4. 4.1.
Hasil dan Pembahasan
Sintesis Polistiren (PS)
Pada proses sintesis ini, benzoil peroksida berperan sebagai suatu inisiator pada proses polimerisasi, sedangkan stiren berperan sebagai monomer yang akan dipolimerisasi menjadi polistiren. Sebelum melakukan proses polimerisasi ini, terlebih dahulu ditentukan derajat polimerisasi (DPn) dari polisrtien yang akan disintesis. DPn merupakan suatu besaran yang menunjukkan banyaknya jumlah unit ulang pada tiap rantai polimer. DPn ini juga menunjukkan besarnya perbandingan jumlah mol monomer stiren dengan jumlah mol inisiator benzoil peroksida (BPO). Pada sintesis polistiren ini, derajat polimerisasi dibuat pada DPn=500, sehingga jumlah benzoil peroksida dan stiren yang dibutuhkan dapat dihitung, yaitu sekitar 0,13 gram benzoil peroksida dan 30 mL stiren. Pada percobaan, jumlah benzoil peroksida yang digunakan adalah 0,1316 gram, sehingga DPn teoritis dari polistiren yang seharusnya diperoleh adalah sebesar 483 sesuai dengan perhitungan (Lampiran A). Pada percobaan ini telah diperoleh hasil polistiren berupa padatan berbentuk menyerupai gel dan berwarna putih bening. Setelah dilakukan proses pemurnian, didapatkan suatu padatan berbentuk serabut putih yang merupakan polistiren. Proses pemurnian dilakukan dengan melarutkan PS hasil polimeriasi dengan menggunakan kloroform, kemudian larutan tersebut diteteskan ke dalam metanol sehingga terbentuk endapan. Hal ini disebabkan karena stiren larut dalam kloroform maupun metanol, sedangkan polistiren (PS) hanya larut dalam kloroform saja. Pada proses pemurnian ini dihasilkan PS murni berupa endapan berbentuk serabut putih (Gambar 4. 1) dengan massa 26,3542 gram. Serabut putih ini lalu digerus dengan menggunakan mortar menjadi serbuk putih sehingga akan mempermudah proses yang akan dilakukan selanjutnya. Dengan menghitung massa polistiren secara teoritis berdasarkan DPn yang digunakan pada polimerisasi, maka dapat diketahui besar rendemen dari proses sintesis polistiren. Massa polistiren berdasarkan perhitungan seharusnya 27,29 gram (Lampiran B), sehingga pada sintesis polistiren ini diperoleh rendemen sebesar 96,57%. Rendemen yang tidak
32
mencapai 100% ini dapat disebabkan karena proses sintesis polistiren belum selesai. Kemungkinan tidak semua stiren yang ada terpolimerisasi menjadi polistiren. Kurangnya rendemen ini dapat juga disebabkan pada proses pemurnian polistiren, terutama pada saat dilakukan penyaringan.
Gambar 4. 1 Polistiren hasil sintesis.
4.1.1. Analisis Gugus Fungsi Polistiren (PS) Analisis gugus fungsi bertujuan untuk mengidentifikasi gugus fungsi yang ada dalam polimer. Analisis secara kualitatif dapat dilakukan dengan membandingkan puncak-puncak serapan yang ada pada spektrum inframerah dengan tabel korelasi. Polistiren memiliki puncak serapan karakteristik yaitu puncak serapan ulur =C-H aromatik pada daerah bilangan gelombang 3100-3000 cm-1, puncak serapan ulur cincin benzen pada 1675-1500 cm-1, dan puncak serapan ulur benzen monosubsitusi pada daerah 770-690 cm-1. Analisis gugus fungsi polistiren hasil sintesis diambil dari trayek panjang gelombang 450 hingga 4500 cm-1. Dari spektrum FTIR polistiren hasil sintesis dapat diketahui bahwa pada sampel polistiren hasil sintesis terdapat gugus CH aromatik pada 3026,31; 3059,10; 3080,32 cm-1, gugus CH alkana pada 2848,86 dan 2922,16 cm-1 serta pada 1371,39 dan 1448,54 cm-1, gugus C=C aromatik pada 1490,97 dan 1600,92 cm-1, serta gugus benzen monosubstitusi pada 698,23 dan 754,17 cm-1 seperti yang ditampilkan dalam gambar Gambar 4. 2.
33
100 %T 90 1371.39 1068.56
906.54
80 3080.32
1026.13
2848.86 3059.10
70
538.14
1600.92
1490.97 1448.54
3026.31
60
754.17
451.34
2922.16
50
C=C aromatik
C-H alkana dan C-H aromatik
40
698.23
Monosubstitusi benzena
30 4500 4000 Polistiren
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4. 2 Spektrum infra merah polistiren hasil sintesis.
Tabel 4. 1 Puncak serapan spektrum IR polistiren hasil sintesis.
No
Bilangan gelombang ( cm-1)
Jenis vibrasi
1
3026, 3059, dan 3080
Ulur =C-H aromatik
2
2848 dan 2922; 1371 dan 1448
Ulur C-H alkana
3
1490 dan 1600
Ulur C=C aromatik
4
756 dan 697
Ulur monosubsitusi benzena
4.1.2. Analisis Berat Molekul Polistiren Analisis berat molekul polimer yang diperoleh berdasarkan percobaan menggunakan viskometer Ostwald, menunjukkan hasil akhir berupa berat molekul polistiren hasil sintesis adalah sebesar 93.855,53 gram/mol. Hasil tersebut didapatkan dengan pengolahan data waktu alir polistiren dengan berbagai nilai konsentrasi dan juga waktu alir dari pelarut murninya yaitu toluen. Hasil perhitungan ini menggunakan tetapan Mark-Houwink yang khas untuk sistem polimer-pelarut tertentu. Perhitungan berat molekul polistiren ini dapat dilihat pada Lampiran E.
34
Perhitungan berat molekul polistiren yang dilakukan dengan menggunakan DPn yang bernilai 483 yang dapat dilihat pada Lampiran A, menghasilkan nilai berat molekul polistiren sebesar 50.232 gram/mol. Perbedaan nilai berat molekul berdasarkan kedua perhitungan ini disebabkan karena berat molekul polistiren yang diperoleh dengan Viskometer Ostwald merupakan Mv polistiren yaitu berat molekul rata-rata volume, sedangkan berat molekul yang diperoleh dengan perhitungan DPn merupakan Mn polistiren yaitu berat molekul ratarata jumlah. Pada umumnya besar nilai Mn lebih kecil daripada Mv [Radiman, 2004], sehingga hasil dari perhitungan berat molekul polistiren ini sesuai dengan literatur, karena Mn nilainya lebih kecil daripada nilai Mv polistiren.
4.2.
Sintesis Polistiren Tersulfonasi (PSS)
4.2.1. Preparasi Larutan Asetil Sulfat Pada proses sulfonasi polistiren, hal yang pertama kali harus dilakukan adalah mensintesis agen pensulfonasi polistiren terlebih dahulu, yaitu asetil sulfat. Pada sintesis asetil sulfat, digunakan diklorometana yang berfungsi sebagai pelarut, sedangkan anhidrida asetat berfungsi untuk menghindari terbentuknya air pada saat reaksi karena sifatnya yang higroskopis dan juga sebagai sumber gugus asetil pada asetil sulfat. Gas N2 yang dialirkan bertujuan agar kondisi atmosfer yang terjadi pada proses sintesis asetil sulfat ini berada dalam keadaan inert, tidak terkandung oksigen dan gas lainnya yang dapat mengganggu proses sintesis ini. Pada saat ditambahkan asam sulfat, suhu larutan dijaga pada 00 C agar tidak terjadi bumping dan juga untuk mencegah terjadinya penguapan diklorometana. Asam sulfat pada sintesis ini berfungsi sebagai sumber gugus sulfat, sehingga hasil sintesisnya yang berupa asetil sulfat dapat digunakan sebagai agen sulfonasi. Saat ditambahkan asam sulfat, terjadi reaksi eksoterm yang menyebabkan larutan menjadi agak panas, kemudian mendingin kembali. Larutan asetil sulfat ini harus segera dipakai untuk proses sulfonasi karena sifat dari asetil sulfat ini mudah teroksidasi sehingga menyebabkan proses sulfonasi polistiren tidak berjalan sempurna. Larutan asetil sulfat yang diperoleh berwarna kuning bening.
4.2.2. Sintesis dan Pemurnian Polistiren Tersulfonasi Pada proses sintesis polistiren tersulfonasi, diklorometana berfungsi sebagai pelarut. Larutan asetil sulfat dalam labu leher tiga dipanaskan pada suhu 400 C dan diaduk agar campuran larutan yang diperoleh homogen. Setelah itu, larutan polistiren dalam diklorometana
35
dimasukkan ke dalam labu leher tiga yang berisi larutan asetil sulfat dengan tetap dialiri gas N2 agar kondisi atmosfir tetap inert. Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut :
Gambar 4. 3 Reaksi sintesis polistiren tersulfonasi.
Setelah suhu dipertahankan tetap 400C selama 20 menit, diperoleh larutan berwarna kuning kecoklatan. Penambahan 2-propanol pada proses sintesis tersebut berfungsi untuk menghentikan reaksi sulfonasi. Hasil polistiren tersulfonasi yang diperoleh berupa padatan putih kecoklatan dalam larutan kuning bening. Setelah disaring dan dimurnikan, polistiren tersulfonasi yang diperoleh berupa padatan putih (Gambar 4. 4) dengan massa 2,0177 gram.
Gambar 4. 4 Polistiren tersulfonasi hasil sintesis.
Berdasarkan perhitungan massa teoritis polistiren tersulfonasi yang seharusnya diperoleh dibandingkan dengan massa polistiren tersulfonasi hasil sintesis yang dapat dilihat pada Lampiran B. Rendemen yang diperoleh dari sintesis polistiren tersulfonasi adalah 94,73%. Rendemen yang tidak mencapai nilai 100% ini dapat disebabkan karena adanya pengurangan massa yang terjadi pada saat proses pemurnian polistiren tersulfonasi ini terutama pada saat proses penyaringan.
36
4.2.3. Analisis Penentuan Derajat Sulfonasi Derajat sulfonasi menunjukkan seberapa banyak gugus polistiren yang tersulfonasi oleh asetil sulfat. Derajat sulfonasi ini dapat ditentukan dengan melarutkan polistiren tersulfonasi dengan pelarut metanol, sedangkan polistiren sendiri tidak larut dalam metanol. Dengan demikian, banyaknya gugus polistiren yang tersulfonasi dapat diketahui melalui titrasi dengan menggunakan NaOH dalam metanol, dimana gugus Na+ dapat menggantikan gugus H+ pada ~SO3H, sesuai dengan reaksi berikut : SO3Na
SO3H
+ HC
CH2
+
NaOH
n
HC
CH2
H2O
n
Dengan penambahan indikator phenolpthalein, maka saat semua gugus H+ telah tergantikan oleh gugus Na+, maka terjadi perubahan warna larutan menjadi pink keunguan. Sebelumnya, larutan NaOH yang digunakan sebagai titran distandardisasi terlebih dahulu dengan menggunakan asam oksalat, sehingga diketahui konsentrasi NaOH yang sebenarnya. Berdasarkan perhitungan yang dilakukan pada Lampiran C, besarnya derajat sulfonasi dari polistiren yang disulfonasi selama 20 menit ini adalah sebesar 8.48%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam polistiren tersulfonasi yang disintesis pada percobaan ini terdapat unit ulang dari polistiren yang salah satu atom H pada cincin aromatiknya tergantikan oleh gugus -SO3H sebanyak 8,48 % dari 100% unit ulang polistiren.
4.2.4. Analisis Gugus Fungsi Polistiren Tersulfonasi Dari hasil spektrum FTIR polistiren tersulfonasi (PSS) hasil sintesis dapat diketahui bahwa pada sampel PSS terdapat gugus O-H dari ~SO3H ataupun dari H2O akibat dari sifat PSS yang higroskopis, seperti yang ditunjukkan pada spektrum FTIR pada Gambar 4. 5. Pada gambar tersebut terdapat puncak serapan yang melebar pada 3412,08 cm-1, terdapat pula gugus CH alkana pada 2924,09 cm-1, gugus C=C aromatik pada 1448,54; 1321,24; 1284,59 dan 1226,73 cm-1, dan yang paling signifikan timbul adalah terlihatnya gugus SO3 yang sebabkan oleh adanya penyerangan anion sulfonat pada cincin fenil pada 1178,51 dan 1068,56 cm-1. Gugus SO3H tersebut membuktikan bahwa polistiren telah berhasil mengalami reaksi sulfonasi dengan menggunakan asetil sulfat. Hal ini disebabkan karena pada polistiren
37
yang tidak disulfonasi, spektrum FTIRnya tidak menunjukkan adanya puncak serapan pada bilangan gelombang 1178 dan 1068 cm-1, sedangkan pada spektrum PSS timbul puncak serapan pada bilangan gelombang tersebut. Selain adanya gugus benzen monosubstitusi pada bilangan gelombang 696,30 cm-1, juga terdapat gugus benzena 1,4-disubstitusi atau substitusi pada posisi para pada 885,33 cm-1. Puncak serapan inilah yang menunjukkan bahwa anion ~SO3H manyerang gugus aromatik polistiren pada posisi para. Penyerangan pada posisi ini disebabkan karena struktur dari polistiren yang cenderung meruah sehingga mempersulit masuknya gugus ~SO3H tersebut untuk masuk pada posisi orto dan meta. Disamping puncak serapan yang disebutkan sebelumnya, pada spektrum serapan polistiren tersulfonasi hasil sintesis juga muncul bilangan gelombang yang menunjukkan gugus lain seperti gugus C-Cl dari diklorometana pada 2300 cm-1, dan gugus C=O dari anhidrida pada 1631,78 cm-1. Munculnya puncak-puncak serapan tersebut dapat disebabkan karena reagen sulfonasi dan pelarut masih ada dalam polistiren tersulfonasi.
100 %T 90 1448.54
752.24
1631.78
80
2924.09
540.07 457.13
613.36 696.30 850.61 885.33
1321.24
1008.77
70
1068.56 1284.59 1226.73
60
Benzena 578.64 tersubstitusi 1,4 (posisi para) Monosubstitusi benzena
3412.08
50
vibrasi ulur O-H
1178.51
vibrasi SO3H
40
30
20 4500 4000 PSS 20 menit
3500
3000
2500
2000
1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4. 5 Spektrum infra merah PSS hasil sintesis.
38
401.19
Tabel 4. 2 Puncak serapan spektrum IR PSS hasil sintesis. Bilangan gelombang ( cm-1)
No
Jenis vibrasi
1
3412
Ulur O-H, ikatan hidrogen
2
1178 dan 1068
Ulur SO3H
3
885
Ulur C-H benzena tersubstitusi para
4
696
Ulur monosubstitusi benzena
4.2.5. Analisis Berat Molekul Polistiren Analisis berat molekul polimer yang diperoleh berdasarkan percobaan menggunakan viskometer Ostwald, menunjukkan hasil akhir berupa berat molekul polistiren tersulfonasi hasil sintesis sebesar 40.945,68 gram/mol. Hasil tersebut didapatkan dengan pengolahan data waktu alir polistiren tersulfonasi dengan berbagai nilai konsentrasi dan juga waktu alir dari pelarut murninya yaitu toluen. Hasil perhitungan ini menggunakan tetapan Mark-Houwink yang khas untuk sistem polimer-pelarut tertentu. Perhitungan berat molekul polistiren ini dapat dilihat pada Lampiran E. Berat molekul polistiren tersulfonasi yang lebih kecil nilainya dibandingkan berat molekul polistiren menunjukkan adanya pemutusan rantai utama polistiren pada saat reaksi sulfonasi berlangsung akibat proses pemanasan, sehingga berat molekul rata-rata volume akan berkurang nilainya.
4.3.
Isolasi Lignin
Lignin diisolasi dari lindi hitam dengan cara lindi hitam diencerkan dengan aqua dm, kemudian diberi tambahan H2SO4 10 % hingga dicapai pH = 2. Metode pengendapan lignin ini dilakukan berdasarkan pada perbedaan kelarutan lignin dengan senyawa pengotornya pada derajat keasaman yang berbeda. Proses ini dapat terjadi karena adanya gugus OHfenolat pada lignin yang akan mengalami protonasi saat suasana asam, sehingga lignin menjadi tidak larut dalam air, dan dapat dipisahkan melalui proses penyaringan. Pengendapan dilakukan pada suhu 600 C karena pada suhu ini merupakan suhu yang optimal dipakai untuk mempercepat terjadinya proses protonasi gugus hidroksi fenolat sehingga akan terjadi pengendapan lignin secara optimal. Lignin yang dihasilkan dari isolasi 200 mL lindi hitam adalah sebanyak 2,7470 gram (Gambar 4. 6).
39
Gambar 4. 6 Lignin hasil isolasi.
4.3.1. Analisis Gugus Fungsi Lignin Hasil Isolasi Dari hasil spektrum FTIR lignin hasil isolasi (Gambar 4. 6) amati adanya ikatan hidrogen dari gugus OH pada lignin, yang ditunjukkan dengan adanya puncak serapan yang melebar pada bilangan gelombang 3390,86 cm-1, gugus CH pada cincin aromatik pada 3003,17 cm-1, gugus CH dari alkana pada 2931,80 serta 1423,47;1330,88 cm-1, gugus OH dari COOH pada 2850,79 cm-1, gugus C=O pada 1707,00 cm-1, gugus C=C alkena non simetris pada 1654,92 dan 1600,92 cm-1, gugus C=C aromatik pada 1510,26 dan 1460,11 cm-1, dan gugus C-O pada 1215,15; 1120,64 dan 1031,92 cm-1.
100 %T 90 617.22 837.11
80 1330.88
70
2850.79
2335.80
1423.47
3003.17 2362.80
60
1460.11
2931.80
1031.92
1707.001510.26 1654.92
50
C=C
CH alkana
1215.15 1600.92 aromatik 1120.64
40
3390.86
C=C alkena non simetris dan C=O
455.20
vibrasi C-O
Vibrasi ulur OH 30 4500 4250 4000 3750 3500 3250 3000 2750 2500 2250 2000 1750 1500 1250 1000 Lignin
750 500 1/cm
Gambar 4. 7 Spektrum infra merah lignin hasil isolasi.
40
Tabel 4. 3 Puncak serapan spektrum IR lignin hasil isolasi. Bilangan gelombang ( cm-1)
No
Jenis vibrasi
1
3390
Ulur O-H, ikatan hidrogen
2
2931
Ulur C-H alkana
3
1600 dan 1654
Ulur C=C alkena non simetris
4
1460 dan 1423
Ulur C=C aromatik
5
1215, 1120 dan 1031
Ulur C-O
Spektrum infra merah lignin hasil isolasi jika dibandingkan dengan spektrum lignin standar [Morais et al, 1999] terlihat bahwa spektrum yang dihasilkan hampir sama. Akan tetapi ada puncak serapan gugus ~SO3H pada bilangan gelombang 1031, 92 cm-1. Bila dibandingkan dengan spektrum lignosulfonat dari produk komersial (Gambar 4. 8), terlihat bahwa gugusgugus yang terdapat pada lignin hasil sintesis hampir sama dengan gugus-gugus yang terdapat pada lignosulfonat hasil produksi pabrik.
100 %T
813.96 721.38
90
2937.59
60
C=C aromatik 1512.19
CH alkana
1604.77
40
C=C alkena non simetris dan C=O
30
3750
3500
1039.63
3419.79
4500 4250 4000 Lignin tersulfonasi
3250
3000
2750
2500
2250
2000
1750
1500
1250
1000
750
455.20
vibrasi C-O
Vibrasi ulur OH
20
1209.37
50
661.58 650.01
1458.18 1425.40
70
528.50
2848.86
80
500 1/cm
Gambar 4. 8 Spektrum infra merah lignosulfonat dari produk komersial.
41
4.4.
Modifikasi PSS dengan Lignin
Modifikasi PSS dengan menggunakan lignin dilakukan dalam pelarut DMF. Komposisi membran poliblend dalam pelarutnya sebesar 15% w/w PSS dan komposisi lignin yang ditambahkan bervariasi yaitu 1%, 5%, 7% dan 10% w/w lignin dalam pelarut DMF. Cara perhitungan yang digunakan untuk menentukan massa dari PSS dan lignin adalah sebagai berikut:
%lignin =
Dimana
x × 100% x + y + wDMF
x y wDMF
% PSS =
y × 100% x + y + wDMF
= massa lignin = massa PSS = massa DMF = massa jenis x volum DMF
Perhitungan tersebut dilakukan dengan memasukkan nilai % sampel yang diinginkan ke dalam kedua persamaan tersebut, sehingga dengan menggunakan persamaan metematika dapat diperoleh massa PSS dan lignin yang dibutuhkan untuk membuat komposisi membran poliblend tersebut. Komposisi PSS dan lignin tersebut kemudian dicampurkan dengan menggunakan pelarut DMF dan diaduk hingga homogen. Setelah larutan menjadi homogen, pelarut DMF kemudian diuapkan dengan tujuan agar membran yang akan disintesis hanya terdiri dari PSS dan lignin saja. Setelah semua pelarut menguap, diperoleh padatan berbentuk gel, kemudian dipress untuk dibuat membran (Gambar 4. 9).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 4. 9 Membran poliblend PSS : Lignin. Komposisi PSS:lignin: (a). 15% : 1%, (b) 15% : 5%, (c) 15% : 7%, (d) 15% : 10%.
42
4.4.1. Analisis Gugus Fungsi Membran Poliblend PSS-lignin Hasil spektrum FTIR seluruh membran poliblend dengan komposisi yang lignin yang berbeda-beda menunjukkan spektrum yang serupa satu dengan yang lain, hanya saja besar intensitas serapannya agak berbeda (Lampiran D). Dari hasil spektrum infra merah pada Gambar 4. 10 dapat diketahui bahwa pada sampel membran poliblend terdapat ikatan hidrogen dari gugus OH pada lignin yang ditunjukkan dengan adanya puncak serapan yang melebar pada 3446,79 cm-1, gugus CH alkana pada 2926,01 serta 1448,54;1384,89 cm-1, gugus C=C alkena non simetrik pada 1658,78; 1639,49 dan 1602,85 cm-1, gugus C=C aromatik pada 1490,97; 1448,54 dan 1384,89 cm-1, gugus SO3H pada 1109,07 dan 1026,13 cm-1, dan gugus monosubstitusi benzena pada 754,17 dan 698,23cm-1.
100 %T
1639.49
75
3500
3000
2500
538.14
665.44 619.15
983.70 1026.13
1658.78
3446.79
Vibrasi ulur O-H
60 4500 4000 PSS 15 lignin 7
1251.80
Vibrasi SO3H Monosubstitusi benzena
70
65
1178.51
C=C cincin aromatik
754.17 698.23
1602.85
CH alkana
1109.07
80
1384.89
2926.01
85
1490.97 1448.54
90
1876.74
1946.18
95
2000
C=C alkena non simetris 1750
1500
1250
1000
750
500 1/cm
Gambar 4. 10 Spektrum infra merah membran PSS-lignin.
Tabel 4. 4 Puncak serapan spektrum IR membran PSS-lignin. Bilangan gelombang ( cm-1)
No
Jenis vibrasi
1
3446
Ulur OH
2
2926
Ulur C-H alkana
3
1658, 1639 dan 1602
Ulur C=C alkena non simetris
4
1490, 1448 dan 1384
Ulur C=C cincin aromatik
5
1178 dan 1026
Ulur SO3H
6
698
Ulur benzena monosubsitusi
43
Puncak serapan yang muncul pada spektrum FTIR membran poliblend PSS-lignin tersebut menunjukkan bahwa baik PSS maupun lignin masing-masing memiliki puncak serapan yang muncul pada hasil FTIR tersebut. Secara keseluruhan, puncak serapan yang muncul pada spektrum FTIR dari polistiren tersulfonasi, lignin dan membran poliblend dapat dilihat pada Tabel 4.5 berikut: Tabel 4. 5 Hasil keseluruhan analisis FTIR.
Bilangan gelombang (cm-1)
Keterangan
PSS
Lignin
15:1
15:5
15:7
15:10
3412 2924
3390 2931
3446 2924
3425 2926
3446 2926
3448 2926
Ikatan hidrogen OH Ulur –C-H alkana
1604
1600
1656
1658
1658
1660
Ulur C=C cincin aromatic
1068
1120 -
1114 1022
1118 1024
1109 1026
1103 1024
Ulur C-O SO3H pada benzenae
696
-
696
698
698
696
Benzena monosubstituen
Dari Tabel 4. 5 dapat dilihat bahwa poliblend yang dihasilkan memang mengandung gugus fungsi dari polistiren tersulfonasi dan gugus fungsi dari lignin. Hal ini disebabkan karena poliblend merupakan campuran dari polimer, dan interaksi yang terjadi adalah interaksi fisik. Hasil spektrum FTIR dari poliblend tersebut menunjukkan tidak muncul gugus fungsi baru sehingga dapat dinyatakan bahwa interaksi yang terjadi antara kedua polimer dalam poliblend adalah interaksi secara fisika.
4.4.2. Analisis Derajat Swelling Membran Poliblend Analisis derajat swelling dilakukan dengan merendam membran poliblend dalam aqua dm selama 24 jam. Setelah 24 jam, membran poliblend tersebut dikeringkan permukaannya dengan menggunakan kertas hisap yang dimaksudkan agar massa membran basah yang ditimbang tidak termasuk massa aqua dm yang ada pada bagian permukaan. Hal ini disebabkan karena derajat swelling hanya memperhitungkan aqua dm yang masuk di dalam membran, bukan pada bagian permukaan (Gambar 4. 11).
Gambar 4. 11 Perendaman membran poliblend dalam aqua dm
44
Besar derajat swelling yang diperoleh menyatakan seberapa banyak jumlah aqua dm yang dapat masuk atau terserap ke dalam membran poliblend. Sebagai perbandingan, digunakan Nafion sebagai referensi. Nafion® menunjukkan nilai derajat swelling sebesar 23,67% pada suhu 600C dan 31,45% pada suhu 800C [Zhang, 2006]. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian, nilai derajat swelling yang diperoleh untuk masing-masing membran poliblend berkisar antara 14-23%. Hasil tersebut menunjukkan bahwa membran poliblend yang disintesis memiliki derajat swelling yang mendekati derajat swelling dari Nafion®. Komposisi membran poliblend PSS-lignin 15%:1% menunjukkan nilai yang paling optimum pada analisis ini. Derajat swelling masing-masing membran poliblend dapat dilihat pada Tabel 4. 6. Tabel 4. 6 Data analisis derajat swelling.
Komposisi Poliblend
Derajat swelling (%)
PSS 15% : Lignin 1%
23,96
PSS 15% : Lignin 5%
14,69
PSS 15% : Lignin 7%
14,08
PSS 15% : Lignin 10%
14,61
Derajat swelling membran poliblend yang nilainya semakin menurun dengan bertambahnya jumlah lignin dalam poliblend menunjukkan bahwa semakin banyak komposisi lignin maka jumlah ikatan silang dalam poliblend juga akan semakin bertambah. Semakin banyak jumlah ikatan silang dalam poliblend akan menyebabkan derajat swelling menurun, karena ikatan silang tersebut dapat menghambat pelarut untuk masuk ke bagian dalam poliblend.
4.4.3. Analisis Termal Membran Poliblend Analisis termal membran poliblend PSS-lignin dengan berbagai komposisi dilakukan dengan menggunakan analisis DTA/TGA. Hasil analisis DTA/TGA tersebut berupa termogram. Dari termogram ini, dapat diketahui besarnya temperatur dekomposisi awal, temperatur dekomposisi akhir membran poliblend, serta besarnya pengurangan massa sampel yang terjadi pada suhu tertentu. Termogram yang diperoleh pada analisis ini tidak jauh berbeda antara termogram masing-masing membran poliblend, dan keseluruhan termogram tersebut dapat dilihat pada Lampiran F. Sedangkan salah satu termogram dari membran poliblend dapat dilihat pada Gambar 4. 12. Dari keseluruhan hasil termogram membran poliblend terlihat temperatur dekomposisi awal seluruh membran berkisar antara 210 - 2400C, dan temperatur dekomposisi akhir seluruh membran berkisar antara 427–4290C. Sedangkan massa sampel sisa pada tahap awal
45
dekomposisi berkisar antara 78–86%, dan massa sampel sisa pada temperatur dekomposisi akhir berkisar antara 5–16%. Temperatur dekomposisi dan massa sampel sisa secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4. 7.
Gambar 4. 12 Termogram membran poliblend PSS-lignin.
Tabel 4. 7 Data analisis termal DTA/TGA.
Dekomposisi Awal Komposisi Poliblend Suhu (0C) Massa Sisa (%) PSS 15% : Lignin 1% 237,2 78,4 PSS 15% : Lignin 5% 216,1 86,7 PSS 15% : Lignin 7% 214,1 81,6 PSS 15% : Lignin 10% 215,1 83,9
Dekomposisi Akhir Suhu ( 0C) 427 428,2 426,4 429,1
Massa akhir pada 5000C (%) 5,5 8,8 5,1 16
Berdasarkan hasil analisis termal ini terlihat bahwa membran poliblend hasil sintesis memiliki kekuatan termal yang tidak jauh berbeda antara membran satu dengan yang lainnya. Massa akhir sampel pada suhu dekomposisi akhir juga cenderung sama, walaupun membran poliblend dengan komposisi PSS 15%: Lignin10% memiliki persen massa yang lebih besar dibandingkan membran yang lainnya. Temperatur dekomposisi akhir membran poliblend PSS-lignin berkisar pada 427-4290C, sedangkan temperatur dekomposisi akhir polistiren tersulfonasi (PSS) referensi [Smitha et al, 2003] berkisar pada nilai 370–4000C.
46
Hasil ini menunjukkan bahwa dengan adanya lignin kestabilan termal dari polistiren tersulfonasi pada membran menjadi meningkat. Hal ini disebabkan karena struktur dari lignin yang memiliki banyak ikatan hidrogen di dalamnya, dapat meningkatkan kestabilan termal membran poliblend.
4.4.4. Analisis Kekuatan Mekanik Membran Poliblend Analisis kekuatan mekanik pada penelitian ini berupa besaran/parameter, yaitu stress at break yang diperoleh dari nilai F/A (dalam satuan Kgf/mm2), % elongation at break (dalam %), serta stress per strain at break (dalam satuan % Kgf/mm2). Besarnya analisis kekuatan mekanik tersebut dapat dilihat pada Lampiran G. Hasil analisis menunjukkan bahwa baik stress at break
maupun % elongation at break dengan nilai tertinggi diperoleh pada
membran poliblend dengan komposisi PSS 15% : Lignin 5%, sedangkan hasil stress per strain at break maksimal diperoleh pada membran poliblend dengan komposisi PSS 15% : Lignin 7%. Hasil analisis kekuatan mekanik membran poliblend PSS-lignin dapat dilihat pada Tabel 4. 8. Tabel 4. 8 Data analisis kekuatan mekanik. Hasil Uji Tarik Komposisi Poliblend PSS 15% : Lignin 1% PSS 15% : Lignin 5% PSS 15% : Lignin 7% PSS 15% : Lignin 10%
stress (kgf/mm2) 0,6456 1,1401 1,0604 0,5325
% elongation 0,1283 0,1867 0,1100 0,0883
stress per strain (kgf/mm2) 5,0303 6,1075 9,6401 6,0280
Jumlah lignin yang semakin banyak membuat kekuatan mekanik membran semakin tinggi akibat ikatan silang yang terdapat dalam lignin tersebut. Namun, saat jumlah lignin semakin banyak, gugus ~SO3H yang terkandung dalam membran tersebut juga semakin banyak, sehingga dapat membuat struktur membran menjadi rapuh sehingga nilai stress per strain pada membran poliblend PSS 15% : Lignin10% menjadi berkurang.
4.4.5. Analisis Konduktivitas Membran Poliblend Analisis konduktivitas membran dilakukan untuk mengetahui kemampuan membran dalam mengantarkan proton. Hasil akhir yang diperoleh pada analisis ini adalah berupa nilai hantaran jenis membran. Berdasarkan hasil penelitian memperlihatkan bahwa membran poliblend yang memiliki nilai hantaran jenis paling baik dari seluruh membran adalah membran poliblend dengan komposisi PSS 15% : Lignin 7%.
47
Nilai konduktivitas membran poliblend PSS-lignin yang diperoleh berkisar antara 1,44 x10-6 hingga 3,38 x 10-6 S cm-1 (Tabel 4. 9). Jika dibandingkan dengan Nafion® sebagai referensi, yang memiliki hantaran jenis sebesar 8,05 x 10-3 S cm-1 [Zhang et al., 2005], maka hasil hantaran jenis membran poliblend ini sangat rendah. Akan tetapi pada saat hantaran jenis Nafion® diukur dengan menggunakan metode pengukuran dan alat yang sama, ternyata nilai hantaran jenis Nafion® adalah sebesar 7x10-5 Scm-1. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa membran poliblend hasil sintesis memiliki hantaran jenis 1/10 kali dari hantaran jenis membran referensi Nafion(R). Hantaran jenis yang nilainya 1/10 kali membran referensi ini menunjukkan bahwa membran poliblend hasil sintesis sudah cukup baik untuk dapat diaplikasikan sebagai sel bahan bakar. Tabel 4. 9 Data analisis konduktivitas. Komposisi Poliblend PSS 15% : Lignin 1% PSS 15% : Lignin 5% PSS 15% : Lignin 7% PSS 15% : Lignin 10%
Hantaran Jenis (Scm-1) 1,44267E-06 1,56225E-06 3,37908E-06 2,85316E-06
4.4.6. Analisis IEC Membran Poliblend Analisis IEC atau Ion Exchange Capacity menunjukkan seberapa besar kemampuan atau kapasitas membran untuk mempertukarkan ion, dalam hal ini adalah kemampuannya untuk menghantarkan proton. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai IEC optimal diperoleh pada membran poliblend dengan komposisi PSS 15% : Lignin 7%. Besarnya nilai IEC dari masing-masing membran poliblend dapat dilihat pada Tabel 4. 10. Tabel 4. 10 Data analisis IEC. Komposisi Poliblend PSS 15% : Lignin 1% PSS 15% : Lignin 5% PSS 15% : Lignin 7% PSS 15% : Lignin 10%
IEC (meq./g) 1,98 1,04 2,06 1,52
Hasil IEC membran poliblend hasil sintesis ternyata jauh melebihi nilai IEC Nafion® sebagai membran referensi, yaitu sebesar 0,909 meq/g [Zhang et al., 2005]. Hasil ini menunjukkan bahwa membran poliblend hasil sintesis memiliki kemampuan penukar ion yang menjanjikan saat diaplikasikan pada sel bahan bakar.
48