BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Alam Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Citarik merupakan salah satu Sub DAS di DAS Citarum, Propinsi Jawa Barat. Sub DAS Citarik dan beberapa Sub DAS lainnya, seperti Sub DAS Cirasea, Sub DAS Cikapundung, Sub DAS Cisangkuy, dan Sub DAS Ciwidey merupakan wilayah hulu Sungai Citarum. Sungai Citarum mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat, antara lain sebagai sumber air baku, pengairan, pembangkit tenaga listrik, tempat rekreasi dan lain-lainnya. Di sepanjang aliran Sungai Citarum terdapat tiga bendungan (dam), yakni Saguling, Cirata, dan Jatiluhur. Sebagian areal Sub DAS Citarik secara administratif terletak di Kabupaten Bandung dan sebagian lagi di Kabupaten Sumedang. Areal Sub DAS Citarik yang terletak di Kabupaten Bandung meliputi wilayah Kecamatan Cicalengka, Nagreg, Rancaekek, Cikancung, Paseh, Cileunyi, Cimenyan, dan Cilengkrang, sedangkan areal lainnya yang terletak di Kabupaten Sumedang meliputi wilayah Kecamatan Tanjungsari, Cimanggung, dan Cikeruh (DLH-Kab. Bandung 2003; Ditjen Bangda 2003). Luas wilayah Sub DAS Citarik berdasarkan kegiatan UPLDP (Upland Plantation and Land Development Project) yang dilaksanakan oleh Ditjen Pembangunan Daerah, Departemen Dalam Negeri adalah 35.210 ha yang sebagian besar (72,1%) berada di Kabupaten Bandung dan sisanya (27,9%) di Kabupaten Sumedang (Tabel 4). Berdasarkan ketinggian tempat dari permukaan air laut sekitar 55,3% luas wilayah Sub DAS Citarik berada pada ketinggian kurang dari 1000 m dpl dan 44,7% luas wilayah berada pada ketinggian lebih dari 1000 m dpl. Pada
57
ketinggian tempat tersebut suhu udara relatif sejuk, yakni rata-rata suhu bulanan tertinggi dan terendah 26,5oC dan 21,2 oC. Curah hujan tahunan dari tiga lokasi stasiun curah hujan (Paseh, Cicalengka, dan Rancaekek) berkisar antara 1.524 - 2.217 mm dengan rata-rata 1.802 mm. dengan tipe iklim E dan F menurut klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson (Ditjen Bangda, 2003). Tipe iklim tersebut menunjukkan bahwa jumlah bulan kering (curah hujan < 100 mm/bulan) dalam satu tahun sama atau lebih banyak daripada bulan basahnya (curah hujan > 100 mm/bulan).
Kemudian jika
didasarkan pada klasifikasi iklim F. Junghuhn yang menitikberatkan pada ketinggian tempat dan jenis tumbuhan yang hidup iklim Sub DAS Citarik tergolong
pada
Iklim
Sedang
dengan
ragam
tumbuhan
yang
dapat
dikembangkan meliputi padi, tembakau, teh, kopi, coklat, kina, dan sayursayuran. Curah hujan harian rata-rata paling rendah terjadi pada bulan September (1,7 mm/hari) dan tertinggi pada bulan Januari (10,9 mm/hari). Curah hujan harian maksimum terendah terjadi pada bulan September (13,1 mm/hari) dan tertinggi pada bulan Nopember (71,7 mm/hari). Kemudian dikaitkan dengan debit air Sungai Citarik ternyata debit air harian rata-rata terendah terjadi pada bulan Agustus (2,5 m3/detik) dan tertinggi pada bulan Januari (39,8 m3/detik). Debit air harian maksimum terendah terjadi pada bulan Agustus (3,5 m 3/detik) dan tertinggi pada bulan Januari (62,9 m3/detik). Secara grafis fluktuasi curah hujan harian rata-rata dan maksimum, debit air harian rata-rata dan maksimum, dan rasio debit air maksimum/minimum Sungai Citarik disajikan pada Gambar 7. Rasio debit air harian maksimum/minimum berkisar antara 4,3 (Agustus) 46,5 (Oktober) dengan rata-rata 15,4. Tingginya rasio tersebut menunjukkan bahwa kondisi hidrologi Sub DAS Citarik sudah menurun.
58
Tabel 4. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan ketinggian tempat dan wilayah administratif (ha) Ketinggian tempat ( m dpl)
Kecamatan
500 - 1000
Jumlah
1000-1500
Cilengkrang
912
1.643
2.556
Cimenyan
704
1.219
1.923
Cileunyi
1.260
299
1.558
Cicalengka
3.494
2.052
5.547
Cikancung
1.403
1.412
2.814
Rancaekek
3.785
1.116
4.901
Paseh
1.531
2.415
3.946
Nagreg
381
178
559
Cikeruh
1.571
-
1.571
Tanjungsari
2.489
3.535
6.024
Cimanggung
1.955
1.856
3.811
19.486
15.724
35.210
Total
70
80
60
70
50
40
40 30
30
20
C H (m m /h r)
60
50
Debit_Mean Debit_Max CH_Mean CH_Max
20
10
10
0
0
O k No t p De s Ja n Fe b M a Ap r r M e Ju i n Ju Ag l s Se p
D e b it (m 3 /d e t)
Sumber: Ditjen Bangda (2003).
A
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
B
y = -9.0058Ln(x) + 30.45 R2 = 0.3355
Okt Nop Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep
Gambar 7. Fluktuasi debit air Sungai Citarik dan curah hujan (A) serta rasio debit air harian maksimum/minimum (B) Sungai Citarik Kondisi tanah di Sub DAS Citarik dicirikan oleh tiga jenis tanah utama, yakni Andosol, Latosol, dan Asosiasi. Penyebaran jenis tanah Andosol meliputi luas wilayah sekitar 48%, Latosol 31,5% dan Asosiasi 16,2%. Jenis tanah pada wilayah lainnya adalah Alluvial dan Regosol.
59
Jenis tanah Andosol menurut klasifikasi jenis tanah Pusat Penelitian Tanah dan FAO-UNESCO dicirikan oleh berat jenis tanah yang cukup ringan (kurang dari 0,85g/cc) atau lebih dari 60% bahannya terdiri atas bahan-bahan vulkanik. Jenis tanah Latosol dicirikan oleh solum tanah yang dalam ( lebih dari 150 cm) dan kadar liat lebih dari 60% (Sarwono 1987). Hasil kajian Proyek UPLDP menunjukkan kedalaman solum tanah di Sub DAS Citarik cukup tinggi. Sekitar 63% wilayah Sub DAS Citarik mempunyai kedalaman solum tanah antara 60-90 cm, 34% wilayah mempunyai kedalaman solum tanah lebih dari 90 cm dan 3% wilayah mempunyai kedalaman solum tanah antara 30-60 cm. Bentuk wilayah Sub DAS Citarik dicirikan oleh kemiringan lereng yang berombak-bergelombang dan berbukit (8-45%). Lebih dari 66,8% wilayah Sub DAS Citarik mempunyai kemiringan lereng antara 8-45%. Wilayah yang relatif datar (< 8%) sekitar 18,0% dan sebagian wilayah lainnya mempunyai kemiringan lereng yang sangat curam atau lebih dari 45% (Tabel 5). Kemiringan lereng merupakan salah satu faktor penentu besaran erosi. Semakin tinggi kemiringan lereng dan faktor -faktor lain bersifat konstan maka besaran erosi akan meningkat. Hasil kajian Proyek UPLD dengan metode USLE menunjukkan tingkat erosi sebelum kegiatan proyek di Sub DAS Citarik mencapai 293,3 ton/ha/tahun atau setiap tahun terjadi erosi tanah sekitar 8,9 juta ton. Tingkat erosi tanah di lokasi tersebut menurun setelah pelaksanaan proyek UPLDP selama empat tahun (2002) menjadi 71,3 ton/ha/tahun. Upaya penerapan konservasi tanah dan air di wilayah tersebut masih perlu ditingkatkan agar erosi tanah dapat ditekan sampai tingkat erosi yang dapat dirolerir atau diabaikan sekitar 13 ton/ha/th . Sebagaimana disajikan pada Tabel 6 lebih dari 50% wilayah Sub DAS Citarik masih menimbulkan erosi tanah pada kelas sedang sampai tinggi.
60
Tabel 5. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas kemiringan lereng (ha) Kecamatan
0-8%
Kemiringan lereng 8-25% 25%-45%
Jumlah >45%
Cilengkrang
-
920
1.107
529
2.556
Cimenyan
-
584
1.218
121
1.923
282
855
295
126
1.558
Cicalengka
1.149
2.004
1.736
1.216
6.106
Cikancung
43
1.397
850
523
2.814
Rancaekek
3.781
951
169
-
4.901
12
2.297
862
774
3.946
Cikeruh
356
865
156
193
1.571
Tanjungsari
378
2.128
2.370
1.148
6.024
Cimanggung
342
1.094
1.635
741
3.812
6.343
13.095
10.398
5.371
35.210
18,0
37,2
29,6
15,2
100,0
Cileunyi
Paseh
Jumlah Persentase
Sumber: Ditjen Bangda (2003).
Tanpa perlakuan teknik konservasi tanah dan air (KTA), baik berupa bangunan sipil teknis maupun vegetatif tingkat erosi di Sub DAS Citarik cukup tinggi. Berdasarkan hasil prediksi Proyek UPLDP dengan metode USLE erosi pada usahatani lahan kering tanpa KTA di Kecamatan Cikancung, Paseh dan Cicalengka masing-masing mencapai 558, 352, dan 316 ton/ha/tahun. Penerapan teknik KTA pada usahatani lahan kering di wilayah kecamatan yang sama dapat menekan erosi masing-masing 74%, 54%, dan 64% untuk Kecamatan Cikancung, Paseh dan Cicalengka.
61
Tabel 6. Luas Sub DAS Citarik berdasarkan kelas erosi tanah Kelas erosi tanah
Luas area Ha
%
I
( < 15 t/ha/th)
16.740
47,5
II
(15 - 60 t/ha/th)
10.094
28,7
III (60 -180 t/ha/th)
5.720
16,2
IV (180 - 480 t/ha/th)
2.226
6,3
433
1,3
35.210
100
V ( > 480 t/ha/th) Total Sumber: Ditjen Bangda (2003).
4.2. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di Sub DAS Citarik sangat dinamis. Perubahan penggunaan lahan di wilayah tersebut terus berlangsung sesuai dengan perkembangan kebutuhan. Berdasarkan hasil analisis data citra satelit yang dituangkan dalam Peta Penggunaan Lahan skala 1:50.000 (Puslitbang Tanah dan Agroklimat 2001) penggunaan lahan utama tahun 1969 meliputi hutan (6.151 ha), kebun campuran (6.660 ha), permukiman (1.217 ha), sawah (9.675 ha), dan tegalan (2.666 ha). Kemudian pada tahun 2000 penggunaan lahan di wilayah tersebut berkembang yang dicirikan oleh berkurangnya proporsi areal hutan menjadi 4.073 ha (turun 33,8%), kebun campuran 2.890 ha (turun 56,6%), sawah 9.340 ha (turun 3,5%), sedangkan penggunaan lahan yang bertambah luas adalah permukiman menjadi 3.145 ha (naik 158,4%) dan tegalan menjadi 6.189 ha (naik 132,1%). Pada tahun 2000 sudah ada kawasan industri (639 ha) dan lokasi penambangan atau galian tanah (50 ha) (Gambar 8).
62
Gambar 8 file sendiri
63
Wahyunto et al.(2001) menganalisis perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Citarik menggunakan data citra satelit berbagai periode waktu dan hasilnya menunjukkan konversi hutan menjadi tegalan dan kebun campuran yang terjadi pada tahun 1991-2000 mencapai 556 ha. Kemudian konversi lahan sawah, tegalan dan kebun campuran menjadi permukiman dan kawasan industri pada periode waktu tersebut mencapai 799 ha. Pada periode tahun 1991- 2000 sekitar 835 ha areal kebun campuran beralihfungsi menjadi perumahan, tanah galian dan kuburan cina. Pada tahun 1991-1998 di Kecamatan Cicalengka, Kabupaten Bandung ada konversi lahan tegalan menjadi sawah sekitar 54 ha, tetapi di Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang terdapat 131 ha sawah yang dikonversi menjadi tegalan. Perubahan lahan sawah menjadi tegalan dapat disebabkan oleh berkurangnya sumberdaya air, tetapi juga perubahan tersebut merupakan modus antara untuk merubah lahan sawah menjadi kawasan terbangun, seperti perumahan, kawasan industri, atau perkantoran. Proporsi areal sawah terus menurun hingga pada tahun 2003 menjadi 24,6% (BPS 2003), sementara itu proporsi areal tegalan meningkat menjadi 30,1%, perumahan dan permukiman menjadi 23,1%, kawasan industri dan perkantoran menjadi 4,5%. Perubahan penggunaan lahan di lokasi penelitian secara grafis disajikan pada Gambar 9. Tujuan peruntukan konversi lahan pertanian, baik sawah maupun lahan kering sebagian besar adalah untuk pembangunan perumahan atau industri. Sebagaimana disajikan pada Tabel 7 sekitar 71% dari luas lahan sawah yang dikonversi adalah untuk penggunaan non-pertanian, terutama kawasan industri dan perumahan. Sisanya (29%) dikonversi menjadi pertanian lahan kering. Demikian halnya konversi lahan kering;
74% dari luas lahan kering yang
dikonversi adalah untuk penggunaan non-pertanian, sedangkan 26% dijadikan
64
lahan sawah. Dengan demikian pada tahun 2003 tersebut di Sub DAS Citarik terdapat 868,4 ha lahan sawah dan 654,0 ha lahan kering
yang dikonversi.
Proporsi konversi lahan sawah dan lahan kering tersebut dibandingkan dengan total luas lahan masing-masing adalah 10,4% untuk lahan sawah dan 6,7% untuk lahan kering (tegalan dan kebun campuran). Apabila pertambahan penggunaan lahan tersebut diperhitungkan maka proporsi pengurangan bersih lahan sawah
%
dan lahan kering tersebut masing-masing mencapai 8,4% dan 4,1%.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 1969
Lain-lain Kaw.Industri Permukiman Sawah Tegalan Keb. Campuran Hutan 1991
2000
2003
Gambar 9. Perkembangan penggunaan lahan utama di Sub DAS Citarik Berdasarkan wilayah administratif konversi lahan sawah yang relatif luas terjadi di Kecamatan Cikancung (317,7 ha atau 34,5%), Cimenyan (173,2 ha atau 18,8%), dan Nagreg (116,5 ha atau 12,6%). yang semuanya termasuk wilayah Kabupaten Bandung. Kemudian konversi lahan kering paling luas terjadi di Kecamatan Cikancung (470,7 ha atau 70,8%) dan Nagreg (55,0 ha atau 8,3%).
65
Tabel 7. Luas dan tujuan konversi lahan sawah dan lahan kering di Sub DAS Citarik, 2003
Penggunaan lahan 1. Sawah
Total konvers i lahan
Tujuan peruntukan konversi lahan (menjadi) Kawas an Perkantora Lahan Perum Kawasan Kering Industri ahan n Sawah
(ha) (%)
921,9
-
2. Lahan kering (ha) (%)
664,9
176,2 26,5
258,4 28,1 -
3. Penambahan (ha)
176,2
258,4
4. Pengurangan (ha)
745,7
406,5
Lainlain
203,9 22,1
413,4 44,8
8,7 0,9
37,5 4,1
156,6 23,5
328,1 49,3
1,0 0,2
3,0 0,5
360,5
741,5
9,7
40,5
Sumber : Data ST2003 (diolah)
4.3. Keadaan Sosial-Ekonomi 4.3.1. Jumlah, pertumbuhan, dan penyebaran penduduk Berdasarkan Data Potensi Desa hasil Sensus Pertanian tahun 2003 (ST2003) jumlah penduduk wilayah Sub DAS Citarik ada 732.721 jiwa. Laju pertumbuhan jumlah penduduk periode tahun 2003-2005 di lokasi tersebut relatif tinggi, yakni 10,5%/tahun sehingga pada tahun 2005 jumlah penduduk tersebut menjadi 887.890 jiwa (BPS 2005). Sebagai pembanding laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Bandung pada periode tahun yang sama sekitar 6,1%/tahun. Penyebaran penduduk Sub DAS Citarik berdasarkan wilayah administratif secara berurutan paling banyak terdapat di Kecamatan Rancaekek, Paseh, dan Cicalengka Kabupaten Bandung. Namun demikian kepadatan penduduk paling tinggi secara berurutan terdapat di
Kecamatan Cileunyi dan Rancaekek,
Kabupaten Bandung, serta Kecamatan Jatinangor dan Cimanggung, Kabupaten Sumedang (Tabel 8). Pada tahun 2005 penyebaran dan kepadatan penduduk tersebut berubah. Jumlah penduduk paling banyak terdapat di Kecamatan
66
Rancaekek, Cielunyi, dan Paseh, Kabupaten Bandung, sedangkan urutan kepadatan penduduk paling tinggi terdapat di Kecamatan Cileunyi (Kabupaten Bandung), Jatinangor (Kabupaten Sumedang), dan Rancaekek (Kabupaten Bandung) (Tabel 9). Laju pertumbuhan jumlah penduduk Sub DAS Citarik yang tinggi sejalan dengan tingginya pertambahan jumlah kepala keluarga (KK) dari 195.877 KK (2003) menjadi 244.640 KK (2005) atau laju kenaikannya 12,4%/tahun. Sementara itu ukuran keluaga cenderung bertambah kecil, yakni menurun dari 3,8 jiwa/KK menjadi 3,7 jiwa/KK. Keluarga pertanian di DAS Citarik menurun dari 48,7% (2003) menjadi 43,8% (2005). Penurunan proporsi keluarga pertanian tersebut terjadi di seluruh kecamatan, kecuali di Kecamatan Rancaekek dan Paseh, Kabupaten Bandung. Di Kecamatan Rancaekek proporsi keluarga pertanian meningkat dari 44,2% (2003) menjadi 61,8% (2005), sedangkan di Kecamatan Paseh proporsi keluarga pertanian meningkat dari 47,2 menjadi 49,6%. Hal yang menarik adalah peningkatan proporsi keluarga pertanian di Kecamatan Paseh tersebut diikuti oleh penurunan proporsi keluarga miskin (Pra Sejahtera) dari 43,9% menjadi 29,3%.
Kondisi tersebut bertolak belakang dengan keadaan yang terjadi di
Kecamatan Rancaekek dimana peningkatan proporsi keluarga pertanian yang tinggi diikuti dengan peningkatan keluarga miskin yang tinggi pula (8,7% menjadi 44,9%). Fenomena di wilayah lainnya menunjukkan penurunan proporsi keluarga pertanian diikuti dengan peningkatan proporsi keluarga miskin terjadi di enam kecamatan (55%), seperti Kecamatan Cicalengka, Cikancung, dan Cileunyi dan penurunan proporsi keluarga pertanian diikuti dengan penurunan proporsi keluarga miskin terjadi di tiga kecamatan (27%), yakni Kecamatan Cimanggung, Jatinangor, dan Tanjungsari (Tabel 8 dan Tabel 9).
67
Data tahun 2003 menunjukkan adanya korelasi positif antara proporsi jumlah keluarga pertanian dengan keluarga miskin dengan koefisien korelasi Peason (r) =0,4574 dan taraf nyata (α) 18% yang berarti 45,7% variasi proporsi jumlah keluarga miskin dapat dijelaskan oleh variasi proporsi keluarga pertanian. Fenomena serupa secara statistik tidak nyata pada tahun 2005 (r = -0,0771; α=83%) yang berarti variasi jumlah keluarga miskin di Sub DAS Citarik pada tahun 2005 tidak ada hubungannya dengan jumlah keluarga pertanian. Hal itu berarti peningkatan jumlah keluarga miskin berasal dari keluarga non-pertanian.
Tabel 8. Jumlah dan kepadatan penduduk, proporsi keluarga pertanian dan keluarga miskin di Sub DAS Citarik, tahun 2003 Kecamatan
Jumlah penduduk
Kepadatan penduduk
1
Cicalengka
(jiwa) 75.716
(jiwa/ha) 19,3
(KK) 21.630
(%) 46,0
(%) 20,9
2
Cikancung
58.474
18,4
14.776
48,4
25,2
3
Cilengkrang
31.807
10,3
8.311
67,5
61,9
4
Cileunyi
70.634
34,0
17.989
50,0
10,6
5
Cimenyan
65.554
18,4
18.041
46,3
18,3
6
Rancaekek
120.556
30,1
32.698
44,2
8,7
7
Nagreg
36.621
8,2
9.215
46,7
22,4
8
Paseh
95.729
20,4
22.653
47,2
43,9
9 10
Cimanggung Jatinangor
64.232 61.733
21,8 25,6
19.404 15.515
58,1 27,0
29,8 31,7
11
Tanjungsari
51.666
21,3
15.644
54,5
35,1
Rata-rata
66.611
20,7
17.807
48,7
28,1
No
Sumber: Data ST2003 (diolah)
Jumlah Keluarga Keluarga Keluarga pertanian Miskin
68
Tabel 9. Jumlah dan kepadatan penduduk, proporsi keluarga pertanian dan keluarga miskin di Sub DAS Citarik, tahun 2005 No
Kecamatan
Jumlah Kepadatan penduduk penduduk
Jumlah Keluarga Keluarga keluarga pertanian miskin
1
Cicalengka
(jiwa) 89.860
(jiwa/ha) 26,0
(KK) 21.974
(%) 43,6
(%) 32,3
2
Cikancung
67.347
18,7
16.891
46,2
35,9
3
Cilengkrang
35.336
11,4
10.249
63,3
36,2
4
Cileunyi
113.722
40,3
29.039
10,8
27,6
5
Cimenyan
83.748
23,5
21.659
43,9
27,2
6
Rancaekek
133.417
30,8
34.862
61,8
44,9
7
Nagreg
41.273
10,7
10.863
39,2
24,9
8
Paseh
107.598
23,1
28.367
49,6
29,3
9
Cimanggung
69.336
23,6
19.493
50,3
24,3
10
Jatinangor
82.008
31,7
24.220
24,2
34,9
11
Tanjungsari
64.238
26,4
18.223
48,7
20,5
Rata-rata
80.717
24,2
22.240
43,8
30,6
Sumber: Data Sensus Ekonomi /SE2005 (diolah)
4.3.2. Penguasaan sumberdaya lahan Sumberdaya lahan yang dikuasai oleh petani terdiri atas lahan pertanian dan lahan non-pertanian. Berdasarkan klasifikasi BPS status penggunaannya lahan pertanian terdiri atas lahan sawah dan bukan sawah, sedangkan lahan non-pertanian terdiri atas lahan perumahan (rumah dan pekarangan) dan lahan lainnya yang tidak digunakan untuk pertanian. Berdasarkan data Survai Pertanian-Potensi Desa (ST-Podes 2003) luas lahan yang dikuasai petani di Sub DAS Citarik 0,386 ha/KK, terdiri atas lahan pertanian (92,6%) dan lahan non-pertanian (7,4%) (Tabel 10). Luas penguasaan lahan tersebut cukup bervariasi antar wilayah kecamatan dengan kisaran antara 0,291 ha/KK di Kecamatan Jatinangor dan 0,587 ha/KK di Kecamatan Cileunyi dengan nilai CV 26,2%. Berdasarkan status penggunaannya lahan pertanian terdiri atas lahan sawah (48,3%) dan lahan bukan sawah
(51,7%). Lahan
69
pertanian bukan sawah tersebut berupa lahan kering untuk tanaman palawija, hortikultura, perkebunan atau kolam ikan. Proporsi jumlah petani berdasarkan jenis usahatani di Sub DAS Citarik terdiri atas petani padi (19,2%), palawija (18,95%), padi dan palawija (31,3%), hortikultura (8,9%), perkebunan (2,0%), perhutanan (4,0%), dan usaha pertanian lainnya, seperti perunggasan, perikanan, dan jasa pertanian (15,7%). Berdasarkan luas lahan yang dikuasainya sekitar 30,8% petani menguasai lahan kurang dari 0,1 ha dan hanya 1% petani yang menguasai lahan lebih dari 1,0 ha/KK, dan secara kumulatif 90% petani menguasai lahan kurang dari 0,75 ha/KK (Gambar 10). Status penguasaan lahan oleh keluarga pertanian di Sub DAS Citarik dapat dibedakan atas tiga golongan, yakni pemilik lahan, pemilik-penggarap lahan, dan penggarap-penyewa lahan. Berdasarkan Data Potensi Desa (ST2003) proporsi penguasaan lahan tersebut adalah pemilik lahan 31,3%, pemilik-penggarap lahan 43,5%, dan penggarap-penyewa lahan 24,2% (Tabel 11). Variasi status pemilik-penggarap lahan antar wilayah kecamatan relatif paling homogen (CV=17,7%) dibanding dengan pemilik lahan (CV=25,2%) dan penggarappenyewa lahan (CV=26,9%). Hal tersebut dapat dimengerti karena lahan merupakan sumber mata pencaharian utama bagi keluarga pertanian dan menggarap lahan milik sendiri adalah status penguasaan lahan yang paling umum dimiliki petani dan paling kuat secara hukum.
70
Tabel 10. Luas lahan petani berdasarkan penggunaannya (ha/KK)
No
Kecamatan
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Cicalengka Cikancung Cilengkrang Cileunyi Cimenyan Rancaekek Nagreg Paseh Cimanggung Jatinangor Tanjungsari Rata-rata %
Lahan Pertanian Bukan SubSawah sawah total 0,135 0,136 0,270 0,143 0,240 0,383 0,075 0,239 0,314 0,442 0,114 0,556 0,144 0,343 0,487 0,334 0,009 0,343 0,095 0,320 0,415 0,188 0,113 0,301 0,109 0,198 0,307 0,147 0,119 0,265 0,078 0,198 0,276 0,172 0,184 0,356 44,6 47,9 92,5
Lahan Nonpertanian
Total
0,037 0,024 0,019 0,031 0,031 0,031 0,030 0,027 0,032 0,026 0,030 0,029 7,5
0,308 0,406 0,334 0,587 0,518 0,373 0,445 0,328 0,339 0,291 0,305 0,385 100,0
Sumber: Data ST2003 (diolah)
120 100
%
80 %-RTP
60
%_kumulatif
40 20 0 < 0,10
0,100,24
0,250,49
0,500,74
0,750,99
1,001,49
1,501,99
2,002,49
>= 2,5
Ha
Sumber : Data ST2003 (diolah)
Gambar 10. Distribusi penguasaan lahan pertanian oleh petani di Sub DAS Citarik, 2003
Keterkaitan antar status penguasaan lahan tersebut cukup erat. Uji korelasi menunjukkan proporsi status pemilik lahan berkorelasi nyata negatif dengan pemilik penggarap (r= -0,6281 dan α= 5%), demikian pula antara status pemilikpenggarap dengan penggarap-penyewa (r= -0,5027 dan α= 14%), tetapi status
71
pemilik
lahan
tidak
berkorelasi
dengan
penggarap-penyewa.
Hal
ini
mengindikasikan bahwa perubahan status penguasaan lahan berjenjang dari pemilik-lahan ke pemilik-penggarap dan dari pemilik-penggarap ke penggarappenyewa. Artinya peningkatan proporsi petani penggarap-penyewa umumnya berasal dari petani pemilik-penggarap, bukan dari petani pemilik lahan. Selanjutnya apabila para petani penggarap-penyewa tersebut tidak mampu lagi menyewa lahan maka mereka akan menjadi buruh tani. Hal ini diperkuat dengan relatif lebih kuatnya koefisien korelasi antara proporsi buruh tani dengan status penggarap-penyewa
(r= 0,3428) dibanding dengan status penguasaan lahan
lainnya (pemilik lahan r= -0,0211 dan pemilik-penggarap lahan r=-0,2670). Tabel 11. Status penguasaan lahan pertanian oleh petani, Sub DAS Citarik, 2003 Pemilik dan penggarap (%)
Penggarap/ penyewa (%)
No
Kecamatan
Pemilik Lahan (%)
1
Cicalengka
40,9
32,3
26,8
2
Cikancung
25,0
56,8
18,3
3
Cilengkrang
27,5
51,7
20,8
4
Cileunyi
31,0
37,0
32,0
5
Cimenyan
26,1
51,5
22,4
6
Rancaekek
33,3
36,3
30,4
7
Nagreg
24,0
41,2
34,8
8
Paseh
31,7
45,4
22,9
9
Cimanggung
20,9
47,4
31,7
10
Jatinangor
47,3
40,5
12,3
11
Tanjungsari
36,8
38,2
25,0
Rata-rata
31,3
43,5
24,2
Sumber: Data ST2003 (diolah) 4.3.3. Sumber mata pencaharian penduduk Secara garis besar sumber mata pencaharian penduduk Sub DAS Citarik dibedakan atas sektor pertanian dan non pertanian. Atas dasar pengelompokkan tersebut jumlah penduduk yang sumber mata pencaharian utamanya dari Sektor
72
Pertanian mencapai 63,6%, sedangkan sisanya (36,4%) dari non-pertanian (UPLDP 1997 dalam Ditjen Bangda 2003). Sumber mata pencaharian dari pertanian dibedakan atas usahatani (on-farm) sebesar 38,6% dan non-usahatani (off-farm) sebesar 25,0%. Jenis usahatani terdiri atas tanaman pangan (60,3%), tanaman perkebunan (3,1%), ternak (30,8%), ikan (1,5%) dan kombinasinya (4,3%). Hasil studi yang sama menunjukkan pendapatan petani di Sub DAS Citarik mencapai Rp 3,8 juta/tahun. Sumber mata pencaharian penduduk Sub DAS Citarik berubah sesuai perkembangan waktu. Berdasarkan Sensus Pertanian-Potensi Desa (BPS 2003) terlihat adanya penurunan peran sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian penduduk (Tabel 12 dan Tabel 13). Pada tahun 2003 peran sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama penduduk masih sekitar 50%, kemudian menurun menjadi 42,4%. Sumber mata pencaharian penduduk tahun 2005 dicirikan oleh meningkatnya peran sektor tersier, yakni perdagangan dan jasa yang mencirikan adanya perkembangan status wilayah perdesaan ke wilayah perkotaan. Perkembangan yang cukup pesat terjadi di Kecamatan Cileunyi, Nagreg dan Tanjungsari.
73
Tabel 12. Sumber pendapatan penduduk Sub DAS Citarik, 2003 (%) Bidang usaha No
Kecamatan
Jasa dan lainnya 21,1 25,0
Pertanian
Galian
1 Cicalengka
47,7
0,0
6,2
2 Cikancung
45,7
4,1
12,5
12,6
25,1
3 Cilengkrang
69,2
0,0
13,6
8,5
8,7
4 Cileunyi
50,0
0,0
16,8
23,6
9,6
5 Rancaekek
41,7
0,0
33,3
8,3
16,7
6 Cimenyan
55,0
2,1
5,7
11,7
25,5
7 Nagreg
50,0
16,7
10,3
9,2
13,8
8 Paseh
51,0
8,3
14,3
10,0
16,3
9 Cimanggung
61,7
0,0
12,1
15,4
10,8
10 Jatinangor
27,2
0,0
18,2
18,2
36,4
11 Tanjungsari
55,6
0,0
0,0
20,6
23,8
50,4
2,8
13,1
14,5
19,2
Rata-rata
Industri Perdagangan
Sumber: Data ST2003 (diolah).
Tabel 13. Sumber pendapatan penduduk Sub DAS Citarik, 2005 (%) Bidang usaha No
Kecamatan
1
Cicalengka
43,7
0,0
9,3
25,2
Jasa dan lainnya 21,8
2
Cikancung
46,8
1,6
13,7
13,0
24,9
3
Cilengkrang
63,3
0,0
14,5
11,5
10,7
4
Cileunyi
12,8
0,0
20,8
25,6
40,8
5
Rancaekek
44,2
0,0
38,5
9,5
7,8
5
Cimenyan
43,7
1,1
5,9
18,0
31,3
6
Nagreg
39,0
12,3
23,3
13,4
12,0
7
Paseh
49,6
8,3
16,7
11,9
13,5
8
Cimanggung
50,4
0,0
13,9
17,4
18,3
9
Jatinangor
24,4
0,0
19,0
22,0
34,6
10
Tanjungsari
48,5
0,0
0,0
24,8
26,7
Rata-rata
42,4
2,1
15,9
17,5
22,1
Pertanian
Sumber: Data SE2005 (diolah)
Galian Industri Perdagangan
74
4.3.4. Kejadian dan Bencana banjir Bencana banjir di Kabupaten Bandung, khususnya di wilayah Bandung Selatan seperti di Kecamatan Bale Endah, Bojong Soang, Dayeuh Kolot dan sekitarnya merupakan bentuk bencana alam yang selalu terjadi setiap tahun dan menimbulkan kerugian. Bencana banjir umumnya terjadi karena air Sungai Citarum dan anak-anak sungainya meluap akibat aliran permukaan yang melebihi kapasitas sungai-sungai tersebut. Aliran air permukaan meningkat dapat disebabkan oleh tingginya intensitas curah hujan dan berkurangnya areal resapan air atau kombinasi keduanya. Salah satu penyebab berkurangnya areal resapan air adalah terjadinya konversi lahan pertanian ke non-pertanian tanpa diimbangi dengan pengendalian dampak lingkungan yang memadai. Pada periode tahun 2000 - 2005 bencana banjir di seluruh Kabupaten Bandung setiap tahunnya meliputi 6 sampai 14 kecamatan dengan rata-rata 9 kecamatan dan mencakup 15 sampai 63 desa dengan rata-rata 36 desa. Jumlah keluarga korban banjir tersebut berfluktuasi antara 6.669 sampai 23.970 KK dengan rata-rata 13.551 KK. Berdasarkan taksiran Dinas Sosial Kabupaten Bandung kerugian material akibat bencana banjir tersebut berkisar antara Rp 1,5 - 6,3 milyar dengan rata-rata Rp 3,3 milyar/tahun (Gambar 11). Daerah rawan bencana banjir di wilayah Bandung Selatan adalah Kecamatan Bale Endah, Dayeukkolot,
Solokanjeruk,
Rancaekek,
Cicalengka,
dan
Bojongsoang.
Berdasarkan nilai kerugian dan jumlah korban banjir tersebut dapat diperkirakan rata-rata beban kerugian tahunan masyarakat akibat banjir mencapai Rp 244.000/KK. Menurut pengamatan staf Dinas Sosial Kabupaten Bandung
Bencana
banjir tahun 2005 tercatat paling parah, khususnya yang melanda wilayah Kecamatan Bale Endah, Dayeuh Kolot, Bojongsoang dan sekitarnya. Kejadian banjir pada bulan Januari-Februari 2005 tersebut menyebabkan banyak
75
masyarakat yang harus mengungsi lebih dari 10 hari. Selain itu ada sekitar 80 buah perusahaan tekstil dan garmen yang tidak dapat beroperasi karena buruhnya menjadi korban banjir, aliran listrik (PLN) mati dan 30 buah pabrik
70
7.0
60
6.0
50
5.0
40
4.0
30
3.0
20
2.0
10
1.0
0
0.0
Rp Milyar
desa & 1000 KK
tersebut terendam air hingga 50 cm.
Desa KKx1000 Kerugian
2000 2001 2002 2003 2004 2005
Gambar 11. Jumlah desa dan keluarga korban bajir serta nilai kerugian akibat banjir di Kabupaten Bandung Secara lebih spesifik hasil pengamatan petugas Kelurahan Andir mengenai kejadian banjir tahun 2005 menyatakan bahwa wilayah bencana banjir saat itu mencakup 11 RW (85%) dari 13 RW dengan korban berupa rumah (4.117 buah) atau 4.375 keluarga, bangunan masjid/madrasah (22 buah), sekolah dasar (5 buah), kantor kelurahan dan kantor RW (5 buah), GOR, dan areal sawah (40 ha). Ketinggian air saat banjir antara 50 cm sampai 300 cm. 4.4. Karakteristik Responden Responden penelitian terdiri atas tiga kelompok, yakni responden kajian pengetahuan multifungsi pertanian, responden kajian WTP (willingness to pay), dan responden kajian WTA (willingness to accept). 4.4.1. Responden kajian pengetahuan multifungsi pertanian Karakteristik yang diperkirakan menjadi sumber keragaman perbedaan pengetahuan responden mengenai multifungsi pertanian adalah bidang keahlian,
76
tingkat pendidikan, umur dan jenis kelamin. Bidang keahlian atau pekerjaan responden terdiri atas peneliti (7,1%), penyuluh (13,3%), birokrat (19,5%), petani padi sawah (26,7%), dan petani lahan kering (33,4%). Secara umum tingkat pendidikan responden cukup beragam (CV=49,2%). Pendidikan responden peneliti paling tinggi dan paling homogen dengan rata-rata 16,8 tahun dan CV 6%. Pendidikan petani lahan kering paling rendah dan heterogen dengan ratarata 6,0 tahun dan CV 40% (Tabel 14). Berdasarkan jenjangnya rata-rata pendidikan peneliti dan birokrat setingkat sarjana (S1), penyuluh setingkat diploma, petani padi sawah dan petani lahan kering setingkat SD. Tabel 14. Karakteristik responden kajian pengetahuan multifungsi pertanian Status responden
Jumlah
Pria
(Orang)
(%)
Rerata
Min
Mak
CV
Rerata
Min
Mak
CV
Peneliti
16
50,0
39,8
25
50
22
16,8
16
18
6
Penyuluh
30
76,7
46,6
35
58
14
13,3
9
16
16
Birokrat
44
61,4
44,0
27
54
14
15,6
12
18
10
Petani 1)
60
86,7
45,2
25
66
26
6,9
0
15
39
Petani 2)
75
93,3
45,2
25
71
27
6,0
0
12
40
225
80,0
44,8
25
71
23
9,9
0
18
49
Jumlah
Statistik Umur
Statistik Pendidikan formal
Sumber : data primer Catatan : Min=minimum (th), Mak=Maksimum (th), CV = Koefisien variasi (%) Petani 1) = Petani padi sawah; Petani 2) = Petani lahan kering
Umur responden masih tergolong usia produktif. Secara rata-rata umur responden peneliti relatif paling muda (39,8 tahun) dan responden penyuluh pertanian paling tua (46,6 tahun).
Sebaran umur responden birokrat dan
penyuluh pertanian relatif paling homogen (CV 14%) dibanding dengan peneliti atau petani (CV =
22 sampai 27%).
Proporsi responden pria secara
keseluruhan lebih dominan (80,0%) daripada perempuan, kecuali pada responden peneliti dimana proporsi prianya ada 50% dan responden birokrat dimana proporsi prianya ada 61,4%.
77
4.4.2. Responden analisis WTP Responden kajian WTP adalah warga masyarakat non-petani yang bertempat tinggal di wilayah yang sering terkena banjir di Kecamatan Bale Endah dan Bojongsoang, Kabupaten Bandung. Karakteristik responden berdasarkan umur, pendidikan formal, dan tingkat pendapatan disajikan pada Tabel 15. Umur responden termasuk golongan penduduk usia produktif (rata-rata berumur 50,1 tahun) dengan tingkat pendidikan formal tamat SLTP (lama pendidikan rata-rata 10,3 tahun). Pendidikan responden terendah adalah tamat sekolah dasar (SD) sebanyak 25 orang (31,25%) dan tertinggi adalah magister (S2) sebanyak 9 orang (11,25%). Berdasarkan nilai C.V. sebaran pendidikan formal responden lebih beragam daripada sebaran umurnya. Pendapatan keluarga responden Rp 12,3 juta/tahun dengan kisaran antara Rp 1,8 juta - Rp 42,0 juta/tahun. Keragaman tingkat pendapatan responden tersebut dipengaruhi oleh sumber mata pencahariannya. Sumber mata pencaharian responden terdiri atas: (1) pegawai negeri yang mencakup PNS, ABRI dan pensiunannya (29%), (2) pegawai swasta yang mencakup karyawan pabrik atau perusahaan swasta (21%), (3) wiraswasta yang mencakup pedagang dan tukang (37%), dan (4) tidak menentu atau pekerjaannya tidak tetap seperti pengojeg sepeda motor (13%). Karakteristik lain responden WTP disajikan pada Lampiran 2. Nilai kerugian yang diderita responden akibat banjir cukup tinggi, yakni Rp 1,1 juta/keluarga dengan kisaran antara Rp 0,125 juta - Rp 10,0 juta. Keragaman nilai kerugian ini cukup tinggi. Hal itu dapat disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya : (1) penaksiran nilai kerugian akibat banjir yang bersifat subyektif, dan (2) jenis kerusakan akibat banjir cukup beragam.
78
Tabel 15. Karakteristik responden analisis WTP, Kabupaten Bandung, 2005 Pendidik Pendapatan Kerugian Tinggi Peluang No Statistik an akibat genang terkena Umur Keluarga formal banjir *) an air banjir *) **) (th) (th) (Rp juta/th) (Rp juta) (Cm) 1
Minimum
27
6
1,8
0,125
10
0,10
2
Maksimum
71
16
42,0
10,000
250
1,00
3
Rata-rata
50,1
10,3
12,3
1,100
78,4
0,46
4
Std.Deviasi
11,8
3,4
6,3
1,340
73,8
0,25
5
C.V. (%)
23,6
33,0
51,4
122,0
94,0
54,2
Sumber : data primer Catatan : *) Kejadian banjir terahir; **) Dalam 10 tahun terahir
Jenis kerugian akibat banjir mencakup kerusakan rumah (27%), kehilangan atau kerusakan perabotan rumah tangga (lemari, kursi, meja, barang elektronik) dan kendaraan bermotor (52%), pekarangan rumah kotor oleh lumpur dan sampah (15%), kehilangan ternak (3%), dan terluka/sakit (3%), sebagaimana disajikan pada Gambar 12.
Tingginya kerugian akibat banjir tersebut cukup
beralasan mengingat genangan air saat banjir rata-rata mencapai 78 cm dengan kisaran 10 cm - 250 cm. Makna yang dapat ditangkap dari penaksiran nilai kerugian tersebut adalah responden menyadari betapa besarnya kerugian akibat banjir dan bagi sebagian masyarakat di wilayah itu kerugian akibat banjir diderita berulang kali, bahkan hampir setiap tahun. Pengalaman responden selama 10 tahun terahir menunjukkan bahwa rata-rata terkena banjir hampir setiap dua tahun sekali (peluang terkena banjir 0,46). Sembilan responden (11,25%) diantaranya menyatakan bahwa rumahnya selalu terkena banjir dan menderita kerugian setiap tahun.
79
3% 3% 15%
27% Rumah rusak Perabotan RT rusak Pekarangan kotor Ternak hanyut Luka/penyakit
52%
Gambar 12. Jenis kerugian yang diderita responden akibat banjir, Kabupaten Bandung, 2005 4.4.3. Responden analisis WTA Responden analisis WTA terdiri atas petani padi sawah dan petani lahan kering. Karakteristik petani padi sawah dicirikan oleh usia 45,2 tahun, pendidikan formal 6,9 tahun, pendapatan Rp 6,6 juta/tahun, ukuran keluarga 4,2 jiwa/KK, dan luas sawah garapan 0,606 ha. Tingkat pendidikan, pendapatan dan ukuran keluarga petani padi sawah relatif lebih seragam daripada petani lahan kering (Tabel 16 dan Tabel 17).
Tabel 16. Karakteristik responden analisis WTA petani padi sawah No
Statistik
Umur
Pendidikan formal
(th)
(th)
Pendapatan Keluarga per tahun (Rp juta)
Ukuran keluarga (Jiwa/KK)
Luas sawah garapan (Ha)
1
Minimum
25
0
2,4
2
0,140
2
Maksimum
66
15
16,6
7
3,000
3
Rerata
45,2
6,9
6,6
4,2
0,606
4
Std.Deviasi
12,0
2,7
3,0
1,0
0,553
5
C.V. (%)
26,7
38,6
46,5
23,8
91,2
Sumber : data primer
Berdasarkan uji nilai tengah pendidikan, ukuran keluarga dan pendapatan petani padi sawah berbeda nyata (α =10%) dengan petani lahan kering.
80
Pendidikan petani padi sawah (6,9 tahun) nyata lebih tinggi daripada petani lahan kering (6,0 tahun). Ukuran keluarga petani padi sawah (4,2 orang) nyata lebih banyak daripada petani lahan kering (4,0 tahun). Sebaliknya pendapatan petani padi sawah (Rp 6,6 juta/tahun) nyata lebih rendah daripada petani lahan kering (Rp 8,9 juta/tahun), sedangkan umur dan luas lahan garapan petani padi sawah tidak berbeda nyata dengan petani lahan kering. Tabel 17. Karakteristik responden analisis WTA petani lahan kering Umur
Pendidikan formal
Pendapatan keluarga per tahun
Ukuran keluarga
Luas lahan garapan
(th)
(th)
(Rp juta)
(Jiwa/KK)
(Ha/KK)
25
0
2,1
2
0,100
71
12
27,8
9
3,000
Rerata
45,4
6,0
8,9
4,0
0,627
4
Std.Deviasi
12,1
2,4
5,1
1,6
0,557
5
C.V. (%)
26,6
40,4
57,4
41,4
88,8
No
Statistik
1
Minimum
2
Maksimum
3
Sumber : data primer
Sumber pendapatan petani padi sawah terdiri atas usahatani atau on-farm (70,7%), non-usahatani atau off-farm (17,0%), dan non-pertanian atau out-farm (12,3%). Sumber pendapatan petani lahan kering terdiri atas on-farm (60,6%), off-farm (19,1%), dan out-farm (20,3%). Sumber pendapatan off-farm antara lain sebagai buruh tani dan kegiatan pasca panen, sedangkan kegiatan out-farm adalah mengojek, berdagang, dan buruh pabrik. Relatif lebih tingginya pendapatan petani lahan kering selain karena sebagian dari mereka mengelola usahatani agroforestri dengan tanaman tahunan (kayu-kayuan dan buah-buahan) yang masa perolehan atau panen hasilnya secara kebetulan tercatat pada saat penelitian (kejadian setahun sebelumnya), juga proporsi kegiatan non-usahatani petani lahan kering lebih beragam.