Citra MODIS Terra/Aqua Jawa 2004 Terkoreksi Radiometrik
Data CH
Bogor & Indramayu
Koreksi Geometrik
Malang *) & Surabaya *)
Eo NDVI
LST
ETp Lapang
ETp
Regeresi LST MODIS Vs ETp lapang
Regresi ETp Vs ETp Lapang
Hubungan ETp dengan Kekeringan *) = Hasil Bangkitan
Gambar 2. Diagram alir penelitian 4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1 Korelasi antara Suhu Permukaan Darat (LST) dengan ETp Lapang Pengukuran suhu permukaan untuk menduga evapotranspirasi potensial di Pulau Jawa dilakukan pada siang hari, menggunakan Citra dari satelit MODIS Terra / Aqua. Untuk memperoleh nilai evapotranspirasi digunakan persamaan yang dikembangkan Narongrit dan Yasuoka dan telah digunakan untuk menduga nilai evapotranspirasi di negara Thailand. Untuk menduga evapotranspirasi menggunakan persamaan (13), dengan input suhu permukaan (LST) dan sebaran NDVI dari pengolahan Citra MODIS Terra / Aqua, sebaran NDVI dengan LST dapat dilihat pada Gambar 3.
Dari Gambar 3 dapat dilihat bahwa kisaran suhu permukaan di daerah Pulau Jawa bagian utara terlihat lebih tinggi dibandingkan suhu permukaan bagian selatan. Dan sebagian besar wilayah timur Pulau Jawa memiliki kisaran suhu permukaan yang tinggi. Secara fisis hal ini disebabkan karena di bagian utara Pulau Jawa, memiliki dataran yang lebih rendah daripada daerah selatan Jawa. Dan suhu permukaan Pulau Jawa dan Bali yang terukur berada pada kisaran 280 K hingga 314 K, atau sekitar 7°C hingga 41°C. Berikut ini adalah hasil korelasi antara suhu permukaan dari Citra MODIS Terra / Aqua dengan nilai evapotranspirasi potensial (ETp) dibeberapa daerah di Pulau Jawa. LST Vs ETp Lapang Bogor 35 30
ETp
25 20
y = 0.7031x + 6.9006 R2 = 0.5851
15 10 5 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
LST
Gambar 3. Sebaran LST di P. Jawa dan Bali
Gambar 4. Hubungan nilai LST MODIS dengan ETp lapang Bogor.
7
35.0 30.0
ETp
25.0 20.0
y = 0.9534x + 0.2771 R2 = 0.6516
10.0 5.0 0.0 0
5
10
15
20
25
30.0 25.0 20.0 15.0
y = 1.802x - 25.87 R2 = 0.6211
10.0 5.0 0.0 0
5
10
15
20
25
30
35
LST
Gambar 7. Hubungan nilai LST MODIS dengan ETp lapang Surabaya.
LST VS ETp Lapang Indramayu
15.0
LST Vs ETp Lapang Surabaya 35.0
ETp
Nilai kisaran LST dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 4 secara berturut – turut ialah 23.7° – 35.1° C dan 23.7 – 33.2 mm/8hari. Gambar 4 juga menjelaskan bahwa apabila suhu permukaan meningkat sebesar 1° C maka akan menyebabkan meningkatnya nilai evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 0.7 mm/8 hari.
30
35
LST
Gambar 5. Hubungan nilai LST MODIS dengan ETp lapang Indramayu. Nilai kisaran LST dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 5 secara berturut – turut ialah 24.7° – 31.8° C dan 22.8 – 32.4 mm/8hari. Gambar 5 juga menjelaskan bahwa apabila suhu permukaan meningkat sebesar 1° C maka akan menyebabkan naiknya evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 4.7 mm/8 hari.
Nilai kisaran LST dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 7 secara berturut – turut ialah 27.2° – 31.6° C dan 21.4 – 32.9 mm/8hari. Gambar 7 juga menjelaskan bahwa apabila suhu permukaan meningkat sebesar 1° C maka akan menyebabkan naiknya evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 6.1 mm / 8 hari. Tabel 3. Regresi LST MODIS dengan ETp Lapang Daerah
Malang
Regresi y = 0.7031x + 6.9006 y = 0.9534x + 0.2771 y = 0.4677x + 14.003
Surabaya
Y = 1.802x - 25.87
Bogor Indramay u
LST Vs ETp Lapang Malang 35.0
R2 0.585 1 0.651 6 0.665 0 0.621 1
30.0
ETp
25.0 20.0 15.0
y = 0.4677x + 14.003 R2 = 0.665
10.0 5.0 0.0 0
5
10
15
20
25
30
35
LST
Gambar 6. Hubungan nilai LST MODIS dengan ETp lapang Malang. Nilai kisaran LST dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 6 secara berturut – turut ialah 19.4° – 33.0° C dan 21.5 – 31.4 mm/8hari. Gambar 6 juga menjelaskan bahwa apabila suhu permukaan meningkat sebesar 1° C maka akan menyebabkan naiknya evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 1.6 mm/8 hari.
Dari Gambar 4, 5, 6 dan 7 dapat dikatakan bahwa korelasi antara suhu permukaan dari citra MODIS dengan evapotranspirasi potensial hasil pengukuran membentuk sebuah hubungan linier. Pada Tabel 3, korelasi antara nilai LST dan evapotranspirasi potensial (ETp) lapang menghasilkan nilai keeratan (R2) yang cukup tinggi, yaitu berada pada kisaran 55% – 67%. Nilai R2 yang tertinggi ditunjukkan di Malang, sedangkan yang terendah di Bogor. Hubungan linier pada Gambar 4, 5, 6 dan 7, antara LST dengan ETp Lapang menunjukkan bahwa terdapatnya hubungan antara suhu permukaan dengan evapotranspirasi. Nilai evapotranspirasi dipengaruhi oleh suhu permukaan (LST). Akan tetapi tingginya nilai evapotranspirasi tidak hanya dipengaruhi oleh faktor LST, melainkan masih ada faktor – faktor lainnya seperti kecepatan angin, tahanan vertikal dan kelembaban udara. Untuk wilayah yang berbatasan dengan laut, adanya pengaruh transfer uap
8
ETp
NDVI Vs ETp Lapang Bogor 35 30 25 20 15 10 5 0
y = 8.3609x + 25.531 R2 = 0.0255
0
0.2
0.4 NDVI
0.6
0.8
Gambar 8. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan ETp lapang Bogor. Nilai kisaran NDVI dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 6 secara berturut – turut ialah 0.4 – 0.6 dan 23.7 – 33.2 mm/8hari. Gambar 8 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 0.1 maka akan menyebabkan naiknya evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 0.5 mm/8 hari. Di Bogor diperoleh bentuk linier yang berbeda dengan ketiga wilayah lainnya. Hal ini dikarenakan Bogor memiliki topografi yang berbeda dengan ketiga daerah lain.
ETp
NDVI Vs ETp Lapang Indramayu 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
y = -3.0524x + 27.402 R2 = 0.0056 0
0.1
0.2 NDVI
0.3
0.4
Gambar 9. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan ETp lapang Indramayu.
NDVI Vs ETp Lapang Malang
ETp
4. 2 Korelasi antara NDVI dengan ETp Lapang Untuk menduga nilai evapotranspirasi menggunakan persamaan yang dikembangkan oleh Narongrit dan Yasuoka pada empat daerah yang berbeda, membutuhkan input berupa nilai NDVI. Berikut ini adalah hubungan yang diperoleh antara NDVI dengan evapotranspirasi dari data lapang di beberapa daerah.
Nilai kisaran NDVI dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 9 secara berturut – turut ialah 0.1 – 0.3 dan 22.8 – 32.4 mm/8hari. Gambar 9 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 0.1 maka akan menyebabkan berkurangnya nilai evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 1.05 mm/8 hari.
35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
y = -3.8593x + 28.026 R2 = 0.0249 0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
NDVI
Gambar 10. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan ETp lapang Malang. Nilai kisaran NDVI dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 11 secara berturut – turut ialah 0.5 – 0.8 dan 21.5 – 31.4 mm/8hari. Gambar 11 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 0.1 maka akan menyebabkan berkurangnya nilai evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 0.4 mm/8 hari. NDVI Vs ETp Lapang Surabaya
ETp
air antara daratan dan lautan yang terjadi bersama – sama dengan angin darat dan angin laut mempengaruhi proses evapotranspirasi. Menurut Turner et al. (1985), menyatakan bahwa defisit tekanan uap air merupakan tenaga pendorong (driving force) untuk proses evapotranspirasi.
35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
y = -33.82x + 31.988 R2 = 0.298 0
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
NDVI
Gambar 11. Hubungan nilai NDVI MODIS dengan ETp lapang Surabaya. Nilai kisaran NDVI dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 11 secara berturut – turut ialah 0.1 – 0.2 dan 22.8 – 32.4 mm/8hari. Gambar 11 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 0.1 maka akan menyebabkan berkurangnya nilai evapotranspirasi potensial di lapang sebesar 0.8 mm/8 hari. Tabel 4. Regresi NDVI dengan ETp lapang Daerah Bogor Indramay
Regresi y = 8.3609x + 25.531 y = -3.0524x +
R2 0.025 5 0.005
9
u Malang Surabaya
27.402 y = -3.8593x + 28.026 y = -33.82x + 31.988
6 0.024 9 0.298 0
Dari hubungan antara NDVI dengan nilai evapotranspirasi hasil pengukuran di tiap stasiun diperoleh nilai keakuratan yang sangat rendah. Pada Tabel 4, nilai keeratan yang rendah dari hubungan antara NDVI dan evapotranspirasi dikarenakan ETp tidak hanya dipengaruhi oleh NDVI saja, tetapi perlu adanya faktor lainnya yaitu keadaan atmosfer. Karena tinggi rendahya ETp sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca.
Gambar 12. Hubungan nilai ETp lapang vs ETp MODIS Bogor. Nilai kisaran ETp MODIS dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 12 secara berturut – turut ialah 11.4 – 14.5 mm/8hari dan 23.7 – 33.2 mm/8hari. Gambar 12 juga menjelaskan bahwa ETp MODIS meningkat sebesar 1 mm/8hari maka akan nilai evapotranspirasi potensial di lapang meningkat sebesar 2.1 mm/8 hari. ETp MOD VS ETp Lapang Indramayu 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0
y = 3.0756x - 8.6337 R2 = 0.5998
10.0 5.0 0.0
4. 3 Korelasi antara ETp Lapang dengan ETp dari Citra MODIS Hasil yang diperoleh dari korelasi antara nilai evapotranspirasi potensial (ETp) dari Citra MODIS Terra / Aqua dengan nilai evapotranspirasi potensial (ETp) melalui metode ETp lapang dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Regresi ETp lapang dengan ETp MODIS Daerah Bogor Indramay u Malang Surabaya
2
Regresi y = 2.4691x 4.7279 y = 3.0756x 8.6337 y = 1.5708x + 6.1535 y = 9.5811x 84.915
R 0.638 3 0.599 8 0.620 7 0.639 8
0.0
ETp MOD Vs ETp Lapang Bogor 35 30 25 20 15
y = 2.4691x - 4.7279 R2 = 0.6383
10
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
ETp M OD
Gambar 13. Hubungan nilai ETp lapang dengan ETp MODIS Indramayu. Nilai kisaran ETp MODIS dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 6 secara berturut – turut ialah 10.7 – 12.6 mm/8hari dan 22.8 – 32.4 mm/8hari. Gambar 13 juga menjelaskan bahwa apabila ETp MODIS meningkat sebesar 1 mm/8hari maka akan menyebabkan naiknya ETp yang terukur di lapang sebesar 2.1 mm/8 hari. ETp MOD Vs ETp Lapang Malang 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0
y = 1.5708x + 6.1535 R2 = 0.6207
10.0 5.0 0.0 0.0
Tabel 5 menunjukkan korelasi nilai ETp dari Citra Satelit MODIS Terra / Aqua dengan nilai ETp lapang. Untuk wilayah Bogor ialah 0.6383, wilayah Indramayu 0.5998, Malang 0.6207, dan Surabaya adalah 0.6398.
5.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
ETp M OD
Gambar 14. Hubungan nilai ETp lapang vs ETp MODIS Malang. Nilai kisaran ETp MODIS dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 14 secara berturut – turut ialah 10.6 – 14.2 mm/8hari dan 21.5 – 31.4 mm/8hari. Gambar 14 juga menjelaskan bahwa apabila NDVI meningkat sebesar 1 mm/8hari maka nilai evapotranspirasi potensial yang terukur di lapang akan meningkat sebesar 1.5 mm/8 hari.
5 0 0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
ETp M OD
10
ETp MOD Vs ETp Lapang Surabaya 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0
y = 9.5811x - 84.915 R2 = 0.6398
10.0 5.0 0.0 0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
35.0
ETp M OD
Gambar 15. Hubungan nilai ETp lapang vs ETp MODIS Surabaya. Nilai kisaran ETp MODIS dan ETp lapang yang ditunjukkan pada Gambar 15 secara berturut – turut ialah 11.3 – 12.2 mm/8hari dan 21.4 – 32.9 mm/8hari. Gambar 15 juga menjelaskan bahwa apabila ETp yang terukur dengan MODIS meningkat 1 mm/8hari maka akan nilai evapotranspirasi potensial yang terukur di lapang meningkat sebesar 9.6 mm/8 hari. Dari korelasi yang dihasilkan antara ETp MODIS dengan ETp lapang, di empat daerah dengan ketinggian berbeda. Diperoleh empat nilai keeratan (R2) yang cukup tinggi (55 % < R2 < 65 %). Hal ini menunjukkan adanya kedekatan antara nilai ETp MODIS dengan nilai ETp dari hasil perhitungan lapang. Dengan nilai keeratan yang berada pada kisaran 55 % – 65 %, maka persamaan yang dikembangkan oleh Narongrit dan Yasuoka dapat digunakan untuk menduga evapotranspirasi di wilayah Indonesia. Tetapi agar hasil pendugaan evapotrnaspirasi lebih optimal maka perlu memodifikasi persamaan tersebut.
Pada Tabel 6 dapat dilihat bahwa intensitas curah hujan lebih banyak terjadi di Bogor, pada bulan Juli sebesar 181.5 mm/bln. Sedangkan curah hujan yang terjadi di dua kota lainnya jauh lebih rendah dari Bogor. Terdapatnya perbedaan intensitas terjadinya curah hujan ini dapat dikatakan bahwa kapasitas air tanah di Bogor lebih tinggi dibandingkan dengan kapasitas air tanah di daerah Indramayu dan Malang. Pada bulan Agustus, di daerah Indaramayu terjadi bencana kekeringan terluas dibanding Bogor dan Malang. Bencana kekeringan yang terjadi mencapai 846 Ha, Bogor seluas 13 Ha dan Malang seluas 5 Ha. Lalu hasil pendugaan evapotranspirasi baik melalui penginderaan jauh dan metode panci kelas A, menunjukkan bahwa evapotranspirasi potensial paling besar terjadi di Bogor pada bulan Agustus sebesar 71.7 mm/bln dan 155.5 mm/bln. Dengan hasil yang diperoleh pada Tabel 6, maka dapat dikatakan bahwa hubungan antara evapotranspirasi potensial dengan pengaruh terjadinya kekeringan memiliki keeratan yang rendah. Sehingga untuk menduga terjadinya kekeringan di suatu tidak dapat diduga hanya dengan mengukur tingginya evapotranpirasi potensial, tetapi diperlukan faktor – faktor lainnya, seperti sistem irigasi, jenis tanaman, jenis tanah, kapasitas air tanah, suhu, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk daerah Indramayu yang terkena bencana kekeringan paling luas, hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Seperti rendahnya curah hujan, suhu yang tinggi, dan adanya pengaruh dari sistem irigasi. Karena kurangnya keterangan mengenai sistem irigasi di Inderamayu maka dalam penelitian ini tidak membahas sistem irigasi secara mendalam. Dari Tabel 6 dapat dikatakan bahwa pengaruh terjadinya kekeringan dengan evapotranspirasi potensial tidak berkaitan secara langsung.
4. 4 Analisis Hubungan Evapotranspirasi dengan Kekeringan Data luas kekeringan ketiga daerah ini didasarkan oleh adanya lahan pertanian di daerah tersebut. Surabaya tidak termasuk dikarenakan karena didaerah tersebut tidak terdapat lahan pertanian. Tabel 6. Data CH, ETp MODIS, ETp lapang dan Luas kekeringan. Tahun
Daerah Bogor
2004 Indramayu Malang
Bulan Juni Juli Agustus Juni Juli Agustus Juni
CH (mm/bln) 83 181.5 55.9 93 0 0 2
ETp MOD (mm/bln) 56.9 51.9 71.7 47.5 45.4 56.6 49.3
ETp Lapang (mm/bln) 119.1 109.6 155.5 111.7 103.2 132.8 104.8
L. Kekeringan (Ha) 0 0 13 0 10 846 0
11
Juli Agustus
4 0
48.0 62.9
94.7 132.0
0 5
12