menjadi tanah milik tersebut maka akan sangat sulit untuk memaksa pengusaha melakukan reklamasi pada lahan bekas tambangnya. Setelah tanah mencapai lapisan terakhir yang berbatu dan mengeluarkan air, penambangan dihentikan dan beralih ke daerah lain. Lahan bekas tambang umumnya dibiarkan dan tidak dilakukan perlakuan apapun untuk mengembalikan kesuburan tanahnya. Pengaturan landasan hukum bagi perangkat pemerintah untuk melakukan pengendalian dan penertiban kegiatan penambangan bahan galian golongan C dilakukan dengan Peraturan Daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten. Undang– Undang RI No.7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumberdaya Air mengamanatkan bahwa perlu diimplementasikan secara konsisten prinsip-prinsip pengelolaan
sumberdaya
air
secara
terpadu
(integrated
water
resources
management/ IWRM). Dalam pengertian tersebut pengelolaan sumberdaya air,
77
termasuk pengelolaan sungai perlu memperhatikan prinsip-prinsip yaitu: (1) memberikan manfaat kepada publik secara efektif dan efisien, (2) mempertemukan keseimbangan kepentingan dan harmonisasi antara aspek sosial, ekonomi, dan prinsip keseimbangan lingkungan hidup, (3) keberlanjutan, keadilan, dan otonomi, serta (4) transparansi dan akuntabilitas, serta menjamin terjadinya keterbukaan terhadap adanya proses akuntabilitas publik. UU tersebut juga mengamanatkan tentang hak dan kewajiban masyarakat terhadap sumberdaya air (Anonim, 2004). Untuk mengantisipasi penerapan hak dan kewajiban masyarakat tersebut dalam implementasinya diperlukan pemahaman yang seimbang baik di tingkat pemerintah dan masyarakat. Hal yang mendapatkan sorotan publik adalah bahwa UU tersebut dinilai membawa semangat liberalisasi di sektor air yang dirasa akan mengganggu pemenuhan hak asasi rakyat akan air. Dalam RTRW Kabupaten Tangerang Tahun 2002 – 2011, Kecamatan Cisauk ditetapkan dan termasuk ke dalam Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) I dengan pusat Kota Serpong. SWP ini diarahkan pada pengembangan pusat permukiman perkotaan secara intensif, pendidikan, pelayanan sosial, perdagangan dan jasa, industri, pariwisata serta peternakan. Kecamatan Cisauk sendiri termasuk ke dalam pusat pertumbuhan Orde IV, sebagai pusat pelayanan lokal dengan fungsi utama sebagai pusat administrasi pemerintahan dan pusat pelayanan sosial. Kecamatan Cisauk dengan luas 4,285.85 ha dibagi atas 3 Bagian Wilayah Kota (BWK), yaitu: a.
BWK A: meliputi Desa Sampora, sebagian Desa Cisauk, Desa Cibogo, dan Desa Suradita, luas BWK A sebesar 1,470.35 ha, dengan fungsi sebagai pusat pemerintahan kecamatan, kawasan perdagangan regional (CBD), dan pengembangan permukian dan industri terbatas (non polutan) serta areal cadangan kota, dengan pusat BWK di Desa Sampora.
b.
BWK B: meliputi Desa Setu, Kademangan, Muncul, Kranggan, Babakan dan Desa Baktijaya, dengan luas 1,510.91 ha. BWK B memiliki fungsi sebagai kawasan perdagangan, perindustrian, pendidikan tinggi, puspitek dan pengembangan perumahan dengan pusat BWK di Desa Setu
c.
BWK C meliputi Desa Cisauk, Dangdang, dan Desa Mekarwangi dengan luas 1,304.59 ha. BWK C memiliki fungsi sebagai areal cadangan pengembangan kota dan permukiman dengan kepadatan rendah, dengan pusat BWK di Desa Cisauk
78
Sebagaimana hirarkinya yang termasuk pusat pertumbuhan Orde I, Kecamatan Cisauk memiliki fungsi dan peranan sebagai berikut: (1) pusat administrasi pemerintahan, (2) pusat pelayanan sosial, (3) pusat pelayanan kegiatan ekonomi skala lokal, (4) merupakan hinterland bagi Kota Serpong.