IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Wilayah Kabupaten
Kutai
Kartanegara
merupakan
salah
satu
dari
12
kabupaten/kota yang terdapat di Provinsi Kalimantan Timur. Jarak tempuh dari Samarinda (ibukota propinsi) ke Tenggarong (ibukota kabupaten) sekitar 25 km, dengan waktu tempuh selama 30 – 45 menit melalui jalan darat. Secara administratif,
Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki luas
wilayah sekitar 27.263,10 Km2, terletak secara geografis antara 115º26'28'' 117º36'43'' Bujur Timur dan 1º28'21'' Lintang Utara - 1º08'06'' Lintang Selatan. Wilayah administratif ini di sebelah utara berbatasan langsung dengan Kabupaten Malinau, Kutai Timur dan Kota Bontang. Di sebelah timur berbatasan dengan Selat Makasar, sebelah selatan berbatasan dengan Kota Balikpapan dan Kabupaten Penajam Paser Utara, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Kutai Barat (Gambar 10). Lokasi penelitian di Kabupaten Kutai Kartanegara ini meliputi wilayah Kecamatan Tenggarong seberang dan Kecamatan Sebulu. Gambaran umum kedua kecamatan ini dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Gambaran umum Kecamatan Tenggarong Seberang dan Kecamatan Sebulu Kondisi
Kecamatan Tenggarong Seberang
Kecamatan Sebulu
Letak
Antara 116º47' - 117º04' BT dan 0º21' LS - 0º34' LS
Antara 116º39' - 115º45' BT dan 0º3' LS - 0º33' LS
Luas wilayah
437,00 Km
859,50 Km
Batas Wilayah
Sebelah Utara : Kec. Sebulu Sebelah Timur : Marang Kayu Sebelah Selatan : Loa Kulu Sebelah Barat : Tenggarong
Sebelah Utara : Kec. Marang Kayu Sebelah Timur : Kec. Tenggarong Sebelah Selatan : Kec. Kota Bangun Sebelah Barat : Kec. Muara Kaman
Ketinggian dari permukaan laut
18 meter dpl
32 meter dpl
Jumlah desa
18
13
Jumlah RT
270
Kepadatan Penduduk
2
2
187 2
113,03 penduduk/ Km
2
39,48 penduduk/ Km
Sumber : Kecamatan Tenggarong Seberang dan Kecamatan Sebulu dalam Angka. BPS. 2008.
82
Gambar 10. Peta Wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara
83
4.2. Dimensi Ekologi 4.2.1. Persentase Tumbuhan Pertumbuhan tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor-faktor yaitu suhu, udara, sinar matahari, air, dan unsur-unsur hara. Secara klimatis keadaan suhu/temperatur udara seperti yang tercatat di Stasiun Badan Meteoreologi dan Geofisika Bandara Temindung Samarinda selama periode 1990-2006, kondisi lingkungan pada areal Kabupaten Kutai Kartanegara mempunyai suhu bulanannya adalah berkisar antara 26.6°C – 27.4°C. Intensitas penyinaran matahari menggambarkan tentang lamanya tingkat penyinaran yang menerpa permukaan bumi dengan satuan persen (%) per hari (dari pukul 08.00 – 16.00). Intensitas matahari ini berkaitan erat dengan peristiwa evapotranspirasi, karena dengan semakin tinggi tingkat intensitas penyinaran matahari, maka laju evapotranspirasi akan semakin meningkat pula. Berdasarkan hasil analisa data Stasiun Badan Metereologi dan Geofisika Bandara Temindung Samarinda jumlah intensitas penyinaran matahari rata-rata perbulannya 40%-55%. Banyaknya pertumbuhan tanaman dalam satu wilayah dapat dilihat dari persentase tumbuhan yang dapat berpengaruh terhadap tingkat erosi. Hutan adalah kawasan yang paling efektif dalam mencegah erosi karena memiliki dedaunan yang rapat, tetapi rumput-rumput yang tumbuh rapat pun sama efektifnya. Pencegahan erosi, paling sedikit 70% tanah harus tertutup vegetasi. Semakin tinggi persentase tumbuhan akan semakin besar kekuatannya dalam menghalangi air hujan, sehingga kekuatan untuk menghancurkan tanah akan berkurang. Persentase tumbuhan dalam kajian ini dikelompokkan menjadi lima kategori yaitu: (0) tidak ada persentase tumbuhan, (1) sebanyak 25% penutup lahan, (2) sebanyak 50% penutup lahan, (3) sebanyak 75% penutup lahan, (4) > 75% penutup lahan. Berdasarkan pada kondisi pasca tambang batubara di PT. Kitadin dan PT.Tanito Harum, persentase penutup lahan sebanyak 50% (dikategorikan sedang). Kondisi vegetasi di lokasi penelitian yang telah dilakukan reklamasi dan non reklamasi dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.
84
Gambar 11. Persentase Tumbuhan pada Areal Reklamasi Berumur Sekitar 5 Tahun
Gambar 12. Persentase Tumbuhan pada Areal Non Reklamasi Berumur Sekitar 5 Tahun 4.2.2. Pergantian Pertumbuhan Tanaman Pergantian pertumbuhan tanaman (suksesi tanaman) dapat dibagi atas dua bagian, yaitu pergantian pertumbuhan tanaman secara alami dan pergantian
85
pertumbuhan tanaman secara sengaja. Pergantian pertumbuhan tanaman diperlukan untuk teknik pengawetan tanah agar penggunaan tanah sesuai dengan kemampuannya. Salah satu metode pergantian pertumbuhan tanaman secara sengaja adalah dengan metode vegetatif. Metode vegetatif berguna untuk : (1) melindungi tanah dari daya perusak butir-butir hujan, (2) melindungi tanah dari daya perusak aliran permukaan (run off), dan (3) memperbaiki kapasitas infiltrasi tanah. Metode vegetatif untuk konservasi tanah meliputi : (1) penanaman dengan tumbuhan yang menutupi tanah terus-menerus, seperti penanaman tumbuhan
hutan (penghutanan/penghijauan
kembali),
penanaman
rumput
permanen, penanaman tanaman tahunan dengan tanaman penutup tanah yang baik, (2) pergiliran tanaman, (3) penanaman dalam strip, (4) agroforestry, dan (5) penggunaan sisa tanaman sebagai pupuk hijau. Pergantian pertumbuhan tanaman dikelompokkan pada tiga kategori yaitu: (0) sangat lambat, apabila dalam waktu 5 tahun masih berupa tingkat semai, (1) lambat, apabila dalam waktu 5 tahun masih berupa tingkat semai, tingkat pancang dan tingkat tiang masih jarang, dan (2) cepat, apabila dalam waktu 5 tahun terdapat tingkat semai, tingkat pancang, tingkat tiang dan tingkat pohon. Berdasarkan pengamatan dan data di lokasi penelitian, wilayah pasca tambang batubara termasuk memiliki pergantian tumbuhan yang lambat. Kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 13 dan Gambar 14.
Gambar 13. Tumbuhan yang Cepat Tumbuh di Lahan Reklamasi Sekitar 5 Tahun
86
Gambar 14. Tumbuhan yang Lambat Tumbuh di Lahan Non Reklamasi Sekitar 5 Tahun
4.2.3. Ketersediaan Air Karakteristik iklim dalam wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara adalah iklim hutan tropika humida dengan perbedaan yang tidak begitu tegas antara musim kemarau dan musim hujan. Curah hujan berkisar antara 2.000 - 4.000 mm per tahun dengan temperatur rata-rata 26º C dan perbedaan temperatur antara siang dan malam antara 5-7º C. Hasil analisis data curah hujan dari Stasiun Badan Metereologi dan Geofisika bandara Temindung Samarinda seperti terlihat pada Tabel 11 menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata setiap tahunnya (periode 1991 – 2006) adalah sebesar 2129.1 mm, sedangkan curah hujan rata-rata bulanan tertinggi (periode 1991 – 2006) terjadi pada bulan Mei yaitu 215.9 mm, bulan tersebut merupakan puncak hujan, sedangkan curah hujan bulanan terendah terjadi pada bulan Agustus sebesar 100.2 mm. Menurut Oldeman, curah hujan bulanan > dari 200 mm/bulan termasuk dalam bulan basah. Jika dilihat dari data, wilayah tersebut memiliki potensi banjir yang sangat besar. Namun kondisi vegetasi yang kurang baik menyebabkan limpasan air hujan banyak, sedangkan ketersediaan air menjadi sedikit.
84
Tabel 11. Jumlah Curah Hujan Bulanan (mm) Periode 1991-2006 di Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Curah Hujan (mm) Jun Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
152.1
159.0
237.3
122.5
319.7
113.3
18.2
47.9
28.2
80.0
281.9
193.1
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BK
BK
BK
BL
BB
BB
42.4
42.8
22.6
127.9
213.6
202.8
153.0
91.7
220.6
165.3
149.1
133.8
BK
BK
BK
BB
BB
BB
BB
BL
BB
BB
BB
BB
88.9
187.5
165.7
124.5
228.4
232.4
89.2
105.8
92.0
122.4
126.5
147.5
BL
BB
BB
BB
BB
BB
BL
BB
BL
BB
BB
BB
319.9
237.4
279.8
237.4
226.3
319.7
75.6
45.0
42.0
139.2
100.0
312.7
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BL
BK
BK
BB
BL
BB
195.3
92.9
139.6
295.5
177.7
331.8
164.8
161.0
220.0
148.1
234.0
217.3
BB
BL
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
240.0
275.5
126.1
152.1
252.7
227.9
91.6
258.7
159.0
251.1
243.8
290.7
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BL
BB
BB
BB
BB
BB
319.8
412.8
179.4
147.2
105.5
75.7
46.6
8.0
4.0
56.5
135.5
187.6
BB
BB
BB
BB
BB
BL
BK
BK
BK
BK
BB
BB
15.3
2.5
0.0
10.5
78.2
363.1
191.8
182.2
122.3
241.2
213.8
338.0
BK
BK
BK
BK
BL
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
222.1
392.2
218.5
180.7
170.5
121.3
129.8
203.7
226.3
317.6
255.1
264.2
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
188.8
308.3
265.9
138.5
249.4
279.6
118.2
101.0
209.1
175.3
381.4
168.7
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BB
156.4
307.3
235.7
157.6
187.1
109.7
98.4
26.4
167.7
134.1
220.8
112.1
BB 190.0
BB
BB
BL
BK
BB
BB
BB
BB
130.0
180.6
76.4
32.7
73.5
140.1
101.7
181.8
BB
BB
BB
156.9
128.2
284.4
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BL
BK
BL
BB
BB
BB
253.3
157.9
417.3
135.7
244.9
79.8
44.5
95.6
273.8
220.9
203.7
217.9
BB
BB
BB
BB
BB
BL
BK
BL
BB
BB
BB
BB
339.7
224.3
401.6
384.8
367.6
55.4
100.1
0.0
171.7
2.1
280.9
175.5
BB
BB
BB
BB
BB
BK
BB
BK
BB
BK
BB
BB
Jumlah (mm) BB BL BK 1753.2 8
1
3
1565.6 8
1
3
1710.8 9
2
0
2335.0 8
2
2
2378.0 11
1
0
2569.2 11
1
0
1678.6 7
1
4
1758.9 7
1
4
2702.0 12
0
0
2584.2 12
0
0
1913.3 10
1
1
1676.3 9
2
1
2345.3 9
2
1
2503.7 9
0
3
87
85
Tabel 11 (Lanjutan) Tahun 2005 2006 Jumlah
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Curah Hujan (mm) Jun Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
200.7
38.9
225.4
336.3
1999.4
98.6
271.0
145.4
94.1
339.6
304.5
296.5
BB
BK
BB
BB
BB
BL
BB
BB
BL
BB
BB
BB
227.8
206.8
214.6
206.6
306.5
184.6
24.4
97.5
107.7
69.6
190.6
110.0
BB
BB
BB
BB
BB
BB
BK
BL
BB
BL
BB
BB
3119.4
3174.3
3413.9
2947.8
5257.5
2976.3
1693.6
1602.6
2212.0
2603.1
3423.3
BB
4350.4 9
2
195.0
198.4
213.4
184.2
328.6
9
105.9
100.2
138.3
162.7
214.0
209.2
Max 339.7 412.8 417.3 384.8 1999.4 363.1 Sumber : Stasiun Meteologi danGeofisika Bandara Temindung Samarinda (2007) Keterangan : BB = Bulan Basah (Curah Hujan > 100 mm) BL = Bulan Kering (Curah Hujan 60 - 100 mm) BK = Bulan Kering (Curah Hujan < 100 mm)
271.0
258.7
273.8
339.6
381.4
338.0
2
1
35910.2
3347.4
186.0
1
1946.7
148.0 Rata-rata
Jumlah (mm) BL BK
19.0
24.0
1158.4 9.3
1.2
1.5
88
89
Ketersediaan air dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (0) tidak tersedia air, yaitu tidak terdapatnya sumber mata air (1) sedikit tersedia air, yaitu adanya mata air yang memiliki debit air yang relatif kecil atau hanya terdapat sumber air pada musim hujan, dan (2) banyak tersedia air, yaitu terdapatnya mata air yang mengeluarkan mata air secara terus menerus walaupun pada musim kemarau. Berdasarkan data ketersediaan air, wilayah penelitian termasuk dalam kategori memiliki sedikit air.
4.2.4. Banjir dan Erosi Letak geografis dari sekitar 220 desa/kelurahan di Kabupaten Kutai Kartanegara, sebanyak 12,73% merupakan daerah pesisir yang langsung berbatasan dengan laut (Selat Makasar). Desa/kelurahan pesisir ini berada di 6 kecamatan yaitu kecamatan Samboja, Muara Jawa, Sanga-sanga, Anggana, Muara Badak serta Marang Kayu, sedangkan selebihnya yaitu 192 desa/kelurahan bukan merupakan daerah pesisir arau tepi laut. Namun pada umumnya desa/kelurahan tersebut berada di daerah aliran sungai (DAS), lereng/ punggung bukit dan daerah dataran. Banjir adalah meluapnya air dari badan-badan sungai sehingga menggenangi lahan. Daerah aliran sungai (DAS) merupakan daerah yang dibatasi oleh topografi secara alami, sehingga semua air hujan yang jatuh di atasnya akan mengalir menuju ke suatu lokasi pembuangan (outlet). Siklus air dan distribusi air hujan yang sampai di permukaan bumi menurut Robinson dan Sivapalan (1996) dalam Hakim (2008) merupakan proses perubahan air hujan menjadi aliran permukaan dan dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu: (1) fungsi produksi DAS yaitu perubahan dari curah hujan bruto (total jumlah air hujan yang jatuh ke permukaan bumi sebelum terjadinya intersepsi dan infiltrasi) menjadi curah hujan netto (curah hujan sisa, yaitu jumlah air hujan yang mengalir melalui jaringan hidrologi setelah terjadinya proses intersepsi tanaman dan infiltrasi tanah jenuh), dan (2) fungsi transfer DAS yaitu perubahan dari curah hujan netto menjadi aliran permukaan langsung. Intersepsi merupakan proses ketika air hujan jatuh pada permukaan vegetasi, tertahan beberapa saat untuk kemudian diuapkan kembali ke atmosfer
90
atau diserap oleh vegetasi yang bersangkutan dan atau jika melebihi kapasitas simpan vegetasi, air hujan tersebut akan mengalir ke permukaan tanah. Infiltrasi merupakan proses masuknya air ke dalam tanah, umumnya melalui permukaan tanah dan terjadi secara vertikal, serta merupakan salah satu bagian yang sangat penting dari siklus air dalam menyerap, menampung, dan mendistribusikan air hujan yang jatuh diatasnya. Secara umum besarnya kapasitas infiltrasi tanah mempunyai peranan yang sangat besar dalam menurunkan besarnya debit aliran permukaan tanah dibandingkan parameter lainnya, seperti intersepsi tanaman. Menurut Arsyad (2000) laju infiltrasi merupakan banyaknya air per satuan waktu yang masuk ke dalam tanah melalui permukaan tanah, sedangkan laju maksimum air dapat masuk ke dalam tanah pada suatu saat disebut kapasitas infiltrasi. Menurut Hakim (2008), untuk menduga banjir, maka ada dua besaran (magnitude) penting yang harus dikomputasi secara akurat dalam analisis banjir, yaitu: debit puncak (peak discharge) dan waktu menuju debit puncak (time to peak discharge). Pemodelan banjir ini didasarkan pada dua bagian, yaitu: (1) pemodelan fungsi produksi (perhitungan curah hujan efektif dari curah hujan bruto), dan (2) pemodelan fungsi transfer (simulasi debit aliran permukaan). Banjir dipengaruhi oleh faktor-faktor antara lain (1) jenis penggunaan lahan, (2) curah hujan, (3) tingkat infiltrasi air, dan (4) tingkat intersepsi air. Menurut Hakim (2008) menyebutkan bahwa alih fungsi penggunaan lahan hutan menjadi lahan terbuka berdampak terhadap peningkatan intensitas banjir. Kabupaten Kutai Kartanegara memiliki 4 (empat) jenis perairan yaitu sungai, danau, rawa dan laut. Sungai Mahakam merupakan sungai induk dan sungai yang terpanjang, dengan panjang sekitar 920 Kilometer. Sungai ini masih sangat berperan sebagai urat nadi transportasi terutama untuk menuju Kecamatan Muara Wis dan Kecamatan Muara Muntai, serta sebagian besar kecamatan di wilayah Kabupaten Kutai Barat. Cabang-cabang sungai Mahakam sangat banyak dan salah satu diantaranya adalah sungai Belayan yang bermuara di Kecamatan Kota Bangun. Anak sungai Mahakam ini merupakan sarana transportasi utama menuju Kecamatan Kenohan, Kecamatan Kembang Janggut dan Kecamatan Tabang. Jumlah sungai yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara sekitar 31 buah.
91
Hakim (2008) yang melakukan model pendugaan banjir dan kekeringan di DAS Separi, Kutai Kartanegara Kalimantan Timur menyebutkan bahwa tingkat infiltrasi pada periode 14-17 Oktober 2003 sebesar 59,73 mm dan pada periode 25-28 Maret 2006 sebesar 35,18 mm. Berdasarkan Tabel 11 dan hasil analisis Hakim (2008) dapat diprediksikan bahwa jumlah air yang mengalir yaitu berkisar antara 161.17 mm – 179.42 mm. Hal ini menunjukkan bahwa diprediksikan banjir akan terjadi di lokasi. Kondisi ini didukung oleh lahan yang semula hutan telah banyak dikonversi menjadi lahan pertambangan batubara akan menyebabkan setiap musim hujan pada lokasi penelitian terjadi banjir. Dalam kajian ini atribut banjir dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: (0) selalu terjadi banjir, (1) sering terjadi banjir, dan (2) jarang terjadi banjir. Berdasarkan kondisi yang ada dan dengan merujuk literatur maka lokasi penelitian dapat dikategorikan dalam kelompok selalu terjadi banjir. Erosi adalah suatu proses dimana tanah dihancurkan (detached) dan kemudian dipindahkan ke tempat lain oleh kekuatan air, angin atau gravitasi. Di Indonesia erosi yang terpenting adalah yang disebabkan oleh air (Hardjowigeno, 2007). Faktor-faktor yang mempengaruhi erosi air adalah : (1) curah hujan, (2) sifat-sifat tanah, (3) lereng, (4) vegetasi, dan (5) manusia. Sifat-sifat hujan meliputi intensitas hujan, jumlah hujan dan curah hujan. Jumlah hujan rata-rata tahunan yang tinggi tidak akan menyebabkan erosi yang berat apabila hujan tersebut terjadi merata sepanjang tahun. Sebaliknya, curah hujan rata-rata tahunan yang rendah dapat menyebabkan erosi apabila hujan tersebut jatuh sangat deras meskipun hanya sekali-sekali. Tanah yang bertekstur lempung berdebu sangat peka terhadap erosi. Menurut Wood dan Dent, 1983 dalam Hardjowigeno (2007), disebutkan bahwa indeks bahaya erosi (IBE) ditentukan berdasarkan jumlah tanah yang tererosi dibagi dengan jumlah erosi yang diperbolehkan (ton/ha/thn). Berdasarkan persamaan tersebut, IBE dapat digolongkan ke dalam empat kelas yaitu (a) < 1,00 = rendah, (b) 1,01 – 4,0 =sedang, (c) 4,01 – 10,00 = tinggi, (d) > 10,00 = sangat tinggi. Pendugaan erosi dapat menggunakan rumus USLE (Universal Soil Loss Equation). Jumlah tanah yang hilang rata-rata setiap tahun (ton/ha/tahun)
92
merupakan perkalian dari (1) R = erovisitas hujan (indeks daya erosi curah hujan), (2) K = erodibilitas tanah (indeks kepekaan tanah terhadap erosi), (3) LS = faktor panjang (L) dan curamnya (S) lereng, (4) C= faktor tanaman atau vegetasi, dan (5) P= faktor usaha. Rona lingkungan hidup awal PT.Kitadin menunjukkan bahwa erosivitas hujan di wilayah studi dihitung berdasarkan data hujan bulanan dari stasiun hujan Tenggarong menggunakan rumus Kenvain. Erodibilitas tanah (K) dihitung menggunakan rumus nomograf erodibilitas tanah Wischmeier dan Smith (1978). Bentuk wilayah umumnya datar sampai berbukit, dengan lereng berkisar dari 025%. Vegetasi penutup tanah umumnya semak belukar dengan penutupan permukaan tanah cukup baik dan kebun campuran. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa erosivitas hujan di wilayah studi sebesar 1079, sedangkan erodibilitas tanah berkisar antara 0,254-0,326 tergolong sedang sampai agak tinggi. Faktor panjang dan kemiringan lereng (LS) berkisar antara 0 – 5,242. Nilai faktor vegetasi/pengelolaan tanah adalah 0,100 untuk semak belukar dan 0,150 untuk kebun campuran. Di wilayah studi tidak dijumpai tindakan konsevasi tanah. Berdasarkan
data
faktor-faktor
penyebab
erosi
dan
perhitungan
erosi
menggunakan rumus USLE, ternyata jumlah erosi di wilayah studi umumnya berkisar antara 8,78 – 161,78 ton/ha/tahun (Dokumen AMDAL PT.Kitadin, 2000). Rona lingkungan hidup awal PT.Tanito Harum dilihat dari kelas lereng 025% dengan metode Wischmeier dan Smith (1978) sebesar 10,49 – 358 ton/tahun (Dokumen AMDAL PT.Tanito Harum, 1994). Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi studi dan penetapan nilai mengacu pada klasifikasi yang telah ditentukan dalam Hardjowigeno (2007), nilai erosivitas hujan (R) sebesar 1.076,98. Nilai erodibilitas tanah (K) sebesar 0,45 dan faktor
panjang
dan
kemiringan
lereng
LS
sebesar
1.
Nilai
faktor
vegetasi/pengelolaan tanah adalah 0,5 untuk hutan produksi. Di wilayah studi terdapat
penanaman tanaman perkebunan kerapatan sedang (nilai P = 0,5).
Berdasarkan
data
faktor-faktor
penyebab
erosi
dan
perhitungan
erosi
menggunakan rumus USLE ternyata jumlah tanah tererosi (A) sebesar 121,16 ton/ha/tahun.
93
Jumlah erosi yang diperbolehkan ditetapkan berdasarkan rumus Wood dan Dent (1983) sebesar 23,3 ton/ha/tahun, sehingga indeks bahaya erosi yang terjadi di PT. Kitadin dan PT. Tanito Harum dapat dikatakan telah mencapai angka 5,2. Tingkat erosi dalam kajian ini dikelompokkan pada tiga kategori yaitu: (0) tinggi, (1) sedang, dan (2) rendah. Berdasarkan nilai IBE yang diperoleh, maka tingkat erosi telah berada pada kategori Indeks Bahaya Erosi tinggi.
4.2.5. Kemampuan Lahan Penilaian lahan dalam evaluasi lahan dapat dianalisis dalam tiga aspek yaitu (1) kesesuaian lahan, (2) kemampuan lahan, dan (3) nilai lahan. Kemampuan lahan menyangkut serangkaian/sejumlah penggunaan sebagai contoh untuk pertanian, kehutanan, atau rekreasi. Klasifikasi kemampuan lahan adalah pengelompokkan lahan ke dalam satuan-satuan khusus menurut kemampuannya untuk penggunaan intensif dan perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan secara terus menerus. Klasifikasi ini akan menetapkan jenis penggunaan yang sesuai dan jenis perlakuan yang diperlukan untuk dapat digunakan bagi produksi tanaman secara lestari (Sitorus, 2004). Kelas merupakan tingkat yang tertinggi dan bersifat luas dalam struktur klasifikasi. Penggolongan ke dalam kelas didasarkan atas intensitas faktor-faktor penghambat yang permanen atau sulit diubah. Faktor-faktor yang bersifat permanen dan sulit diubah dapat dilihat dari klasifikasi kemampuan lahan menurut Sitorus (2004), sebagai berikut: (1)
Kelas I. Tanah pada kelas I mempunyai sedikit penghambat yang membatasi penggunaannya; sesuai untuk segala macam penggunaan pertanian. Kelas ini dicirikan oleh tanah datar, bahaya erosi sangat kecil, solum dalam, umumnya berdrainase baik, mudah diolah, dapat menahan air dengan baik dan responsif terhadap pemupukan.
(2)
Kelas II. Tanah pada lahan kelas II mempunyai sedikit penghambat yang dapat mengurangi pilihan penggunaannya. Tanah di lahan kelas II membutuhkan pengelolaan tanah secara hati-hati meliputi tindakan pengawetan, menghindari kerusakan dan memperbaiki hubungan air – udara
94
dalam tanah bila tanah ditanami. Penghambat dalam kelas ini dapat merupakan sat atau kombinasi dari faktor berlereng landai, mempunyai kepekaan sedang terhadap erosi, dan struktur tanah yang sedikit kurang baik. (3) Kelas III. Tanah pada lahan kelas III mempunyai lebih banyak penghambat dari tanah di lahan kelas II, dan bila digunakan untuk tanaman pertanian memerlukan tindakan pengawetan khusus. Penghambat pada lahan kelas III dapat merupakan satu atau lebih faktor-aktor berikut: lereng agak miring (sangat peka terhadap bahaya erosi), berdrainase buruk, permeabilitas tanah sangat lambat, solum dangkal yang membatasi daerah perakaran, kesuburan yang rendah dan tidak mudah diperbaiki. (4)
Kelas IV. Tanah pada lahan kelas IV mempunyai penghambat yang lebih besar dibandingkan dengan kelas III sehingga pemilihan jenis pengunaan atau jenis tanaman juga lebih terbatas. Tanah pada lahan kelas IV dapat digunakan untuk berbagai jenis penggunaan pertanian dengan ancaman dan bahaya kerusakan yang lebih besar dari tanah di lahan kelas III. Tanah pada lahan kelas IV mempunyai salah satu atau lebih faktor penghambat berikut: lereng curam, sangat peka terhadap bahaya erosi, solum dangkal, kapasitas menahan air rendah, dan drainase buruk.
(5)
Kelas V. Tanah pada lahan kelas V tidak sesuai untuk ditanami tanaman semusim, tetapi lebih sesuai untuk ditanami dengan vegetasi permanen seperti tanaman makanan ternak atau dihutankan. Tanah pada lahan kelas V terletak pada tempat yang hampir datar, basah atau tergenang air atau terlalu banyak batu di atas permukaan tanah. sebagai contoh tanah kelas V adalah: (a) tanah di daerah cekungan yang sering tergenang air, (b) tanah berbatu, dan (c) tanah di daerah rawa-rawa yang sulit didrainasekan.
(6)
Kelas VI. Tanah pada lahan kelas VI tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tanaman semusim, tetapi sesuai untuk vegetasi permanen yang dapat digunakan
sebagai
tanaman
makanan
ternak/padang
rumput
atau
dihutankan, dengan penghambat yang sedang. Tanah pada lahan kelas VI mempunyai lereng yang curam, sehingga mudah tereosi atau telah mengalami erosi yang sangat berat.
95
(7)
Kelas VII. Tanah pada lahan kelas VII tidak sesuai untuk digarap bagi usaha tani tanaman semusim, dan sebaiknya digunakan untuk penanaman dengan vegetasi permanen seperti padang rumput atau hutan yang disertai dengan tindakan pengelolaan yang tepat dan lebih intensip dari yang diperlukan pada lahan kelas VI. Tanah pada lahan kelas VII terletak pada lereng yang sangat curam atau mengalami erosi berat, atau tanah sangat dangkal/berbatu.
(8)
Kelas VIII. Tanah pada lahan kelas VIII tidak sesuai untuk ditanami tanaman semusim dan usaha produksi pertanian lainnya dan harus dibiarkan pada keadaan alami di bawah vegetasi alami. Tanah pada lahan kelas VIII merupakan tanah yang berlereng sangat curam atau permukaan sangat berbatu yang dapat berupa batuan lepas (stone) atau batuan singkapan (rock outcrops) atau tanah pasir di pantai.
Berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan menurut Sitorus (2004) dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu : a.
Dapat digarap, yaitu kelas kemampuan lahan I – IV
b.
Tidak dapat digarap, yaitu kelas kemampuan lahan V – VIII. Atribut kemampuan lahan untuk kepentingan MDS dalam kajian ini
kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori yaitu: (0) tidak dapat digarap sama sekali, (1) dapat digarap dengan perlakuan, dan (2) dapat digarap. Berdasarkan dari pengamatan, kemampuan lahan di lokasi penelitian tergolong kategori kelas V – VII atau dikategorikan dapat digarap dengan perlakuan.
4.2.6. Tingkat Kesuburan Tanah Tanah tersusun dari empat bahan utama, yaitu: bahan mineral, bahan organik, air, dan udara. Bahan-bahan penyusun tanah tersebut jumlahnya masingmasing berbeda untuk setiap jenis tanah ataupun setiap lapisan tanah. Syarat kecukupan tanah masih tergolong subur umumnya mengandung 45% bahan mineral, 3 - 5% bahan organik, 20 – 30% udara, 20 – 30% air (Hardjowigeno, 2007).
96
Pra penelitian dengan mengambil contoh tanah sembarang di Kecamatan Tenggarong Seberang dan di Kecamatan Sebulu oleh Sinaga (2008) tanah sebelum penambangan batubara masih tergolong cukup subur karena bahan organiknya 4,27% dari C-organik. Tanah Pasca tambang batubara sudah kurang subur karena kecukupan bahan organiknya sampai kurang dari 3% demikian juga dengan N-total dan unsur Fosfor (P) yang semakin kecil. Tingkat kesuburan tanah dilihat dari sifat kimia tanah dan fisik tanah pada kajian ini dikelompokkan menjadi empat kategori yaitu: (0) tidak subur, (1) kurang subur, (2) subur, dan (3) sangat subur. Berdasarkan nilai rata rata hasil analisis sifat kimia tanah dan pembandingan dengan kriteria kesuburan tanah berdasarkan kimia tanah (Tabel 3), dapat diketahui bahwa lokasi penelitian termasuk memiliki tanah yang kurang subur.
4.3. Dimensi Ekonomi 4.3.1. Kontribusi terhadap PDRB relatif untuk desa sekitar lokasi Berdasarkan data pada tahun 2007, sektor pertambangan dan penggalian memberikan kontribusi yang dominan dalam perekonomian Kabupaten Kutai Kartanegara
yaitu sebesar 78,35%.
Sektor pertanian memberikan kontribusi
sebesar 8,26%, sedangkan sektor lainnya hanya memberikan kontribusi di bawah 5% terhadap perekonomian. Kontribusi sektor terhadap PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara dapat dilihat pada Gambar 15.
2,41
0,08 4,02
8,26
4,12 0,700,72 1,35
78,35 Pertanian Industri Pengolahan Bangunan dan konstruksi Pengangkutan dan komunikasi jasa-jasa
Pertambangan dan penggalian Listrik, gas dan air minum Perdagangan, restoran dan hotel Keuangan, persew aan dan Jasa perusahaan
Gambar 15. Kontribusi Sektor Terhadap PDRB Kabupaten Kutai Kartanegara, 2007
97
Besaran PDRB sering digunakan sebagai indikator untuk menilai kinerja perekonomian suatu wilayah, terutama yang dikaitkan dengan kemampuan suatu daerah dalam mengelola sumberdaya yang dimilikinya. Perkembangan PDRB tahun 2000, 2006 dan 2007 dapat dilihat pada Gambar 16.
27300
30000
26263
23405
25000 20000 Milyar Rupiah 15000
10000
7437
8208
4760
5000 0 2000
Non Migas
2006
2007
Migas
Sumber : Kutai Kartanegara Dalam Angka – BPS, (2007)
Gambar 16. Perkembangan PDRB Tahun 2000, 2006 dan 2007 Pemerintah Kabupaten Kutai Kartanegara pada Program Gerbang Dayaku telah memberikan bantuan stimulus desa sebesar 2 miliar rupiah per tahun pada masing-masing desa. Bantuan ini digunakan untuk pembangunan infrastruktur, walaupun dalam implementasinya masih belum optimal. Kontribusi terhadap PDRB relatif untuk desa sekitar lokasi dapat dikelompokkan dalam lima kategori yaitu: (0) lebih rendah, (1) rendah, (2) sama, (3) tinggi, dan (4) lebih tinggi. Berdasarkan data dan pengamatan yang ada, di Kecamatan Sebulu dan Kecamatan Tenggarong Seberang tergolong masih rendah dalam menerima hasil dari kontribusi relatif.
4.3.2. Sarana dan prasarana transportasi Secara topografi, wilayah Kutai Kartanegara terdiri atas wilayah pantai, sungai dan daratan. Beberapa wilayah di pantai dan pedalaman hingga saat ini masih ada yang harus ditempuh melalui jalur laut, sungai dan danau. Berdasarkan data kondisi jalan yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara, terlihat bahwa masih banyak terdapat jalan yang rusak hingga rusak berat. Kondisi di Kecamatan Sebulu terlihat sangat nyata, bahwa jalan yang rusak
98
berat mencapai lebih dari 70%. Sementara di Kecamatan Tenggarong Seberang, kondisi jalan yang rusak dan rusak berat bisa mencapai 65,55%. Kondisi jalan dapat dilihat pada Tabel 12. Hal ini terjadi akibat dilalui oleh alat transportasi yang berat perusahaan pertambangan. Tabel 12. Kondisi Jalan di Kabupaten Kutai Kartanegara (Km) Tahun 2008 Kondisi Jalan Lokasi Kec. Sebulu Kec. Tenggarong Seberang Kab. Kutai Kartanegara
Baik 7,8
Sedang 13,31
Rusak 14,32
Rusak Berat 71,27
Rencana Jalan -
Jumlah 106,7
30,88
19,49
52,05
43,77
-
146,19
260,38
391,67
287,88
377,52
207,94
1.525,39
Sumber : Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka, BPS, 2009.
Kondisi buruknya sarana dan prasarana transportasi juga ditunjukkan dengan jenis permukaan jalan di Kabupaten Kutai Kartanegara yang masih banyak tidak beraspal. Jalan yang ada hanya berupa jalan kerikil, batu dan tanah, seperti terlihat pada Tabel 13. Dalam kajian ini atribut sarana dan prasarana transportasi dapat dikelompokkan dalam empat kategori yaitu: (0) buruk, (1) cukup, (2) baik, (3) sangat baik. Berdasarkan observasi di lapangan dan didukung oleh data yang ada, sarana dan prasarana transportasi yang terdapat di lokasi pasca tambang batubara tergolong kategori buruk. Tabel 13. Kondisi Jalan di Kabupaten Kutai Kartanegara Berdasarkan Jenis Permukaan Jalan (Km) Tahun 2008 Lokasi Kec. Sebulu Kec.Tenggarong Seberang Kab. Kutai Kartanegara
Aspal 25,81 87,71
Jenis Permukaan Jalan Kerikil Batu Tanah 18,51 13,92 48,46 1 7,96 32
407,4
334,07
83,86
320,72
Beton 17,52 171,4
Rencana Jalan -
Jumlah 106,7 146,19
207,94
1.525,39
Sumber : Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka, BPS, 2009.
4.3.3. Status penguasaan lahan Jumlah sertifikat hak atas tanah menurut pendaftaran tanah pertama di kecamatan memberikan gambaran bahwa masyarakat yang mendaftarkan sebagai
99
hak milik relatif masih sedikit dibandingkan dengan jumlah luasan lahan yang ada di Kabupaten Kutai Kartanegara. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 14. Tabel 14. Jumlah Sertifikat Hak Atas Tanah Menurut Pendaftaran Tanah Pertama di Kecamatan Hak Atas Tanah Lokasi
Hak Milik
Kec. Sebulu Kec. Tenggarong Seberang Kab. Kutai Kartanegara
Hak Guna Bangunan
Hak Guna Usaha
Hak Pakai
Hak Penggunaan Lahan
Jumlah
4
-
-
-
-
4
39
-
-
-
-
39
2.309
4
-
-
-
2.313
Sumber : Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka, BPS, 2008.
Berdasarkan informasi dari masyarakat, status penguasaan lahan sebelum dan setelah tambang batubara sekitar 30,77% berkurang, dan 7,69% bertambah, seperti terlihat pada Tabel 15. Sedangkan sebanyak 61,54% masyarakat menyatakan bahwa penguasaan lahan mereka masih tetap, yaitu masih tetap memiliki lahan. Dalam hal ini, status penguasaan lahan masyarakat dikategorikan tetap, tidak mengalami penambahan dan pengurangan secara signifikan. Tabel 15. Status Penguasaan Lahan Masyarakat Sekitar Tambang Batubara Status Penguasaan Lahan
Pra - Pasca Tambang
Bertambah Tetap Berkurang
7,69 61,54 30,77
Sumber : Data Primer (diolah), 2009
4.3.4. Sarana Perekonomian Sarana perekonomian dapat dilihat dari banyaknya koperasi maupun pasar yang terdapat di lokasi. Jika dilihat data jumlah koperasi di Kabupaten Kutai Kartanegara tahun 2007 sebanyak 509 unit, Koperasi Pertanian dan Koperasi Serba Usaha merupakan jenis koperasi yang banyak dijumpai. Dua jenis koperasi tersebut juga mendominasi di Kecamatan Sebulu, sedangkan di Kecamatan Tenggarong Seberang jumlah dan jenis koperasi lebih beragam. Keragaan koperasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 16.
100
Tabel 16. Jumlah Koperasi di Kecamatan Sebulu, Kecamatan Tenggarong Seberang dan Kabupaten Kutai Kartanegara Kec. Tenggarong Seberang
Kec. Sebulu
Kab. Kutai Kartanegara
Jenis Koperasi
Jumlah
%
Jumlah
%
Jumlah
KUD Koperasi Serba Usaha Koperasi Pegawai Negeri Koperasi Buruh Karyawan Koperasi Wanita Koperasi Pertanian Koperasi jasa-jasa lainnya Koperasi Simpan Pinjam Koperasi Sekolah Koperasi Pertambangan
5 9
14,29 25,71
6 7
15,00 17,50
63 110
12,38 21,61
2
5,71
3
7,50
45
8,84
0 0 13
0,00 0,00 37,14
3 1 6
7,50 2,50 15,00
24 6 111
4,72 1,18 21,81
1
2,86
6
15,00
52
10,22
1 1
2,86 2,86
1 2
2,50 5,00
11 11
2,16 2,16
2
5,71
5
12,50
25
4,91
1
2,86
0
0,00
17
35
100
40
100
509
Koperasi Lain-lain Total
%
3,34 93,32
Sumber : Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka, BPS, 2008
Pasar merupakan salah satu sarana perekonomian sebagai tempat transaksi perdagangan. Keberadaan pasar di Kecamatan Sebulu terdapat 11 yang hampir di setiap desa tedapat pasar ini, kecuali di Desa Sebulu Modern dan Desa Lekaq Kidau. Keberadaan warung/kedai serta toko juga menjadi sarana dalam rantai pemasaran untuk mendistribusikan produksi kepada konsumen. Sarana perekonomian di Kecamatan Sebulu dapat dilihat pada Tabel 17. Data serupa untuk Kecamatan Tenggarong Seberang tidak ditemukan. Dalam kajian ini, keberadaan sarana perekonomian pasca tambang batubara dapat dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) berkurang, (1) tetap, dan (2) bertambah. Berdasarkan informasi di lapangan, keberadaan sarana perkonomian relatif tetap, artinya tidak banyak sarana perekonomian yang berubah signifikan.
4.3.5. Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara Aktivitas perekonomian pasca tambang batubara dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) mengalami penurunan dari kondisi sebelum tambang
101
batubara, (1) tetap, tidak mengalami perubahan, dan (2) mengalami peningkatan dari kondisi sebelum tambang batubara.
Tabel 17. Banyaknya Pasar, Warung/Kedai, dan Toko di Kecamatan Sebulu Desa/kelurahan Selerong Tanjung Harapan Beloro Sebulu Ulu Manunggal Daya Sumber Sari Sebulu Ilir Segihan Giri Agung Senoni Sebulu Modern Lekaq Kidau Sanggulan JUMLAH
Pasar 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 1 11
Warung/kedai 2 2 15 47 38 31 16 14 8 31 42 44 4 294
Toko 13 22 48 97 130 143 24 70 30 62 72 82 20 813
Sumber : Kecamatan Sebulu dalam Angka, BPS, 2008.
Aktivitas perekonomian masyarakat pasca tambang batubara di sekitar lokasi secara umum akan mengalami penurunan. Hal ini dapat dipahami karena aktivitas pertambangan yang tentunya menyerap sumberdaya lokal, termasuk tenaga kerja tidak akan melakukan aktivitas pertambangan setelah pasca tambang batubara. Lingkungan yang semula ramai akan sepi, sehingga berpengaruh pula terhadap kebutuhan sehari-hari yang diperjual-belikan. Pasar sebagai penyedia kebutuhan akan menyesuaikan dengan permintaan yang ada. 4.3.6. Mata pencaharian pasca tambang batubara Penduduk di Kabupaten Kutai Kartanegara tinggal sebagian besar bertempat tinggal di perdesaan yakni mencapai 75,7%, sedangkan 24,3% lainnya berada di daerah perkotaan. Adapun mata pencaharian penduduk umumnya berada di sektor pertanian (38,25%), industri/kerajinan (18,37%), perdagangan (10,59 %) dan lain-lain 32,79%. Mata pencaharian masyarakat sebelum terdapat kegiatan tambang batubara sebagian besar sebagai petani. Saat kegiatan pertambangan batubara beroperasi, masyarakat banyak yang menjadi pekerja pada perusahaan tambang
102
batubara di beberapa wilayah. Posisi pekerjaan di perusahaan tambang batubara yang didapatkan memang bukan menjadi pegawai kantor yang memiliki jabatan, namun lebih pada pekerja teknis seperti buruh, supir dan bagian keamanan. Mata pencaharian masyarakat pasca tambang batubara dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) menganggur, (1) berpindah mata pencaharian, dan (2) tetap pada mata pencaharian awal. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa pasca tambang batubara, sebagian besar masyarakat akan beralih memiliki pekerjaan lain yaitu membuka usaha perdagangan, layanan jasa atau sebagai aparat desa. Kalaupun tidak beralih pada pekerjaan lain, masyarakat akan kembali kepada pekerjaan awal yang sebagian besar bertani. Gambaran mata pencaharian penduduk sebelum, saat dan sesudah aktivitas pertambangan dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Komposisi Mata Pencaharian Penduduk Sebelum, Saat dan Sesudah Aktivitas Pertambangan Mata Pencaharian Bertani Dagang/Wiraswasta Kerja Tambang Kerja lain
Sebelum 64,29
Saat Pertambangan 35,71
Sesudah 21,43
7,14
14,29
28,57
-
42,86
-
28,57
7,14
50,00
Sumber : Data Primer (diolah), 2009
4.3.7. Pendapatan masyarakat pasca tambang batubara Pendapatan masyarakat pasca tambang batubara dibandingkan dengan pendapatan sebelum kegiatan penambangan batubara dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) mengalami penurunan, (1) tetap, dan (2) mengalami peningkatan. Pendapatan masyarakat sebelum aktivitas tambang batubara dilakukan relatif lebih rendah dibandingkan pada saat pertambangan batubara, demikian pula pendapatan masyarakat pada saat pertambangan dibandingkan sesudah tambang batubara, seperti terlihat pada Tabel 19. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas pertambangan memberikan kontribusi terhadap pendapatan masyarakat di sekitar kawasan pertambangan,
103
sehingga pendapatan masyarakat mengalami penurunan dibandingkan pada saat sebelum pertambangan batubara. Tabel 19. Pendapatan Masyarakat Sebelum, Saat dan Sesudah Penambangan Pendapatan Rata-rata Maksimum Minimum Rata-Rata
Sebelum 1.600.000 500.000
Saat Pertambangan 2.200.000 1.100.000
Sesudah 2.000.000 800.000
1.150.000
1.731.250
1.506.250
Sumber : Data Primer (diolah), 2009
4.4. Dimensi Sosial 4.4.1. Epidemi penyakit diare dan pernapasan Epidemi dapat diartikan sebagai wabah yang terjadi secara lebih cepat daripada yang diduga. Dalam peraturan yang berlaku di Indonesia, pengertian wabah dapat dikatakan sama dengan epidemi, yaitu "berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata melebihi keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka" (UU Nomor 4 Tahun 1984). Data pada Tabel 20 memperlihatkan sepuluh jenis penyakit terbesar yang terdapat di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kecamatan Sebulu dan Kecamatan Tenggarong Seberang pada tahun 2006. Epidemi penyakit dikelompokkan dalam empat kategori yaitu: (0) > 75,00 % kasus = tinggi, (1) 50,01 – 75,00% kasus = sedang (2) 10,01 – 50,00 % kasus =
rendah, dan (3) 0,00 – 10,00 % kasus = tidak terjadi epidemi.
Berdasarkan dari data di lapangan, Kabupaten Kutai Kartanegara, khususnya Kecamatan Sebulu dan Tenggarong Seberang memiliki epidemi penyakit diare dan pernafasan yang rendah.
4.4.2. Persepsi masyarakat terhadap pasca tambang batubara Keberadaan lingkungan baru dapat memberikan persepsi atau pandangan yang beragam dari masyarakat yang mendiami wilayah tersebut. Hal ini dapat dipahami bahwa masuknya suatu inovasi yang baru ke dalam faktor indigenous akan merubah sistem yang ada sebelumnya. Persepsi masyarakat terhadap kondisi pasca tentunya akan dibandingkan dengan kondisi pra inovasi, dikelompokkan
104
dalam empat kategori yaitu: (0) suatu inovasi tidak bermanfaat, (1) suatu inovasi kurang bermanfaat, (2) suatu inovasi bermanfaat, dan (3) suatu inovasi sangat bermanfaat. Tabel 20. Sepuluh penyakit terbesar di Kabupaten Kutai Kartanegara, Kecamatan Sebulu dan Kecamatan Tenggaraong Seberang, 2006 Kab. Kutai Kartanegara Persentase Dari total Jenis Penyakit 17.977 kasus Diare dan Gastroenteritis tidak dapat 13,46 dikelompokkan ke dalam A00A08 Influenza
Batuk
11,66
10,71
Puskesmas Sebulu 1, Kec. Sebulu
Puskesmas Sebulu 2, Kec. Sebulu
Persentase dari 2.849 kasus
Jenis Penyakit
Persentase dari 5.335 kasus
Gejala dan tanda umum lainnya
21,76
Infeksi akut lain pada saluran pernapasan bagian atas
43,26
Gastroduod enitis tidak spesifik
17,76
Jenis Penyakit
Batuk
16,08
Infeksi penyakit usus yang lain Penyakit pulpa pada jaringan periapikal
11,06
Puskesmas Separi 3, Kec. Tenggarong Seberang Persenta se dari Jenis Penyakit 1.229 kasus Penyakit infeksi saluran pernapasan atas 25,71 akut tidak spesifik
Gejala dan tanda umum lainnya
24,9
8,53
Infeksi virus dan infeksi usus tertentu lainnya
8,14
8,14
Tukak lambung
10,43
Faringitis Akuta
10,04
Diare
6,94
Diare dan Gastroenteritis tidak dapat dikelompokkan ke dalam A00– A08
Penyakit infeksi saluran pernapasan atas akut tidak spesifik
10,25
Hipertensi
9,16
Penyakit kulit infeksi
6,67
Gastroduodeniti s tidak spesifik
6,59
6,35
Penyakit pada sistem otot dan jaringan pengikat
6,35
Tonsilitis Akuta
6,51
5,58
Penyakit kulit elergi
5,77
Rematisme
5,37
5,48
Gingivitas dan penyakit periodental
5,00
Hipertensi
5,29
Nasofaringitis akuta (Common Cold)
9,99
Demam yang tidak diketahui sebabnya
9,08
Gangguan lain pada kulit dan jaringan subkutan yang tidak diklasifikas ikan Tuberkulosi s paru klinis Infeksi virus dan infeksi usus tertentu lainnya
Penyakit infeksi saluran pernapasan atas lainnya
8,90
Hipertensi
7,89
Myalgia
3,97
Tonsilitis
3,43
Penyakit infeksi saluran pernapasan atas lainnya
5,29
Gangguan lain pada kulit dan jaringan subkutan yang tidak terklasifikasikan
7,63
Dermatitis lain tidak spesifik (eksema)
3,83
Penyakit tekanan darah tinggi
2,98
Karies gigi
4,07
Sumber : http://dinkes-kutaikartanegara.org/id/profil.php
105
Berdasarkan hasil wawancara hampir seluruh warga masyarakat (96%) memberikan berbagai persepsi negatif yang memiliki tendensi bahwa keberadaan tambang batubara tidak memiliki manfaat bagi masyarakat. Masyarakat menyatakan bahwa dengan keberadaan tambang lingkungan menjadi rusak, kegiatan AMDAL tidak berjalan. Bahkan terdapat petani yang mengungkapkan bahwa dari hasil produksi panen padi sawah menurun drastis, dari empat ton menjadi satu ton sehingga berpengaruh terhadap pendapatan. Cekungan lahan yang terjadi akibat pertambangan tidak bisa dimanfaatkan sebagai kolam perikanan, bahkan membahayakan bagi warga. Selain itu gersangnya lingkungan dan kerawanan banjir menjadi permasalahan. Terhadap kesehatan lingkungan, masyarakat mengemukakan bahwa keberadaan tambang batubara memberikan dampak bagi kesehatan. Polusi akibat dari aktivitas pertambangan berdampak bagi meningkatnya penyakit yang terkait dengan pernafasan.
4.4.3. Tatanan adat dan kebiasaan masyarakat Setiap masyarakat adat atau kebiasaan merupakan pola-pola prilaku bagi anggota-anggota masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Suatu perubahan akan timbul apabila pola-pola prilaku tersebut tidak efektif lagi dalam memenuhi kebutuhan pokok (Sujono, 1982). Perubahan sosial dan kebudayaan merupakan suatu proses perubahan dalam masyarakat yang pada umumnya dapat terjadi melalui saluran perubahan sosial yaitu kelembagaan masyarakat dalam bidang pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama dan lainnya. Perubahan tatanan adat dan kebiasaan masyarakat terkait dengan kondisi masyarakat pasca tambang batubara dalam kajian ini dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) adat dan kebiasaan masyarakat pasca tambang mengalami perubahan yang besar akibat adanya kegiatan penambangan batubara, (1) adat dan kebiasaan masyarakat pasca tambang hanya mengalami sedikit perubahan akibat adanya kegiatan penambangan batubara, dan (2) adat dan kebiasaan masyarakat pasca tambang tidak mengalami perubahan akibat adanya kegiatan penambangan batubara.
106
Berdasarkan pada informasi yang diperoleh, kebiasaan masyarakat pasca tambang batubara dibandingkan dengan sebelum tambang batubara dirasakan hanya memiliki sedikit perubahan. Hal ini dikemukakan oleh 90 % masyarakat pada saat wawancara. Masyarakat menyatakan bahwa kegiatan pertambangan memberikan dampak negatif terhadap kesibukan masyarakat sehingga gotong royong dan kegiatan sosial kemasyarakatan menjadi berkurang.
4.4.4. Angka beban tanggungan keluarga Rasio Ketergantungan (Dependency Ratio) adalah perbandingan antara penduduk usia non produktif (jumlah penduduk berumur 0-14 tahun, ditambah dengan jumlah penduduk 65 tahun ke atas) dibandingkan dengan penduduk usia produktif (jumlah penduduk usia 15-64 tahun). Rasio ketergantungan (dependency ratio) merupakan salah satu indikator demografi yang penting dan dapat digunakan sebagai indikator yang secara kasar dapat menunjukkan keadaan ekonomi suatu wilayah. Semakin tingginya persentase dependency ratio menunjukkan semakin tingginya beban yang harus ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai hidup penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Persentase dependency ratio yang semakin rendah menunjukkan semakin rendahnya beban yang ditanggung penduduk yang produktif untuk membiayai penduduk yang belum produktif dan tidak produktif lagi. Penduduk usia non produktif di Kabupaten Kutai Kartanegara pada tahun 2004
berjumlah 178.565 orang, dan penduduk produktif
sejumlah 325.144
orang. Dari komposisi per kelompok usia maka didapat angka beban tanggungan (dependency ratio) pada tahun 2004 sebesar 54,92%. Hal ini berarti setiap 100 orang usia produktif menanggung beban sekitar 55 orang usia tidak produktif. Berdasarkan data proyeksi BPS untuk tahun 2008 diperoleh tingkat dependency ratio yang semakin meningkat yaitu sekitar 59 orang. Rasio ketergantungan penduduk di Kabupaten Kutai Kartanegara dapat dilihat pada Tabel 21. Tabel 21. Dependency Ratio Penduduk Kabupaten Kutai Kartanegara Tahun 2004 2008
Penduduk Usia Non Produktif 178.565 207.545
Penduduk Usia Produktif
Dependency ratio
325.144 354.252
54,92 58,59
Sumber : Kabupaten Kutai Kartanegara dalam Angka Tahun 2004 dan 2009, BPS
107
Angka beban tanggungan keluarga dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) > 65 = tinggi, (1) 25 – 65 = sedang, dan (2) < 25 = rendah. Angka beban tanggungan keluarga di Kabupaten kutai Kartanegara dapat tergolong tinggi.
4.4.5. Rasio relatif jenis kelamin Jumlah penduduk di Kabupaten Kutai Kartanegara pada kurun waktu tahun 2005-2007 mengalami peningkatan 2,14% per tahun. Pada tahun 2005, jumlah penduduk 527.196 jiwa, tahun 2006 sebanyak 542.233 jiwa dan tahun 2007 sebanyak 550.027 jiwa. Kecamatan Tenggarong Seberang memiliki sekitar 9,11% penduduk dan Kecamatan Sebulu memiliki 6,23% penduduk dari total penduduk di Kabupaten Kutai Kartanegara. Penduduk yang bermukim di wilayah ini terdiri dari penduduk asli (Kutai, Benuaq, Tunjung, Bahau, Modang, Kenyah, Punan dan Kayan) dan penduduk pendatang seperti Jawa, Bugis, Banjar, Madura, Buton, Timor dan lain-lain. Jika dilihat rasio antara laki-laki dan perempuan, untuk tingkat Kabupaten Kutai Kartanegara dan kedua kecamatan sampel tidak memiliki perbedaan yang signifikan. Pada Kabupaten Kutai Kartanegara dari total jumlah penduduk, 52% merupakan penduduk laki-laki dan 48% penduduk perempuan. Sementara itu, untuk Kecamatan Tenggarong Seberang dan Sebulu, 53% dari total jumlah penduduk adalah laki-laki dan 47% penduduk perempuan. Penduduk berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 22. Hal ini dapat dikatakan bahwa jumlah penduduk laki-laki relatif sama (tidak berbeda signifikan) dibandingkan dengan jumlah penduduk perempuan. Tabel 22. Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin 2006 Lakilaki
Wanita
Kab. Kutai Kartanegara Kec. Tenggarong Seberang
284.243
Kec. Sebulu
Kabupaten/Kecamatan
Sumber : BPS, (2008)
2007 Jumlah
Lakilaki
Wanita
Jumlah
257.990
542.233
288.219
261.808
550.027
26.252
23.141
49.393
26.252
23.141
49.393
18.025
15.772
33.797
18.056
15.874
33.930
108
4.4.6. Migrasi penduduk Pola penyebaran penduduk sebagian besar mengikuti pola transportasi yang ada. Sungai Mahakam merupakan jalur arteri bagi transportasi lokal. Keadaan ini menyebabkan sebagian besar pemukiman penduduk terkonsentrasi di tepi Sungai Mahakam dan cabang-cabangnya. Daerah-daerah yang agak jauh dari tepi sungai dimana belum terdapat prasarana jalan darat relatif kurang terisi dengan pemukiman penduduk. Migrasi penduduk dilihat dari penduduk yang datang dan pergi. Migrasi penduduk pada Kecamatan Sebulu relatif lebih rendah (1,69%) dibandingkan pada Kecamatan Tenggarong
Seberang (5,22%).
Tahun 2007, migrasi di
Kecamatan Sebulu mencapai 574 orang, dengan 194 penduduk datang dan 380 penduduk pergi meninggalkan kecamatan seperti terlihat pada Tabel 23. Tabel 23. Migrasi Penduduk di Kecamatan Sebulu Tahun 2007 Desa/kelurahan Selerong Tanjung Harapan Beloro Sebulu Ulu Manunggal Daya Sumber Sari Sebulu Ilir Segihan Giri Agung Senoni Sebulu Modern Lekaq Kidau Sanggulan Jumlah
Datang
Pergi
Jumlah
5 34 36 10 3 30 4 10 26 12 6 11 7 194
4 0 6 0 2 1 9 30 2 3 6 312 5 380
9 34 42 10 5 31 13 40 28 15 12 323 12 574
Sumber : Kecamatan Sebulu dalam Angka, BPS, 2008.
Periode tahun yang sama, kondisi di Kecamatan Tenggarong Seberang terdapat migrasi sebanyak 2.577 orang. Sejumlah angka tersebut sebanyak 1.372 orang datang dan 1.205 pergi meninggalkan Kecamatan Tenggarong Seberang. Tabel 24 menunjukkan migrasi penduduk de Kecamatan Tenggarong Seberang. Migrasi penduduk dalam kajian ini dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu: (0) > 2,5 % dari jumlah penduduk = migrasi tinggi, (1) 1 - 2,5% dari jumlah penduduk = migrasi sedang, dan (2) 0 – 1 % dari jumlah penduduk = migrasi rendah. Berdasarkan data pada Tabel 26, migrasi penduduk di Kecamatan
109
Sebulu dan Kecamatan Tenggarong Seberang dapat diklasifikasikan ke dalam kategori tinggi. Tabel 24.Migrasi Penduduk di Kecamatan Tenggarong Seberang Tahun 2007 Desa/Kelurahan Loa Lepu Teluk Dalam Perjiwa Loa Raya Loa Ulung Embalut Bukit Raya Manunggal Jaya Bangun Rejo Kerta Buana Separi Bukit Pariaman Bhuana Jaya Mulawarman Loa Pari Sukamaju Tanjung Batu Karang Tunggal Jumlah
Datang 368 0 0 0 14 110 409 13 4 152 2 0 51 15 138 4 0 92 1.372
Pergi 57 0 285 0 18 3 0 8 0 133 10 0 9 251 114 310 0 7 1.205
Jumlah 425 0 285 0 32 113 409 21 4 285 12 0 60 266 252 314 0 99 2.577
Sumber : Kecamatan Tenggarong Seberang dalam Angka, BPS, 2008.
4.4.7. Konflik sosial Berdasarkan data banyaknya kejadian yang dilaporkan menurut masingmasing Polsek Kecamatan di Kabupaten Kutai Kartanegara, secara umum terlihat adanya kecenderungan peningkatan peristiwa kejahatan. Tahun 2000, di Kabupaten Kutai Kartanegara terdapat 273 kasus, dan semakin meningkat setiap tahun hingga pada tahun 2006 mencapai 575 kasus. Kejahatan yang terjadi di Kecamatan Tenggarong Seberang dari jumlah tersebut mencapai 4 kasus dan berfluktuasi setiap tahun. Pada tahun 2005 di Kecamatan Tenggarong Seberang terdapat 70 kasus yang merupakan jumlah terbesar selama periode tahun 2000-2007. Peristiwa kejahatan di Kecamatan Sebulu relatif lebih rendah dibandingkan dengan Kecamatan Tenggarong Seberang. Hal ini diperkirakan karena Kecamatan Tenggarong Seberang relatif lebih dekat ke perkotaan, sehingga modus-modus kejahatan lebih mudah masuk ke wilayah tersebut. Jumlah kejadian kejahatan yang terjadi pada tahun 2000 – 2007 pada Kecamatan Sebulu realtif tidak berubah secara signifikan, hanya berada pada kisaran sembilan hingga
110
sembilan belas kasus. Secara rinci, jumlah kejadian kejahatan tahun 2000-2007 dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Jumlah Kejadian Kejahatan yang Terjadi pada Tahun 2003-2007 Lokasi Kab. Kutai Kartanegara Kec.Tenggarong Seberang Kec. Sebulu
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007*
273 4 15
351 34 15
400 32 10
433 48 13
434 32 9
503 70 13
575 32 19
226 21 17
Sumber : BPS, (2008). *) angka sementara
Konflik sosial dalam kajian ini dikelompokkan berdasarkan banyaknya jumlah kejadian kejahatan yaitu: (0) > 24 kasus = sering, (1) 1 – 23 kasus = jarang, dan (2) 0 kasus = tidak pernah. Kecamatan Tenggarong Seberang masuk dalam kategori sering dan di Kecamatan Sebulu termasuk dalam kategori jarang. Namun jika kedua kecamatan tersebut dirata-ratakan maka masuk dalam kategori sering. Dasar dalam pengelompokkan ini adalah dengan melihat rata-rata kejadian pada masing-masing kecamatan pada periode 2000-2007, yaitu berkisar 24 kasus.