4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Keadaan Wilayah Pesisir Kota Bontang 4.1.1
Sistem Lingkungan dan Sumberdaya Pesisir Kota Bontang Sumberdaya pesisir Kota Bontang dijumpai mulai dari yang berukuran
mikro seperti fitoplankton maupun hewan makrobenthos yang sangat berperan dalam rantai makanan di wilayah pesisir dan laut. Sumberdaya dapat pulih yang telah dimanfaatkan oleh masyarakat pesisir Bontang selama ini terdiri dari sumberdaya perikanan (budidaya dan penangkapan), ekosistem pesisir (terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun), dan rumput laut. Keberadaan sumberdaya hayati di pesisir dan laut sekitar PKT tidak lepas dari daya dukung kondisi lingkungan fisik dan kimiawi perairan terutama kandungan oksigen, kandungan fosfat, nitrat, CO 2 dan penetrasi sinar matahari ke perairan yang sangat dibutuhkan oleh produser primer di pesisir dan laut untuk fotosintesis seperti fitoplankton, rumput laut, lamun dan zooxanthelae pada karang. Organisme tersebut menentukan produktif atau tidaknya suatu perairan selain produksi detritus dan serasah daun yang dihasilkan oleh mangrove dan padang lamun. Sumber hayati pesisir dan laut tersebut tersebar luas di perairan Kota Bontang. Terumbu karang diperairan tersebut terdapat dan tersebar luas di daerah Karang Segajah, Bontang Kuala dan Pulau Agar-agar. Kondisi terumbu karang yang masih baik terdapat di Bontang Kuala dan Pulau Agar-Agar dengan persen penutupan yang relatif tinggi sehingga daerah tersebut memiliki potensi yang tinggi dalam mendukung perikanan tangkap, terutama sebagai daerah penangkapan ikan, daerah perlindungan bagi spawning dan pencarian makanan (feeding) berbagai jenis ikan karang yang ekonomis penting seperti karapu, kakap, ekor kuning dan lobster maupun berbagai hewan moluska. Sumberdaya lain yang dapat dimanfaatkan secara langsung adalah sumberdaya perikanan dan rumput laut. Sumberdaya rumput laut di perairan Kota Bontang belum dimanfaatkan secara optimal sehingga perlu upaya peningkatan secara budidaya maupun pengambilan langsung dari alam.
60
Sumberdaya hayati pesisir dan laut yang sangat penting peranannya dalam menjaga kesinambungan sumberdaya perikanan adalah sumberdaya mangrove, karang dan lamun (seagrass), karena diketiga ekosistem ini, sumberdaya perikanan dapat terjaga kelestariannya. Ketiga ekosistem tersebut merupakan daerah untuk reproduksi, mencari makan dan berlindung bagi ikan, udang, moluska sehingga keberadaanya sangat perlu dijaga dan dilestarikan. 1) Perikanan Sumberdaya perikanan laut di Kota Bontang terkonsentrasi sepanjang pesisir dan dapat dikatakan sebagai perikanan pantai (coastal fisheriesh). Hal ini terlihat dari sarana untuk menangkap ikan baik perahu maupun alat tangkap yang digunakan. Dilihat gross tonage perahu yang digunakan semuanya dibawah 20 GT. Alat tangkap hampir semuanya dioperasikan dengan tenaga manusia yang mencirikan model perikanan pantai. Dilihat dari jenis ikan yang didapat, semuanya mencirikan perikanan pantai yang menggunakan sebagian atau keseluruhan hidupnya tergantung pada ekosisitem pesisir (mangrove, lamun dan terumbu karang) kecuali ikan tongkol, tenggiri dan kembung yang merupakan ikan migran. Produksi ikan yang dihasilkan nelayan Kota Bontang semuanya adalah jenis pelagis kecil yang mempunyai ekonomis yang lebih rendah bila dibandingkan dengan ikan pelagis besar, udang, ikan karang, ikan demersal dan cumi-cumi. Produksi ikan jenis pelagis kecil masih sangat rendah, kemungkinan hal ini disebabkan oleh sarana tangkap yang bertonase kecil sehingga fishing trip-nya rendah serta masih rendahnya efektifitas alat tangkap yang digunakan. Perkiraan potensi lestari ikan pelagis kecil di perairan timur Kalimantan adalah 158.000 (ton/thn) dengan tingkat pemanfaatan hanya 18,1 %. Rendahnya pemanfaatan sumberdaya perikanan laut tersebut terlihat dari data Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bontang tahun 2010, yang hanya 2160,64 (ton/thn) dan juga terlihat dari jumlah perahu yang ada hanya 460 perahu dengan berbagai kelas ukuran, dengan jumlah terbesar pada ukuran 0-5 GT dengan jumlah 430 buah dan sisanya 30 buah untuk kelas 5-10 GT. Peluang terbesar untuk mencukupi kebutuhan ikan adalah dari perikanan laut dan sangat kecil kemungkinan dicukupi dari perikanan air tawar maupun
61
payau. Sampai saat ini luasan tambak yang ada di Kota Bontang hanya 150,5 ha dan kolam air tawar hanya 18,5 ha. Untuk mencukupi kebutuhan ikan di Kota Bontang yakni dengan melakukan peningkatan tonase perahu, fishing trip, kapasitas alat tangkap, jumlah kapal dan daerah penangkapan ikan diperluas. Dengan melihat jumlah penangkapan, jenis alat tangkap, jumlah dan ukuran perahu masih sangat memungkinkan untuk meningkatkan produksi perikanan laut Kota Bontang. Adapun jumlah Gross Tonage (GT) perahu, jenis alat tangkap dan besar produksi perikanan Kota Bontang tersaji pada Tabel 8 berikut ; Tabel 8. Kondisi Perikanan berdasarkan Gross Tonage (GT) Perahu, Alat Tangkap dan Hasil Tangkapan Nelayan Kota Bontang.
Perahu (Gross Tonage) (unit)
0 –5 GT 6 – 10 GT 11 – 20 GT Jumlah
Jenis Alat Tangkap (unit)
Tramel Net Gill Net Hanyut Gill Net Tetap Pancing Tonda Pukat Bubu Jala Pancing Rawe Bagan
Produksi Ikan Laut (Jenis Ikan) (ton)
Kuro Kembung Kakap Bambangan Teri Tengiri Belanak Tongkol Ebi Tembang Gulamah Rucah Udang Jumlah
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bontang Tahun 2010
Jumlah 430 30 0 460 1275 1484 1202 3055 3259 15 73 4111 162 27 322,99 ton 321,06 ton 143,56 ton 139,31 ton 140,57 ton 76,66 ton 98 ton 137,32 ton 297,76 ton 235,08 ton 79,56 ton 150,67 ton 18,1 ton 2160,64 ton
62
Peningkatan hasil pengkapan ikan dapat dilakukan dengan meningkatkan jumlah atau tonase perahu, pengembangan jenis alat tangkap yang lebih efektif seperti mini purse seine, gill net hanyut atau pukat mini, daerah penangkapan diperluas, jumlah hari layar diperlama sesuai dengan daya dukung potensi wilayah. Untuk mengetahui efektifitas penangkapan dapat dilihat dari catrch per unit effort (CPUE) yang semakin membesar. Berikut ini adalah gambaran asumsi dan prediksi hasil tangkapan dengan upaya peningkatan fishisng effort dan fishing ship ; Tabel 9.
No
Asumsi dan Prediksi Hasil Tangkapan dengan Peningkatan Upaya Tangkap (Fishing Effort)
Jumlah Perahu (Effort)
Hasil Tangkapan (Catch) (ton)
Catch/ Effort (CPUE)
Keterangan
1
460
2160,64
4,7
Kondisi yang ada sekarang dengan jumlah perahu sebagian besar 0-5 GT dan alat tangkap sebagian besar kurang efektif dengan fishing trip sehari
2
460
4321,28
9,4
Jumlah kapal tetap namun ditingkatkan tonasenya menjadi 5-10 GT dengan fishing trip ditingkatkan menjadi 2 hari
28,2
Jumlah kapal meningkat dengan tonase 5-10 GT dengan fishing trip ditingkatkan menjadi 4 hari dan pengubahan alat tangkap yang efektif (dengan asumsi alat tangkap 3 kali lebih efektif)
28
Jumlah kapal meningkat dengan tonase 5-10 GT dengan fishing trip ditingkatkan menjadi 2 hari dan pengubahan alat tangkap yang efektif (dengan asumsi alat tangkap 3 kali lebih efektif)
56
Jumlah kapal dengan tonase 5-10 GT meningkat dan fishing trip ditingkatkan menjadi 4 hari dan pengubahan alat tangkap yang lebih efektif (dengan asumsi alat tangkap 3 kali lebih efektif)
3
4
5
460
500
500
12963,84
14000,95
28001,9
Sumber : Dinas Perikanan Dan Kelautan Kota Bontang Tahun 2010
63
Dengan prediksi dan asumsi peningkatan fishing effort (FE) dan fishing trip maka peningkatan hasil tangkapan (Catch) dapat dilihat dari semakin besarnya Catch per unit effort (CPUE). Hasil perikanan Kota Bontang tidak hanya mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk Kota Bontang sebesar 10.800 ton/tahun namun juga masih mampu di jual ke luar daerah atau ekspor. 2) Padang Lamun dan Budi Daya Rumput Laut Secara ekonomis lamun belum mempunyai nilai ekonomis hingga saat ini. Fungsi terbesar yang diketahui hingga saat ini adalah sebagai fungsi ekologis bersama-sama dengan sistem mangrove dan terumbu karang. Fungsi ekologis utama adalah sebagai feeding ground bagi ikan-ikan kecil (larvae). Nurseri ground bagi ikan-ikan pelagis dan feeding ground bagi jenis udang dan ikan ekonomis penting seperti Baronang (Samandar sp), Udang putih (Metapenaeus sp) dan jenis ikan Kerapu (Grouper). Padang lamun juga berperan bagi penyedia detritus sebagai bahan makanan ikan dan udang dan sebagai pengikat sedimen yang lolos dari hutan mangrove. Dalam suatu ekosistem daerah padang lamun tetap dijaga kelestariannya karena mempunyai arti penting dalam siklus hidup biota laut dan mempunyai kemampuan dalam mengikat sedimen halus yang tidak terendapkan di daerah mangrove, dan sebagai sumber bahan organik untuk perairan. Salah satu pemanfaatan padang lamun (seagrass) oleh manusia adalah dengan mengambil bijinya sebagai bahan makanan seperti yang dilakukan masyarakat Kepulauan Seribu dan Teluk Banten terhadap Enhalus acoroides. Sedangkan Enhalus sendiri juga terdapat di perairan Kota Bontang sehingga kemungkinan besar sumberdaya ini dapat dimanfaatkan untuk bahan makanan dimasa akan datang. Rumput laut adalah sumberdaya yang telah dimanfaatkan dan diusahakan oleh masyarakat nelayan Kota Bontang, namun sampai sekarang belum tercatat jumlah produksi yang ada baik produksi dari alam maupun hasil budidaya. Pengelolaan yang dilakukan hanya dalam bentuk pengeringan belum ada upaya dari instansi pemerintah untuk membina mereka sebagai bahan setengah jadi industri seperti keragenan atau tepung agar. Usaha budidaya sudah dilakukan meskipun dalam skala kecil dan belum menunjukkan usaha
64
yang intensif. Lokasi yang telah diusahakan untuk budidaya rumput laut adalah di sapa pasikan, Bontang Kuala, dan sekitar Pulau Agar-agar menggunakan rakit dengan metode terapung. Berikut adalah persentase tutupan dan jenis seagras di perairan sekitar Bontang Kula dan Tanjung Limau ; Tabel 10. Presentase Penutupan dan Jenis Seagrass di perairan sekitar Bontang Kuala dan Tanjung Limau Transek
Persen Penutupan
Jenis Dominan
1.
90
Enhalus dan Thalasia
2.
100
Enhalus dan Thalasia
3.
80
Enhalus dan Thalasia
4.
50
Enhalus dan Thalasia
5.
50
Enhalus
6.
70
Enhalus dan Thalasia
7.
70
Enhalus dan Thalasia
8.
70
Enhalus dan Thalasia
9.
80
Enhalus dan Thalasia
10.
90
Enhalus dan Thalasia
11.
50
Enhalus dan Thalasia
12.
50
Enhalus dan Thalasia
13.
80
Enhalus dan Thalasia
14.
80
Enhalus dan Thalasia
15.
100
Enhalus dan Thalasia
16.
100
Enhalus dan Thalasia
17.
70
Enhalus dan Thalasia
18.
90
Enhalus dan Thalasia
19.
70
Enhalus dan Thalasia
20.
60
Enhalus dan Thalasia
Rerata
70
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bontang 2010
65
Sebenarnya usaha budidaya rumput laut dapat ditingkatkan, hal ini bisa dilihat dari kondisi laut di Kota Bontang yang baik untuk syarat budidaya laut seperti : jernihnya air, salinitas yang tinggi, rendahnya sedimentasi, cahaya matahari yang memancar sepanjang hari dan terlindungnya perairan dari gelombang besar. Potensi lahan budidaya di Kota Bontang tersaji pada Tabel 11 berikut ; Tabel 11. Potensi Lahan Budidaya Rumput Laut No
Potensi Lokasi
Lahan Produktif Luas (Ha)
Lokasi
Luas (Ha)
1
Pulau Karang Kimapau
123,1
Pulau Lok Kalepe
16
2
Pulau Panjang
251,8
Pulau Tihik-Tihik
10
3
Pulau Manuk-Manukan
9,5
Pulau Ager-ager
14
4
Pulau Tanjung Kuya
10.6
5
Pulau Beras Basah
2,7
6
Kep. Malahing
536.6
7
Kep. Kedindingan
142.0
8
Kep. Badak-badak
66,7
9
Pulau Gosong Segajah
Jumlah
Pulau Karang Buku
5
3.6
1146.7
Jumlah
45
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bontang 2010
Daerah perairan Kota Bontang sangat sesuai untuk budidaya rumput laut. Potensi yang dimiliki Kota Bontang dalam luasan maupun produksi perairan diprediksi sekitar 564 ton/tahun. Bila dikembangkan maka perairan Kota Bontang memiliki areal yang baik dilihat dari sirkulasi arus, salinitas, kecerahan, terlindungi dari gelombang dan tingginya konsentrasi N dan P dalam perairan terutama masukan debu urea PKT. Potensi yang kemungkinan besar dikembangkan adalah rumput laut untuk bahan makanan seperti Euchema dan Gracilaria yang telah diusahakan selama ini dan jenis-jenis yang selama ini yang dapat dijadikan sebagai bahan dasar industri seperti Gelidium, Gracilaria dan Hynea sebagai penghasil keregenan sedangkan sargasum sebagai bahan algin banyak dimanfaatkan dalam industri farmasi dan kosmetika.
66
3) Mangrove Potensi sumberdaya mangrove secara umum masih menunjukkan kondisi yang baik, namun kondisi mangrove sepanjang sungai Kota Bontang Kuala menunjukkan kondisi yang buruk akibat penebangan dan alih fungsi lahan untuk tambak dan pemukiman. Berikut ini disajikan gambaran tentang keadaan hutan mangrove di daerah sungai Guntung Tabel 12. Jenis dan Kondisi Mangrove di Daerah Sungai Guntung Stasiun S03
Jenis Mangrove
Kondisi
Rhizophora, Ceriop,
Kerapatan rendah dan
Lahan sebagian
Avecinea, Nipa dan
diameter pohon di bawah
besar sudah
Acrostidium sp (asosiate
20 cm
berubah menjadi
mangrove) S04
S05
Keterangan
kebun dan rumah
Ceriop, Rhizophora dan
Kerapatan rendah dan
Lahan sebagian di
Acrostidium sp (asosiate
diamater pohon lebih 20
buka unt uk
mangrove)
cm
tambak
Ceriop, Rhyz ophora dan
Baik, kerapatan tinggi dan
Hutan Mangrove
Xylocarpus
diameter pohon lebih dari 20 cm
S06
Ceriop, Rhyz ophora dan
Baik, kerapatan tinggi dan
Xylocarpus
diameter pohon lebih dari
Hutan Mangrove
20 cm S07
Ceriop, Rhyz ophora dan Xylocarpus.
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bontang 2010
Dilihat dari sebarannya menunjukkan kondisi yang sangat berbeda. Mangrove yang terdapat pada S05 dan S06 kondisinya sangat baik bila dibandingkan dengan di daerah lain yang disebabkan telah dibukanya mangrove untuk keperluan tambak, kebun dan permukiman. Secara alami juga terlihat bahwa daerah mangrove yang telah dirusak biasanya akan ditumbuhi oleh Acrostidium sp yang merupakan Mangrove Assosiate. Pengamatan lebih rinci terhadap jenis mangrove yang terdapat di sepanjang Sungai Bontang Kuala menunjukkan kondisi yang buruk terutama bila dilihat dari kerapatan pohon yang rendah.
67
Dilihat dari sebaran mangrove sepanjang sungai Bontang Kuala lahan mangrove telah berubah menjadi tambak dan permukiman. Kerapatan mangrove sangat rendah dan jenisnya hanya didominasi oleh Rhyzophora dan hanya terdapat di samping sungai. Kondisi ini sangat berbeda antara Bontang Kuala dan Tanjung Limau dimana mangrove yang menghadap kelaut masih tumbuh dengan baik dan kerapatan yang tinggi namun hanya didominasi oleh Avecinia dan Rhyzophora. Tabel 13. Jenis dan Kondisi Mangrove di Daerah Sungai Bontang Kuala Stasiun S09
S10
S11
S12
S07
Jenis Mangrove Rhizophora
Kondisi
Keterangan
Kerapatan rendah dan
Lahan sebagian bes ar
diameter pohon di bawah
digunakan untuk
20 cm
perkampungan
Ceriop, Rhizophora,
Kerapatan rendah dan
Lahan sebagian bes ar
xylocarpus dan Nipa
diamater pohon lebih 20
digunakan untuk
cm
perkampungan
Ceriop, Rhyz ophora,
Kerapatan rendah, hany a
Lahan sebagian bes ar
xylocarpus, Brugeria
diameter pohon lebih dari
digunakan untuk
dan Nipa
20 cm
perkampungan
Rhyzophora
Kerapatan rendah, hany a
Lahan sebagian
satu jenis pohon diameter
dimanfaatkan untuk
pohon lebih 20 cm
rumah nelayan
Hany a satu jenis pohon
Lahan sebagian
diameter pohon lebih 20
dimanfaatkan untuk
cm
rumah nelayan
Rhyzophora
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bontang 2010
4) Terumbu Karang Kondisi terumbu karang diperairan sekitar PKT cenderung semakin kecil atau berada pada kondisi yang buruk dengan semakin dekatnya lokasi pabrik. Secara keseluruhan persentasi penutupan karang hidup berkisar antara 0 – 48,64 %, hanya tujuh dari dua puluh tiga stasiun pengamatan yang termasuk dalam kategori sedang (25% >percent cover)sebanyak 50%, selebihnya dalam
68
kondisi buruk atau rusak (percent cover< 25%). Percent cover karang hidup tertinggi terdapat di stasiun 23 yaitu di daerah Karang Agar, selanjutnya terumbu karang di sekitar perairan Karang Segajah dan Bontang Kuala yang masih dalam kondisi sedang. Substrat dasar daerah terumbu karang yang dalam kondisi buruk adalah stasiun 1,2,13 dan 14. Pulau Gusung (stasiun 15, 16) didominasi oleh pasir atau pasir lumpur, sedangkan di stasiun-stasiun yang jauh dari lokasi pabrik PKT, mempunyai substrat dasar (komponen abiotik) berupa pecahan karang (Rubble, (R)) dan karang mati (Dead Coral, (DC) atau Dead Coral with Algae(DCA)) didominasi oleh substrat pasir. Rata-rata karang dengan bentuk pertumbuhan bercabang (Coral Branching/CB) selain jenis Acropora (ACB) adalah yang paling banyak terdapat di perairan sekitar PKT, paling sedikit adalah karang merayap atau Coral Encrusting (CE), sedangkan subsutrat yang paling banyak di jumpai yaitu substrat pasir. Karang mati yang telah ditumbuhi algae juga mendominasi perairan, hal ini menunjukkan bahwa kematian karang tersebut sudah lama terjadi disebabkan adalah pecahnya karang/rubble (RB), pecahan karang yang mendominasi di perairan tersebut mengindikasikan bahwa kehancuran karang terjadi karena faktor manusia, seperti pengeboman, pengerukan, jangkar kapal atau karena terinjak-injak. Indeks
keanekaragaman
dan
indeks
dominasi
digunakan
untuk
menganalisa kondisi hubungan antara kelimpahan jenis karang dengan tekanan lingkungan. Indeks keanekaragaman <1 menunjukkan keanekaragaman kecil dan tekanan lingkungan kuat. Semakin besar nilai H, maka keanekaragaman makin tinggi. Serta terjadi keseimbangan antara kelimpahan jenis dengan tekanan lingkungan. Ada kecenderungan bahwa stasiun yang mempunyai percent cover tinggi, juga mempunyai keanekaragaman yang besar pula. Peta dan Kondisi persentase penutupan (Percent Cover) terumbu karang pada masing-masing stasiun tersaji pada Tabel 14 dan Gambar 9 berikut ;
Tabel 14. Stasiun 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. Rerata
Percent Coverage Komponen Biotik dan Abiotik di Setiap Stasiun Terumbu Karang. Acropora
CB 0
0
0.22 0.30 0.60 0.30 0 0.20 0 0 0.94 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.2 9.84 3.76 0.79
8.50 28.36 2.74 15.10 6.06 22.16 0 4.18 0.70 0 0 0 0.14 0.14 0 0 0.40 3.76 0.48 10.28 18.8 5.54
Dinas CF CS CMR
Non CE 0 0 0.74 0.90 4.76 2.10 1.50 1.82 0 1.54 2.06 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1.4 2.32 0.8
Acropora Dead CF CS CMR CME Coral 0 0 0 0 9.40 0 0 0 0 0 6.96 1.58 8.40 0.24 8.36 1.70 1.36 3.94 1.00 9.70 3.92 0.54 14.6 1.98 3.90 10.28 2.96 6.74 0.44 13.80 3.24 0.58 16.38 4.20 27.08 9.38 0.66 5.02 8.36 3.38 0 0.38 0 0 15.60 0.58 2.88 12.14 0 11.16 0.24 0 1.60 0 13.38 0 0 0 0 0.78 0 0 0 0 0.84 0 0 0 0 3.35 0 0 0 0 1.40 0 0 0 0 2.50 0 0 0 0 1.90 0 0.34 0 0 0.40 0 0 0 0 2.80 0 0 3.32 0 2.20 4.28 9,.64 0.24 0 0 0.8 4.0 0.6 3.32 12.28 12.28 3.08 3.52 1.04 12.48 2.24 1.17 3.19 0.86 6.27
Perikanan dan Kelautan Kot a Bontang 2010 : Coral Follose CME : Coral Milepora : Coral Submasive MA : Macroo Algae : Coral Mushroom CA : Coraline Algae
Algae CA+MA 0 0 21.98 0 8.88 0.70 7 0 5.32 5.56 18.04 3.52 4.24 12.64 15.34 23.30 2.2 0.40 5.28 3.44 19.32 5.60 2.92 0 0 0 0 0 1.28 0 0.7 0 2.6 0 0.68 0.66 1.4 0 0 0 9.92 2.36 6.8 0 15.84 0 6.24 2.42
SP SC OT
TA
Biota Lain SP SC OT 2.54 0 0 0 0 0 8.46 0 1.54 4.9 0 4.16 3.34 2.34 7.02 5.18 0 6.76 0.28 0 3.80 0.10 0.28 0.08 4.52 42.14 2.26 9.12 0 0.58 4.56 0 0.66 0 0 0.96 0 0 2.20 0 0 0.15 0 0 2.80 0 0 0.86 0.64 0 1.32 0.30 0 1.14 0 0 1.20 0.60 0 0.60 2.72 0 4.8 1.2 13.36 0.12 6.24 0 0.56 2.28 2.42 1.82
Abiotik S RB 88.00 0 78.00 0 23.84 19.42 22.66 9.22 31.38 5.84 8.76 2.82 13.34 5.40 0.50 6.88 20.40 9.36 33.40 5.08 45.24 1.10 94.64 0.70 90.02 6.92 96.50 0 90.02 4.00 86.64 8.10 85.96 7.50 93.14 1.58 61.92 30.16 59.68 16.52 9.26 43.56 0 26.48 0 16.24 47.22 9.45
: Sponge S : Sand : Soft Coral RB : Rubble : Other Fauna ( Bulu babi, dsb)
69
Keterangan : Stasiun 1-23 : CB : Coral Barnching CM : Coral Massive CE : Encuristiing Coral
CM 0.06 0.02 2.16 4.80 6.16 3.20 1.26 2.54 2.74 10.62 4.60 0 0.02 0 0.36 1.06 0.08 1.76 2.12 13.32 11.52 9.52 0.36 3.26
70
Gambar 9. Peta Stasiun Terumbu Karang
71
Terumbu karang dapat diklasifikasi dari taksonomi secara independen berdasarkan morfologinya untuk menentukan nilai kelas konservasi dengan membandingkan nilai antara ruderal-kompetitor-stres-tolerator (R-K-S), metode ini digunakan untuk mengetahui dominasi suatu jenis karang dengan memperhitungkan prinsip biodiversitasruderal (gangguan), Kompetitor (pesaing), Stress-tolerator (toleransi), yang biasa digunakan untuk memprediksi nilai kondisi terumbu karang yang telah atau belum mengalami gangguan akibat oleh faktorfaktor internal maupun eksternal untuk maksud konservasi. Kelompok ruderal apabila kondisi karang didominasi oleh acropora cabang dan tabulata, kelompok kompetitor apabila karang didominasi oleh monospesifik jenis karang follose dan karang cabang non acropora, sedangkan kelompok stress tolerator apabila kondisi terumbu karang dekat dengan pantai yang terpolusi, dimana didominasi karang massive dan sub-massive. Skor nilai kelas konservasi dari 23 stasiun yang diamati tersaji pada Tabel 15 berikut ; Tabel 15. Nilai R-K-S berdasarkan morfologi karang STASIUN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23.
R
K
0 0 1,1 0,8 4,3 0,9 2,6 0,9 0 1,6 14,5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 4,4 28,6 13,3
0 0 79,6 82,3 47,7 79,7 81,3 90,0 0 25,6 14,5 0 0 0 28,0 11,7 0 0 3,5 22,0 17,4 32,2 74,6
S 100 100 19,3 16,9 48,0 19,3 16,1 9,1 100,0 72,7 71,0 100 100 0 72,0 88,3 100 100 96,5 78,0 78,2 39,2 12,1
Sumber : Dinas Perikanan Dan Kelautan Kota Bontang Tahun 2010
Dari Tabel 15 tersebut terlihat bahwa sebagian besar stasiun mempunyai nilai s lebih besar dibandingkan kedua fakta (r dan k), yang berarti bahwa
72
sebagian besar stasiun mempunyai jenis karang berbentuk massive dan submassive yang diakibatkan oleh pengaruh stress tolerators dari lingkungan. Berdasarkan nilai r-k-s tersebut maka kelas konservasi terumbu karang di perairan Kota Bontang tegolong rendah 5) Daratan Pesisir Berdasarkan pengamatan lapangan dan peta topografi daerah sekitar PKT terlihat bahwa garis pantai daerah tersebut berliku liku yang dibentuk oleh dataran dengan kelerangan kurang dari 2° dan ditumbuhi hutan-hutan mangrove. Material dasar perairan sebagian besar berupa lumpur yang kaya akan bahan organik. Bentang alam demikian dijumpai melebar sepanjang pantai daerah muara Sungai Guntung, muara Sungai Kanibungan, Teluk Sekatup, hingga sekitar Tanjung Limau dan daerah Bontang Kuala. Morfologi dataran ini masih sering tergenang air pada saat air laut pasang. Potensi alam ini sangat bermanfaat dalam melindungi pantai dari abrasi dan sebagai filter sedimen juga darat sehingga mengurangi sedimen masuk kedalam laut. Selain itu juga bermanfaat bagi tempat perkembangbiakan berbagai biota. Di daerah Guntung, Teluk Sekatup, Lhok Tuan, dan Bontang Kuala, daerah dataran ini dimanfaatkan sebagai pemukiman di atas air, sedang usaha tambak dilakukan pada morfologi ini di daerah Bontang Kuala dan Guntung. Kearah darat, morfologi dataran ini berbatasan dengan perbukitan bergelombang dengan kelerengan 13-17° didaerah Sekatup, dan berbatasan dengan dataran bergelombang pada daerah lain dimana kelerengan berkisar 25°. Kedua morfologi terakhir dibentuk oleh satuan batupasir dengan sisipan batulanau dan batubara. Pelapukan litologi ini membentuk tanah pucuk berwarna merah kekuningan yang tipis, peka terhadap erosi dan miskin akan unsur hara, sehingga kurang subur untuk usaha pertanian. Beberapa bagian dari morfologi ini digunakan sebagai hutan lindung yang dijumpai di barat laut hingga utara Guntung, sebagian besar merupakan daerah industri dan pemukiman. Secara stragrafis batuan yang terdapat di kawasan sekitar Bontang terdiri dari tiga satuan yaitu : a) Formasi Balikpapan yang tersusun oleh batupasir berseling dengan batu lempung lanauan, serpih dengan sisipan napal, batugamping, dan batubara
73
b) Formasi kampung baru, terdiri atas perselang-selingan antara serpih lempung, batulanau, pasir dan batubara c) Endapan aluvial yang tersusun oleh lempung, lanau, pasir, kerikil dan sisa tetumbuhan. Potensi air tanah pada akuifer dangkal maupun akuifer dalam. Air tanah pada akuifer dangkal di daerah dataran bekas rawa pantai semuanya payau dan berada antara 0,3-0,5 m di bawah muka tanah, sedangkan pada daerah perbukitan dan dataran bergelombang airtanah berada antara 0,7-16 m di bawah permukaan tanah. Konduktifitas air tanah didaerah ini lebih rendah dari 700 mikro-mhos sehingga termasuk dalam kondisi air tawar. Hasil analisa sampel air tanah dari akuifer ini menunjukkan bahwa kandungan unsur-unsur kimianya memenuhi syarat untuk pasokan air bersih. Mengingat recharge area-nya terbatas, maka jumlahnya juga terbatas dan hanya dijumpai pada daerah-daerah tekuk lereng yang merupakan batas antara morfologi dataran dan morfologi bergelombang lemah. Penurunan air tanah ini untuk konsumsi penduduk setempat dijumpai di Guntung, Tanjung Limau, Lhoktuan dan Sidrap. Airtanah akuifer dalam dijumpai pada pada formasi Kampung Baru dan formasi Balikpapan. Sumur yang dibuat menembus formasi ini menjadi tumpuan pasokan air bersih bagi PKT dan masyarakat sekitarnya. Sungai-sungai yang mengalir ke perairan disekitar PKT adalah sungai Kanibungan, Sungai Guntung dan Sungai Bontang Kuala. Ketiga sungai mempunyai kelerengan memanjang kurang dari 2°, sehingga potongan melintang sungai berbentuk U. Karena adanya pasokan airtawar dari darat maka pada muara sungai salinitas dan suhu air sedikit lebih rendah dibanding daerah laut sedangkan airnya dalam keadaan sangat keruh yang mengindikasikan tingginya material sedimen yang dibawa dalam bentuk muatan padatan tersuspensi. 6) Perairan Pesisir Sumberdaya alam perairan pesisir adalah tubuh laut itu sendiri, selain material dasar perairan yang dapat dimanfaatkan sebagai material urug. Karena banyak dijumpai karang, maka pengambilan material urug sebaiknya hanya dialur pelayaran. Kondisi kualitas perairan sekitar PKT sangat bervariasi karena terkait dengan lingkungan darat disekitar dan di daerah hinterland.
74
Beberapa parameter oseanografi di pesisir perairan sekitar PKT telah dipetakan dan diharapkan dapat mendukung analisis kondisi ekosistem perairan tersebut. Kondisi oseanografi secara langsung maupun tidak secara langsung berpengaruh terhadap kehidupan biota suatu perairan sehingga untuk mendukung pembahasan kondisi biota di perairan dan laut perlu dilakukan terhadap kondisi biota tersebut. Suhu air berkisar 29,1°C hingga 29,8°C di daerah laut, 26 – 29°C di sungai dan muara sungai dan suhu yang cukup tinggi mencapai 38°C dijumpai pada perairan sekitar outfall PKT (pabrik Kaltim 1 dan pabrik Kaltim 3). Pada daerah laut dan muara sungai suhu terlihat tergantung pada waktu pengukuran, semakin siang suhu semakin tinggi dan cenderung meningkat pada perairan menuju laut lepas. Secara teoritis kenaikan suhu akan meningkatkan aktifitas biologis,
sehingga
konsumsi
oksigen
meningkat
yang
berakibat
pada
menurunnya oksigen terlarut/ Dissolve Oxygen (DO). 7) Pariwisata Kegiatan pariwisata masih memungkinkan di kawasan pesisir laut Kota Bontang tidak menyebabkan kerusakan terhadap sumberdaya yang dilindungi, yaitu terumbu karang, padang lamun, hutan bakau dan lain-lain. Diperlukan adanya peraturan dan penegakan hukum (law enforcement) yang ketat terhadap kemungkinan pelanggaran. Tabel 16. Kegiatan Pariwisata di Pesisir Kota Bontang No
Kawasan Lindung B eras
Aktivitas Pariwisata
1.
Bontang Kuala, Selangan
Basah,
2.
Terumbu K arang Gosong Segajah ( di Kep. Badak -badak )
3.
Kepulauan K edindingan, Melahing, Tihik-tihik, Selangan
Wisata laut (berenang, naik perahu), wisata masyarakat nelayan, wisata alam, dan wisata makanan. Arena menyelam, berperahu dan aktifitas wisata laut lainnya. Berenang, naik perahu, pemandangan pantai dan bakau, memancing Berenang, naik perahu, pemandangan pantai, wisat a budaya
Sumber :Dinas Perikanan Dan Kelautan Kota Bontang Tahun 2010
Pengembangan pariwisata yang mengandalkan lingkungan yang indah dan nyaman seperti di kawasan pesisir Kota Bontang menunjukkan adanya saling keterkaitan pemanfaatan ruang antara pengembangan pariwisata dengan
75
upaya
menjaga kelestarian lingkungan termasuk yang terdapat dikawasan
lindung. Kerusakan lingkungan kawasan pesisir dan laut akan mengganggu dan menurunkan kegiatan pariwisata. Untuk kawasan pariwisata kriteria yang diperlukan adalah :
Berjarak aman dari kawasan perikanan dan pertambangan, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan tersebut tidak menyebar dan mencapai kawasan pariwisata dan sebaliknya.
Berjarak aman dari kawasan lindung, sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh kegiatan di kawasan industri tidak menyebar dan mencapai kawasan lindung.
Pembangunan Prasarana dan Sarana pariwisata yang tidak mengubah kondisi pantai, sehingga proses erosi atau sedimentasi dapat dihindari. Kawasan pariwisata yang dapat dikembangkan di pesisir Kota Bontang
Adalah Pulau Beras Basah, Bumi Tenda Cibodas, Teluk Sekangat, Pemukiman Nelayan Bontang Kuala, Pulau Gusung, Bumi Perkemahan Gladi Mandiri, Tugu Pengabdian PKT, Pantai Marina, Pantai Marina Ujung, Danau dan Makam Rakyat Toraja dan Terumbu Karang Segajah. Intensitas aktifitas industri yang terus meningkat di Kota Bontang terutama industri pengelolaan dan pertambangan berskala besar seperti PKT, BADAK dan Indominco, berpotensi membuang limbah ke laut. Kerusakan fisik lainnya
adalah
semakin
berkurangnya
lahan
hutan
mangrove
karena
penebangan liar untuk kayu bakar, konversi lahan untuk tambak, perumahan dan industri. Fakta ini terjadi di Bontang Kuala, Loktuan dan Tanjung Limau. a) Eksploitasi Sumberdaya Ikan Eksploitasi sumberdaya ikan secara berlebih di wilayah laut Kota Bontang diduga menyebabkan terjadinya kelangkaan jenis ikan tertentu. Kekhawatiran ini cukup beralasan, karena eksploitasi sumberdaya laut ini terutama terlihat dari sistem penangkapan ikan oleh nelayan yang menggunakan peralatan tangkap ikan dan udang dengan jaring trawl (pukat harimau), bagan apung dan bahan peledak. Cara penangkapan ikan ini tidak selektif dan berakibat terjadinya perusakan siklus
perkembangan ikan
yang tidak lestari.
Penangkapan ikan secara destruksi yang tidak ramah lingkungan seperti
76
pengeboman, atau menggunakan pukat harimau akan merusak terumbu karang sebagai habitat ikan. b) Sedimentasi Sumber sedimentasi berasal dari penambangan atau pengerukan pasir laut yang ada di pesisir Kota Bontang seperti Kelurahan Satimpo. Kegiatan penambangan ini juga berpotensi menyebabkan rusaknya terumbu karang, padang lamun, rumput laut dan biota lain. Selain penambangan pasir kegiatan industri juga menyebabkan meningkatnya sedimentasi diperairan Kota Bontang. Sedimentasi ini juga berpeluang ditimbulkan dari adanya pelayaran kapal bertonase besar sebab baling-baling kapal yang melalui perairan akan mengaduk sedimen dasar perairan sehingga mengakibatkan tingkat kecerahan air. c) Pencemaran Sampah Pencemaran sampah berupa sampah plastik yang mencemari perairan Kota Bontang berasal dari limbah industri dan pemukiman. Pencemaran ini terutama dapat dilihat di Sungai Guntung, Kelurahan Belimbing yang menyebabkan air sungai berwarna hitam dan berbau tidak sedap. Pencemaran ini langsung atau tidak langsung menyebabkan kerusakan habitat dan mempengaruhi lingkungan perairan. Pemukiman nelayan diatas yang membentang mulai dari batas garis pantai dan menjorok keluar ke laut dengan kelerengan tanah yang datar menimbulkan permasalahan sampah karena sampah tidak terkonsentrasi di suatu tempat pembuangan sampah. Jika terjadi pasang surut, sampahsampah tersebut akan mengalir ke laut sehingga akan mengotori kawasan perairan Kota Bontang. Pemukiman nelayan ini dapat dijumpai di Kelurahan Bontang Kuala, Kelurahan Berbas Pantai Kelurahan Loktuan. Di Kelurahan Bontang Kuala pemukiman nelayan sudah tersusun dengan rapi dan telah menjadi salah satu objek wisata. Keberadaan restoran apung dengan makanan khas laut dapat dijumpai disana. d) Abrasi dan Akresi Abrasi pantai dapat disebabkan secara alami atau karena aktifitas manusia. Abrasi dikawasan pesisir Kota Bontang terjadi di sekitar Pantai Marina, yang
77
dahulunya adalah hamparan terumbu karang yang kemudian berubah fungsi menjadi pulau-pulau kecil dan merupakan bagian dari kawasan industri BADAK. Kegiatan reklamasi pantai untuk memperluas wilayah pantai juga berpotensi memindahkan lokasi abrasi dan akresi pantai. Permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Kota Bontang tidak terlepas dari rendahnya pemahaman masyarakat tentang nilai yang sebenarnya
dari
sumberdaya
pesisir
secara
keseluruhan.
Selama
ini,
pemahaman masyarakat terhadap nilai sumberdaya pesisir seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove dan sebagainya lebih kepada penilaian sumber daya tersebut untuk memanfaatkan konsumsi langsung. Sedikit sekali masyarakat pesisir yang memahami pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan non-konsumtif seperti penahan abrasi, pengendalian banjir, estetika, pemanfaatan untuk obat-obatan dan sebagainya yang terkadang nilai moneter non-konsumtifnya lebih besar dari nilai konsumtif. Masyarakat desa Bontang Baru, Bontang Kuala dan Loktuan yang semula produksinya untuk memenuhi kebutuhan lokal, Kaltim bahkan hingga Surabaya, tetapi kini produksi sudah tidak dapat dilakukan lagi. Kegagalan budidaya rumput laut dimungkinkan dapat terjadi karena diterjang ombak ketika kapal-kapal besar sedang lewat dan karena pencemaran. 4.1.2
Sistem Sosial Ekonomi Pesisir Kota Bontang Kota Bontang awalnya merupakan kota administratif sebagai bagian dari
Kabupaten Kutai. Kota Bontang, menjadi Daerah Otonom berdasarkan UndangUndang No. 47 Tahun 1999 tentang pemekaran Propinsi dan Kabupaten, bersama-sama
dengan
Kabupaten
Kutai
Timur
dan
Kabupaten
Kutai
Kertanegara. Berdasarkan Peraturan Daerah Kota Bontang No. 17 Tahun 2002, Kota Bontang terbagi menjadi 3 kecamatan, yaitu: Kecamatan Bontang Selatan, Kecamatan Bontang Utara dan Kecamatan Bontang Barat. 1) Kondisi Sosial Ekonomi a) Kependudukan Jumlah penduduk Kota Bontang pada tahun 2010 mencapai 140.787 jiwa dengan komposisi 72.384 jiwa jumlah penduduk pria dan 67.953 jiwa jumlah
78
penduduk wanita. Pertumbuhan penduduk Kota Bontang rata-rata sebesar 2,98 % per tahun. Penduduk Kota Bontang tersebar merata di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Bontang Utara dan Kecamatan Bontang Selatan. Sementara distribusi penduduk di Kecamatan Bontang Barat relatif tidak merata jika dibandingkan dengan kedua kecamatan lainnya, yaitu hanya dihuni 18,3% dari total penduduk Kota Bontang, hal tersebut terlihat dari Tabel 17 berikut ; Tabel 17.Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Kecamatan2010 Kecamatan
Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Bontang Selatan
29.842
27.205
57.047
Bontang Utara
29.921
28.908
58.829
Bontang Barat
13.071
11.840
24.911
Total
72.834
67.953
140.787
Sumber :Badan Pusat Statistik Kota Bontang
Kepadatan penduduk yang dihitung dalam subbab ini adalah kepadatan penduduk bruto yaitu kepadatan penduduk yang dihitung berdasarkan luas wilayah secara keseluruhan. Pendekatan lain, adalah kepadatan penduduk netto yaitu kepadatan penduduk yang dihitung berdasarkan luas kawasan permukiman yang terdapat di dalam suatu wilayah. Tabel 18.Luas Wilayah, Penduduk dan Kepadatan Menurut Kecamatan 2010 Luas wilayah (ha)
Penduduk (jiwa)
Kepadatan 2 (/km )
104,40
57.047
546
Bontang Utara
26,20
58.829
2.245
Bontang Barat
19,20
24.911
1.297
140.787
940
Kecamatan Bontang Selatan
Total 149,80 Sumber :Badan Pusat Statistik Kota Bontang
b) Sosial Budaya Masyarakat Penduduk Kota Bontang mayoritas menganut agama Islam yaitu 143.046 jiwa (BPS Kota Bontang, 2009) atau 88,67% dari total penduduk Kota Bontang. Penganut Protestan mencapai 9,38 % dari total penduduk atau sebanyak 15.128 jiwa. Dominasi penduduk yang menganut agama Islam memberi pengaruh
79
kepada pola permukiman penduduk yang mengelompok. Pada umumnya, sejarah pembentukan permukiman bisa dilihat dari munculnya Mesjid/ Surau sebagai pusat perkembangan permukiman. Dominasi penduduk beragama Islam ini pun akan berpengaruh terhadap pemenuhan sarana peribadatan. Mayoritas penduduk Kota Bontang adalah pendatang yang berasal dari berbagai wilayah di Indonesia seperti Jawa, Sulawesi, Timor Leste, dan Sumatera. Sisanya adalah penduduk setempat. Etnis yang menempati pesisir Kota Bontang antara lain suku Jawa, Batak, Bajo, Bugis, Melayu, Arab, dan Banjar. Etnis-etnis tersebut membentuk satu kesatuan penduduk Pesisir Kota Bontang. Adat istiadat yang berkembang sangat dipengaruhi oleh transformasi budaya Bugis, Banjar, Kutai dan Jawa. Penduduk Kota Bontang yang berinteraksi dengan pesisir/laut sebagian besar bekerja sebagai nelayan. Beberapa kelurahan yang memiliki interaksi yang besar dengan pesisir antara lain kelurahan Loktuan, Bontang Kuala, Tanjung Laut, Berbas Pantai, dan Berbas Tengah. Sedangkan kelurahan Belimbing, Satimpo, Bontang Baru dan Sekambing memiliki interaksi yang relatif lebih kecil dengan pesisir. Indikator tingkat interaksi tersebut antara lain dilihat dari besarnya penduduk yang tinggal di pesisir laut (di atas air) jumlah penduduk nelayan dan besar produksi perikanan. Kelurahan Bontang Kuala memiliki interaksi yang sangat besar dengan pesisir/laut karena tingginya jumlah penduduk yang tinggal di pesisir. Bontang Kuala (13 RT) merupakan desa nelayan tertua di Kota Bontang yang hampir 65% dari total penduduknya bekerja sebagai nelayan. Selain di sektor perikanan,di Kelurahan Bontang Kuala berkembang pula sektor wisata pantai, sehingga sebagian besar penduduk bekerja disektor wisata maupun disektor pendukung pariwisata. Karena pengembangan potensi wisata pantai tersebut, permukiman penduduk di atas air di Bontang Kuala relatif bersih dan teratur dibandingkan dengan permukiman-permukiman di atas air yang terdapat di kelurahan lain. Di kelurahan ini pun dilaksanakan upacara adat pesta laut yang diadakan setahun sekali.Sepanjang jalan utama menuju Bontang Kuala terdapat hutan mangrove sepanjang 800 meter dengan pedestrian merupakan sarana wisata yang cukup menarik, hanya saja Pemerintah Kota mulai mengizinkan pembangunan perumahan, pertokoan dan sekolah, sehingga mengurangi nilai daerah wisata.
80
Selain bekerja pada sektor perikanan, sebagian besar penduduk Kota Bontang secara keseluruhan bekerja padasektor pertambangan dan energi, serta sektor angkutan dan komunikasi. Tingginya penduduk Kota Bontang yang bekerja pada sektor-sektor tersebut menunjukkan bahwa sektor perekonomian sekunder lebih mendominasi penyediaan lapangan kerja di Kota Bontang. Hal ini menunjukkan bahwa Bontang telah layak untuk disebut sebagai kota karena pergerakan dan perputaran ekonomi yang ada sudah berada dalam tahapan sektor sekunder yang lebih banyak memberikan value added bagi daerah. Karakteristik masyarakat pesisir Kota Bontangyang heterogen ternyata memunculkan masalah kesenjangan antara masyarakat yang bekerja disektor industri dengan masyarakat yang bekerja disektor informal. Hal tersebut terlihat jelas dari pengelompokan permukiman dan sarana pendukungnya. Permukiman di kawasan industri (PKT dan BADAK) tertata dengan baik dengan sarana dan prasaran yang sangat memadai sementara permukiman masyarakat di luar kawasan industri merupakan perkampungan yang belum tertata dengan baik dan belum dicukupi dengan sarana dan prasaran yang memadai. Kesenjangan antara penduduk yang bekerja di sektor industri dan sektor lain umumnya juga dipengaruhi oleh kesenjangan pendidikan, keterampilan dan keahlian yang dimiliki. c) Kegiatan Ekonomi Wilayah Laju pertumbuhan ekonomi diukur dari laju pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dari tahun ke tahun. Laju pertumbuhan PDRB dengan migas Kota Bontang berdasarkan harga konstan tahun2006-2009 adalah positif 2,41 %. Kondisi ini disebabkan oleh perekonomian masyarakat membaik walau produksi migas menurun 2 tahun terakhir. Dalam jangka waktu 2006-2009 laju pertumbuhan PDRB dengan migas terus mengalami penurunan seperti yang terlihat pada Tabel 19. Penurunan ini tidak terlepas dari penurunan produksi Gas Alam Cair/LNG. Sedangkan laju pertumbuhan PDRB non migas cenderung fluktuatif yang berarti sektor-sektor lain selain migas mengalami perkembangan yang stabil. Sektor pertanian, peternakan dan perikanan memiliki memiliki laju pertumbuhan sebesar -1,31 % pada tahun 2009. Jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan pada tahun-tahun sebelumnya, laju sektor pertanian, peternakan
81
dan perikanan memiliki kecenderungan menurun walaupun pada tahun 2007, terjadi peningkatan laju pertumbuhan sampai ke angka 2,32 %. Tabel 19.
Laju Pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto denganMigas Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 (dalam %) 2006 – 2009 Lapangan Usaha
2006
2007
2008
2009 -1.31 -2.96
1. 2.
Pertanian, Peternakan & Perikanan Pertambangan dan Penggalian
-5.85 7.59
2.32 -0.02
1.86 0.35
3.
Industri Pengolahan
-3.34
-4.84
0.58
-3.74
4. 5.
Listrilk, Gas dan Air Bersih Bangunan
9.34 5.63
9.67 5.78
3.07 4.53
10.80 4.70
6.
Perdagangan, Hotel dan Restoran
0.84
2.15
5.01
3.09
7.
Pengangk utan dan Komunikasi
5.31
4.24
3.06
5.13
8.
Keuangan, Persewaan dan Jasa
2.14
7.65
3.55
4.61
9.
Jasa Jasa
3.90
3.37
2.71
4.94
PDRB Dengan Migas
4.68
4.81
10.36
2.41
PDRB Tanpa Migas
-2.94
-4.26
0.84
-3.20
Sumber : Badan Pusat Statistik Kota Bontang, 2010
Sektor perikanan yang diasumsikan memberikan masukan yang besar pada kenyataannya hanya berkontribusi kecil bagi PDRB Kota Bontang. Dalam kurun waktu tahun 2006 sampai 2009, sub sektor perikanan hanya berkontribusi sebesar 0,03% dari total PDRB Kota Bontang. Walaupun menunjukkan kecenderungan menurun, sub sektor industri migas masih memberikan kontribusi paling besar bagi PDRB Kota Bontang Sejak tahun 2006 hingga 2009, kontribusi sub sektor industri migas selalu di atas 88%. Tabel 20. Kontribusi Sub Sektor Perikanan dan Industri Migas dan Non Migas PDRB Atas Dasar Harga Konstan Kota Bontang Tahun 2006 – 2009 (dalam %) Sektor/Sub Sektor Sub Sektor Perik anan Sub Sektor Industri Migas Sektor Non Migas Sumb er : Hasil Analisis, 2010
2006
2007
2008
2009
0,027
0,029
0,030
0,032
91,096
90,393
88,989
88,350
8,877
9,578
10,981
11,618
82
Walaupun memiliki kontribusi yang relatif kecil, sektor perikanan merupakan sektor yang diandalkan di masa yang akan datang ketika sektor migas mengalami stagnasi, Perkembangan sektor perikanan tangkap di wilayah pesisir kota Bontang (Bontang Utara dan Bontang Selatan) sudah cukup berkembang, hal ini dapat dilihat dari perkembangan jumlah armada yang cukup pesat dan mulai meningkatnya jumlah armada tangkap yang berukuran relatif besar, Arah pengembangan usaha penangkapan ikan ke depan lebih diprioritaskan ke perairan lepas pantai dengan armada kapal yang berukuran lebih besar sehingga mampu menjangkau wilayah penangkapan di sekitar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Laut Sulawesi atau Selat Makassar. Hal ini juga dimaksudkan untuk mengurangi konsentrasi usaha penangkapan ikan di perairan pantai, mempertahankan sumberdaya perikann melalui pengalihan lokasi penangkapan, dan menghindarkan adanya over fishing. Perkembangan di tahun-tahun mendatang, laju pembangunan di wilayah pesisir dan lautan perairan Indonesia akan semakin pesat, mengingat lahan usaha di wilayah daratan dewasa ini sudah semakin menyempit dan semakin mahal nilainya. Wilayah pesisir dan lautan yang meliputi daratan dan perairan pesisir kaya akan sumber pangan yang diusahakan melalui kegiatan kehutanan, pertanian, perikanan, pertambangan dan lain-lain. Wilayah tersebut juga merupakan pengembangan usaha jasa lingkungan seperti wisata bahari yang indah, transportasi perhubungan laut ataupun konservasi taman laut nasional (Dahuri et al, 1996). Pengembangan sektor kelautan di wilayah Kota Bontang yang potensial dan saat ini cukup berkembang baik adalah budidaya laut dengan sistem Keramba Jaring Apung (KJA) khususnya untuk komoditas ikan kerapu, kakap, kuwe, lobster ataupun teripang serta rumput laut. Sedangkan pada daerah pesisirnya masih memungkinkan untuk pengembangan budidaya tambak (bandeng dan udang) khususnya di Kelurahan Guntung, Bontang Kuala, dan wilayah pantai Sekangat. Pada muara sungai daerah berhutan bakau yaitu di sempadan muara sungai Sangatta, Api-api dan Santan maupun Sekangat (wilayah Bontang Tengah dan Selatan) cukup potensial dikembangkan budidaya tambak, mengingat wilayah tersebut merupakan daerah rawa pasang surut, kendati harus
83
dihitung dengan sungguh-sungguh daya dukung dan daya tampungnya. Salah satu masalah sosial yang dominan di wilayah pesisir adalah masalah kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan. Fenomena ini hampir terjadi pada semua keluarga nelayan kelurahan, Loktuan, Bontang Baru, dan Bontang Kuala yang mayoritas hanya berpendidikan sekolah dasar dan hidup dalam kondisi pra sejahtera. Kondisi ini perlu menjadi perhatian mengingat ada keterkaitan erat antara kemiskinan dan rendahnya pendidikan dengan kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan laut di Kota Bontang. Tekanan terhadap sumberdaya pesisir sering diperberat oleh tingginya angka kemiskinan di wilayah tersebut serta rendahnya pemahaman akan upaya konservasi, Kemiskinan sering pula menjadi lingkaran setan (vicious circle) dimana penduduk yang miskin sering menjadi sebab rusaknya lingkungan pesisir. Namun penduduk miskin pula yang akan menanggung dampak dari kerusakan lingkungan. Salah satu aspek pengelolaan wilayah pesisir yang baik adalah bagaimana mencarikan alternative pendapatan sehingga mengurangi tekanan penduduk terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir. Dari hasil kajian dapat disarikan bahwa secara umum kondisi sosial ekonomi kelurahan Loktuan, Bontang Baru dan Bontang Kuala dapat dikatakan cukup memprihatinkan. Tingkat pendapatan rata-rata perbulan untuk setiap kepala keluarga berkisar Rp. 600.000-Rp. 800.000 dengan jumlah keluarga ratarata 4-6 orang, maka cukup banyak nelayan yang hidup miskin, Sementara banyak dijumpai anak usia sekolah tidak bersekolah karena ikut bekerja orang tua melaut. Tingkat investasi rumah tangga juga rendah lebih rendah dibandingkan
Upah
Minimum
Regional
(UMR)
Kaltim
sebesar
Rp.
1.200.000/bulan atau lebih kecil dibandingkan dengan pendapatan tukang kayu dan tukang batu yang rata-rata Rp. 1.300.000-Rp.1.500.000 per bulan. Dengan kondisi pendapatan penduduk pesisir yang masih dibawah garis kemiskinan tersebut, tidaklah mengherankan jika praktek perikanan yang merusak (Destructive Fishing Practice) masih sering terjadi diwilayah pesisir dan laut Kota Bontang karena pendapatan dari kegiatan pengeboman dan penangkapan ikan karang dengan cyanide masih lebih besar dari pada
84
pendapatan mereka sebagai nelayan. Sebagai contoh pendapatan dari menjual ikan karang berkisar antara Rp. 900.000 sampai Rp.1.000.000 perbulan. Dengan demikian upaya pengelolaan wilayah pesisir laut Kota Bontang akan sukar di wujudkan tanpa memecahkan masalah kemiskinan yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri. Permasalahan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Kota Bontang tidak terlepas dari rendahnya pemahaman masyarakat tentang nilai yang sebenarnya
dari
sumberdaya
pesisir
secara
keseluruhan.
Selama
ini,
pemahaman masyarakat terhadap nilai sumberdaya pesisir seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove dan sebagainya lebih kepada penelitian sumberdaya tersebut untuk pemanfaatan konsumsi langsung. Sedikit sekali masyarakat pesisir yang memahami pemanfaatan konsumsi langsung. Sedikit pula masyarakat pesisir yang memahami pemanfaatan sumberdaya alam untuk kepentingan non-konsumtif seperti penahan abrasi, pengendalian banjir, estetika, pemanfaatan untuk obat-obatan dan sebagainya yang terkadang nilai moneter non-konsumtifnya lebih besar dari nilai konsumtif. 2) Kondisi Prasarana dan Sarana Keadaan Prasarana dan Sarana yang meliputi Prasarana dan Sarana pendidikan, kesehatan, peribadatan dan tranportasi di wilayah Kota Bontang apabila dilihat dari segi jumlah secara umum sudah memadai. Tetapi apabila ditinjau berdasarkan kebutuhan penduduk terhadap Prasarana dan Sarana tersebut masih kurang dan belum merata. Ketersediaaan Prasarana dan Sarana pada beberapa desa atau kelurahan belum ada. Keadaan Prasarana dan Sarana di wilayah Kota Bontang secara umum tahun 2010 dapat dijelaskan sebagai berikut: a) Pendidikan Prasarana dan Sarana pendidikan di wilayah Kota Bontang meliputi: bangunan sekolah dari TK, SD, SMP, SMU serta jumlah guru dan murid di perlihatkan pada Tabel 21;
85
Tabel 21. Keadaan Prasarana dan Sarana Pendidikan tiap Kecamatan di wilayah Kota Bontang Jumlah (unit) No, 1. 2.
Kecamatan Bontang Selatan Bontang Utara
TK
SD
SMP
SMU
Jumlah Murid (orang)
19 19
28 20
10 13
4 10
13.424 14.184
769 883
10
7
3
9.255
591
3. Bontang Barat 9 Sumber: Bontang dalam Angka, 2010
Jumlah Guru (orang)
b) Kesehatan Prasarana dan Sarana kesehatan di wilayah Kota Bontang meliputi: bangunan rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat (puskesmas), puskesmas pembantu, poliklinik (rumah bersalin, klinik), tenaga dokter diperlihatkan pada Tabel 22 berikut ; Tabel 22. Keadaan Prasarana dan Sarana Kesehatan tiap Kecamatan di wilayah Kota Bontang Jumlah (unit) No,
RS
Puskesmas
Puskesmas Pembantu
Poliklinik
Jumlah Dokter (orang)
Kecamatan
1
Bontang Selatan
1
1
1
2
21
2 3
Bontang Utara Bontang Barat
2 1
1 1
1
1
28 12
Sumber: Bontang dalam Angka, 2010
c) Peribadatan Prasarana dan Sarana peribadatan di wilayah Kota Bontang meliputi: bangunan mesjid, gereja katolik, gereja protestan, pura dan vihara diperlihatkan pada Tabel 23 Tabel 23. Keadaan Prasarana dan Sarana Peribadatan tiap Kecamatan di wilayah Kota Bontang
No,
Kecamatan
Jumlah (unit) Gereja Protestan 11
Pura
Vihara
Jumlah Total
-
-
38
1
Bontang Selatan
26
Gereja Katolik 1
2
Bontang Utara
35
2
16
1
-
54
3
Bontang Barat
12
1
8
-
-
21
Mesjid
Sumber: Bontang dalam Angka 2010
86
d) Transportasi Prasarana dan Sarana tranportasi di wilayah Kota Bontang meliputi kondisi jalan negara, provinsi dan kota diperlihatkan pada Tabel 24. Tabel 24. Keadaan Prasarana dan Sarana tranportasi di wilayah Kota Bontang Kondisi jalan
Negara (meter)
Panjang Jalan Provinsi (meter)
Kota (meter)
Baik
-
33.729.00
141.114.92
Sedang Rusak
-
-
10.000.00 29.680.00
Rusak berat
-
-
22.916.00
Jumlah
-
33.729.00
203.710.92
Sumber: Bontang dalam Angka 2010
Sistem transportasi laut mencakup sarana maupun prasarana yang berkaitan dengan pelayaran yaitu pelabuhan laut dan alur
pelayaran
pendukungnya yang berfungsi untuk mengatur lalu-lintas kapal yang melintasi suatu perairan. Komoditi migas masih merupakan komoditas andalan baik bagi daerah, propinsi maupun nasional. Perkembangan ekspor migas di Kota Bontang untuk tahun 2006 mengalami kenaikan 13% jika dibandingkan tahun sebelumnya. Sedangkan nilai ekspor non migas mengalami penurunan sebesar 0,47 %. (BPS Kota Bontang , 2007). Sementara nilai impor Kota Bontang baik migas maupun non migas sangat bervariasi. Namun pada tahun 2006 nilai impor migas maupun non migas mengalami kenaikan. Hingga saat ini sub sektor migas masih merupakan andalan bagi pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kota Bontang, dengan kontribusi sebesar 96,16 %. Pada tahun 2006 laju pertumbuhan PDRB minus 2,87 % (dengan migas), sedangkan tanpa migas pertumbuhan sebesar 5,81 %. Hal ini terjadi disebabkan terjadinya penurunan produksi gas yang diolah oleh BADAK. Struktur
ekonomi Kota Bontang masih didominasi oleh industri
pengolahan gas alam cair dengan kecenderungan yang menurun. Sektor industri gas alam cair memberikan kontribusi 74,20 %. Sumbangan terbesar kedua adalah sektor industri pengolahan non migas sebesar 12,29 %, terutama PKT.
87
Produksi utama PKT adalah pupuk urea dan amoniak yang ditujukan untuk kebutuhan domestik dan ekspor. Perubahan status kota administratif Bontang menjadi Kota Bontang yang sebagian luas wilayahnya terdiri dari perairan, diikuti peningkatan berbagai aktifitas di daerah pesisir dan laut Kota Bontang. Letak Kota Bontang yang berbatasan dengan Taman Nasional Kutai dan adanya pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menimbulkan berbagai konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut seiring dengan peningkatan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, Kawasan pesisir dan laut Kota Bontang saat ini dimanfaatkan berbagai pihak seperti PKT, BADAK, PT Indominco, Taman Nasional, pemukiman, pertambakan, budidaya, pelayaran, pelabuhan dan penangkapan ikan. Bila tidak ada sinkronisasi kegiatan akan timbul persoalan pemanfaatan ruang dan meningkatkan gangguan terhadap ekosistem pesisir dan laut. Keberadaan PKT menjadi sangat strategis, karena hal-hal sebagai berikut:
Kawasan pesisir dan laut PKT merupakan zona taman nasional dan zona budidaya dengan intensitas pertambahan yang relatif tinggi karena lokasi dan sumberdaya alamnya yang potensial dan strategis.
Kegiatan PKT yang memanfaatkan ruang pesisir dan laut Kota Bontang mencakup kegiatan industri, pelabuhan, reklamasi, dan pemukiman, sementara di perairan sekitarnya terdapat kegiatan
perikanan dan
pertambakan masyarakat.
Kegiatan operasional PKT mempunyai pengaruh yang besar terhadap upaya pengembangan tata ruang wilayah yang ada di sekitarnya, terutama dalam perekonomian Kota Bontang.
Penataan kawasan pesisir dan laut di sekitar PKT dapat dijadikan faktor pendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat. Jika hal ini dikaitkan program CSR dapat ditelaah apakah program yang dirancang mengarah pada pemberdayaan masyarakat pesisir.
88
4.1.3 1)
Gambaran Umum PKT
Sejarah Perusahaan PKT terletak di Kelurahan Loktuan, Kecamatan Bontang Utara, Kota
Bontang, Propinsi Kalimantan Timur, terletak sejarak 110 km di sebelah utara Kota Samarinda atau 235 km di sebelah utara Kota Balikpapan. Didirikan dengan Akte Notaris Yanuar Hamid, SH. Nomor 15 Tanggal 7 Desember 1977 di Jakarta, dengan pengesahan Menteri Kehakiman No.Y.A. 5/5/11 Tanggal 16 Januari 1979. PKT merupakan anak perusahaan dari PT Pusri (Persero) sebagai holding company, dan saat ini mempunyai kapasitas produksi urea 2,98 juta ton per tahun serta amoniak sebanyak 1,85 juta ton per tahun. Hal ini menjadikan PKT sebagai produsen urea terbesar di tanah air. Selain itu, PKT juga menghasilkan pupuk NPK dan pupuk organik, dengan kapasitas produksi NPK total 550 ribu ton, terdiri dari 350 ribu ton NPK simple blending dan 200 ribu ton NPK fusion, Sedangkan kapasitas produksi pupuk organik adalah 45.000 ton. PKT berawal dari rencana pemerintah melalui Pertamina untuk membangun proyek pabrik pupuk terapung di atas kapal. Namun karena pertimbangan teknis, maka berdasarkan Keppres No. 43/1975 proyek tersebut dialihkan ke darat dan melalui Keppres No. 39/1976. Pertamina menyerahkan pengelolaan proyek kepada Departemen Perindustrian. Lokasi yang dipilih adalah Bontang, Kalimantan Timur.Lahan seluas 493 hektar disiapkan untuk membangun proyek pabrik pupuk tersebut. Gas bumi sebagai bahan baku utama bersumber dari Muara Badak yang disalurkan melalui pipa sepanjang 60 km. Kalimantan Timur mempunyai cadangan proven gas bumi yang cukup besar mencapai 37,003 TSCF, saat ini sebanyak 4000 mmscfd dijadikan LNG dan sebanyak 450 mmscfd digunakan untuk pengembangan industri pupuk dan industri kimia/ petrokimia di kawasan industri Kota Bontang. Pembangunan pabrik Kaltim-1 dimulai tahun 1979 dan mulai beroperasi komersial tahun 1987.Sedangkan pabrik Kaltim-2 mulai dibangun tahun 1982. Kedua pabrik tersebut diresmikan bersamaan pada 28 Oktober 1984. Pabrik Kaltim-3 mulai dibangun dua tahun setelah peresmian pabrik Kaltim-1 dan 2 dan diresmikan pada 4 April 1989. Pada 20 November 1996, mulai dibangun pabrik urea unit 4 yang disebut juga dengan Proyek Optimasi Kaltim atau POPKA,
89
Pabrik ini adalah pabrik urea granul pertama di Indonesia dan diresmikan pada 6 Juli 2000 bersamaan dengan pemancangan tiang pertama Pabrik Kaltim-4, Pabrik Kaltim-4 juga memproduksi Urea Granule. Unit urea pabrik tersebut diresmikan pada 3 Juli 2002 sedangkan unit amoniak diresmikan pada 28 Juni 2004 oleh Presiden. Mulai tahun 2004, seiring dengan keluarnya SK Menperindag, PKT bertanggung jawab atas distribusi urea bersubsidi di Kawasan Timur Indonesia. Sejak saat itu PKT telah membangun jaringan pemasaran di berbagai wilayah Indonesia dan saat ini, wilayah tanggung jawab PKT meliputi Kawasan Timur Indonesia dan sebagian besar Jawa Timur dan Kalimantan kecuali Kalimantan Barat. Dengan kemampuan produksi yang cukup besar, PKT tidak hanya menjadi produsen pupuk dalam lingkup nasional, Jangkauan pasar PKT telah berkembang hingga wilayah Asia-Pasifik (Korea, Taiwan, Filipina, India, Jepang), Amerika Utara dan Amerika Selatan, Pada tahun 2008, ekspor pupuk oleh PKT mencapai 174,740 ton. Meskipun peluang pangsa pasar ekspor relatif tinggi, besarnya volume ekspor yang dilakukan PKT harus disesuaikan dengan izin dan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah.Hal ini dikarenakan adanya kebijakan dimana permintaan pupuk nasional harus menjadi prioritas utama dibandingkan permintaan pupuk luar negeri. Dalam menjalankan aktivitas pemasaran, PKT menerapkan program pemasaran terpadu (integrated marketing). Melalui program pemasaran inilah PKT berupaya memberikan pelayanan yang tepat waktu, tepat jumlah, tepat jenis, tepat tempat, tepat mutu dan tepat harga bagi para konsumen. Selain program pemasaran, PKT turut pula melakukan diversifikasi produk ke dalam dua kelompok yakni pupuk bersubsidi dan pupuk non subsidi. Terkait aktivitas produksi pupuk tersebut, PKT menjalankan program pengendalian mutu, pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja, serta pelestraian lingkungan.
Melalui
ketiga program
tersebut, PKT berhasil
memperoleh sertifikat ISO 9002 (mutu), bendera emas SMK3 (K3), dan sertifikat ISO 14001 (lingkungan).
90
2)
Visi dan Misi Perusahaan PKT memiliki visi strategis yakni ; “Menjadi perusahaan agro-kimia yang
memiliki reputasi prima Visi di kawasan Asia”, dimana istilah “reputasi prima” dimaknai sebagai ; 1. Termasuk salah satu perusahaan Indonesia yang ada dalam daftar 500 perusahaan besar di Asia. 2. Terciptanya produk dan jasa dengan merek-merek global dengan pelanggan yang fanatik (cult brands). 3. Menyandang predikat korporasi best practice dan konsisten sebagai “good governed company”.
Sedangkan misi PKT adalah sebagai berikut : 1. Menyediakan produk-produk pupuk, kimia, agro dan jasa pelayanan pabrik serta perdagangan yang berdaya saing tinggi; 2. Memaksimalkan nilai perusahaan melalui pengembangan sumber daya manusia dan menerapkan teknologi mutakhir; 3. Menunjang program ketahanan pangan nasional dengan penyediaan pupuk secara tepat; 4. Memberikan manfaat bagi pemegang saham, karyawan dan masyarakat serta peduli pada lingkungan.
Dalam rangka mencapai visi misi di atas, perusahaan menetapkan sasaran yang ditetapkan dalam corporate plan 2008-2027 yang dirinci dalam sasaran 5 tahunan. Sasaran perusahaan tahun 2008-2012 adalah “menjadi industri kimia paling kompetitif di Indonesia”. Pencapaian sasaran ini diukur berdasarkan indikator keberhasilan kunci, yakni : 1. Industri pupuk kimia dengan predikat best quality, cost competitive, shortest lead time, best safety, high moral dan enviromental friendly. 2. Tersedianya pasokan pupuk secara berkesinambungan dengan prinsip "6 Tepat", yakni : Jumlah, Jenis, Waktu, Mutu, Tempat, dan Harga. 3. Jaringan distribusi menjangkau seluruh wilayah nasional.
91
4. Mencapai kriteria standar kinerja internasional yang setara dengan IQA (Indonesia Quality Award) di atas 500.
3)
Struktur Organisasi PKT Struktur organisasi PKT tersusun atas 4 hierarki struktural, dimana
struktur level pertama terdiri dari jajaran Direksi, pada struktur level kedua terdapat Kompartemen setingkat General Manager yang membawahi struktur level ketiga yakni Departemen dan Biro, sedangkan pada struktur level ke empat terdapat unit kerja tingkat bagian yang dipimpin oleh seorang Kepala Bagian. Secara rinci Bagan Struktur Organisasi PKT disajikan pada Lampiran 1. Program PKBL PKT dilaksanakan oleh unit kerja yang berada pada level ketiga setingkat Departemen dengan nama Biro PKBL, yang bertanggung jawab kepada Direktur SDM dan Umum selaku pembina unit kerja, dengan berkoordinasi kepada Kompartemen Umum. Sebagaimana tersaji pada Gambar Bagan Struktur Organisasi berikut ;
PRESIDENT DIRECTOR
HR & GENERAL DIRECTOR
COMMERCI AL DIRECTOR
GM OF GENERAL AFFAIRS
GM OF HUMAN RESOURCES
MANAGER OF PKBL
MANAGER SECURITY
PRODUCTION DIRECTOR
INTERNAL AUDITOR
CORPORATE SECRETARY
MANAGER OF GENERAL AFFAIR
Gambar10. Bagan Struktur Organisasi PKT
TECHNICAL & DEVELOPMENT DIRECTOR
92
4)
Bentuk CSR PKT PKT telah menjalankan program Corporate Social Responsibility(CSR),
baik secara langsung maupun tidaklangsung dalam bentuk program PKBL. Program Kemitraan (PK) PKT di tahun 2010 telah menyalurkan dana bergulir sebesar Rp. 27,28 miliar. Sedangkan melalui Bina Lingkungan (BL), perusahaan menyalurkan dana Rp. 5,4 miliar.Program CSR PKT tersebut diuraikan dengan deskripsi masing-masing program sebagai berikut ; a)
Program Kemitraan (PK) Aktivitas program kemitraan dilakukan melalui penyaluran laba bersih
perusahaan sebesar maksimal dua persen kepada sejumlah UMKM (Usaha Kecil, Mikro dan Menengah). Laba bersih tersebut berfungsi sebagai pinjaman lunak bagi aktivitas operasional dan pengembangan usaha UMKM. Pada waktu yang telah ditentukan, UKMK tersebut berkewajiban untuk mengembalikan pinjaman dana kepada PKT. Hasil pengembalian dana tersebut kemudian akan digulirkan kembali oleh PKT kepada sejumlah UMKM yang memenuhi syarat untuk mendapatkan bantuan pinjaman. Rincian aktivitas penyaluran dana pada program kemitraan PKT adalah sebagai berikut: (1) Penyaluran Pinjaman Sasaran penyaluran pinjaman PKT adalah UMKM yang dinilai belum layak untuk mendapatkan pinjaman dari pihak perbankan. Berikut ini merupakan jenis pinjaman yang disalurkan oleh PKT melalui program kemitraan: (a) Pinjaman Langsung Pinjaman Langsung merupakan pinjaman yang secara langsung diberikan oleh PKT kepada UMKM yang menjadi mitra binaan PKT. Selain di wilayah Bontang, mitra binaan PKT juga terdapat di wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah. Bagi pinjaman yang disalurkan setelah tahun 2003 diberlakukan jasa administrasi sebesar 6% per tahun. Besarnya jasa administrasi tersebut bersifat tetap, sedangkan bagi pinjaman yang disalurkan sebelum tahun 2003 diberlakukan nilai jasa
93
administrasi yang bervariasi dengan sistem perhitungan bunga tetap dan saldo menurun. (b) Pinjaman Tidak Langsung (pinjaman melalui lembaga penyalur) Pinjaman tidak langsung disalurkan kepada mitra binaan melalui lembaga penyalur yang bekerjasama dengan PKT. Saat ini pinjaman tidak langsung tidak diberlakukan. Hal ini dikarenakan berakhirnya masa perjanjian kerjasama antara PKT dengan perbankan yang menjabat sebagai lembaga penyalur. Sebelumnya posisi lembaga penyalur dipegang oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD), baik yang terdapat di wilayah Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah maupun Kalimantan Barat. Dalam penerapannya, pihak BPD bertindak sebagai suplier produk perbankan dan kredit bagi mitra binaan PKT. Atas pinjaman tersebut PKT memberikan jaminan berupa deposito berjangka kepada pihak BPD. (c) Pinjaman Khusus Pinjaman khusus merupakan jenis pinjaman jangka pendek yang diberikan PKT kepada mitra binaan. Pinjaman tersebut bertujuan untuk membantu kondisi finansial mitra binaan dalam memenuhi permintaan konsumennya. PKT menyediakan alokasi pinjaman khusus bagi para kontraktor, pemasok, maupun mitra binaan yang mendapat pesanan khusus. Besarnya bunga pinjaman yang diberlakukan pada pinjaman ini adalah sebesar 12% per tahun, sedangkan sistem perhitungan yang diterapkan adalah sistem perhitungan bunga menurun. (2) Pemberian Hibah Pemberian hibah dilakukan oleh PKT dalam rangka pengembangan dan peningkatan kemampuan mitra binaan. Besarnya dana hibah yang dialokasikan oleh PKT adalah sebesar maksimal 20% dari dana Program Kemitraan yang disalurkan pada tahun berjalan. Dana hibah tersebut digunakan dalam aktivitas pendidikan, pelatihan, penelitian, magang, pemasaran, promosi dan lain-lain.
94
b) Program Bina Lingkungan (BL) Program
bina
lingkungan
merupakan
penyelenggaraan
kegiatan
Community Development, dimana dana kegiatan bersumber dari laba bersih perusahaan. Dalam menjalankan kegiatan tersebut, sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN No: Per-05/MBU/2007, perusahaan mengalokasikan dana sebesar 2% dari perolehan laba bersih. Bentuk kegiatan dalam program bina lingkungan antara lainbantuan bencana alam, pendidikan, kesehatan, sarana umum, sarana peribadatan, serta olahraga dan seni.Berikut ini merupakan penjelasan mengenai program bina lingkungan yang diselenggarakan oleh PKT : (1) BUMN Peduli Penyaluran dana BUMN Peduli hanya dapat dilaksanakan berdasarkan surat/perintah dari Kementerian BUMN, yang biasanya untuk kejadian bersifat nasional. Pada tahun 2010 bentuk bantuan dana BUMN Peduli yang dilaksanakan PKT adalah bantuan Bencana Alam Banjir Wasior, Merapi Yogyakarta, dan Gempa Mentawai. (2) Bantuan korban bencana alam Bentuk bantuan untuk korban bencana alam yang disalurkan antara lain bantuan untuk korban musibah kebakaran di Kelurahan Guntung, Kutai Kartanegara, Balikpapan dan korban banjir di Samarinda. (3) Bantuan pendidikan dan atau pelatihan Contoh program pendidikan yang di selenggarakan oleh PKBL PKT antara lain Program Peduli Pendidikan, program ini memberikan kesempatan kepada siswa-siswi SMU/ sederajat di Kota Bontang dan sekitar yang notabene berasal dari golongan ekonomi lemah untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi favorit di Indonesia. Selain pemberian beasiswa, kegiatan lain dibidang pendidikan adalah pelatihan enterpreneurship, bantuan komputer untuk instansiinstansi kelurahan dan kecamatan di Kota Bontang. (4) Bantuan peningkatan kesehatan Bantuan di bidang kesehatan meliputi bantuan biaya keringanan berobat di Rumah Sakit Pupuk Kaltim (RSPKT).
95
(5) Bantuan pengembangan prasarana dan atau sarana umum Bantuan yang disalurkan antara lain bantuan pembangunan gedung dakwah Pondok Pesantren Hidayatullah dan sarana panti asuhan Nurul Hidayah Lhoktuan. (6) Bantuan sarana ibadah Untuk
sektor
peribadatan,
PKBL
PKT
memberikan
bantuan
pembangunan masjid, mushola serta bantuan pemberian sarung, baju muslim untuk santri dari pondok pesantren se Kota Bontang. (7) Bantuan pelestarian alam Komitmen Perusahaan di bidang lingkungan hidup diwujudkan melalui penerapan Sistem Manajemen Lingkungan berdasarkan ISO 14001:2004 secara efektif dan konsisten. Selama tahun 2010 PKT telah berhasil menjalankan kegiatan operasional yang ramah lingkungan yakni dengan memenuhi seluruh standar baku mutu lingkungan seperti, limbah cair, padat dan emisi gas sesuai yang disyaratkan oleh undang-undang dan peraturan pemerintah. Kesungguhan perusahaan dalam pengelolaan dan pelestarian lingkungan juga ditunjukkan
melalui
program
taman penghijauan Wanatirta,
yaitu
penghijauan dan pelestarian tanaman langka, khas Kalimantan. Penghijauan ini disiapkan di atas lahan seluas 315 Ha di sekitar perusahaan dengan populasi pohon langka yang sudah ditanam mencapai 55.631 pohon. Bantuan pelestarian alam dilakukan dengan pelaksanaan program penanaman pohon pelindung, penanaman mangrove dan terumbu karang di sekitar kawasan pesisir Kota Bontang. Dimana perusahaan telah melakukan penanaman 256 terumbu buatan pada tahun 2009 di sekitar perairan Kota Bontang yakni di area Karang Segajah dan Tebok Batang. Kegiatan serupa direncanakan menjadi agenda tahunan dengan kebijakan penanaman 500 terumbu buatan setiap tahunnya sejak 2011 hingga 10 tahun mendatang di perairan pesisir Kota Bontang. Dalam melakukan konservasi kawasan pesisir Kota Bontang, melindungi wilayah pesisir dari abrasi, PKT juga telah melakukan penanaman mangrove
96
sekitar 7500 pohon di tahun 2011 terletak di area Hak Guna Bangunan (HGB) 63 (area Sekatup Kelurahan Bontang Baru) sebanyak 3750 pohon dan HGB 65 (area Bukit Sintuk Kelurahan Belimbing) sebanyak 3750 pohon. Kegiatan penanaman pohon mangrove ini juga akan menjadi agenda kegiatan tahunan perusahaan, dengan melakukan penanaman minimal 10.000 pohon mangrove per tahunnya hingga 10 tahun kedepan. Dalam
rangka
Program
Penilaian
Peringkat
Perusahaan
dalam
Pengelolaan Lingkungan (Proper), PKT memperoleh predikat “HIJAU” dari Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan predikat ”BIRU” dari Kementerian Lingkungan Hidup.Untuk dapat meningkatkan predikat tersebut, salah satu aspek yang menjadi kategori penilaian adalah bentuk implementasi CSR yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan seperti ISO 26000, sehingga PKT harus terlebih dahulu melaksanakan konsep CSR dengan baik. c)
Program Pembinaan Wilayah (Binwil) Program Pembinaan Wilayah merupakan wujud kepedulian perusahaan
terhadap pengembangan masyarakat dan lingkungan. Pendanaan program Binwil bersumber dari dana operasional perusahaan yang telah disesuaikan dengan kebijakan perusahaan. Penyelenggaraan program Binwil bertujuan untuk mendorong pengembangan wilayah, dengan fokus pembinaan meliputi bidang sosial, keagamaan, pendidikan serta bidang kesehatan masyarakat. d) Program CSR Tak Langsung PKT memiliki program CSR yang merupakan swadaya karyawan PKT. Program CSR tersebut turut pula berperan dalam pemberdayaan dan pengembangan masyarakat di sekitar perusahaan.Beberapa jenis program yang telah terlaksana adalah Marching Band Bontang-PKT, diklat sepak bola Mandau, seni dan tari, Yayasan PKT, serta kegiatan olahraga profesional dan amatir. (1) Kegiatan Pengembangan Olahraga Kegiatan pengembangan olahraga telah dilaksanakan PKT sejak lama. Pada tahun 1988 PKT mendirikan klub sepakbola PS PKT. Sejak memasuki Kompetisi Liga Bank Mandiri ke 8 tahun 2002, PS PKT berubah nama menjadi
97
PS Bontang PKT. Selain bidang sepak bola, kegiatan pengembangan olahraga juga dilakukan pada bidang olahraga voli, tenis meja, tenis lapangan, renang, soft ball, catur, bridge, dan golf. (2) Kegiatan Seni dan Budaya Kegiatan seni dan budaya yang secara rutin diselenggrakan oleh PKT antara lain pagelaran wayang kulit, pentas seni tari, ketoprak, dan fashion show. Selain kegiatan tersebut, PKT turut pula mendorong berkembangnya potensi seni generasi muda melalui kegiatan marching band, Anggota Marching Band Bontang-PKT (MB Bontang-PKT) terdiri dari karyawan, keluarga karyawan, dan masyarakat yang pada umumnya adalah generasi muda Kota Bontang di luar keluarga besar PKT. Salah satu prestasi membanggakan yang telah diukir oleh MB Bontang-PKT adalah juara Grand Prix Marching Band Nasional selama sembilan kali berturut-turut. (3) Yayasan Baiturrahman Yayasan Baiturrahman mengelola Masjid Raya Baiturrahman PKT, pengumpulan dana zakat dari karyawan PKT. Dana hasil pengumpulan tersebut disalurkan dalam bentuk zakat fitrah, sedekah, bantuan beasiswa, bantuan bencana alam, dan bantuan modal bagi usaha kecil. Untuk mendukung aktivitasnya dalam menyalurkan dana bagi kegiatan perekonomian sektor informal, pada tahun 1995 Yayasan Baiturrahman mendirikan BMT (Baitul Mal wat Tanwil). (4) Yayasan Pupuk Kaltim (YPK) Yayasan Pupuk Kaltim memiliki fokus pada bidang pendidikan. Program utama yang diusung oleh yayasan ini adalah program Maju Bersama YPK yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas proses belajar dan kualitas pendidikan di Kota Bontang. Penyelenggaraan program tersebut berhasil meningkatkan NEM rata-rata siswa-siswa lulusan SD di Kota Bontang. Selain program tersebut, YPK juga melaksanakan try out (TO) untuk siswa SMP dan SMU se-Bontang, ESQ gratis untuk siswa sekolah, kejuaraan atletik se-Kaltim, kejuaraan bola basket antar pelajar se-Bontang, takmir masjid serta pelatihan kurikulum dan
98
pengenalan berbagai universitas negeri (Unair, ITB, ITS, Unpad, Undip, UGM) bagi para guru dan siswa SMU di Kota Bontang. (5) Yayasan Rumah Sakit Salah satu program peningkatan kesehatan masyarakat Bontang yang diselenggarakan oleh Yayasan Rumah Sakit Pupuk Kaltim adalah bantuan keringanan biaya berobat dengan nilai rata-rata mencapai Rp. 150 juta per tahun. (6) Publik Katulistiwa Televisi (PK-TV) Terkait bidang media penyiaran, PKT mendirikan PKTV (Publik Katulistiwa TV) dengan bekerjasama dengan Yayasan Baiturrahman, Yayasan Pupuk Kaltim dan Yayasan Bina Insan Mandiri.Stasium TV lokal yang resmi berdiri
pada
tahun
1998
tersebut
menayangkan
informasi
program
pengembangan masyarakat serta peristiwa aktual yang terjadi di Kota Bontang. Dengan berlokasi di kompleks Gedung Sarana Pertemuan (GOR) PKT, PKTV mengudara setiap hari dimulai pada pukul 18.00 hingga pukul 22.00. (7) Program Pemberdayaan Pengusaha Lokal PKT turut pula memiliki kepedulian dalam pengembangan ekonomi masyarakat lokal. Bentuk kepedulian tersebut diwujudkan dengan melakukan pemberdayaan pengusaha lokal melalui pemberian prioritas kepada vendor atau pengusaha lokal Bontang dalam proses pengadaan barang dan jasa serta pekerjaan konstruksi tertentu di PKT. (8) Pengembangan kawasan Hutan Kota Wanatirta Pengembangan kawasan Hutan Kota Wanatirta merupakan program pelestarian lingkungan yang dilakukan dengan menjaga fungsi hutan seluas 315,6 Ha tersebut dalam memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, memperbaiki resapan air, serta perlindungan terhadap aquifer dan aquiclude. Upaya pelestarian tersebut bertujuan untuk menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota, mendukung pelestarian keanekaragaman hayati, serta mengembangkan hutan sebagai lokasi penelitian dan wisata.
99
4.2 Analisis Ekonomi Wilayah Kota Bontang 4.2.1
Analisis Location Quotient Analisis tentang faktor penentu pertumbuhan ekonomi daerah diperlukan
sebagai dasar utama untuk perumusan pola kebijakan pembangunan ekonomi daerah dimasa mendatang. Untuk mengetahui peran industri pengolahan dalam menopang pertumbuhan ekonomi, dapat dilakukan dua pendekatan perhitungan, yaitu: metode basis ekspor yang merupakan bagian dari teori pertumbuhan regional dan metode basis ekonomi dengan pendekatan Location Quotient atau LQ. Sebelumnya ada baiknya ditelaah kembali indikator yang menjadi kekuatan
pertumbuhan
ekonomi
Kota
Bontang.
Perkembangan
kondisi
perekonomian dapat ditunjukan dengan pertumbuhan ekonomi yang diukur melalui PDRB. Khusus untuk Kota Bontang struktur PDRB didominasi oleh industri pengolahan yaitu hingga 94 persen. Data statistik menunjukan bahwa sumbangan industri pengolahan cukup besar terhadap pembentukan PDRB Kota Bontang, sebagaimana disajikan dalam Tabel 25 berikut ; Tabel 25. Perkembangan Industri Pengolahan dan PDRB Bontang Periode 20052009 dengan Harga Konstan Tahun 2000 (dalam juta) Dengan Migas Tahun
Industri Pengolahan
PDRB
Tanpa Migas Industri Pengolahan
PDRB
2005
24.652.692,75
26.161.109,08
712.390,30
2.218. 549,53
2006
24.652.692,75
26.161.109,08
769.172,00
2.334. 304,64
2007
23.830.231,76
25.398.233,40
810.273,90
2.446. 536,17
2008
22.808.665,43
24.516.714,71
992.102,38
2.699. 898,56
2009
21.955.567,10
23.735.296,07
988.364,14
2.765. 071,61
Sumber : BPS 2010, Bontang Dalam Angka 2010
Perhitungan LQ berdasarkan pendapatan terlihat bahwa selama periode analisis antara tahun 2005 sampai dengan tahun 2009, nilai-nilai LQ Kota Bontang menunjukan angka lebih besar dari 1. Dari hasil identifikasi ini dapat
100
disimpulkan bahwa industri pengolahan Kota Bontang antara tahun 2005 sampai dengan 2009 merupakan sektor basis, seperti disajikan pada Tabel 26; Tabel 26.Perbandingan Hasil Perhitungan LQ Pada Industri Pengolahan Dengan Migas dan Tanpa Migas di Kota Bontang Periode 2005-2009 LQ dengan Migas
LQ Tanpa Migas
Tahun vi/vt
Vi/Vt
2005
0,94234127
0,32470245
2006
0,94234127
2007
LQ
vi/vt
Vi/Vt
LQ NM
2,9021686
0,32110633
0,09999888
3,21109924
0,34395157
2,7397498
0,32950797
0,10437771
3,15688067
0,93826336
0,32470245
2,8896097
0,33119228
0,09999888
3,31195988
2008
0,93033123
0,31983581
2,9087775
0,36745913
0,09944345
3,69515661
2009
0,92501762
0,29810031
3,1030414
0,35744612
0,09489565
3,76672827
Sumber : BPS 2010, diolah
Jika data industri pengolahan Kota Bontang dipisahkan antara migas dan non migas, maka akan didapat hasil nilai LQ masih diatas 1 antara tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. Hasil ini menunjukan bahwa industri pengolahan non migas Kota Bontang merupakan sektor basis. Pembedaan antara sektor migas dan non migas sesungguhnya untuk melihat peran dua industri besar di Kota Bontang. Sektor Migas pada industri pengolahan digunakan untuk mengamati peran BADAK dan sektor non migas digunakan untuk mengamati peran PKT. Dari hasil perhitungan yang ada, dapat disimpulkan bahwa peran kedua perusahaan ini sangat besar dalam membentuk sektor basis di Kota Bontang. Selanjutnya untuk mengetahui nilai peran industri pengolahan non migas (PKT) sebagai sektor basis terhadap pembangunan ekonomi dalam menciptakan multiplier effect dapat diukur dengan Analisis Regresi sederhana OLS (Ordinary Least Square), dimana variabel yang digunakan adalah time series PDRB 2005 – 2009, sehingga diperoleh persamaan ; ∆Y = 1164765.38 + 1.582 ∆B Hasil ini
menunjukkan bahwa
koefisien determinasi sektor
basis
berpengaruh sebesar 1,582 terhadap PDRB Kota Bontang dengan tingkat
101
signifikansi (R square) 95,5%, nilai tersebut akan semakin terlihat jelas ketika kita bandingkan dengan nilai sirkulasi arus modal rata-rata PKT yang mencapai Rp.7,52 Trilyun pertahun, dimana 97,5% diantaranya dikeluarkan di Kota Bontang, meliputi biaya operasional produksi 76%, kontribusi langsung terhadap Pemerintah 15% dan investasi sebesar 9%. 4.2.2
Analisis Pendapatan Jangka Pendek Sementara analisa data rasio PDRB Non Basis terhadap total PDRB
(YN/Y)
menggambarkan proporsi dari total pendapatan yang dihasilkan oleh
aktivitas lokal atau aktivitas penduduk dalam perekonomian wilayah. Pada tahun 2009 rasio YN/Y menunjukan angka 0,0749. Artinya, setiap Rp. 1 pendapatan total Kota Bontang, sumbangan aktivitas lokal sebesar 0,0749. Perhitungan ini menunjukan bahwa aktivitas lokal atau aktivitas penduduk dalam perekonomian Kota Bontang hanya berperan sebesar 7,49 %, sebagaimana disajikan pada Tabel 27: Tabel 27. Hasil Perhitungan Pengganda Pendapatan Jangka Pendek Sektor Industri Pengolahan di Bontang Periode 2005-2009 (dalam juta) 2005
2006
2007
2008
2009
Y
26.161.109,08
26.216.799,14
25.466.494,03
24.519.392,21
23.735.296,07
YB
24.652.692,75
24.652.692,75
23.830.231,76
22.808.665,43
21.955.567,10
1.508.416,33
1.564.106,39
1.636.262,27
1.710.726,78
1.779.728,97
M
1,061186676
1,063445661
1,068663297
1,075003370
1,081060487
YN/Y
0,057658730
0,059660464
0,064251572
0,069770358
0,074982379
YN
Sumber : BPS 2010, diolah
4.2.3
Analisis Shift Share Dari hasil analisis shift share menunjukkan kontribusi nasional terhadap
perekonomian daerah hanya sebesar 9%, sementara peran struktur ekonomi daerah cukup besar mencapai 92 %, rasio tersebut ditopang oleh kontribusi kekhususan potensi ekonomi daerah yakni 46 %, sebagaimana tersaji pada Tabel 28 berikut :
102
Tabel 28. Hasil Perhitungan Analisis Shift Share Kota Bontang Tahun 2005-2009 (dalam juta) Sektor Ekonomi Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air
RS
PS
DS
VA
6.812, 43
29.086,76
27.013,23
62.912,42
12.398,17
68.749,17
52.502,12
133.649,46
241.362,86 1.118. 012,77 1.371. 246,73 2.730. 622,36 3.263, 81
15.652,77
18.301,83
37.218,40
Bangunan dan Konstruksi
230.508,92 1.241. 429,88 1.154. 090,36 2.626. 029,17
Perdagangan, Restoran dan Hotel
105.003,76
510.886,47
479.640,27 1.095. 530,49
Pengangk utan dan Komunikasi
25.542,44
131.687,17
125.635,69
282.865,30
Keuangan, Persewaan dan Jasa
28.106,54
158.022,46
139.068,83
325.197,84
Jasa-Jasa Lainnya
22.243,70
107.994,24
105.440,17
235.678,11
JUMLAH PERS ENTASE
675.242,63 3.440. 313,00 3.446. 223,83 7.529. 703,56 8.97%
45.69%
45.77%
100%
Sumber : BPS 2010, diolah
Keterangan : RS : Regional Share PS : Propotionality Shift 4.2.4
DS VA
: Differential Shift : Value Added
Pusat Pembangunan dan Pusat Pertumbuhan Kota Bontang Kota Bontang terletak 150 km di utara Kota Samarinda, dengan wilayah
yang relatif kecil dibandingkan kabupaten lainnya di Propinsi Kalimantan Timur (406,70 km²), Kota Bontang memegang peranan yang cukup penting dalam pembangunan Kaltim maupun nasional. Karena di kota yang berpenduduk sekitar 140.000 jiwa ini, terdapat dua perusahaan raksasa internasional yaitu BADAK di Kecamatan Bontang Selatan dan PKT di Kecamatan Bontang Utara. Secara Administrasi, semula Kota Bontang merupakan Kota Administratif sebagai bagian dari Kabupaten Kutai dan menjadi Daerah Otonom berdasarkan Undang-Undang No. 47 Tahun 1999 tentang pemekaran Propinsi dan Kabupaten, bersama-sama dengan Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Kutai
103
Kertanegara. Dan sejak disahkannya Peraturan Daerah Kota Bontang No. 17 tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi Kecamatan Bontang Barat, pada tanggal 16 Agustus 2002, Kota Bontang terbagi menjadi 3 kecamatan, yaitu Kecamatan Bontang Selatan, Kecamatan Bontang Utara, dan Kecamatan Bontang Barat. Kecamatan Bontang Selatan memiliki wilayah daratan paling luas (104,40 2
km ), disusul Kecamatan Bontang Utara (26,20 km 2) dan Kecamatan Bontang Barat (17,20 km 2) Kota Bontang memiliki letak yang cukup strategis yaitu terletak pada jalan trans Kaltim dan berbatasan langsung dengan Selat Makassar sehingga menguntungkan dalam mendukung interaksi wilayah Kota Bontang dengan wilayah lain di luar Kota Bontang. Gas alam cair merupakan komoditi utama yang menopang perekonomian Kota Bontang dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 produksi LNG, yang dikelola oleh BADAK, mengalami penurunan jika dibandingkan dengan tahun 2007. Tercatat produksi total LNG pada tahun 2008 sebesar 39.701.552 m 3 dengan produksinya tertinggi sebesar 3.563.438 m3 pada bulan Januari 2008. Untuk nilai ekspor LNG tertinggi juga terjadi pada bulan Januari 2008 sebesar 3.623.854 m3 dengan total ekspor sebesar 39.698.248 m 3 Komoditi unggulan di Kota Bontang setelah gas alam cair adalah pupuk. Pada tahun 2008, produksi amoniak PKT tercatat sebanyak 246.504 ton, sedangkan produksi urea curah dan urea kantong tercatat sebanyak 350.515 ton dan 2.201.497 ton. Sedangkan untuk distribusi amoniak sebanyak 138.850 ton ke dalam negeri dan 78.810 ton ke luar negeri. Sedangkan urea curah dan urea kantong hanya didistribusikan ke dalam negeri yaitu sebanyak 159.350 ton dan 1.709.389 ton. Dengan adanya dua perusahaan besar di Kota Bontang, yaitu: BADAK di Kecamatan Bontang Selatan dan PKT di Kecamatan Bontang Utara, maka diperkirakan pusat pertumbuhan dan pusat pembangunan Kota Bontang berada di Kecamatan Bontang Utara dan Kecamatan Bontang Selatan. a. Pusat Pembangunan Investasi pada pusat pembangunan (Development poles) mempengaruhi pertumbuhan kota pada daerah Kota Bontang secara bervariasi. Pengaruh
104
tersebut dapat muncul dalam bentuk peningkatan investasi, penyediaan lapangan kerja, pendapatan dan kemajuan teknologi yang merupakan indikator kemakmuran di Kota Bontang. Pusat pembangunan di Kota Bontang, ternyata terletak di Kecamatan Bontang Utara. Indikasi ini terlihat dari elastisitas
investasi pada pada
Kecamatan Bontang Utara terhadap kemakmuran wilayah Kota Bontang menujukan angka positip. Elastisitas kemakmuran (Wr) menunjukan angka 0,327, elastisitas positif dan berada diantara angka 0 dan 1. Artinya pusat pembangunan bersifat sub dominan. Pertumbuhan bersifat sub dominan bermakna bilamana ada investasi sebesar 10 persen di Kecamatan Bontang Utara, akan menghasilkan pendapatan kurang dari 10 persen. b. Pusat Pertumbuhan Sejalan dengan konsep pusat pembangunan, maka daerah perkotaan dikatakan berfungsi sebagai pusat pertumbuhan (Growth Centre), jika elastisitas investasi di Kecamatan Bontang Utara terhadap investasi di Kecamatan Bontang Barat dan Kecamatan Bontang selatan adalah positif, maka daerah tersebut dapat dikatakan propulsive region atau sebagai wilayah andalan. Jika dilihat angka elastisitas Kecamatan Bontang Utara terhadap Kecamatan Bontang Selatan dan Kecamatan Bontang Barat lebih besar dari 1. Maka dapat dikatakan bahwa Kecamatan Bontang Utara sebagai wilayah utama yang kuat (strong propulsive region).
4.3 Analisis Keberlanjutan Wilayah Pesisir 4.3.1
Status Keberlanjutan Dimensi Ekologi Atribut yang dipertimbangkan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi ekologi terdiri dari sepuluh atribut : (1) Kondisi Ekosistem Mangrove (2) Kondisi Ekosistem Padang lamun dan Seagrass (3) Kondisi Ekosistem Terumbu Karang (4) Tingkat Kerentanan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (5) Tingkat Biodiversity/ Keanekaragaman hayati wilayah pesisir dan lautan (6) Tingkat perubahan spesies (dalam 10 tahun) (7)
Intensitas
105
Pencemaran/ Kerusakan Lingkungan (8) Tingkat eksploitasi Sumberdaya Pesisir dan Lautan (9) Tingkat Konservasi Ekologis yang dilakukan (10) Limbah produksi Berdasarkan hasil analisis Multi Dimensional Scaling (MDS), diketahui nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi wilayah pesisir Kota Bontang per kecamatan
yakni;
Kecamatan
Bontang
Utara
sebesar
44,46
(kurang
berkelanjutan) dan Kecamatan Bontang Selatan sebesar 47,12 (kurang berkelanjutan), sementara Kecamatan Bontang Barat memiliki kondisi ekologi yang cukup berkelanjutan dengan nilai sebesar 59,72. Hasil analisis MDS seperti tersaji pada Gambar 11 berikut ;
60 Up Other Distingishing Features
40 20 0 0
59,72
44,46
Bad 20
40
60 47,12
80
-20
Good 100
120
Kondisi Wilayah Reference anchors Anchors
-40 Down -60
Status Keberlanjutan Wilayah
Gambar 11. Hasil Analisis MDS Terhadap Dimensi Ekologis Bontang
Sedangkan, hasil analisis Leverage terdapat empat atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi: (1) Ekositem terumbu karang, (2) Tingkat Biodiversity (3) Tingkat perubahan spesies, dan (4) Intensitas pencemaran. Adapun hasil analisis Leverage terlihat seperti pada Gambar 12 berikut ;
106
Limbah produksi Ekosistem Mangrove Ekosistem Padang lamun dan seagrass
Attribute
Ekosistem Terumbu Karang Tingkat kerentanan ekologis Tingkat Biodiversity Tingkat perubahan spesies Intensitas pencemaran Tingkat eksploitasi Tingkat Konservasi ekologis 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
Gambar 12. Hasil Analisis Leverage Terhadap Dimensi Ekologis Bontang
Munculnya atribut yang sensitif, berupa menurunnya keanekaragaman hayati biota laut serta perubahan spesies di wilayah pesisir tentunya merupakan dampak dari rusaknya ekosistem terumbu karang akibat pembangunan industri di wilayah pesisir Kota Bontang, hal ini diperparah dengan intensitas pencemaran yang tinggi akibat limbah operasional industri serta limbah rumah tangga di wilayah pesisir akibat tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. 4.3.2
Status Keberlanjutan Dimensi Ekonomi Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi ekonomi terdiri dari sepuluh atribut, antara lain : (1) Pangsa pasar produk kelautan, (2) Indeks kemiskinan masyarakat, (3) Jumlah tenaga kerja yang aktif di sektor pesisir, (4) Kelayakan usaha produksi pesisir, (5) kontribusi sektor pesisir terhadap PDRB, (6) Ketergantungan konsumen terhadap hasil kelautan, (7) Peningkatan atas keuntungan usaha, (8) Peluang dan alternatif dalam memperoleh pendapatan usaha lain, (9) Kesetaraan dalam pendapatan (gini ratio), dan (10) Subsidi pemerintah.
107
Analisis MDS menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi wilayah pesisir Kota Bontang per Kecamatan masing-masing sebesar 56,45 (cukup berkelanjutan) berkelanjutan)
untuk
untuk
Kecamatan Bontang
Kecamatan
Bontang
Selatan
Utara, dan
55,27 (cukup 37,97
(kurang
berkelanjutan) untuk Kecamatan Bontang Barat. Perbedaan signifikan antara Kecamatan Bontang Utara, Bontang Selatan dengan Bontang Barat karena wilayah Bontang Barat merupakan wilayah pemekaran baru di Kota Bontang sehingga aktifitas ekonomi relatif masih tergolong kecil jika dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya, disamping itu wilayah Bontang Barat yang bersentuhan langsung dengan wilayah pesisir juga relatif kecil. Nilai indeks keberlanjutan i tersaji pada Gambar 13 berikut ini. 60 Up Other Distingishing Features
40 20
56,45 55,27
Bad
0 0
20
40
37,97
Good 60
80
-20
100
120
Kondisi Wilayah Reference anchors Anchors
-40 Down -60
Status Keberlanjutan Wilayah
Gambar 13. Hasil Analisis MDS Terhadap Dimensi Ekonomi Bontang Hasil analisis Leverage diperoleh tiga atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekonomi : (1) Kelayakan usaha, (2) Kontribusi terhadap PDRB, dan (3) Ketergantungan konsumen terhadap produk kelautan. Untuk meningkatkan status keberlanjutan dimensi ekonomi dimasa yang akan datang, atribut-atribut tersebut perlu mendapat perhatian dan dikelola dengan baik. Adapun atribut yang sensitif hasil analisis Leverage seperti tersaji pada Gambar 14 berikut ini.
108
Pangsa pasar produk Persentase penduduk miskin Tenaga kerja sektoral
Attribute
Kelayakan Usaha Kontribusi terhadap PDRB Ketergantungan konsumen Peningkatan keuntungan usaha Peluang dan alternatif pekerjaan lain Kesetaraan pendapatan Subsidi pemerintah 0
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 14. Hasil Analisis Leverage Terhadap Dimensi Ekonomi Bontang 4.3.3
Status Keberlanjutan Dimensi Sosial Budaya Atribut yang diperkirakan berpengaruh terhadap tingkat keberlanjutan
pada dimensi sosial-budaya terdiri dari sembilan atribut: (1) Tingkat pendidikan formal masyarakat, (2) Tingkat pengetahuan kelestarian lingkungan masyarakat, (3) Tingkat penyerapan tenaga kerja sektoral, (4) Pemberdayaan masyarakat dalam kegiatan pesisir, (5) Jumlah desa dengan penduduk yang bekerja di sektor pesisir, (6) Prilaku masyarakat terhadap keberlanjutan, (7) Peran masyarakat adat/ lokal dalam kegiatan pesisir, (8) Konflik kepentingan dan pemanfaatan ruang pesisir, dan (9) Perubahan perilaku masyarakat dalam praktek pengelolaaan pesisir. Hasil analisis MDS diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi sosial-budaya di wilayah pesisir Bontang sebesar 50,70 (cukup berkelanjutan) di Kecamatan Bontang Utara, 46,89 (kurang berkelanjutan) di Kecamatan Bontang Selatan dan 46,92 (kurang berkelanjutan) di wilayah Kecamatan Bontang Barat. Sementara hasil analisis laverage diperoleh dua atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi sosial-budaya : (1) Jumlah desa dengan penduduk bekerja di sektor pesisir, (2) Peran masyarakat adat / lokal. Nilai
109
keberlanjutan dan hasil analisis leverage tersaji pada Gambar 15 dan Gambar 16 berikut ;
60 Up Other Distingishing Features
40 20 0
Bad 0
20
40
46,92 46,90 60 50,71
Kondisi Wilayah
Good 80
100
Reference anchors
120
Anchors
-20 -40 Down -60
Status Keberlanjutan Wilayah
Gambar 15. Hasil Analisis MDS Terhadap Dimensi Sosial Budaya Kota Bontang
Tingkat pendidikan formal Pengetahuan kelestarian lingkungan
Attribute
Tingkat penyerapan tenaga kerja sektoral Pemberdayaan masyarakat Jumlah desa Pesisir Prilaku masyarakat terhadap keberlanjutan Peran masyarakat adat/ lokal Konflik kepentingan dan pemanfaatan ruang Perubahan dalam praktek pengelolaan 0
0,5
1
1,5
2
2,5
3
3,5
4
4,5
Gambar 16. Hasil Analisis Leverage Terhadap Dimensi Sosial Budaya Kota Bontang
110
Munculnya atribut sensitif, seperti disebutkan di atas, karena hampir seluruh wilayah di Bontang berbatasan dengan pesisir lautan, namun demikian perilaku masyarakat terhadap keberlanjutan wilayah pesisir relatif masih kurang, akibat tingkat heterogenitas penduduk yang tinggi sehingga peran masyarakat setempat juga dirasakan masih tergolong rendah 4.3.4
Status Keberlanjutan Dimensi Infrastruktur dan Teknologi Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi infrastruktur dan teknologi terdiri dari sepuluh atribut, antara lain: (1) Perubahan tekhnologi, (2) Selektif dalam memilih peralatan yang ramah lingkungan, (3) Penggunaan mesin dalam proses produksi, (4) Dampak penggunaan tekhnologi, (5) Ketersediaan teknologi informasi, (6) Ketersediaan industri pengolahan lanjutan tingkat penggunaan alat dan mesin, (7) Standardisasi dan sertifikasi mutu produk, (8) Stabilitas pemanfaatan tekhnologi (9) Infrastuktur fasilitas umum pendukung, dan (10) Infrastruktur transportasi dan distribusi. Hasil analisis MDS menunjukkan nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi wilayah pesisir Bontang relatif tinggi jika dibandingkan dengan nilai indeks dimensi lainnya, hal ini dapat terlihat dari indeks Kecamatan Bontang utara yang mencapai nilai 74,77 (cukup berkelanjutan) diikuti dengan indeks Kecamatan Bontang Selatan sebesar 65,49 (cukup berkelanjutan) serta Kecamatan Bontang Barat yang memperoleh nilai 54,20 (cukup berkelanjutan). Sementara hasil analisis leverage diperoleh lima atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi infrastruktur dan teknologi : (1) Ketersediaan tekhnologi informasi, (2) Industri pengolahan lanjutan, (3) Stabilitas pemanfaatan tekhnologi, (4)
Dampak penggunaan tekhnologi, dan
(5)
Standarisasi dan sertifikasi mutu produk. Adapun nilai keberlanjutan hasil analisis MDS dan nilai atribut yang sensitif hasil analisis leverage tersaji pada Gambar 17 dan Gambar 18 berikut ;
111
60 Up Other Distingishing Features
40 20 74.77
65.50 Bad
0 0 -20
Kondisi Wilayah
Good 20
40
60 54.21
80
100
Reference anchors
120
Anchors
-40 Down -60
Status Keberlanjutan Wilayah
Gambar 17. Hasil Analisis MDS Terhadap Dimensi Infrastruktur dan Tekhnologi wilayah pesisir Kota Bontang
Perubahan tekhnologi Selektif dalam peralatan (ramah lingkungan) Penggunaan mesin produksi Attribute
Dampak penggunaan tekhnologi Ketersediaan tekhnologi informasi Industri pengolahan lanjutan Standarisasi dan sertifikasi mutu produk Stabilitas pemanfaatan Infrastruktur fasilitas umum pendukung Infrastruktur transportasi dan distribusi 0
1
2
3
4
5
6
7
Gambar 18. Hasil Analisis Leverage Terhadap Dimensi Infrastruktur dan Tekhnologi wilayah pesisir Kota Bontang
112
Munculnya atribut yang sensitif kelompok pertama, seperti industri pengolahan lanjutan dan standardisasi mutu produk, lebih disebabkan karena di wilayah Bontang belum banyak dijumpai industri pengolahan hasil kelautan, sehingga standardisasi mutu dan sertifikasi bagi produk kelautan yang akan dijual ke pasaran masih bersifat tradisional. Munculnya atribut lain yang sensitif, seperti keberadaan teknologi informasi belum tersedia dan berjalan secara optimal, stabilitas pemanfaatan tekhnologi serta dampaknya dalam peningkatan produksi, hal ini muncul karena pada umumnya masyarakat Kota Bontang belum menggunakan peralatan yang memadai, melainkan lebih banyak yang menggunakan perlatan secara tradisional. Demikian pula dengan teknologi informasi di wilayah ini. Sarana tersebut belum digunakan secara optimal. Berbagai informasi yang berkaitan dengan perkembangan teknologi lebih banyak diperoleh melalui kegiatankegiatan penyuluhan yang disampaikan oleh petugas setempat. 4.3.5
Status Keberlanjutan Dimensi Hukum dan Kelembagaan Atribut yang diperkirakan memberikan pengaruh terhadap tingkat
keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan terdiri dari sembilan atribut, antara lain: (1) Kesetaraan dalam pemanfaatan ruang wilayah pesisir, (2) Penjangkauan penyuluhan dan pembinaan, (3) Keberadaan kelembagaan penyuluhan sosial, (4) Keberadaan organisasi masyarakat sipil (OMS), (5) Mekanisme tekhnis pengelolaan kawasan pesisir, (6) Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah, (7) Ketersediaan perangkat hukum/ regulasi setempat, (8) Tatakelola pemerintahan yang baik, dan (9) Hubungan antar stakeholders. Hasil analisis MDS diperoleh nilai indeks keberlanjutan untuk dimensi hukum dan kelembagaan wilayah pesisir Bontang untuk Kecamatan Bontang Utara sebesar 60,00 (cukup berkelanjutan), Kecamatan Bontang Selatan sebesar 55, 01 (cukup berkelanjutan), dan Kecamatan Bontang Barat sebesar 50,98 (kurang berkelanjutan). Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh empat atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi hukum dan kelembagaan : (1) Penjangkauan penyuluhan dan pembinaan, (2) Keberadaan kelembagaan
113
penyuluh sosial, (3) Sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah, (4) Ketersediaan perangkat hukum/ regulasi lokal setempat. Adapun nilai indeks keberlanjutan dan atribut yang sensitif hasil analisis leverage, seperti tersaji pada Gambar 19 dan Gambar 20 berikut ; 60
Other Distingishing Features
Up 40 20 0
Bad 0
20
40
60,01 55,01 60 80 50,98
Kondisi Wilayah
Good 100
Reference anchors
120
Anchors
-20 -40 Down -60
Status Keberlanjutan Wilayah
Gambar 19. Hasil Analisis MDS Terhadap Dimensi Hukum dan Kelembagaan wilayah pesisir Kota Bontang
Kesetaraan pemanfaatan ruang Penjangkauan penyuluhan dan …
Attribute
Kelembagaan penyuluh sosial Organisasi masyarakat sipil Mekanisme tekhnis Sinkronisasi kebijakan Pusat - Daerah Regulasi lokal Tatakelola pemerintahan Hubungan antar stakeholder 0
Gambar
20.
1
2
3
4
5
6
Hasil Analisis Leverage Terhadap Dimensi Hukum Kelembagaan wilayah pesisir Kota Bontang
dan
114
Munculnya atribut sensitif pertama, berupa sinkronisasi antara kebijakan pusat dan daerah, dan regulasi kebijakan ditingkat lokal, hal disebabkan karena masalah pesisir belum tercover sepenuhnya oleh kebijakan pengembangan pesisirsecara terpadu, kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini lebih bersifat umum dan biasanya ditentukan secara top down , dan belum terintegrasi sampai level grassroot, sementara kondisi dan permasalahan yang dialami setiap daerah berbeda-beda, sehingga kebijakan tersebut terkadang tidak sesuai dengan kebutuhan di daerah. Dalam rangka pengembangan kawasan pesisir, seharusnya diusulkan secara bottom up yang berasal dari kalangan grassroot yang mengetahui persis kondisi dan permasalahan daerahnya. Munculnya atribut sensitif kedua, yaitu terkait dengan keberadaan lembaga penyuluh sosial dan penjangkauan kegiatan dari lembaga tersebut, keberadaan kelembagaan sosial sangat penting dalam memberikan pemahanan pada masyarakat guna menciptakan pengelolaan wilayah yang berkelanjutan, aktivitas eksploitasi sumberdaya pesisir tidak hanya mengedepankan sisi keuntungan saat ini semata terapi bagaimana potensi tersebut dapat dikelola hingga lintas generasi, sehingga lembaga penyuluhan sosial dapat lebih berperan sesuai dengan fungsinya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat setempat. 4.3.6
Status Keberlanjutan Multidimensi Secara multidimensi, nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota
Bontang saat ini (existing condition), sebesar 53,73 dan termasuk dalam kategori cukup berkelanjutan. Ini berarti bahwa jika dilihat dari sisi weak sustainability , maka dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir Kota Bontang termasuk dalam kategori berkelanjutan. Sebaliknya, jika dilihat dari sisi strength sustainability, maka dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir Kota Bontang termasuk dalam kategori belum berkelanjutan, karena masih ada dimensi keberlanjutan yang berada pada kategori kurang atau tidak berkelanjutan, yaitu dimensi ekonomi serta dimensi sosial budaya. Nilai ini diperoleh berdasarkan penilaian terhadap 48 atribut dari lima dimensi keberlanjutan. Dari 48 atribut yang dianalisis, terdapat 19 atribut yang sensitif berpengaruh atau perlu diintervensi untuk meningkatkan status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Bontang.
115
Adapun perbandingan nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, ekonomi, sosial dan budaya, infrastruktur dan teknologi, serta hukum dan kelembagaan di tiap Kecamatan Kota Bontang, seperti pada Gambar 21 berikut.
EKOLOGI 100,00 75,00 HUKUM DAN KELEMBAGAAN
50,00 25,00
EKONOMI
0,00
INFRASTRUKTUR DAN TEKHNOLOGI
BONTANG UTARA
SOSIAL BUDAYA
BONTANG SELATAN
BONTANG BARAT
Gambar 21. Diagram Layang Perbandingan Hasil Analisis MDS Terhadap Tingkat Keberlanjutan wilayah pesisir Kota Bontang
Tingkat kesalahan dalam analisis MDS dapat dilihat dengan melakukan analisis Monte Carlo. Analisis ini dilakukan pada tingkat kepercayaan sekitar 95 persen. Berdasarkan hasil analisis Monte Carlo, menunjukkan bahwa kesalahan dalam analisis MDS dapat diperkecil. Ini terlihat dari nilai indeks keberlanjutan pada analisis MDS tidak banyak berbeda dengan nilai indeks pada analisis Monte Carlo. Ini berarti, kesalahan dalam proses analisis dapat diperkecil, baik dalam hal pembuatan skoring setiap atribut, variasi pemberian skoring karena perbedaan opini relatif kecil, dan proses analisis data yang dilakukan secara berulang-ulang stabil, serta kesalahan dalam menginput data dan data hilang, dapat dihindari. Dalam rangka mengetahui apakah atribut-atribut yang dikaji dalam analisis MDS dilakukan cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, dilihat dari nilai stress dan nilai Squared Correlation (RSQ). Nilai ini
116
diperoleh secara otomatis dalam analisis MDS dengan menggunakan software Rapfish yang telah dimodifikasi. Hasil analisis dianggap cukup akurat dan dapat dipertanggung-jawabkan apabila memiliki nilai stress lebih kecil dari 0,25 atau 25 persen dan nilai Squared Correlation (RSQ) mendekati nilai 1,0 atau 100 persen (Kavanagh dan Pitcher, 2004). Dari hasil analisis MDS diperoleh nilai stress tiap attribut yaitu ; dimensi ekologi memiliki nilai stress sebesar 0,15 dengan tingkat kepercayaan 95%, dimensi ekonomi dengan nilai stress sebesar 0,14 dan tingkat kepercayaan 95%, dimensi sosial budaya memiliki nilai stress tertinggi yakni 0,17 dengan tingkat kepercayaan terendah hanya 91%, sedangkan dimensi infrastruktur dan tekhnologi serta hukum dan kelembagaan memiliki nilai stress yang sama yakni 0,14 dengan tingkat kepercayaan masing-masing sebesar 95% dan 94%, Adapun nilai stress dan Squared Correlation (RSQ) tersaji secara lengkap pada Tabel 29 berikut. Tabel 29. Nilai Stress dan Squared Correlation (RSQ) dari hasil Analisis MDS Stress
Squared Correlation (RSQ) (%)
Dimensi Ekologi
0.15
95%
Dimensi Ekonomi
0.14
95%
Dimensi Sosial Budaya
0.17
91%
Dimensi Infrastruktur dan Tekhnologi
0.14
95%
Dimensi Hukum dan Kelembagaan
0.14
94%
Attribut
Sumber : data diolah
Dari hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa semua atribut yang dikaji, cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan, terlihat dari nilai stress yang yang bernilai lebih kecil dari 0,25 dimana hanya berkisar antara 0,14 sampai 0,17 dengan nilai Squared Correlation (RSQ) yang diperoleh berkisar antara 91% sampai 95%, artinya hasil analisis sudah cukup baik dimana variabel atribut yang dipilih untuk dinilai telah mampu menjelaskan mendekati 100% dari kondisi realitas model yang ada. Hasil tabulasi skor indikator keberlanjutan sumberdaya wilayah pesisir disajikan pada Lampiran 2.
117
4.4
Analisis Desain Strategi CSR dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat dan Sumberdaya Pesisir Berdasarkan analisis ekonomi wilayah pesisir dan keberlanjutan wilayah
pesisir, terlihat bahwa peran ekonomi yang besar dari perusahaan pengolahan termasuk PKT ternyata belum dapat mendukung keberlanjutan pembangunan wilayah pesisir Kota Bontang. Dengan demikian maka peran PKT harus lebih ditingkatkan dan diarahkan pada pengembangan ekonomi masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang. Oleh karena itu sangat penting dilakukan
analisis
desain strategi
dalam
pemberdayaan
ekonomi
dan
sumberdaya pesisir di Kota Bontang. Dalam rangka analisis tersebut dilakukan wawancara dengan berbagai stakeholders terhadap program CSR PKT, secara rinci hasil wawancara ditabulasikan dan disajikan pada Lampiran 2 sampai Lampiran 11. Hasil analisis desain strategi CSR dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir adalah sebagai berikut ; 4.4.1
Analisis Peran dan Efektifitas Program CSR Peran dan efektifitas pelaksanaan program CSR dapat terlihat dengan
melakukan Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) dan Importance Performance Analysis (IPA). Analisis Kesenjangan digunakan untuk mengetahui kesenjangan antara harapan masyarakat sebagai penerima manfaat program CSR PKT dengan kinerja yang dicapai juga menurut masyarakat tersebut. Analisis selanjutnya adalah Importance Performance Analysis (IPA), dimana dalam analisis ini dapat terlihat posisi masing-masing indikator dalam diagram kartesian. Penempatan posisi masing-masing indikator tersebut menentukan rekomendasi terhadap indikator tersebut. 1)
Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) Mayoritas responden masyarakat menyatakan bahwa program CSR telah
tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Tingkat persetujuan masyarakat terhadap ketepatan sasaran dan kesesuaian program masingmasing sebesar 77,5% dan 82,5% responden masyarakat menyatakan bahwa program CSR telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Opini positif
118
responden masyarakat tersebut senada dengan opini yang dikeluarkan oleh responden keluarga karyawan dan mitra binaan. Data kuesioner menunjukkan bahwa keseluruhan responden keluarga karyawan dan mitra binaan menyatakan penilaian positif terhadap ketepatan sasaran dan kesesuaian program terhadap kebutuhan mereka. Lebih lanjut keseluruhan responden pada kelompok mitra binaan menyatakan bahwa perlu adanya keberlanjutan pelaksanaan program CSR PKT. Terkait besarnya kebutuhan masyarakat terhadap bidang pelaksanaan program, keseluruhan responden menyatakan bahwa program di bidang olahraga sangat dibutuhkan. Bidang olahraga menjadi satu-satunya bidang yang mendapat seluruh suara responden. Di sisi lain sebanyak 27,5% responden menyatakan belum terdapat program CSR bidang olahraga. Data tersebut memberikan gambaran bahwa masih terdapat sebagian masyarakat yang belum dapat merasakan atau belum mengetahui adanya pelaksanaan program CSR pada bidang olahraga. Tingkat kebutuhan responden masyarakat pada bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, kesenian, dan bencana masing-masing sebesar 85%, 95%, 95%, 90% dan 80%. Sedangkan tingkat keberadaan program pada masingmasing bidang tersebut adalah sebesar 52,5%; 75%; 82,5%; 57,5% dan 57,5%. Pada bidang kesehatan, kesenian dan bencana terlihat adanya gap yang cukup jauh antara tingkat kebutuhan dan keberadaan program. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa harapan masyarakat tentang adanya pelaksanaan program CSR pada ketiga bidang tersebut belum dapat terpenuhi dengan baik. Kesenjangan antara kebutuhan dan keberadaan program pada bidang pendidikan dan ekonomi tidak terlalu jauh, dengan demikian keberadaan program pada kedua bidang tersebut telah cukup baik memenuhi kebutuhan yang dirasakan masyarakat. Semakin besarnya kesenjangan yang terjadi mengindikasikan semakin besarnya kebutuhan masyarakat yang belum dapat dipenuhi oleh program CSR. Pada kelompok responden keluarga masyarakat, gap antara keberadaan dan kebutuhan program pada bidang kesehatan, pendidikan, ekonomi, kesenian, olahraga dan bencana masing-masing sebesar 32,5%; 20%; 12,5%; 32,5%; 30%
119
dan 22,5%. Gap terkecil terjadi pada bidang ekonomi, sedangkan gap terbesar terjadi pada bidang kesehatan dan kesenian. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa kebutuhan keluarga karyawan pada bidang ekonomi merupakan kebutuhan yang paling dapat dipenuhi oleh kegiatan CSR PKT, sedangkan kebutuhan karyawan pada bidang kesehatan dan kesenian merupakan kebutuhan yang paling belum dapat dipenuhi oleh kegiatan CSR PKT. Tidak terpenuhinya kebutuhan responden oleh kegiatan CSR dapat disebabkan oleh dua kemungkinan. Kemungkinan pertama adalah belum tersedianya program CSR yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut, sedangkan kemungkinan kedua adalah belum diketahuinya keberadaan program oleh kelompok responden. Dalam hal keterlibatan, persentase responden keluarga karyawan dan responden masyarakat yang merasa dilibatkan dalam proses perencanaan program CSR masing-masing sebanyak 66,67% dan 52,50%. Besarnya persentase responden keluarga karyawan yang merasa dilibatkan pada proses persiapan program perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi, dan pemanfaatan masing-masing mencapai 66,67%; 83,33%; 50% dan 83,33% Sedangkan besarnya persentase responden yang merasa dilibatkan pada keempat tahapan program CSR tersebut masing-masing adalah 50%; 57,5%; 12,5% dan 65%. Berdasarkan data tersebut maka dapat terlihat bahwa persentase keluarga karyawan yang merasa dilibatkan pada penyelenggaraan kegiatan CSR PKT cenderung lebih besar dibandingkan dengan persentase masyarakat yang merasa dilibatkan pada penyelenggaraan kegiatan tersebut. Kelompok responden keluarga karyawan mayoritas dilibatkan pada tahapan pelaksanaan dan pemanfaatan, demikian pula dengan kelompok responden masyarakat. Tahapan kegiatan CSR yang paling sedikit melibatkan kelompok keluarga karyawan dan masyarakat adalah monitoring dan evaluasi. Analisis terhadap kinerja berbagai indikator menunjukkan bahwa beberapa diantaranya memberikan point yang kurang bagus, dari sudut pandang masyarakat. Beberapa indikator yang menunjukkan kinerja kurang baik ditunjukkan oleh persepsi TB (Tidak baik) dan KB (kurang baik) yang dominan diberikan oleh masyarakat. Sementara untuk indikator yang menunjukkan kinerja
120
baik, dimana ditunjukkan oleh SB (sangat baik) dan B (baik) yang dominan diberikan oleh masyarakat, adalah indikator jumlah penerima saran, jumlah dana program, secara keseluruhan penilaian indikator tersebut tersaji pada Gambar 22 berikut ;
Pendampingan Program Keterlibatan Stakeholders Mekanisme Pelaksanaan Program Pengaruh Program terhadap Masyarakat Tingkat Keberlanjutan Program Jumlah Dana Program Kuantitas Penerima Manfaat Ketepatan Sasaran Program Bina Lingkungan Program Kemitraan 0 Tidak Baik
Kurang Baik
10 Cukup Baik
20
30
40
Baik
Sangat Baik
50
Gambar 22. Penilaian Masyarakat Terhadap Kinerja Indikator CSR Sementara harapan masyarakat terhadap masing-masing indikator yang sama menunjukkan hasil sebagai berikut : indikator yang dianggap sangat penting oleh masyarakat dimana ditunjukkan oleh dominasi SP (sangat penting) dan P (penting) diberikan masyarakat, diantaranya adalah indikator ketepatan sasaran, jumlah penerima manfaat, kontiunitas program, dampak program terhadap
masyarakat,
perencanaan
program,
koordinasi
program,
dan
pendampingan masyarakat yang melekat dalam program tersebut. Sementara indikator lainnya menunjukkan persepsi yang cukup penting. Penilaian masyarakat atas tingkat kepentingan indikator CSR tersaji pada Gambar 23 berikut ;
121
Pendampingan Program Keterlibatan Stakeholders Mekanisme Pelaksanaan Program Pengaruh Program terhadap Masyarakat Tingkat Keberlanjutan Program Jumlah Dana Program Kuantitas Penerima Manfaat Ketepatan Sasaran Program Bina Lingkungan Program Kemitraan 0 Tidak Penting
Kurang Penting
10
20
30
Cukup Penting
40
50
Penting
60
70
80
90
Sangat Penting
Gambar 23. Penilaian Masyarakat Terhadap Indikator Kepentingan CSR.
Hasil kombinasi antara kinerja dan harapan masyarakat terhadap masingmasing indikator tersebut menggambarkan kesenjangan yang terjadi antara harapan dan kenyataan. Kesenjangan antara harapan stakeholder terhadap program CSR dan kinerja yang ditunjukkan selama ini merupakan sekat yang harus diperhatikan. Hal ini bisa terjadi karena dua hal yaitu estimasi masyarakat yang terlampau tinggi terhadap program yang akan dilaksanakan dan yang kedua dikarenakan performance terhadap indikator yang dianalisis memberikan hasil bahwa kinerja harus ditingkatkan, dari hasil analisis terlihat bahwa indikator jumlah dana program, program kemitraan dan program bina lingkungan serta kuaantitas penerima manfaat memiliki tingkat kesesuaian yang relatif lebih tinggi dibandingakn dengan indikator CSR lainnya. Pencapaian kinerja terhadap ekspektasi masyarakat tersaji pada Gambar berikut :
122
Pendampingan Program Keterlibatan Stakeholders Mekanisme Pelaksanaan Program Pengaruh Program terhadap Masyarakat Tingkat Keberlanjutan Program Jumlah Dana Program Kuantitas Penerima Manfaat Ketepatan Sasaran Program Bina Lingkungan Program Kemitraan 0%
Gambar 24. Perbandingan Masyarakat.
2)
Indikator
20%
Kinerja
40%
60%
80%
CSR
Terhadap
100%
Harapan
Importance Performance Analysis (IPA) Dalam IPA, dimana mengkombinasikan antara indikator performance dan
indikator importance, terlihat bahwa seluruh atribut indikator CSR memiliki nilai penting bagi responden, hal ini tergambar dari letak atibut indikator CSR seluruhnya berada pada wilayah kuadran I dan II. Di posisi kuadaran II dengan indikasi bahwa indikator dan program yang termasuk dalam kuadran ini sudah sesuai antara kinerja dan harapan masyarakat. Terdapat 5 atribut indikator CSR, yakni ; jumlah dana program, program kemitraan, program bina lingkungan, kuantitas penerima manfaat serta pengaruh program terhadap masyarakat yang masuk dalam kuadran ini, oleh karena itu rekomendasi yang tepat adalah mempertahankan prestasi yang sudah dicapai, sehingga kedepan bisa diraih prestasi yang lebih baik lagi. Posisi kuadran terlihat pada gambar berikut ;
123
100 8
90
10
6 37 4 9
80 2
IMPORTANCE
70
5
1
KUADRAN I
KUADRAN II
KUADRAN III
KUADRAN IV
60 50 40 30 20 10 0 0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
PERFORMANCE
Gambar 25. Diagram Performance dan Importance Indikator CSR. Keterangan : 1. Program Kemitraan 2. Program Bina Lingk ungan 3. Ketepatan Sasaran 4. Kuantitas Penerima Manfaat 5. Jumlah Dana Program 6. Tingkat Keberlanjutan Program 7. Pengaruh Program terhadap Masyarakat 8. Mekanisme Pelaksanaan Program 9. Keterlibatan Stakeholders 10. Pendampingan Program
Dari gambar tersebut terlihat bahwa aspek yang termasuk dalam kuadran I adalah mekanisme pelaksanaan program, pendampingan program, tingkat keberlanjutan program, keterlibatan stakeholders dan ketepatan sasaran diindikasikan bahwa kinerja aspek indikator tersebut belum sesuai dengan harapan yang di ekspektasikan oleh masyarakat. Bisa disebabkan oleh dua hal yaitu ekspektasi yang terlalu tinggi atau kinerjanya memang rendah sehingga belum memenuhi ekspektasi tersebut. Program dan indikator yang termasuk kedalam kuadran ini harus menjadi perhatian yang serius bagi para pelaksana
124
dan perencana CSR di lapangan. Oleh karena itu rekomendasinya adalah prioritas untuk diperhatikan dan ditingkatkan kinerjanya. Indikator dan program yang termasuk kedalam kuadran ini adalah aspek kontinuitas program, perencanaan program, koordinasi program dan pendampingan masyarakat. Tiga dari lima aspek yang termasuk kedalam kuadran ini dan direkomendasikan untuk diperhatikan adalah variabel dalam mekanisme pelaksanaan program sehingga implementasi dalam rangka meningkatkan kinerjanya sangat bertumpu
kepada kemampuan organisasi dan tata kelola
organisasi dalam rangka memprogram CSR menjadi lebih baik. Sementara satu aspek yang juga direkomenasikan penting untuk diperhatikan adalah variabel teknis dimana sangat berperan dalam keberhasilan pemberdayaan masyarakat yaitu aspek pendampingan program, disadari atau tidak disadari aspek ini memang merupakan salah satu kelemahan dalam pelaksanaan CSR PKT selama ini. 4.4.2
1)
Model Pelaksanaan CSR dalam Pemberdayaan Ekonomi dan Pengelolaan Wilayah Pesisir
Model Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir Pemberdayaan masyarakat pesisir dirancang selain untuk peningkatan
kesejahteraan ekonomi, juga dapat menjadi media pelestarian nilai-nilai lokal yang adaptif terhadap upaya pelestarian lingkungan hidup. Usaha ekonomi yang dikembangkan merupakan usaha yang sesuai dengan potensi sumberdaya (sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan) setempat, yang memiliki prospek pemasaran produk hasil pemberdayaan ini baik dilingkungan setempat maupun dalam jaringan pasar yang lebih luas. Selain memperhatikan keberadaan kondisi masyarakat dan sumberdaya alam setempat serta aspek prospek pemasaran yang lebih luas, seyogyanya juga mempertimbangkan core business PKT, yaitu terkait dengan keberadaan PKT itu tidak membahayakan lingkungan. Sebaliknya, justru dengan keberadaan masyarakat pesisir yang diberdayakan tersebut membuktikan secara visual bahwa PKT telah berperan nyata bagi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat di sekitarnya sedemikian rupa sehingga tidak sekedar penyaluran
125
dana CSR, tetapi ada misi membangun model yang dapat menjadi contoh bagi pemberdayaan masyarakat ditempat lain oleh pihak lain yang berkepentingan. Lokasi pemberdayaan masyarakat (komunitas pesisir) ini dikawasan buffer zone. Selain lebih bermanfaat untuk membuktikan bahwa secara nyata PKT telah berperan nyata bagi kehidupan sekitarnya secara selaras dan serasi. Indikasi kesiapan masyarakat menuju kemandiriaannya adalah berfungsinya kelembagaan
mayarakat
yang
bermanfaat
bagi
pemenuhan
kebutuhan
masyarakat, misalnya permodalan usaha dan pemasaran hasil produksi masyarakat yang diberdayakan. Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL) yang menjadi dasar praktek tanggung jawab sosial BUMN, merupakan kebijakan sosial BUMN yang menyatu dengan dukungan terhadap usaha kecil dan koperasi yang disebut program kemitraan (PK). Kedua aspek tersebut baik program BL maupun PK, terwadahi dalam suatu ketentuan hukum yang sama. Ada tiga persoalan dalam menerapkan program PKBL, pertama Kepmen235/MBU/2003
menyangkut
pembatasan
terhadap
lima
objek
bantuan
(pendidikan, kesehatan sarana umum, sarana ibadah dan bencana alam). Kedua, terkait dengan manajemen program ditingkat BUMN yang masih bersifat top down dan memerlukan persetujuan dari manajemen pusat bagi BUMN. Ketiga, menyangkut minimnya blue print (cetak biru kebijakan). Tak jarang pelaksanaan tanggung jawab sosial BUMN hanya didasarkan pada keinginan baik dan dimensi etis, tetapi belum dirumuskan dalam suatu kebijakan tertulis oleh perusahaan BUMN. a. Deskripsi Peserta Program Kemitraan dan Non Program Kemitraan Sebagaian besar peserta program kemitraan PKT tinggal di Kelurahan Lhoktuan, tepatnya 64, 3 % dan 35,7 % lainnya bukan peserta kemitraan PKT dan mereka tersebar di tiga desa 14, 3 % di Kelurahan Lhoktuan,1 % di Kelurahan Belimbing. Jika diamati pendidikan dari peserta program kemitraan akan didapat variasi sebagai berikut : 10 % tidak tamat SD, 30 % tamat SMP dan 5 % tamat SMA. Selain tingkat pendidikan, ternyata sebagian besar
126
peserta program kemitraan PKT 35% nya memiliki pekerjaan utama sebagai pedagang dan sisanya 10% sebagai nelayan. b. Perkembangan Responden.
Penduduk
Kota
Bontang
Berdasarkan
Persepsi
Seluruh responden menyatakan bahwa pendapatan mereka meningkat atau mereka memiliki sumber pendapatan tambahan saat ini. Begitupula dengan tingkat pendidikan formal dikeluarga saat ini 70 % responden lebih baik saat ini. Persepsi ini menunjukkan bahwa tingkat pendapatan dan pendidikan semakin baik. c. Dampak langsung, dampak tidak langsung dan pemicu Sebagian besar responden atau tepatnya 65 % menyatakan bahwa PKT tidak memberikan manfaat langsung. Artinya sebagian besar responden sebagai penduduk Kota Bontang tidak dapat diterima sebagai karyawan atau pegawai. Persepsi ini perlu dipahami jika dikaitkan dengan kebutuhan, tingkat pendidikan masyarakat, sehingga PKT harus juga turut memikirkan manfaat langsung yang dapat dirasakan masyarakat Kota Bontang sesuai dengan kemampuan mereka. Dampak tidak langsung dari keberadaan PKT juga dirasakan juga kurang berperan bagi masyarakat hal ini diindikasikan dari 61,1% masyarakat yang menyatakan tidak ada dampak ekonomi atau peluang usaha keberadaan PKT. Menariknya lagi dari data ini adalah semua peserta program kemitraan (PK) PKT menyatakan tidak menerima manfaat dari dampak tidak langsung ini. Artinya ada kecenderungan bahwa peserta program kemitraan (PK) PKT tidak integrasi dengan peluang bisnis yang ada perusahaan tersebut. Dampak pemicu lainnya seperti berkembangnya infrastruktur jalan, listrik, ternyata memberikan mafaat yang cukup besar bagi responden. Secara validasi angka dapat dikatakan lebih dari 88% responden menyatakan berkembangnya infrastruktur memberikan mafaat yang sangat besar bagi perkembangan ekonomi. Jika dikaitkan dengan pertumbuhan tenaga kerja, ternyata hanya 27,8% responden yang menyatakan adanya pertambahan tenaga kerja atau karyawan. Dari data ini ternyata dampak pemicu sebagai instrumen yang mampu menyerap tenaga kerja cukup besar lebih dari
127
seperempatnya dari total 88% responden yang merasa terbantu secara ekonomi. Artinya peran dampak pemicu dalam menciptakan lapangan kerja baru, memiliki posisi lebih dari 20%. Terkait pengetahuan responden terhadap program PKBL PKT serta seberapa besar program tersebut dapat dinikmati oleh masyarakat dapat terlihat dari uraian sebagai berikut : 1.
Bantuan pendidikan 52,6 % responden mengetahuinya tetapi hanya 55 % responden yang menikmatinya.
2.
Bantuan kesehatan 52,6% mengetahui tetapi hanya 33,3% yang menikmatinya.
3.
Bantuan sarana umum 100% responden mengetahuinya, dan semua responden menikmati bantuan ini.
4.
Bantuan sarana ibadah, 100% responden mengetahuinya, 94,4% responden yang menikmatinya.
5.
Bantuan bencana alam 52,6% mengetahuinya, hanya 50% yang menikmati.
6.
Bantuan kemitraan usaha, 100% mengetahuinya dan semua responden menikmati. Dari informasi ini di dapatkan fakta yang cukup menarik menyangkut
bantuan kemitraan usaha dari 100% bantuan kemitraan usaha ternyata responden mengetahui dan menikmati jenis bantuan ini. Artinya responden sebagai peserta program kemitraan dan peserta non program kemitraan ternyata mampu mengakses dan memanfaatkan dana program kemitraan PKT ini. Jika diamati sebagian besar bantuan yang diberikan kepada masyarakat berupa pelatihan bantuan peralatan dan pemberian kredit. 2)
Model Program Pengelolaan Wilayah Pesisir Program CSR PKT saat ini terlihat masih belum terfokus pada upaya
pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, hal ini terindikasi dari pelaksanaan program pesisir yang relatif masih baru dilakukan dan terkesan belum menjadi prioritas dalam penganggaran program CSR PKT. Beberapa program yang termasuk secara khusus dalam pelaksanaan pengelolaan wilayah pesisisr secara
128
terpadu diantaranya adalah program revitalisasi terumbu karang dan penanaman mangrove di sekitar kawasan pesisir Kota Bontang. Program revitalisasi terumbu karang dilakukan dengan menanam concreteblock dengan pipa paralon tempat penyemaian bibit karang di kawasan perairan yang kondisi vegetasi terumbu karangnya telah rusak. Dari penyemaian ini diharapkan dapat memulihkan kembali kondisi ekosistem terumbu karang, yang menjadi tempat hidup bagi aneka biota laut, sehingga mampu meningkatkan produktifitas dan nilai ekonomis dari wilayah pesisir. Sementara pelaksanaan program penanaman mangrove yang telah dilaksanakan sejak tahun 2009, relatif menunjukkan hasil yang lebih baik. Dari sekitar 7500 bibit pohon yang ditanam, kini telah tumbuh menjadi tegakan mangrove setinggi 2 meter di kawasan HGB 63 (area Sekatup Kelurahan Bontang Baru) dan HGB 65 (area Bukit Sintuk Kelurahan Belimbing). Diperkirakan dengan upaya penanaman 10.000 pohon per tahun akan mampu merekondisi wilayah pesisir Kota Bontang menjadi lebih baik. Bila dilihat dari besar nilai anggaran, program penanaman terumbu karang buatan satuannya diperkirakan menghabiskan anggaran sebesar Rp. 420.000 per unit, harga ini terdiri dari Rp. 230.000 untuk biaya pembuatan concreteblok penyemaian dan Rp. 190.000 untuk biaya angkutan dan penanaman di lokasi. Sehingga jika dikalkulasi anggaran rencana kebijakan penanaman 500 terumbu buatan mencapai sekitar Rp. 210.000.000 setiap tahunnya. Sementara program penanaman mangrove mencapai nilai Rp. 90.000.000 setiap tahun, jika diasumsikan biaya pembuatan dan penanaman berkisar Rp. 9.000 per pohon. Nilai tersebut masih relatif kecil jika dibandingkan dengan total anggaran CSR PKT yang mencapai 20 milyar rupiah per tahunnya, atau jika kita hitung nilai manfaat relatif yang diperoleh dengan dampak ekologis yang ditimbulkan oleh perusahaan masih belum sebanding, sehingga nilai anggaran untuk pengelolaan wilayah pesisir haruslah proporsional, apalagi menurut perhitungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bontang, bahwa untuk mendapatkan hasil yang
129
optimal dari konservasi wilayah pesisir, maka jumlah minimal terumbu yang ditanam semestinya sebanyak 1000 buah setiap tahunnya. Disisi lain, dalam mendukung pelaksanaan program pengelolaan wilayah pesisir tersebut, tentunya sangat diperlukan peran dan pemahaman dari masyarakat luas, dari hasil survey menunjukkan bahwa sebanyak 65 % responden menyatakan masyarakat dilingkungan mereka memiliki kesadaran dan tanggung jawab yang lebih baik dalam menjaga serta memelihara sumberdaya alam. Namun 52,6 % responden juga menganggap bahwa peranan masyarakat dalam mengikuti pengelolaan sumberdaya alam tersebut ternyata relatif tidak meningkat. Hal ini membuktikan bahwa kesadaran masyarakat cukup baik walaupun peranan meraka dalam pengelolaan sumberdaya alam relatif tetap. Artinya kesadaran yang cukup baik ini harus ditingkatkan dalam bentuk kegiatan nyata atau agenda aksinya. Jika dikaitkan dengan program kemitraan antara masyarakat, pemerintah dan perusahan dalam pemanfaatan sumberdaya alam, 55 % responden menyatakan tidak ada keterpaduan antar unsur tersebut. Artinya, ada potensi pemanfaatan program kemitraan dalam pengelolaan sumberdaya alam yang melibatkan masyarakat, pemerintah dan perusahaan guna mendorong peranan masyarakat harus dapat lebih aktif lagi. Sehingga kesadaran yang ada dapat diubah menjadi kegiatan nyata. Arahan dan bimbingan pemerintah dan perusahaan masih memiliki peluang untuk hal ini. 4.4.3
Desain Strategi CSR Wilayah Pesisir. Dari hasil analisis sebelumnya dapat dirumuskan permasalah utama yang
dihadapi oleh kawasan pesisir Kota Bontang adalah belum terintegrasinya perencanaan kawasan pesisir yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi, pemerataan
pembangunan
dan
sekaligus
memperhatikan
prinsip-prinsip
keberlanjutan yang berkaitan dengan lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikator sebagai berikut : 1) Masih
dominannya
sektor
industri
migas
mengandalkan
eksploitasi
sumberdaya tak terbaharui (non-renewable resources) sementara sektor yang berkaitan dengan kawasan pesisir justru tertinggal jauh dibelakang.
130
2) Dinamika kegiatan penduduk kawasan pesisir yang besar menimbulkan akses-akses negatif terhadap lingkungan fisik kawasan pesisir misalnya kerusakan mangrove, terumbu karang, dan pencemaran terhadap perairan. Hal ini pada akhirnya berdampak pada menurunnya produktifitas sektor perikanan. Kegiatan perkotaan yang berdampak besar adalah Industri (PKT, BADAK) dan aktifitas penduduk yang menghasilkan limbah dan sampah. 3) Tingginya ketergantungan kawasan pesisir terhadap wilayah luar (Balikpapan dan Samarinda) dalam produk konsumsi akibat status kelayakan usaha dan produktifitas sektor perikanan yang masih rendah dalam menunjang pendapatan daerah. 4) Rendahnya keterkaitan antar sektor karena tidak didukung sarana prasarana, modal dan teknologi. Hal ini menyebabkan terputusnya rantai ekonomi sektor-sektor
sehingga tidak menciptakan nilai tambah yang dapat
meningkatkan pengembangan kawasan pesisir. 5) Konflik pemanfaatan dan kewenangan pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil pada umumnya disebabkan adanya masalah ketidakpastian hukum yang bersumber dari ketidakselarasan antara peraturan perundangundangan, serta lemahnya pembinaan dari pemerintah. 6) Peran CSR PKT terhadap kawasan pesisir cenderung masih lemah dan bersifat sporadis, hal ini terlihat dari kinerja sebagian besar program CSR PKT yang dinilai belum cukup memenuhi harapan masyarakat dan kurang berfokus pada upaya pengelolaan kawasan pesisir terpadu. 7) Belum terbangunnya sebuah visi dan misi CSR yang berlandaskan pada sustainable development, dimana dalam implementasi program hanya dilaksanakan oleh organisasi pada level Departement, yang kurang memiliki pengaruh dalam menentukan arah kebijakan perusahaan. 4.4.4
Desain Strategi Pengembangan Wilayah Pesisir Dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pemberdayaan ekonomi
masyarakat dan pengelolaan sumberdaya pesisir Kota Bontang perlu dirumuskan beberapa strategi pengembangan kawasan yang pada intinya memberikan
131
akselerasi untuk memacu perkembangan kawasan pesisir dengan tetap memperhatikan aspek-aspek fisik lingkungan. Strategi pengembangan kawasan pesisir Kota Bontang terbagi menjadi strategi pengembangan secara umum dan strategi pengembangan khusus. Arahan umum adalah dengan mendorong perkembangan sektor-sektor yang berbasis sumberdaya pesisir terbaharui sehingga dapat menjadi penggerak bagi kegiatan ekonomi pesisir. Sementara strategi pengembangan secara khusus adalah dengan membangun kemandirian ekonomi masyarakat lokal, peningkatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan pesisir terpadu dan upaya pelestarian sumberdaya di wilayah pesisir Kota Bontang. Dari pembahasan sebelumnya terlihat bahwa sektor perikanan tangkap masih belum teroptimalkan dengan baik begitu pula dengan budidaya rumput laut yang memiliki potensi yang sangat besar, sementara permintaan konsumsi daerah maupun luar daerah masih relatif tinggi, peluang ini dapat ditindaklanjuti dengan pemberian insentif permodalan secara tepat, pembinaan melalui upaya peningkatan kapasitas dan transfer tekhnologi dalam proses pengelolaan produksi lanjutan serta pembangunan infrastruktur dan distribusi tentunya akan mampu menjadikan semberdaya pesisir menjadi salah satu sektor unggulan di Kota Bontang. Perencanaan dan peruntukan kawasan konservasi mangrove dan terumbu karang hendaknya dapat difokuskan di wilayah Kelurahan Bontang Kuala. Hal tersebut setidaknya akan mampu menjadikan Bontang Kuala sebagai salah satu ikon wisata bahari Kota Bontang. Disamping itu, potensi wisata perumahan masyarakat di atas laut ini harus dibarengi dengan fasilitas infrastruktur transportasi dan akomodasi secara memadai dengan penataan lingkungan yang baik, konsep tersebut dapat disinergikan dengan menciptakan pemahaman dan nilai kearifan lokal dalam membangun daerah wisata yang berwawasan lingkungan. Dengan demikian potensi sektor perikanan dan kelautan dapat lebih teroptimalkan dalam mendukung peningkatan ekonomi masyarakat dengan tetap
132
mempertahankan potensi keberlanjutan wilayah dengan konsep pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. 4.4.5
Desain Kebijakan CSR PKT Strategi pelaksanaan ini mencoba untuk menempatkan persoalan yang
dihadapi oleh kawasan pesisir Kota Bontang dalam wadah solusi yang terbaik dan memunculkan banyak alternatif yang dapat dikembangkan melalui perumusaan arah kebijakan CSR PKT, sebagai berikut ; 1) Membangun Visi dan Misi CSR PKT yang berorientasi pada upaya peningkatan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir Kota Bontang, dengan fokus utama yaitu ; berupaya memperbaiki kondisi ekosistem pesisir sehingga mampu meningkatkan status kelayakan usaha dan produktifitas di sektor perikanan, peningkatan sarana prasarana, modal dan tekhnologi yang mampu meningkatkan keterkaitan antar sektor. 2) Bersama stakeholders lainnya membangun forum CSR dengan pemerintah Kota Bontang yang lebih berorientasi pada pemberdayaan ekonomi masyarakat dan sumberdaya pesisir dalam rangka pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan secara terpadu, yang pada akhirnya dapat meminimalisir konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir. 3) Menempatkan penanggung jawab CSR PKT pada level yang lebih tinggi yaitu Direksi sebagai wujud komitmen perusahaan terhadap implementasi CSR, agar terbangun program CSR yang lebih ”built in” dalam kebijakan dan praktek perusahaan. 4) Membangun masterplan panduan pelaksanaan CSR di PKT secara terintegrasi antar unit kerja yang terkait dengan program CSR secara menyeluruh.