22
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1
Keadaan Umum Pulau Nusa Penida Pulau Nusa Penida secara umum berada pada 155º30’00’’ dan
155º36’00’’ bujur timur dan -8º40’00’’ sampai -8º45’00’’ lintang selatan. Kecamatan nusa Penida merupakan salah satu kecamatan dari 4 kecamatan yang terdapat di kabupaten Klungkung dengan 16 desa. Dari ke 16 desa ini desa yang paling berpotensi dalam penangkapan ikan ada 3 desa yaitu, desa Batununggul, Toyepakeh dan desa Suana (Gambar 4). Sedangkan untuk usaha perikanan lainnya merupakan pelengkap misalnya, budidaya dan pengolahan hasil perikanan.
Gambar 4.
Posisi Desa Batununggul, Suana dan Toyopake berhadapan dengan pantai Utara Pulau Nusa Penida
Beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi masyarakat dalam menunjang pengembangan pulau Bali sebagai daerah tujuan wisata yaitu : (1) Faktor sosial (2) Faktor budaya (3) Faktor ekonomi (4) Faktor lingkungan (5) Keadaan wisata bahari
23
4.1.1 Faktor Sosial Masyarakat nelayan yang menghuni pesisir pantai pulau Nusa Penida merupakan masyarakat yang hidupnya bergantung kepada potensi laut yang ada. Kehidupan masyarakat nelayan masih mengalami pengaruh tradisional, yang diturunkan dari leluhur. Pengaruh itu seperti, belum terjadi peningkatan sejumlah alat tangkap, walaupun dari kebiasaan yang ada, kemauan untuk maju selalu ada pada setiap masyarakat nelayan. Kebiasaan yang sudah melekat yakni nelayan mempunyai kemauan yang mudah, murah, cepat dan tanpa membuang tenaga yang cukup banyak untuk memperoleh hasil dari laut. Salah satu contoh yang tidak bisa ditinggalkan adalah menangkap ikan dengan menggunakan alat bubu bambu. Disamping itu kebiasaan yang sulit dirubah dimana nelayan lebih suka menjadikan daerah pesisir pantai sebagai area budidaya rumput laut. Hal ini terjadi karena setelah masa paceklik, yang diakibatkan oleh perubahan pancaroba atau pertukaran bulan dimana keadaan laut tidak bersahabat dengan kegiatan nelayan sehari-hari, untuk mencari ikan. Tingkatan hidup nelayan berhasil atau tidak biasanya dilihat dari jumlah perahu jukung yang dimiliki olehnya. Penggolongan nelayan yang di sebut dengan buruh nelayan (nelayan biasa) sebanyak 70 %, sedangkan sisanya adalah nelayan sebagai juragan dilaut dan nelayan sebagai juragan didarat. (1) Nelayan dikatakan sebagai buruh (nelayan biasa) rata-rata mempunyai pendidikan setingkat Sekolah Dasar. Ketergantungan
yang terjadi
antara mereka dengan alam yang digarap, dan tidak berkeinginan untuk mencari mata pencaharian sampingan. (2) Nelayan juragan di laut merupakan nelayan pemilik dari jukung dan alat tangkap. Bermata pencaharian sampingan untuk mengisi masa paceklik, misalnya sebagai, pertanian, peternakan, ojekan, pengrajin, pedagang dll. (3) Nelayan juragan didarat merupakan nelayan yang sudah mempunyai penghidupan yang lebih baik dibandingkan dengan nelayan biasa dan nelayan juragan dilaut, biasanya disebut dengan pengusaha ikan.
24
4.1.2 Faktor Budaya Budaya dalam kehidupan orang Bali merupakan sesuatu yang sangat melekat pada diri mereka. Nelayan pada hari-hari tertentu tidak kelaut karena; (1) Upacara hari besar agama Hindu Nyepi. (2) Perkawinan dalam banjar adat. (3) Upacara Ngaben. (4) Upacara lain-lainnya yang berhubungan dengan adat/tradisi. Umat Hindu di Bali dan diseluruh Indonesia melakukan hari Nyepi 1 tahun sekali yang menjadi hari libur bagi mereka untuk mengadakan kegiatan ritual dan religius. Pada setiap 6 bulan sekali mengantarkan sesajen bagi penguasa laut, ini tujuannya untuk mendapatkan rejeki khususnya bagi para nelayan. Sedangkan untuk tiap-tiap hari diwajibkan membuat sesajen bagi para dewa. 4.1.3 Faktor Ekonomi Keadaan ekonomi nelayan identik dengan keadaan sosial budaya yang ada pada mereka, seperti telah dijelaskan diatas bahwa, selain nelayan 70 % mereka mempunyai kegiatan sampingan seperti pertanian, peternakan, dagang, 10 % lagi merupakan buru nelayan yang hidup selalu bergantung pada nelayan yang mempunyai penghasilan lebih baik dan dari budidaya rumput laut, 20 % lagi nelayan yang berekonomi sudah mulai mapan (memiliki perahu jukung lebih dari satu). Budidaya rumput laut adalah kegiatan dari dulu yang dilestarikan, karena tenaga dan ekonomi tidak terlalu banyak yang dikuras dan ini berlangsung secara berkesinambungan. Kehidupan nelayan keseluruhan pada prinsipnya untuk mencukupi kebutuhan akan makan dan minum. Jika produksi ikan melimpah, bisa dijual kepasar, dengan harga murah, namun kelebihan produksi menyebabkan penangkapan bukan target (by catch) tidak bisa untuk ditampung mengingat sarana dan prasarana yang terbatas. Otomatis akan terjadi transaksi ekonomi yang selalu merugikan nelayan kecil, karena harga yang terjadi dipasar akan menurun. Sebaliknya jika pada masa paceklik permintaan ikan dipasaran melimpah, sejalan dengan tingginya harga jual. Ini
25
merupakan dilema yang terjadi secara terus menerus dalam masyarakat nelayan. Hal-hal lain yang turut berpengaruh juga antara lain : -
Sulitnya pemasaran,
-
Tempat/wadah (cool box),
-
Penanganan hasil tangkapan dan prosesing yang belum dimiliki oleh nelayan sendiri.
Dengan kejadian yang seperti diatas tentunya terjadi fluktuasi dalam menghasilkan pendapatan bagi nelayan di Nusa Penida. Produksi ikan oleh nelayan masih seputar menangkap ikan pelagis kecil dan besar dan selalu mengabaikan produksi ikan demersal. Menurut Brandt (1984), ada dua jenis alat tangkap yang sangat produktif jika digunakan yaitu, alat tangkap purse saine dan trawl. Bagi alat tangkap purse saine dianggap tidak merusak lingkungan, namun perlu selektivitas dalam penggunaan mata jaring sedangkan trawl dianggap sangat merusak lingkungan, padahal penempatan dari fishing ground yang keliru. Untuk mengatasi gejala negatif yang timbul dimasyarakat nelayan mengenai penggunaan alat-alat ini, maka perlu ada jalan keluar untuk memodifikasi teknologi alat tangkap ikan pelagis maupun demersal yang efektif, efisien dan rama lingkungan. Salah satu alat yang sering dilupakan nelayan adalah alat tangkap ikan dengan bubu. Sejak bertahun-tahun alat bubu bagi nelayan tidak merupakan suatu barang yang asing lagi, namun bahan yang dibutuhkan menjadi masalah karena bambu atau rotan diambil dari alam, sebenarnya kejadian ini sudah merusak lingkungan. Bambu yang terbanyak merupakan bahan baku dipakai oleh nelayan untuk membuat bubu adalah tumbuhan yang baik sekali untuk menahan banjir karena akarnya merupakan akar serabut, dilain kebutuhan lagi rotan semakin lama semakin punah karena ulah manusia yang tidak bertanggung jawab lupa untuk kembali mengadakan reboisasi yang nyata mengganggu keseimbangan alam. Secara ekonomi sesuatu yang dihasilkan lewat kemajuan teknologi harus ada pengeluaran. Bubu yang dirancang dengan besi merupakan alat tangkap yang rama lingkungan efisien dan efektif. Peletakan bubu yang tepat dan disain yang baik, dengan melihat kepada selektivitasnya membuat bubu dari besi
26
tidak seharusnya diletakan pada daerah karang atau terumbu karang. Ikan yang ditangkap merupakan ikan dasar yang mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi seperti, ikan kerapu (Epinephalus spp), kakap (Lutjanus spp), belut, kepiting,
udang
dan
lobster.
Sebenarnya
sangat
mudah
dalam
pengoperasiannya dilaut dalam, tanpa melakukan penyelaman bagi kehidupan seorang nelayan. Jukung yang sudah ada dirancang khusus dengan menggunakan katrol dan dengan membutuhkan tali yang panjang dengan bertanda pelampung akan sangat memudahkan bagi nelayan digunakan dalam masa-masa paceklik. Produksi ikan bukan sekedar hanya dilakukan pada waktu musim banyak ikan dan musim yang tidak ada ikan. Argumentasi yang demikian sebenarnya sangat tidak benar, karena sumber daya ikan merupakan sumberdaya yang dapat diperbaharukan (renewable resources). Bagaimana teknologi yang ada sebenarnya lebih dipahami oleh nelayan yang rata-rata berpendidikan kurang, tergantung pelaksana lapangan yang secara arif dan bijaksana mengawal teknologi yang ada bukan unsur finansialnya yang lebih dipikirkan, sehingga mengotori cara berpikir dari nelayan-nelayan tersebut. Produksi laut bagi nelayan sudah seharus meningkat taraf hidupnya dengan bukan hanya sekedar makan saja, tetapi harus bisa sampai memasarkan produksinya dalam keadaan/musim bagaimanapun, jika nelayan tersebut mau maju sejajar dengan para pengusaha-pengusaha yang berdasi. Unsur finansial hendaknya dilakukan sebagai salah satu motor penggerak, bukan sebagai alat ketergantungan, yang lebih menjerumuskan nelayan itu kepada kemalasan semata, dengan asumsi bahwa ada uang ada kegiatan, tidak ada uang tidak ada kegiatan. Alat tangkap ekonomis dari suatu benda mencapai tingkat kepuasan bagi nelayan, jika alat tangkap ini bisa dilaksanakan secara kontinyu dan berkesinambungan, bukan merupakan sesuatu benda yang mencapai puncak kejenuhan pada suatu saat akan berhenti (kadaluarsa). 4.1.4 Faktor Lingkungan Alat tangkap hewan laut dengan menggunakan bubu dasar atau laut dalam merupakan jenis alat tangkap yang ramah lingkungan. Hewan laut
27
mempunyai sifat thigxmotaksis, dimana keinginan tahuan akan sesuatu benda yang dilihat, dan rancangan bubu dasar ini dimodifikasi oleh teknologi yang ada untuk menimbulkan daya tarik. Lingkungan yang ramah (environment frendly) adalah tujuan utama yang harus dipikirkan, demi keberlangsungan pelestarian alam, baik dilaut yang terutama didarat. Berbicara mengenai ramah lingkungan tidak terlepas dari hubungan erat dengan lingkungan dari daratan. Kehancuran lingkungan dilaut ada sekitar 80 % akibat dari laut terpolusi atau tercemar oleh buangan limbahlimbah industri dari darat, serta hasil endapan sisa-sisa pupuk organik dari sawah, sisa 20 % adalah buangan dari limbah kapal dan penghancuran oleh bom, potas, serta penggunaan bubu tradisional didaerah sekitar terumbu karang, dimana karang dijadikan sebagai alat pemberat, penyelaman yang tidak bertanggung jawab untuk mencari ikan hias dan fishing ground yang tidak sesuai oleh penggunaan alat trawl. 4.1.5
Faktor Wisata Bahari
Pulau Bali memiliki keistimewaan yang tanpa habis-habisnya sering dikunjungi dan merupakan salah satu daerah tujuan wisata di dunia. Sangat dilematis apabila pulau Bali yang dikelilingi oleh lautan dengan sejuta potensi laut yang ada disepelekan. Justru dengan dikelilingi oleh lautan mejadikan sektor perikanan diabaikan, tetapi harus dijadikan sebagai ujung tombak bagi kemajuan parawisata yang sudah ada. Selain pulau Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan, pulau nusa Penida yang terluas harus dipikirkan untuk menarik parawisata, karena sejauh ini pulau nusa Penida belum terjamah oleh para turis. Agrowisata perlu digalakan kepada penduduk setempat, yang dominan bermata pencaharian dilaut sebagai nelayan. Jika nelayan hanya tahu menangkap ikan untuk makan saja, maka pola pikir ini harus dirubah, dengan membuat panorama laut sebagai sesuatu daya tarik. Secara keseluruhan, mulai dari usaha penangkapan ikan dan budidaya, dengan ditunjang oleh teknologi yang ada, kira-kira apa saja yang perlu dilakukan untuk menarik para wisatawan.
28
Salah satu contoh yang konkrit adalah dengan menggunakan bubu dasar untuk menangkap jenis ikan ekonomis penting yang mahal dijual di dunia. Dimana ikan dalam bentuk hidup lebih mahal dijual dibandingkan dengan ikan yang sudah mati, dilihat dari kesegarannya. Jika ikan hidup ditangkap dari laut selanjutnya dikurung dalam karamba jaring apung (KJA), akan memancing turis untuk datang dan menikmati hasil tersebut. Dari sudut pandangan yang lain pada daerah pantai Nusa Penida dibuat areal budidaya, yang ramah lingkungan, dengan tempat penampungan menyerupai habitat tempat asalnya, dengan dihalangi oleh bebatuan, sehingga mempermudah hewan laut itu dapat ditampung dan hidup berhubungan langsung dengan air laut. Tentu saja sebagai bahan penunjang perlu ada restauran dan air minum (air tawar). 4.2
Efisiensi Dari Spesifikasi Teknis Bubu Bambu. Bubu tradisional biasanya terbuat dari batang bambu atau rotan yang
dipotong, selanjutnya dibagi lagi sekecil mungkin sesuai dengan keinginan. Pulau Nusa Penida pada umumnya bubu ini dibuat dari bambu, karena murah dan mudah didapat. Bubu bambu ini rata-rata berbentuk trapesium (Gambar 5), dengan menggunakan satu anakan yang merupakan mulut atau pintu masuknya ikan. Bagian bawah dari bubu itu terletak ruang untuk mengambil hasil tangkapan. Bubu trapesium dianyam dengan hasil potongan bambu dengan ukuran 1 – 1,5 cm, dengan anggapan bahwa semakin besar bubu, maka anyaman yang dibutuhkan besar pula dan rentan terhadap goncangan arus didasar laut. Pada bagian dalam atau luar dari bubu diletakan 4 buah pemberat, tergantung ukuran besar kecilnya bubu. Dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu ukuran besar), bisa ganda (umumnya untuk bubu ukuran kecil atau sedang). Untuk memudahkan mengetahui tempat-tempat dimana bubu dipasang, dilengkapi dengan pelampung melalui tali panjang yang dihubungkan dengan bubu tersebut (Subani dan Barus 1989). Bubu dioperasikan satu persatu, dengan pelampung tanda menghadap ke daratan, namun tali yang terpasang didaerah pantai Nusa Penida umumnya tidak kelihatan terkadang dipakai pengait untuk menariknya. Peletakan bubu yang berukuran kecil berada pada sekitar pesisir
29
pantai dengan kedalaman 5 – 10 m dan yang semakin besar akan semakin jauh dengan kedalaman mencapai 15 m dan tetap berada di sekitar daerah terumbu karang (fringing reef). Bubu tersebut diletakan dengan cara menyelam untuk mencari posisi yang tepat didasar laut, biasanya untuk tetap stabil, pada bagian atasnya ditempatkan beberapa buah karang yang berada disekitar bubu. Pembuatan bubu yang baru dioperasikan memerlukan waktu 1 bulan untuk ikan dapat masuk. Karena tanpa menggunakan umpan bubu tadi dibiarkan agar berlumut, sebagai daya tarik ikan. Jenis-jenis ikan yang tertangkap oleh bubu bambu seperti ikan tundo, kambing-kambing kuning, hijau, hitam, ekor kuning, kitan-kitan dan juga ikan hias.
Gambar 5. Bubu Bambu berbentuk Trapesium 4.3
Modifikasi Teknologi Bubu Besi Teknologi bubu besi ini sudah dilakukan oleh beberapa negara didunia
yang memiliki daerah laut. Menurut Martasuganda (2003), bahwa teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu banyak dilakukan hampir diseluruh dunia mulai dari skala kecil, menengah sampai dengan skala besar. Untuk skala kecil dan menengah umumnya bayak dilakukan oleh negaranegara yang memiliki perairan pantai yang masih belum maju sistem perikanannya, sedangkan untuk skala besar banyak dilakukan oleh negaranegara yang telah maju system perikanan. Perikanan bubu skala kecil umumnya ditujukan untuk menangkap kepiting, udang, keong dan ikan dasar
30
perairan yang tidak begitu dalam, sedangkan untuk perikanan bubu skala menengah dan besar biasanya dilakukan dilepas pantai yang ditujukan untuk menangkap ikan dasar, kepiting, udang pada kedalaman 20 – 700 m. Untuk mendesain bubu terkadang bentuknya terbuat dari plastic, besi dan baja. Salah satu contoh bubu yang didesain dari baja dibuat negara Australia (Gambar 6). Dari penelitian ini maka bubu yang dirancang, akan dijelaskan mengenai bentuk, konstruksi, fishing ground, metode pengoperasian, umpan dan jenis hasil tangkapannya.
Gambar 6. Rancangan Bubu Baja dari Australia (1) Bentuk Bentuk dari bubu sangat beragam, ada yang berbentuk segi empat, trapesium, silinder atau bulat setengah lingkaran lonjong, bulat, persegi panjang dan sebagainya. Bubu yang dirancang berbentuk silinder atau setengah lingkaran (Gambar 7). Bubu silinder ini disesuaikan dengan jenis ikan target yang akan ditangkap dilaut dalam. Bubu besi ini dilengkapai dengan 2 mulut sebagai pintu untuk masuknya ikan.
31
Gambar 7.
Rangka Bubu Besi yang dirancang berbentuk Silinder (setengah lingkaran) (2) Konstruksi
Secara umum konstruksi bubu terdiri dari rangka, badan dan pintu masuk untuk mengambil hasil tangkapan dan tempat untuk menggantungkan umpan. Rangka bubu ini terbuat dari besi è 8 dan è 6, dimana pada besi è 8 di potong selanjutnya dibentuk setengah lingkungan. Besi-besi yang dibentuk tadi, kemudian di las dengan las listrik, agar tidak mudah lepas bila lama berada di dalam laut. Besi è 6 tadi juga dipotong dan dibentuk menjadi anakan bubu (mulut/pintu) tempat masuknya ikan, selanjutnya disatukan dengan bentuk bubu utama dengan di las juga (Gambar 8). Rangka bubu yang sudah jadi kemudian diselubungi dengan jaring atau kawat baja berukuran ½ inci dan biarkan jangann semuanya diikat pada badan bubu, tetapi dibiarkan bebas, kegunaanya agar bila bubu berada didasar laut tidak rentan terhadap goyangan oleh arus didasar.
32
Gambar 8.
Salah satu bagian dari Anakan atau Mulut Bubu Besi yang telah disatukan (3) Daerah penangkapan (fishing ground)
Tidak seperti halnya menentukan daerah penangkapan (fishing ground) yang selalu terjadi untuk mencari ikan pelagis besar seperti, tuna dan ikan pelagis
kecil
seperti,
lemuru
pada
umumnya
yang
harus
selalu
memperhitungkan faktor oseanografis, kelimpahan plankton dan faktor lainya yang saling berhubungan. Penentuan daerah penangkapan untuk pengoperasian bubu boleh dikatakan sangat sedikit sekali dipengaruhi oleh faktor oseanografi, sehingga dalam menentukan daerah penangkapan tidak begitu rumit. Dalam penelitian ini terdapat 25 daerah penangkapan (Fishing ground) pada pesisir pantai, sekitar Totopake, Batununggul dan Suana (Gambar 9). Hal terpenting dalam menentukan daerah penangkapan adalah diketahuinya keberadaan ikan dengan meletakan bubu disepanjang daerah penangkapan misalnya keberadaan ikan dasar, kepiting, udang sebelum atau sesudah operasi penangkapan dilakukan. Selain fish fainder, data untuk diketahui adanya ikan bisa didapat dari dinas perikanan setempat. Lain hal lagi bubu yang diletakan dengan cara sembarangan dapat mancari tahu dimana ikan-ikan dasar bersarang dan apa saja jenisnya.
33
(4) Metode Pengoperasian Metode pengoperasian bubu besi ini tidak terlalu jauh persamaannya dengan bubu yang dioperasikan bubu bambu punya nelayan. Semua bubu diperkirakan berada pada banyaknya ikan yang dijadikan target tangkapan. Beberapa hal yang membedakan bubu besi dapat dilihat pada Table 1. Bubu besi ini dinaikan ke jukung sebanyak yang diinginkan sesuai dengan besarnya perahu motor atau jukung yang telah dilengkapi dengan katrol dan tali (Gambar 10).
Gambar 10. Bubu Besi yang telah siap Pengoperasian dilengkapi dengan Alat Katrol Bubu tidak terlalu merepotkan didalam pengoperasiannya, kapan setting dan hauling dalam keadaan apa saja bisa dioperasikan tergantung dari keinginan nelayan setempat. Lama perendaman bubu ini karena dipasang umpan, hanya berlaku 1 hari, disesuaikan dengan ukuran bubu tersebut. (5) Umpan Alat tangkap bubu adalah jenis alat tangkap yang pasif, sehingga dibutuhkan pemikat atau umpan, agar ikan yang akan dijadikan target tangkapan mau masuk kedalam bubu. Dalam pemberian umpan ini tidak dilakukan perlakuan umpan. Jenis umpan yang dipakai sangat beraneka ragam, ada yang memakai umpan ikan hidup, ikan rucah atau jenis umpan lainnya.
34
Untuk bubu besi ini umpan yang digunakan adalah ikan rucah yang disatukan bersama-sama kelapa yang dibakar, agar menimbulkan aroma bagi ikan target tangkapan. Umpan yang ada dibungkus dalam kain kelambu atau transparan, diletakan pada bagian sudut atau tengah dari bubu tersebut (Gambar 11).
Gambar 11. Bubu Besi yang dipasang Umpan f. Jenis ikan Karena bubu ini berada didasar laut atau laut dalam, maka tentunya jenis ikan target tangkapan pun adalah ikan-ikan dasar (Table 1). Semua hasil tangkapan berada dalam keadaan hidup dan diketahui jenisnya adalah ekonomis penting (Gambar 12). Hasil tangkapan dari bubu besi ini sebanyak 375 ekor bagi 25 kali trip dengan jumlah berat 90,5 kg.
35
Gambar 12.
Beberapa Jenis Ikan Ekonomis Penting yang tertangkap oleh Bubu Besi
4.4
Komparasi Rancang Bangun Bubu Besi dan Bubu Bambu Alat tangkap yang mempunyai tingkat paling aman bagi keselamatan
nelayan adalah bubu besi dibandingkan dengan bubu yang pada prinsipnya pengoperasiannya dilakukan dengan cara selam, disamping kurang rama lingkungan karena penempatannya pada daerah terumbu karang. Proses tertangkapnya ikan dengan bubu besi mempunyai beberapa kelebihan, selain pengoperasiannya yang mudah, ikan target tangkapan akan selalu terperangkap oleh umpan sebagai pemikat. Bagi bubu bambu ada beberapa kelemahan yang harus diperbaharui, untuk lebih jelas dalam membandingkan kedua bubu ini sebagai alat tangkap pasif, maka dapat dilihat dengan jelas pada Tabel 1.