4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku Karakteristik bahan baku merupakan sifat penting untuk mengetahui potensi yang terdapat pada bahan tersebut. Berdasarkan hasil pengukuran, diperoleh data mengenai ukuran dan bobot belut sawah (Monopterus albus) yang terdiri atas parameter panjang, diameter badan, dan berat total. Belut sawah memiliki panjang rata-rata 42,63±2,03 cm, diameter rata-rata 1,05±0,13 cm, lingkar badan rata-rata 1,61±0,11 cm dan berat rata-rata 62,33±8,01 gr. Pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam merupakan faktor yang tidak dapat dikontrol misalnya genetik. Faktor luar merupakan faktor yang dapat dikontrol misalnya pemberian nutrisi, suhu, air, pH, jenis kelamin dan umur. Belut sawah yang digunakan dalam penelitian ini hanya bagian dagingnya saja. Daging segar yang digunakan berwarna putih, tekstur kompak, dan aroma spesifik belut. Daging yang digoreng berwarna coklat keemasan, tekstur agak krispi, dan aroma lezat. Daging segar dan goreng masing-masing dilumatkan kemudian dibungkus dengan alumunium foil dan disimpan ke dalam lemari es agar tidak mengalami kemunduran mutu saat dianalisis komposisi gizinya. 4.2 Rendemen Rendemen digunakan untuk memperkirakan berapa bagian dari bobot tubuh yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan. Rendemen merupakan parameter yang paling penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektivitas suatu produk atau bahan terutama bahan pangan. Semakin tinggi rendemen, maka semakin tinggi pula nilai ekonomisnya. Perhitungan rendemen didapatkan dengan membandingkan berat masing-masing bagian tubuh dengan bobot totalnya. Rendemen dari belut terdiri dari daging, kulit, kepala dan jeroan. Belut ditimbang utuh kemudian dipreparasi dengan membagi menjadi daging, kulit, kepala, dan jeroan, kemudian ditimbang. Persentasi rendemen belut dapat dilihat pada Gambar 5.
25
Tulang 14,72 % Kulit 10,39 %
Daging 55,09 %
Jeroan 9,69 % Kepala 10,12 %
Gambar 5 Persentasi rendemen belut sawah Rendemen tertinggi terdapat pada daging belut yaitu 55,09 % dari berat totalnya. Bagian tubuh belut yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian dagingnya untuk diolah sebagai lauk sumber protein. Berdasarkan perhitungan rendemen daging belut di atas, belut memiliki nilai potensi yang baik untuk dimanfaatkan dagingnya sebagai makanan sumber protein. Hasil lain yang didapat yaitu rendemen tulang belut. Tulang belut memiliki rendemen 14,72 % dari berat total tubuhnya. Tulang ikan saat ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan gelatin. Gelatin yang terbuat dari tulang ikan memiliki respon yang baik di pasaran. Produksi gelatin dunia terbesar berasal dari bahan baku kulit babi. Gelatin yang berasal dari kulit babi ini tidak menguntungkan bila dipasarkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, sehingga penggunaan tulang ikan sebagai bahan baku gelatin merupakan alternatif yang prospektif (Astawan et al. 2002). Tulang belut juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan tepung tulang ikan. Tepung tulang ikan memiliki keunggulan dibandingkan tepung ikan biasa. Tepung tulang ikan memiliki kandungan mineral seperti kalsium dan fosfor yang tinggi, sehingga dapat menjadi sumber pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor (Kaya et al. 2007). Rendemen kulit belut sebesar 10,39 %. Kulit belut memiliki tektur yang licin, plastis dan tidak bersisik. Kulit ikan biasa dimanfaatkan sebagai kerupuk kulit, bahan baku pembuatan gelatin, dan penyamakan kulit ikan. Rendemen kepala belut sebesar 10,12 %. Kepala belut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pupuk tanaman. Kepala belut memiliki kandungan protein yang
26
tinggi, sehingga dapat digunakan sebagai perangsang pertumbuhan tanaman. Rendemen jeroan belut sebesar 9,69 %. Jeroan banyak dimanfaatkan sebagai pupuk dan diambil ekstrak enzimnya. Enzim yang dapat diambil dari jeroan ikan antara lain protease, kolagen dan katepsin. Berat belut sawah segar mengalami penurunan bobot setelah proses penggorengan. Penyusutan bobot belut sawah segar setelah digoreng adalah 74 % dari bobot awal. Penyusutan ini terjadi karena kandungan air menguap dari bahan dan digantikan oleh minyak (Ketaren 1986). Banyaknya kandungan minyak yang masuk ke dalam belut adalah 23 ml per 100 gram. Jumlah ini diperoleh dari pengurangan minyak yang digunakan sebelum penggorengan dan setelah penggorengan. 4.3 Hasil Analisis Proksimat Bahan pangan memiliki komposisi gizi tertentu yang menyusunnya. Sifat komposisi gizi pada bahan pangan perlu diketahui untuk pemanfaatan dan pengembangan bahan makanan tersebut. Bahan pangan berupa daging, biasa dikonsumsi dalam bentuk olahan. Bahan baku segar maupun olahan perlu diketahui kandungan gizinya agar dapat diketahui perubahan kandungan gizi di dalam bahan tersebut akibat pengolahan. Hal tersebut perlu dilakukan mengingat pengolahan dapat menyebabkan perubahan nilai gizi dari suatu bahan baku segar. Salah satu proses pengolahan belut yang banyak dilakukan adalah penggorengan. Penggorengan merupakan suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai pengantar panas. Tujuan proses penggorengan adalah untuk melakukan pemanasan pada bahan pangan, pemasakan, dan pengeringan. Menggoreng dengan minyak atau lemak mampu meningkatkan cita rasa dan tekstur makanan dan jumlah kalori akan meningkat setelah digoreng. Bahan yang digoreng akan menghasilkan produk yang kering, renyah, dan tahan lama (Winarno 1999). Bahan pangan yang digoreng biasanya digoreng menggunakan sistem deep frying. Proses penggorengan dapat merubah karakter bahan pangan. Lapisan luar akan berwarna coklat keemasan karena adanya reaksi browning. Komposisi gizi dari bahan pangan juga berubah karena ada beberapa zat gizi makanan yang
27
tidak tahan panas. Suhu pemanasan saat menggoreng berkisar antara 163-200 oC (Ketaren 1986). Salah satu metode yang paling lazim digunakan untuk mengetahui kandungan gizi suatu bahan adalah analisis proksimat. Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kandungna gizi secara kasar (crude) yang meliputi kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat. Kandungan karbohidrat dihitung secara by different. Komposisi kimia daging segar dan goreng belut sawah dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komposisi kimia daging segar dan goreng belut sawah Komposisi kimia rata-rata (%) Kadar air Kadar abu Kadar protein Kadar lemak Kadar karbohidrat
Segar Basis basah Basis kering (%) (%) 78,90 0 0,33 1,56 15,90 75,32 0,12 0,58 4,75 22,54
Goreng Basis basah Basis kering (%) (%) 23,47 0 3,15 4,12 55,47 72,48 11,52 15,05 6,39 8,35
Nilai gizi suatu bahan dipengaruhi oleh kadar air. Kandungan kadar air yang rendah pada bahan pangan akan menyebabkan bahan menjadi lebih padat sehingga konsentrasi zat gizi akan terlihat lebih besar dibandingkan bahan pangan yang memiliki kadar air yang lebih tinggi. Nilai kandungan gizi yang sebenarnya dilakukan dengan pengasumsian perhitungan kandungan gizi tanpa kandungan air atau kandungan air diabaikan yang disebut basis kering, sehingga dapat terlihat perbandingan nilai gizi bahan baku segar dan bahan baku setelah digoreng. 4.3.1 Kadar air Air merupakan komponen penting dalam bahan makanan karena air dapat mempengaruhi penampakan, tekstur, serta cita rasa makanan. Bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda. Kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan acceptability, kesegaran, dan daya tahan bahan itu. Air dalam bahan makanan biasanya terbagi dua yaitu air imbibisi dan air kristal. Air imbibisi merupakan air yang masuk ke dalam bahan pangan dan akan menyebabkan pengembangan volume, tetapi air ini tidak termasuk komponen penyusun bahan tersebut. Air kristal adalah semua air yang terikat di bahan pangan maupun nonpangan yang berbentuk kristal (Winarno 2008).
28
Kandungan air dan aktivitas air mempengaruhi perkembangan reaksi pembusukan secara kimia dan mikrobiologi dalam makanan. Makanan yang dikeringkan mempunyai kestabilan tinggi pada penyimpanan, biasanya dengan rentang kadar air antara 5-15 %. Makanan semi basah memiliki kadar air 20-40 %. Makanan semi basah memiliki aktivitas air 0,5. Berbagai mikroorganisme mempunyai aw minimum agar dapat tumbuh dengan baik, yaitu bakteri aw 0,9, khamir aw 0,8-0,9, dan kapang aw 0,6-0,7 (deMan 1997). Penetapan kandungan air pada belut segar dan belut goreng dilakukan dengan mengeringkan bahan dalam oven pada suhu 110 oC sampai beratnya konstan. Selisih berat sebelum dan sesudah pengeringan adalah banyaknya air yang diuapkan (Winarno 2008). Kandungan air dalam belut sawah yang segar adalah 78,90 % dan belut sawah goreng 23,47 %. Kandungan air belut sawah segar lebih besar daripada belut sawah goreng. Kadar air pada hewan diikat oleh protein otot. Kemampuan otot mengikat air disebabkan oleh aktomiosin komponen utama myofibril (deMan 1997). Kandungan air belut sawah goreng lebih kecil bila dibandingkan dengan kandungan air belut sawah segar. Penggorengan dengan suhu 180 oC selama 5 menit menyebabkan 55,43 % kadar air belut segar menguap. Pemanasan saat penggorengan menyebabkan pori-pori permukaan bahan terbuka, sehingga air dalam bahan akan menguap. Kekosongan air pada bahan pangan kemudian digantikan oleh minyak yang berdifusi ke dalam bahan makanan (Ketaren 1986). Belut sawah yang digoreng memiliki kadar air 23,47 %. Kadar air tersebut menandakan bahwa bahan makanan tersebut termasuk dalam golongan makanan semi basah. Menurut deMan (1997) makanan semi basah memiliki aktivitas air 0,5 dimana bakteri, kamir dan kapang tidak bisa hidup pada jangka waktu tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa belut goreng memiliki waktu simpan lebih lama daripada belut segar apabila disimpan pada suhu ruang. 4.3.2 Kadar abu Kandungan mineral pada bahan pangan hewani sekitar 4 % yang dalam analisis bahan makanan tertinggal sebagai kadar abu, yaitu sisa yang tertinggal bila suatu sempel bahan makanan dibakar sempurna di dalam suatu tungku. Kadar abu menggambarkan banyaknya mineral yang tidak terbakar menjadi zat yang
29
menguap (Sediaoetama dan Achmad 2008). Unsur mineral disebut sebagai zat anorganik. Pembakaran akan menguapkan bahan-bahan organik, tetapi zat organik tetap utuh (Winarno 2008). Penentuan kadar abu dengan cara tersebut, abu tidak mengandung nitrogen yang terdapat pada protein, sehingga berbeda dengan kandungan mineral yang sebenarnya pada bahan. Anion organik menghilang selama pembakaran, dan logam diubah menjadi oksidanya (deMan 1997). Mineral di dalam tubuh ada yang bergabung dengan zat organik, dan ada yang berbentuk ion bebas. Mineral yang bergabung dengan zat organik berasosiasi dengan bagian daging non lemak misalnya protein. Daging tidak berlemak biasanya memiliki kandungan mineral yang tinggi (deMan 1997). Daging ikan memiliki kadar abu berkisar antara 1-2 % dari berat totalnya (Ruiter 1995). Kadar abu pada belut sawah segar dalam basis kering adalah 1,56 %, sedangkan kadar abu belut sawah goreng adalah 4,12 %. Kadar abu belut sawah segar setelah penggorengan naik sebesar 2,56 %. Menurut Ghidurus et al. (2010), penggorengan tidak mengurangi secara signifikan kandungan mineral bahan pangan karena beberapa jenis mineral tidak larut di dalam minyak tetapi larut di dalam air. Mineral bukan merupakan senyawa volatile, sehingga tidak mudah menguap. Kenaikan kandungan mineral ini dapat disebabkan oleh minyak yang digunakan saat penggorengan mengandung sejumlah mineral, sehingga mineral dari minyak terdifusi ke dalam bahan pangan. Minyak yang berasal dari kelapa sawit memiliki beberapa kandungan mineral seperti Cu, P, dan Fe yang kadarnya masing-masing 0,0200-0,047 ppm, 0,35-0,89 ppm, dan 0,0157-0,093 ppm. (Hasibuan dan Nuryanto 2011). Selain mineral di atas, dimungkinkan masih terdapat beberapa mineral yang terdapat pada minyak goreng yang belum terdeteksi. Kenaikan jumlah kadar abu setelah penggorengan, hampir dua kali lipat dibandingkan kadar abu belut sawah segar. Hal ini juga dapat disebabkan oleh proses penggorengan. Menurut Winarno (2008) bahan yang dipanaskan akan kehilangan bahan organiknya dan yang tersisa adalah bahan anorganiknya. Proses penggorengan akan menghilangkan sejumlah bahan organik di dalam bahan makanan, sehingga secara proporsional akan meningkatkan kadar abu tersebut karena berat total bahan setelah digoreng lebih ringan dibandingkan bahan yang
30
masih segar. Kandungan abu dan komponennya tergantung pada jenis bahan dan proses pengabuannya (Sudarmadji dan Suhardi 1989 dalam Jacoeb et al. 2008). 4.3.3 Kadar protein Protein merupakan makromolekul yang paling berlimpah di dalam sel dan menyusun lebih dari setengah berat kering pada hampir semua organisme. Protein terdiri dari 20 asam amino baku, yang molekulnya sendiri tidak memiliki aktivitas biologi (Lehninger 1982). Protein dibagi menjadi protein struktural dan protein metabolik. Protein struktural merupakan bagian integral dari struktur sel dan tidak dapat diekstraksi tanpa menyebabkan disintegrasi sel tersebut. Protein metabolik ikut serta dalam reaksi-reaksi biokimiawi dan mengalami perubahan bahkan destruksi atau sintesa protein baru. Protein metabolik dapat diekstraksi tanpa merusak integritas struktur sel tersebut (Sediaoetama dan Achmad 2008). Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan air. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah besar (deMan 1997). Kandungan protein ikan umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan hewan darat. Kandungan protein ikan cukup tinggi yaitu 8-25 % dan tersusun atas sejumlah asam amino yang berpola mendekati pola kebutuhan asam amino tubuh. Protein yang terkandung di dalam ikan terdiri dari tiga jenis yaitu protein myofibril, sarkoplasma, dan kolagen yang masing-masing sebesar 65-80 %, 15-25 %, dan 1-12 % dari total protein (Ruiter 1995). Daging ikan mempunyai nilai biologis sebesar 90 %. Nilai biologis adalah nilai perbandingan antara jumlah protein yang diserap dengan jumlah protein yang dikeluarkan. Protein ikan mengandung sedikit sekali tendon, sehingga sangat mudah dicerna. Tendon ini terdiri atas serat-serat pendek myosin, aktin, aktomyosin, dan tropomiosin (deMan 1997). Kandungan protein belut sawah segar adalah 15,90 % dan kandungan protein belut sawah goreng adalah 55,47 % pada berat basah. Kandungan protein belut sawah goreng lebih tinggi disebabkan kadar air pada belut sawah goreng lebih rendah dibandingkan belut sawah segar, sehingga secara proposional akan meningkatkan kadar proteinnya. Semakin rendah kadar air, maka konsentrasi protein di dalam bahan semakin pekat, sehingga presentasinya akan terlihat lebih besar. Kandungan protein yang sebenarnya dapat dilihat pada perhitungan basis
31
kering dimana kadar air dianggap tidak ada. Kandungan protein belut sawah segar basis kering adalah 75,32 % dan belut sawah goreng sebesar 72,48 %. Penurunan kadar protein belut sawah setelah penggorengan adalah 2,84 %. Penurunan kandungan protein belut sawah setelah digoreng tidak terlalu tinggi. Penurunan ini disebabkan oleh suhu penggorengan yang tinggi yaitu 180
o
C. Menurut
deMan (1997), pemanasan bahan makanan dengan suhu 180 oC selama 5 menit akan mendenaturasi protein sebesar 50 %. Protein mengalami perubahan selama penggorengan. Proses perubahan yang terjadi selama penggorengan pada protein adalah deaminasi, interaksi dengan basa-basa volatil dari aldehid, dan terbentuknya reaksi maillard. Proses perubahan ini akan mempengaruhi rasa dari produk yang digoreng. Senyawasenyawa yang mempengaruhi rasa dari produk yang digoreng adalah aldehid, pirazin, dan turunan dari senyawa amina (Ghidurus et al. 2010). 4.3.4 Kadar lemak Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur karbon, hydrogen dan oksigen yang mempunyai sifat tidak larut dalam air tetapi dapat diekstrak dengan pelarut nonpolar (Lehninger 1982). Lemak di dalam makanan yang memegang peranan paling penting disebut lemak netral, atau triglicerida, yang molekulnya terdiri dari satu molekul gliserol dan tiga molekul asam lemak, yang diikatkan pada gliserol tersebut dengan ikatan ester. Jaringan lemak di dalam tubuh dianggap tidak aktif, sehingga tidak ikut di dalam proses-proses metabolisme
dan
merupakan
simpanan
energi
yang
tidak
terpakai
(Sediaoetama dan Achmad 2008). Lemak hewani mengandung banyak sterol yang disebut kolesterol. Lemak hewani ada yang berbentuk padat yang biasanya berasal dari lemak hewan darat. Lemak hewan laut berbentuk cair dan disebut minyak. Lemak dalam jaringan hewan terdapat pada jaringan adipose (Winarno 2008). Kandungan lemak setiap bahan pangan berbeda, bergantung pada asal dari bahan pangan tersebut (deMan 1997). Lemak daging ikan mengandung asam lemak jenuh dengan panjang rantai C14-C22 dan asam lemak tidak jenuh dengan jumlah ikatan 1-6. Meskipun daging ikan memiliki kandungan lemak yang cukup tinggi (0,1-8%), akan tetapi 25 % dari jumlah tersebut merupakan asam lemak tak jenuh yang
32
sangat
dibutuhkan manusia dan kadar kolesterol yang sangat
rendah
(Ruiter 1995). Berdasarkan kandungan lemaknya, ikan dikategorikan menjadi tiga yaitu ikan kurus dengan kandungan lemak lebih dari 2 %, ikan lemak sedang dengan kandungan lemak antara 2-5 %, dan ikan berlemak dengan kandungan lemak diatas 5 % (Sun 2006). Belut sawah segar memiliki kandungan lemak pada basis basah sebesar 0,13 %. Berdasarkan pengelompokan Sun (2006), belut sawah tergolong kedalam ikan kurus. Kandungan lemak belut sawah segar basis kering adalah 0,58 % dan kandungan lemak belut sawah goreng basis kering adalah 15,05 %. Proses penggorengan akan meningkatkan kadar lemak pada bahan pangan dikarenakan minyak goreng merupakan lemak cair yang berfungsi sebagai penghantar panas dan penambah kalori bahan pangan (Winarno 2008). Selama proses penggorengan, maka sebagian minyak akan masuk ke dalam bahan pangan untuk menggantikan kadar air yang menguap akibat panas yang ditimbulkan saat penggorengan (Ketaren 1986). Kandungan minyak yang masuk ke dalam belut goreng tersebut adalah 14,47 % yang didapatkan dari selisih lemak setelah penggorengan dan lemak belut segar. Lemak mengalami perubahan bentuk selama penggorengn. Proses perubahan lemak yang terjadi selama proses penggorengan adalah oksidasi, pengikatan dengan gugus amina dan komponen sulfur, hidrolisis, dan polimerisasi. Proses perubahan ini akan mempengaruhi rasa dari produk yang digoreng. Senyawa-senyawa dari lemak yang mempengaruhi rasa dari produk yang digoreng adalah aldehid, pirol, tiol, dan sulfida (Ghidurus et al. 2010). Lemak terdiri dari asam lemak yang menyusunnya. Asam lemak dibagi dua golongan yaitu asam lemak jenuh dan tak jenuh. Asam lemak jenuh bertitik leleh lebih tinggi dibandingkan asam lemak tak jenuh (deMan 1997). Tingginya kandungan asam lemak tak jenuh menyebabkan lemak menjadi mudah rusak oleh proses penggorengan, karena lemak akan dipanaskan dengan suhu tinggi serta terjadinya kontak dengan oksigen dari udara luar yang memudahkan terjadinya oksidasi. Umumnya kerusakan oksidasi terjadi pada asam lemak tak jenuh, tetapi bila dipanaskan pada suhu 100 oC atau lebih, asam lemak jenuh pun dapat teroksidasi. Proses penggorengan akan merubah ikatan rangkap cis yang
33
terisomerisasi menjadi konfigurasi trans yang secara termodinamik sifatnya lebih stabil daripada cis. Secara kimiawi, konfigurasi asam lemak tak jenuh trans mengikat atom hidrogen secara berseberangan (opposite), sedangkan bentuk cis sebaliknya (Sartika 2009). Ikatan trigliserol pada lemak akan terputus selama proses penggorengan dan membentuk di- dan monoasilgliserol, gliserol, dan asam lemak bebas. Hidrolisis lemak, lebih reaktif pada lemak dengan asam lemak tak jenuh rantai pendek dibandingkan dengan asam lemak jenuh rantai panjang dikarenakan asam lemak tak jenuh rantai pendek lebih mudah terpecah oleh air dibandingkan asam lemak jenuh rantai panjang. Air dari bahan makanan akan mudah diikat pada asam lemak rantai pendek (Choe dan Min 2007). 4.3.5 Kadar karbohidrat Karbohidrat memegang peranan penting sebagai sumber energi utama bagi manusia dan hewan. Karbohidrat terdiri dari gula sederhana yang mudah larut dalam air dan mudah diangkut ke seluruh sel-sel guna penyedian energi (Almatsier 2006). Karbohidrat memiliki peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan misalnya rasa, warna, dan tekstur. Karbohidrat di dalam tubuh manusia dapat dibentuk dari beberapa asam amino dan sebagian gliserol lemak (Winarno 2008). Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida yaitu glikogen. Glikogen terdapat di dalam sarkoplasma di antara myofibril, dan terkadang membentuk senyawa komplek dengan protein myosin dan miogen. Glikogen dalam daging bersifat tidak stabil, mudah berubah menjadi asam laktat melalui proses glikolisis (deMan 1997). Hasil perhitungan by difference pada belut sawah segar dalam basis kering didapatkan kandungan karbohidrat sebesar 22,54 % sedangkan belut sawah goreng memiliki kandungan karbohidrat sebesar 8,35 %. Kandungan karbohidrat pada belut sawah segar cukup tinggo dikarenakan masih ada kandungan lain selain karbohidrat karena tidak dilakukan pengujian khusus. Karbohidrat mengalami perubahan bentuk selama penggorengan. Proses perubahan karbohidrat yang terjadi selama proses penggorengan adalah pirolisis (karamelisasi), reaksi Maillard, dan dekomposisi karbohidrat. Proses perubahan ini akan mempengaruhi rasa dari produk yang digoreng. Senyawa-senyawa dari
34
karbohidrat yang mempengaruhi rasa dari produk yang digoreng adalah turunan furan dan pirol (Ghidurus et al. 2010). Proses pirolisis atau karamelisasi adalah proses yang terjadi ketika gula sukrosa dipanaskan terus menerus hingga kandungan airnya hilang sehingga membentuk karamel sukrosa. Titik lebur sukrosa adalah 160 oC. Reaksi Maillard adalah reaksi terjadi antara gula pereduksi dan amina primer ketika dipanaskan (Winarno 2008). 4.4 Komposisi Asam Amino Kualitas suatu protein dapat dinilai dari perbandingan asam-asam amino yang menyusun protein tersebut. Terdapat dua jenis asam amino yang menyusun protein yaitu asam amino esensial dan asam amino non esensial. Asam amino esensial merupakan asam amino yang tidak dapat disintesis oleh tubuh yaitu leusin, isoleusin, metionin, fenilalanin, treonin, triptofan, lisin, dan valin. Asam amino nonesensial adalah asam amino yang dapat disintesis oleh tubuh. Asam amino jenis ini adalah alanin, asparagin, asam aspartat, sistin, asam glutamat, glutamin,
glisin,
hidroksi
prolin,
prolin,
serin,
dan
tirosin
(Suryaningrum et al. 2010). Kandungan asam amino pada masing-masing spesies memiliki proses fisiologis yang berbeda. Perbedaan kandungan asam amino ini juga dapat disebabkan oleh umur, musim penangkapan serta tahapan dalam daur hidup organisme (Litaay 2005). Asam amino dikelompokan berdasarkan sifat kimia rantai sampingnya yang dapat bersifat polar dan nonpolar. Kandungan bagian asam amino polar yang tinggi dalam protein meningkatkan kelarutannya dalam air. Asam amino yang yang disambungkan dengan ikatan peptida membentuk struktur ikatan primer protein. Susunan asam amino menentukan sifat struktur sekunder dan tersier. Jumlah asam amino esensial yang terdapat dalam protein menentukan kualitas gizi protein (deMan 1997). Komposisi asam amino belut sawah segar dan goreng pada Tabel 3, dan grafik perbandingan asam amino belut sawah segar dan goreng dapat dilihat pada Gambar 6.
35
Tabel 3 Komposisi asam amino belut sawah dalam basis kering Hasil (g/100g) Belut Belut Kehilangan Clarias Kebutuhan Jenis asam amino sawah sawah asam amino gariepinus (g/100g)*** segar goreng segar** Asam aspartat 7,39 5,39 2,00 6,20 ~ Asam glutamat 12,89 9,06 3,83 9,12 ~ Serin 3,22 2,34 0,88 2,30 ~ Histidin* 1,54 1,18 0,36 1,60 1,9 Glisin 3,90 2,43 1,47 3,00 ~ Treonin* 3,12 2,35 0,77 2,59 2,8 Arginin 5,02 3,53 1,49 3,86 ~ Alanin 4,82 3,29 1,53 3,70 ~ Tirosin* 2,55 1,90 0,65 2,30 2,2 Methionin* 2,22 1,62 0,60 1,43 2,2 Valin* 3,34 2,29 1,05 3,24 2,5 Fenilalanin* 3,88 2,01 1,87 2,79 2,2 I-leusin* 3,27 2,28 0,99 2,63 2,8 Leusin* 5,99 4,12 1,87 5,22 4,4 Lisin* 7,13 4,91 2,22 6,12 4,4 Keterangan: * asam amino esensial ** Rosa et al. (2007) *** FAO/WHO (1985) diacu dalam Almatsier (2006) 14 12 10 8 g/ 100g 6 4 2 0
Asam amino
Gambar 6 Grafik asam amino belut segar
dan belut goreng
basis kering.
Hasil analisis asam amino belut sawah segar dan goreng didapatkan 15 asam amino yang terdiri atas 9 asam amino esensial dan 6 asam amino non esensial. Asam amino esensial yang terdapat pada belut sawah segar adalah histidin, treonin, tirosin, metionin, valin, fenilalanin, I-leusin, leusin, dan lisin. Asam amino nonesensial belut sawah adalah asam aspartat, asam glutamat, serin, glisin, arginin, dan alanin. Asam amino esensial yang tidak terdapat pada belut
36
sawah adalah sistin dan triptofan. Kehilangan dua asam amino ini tidak terlalu berpengaruh terhadap gizi di dalam tubuh bila mengkonsumsi makanan yang mengandung asam amino tadi. Hal tersebut dijelaskan oleh Almatsier (2006) bahwa jika dua protein yang memiliki jenis asam amino yang berbeda dikonsumsi bersama-sama, maka kekurangan asam amino dari suatu protein dapat ditutupi oleh asam amino sejenis yang berlebihan pada protein lain. Dua protein tersebut saling mendukung sehingga mutu gizi menjadi lebih tinggi. Asam amino esensial dan nonesensial belut sawah segar lebih tinggi dibandingkan
belut sawah setelah proses penggorengan (Gambar 3). Proses
penggorengan dengan suhu 180 oC dapat merusak asam amino yang terkandung dalam bahan pangan. Kandungan asam amino yang hilang pada belut sawah setelah penggorengan bervariasi antara 22-48 % dari berat awal asam amino pada belut sawah segar. Hal ini dapat disebabkan oleh ketahanan masing-masing asam amino terhadap suhu tinggi. Menurut penelitian Ito et al. (2009), asam amino akan mengalami kerusakan apabila dipanaskan lebih dari 100 oC, akan tetapi bila dipanaskan dalam larutan alkali, maka kestabilan asam amino dapat dinaikkan sampai suhu 200 oC. Proses penggorengan akan menyebabkan terjadinya reaksi Maillard. Reaksi Maillard adalah reaksi yang terbentuk antara gula pereduksi dan gugus asam amino yang menyebabkan warna coklat pada bahan makanan yang digoreng (Winarno 2008). Kandungan asam amino di dalam belut sawah yang digoreng sebagian diubah menjadi pigmen melanoid, sehingga jumlahnya di dalam bahan pangan menjadi berkurang. Jenis asam amino yang paling banyak berkurang setelah penggorengan adalah asam glutamat dan lisin. Asam amino yang paling berperan dalam pembentukan reaksi Maillard adalah lisin dan asam glutamate karena asam amino ini merupakan asam amino yang paling reaktif dan merupakan gugus amino bebas. Kecepatan dan pola reaksi dipengaruhi oleh sifat asam amino atau protein yang bereaksi dan sifat karbohidrat. Hal ini berarti bahwa setiap jenis makanan dapat menunjukkan pola pencoklatan yang berbeda. Faktor lain yang mempengaruhi reaksi pencoklatan adalah suhu, pH, kandungan air, oksigen, logam, fosfat, belerang oksida, dan inhibitor lainnya. Kandungan asam amino yang menurun setelah proses penggorengan juga disebabkan beberapa
37
asam amino dapat teroksidasi oleh radikal bebas yang terbentuk karena oksidasi lipid (deMan 1997). Penelitian ini menggunakan ikan lele segar sebagai pembanding kandungan asam amino belut sawah segar. Ikan lele memiliki beberapa kesamaan dengan belut sawah diantaranya adalah hidup di perairan tawar berlumpur, memiliki kulit yang plastik, licin dan tanpa sisik, dan merupakan ikan karnivora. Berdasarkan hasil analisis asam amino esensial yang paling tinggi pada belut sawah segar dan goreng adalah lisin. Kandungan asam amino lisin yang terdapat pada belut sawah segar adalah 7,13 g/100g dan belut sawah goreng adalah 4,91 g/100g. Ikan lele segar juga memiliki kandungan asam amino esensial tertinggi yaitu lisin dengan jumlah 6,12 g/100g (Rosa et al. 2007). Lisin merupakan asam amino esensial yang sangat dibutuhkan sebagai bahan dasar antibodi darah, memperkuat sistem sirkulasi, dan mempertahankan pertumbuhan sel-sel normal. Lisin bersama prolin dan vitamin C akan membentuk jaringan kolagen dan menurunkan kadar trigliserida darah yang berlebih. Kekurangan lisin menyebabkan
mudah
lelah,
sulit
konsentrasi,
rambut
rontok,
anemia,
pertumbuhan terhambat, dan kelainan reproduksi (Suryaningrum et al. 2010). Kandungan asam amino non esensial yang paling besar pada belut sawah segar dan goreng adalah asam glutamat yaitu 12,89 g/100g pada belut sawah segar dan 9,06 g/100g pada belut sawah goreng. Ikan lele segar juga memiliki kandungan asam amino non esensial tertinggi yaitu asam glutamat yang berjumlah 9,12 g/100g (Rosa et al. 2007). Hal ini dapat disebabkan oleh asam amino glutamin
yang
mengalami
deaminasi
membentuk
asam
glutamat
(Murray et al. 2003). Asam glutamat merupakan salah satu sumber rasa umami (gurih) yang dominan pada bahan pangan, yang merupakan rasa dasar kelima disamping rasa manis, asin, asam dan pahit (Suryaningrum et al. 2010). Bahan pangan yang mengandung protein memiliki asam amino pembatas. Asam amino pembatas adalah asam amino yang jumlahnya paling sedikit di dalam bahan pangan. Asam amino pembatas pada belut sawah segar dan goreng adalah histidin dengan nilai masing-masing 1,54 g/100g dan 1,18 g/100g. Asam amino histidin juga merupakan asam amino pembatas pada asam amino essensial belut sawah baik segar maupun goreng. Asam amino nonesensial pembatas pada belut
38
sawah segar dan goreng adalah serin dengan kandungan masing-masing 3,22 g/100g dan 2,34 g/100g. Asam amino pembatas pada ikan lele segar adalah methionin dengan jumlah 1,43 g/100g. Asam amino metionin juga merupakan asam amino pembatas pada asam amino essensial ikan lele segar. Asam amino nonesensial pembatas pada ikan lele segar adalah serin dengan jumlah 2,30 g/100g (Rosa et al. 2007). Beberapa kebutuhan asam amino esensial yang diperlukan oleh anak sekolah
usia
10-12
tahun
menurut
FAO/WHO
(1985)
diacu
dalam
Almatsier (2006) yang terdapat pada Tabel 3 menunjukkan bahwa asupan asam amino esensial yang berasal dari belut sawah dapat kurang dapat mencukupi kebutuhan asam amino esensial baik dalam bentuk goreng. Proses penggorengan menyebabkan belut sawah kehilangan asam amino yang cukup besar yaitu berkisar 30% dari asam amino awal, sehingga untuk pemasakan belut goreng lebih baik menggunakan suhu yang lebih rendah. Karakteristik belut sawah setelah digoreng yaitu renyah dan agak kering. Oleh karena itu, disarankan untuk tidak melakukan proses penggorengan ikan yang menghasilkan tekstur yang terlalu renyah dan kering apabila ingin mendapatkan manfaat dari kandungan asam amino dari ikan belut sawah. Hampir semua asam amino mempunyai fungsi khusus. Triptofan adalah prekursor vitamin niasin dan pengantar saraf serotonin. Metionin memberikan gugus metal guna sintesis kolin dan kreatinin. Metionin juga merupakan prekursor sistein dan ikatan yang mengandung sulfur lainnya. Fenilalanin adalah prekursor tirosin dan bersama-sama membentuk hormon-hormon tiroksin dan epinefrin. Tirosin merupakan prekursor bahan yang membentuk pigmen kulit dan rambut. Arginin dan sentrulin terlibat dalam sintesis ureum dalam hati. Glisin mengikat bahan-bahan toksik dan mengubahnya menjadi bahan yang tidak berbahaya. Glisin juga digunakan dalam sintesis porfirin nukleus hemoglobin dan merupakan bagian dari asam empedu. Histidin diperlukan untuk sintesis histamin. Kreatinin yang disintesis dari arginin, glisin, dan metionin bersama fosfat membentuk kreatinin fosfat, suatu simpanan penting fosfat berenergi tinggi didalam sel. Glutamin yang dibentuk dari asam glutamat dan asparagin dari aspartat
39
merupakan simpanan asam amino di dalam tubuh. Asam glutamat juga merupakan prekursor pengantar saraf gamma amino-asam butirat (Almatsier 2006). 4.5 Komposisi Mineral Bahan makanan mengandung 96 % bahan organik dan air, dan sisanya terdiri dari unsur-unsur mineral, yang didalam bahan pangan tertinggal sebagai kadar abu, yaitu sisa yang tertinggal bila suatu sampel bahan makanan dibakar sempurna didalam suatu tungku (Sediaoetama 2010). Bahan mineral dapat berupa garam anorganik atau organik, atau gabungan dari keduanya seperti fosfoprotein dan logam yang digabung dengan enzim. Mineral dikelompokkan menjadi dua golongan, komponen mineral makro (garam utama) dan mineral mikro (sesepora). Komponen mineral makro mencakup kalium, natrium, kalsium, fosfat, magnesium, klorida, sulfat, dan bikarbonat. Mineral mikro mencakup Fe, Cu, I, Co, Mn, Zn. Unsur ini biasanya ditemukan dalam jumlah kurang dari 50 ppm di dalam tubuh (deMan 1997). Kandungan mineral di dalam setiap bahan makanan berbeda-beda bergantung kepada jenis dan kondisi hidupnya. Kandungan beberapa jenis mineral belut sawah segar dan goreng dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Kandungan beberapa jenis mineral belut sawah segar dan goreng
Mineral
Makro Ca Mg Na K Mikro Zn Fe Cu
Daging belut sawah segar
Daging belut sawah goreng
542,25 446,28 148,27 82,57 2.745,69 347,96 8.049,45 5.025,08 99,79 75,09 1,92
Hasil (mg/kg) Clarias Kehilangan gariepinus mineral segar*
Clarias gariepinus goreng*
Kehilangan mineral
95,98 65,70 2.397,73 3.924,37
121,00 420,00 -
37,00 232,00 -
84,00 188,00 -
18,37 36,92 0,38
22,00 12,20 -
14,00 8,00 -
8,00 4,20
81,41 38,17 2,30
Keterangan: * Salawu et al. (2005)
Kandungan mineral yang diteliti pada belut sawah segar dan goreng adalah mineral makro yaitu Ca, Mg, Na, dan K, sedangkan mineral mikro adalah Zn, Fe, dan Cu. Kandungan mineral makro paling tinggi pada belut sawah dan goreng adalah Kalium, yang masing-masing 8.949,45 mg/kg dan 5.025,28 mg/kg.
40
Kandungan kalium tinggi di dalam bahan makanan karena mineral ini terdapat didalam jaringan otot dan setiap cairan intrasel (deMan 1997). Bersama natrium, kalium memegang peranan penting dalam pemeliharaan keseimbangan cairan dan elektrolit serta keseimbangan asam-basa. Kalium juga berfungsi sebagai katalisator dalam banyak reaksi biologis, terutama dalam metabolisme energi, pertumbuhan sel, dan sintesis glikogen dan protein (Almatsier 2006). Kalium mudah diserap oleh tubuh, diperkirakan 90 % dari yang dicerna akan diserap di dalam usus halus. Kalium mempunyai fungsi yang hampir sama dengan natrium dan terkadang saling mendukung dalam melakukan fungsinya di dalam tubuh sehingga kandungan natrium di dalam tubuh juga tinggi (Winarno 2008). Kandungan kalium yang tinggi pada belut dapat mencegah hipokalemia. Hipokalemia adalah gejala kekurangan kalium pada tubuh yang ditandai badan yang
lemah,
kelelahan
otot,
tidak
nafsu
makan,
dan
muntah
(Widjajanti dan Agustini 2005). Kandungan natrium di dalam tubuh sekitar setengah dari kandungan kalium. Penyerapan natrium di dalam tubuh juga tinggi yaitu berkisar antara 95 % (Winarno 2008). Fungsi kalium dan natrium di dalam tubuh yang sangat besar dan daya serapnya yang tinggi di dalam pencernaan menyebabkan kandungannya di dalam tubuh juga tinggi. Kandungan natrium di dalam belut sawah segar berada di urutan kedua terbesar setelah kalium yaitu 2.745,69 mg/kg. Menurut Winarno (2008), kebutuhan kalium perhari adalah 2-6 gram perhari dan natrium 2,5-3 gram perhari. Berdasarkan kandungan kalium dan natrium di dalam belut sawah segar dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan kalium dan natrium tubuh, memerlukan 500 g sampai 1.000 g per hari belut untuk dikonsumsi. Kandungan mineral makro lain yaitu kalsium yang terdapat pada belut sawah segar yaitu 542,25 mg/kg dan belut sawah goreng adalah 446,28 mg/kg. Kandungan mineral kalsium pada belut sawah segar lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan lele baik segar maupun goreng yang masing-masing bernilai 121 mg/kg dan 37 mg/kg. Menurut Salawu et al. (2005) kalsium pada lele setelah proses penggorengan turun sebesar 84,00 mg/kg dari jumlah kalsium awal, sedangkan pada penelitian ini belut setelah digoreng kehilangan 95,98 mg/kg dari jumlah kalsium awal. Menurut Osaki et al. (2003) minyak kelapa sawit
41
mengandung mineral kalsium di dalamnya. Dimungkinkan minyak goreng mempengaruhi kandungan kalsium pada makanan yang digoreng. Kalsium yang berada di dalam jaringan tubuh berperan dalam transmisi impuls saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, pengaturan permeabilitas membran sel, serta keaktifan enzim. Kebutuhan kalsium di dalam tubuh adalah 800-1.000 mg/hari, dan daya serapnya berkisar antara 10-40 % pada orang dewasa (Winarno 2008). Berdasarkan kandungan kalsium di dalam belut sawah segar dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan kalsium tubuh, memerlukan 1.000 g/hari belut untuk dikonsumsi. Kandungan kalsium dapat ditambah dengan memberikan asupan gizi dari makanan lain yang mengandung kalsium tinggi misalnya susu. Kandungan mineral makro paling kecil yang diteliti adalah Mg yaitu 148,27 mg/kg pada belut sawah segar dan 82,57 mg/kg pada belut sawah goreng. Kandungan magnesium pada belut sawah lebih kecil dibandingkan dengan lele pada penelitian Salawu et al. (2005). Penurunan kandungan magnesium pada belut dan lele setelah digoreng masing-masing adalah 65,70 mg/kg dan 188 mg/kg. Magnesium memegang peranan penting dalam lebih dari tiga ratus jenis sistem enzim di dalam tubuh. Magnesium bertindak di dalam reaksi biologis termasuk reaksi yang berkaitan dengan metabolisme energi, karbohidrat, lemak, protein, dan asam nukleat. Peran magnesium di dalam cairan ekstraseluler yaitu dalam transmisi saraf, kontraksi otot, dan pembekuan darah. Kecukupan magnesium untuk orang dewasa yaitu 250-280 mg/hari, sedangkan daya serapnya di dalam tubuh 30-60 % (Almatsier 2006). Berdasarkan kandungan magnesium di dalam belut sawah segar dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan magnesium tubuh, memerlukan 1.000-1.500 g belut perhari untuk dikonsumsi. Kandungan mineral mikro yang paling tinggi pada belut sawah segar dan goreng adalah seng, dengan nilai masing-masing 99,79 mg/kg dan 81,41 mg/kg. Kandungan seng pada belut sawah lebih tinggi bila dibandingkan dengan ikan lele (Salawu et al. 2005). Penurunan kadar seng setelah penggorengan pada belut sawah lebih besar bila dibandingkan dengan lele yaitu 18,37 mg/kg pada belut sawah dan 8,00 mg/kg pada lele. Seng memiliki fungsi sebagai bagian dari enzim atau kofaktor pada kegiatan lebih dari 200 enzim, berkaitan dengan sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat (Almatsier 2006). Seng
42
dalam daging terikat kuat pada myofibril dan diduga mempengaruhi daya ikat airdaging
(deMan
1997).
Kecukupan
seng
untuk
orang
dewasa
adalah
5,5-12 mg/hari (Winarno 2008). Berdasarkan kandungan seng di dalam belut segar dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan seng tubuh, memerlukan 100-170 g belut perhari untuk dikonsumsi. Seng ditemukan hampir diseluruh jaringan hewan. Seng lebih banyak terakumulasi di dalam tulang dibanding dalam hati yang merupakan organ utama penyimpan mineral mikro. Jumlah terbanyak terdapat dalam jaringan epidermal dan sedikit dalam tulang, otot, darah, dan enzim (Arifin 2008). Kandungan mineral mikro lain yang terdapat pada belut sawah segar dan goreng adalah besi (Fe), dengan nilai masing-masing adalah 75,09 mg/kg dan 38,17 mg/kg. Kandungan mineral besi pada belut sawah lebih besar dibandingkan dengan ikan lele pada penelitian Salawu et al. (2005). Pengurangan jumlah besi pada belut sawah yaitu 36,92 mg/kg dan ikan lele yang digoreng yaitu 4,20 mg/kg. Kandungan besi dalam tubuh hewan bervariasi bergantung pada status kesehatan, nutrisi, umur, jenis kelamin, dan spesies. Besi di dalam tubuh berasal dari tiga sumber yaitu perusakan sel darah merah, penyimpanan dalam tubuh, dan pencernaan (Arifin 2008). Besi memiliki beberapa fungsi esensial tubuh yaitu sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke seluruh tubuh, alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam jaringan tubuh. Kebutuhan tubuh akan besi adalah 10-26 mg/hari, sedangkan daya penyerapan besi oleh tubuh adalah 5-15 % (Almatsier 2006). Berdasarkan kandungan besi di dalam belut segar dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan besi tubuh, memerlukan 1.000 g belut perhari untuk dikonsumsi. Kandungan mineral paling rendah pada belut sawah segar dan goreng yang diteliti adalah tembaga (Cu), dengan nilai masing-masing 1,92 mg/kg dan 2,30 mg/kg. Tembaga berperan dalam beberapa kegiatan enzim pernafasan, sebagai kofaktor bagi enzim tirosinase, dan sitokrom oksidase. Tembaga juga diperlukan dalam proses pertumbuhan sel-sel darah merah yang masih muda (Winarno 2008) jumlah tembaga yang aman untuk dikonsumsi adalah 1,5-3 mg/hari, sedangkan daya serapnya 35-70 %. Berdasarkan kandungan tembaga di dalam belut segar
43
dan goreng, untuk mencukupi kebutuhan tembaga tubuh, memerlukan 1.000 g belut perhari untuk dikonsumsi. Kandungan mineral belut sawah setelah dilakukan proses penggorengan akan berubah. Ada mineral yang berkurang setelah penggorengan dan ada pula yang mengalami peningkatan. Mineral yang mengalami penurunan jumlah setelah penggorengan adalah kalsium (Ca) 95,98 mg/kg, magnesium (Mg) 65,70 mg/kg, natrium (Na) 2.397,73 mg/kg, kalium (K) 3.924,37 mg/kg, seng (Zn) 18,37 mg/kg, dan besi (Fe) 36,92 mg/kg. Mineral yang mengalami penurunan paling tinggi setelah penggorengan adalah natrium. Natrium terutama terdapat dalam cairan ekstraseluler bersama-sama dengan klorida dan bikarbonat. Jika cairan di dalam daging hilang, maka unsur utama yang hilang adalah natrium (deMan 1997). Selama proses penggorengan, sebagian besar air akan menguap karena panas dan digantikan oleh minyak, sehingga mineral natrium juga sebagian menguap bersama air. Kalium, magnesium, dan kalsium berada di dalam cairan ekstraseluler dan intraseluler bersama dengan natrium, sehingga kandungannya juga berkurang akibat pemanasan (deMan 1997). Mineral besi bersifat kurang stabil, dan mudah berubah menjadi ferro dan ferri (Arifin 2008). Perubahan ini kemungkinan akan mengurangi kandungan besi di dalam belut sawah setelah digoreng, selain faktor pemanasan yang juga merusak kandungan besi di dalam bahan makanan. Mineral seng juga mengalami penurunan kandungan setelah proses penggorengan, akan tetapi jumlahnya tidak terlalu tinggi bila dibandingkan mineral lain. Hal ini dimungkinkan karena seng lebih stabil terhadap panas dibandingkan mineral lain. Mineral yang mengalami peningkatan kadar pada belut sawah setelah digoreng adalah tembaga yaitu sebesar 0,38 mg/kg. Peningkatan kandungan tembaga pada belut sawah goreng adalah sebesar 19,81 %. Hal ini dapat disebabkan oleh minyak yang digunakan mengandung sejumlah mineral tembaga yang dapat meningkatkan kandungan tembaga dalam belut goreng. Minyak yang berasal dari kelapa sawit memiliki beberapa kandungan mineral seperti Cu, P, dan Fe yang kadarnya masing-masing 0,0200-0,047 ppm, 0,35-0,89 ppm, dan 0,01570,093 ppm. Sedangkan kadar Fe dan P belum dicantumkan dalam standar tersebut (Hasibuan et al. 2011).