4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.Sintesis dan Karakterisasi Resin Pengkhelat Sintesis resin pengkhelat dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari karakteristik retensi ion logam Cu2+ pada resin PSDVB-NN. Untuk itu perlu dilakukan sintesis terhadap resin pengkhelat PSDVB-NN terlebih dahulu. Adapun tahapan reaksi sintesis resin pengkhelat Polystyrene Divinylbenzene termodifikasi α-nitroso-β-naftol ditunjukkan oleh Gambar 4.1:
Gambar 4.1. Tahapan reaksi sintesis resin pengkhelat PSDVB-NN Tahapan reaksi yang meliputi proses nitrasi, reduksi, azotisasi dan pengikatan ligan
Analisis senyawa dengan menggunakan spektroskopi inframerah dapat dilakukan karena adanya vibrasi pada molekul yang menimbulkan perubahan momen dipol. Untuk itu analisis setiap senyawa yang dihasilkan dalam reaksi sintesis resin PSDVBNN digunakan spektroskopi inframerah. Akan tetapi untuk senyawa yang dihasilkan dari reaksi azotisasi tidak dilakukan analisis dengan spektroskopi inframerah karena senyawa tersebut memiliki sifat yang tidak stabil dalam temperatur ruang. Setiap gugus yang terdapat dalam molekul memiliki vibrasi yang khas sehingga dapat diamati keberhasilan reaksi. Langkah pertama yang dilakukan dalam sintesis ini adalah memasukkan gugus nitro ke dalam resin yang merupakan suatu polimer non polar. Analisis terhadap hasil FTIR didapatkan kesimpulan bahwa resin amberlite telah ternitrasi. Puncak 1348,24 cm-1 merupakan serapan untuk gugus NO. Puncak 1608,63 cm-1 merupakan serapan untuk gugus C=N. Puncak inilah yang membuktikan bahwa resin amberlite telah ternitrasi. Adapun spektrum hasil spektroskopi infra merah resin yang telah ternitrasi ditunjukkan oleh Gambar 4.2.
100 %T
839.03 796.60 761.88
896.90
90
1273.02
1442.75
70
709.80
80
1527.62
40
30
4500 4000 XAD-16 tnitr
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1348.24
3462.22
50
1722.43
2926.01
1608.63
60
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4.2. Spektrum FTIR resin PSDVB-NO2 Analisis spektrum infra merah pada 1348,24 cm-1 yang merupakan karakteristik untuk gugus NO, puncak 1608,63 cm-1 untuk gugus C=N
19
Setelah dilakukan proses nitrasi, resin direduksi dengan bantuan SnCl2. Puncak karateristik dari resin PSDVB-NH2 terdapat pada gugus N-H yang terdapat pada bilangan gelombang 3425,58 cm-1. Dengan adanya puncak tersebut diperkirakan gugus nitro (NO2) pada resin amberlite telah tereduksi menjadi gugus amina (NH2). Gugus NH akan memberikan karakteristik yang khas dalam spektroskopi inframerah. Gugus NH memberikan serapan di bilangan gelombang antara 3000- 3600 cm-1 dan ditandai dengan spektrumnya yang tidak lebar. sehingga dapat dipastikan bahwa resin PSDVB-NH2 telah terbentuk. Karena puncak yang dihasilkan dari spektroskopi inframerah terhadap resin PSDVB-NH2 lebar, diperkirakan resin tersebut mengandung gugus OH yang menandakan resin PSDVB-NH2 mengandung air. Gambar 4.3 menunjukkan spektrum infra merah dari resin PSDVB yang telah tereduksi.
100 %T
2358.94
60
601.79
794.67
2924.09
50
709.80
70
829.39
1165.00
80
1064.71
891.11
90
1382.96
3425.58
30
1548.84
1620.21
40
20
4500 4000 xad-NH2
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4.3. Spektrum FTIR resin PSDVB-NH2
Analisis terhadap puncak NH2 pada bilangan gelombang 3425,58 cm-1, diperkirakan resin masih mengandung air Setelah resin tereduksi (PSDVB-NH2) disintesis langkah selanjutnya adalah memasukkan ligan α-nitroso-β-naftol melalui gugus azo (-N=N-). Diazotisasi merupakan suatu cara untuk mengubah gugus amina menjadi komponen diazo dengan menggunakan
larutan asam pekat. Garam diazonium biasanya merupakan suatu
intermediet dalam sintesis reaksi organik. Diazotisasi resin dilakukan dengan penambahan larutan NaNO2 pada suhu 1-3oC. Garam diazonium sensitif tehadap cahaya dan mudah dirusak pada panjang gelombang ultraviolet dan cahaya tampak. Garam diazonium bersifat tidak stabil pada suhu diatas 4oC.
20
Setelah garam diazonium terbentuk, ke dalam resin ditambahkan larutan α-nitroso-βnaftol yang telah dilarutkan dalam larutan basa. Pada reaksi ini dilakukan reaksi kopling, yakni reaksi penggabungan antara dua senyawa. Reaksi kpling yang dimaksud adalah reaksi penggabungan antara gugus Polistiren Divinilbenzen dengan ligan α-nitroso-β-naftol yang bersifat sebagai nukleofil. Penempelan ligan dilakukan dengan merendam resin yang telah terazotisasi dalam larutan ligan. Ligan NN akan menggantikan gugus Cl- yang terbentuk dari reaksi azotisasi. Setelah dilakukan penyaringan resin tetap disimpan dalam lemari pendingin. Gambar 4.4 merupakan hasil FTIR terhadap resin pengkhelat Polistiren Divinilbenzen termodifikasi dengan ligan α-nitroso-β-naftol. 105 %T
603.72
709.80
1039.63
3429.43
3446.79
15
1384.89
1604.77
30
1550.77
2924.09
45
1440.83
2856.58
1274.95
60
565.14
833.25 794.67
75
2121.70
2374.37
90
0 4500 4000 3500 xad-nitroso simplo
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4.4. Spektrum FTIR resin PSDVB-NN Hasil FTIR terhadap resin yang telah dimodifikasi dengan ligan
Dari Gambar 4.4 diketahui bahwa pada bilangan gelombang 1440,83 cm-1 terdapat serapan untuk gugus azo(-N=N-). Adanya vibrasi N=O pada panjang gelombang 1384,89 cm-1
serta serapan C=N pada bilangan gelombang 1604,77 cm-1
menunjukkan bahwa dalam struktur tersebut α-nitroso-β-naftol telah terikat pada resin melalui gugus perantara azo.
21
4.2.Penentuan kondisi optimum resin dengan metode batch Prinsip yang digunakan dalam metode ini sama seperti pada kromatografi penukar ion. Fasa diam berupa resin PSDVB dan fasa gerak yang digunakan yakni larutan ion logam Cu2+. Ion H+ yang terdapat dalam resin PSDVB-NN akan digantikan oleh ion logam Cu2+. Ion logam Cu2+ tersebut dapat tertahan dalam resin sampai kapasitas retensinya terlewati. Apabila konsentrasi ion l ogam Cu2+ dalam resin sudah jenuh dan tidak bisa tertahan dalam resin, maka logam Cu2+ tersebut akan dilepaskan ke dalam larutan. Ion logam Cu2+ yang terelusi akan dideteksi oleh Spektrofotometri Serapan Atom. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa resin pengkhelat PSDVB-NN dapat membentuk khelat dengan ion logam Cu2+ pada pH 7. Untuk mengetahui pH optimum terbentuknya resin pengkhelat PSDVB-NN dengan ion logam Cu2+ dilakukan pengujian terhadap variasi pH. Gambar 4.5 menunjukkan kurva antara banyaknya ion Cu2+ yang teretensi terhadap variasi pH larutan. Penentuan pH optimum 98 97
% Retensi
96 95 94 93 92 91 4
5
6
7
8
9
pH
Gambar 4.5. Penentuan pH optimum resin PSDVB-NN dengan ion logam Cu2+ Optimasi pH dilakukan pada larutan ion logam Cu2+ 10 ppm dengan variasi pH 5,6,7 dan 8 kemudian dikontakkan pada resin PSDVB-NN selama 30 menit
Pada pH di atas 7 dapat terjadi kompetisi reaksi pembentukan kompleks antara senyawa khelat dengan ion hidroksida. Pada pH tinggi ion logam Cu2+ dapat membentuk endapan Cu(OH)2. Dengan terbentuknya endapan Cu(OH)2, semakin sedikit ion logam Cu2+ yang teretensi oleh resin PSDVB-NN. Setelah didapatkan pH optimum terbentuknya resin pengkhelat PSDVB-NN dengan ion logam Cu2+, dilakukan pengujian terhadap waktu kontak. Pengujian terhadap waktu kontak dilakukan dengan tujuan untuk dapat mengetahui seberapa waktu yang dibutuhkan agar ion logam Cu2+ dapat teretensi dengan baik dalam resin. Dari Gambar
22
4.6 diketahui mulai waktu kontak 10 menit, ion logam Cu2+ dapat tertahan dengan baik dalam resin. Pengaruh Waktu Kontak 110 100 % Retensi
90 80 70 60 50 0
30
60
90
120
150
180
t (menit)
Gambar 4.6. Pengaruh waktu kontak logam Cu2+ terhadap resin PSDVB-NN Pengaruh waktu kontak dilakukan dengan merendam resin dalam 20 ml larutan Cu2+ 10 ppm selama 5, 10, 30, 60, 90 dan 150 menit
Waktu kontak yang cukup singkat ini diharapkan akan memberikan keunggulan tersendiri dari resin pengkhelat yang disintesis pada penggunaannya sebagai material pengisi kolom untuk pengembangan teknik prakonsentrasi berbasis FIA. Penentuan kapasitas retensi dilakukan pada pH optimum (pH 7), dengan waktu kontak 60 menit. Kapasitas retensi ion logam Cu2+ pada resin PSDVB-NN ditunjukkan oleh Gambar 4.7. Penentuan kapasitas retensi
mg Cu teretensi/g resin
1.3 1.1 0.9 0.7 0.5 0.3 0.1 1
2
3
4
5 [Cu],ppm
6
7
8
9
Gambar 4.7. Kapasitas penyerapan ion logam Cu2+ pada resin PSDVB-NN Dilakukan dengan memvariasikan konsentrasi larutan ion logam Cu2+ sebesar 2, 4, 6, dan 8 ppm pada pH 7
23
Kapasitas retensi yang dimiliki oleh resin pengkhelat PSDVB-NN yang terjenuhkan dengan ion logam Cu2+ adalah sebesar 1,039 mg/g resin. Data tersebut memberikan informasi bahwa setiap 1 gram resin dapat meretensi 1,039 mg ion logam Cu2+. Sebelum mencapai konsentrasi 6 ppm, resin PSDVB-NN masih dapat meretensi ion logam. Sehingga kapasitas retensinya akan terus mengalami peningkatan sampai resin dapat terjenuhkan oleh ion logam. Pada konsentrasi larutan logam 6 dan 7 ppm, resin PSDVB-NN masih dapat meretensi ion logam Cu2+. Akan tetapi ketika konsentrasi larutan logam mencapai 9 ppm, sebagian ion logam Cu2+ tidak mampu lagi diretensi oleh resin PSDVB-NN. karena resin sudah terjenuhkan oleh ion logam.
4.3.Kajian awal penggunaan resin dengan menggunakan metode FIA Pada dasarnya prinsip yang digunakan dalam metode injeksi alir dengan metode batch sama. Ion H+ yang terdapat dalam resin akan digantikan oleh ion logam Cu2+. Semakin tinggi konsentrasi asam yang digunakan akan meningkatkan laju elusi karena [H+] yang lebih tinggi memungkinkan terjadinya kompetisi yang lebih baik dalam memngelusi ion logam yang terikat dalam resin. Gambar 4.8 menunjukkan profil sinyal terhadap waktu yang dimiliki oleh resin PSDVB-NN setelah dilewatkan ion logam dan dielusi dengan larutan asam. 0.6
Tinggi puncak
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0 -0.1
60
90
120
150
180
210
Waktu (detik)
Gambar 4.8. Profil sinyal Profil sinyal yang ditunjukkan oleh resin PSDVB-NN dalam meretensi ion logam Cu2+
Sebelum dilakukan analisis, kolom yang telah diisi dengan 0,2 gram resin PSDVBNN dikembangkan (swelling) dengan menggunakan air pH 7 sebagai carrier selama 30 menit. Dengan demikian kolom resin dapat dikondisikan pada pH optimumnya. Larutan Cu yang masih dapat teretensi oleh kolom, tidak akan memberikan sinyal pada detektor.
24
Apabila resin sudah tidak dapat meretensi ion logam, maka detektor akan memberikan sinyal seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4.8.
1.8
Tinggi puncak
1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 -0.2 0
50
100
150
Waktu (detik)
Gambar 4.9. Kurva tingkat kejenuhan dinamik kolom PSDVB-NN dengan logam Cu2+ Kapasitas retensi yang ditunjukkan oleh resin PSDVB-NN dengan menggunakan metode FIA terintegrasi AAS
Dari kurva pada Gambar 4.9 diperoleh kapasitas retensi dinamik sebesar 0,875 mg Cu2+/gram resin. Atau jika digunakan minikolom berisi 0,2 gram resin maka dengan sejumlah 1,5 liter larutan Cu2+ 50 ppb masih dapat diretensi oleh kolom. Ion logam Cu2+ yang tertahan dalam kolom resin dapat dilepaskan kembali dengan bantuan eluen yang berupa larutan asam nitrat. Dengan demikian proses regenerasi kolom dapat dilakukan. Efektivitas elusi ditentukan oleh jenis dan konsentrasi eluen yang dipilih. Eluen yang digunakan
adalah larutan asam HNO3 dengan variasi
konsentrasi 0,5;1;2 dan 3 M. Dari Tabel 4.1 diketahui bahwa dengan eluen pada konsentrasi 2M didapatkan hasil yang optimum. Tabel 4.1. Pengaruh konsentrasi eluen
[HNO3],M
Tinggi puncak (AU)
0,5
121,39
1
105,34
2
133,14
3
122,2
Profil tinggi puncak yang ditunjukkan oleh retensi ion logam Cu2+ dengan memvariasikan konsentrasi larutan asam
25
Analisis pengaruh konsentrasi eluen dilakukan dengan menginjeksikan larutan logam Cu2+ 50 ppb sebanyak 1 mL. Kemudian dielusi dengan menggunakan larutan asam dengan berbagai konsentrasi. Dari Tabel 1 diketahui bahwa ion logam Cu2+ dapat terelusi dengan baik dengan menggunakan larutan HNO3 2M. Setelah didapatkan konsentrasi eluen yang optimum, dilakukan pengujian terhadap variasi volume eluen. Dari hasil pengukuran diketahui bahwa kondisi optimum kolom resin didapatkan dengan mengalirkan larutan HNO3 2M sebanyak 0,5 mL. Dengan melihat kapasitas retensi dinamik (0,875 mg/g resin) dan volume eluen yang diperoleh (0,5 mL), maka dengan menggunakan larutan logam Cu2+ dengan konsentrasi 50 ppb dapat diperoleh faktor pemekatan sebesar 3000 kali. Tingkat presisi (kebolehulangan) dalam suatu metode analitik menunjukkan tingkat ketelitian metode tersebut kebolehulangan merupakan perbedaan hasil percobaan dari analisis yang sama di laboratorium yang sama yang dilakukan secara berulang-ulang guna menunjukkan ketelitian dari pengukuran. Kebolehulangan dapat dilihat dari standar deviasi relatif absorbansi larutan standar pada konsentrasi tertentu secara berulang-ulang. Semakin kecil standar deviasi relatifnya, maka akan semakin bagus kebolehulangan
dari
pengukuran
tersebut.
Pada
penelitian
ini
diperiksa
kebolehulangan pengukuran larutan standar Cu2+ pada konsentrasi 50 μg L-1. Salah satu parameter kinerja analitik ditunjukkan dengan kebolehulangan pengukuran yang baik. Kebolehulangan metode ditunjukkan dengan
nilai koefisien variansi
(%KV) sebesar 5,8% dengan standar deviasi sebesar 6,3. Tinggi puncak dan profil sinyal untuk pengujian kebolehulangan dapat dilihat pada Tabel 4.2 dan Gambar 4.10 Tabel 4.2. Profil tinggi puncak pada pengujian kebolehulangan
Puncak
Tinggi puncak (AU)
1
111,58
2
118,74
3
104,83
4
103,4
5
106,39
Profil tinggi puncak pada penentuan kebolehulangan penggunaan resin PSDVB-NN dengan metode FIA terintegrasi AAS
26
Tinggi puncak
0.07
0.05
0.03
0.01
-200 -0.01
200
600
1000
1400
1800
Pengukuran
Gambar 4.10 Profil sinyal dalam pengujian kebolehulangan Presisi dalam penentuan kebolehulangan dengan pada resin PSDVB-NN dengan metode FIAAAS
Dari profil puncak yang diperoleh seperti yang ditunjukkan oleh gambar 4.10, sebanyak 1 mL larutan logam Cu2+ dengan konsentrasi 50 ppb mampu memberikan tinggi puncak sebesar kira-kira 100 satuan arbitreir yang setara dengan nilai absorbansi sebesar 0,1. Pengukuran langsung dengan spektrofotometer serapan atom untuk larutan 1 ppm memberikan absorbansi sebesar 0,0547.
Dengan demikian,
melalui teknik prakonsentrasi ini dapat diperoleh peningkatan sinyal sebesar 40 kali.
27