4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi UmumWilayah Penelitian Daerah Maluku dengan ibukota Ambon merupakan salah satu provinsi dari negara kesatuan Republik Indonesia yang
terletak di kawasan timur. Luas
2
wilayah daerah Maluku 581.376 km , terdiri dari luas daratan 54.185 km2 dan lautan 527.191 km2. Maluku merupakan provinsi kepulauan yang terdiri dari sekitar 559 pulau, dimana dari jumlah pulau tersebut ada beberapa pulau yang tergolong besar di antaranya adalah Pulau Seram seluas 18.625 km2, Pulau Buru seluas 9.000 km2, Pulau Yamdena seluas 5.085 km2, dan Pulau Wetar seluas 3.624 km2 (Bappeda Maluku, 2004).
Sisanya adalah pulau-pulau sedang dan
pulau-pulau kecil antara lain, Pulau Ambon, Kepulauan Lease, Kepulauan Banda, Kepulauan Gorom dan Watubela, Pulau Manepa, Pulau Kelang, Pulau Buano dan pulau-pulau kecil lainnya (Lampiran 2). Secara geografis daerah Maluku terletak di antara 20 30’ - 90 LS dan 1340 1360 BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Seram, di sebelah Selatan berbatasan dengan Lautan Indonesia dan Laut Arafura, di sebelah Timur berbatasan dengan Pulau Irian/Provinsi Papua dan di sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Sulawesi/Laut Sulawesi (BPS, Provinsi Maluku 2005). Secara administratif, Provinsi Maluku kini telah terjadi pemekaran menjadi Provinsi Maluku dan Maluku Utara yang tertuang dalam UU No. 46 Tahun 1999 b. Setelah pemekaran provinsi, diikuti kemudian dengan pemekaran beberapa kabupaten/kota
sehingga jumlah kabupaten/kota
telah bertambah dari tiga
menjadi delapan, yaitu: Kabupaten Maluku Tenggara Barat (MTB), Kabupaten Maluku Tenggara (Malra), Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), Kabupaten Buru, Kabupaten Kepulauan Aru, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Kabupaten Seram Bagian Timur (SBT), dan Kota Ambon (Tabel 4). Kondisi daerah Maluku sebagai daerah kepulauan dimana masyarakat tersebar dan bermukim di pulau-pulau, menyebabkan adanya perbedaan karakter sosial budaya antara masyarakat di suatu pulau dengan pulau lainnya. Bahkan
50
semakin jauh jarak fisik antar pulau, maka derajat perbedaan karakter semakin tinggi.
Tabel 4 Nama kabupaten, ibukota serta jumlah kecamatan dan desa di Maluku No
Kabupaten
Ibukota
Jumlah Kecamatan 17
Jumlah Desa 188
1.
Maluku Tenggara Barat (MTB)
Saumlaki
2.
Maluku Tenggara (Malra)
Tual
8
235
3.
Maluku Tengah (Malteng)
Masohi
19
320
4.
Buru
Namlea
5
62
5.
Kepulauan Aru
Aru
3
119
6.
Seram Bagian Barat (SBB)
Piru
4
87
7.
Seram Bagian Timur (SBT)
Bula
4
56
8.
Kota Ambon
Ambon
3
50
63
1117
Total Sumber : Maluku Dalam Angka 2004
Karakter Masyarakat Maluku Tenggara berbeda dengan masyarakat Maluku Tenggara Barat berbeda juga dengan masyarakat di Maluku Tengah (Ambon, Buru, Maluku Tengah, Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur). Perbedaan karakter masyarakat tersebut pada dasarnya menunjukkan bahwa eksistensi masyarakat Maluku bersifat multi kultur - polietnik.
Walaupun demikian, struk-
tur masyarakat di Maluku memiliki unsur-unsur yang relatif sama dalam konteks pola hubungan berdasarkan distribusi kekuasaan di dalam masyarakat terutama dalam sistem pemerintahan desa (Pariela, 2005). Secara spesifik wilayah penelitian meliputi Kota Ambon, Kabupaten Maluku Tengah dan Kabupaten Seram Bagian Barat. Adapun karakteristik umum wilayah penelitian dibawah ini.
51
4.1.1 Kota Ambon Letak geografis Kota Ambon berada pada posisi 30- 40 LS dan 1280- 290 BT. Batas wilayah Kota Ambon adalah sebagai berikut: sebelah Utara dengan petuanan Desa Hitu, Hila, Kaitetu Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah, sebelah Selatan dengan Laut Banda, sebelah Timur dengan petuanan Desa Suli Kecamatan Salahutu Kabupaten Maluku Tengah dan sebelah Barat dengan petuanan desa Hatu, Kecamatan Leihitu Kabupaten Maluku Tengah. Luas wilayah Kota Ambon adalah 377 km2 atau 2/5 dari luas wilayah Pulau Ambon. Luas wilayah daratan adalah 359,45 km2 sedangkan luas wilayah perairan adalah 405,4 km2. Adapun pembagian wilayah secara administratif terlihat pada Tabel 5. Tabel 5 Nama kecamatan, luas, jumlah desa dan kelurahan di Kota Ambon Nama Kecamatan
Luas
1. Teluk Ambon Baguala
158.79 km2
2. Sirimau
112.31 km2
9
10
88.35 km2
16
2
30
17
3. Nusaniwe
Total 359.45 km2 Sumber : Kota Ambon Dalam Angka, 2004
Jumlah Jumlah Desa Kelurahan 5 5
Jumlah penduduk di Kota Ambon dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2004 terus mengalami kenaikan sekitar 5.26%.
Pada Tahun 2004 jumlah
penduduk berjumlah 257.774 orang yang terdiri dari 129.583 laki-laki (50.27 %) dan 128 191 perempuan (49.73 %). Kepadatan penduduk di Kota Ambon sebesar 717 jiwa per km2 dan terkonsentrasi pada Kecamatan Nusaniwe dan Sirimau yang merupakan jantung dari berbagai aktivitas perkantoran baik pemerintah maupun swasta, aktivitas pendidikan dari tingkat Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi, kesehatan, aktivitas pasar dan perekonomian lainnya. Pertumbuhan ekonomi Kota Ambon dapat diketahui dari laju pertumbuhan produk regional domestik bruto (PRDB). Tahun 2003 PRDB Kota Ambon adalah sebesar Rp.1 364 983 260 000,- bila dibandingkan dengan PRDB tahun 2002 maka mengalami peningkatan sebesar 6.88 %. Sektor pertanian yang meliputi
52
tanaman pangan, peternakan dan perikanan merupakan salah satu dari sembilan sektor yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap PRDB Kota Ambon. Oleh karena itu, sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan yang strategis dalam pertumbuhan ekonomi Kota Ambon. Berdasarkan kondisi geografisnya serta kemampuan lahan maka
usaha
pertanian rakyat yang didominasi oleh tanaman palawija dan tanaman hortikultura yang mengalami perkembangan. Produksi tanaman palawija di Kota Ambon tahun 2004 tercatat ubi kayu 4 707.00 ton meningkat sebesar 3.42 %, ubi jalar 439.89 ton meningkat sebesar 18.98 %, jagung 193.3 ton meningkat sebesar 21.89 %, sedangkan kacang tanah 74.75 ton menurun sebesar 1.64 % bila dibandingkan dengan tahun 2003. Produksi tanaman hortikultura di Kota Ambon tahun 2003 adalah buah-buahan 1 636.10 ton naik sebesar 3.72 % dan bumbubumbuan 90.57 % turun 40.75 % sedangkan sayur-sayuran 4 586.25 ton naik 1.92 % dari tahun 2002 (BPS, Kota Ambon 2004). Populasi ternak pada tahun 2004 adalah: ternak besar yaitu sapi sebanyak 622 ekor, ternak kecil yaitu kambing sebanyak 653 ekor dan babi 1 883 ekor, unggas yaitu itik 687 ekor, ayam pedaging 27 609 ekor dan ayam kampung 39 840 ekor. Jumlah populasi ternak yang ada jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan data pemotongan ternak. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah ternak yang dipotong untuk memenuhi kebutuhan masyarakat kebanyakan dari ternak impor. Secara ekologis perairan pesisir Kota Ambon dibagi atas empat wilayah ekologis: (1) Teluk Ambon Bagian Dalam (TABD) dicirikan oleh daerah teluk semi tertutup yang relatif tenang dan digolongkan dalam salah satu bentuk perairan estuari, bermuara beberapa sungai besar dan kecil, serta didominasi oleh komunitas lamun dan bakau yang dipisahkan dengan Teluk Ambon Luar oleh ambang Galala-Poka yang sempit (2) Teluk Ambon Bagian Luar (TAL) dicirikan oleh daerah teluk yang berbentuk corong dan terbuka kearah Barat pulau Ambon denagn kondisi perairan yang relatif dinamis karena masih dipengaruhi oleh masa air laut Banda, didominasi oleh komunitas terumbu karang
53
(3) Teluk Ambon Baguala (TB) dicirikan oleh daerah teluk yang berbentuk corong dan terbuka kearah Timur Pulau Ambon dengan kondisi perairan yang relatif dinamis karena masih dipengaruhi oleh massa air air laut Banda, didominasi oleh komunitas terumbu karang (4) Pesisir Selatan Kota Ambon (PSKA) merupakan daerah terbuka yang sangat dinamis karena dipengaruhi langsung oleh massa air Laut Banda, dengan tipe pantai berbatu yang didominasi oleh komunitas algae (Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Maluku, 2004)
Berdasarkan aspek ekologis tersebut maka jenis komoditi perikanan Kota Ambon dibagi dalam tujuh golongan besar dengan potensi dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Adapun potensi sumberdaya perikanan di perairan Kota Ambon adalah sebesar 474 500 ton per tahun. Sedangkan jumlah tangkapan yang diperbolehkan adalah sebesar 379 600 ton per tahun. Pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah sebesar 10 249.6 ton dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan. Hal ini berarti bahwa peluang pengembangan perikanan masih 97.3 %.(Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2005) Adapun jumlah rumah tangga perikanan (RTP) di Kota Ambon pada tahun 2004 adalah sebanyak 3 359 RT dan bila dibandingkan dengan tahun 2003 maka terjadi kenaikan sebesar 1.45 %. Pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kota Ambon setiap tahun menunjukkan adanya peningkatan seperti terlihat pada perkembangan jumlah alat tangkap dan kapal perikanan dari tahun 2002-2004 (Tabel 6). Tabel 6 menggambarkan bahwa sebagian besar nelayan menggunakan jenis alat tangkap yang didominasi oleh hand line sebanyak 1 968 unit, jaring insang sebanyak 491 dan jaring angkat sebanyak 303 unit dimana untuk ketiga jenit alat tangkap ini memiliki jumlah yang sama di tahun 2003. Sedangkan jenis atau ukuran armada perikanan tangkap didominasi oleh perahu tanpa motor terutama perahu jukung dan perahu kecil. Jumlah perahu jukung adalah sebanyak 1 286 yang mana setiap tahun mengalami peningkatan bila dibandingkan dengan tahun 2003 yaitu sebesar
142.2 % begitu pula dengan perahu kecil mengalami
peningkatan sebesar 175.3 %. Untuk semua jenis perahu tanpa motor dan motor
54
tempel dari tahun ke tahun mengalami peningkatan lain halnya dengan perahu kapal motor untuk ukuran 1-10 GT mengalami penurunan sekitar 37,2% sedangkan untuk ukuran 20-30 GT dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2004 tidak mengalami perkembangan dimana berjumlah 16 kapal. Hal ini merupakan suatu kenyataan bahwa produktivitas nelayan di Kota Ambon masih tergolong rendah. Namun secara perlahan ada peningkatan dalam usaha perikanan yang dapat dilihat pada peningkatan armada tangkap.
Tabel 6 Perkembangan jenis alat tangkap dan armada tangkap di Kota Ambon tahun 2002-2004 Jenis Alat Tangkap Pukat Pantai Pukat Cincin Jaring Insang Jaring Angkat Hand Line Lainnya(Bubu,panah,rawai,jala, tanggu dan rumpon)
Jumlah / Tahun (Unit) 2002 2003 2004 5 4 4 20 36 36 303 303 303 9 491 491 501 1968 1968 226 291 315
Jenis /Ukuran Armada Perahu Tanpa Motor - Perahu Jukung 200 531 1286 - Perahu Kecil 72 182 501 - Perahu Sedang 25 36 227 - Perahu Besar 16 16 52 Motor tempel 95 234 284 Kapal Motor - 1-10 GT 192 452 284 - 11-19 GT - 20-30 GT 16 16 16 Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2004
Adapun volume pemasaran ikan segar melalui tempat pelelangan di Kota Ambon pada tahun 2004 di dominasi oleh jenis ikan layang (Decapterus spp) sebanyak 1 124.58 ton kemudian ikan tongkol (Scrombidae) sebanyak 346.05 ton dan ikan ikan cakalang (skipjack) sebanyak 316.43 ton. Nilai produksi ikan segar melalui tempat pelelangan ikan di Kota Ambon pada tahun 2004 adalah di dominasi oleh ikan cakalang yaitu sebesar Rp. 1 582 150 000.- dimana menga-
55
lami peningkatan sebesar 143.97 % dari tahun 2003 kemudian diikuti dengan ikan layang sebesar Rp.1 237 038 000.- yang mengalami peningkatan sebesar 77.14 % dari tahun 2003 (Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2004). Perkembangan produksi perikanan menurut jenis ikan pada ketiga kecamatan di Kota Ambon menunjukkan bahwa produksi ikan terbesar adalah di Kecamatan Nusaniwe sebesar 5 215.50 ton dimana mengalami peningkatan sebesar 3.51% dari tahun 2003. Jenis ikan yang diproduksi didominasi oleh ikan cakalang sebanyak 1 582.17 ton dan ikan layang 1 124.58 ton. Begitu pula pada nilai produksi yang terbesar ada di Kecamatan Nusaniwe sebesar Rp. 17 706 969 000 menurun 7.36% dibandingkan nilai tahun 2003. Nilai produksi terbesar adalah pada jenis ikan cakalang sebesar Rp. 7 910 850 ton dan ikan tuna yaitu sebesar Rp. 4 037 810 000.- (Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2004). Produk pengolahan perikanan di Kota Ambon adalah ikan asap dan ikan beku. Jenis ikan yang paling banyak digunakan untuk pengasapan ikan adalah cakalang dan tongkol, ikan beku terbanyak adalah udang, cakalang dan tuna. Berdasarkan gambaran umum perkembangan alat tangkap yang digunakan masyarakat nelayan dengan potensi sumberdaya perikanan di Kota Ambon di atas, maka masih perlu diadakan upaya-upaya pengembangan pembangunan perikanan yang optimal sehingga dapat menjawab tujuan pengembangan perikanan antara lain yaitu meningkatkan produksi, meningkatkan ekspor, meningkatkan pendapatan nelayan, meningkatkan konsumsi ikan, meningkatan pendapatan daerah Kota Ambon, serta memperluas lapangan kerja bagi masyarakat. Pemanfaatan sumberdaya perikanan sangat perlu ditunjang dengan sarana dan prasarana perikanan yang tersedia seperti pelabuhan perikanan dan cold storage.
Sarana pelabuhan di Kota Ambon sebanyak enam pelabuhan yaitu
terdiri dari PPN, PPI, PT Usaha Mina, PT Nusantara Fishery, PT Maprodin dan PT Segara Mulia Sejahtera. Kepemilikkan sarana pelabuhan di dominasi oleh pihak swasta. Sedangkan jumlah cold storage di Kota Ambon adalah sebanyak lima unit yaitu, PT Usaha Mina, Fa Sanu, PT Nusantara, PT Morela, PT Segara Mulia Sejahtera dimana kepemilikannya juga oleh pihak swasta dan jumlahnya masih sangat relatif sedikit.
56
Produksi perikanan laut di Kota Ambon tahun 2004 terbanyak adalah jenis cakalang sebanyak 3 164.33 ton dimana mengalami peningkatan sebesar 70.75 % dari tahun 2003, kemudian layang sebanyak 2 249.16 ton yang mengalami peningkatan sebesar 70.73 % dari tahun 2003, diikuti tongkol sebanyak 1 790.24 ton lebih meningkat sebesar 76.65 % dari tahun 2003 dan tuna sebanyak 1 153.66 ton dimana mengalami peningkatan sebesar 297.89 % dari tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa potensi sumberdaya perikanan di Kota Ambon cukup tinggi. Adapun potensi dan jumlah produksi di perairan Kota Ambon terlihat pada Tabel 7. Tabel 7 Potensi dan jumlah tangkapan sumberdaya perikanan di Kota Ambon tahun 2004 Jenis
Potensi Potensi JTB Produksi (Ton/Tahun) (Ton/Tahun) (Ton) Pelagis Besar 104 100 83 300 6 108 Pelagis Kecil 132 000 105 600 3 665.9 Demersal 9 300 7 400 11.1 Udang 400 300 0.4 Cumi-Cumi 100 100 6.8 Ikan Karang 2 500 2 000 457.2 Ikan 226 100 180 900 0.2 Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Ambon, 2004
Persentasi (%) 0.073 0.035 0.0015 0.0013 0.068 0.0228 0.0000011
4.1.2 Kabupaten Maluku Tengah Secara geografis batas wilayah Kabupaten Maluku Tengah adalah sebelah Utara dengan Laut Seram, sebelah selatan dengan Laut Banda, sebelah Barat dengan Kabupaten Seram Bagian Barat dan sebelah Timur dengan Kabupaten Seram Bagian Timur. Luas wilayah
Kabupaten Maluku Tengah seluruhnya
kurang lebih 275 907 km2 yang terdiri dari luas laut 264 311.43 km2 dan luas daratan 11 595.57 km2.
Kabupaten Maluku Tengah merupakan suatu wilayah
kepulauan dimana pulau-pulau yang tersebar adalah Pulau Haruku, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Kepulauan Banda, Pulau Seram dan pulau-pulau-pulau kecil serta sebagian Pulau Ambon. Secara administratif pembagian wilayah Kabupaten Maluku Tengah, sebagaimana terlihat pada Tabel 8.
57
Jumlah penduduk Kabupaten Maluku Tengah tahun 2004 tercatat sebesar 349 974 jiwa yang terdiri dari laki-laki 173 923 (50.56 %) dan perempuan 170 051 (49.44 %). Kepadatan penduduk tiap km2 adalah sebanyak 30 jiwa dan ratarata tiap rumah tangga di Kabupaten Maluku Tengah adalah 5 orang. Hal ini menunjukkan bahwa penyebaran penduduk tidak merata di wilayah ini baik dari kepadatan dan rata-rata penduduk per rumah tangga (BPS Maluku Tengah, 2004). Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Maluku Tengah dapat diketahui dari laju pertumbuhan produk regional domestik bruto (PRDB). Sektor pertanian yang meliputi
tanaman pangan, peternakan dan perikanan merupakan sektor terbesar
dari sembilan sektor yang memberikan kontribusi terhadap PRDB Kabupaten Maluku Tengah. Tahun 2003 PRDB Kabupaten Maluku Tengah adalah sebesar Rp.979 223 330,- bila dibandingkan dengan tahun 2002 maka mengalami peningkatan sebesar 5.57 %. Oleh karena itu sektor pertanian merupakan sektor yang memiliki peranan yang strategis dalam pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Maluku Tengah. Sebagian besar penduduk di Kabupaten Maluku Tengah bekerja di sektor pertanian sekitar 59.64 % sektor kedua terbesar dalam menyerap tenaga kerja (BPS Maluku Tengah, 2004). Tabel 8 Nama kecamatan, luas, nama ibukota serta jumlah desa dan kelurahan di Kabupaten Maluku Tengah Nama Kecamatan 1. Banda 2. Tehoru 3. Amahai 4. Masohi 5. Teon Nila Serua 6. Saparua 7. Nusalaut 8. Pulau Haruku 9. Salahutu 10. Leihitu 11. Seram Utara
Luas 172.00 km2 534.22 km2 1 739.07 km2 37.30 km2 24.28 km2 176.50 km2 32.50 km2 150.00 km2 151.82 km2 232.10 km2 8 345.78 km2
Nama Ibukota Banda Naira Tehoru Amahai Masohi Waipia Saparua Ameth Pelauw Tulehu Hila Wahai
Total 11 595.57 km2 Sumber : Maluku Tengah Dalam Angka, 2004
Jumlah Desa 10 20 18 18 17 7 11 6 16 38 161
Jumlah Kelurahan
1 5
6
58
Rata-rata produksi komoditi tanaman pangan yang paling besar di Maluku Tengah adalah ubi kayu, ubi jalar, padi sawah dan jagung. Produksi ubi kayu terbesar adalah di Kecamatan Saparua dan Kecamatan Haruku sedangkan produksi ubi jalar dominan di Kecamatan Teon Nila Serua dan Amahai sedangkan produksi padi sawah maupun padi ladang terpusat di Kecamatan Seram Utara. Komoditi tanaman perkebunan yang ada di Kabupaten Maluku Tengah adalah kelapa, cengkeh, pala, coklat dan jambu mente. Pada tahun 2004, tanaman cengkeh masih mendominasi dibandingkan dengan komoditi lainnya yang diikuti dengan komoditi kelapa, coklat dan pala.
Sedangan dari luas dan produksi
komoditi di dominasi oleh kelapa, cengkeh dan coklat (BPS, Maluku Tengah 2004). Produksi ternak yang paling banyak di Kabupaten Maluku Tengah adalah unggas, babi, kambing dan sapi. Sedangkan jenis ternak yang dipotong adalah unggas yang mecakup ayam buras. itik dan babi. Pada tahun 2004, produksi hasil ternak dan unggas adalah telur ayam kampung yang memiliki nilai produksi cukup tinggi (BPS, Maluku Tengah 2004). Dilihat dari geografisnya wilayah Kabupaten Maluku Tengah yang dikelilingi oleh lautan dan memiliki banyak pulau-pulau kecil maka tentunya memiliki perairan yang sangat potensial bagi sektor perikanan. Jumlah RTP di tahun 2004 adalah 9 097 dan kebanyakan di Kecamatan Leihitu sebanyak 2.568 RTP tangkap, Kecamatan Pulau Haruku sebanyak 1 538 RTP dan Kecamatan Saparua sebanyak 1 495. Jumlah nelayan tangkap pada tahun 2004 adalah sebanyak 15 523 dan kebanyakan berada di Kecamatan Leihitu Pulau Ambon. Adapun kelompok usaha perikanan pada tahun 2004 yang terbanyak adalah kelompok penangkapan yaitu sebanyak 1 058. Dibandingkan dengan usaha perikanan lainnya maka usaha perikanan tangkap lebih dominan tapi bersifat tradisional. Hal ini dapat dilihat pada armada penangkapan yang terbanyak digunakan adalah perahu tanpa motor terutama jukung sebanyak 5 483 unit yang terdapat di Kecamatan Leihitu. Perahu tanpa motor berkuran kecil banyak terdapat di Kecamatan Pulau Haruku yaitu sebanyak 550 unit. Perahu tanpa motor berukuran sedang banyak terdapat di Kecamatan Leihitu yaitu sebanyak 626 unit. Penggunaan motor tempel oleh nelayan banyak terdapat di Kecamatan Leihitu yaitu sebanyak 277 unit begitupun
59
juga dengan katinting sebanyak 462 unit. Perahu kapal motor dengan ukuran 1 10 GT kebanyakan terdapat di Kecamatan Banda yaitu sebanyak 142 unit, untuk ukuran 11 - 19 GT kebanyakan terdapat di Kecamatan Saparua yaitu sebanyak 6 unit dan ukuran 20 - 30 GT kebanyakan terdapat di Kecamatan Salahutu yaitu sebanyak 9 unit begitu juga ukuran 35 - 50 GT yaitu sebanyak 3 unit. Jenis alat perikanan yang paling banyak digunakan adalah pancing tonda sebanyak 3 841 unit, pancing ulur sebanyak 3 067 unit, pancing tegak sebesar 2 419 unit dan kebanyakan terdapat di Kecamatan Leihitu sedangkan jaring insang hanyut sebanyak 1 106 unit kebanyakan terdapat di Kecamatan Saparua yaitu sebanyak 423 unit (Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tengah, 2004) Produksi hasil perikanan didominasi oleh perikanan laut sebesar 37 729.9 ton dan terdapat di Kecamatan Leihitu sebesar 9 679.0 ton demikian pula dengan nilai produksi perikanan di dominasi oleh perikanan laut sebesar Rp.72 092.575.dan terdapat di Kecamatan Leihitu sebesar Rp. 24 746 825 000.- (Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tengah, 2004). Adapun produksi perikanan berdasarkan jenis ikan di Kabupaten Maluku Tengah tahun 2004 adalah di dominasi, ikan layang sebesar 5 011.8 ton, tembang/make sebesar 4 176.0 ton, cakalang sebesar 3 244.1 ton, selar/kawalinya sebesar 3.060 ton, lencam/sikuda sebesar 2 696.2 ton, tongkol sebesar 2 504.7 ton, teri sebesar 2 093.7 ton, tuna sebesar 2 081.1 ton, kembung/lema sebesar 1 277.0 ton dan kemudian diikuti dengan ikan lainnya. Nilai produksi perikanan laut yang terbesar adalah dari jenis ikan layang sebesar Rp 10 023 800 000.- cakalang sebesar Rp. 9 732 300 000.- dan jenis ikan lainnya sebesar Rp. 9 305 400 000.- lencam/sikuda sebesar Rp. 8 088 600 000.Sebagian besar produk perikanan dikonsumsi oleh masyarakat sebesar 78.61 % sedangkan jenis ikan yang paling banyak dieksport adalah jenis ikan layang, cakalang dan tuna (BPS Maluku Tengah, 2004). Produksi ikan laut hasil olahan di Kabupaten Maluku Tengah terbanyak adalah olahan kering yang didominasi oleh cakalang sebanyak 152.5 ton dan nilai produksinya sebesar Rp.762 500 000.- sedangkan olahan asap atau yang dikenal dengan ikan asar adalah dari cakalang sebanyak 95.7 ton dan nilai produksi sebesar Rp. 287 100 000.- Jenis ikan yang diekspor adalah layang dan cakalang
60
sedangkan antar pulau adalah tongkol dan cakalang (Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tengah, 2004). Pendapatan rata-rata nelayan per kapita per tahun adalah Rp. 3 723 643.5 dimana yang terbanyak adalah di Kota Masohi. Sedangkan rata-rata pendapatan nelayan per bulan adalah Rp. 310 303.6 dan per harinya adalah Rp. 10 343.40.(Dinas Perikanan dan Kelautan Maluku Tengah, 2004). Pendapatan nelayan per bulan di Kabupaten Maluku Tengah tergolong masih sangat rendah bila di bandingkan dengan upah minimum provinsi (UMP)
untuk sektor-sub sektor
sesuai SK Gubernur No. 138 Tahun 2004, dimana untuk sektor perikanan per bulan adalah sebesar Rp. 530 000 apabila dirinci lebih maka untuk penangkapan biota laut adalah sebesar Rp. 635 000 per bulan sedangkan untuk budidaya biota laut adalah sebesar Rp. 560 000 per bulannya. Untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk peningkatan pendapatan nelayan di Kabupaten Maluku Tengah.
4.1.3 Kabupaten Seram Bagian Barat Kabupaten Seram Bagian Barat merupakan salah satu daerah pemekaran di wilayah Provinsi Maluku berdasarkan UU No. 40 Tahun 2003. Sebagai kabupaten baru maka dilakukan berbagai upaya dalam perencanaan pembangunan dalam berbagai sektor. Oleh karena itu salah satu kendala adalah sulitnya memperoleh informasi dan data statistik tentang Kabupaten Seram Bagian Barat. Secara geografis letak Kabupaten Seram Bagian Barat sebagai berikut: sebelah Utara dengan Laut Seram, sebelah Selatan dengan Laut Banda, sebelah Barat dengan Laut Buru dan sebelah Timur dengan Kabupaten Maluku Tengah. Luas Kabupaten Seram Bagian Barat adalah 53 148 km2 yang terdiri dari luas daratan 4 090 km2 (7.69%) dan luas lautan adalah 49 058 km2 (92.31%). Secara adminstratif pembagian wilayah Kabupaten Seram Bagian Barat, terlihat pada Tabel 9.
61
Tabel 9 Nama kecamatan, luas, serta jumlah desa dan dusun di Kabupaten Seram Bagian Barat Nama Kecamatan 1. Seram Barat 2. Kairatu 3. Taniwel 4. Huamual Belakang
Luas 702 km2 1 439 km2 1 496 km2 453 km2
Total 4.090 km2 Sumber : Bapeda Seram Barat, 2005
Jumlah Desa 12 29 34 14 89
Jumlah Dusun 38 59 2 31 130
Jumlah penduduk Kabupaten Seram Bagian Barat tahun 2004 adalah 148.988 jiwa yang terdiri dari laki-laki 75 115 (50.42%) dan perempuan 73 873 (49.58%). Pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Seram Bagian Barat sampai dengan bulan Juli 2005 tercatat sebesar 3.19% dan PRDB adalah 358 848 atas harga konstan dan 1 171 691.450 atas harga berlaku (1.73%) (Bappeda Seram Barat, 2005). Berdasarkan letak geografisnya yang dikelilingi oleh laut maka lautan memegang peranan yang penting dalam pembangunan di Kabupaten Seram Bagian Barat. Adapun potensi unggulan dari sektor perikanan adalah dari jenis pelagis besar, pelagis kecil, ikan hias, mollusca, crustacea, demersal dan udang. Sedangkan perikanan budidaya adalah kerapu, lobster, rumput laut, teripang, mutiara dan kerang-kerangan. RTP Kabupaten Seram Bagian Barat pada tahun 2004 berjumlah 7 284 RTP tangkap dimana mengalami peningkatan sebesar 17.03% dari tahun 2003 dan berada di Kecamatan Seram Bagian Barat, diikuti oleh RTP kolam berjumlah 87 terdapat di Kecamatan Kairatu, dan RTP budidaya berjumlah 205 terdapat di Kecamatan Waesala dimana mengalami peningkatan sebesar 89.8% dari tahun 2003. Dengan demikian maka jumlah nelayan di dominasi oleh nelayan tangkap adalah 10 834 mengalami peningkatan sebesar 10.57% dari tahun 2003. Peningkatan jumlah nelayan yang cukup berarti adalah nelayan budidaya dimana pada tahun 2004 berjumlah 510 mengalami peningkatan sebesar 235.53 % dari tahun 2003.
Kelompok usaha perikanan didominasi oleh kelompok usaha
62
perikanan tangkap sebanyak 118 terdapat di Kecamatan Waesala sedangkan jumlah anggota kelompok nelayan yang terbanyak adalah di Kecamatan Seram Barat berjumlah 1 120 nelayan (Dinas Perikanan dan Kelautan SBB, 2005). Armada penangkapan yang digunakan untuk melakukan usaha perikanan adalah didominasi oleh perahu tanpa motor dibandingkan dengan motor tempel dan perahu kapal motor. Untuk jenis perahu tanpa motor didominasi oleh jukung dimana pada tahun 2004 berjumlah 4 877 unit, mengalami peningkatan sebesar 2.07 % dari tahun 2003. Untuk jenis motor tempel didominasi oleh katinting dimana di tahun 2004 berjumlah 1 551 unit, mengalami peningkatan sebesar 3.74 % dari tahun 2003. Untuk perahu kapal motor didominasi oleh kapal motor berukuran 1 -10 GT dimana pada tahun 2004 berjumlah 90 yang sama dengan tahun 2003 sedangkan untuk kapal motor ukuran 11 - 19 GT adalah 7 unit dan mengalami penurunan menjadi 5 unit pada tahun 2004. Jenis alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Seram Bagian Barat adalah didominasi oleh pancing ulur berjumlah 3 729 unit, pancing tegak sebanyak 3 171 unit, bubu sebanyak 1 471 unit dan garpu,tombak dan lainnya berjumlah 1 336 unit. Rata-rata alat tangkap ini mengalami peningkatan dari tahun 2003 namun yang paling menonjol adalah pancing ulur sebanyak 3,41 % (Dinas Perikanan dan Kelautan SBB,2005). Dari armada dan jenis alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat nelayan di Kabupaten Seram Bagian Barat maka terlihat bahwa usaha perikanan yang dilakukan masih bersifat tradisional. Untuk itu perlu ada upaya untuk pengembangan usaha perikanan tangkap yang disertai dengan pembinaan kepada masyarakat nelayan supaya dapat mengadopsi teknologi perikanan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup nelayan . Produksi perikanan di Kabupaten Seram Bagian Barat pada tahun 2004 didominasi oleh perikanan laut yaitu sebesar 10 753.6 ton dimana bila dibandingkan dengan produksi di tahun 2003 mengalami peningkatan sebesar 27.53%. Jenis komoditi perikanan laut yang diproduksi pada tahun 2004 adalah dari jenis pelagis kecil sebesar 7 765.5 ton, demersal sebesar 1 818.9 ton dan pelagis besar sebesar 1 040.3 ton. Jenis pelagis kecil yang diproduksi adalah ikan terbang/make (Sardinela sp) sebesar 1 875.0 ton kemudian layang (Decapterus ruselli) sebesar 1 642.0 ton. Untuk jenis demersal adalah dari lencam/sikuda (Lethrinus lentjam)
63
sebesar 550.6 ton dan kerapu (Epinephelus sp) sebesar 260.5 ton. Untuk pelagis besar yaitu cakalang (Katsuwonus pelamis) sebesar 520.6 ton dan tuna (Thunnus albacore) sebesar 325.5 ton. Adapun nilai produksi yang tertinggi dari jenis-jenis ikan di atas adalah layang (Decapterus ruselli) pada tahun 2004 bernilai Rp. 3 284 000 000.- (Dinas Perikanan dan Kelautan SBB, 2005). Jenis komoditi ikan yang diekspor adalah cakalang, tuna dan kerapu hidup sedangkan komoditi yang dijual antar pulau adalah jenis ikan layang sebanyak 400.5 kg senilai Rp.1 201 500 000,- dan cakalang sebanyak 3 200 kg senilai Rp.960 000 000.- (Dinas Perikanan dan Kelautan SBB, 2005). Pemanfaatan produksi perikanan yang dikonsumsi oleh masyarakat di Kabupaten Seram Bagian Barat adalah berasal dari produksi perikanan laut sebesar 8 738.1 dimana mengalami peningkatan sebesar 2.04% dari tahun 2003. Rata-rata pendapatan per kapita nelayan per tahun di Kabupaten Seram Bagian Barat di tahun 2004 adalah sebesar Rp. 1 013 901.- sedangkan pendapatan per bulannya adalah Rp. 84.492.- kemudian per hari adalah sebesar Rp. 2 816,Dengan demikian maka pendapatan nelayan per bulan di Kabupaten Seram Bagian Barat tergolong masih sangat rendah bila dibandingkan dengan upah minimum provinsi (UMP) untuk sektor-sub sektor sesuai SK Gubernur No. 138 Tahun 2004, dimana untuk sektor perikanan per bulan adalah sebesar Rp. 530 000 apabila dirinci lebih maka untuk penangkapan biota laut adalah sebesar Rp. 635 000 per bulan sedangkan untuk budidaya biota laut adalah sebesar Rp. 560 000 per bulannya. Untuk itu diperlukan upaya untuk peningkatan pendapatan nelayan antara lain pengembangan armada dan jenis alat tangkap
dan pem-
bangunan sarana dan prasarana perikanan tangkap lainnya. Selain sektor perikanan sebagai sektor andalan maka sektor pertanian juga memegang peranan yang sangat strategis untuk pembangunan mengingat Kabupaten Seram Bagian Barat mempunyai tipologi lahan dataran tinggi, dataran sedang (100 - 400 m di atas permukaan laut) dan dataran rendah sehingga hampir semua komoditi pertanian dapat dikembangkan. Potensi unggulan perkebunan adalah vanili, cengkeh, kopi, kakao,kelapa dan jambu mete. Potensi unggulan dari pertanian tanaman pangan adalah padi sawah, jagung dan tanaman hortikultura seperti sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman hias. Di bidang
64
peternakan potensi unggulan yang dikembangkan adalah sapi, kambing, ayan dan babi. Di bidang kehutanan potensi unggulan yang dikembangkan adalah minyak kayu putih, minyak lawang, aren, sagu, kayu manis dan gaharu. Potensi hasil lautan dan hasil hutan yang melimpah ruah masih belum dapat dimanfaatkan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah karena terbatasnya sarana dan prasarana dan juga karena terbatasnya sumberdaya manusia yang berkualitas dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia. Sekitar 59.54% masyarakat di Kabupaten Seram Bagian Barat dikategorikan sebagai penduduk miskin dan karena itu penyakit gisi buruk dan busung lapar juga melanda daerah ini. Salah satu penyakit yang bersifat endemik adalah penyakit malaria. Sarana dan prasarana kesehatan juga belum memadai dimana belum ada memiliki rumah sakit umum dimana selama ini pelayanan kesehatan masyarakat dilayani oleh 12 puskesmas dan 47 puskesmas pembantu (Bappeda Seram Barat, 2005). Ada berbagai permasalahan yang dihadapi dalam melaksanakan pembangunan antara lain adalah masih banyak daerah yang terisolir karena belum ada akses jalan. Ketersediaan sarana dan prasarana masih sangat terbatas. Transportasi yang sulit terutama daerah pegunungan dan pulau-pulau. Sarana komunikasi telepon dan radio antar kecamatan dengan ibukota kecamatan masih sangat terbatas dalam jumlah maupun kapasitasnya. Sarana listrik sangat terbatas dalam waktu pelayanannya.
Terbatasnya ruang perkantoran untuk pe-
nyelenggaraan pemerintah guna pelayanan publik. Oleh karena itu sebagai kabupaten baru sedang diupayakan membangun infrastruktur ekonomi seperti pasar dan infrastruktur pelayanan publik lainnya yang dapat menunjang kegiatan pembangunan(Bappeda Seram Bagian Barat, 2005).
4.2 Perubahan Sistem Pemerintahan Desa Hasil analisis deskriptif terhadap perubahan sistem pemerintahan desa di Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah diperlihatkan pada Tabel 10.
65
Tabel 10 Sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Variabel
Rezim Sentralisasi Desa
Rezim Otonomi Daerah Negeri
Kepala Raja Pemerintahan
Kepala Desa
Raja
Cara Pemilihan Kepala pemerintahan
Tertutup (Berdasarkan garis keturunan)
Terbuka
Tertutup (Berdasarkan garis keturunan )
Kewenangan kepala pemerintahn
Kepala Pemerintahan dan kepala adat
Kepala Pemerintahan
Kepala Pemerintahan dan kepala adat
Struktur Raja Organisasi Kepala Soa Pemerintahan Saniri Negeri
Kepala Desa Lembaga Musyawarah Desa Sekretaris Bendahara
Raja Sekretaris Bendahara Kepala Soa
Lembaga Eksekutif
Raja dan Kepala Soa
Kepala Desa
Raja
Lembaga Legislatif
Saniri Negeri Lengkap : Tua Adat Tokoh Agama dan Masyarakat Kewang Kapitang Marinyo Tuan Tanah dan Tuan Negeri
Lembaga Musyawarah Desa : Pemuka Masyarakat, Kalangan Adat Tokoh Agama Orsospol, Gol.Profesi
Saniri Negeri : Tua Adat Tokoh Agama dan Masyarakat Kewang Kapitang Marinyo Tuan Tanah dan Tuan Negeri
Lembaga Yudikatif
Saniri Negeri Besar
Lembaga Musyawarah Desa
Saniri Negeri Besar
Pelaksana Pengelolaan Perikanan
Raja dan Kewang
Sistem pemerintahan
Rezim Adat Negeri
-
Raja dan Kewang
66
Secara detail, perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah dapat dijelaskan sebagai berikut: Sistem pemerintahan desa pada rezim adat Sistem pemerintahan desa di Maluku pada rezim adat dikenal dengan “Pemerentah Negeri” dan umumnya berlaku di Pulau Ambon, dan Kabupaten Maluku Tengah yang dulu; dimana Kabupaten Seram Bagian Barat
masih
termasuk di dalamnya. Pemerintah negeri adalah merupakan basis masyarakat adat dan memiliki batas-batas wilayah darat dan laut yang jelas yang disebut “petuanan negeri”, dan sistem pemerintahan yang bersifat geneologis atau berdasarkan garis keturunan. Apabila dihitung periode sistem pemerintahan desa pada rezim adat di Indonesia yang dimulai sejak pemberlakuan UUD 1945 sampai pemberlakuan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa maka telah berlangsung sekitar di atas 30 tahun. Pada rezim adat, setiap negeri memiliki stuktur organisasi pemerintahan negeri. Susunan pemerintahan negeri adalah warisan dari pemerintahan Belanda dimana sistem hukum adat ini ditetapkan dalam keputusan landraad Amboina No.14/1919; disebutkan bahwa pemerintah negeri adalah ‘regent en de kepala soa’s. Selanjutnya di dalam keputusan landraad Amboina No.30/1919 disebutkan bahwa ‘negorij bestuur’ adalah regent en de Kepala-Kepala Soa, yang berarti bahwa pelaksanaan pemerintahan negeri di laksanakan oleh Raja dan KepalaKepala Soa (Siwalette,2005). Adapun salah satu struktur organisasi pemerintah negeri dari Negeri Ameth di Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah, dapat dilihat pada Gambar 4. Pada gambar tersebut terlihat terlihat bahwa Raja dan kepala Soa merupakan pelaksana pemerintahan negeri. Ini yang dikenal dengan sebutan Badan Saniri Rajapatti yang terdiri dari Raja dan Kepala Soa. Badan ini merupakan badan eksekutif dibawah pimpinan Raja. Raja, adalah pemegang pemerintah negeri yang bertindak juga sebagai kepala adat dalam memimpin acara-acara adat. Raja berkewajiban untuk memelihara hukum dan adat, kesatuan dan ketentraman negeri, melaksanakan administrasi negeri seperti perkawinan, pembagian warisan, dan lain-lain. Dalam melaksanakan tugasnya ini maka Raja dibantu oleh juru tulis yang bertugas sebagai pembantu Raja dalam
67
melaksanakan administrasi negeri dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Juru Tulis berfungsi dalam melaksanakan surat-menyurat, kearsipan dan laporan. SANIRI BESAR
SANIRI RAJAPATI
RAJA
ANGGOTA MASYARAKAT (ANAK NEGERI)
SANIRI NEGERI
ANGGOTA SANIRI
KEPALA SOA
SANIRI NEGERI LENGKAP
Gambar 4 Struktur organisasi pemerintahan Negeri Ameth, Kabupaten Maluku Tengah Keterangan :
= Terdiri dari
Kepala Soa, diangkat oleh anak-anak Soa yang bertugas membantu Raja dalam melaksanakan pemerintahan negeri apabila Raja tidak ditempat.
Kepala
Soa diberi kewenangan untuk menggantikan Raja dalam melaksanakan tugas pemerintahan negeri
di dalam melayani
kebutuhan-kebutuhan masyarakat.
Sebagai pemimpin dari suatu bagian di dalam negeri yang terdiri dari beberapa marga maka Kepala Soa juga berfungsi untuk menampung dan menyalurkan aspirasi serta pendapat masyarakat yang ada dalam wilayah kekuasaan “Soa”nya. Kepala soa juga berperan sebagai kepala adat yang melaksanakan tugas dari Raja untuk melangsungkan acara kawin adat khususnya dalam menerima harta kawin yang diberikan dari mempelai pria kepada pemerintah negeri.
68
Di samping Saniri Rajapati ada Saniri Negeri yang merupakan kumpulan wakil-wakil Soa yaitu suatu kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa marga atau “matarumah”(adat) yang memilih dan mengangkat salah satu anggotanya sebagai wakil pada Saniri Negeri dan 1 orang sebagai Kepala Soa. Di dalam pelaksanaan pemerintahan negeri, maka dikenal ada badan legislatif yang dikenal dengan sebutan Saniri Negeri Lengkap. Saniri Negeri Lengkap terdiri dari: anggota Saniri, para tua-tua adat dan tokoh-tokoh masyarakat
yang
berpengaruh
seperti
guru,
pegawai,
tokoh
agama
(pendeta/imam), Kewang; penjaga keamanan desa dan pengawas hutan dan laut, Kapitan; pemimpin perang;
Marinyo; orang yang bertanggung jawab untuk
mengkomunikasikan keputusan pemerintah (Raja) kepada staf pemerintah negeri maupun kepada masyarakat; Tuan Negeri sebagai pemimpin pelaksana adat dalam negeri, dan Tuan Tanah. Tugas Saniri Negeri Lengkap adalah menentukan kebijaksanaan dan mengeluarkan peraturan-peraturan bersama dengan Saniri Rajapatti. Saniri Rajapatti dalam melaksanakan sesuatu hal yang penting di negeri akan berkonsultasi terlebih dahulu dengan Saniri Negeri Lengkap untuk meminta persetujuannya. Pimpinan Saniri Negeri Lengkap ini adalah Raja, namun selain bertugas sebagai badan legislatif maka
Saniri Negeri Lengkap juga
bertugas untuk memilih Raja menurut tatacara yang berlaku. Ada badan musyawarah negeri yang di kenal dengan sebutan Saniri Negeri Besar yang berperan sebagai
badan yudikatif. Saniri Negeri Besar bertugas
menyelenggarakan rapat lengkap yang bersifat terbuka antara Saniri Rajapatti dan Saniri Negeri Lengkap dan semua warga masyarakat pria
dewasa yang
berumur 18 tahun ke atas. Rapat ini dilaksanakan 1 tahun sekali biasanya di awal tahun atau pada akhir tahun dan berlangsung di rumah adat yang di sebut Baeleo dan dipimpin oleh Raja. Bila melihat kedudukan struktur organisasi pemerintahan negeri pada Gambar 4, maka Raja adalah merupakan orang yang pertama dan sangat memegang penting di dalam sistem pemeritahan negeri. Raja memiliki kapasitas dan fungsi sebagai pimpinan badan eksekutif, legislatif dan yudikatif. Akan tetapi dengan kapasitas dan fungsi tersebut Raja tidak memiliki kekuasaan mutlak dalam
69
menjalankan
tugasnya
dan
dalam pengambilan
keputusan,
Raja
harus
mempertimbangkan pendapat dari badan Saniri Negeri. Lembaga-lembaga adat yang terdapat dalam struktur Pemerintahan Negeri adat ini memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap kelangsungan pembangunan masyarakat. Lembaga-lembaga adat ini sangat dihormati, dipatuhi dan dihargai oleh masyarakat terhadap berbagai hal seperti dalam pengambilan keputusan, penyelesaian sengketa batas tanah dan petuanan, pelantikan Raja, serta pelaksanaan upacara-upacara adat (Anonimous, 2001) . Dalam pelaksanaan pembangunan desa pada rezim adat di Maluku maka ada beberapa pranata yang mengatur tentang pengelolaan
sumberdaya alam,
menjaga ketertiban sosial serta tradisi tolong menolong dalam masyarakat yang dikenal dengan sebutan sasi, masohi. badati, maano, dan makan pasuri. Dalam pengelolaan
sumberdaya alam serta menjamin ketertiban sosial
maka ada kearifan tradisional yang diartikan dalam simbol-simbol khusus sebagai tanda larangan yang dikenal dengan sasi. Sasi mengandung pengertian tentang larangan pengambilan sumberdaya tertentu tanpa ijin dalam jangka waktu tertentu yang secara ekonomis bermanfaat bagi masyarakat (Bailey dan Zerner, 1992). Makna sasi adalah larangan bagi anak negeri dan orang luar untuk mengambil sesuatu yang berkaitan dengan sumber-sumber daya alam baik darat maupun laut. Tujuan sasi adalah supaya sumberdaya alam dapat dimanfaatkan secara baik dan benar dan dapat berlangsung terus menerus setiap waktu dari generasi ke generasi berikutnya.
Lembaga adat yang bertanggung jawab terhadap
pelaksanaan sasi adalah Kewang. Kewang adalah suatu kelompok organisasi yang diangkat secara adat melalui proses musyawarah yang dilakukan di dalam rumah adat yaitu Baeleo. Kepala Kewang dan Wakil Kepala Kewang diangkat dan ditentukan berdasarkan garis keturunan dari marga/famili tertentu atau yang disebut
mata rumah. Sedangkan anggota Kewang atau pembantu Kewang
diangkat dari warga masyarakat yang ada di dalam wilayah Soa. Sebagai suatu organisasi maka Kewang memiliki struktur organisasi dan mempunyai tugas dan tanggung jawab serta memiliki peraturan-peraturan Kewang sebagai dasar dan pedoman dalam melaksanakan tugasnya. Tugas Kewang adalah mengawasi dan mengontrol pelaksanaan sasi untuk tanaman-tanaman di hutan dan di kebun serta
70
daerah sasi di laut terhadap berbagai sumberdaya perikanan yang memiliki nilai ekonomi yang penting dan merupakan kesepakatan bersama antara masyarakat dengan pemerintah negeri. Tujuan pengawasan dan pengontrolan Kewang ini adalah supaya setiap sumberdaya yang disasikan baik di hutan, kebun dan laut dapat memberi hasil yang baik
pada waktu panen.
Bagi masyarakat yang
melanggar aturan-aturan sasi yang telah ditetapkan oleh Kewang dengan persetujuan Raja dan pemerintah negeri, yaitu dengan melakukan pencurian ataupun pengrusakkan terhadap sumberdaya yang disasikan maka akan diberi sanksi oleh Kewang. Oleh karena itu, Kewang memiliki fungsi dan peranan yang sangat besar terhadap pengelolaan sumberdaya alam dalam pemerintah negeri dan juga berperan dalam mengawasi “hak ulayat Negeri” (darat dan laut) terhadap pengaruh aktivitas dari luar. Pada rezim adat, maka cara pelaksanaan sasi dilaksanakan secara adat oleh Raja sebagai kepala adat dan Kewang sebagai pengontrol dan pengawas sasi dan dihadiri oleh seluruh staf pemerintah negeri dan masyarakat.
Oleh karena itu maka sebagai bagian dari ketentuan adat maka
pelaksanaan sasi ada memiliki aturan-aturan tertentu yaitu; acara tutup dan buka sasi, dan tanda sasi. Hal ini merupakan suatu rangkaian dalam pelaksanaan sasi dimana pelaksanaan sasi tersebut berdasarkan aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh masing-masing pemerintahan negeri. Berdasarkan jenis sumberdaya yang disasikan maka bentuk sasi ada dua yaitu sasi darat dan sasi laut. Sumberdaya di hutan dan kebun yang disasikan adalah seperti kelapa, pala, cengkeh, sagu, coklat, buah-buahan seperti jeruk nenas,manggadan sebagainya. Sedangkan sumberdaya perikanan yang disasi adalah seperti : lola, batu laga, teripang, caping-caping, ikan hias, rumput laut, karang, pasir dan berbagai jenis ikan lainnya. Pelaksanaan sistem sasi ini juga menyangkut hak eksklusif pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat desa dimana dengan hak ini orang dari luar desa tidak diperkenankan untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Pada beberapa desa yang lain, hak eksklusif ini dapat dialihkan kepada orang luar desa sejauh mereka mau menggunakan teknologi yang serupa dengan yang digunakan oleh masyarakat setempat yaitu dimana alat tersebut tidak merusak lingkungan dan sumberdaya alam serta membayar sejumlah uang tertentu sebagai ganti hak yang telah diberikan kepada pemerintah negeri. Kawasan hak eksklusif
71
ini dikenal dengan nama Petuanan Negeri. Petuanan di darat yang di sasi merupakan suatu kawasan pertanian yang disebut dusun, yaitu suatu kawasan pertanian-kehutanan yang khas di Maluku dimana terdapat diversifikasi tanaman dan usaha yakni berupa tanaman hutan, tanaman tahunan, tanaman pangan dan tanaman hortikultura serta ternak (Nanere, 1996). Sedangkan petuanan laut yang disasi adalah suatu kawasan perairan di depan desa atau yang masih merupakan teritorial desa biasanya berupa perairan dangkal, atol, teluk atau selat (Nikijuluw,2002).
Oleh karena itu, pada sistem pemerintahan adat sasi
merupakan salah satu sumber pendapatan negeri dan pendapatan masyarakat. Masohi. yaitu suatu aktivitas tolong menolong yang dilakukan oleh masyarakat untuk menyelesaikan suatu kegiatan pembangunan fisik baik di dalam negeri, maupun di dalam kelompok warga masyarakat ataupun secara pribadi untuk jangka waktu tertentu yang telah di tetapkan bersama. Tujuan masohi adalah untuk membantu meringankan pekerjaan.
Contohnya adalah kegiatan
pembangunan rumah adat (Baileo), rumah ibadah (gereja dan masjid), pembangunan rumah tinggal, pembuatan jalan dan sebagainya. Badati adalah sistem tanggung bersama sebuah kegiatan
yang dilakukan
seseorag. Maano adalah sistem bagi hasil (biasanya cengkeh atau sagu), hal ini karena si pemilik kurang tenaga untuk memetik hasil maka dia meminta tolong anggota masyarakat lain untuk memetiknya dengan mendapat imbalan dari hasil yang dipetik sesuai kesepakatan. kebun, hutan secara bersama-sama
Makan pasuri yakni menikmati hasil-hasil warga-warga kampung atau negeri yang
memiliki ikatan sejarah atau kekeluargaan (Sahusilawane, 2005). Pelaksanaan kegiatan-kegiatan tersebut di atas ini diberikan tanggung jawab oleh Raja kepada Kepala Soa dengan demikian maka dalam melaksanakan masohi dikoordinir oleh Kepala-Kepala Soa.
Selanjutnya Kepala Soa akan meng-
gerakkan anak-anak Soa di dalam wilayah kekuasaannya untuk bekerja dan berpartisipasi penuh dalam kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakan. Dalam pelaksanaan pekerjaan pembangunan fisik melalui masohi, maka semua anggota masyarakat diharuskan turut berpartisipasi dalam pekerjaan tersebut karena mereka dikontrol dan diawasi oleh Kepala soa dan Raja. Raja sebagai pemimpin masyarakat bersikap tegas dalam memberi hukuman dan sanksi
72
terhadap warga masyarakat yang tidak mematuhi aturan pemerintah negeri. Oleh karena ketegasan dan kewibawaan Raja, maka semua warga masyarakat tanpa memandang bulu, semuanya tunduk dan patuh terhadap segala perintah Raja. Itulah yang dapat dilihat dari peranan Raja dan staf pemerintah negeri dalam melaksanakan pembangunan. Sistem pemerintahan desa pada rezim sentralisasi Pada rezim sentralisasi yang dimulai dengan diterapkannya UU No. 5 Tahun 1979 maka sistim pemerintahan negeri mengalami perubahan menjadi sistem pemerintahan desa. Selain itu, terjadi pembentukan desa-desa baru yang dulunya merupakan bagian wilayah kekuasan dari suatu negeri
yang mengakibatkan
sebagian dari luas wilayah kekuasaan suatu negeri menjadi berkurang. Desa baru yang dibentuk ini bukanlah merupakan desa adat sehingga sistem pemerintahan desanya mengikuti UU No. 5 Tahun 1979. Sedangkan negeri yang merupakan basis masyarakat adat mengalami perubahan nama menjadi desa akan tetapi sistem pemerintahan desanya merupakan perpaduan antara sistem pemerintahan negeri dengan sistem pemerintahan desa. Periode sistem pemerintahan desa bila dihitung sejak dikeluarkannya UU No.5 Tahun 1979 sampai dengan pemberlakukan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada rezim reformasi adalah sekitar 20 tahun. Penerapan UU No. 5 Tahun 1979 membuat perubahan-perubahan yang cukup mendasar dan berpengaruh terhadap kelangsungan kehidupan sosial ekonomi dan politik di tingkat pemerintahan desa.
Perubahan ini disebabkan karena keinginan
pemerintah pusat untuk menyeragamkan struktur pemerintahan desa yang selama itu berbeda-beda antar daerah dan untuk memudahkan pelaksanaan pemerintahan, pengawasan dan pembinaan atas desa-desa di seluruh Indonesia. Perubahan yang nampak terlihat adalah pada struktur organisasi pemerintahan desa. Adapun salah satu struktur organisasi pemerintah desa dari Desa Tuhaha di Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan UU No. 5 Tahun 1979, struktur organisasi
pemerintahan desa terdiri dari kepala desa,
sekretaris desa, Lembaga Musyawarah Desa (LMD), kepala-kepala urusan dan kepala dusun.
73
KEPALA DESA
LMD
SEKRETARIS
KEPALA URUSAN
KEPALA DUSUN
KEPALA DUSUN
RW
RW
RW
RW
RT
RT
RT
RT
KEPALA DUSUN
RW RT
KEPALA DUSUN
RW
RW
RW
RT
RT
RT
Gambar 5 Struktur organisasi pemerintahan Desa Tuhaha, Kabupaten Maluku Tengah Keterangan:
= Staf Pembantu Tugas
Setiap unit organisasi mempunyai tugas pokok dan fungsi masing-masing, yaitu sebagai berikut : Kepala desa. a.
Kepala desa berkedudukan sebagai alat pemerintahan desa dan pelaksana pemerintah desa.
b.
Tugas pokok kepala desa adalah untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, menjalankan urusan pemerintah, pembangunan dan pembinaan masyarakat, dan menumbuhkan serta mengembangkan semangat gotong royong masyarakat sebagai sendi utama pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan desa.
74
c.
Fungsi kepala desa adalah untuk melaksanakan kegiatan dalam rangka penyelenggaraan
urusan rumah tangganya, menggerakkan partisipasi
masyarakat dalam wilayah desanya, melaksanakan tugas dari pemerintah daerah, melaksanakan kegiatan dalam penyelenggaraan
ketentraman
masyarakat, melaksanakan kegiatan dalam rangka urusan pemerintahan lainnya. Lembaga Musyawarah Desa (LMD) a.
LMD berkedudukan sebagai wadah menyelenggarakan permusyawaratan/ permufatan yang ada di desa
b.
LMD menampung dan menyalurkan aspirasi dan pendapat
c.
Fungsi LMD nyusunan
adalah menyampaikan
bahan masukan/input bagi pe-
keputusan desa dengan masyarakat dalam penyelenggaraan
pemerintahan dan pembangunan desa Sekretaris desa a.
Sekretaris desa berkedudukan sebagai unsur staf pembantu kepala desa dan memimpin sekretariat desa
b.
Tugas sekretaris
desa adalah menjalankan administrasi pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan di desa serta memberikan pelayanan administrasi kepada kepala desa c.
Fungsi sekretaris desa adalah melaksanakan urusan surat menyurat, kearsipan dan laporan, melaksanakan urusan keuangan, administrasi pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, melaksanakan tugas dan fungsi kepala desa apabila kepala desa berhalangan melaksanakan tugastugasnya
Kepala Urusan a.
Kedudukan kepala urusan adalah unsur pembantu sekretaris desa dalam bidang tugasnya
b.
Kepala urusan mempunyai tugas menjalankan kegiatan sekretaris desa di bidang tugasnya
c.
Fungsi kepala urusan adalah melaksanakan kegiatan urusan pembangunan, kesejahteraan, keuangan dan umum sesuai dengan bidang tugasnya masingmasing, memberikan pelayanan administrasi terhadap kepala desa
75
Kepala Dusun a.
Kepala dusun berkedudukan sebagai unsur pelaksana tugas kepala desa di wilayah kerjanya
b.
Tugas
kepala
dusun
adalah
menjalankan
kegiatan
pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan serta ketentraman di wilayah kerjanya, melaksanakan kebijaksanaan kepala desa
Meskipun secara yuridis, struktur pemerintahan desa terdiri dari kepala desa, LMD dan aparat desa, akan tetapi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa terdapat lembaga lain yang secara struktural tidak termasuk dalam struktur pemerintahan desa, namun secara fungsional merupakan bagian
dari sistem
pemerintahan desa. Lembaga tersebut adalah Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden No.28 Tahun 1989. LKMD adalah organisasi masyarakat yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat
yang ada di setiap desa.
Ketua LKMD adalah kepala desa.
Keanggotaan LKMD biasanya dipilih dari unsur tiga tungku yaitu terdiri atas tokoh agama,
tokoh pendidikan dan tokoh masyarakat.
LKMD merupakan
wadah pelaksana dari berbagai program dan kegiatan pembangunan masyarakat desa melalui seksi-seksi yang ada. Kepala desa adalah merupakan penguasa tunggal di desa baik pada struktur pemerintahan desa tetapi juga pada organisasi sosial kemasyarakatan di desa. Kekuasaan kepala desa yang demikian besar itu dalam sistem demokrasi dan sistem pemerintahan yang sentralistis itu dikontrol dan dikendalikan agar tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku dimana kepala desa bertanggung jawab kepada Camat. Sistem pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah Pada rezim otonomi daerah yang dimulai setelah diterapkannya UU No. 22 Tahun 1999, sistem pemerintahan desa mengalami perubahan yaitu dikembalikan menjadi sistem pemerintahan negeri.
Nama wilayah administratif berubah
dari desa menjadi negeri demikian pula struktur organisasi pemerintahannya. Adapun struktur organisasi pemerintahan negeri pada rezim otonomi daerah pada
76
Negeri Titawai Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah
ditunjukkan
pada Gambar 6.
RAJA
SANIRI NEGERI
SEKRETARIS
KEPALA SOA Kepala Urusan Pembangunan
KEPALA SOA Kepala Urusan Pemerintahan
BENDAHARA
KEPALA SOA Kepala Urusan Umum
KEPALA SOA Kepala Urusan Kesejahteraan Rakyat
Gambar 6 Struktur organisasi pemerintahan Negeri Titawai, Kabupaten Maluku Tengah Keterangan:
= Staf pembantu tugas
Gambar 6 menunjukkan bahwa ada perbedaan struktur organisasi pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah dengan sistem pemerintahan desa pada rezim sentralisasi.
Kepala desa diganti menjadi Raja, LMD menjadi Saniri
Negeri, dan kepala-kepala urusan menjadi Kepala Soa. Apabila dibandingkan dengan sistem pemerintahan desa pada rezim adat maka terlihat bahwa hampir memiliki kesamaan dimana lembaga-lembaga adat telah di akomidir kembali dalam struktur pemerintahan desa. Akan tetapi dalam melaksanakan tugas maka terdapat perbedaan dimana Raja berfungsi sebagai kepala pemerintahan negeri dan kepala adat sedangkan Kepala Soa berfungsi sebagai kepala urusan pembangunan. Kedudukan kepala urusan adalah unsur pembantu Raja dalam bidang tugasnya. Fungsi kepala urusan adalah melaksanakan kegiatan urusan pembangunan, kesejahteraan, keuangan dan umum sesuai dengan bidang tugasnya masing-masing. Saniri Negeri sebagai badan legislatif terdiri dari para tokoh
77
adat, tokoh agama, tokoh masyarakat, Kewang, Marinyo, Tuan Tanah, dan Tuan Negeri. Berdasarkan hasil analisis perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah maka hal ini menunjukkan bahwa kebijakan- kebijakan pemerintah tentang Pemerintahan Daerah selama ini telah memberikan perubahan-perubahan dalam sistem pemerintahan desa yang meliputi tugas, pokok dan fungsi kepemimpinan, struktur organisasi. Perubahan ini turut membawa pengaruh terhadap pelaksanaan pembangunan di pedesaan termasuk di dalamnya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat. Hal ini juga menunjukkan bahwa kondisi dan permasalahan setiap daerah itu sangat berbeda-beda dan tidak mudah untuk menyeragamkan sistem pemerintahan desa di seluruh Indonesia dengan mengingat berbagai norma dan tradisi masyarakat dalam melaksanakan
kegiatan pembangunan di daerah
pedesaan. Solihin (2004) mengatakan bahwa sentralistik pemerintahan selama ini telah membawa begitu banyak masalah seperti, eksternalitas di kegiatan perikanan tangkap dan telah membunuh keberadaan partisipasi masyarakat lokal dalam melakukan penge-lolaan kegiatan perikanan tangkap. Selain itu, dikatakan juga oleh Kusumastanto (2003) bahwa sistem pemerintahan sentralistik yang sudah berlangsung selama 32 tahun terbukti telah menghancurkan sumberdaya alam. Sebab secara ekonomi-politik sistem pemerintahan sentralistik terbukti membawa kecenderungan buruk yakni (1) politik yang tidak demokratis; (2) korupsi;(3) rent seeking activities yang memperburuk social welfare loss bagi masyarakat dan (4) moral hazard yaitu bertindak dengan sema-mena dan mengabaikan aspirasi masyarakat.
Oleh karena itu maka pilihan otonomi daerah merupakan suatu
mekanisme yang ingin mendekatkan pemerintah dengan masyarakatnya dengan tujuan agar masyarakat terlibat dalam proses penyelenggaraan negara, politik, sosial, ekonomi, budaya serta penguasaan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang seharusnya tidak perlu dijalankan oleh negara. Untuk konteks Maluku, sistem pemerintahan desa pada rezim otonomi daerah memberikan kemungkinan perubahan struktur dan penyelenggaraan desa ke depan sangat mungkin sesuai dengan aspirasi dan karakteristik lokal. Dimana sistem pemerintahan desa dikembalikan pada sistem pemerintahan negeri.
78
Supardal et al. (2005) mengatakan bahwa dengan UU No. 22 Tahun 1999 dimungkinkan adanya perbedaaan menyangkut nama kelembagaan desa yang ada. Dengan demikian nilai-nilai lokal, tradisi, adat istiadat dimunculkan kembali selama masyarakat menganggap akan mendukung efektivitas dan efisiensi pemerintahan dan pembangunan desa. Semangat untuk melaksanakan adat kini mulai mewarnai kehidupan dinamika masyarakat Maluku sehingga timbul keinginan dari masyarakat untuk kembali memberlakukan sistem adat. Keinginan masyarakat ini bergulir seiring dengan kondisi daerah Maluku yang semakin hari semakin kondusif dan karena adanya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 32 Tahun 2004 yang dapat mengakomidir aspirasi masyarakat tersebut. Perubahan-perubahan dan pembenahan di tingkat desa khususnya desa adat mulai terjadi dengan mulai mempersiapkan sistem pemerintahan negeri.
Pada desa-desa adat yang tadinya mengalami
perubahan dengan sistem pemerintahan desa sehingga terjadi elaborasi dalam struktur pemerintahan desa, mulai menfungsikan lembaga-lembaga adat yang selama ini terabaikan karena tidak terakomodir lewat UU No. 5 Tahun 1979. Aspirasi masyarakat untuk melakukan perubahan-perubahan ke arah sistem pemerintahan negeri akhirnya diakomodir oleh pemerintah daerah untuk dibuat sebagai suatu peraturan daerah sehingga dapat diberlakukan di seluruh wilayah Maluku sesuai dengan aturan-aturan yang telah dibuat oleh perwakilan masyarakat di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Maluku. Dalam sistem pemerintahan desa, pimpinan desa adalah merupakan salah satu faktor yang paling penting dalam mengerakkan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan. Raja sebagai pemimpin desa dan juga pemimpin adat telah diberlakukan kembali. kedudukan dan peranan Raja turut memberikan pengaruh yang besar terhadap pembangunan masyarakat pedesaan. Hal ini disebabkan karena Raja ditentukan berdasarkan garis keturunan tertentu dan hal ini telah diketahui dan dipahami oleh masyarakat adat sehingga kedudukan Raja sangat dihormati dan disegani. Pariela (2005) mengatakan bahwa di dalam sistem politik tradisional masyarakat di Maluku, alokasi dan distribusi kekuasaan pada dasarnya bersifat tertutup, karena hanya berlangsung melalui mata rumah. Jadi dalam tatanan tradisional masyarakat di Maluku, status sosial seseorang diperoleh berdasarkan
kelahiran
79
(ascribed status) di dalam suatu mata rumah tertentu, dan berperan
sesuai
kedududukan mata rumah yang bersangkutan dalam sistem politik
lokal.
Pergantian kepemimpinan Raja diatur secara turun-temurun. Mengingat kedudukan dan peranan Raja sebagai tokoh masyarakat dan juga tokoh adat maka Raja memiliki kemampuan untuk menggerakkan masyarakat dalam melaksanakan pembangunan termasuk di dalamnya pengelolaan sumber daya perikanan di desanya. Hanafi (1987) mengatakan bahwa tokoh adat/tokoh masyarakat
adalah orang-orang-orang yang memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi orang lain.
Tokoh adat adalah pemimpin dalam masyarakat
dimana mereka menjadi panutan, pembimbing dan tempat bertanya bagi masyarakat sehingga sebagai pemimpin mereka sering berinteraksi dengan masyarakat dan di dalam interaksi tersebut pengetahuan, wawasan dan kearifan yang mereka miliki akan ditransfer kepada masyarakat. Oleh karena itu maka pada rezim otonomi daerah dimana pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan adalah Raja dan Kewang maka diharapkan dapat berjalan dengan baik. Untuk itu maka Raja dan Kewang sangat perlu untuk diberdayakan untuk memahami pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat secara baik dan benar.
Mengingat kondisi dan permasalahan
masyarakat yang telah mengalami perkembangan dan perubahan selain itu juga kondisi sumberdaya perikanan yang juga telah mengalami banyak perubahan. Sehingga pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat yang dikenal dengan sasi, bukan hanya merupakan suatu tradisi adat masyarakat saja tetapi merupakan suatu hal yang sangat perlu dilaksanakan untuk meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakat dan juga untuk menambah pendapatan desa dalam rangka pengembangan pembangunan sarana dan prasarana desa.
4.3 Keberadaan Sasi Laut pada Rezim Otonomi Daerah Hasil inventarisasi keberadaan sasi yang dilakukan pada 61 desa di Pulau Ambon, Pulau Saparua, Pulau Nusalaut, Pulau Haruku, dan Pulau Seram diperlihatkan pada Lampiran 7. Hasil ini menunjukkan bahwa dari 61 desa yang
80
diinventarisir ternyata pelaksanaan sasi adalah di atas 50 % yaitu terdiri dari sasi darat terdapat pada 45 desa, sasi darat dan laut terdapat pada 16 desa (Tabel 11).
Tabel 11 Keberadaan sasi di pedesaan Maluku No 1
2a
2b
Variabel
Jumlah
Proporsi
(Desa)
(%)
Sasi Darat
45
74
Sasi Darat + Sasi Laut
16
26
Ada Aturan
48
79
Tidak Ada Aturan
13
21
Tertulis
21
44
Tidak Tertulis
27
56
Bentuk Sasi :
Ketersediaan Aturan Perikanan :
Bentuk Aturan :
Hasil ini menunjukkan bahwa walaupun telah terjadi pergantian rezim pemerintahan desa namun sasi laut sebagai bentuk pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat masih tetap ada sampai saat ini. Keberadaan sasi laut ini tentunya disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat desa setempat. Novaczek et al. (2001) menyatakan bahwa, sebagai suatu pranata, sasi tidak statis tetapi mengalami perubahan sesuai waktu. Sasi dan budaya adat sangat mudah dipengaruhi dan lemah dari waktu ke waktu yang mencerminkan dampak dari kolonialisme, peperangan, perkembangan ekonomi dan perubahan sosial. Hasil ini juga memperlihatkan bahwa tidak semua desa adat melaksanakan sasi. Dari 53 desa adat yang di teliti ternyata 8 desa adat di antaranya tidak melaksanakan sasi baik sasi darat maupun sasi laut. Dari hasil ini dapat dikatakan bahwa di sebagian desa-desa adat telah hilang tradisi sasi dalam masyarakat adat. Hilangnya sasi pada desa-desa adat antara lain disebabkan antara lain karena perubahan struktur pemerintahan desa akibat pemberlakuan UU No.5 Tahun 1979 dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan desa. Hal ini seperti dikatakan oleh Nikijuluw (2002) Novaczek et al. (2001) dan Kissya (2000)
81
bahwa perubahan struktur pemerintahan desa menyebabkan lemahnya pelaksanaan sasi di pedesaan Maluku. Keberadaan sasi pada desa-desa adat adalah karena kemauan dan itikad Raja atau kepala desa untuk mempertahankan tradisi sasi sebagai bagian dari adat dan ditunjang dengan pengetahuannya dalam pengelolaan dan pemanfaaatan lingkungan hidup untuk kesejahteraan masyarakat. Keberadaan dan pelaksanaan sasi baik sasi darat maupun sasi laut terbanyak terdapat di Pulau Saparua, Kecamatan Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Adapun lokasi desa sasi laut diperlihatkan pada Tabel 12.
Tabel 12 Lokasi desa sasi laut No
Desa
Pulau
Kecamatan
Kabupaten/Kota
1
Paperu
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
2
Ihamahu
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
3
Itawaka
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
4
Noloth
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
5
Ouw
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
6
Ulath
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
7
Sirisori Islam
Saparua
Saparua
Maluku Tengah
8
Ameth
Nusalaut
Nusalaut
Maluku Tengah
9
Sameth
Haruku
Haruku
Maluku Tengah
10
Pelauw
Haruku
Haruku
Maluku Tengah
11
Hulaliu
Haruku
Haruku
Maluku Tengah
12
Haruku
Haruku
Haruku
Maluku Tengah
13
Makariki
Seram
Amahai
Maluku Tengah
14
Rutong
Ambon
Baguala
Kota Ambon
15
Tengah-Tengah
Ambon
Salahutu
Kota Ambon
16
Tulehu
Ambon
Salahutu
Kota Ambon
Hasil ini menunjukkan bahwa desa-desa di Pulau Saparua masih kuat mempertahankan dan melestarikan nilai serta tradisi budaya sasi.
Hal ini
disebabkan karena desa-desa di Pulau Saparua adalah merupakan desa adat dan mayoritas masyarakat yang mendiami desa tersebut adalah masyarakat adat. Oleh karena itu sebagai bagian dari adat dan tradisi maka sasi masih tetap dipertahan-
82
kan dan dilestarikan. Hal ini sesuai dengan Ginting (1998) yang menyatakan bahwa sasi, ondoafi dan sejenisnya berada dalam satu pulau kecil, tergantung dari karakteristik klan, atau suku yang mendominasi desa tersebut. Di Kabupaten Maluku Tengah khususnya di Pulau Saparua ada dua sistem penyelenggaraan sasi yaitu (1) sasi negeri (sasi adat) dan sasi gereja. Perbedaan pokok di antara dua sistem penyelenggaraan tersebut adalah pada penyelenggara kesepakatan tradisional tersebut. Penyelenggaraan sistem sasi negeri adalah Kewang dan Raja sedangkan penyelengaraan sasi gereja adalah pihak gereja dan pemerintah desa. Di Pulau Saparua dan Pulau Ambon, sasi gereja ditujukan kepada sasi buah-buahan milik pribadi sedangkan sasi negeri ditujukan pada sumber-sumber alam yang menjadi milik komunal seperti sasi laut. Dari hasil pengamatan di lapangan terhadap kedua sistem penyelenggaraan sasi ini maka umumnya penyelengaraan sasi darat adalah sasi gereja
yaitu pihak gereja
(Pendeta dan Majelis Jemaat) dan pemerintahan desa. Sedangkan penyelengaraan sasi laut adalah sasi negeri yaitu Kewang dan Raja. Sasi gereja adalah merupakan salah satu wujud perubahan sistem penyelenggaraan sasi karena tidak berfungsinya Kewang secara baik. Hasil inventarisasi sasi laut, menunjukkan adanya perkembangan sasi yang berkaitan dengan pelaksanaan otonomi daerah. Hasil ini dapat dibandingkan dengan hasil inventarisasi sasi yang dilakukan oleh Novaczek et al. (2001) pada tahun 1997. Dilaporkan bahwa pada tahun 1997 di Pulau Nusalaut yang terdiri dari tujuh desa tidak ada pelaksanaan sasi laut. Namun sekarang, salah satu negeri di Pulau Nusalaut yaitu Negeri Ameth Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah telah memberlakukan sasi laut sesuai dengan Surat Keputusan Negeri Ameth Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah No.1 Tahun 2005 tentang sasi adat bagi siput lola dan teripang. Begitupun juga terjadi di Negeri Halaliu Kecamatan Haruku Kabupaten Maluku Tengah. Tidak ada sasi laut pada tahun 1997, tetapi sekarang dilaksanakan sasi laut sejak diberlakukannya Surat Keputusan Raja Negeri Hulaliu No.140/02/XII/ 2003 tentang Pengangkatan Kepala Kewang, Wakil, Bendahara dan Anggota Kewang pada Tanggal 28 Desember 2003. Perkembangan selanjutnya adalah pada Tanggal 4 Oktober 2005 telah dilakukan pelantikan lembaga-lembaga adat yaitu Kepala Soa, Saniri Negeri dan
83
Kewang di Negeri Nalahia Kecamatan Nusalaut Kabupaten Maluku Tengah, seperti terlihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Acara pelantikan lembaga-lembaga adat di Negeri Nalahia
Gambar di atas menunjukkan bahwa pelaksanaan sasi pada rezim otonomi daerah diperkirakan akan semakin bertambah pelaksanaannya dengan diaktifkan kembali Kewang sebagai lembaga pelaksana pengelolaan sumberdaya alam. Berdasarkan hasil wawancara pada desa-desa sasi, maka jenis sumberdaya darat yang disasi adalah: kelapa, cengkeh, pala, coklat, nenas, jeruk, sagu. Sedangkan sumberdaya laut yang disasi adalah: karang, batu hitam, pasir, teripang, lola, caping-caping, ikan hias, bakau, ikan lompa, make dan jenis-jenis ikan lain di sekitar pesisir pantai. Jenis sumberdaya yang disasikan ini, memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Hal ini dapat dilihat dari nilai harga untuk beberapa jenis sumberdaya perikanan yang di sasi di pasar Kota Ambon. Adapun harga beberapa komoditi sumberdaya perikanan, diperlihatkan pada Tabel 13.
84
Tabel 13
Daftar harga beberapa komoditi sumberdaya perikanan yang disasikan , di pasar Kota Ambon, tahun 2005
Sumberdaya Perikanan
Nama Ilmiah
Ukuran
Siput Lola
Trochus niloticus
4 – 4.9
Rp.
Siput Lola
Trochus niloticus
5 – 5.9
Rp. 20 000
Siput Lola
Trochus niloticus
>6
Rp. 43 000
Teripang Pasir
Holothuroidea scabra
40
Rp. 600 000
Teripang Susu
Holothuroidea nobilis
35
Rp. 250 000
Teripang Nenas
Thelenota ananas
35
Rp. 200 000
Caping-caping
Pinctada margaritifera
20
Rp. 15 000
Rumput Laut
Euchema sp
25
Rp.
(cm)
Harga Pedagang Pengumpul (kg) 5 000
5 000
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai harga sumberdaya perikanan tertinggi adalah teripang dan terendah adalah rumput laut dan siput lola ukuran kecil. Hal ini berindikasi bahwa apabila pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh masyarakat melalui sasi dapat dilaksanakan secara baik maka tentu dapat meningkatkan tingkat pendapatan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, pelaksanaan sasi perlu dipertahankan dan direvitalisasikan dalam model pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang berkembang saat ini di masyarakat pedesaan.
Menurut
Kusumastanto (2003) dalam otonomi daerah, otonomi termasuk di wilayah laut merupakan peluang besar terjadinya redefinisi dan reorientasi pembangunan, asalkan pemerintah daerah memiliki kapasitas dan komitmen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah dan memiliki wawasan yang jelas mengenai perlindungan
sumberdaya kelautan dan perikanan. Namun dari ke-
semuanya itu diperlukan adanya perombakkan yang mendasar dalam rezim open acces atas sumberdaya perikanan dan pengaturan property right dimana hak atas sumberdaya perikanan seharusnya dikembalikan
kepada masyarakat
karena
sumberdaya tersebut dijadikan sumber penghidupan yang berkelanjutan bagi mereka.
Untuk itu maka
pemerintah perlu segera memperkuat
kapasitas
masyarakat dalam mengelola sumberdaya perikanannya dengan mempersiapkan
85
kebijakan yang mendorong kemandirian masyarakat dimana secara ekonomi politik mensyaratkan adanya pengakuan terhadap communal property right. Persyaratan ini akan menekan pemerintah daerah mematuhi tugas dan kewajibannya dalam meningkatkan kapasitas masyarakat lokal untuk mengaktualisasikan institusi-institusi sosial budaya dan ekonomi guna mendukung aktualisasi rezim communal property right atas sumberdaya perikanan. Berdasarkan hal tersebut maka untuk pelaksanaan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat melalui sasi di pedesaan Maluku di rezim otonomi daerah ini maka diperlukan adanya kebijakan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat dengan bercermin dari kegagalan dan keberhasilan sistem tersebut sebagai suatu pranata sosial yang sudah ada dan berkembang dalam masyarakat. Menurut Satria et al. (2002) pranata sosial yang mencerminkan
kearifan
tradisional dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan kekuatan daerah, untuk itu dalam desentralisasi daerah tidak perlu lagi menyusun formula pengelolaan sumberdaya perikanan sebaliknya daerah hanya melengkapi formula dalam merekonstruksi modal sejarah tersebut menjadi modal sosial yang riil sehingga menjadi sesuatu yang kontributif dalam mempercepat implementasi UU Pemerintahan Daerah. Dengan demikian maka pelaksanaan sasi perlu mendapat perhatian pemerintah daerah Maluku sehingga dapat di pakai sebagai model pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
berbasis masyarakat
Selanjutnya model ini dapat diimplementasikan di seluruh wilayah Maluku sebagai salah satu bentuk dalam penerapan pelaksanaan pembagunan perikanan berbasis masyarakat di otonomi daerah. Salah satu upaya yang perlu dilakukan adalah melakukan gerakan mengkampanyekan sasi sebagai wujud sosialisasi kepada masyarakat luas yang intinya adalah memberikan informasi tentang pentingnya pelaksanaan sasi bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat pedesaan. Dampak dari gerakan kampanye sasi adalah adanya perubahan secara kognitif, afektif dan psikomotorik dalam masyarakat pedesaan terutama “generasi baru” sehingga menjadi sadar, mengerti, memahami dan mau berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan sasi secara berkelanjutan. Hasil inventarisasi terhadap peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di 61 desa menunjukkan bahwa
ada dua bentuk peraturan
yaitu
86
peraturan secara tertulis dan tidak tertulis.
Hasil observasi di lapangan
menunjukkan bahwa sebagian besar desa memiliki peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, namun kebanyakan dari peraturan tersebut tidak tertulis tetapi merupakan kesepakatan musyawarah desa dan selanjutnya diinformasikan oleh pemerintah desa ke masyarakat melalui pemberitahuan desa atau melalui pertemuan-pertemuan kelompok di desa. Jenis peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tidak tertulis, diperlihatkan pada Tabel 14.
Tabel 14 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tidak tertulis di pedesaan Maluku, tahun 2005 Jenis peraturan •
Pembersihan pantai untuk hari-hari besar
•
Larangan pengambilan karang, batu, pasir laut dan galian C
•
Larangan untuk menebang pohon bakau
•
Larangan untuk membuang sampah dan limbah ke pantai dan sungai
•
Larangan membom dan meracuni ikan
•
Larangan untuk bekerja di daerah bakau
•
Larangan untuk menarik jaring redi di dekat pantai
•
Menjaga kawanan ikan
•
Larangan untuk tambat perahu sembarangan tempat
•
Operasi purse seine harus 1 mil dari pantai
•
Menjaga pantai dari abrasi
•
Larangan untuk mencemarkan laut
•
Larangan pengeringan pantai
•
Larangan untuk membuang jaring di dekat pelabuhan
Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan tidak tertulis memiliki konsekuensi tertentu, dimana tidak semua masyarakat mengetahui dan memahami peraturan tersebut secara baik terutama penduduk pendatang. Akibatnya terjadi banyak ketidakpatuhan terhadap peraturan tersebut. Oleh karena itu, sebaiknya peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang
87
telah ada pada masyarakat lokal di tingkat desa perlu dilembagakan dalam suatu aturan formal yang mengikat
sehingga dapat menjadi pedoman serta arah
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara tertulis umumnya ada pada desa-desa yang aktif melaksanakan sasi laut, seperti terlihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat secara tertulis pada desa sasi laut, tahun 2005 No
Variabel
1
Tujuan
2
Jenis sumberdaya kelautan dan perikanan yang disasi
3
Larangan
Aturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan • Meningkatkan pendapatan desa • Melindungi sumberdaya kelautan dan perikanan • Mencegah pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan oleh orang luar • Lola, Batu laga, Caping-caping, Teripang, Bakau, Karang, Kawanan ikan, Ikan hias, Batu kerikil, Pasir, Batu hitam besar. • Menyelam mengambil Lola dan Teripang. • Menangkap ikan dengan jaring di laut atau pada waktu air surut, bagi masyarakat di luar desa. • Mengambil dan menangkap ikan hias di laut atau di air surut • Menangkap ikan dengan bahan peledak (bom), obat bore dan yang dapat merusakkan biota laut. Ketentuan ini berlaku bagi anggota masyarakat desa maupun yang bukan. • Setelah buka sasi maka kesempatan diberikan untuk mengambil hasil hanya 1 minggu. • Setiap anak negeri diberi kesempatan untuk mengambil hasil dengan ketentuan memiliki surat ijin dari Raja dengan pengawasan Kewang, senilai Rp.5000,- per lembar surat ijin dan berlaku hanya satu hari. • Tidak dibenarkan mengambil Lola dengan ukuran di bawah 6 cm, • Menangkap ikan dengan menggunakan pukat Karoro • Mengambil pasir pantai tanpa izin pemilik dusun di pesisir pantai
88
Tabel tersebut menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan sasi diatur tentang tujuan sasi, jenis alat tangkap yang dipergunakan, jenis sumberdaya kelautan dan perikanan yang dilindungi, pelarangan penggunaan bom dan bahan beracun lainnya yang dapat merusakkan sumberdaya kelautan dan perikanan dan lingkungannya serta pengaturan terhadap larangan bagi warga masyarakat dari luar untuk memanfaatkan sumber daya perikanan secara sembarangan. Selain itu, dibuat aturan tentang sanksi bagi masyarakat yang melanggar peraturan sasi, seperti terlihat pada Tabel 16. Tabel 16 Peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan secara tertulis tentang sanksi di desa sasi laut, tahun 2005
Sanksi
Jenis pelanggaran Masyarakat
Aparat Desa /Kewang
Pengambilan Lola
Rp. 25 000/buah
Rp. 50 000/buah
Pengambilan Batu laga
Rp. 50 000/buah
Rp. 100 000/buah
Pengambilan Caping-caping
Rp. 10 000/buah
Rp. 20 000/buah
Pengambilan Teripang
Rp. 10 000/buah
Rp. 20 000/buah
Batu kerikil, pasir dan batu hitam besar
Rp. 50 000
Rp. 100 000
Peraturan sasi pada beberapa desa/negeri di atas di buat oleh Kewang serta mendapat persetujuan Raja dan dikirim tembusannya kepada Bupati, Camat dan kepolisian sektor (Polsek) setempat. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjalin suatu kerjasama dalam bentuk manajemen pengelolaan perikanan antara masyarakat lokal dengan pemerintah daerah yang disebut ko-manajemen. Komanajemen perikanan adalah pembagian atau pendistribusian tanggungjawab dan wewenang antara pemerintah dan masyarakat lokal dalam mengelola sumberdaya perikanan. Defenisi ko-manajemen ini menyiratkan bahwa kerjasama antar pemerintah dan masyarakat merupakan inti ko-manajemen. Menurut Nikijuluw, (2002) ko-manajemen perikanan terdiri dari beberapa bentuk pola kemitraan serta derajat pembagian wewenang dan tanggung jawab antara masyarakat dan
89
pemerintah. Berdasarkan derajat tanggung jawab dan wewenang yang dimiliki maka terbentuk suatu hirarki rentang ko-manajemen. Menurut Pomeroy and Berkes (1997) yang dikutip Nikijuluw (2002) terdapat 10 bentuk ko-manajemen yaitu : (1) Masyarakat hanya memberikan informasi kepada pemerintah dan informasi tersebut digunakan sebagai bahan perumusan manajemen (2) Masyarakat dikonsultasi oleh pemerintah (3) Masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama (4) Masyarakat dan pemerintah saling berkomunikasi (5) Masyarakat dan pemerintah saling bertukar informasi (6) Masyarakat dan pemerintah saling memberi nasihat dan saran (7) Masyarakat dan pemerintah melakukan kegiatan atau aksi bersama (8) Masyarakat dan pemerintah bermitra (9) Masyarakat melakukan pengawasan terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah (10) Masyarakat lebih berperan dalam melakukan koordinasi antar lokasi atau antar daerah dan hal tersebut didukung oleh pemerintah. Berdasarkan bentuk ko-manajemen ini maka pelaksanaan sasi di pedesaan Maluku dapat digolongkan sebagai bentuk ko-manajemen pada tingkatan ketiga yaitu masyarakat dan pemerintah saling bekerjasama. Walaupun begitu, dengan adanya kesadaran dari masyarakat lokal untuk membuat peraturan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan merupakan embrio terjadinya penerapan komanajemen ke arah yang diharapkan. Bentuk ko-manajemen yang ideal adalah pemerintah dan masyarakat merupakan mitra yang sejajar yang bekerja sama untuk melaksanakan semua tahapan dan tugas proses pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Menurut Pomeroy and Williams (1994) yang dikutip oleh Zamani dan Darmawan
(2001) bahwa penerapan ko-manajemen
akan
berbeda-beda dan tergantung pada kondisi spesifik dari suatu wilayah, maka komanajemen hendaknya tidak dipandang
sebagai strategi tunggal
untuk
menyelesaikan seluruh problem dari pengelolaan sumberdaya pesisir. Tetapi lebih dipandang sebagai alternatif pengelolaan yang sesuai untuk situasi dan lokasi tertentu. Untuk itu pemerintah perlu memperkuat kapasitas masyarakat
90
dalam mengelola sumberdayanya. kebijakan yang mendorong
Salah satu cara adalah
mempersiapkan
kemandirian masyarakat (Kusumastanto, 2003),
diantaranya adalah peningkatan kapasitas lembaga-lembaga lokal sebagai pengelola sumberdaya perikanan melalui pelaksanaan kegiatan pembinaan dan pelatihan kepada masyarakat terutama nelayan secara khusus dan pemangku kepentingan lainnya yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Adapun kondisi kegiatan pelatihan masyarakat pedesaan Maluku berdasarkan hasil inventarisasi Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Maluku Tengah tahun 2003 terlihat pada Gambar 8.
Gambar tersebut menunjukkan bahwa kondisi
kegiatan pembinaan dan pelatihan di bidang perikanan masih tergolong rendah dibandingkan dengan tanaman pangan dan kesehatan.
35
Persentase
30 25 20 15 10 5 0 Perikanan
Pertanian Tanaman Pangan
Perkebunan
Kehutanan
Koperasi
Kesehatan
Bidang
Gambar 8 Kondisi kegiatan pelatihan di Maluku Tengah, 2003
Untuk itu maka kegiatan-kegiatan pelatihan di bidang perikanan perlu untuk ditingkatkan dan dilakukan secara baik, terus menerus dan berkelanjutan sehingga dapat memberikan perubahan pengetahuan, sikap mental masyarakat yang dapat mendorong timbulnya partisipasi aktif masyarakat dan berbagai pemangku kepentingan lainnya terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku secara lebih baik
91
4.4
Dampak Pengaruh Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadap Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Berbasis Masyarakat Pengujian hipotesis untuk mengetahui pengaruh perubahan sistem
pemerintahan desa terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat dilakukan dengan menggunakan uji Friedman. Hasil statistik menunjukkan bahwa χ2 hitung adalah 12 yang kemudian dibandingkan dengan χ2 tabel dengan tingkat kepercayaan 95 % adalah 5.991. Hasil ini memperlihatkan bahwa χ2 hitung > χ2 tabel, dengan demikian maka hipotesis Ho ditolak dan menerima hipotesis H1 yaitu bahwa
perubahan sistem pemerintahan desa
berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku. Hasil analisis pengaruh perubahan sistem pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah di perlihatkan pada Tabel 17.
Tabel 17 Pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Variabel pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat
Sistem Pemerintahan Desa Rezim adat
Rezim sentralisasi
Rezim otonomi daerah
Perencanaan : Tujuan Pengelolaan
10.0 ±0
7.9 ±3.65
9.3 ±1.48
Keterlibatan Organisasi
9.7 ±0.48 2.9 ±1.86
8.4 ±1.36
Tingkat Partisipasi
8.9 ±0.85 2.8 ±1.73
7.6 ±1.36
Tugas Pokok dan Fungsi 9.5 ±0.73 3.3 ±1.67 Organisasi
7.5 ±0.89
Pengorganisasian :
Pengarahan : Motivasi dan Arahan
9.6 ±0.63 4.4 ±1.89
7.4 ±1.20
Fungsi Pengawasan
9.3 ±0.78 5.3 ±1.45
6.4 ±1.50
Total
9.5
7.4
4.3
92
Tabel di atas menunjukkan bahwa nilai variabel pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Untuk itu maka pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku pada rezim adat adalah lebih baik. Indikator pertama dari perencanaan adalah tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Oleh karena itu tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 9. 11 10 9
Peringkat
8 7
Tujuan Pengelolaan
6
Keterlibatan Organisasi Masyarakat Partisipasi Masyarakat
5
Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi
4
Motivasi dan Arahan Fungsi Pengawasan
3 2 1 0 Adat
Sentralisasi
Otonomi Daerah
Rezim
Gambar 9 Pola perubahan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
93
Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, peranan dan fungsi Kewang berjalan dengan baik dimana masyarakat adat patuh terhadap pelaksanaan sasi sebagai bagian dari adat istiadat sehingga nampak pada tujuan pengelolaan sasi dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini dapat dilihat pada peraturan khusus mengenai sasi di Desa Itawaka Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, yang menyatakan bahwa cara yang dinilai paling efektif dalam upaya perlindungan dan pelestarian sumberdaya alam dalam petuanan negeri adalah penerapan ketentuan adat dalam mengatur tertib penggunaan sumberdaya hutan maupun laut yakni sasi, yang bertujuan menjaga, mengawasi dan melestarikan sumberdaya alam baik di darat maupun di laut. Berdasarkan tujuan tersebut di atas maka ada tiga unsur pokok dari pelaksanaan sasi yaitu : menjaga, mengawasi dan melestarikan sumberdaya alam. Dengan tiga unsur pokok tersebut maka sumber daya alam dapat terus dimanfaatkan secara baik dan teratur baik pada waktu saat ini maupun pada waktu yang akan datang. Tujuan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat seperti sasi ini sangat berkaitan dengan pembangunan perikanan yang berkelanjutan yaitu upaya sadar dan berencana dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya perikanan agar bisa dimanfaatkan secara terus menerus baik untuk saat ini maupun untuk masa yang akan datang. Penetapan tujuan pelaksanaan sasi telah berlangsung lama sejak dulu dan ini tidak mengalami suatu proses perubahan dari waktu ke waktu karena tujuan ini sudah sangat dipahami oleh masyarakat adat. Pada rezim sentralisasi, dimana Kewang tidak memiliki peranan dan fungsi secara baik dan diikuti dengan perkembangan penduduk
yang diikuti dengan perkembangan
sosial ekonomi masyarakat maka tujuan pengelolaan perikananpun tidak berjalan dengan baik.
Pada rezim otonomi daerah dimana Kewang mulai diaktifkan
kembali dan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya maka mulai nampak ada perubahan yang membaik. Selain itu, yang memotivasi desa untuk melaksanakan sasi kembali adalah karena bantuan subsidi pembangunan desa yang diberikan oleh pemerintah selama ini mengalami penurunan jumlahnya sehingga sekarang setiap desa harus aktif mengelola potensi sumberdaya alamnya untuk kepentingan pembangunan desa.
94
Indikator kedua dalam variabel perencanaan adalah keterlibatan kelompok/ organisasi masyarakat dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai keterlibatan organisasi atau kelompok masyarakat dalam pengelolaan sumber daya perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat
adalah lebih tinggi
dibandingan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah.
Dengan demikian maka keterlibatan kelompok/organisasi masyarakat
dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 9. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, penyusunan tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat melalui sasi, melibatkan berbagai pihak seperti perangkat desa, kelompok nelayan, dan kelompok masyarakat lainnya yang terhimpun dalam organisasi Kewang. Sedangkan pada rezim sentralisasi dimana tujuan pengelolaan tidak mengalami perubahan dan tidak berfungsinya Kewang secara baik maka terlihat kurang adanya keterlibatan kelompok /organisasi masyarakat dalam menyusun kembali tujuan pengelolaan perikanan. Pada rezim otononomi daerah terlihat ada perubahan yang membaik karena mulai berfungsinya kembali Kewang sehingga tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat mulai dirumuskan kembali untuk kepentingan pembangunan desa dan masyarakat. Indikator ketiga dari variabel perencanaan adalah tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai tingkat partisipasi masyarakat pada rezim adat
adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada
rezim
sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat.pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim
95
sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 9. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat menunjukkan keadaan dimana masyarakat lebih mentaati peraturan perikanan, lebih aktif dalam pertemuanpertemuan yang membicarakan masalah-masalah yang berkaitan dengan perikanan serta turut aktif dalam pengambilan keputusan pengelolaan perikanan. Pada rezim sentralisasi tingkat partisipasi masyarakat rendah, disebabkan karena pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa yang diikuti dengan perkembangan penduduk dan peningkatan kebutuhan sosial ekonomi lainnya. Pada rezim otonomi daerah, terjadi adanya perubahan ke arah peningkatan yang disebabkan karena berubahnya sistem pemerintahan desa ke sistem adat, selain itu faktor yang penting adalah adanya tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan sebagai sarana untuk ke-langsungan hidup masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai tugas pokok dan fungsi lembaga pelaksana pengelolaan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Hal itu berarti bahwa tugas pokok dan fungsi lembaga pengelolaan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 9. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, lembaga pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang disebut Kewang memiliki struktur organisasi yang sederhana dan hampir sama strukturnya di semua desa sasi. Struktur organisasi Kewang adalah terdiri dari : Kepala Kewang, Pakter (Wakil Kepala Kewang) dan anggota Kewang.
Salah satu
struktur organisasi Kewang di desa Itawaka
Kecamatan Saparua Kabupaten Maluku Tengah, adalah sebagai berikut : Ketua/Pakter, sekertaris, Bendahara, Hubmas, Kepala Kewang Hutan, Kepala Kewang Tanah 1 Ha dan Pelindung/Penasihat. Kepengurusan Kewang diangkat melalui suatu musyawarah adat.
Khusus untuk Kepala Kewang dan Pakter
ditentukan berdasarkan keturunan. Dari gambaran struktur organisasi ini maka terlihat ada pembagian tugas dan tanggung jawab serta wewenang dari Kewang
96
dalam menjalankan perannya dalam pengelolaan sumberdaya alam di pedesaan Maluku. Salah satu peraturan tertulis dari desa Itawaka tentang tugas dan tanggung jawab Kewang yaitu sebagai berikut : mengawasi seluruh hasil-hasil yang terdapat di daratan maupun di lautan yang merupakan potensi desa sebagai sumber pendapatan desa yang ada dalam lingkungan petuanan desa. Selain itu, mengawasi luas areal serta batas-batas petuanan desa, menjaga kelestarian lingkungan hidup, penghijauan tanah-tanah kritis, mencegah penebangan-penebangan liar yang dapat berakibat fatal bagi sumber air. Tugas dan wewenang Kewang di Negeri Hulaliu Kecamatan Haruku Kabupaten Maluku Tengah adalah: (1) Membuat
peraturan
menyangkut
perlindungan
terhadap
potensi
kekayaan darat dan laut yang mempengaruhi hayat hidup orang banyak. (2) Membuat ketentuan tata tertib menyangkut sikap dan perilaku positif, yang mendukung norma-norma budaya dan adat dalam masyarakat. (3) Mengadakan pengawasan rutin untuk mencegah pelanggaran dan tindakan pengrusakan terhadap hasil-hasil hutan dan lautan, serta dipatuhinya ketentuan yang telah ditetapkan. (4) Mengambil tindakan dan sanksi bagi para pelanggar dalam rangka penegakkan hukum tanpa pandang bulu. Adapun tugas dan tanggung jawab Kewang ini memiliki tujuan supaya hasilhasil sumberdaya alam baik di darat maupun di laut dapat dilindungi dan tetap terjamin kelestariannya. Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai motivasi dan arahan dari lembaga pengelolaan perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Hal ini berarti bahwa motivasi dan arahan dari lembaga pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang disebut Kewang pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 9.
Pola perubahan ini disebabkan
karena pada rezim adat, Raja dan Kewang selalu melakukan motivasi dan arahan kepada masyarakat untuk melaksanakan sasi sebagai suatu bagian dari tradisi adat
97
istiadat yang harus dilestarikan dan dipertahankan untuk keberlangsungan hidup masyarakat. Dampak yang dirasakan masyarakat terhadap pelaksanaan sasi yang berjalan dengan baik adalah pemberian insentif kepada Kewang secara sukarela. Pemberian insentif ini tidak tertulis dalam peraturan pelaksanaan sasi tetapi dilaksanakan atas kesadaran masyarakat sendiri. Pada rezim sentralisasi, dimana peranan dan fungsi Raja dan Kewang tidak berjalan dengan baik maka motivasi dan arahan kurang diberikan kepada masyarakat. Pada rezim otonomi daerah mulai nampak terjadi perubahan dengan dikembalikannya sistem pemerintahan adat dimana Raja dan Kewang mulai berperan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 17 menunjukkan bahwa nilai fungsi pengawasan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Hal ini berarti bahwa fungsi pengawasan yang dilakukan oleh lembaga pengelolaan perikanan dan perangkat desa pada rezim adat berjalan lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim adat, seperti terlihat pada Gambar 9. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, Kewang dalam melaksanakan fungsi pengawasan memiliki
sejumlah
peraturan
dan
sanksi.
Dalam
melaksanakan
fungsi
pengawasannya anggota-anggota Kewang dipimpin oleh Kepala Kewang melakukan patroli secara bergiliran sesuai dengan wilayah kerjanya. Jika pada saat berpatroli tersebut, mendapatkan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota masyarakat maka ditangkap dan dihadapkan ke Raja dan Saniri Negeri. Berdasarkan tingkat pelanggarannya maka Raja atau Saniri Negeri menjatuhkan sanksi kepada yang bersangkutan berupa denda berupa uang. Pada jaman dahulu jika pelanggar tidak dapat membayar denda, maka akan dihukum dengan cara dililiti dengan daun kelapa muda dan diarak keliling kampung dengan meneriakan kata-kata agar orang lain tidak meniru perbuatan atau kesalahannya itu. Pada rezim sentralisasi, fungsi pengawasan mengalami penurunan di sebabkan karena tidak berperan dan berfungsinya Raja dan Kewang secara baik. Pada rezim otonomi daerah, fungsi pengawasan mengalami perubahan yang lebih baik karena berfungsi kembali
98
sistem pemerintahan adat dan adanya kesadaran masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Dengan memperhatikan hasil penelitian tentang dampak perubahan sistem pemerintahan desa terhadap pengelolaan perikanan berbasis masyarakat yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa nilai total semua variabel pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat memiliki nilai yang tinggi pada rezim adat sehingga pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh
Novaczek et al. (2001) bahwa persepsi masyarakat untuk kinerja sasi pada masa lalu adalah lebih baik dibandingkan dengan waktu sekarang ini. Berdasarkan pola perubahan yang diamati pada semua variabel maka terlihat pada rezim otonomi daerah terjadi adanya pening-katan nilai namun belumlah sama seperti pada rezim adat.
Untuk itu maka pada rezim otonomi daerah ini perlu sekali untuk
membenahi
berbagai hal terutama pimpinan desa dan lembaga pengelolaan
perikanan berbasis masyarakat dalam melaksanakan fungsi-fungsi pengelolaan sumberdaya perikanan yang mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan.
Perencanaan merupakan proses dasar dimana
manajemen memutuskan tujuan dan cara mencapainya. Perencanaan dalam suatu organisasi adalah esensial, karena dalam kenyataannya perencanaan memegang peranan lebih dibanding fungsi-fungsi manajemen lainnya sedangkan fungsifungsi pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan
sebenarnya hanya me-
laksanakan keputusan-keputusan perencanaan (Handoko, 2003).
Partisipasi
masyarakat merupakan syarat penting dalam perencanaan pengelolaan sumberdaya perikanan, dimana keikutsertaan masyarakat akan membawa dampak positif karena mereka akan memahami berbagai permasalahan yang muncul serta memahami keputusan akhir yang akan diambil.
Hal ini sesuai dengan yang di-
kemukakan oleh Purnomowati (2001) bahwa dalam proses perencanaan maka pada hakekatnya perlu melibatkan masyarakat untuk mengakomodasi kebutuhan, aspirasi dan konsern dari masyarakat. Akan tetapi dalam meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang merupakan bagian dari pembangunan desa maka tentunya memiliki berbagai masalah yang dihadapi yaitu antara lain: pertama, rendahnya mutu sumberdaya
99
manusia, ke-dua, belum optimal lembaga
pemerintahan desa dan lembaga
musyawarah desa dalam menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, ketiga terbatasnya jangkauan pelayanan lembaga perekonomian dalam mendukung usaha ekonomi desa dan ke-empat, belum meratanya prasarana dan sarana sosial ekonomi dalam melayani kebutuhan masyarakat desa (Haeruman, 1997). Berdasarkan hal tersebut, dalam rangka meningkatkan pengelolaan sumberdaya perikanan di rezim otonomi daerah maka peranan pimpinan desa dan organisasi atau lembaga lokal dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di tingkat desa perlu diperhatikan dan diberdayakan. Adapun salah satu upaya adalah melalui pendidikan. Hal ini disebabkan karena pimpinan desa dan organisasi atau lembaga pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat merupakan alat dan sarana penting untuk melaksanakan fungsi-fungsi pengelolaan perikanan yang telah diuraikan di atas.
Hal ini
seperti yang dikemukakan oleh Nomleni et al. (2005) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi reformasi birokrasi lokal adalah (1) pendidikan baik pendidikan formal maupun non formal, (2) kompetensi yaitu kemampuan dan penguasaan bidang pekerjaan secara optimal dan kemampuan aparatur untuk beradaptasi dengan perubahan dan tuntutan
lingkungan eksternal yang berkaitan dengan
peningkatan kualitas pelayanan dan (3) sosial budaya.
Selanjutnya menurut
Setyaningsih et al. ( 2003) bahwa lembaga lokal yang didirikan oleh masyarakat pada prinsipnya akan berjalan secara optimal apabila memenuhi empat hal yang harus terpenuhi sebagai strategi pemberdayaan masyarakat. Empat hal tersebut adalah: sistem norma, kelakuan berpola, personil pendukung dan fasilitas pendukung. Sasi sebagai pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat di Maluku menurut Nikijuluw (1994) memiliki sistem norma atau kaedah selain itu juga ada tujuan, pelaksanaan dan superstruktur organisasi. Oleh karena itu apabila pelaksanaan sasi dapat dikelola secara benar maka akan berjalan dengan baik dan merupakan salah satu strategi dalam pemberdayaan masyarakat pedesaan.
100
4.5 Dampak Pengaruh Perubahan Sistem Pemerintahan Desa terhadap Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan di Pedesaan Maluku Hasil pengujian hipotesis untuk mengetahui dampak pengaruh perubahan sistem pemerintahan desa terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku dilakukan dengan menggunakan Uji Friedman. Hasil statistik
menunjukkan bahwa χ2 hitung adalah 9.556 kemudian diban-
dingkan dengan χ2 tabel dengan tingkat kepercayaan 95 % adalah 5.991. Hasil ini memperlihatkan bahwa χ2 hitung > χ2 tabel sehingga hipotesis Ho ditolak dan menerima H1 yaitu perubahan sistem pemerintahan desa berpengaruh terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Adapun variabel kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang di amati diperlihatkan pada Tabel 18. Indikator kinerja efisiensi yang pertama adalah pengambilan keputusan oleh nelayan terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Indikator ini berhubungan dengan
bagaimana
pendapat nelayan
terhadap masalah
pengelolaan perikanan. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai pengambilan keputusan nelayan dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan pada rezim adat lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pengambilan keputusan nelayan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 10. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat masyarakat pada umumnya dan nelayan pada khususnya lebih taat terhadap lembaga adat yaitu Raja dan Kewang yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Sehingga nelayan turut terlibat dan aktif dalam pengambilan keputusan pada pertemuanpertemuan adat yang dilaksanakan oleh pemerintah negeri/desa yang dipimpin oleh Raja yang didampingi oleh Kewang.
101
Tabel 18 Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
Rezim Adat
Rezim Sentralisasi
Rezim Otonomi Daerah
7.0 ±0.73
4.8 ±1.01
6.5 ±0.96
Kesempatan masyarakat 10.0 ±0 dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan
9.9 ±0
9.9 ±0.93
Kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan
9.1 ±0.69
5.3 ±0.75
5.9 ±0.91
Tingkat aksesibilitas terhadap sumberdaya perikanan
10.0 ±0
10.0 ±0
10.0 ±0
Keragaman alat tangkap
7.4 ±2.80
5.5 ±1.56
4.1 ±2.09
Tingkat kesamaan ekonomi
6.9 ±2.07
5.8 ±1.41
5.4 ±2.09
Kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan
9.1 ±0.61
7.3 ±0.92
6.4 ±1.39
Tingkat kesejahteraan rumah tangga
4.6 ±1.32
6.8 ±0.76
7.9 ±0.61
Kerukunan nelayan
8.6 ±1.77
7.3 ±0.84
6.4 ±1.10
Kondisi umum sumberdaya perikanan
9.8 ±0.41
6.1 ±0.98
5.3 ±1.51
Kondisi hasil tangkapan sumberdaya perikanan
8.8 ±0.65
6.4 ±1.07
5.4 ±1.23
Total
8.4
6.8
6.6
Efisiensi : Pengambilan keputusan nelayan
Pemerataan :
Keberlanjutan Sosial Ekonomi :
Keberlanjutan Biologi :
102
Pada rezim sentralisasi dimana Raja dan Kewang kurang memiliki peranan dalam pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, sehingga nelayan kurang berpartisipasi dan tidak aktif dalam pengambilan keputusan terhadap pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Sedikit adanya perubahan pengambilan keputusan masyarakat pada rezim otonomi daerah, disebabkan karena lembagalembaga adat mulai diaktifkan kembali dan masyarakat sudah mulai sadar dan punya kepedulian terhadap pentingnya pengelolaan sumberdaya perikanan bagi kelangsungan hidup mereka. Indikator kinerja efisiensi yang kedua adalah kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Indikator ini berhubungan dengan bagaimana kesempatan masyarakat dalam memanfaatkan atau menggunakan sumber daya perikanan. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan pada ketiga rezim memiliki nilai yang sama.
Hal itu berarti bahwa walaupun terjadi
pergantian sistem pemerintahan desa tetapi tidak membawa pengaruh terhadap kesempatan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Sampai saat ini masyarakat masih bebas untuk menangkap ikan atau hasil laut lainnya. Untuk itu maka tidak ada mengalami pola perubahan, seperti terlihat pada Gambar 10. Kebebasan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan apabila tidak dikelola dengan baik maka akan membawa pengaruh yang cukup besar terhadap menurunnya potensi dan kondisi dan kesehatan sumberdaya perikanan. Indikator kinerja efisiensi yang ketiga adalah kepatuhan masyarakat terhadap peraturan pengelolaan perikanan. Indikator ini berhubungan dengan bagaimana masyarakat memiliki ketaatan atau kepatuhan terhadap peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berlaku. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan
bahwa kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan pada rezim adat adalah lebih baik.
Peringkat
103
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Pengambilan Keputusan Nelayan dalam Pengelolaan Perikanan Kesempatan Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Kepatuhan Masyarakat Terhadap Peraturan Perikanan Adat
Sentralisasi
Otonomi Daerah
Rezim
Gambar 10 Pola perubahan kinerja efisiensi pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan kemudian mengalami peningkatan dari rezim sentralisasi ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 10. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, peraturan pengelolaan sumberdaya perikanan yang telah ditetapkan oleh Raja selaku pemimpin adat dan dilaksanakan oleh Kewang
memiliki
sanksi adat yang kuat dan mengikat sehingga membuat
masyarakat adat tunduk dan patuh terhadap peraturan perikanan tersebut. Selain itu, karena masyarakat yang tinggal menetap di desa tersebut mayoritas adalah masyarakat adat itu sendiri. Sebaliknya pada rezim sentralisasi terjadi penurunan karena tidak berfungsinya Raja dan Kewang secara baik. Selain itu, banyak terjadi mobilisasi penduduk di mana umumnya penduduk berusia muda ke luar desa
untuk merantau, sekolah dan mencari kehidupan yang lebih baik.
Di
samping itu juga, banyak masuknya pendatang dari luar daerah yang kebanyakan tinggal dan mendiami dusun-dusun, di pesisir pantai bahkan di gunung-gunung. Kondisi ini yang membuat terjadinya pembauran dan perubahan sosial ekonomi di masyarakat. Pada rezim otonomi daerah, kepatuhan masyarakat terhadap peraturan perikanan mulai menunjukkan peningkatan karena sistem pemerintahan
104
negeri telah diberlakukan kembali dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat mulai diperhatikan dan diaktifkan. Indikator kinerja pemerataan yang pertama adalah tingkat aksesibilitas terhadap sumberdaya perikanan.
Indikator ini berhubungan dengan biaya atau
ongkos yang harus dibayarkan seseorang supaya bisa menangkap ikan dan hasil laut lainnya.
Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai tingkat
aksesibilitas masyarakat terhadap sumberdaya perikanan pada rezim adat lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat aksesibilitas masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya perikanan pada rezim adat lebih baik. Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi dan bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 11. Pola perubahan ini ini disebabkan karena pada rezim adat, untuk menangkap ikan dan hasil laut lainnya masyarakat ataupun nelayan tidak membayarkan apapun ke desa. Namun dengan bertambahnya waktu dan semakin bertambahnya penduduk yang diikuti
dengan peningkatan kebutuhan-kebutuhan
ekonominya maka pemerintah desa kini mulai melakukan pengaturan pengelolaan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan baik secara formal maupun non formal yang bertujuan untuk menjaga daerah pesisir pantai dan juga untuk peningkatan pendapatan desa dan juga masyarakat. Indikator kinerja pemerataan yang kedua adalah kepemilikan alat tangkap. Indikator ini berhubungan dengan bagaimana
keadaan kepemilikkan sarana
produksi perikanan seperti alat tangkap, kapal dan motor ikan dan berkaitan dengan pembagian keuntungan.
Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan
bahwa nilai kepemilikkan alat penangkapan ikan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kepemilikkan alat penangkapan ikan pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 11.
105
Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat hampir semua masyarakat memiliki alat penangkapan ikan yang sama berupa alat penangkapan ikan secara sederhana atau tradisional yaitu berupa perahu, jaring, pancing dan serok. Selain itu, usaha penangkapan ikan bukan sebagai mata pencarian utama tetapi berupa usaha subsisten dengan mata pencarian lain sehingga usaha tersebut hanya cukup untuk memenuhi keperluan sehari-hari saja. Pada rezim sentralisasi dimana telah terjadi peningkatan jumlah penduduk dan banyak masuknya pendatang maka banyak terjadi perubahan-perubahan sosial ekonomi. Salah satu perubahan dalam masyarakat nelayan adalah berkembangnya alat penangkapan yang lebih modern yang diadopsi dari penduduk pendatang. Selain itu, usaha perikanan tangkap bukan lagi merupakan usaha subsisten tapi telah berubah menjadi mata pencaharian utama. Faktor lain yang turut mendorong beralihnya usaha perikanan sebagai mata pencarian utama adalah karena terbatasnya lahan di
Peringkat
darat. 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Tingkat Aksesibilitas terhadap Sumberdaya Perikanan Kepemilikan Alat Tangkap Tingkat Kesamaan Ekonomi Masyarakat
Adat
Sentralisasi
Otonomi Daerah
Rezim
Gambar 11 Pola perubahan kinerja pemerataan dalam pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Dengan memiliki usaha perikanan sebagai mata pencarian utama maka nelayan telah memiliki manajemen usaha yang mengatur sistem keuangan usaha secara proporsional sebagai wujud dari pembagian keuntungan usaha. Adapun peningkatan jumlah nelayan di Maluku dapat di lihat pada Tabel 19.
106
Tabel 19 Jumlah nelayan/petani ikan di Provinsi Maluku periode 1994-2001 No.
Thn
Perikanan Laut
Perairan
Tangkap
Budidaya
Umum
Perikanan Darat Budidaya Air Tawar
Jumlah BAP
(Orang)
Kolam
Keramba
Sawah
Tambak
1.
1994
89.522
55
262
645
-
-
27
90.511
2.
1995
91.267
55
270
390
-
-
27
92.009
3.
1996
91.472
55
267
390
-
-
30
92.214
4.
1997
91.882
55
507
390
-
-
30
92864
5.
1998
93.225
55
507
350
-
-
30
94.167
6.
1999
80.377
55
507
400
-
-
30
81.369
7.
2000
56.121
66
164
107
-
-
18
56.476
8.
2001
61.763
345
271
221
-
-
103
62.701
655.629
789
2.755
2893
-
-
295
662.311
Total
Sumber : Statistik Perikanan Maluku, 2003
Tabel ini memperlihatkan adanya peningkatan jumlah nelayan dari tahun ke tahun namun mengalami perubahan di tahun 1999 karena saat itu kondisi daerah Maluku mengalami konflik kemanusiaan sehingga mengalami penurunan jumlah nelayan maupum usaha perikanan yang cukup signifikan. Namun kini terjadi peningkatan kembali karena kondisi dan keadaan daerah Maluku yang telah aman dan terkendali. Pada rezim sentralisasi maupun otonomi daerah, pemerintah sebagai manajer pengelolaan sumberdaya perikanan melakukan berbagai upaya pemberdayaan masyarakat nelayan untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Berbagai upaya yang dilakukan adalah pembinaan dan pelatihan usaha perikanan, penyuluhan dan penyaluran paket teknologi perikanan tangkap maupun budidaya yang berdampak terhadap peningkatan usaha perikanan yang diikuti dengan perkembangan peningkatan armada dan alat tangkap, seperti terlihat pada Tabel 20.
107
Tabel 20 Perkembangan perahu/kapal perikanan di Provinsi Maluku periode 1994-2001 (Buah) No 1 2 3
KATEGORI Perahu tanpa motor Perahu motor tempel Kapal motor < 5 GT 5-10 GT - 10-20 GT - 20-30 GT - 30-50 GT - 50-100 GT - 100-200 GT > 200 GT Total
1994 32.266 2.217 1.072 395 183 228 71 33 14 105 42 35.555
1995 32.610 2.271 2.142 396 186 226 106 58 19 107 44 36.023
1996 32.654 2.297 1.159 397 188 235 100 60 21 109 49 36.110
T A H U N 1997 1998 32.700 33.041 2.381 2.396 1.227 1.271 415 423 190 206 238 238 130 133 60 42 24 45 112 132 57 54 36.233 36.710
1999 32.973 2.593 1.306 463 226 211 133 42 45 132 54 36.872
2000 23.010 1.423 938 372 106 221 8 102 96 33 25.371
2001X) 244.272 16.025 9.003 3.051 1.296 2.658 283 435 916 364 269.300
Sumber : Statistik Perikanan Maluku, 2003
Tabel di atas menunjukkan bahwa armada penangkapan di Maluku masih di dominasi oleh perahu tanpa motor namun di sisi lain
telah terjadi
perkembangan armada penangkapan yang lebih besar dan modern. Selain berkembangnya armada penangkapan maka jenis alat tangkapan perikananpun mengalami perkembangan (Tabel 21). Tabel 21 Perkembangan unit penangkapan ikan di Provinsi Maluku periode 1994-2001 No 1. 2. 3 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11 12 13
Jenis Alat Pukat Udang Pukat Payang Pukat pantai Pukat Cincin Jaring Insang Jaring Angkut Pancing Huhate Rawai Perangkap Alat pengumpul Muro – Ami Lain - lain Total
1994 164 765 514 8.246 3.629 24.337 616 4.529 2.731 2.037 14 3.982
1995 165 771 525 9.683 3.658 20.791 669 4.580 3.356 1.850 11 6.486
1996 168 769 530 9.745 3.576 20.840 679 4.592 3.425 1.882 10 6.538
51.564
52.545
52.754
TAHUN 1997 1998 175 174 767 770 538 540 9.775 9.882 3.661 3.637 20.837 21.209 702 737 4.730 4.653 3.389 3.549 1.893 2.116 11 9 6.517 6.378 52.995
53.654
1999 179 125 608 639 10.197 3.226 19.328 496 3.268 3.368 1.120 7 4.460 47.021
2000 107 125 364 383 6.118 1.935 11.596 297 1.960 2.020 672 4 4.107
2001 x) 107 125 364 383 6.124 1.937 11.607 297 1.962 2.022 673 4 4.116
Jumlah 1.239 375 5.178 4.052 69.770 25.259 150.545 4.493 30.274 23.860 12.243 70 42.584
29.688
29.721
369.942
Sumber : Statistik Perikanan Maluku, 2003
Tabel ini menunjukkan bahwa alat penangkapan ikan didominasi oleh pancing dan jaring insang. Dalam hubungannya dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berkelanjutan di Maluku maka perkembangan
108
armada dan alat tangkap perikanan perlu di kaji lebih lanjut yang berkaitan dengan kondisi dan potensi sumberdaya perikanan di Maluku. Indikator kinerja pemerataan yang ketiga adalah tingkat kesamaan ekonomi masyarakat. Indikator ini berhubungan dengan pembagian pendapatan masyarakat di desa sehubungan dengan perbedaan tingkat ekonomi.
Hasil penelitian
pada Tabel 16 menunjukkan bahwa nilai tingkat kesamaan ekonomi pada masyarakat pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim adat maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesamaan ekonomi masyarakat pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya adalah mengalami penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 11. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat, kondisi jumlah penduduk masih sedikit dan ketersediaan sumberdaya alam baik darat dan laut cukup banyak sehingga dapat dikelola dan dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan.
Sumberdaya alam yang dimaksud adalah
seperti komoditi cengkeh, pala, coklat, sagu, kelapa, buah-buahan, umbi-umbian dan lain-lainnya.
Cengkeh pada saat itu merupakan jenis komoditi primadona
masyarakat pedesaan Maluku karena selain memiliki potensi yang sangat besar tetapi juga memiliki nilai harga jual yang tinggi. Oleh karena itu masyarakat adat yang memiliki dusun-dusun cengkeh akan memiliki pendapatan yang cukup tinggi sehingga kondisi kehidupan ekonomi masyarakat adalah lebih baik. Salah satu indikator yang dapat dilihat adalah banyaknya anak-anak dalam keluarga yang dapat disekolahkan ke tingkat yang lebih tinggi dan ke luar desa bahkan ke luar daerah sehingga berhasil dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Selain itu juga dengan hasil cengkeh banyak dilakukan pembangunan rumah dan memiliki perabotan rumah tangga yang lebih baik. Pada rezim sentralisasi dimana harga cengkeh mengalami penurunan yang sangat drastis, terjadi peningkatan jumlah penduduk dan masuknya pendatang sehingga banyak terjadi banyak perkembangan pembangunan dan mulai terbatasnya lahan di darat.
Oleh karena itu maka
masyarakat mulai mengalihkan perhatian dari usaha cengkeh dan menaruh perhatian pada laut sebagai sumber mata pencaharian hidup yaitu sebagai nelayan
109
murni.
Padahal sebelumnya, usaha menangkap ikan di laut dilakukan oleh
masyarakat hanyalah merupakan usaha subsisten dengan mata pencaharian lain di darat. Pada rezim ini, pemerintah menggalakkan pembangunan perikanan dengan melakukan berbagai upaya baik pelatihan maupun pemberian bantuan teknologi alat tangkap, teknologi pengolahan pasca panen maupun pemberian modal bagi masyarakat nelayan yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan hidupnya.. Akan tetapi dari berbagai bentuk upaya tersebut di atas seringkali mengalami kegagalan di mana masyarakat nelayan tetap terbelenggu dengan belitan kemiskinan. Menurut Pical (1997) bahwa tingkat adopsi teknologi masyarakat terhadap pengolahan hasil-hasil perikanan di pedesaan Maluku Tengah adalah masih rendah dan berada pada tingkat sadar. Hal ini disebabkan karena kurangnya pendampingan
terhadap
masyarakat nelayan maupun
keterlibatan pimpinan desa dalam membantu meningkatkan kesadaran dan minat masyarakat dalam usaha perikanan.
Oleh karena itu pendampingan terhadap
masyarakat nelayan terutama dalam usaha perikanan harus terus digalakkan dan dikembangkan serta dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini disebabkan karena usaha perikanan merupakan usaha yang sangat berisiko, membutuhkan modal besar, ketangguhan dan keuletan dalam bekerja.
Apalagi saat ini kondisi
sumberdaya perikanan di sekitar pedesaan sudah mulai berkurang dan daerah penangkapan ikan sudah jauh dari desa sehingga membutuhkan alat penangkapan ikan yang lebih besar dan modern. Untuk itu bagi masyarakat yang memiliki “jiwa” ke laut akan mempunyai usaha perikanan yang baik dan memiliki taraf hidup yang baik. Namun satu hal yang turut mempengaruhi adalah manajemen usaha perikanan karena disadari bahwa kegagalan usaha perikanan di masyarakat nelayan salah satu faktornya adalah lemahnya faktor manajemen usaha perikanan. Di samping masyarakat melakukan aktivitas perikanan tetapi ada juga melakukan usaha-usaha lainnya.
Salah satu yang dilihat di lapangan adalah
berkembangnya usaha “home industri” berupa pembuatan kue olahan atau penganan dari sagu seperti Bagea dan Serut dari Desa Ihamahu dan usaha Sempe berupa perabotan rumah tangga yang terbuat dari tanah liat di Desa Ouw, di Pulau Saparua. Fenomena lain adalah berkembangnya usaha ojek motor antara desa yaitu di Pulau Saparua, Pulau Haruku dan di Seram Bagian Barat. Hal ini
110
sesuai dengan hasil inventarisasi dan identifikasi potensi sumberdaya perikanan di Maluku Tengah tahun 2003. Adapun jenis pekerjaan masyarakat pada desa-desa penelitian dapat di lihat pada Gambar 12. Pada rezim otonomi daerah terjadi penurunan karena kondisi masyarakat Maluku yang baru saja pulih dari konflik kemanusiaan yang turut berdampak terhadap sosial ekonomi masyarakat terutama pekerjaan masyarakat. Untuk itu diharapkan usaha perikanan sebagai salah satu sektor andalan di Maluku dapat dikembangkan menjadi lebih baik. Terutama setelah sistem adat telah diaktifkan kembali maka pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan berbasis masyarakat di tingkat pedesaan harus dilakukan secara baik untuk peningkatan pendapatan dan kesejahteraan hidup masyarakat nelayan.
Lain-Lain 70 60
Persentase
50 40 30 20 10
(o ra ng ) B ur uh
ik
Be ca k
(o ra ng )
(o ra ng ) O je k P en ar
(o ra ng )
Tu ka ng
S op ir
P et an i( or An an gk g) ut an La ut (o ra ng P ) er tu ka ng an (o ra ng ) A BK
(o ra ng )
(o ra ng )
P ed ag an g
Sw as ta
K ar ya w an
P N S
(S el ai n
G ur u)
(o ra ng )
0
Jenis Pekerjaan
Gambar 12 Jenis pekerjaan masyarakat selain nelayan di Maluku Tengah, 2003 Indikator kinerja keberlanjutan sosial ekonomi yang pertama adalah kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan. Indikator ini berhubungan dengan kegiatan bersama dalam masyarakat terutama dalam bidang perikanan seperti timba laor dan bameti yaitu mencari siput (bia) yang dilakukan pada waktu dan musim tertentu. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa
111
kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 13. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat kehidupan masyarakat adat memiliki kebersamaan dan rasa toleransi yang tinggi dalam melakukan berbagai aktivitas termasuk didalamnya kegiatan perikanan. Kegiatan perikanan yaitu
seperti pembersihan pantai, tradisi timba laor yaitu suatu
kegiatan masyarakat yang di lakukan secara bersama-sama untuk mengambil suatu jenis cacing laut yang disebut laor pada waktu dan musim tertentu yaitu di antara bulan bulan Maret dan bulan April setiap tahun. Selain itu masyarakat sering melakukan kegiatan bameti yaitu suatu aktivitas mencari sumberdaya perikanan tertentu pada waktu air surut dan kegiatan ini sering dilakukan pada waktu musim paceklik ikan. Aktivitas bersama ini yaitu dalam membuat perahu, menjahit jaring, menaikkan dan menurunkan perahu dikala selesai melaut dan lain-lain.
10 9 8 Kebersamaan Masyarakat dalam Kegiatan Perikanan
Peringkat
7 6
Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Kerukunan Nelayan
5 4 3 2 1 0 Adat
Sentralisasi
Otonomi Daerah
Rezim
Gambar 13 Pola perubahan keberlanjutan sosial ekonomi masyarakat di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah
112
Di samping kegiatan bersama dalam di bidang perikanan maka ada juga suatu tradisi masyarakat pedesaan untuk bergotong royong dalam melaku-kan suatu pekerjaan yang disebut dengan masohi, seperti membangun rumah, petik cengkeh, tebang sagu, membangun tempat ibadah dan rumah adat. Tradisi-tradisi ini berada dalam tatanan kelembagaan adat sehingga masyarakat sangat pro aktif dalam menjalankan tradisi ini. Namun dengan perubahan sistem pemerintahan desa pada rezim sentralisasi dimana nilai-nilai adat mulai berkurang peranannya maka kebersamaan masyarakat dalam kegiatan perikanan juga mulai menurun. Kebersamaan masyarakat tersebut diatas bertujuan untuk membantu, menolong dan meringankan suatu pekerjaan yang dilakukan secara sukarela oleh masyarakat dengan tidak ada imbalan ataupun upah apapun. Kondisi saat ini telah berubah dimana untuk membantu pekerjaan seseorang harus diberi upah.yang sesuai dan ada proses tawar menawar untuk melakukan suatu pekerjaan. Dapat dikatakan bahwa nilai-nilai kebersamaan dalam bermasyarakat di pedesaan mulai menurun cenderung lebih pada kepentingan pribadi.
Menurunnya nilai-nilai tradisi ini
salah satu faktornya disebabkan karena hilangnya kelembagaan adat. Di samping itu peningkatan jumlah penduduk dan berbagai kebutuhan-kebutuhan sosial ekonominya merupakan salah satu faktor yang juga turut mempengaruhi kebersamaan masyarakat.
Di sadari bahwa memang perubahan sistem
pemerintahan desa ke sistem pemerintahan negeri, tidak dapat serta merta dapat berubah kembali seperti semula tetapi membutuhkan suatu proses yang cukup panjang. Namun berdasarkan hasil pengamatan di sejumlah negeri yang sudah mulai mengaktifkan lembaga-lembaga adat maka terlihat
bahwa tatanan
kelembagaan adat dalam mengatur sosial kemasyarakatan termasuk di-dalamnya tradisi dalam kebersamaan masyarakat sudah diaktifkan dan diefek-tifkan kembali ke arah yang lebih baik. Indikator kinerja keberlanjutan sosial ekonomi yang kedua adalah tingkat kesejahteraan rumah tangga. Indikator ini berhubungan dengan kondisi sosial ekonomi rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Hasil penelitian pada Tabel 18 memperlihatkan bahwa nilai tingkat kesejahteraan rumah tangga masyarakat pedesaan pada rezim otonomi daerah adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai rezim sentralisasi maupun pada rezim adat. Berdasar-
113
kan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat kesejahteraan rumah tangga di pedesaan Maluku pada rezim otonomi daerah adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya peningkatan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 13. Pola perubahan ini disebabkan karena kesadaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah semakin baik. Salah satu indikator yang dapat di pakai untuk melihat tingkat kesejahteraan rumah tangga adalah kondisi perumahan masyarakat. Berdasarkan hasil pengamatan di lokasi penelitian bahwa di atas sekitar 50 persen perumahan penduduk memiliki rumah permanen dan semi permanen sedangkan sisanya masih merupakan perumahan kumuh. Hal ini sesuai dengan hasil inventarisasi dan identifikasi potensi sumberdaya perikanan di Maluku Tengah, 2003 seperti terlihat pada Gambar 14.
60
50
Persentase
40
30
20
10
0
Permanen
Semi Permanen
Kumuh
Jenis bangunan perumahan
Gambar 14 Kondisi perumahan masyarakat di Maluku Tengah, 2003 Berdasarkan data di atas maka dapat dikatakan bahwa kondisi kesejahteraan rumah tangga masyarakat menunjukkan keadaan hidup yang semakin membaik. Salah satu faktor yang juga turut mempengaruhi kondisi kesejahteraan rumahtangga masyarakat adalah tingkat pendapatan masyarakat. Tingkat pendapatan nelayan per tahun di Maluku menunjukkan adanya peningkatan yang cukup besar dari tahun ke tahun, seperti terlihat pada Gambar 15.
114
Jumlah (Rp)
1350000 1300000 1250000 1200000 1150000 1100000 1050000 1000000 950000 1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001*)
Periode
Gambar 15 Perkembangan pendapatan nelayan/orang/tahun di Maluku Perkembangan kondisi tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan di pedesaan Maluku terutama di Maluku Tengah adalah adanya pembangunan berbagai sarana dan prasarana sosial ekonomi dalam masyarakat seperti, sarana pendidikan, sarana perdagangan, sarana perekonomian, sarana telekomunikasi, sarana pelabuhan, sarana kesehatan, dan sarana jalan. Adapun kondisi sarana dan prasarana sosial ekonomi masyarakat di Maluku Tengah dapat di lihat pada Gambar berikut ini :
70
60
Persentase
50
40
30
20
10
0
TK
SD/Madrasah
SLTP/Sanawiah
SMU/Aliayah
Jenis Sekolah
Gambar 16 Kondisi sarana pendidikan masyarakat di Maluku Tengah, 2003
115
100 90 80
Persentase
70 60 50 40 30 20 10 0
Toko
Kios
Rumah Makan
Pasar
Jenis sarana perdagangan
Gambar 17
Kondisi sarana perdagangan masyarakat di Maluku Tengah, 2003
50
45
40
Persentase
35
30
25
20
15
10
5
0
Bank
Koperasi
Kantor Pos
Jenis sarana ekonomi
Gambar 18 Kondisi sarana ekonomi masyarakat di Maluku Tengah, 2003
116
i 45
40
35
Persentase
30
25
20
15
10
5
0
Wartel
Telepon
Stasiun Satelit
HT
SSB
Jenis sarana telekomunikasi
Gambar 19 Kondisi sarana telekomunikasi di Maluku Tengah, 2003
80
70
60
Persentase
50
40
30
20
10
0
Rumah Sakit
Puskesmas
Posyandu/KB
Jenis sarana kesehatan
Gambar 20 Kondisi sarana kesehatan di Maluku Tengah, 2003
117
80
70
60
Persentase
50
40
30
20
10
0
Aspal
Sirtu
Tanah
Setapak Semen
Jenis jalan
Gambar 21 Kondisi sarana jalan di Maluku Tengah, 2003
60
50
Persentase
40
30
20
10
0
Dermaga Beton
Dermaga Kayu Jenis dermaga
Gambar 22 Kondisi sarana pelabuhan di Maluku Tengah, 2003
118
Dengan memperlihatkan beberapa Gambar di atas maka hal ini menunjukkan bahwa kondisi sarana prasarana di kabupaten Maluku Tengah cukup tersedia. Namun hal ini masih perlu untuk dikembangkan dan dilengkapi dengan lebih baik lagi mengingat daerah Maluku Tengah yang cukup luas dan terdiri dari pulaupulau. Diharapkan dengan adanya pembentukan Kabupaten Seram Bagian Barat dan Seram Bagian Timur maka pembangunan sarana dan prasarana sosial ekonomi masyarakat dapat dikembangkan kearah yang lebih baik sesuai dengan situasi dan kondisi serta karakteristik wilayah sehingga dapat menunjang kesejahteraan masyarakat. Indikator kinerja keberlanjutan sosial ekonomi yang ketiga adalah kerukunan nelayan. Indikator ini berhubungan dengan keadaan kerukunan di antara nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai kerukunan nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kerukunan nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan pada rezim adat adalah lebih baik. Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 13. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat kerukunan nelayan dalam melakukan aktivitas perikanan lebih baik karena hampir semua nelayan tidak ada perbedaan dalam kepemilikkan alat tangkap seperti perahu, jaring dan pancing dimana kondisi semua nelayan hampir sama.
Selain itu,
karena potensi sumberdaya perikanan di pesisir pantai pedesaan juga masih baik Sehingga tidak ada rasa persaingan yang dapat memicu konflik antar nelayan. Pada rezim sentralisasi, dimana terjadi perkembangan jumlah nelayan yang diikuti dengan berkembangnya armada dan alat tangkap yang lebih besar dan modern maka terjadi persaingan antar nelayan. Seperti contohnya, perkembangan alat tangkap purse seine dimana usaha penangkapan ikan dilakukan secara berkelompok dan membutuhkan lebih banyak tenaga kerja serta memiliki aturan manajemen usaha.
Apabila manajemen usaha perikanan ini tidak dilakukan
secara baik oleh manajer yang biasanya adalah pemilik purse seine, seperti
119
pembagian hasil usaha, maka akan dapat menimbulkan konflik nelayan baik antar nelayan maupun dengan manajer itu sendiri. Hal seperti ini yang biasanya menjadi pemicu konflik di antara masyarakat nelayan. Untuk mengatasi hal tersebut di atas maka manajemen usaha perikanan perlu dilakukan secara baik dan adanya keterbukaan dalam informasi dan komunikasi antara masyarakat nelayan. Selain itu, masalah sosial lain yang sering terjadi dalam masyarakat umumnya terutama nelayan adalah masalah minuman keras. Ada suatu kebiasaan bagi nelayan bahwa sebelum pergi ke laut dimana akan berhadapan dengan tantangan ombak dan angin maka perlu minum sedikit minuman keras untuk menghilangkan rasa takut dan pusing. Kondisi ini memang sering dilakukan, namun apabila kebiasaan ini tidak terkontrol dan dilakukan secara berlebihan maka akan menimbulkan masalah keributan, perkelahian, kekacauan yang negatif dan merugikan.
yang berdampak terhadap hal-hal
Pada rezim adat, cara-cara penyelesaian konflik
dapat cepat diselesaikan dengan mengacu pada tatanan kelembagaan adat. Kewang berfungsi sebagai penjaga keamanan desa dan masyarakat sehingga konflik yang terjadi dalam masyarakat akan lebih cepat diselesaikan dan masyarakat menjadi rukun kembali. Sebaliknya pada rezim sentralisasi mengalami penurunan kerukunan nelayan dalam aktivitas perikanan disebabkan karena kelembagaan adat tidak berfungsi secara baik. Pada rezim otonomi daerah walaupun secara statistik tidak berbeda jauh dengan rezim sentralisasi namun berdasarkan hasil pengamatan di beberapa negeri yang sudah menjalankan aturanaturan adat terlihat bahwa kondisi kerukunan nelayan dalam beraktivitas perikanan sudah semakin membaik. Indikator kinerja keberlanjutan biologi yang pertama adalah kondisi kesehatan sumberdaya perikanan. Indikator ini berhubungan dengan keadaan umum sumberdaya laut yang menunjukkan keadaan alam dan lingkungan sumberdaya perikanan. Hasil penelitian pada Tabel 16 menunjukkan nilai kondisi kesehatan sumberdaya perikanan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa kondisi kesehatan sumberdaya perikanan pada rezim adat adalah lebih baik.
120
Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada
Peringkat
Gambar 23.
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Kondisi Umum Sumberdaya Perikanan Kondisi Hasil Tangkapan S b d
Adat
Sentralisasi
Otonomi Daerah
Rezim
Gambar 23 Pola perubahan kinerja keberlanjutan biologi sumberdaya perikanan di pedesaan Maluku pada rezim adat, rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat kondisi kesehatan sumberdaya perikanan berada dalam kondisi yang lebih baik. Kondisi tersebut didukung dengan adanya peraturan pemerintah negeri adat yang mengatur tentang penjagaan wilayah pesisir. Kewang sebagai salah satu perangkat adat mempunyai peranan penting dalam mengawasi pelaksanaan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Menurut hasil wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat ataupun nelayan, mereka mengatakan bahwa pada rezim adat, wilayah pesisir di pedesaan sangat subur sekali dimana kondisi perairan sangat bersih dan jernih dan banyak terdapat pohon-pohon bakau yang memungkinkan banyak ikan dengan berbagai jenis dan ukurannya. Di samping itu, terdapat berbagai jenis siput, kerang-kerangan, teripang, bunga-bunga karang, rumput laut dan berbagai jenis sumberdaya perikanan lainnya. yang dapat dimanfaatkan masyarakat
sebagai
pengganti ikan pada masa tidak musim ikan. Hal ini juga karena armada dan alat tangkap yang digunakan masyarakat pada saat itu masih sangat sederhana yaitu berupa perahu tanpa motor, pancing dan jaring.
121
Pada rezim sentralisasi, terjadi banyak perubahan yang disebabkan karena peningkatan jumlah penduduk, peningkatan jumlah nelayan dan usaha perikanan yang diikuti dengan bertambahnya jumlah armada dan alat perikanan tangkap sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan usaha perikanan masyarakat nelayan di pedesaan. Pada rezim sentralisasi ini diperhadapkan dengan suatu kondisi yang dilematis dimana di satu pihak berkembangnya usaha perikanan tangkap sedangkan di pihak yang lain kondisi kesehatan perairan yang semakin menurun akibat tingkah laku manusia dalam pemenuhan kebutuhannya, seperti menebang pohon bakau untuk dijadikan bahan bakar dan bahan bangunan demikian juga pengambilan karang dan pasir. Selain itu, masyarakat juga suka membom dan meracuni ikan sebagai salah satu cara alternatif yang cepat untuk mendapatkan ikan, pencemaran
dari bahan bakar yang di pergunakan oleh
armada tangkap ataupun pembuangan sampah sembarangan, dan lain sebagainya. Hal ini sesuai dengan hasil inventarisasi dan identifikasi potensi sumberdaya perikanan di Maluku Tengah, 2003, seperti terlihat pada Gambar 24.
120
Persentase
100 80
Ya
60
Tidak 40 20 0
Bom (Bahan Peledak)
Bius
Pengambilan Pengambilan Penebangan lain-Lain Karang Pasir Laut Bakau (Bore/Strom)
Penyebab kerusakan lingkungan perairan
Gambar 24 Penyebab kerusakan lingkungan perairan di Maluku Tengah, 2003 Gambar ini menunjukkan bahwa penyebab kerusakkan lingkungan pesisir pantai yang tertinggi adalah pengambilan pasir laut dan karang laut dam diikuti dengan penggunaan bom dan pembiusan.
122
Meskipun terjadi penurunan kondisi kesehatan sumberdaya perikanan di wilayah pesisir namun berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa pada umumnya daerah-daerah pesisir terutama di Pulau Saparua, Pulau Haruku dan Pulau Nusalaut masih memiliki keadaan sumberdaya perikanan yang tergolong masih baik yang
dapat diamati dari jenis dan ukuran ikan yang
tertangkap oleh nelayan. Hal ini juga sesuai dengan hasil inventarisasi dan identifikasi potensi sumberdaya perikanan di Kabupaten Maluku Tengah, 2003 bahwa kondisi terumbu karang, pandang lamun dan hutan mangrove sekitar diatas 50 % masih berada dalam kategori baik, seperti terlihat pada Gambar di bawah ini.
80
70
60
Persentase
50
40
30
20
10
0
Baik
Rusak
Reboisasi
Kondisi terumbu karang
Gambar 25 Kondisi terumbu karang di Maluku Tengah, 2003
123
120
100
Persentase
80
60
40
20
0
Baik
Rusak
Reboisasi
Kondisi hutan manggrove
Gambar 26 Kondisi hutan manggrove di Maluku Tengah, 2003
90 80 70
Persentase
60 50 40 30 20 10 0
Baik
Rusak
Reboisasi
Kondisi padang lamun
Gambar 27 Kondisi padang lamun di Maluku Tengah, 2003
124
Kondisi terumbu karang, hutan manggrove dan padang lamun merupakan salah satu indikator kesuburan perairan. Untuk itu berdasarkan Gambar di atas maka perlu adanya upaya dari berbagai pihak baik dari masyarakat lokal maupun pemangku kepentingan lainnya yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di pedesaan Maluku untuk terus menjaga dan mengelola sumberdaya perikanan secara lebih baik ke depan untuk kepentingan semua pihak. Untuk itu maka pada rezim otonomi daerah saat ini diharapkan lembaga sasi harus turut terlibat secara aktif terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat yang dapat menjaga kelestarian sumberdaya perikanan secara berkelanjutan. Indikator kinerja keberlanjutan biologi yang kedua adalah hasil tangkapan ikan. Indikator ini berhubungan dengan jumlah hasil penangkapan sumberdaya perikanan oleh masyarakat. Hasil penelitian pada Tabel 18 menunjukkan bahwa nilai hasil tangkapan ikan pada rezim adat adalah lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai pada rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah.
Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa hasil tangkapan ikan pada rezim adat adalah lebih baik Adapun pola perubahannya menunjukkan adanya penurunan dari rezim adat ke rezim sentralisasi bahkan ke rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 23. Pola perubahan ini disebabkan karena pada rezim adat ketersediaan sumberdaya perikanan sangat banyak sehingga orang dengan mudah menangkapnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat dan nelayan, mereka mengatakan bahwa pada rezim adat ketersediaan ikan dan sumberdaya perikanan lainnya sangat banyak dan beraneka macam serta berada di dekat sekitar 10 sampai 15 meter di wilayah pesisir desa mereka sehingga dengan mudah untuk menangkapnya terutama pada saat musim ikan.
Alat tangkap yang sering
digunakan adalah merupakan alat tangkap tradisional yaitu pancing, jaring dengan menggunakan perahu tanpa mesin. Selain itu digunakan alat perangkap ikan seperti bubu selanjutnya ada juga yang menggunakan bagan, seperti terlihat pada Gambar 28.
125
Gambar 28 Alat tangkap tradisional
Peralatan tangkap ini sangat sederhana dan terbuat dari bahan-bahan yang mudah di dapat di sekitar lingkungan desa.
Hasil tangkapan ikan dengan
menggunakan alat tangkap tersebut di atas pada waktu rezim adat adalah cukup banyak selain itu daerah operasi penangkapan ikan tidak jauh dari desa. Hasil tangkapan ini cukup untuk keperluan makan setiap hari, apabila ada kelebihan ikan maka akan diolah dan diawetkan dengan cara yang sederhana seperti ikan asin kering dan ikan asap.
Pada rezim sentralisasi dimana pemerintah mulai
menggalakan pemberdayaan masyarakat nelayan dengan memberikan bantuan peralatan dan armada tangkap di desa-desa yang potensial perikanan tangkap, maka terlihat bahwa hasil usaha perikanan tangkap semakin hari semakin bertambah. Oleh karena itu dengan adanya peningkatan armada dan alat tangkap perikanan maka terjadi peningkatan produksi perikanan.
Hal ini sesuai dengan
perkembangan produksi perikanan Maluku pada periode tahun 1994 – 2001 pada Tabel 22.
126
Tabel 22 Perkembangan produksi perikanan di Provinsi Maluku menurut cabang usaha periode 1994-2001 (Ton) Perikanan Laut No
Tahun
1 2 3 4 5 6 7 8
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001x)
Total
Perikanan Darat Budidaya Air tawar Kolam Karamba Sawah
Penangkapan
Budidaya
Perairan Umum
243.484,1 258.107,7 315.696,1 329.147,2 361.799,0 343.539,3 285.336,1 322.448,4
0.148 0.213 0.267 0.109 0.091 0.091 0.054 0.070
26,3 18,3 10,6 8,7 10,1 9,0 12,7 13,4
11,1 6,7 4,9 4,2 3,9 4,8 1,8 2,7
---------
---------
10,9 8,2 131,4 159,6 203,9 170,5 134,2 138,5
243.532.548 258.141.113 315.843.267 329.319.809 362.016.991 343.777.691 285.484.854 322.603.070
2.459.611,9
1.043
109,1
40,1
--
--
957,2
2.460.719.343
B.A.P Tambak
Jumlah
Catatan : x) Angka Sementara
Sumber : Laporan Tahun Dinas Perikanan dan Kelautan, 2003.
Data statistik perikanan ini menunjukkan bahwa produksi perikanan Maluku menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Meningkatnya hasil tangkapan disebabkan karena berkembangnya alat penangkapan ikan. Dengan semakin berkembangnya alat tangkap ikan secara lebih modern maka daerah operasi penangkapan ikan adalah lebih jauh di luar wilayah pesisir pedesaan. Adapun alat tangkap modern dapat dilihat pada Gambar 29.
127
Gambar 29 Alat tangkap modern
Di samping berkembangnya alat tangkap maka berkembang juga usaha perikanan tangkap dan pengolahan hasil perikanan. Berkembangnya
alat pe-
ngumpul ikan baik yang dimiliki oleh perusahaan perikanan nasional, asing maupun nelayan tradisional seperti rumpon, sero, dan bagan yang diletakan di depan wilayah perairan desa sehingga banyak ikan yang sudah terkonsentrasi dan bergerak serta berlindung pada alat pengumpul ikan tersebut. Hal ini yang merupakan salah satu faktor penyebab menurunnya jumlah hasil tangkapan di daerah perairan desa. Secara real di lapangan menunjukkan bahwa kondisi jumlah hasil penangkapan sumberdaya perikanan di wilayah perairan pedesaan semakin hari semakin menurun. Masyarakat nelayan yang memiliki keterbatasan armada dan alat tangkap dan juga modal maka akan sangat terasa sulit untuk mendapatkan ikan di sekitar wilayah perairan desa. Kondisi seperti ini yang sering memicu masyarakat untuk melakukan cara-cara yang dekstruktif sepeti membom dan meracuni ikan yang berakibat pada menurunnya kondisi kesehatan sumberdaya perikanan. Penurunan jumlah hasil tangkapan sumberdaya perikanan di wilayah perairan pedesaan merupakan suatu realitas dimana upaya pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan harus perlu ditata kembali secara baik untuk
128
peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Pada rezim otonomi daerah, dimana
masyarakat lokal diberi tanggung jawab dan wewenang untuk mengelola sumberdaya perikanan di wilayah perairan mereka maka diharapkan penerapan pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat melalui lembaga-lembaga adat dapat memberikan kontribusi positif terhadap pembangunan perikanan yang berkelanjutan di wilayah perairan pedesaan Maluku. Dengan memperhatikan hasil penelitian tentang dampak perubahan sistem pemerintahan desa terhadap kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku yang telah dijelaskan di atas menunjukkan bahwa perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap semua variabel kinerja pengelolaan perikanan yaitu meliputi : efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan. Nilai total efisiensi, pemerataan dan keberlanjutan menunjukkan bahwa pada rezim adat lebih tinggi dibandingkan dengan rezim sentralisasi maupun pada rezim otonomi daerah. Menurut Nikijuluw (2002) bahwa faktor kunci yang menentukan kinerja pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan adalah semua pihak yang terlibat. baik manajer maupun pengguna sumberdaya yang dapat bekerjasama serta memiliki persepsi dan pemahaman yang sama. Oleh karena itu pada rezim otonomi daerah perlu dilakukan berbagai upaya untuk dapat meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan di pedesaan Maluku. Pimpinan desa dan lembaga pengelolaan perikanan adalah merupakan manejer pengelolaan perikanan dan masyarakat sebagai pengguna sumberdaya perikanan dipedesaan harus turut berpartisipasi dalam melaksanakan pengelolaan perikanan sebagai bagian dari pembangunan desa. Menurut Kurniantara et al. (2005), tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan desa dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu : (1) Basis informasi yang kuat (2) Kepemimpinan desa (3) Peranan organisasi lokal (4) Peranan pemerintah desa.
129
Dengan demikian peranan kepemimpinan desa sangat penting artinya untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan perikanan. Hal ini bisa ditempuh melalui peningkatan pengetahuan melalui pendidikan non formal secara kontinyu sehingga dapat meningkatkan kualitasnya. Menurut Saat (2001) bahwa beberapa hal pokok dalam melaksanakankan otonomi daerah
pengelolaan
sumberdaya perikanan adalah : (1) Kualitas sumberdaya manusia (2) Partisipasi masyarakat (3) Penegakan hukum yang melibatkan lembaga-lembaga masyarakat dan (4) Ketersediaan dana untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan untuk peningkatan infrastruktur wilayah. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada rezim otonomi daerah, faktor-faktor ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah Maluku. 4.6
Kinerja Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan pada Desa Sasi Laut dan Desa Non Sasi Laut Untuk menganalisis perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan
dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut
adalah dengan
menggunakan Uji Mann-Whitney. Hasil statistik menunjukkan bahwa nilai T = 55 yang kemudian dibandingkan dengan nilai T tabel dengan selang kepercayaan Wα/2 - W1-α/2 = 24 - 76 menunjukkan bahwa T hitung = 55 yaitu masih berada dalam selang kepercayaan 24 -76. Untuk itu maka hipotesis H1 ditolak dan menerima hipotesis H0 yaitu bahwa tidak ada perbedaan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dengan desa non sasi laut pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah.
Adapun indikator kinerja
pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut, diperlihatkan pada Tabel 23.
130
Tabel 23
Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut
Kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
Desa Sasi Laut
Desa Non Sasi Laut
Rezim Rezim Sentralisasi Otonomi Daerah
Rezim Rezim Sentralisasi Otonomi Daerah
Pengambilan Keputusan
4.5 ±0.89
6.2 ±0.91
4.9 ±1.02
6.5 ±0.96
Kesempatan Masyarakat
9.9 ±0.5
9.9 ±0.5
9.9 ±0.74
9.9 ±1.03
Kepatuhan Masyarakat
5.1 ±0.62
5.3 ±0.79
5.8 ±0.87
Efisiensi
6.3 ±0.95
Pemerataan Tingkat Aksesibilitas
10 ±0
10 ±0
10 ± 0
10 ±0
Keragaman Alat Tangkap
6.4 ±1.03
5.1 ±1.81
5.3 ±1.64
3.9 ±2.17
Kesamaan Ekonomi
5.6 ±1.41
5.1 ±2.34
5.8 ±1.40
5.5 ±2.0
Kebersamaan Masyarakat
7.5 ±1.10
6.8 ±1.53
7.2±0.83
6.3 ±1.33
Tingkat Kesejahteraan
7.1 ±0.81
7.9 ±0.62
6.7±0.74
7.9 ±0.61
Kerukunan Nelayan
7.6 ±0.62
7.0 ±0.89
7.1±0.86
6.2 ±1.10
Kondisi Sumberdaya
6.3 ±0.93
6.1 ±1.57
6.1±1.00
5.0 ±1.39
Hasil Tangkapan
6.8 ±0.86
5.9 ±1.29
6.2 ±1.10
5.2 ±1.15
Total
6.2
6.7
6.8
Keberlanjutan Sosial Ekonomi
Keberlanjutan Biologi
6.6
131
Adapun pola perubahannya menunjukkan keadaan yang hampir sama antara desa sasi laut dan desa non sasi laut pada rezim sentralisasi maupun rezim otonomi daerah, seperti terlihat pada Gambar 30. 10 9 8 Peringkat
7 6
Desa Sasi Laut Desa Non Sasi Laut
5 4 3 2 1 0 Sentralisasi
Otonomi Daerah Rezim
Gambar 30 Pola perubahan kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan pada desa sasi laut dan desa non sasi laut di pedesaan Maluku pada rezim sentralisasi dan rezim otonomi daerah Hasil ini memberikan arti bahwa desa sasi pada rezim sentralisasi tidak melakukan fungsi-fungsi pengelolaan perikanan secara baik sehingga memiliki kinerja pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan yang dengan desa non sasi.
tidak berbeda
Diketahui bahwa pelaksanaan fungsi pengelolaan
perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku dilakukan oleh pimpinan desa (Raja) dan lembaga pengelolaan perikanan (Kewang). Mereka memiliki peranan dan tanggung jawab yang cukup besar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat. Namun pada rezim sentralisasi kewenangan dan peranan Raja dan Kewang ini mengalami perubahan-perubahan yang sesuai dengan situasi dan kondisi sistem pemerintahan desa yang berlaku dan juga dengan perkembangan masyarakat dan perkembangan sosial ekonomi lainnya. Hasil ini juga memiliki keterkaitan dengan hasil analisis sebelumnya di atas bahwa perubahan sistem pemerintahan desa memberikan pengaruh terhadap pelaksanaan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat dipedesaan Maluku. Telah ditunjukkan pada Gambar 9 bahwa pola perubahan pengelolaan perikanan berbasis masyarakat terlihat adanya penurunan yang cukup signifikan
132
dari rezim adat ke rezim sentralisasi. Dengan demikian hal ini berdampak terhadap pelaksanaan kinerja pengelolaan perikanan berbasis masyarakat di pedesaan Maluku. Hal ini juga sesuai dengan hasil penelitian Novaczek et al. (2001) dan Harkes (2006) yang membandingkan desa-desa sasi dan tidak disasi di Maluku Tengah. Umumnya keberlanjutan sosial lebih baik pada desa-desa sasi sedangkan untuk keberlanjutan ekonomi lebih baik pada desa-desa yang tidak sasi. Hal ini juga dikemukakan oleh Arifin dan Pradina (1998) yang dikutip Dahuri (2003) bahwa sistem sasi belumlah cukup baik untuk mempertahankan perikanan lola secara berkelanjutan di Maluku. Ada empat faktor penyebabnya yaitu : (1) lemahnya informasi dasar tentang aspek biologi lola , seperti kebiasaan makan, siklus reproduksi dan tingkat permulaan dewasa (2) kuatnya ekonomi pasar yang menyebabkan keterpaksaan para pemimpin adat untuk membuka sasi sesering mungkin, (3) pertambahan penduduk yang tinggi (rata-rata 2.1 % per tahun ) dan (4) pengambilan lola secara illegal. Oleh sebab itu belajar dari kasus di atas, strategi pengelolaan sumberdaya perikanan dengan hanya mengedepankan sistem tradisional belum cukup memecahkan masalah. Oleh sebab itu, sistem ini harus diintegrasikan dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan biologi sumberdaya alam dan didukung oleh kebijakan pemerintah daerah setempat. Perikanan lola sistem sasi masih mungkin bertahan di masa yang akan datang jika aspek-aspek biologi lola telah dikuasai, batas minimum yang diijinkan untuk di panen, dan program pengelolaan bersama (co-management) di tingkat desa atau kabupaten diterapkan dengan baik. Faktor lain yang turut menyebabkan kinerja pengelolaan perikanan desa sasi pada rezim sentralistik tidak mengalami perbedaaan dengan desa non sasi adalah adalah karena sistem pengelolaan perikanan pada rezim sentralisasi bersifat sentralistik dimana terjadi eksternal kegiatan tangkap yang akhirnya mengabaikan kearifan tradisional oleh masyarakat lokal dalam pengelolaan perikanan berbasis masyarakat. Hal-hal seperti ini yang diduga menyebabkan kinerja pengelolaan perikanan pada desa sasi di rezim sentralisasi tidak berbeda dengan desa non sasi. Pada rezim otonomi daerah, hasil statistik di atas juga menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kinerja pengelolaan antara desa sasi laut dan desa non sasi
133
laut. Apabila di lihat dari sisi waktu pemberlakuan otonomi daerah di Maluku yaitu sejak diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 maka jumlah waktu pelaksanaan pengelolaan perikanan pada rezim otonomi daerah di Maluku masih terlalu singkat tidak sebanding dengan pelaksanaan pengelolaan perikanan di rezim sentralisasi. Periode sistem pemerintahan desa apabila dihitung sejak dikeluarkannya UU No. 5 Tahun 1979 sampai dengan pemberlakukan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada rezim reformasi maka sekitar 20 tahun. Dalam rentang waktu yang cukup lama dan begitu banyak mengalami perubahan dalam semua aspek maka pada rezim otonomi daerah yang masih sangat singkat ini maka tentunya mulai secara perlahan melakukan pembenahanpembenahan baik di tingkat pemerintahan maupun masyarakat. Dalam penerapan UU No. 22 Tahun 1999, daerah Maluku pada saat itu sedang mengalami konflik kerusuhan dan
tragedi kemanusiaan yang telah
menghancurkan sendi-sendi
kehidupan, akibatnya roda pemerintahan dan perekonomian daerah tidak dapat berjalan dengan baik. Dengan kondisi demikian namun penerapan UU No. 22 Tahun 1999 di sambut baik dan merupakan suatu berkat bagi pemerintah daerah Maluku karena dapat mengatur secara baik administrasi pemerintahan daerah baik di tingkat provinsi, di tingkat kabupaten/kota bahkan sampai pada tingkat desa. Semangat untuk melaksanakan adat mulai mewarnai kehidupan dinamika masyarakat Maluku seiring dengan kondisi daerah Maluku yang semakin hari semakin kondusif. Dalam membenahi manejemen pemerintahan di rezim otonomi daerah maka UU No. 22 Tahun 1999 kemudian mengalami revisi menjadi UU. No 32 Tahun 2004. Hal ini semakin dapat mengakomidir aspirasi masyarakat untuk kembali menjalankan
tradisi-tradisi
adat terutama
dalam pengelolaan
perikanan.
Berdasarkan hasil inventarisasi sasi di atas telah di sebutkan bahwa ada peningkatan pelaksanaan sasi laut seiiring dengan diaktifkannya kembali lembaga -lembaga adat seperti Kewang. Oleh karena itu dalam pelaksanaan pengelolaan perikanan di rezim otonomi daerah maka terasa perlu untuk kembali melihat keberhasilan sasi pada rezim adat dan juga melihat tidak efektifnya sasi pada rezim sentralisasi.
sehingga dapat menjadi pelajaran yang berharga dalam
peningkatan kinerja pengelolaan perikanan di pedesaan Maluku.
134
Berdasarkan hal tersebut di atas
maka pelaksanaan sasi harus lebih
diefektifkan terutama oleh pimpinan desa dan lembaga pengelolaan perikanan sehingga dapat memberikan nilai manfaat secara ekonomi kepada masyarakat. Selain itu, perlu juga didukung oleh kebijakan pemerintah daerah Maluku dan . peningkatan kegiatan pendidikan baik formal maupun non formal dan peningkatan pelaksanaan pengelolaan perikanan bersama dalam bentuk ko-manajemen di tingkat desa yang diterapkan dengan baik.