4
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Permasalahan Implementasi Program Minapolitan Indentifikasi permasalahan implementasi program minapolitan perikanan
tangkap di Palabuhanratu dilakukan dengan pendekatan sistem. Menurut Eriyatno (2003), pendekatan sistem merupakan cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif. Pada kajian ini, tahapan pendekatan sistem yang digunakan adalah 1) analisis kebutuhan, 2) formulasi masalah, dan 3) identifikasi sistem. Data dan informasi diperoleh dari hasil survei lapangan, wawancara dan pengumpulan data sekunder dari instansi terkait. Wawancara melibatkan informan kunci yang mewakili pelaku sistem minapolitan, meliputi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten, Bappeda, pengelola PPN Palabuhanratu, industri perikanan (eksportir tuna dan layur), nelayan, dan pemilik kapal tuna dan layur. 4.1.1
Analisis kebutuhan Kebutuhan pokok pelaku sistem minapolitan (Tabel 3) dikelompokkan
berdasarkan pendekatan klaster industri, meliputi 1) industri inti tuna dan layur, 2) industri pemasok, 3) pembeli, 4) industri pendukung, dan 5) lembaga pendukung. Industri inti tuna dan layur terdiri dari nelayan dan pengusaha penangkapan. Industri pemasok meliputi industri kapal, perbengkelan dan perawatan kapal, industri/penjual alat tangkap, pengelola BBM, serta pengusaha perbekalan nelayan. Pembeli terdiri dari eksportir, pengolah ikan, dan kosumen lokal. Industri pendukung adalah pihak perbankan sedangkan lembaga pendukung meliputi pengelola TPI/PPI, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Pariwisata, Bappeda, koperasi nelayan, dan akademisi. Tabel 3 menggambarkan kebutuhan pelaku-pelaku sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu yang harus dapat dikelola secara sinergis sehingga diharapkan dapat mengurangi konflik kepentingan akibat tuntutan kebutuhan pokok dari pelaku-pelaku tersebut.
50 Tabel 3
Kebutuhan pelaku-pelaku sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu
Pelaku sistem minapolitan
Kebutuhan Pokok
1. Industri inti tuna dan layur 1) Nelayan
2) Pengusaha penangkapan
-
Keberlanjutan sumberdaya ikan Harga ikan stabil dan layak Peningkatan hasil tangkapan Kemudahan dalam pemasaran hasil tangkapan Keberlanjutan kerja Peningkatan kesejahteraan keluarga Keberlanjutan sumberdaya ikan Kemudahan memperoleh sarana dan prasarana usaha Peningkatan hasil tangkapan Peningkatan keuntungan usaha penangkapan Jaminan pelaksanaan usaha penangkapan Keberlanjutan usaha
2. Industri pemasok: 1) Industri kapal
- Kemudahan memperoleh bahan baku pembuatan kapal - Peningkatan omset penjualan kapal - Keuntungan usaha - Jaminan usaha
2) Perbengkelan dan perawatan kapal
- Kelengkapan sarana dan prasarana docking - Kemudahan usaha - Keuntungan usaha
3) Industri/penjual alat tangkap
- Kemudahan memperoleh input produksi alat tangkap - Peningkatan produksi - Keuntungan usaha
4) Pengelola BBM
- Kontinuitas pasok (stok) BBM bagi nelayan - Peningkatan kapasitas pelayanan
5) Pengusaha perbekalan nelayan
- Kemudahan memperoleh bahan baku perbekalan nelayan - Peningkatan pelayanan - Keuntungan usaha
3. Pembeli: 1) Eksportir
-
Mutu ikan yang sesuai dengan standar ekspor Jaminan kontinuitas produksi ikan Kemudahan memperoleh bahan baku Jaminan keamanan usaha Kebijakan yang mendukung iklim usaha yang kondusif - Kemudahan aksisibilitas - Keuntungan usaha maksimal
51
Tabel 3 Lanjutan Pelaku sistem minapolitan
Kebutuhan Pokok
2) Pengolah ikan
-
Keuntungan maksimal Mutu ikan yang baik Jaminan kontinuitas produksi ikan Kemudahan mendapatkan bahan baku Kemudahan memperoleh input pengolahan Kemudahan pasar Keberlanjutan usaha
3) Konsumen lokal
-
Harga ikan stabil dan layak Jaminan keamanan produk Mutu ikan yang baik Jaminan kontinuitas produksi ikan
4. Industri pendukung (perbankan)
- Jaminan kelayakan usaha yang akan diberi modal - Pengembalian kredit yang lancar - Peningkatan nasabah
5. Lembaga pendukung 1) Pengelola TPI/PPI
- Terlaksananya pelelangan ikan yang baik dan berdaya saing tinggi - Peningkatan jumlah unit penangkapan ikan yang melakukan pelelangan ikan - Fasilitas PPI yang layak dan terus meningkat - Peningkatan aktivitas pendaratan ikan - Pemberian pelayanan nyaman, baik dan berdaya saing
2) Dinas Kelautan dan Perikanan
-
3) Dinas Pekerjaan Umum
- Pembangunan dan perbaikan sarana dan prasarana umum yang sesuai - Peningkatan kualitas dan kuantitas bangunan fisik pelayanan publik
4) Dinas Pariwisata
-
Peningkatan jumlah wisata bahari Peningkatan daya saing obyek wisata bahari Peningkatan devisa Pemberdayaan masyarakat
5) Bappeda
-
Peningkatan lapangan kerja Peningkatan pendapatan daerah (PAD) Peningkatan perekonomian daerah Pengembangan wilayah pesisir terpadu
6) Koperasi nelayan
- Peningkatan peranan KUD dalam kesejahteraan nelayan - Peningkatan kesadaran masyarakat nelayan tentang koperasi nelayan
7) Akademisi
- Penelitian dan pengembangan wilayah pesisir di Palabuhanratu - Aktualisasi pengabdian masyarakat
Produksi ikan dapat memenuhi kebutuhan pasar Perlindungan kelestarian sumberdaya lkan Penegakan hukum Pemberdayaan nelayan Peningkatan devisa
52 4.1.2 Formulasi masalah Formulasi masalah merupakan suatu kegiatan untuk memilih permasalahan yang dianggap paling penting untuk segera diselesaikan dari sekian banyak permasalahan sehingga sistem minapolitan perikanan tangkap dapat berjalan dengan baik. Atas dasar tersebut formulasi masalah dilakukan dengan cara menentukan akar masalah. Penentuan akar masalah dilakukan dengan pendekatan pohon masalah yang dibagi menjadi 3 bidang masalah yaitu 1) ekonomi, 2) sumberdaya alam dan lingkungan, serta 3) sosial kelembagaan. Pada bidang ekonomi, permasalahan yang paling mendasar adalah kemiskinan nelayan. Berdasarkan diagram pohon masalah (Gambar 11) dapat diketahui bahwa akar permasalahan kemiskinan nelayan adalah 1) jumlah unit penangkapan ikan semakin meningkat, 2) kualitas SDM nelayan relatif rendah, 3) penggunaan teknologi relatif sederhana, 4) praktek monopoli harga, dan 5) keterbatasan modal.
Kemiskinan Nelayan
Pendapatan rendah
Produktivitas rendah
Harga rendah
Praktek Monopoli
Persaingan usaha Produksi menurun Jumlah UPI banyak monopoli
Keterangan: : akar permasalahan : penyebab masalah
Sistem bagi hasil tidak seimbang
Produksi menurun
Mutu ikan rendah
Ikatan patront client kuat
Teknologi sederhana
Kesadaran penanganan ikan rendah
Keterbatasan modal
Kualitas SDM rendah
Gambar 11 Akar permasalah kemiskinan nelayan di Palabuhanratu dengan pendekatan diagram pohon masalah.
53 Pada bidang sumber daya alam dan lingkungan, permasalahan mendasar adalah penurunan stok sumber daya ikan (SDI). Gambar 12 menunjukkan bahwa akar permasalahan terjadinya penurunan stok sumber daya ikan adalah 1) penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan, 2) perubahan iklim, cuaca dan musim, dan 3) tingginya upaya penangkapan, 4) sedimentasi dan pencemaran pantai. Penurunan stok sumber daya ikan
Degradasi ekosistem perikanan pantai
Tingginya upaya penangkapan perikanan pantai
Alat tangkap tidak ramah lingkungan banyak monopoli
Perubahan iklim, cuaca dan musim ekosistem perikanan pantai
Sedimentasi dan pencemaran pantai
Keterangan: : akar permasalahan : penyebab masalah
Gambar 12 Akar permasalahan penurunan stok sumberdaya ikan di Palabuhanratu dengan pendekatan diagram pohon masalah.
Konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut
Perebutan fishing ground
Tumpang tindih kewenangan pengelolaan pesisir dan laut
Koordinasi antar kelembagaan belum optimal
Kinerja kelembagaan belum optimal
Keterangan: : akar permasalahan : penyebab masalah
Gambar 13 Akar permasalahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut di Palabuhanratu dengan pendekatan diagram pohon masalah.
54 Permasalahan mendasar dalam bidang sosial kelembagaan adalah konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan diagram pohon masalah (Gambar 13) dapat diketahui bahwa akar permasalahan konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut tersebut adalah 1) perebutan daerah penangkapan ikan, 2) koordinasi antar kelembagaan belum optimal, dan 3) kinerja kelembagaan yang ada belum optimal.
4.1.3 Identifikasi sistem Hasil identifikasi sistem berupa gambaran terhadap sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu dalam bentuk diagram yaitu diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) dan diagram input-output. Pada diagram causal loop (Gambar 14) terlihat keterkaitan dalam sistem minapolitan, yaitu kelembagaan dan kebijakan pemerintah memberi kontribusi positif terhadap regulasi pengelolaan SDI. Regulasi pengelolaan SDI tersebut seharusnya dapat melindungi kelestarian sumberdaya ikan, khususnya komoditas unggulan minapolitan (tuna dan layur). Namun regulasi berdampak negatif terhadap teknologi penangkapan ikan maupun unit penangkapan. Dengan regulasi, penggunaan jenis teknologi penangkapan dan jumlah total penangkapan dapat dibatasi agar tidak mengancam ketersediaan SDI (over fishing dan over capacity). Teknologi penangkapan ikan yang tidak terkontrol dan tidak ramah lingkungan juga akan memberikan dampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan. Kelembagaan dan kebijakan pemerintah daerah maupun pusat juga berdampak positif terhadap industrialisasi perikanan yang menjadi kegiatan inti dalam pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Dengan terciptanya industrialisasi perikanan di kawasan PPN Palabuhanratu ini berdampak positif terhadap hasil tangkapan nelayan. Akan tetapi, secara tidak langsung industrialisasi perikanan dapat berdampak negatif terhadap ketersediaan sumberdaya ikan jika tidak diimbangi dengan regulasi pengelolaan perikanan yang tepat. Idealnya, regulasi tersebut tidak semata-mata untuk meningkatkan daya saing industri yang berbasis pada komoditas unggulan tetapi juga untuk menjaga kelestarian SDI.
55 Pelayanan pelabuhan perikanan yang baik akan berpengaruh positif terhadap pengembangan industrialisasi perikanan. Pemerintah daerah bersama pemerintah pusat melalui kebijakan dan perangkat kelembagaannya berperan menyediakan saran dan prasarana pelabuhan perikanan. Sarana dan prasarana tersebut diharapkan dapat memberikan pelayanan kepada armada penangkapan ikan dan industri pengolahan ikan secara optimal. Fasilitas sarana aksesibilitas (transportasi dan telekomunikasi) yang disediakan pemerintah juga akan menjadi daya tarik investor untuk berpartisipasi dalam pengembangan industrialisasi perikanan di kawasan PPN Palabuhanratu. Sarana transportasi dan telekomunikasi (teknologi informasi) yang baik akan berdampak pada efisiensi biaya transaksi yang dikeluarkan oleh setiap anggota rantai pasok. Selain itu, proses integrasi antar wilayah maupun integrasi antar pelaku dalam rantai pasok juga lebih optimal.
Kelembagaan dan kebijakan Pemerintah
+ Infrastuktur transportasi dan telekomunikasi /TPI
+
+
-
Ketersediaan SDI
+
+ + -
Teknologi Penangkapan Ikan
+
+
+ + Pelayanan pelabuhan perikanan
+ +
Industrialisasi Perikanan
-
+
Kualitas SDM
+
+ +
+
+
Hasil Tangkapan
+ +
+ Mutu
+
Stabilitas Harga Ikan
Regulasi Pengelolaan SDI
-
Jumlah Unit Penangkapan Ikan
+
+ +
Perluasan Kredit
Penyerapan Tenaga Kerja
+
+ +
+
Pendapatan & Kesejahteraan Nelayan
+
+
+
Sistem bagi hasil usaha
+ +
+
PAD
+
Juragan
+ +
Industri Pengolahan Ikan
Kredit Bank
Gambar 14 Diagram sebab akibat (causal loop) sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
56 Interaksi antara unit penangkapan dengan sumberdaya ikan diperoleh hasil tangkapan.
Hasil tangkapan ini akan dijual melalui mekanisme pasar yang
idealnya dikelola oleh TPI dengan sistem pelelangan. Namun pemerintah setempat menerapkan kebijakan khusus terhadap komoditas ikan ekspor (tuna dan layur), yaitu proses penjualan komoditas ikan ekspor tidak dilakukan melalui mekanisme pelelangan. Mekanisme pasar pada komoditas ikan ekspor ditentukan oleh interaksi (pola kerja sama kemitraan) antara perusahaan eksportir, pemilik kapal (pedagang pengumpul) dan nelayan. Pola kerjasama antara nelayan ABK dan pemilik kapal (juragan) dilakukan dengan sistem bagi hasil usaha. Sistem bagi usaha yang adil akan berdampak positif pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Selain itu, hasil tangkapan dipengaruhi oleh kualitas SDM nelayan. Jika kualitas SDM nelayan dalam kondisi optimal akan berdampak posisif terhadap hasil tangkapan dan mutu yang dihasilkan. Produktivitas dan mutu hasil tangkapan tersebut akan berdampak positif terhadap stabilitas harga ikan. Resultan dari stabilitas harga ikan, produktivitas hasil tangkapan dan sistem bagi hasil usaha berdampak positif terhadap pendapatan dan kesejahteraan nelayan. Jika pendapatan dan kesejahteraan nelayan terpenuhi akan berdampak positif terhadap penyerapan kredit perbankan bahkan sangat mungkin terjadinya perluasan kredit. Peluang perluasan kredit tersebut berdampak positif terhadap perluasan skala usaha penangkapan ikan maupun usaha sampingan lainnya dalam bentuk pengembangan usaha alternatif. Selain itu, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan nelayan juga dapat menjadi salah satu daya dorong untuk meningkatkan kualitas SDM nelayan. Retribusi yang dihasilkan dari pajak menjualan produk dari industri pengolahan ikan (eksportir) akan berdampak positif terhadap PAD. Pada dasarnya PAD ini akan digunakan sebagai dana pembangunan di bidang perikanan khususnya untuk pengembangan infrastruktur transportasi dan telekomunikasi serta fasilitas pelabuhan perikanan. Keberadaan industri pengolahan ikan dan jumlah unit penangkapan ikan akan meningkatkan penyerapan tenaga kerja di kawasan minapolitan. Ketika terjadi penyerapan tenaga kerja yang signifikan, maka diharapkan dapat meningkatkan perekonomian dan pembangunan kawasan minapolitan di Palabuhanratu.
57
Lingkungan -
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41/2009 Keputusan Menteri Kelautan No.32/2010 Keputusan Bupati Sukabumi No.523/Kep.565-Dislutkan/2010 Keputusan Bupati Sukabumi No.523.05/Kep.565-Dislutkan/2010
INPUT TIDAK TERKENDALI -
OUTPUT DIKEHENDAKI - Peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produk kelautan dan perikanan - Peningkatan pendapatan nelayan - Integrasi pasar, rantai pasok dan kelembagaan minapolitan - Pengembangan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah kawasan Minapolitan
Stok sumberdaya ikan (kg) Musim penangkapan (bulan) Fluktuasi harga ikan (Rp/kg) Kondisi perairan Daerah penangkapan ikan Nelayan dari daerah lain Banyaknya supply ikan dari daerah lain melalui transportasi darat ke PPN Palabuhanratu
SISTEM MINAPOLITAN PERIKANAN TANGKAP DI PALABUHANRATU INPUT TERKENDALI
OUTPUT TIDAK DIKEHENDAKI
- Teknologi penangkapan ikan (ukuran kapal dan alat tangkap) - Jumlah kapal (unit) - Investasi (Rp) - Teknologi penanganan hasil tangkapan - Sumberdaya manusia (keahlian, ketrampilan, dan kinerja) - Sarana, prasarana dan infrastruktur - Kebijakan dan kelembagaan
- Kemiskinan nelayan - Kelangkaan sumberdaya ikan - Konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut - Praktek monopoli dan bisnis tidak sehat di kawasan minapolitan - Tumpang tindih kewenangan dalam pengembangan minapolitan - Nelayan kecil semakin terpinggirkan - Pola kerja sama kemitraan yang kurang adil
MANAJEMEN PENGENDALIAN
Gambar 15 Diagram input-output sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Berdasarkan diagram lingkar sebab akibat kemudian direpresentasikan dalam bentuk diagram input output sebagaimana Gambar 15. Diagram input output (Gambar 15) menggambarkan hubungan antara input, proses dan output. Masukan (input) meliputi input terkendali, input tak terkendali, input lingkungan dan beberapa keluaran (output) meliputi output yang dikehendaki dan tak dikehendaki. Output yang tidak dikehendaki dapat diatasi dengan mekanisme
58 kontrol yang dibutuhkan dalam sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Input terkendali memiliki peranan sangat penting dalam sistem minapolitan perikanan tangkap terutama kegiatan operasi penangkapan ikan tuna maupun layur yang menjadi komoditas unggulan daerah. Input terkendali meliputi teknologi penangkapan ikan, jumlah kapal, investasi, teknologi penanganan hasil tangkapan, sumberdaya manusia (ketrampilan, keahlian dan kinerja), sarana, prasarana dan infrastruktur serta kebijakan dan kelembagaan. Semua input (masukan) dalam sistem ditujukan untuk membangun sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu yang diharapkan dapat menghasilkan output yang dikehendaki yaitu 1) peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produk kelautan dan perikanan, 2) peningkatan pendapatan nelayan, 3) integrasi pasar, rantai pasok dan kelembagaan minapolitan, 4) pengembangan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil ini (output yang dikehendaki) dapat dicapai dengan memanipulasi input terkendali, tak terkendali, dan input lingkungan. Input tak terkendali meliputi stok sumberdaya ikan, musim penangkapan, daerah penangkapan ikan, fluktuasi harga ikan, kondisi perairan, nelayan dari daerah lain dan banyaknya pengiriman ikan dari daerah lain melalui jalur transportasi darat ke PPN Palabuhanratu. Sistem minapolitan perikanan tangkap tidak memiliki kemampuan untuk mengontrol input ini, tetapi input ini diperlukan agar sistem dapat berfungsi. Input lingkungan yang mempengaruhi sistem adalah beberapa regulasi yang terdapat dalam sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Mengacu pada Masterplan Kawasan Penunjang Minapolitan Palabuhanratu (Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi 2011c), regulasi yang menjadi dasar hukum dalam sistem minapolitan di Pababuhanratu sebagai berikut: 1)
Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
2)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan
3)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
4)
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
59 5)
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
6)
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 32 tentang Pemerintah Daerah
7)
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
8)
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintah antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
9)
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
10) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2008 tentang Pengembangan Kawasan Strategis Cepat Tumbuh di Daerah 11) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 41 Tahun 2008 tentang Penetapan Lokasi Pengembangan Kawasan Minapolitan 12) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.31/MEN/2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan Kota 13) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No.KEP.18/MEN/2011 tentang Pedoman Umum Minapolitan 14) Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 39 Tahun 2011 tentang Penetapan Lokasi Minapolitan 15) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 2 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Propinsi Jawa Barat 2008-2013 16) Peraturan Daerah Kabupataen Sukabumi Nomor 13 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Kabupaten Sukabumi Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Sukabumi Tahun 2009 Nomor 13) Selanjutnya Nasrudin (2010) menambahkan beberapa regulasi terkait lainnya,
yaitu
1)
Keputusan
Bupati
Sukabumi
Nomor
523/Kep.565-
Dislutkan/2010 tentang Penetapan Kawasan Minapolitan Berbasis Perikanan Tangkap di Kabupaten Sukabumi, dan 2) Keputusan Bupati Sukabumi Nomor
60 523.05/kep566-Dislutkan/2010
tentang
Tim
Pengelola
Pengembangan
Minapolitan Berbasis Perikanan Tangkap di Kabupaten Sukabumi. Output yang tak dikehendaki meliputi 1) kemiskinan nelayan, 2) penurunan stok sumber daya ikan, 3) konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut, 4) praktek monopoli dan bisnis tidak sehat di kawasan minapolitan, 5) nelayan kecil semakin terpinggirkan, dan 6) pola kerja sama kemitraan yang kurang adil. Melalui sistem kontrol manajemen minapolitan, output yang tak dikehendaki akan dikontrol dan diharapkan dapat memberikan informasi penting dalam pengelolaan selanjutnya. Output ini dapat dikendalikan dengan berbagai cara seperti 1) pengaturan jumlah upaya penangkapan yang beroperasi, 2) pengaturan waktu dan daerah penangkapan ikan disesuaikan dengan musim penangkapan, 3) pengaturan alat tangkap, 4) pembinaan usaha nelayan (penangkapan dan pengolahan) untuk meningkatkan nilai tambah, 5) penanganan hasil tangkapan, 6) pola kerja sama kemitraan yang adil, 7) koordinasi dan konsolidasi lintas pelaku, serta 8) keberpihakan kebijakan anggaran yang berorientasi pada kepentingan masyarakat nelayan di kawasan minapolitan.
Manajemen
Kebutuhan
Integrasi rantai pasok komoditas tuna dan layur pemanfaatan sumberdaya ikan Ketersediaan Komoditas Unggulan Daya saing industri terkait dalam kondisi optimal
Manajemen
Kebijakan dan Kinerja Kelembagaan Minapolitan
Mendukung
Integrasi pasar ikan antara zona inti dan zona penunjang
Integrasi kelembagaan kemitraan
Keterkaitan antar wilayah dan antar komoditas
Kemitraan bisnis minapolitan yang optimal
Hasil yang diharapkan -
Peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produk perikanan Peningkatan pendapatan nelayan Integrasi pasar, rantai pasok dan kelembagaan minapolitan Pengembangan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah
Gambar 16 Struktur sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
Mendukung
Kebutuhan
Mendukung
Industrialisasi Perikanan di kawasan zona inti
Sistem Minapolitan Perikanan Tangkap Purse Seine
Kebutuhan
Manajemen
61 Berdasarkan hasil identifikasi sistem sebagaimana telah dijelaskan pada Gambar 15, selanjutnya diformulasikan dalam bentuk struktur sistem minapolitan perikanan tangkap (Gambar 16). Gambar 16 menunjukkan bahwa sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu mencakup dua subsistem pokok, yaitu 1) industrialisasi perikanan di zona inti (PPN Palabuhanratu) dan 2) kebijakan dan kinerja kelembagaan minapolitan. Industrialisasi perikanan di PPN Palabuhanratu merupakan salah satu rencana aksi yang menjadi unggulan di kawasan minapolitan. Program tersebut seharusnya menjadi langkah awal dalam menumbuhkembangkan klaster industri perikanan tangkap di kawasan zona inti. Klaster industri perikanan tersebut akan berkembang dengan baik ketika terjadi integrasi rantai pasok (supply chain) dari komoditas ikan yang menjadi unggulan di kawasan minapolitan. Oleh karena itu, manajemen rantai pasok (tuna dan layur) merupakan kebutuhan mendasar dalam subsistem industrialisasi perikanan. Manajemen rantai pasok yang optimal dapat menjadi daya dorong bagi peningkatan daya saing industri terkait. Subsistem kebijakan dan kelembagaan minapolitan juga menjadi elemen kunci dalam sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu.
Dalam
rangka menciptakan kebijakan dan kinerja kelembagaan minapolitan yang optimal membutuhkan integrasi kelembagaan minapolitan yang merupakan elemen kunci efektifnya sistem minapolitan tersebut. Kelembagaan minapolitan harus mampu menciptakan struktur kelembagaan dengan peran dan fungsi yang jelas sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan di antara kelembagaan yang ada. Koordinasi yang baik di antara kelembagaan yang berperan dalam sistem minapolitan merupakan kunci sukses terbentuknya integrasi kelembagaan kemitraan minapolitan. Selanjutnya diharapkan dapat terbentuk kemitraan bisnis minapolitan yang optimal dan berkelanjutan. Kebijakan dan kinerja kelembagaan minapolitan juga diharapkan dapat mendukung terjadinya proses integrasi pasar yang dapat mencerminkan adanya keterkaitan antar wilayah dan antar komoditas antara zona inti (PPN Palabuhanratu) dan zona pendukung (daerah sekitarnya). Integrasi pasar dalam kondisi optimal ketika kebijakan pemerintah berorientasi pada optimalisasi dan peningkatan intrastruktur transportasi, fasilitas pelabuhan perikanan, sistem informasi harga dan pasar yang transparan. Integrasi
62 antara zona inti dan zona pendukung tersebut akan memperkuat terbentuknya industrialisasi perikanan di zona inti yang merupakan pusat pertumbuhan ekomomi bagi daerah-daerah sekitarnya. Subsistem industrialisasi perikanan dan subsistem kebijakan dan kelembagaan yang berjalan dengan baik tercermin oleh adanya kemitraan bisnis minapolitan yang optimal, keterkaitan antar wilayah dan komiditas, serta daya saing industri terkait dalam kondisi optimal. Resultan dari kedua subsistem tersebut diharapkan dapat mengoptimalkan tercapainya tujuan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu seperti 1) peningkatan produksi, produktivitas dan kualitas produk perikanan, 2) peningkatan pendapatan nelayan, 3) integrasi pasar, rantai pasok dan kelembagaan minapolitan, dan 4) pengembangan kawasan minapolitan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi daerah.
4.2
Analisis Model Integrasi Pasar, Rantai Pasok dan Kelembagaan Mengacu pada struktur sistem minapolitan perikanan tangkap sebagaimana
Gambar 16, analisis model integrasi dalam pengembangan minapolitan dibatasi pada 3 aspek yaitu 1) model integrasi pasar ikan komoditas unggulan, 2) model integrasi supply chain komoditas unggulan, dan 3) model integrasi kelembagaan minapolitan. 4.2.1 Analisis model integrasi pasar ikan tuna dan layur Data time series yang digunakan untuk menganalisis integrasi pasar tuna adalah harga ikan tuna yang dicatat di PPN Palabuhanratu dan harga ikan tuna yang dicatat di Tokyo Central Wholesale Market (TCWM). Data time series yang diolah untuk menganalisis integrasi pasar layur adalah harga ikan layur dicatat di PPN Palabuhanratu, CFR Cina, dan 5 PPI/TPI lain di kawasan Teluk Palabuhanratu (Cibangban, Cisolok, Ciwaru, Minajaya, dan Ujung Genteng). Perbedaan harga ikan di pasar acuan (PPN Palabuhanratu, TCWM dan CFR Cina) menjadi salah satu faktor pemicu terjadinya integrasi pasar selain adanya fasilitas sarana dan prasarana pasar, serta jaringan transportasi dan komunikasi yang baik.
63 1. Fluktuasi harga ikan tuna dan layur Gambar 17 menunjukkan bahwa harga bigeye tuna segar di Tokyo Central Wholesale Market sangat berfluktuatif. Dalam 4 tahun terakhir, harga bigeye tuna segar
per bulan pada tahun 2011 relatif lebih tinggi dibandingkan tahun
sebelumnya dan pada tahun 2010 harganya relatif paling rendah. Fluktuasi harga bigeye tuna segar di PPN Palabuhanratu juga relatif stabil pada 3 tahun terakhir. Kondisi berbeda terjadi pada tahun 2008, dimana harga bigeye tuna segar relatif rendah pada bulan Januari sampai April (harga sekitar Rp 10 ribu/kg). Kemudian menjelang akhir tahun, harga bigeye tuna segar meningkat hingga mencapai sekitar Rp 24 ribu/kg. Peningkatan harga bigeye tuna segar terjadi pada tahun 2009-2011, dimana harga rata-rata per tahun secara berturut-turut mencapai Rp 24 ribu/kg, Rp 27 ribu/kg dan Rp 28 ribu/kg. Fenomena rendahnya harga bigeye tuna segar pada bulan Januari-April 2008 jika dikaitkan dengan harga rata-rata bigeye tuna segar 3 tahun sebelumnya ternyata relatif sama. Kisaran harga rata-rata bigeye tuna segar mulai tahun 2005 hingga 2007 secara berturut-turut adalah Rp 8 ribu/kg, Rp 10 ribu/kg, dan Rp 10 ribu/kg. Artinya, pada akhir tahun 2008 merupakan titik balik kenaikan harga bigeye tuna segar hingga mencapai dua kali lipat dari harga tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan harga yang sangat signifikan ini merupakan salah satu indikator mulai berkembangnya usaha perikanan tuna di Palabuhanratu baik yang terkait dengan usaha penangkapan maupun pengolahan (pengepakan hasil tangkapan tuna). Tabel 4 Jumlah alat tangkap pancing tonda dan longline yang beroperasi di PPN Pabuhanratu tahun 2005-2011
64
115,000
Harga rata-rata bigeye tuna (Rp/kg)
105,000 95,000 85,000 75,000 65,000 55,000 45,000 35,000 25,000 15,000 5,000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan PPNP 2008
PPNP 2009
PPNP 2010
PPNP 2011
TCWM 2008
TCWM 2009
TCWM 2010
TCWM 2011
Sumber: diolah dari National Marine Fisheries Service ( 2011) dan PPN Palabuhanratu (2011)
Gambar 17 Fluktuasi harga bigeye tuna (fresh) per bulan di Tokyo Center Wholesale Market dan PPN Palabuhanratu pada tahun 2008-2011. Indikasi berkembangnya perikanan tuna di Palabuhanratu dapat dilihat dari indikator jumlah alat tangkap yang beroperasi di PPN Palabuhanratu. Produksi tuna di Palabuhanratu didominasi oleh jenis alat tangkap pancing tonda dan longline. Pada Tabel 4 menunjukkan bahwa jumlah pancing tonda yang beroperasi di PPN Palabuhanratu tahun 2005-2008 jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah pancing tonda pada periode tahun 2009-2011. Jumlah alat tangkap longline yang beroperasi pada tahun 2007-2008 relatif sedikit jika dibandingkan dengan jumlah alat tangkap longline pada periode tahun 2009-2011. Mulai berkembangnya perikanan tuna di Palabuhanratu, kemungkinan besar merupakan dampak dari pembangunan PPN Palabuhanratu tahap II yang telah dilakukan pada tahun 2002-2005. Dalam Buku Profil Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu (Lamatta 2011) dijelaskan bahwa pembangunan pelabuhan perikanan tangkap tahap kedua diprioritaskan untuk menunjang aktivitas kapal berukuran 30-150 GT. Artinya, kapal-kapal longline ukuran 30-150 GT dapat
65 mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Palabuhanratu setelah tahun 2005. Dampak lainnya adalah mulai berkembangnya usaha penanganan hasil tangkapan tuna yang dilakukan oleh beberapa perusahaan (agen tuna). Agen tuna ini berfungsi sebagai pihak yang bertanggung jawab untuk mendistribusikan produk tuna dari PPN Palabuhanratu ke perusahaan tuna di Jakarta melalui jalur transportasi darat.
50,000 45,000
Harga ikan layur (Rp/Kg)
40,000 35,000 30,000 25,000 20,000 15,000 10,000 5,000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan CFR Cina 2011
PPN Palabuhanratu 2010
PPN Palabuhanratu 2011
CFR Cina 2010
Sumber: diolah dari Infofish Trade News dan Statistis PPN Palabuhanratu
Gambar 18 Fluktuasi harga ikan layur di pasar CFR Cina dan PPN Palabuhanratu tahun 2010-2011. Gambar 18 juga menunjukkan adanya fluktuasi harga ikan di CFR Cina yang sangat tajam. Puncak harga tertinggi selama 2 tahun terakhir terjadi pada bulan Agustus-September dan bulan April. Pada bulan September 2011 harga ikan layur di CFR mencapai 5,41 US$/kg atau sekitar Rp 49.186,00 (asumsi 1 US$ = Rp 9.100,00). Harga terendah terjadi sekitar bulan Juni-Juli dan Oktober. Harga ikan layur bulanan di CFR Cina selama tahun 2011 lebih tinggi jika dibandingkan harga ikan layur tahun 2010 pada bulan yang sama. Kondisi ini mengindikasikan
66 bahwa permintaan pasar layur di CFR Cina semakin meningkat dan menjadi salah satu pasar acuan bagi eksportir layur selain Korea dan Jepang. Gambar 18 juga menunjukkan kondisi pasar ikan layur di PPN Palabuhanratu dimana harga layur dalam 1 tahun terakhir cenderung konstan pada bulan Januari sampai bulan Juli. Harga layur di PPN Palabuhanratu tahun 2011 relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan harga tahun 2010. Harga rata-rata ikan layur pada bulan Oktober 2011 terjadi penurunan yang sangat tajam dan selisih harganya mencapai sekitar Rp 5.000,00/kg. Penurunan harga rata-rata layur tersebut kemungkinan disebabkan oleh faktor kualitas mutu ikan layur dari unit penangkapan payang dimana harganya hanya mencapai sekitar Rp 8.000,00/kg. Fakta ini menunjukkan bahwa mutu ikan layur untuk komoditas ekspor dipengaruhi oleh unit penangkapan yang digunakan nelayan (cara ikan tertangkap) disamping penanganan hasil tangkapan. Berdasarkan penggunaan alat tangkapnya, mutu ikan layur terbaik dihasilkan dari unit penangkapan pancing ulur. Rendahnya harga/mutu ikan layur dari unit penangkapan payang kemungkinan besar akibat banyaknya layur dalam kondisi pecah perut. Pada kondisi ikan layur pecah perut, harga di tingkat eksportir di PPN Palabuhanratu turun mencapai sekitar 50% dari harga normal. Oleh karena itu, pihak pengumpul (tawe) merespon kondisi tersebut dengan melakukan penawaran harga ikan layur dari nelayan payang sangat rendah. Namun jika dilihat dari harga layur di CFR Cina pada bulan Oktober juga menurun tajam, maka kemungkinan besar pihak eksportir layur di Palabuhanratu merespon penurunan harga layur di CFR Cina dengan menurunkan harga beli layur dari tawe. Sebagai konsekunsinya, pihak tawe juga menurunkan harga layur di tingkat nelayan (harga yang dicatat di PPN Palabuhanratu adalah harga layur di tingkat nelayan). Gambar 19 menunjukkan bahwa pada tahun 2011, harga layur di Kawasan Teluk Palabuhanratu tertinggi terjadi di PPN Palabuhanratu dengan rata-rata harga selama 1 tahun sekitar Rp 17.000,00/kg dan terendah terjadi di TPI Ujung Genteng yaitu sekitar Rp 6.000,00/kg. Harga rata-rata layur di 4 TPI/PPI lainnya di Kawasan Teluk Palabuhanratu berada di kisaran Rp 8.000,00/kg sampai Rp 11.000,00/kg. Harga di TPI Ciwaru berfluktuasi pada bulan Januari sampai Juni dan bulan selanjutnya relatif konstan. Secara keseluruhan harga di masing-masing
67 TPI di Kawasan Teluk Palabuhanratu dapat dikatakan cenderung konstan. Kondisi ini terjadi karena harga yang dicatat di masing-masing TPI (termasuk di PPN Palabuhanratu) adalah harga ikan layur di tingkat nelayan (sistem transaksi nelayan dengan pengumpul/pemilik kapal). Berdasarkan hasil wawancara, kenaikan harga di tingkat nelayan terjadi ketika harga di tingkat eksportir naik tajam atau terjadi kesepakatan kenaikan harga antar tawe di suatu lokasi.
Harga ikan layur (Rp/Kg)
19000 18000 17000 16000 15000 14000 13000 12000 11000 10000 9000 8000 7000 6000 5000 4000 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan PPN Palabuhanratu
TPI Ciwaru
TPI Cisolok
TPI Minajaya
TPI Cibangban
TPI Ujung Genteng
Gambar 19 Fluktuasi harga ikan layur di kawasan minapolitan perikanan tangkap Palabuhanratu tahun 2011. Seluruh ikan layur berkualitas ekspor dibeli oleh pengumpul lokal (tawe) kemudian dijual kembali ke perusahaan eksportir yang berdomisili di PPN Palabuhanratu. Ikan layur yang tidak termasuk kualitas ekspor dibeli pedagang kecil untuk konsumsi pasar lokal. Atas dasar alasan jarak tempuh masing-masing lokasi TPI/PPI ke lokasi perusahaan eksportir, para tawe membeli layur di masing-masing lokasi berbeda-beda. Selisih harga layur di PPN Palabuhanratu dengan TPI/PPI lainnya dimanfaatkan oleh tawe untuk biaya penanganan hasil tangkapan, biaya transportasi dan keuntungan usaha. Informasi harga beli layur
68 dari pihak perusahaan eksportir umumnya dikuasai oleh para tawe dan informasi tersebut tidak diteruskan ke nelayan. Sistem kontrak informal atau bagi hasil usaha yang diterapkan pemilik kapal (sekaligus sebagai pembeli) juga membuat nelayan tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dalam penentuan harga layur. Pemilik kapal (tawe) memiliki posisi tawar yang sangat dominan dalam penentuan harga dan di setiap TPI harga layur ditetapkan berdasarkan kesepakatan informal para tawe setempat. 2. Model integrasi pasar ikan tuna dan layur Model integrasi pasar ikan tuna dan layur yang merupakan model regresi linier berganda telah memenuhi kaidah-kaidah persyaratan uji analisis seperti uji normalitas, multikolinieritas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas (Lampiran 2-8). Tabel 5 menunjukkan hasil formulasi dan validasi model integrasi pasar bigeye tuna segar dan layur pada berbagai jenis pasar. Hasil validasi model menunjukkan bahwa model integrasi pasar layur antara PPN Palabuhanratu dan CFR Cina tidak signifikan (Fhitung < Ftabel), sama halnya dengan model integrasi pasar layur antara TPI Ciwaru dan PPN Palabuhanratu. Artinya, model integrasi pasar pada daerahdaerah tersebut tidak semata-mata dipengaruhi oleh faktor harga tetapi lebih dominan dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak masuk dalam model seperti aturan main di antara anggota rantai pasok, musim, kebijakan pemerintah, infrastruktur pasar dan kondisi pasar global. Ketujuh model yang dihasilkan adalah: 1) Model integrasi pasar bigeye tuna segar antara PPN Palabuhanratu dan TCWM dengan rumus sebagai berikut: Pit = 4248,679 + 0,891(Pit-1) - 2,955(Pjt - Pjt-1) - 1,333(Pjt-1) 2) Model integrasi pasar ikan layur antara PPN Palabuhanratu dan CFR Cina dengan rumus sebagai berikut: Pit = 9913,106 + 0,347(Pit-1) + 433,665(Pjt - Pjt-1) + 277,993(Pjt-1) 3) Model integrasi pasar layur antara TPI Ciwaru dan PPN Palabuhanratu dengan rumus sebagai berikut: Pit = 7872,287 + 0,003(Pit-1) + 0,07(Pjt - Pjt-1) + 0,147(Pjt-1)
69 4) Model integrasi pasar ikan layur antara TPI Cibangban dan PPN Palabuhanratu dengan rumus sebagai berikut: Pit = 6299,502+ 0,769 (Pit-1) - 0,025 (Pjt-Pjt-1) - 0,249 (Pjt-1) 5) Model integrasi pasar layur antara TPI Cisolok dan PPN Palabuhanratu dengan rumus sebagai berikut: Pit = 2029,607 + 0,000(Pit-1) + 0,496(Pjt-Pjt-1) - 0,456(Pjt-1) 6) Model integrasi pasar layur antara TPI Minajaya dan PPN Palabuhanratu dengan rumus sebagai berikut: Pit = 3091,992 + 0,000(Pit-1) + 0,003(Pjt-Pjt-1) + 0,396(Pjt-1) 7) Model integrasi pasar layur antara TPI Ujung Genteng dan PPN Palabuhanratu dengan rumus sebagai berikut: Pit = 6145,577 + 1,014 (Pit-1) + 0,0392 (Pjt-Pjt-1) + 0,356 (Pjt-1) Berdasarkan model-model tersebut dapat diketahui integrasi pasar ikan dalam jangka pendek dengan melihat nilai koefisien variabel (Pjt-Pjt-1) atau nilai b2. Integrasi pasar ikan jangka panjang dilihat dari nilai IMC. Tabel 5 menunjukkan bahwa pasar layur di TPI Ujung Genteng hanya terintegrasi dalam jangka pendek dengan PPN Palabuhanratu (nilai b2 = 0,392 mendekati 1 dan nilai IMC = 2,848 >1). Pasar layur di TPI Ciwaru, Cibangban, Cisolok dan Minajaya terintegrasi dalan jangka panjang maupun jangka pendek dengan PPN Palabuhanratu, terlihat dari nilai IMC lebih kecil dari 1 dan nilai b2 mendekati 1. Pasar yang terintegrasi dalam jangka panjang adalah 1) pasar bigeye tuna segar antara PPN Palabuhanratu dan TCWM, dan 2) pasar layur antara PPN Palabuhanratu dan CFR Cina. Terjadinya proses integrasi jangka panjang antara pasar bigeye tuna segar di PPN Palabuhanratu dan TCWM akibat informasi harga ikan bigeye tuna segar di TCWM tertransmisikan dengan baik ke agen tuna di PPN Palabuhanratu. Selain itu, sarana transportasi dan komunikasi dari PPN Palabuhanratu ke Jakarta juga cukup baik sehingga memudahkan proses distribusi ikan ke negara tujuan yang dilakukan melalui Jakarta. Berdasarkan fakta di lapangan, harga bigeye tuna segar di PPN Palabuhanratu ditentukan oleh agen (pengumpul). Agen sangat
70 dimungkinkan melakukan aksi pengurangan harga beli bigeye tuna segar dari nelayan di Palabuhanratu guna mengambil keuntungan semaksimal mungkin pada saat harga di Tokyo naik. Informasi pasar ekspor tuna juga dikuasai penuh oleh pihak eksportir/agen sehingga pemilik kapal/nelayan tidak memiliki posisi tawar yang seimbang dengan pihak eksportir dalam hal penentuan harga. Selain itu, pihak agen di Palabuhanratu juga sering melakukan transaksi penjualan dengan nelayan di atas kapal melalui kapal carrier. Pihak agen Palabuhanratu umumnya melakukan sistem penjualan tuna dengan ”sistem titip” yaitu menjual ikan tuna dengan dengan harga yang berlaku di TCWM. Sitorus (2004) menjelaskan bahwa konsep perdagangan dengan ”sistem titip” ini dijalankan dengan menandatangani kesepakatan dimana pembeli diberikan kekuasaan oleh produsen (pemilik kapal) untuk menjualkan ikan tuna sesuai dengan harga tuna yang berlaku di TCWM. Harga yang diterima oleh produsen adalah harga jual di TCWM dikurangi dengan biaya pengiriman dan pajak pendapatan. Terintegrasinya harga bigeye tuna segar di PPN Palabuhanratu dengan harga di TCWM mencerminkan bahwa pergerakan harga domestik sangat dipengaruhi oleh dinamika harga di pasar Tokyo. Kondisi ini dapat memberikan petunjuk bagi pihak-pihak terkait bahwa pengembangan komoditas ekspor tuna segar seharusnya mempertimbangkan efisiensi dan daya saing di pasar Tokyo pada khususnya maupun pasar dunia pada umumnya. Menurut Clenia (2009) daya saing produk perikanan Indonesia di pasar labil disebabkan oleh pasar yang tidak efisien. Pasar dikatakan efisien apabila kegiatan pemasaran memberikan suatu balas jasa yang seimbang kepada semua pihak yang terlibat yaitu produsen, pedagang perantara, dan pengecer serta mampu menyampaikan komoditi hasil ke konsumen dengan biaya rendah. Kurangnya informasi pasar merupakan salah satu hambatan dalam bidang pemasaran hasil perikanan. Agar pasar menjadi lebih efisien Laping (1997) menyarankan pihak pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur secara kontinyu dan mengembangkan sistem informasi pasar. Transportasi merupakan faktor penting yang mempengaruhi integrasi pasar. Dengan demikian, strategi yang seharusnya dilakukan pemerintah adalah mengembangkan sarana transportasi dan fasilitas pasar. Selain itu, pemerintah juga harus memiliki perhatian yang lebih terhadap pengembangan sistem
71 informasi harga dan transparansi pasar. Transparansi pasar tersebut dapat membantu pedagang untuk memiliki pengetahuan tentang kualitas, kuantitas dan informasi harga komoditas secara lengkap setiap saat. Dalam jangka pendek, sistem pemasaran bigeye tuna segar dari PPN Palabuhanratu ke TCWM tidak terintegrasi. Hasil ini berbeda dengan hasil penelitian Sitorus (2004) yang menganalisis integrasi pasar tuna segar antara Benoa dan TCWM. Dijelaskan pula bahwa integrasi pasar jangka pendek disebabkan oleh adanya perubahan margin di TCWM dan informasi perubahan margin yang ada disalurkan dengan baik ke Benoa oleh perwakilan pembeli yang memasarkan ikan tuna segar ke Tokyo. Jika fluktuasi marginnya kecil sedangkan biaya transaksi tetap, maka pedagang tidak tertarik untuk mengadakan transaksi yang lebih besar antara pasar lokal dengan pasar Tokyo. Kondisi ini menyebabkan harga di pasar lokal cenderung konstan dan harga di pasar Tokyo cenderung turun. Laping (1997) menyatakan bahwa respon harga dengan segera (integrasi jangka pendek derajat tinggi) hanya dapat terjadi jika infrastruktur trasportasi, fasilitas pasar desa yang paling mendasar, sistem informasi harga dan pasar yang transparan sudah terbangun dengan baik. Selama faktor-faktor ini belum terbangun dan tersedia maka respon harga dengan segera tersebut sukar untuk dapat terwujud. Berdasarkan pendapat Laping (1997) dan fakta di lapangan, tidak terintegrasinya pasar bigeye tuna antara PPN Palabuhanratu dan TCWM disebabkan oleh sistem informasi harga dan pasar bigeye yang tertutup serta penentuan harga cenderung bersifat monopoli. Praktek bisnis monopoli tersebut ada kemungkinan akibat mekanisme pasar tuna (komoditas ekspor) di PPN Palabuhanratu tidak dilakukan melalui proses pelelangan sehingga harga tuna yang diterima oleh nelayan di PPN Palabuhanratu tidak dalam kondisi optimal. Secara teoritis, harga sangat dipengaruhi oleh kondisi permintaan dan penawaran atas produk yang diperdagangkan. Kondisi permintaan tuna Indonesia di Jepang dapat mengacu pada penelitian Suharno dan Santoso (2008) yang mengkaji model permintaan yellowfin segar Indonesia di pasar Jepang. Pada penelitian tersebut diperoleh nilai elastisitas permintaan yellowfin segar terhadap harga adalah negatif sebesar 1,283 dan bersifat elastis. Artinya, peningkatan harga yellowfin segar sebesar 1 persen akan membuat permintaan impor yellowfin segar
72 Indonesia oleh Jepang menurun sebesar 1,283 persen, begitu juga sebaliknya. Dengan kondisi seperti ini, maka yellowfin segar Indonesia merupakan produk normal yang sensitif terhadap harga. Namun demikian nilai elastisitas yang lebih besar dari 1 ini dapat menguntungkan Indonesia. Jika Indonesia menurunkan harga sebesar 1 persen, maka permintaan yellowfin segar Indonesia akan meningkat sebesar 1,283 persen. Solusinya adalah Indonesia harus mampu berproduksi yellowin yang bermutu tinggi dengan biaya minimum sehingga harga yellowin segar Indonesia dapat kompetitif dengan harga yellowfin dari negaranegara pesaing. Namun solusi tersebut bukan berarti bahwa seluruh pengusaha tuna Indonesia berlomba-lomba meningkatkan upaya penangkapan tuna tanpa memperhatikan aspek kelestarian sumber daya tuna di masa mendatang. Harga tuna Indonesia yang kompetitif dan menguntungkan secara bisnis di pasar Jepang dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya proses integrasi pasar antara pasar tuna di Indonesia dan pasar tuna di Jepang. Tabel 5 Hasil analisis integrasi pasar bigeye tuna segar dan layur Integrasi pasar
Jenis ikan
PPN Palabuhanratu vs TCWM PPN Palabuhanratu vs CFR Cina TPI Ciwaru vs PPN Palabuhanratu TPI Cibangban vs PPN Palabuhanratu TPI Cisolok vs PPN Palabuhanratu TPI Minajaya vs PPN Palabuhanratu TPI Ujung Genteng vs PPN Palabuhanratu
Bigeye segar Layur Layur Layur Layur Layur Layur
Integrasi pasar
Jenis ikan
PPN Palabuhanratu vs TCWM PPN Palabuhanratu vs CFR Cina TPI Ciwaru vs PPN Palabuhanratu TPI Cibangban vs PPN Palabuhanratu TPI Cisolok vs PPN Palabuhanratu TPI Minajaya vs PPN Palabuhanratu TPI Ujung Genteng vs PPN Palabuhanratu
Bigeye segar Layur Layur Layur Layur Layur Layur
Keterangan
:
*
menunjukkan signifikan pada
Konstanta 4248,679tn 9913,106* 7872,287tn 6299,502* 2029,607* 3091,992* 6145,577*
= 5%,
Parameter model b1 b2 0,891* -2,955tn 0,347tn 433,665tn tn 0,003 0,070tn * 0,769 -0,025tn 0,000 0,496* 0,000 0,003tn 1,014* -0,392*
Validasi model R2 F 0,857 85,564* 0,256 2,175tn 0,017 0,039tn 0,863 14,645* 0,998 2190,200* 0,999 1800,985* 0,999 2838,671* tn
b3 -1,333tn 277,993tn 0,147tn -0,249tn -0,456* 0,396* -0,356* IMC
nilai 0,668 0,001 0,021 0,249 0,000 0,000 2,848
Klasifikasi terintegrasi terintegrasi terintegrasi terintegrasi terintegrasi terintegrasi tidak terintegrasi
menunjukkan tidak signifikan
Tabel 5 menunjukkan bahwa antara harga layur di di PPN Palabuhanratu dan harga layur di CFR Cina terjadi intergasi pasar dalam jangka panjang (nilai IMC= 0,0012 < 1) dan tidak terjadi integrasi pasar jangka pendek (nilai b2 jauh lebih besar dari 1). IMC hampir mendekati nilai 0 terjadi karena nilai b1
73 mendekati 0 dan nilai b3 jauh lebih besar dari 1. Rendahnya nilai b1 tersebut menunjukkan bahwa harga layur di PPN Palabuhanratu pada waktu sekarang memiliki kecenderungan tidak dipengaruhi harga layur pada waktu sebelumnya. Dengan kata lain, harga layur di PPN Palabuhanratu pada waktu sekarang cenderung lebih dipengaruhi oleh lag harga layur di CFR Cina. Fenomena nilai IMC mendekati nol (Clenia 2009; Musmedi 2011; Anjardiani et al. 2011) mengindikasikan bahwa kedua pasar secara relatif lebih terintegrasi dalam jangka panjang. Berdasarkan tingkat integrasinya, jika nilai IMC mendekati nol maka kedua pasar memiliki tingkat integrasi pasar lebih tinggi (Mohamed dan Arsyad 1996; Oladapo dan Momoh 2007). Zain (2007) menyebutnya dengan istilah tingkat integrasi semakin tinggi dalam jangka panjang sedangkan Kalsum (2009) memberikan istilah pasar terintegrasi sempurna. Pada pasar tingkat lokal, harga ikan layur di PPN Palabuhanratu sebagai pasar acuan bagi TPI-TPI yang ada disekitarnya. Tabel 5 menunjukkan bahwa sebagian besar TPI-TPI di sekitarnya (kecuali TPI Ujung Genteng) terintegrasi dalam jangka panjang maupun jangka pendek dengan PPN Palabuhanratu. Pasar ikan layur di TPI Ujung Genteng hanya terintegrasi dalam jangka pendek dengan PPN Palabuhanratu. Fenomena ini diduga ada kaitannya dengan kesepakatan informal antar pedagang pengumpul di tiap-tiap TPI yaitu kenaikan harga layur di tingkat nelayan harus disepakati oleh pedagang pengumpul setempat. Selain itu, informasi harga jual pedagang pengumpul ke pihak perusahaan eksportir tidak secara transparan diinformasikan kepada nelayan. Meskipun lambat laun informasi harga beli perusahaan eksportir sampai kepada nelayan, namun adanya ikatan patront-clinet yang kuat antara nelayan dan pemilik kapal (pedagang pengumpul) menyebabkan nelayan hanya menerima harga yang telah ditetapkan oleh pedagang pengumpul. Jarak antara TPI Ujung Genteng dan PPN Palabuhanratu yang cukup jauh dan jalur transportasi darat kurang mendukung dijadikan faktor resiko bisnis bagi pedangang pengumpul sehingga ketika harga ikan di PPN Palabuhanratu naik tidak segera direspon pedagang pengumpul dengan menaikkan harga beli ikan layur dari nelayan. Menurut Laping (1997) integrasi pasar jangka pendek menunjukkan bahwa perubahan harga di satu pasar di beberapa periode akan segera mempengaruhi
74 perubahan harga di pasar lain pada periode berikutnya. Kondisi ini juga mencerminkan kepekaan penyebaran harga produk antara pasar. Integrasi jangka pendek derajat tinggi hanya dapat terjadi jika infrastruktur transportasi, fasilitas pasar desa yang paling mendasar, sistem informasi harga dan pasar yang transparan sudah terbangun dengan baik. Kasimin (2009) menegaskan, selama faktor-faktor ini belum terbangun dan tersedia maka sulit mewujudkan perubahan harga di pasar acuan dapat segera direspon oleh pasar lokal. Secara umum kondisi infrastruktur transportasi dari masing-masing TPI menuju PPN Palabuhanratu cukup baik meskipun belum dalam kondisi optimal. Kondisi infrastruktur transportasi tersebut masih dapat menjadi daya tarik bagi pedangan pengumpul (tawe) di daerah lain untuk menjual layur ke PPN Palabuhanratu. Faktor lain yang menjadi daya tarik adalah harga jual layur di PPN Palabuhanratu lebih tinggi dan masih menguntungkan secara bisnis. Lubis dan Sumiati (2011) menjelaskan bahwa banyaknya ikan yang masuk melalui jalur darat ke PPN Palabuhanratu terkait akses yang relatif mudah sehingga biaya yang dikeluarkan untuk mendatangkan ikan relatif kecil selain mutu ikan rata-rata masih segar karena waktu distribusinya relatif tidak terlalu lama. Selain intrastruktur transportasi, jaringan telekomunikasi di kawasan teluk Palabuhanratu juga cukup baik sehingga informasi harga layur dari para eksportir di PPN Palabuhanratu dapat diakses oleh para tawe. Proses pelelangan ikan yang sebagian besar tidak berjalan di masing-masing TPI tidak menjadi fakor penting pembentukan harga layur karena adanya kebijakan khusus bahwa setiap ikan komoditas ekspor (tuna dan layur) tidak melalui proses lelang di TPI. Harga layur di setiap TPI ditentukan oleh kesepakatan antar tawe setempat, artinya sistem transaksi jual beli layur cenderung
bersifat
monopoli.
Kecenderungan
praktek
monopoli
pada
perdagangan layur di Kawasan Teluk Palabuhanratu perlu diantisipasi oleh pemerintah setempat. Pada dasarnya, kondisi ini dapat diantisipasi ketika peran penting PPN Palabuhanratu dapat dijalankan secara optimal. Lamatta (2011) menjelaskan bahwa, dalam kaitannya dengan fungsi pelabuhan sebagai pusat pasar ikan (klaster perikanan) maka PPN Palabuhanratu harus mampu menyediakan TPI yang cukup luas dan lembaga keuangan sebagai penyedia uang
75 tunai dan transfer. Selain itu, dalam mempercepat transaksi pemasaran ikan, PPN Palabuhanratu seharusnya dapat menciptakan sistem pemasaran yang efektif. Lubis (2012) juga menjelaskan bahwa pelabuhan perikanan berfungsi sebagai tempat untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan, baik bagi nelayan maupun pedagang. Dengan demikian sistem pemasaran dari TPI ke konsumen harus diorganisir dengan baik dan teratur. Pelelangan ikan adalah kegiatan awal dari sistem pemasaran ikan di pelabuhan perikanan untuk mendapatkan harga yang layak, khususnya bagi nelayan. Dalam kaitannya dengan integrasi pasar, peran dan fungsi pelabuhan merupakan faktor penting yang mempengaruhi derajat integrasi pasar layur di Kawasan Teluk Palabuhanratu. Selain itu, optimalisasi fungsi pelelangan ikan dapat menjadi salah satu solusi mengantisipasi praktek monopoli harga layur. Kebijakan proses transaksi ikan ekspor (tuna dan layur) tidak melalui proses pelelangan perlu dikaji ulang tingkat efektif dan efisiensinya. Apakah kebijakan tersebut benar-benar mendukung mekanisme pasar yang adil (fair trade) dan menguntungkan nelayan maupun pedagang. Ketika pilihan kebijakan tersebut tetap dipertahankan maka harus ada suatu mekanisme tertentu untuk mengevaluasi tingkat kelayakan harga layur di tingkat nelayan dan pedagang pengumpul. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut, pemerintah dapat menentukan harga layur minimal di tingkat nelayan dan pedagang pengumpul yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak. Berdasarkan Tabel 5 juga dapat dilihat perbandingan tingkat integrasi pasar ikan pada berbagai pasar yang dikaji. Dalam jangka pendek, pasar ekspor bigeye tuna di TCWM lebih terintegrasi dibandingkan dengan pasar ekspor layur di CFR Cina. Mengacu pendapat Laping (1997), faktor penyebabnya adalah perbedaan sistem informasi harga dan transparansi pasar. Sistem informasi harga dan transparansi harga ikan layur di negara tujuan ekspor (Korea dan Cina) masih tertutup bagi kalangan publik. Akses informasi pasar layur di Cina dan Korea tidak tersedia di layanan internet. Infofish trade news adalah salah satu buletin yang menyediakan informasi harga ikan ekspor (termasuk layur) di berbagai negara. Buletin tersebut bisa diperoleh dengan biaya yang tinggi. Meskipun KKP telah menerbitkan buletin wartapasarikan dimana informasi harga pasar ekspor
76 bersumber dari Infofish Trade News tetapi harga ekspor layur tidak secara konsisten dicantumkan dalam setiap penerbitannya. Jika dilihat dari aspek SDM, pedagang layur tidak memahami teknologi informasi sehingga kalaupun tersedia akses sistem informasi pasar, mereka tidak bisa memanfaatkan informasi tersebut dengan baik. Harga jual layur dari pedagang pengumpul ke perusahaan eksportir cenderung bersifat monopoli seperti halnya terjadi pada harga jual layur dari nelayan ke pedangan pengumpul. Fakta ini sangat berbeda dengan pasar tuna di Jepang dimana informasi harga pasar relatif terbuka dan dapat diakses oleh publik. Tingkat monopoli harga dari perusahaan eksportir tuna tidak sekuat di perusahaan eksportir layur, terlihat adanya perusahaan/agen yang bersedia memberikan jasa ekspor kepada pemilik kapal tuna. Perusahaan tersebut bertindak sebagai mitra ekspor dimana seluruh pembiayaan ekspor tuna ditanggung pemilik kapal dan perusahaan menerima jasa dari hasil penjualan tuna di negara tujuan. Besaran jasa (fee) perusahaan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Dalam integrasi pasar jangka panjang, Tabel 5 menunjukkan bahwa pasar layur di TPI Minajaya dan TPI Cisolok secara relatif lebih terintegrasi dalam jangka panjang dengan PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan TPI yang lain karena nilai IMC nol. Nilai IMC nol akibat dari nilai b1 pada kedua model tersebut bernilai nol. Semakin tinggi derajat integrasi pasar menunjukkan bahwa kondisi di pasar acuan merupakan faktor utama yang mempengaruhi terbentuknya harga di pasar lokal. Perubahan harga di pasar acuan ditransformasikan ke pasar lokal dan mempengaruhi pembentukan harga di pasar lokal tersebut. Integrasi pasar jangka panjang merefleksikan kondisi terintegrasinya suatu pasar dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga jika ada sedikit guncangan harga di pasar acuan akan segera berpengaruh terhadap kondisi harga di pasar lokal. Pada kasus pasar layur di kawasan Teluk Palabuhanratu (tingkat pasar lokal), jarak yang relatif dekat dan kondisi jalan yang cukup baik antara PPN Palabuhanratu (pasar acuan) dan TPI-TPI lainnya mengakibatkan informasi pasar di PPN Palabuhanratu dapat langsung diakses oleh pembeli (tawe) yang berdomisili di masing-masing TPI. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Kasimin (2009) bahwa integrasi harga (pasar) yang relatif tinggi dapat terjadi karena sarana transportasi yang sudah baik di tingkat kabupaten dan provinsi, kemudahan dan
77 kelancaran komunikasi di antara mereka, dan akses yang lebih baik terhadap pasar alternatif sebagai pembanding harga. Pasar yang efisien akan memiliki integrasi harga yang baik. Jaminan aliran informasi yang baik antar pasar yang terpisah akan memudahkan terjadinya integrasi antar pasar tersebut. Adanya integrasi pasar juga menunjukkan transmisi harga yang baik antara pelaku. Kondisi ini dapat terjadi karena kedekatan hubungan dan pola komunikasi yang baik antar pelaku. Komunikasi yang baik antar pelaku menunjukkan adanya kerja sama dan kepuasan di antara mereka dan sebaliknya (Oladapo dan Momoh 2007). Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa antara nelayan, pemilik kapal (pengumpul), dan eksportir di Palabuhanratu telah terjadi kerja sama yang cukup baik. Kerja sama antara nelayan dan pemilik kapal telah menjadi ikatan patront-client yang sudah mengakar di masyarakat, hal yang sama juga terjadi antara pemilik kapal dengan pihak eksportir. Hubungan dan komunikasi antara pemilik kapal dan eksportir telah diwujudkan dalam bentuk kemitraan seperti perjanjian pinjaman modal, mitra beli, dan mitra ekspor. Meskipun demikian, perlu dikaji tentang tingkat kepuasan antar pihak yang bermitra. Idealnya, kerja sama yang terbangun harus berdasarkan pada prinsip win-win partnership. Artinya, tingkat kepuasan dirasakan mulai dari tingkat nelayan, pedagang pengumpul (pemilik kapal) dan perusahaan eksportir. Pada ikan komoditas ekspor, nilai IMC layur (0,001) lebih mendekati nilai nol dibanding nilai IMC bigeye tuna segar (0,668). Artinya, integrasi pasar layur antara PPN Palabuhanratu dan CFR Cina secara relatif lebih terintegrasi dalam jangka panjang jika dibandingkan dengan integrasi antara pasar bigeye tuna segar di PPN Palabuhanratu dan Tokyo Central Wholesale Market. Kondisi ini terjadi karena lag harga layur di CFR Cina sangat dominan mempengaruhi mempengaruhi pembentukan harga layur di PPN Palabuhanratu (koefisien b3 jauh lebih tinggi dari b1). Oladapo dan Momoh (2007) menjelaskan bahwa tingginya tingkat integrasi pasar sangat terkait dengan tingginya permintaan. Menurut Kasimin (2009) peningkatan integrasi harga dapat dilakukan melalui: 1) perbaikan sistem pembayaran yang lebih menyenangkan bagi kedua belah pihak, 2) transparansi pembentukan harga jual, 3) perbaikan manajemen pemasaran dan 4) perbaikan fungsi pasar. Jika dilihat dari aspek sistem pembayaran, sistem
78 pembayaran komoditas ekspor layur di PPN Palabuhanratu lebih menguntungkan pihak pedagang pengumpul jika dibandingkan dengan sistem pembayaran tuna. Proses transaksi pembayaran antara pemilik kapal tonda dan perusahaan eksportir di PPN Palabuhanratu membutuhkan waktu sekitar 3 hari setelah bongkar muat hasil tangkapan. Sebaliknya, proses transaksi pembayaran antara pemilik kapal layur dan perusahaan eksportir layur hanya membutuhkan waktu maksimal 1 hari (dibayar tunai setelah proses administrasi selesai). Namun pada model integrasi pasar layur antara PPN Palabuhanratu dan CFR Cina memiliki nilai koefisien determinan relatif kecil (0,256), artinya masih ada 74,6% faktor lain yang tidak masuk dalam model yang kemungkinan dapat mempengaruhi nilai IMC. Faktor variasi harga pada pasar ekspor layur bukan merupakan faktor utama yang membentuk proses integrasi pasar. Faktor di luar variasi harga di kedua pasar tersebut lebih dominan dalam proses pembentukan integrasi pasar seperti, musim, sistem transaksi, transparansi harga, efisiensi pasar dan manajemen pemasaran. Faktor-faktor yang mempengarui pasar-pasar dapat terintegrasi atau tidak dijelaskan Anindita (2004) sebagai berikut: 1) infrastruktur pasar, meliputi: transportasi, komunikasi, kredit dan fasilitas penyimpanan yang ada di pasar; 2) kebijakan pemerintah yang mempengaruhi sistem pemasaran, misalnya pengetatan perdagangan, regulasi-regulasi kredit dan regulasi-regulasi transportasi; 3) ketidakseimbangan produksi antar daerah sehingga terdapat pasar surplus (hanya mengekspor ke pasar lain) dan pasar defisit (hanya mengimpor dari pasar lain); 4) supply shock seperti banjir, kekeringan, penyakit akan mempengaruhi kelangkaan produksi yang terlokalisasi sedangkan hal-hal tak terduga lain seperti aksi mogok akan mempersulit transfer komoditi. Menurut Heytens (1986) diacu Adiyoga et al. (2006), keberadaan integrasi pasar merupakan salah satu indikator penting efisiensi sistem pemasaran. Pengukuran integrasi pasar dapat memberikan informasi penting menyangkut cara kerja pasar yang dapat berguna untuk 1) memperbaiki kebijakan liberalisasi pasar, 2) memantau pergerakan harga, 3) melakukan peramalan harga dan 4)
79 memperbaiki kebijakan investasi infrastruktur pemasaran. Pentingnya analisis terhadap integrasi pasar juga dijelaskan Prayoga (2012) seperti 1) pengetahuan tentang integrasi pasar akan mempermudah pengawasan terhadap perubahan harga, 2) digunakan untuk memperbaiki rencana kebijakan pemerintah sehingga tidak ada duplikasi intervensi, 3) digunakan untuk memprediksi harga-harga di semua negara (tidak hanya pasar lokal tetapi juga pasar dunia) dan 4) digunakan sebagai dasar untuk merumuskan jenis infrastruktur pemasaran yang lebih relevan untuk pengembangan pasar ikan. 4.2.2 Analisis model integrasi supply chain tuna dan layur Komoditas tuna dan layur merupakan komoditas unggulan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Tuna dan layur sebagai komoditas ekspor yang memiliki pangsa pasar yang sangat baik, tentunya harus didukung dengan daya
saing
yang
baik
pada
penerapan
manajemen
rantai
pasoknya.
Kecenderungan aktivitas perdagangan yang kurang terpadu, kerja sama yang belum sinergis antar pelaku usaha di kawasan minapolitan dan rantai pasok yang tidak efisien merupakan permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan minapolitan. Analisis model integrasi supply chain ini dibatasi hanya untuk mendeskripsikan struktur rantai pasok, sasaran rantai pasok, manajemen rantai pasok, sumberdaya rantai pasok dan proses bisnis rantai pasok. 1. Strukur rantai pasok Struktur rantai pasok komoditas tuna dan layur di Palabuhanratu salah satunya dipengaruhi oleh faktor kualitas produk yang dihasilkan (diperdagangkan) oleh anggota rantai pasok. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah aturan main yang dibangun di antara berbagai pihak yang terlibat dalam sistem minapolitan maupun pihak yang terlibat dalam sistem rantai pasok komoditas tuna dan layur. 1) Struktur rantai pasok layur Gambar 20 menunjukkan bahwa aliran komoditas layur di Palabuhanratu terbagi ke dalam dua submodel rantai pasok yaitu submodel rantai pasok layur untuk kebutuhan pasar lokal dan submodel rantai pasok layur untuk kebutuhan pasar luar negeri. Kedua submodel tersebut terjadi akibat perbedaan kualitas layur
80 yang dihasilkan nelayan. Anggota primer (pelaku utama) dalam rantai pasok layur adalah nelayan, pedagang pengumpul, dan perusahaan eksportir sedangkan anggota sekunder (penunjang operasional nelayan) adalah industri kapal, perbengkelan kapal, alat tangkap, BBM, pabrik es, penyedia umpan, dan toko perbekalan nelayan.
Nelayan Payang
Nelayan Pancing Ulur
Nelayan Bagan
Nelayan Gillnet
Pedagang Pengumpul Lokal Palabuhanratu Pedagang Pengumpul Kabupaten Lain
Pasar Lokal
Perusahaan Ekspor Layur
Konsumen Lokal
Pasar Luar Negeri: Korea, Cina
Keterangan: : memiliki andil besar
Konsumen Lokal
Gambar 20 Model rantai pasok layur di Palabuhanratu.
Purse Seine Payang Bagan
1.7%
7.1%
0.4%
90.8%
Pancing Ulur
Gambar 21 Prosentase produksi layur per alat tangkap di PPN Palabuhanratu tahun 2011.
81 Ikan layur di Palabuhanratu dihasilkan oleh nelayan pancing ulur, nelayan payang, nelayan purse seine dan nelayan bagan (Gambar 21). Nelayan pancing ulur merupakan produsen utama penghasil layur di Palabuhanratu, terlihat dari kapasitas produksi mencapai 90,8% dari total produksi layur di PPN Palabuhanratu pada tahun 2011. Sisanya dihasilkan oleh nelayan payang, bagan dan purse seine dengan prosentase produksi masing-masing sebesar 7,1%, 1,7% dan 0,4%. Berdasarkan jenis perahu yang digunakan, 99% produksi layur dari nelayan pancing ulur menggunakan jenis perahu motor tempel (outboard boat) dan 1% sisanya menggunakan kapal motor (inboard boat) 5-10 GT. Secara kualitas, layur yang dihasilkan oleh nelayan pancing ulur memiliki kualitas layur terbaik. Seluruh hasil tangkapan nelayan pancing ulur relatif sesuai dengan standar kualitas ekspor, namun jika nelayan kurang memperhatikan penanganan hasil tangkapannya (komposisi es kurang sehingga suhu > 50C) akan menurunkan kualitas sekaligus harga jual di tingkat perusahaan. Harga di tingkat nelayan (harga beli pedagang pengumpul) tidak ditentukan oleh kualitas layur. Pedagang pengumpul yang sebagian besar sebagai pemilik kapal membeli seluruh hasil tangkapan dengan harga cenderung konstan dan ditentukan berdasarkan kesepakan informal pedagang setempat. Resiko dan keuntungan akibat perbedaan kualitas layur tersebut ditanggung sepenuhnya oleh pedagang pengumpul. Kualitas layur yang tidak masuk katagori kualitas ekspor dipasarkan oleh pedagang pengumpul ke pasar lokal. Produksi layur di PPN Palabuhanratu tidak hanya berasal dari nelayan setempat (berdasarkan kapal yang mendarat di PPN Palabuhanratu), tetapi juga dipasok melalui jalur darat seperti Ujung Genteng, Cisolok, Loji, Cidaun (Cianjur), Pamengpek (Garut), Binuangeun (Banten) dan Jakarta. Gambar 22 menunjukkan bahwa produksi layur di PPN Palabuhanratu pada tahun 2011 berasal dari nelayan Palabuhanratu (19%), Ujung Genteng (47%), Cidaun (11%), Cisolok (8%), Pamengpek (6%), Binuangeun (6%), Loji (2%) dan Jakarta (1%). Artinya, prosentase pasok layur terbesar ke PNN Palabuhanratu berasal dari pedagang dari Ujung Genteng dan pasokan terbesar dari kabupaten lain berasal dari Cianjur.
82
Palabuhanratu
Pamengpek (Garut)
6%
19%
Jakarta
1%
11% Cidaun (Cianjur)
6% Binuangeun (Baten)
2% Loji
8%
Cisolok
47% Ujung Genteng
Gambar 22 Prosentase produksi layur yang masuk lewat darat ke PPN Palabuhanratu tahun 2011. Perusahaan ekspor layur di PPN Palabuhanratu yang menerima pasokan layur dari pedagang pegumpul adalah 1) PT. Duta I, 2) PT. Duta II, 3) PT. Uri, 4) PT AGB Palabuharatu, 5) PT. Ratu Prima Bahari Nusantara, 6) CV. Bahari Express, 7) PT. Topmed, 8) PT. Jiko Gantung Power. Kapasitas yang diterima perusahaan tersebut bervariasi sekitar 600-800 ton/tahun. Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Sukabumi (2010), PT AGB Palabuhanratu merupakan perusahaan yang memiliki kapasitas daya tampung ikan tertinggi yaitu 800 ton/tahun dengan rata-rata ekspor layur mencapai 650 ton per tahun. Proses
distribusi
layur dari pedagang pengumpul
ke perusahaan
menggunakan mobil bak terbuka dan ikan ditempatkan dalam cool box (steroform). Pedagang pengumpul yang wilayah kerjanya di PPN Palabuhanratu, umunnya pengangkutan cool box hanya menggunakan motor ketika jumlahnya sedikit. Perusahaan eksportir melakukan proses pembekuan dan pengepakan ikan layur di Palabuhanratu. Ikan layur beku dikemas dalam box khusus dengan kapasitas 10 kg/box. Pihak perusahaan melakukan proses distribusi layur melalui jalan darat menuju ke Jakarta dengan menggunakan mobil box (refrigeration thermo king system) dengan kapasitas sekitar 6 ton. Proses pengiriman ke negara tujuan ekspor (Korea dan Cina) dilakukan melalui kapal ekspor di Pelabuhan Tanjung Priok. Layur yang diekspor ke Korea menggunakan kontainer
83 berkapasitas 24 feet sedangkan ke Cina menggunakan kontainer berkapasitas 27 feet. Kemitraan yang terjalin antara nelayan buruh (ABK) dan pemilik kapal (pedagang pengumpul) berbentuk kemitraan usaha dengan sistem bagi hasil. Seluruh biaya operasional ditanggung pemilik kapal, artinya fungsi ABK hampir sama dengan karyawan. Kemitraan antara pedagang pengumpul dan perusahaan berbentuk mitra beli. Persaingan antar perusahaan terjadi untuk mendapatkan kontinuitas pasokan layur dari para pedagang pengumpul. Strategi persaingan antar perusahaan dilakukan dalam bentuk pemberian kenyamanan pelayanan bagi para pedagang pengumpul, penawaran harga dan pemberian pinjaman modal. Pemberian pinjaman modal merupakan strategi kemitraan bisnis yang cukup efisien untuk menjalin keterikatan antara pedagang pengumpul dan perusahaan yang
bersangkutan.
Bentuk
kemitraan
tersebut
dapat
dikatagorikan
menguntungkan kedua belah pihak dimana pihak perusahaan memberikan pinjaman modal tanpa agunan dan bunga. Kondisi ini bertolak belakang dengan aturan yang berlaku pada perbankan. Pada kemitraan pinjaman modal antara perusahaan eksportir layur dan pedagang pengumpul, pedagang pengumpul hanya diberi kewajiban memasok layur ke perusahaan yang bersangkutan dan tidak diperbolehkan memasok layur ke perusahaan lainya. Setiap pedagang pengumpul memasok layur ke perusahaan tersebut, harga jual dipotong Rp 1.000,00/kg sebagai angsuran. 2) Struktur rantai pasok tuna Pelaku utama dalam rantai pasok tuna adalah nelayan, agen tuna Palabuhanratu, dan perusahan tuna Jakarta. Pelaku utama tersebut didukung oleh penunjang operasional nelayan yaitu industri kapal, perbengkelan kapal, alat tangkap, BBM, pabrik es, penyedia umpan, dan toko perbekalan nelayan. Gambar 23 menunjukkan bahwa model struktur rantai pasok tuna di Palabuhanratu terbagi ke dalam dua submodel yaitu model rantai pasok tuna untuk kebutuhan pasar lokal dan submodel rantai pasok untuk kebutuhan pasar luar negeri. Perbedaan kedua submodel tersebut terjadi akibat perbedaan kualitas tuna yang dihasilkan oleh nelayan. Seluruh produksi tuna di Palabuhanratu dihasilkan dari nelayan yang mendaratkan kapalnya di PPN Palabuhanratu.
84
Nelayan Payang
Nelayan daerah lain
Nelayan Pancing Tonda
Nelayan Longline
Nelayan Gillnet
Agen tuna Palabuhanratu Perwakilan Perusahaan Jakarta
Pasar Lokal
Pasar Lokal
Perusahaan tuna Jakarta Layur Konsumen Lokal
Pasar Luar Negeri: Jepang
Konsumen Lokal
Konsumen Lokal Keterangan: : memiliki andil besar
Gambar 23 Model rantai pasok tuna di Palabuhanratu.
100% 90%
Kontribusi hasil tangkapan
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
Payang
Gillnet
Pancing Tonda
Longline
Bigeye tuna Yellowfin tuna
0.0%
0.2%
10.8%
89.0%
0.9%
1.2%
34.5%
63.4%
Rata-rata
0.3%
0.6%
19.2%
79.9%
Unit Penangkapan Gambar 24 Prosentase produksi tuna per alat tangkap di PPN Palabuhanratu tahun 2011.
85 Gambar 24 menunjukkan bahwa produsen utama tuna didominasi oleh nelayan longline (79,9%) dan nelayan pancing tonda (19,2%) sedangkang sisanya dihasilkan oleh nelayan gillnet (0,6%) dan payang (0,3%). Berdasarkan komposisi hasil tangkapan, nelayan longline lebih banyak menangkap bigeye tuna dibandingkan yellowfin tuna. Sebaliknya nelayan pancing tonda, nelayan gillnet dan nelayan payang lebih banyak menangkap yellowfin tuna dibandingkan bigeye tuna. Perusahaan tuna di Palabuhanratu dapat dibedakan menjadi dua katagori yaitu 1) perusahaan agen tuna yang memiliki unit penangkapan longline dan kapal carrier tetapi juga berfungsi sebagai agen pengumpul tuna dari unit penangkapan lain, dan 2) perusahaan penangkapan tuna yang berdomisili di Jakarta tetapi memanfaatkan PPN Palabuhanratu sebagai fishing base dan menempatkan karyawan untuk memfasilitasi kebutuhan operasional unit penangkapan longline serta proses distribusi hasil tangkapan ke Jakarta. Perusahaan/agen yang bergerak di komoditas tuna ekspor adalah PT. Sari Segara Utama, CV. Rahayu Sentosa Prima, CV. Tuna Tunas Mandiri, CV Burhan dan CV. Prima Pratama. Berdasarkan pola distribusi tuna, nelayan tuna memasok ke agen/perusahaan melalui bongkar muat di pelabuhan atau bongkar muat di atas kapal carrier. Agen/perusahaan tuna tidak melakukan processing di PPN Palabuhanratu, artinya pada saat bongkar hasil tangkapan, pihak agen menyiapkan mobil box berkapasitas 6 ton (sekitar 80 ekor/box). Dalam upaya mempertahankan rantai dingin pada mobil box, tuna diletakkan di antara lapisan es curah. Setelah proses bongkar muat dari kapal ke mobil box, tuna langsung dikirim ke Jakarta untuk proses packaging sesuai standar ekspor. Proses dari mulai bongkar muat di PPN Palabuhanratu sampai terdistribusi ke pasar di Jepang (proses transaksi) membutuhkan waktu sekitar 3 hari. Kemitraan yang terjalin antara nelayan ABK dan pemilik kapal pada unit penangkapan tuna berbeda-beda. Pada kapal longline, nelayan ABK diberlakukan sistem gaji harian dan fishing master diberlakukan sistem prosentase dari hasil ekspor. Pada kapal tonda, kemitraan antara pemilik kapal dan nelayan terjalin dalam bentuk sistem bagi hasil. Antara pemilik kapal tonda dan agen/perusahaan tuna terjalin kemitraan dalam bentuk mitra beli atau mitra ekspor. Dalam bentuk
86 mitra beli, agen/perusahaan membeli langsung tuna dari pemilik kapal. Pada sistem mitra ekspor, pemilik kapal tonda mengekspor tuna melalui jasa agen/perusahaan dan harga jual tuna mengikuti harga eskpor. Artinya, resiko ekspor ditanggung pemilik kapal tonda. Agen/perusahaan juga memberikan jasa angkutan (distribusi) dari PPN Palabuhanratu ke Jakarta. Model kemitraan ini terjalin antara perusahaan longline luar daerah dan agen/perusahaan tuna Palabuhanratu dimana perusahaan longline tersebut tidak memiliki fasilitas transportasi dari Palabuhanratu menuju Jakarta. Selain distribusi tuna ke Jakarta melalui transportasi jalur darat, pada saat ini sedang diuji coba oleh Perusahaan X untuk mendistribusikan tuna melalui transportasi laut dengan mendesain kapal hemat BBM. 2. Sasaran rantai pasok Baik tuna maupun layur sasaran utamanya adalah konsumen luar negeri. Sebagian besar produk layur Palabuhanratu dipasarkan ke Korea dan Cina sedangkan tuna diprioritaskan untuk pangsa pasar Jepang. Sebagian kecil produk tuna dan layur yang berkualitas rendah, sasaran pasarnya adalah pasar lokal. Sasaran pangsa pasar ekspor menuntut kualitas yang tinggi disamping kontinuitas produk. Bahkan tingkat higienis lingkungan usaha maupun lingkungan pelabuhan perikanan dapat mempengaruhi pangsa pasar ekspor. Agar sasaran rantai pasok dapat tepat mutu, tepat jumlah, tepat waktu, dan biaya efisien, maka faktor infrastruktur transportasi memegang peranan penting di samping infrastruktur pelabuhan dan tingkat teknologi yang digunakan. Faktor-faktor tersebut akan membentuk keunggulan kompetitif yang tinggi jika dapat dikembangkan secara optimal. Dalam konsep manajemen rantai pasok, Marimin dan Maghfiroh (2011) menjelaskan bahwa keunggulan kompetitif yang tinggi dapat memberikan produk berkualitas dan pelayanan yang memuaskan kepada konsumen (sasaran rantai pasok). Keunggulan kompetitif tersebut diwujudkan ke dalam kemampuan untuk memasok (menyediakan) produk kepada konsumen dengan baik, memadai, cepat, dan tepat. Artinya, keunggulan kompetitif harus dimiliki mulai dari produsen, distributor dan penjual sebagai pihak yang memasok produk hingga ke konsumen.
87 3. Manajemen rantai pasok Pada model rantai pasok layur (Gambar 20), nelayan, pedagang pengumpul (pemilik kapal) dan perusahaan memiliki andil yang besar dalam manajemen rantai pasok. Idealnya, peran nelayan khususnya nelayan pancing ulur adalah mendapatkan hasil tangkapan seoptimal mungkin. Pedagang pengumpul membeli hasil tangkapan nelayan pancing ulur dengan harga yang layak selanjutnya memasok layur ke pihak perusahaan. Faktor penting yang harus diperbaiki adalah sistem bagi hasil antara nelayan (ABK) dan pemilik kapal sehingga sistem transaksi yang diskriminatif dan monopoli bisa dikurangi bahkan jika mungkin dihilangkan. Artinya, diperlukan kesadaran kolektif yang tinggi dari pihak pemilik kapal untuk memperlakukan nelayan sebagai mitra kerja yang seimbang. Antara nelayan layur dan pemilik kapal tidak menggunakan sistem kesepakatan kontraktual tentang volume minimal hasil tangkapan maupun harga jual ikannya. Kesepakatan yang terjalin berbentuk kesepakatan informal atas dasar kepercayaan pemilik kapal kepada nelayan yang dipilih untuk mengoperasikan unit penangkapannya. Perusahan dan pemilik kapal juga tidak terjalin kesepakatan kontraktual mengenai kuota pasokan maupun harga. Kesepakatan kontraktual terjalin antara perusahaan dan pemilik kapal (pedagang pengumpul) ketika terjadi proses kemitraan pinjaman modal. Kesepakatan kontraktual jangka pendek terjalin antara perusahaan dan pembeli layur (Korea dan Cina), artinya kuota ekspor layur berdasarkan stok yang dimiliki perusahaan yang bersangkutan dan harga mengikuti fluktuasi pasar. Sistem transaksi yang diberlakukan adalah cash and carry. Pada unit penangkapan longline, antara pemilik kapal dan ABK terjalin kesepaktan kontrak kerja (karyawan harian) sedangkan antara fishing master dan pemilik kapal terjadi kontrak kerja berdasarkan produktivitas hasil tangkapan. Pemilik kapal memutuskan hubungan kerja dengan fishing master ketika hasil tangkapan per trip mengalami kerugian sebanyak 1-3 kali. Model kesepakatan kontrak kerja antara ABK dan fishing master nelayan pancing tonda dan pemilik kapal sama seperti yang terjadi pada unit penangkapan pancing ulur. Dalam proses transaksi jual beli hasil tangkapan antara pemilik kapal pancing tonda dan agen/perusahaan tidak terjalin kesepakatan kontraktual mengenai kuota hasil
88 tangkapan maupun ketetapan harga. Artinya, pemilik kapal pancing tonda bebas memilih perusahaan/agen sebagai mitra beli. Kesepakatan kontraktual jangka pendek terjalin antara perusahaan/agen tuna dan pembeli tuna di pasar Jepang. Mengingat komoditas ikan ekspor tidak melalui proses pelelangan, pemerintah seharusnya melakukan pembinaan agar para pemilik kapal memiliki kesadaran kolektif dalam membentuk sistem perdagangan yang adil. Perusahaan pengekspor layur juga memiliki peran penting untuk menjamin produksi layur dari Palabuhanratu dapat terdistribusi ke pasar ekspor dengan kualitas yang baik dan memuaskan konsumen. Idealnya, pihak perusahaan tersebut memiliki kesadaran kolektif dalam rangka menciptakan transparansi harga dan daya saing secara vertikal dan horizontal. Sehingga pada akhirnya terjadi proses integrasi vertikal dan horizontal di antara anggota rantai pasok secara harmonis dan berkesinambungan. Integrasi vertikal adalah integrasi mulai dari produsen (nelayan), pedagang pengumpul (pemilik kapal) sampai pihak perusahaan yang akan memasarkan produk ke konsumen. Artinya, kerja sama yang harmonis antara nelayan, pedagang pengumpul dan perusahaan merupakan faktor kunci kesuksesan integrasi vertikal. Integrasi horizontal adalah integrasi sesama anggota rantai pasok yang berada dalam satu level (satu jenis usaha) seperti integrasi antar nelayan, integrasi antar pedagang pengumpul dan integrasi antar perusahaan. Keuntungan yang diperoleh ketika terjadi integrasi vertikal maupun horizontal adalah 1) penguasaan pangsa pasar yang semakin meningkat, 2) penguasaan serta penggunaan teknologi yang semakin efisien, 3) saling mengisi antar anggota rantai pasok, baik dari pelayanan, kinerja produk hingga proses pendistribusianya, serta 4) bargaining power yang semakin besar dalam menghadapi persaingan global. Menurut Vorst et al. (2007) diacu Riadi (2012) integrasi tidak harus dilakukan pada seluruh proses, tetapi bisa dipilih sesuai kondisi dan kebutuhan dengan tetap konsisten pada tujuan untuk memenuhi tuntutan konsumen dan memenangkan persaingan. Riadi (2012) menjelaskan bahwa saling pengertian di antara mitra dagang dan berbagi informasi merupakan komponen terpenting untuk menjamin kesuksesan integrasi rantai pasok dan kolaborasi. Komitmen terhadap relasi dan kepercayaan pemasok berdampak positif terhadap stabilitas hubungan
89 kemitraan rantai pasok yang pada akhirnya memberikan dampak positif terhadap kinerja kemitraan. 4. Sumberdaya rantai pasok Sumberdaya rantai pasok khususnya sumberdaya ikan merupakan faktor penting yang harus dijaga kelestariannya. Jika kelestarian sumberdaya ikan terganggu akan berdampak pada semakin susahnya nelayan (produsen) mendapatkan ikan (bahan baku produk). Penurunan produksi nelayan berdampak pada penurunan kinerja anggota rantai pasok lainnya. Pihak perusahaan juga akan mengalami kerugian yang cukup besar jika pasokan ikan dari nelayan tidak lancar bahkan pada tingkat kerugian tertentu perusahaan akan bangkrut.
300,000
Produksi (Kg)
250,000 200,000 150,000 100,000 50,000 Ikan Layur
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
114,591
145,537
188,993
222,642
246,691
203,203
103,230
36,730
147,864
Tahun
Gambar 25 Trend produksi layur di PPN Palabuhanratu tahun 2003-2011.
3,000,000
Produksi (Kg)
2,500,000
2,000,000
1,500,000
1,000,000
500,000
-
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
178,089
641,702
1,495,105
677,842
683,271
590,557
542,584
1,730,949
1,069,438
Bigeye tuna
69,865
103,625
273,246
562,035
1,289,866
1,403,295
1,272,155
2,525,957
1,940,034
Rata-rata
123,977
372,664
884,176
619,939
986,569
996,926
907,370
2,128,453
1,504,736
Yellowfin tuna
Tahun
Gambar 26 Trend produksi tuna di PPN Palabuhanratu tahun 2003-2011.
90 Gambar 25 menunjukkan bahwa produksi layur cenderung naik mulai tahun 2003 sampai 2007 kemudian cenderung turun hingga tahun 2010. Produksi layur tahun 2011 naik dibanding dua tahun sebelumnya tetapi tidak setinggi tahun 2007. Produksi layur tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu mecapai 246.691 kg sedangkan produksi terendah terjadi pada tahun 2010 yang hanya mencapai 36.730 kg (15% dari produksi tertinggi yang dihasilkan pada tahun 2007). Produksi layur tahun 2011 hanya mencapai 60% dari produksi tertinggi yang pernah dicapai tahun 2007. Lubis dan Sumiati (2011) menganalisis data hasil tangkapan layur di PPN Palabuhanratu tahun 1996-2005 untuk memproyeksi hasil tangkapan layur 10 tahun ke depan dengan motode peramalan model dekomposisi multiaplikatif. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa proyeksi produksi layur tahun 2008-2017 cenderung menurun dibandingkan tahun-tahun sebelumya sehingga proyeksi tahun 2017 hanya mencapai 136,9 ton. Dijelaskan pula bahwa penurunan produksi tersebut dapat diantisipasi dengan meningkatkan pelayanan terhadap unit penangkapan pancing ulur agar mau mendaratkan hasil tangkapannya di PPN Palabuhanratu dan mendatangkan ikan layur dari TPI-TPI yang berada di Teluk Palabuhanratu. Kondisi yang berlawanan terjadi pada sumberdaya ikan tuna (Gambar 26), di mana trend produksi cenderung naik sejak tahun 2003 hingga 2012. Akan tetapi jika dilihat dari jenis tunanya, terjadi fluktuasi produksi yang cukup tajam pada yellowin tuna. Trend produksi yellowfin naik pada periode tahun 2003-2005 dan kemudian trend produksi kembali turun pada periode tahun 2006-2008. Puncak produksi yelllowfin tertinggi selama 9 tahun terakhir terjadi pada tahun 2010 (1.730.949 kg), tetapi tahun 2011 produksinya kembali turun (1.069.438 kg). Pada jenis bigeye tuna, produksinya cenderung meningkat sejak tahun 2003-2010. Puncak produksi bigeye tuna terjadi pada tahun 2010 (2.525.957 kg) meskipun pada tahun 2011 produksinya kembali turun (1.940.034 kg). Fenomena yang menarik dan perlu dikaji lebih lanjut adalah terjadinya pergeseran dominasi hasil tangkapan bigeye tuna sejak tahun 2007 dimana pada beberapa tahun sebelumnya didomisasi oleh yelllowfin. Fenomena tersebut diduga karena terjadi perubahan struktur komunitas sumber daya tuna di perairan Selatan Jawa. Perubahan struktur komunitas dapat terjadi akibat terjadinya perubahan pola migrasi ikan tuna atau
91 pun gejala over fishing dan over capacity. Perubahan struktur komunitas tuna tersebut kemungkinan direspon nelayan dengan melakukan adaptasi unit penangkapan yang digunakan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa jumlah armada longline semakin meningkat sejak tahun 2007 dimana hasil tangkapannya didominasi oleh jenis bigeye tuna. Proyeksi produksi tuna PPN Palabuhanratu menurut Lubis dan Sumiati (2011) cenderung meningkat hingga tahun 2017 dengan proyeksi produksi mencapai 1.2911,2 ton. Proyeksi ikan tuna di PPN Palabuhanratu yang menunjukkan peningkatan, dapat menjadi peluang untuk meningkatkan produktivitas industri pengolahan ikan berbahan baku ikan tuna. Trend produksi tuna dan layur yang terjadi selama 9 tahun terakhir di Palabuhanratu harus menjadi perhatian pihak pemerintah (pengambil kebijakan) dan pihak anggota rantai pasok. Pemerintah harus dapat mengkaji dan memahami fonomena trend produksi tuna dan layur untuk mengetahui sejauh mana gejala over fishing telah terjadi pada sumberdaya ikan tersebut. Selain itu, perlu dikaji dan dipahami juga mengenai optimalisasi alokasi unit penangkapan tuna dan layur. Proses kajian tersebut tidak harus dilakukan sendiri oleh pihak pemerintah tetapi dapat dilakukan melalui kerja sama dengan perguruan tinggi terkait. Dalam kasus ini, link and match antara pihak perguruan tinggi, pihak pemerintah dan pihak industri perikanan merupakan faktor penting yang harus dipahami oleh ketiga pihak tersebut. Selain suberdaya ikan, sumberdaya fisik (infrastruktur transportasi, pelabuhan dan telekomunikasi) harus
dapat
mendukung pengembangan
industrialisasi perikanan di PPN Palabuhanratu. Kondisi transportasi darat di Palabuhanratu relatif cukup baik, namun masih perlu beberapa peningkatan kualitas jalan sehingga dapat mempercepat proses distribusi produksi ikan. Kemacetan jalur Sukabumi-Jakarta merupakan masalah yang dikeluhkan pihak perusahaan sedangkan kualitas jalan dari TPI/PPI lain ke PPN Palabuhanratu merupakan masalah yang dikeluhkan pihak pedagang pengumpul. Menurut Dinas Kelautan
dan
Perikanan
(2010),
pengembangan
kawasan
minapolitan
Palabuhanratu akan didukung dengan rencana makro Jawa Barat tentang penuntasan jalan lintas selatan Jawa Barat. Sepanjang 376,53 km, jalan lintas selatan Jawa Barat yang semula non status dan jalan provinsi menjadi jalan
92 nasional. Gambar 27 menunjukkan bahwa jalan lintas selatan Jawa Barat yang diusulkan berstatus jalan nasional terdiri dari 3 segmen yaitu: 1) Segmen 1 (status Provinsi): (1) Bagbagan (Palabuhanratu) - Surade (Sukabumi Selatan) : 57,74 km (2) Cilautereun - Pameungpeuk
: 10,43 km
2) Segmen 2 (Non Status) : (1) Surade - Kalapagenep (Ciamis)
: 257,75 km
3) Segmen 3 (Status Provinsi) : (1) Kalapagenep - Pangandaran (Ciamis)
: 50,25 km
(2) Kalipucang-Batas Jawa Tengah
:
0,36 km
Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan (2010)
Gambar 27 Rencana penuntasan jalan lintas selatan Jawa Barat.
Selain rencana pengembangan infrastruktur jalan lintas selatan Jawa Barat, rencana pengembangan PPN Palabuhanratu menjadi Pelabuhan Perikanan Samudera merupakan salah satu solusi untuk mempercepat proses industrialisasi perikanan di kawasan PPN Palabuhanratu. Dalam rangka mewujudkan status PPN menjadi PPS, KKP telah merencanakan lokasi pengembangan PPN seluas 120 hektar (Gambar 28). Pada tahun 2011, KKP telah mengalokasikan dana 8 milyar untuk membebasan lahan 20 hektar guna pengembangan darmaga III (kolam
93 pelabuhan beserta fasilitasnya). Akan tetapi, Panitia 9 yang dibentuk oleh Pemda gagal merealisasikannya karena kendala waktu yang terlalu singkat. Akibatnya, dana harus dikembalikan ke kas negara. Sebagai tindak lanjut, pada tahun 2012, KKP telah menyetujui alokasi anggaran sebesar 3,2 milyar. Total pembangunan darmaga III membutuhkan angaran sekitar 25 milyar dimana realisasi pembangunannya akan dilakukan secara bertahap. Dalam mewujudkan kawasan industri perikanan di PPN Palabuhanratu, telah dibuat rencana lokasi kawasan industri perikanan seluas 100 haktar. Pembiayaan rencana tersebut diharapkan dari Pemda (propinsi dan kabupaten), namun realisasinya sangat tergantung dari kebijakan anggaran Pemda.
Sumber: (PPN Palabuhanratu 2012c)
Gambar 28 Rencana lokasi industri perikanan dan pengembangan pelabuhan di kawasan PPN Palabuhanratu. Menurut Lamatta (2011), PPN Palabuhanratu telah memiliki rencana kegiatan prioritas di kawasan inti minapolitan sampai tahun 2014, yaitu 1) kegiatan prioritas di kawasan inti minapolitan tahun 2011 meliputi pengembangan areal pelabuhan berupa kegiatan pembebasan lahan dan pensertifikatan tanah serta pembangunan pasar ikan lanjutan, 2) kegiatan prioritas di kawasan inti minapolitan tahun 2012 berupa pembangunan darmaga III untuk kapal di atas 500
94 GT, 3) kegiatan prioritas di kawasan inti minapolitan tahun 2013 berupa kegiatan areal industri pelabuhan perikanan meliputi kegiatan pembebasan lahan dan pensertifikatan tanah, 4) kegiatan prioritas di kawasan inti minapolitan tahun 2014 berupa pembangunan areal industri pelabuhan perikanan dengan penataan unit bisnis perikanan terpadu. Hasil studi review masterplan dan detail pengembangan PPN Palabuhanratu tahuan III (Pelabuhan Perikanan Nusantara Palabuhanratu 2011b) menyebutkan bahwa rencana pengembangan PPN Palabuhanratu akan diimplementasikan dalam tiga tahapan, antara lain; 1) Pengembangan jangka pendek Pengembangan jangka pendek (Lampiran 9) diarahkan pada penyediaan fasilitas yang dapat digunakan untuk menampung operasional armada yang sudah
ada
dan
merangsang
pertumbuhan
armada
sehingga
dapat
memanfaatkan potensi perikanan yang ada. Kegiatan yang dilakukan pada tahap pengembangan jangka pendek adalah membangun fasilitas pelabuhan, yaitu ; (1) Membangun fasilitas pokok pelabuhan yang meliputi a) breakwater yang membentuk kolam pelabuhan baru, b) pengerukan kolam pelabuhan sampai dengan kedalaman -5,5 m LWS dan membuat alur pelayaran, c) dermaga yang dapat menampung pertumbuhan armada kapal, d) rambu navigasi, e) jaringan jalan agar pelabuhan dapat diakses dengan mudah dan f) jaringan drainase. (2) Membangun fasilitas fungsional pelabuhan yang meliputi a) fasilitas muat termasuk gudang perbekalan, tempat distribusi BBM, dan pabrik es, b) fasilitas bongkar ikan tuna segar berupa cool room, c) fasilitas bongkar ikan tuna beku berupa cold storage, d) tempat perbaikan jaring, e) kantor pelabuhan perikanan, dan f) toilet umum. (3) Membangun fasilitas fungsional pelabuhan yang meliputi a) jaringan komunikasi, b) jaringan listrik, c) unit pengolahan limbah baik padat dan cair, serta d) tempat pembuangan sampah.
95 2) Pengembangan jangka menengah Pengembangan jangka menengah (Lampiran 10) diarahkan untuk meningkatkan dan melengkapi fasilitas laut dan darat pelabuhan agar dapat berjalan sesuai proyeksi sebagai Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS). Pada tahap ini, kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah: (1) Membangun dan melengkapi fasilitas dasar yang meliputi a) keperluan dermaga muat dan tambat untuk kapal dengan kapasitas sampai dengan 500 GT, b) pengerukan kolam pelabuhan sampai dengan kedalaman -6,0 m LWS sehingga dapat mempertahankan kedalaman kolam -5,5 m LWS, dan c) menambah jaringan drainase; (2) Membanguna dan melengkapi fasilitas fungsional pelabuhan, meliputi a) pembanguna shelter nelayan, b) tempat perbaikan termasuk bengkel dan gudang peralatan, c) pembangunan ruang genset dan utilitas, serta d) pembangunan pos jaga pelabuhan; (3) Membangun dan melengkapi fasilitas penunjang pelabuhan, meliputi a) pembangunan gedung serbaguna, b) fasilitas umum termasuk kantin, c) pembanguna tempat rekreasi, dan d) persiapan lahan untuk zona industri di wilayah pelabuhan perikanan. 3) Pengembangan jangka panjang Pengembangan jangka panjang (Lampiran 11) diarahkan untuk mencapai kelas pelabuhan sebagai pelabuhan perikanan samudera dengan melengkapi dan meningkatkan fasilitas yang ada. Kegiatan yang dilakukan untuk mencapai arahan pengembangan jangka panjang tersebut adalah (1) pemeliharaan terhadap fasilitas pokok pelabuhan, termasuk di dalamnya yaitu pengerukan berkala, (2) melengkapi dan merawat fasilitas fungsional yang sudah ada, (3) melengkapi dan merawat fasilitas penunjang yang telah dibangun sebelumnya, dan (4) persiapan lahan untuk zona industri II di sekitar wilayah pelabuhan. 5. Proses bisnis rantai pasok Proses bisnis rantai pasok yaitu aktivitas- aktivitas yang menghasilkan nilai keluaran tertentu bagi pelanggan. Menurut Marimin dan Maghfiroh (2011), proses
96 bisnis rantai pasok menerangkan bagaimana mekanisme bisnis yang terjadi di dalam rantai pasok. Oleh karena itu, faktor penting yang perlu diketahui adalah bagaimana keterkaitan yang terjadi di antara anggota rantai pasok dan pengaruhnya bagi proses bisnis. Pada penelitian ini, deskripsi proses bisnis rantai pasok tuna dan layur dibatasi pada aspek, yaitu 1) hubungan proses bisnis rantai, dan 2) pola distribusi. 1) Hubungan proses bisnis rantai Hubungan proses bisnis rantai pasok tuna dan layur menggambarkan hubungan di antara para pelaku dalam rantai pasok dan keterkaitan yang terjadi serta pengaruhnya dalam proses bisnis. Proses bisnis dapat terjadi karena adanya proses permintaan dan penawaran dari produsen sampai dengan konsumen. Menurut Chopra dan Meindl (2004) diacu Marimin dan Maghfiroh (2011) menjelaskan bahwa hubungan rantai bisnis yang terjadi dalam rantai pasok dapat ditinjau dari segi siklus rantai pasok dan proses pullpush. Pada proses pull (tarik), proses dilakukan untuk merespon pesanan konsumen, kemudian pada proses push (dorong), proses dilakukan untuk mengantisipasi pesanan konsumen yang akan datang. Nelayan Pull Pemilik Kapal (pedagang pengumpul) Pull
Push
Perusahaan pengekspor di Palabuhanratu Pull
Push
Pelanggan di pasar tujuan ekspor Push Konsumen
Gambar 29 Siklus-siklus proses dalam rantai pasok tuna dan layur.
97 Pada rantai pasok tuna dan layur (Gambar 29) dimulai dari nelayan dan pemilik kapal (pedagang pengumpul) dimana nelayan mendapat kontrak kerja sama dengan pemilik kapal untuk dapat menghasilkan ikan seoptimal mungkin. Nelayan melakukan operasi penangkapan berdasarkan permintaan pemilik kapal atau atas persetujuan pemilik kapal (proses pull). Pada musim paceklik, pemilik kapal kadang memerintahkan nelayan untuk tidak melaut. Pada kasus pemilik kapal layur, kadangkala nelayan diperintahkan merubah strategi target penangkapannya yaitu menggunakan gillnet. Pada nelayan pemilik yang tidak berfungsi sebagai pedagang pengumpul, terjadi proses push dan proses pull karena nelayan tersebut melaut tidak hanya atas dasar permintaan saat ini tetapi mengantisipasi permintaan yang akan datang. Kondisi ini terjadi karena permintaan layur dari pedagang pengumpul hingga saat ini tidak terbatas. Pemilik kapal terus terpacu untuk menambah armada penangkapan karena permintaan layur dari perusahaan sangat tinggi (berapapun jumlah layur yang dipasok pemilik kapal selalu diterima perusahaan). Artinya, antara pemilik kapal dan perusahaan terjadi proses pull dan proses push. Proses pull dan push juga terjadi antara perusahaan dengan pelanggan di pasar ekspor, terlihat dari adanya permintaan dari pasar ekspor dan perusahaan menyedikan stok layur untuk mengantisipasi permintaan di masa mendatang. Dalam upaya memenuhi permintaan pelanggan luar negeri, perusahaan eksportir layur tidak memilih strategi untuk memiliki armada penangkapan sendiri, tetapi bermitra dengan pemilik kapal (pemasok layur). Atas pilihan strategi tersebut, perusahaan menerapkan strategi pemberian pinjaman modal kepada pemilik kapal untuk keperluan bisnis pemilik kapal seperti penambahan alat tangkap, pembelian cool box, dan keperluan operasional lainnya. Jenis kemitraan bisnis tersebut dapat dikatagorikan sebagai kemitraan inti-plasma dimana perusahaan sebagai pihak inti dan pemilik kapal sebagai plasma. Rangkaian hubungan bisnis yang terjadi mulai dari nelayan, pemilik kapal (pedagang pengumpul) dan perusahaan merupakan bentuk integrasi supply chain secara vertikal. Proses bisnis pada rantai pasok layur sama dengan tuna, di mana proses pull terjadi antara nelayan dan pemilik kapal sedangkan proses pull dan proses push
98 terjadi antara pemilik kapal dan perusahaan serta antara perusahaan dan pelanggan luar negeri. Perbedaaannya terletak pada strategi perusahaan dalam memenuhi permintaan pelanggan luar negeri. Perusahaan pengekspor tuna tidak memilih strategi pemberian pinjaman modal kepada pemilik kapal tuna tetapi lebih memilih untuk memiliki armada penangkapan sendiri. Proses pull dan push yang terjadi pada rantai pasok tuna atau layur memilik keuntungan dan kerugian bagi pelaku bisnis. Menurut Marimin dan Maghfiroh (2011) keuntungan proses pull adalah penjual dapat mengurangi biaya inventory produknya dan mengurangi produk yang menumpuk akibat bullwhip (kelebihan stok). Pada proses push, penjual berusaha menyediakan produk di gudangnya guna mengantisipasi datangnya pesanan dari konsumen. Akibatnya, terjadi penumpukan barang di penjual yang berpotensi memunculkan risiko kerusakan barang jika barang tersebut tidak langsung dijual, namun keuntungannya adalah dapat melayani pesanan konsumen dengan cepat. Lain halnya dengan proses pull yang membutuhkan waktu menunggu lebih lama dibandingkan proses push. Dengan demikian, dilihat dari segi biaya maka pola pull lebih aman (risiko rendah) dan menguntungkan dibandingkan proses push. Namun jika dilihat dari segi kecepatan waktu pelayanan kepada konsumen (responsivitas), maka proses push lebih baik ketimbang proses pull. Penerapan manajemen rantai pasok yang baik mampu mengoptimalkan kecepatan waktu pelayanan, namun rendah resiko. Pelaku bisnis dalam rantai pasok yang lebih kuat dan lebih mampu menerapkan harga produk akan memiliki kekuatan tawar lebih tinggi. Dalam kasus rantai pasok tuna dan layur di PPN Palabuhanratu, kekuatan tawar tertinggi dipegang oleh perusahaan kemudian diikuti oleh pemilik kapal. Pelaku bisnis yang mempunyai kekuatan tawar lebih tinggi akan memiliki keuntungan yang lebih tinggi karena harga ditentukan oleh pelaku bisnis yang mempunyai kekuatan tawar yang lebih tinggi. 2) Pola distribusi Ikan memiliki sifat yang mudah rusak sehingga dibutuhkan pola distribusi yang efektif dan efisien. Oleh karena itu pengaturan pola distribusi dan kerja sama yang baik di antara anggota rantai pasok dapat mengurangi kerusakan produk dan penghematan biaya distribusi. Pola distribusi tuna dan layur tercermin pada model
99 struktur rantai pasok (Gambar 20 dan Gambar 23). Pada komoditas ekspor tuna dan layur, pola distribusi produk sebagai berikut: (1)
Nelayan layur - pemilik kapal (pedagang pengumpul) - perusahaan ekspor - pelanggan luar negeri;
(2)
Nelayan tuna - pemilik kapal tonda - agen tuna Palabuhanratu - perusahaan ekspor tuna Jakarta - pelanggan luar negeri;
(3)
Nelayan tuna - pemilik kapal tuna (agen tuna Palabuhanratu) - perusahaan ekspor tuna Jakarta - pelanggan luar negeri;
(4)
Nelayan tuna - perwakilan perusahaan ekspor tuna Jakarta - perusahaan ekspor tuna Jakarta - pelanggan luar negeri. Berdasarkan keempat pola distribusi tersebut, pola distribusi layur di PPN
Palabuhanratu lebih pendek dibandingkan pola distribusi tuna. Kondisi ini terjadi karena perusahaan ekspor layur di PPN Palabuhanratu dapat langsung ekspor ke negara tujuan (processing layur telah dilakukan oleh perusahaan eksportir di PPN Palabuhanratu). Muninggar (2008) menganalisis supply chain di PPN Palabuhanratu dibandingkan dengan jaringan supply chain ideal berdasarkan teori dari beberapa literatur dan yang telah berhasil dijalankan di beberapa negara. Tabel 6 menunjukkan bahwa hasil analisa supply chain kegiatan distribusi hasil tangkapan di PPN Pelabuhanratu menyimpulkan bahwa pelabuhan belum menjalankan koordinasi supply chain yang efektif. Permasalahan yang terjadi pada aktivitas distribusi (rendahnya pasokan ikan untuk tujuan ekspor) diduga belum adanya koordinasi yang baik antara PPN Palabuhanratu dengan nelayan dan pihak eksportir. Pada kajian tersebut, Muninggar (2008) juga menjelaskan beberapa prioritas kebijakan yang dapat diterapkan, yaitu (1) perbaikan sistem transportasi dengan cold chain system (sistem rantai dingin), (2) penerapan sistem informasi berkaitan dengan aliran produk, pasar dan teknologi oleh pengelola pelabuhan, (3) bekerja sama dengan Pemerintah Pusat dalam program penelitian teknologi dalam meningkatkan mutu ikan, (4) penerapan kebijakan kontrol terhadap mutu ikan harus dilakukan oleh pelabuhan bekerja sama dengan industri pengolah, dan instansi terkait, (5) menyediakan Sistem Informasi terpadu berkaitan dengan
100 informasi pasar produk perikanan untuk skala domestik dan dunia, serta (6) dibuat unit atau seksi yang mengatur aliran informasi supply chain di pelabuhan. Tabel 6 Analisis gap supply chain di PPN Palabuhanratu dengan supply chain ideal Supply chain PPN Palabuhanratu
Perbaikan yang dilakukan
Tujuan mereduksi berkurangnya mutu produk dalam transportasi dan penyimpanan
Sistem transportasi yang ada belum mendukung upaya menjaga mutu produk
Perbaikan sistem transportasi dengan cold chain sistem (sistem rantai dingin)
Sistem Informasi berkaitan dengan aliran supply produk, pasar dan teknologi
Belum ada koordinasi antara pengelola pelabuhan dengan pihak nelayan, pedagang dan industri perikanan terkait informasi pasar
Penerapan sistem informasi berkaitan dengan ketersediaan supply produk, harga dan mutu produk yang diinginkan konsumen oleh pengelola pelabuhan
Menerapkan teknologi, meningkatkan modal
Penerapan teknologi (penyimpanan dan pengolahan) masih kurang khususnya dalam menjaga mutu ikan
Bekerjasama dengan Pemerintah Pusat dalam program penelitian berkaitan dengan teknologi dalam meningkatkan mutu ikan
Kontrol terhadap keselamatan produk dan kualitasnya
Laboratorium Bina Mutu milik pelabuhan belum sempurna, Pengemasan/ packing dan penyimpanan ikan belum lengkap
Penerapan kebijakan kontrol terhadap mutu ikan harus dilakukan oleh pelabuhan bekerjasama dengan industri pengolah, dan instansi terkait.
Kebijakan pemerintah terkait dengan informasi pasar dan data statistik untuk menfasilitasi aktivitas pasar dan memonitor perkembangan pasar.
Sudah ada data statistik namun belum meliputi informasi pasar yang dibutuhkan.
Menyediakan Sistem Informasi terpadu berkaitan dengan informasi pasar produk perikanan untuk skala domestik dan dunia.
Terdapat manajer atau unit pengelola khusus untuk mengatur supply chain
Unit pengelola pelabuhan yang sudah ada belum memiliki tugas khusus mengatur supply chain di pelabuhan
Dibuat unit atau seksi yang mengatur aliran informasi supply chain di pelabuhan.
Supply chain ideal
Sumber: Muninggar (2008)
Dalam rangka meningkatkan daya saing produk perikanan, perlu adanya koordinasi jaringan supply chain perikanan melalui kebijakan pemasaran, sistem informasi dan koordinasi dengan instansi terkait serta perlu adanya implementasi kebijakan penerapan supply chain melalui penjabaran fungsi pelabuhan (Muninggar 2008). Selanjutnya, Marimin dan Maghfiroh (2011) menjelaskan bahwa untuk mengatasi hambatan dalam pengembangan rantai pasok dapat
101 digunakan pendekatan kunci sukses (key success factor) yaitu trust building (kepercayaan), koordinasi dan kerja sama, kemudahan akses pembiayaan dan dukungan pemerintah yang baik. Kunci sukses tersebut merupakan praktekpraktek penting yang apabila dijalankan dengan baik, dapat memperlancar aktivitas bisnis di sepanjang rantai pasok. Mengacu pada key success factor tersebut, yang relevan dengan kondisi di PPN Palabuharatu adalah kepercayaan, serta koordinasi dan kerja sama. 4.2.3 Analisis integrasi kelembagaan minapolitan Keberhasilan implementasi dan pengembangan minapolitan perikanan tangkap dalam prespektif agribisnis sangat tergantung keterpaduan antarprogram dan kesiapan kelembagaannya. Tinjauan historis terhadap program minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu diketahui bahwa bentuk kelembagaan minapolitan di tingkat kabupaten berupa Kelompok Kerja ( Pokja) dengan ruang lingkup kegiatan mencakup perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan pelaporan. Pokja minapolitan ini diharapkan mampu mengintegrasikan kegiatan sektoral di daerah dengan kegiatan-kegiatan yang diprakarsai daerah. Kelembagaan di tingkat propinsi juga berupa Pokja yang lebih ditekankan pada fungsi koordinasi untuk memfasilitasi hubungan antara kabupaten/kota dan antara daerah dengan pusat. Untuk mengintegrasikan seluruh kegiatan antar unit kerja teknis dan antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan instansi sektoral terkait, dan para pihak berkepentingan dibentuk Tim Koordinasi Minapolitan dengan tugas pokok dan fungsi yang bersifat koordinatif. Gambar 30 menunjukkan struktur kelembagaan Pokja Minapolitan dimana ketua berperan bertanggung jawab penuh terhadap kinerja kelembagaan Pokja Minapolitan yang membawahi beberapa bidang pokok seperti perencanaan, pemberdayaan, serta monitoring dan evaluasi dan kesekretariatan. Dinas Kelautan dan Perikanan selain sebagai sekretaris Pokja Minaplitan juga memiliki tugas pokok sebagai penanggung jawab pengembangan minapolitan di zona penunjang yaitu kawasan kecamatan pesisir di luar zona inti (PPN Palabuhanratu). Bappeda memiliki peran penting dalam perencanaan program minapolitan karena Bappeda memiliki power untuk memberi instruksi kepada SKPD (Satuan Kerja Perangkat
102 Daerah) terkait agar berkontribusi dalam pengembangan kawasan minapolitan. SKPD terkait dapat diinstruksikan untuk membuat usulan rencana kegiatan di kawasan minapolitan pada saat Musrenbang yang harus dituangkan dalam usulan rencana anggaran dari SKPD yang bersangkutan. PPN Palabuhanratu berperan dalam pelayanan fasilitas PPN Palabuhanratu serta berperan dalam pemberdayaan nelayan dan pembinaan industri di kawasan PPN Palabuhanratu. Bidang monitoring dan evaluasi dilakukan oleh pejabat yang ditunjuk untuk mengevaluasi kinerja program minapolitan. Tim monitoring dan evaluasi setidaknya mencakup 3 unsur yaitu Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan serta PPN Palabuhanratu. PENANGGUNG JAWAB Bupati
KETUA Sekretaris Daerah SEKRETARIS Kepala Dinas Kelautan & Perikanan
PEMBERDAYAAN
PERENCANAAN
MONITORING & EVALUASI
Kepala Pelabuhan Perikanan
Kepala Bappeda
Pejabat lain yang ditunjuk
ANGGOTA Satker Perangkat Daerah terkait Sumber: diadopsi dari KKP (2011)
Gambar 30 Struktur kelembagaan Pokja minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Berdasarkan struktur kelembagaan pada Gambar 30, kelembagaan minapolitan lebih menekankan pada kelembagaan struktural di tingkat pemerintahan. Artinya, kelembagaan tersebut belum mengintegrasikan hubungan peran dan fungsi antar kelembagaan yang menjadi pelaku sistem minapolitan yang mampu memperkuat ikatan-ikatan horizontal maupun vertikal. Keanggotaan yang
103 terlibat dalam Pokja Minapolitan masih terbatas pada perwakilan SKPD terkait dan belum melibatkan perwakilan dari pihak swasta/industri dan akademisi. Pokja merupakan kelembagaan minapolitan yang dibentuk pada saat inisiasi program. Namun, jika dilihat dari perspektif kelembagaan agribisnis maupun perspektif klaster industri perikanan, beberapa kelembagaan/pelaku telah terbentuk secara alamiah sebelum program (Gambar 31). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa masing-masing pelaku tersebut belum memiliki visi yang sama dalam pengembangan minapolitan merikanan tangkap di Palabuhanratu.
Gambar 31 Klaster industri perikanan tangkap di Palabuhanratu yang terbentuk secara alamiah sebelum program minapolitan. Beberapa pelaku yang terlibat dalam rantai pasok telah membentuk pola kemitraan usaha dalam bentuk pinjaman modal dan contract farming. Kondisi ini terjadi pada anggota primer rantai pasok komoditas layur. Berdasarkan pendapat Castales dan Catelo (2008) diacu dalam Riadi (2012) Contract farming (CF) didefinisikan sebagai kesepakatan nelayan dan perusahaan pengolah dan atau pemasaran untuk menghasilkan dan memasok produk perikanan berdasarkan kesepakatan, waktu dan harga yang telah ditentukan sebelumnya. Secara faktual, pelaku yang terlibat dalam kelembagaan kemitraan CF ini terjadi antara pemilik
104 kapal dengan perusahaan pengolah layur (eksportir). Pemilik kapal yang dimaksud adalah pemilik kapal yang sekaligus berfungsi sebagai pembeli layur dari nelayan. Pemilik kapal yang tidak bertindak sebagai pembeli biasanya murni sebagai nelayan dan penjualan hasil tangkapannya menginduk kepada pihak pembeli (juragan atau dalam bahasa lokalnya ”tawe”). Tawe ini minimal memiliki 3 unit kapal kincang (pancing ulur) dan disewakan kepada nelayan dengan sistem bagi hasil usaha. Aturan main yang disepakati antara nelayan dan tawe di Palabuhanratu biasanya
didasarkan
atas
kepercayaan
dan
bersifat
informal.
Tawe
mempercayakan pengoperasian kapal kepada nahkoda (fishing master) dan jarang sekali bersifat kekeluargaan tetapi lebih diutamakan atas pertimbangan keahlian/pengalaman, kejujuran dan etos kerjanya. Jika ada ABK yang sudah cukup lama bekerja pada tawe dan memiliki kemampuan sebagai nahkoda akan diberi prioritas utama menjadi nahkona jika tawe memiliki kapal baru. Nelayan hanya diberi tugas menangkap ikan. Seluruh biaya operasional (BBM, umpan, es, dan perbekalan nelayan) ditanggung pemilik kapal (tawe) termasuk biaya perbaikan kerusakan kapal dan alat tangkap. Sebagai konsekuensinya, hasil tangkapan dibeli tawe dengan harga yang telah ditentukan sebelumnya. Di setiap daerah (PPI/TPI) terdapat kesepakatan tidak tertulis bahwa harga yang dibeli di tingkat tawe harus sama dan jika ada kenaikan harga juga atas kesepakatan tawe setempat. Biaya operasional per trip sekitar Rp 400.000,00. Jika nilai hasil tangkapan kurang dari Rp 400.000,00 (mengalami kerugian) tawe hanya memberi uang lelah antar Rp 10.000,00 sampai Rp 50.000,00 tergantung pendapatan dari unit penangkapan lain yang dimilikinya. Namun jika pendapatan hasil tangkapan nelayan melebihi biaya operasional maka aturan main sistem bagi hasil yang diterapkan umumnya sebagai berikut: 1. Pendapatan per trip kurangi biaya operasional dan dikurangi 10% dari pendapatan tersebut untuk biaya karyawan tawe yang membantu mencarikan umpan dan membersihkan kapal; 2. Setiap nelayan (nahkoda dan ABK) diberi 1 bagian dan pemilik kapal 1 bagian. Pada umumnya 1 kapal terdapat 3 nelayan sehingga total bagian nelayan 3 bagian;
105 3. Pembagian hasil keuntungan dibagi rata, untuk kasus 3 nelayan dibagi 4 bagian (3 bagian nelayan dan 1 bagian pemilik kapal). Dalam rangka menjaga loyalitas nelayan, beberapa tawe memberikan bonus dan fasilitasi pinjaman kebutuhan rumah tangganya. Aturan main antara tawe dan perusahaan eksportir juga bersifat informal. Artinya, tidak memberlakukan sistem PO (purchasing order) terhadap tawe. Tawe diperbolehkan menjual ikannya ke eksportir manapun sesuai dengan keyakinan dan kenyamanan tawe terhadap pelayanan pihak perusahaan. Masing-masing perusahaan eksportir bersaing untuk mendapatkan ikan dari tawe baik dari segi harga maupun pelayanan. Namun ada juga tawe yang memiliki keyakinan keberuntungan dengan salah satu perusahaan tertentu. Pertimbangannya cukup sederhana, berdasarkan perjalanan usahanya, tawe yang bersangkutan merasa mendapat keberuntungan (hasil tangkapan nelayannya banyak) ketika melakukan kerja sama dengan perusahaan tersebut. Dalam hal aturan harga ikan layur, harga ditentukan secara sepihak oleh pihak eksportir dan di antara eksportir tidak ada kesepakatan secara kolektif. Namun, beberapa perusahaan melakukan kerja sama kesepakatan harga (PT. AGB dan PT Duta) maupun kerja sama pemantauan kinerja tawe yang memiliki ikatan kerja sama dengan perusahaan yang bersangkutan. Dalam rangka mengantisipasi tawe memasok layur ke ekportir lain, pihak eksportir biasanya menerapkan strategi pemberian pinjaman modal kepada tawe. Pinjaman modal dari pihak perusahaan kepada tawe dilakukan di atas materai dengan klausul utamanya adalah 1) sistem angsuran dilakukan dengan cara memotong setiap hasil tangkapan Rp 1.000,00/kg dari harga standar sampai pinjamannya lunas dan tanpa dibebani bunga, 2) tawe tidak boleh menjual ikannya ke perusahaan lain selama harganya sama dengan perusahaan lain, 3) jika tawe bisa menunjukkan bukti bahwa harga ikan layur yang dibeli perusahaan lain lebih tinggi maka tawe bisa menuntut/negosiasi kenaikan harga, 4) jika di kemudian pihak perusahaan mengetahui tawe menjual ikan ke perusahaan lain, perusahaan akan memberlakukan sanksi berupa peringatan sampai pelunasan sisa hutang segera dan sanksi blacklist sebagai pemasok layur. Aturan besaran pinjaman modal yang diberikan oleh perusahaan berdasarkan atas kepercayaan dan kinerja tawe dalam
106 memasok ikan kepada perusahaan. Besaran pinjaman setiap tawe bervariasi mulai dari 5 juta sampai 200 juta. Sebagai contoh, total pinjaman modal dari PT. AGB kepada tawe hingga saat ini telah mecapai 1,5 milyar. Keuntungan bagi eksportir di dalam jaringan kemitraan ini adalah terjaminnya volume, kualitas, dan kontinuitas pasokan seperti yang diminta pasar, meskipun persyaratan kontinunitas dan volume pasokan dari tawe bersifat fleksibel karena sangat dipengaruhi oleh musim. Akan tetapi, persyaratan mutu pasokan ikan harus sesuai dengan standar ekspor. Pada kasus komoditas layur, persyaratan utamanya adalah perut ikan layur tidak boleh pecah (kualitas 1) jika perut layur telah pecah, nilai jualnya menjadi separuh harga. Pada awal bulan Mei 2012, ikan layur dengan ukuran per ekor mencapai 3 ons ke atas harganya sekitar Rp 25.000,00, dan ukuran 2-3 ons per ekor sekitar Rp 22.000,00 serta ukuran 1- 2 ons per ekor sekitar Rp 17.000,00 dan pecah perut sekitar Rp 11.000,00. Di PPN Palabuhanratu, harga beli tawe dari nelayan sebesar Rp 15.000,00/kg tanpa ada perbedaan kualitas. Bagi pihak nelayan, keuntungan yang diperoleh dari aturan main kemitraan usaha dengan tawe adalah kepastian harga, jaminan pemasaran dan kemudahan untuk memperoleh pinjaman dari tawe. Kondisi inilah yang menjadikan ikatan hubungan patront-client antara nelayan dan tawe menjadi sangat kuat dan mengakar di masyarakat nelayan. Bagi pihak tawe, keuntungan yang diperoleh dari hubungan kemitraan antara tawe dan perusahaan dengan model kemitraan CF adalah kepastian harga, jaminan pemasaran dan akses permodalan. Pihak perusahaan diuntungkan dengan kontinuitas produk, meskipun pada musimmusim paceklik perusahaan sering kekurangan pasokan layur dari tawe. Dalam kaitannya dengan aturan main pembayaran, tawe membayar cash hasil tangkapan begitu ikan sudah didaratkan di PPI/TPI. Pihak perusahaan eksportir juga membayar ikan yang telah disetor oleh tawe secara cash setelah melalui proses pensortiran dan penimbangan. Proses akselerasi minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu, dipengaruhui oleh sejauh mana kelembagaan PPN Palabuhanratu mampu memberikan pelayanan yang memuaskan pelanggan yaitu, pihak nelayan, pemilik kapal dan industri. Keunggulan kompetitif PPN Palabuhanratu dapat menjadi daya
107 tarik investor baru untuk berinvestasi di kawasan pelabuhan sehingga proses industrialisasi perikanan di PPN Palabuhanratu yang merupakan zona inti minapolitan perikanan tangkap dapat berkembang optimal. Oleh karena itu, pengembangan kawasan PPN Pelabuhanratu yang berdaya saing tinggi menjadi faktor penting dalam menumbuhkembangkan industrialisasi perikanan. Upaya tersebut akan lebih optimal jika terjadi intergrasi antar kelembagaan yang harmonis melalui model kemitraan bismis maupun model kemitraan kelembagaan minapolitan yang melibatkan industri inti, industri pemasok dan lembaga pendukung. Integrasi antar kelebagaan tersebut pada akhirnya akan menumbuhkan klaster industri perikanan tangkap di Palabuhanratu yang berdaya saing tinggi. Lubis (2012) juga menjelaskan bahwa untuk mengembangkan pelabuhan perikanan dalam mendukung minapolitan, perlu adanya kerja sama dengan beberapa kelembagaan terkait, misalnya dengan Pemerintah Daerah dan Kementerian Pekerjaan Umum untuk mendukung sarana dan prasarana transportasi juga instansi yang terkait dengan kebutuhan modal, air dan listrik. Keterpaduan dan keterkaitan beberapa kelembagaan lain dalam mendukung minapolitan adalah Kementerian Keuangan, Kementerian Industri, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral, Kementerian Sosial, Kementerian Pertanian, Kementerian Badan Usaha Milik Negara, Tentara Nasional Indonesia, POLRI, Badan Pertanahan Negara, Badan Koordinasi Penanaman Modal, Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Perumahan Rakyat, Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, Kementerian Kesehatan serta Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil. Secara spesifik, integrasi kelembagaan minapolitan dapat dilakukan dalam bentuk partisipasi yang serasi dan saling membutuhkan antara pemerintah, pelaku bisnis/swasta, dan intelektual. Etzkowits (2010) diacu dalam Riadi (2012) menjelaskan bahwa intelektual, pelaku bisnis dan pemerintah memainkan peran yang sama dan membentuk triple-helix guna merangsang inovasi ekonomi berbasis pengetahuan. Intelektual berperan untuk mengembangkan kreatifitas, skill dan talent pada sumber daya manusia. Pelaku bisnis berperan dalan transformasi teknologi, skill dan talent ke dalam peningkatan daya saing industri.
108 Pemerintah berperan dalam program fasilitasi, iklim usaha, insentif dan driven pada pertumbuhan dan pengembangan minapolitan. Peran pemerintah (Tabel 7) dan swasta (Tabel 8) dalam pengembangan minapolitan perikanan tangkap yang berbasis industrialisasi perikanan (klaster industri perikanan tangkap) dapat dijabarkan secara detail berdasarkan faktor utama dalam model Berlian Porter, yaitu 1) kondisi input, 2) strategi, struktur dan persaingan industri, 3) kondisi permintaan, dan 4) industri pendukung dan terkait. Tabel 7 Peran pemerintah dalam pembangunan klaster industri perikanan yang diadopsi dari model Berlian Porter Faktor utama
Uraian peran
1.
1) Menciptakan spesialisasi melalui program pendidikan dan pelatihan
Kondisi input (input condition)
2) Menfasilitasi universitas yang berbasis riset untuk pengembangan klaster industri perikanan dalam sistem minapolitan perikanan tangkap 3) Penyediaan dan kompilasi informasi bagi klaster industri perikanan 4) Memperbaiki infrastruktur transportasi, komunikasi dan lainnya yang dibutuhkan klaster industri perikanan maupun minapolitan perikanan tangkap
2.
Strategi, struktur dan persaingan industri
1) Menghilangkan penghalang bagi kompetisi 2) Fokus untuk menarik investasi 3) Fokus dalam mempromosikan bisnis plan minapolitan 4) Mengorganisasikan lembaga pemerintah terkait
3.
Kondisi permintaan
1) Menciptakan peraturan yang pro inovasi sehingga berpengaruh pada klaster industri perikanan untuk mengurangi ketidakpastian peraturan, merangsang adopsi, dan mendorong inovasi produk atau proses baru 2) Mensponsori uji produk, sertifikasi produk dan evaluasi layanan untuk produk dan jasa dalam klaster industri perikanan
4.
Industri pendukung dan terkait
1) Mensponsori berbagai Forum Lintas Pelaku untuk menyatukan berbagai pihak 2) Usaha untuk menarik supplier dan penyedia jasa bagi klaster industri perikanan dari wilayah lain 3) Membangun klaster perikanan yang berorientasi pada kawasan industri atau kawasan supplier
109 Tabel 8 Peran swasta dalam pembangunan klaster industri perikanan yang diadopsi dari model Berlian Porter Faktor utama
Uraian peran
1.
1) Ikut mengembangkan kurikulum sekolah kejuruan, akademi maupun universitas
Kondisi input (input condition)
2) Mensponsori proyek riset di perguruan tinggi 3) Mengumpulkan informasi klaster melalui asosiasi 4) Menjaga hubungan dekat dengan penyedia infrastruktur untuk memenuhi kebutuhan klaster industri perikanan 5) Mengembangkan pelatihan bagi manager dalam hal peraturan, kualitas dan isu-isu manajerial 2.
Strategi, struktur dan persaingan perusahaan
1) Kerja sama dengan pemerintah untuk mempromosikan ekspor 2) Membuat direktori para pelaku dalam klaster 3) Ikut serta dalam berbagai pameran perdagangan
3.
Kondisi permintaan
1) Kerja sama dengan pemerintah untuk menyusun regulasi yang mendorong inovasi 2) Melakukan pengujian produk-produk lokal dan memperbaiki standar organisasi
4.
Industri pendukung dan terkait
1) Mendirikan asosiasi berbasis klaster 2) Mendorong supplier lokal dan menarik investor secara perorangan maupun kolektif
Berdasarkan integrasi antara peran pemerintah, pelaku bisnis dan akademisi maka kesuksesan kemitraan kelembagaan minapolitan di Palabuhanratu dapat mengadopsi kesuksesan agroindustri (ADB 2010 diacu dalam Riadi 2012), yaitu 1) riset yang kuat di sektor kelautan dan perikanan serta dukungan teknologi untuk minapolitan, 2) mendorong investasi oleh sektor swasta, 3) dukungan dan fasilitasi terhadap pengembangan minapolitan, 4) peningkatan kemitraan, 5) pengembangan institusi minapolitan, dan 6) kebijakan pemerintah yang kondusif. Pengembangan kelembagaan minapolitan di Palabuhanratu di masa mendatang mengadopsi model kelembagaan ekonomi petani yang dikembangkan oleh Hermanto (2007). Pembentukan kelembagaan tersebut menekankan pada pendekatan bottom up yaitu pendekatan yang harus dimulai dari petani dan penentuan
kelembagaannya
disesuaikan
dengan
kebutuhan
dan
kondisi
lingkungannya. Model tersebut diadopsi ke dalam model kelembagaan minapolitan karena memiliki elemen-elemen penting yang menjadi kunci sukses pengembangan agroindustri (ADB 2010 diacu dalam Riadi 2012), namun dalam implementasinya disesuaikan dengan karakteristik masyarakat nelayan setempat..
110 Pada model kelembagaan minapolitan ke depan (Gambar 32), merupakan framework dari beberapa bentuk kelembagaan yang dikembangkan dengan dual track strategy yaitu keseimbangan antara strategi top down dan bottom up. Pengembangan model kelembagaan minapolitan mencerminkan integrasi dan sinergi dari beberapa kelembagaan yaitu 1) Pokja Minapolitan, 2) lembaga bisnis (eksportir, koperasi, BUND, dan BUMN), 3) lembaga pendidikan dan penelitian, 4) Business Development Center, 5) kelompok nelayan, 6) kelembagaan kemitraan minapolitan, serta 7) kelembagaan keuangan. Fungsi dan peran masingmasing kelembagaan tersebut harus menyatu dan saling terkait satu sama lain dalam kerangka sistem dan usaha agribisnis perikanan yang terintegrasi dalam sistem minapolitan perikanan di Palabuhanratu. . Kelembagaan Pokja Minapolitan
Koperasi, BUMN, BUMD dan Eksportir
Lembaga Pendidikan dan Penelitian Sistem Minapolitan Palabuhanratu Business Development Center Agribisnis Industrialisasi Perikanan
Kelembagaan Keuangan
Sumber: diadopsi dari Hermanto (2007)
Keterangan:
Kelembagaan Kelompok Nelayan
Kelembagaan Kemitraan Minapolitan
= keterkaitan langsung yang sangat kuat dalam pengembangan antar kelembagaan = keterkaitan timbal balik dalam pengembangan antar kelembagaan
Gambar 32 Rancangan model pengembangan kelembagaan minapolitan di Palabuhanratu. Kelembagaan Pokja Minapolitan sebagai representatif dari pihak pemerintah harus
dapat
merumuskan
kebijakan-kebijakan
yang
kondusif
untuk
111 pengembangan minapolitan, mendorong tumbuhnya investasi dari sektor swasta, memfasilitasi sarana dan prasarana kebutuhan pengembangan minapolitan, serta meningkatkan kemitraan antar kelembagaan, dan peningkatan kapasitas kelembagaan yang terkait langsung dengan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu seperti pengelola pelabuhan perikanan, Dinas Perikanan dan Kelautan, kelompok nelayan, Business Development Center, serta kelembagaan kemitraan minapolitan. Business
Development
Center
lebih
ditunjukkan
kepada
fungsi
pemberdayaan masyarakat dan memberi ruang gerak dalam menghadapi tantangan globalisasi serta menumbuhkan dan meningkatkan kapasitas nelayan dalam mengahadapi persoalan pengembangan bisnis di bidang kelautan dan perikanan. Peningkatan dan kinerja Business Development Center ini juga perlu dirancang dalam rangka meningkatkan daya sosial yang tinggi terhadap inovasi teknologi dan pengelolaan usaha perikanan dan kelautan. Business Development Center akan lebih optimal ketika mendapat dukungan dari akademisi (lembaga pendidikan dan penelitian) melalui hasil-hasil riset kuat dan fokus dalam upaya untuk menjawab permasalahan pokok dari sistem minapolitan tersebut. Fungsi dan peran kelembagaan kelompok nelayan selain untuk mengatasi permasalahan usaha nelayan juga untuk meningkatkan posisi tawar nelayan khususnya dalam proses penentuan harga jual ikan. Peningkatan posisi tawar nelayan dapat dilakukan melalui upaya peningkatan kapasitas kelembagaan kelompok nelayan (kelembagaan kelompok nelayan ABK dan kelompok pemilik kapal). Kapasitas kelembagaan nelayan ABK yang optimal dapat menjadi daya dorong untuk bernegosiasi tentang penentuan harga jual ikan dan sistem bagi hasil usaha dengan pemilik kapal. Kondisi ini diharapkan dapat menekan praktik bisnis monopoli dan mendorong terciptanya fair trade. Terciptanya perdagangan yang adil (fair trade) dan sistem bagi hasil yang saling menguntungkan (win-win partnerships) akan berdampak pada peningkatan pendapatan nelayan ABK. Kapasitas kelembagaan kelompok pemilik kapal yang optimal juga sangat efektif untuk menekan praktek bisnis monopoli harga dari pihak perusahaan. Kelembagaan kemitraan minapolitan dikembangkan untuk membantu mengoptimalkan sistem pemasaran yang adil (fair trade). Artinya, kelembagaan
112 kemitraan minapolitan harus mampu menjadi penyeimbang antara kepentingan perusahaan, pemilik kapal dan nelayan ABK. Dengan demikian, kelembagaan kemitraan minapolitan setidaknya terdiri dari kelompok nelayan, pedagang pengumpul (pemilik kapal), perusahaan eksportir dan mediator. Nelayan, pemilik kapal dan perusahaan eksportir diharapkan dapat menyepakati jumlah, mutu dan harga ikan yang saling menguntungkan. Perusahaan eksportir diharapkan dapat memberikan jaminan harga minimal pembelian atau rumus harga tertentu yang disepakati oleh pihak-pihak yang bermitra. Mediator merupakan suatu lembaga netral yang memiliki pengetahuan dan kompetensi terhadap obyek yang dimitrakan. Mediator bertugas membuat kajian tentang peluang untuk membangun kemitraan, berusaha menyakinkan dan membangun kepercayaan kelompok nelayan, pemilik kapal dan perusahaan eksportir tentang pentingnya dan manfaat membangun kemitraan bisnis. Berdasarkan pengembangan kelembagaan kemitraan tersebut dapat dijadikan salah satu sarana pengembangan agribisnis industrialisasi perikanan sehingga peningkatan nilai tambah di tingkat kelompok nelayan ABK dapat terwujud secara optimal dan berkesinambungan. Kelembangan keuangan berfungsi untuk mengatasi kelangkaan modal usaha untuk pengembangan agribisnis industrialisasi perikanan, kegiatan usaha kelompok nelayan, perusahaan (pelaku bisnis), kegiatan kelembagaan kemitraan minapolitan dan Business Development Center. Integrasi dan sinergitas antar kelembagaan tersebut diharapkan dapat menumbuhkan agribisnis industrialisasi perikanan di kawasan PPN Palabuhanratu yang didukung oleh sistem minapolitan secara optimal dan berkelanjutan dalam upaya meningkatkan pendapatan nelayan secara bertahap dan nyata. 4.3
Analisis Strategi dan Tolok Ukur Keberhasilan Minapolitan di Palabuhanratu
4.3.1 Analisis SWOT Analisis SWOT dimaksudkan untuk merumuskan strategi pengembangan minapolitan perikanan tangkap yang dilakukan berdasarkan analisis faktor internal dan faktor internal. Matrik IFAS (internal factor analysis summary) digunakan untuk
mengidentifikasi
dan
menganalisis
kekuatan
dan
kelemahan
implemenentasi program minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu (Tabel
113 11). Matrik EFAS (external factor analysis summary) digunakan untuk mengidentifikasi dan menganalisis peluang dan ancaman program minapolitan (Tabel 13). 1. Analisis faktor internal Pemilihan PPN Pelabuhanratu sebagai zona inti program minapolitan perikanan tangkap tentunya telah dilakukan dengan berbagai pertimbangan khususnya persyaratan yang telah ditetapkan dalam Pedoman Umum Minapolitan (KKP 2011). Berdasarkan analisis kondisi internal sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabahanratu, beberapa kekuatan yang teridentifikasi (Tabel 11) adalah: 1) Jumlah kapal penangkapan tuna dan layur.
Jumlah Kapal
400 300 200 100 -
2009
2010
2011
Pancing Ulur
188
233
345
Pancing Tonda
65
135
163
Longline
157
160
149
Tahun Gambar 33 Jumlah kapal tuna dan layur yang menggunakan PPN Palabuhanratu sebagai fishing base. Gambar 33 menunjukkan bahwa jumlah kapal pancing ulur (kapal kincang) dan kapal pancing tonda, dalam tiga tahun terakhir, mengalami peningkatan. Pada tahun 2011, jumlah kapal pancing ulur mencapai 345 kapal sedangkan kapal pancing tonda mencapai 163 kapal. Namun jumlah kapal longline sedikit berfluktuasi, terlihat dari jumlah kapal tahun 2009 mencapai 157 kapal, tahun 2010 mencapai 160 kapal, dan tahun 2011 mencapai 149 kapal. Berdasarkan variasi tonase kapal, rata-rata kapal longline yang
114 beroperasi di PPN Palabuhanratu dalam 3 tahun terakhir didominasi oleh kapal longline 20-30 GT (38%) kemudian sisanya adalah kapal longline 30-50 GT (28%), kapal longline 50-100 GT (28%), kapal longline 100-200 GT (6%) dan kapal longline 10-20 GT (2%). Potensi jumlah kapal tersebut merupakan salah satu kekuatan yang dapat dioptimalkan dalam pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu yang berbasis pada komoditas layur dan tuna. 2) Ketersediaan ikan layur dan tuna Ketersediaan ikan tuna dan layur hanya dilihat dari pendekatan trend produksi. Dalam 9 tahun terakhir (Gambar 25) trend produksi layur berfluktuasi dan pada tahun 2011 produksi layur hanya mencapai 60% dari produksi tertinggi yang pernah dicapai pada tahun 2007. Produksi tuna cenderung meningkat (Gambar 26) meskipun pada tahun 2011 mengalami sedikit penurunan dibandingkan produksi tahun 2010. Penurunan produksi tuna tahun 2011 kemungkinan berkaitan dengan penurunan jumlah kapal longline yang beroperasi di PPN Palabuhanratu meskipun kapal pancing tonda yang beroperasi mengalami peningkatan. Peningkatan kapal pancing tonda tidak terlalu signifikan terhadap peningkatan produksi tuna (bigeye dan yellowfin) karena produksi tuna dari kapal pancing tonda hanya mencapai 19% dari total produksi tuna di PPN Palabuhanratu(Gambar 24). Fenomena trend peningkatan produksi ini menjadi salah satu kekuatan dalam pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Namun, kebutuhan dan tuntutan kegiatan eksploitasi harus memperhatikan keberlanjutan sumberdaya ikan di masa mendatang. 3) Kelengkapan fasilitas pelabuhan perikanan Kelengkapan fasilitas PPN Palabuhanratu merupakan potensi kekuatan yang
dapat
dikembangkan
untuk
mendukung
program
minapolitan
perikananan tangkap (Lampiran 13). Fasilitas tersebut mencakup fasilitas pokok, fasilitas fungsional dan fasilitas penunjang. Optimalisasi fasilitas pelabuhan yang ada saat ini dan rencana pengembangan jangka panjang PPN Palabuhanratu merupakan kekuatan daya saing dalam pengembangan minapolitan perikanan tangkap. Peranan penting yang diharapkan PPN
115 Palabuhanratu dalam menunjang efisiensi usaha perikanan tangkap menurut Lamatta (2011) adalah (1) meningkatkan produksi yang diikuti dengan peningkatan mutu hasil tangkapan, berarti PPN Palabuhanratu haruslah mempunyai coldstorage dan chilling room (gudang beku), (2) mengurangi biaya operasional penangkapan ikan melalui efisiensi biaya bahan bakar, es air tawar dan lain-lain di PPN Palabuhanratu, (3) memperoleh data hasil tangkapan yang akurat dalam rangka pengendalian sumberdaya ikan oleh petugas statistik, (4) sistem informasi perikanan baik untuk kepentingan perikanan tangkap maupun pemasaran ikan, dapat selalu memperbaharui data secara real- time dan dalam perkembangannya dapat diakses melalui internet (on-line), (5) pelabuhan sebagai klaster perikanan (pusat pasar ikan), untuk itu tersedia TPI yang cukup luas dan lembaga keuangan sebagai penyedia uang tunai dan transfer, (6) mempercepat transaksi pemasaran ikan, berarti diberlakukan perdagangan melalui sistem pemasaran yang efektif, (7) pengawasan dan pelayanan perijinan, berarti PPN Palabuhanratu menjadi tempat perijinan satu atap, yaitu berisi perwakilan dari seluruh instansi yang terkait dengan perijinan dimana pelayanan yang disediakan mencakup penerbitan tanda bukti laporan kedatangan/keberangkatan kapal, pemeriksaan kesyahbandaran,
dan
lain-lainnya,
(8)
meningkatkan
pelayanan
dan
pengawasan sumberdaya ikan, berarti kapal pengawas perikanan dapat memastikan kelancaran tugas pengawasan dengan adanya PPN Palabuhanratu tersebut, (9) mempermudah pemenuhan kebutuhan perbekalan, berarti PPN Palabuhanratu mempunyai kapasitas penuh dalam hal persediaan bahan bakar (terutama solar), pabrik es curah dengan bahan baku air laut, stasiun pengisian air tawar bersih, dan kebutuhan konsumsi harian nelayan, (10) pelabuhan sebagai fasilitas wisata bahari dengan lingungan bersih dan higienis, dan (11) pelabuhan sebagai tempat penyerapan tenaga kerja. 4) Komitmen Pemda terhadap program minapolitan Komitmen Pemda Sukabumi tercemin dari kebijakan Pemda untuk mendukung
penuh
program
minapolitan.
Komitmen
tersebut
telah
diaktualisasikan dalam rencana program untuk mendukung minapolitan (Tabel 18). Menurut Dinas Perikanan dan Kelautan Sukabumi (2011) menyebutkan
116 bahwa
Pemda
memiliki
komitmen
untuk
mendukung
minapolitan
Palabuhanratu seperti (1) penyediaan RTRW untuk kawasan minapolitan Palabuanratu dalam bentuk PERDA, (2) membantu proses penyediaan lahan untuk perluasan PPNP menjadi PPS, (3) peningkatan akses jalan di sekitar dan menuju minapolitan, (4) kemudahaan pelayanan perijinan untuk mendorong investasi, (5) jaminan ketersediaan air bersih, (6) jaminan ketersediaan pasokan listrik melalui PLTU, dan (7) bantuan penguatan modal, pengetahuan dan ketrampilan bagi Kelompok Usaha Bersama (KUB) sektor kelautan dan perikanan. 5) Akses transportasi dan telekomunikasi Akses transportasi dan telekomunikasi di wilayah Palabuhanratu cukup memadahi. Salah satu indikatornya adalah banyaknya pasokan ikan dari kawasan Teluk Palabuhanratu (Ujung Genteng dan Cisolok) dan kabupaten lain masuk ke PPN Palabuhanratu dan distribusi ikan ekspor dari PPN Palabuhanratu ke Jakarta melalui jalur darat. Rencana penuntasan jalan lintas selatan Jawa Barat (Gambar 27) diharapkan dapat mempermudah akses transportasi di masa mendatang. Jaringan internet dan telekomunikasi sangat bagus di sekitar PPN Palabuhanratu. Jaringan internet juga telah dimanfaatkan pihak agen dan eksportir untuk membangun komunikasi dengan buyer dan menggali informasi perkembangan harga ikan ekspor di negara tujuan. Kondisi ini menjadi kekuatan daya tarik pelaku usaha perikanan. 6) Jumlah industri pengekpor tuna dan layur Jumlah industri pengekspor tuna dan layur yang ada saat ini merupakan kekuatan yang menjadi daya saing dalam pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Perusahaan pengekspor tuna di Palabuhanratu adalah (1) PT. Sari Segara Utama, (2) CV. Rahayu Sentosa Prima, (3) CV. Tuna Tunas Mandiri, (4) CV Burhan, dan (5) CV. Prima Pratama. Adapun perusahaan pengekspor layur adalah (1) PT. Duta I, (2) PT. Duta II, (3) PT. Uri, (4) PT AGB Palabuharatu, (5) PT. Ratu Prima Bahari Nusantara, (6) CV. Bahari Express, (7) PT. Topmed, (8) PT. Jiko Gantung Power.
117 7) Dukungan kegiatan-kegiatan dari APBD untuk pengembangan minapolitan Menurut Dinas Kelautan dan Perikanan (2011) total anggaran untuk mendukung program minapolitan mencapai
Rp 142.668.377.800,00 dan
prosentase kontribusi pembiayaan dari APBN, APBD I, APBD II dan lainnya masing-masing adalah 24%, 7%, 22% dan 47%. Tingkat realisasi anggaran dari keempat sumber pembiayaan minapolitan masing-masing mencapai 58,98%, 31,00%, 67,66% dan 42,69%. Anggaran tahun 2012 bersumber dari APBN (80%), APBD I (12%) dan APBD II (8%). Fakta ini menunjukkan bahwa dukungan anggaran dari APBD untuk kegiatan-kegiatan pendukung minapolitan sangat signifikan dan jika dikelola dengan baik akan menjadi kekuatan internal yang sangat signifikan. 8) Kemampuan beberapa nelayan lokal untuk pengadaan kapal > 5GT secara swadaya Pada awalnya kapal pancing tonda (kapal motor di atas 5GT) yang beroperasi di PPN Palabuhanratu diinisiasi oleh nelayan Bugis (Sulawesi) namun saat ini sudah dikembangkan oleh nelayan setempat. Pengaruh nelayan Bugis cukup signifikan sebagai pembelajaran bagi nelayan setempat, dan terbukti semakin meningkatnya jumlah kapal tuna dalam tiga tahun terakhir (Gambar 33). Semakin bertambahnya kemampuan nelayan lokal untuk bergerak dalam usaha penangkapan menggunakan kapal motor di atas 5 GT merupakan potensi kekuatan yang cukup signifikan dalam pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. 9) Dukungan kegiatan-kegiatan dari investasi swasta Dukungan kegiatan-kegiatan dari investasi swasta pasca ditetapkannya PPN Palabuhanratu sebagai lokasi minapolitan belum signifikan. Namun, dukungan kegiatan yang terkait dengan usaha perikanan tangkap sebelum program minapolitan telah berjalan, terlihat dari investasi swasta di kawasan PPN Palabuhanratu (Tabel 9). Banyaknya investasi swasta di kawasan PPN Palabuhanratu menunjukkan bahwa PPN Palabuhanratu memiliki keunggulan kompetitif dan komperatif bagi pihak swasta dalam mengembangkan usaha di bidang kelautan dan perikanan. Kondisi ini merupakan potensi kekuatan yang
118 cukup signifikan untuk mengembangkan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Tabel 9
No
Perusahaan yang menyewa lahan industri perikanan di PPN Palabuhanratu tahun 2012 Luas Lahan (m²)
Penyewa
Jenis Usaha
1
PT. Citra Karya Utama
Dock
2
Kopkar ”Mina Nusantara”
Bengkel dan pengolahan ikan
3
Kopkar ”Mina Nusantara”
Dock
4
Kopkar ”Mina Nusantara”
Cold storeage
300
5
PT. Mekar Tunas Raya Sejati
Penyaluran BBM
500
6
PT. AGB Tuna
Cold storage
900
7
PT. Sari Segara Utama
Tempat pengepakan hasil tangkapan Long line
468
8
CV. Permata Mina Pratama
Penanganan Ikan
250
9
Yayasan Anak Nelayan Indonesia
Penggunaan bangunan semi permanen
120
10
CV. Burhan
Penggunaan tanah industri perikanan
600
11
Kopkar ”Mina Nusantara”
Penggunaan bangunan shelter nelayan
12
Kopkar ”Mina Nusantara”
Penggunaan bangunan semi permanen
120
13
PT. Danamon
Bank simpan pinjam
100
14
Kopkar ”Mina Nusantara”
Pemanfaatan ruang kerja TPI
15
PT. Ratu Prima Bahari Nusantara
Cold storage & pabrik es
4.200
16
PT. Paridi Asyudewi
Penempatan bunker untuk SPBB
28,80
17
KUD Mina Mandiri ”Sinar Laut”
Penggunaan/pengelolaan tangki BBM
18
CV. Eko Mulyo
Pengelolaan dan distribusi air bersih Jumlah
3.300 200 2.000
75
42
96 200 13.499,80
119
Tabel 10 Rencana program untuk mendukung minapolitan perikanan tangkap Palabuhanratu No
Program 1 2 3 4 5 6 7
8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
118
20
Vol
Pengembangan lanjutan PPI Cisolok Pengembangan lahan untuk pengembangan PPNP Rehab TPI Pengembangan teknologi penangkapan ikan Pengadaan kapal rumpon 10 GT Pengadaan kapal rumpon 30 GT Bantuan alat tangkap, mesin motor tempel 15 PK, genset mini Rumpon laut dalam Bantuan cool box Pasar ikan heigenis Pembinaan PSDKP Bantuan penguatan modal bagi pengolah, pedagang, pembudidaya dan nelayan Penertiban perijinan usaha perikanan Penggantian bagan dengan alat tangkap lain yang ramah lingkungan Temu Pelaku Bisnis Perikanan
1 1 5 1 10 10 1
Pembangunan pabrik es Membangun sentra pengolahan pindang Pembinaan P2HP Pengadaan unit pengolahan rumput laut skala rumah tangga Bantuan modal budidaya udang lobster
Jumlah anggaran (Rp 000.000) 2011 2012 2013 2014 23850 23000 23000 60 50 685 500 500 500 450 450 675 675 6000 3000 3000 3000 125 125 125 125
Sumber anggaran APBN APBD I APBD II
Instansi DKP PPNP, DKP DKP DKP Diskan Provinci DKP DKP
8 40 1 1 1
170 20 PM 100 200
170 20 PM 100 200
170 20 PM 100 200
170 20 PM 100 200
Diskan Provinci DKP DKP DKP DKP
1 1
25 2000
25 2000
25 2000
25
DKP/Tim Terpadu DKP
1
50
50
50
50
1 1 1 1
1500 750 200 150
1500 200
200
200
PPNP,Diskan Prov, DKP KKP KKP DKP DKP
1
20
10
10
10
DKP
120
10) Posisi PPN Palabuhanratu strategis sebagai fishing based
Sumber: Lamatta (2011) dan Simbolon (2011)
Gambar 34 Posisi strategis PPN Palabuhanratu dalam wilayah pengembangan Outer Ring Fishing Port di perairan Indonesia.
Gambar 34 menunjukkan bahwa posisi PPN Palabuhanratu berada di wilayah pengembangan pelabuhan perikanan lingkar luar (outer ring fishing port) dan strategis sebagai fishing base. Outer ring fishing port (ORFP) merupakan konsep baru KKP untuk mengembangkan pelabuhan guna menunjang usaha perikanan tangkap dan industri pengolahan ikan. Dalam Buku II New Pardigm in Marine Fisheries Simbolon (2011) menjelaskan bahwa pembangunan ORFP perairan Indonesia adalah salah satu alternatif yang dapat ditempuh pemerintah dalam rangka memberantas kegiatan illegal, unreported-transhipment, and unregulated fishing (IUU fishing). Selain itu juga berimplikasi terhadap percepatan pembangunan kawasan dan penyediaan lapangan kerja bagi masyarakat terluar perairan Indonesia, menjaga kelestarian sumberdaya serta mempertahankan integritas NKRI. Solihin (2011) menambahkan bahwa ORFP mempunyai peran yang strategis dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di ZEEI dan perairan perbatasan. Posisi PPN Palabuhanratu di wilayah pengembangan ORFP ini merupakan potensi kekuatan yang diharapkan dapat menarik minat nelayan nasional bersandar di
121 Palabuhanratu. Posisi strategis tersebut dapat menjadi kekuatan yang optimal ketika didukung dengan pengembangan infrastruktur pelabuhan berstandar internasional. Selain potensi kekuatan yang dimiliki sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu juga terdapat beberapa faktor internal yang menjadi kelemahan seperti; 1) Upaya peningkatan kapasitas nelayan kurang optimal Upaya peningkatan kapasitas nelayan dapat dilihat dari beberapa indikator seperti, pendidikan, pelatihan, pembinaan dan penyuluhan kepada nelayan. Secara umum, baik pemerintah maupun perguruan tinggi terkait telah melakukan upaya peningkatan kapasitas nelayan Palabuhanratu namun masih bersifat sporadis dan belum terintegrasi dalam sistem peningkatan kapasitas yang terukur dan efektif sehingga hasilnya pun belum optimal. Sutomo (2012) menjelaskan bahwa pembinaan nelayan muda tidak terlaksana dengan baik di Palabuhanratu. Peningkatan kapasitas nelayan merupakan faktor penting dalam pengembangan minapolitan perikanan tangkap. Ketika kapasitas nelayan baik, nelayan dapat lebih kreatif dan inovatif dalam mencari nilai tambah baik melalui berbagai inovasi teknologi penangkapan maupun penanganan hasil tangkapan. 2) Ketidakseimbangan posisi tawar di antara anggota primer rantai pasok Anggota primer rantai pasok tuna dan layur yang memiliki posisi tawar paling lemah adalah nelayan yang bekerja pada pemilik kapal. Lemahnya posisi tawar nelayan tersebut dapat dilihat dari kuatnya pemilik kapal dalam menentukan harga dan sistem bagi hasil usaha. Pemilik kapal juga tidak punya posisi tawar yang seimbang dalam penuntuan harga ikan dengan pihak perusahaan eksportir. Ketidakseimbangan posisi tawar antara nelayan, pemilik kapal dan perusahaan eksportir dapat menjadi kelemahan dalam sistem minapolitan karena dapat mendorong praktek bisnis monopoli dan diskriminatif.
122 3) Sosialisasi program minapolitan kurang optimal Sosialisasi program minapolitan belum menyentuh seluruh pelaku dalam sistem minapolitan. Bagi pihak yang telah menerima sosialisasi program belum memiliki pemahaman yang sama dan beberapa pihak terkait masih memahaminya sebagai kegiatan yang berorientasi proyek. Dinas Kelautan dan Perikanan Sukabumi (2011b) menyatakan bahwa program minapolitan Sukabumi belum tersosialisasikan dengan baik kepada lapisan masyarakat seperti aparatur pemerintah, masyarakat kelautan dan perikanan serta masyarakat luas pada umumnya. Kelemahan ini merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi kinerja sistem minapolitan. 4) Fkuktuasi produksi tuna dan layur. Pada Gambar 26 menunjukkan fluktuasi produksi tuna dimana trend produksi yellowfin menurun pada tahun 2005-2009 kemudian tahun 2010 produksi yellowfin meningkat dan mencapai level tertinggi selama 9 tahun terakhir. Akan tetapi, pada tahun 2011 kembali mengalami penurunan dibandingkan pada tahun 2010. Produksi bigeye tuna cenderung meningkat selama 9 tahun terakhir dan produksi tertinggi terjadi pada tahun 2010 meskipun produksi pada tahun 2011 mengalami penurunan. Gambar 25 menunjukkan bahwa selama 9 tahun terakhir produksi layur tertinggi terjadi pada tahun 2007 kemudian 3 tahun berikutnya mengalami penurunan. Produksi layur terendah terjadi pada tahun 2010, kemudian pada tahun 2011 produksinya meningkat sebesar 60% dari produksi tertinggi yang pernah dicapai tahun 2007. Hasil proyeksi produksi layur hingga tahun 2017 menurut Lubis dan Sumiati (2011) cenderung menurun. Kelemahan ini merupakan faktor penting yang harus diantisipasi karena dapat mempengaruhi kinerja sistem minapolitan di masa mendatang. 5) Inkonsistensi anggaran pengembangan minapolitan Program minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu akan optimal ketika didukung oleh kebijakan anggaran yang berpihak pada pengembangan minapolitan baik untuk zona inti maupun zona penunjang. Anggaran Pokja Minapolitan
pada
tahun
2011
tidak
disetujui
sehingga
keberadaan
kelembagaan Pokja belum optimal. Penetapan pembiayaan kegiatan Pokja
123 secara kontinyu minimal hingga satu periode roadmap (2011-2012) merupakan salah satu faktor penting. Keberadaan Pokja diharapkan mampu mengintegrasikan seluruh kegiatan yang terdapat dalam APBD di masingmasing sektor. Fakta ini juga didukung oleh pernyataan Dinas Kelautan dan Perikanan
Sukabumi
(2011)
bahwa
pencapaian
target-target
kinerja
minapolitan mengalami kesulitan karena keterbatasan anggaran. Dengan demikian, inkonsistensi anggaran pengembangan minapolitan dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja sistem minapolitan. 6) Upaya percepatan kegiatan pengembangan minapolitan belum optimal Pemerintah pusat pada dasarnya telah melakukan upaya percepatan kegiatan pengembangan minapolitan perikanan tangkap di PPN Palabuhanratu melalui kegiatan industrialisasi perikanan tangkap. Namun pada tahun 2011, program tersebut masih dalam tahap perencanaan program dan rencana realisasinya
pada tahun 2012-2014. Sebagai contoh, anggaran kegiatan
pengembangan PPN Palabuhanratu tahun 2011 yang telah dialokasikan KKP untuk pembebasan lahan tidak dapat terserap karena ketidaksiapan Panitia 9. Upaya percepatan kegiatan pengembangan minapolitan yang belum optimal tercermin dari tingkat realisasi anggaran minapolitan pada tahun 2011. Dinas Kelautan dan Perikanan (2011b) menyebutkan bahwa prosentase realisasi anggaran minapolitan tahun 2011 yang bersumber dari APBN, APBD I, APBD II dan sumber lainya masing-masing adalah 58,98%, 31%, 67,66% dan 42,69%. Selain itu, ada kegiatan minapolitan tahun 2011 yang belum mendapat alokasi dana seperti 1) penggantian bagan dengan alat tangkap yang ramah lingkungan, dan 2) bantuan dana rehab kapal angkutan bagan menjadi kapal penangkapan ikan yang ramah lingkungan. Fakta ini menjadi salah satu faktor kelemahan yang dapat mempengaruhi kinerja sistem minapolitan. 7) Koordinasi antar kelembagaan terkait belum optimal Koordinasi memiliki peran yang sangat penting dalam proses integrasi program minapolitan. Namun koordinasi antar kelembagaan terkait baik sektor pemerintah, swasta dan masyarakat perikanan belum optimal. Koordinasi antar sektor terkait yang seharusnya dilakukan oleh Pokja Minapolitan masih terkendala oleh keterbatasan anggaran. Koordinasi antar sektor pemerintah,
124 swasta, masyarakat nelayan dan perguruan tinggi belum dilakukan secara periodik untuk membahas rencana dan realisasi program minapolitan. 8) Upaya optimasi alokasi unit penangkapan ikan belum ada Hingga saat ini, pemerintah daerah belum melakukan upaya optimasi alokasi unit penangkapan ikan di PPN Palabuhanratu. Pemerintah belum menetapkan berapa jumlah unit penangkapan longline, pancing tonda dan pancing ulur yang optimal agar sumberdaya tuna dan layur di perairan Teluk Palabuhanratu dapat berkelanjutan. Jika unit-unit penangkapan tersebut berkembang terus tanpa batas dikhawatirkan akan mengakibatkan terjadinya over capacity dan over fishing secara terus menerus tanpa kendali. Dampak lanjutan yang dikhawatirkan muncul adalah perikanan tuna dan layur di Palabuhanratu menjadi colaps. Kelemahan ini dapat manjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja sistem minapolitan jika tidak diantisipasi dengan baik dan bijaksana oleh pemerintah daerah. 9) Kinerja pengelola TPI belum optimal TPI memiliki peran penting untuk menciptakan mekanisme pasar yang menguntungkan baik pihak pedagang maupun nelayan (Lubis 2012). Fakta di lapangan menunjukkan bahwa proses pelelangan di sebagian besar TPI-TPI di kawasan Teluk Palabuhanratu (termasuk di PPN Palabuhanratu) tidak berjalan. Berdasarkan hasil wawancara, penyebabnya adalah terbatasnya modal yang dimiliki oleh pihak bakul yang mengikuti proses pelelangan disamping kinerja pengelola TPI yang belum optimal. Meskipun pernah terjadi proses pelelangan, proses transaksi antara bakul dengan nelayan tidak dibayar cash. Sebagian besar uang tersebut dibayarkan setelah pihak bakul melakukan transaksi dengan pihak lain (konsumen dan industri pengolahan). Kondisi ini sangat tidak menguntungkan pihak nelayan. Bagi nelayan layur dan tuna, tidak berjalannya proses pelalangan di TPI tidak berpengaruh nyata dalam proses bisnis, karena adanya kebijakan khusus yaitu komoditas ekspor tidak melalui proses pelelangan di TPI. Akan tetapi, kondisi ini sebenarnya dapat merugikan pihak nelayan tuna dan layur maupun pemerintah daerah. Pihak nelayan mendapat kerugian karena tidak menperoleh harga yang optimal dan cenderung dimonopoli pihak tertentu (pedagang pengumpul dan
125 perusahaan eksportir). Bagi pihak pemerintah, jumlah transaksi yang sebenarnya terjadi tidak dapat diketahui secara tepat sehingga ada potensi kehilangan nilai retribusi dari proses transaksi tersebut. Kelemahan ini jika tidak dicari solusi terbaik dapat mengganggu kinerja sistem minapolitan karena tidak dapat mengontrol praktek bisnis monopoli dan diskriminatif. 10) Ketidaksepahaman stakeholder dalam menyikapi perubahan fokus kebijakan minapolitan. Perubahan politik nasional secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi perkembangan implementasi program minapolitan di daerah termasuk di PPN Palabuhanratu. Gagasan program minapolitan terlahir pada saat Kementerian Kelautan dan Perikanan dipimpin oleh Fadel Muhammad. Setelah pergantian menteri akibat dinamika politik nasional, program minapolitan terkesan stagnan. Menurut Lubis (2012), sejalan dengan perkembangan politik nasional, program minapolitan ini tertunda atau belum tercapai karena adanya prioritas-prioritas lain dari suatu pemerintahan yang baru. Pada tahun akhir 2011, KKP membuat inisiasi program industrialisasi perikanan dan salah satu lokasi percontohannya adalah PPN Palabuhanratu. Pada dasarnya, program industrialisasi perikanan, meskipun tidak termasuk dalam
roadmap
minapolitan
perikanan
tangkap
di
Palabuhanratu,
dimaksudkan untuk mendukung program minapolitan. Fokus komoditas yang dikembangkan adalah tuna, tongkol dan cakalang. Namun beberapa pihak terkait di daerah mensikapi kondisi tersebut berbeda-beda meskipun tidak terjadi pro dan kontra. Kesan yang timbul di lapangan adalah terjadi dualisme program dan seolah-olah terjadi perubahan fokus kebijakan. Kondisi ini dapat diantisipasi ketika koordinasi lintas pelaku dan lintas program dapat berjalan optimal. Kelemahan ini menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kinerja sistem minapolitan. Berdasarkan fakta kondisi internal (faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan sistem), kemudian dilakukan pembobotan (penilaian kepentingan)
dan
penentuan
rating
berdasarkan
pengaruhnya
tingkat terhadap
permasalahan. Perhitungan pembobotan berdasarkan perhitungan matrik banding berpasangan (Lampiran 13 dan 14).
126 Tabel 11 Matrik IFAS minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu Faktor-Faktor Internal
Bobot
Rating
Skor
Kekuatan 1. Jumlah kapal penangkapan tuna dan layur Palabuhanratu banyak
0,076
4
0,304
2.
Ketersediaan sumberdaya ikan yang cukup
0,076
4
0,304
3.
Komitmen Pemda terhadap program minapolitan relatif baik
0,076
4
0,304
4.
Jumlah industri pengekspor tuna dan layur cukup
0,076
4
0,304
5.
Kelengkapan fasilitas pelabuhan perikanan cukup baik
0,076
3
0,228
6.
Akses transportasi dan telekomunikasi relatif baik
0,046
3
0,137
7.
Posisi PPN strategis sebagai fishing based
0,018
3
0,054
8.
Dukungan kegiatan-kegiatan dari APBD untuk pengembangan minapolitan cukup baik
0,018
2
0,036
9.
Dukungan kegiatan-kegiatan dari investasi swasta cukup baik
0,018
2
0,036
10. Kemampuan beberapa nelayan lokal untuk pengadaan kapal > 5GT secara swadaya
0,046
3
0,137
0,046
2
0,092
2. Ketidakseimbangan posisi tawar diantara anggota primar rantai pasok
0,031
2
0,063
3. Sosialisasi program minapolitan kurang optimal
0,078
3
0,233
4. Fluktuasi produksi tuna dan layur
0,043
3
0,129
5. Inkonsistensi anggaran pengembangan minapolitan
0,020
2
0,039
6. Upaya percepatan kegiatan pengembangan minapolitan belum optimal
0,026
3
0,079
7. Koordinasi antar kelembagaan terkait belum optimal
0,079
3
0,237
8. Upaya optimasi alokasi unit penangkapan ikan belum ada
0,049
2
0,097
9. Kinerja pengelola TPI belum optimal
0,077
3
0,232
10. Ketidaksepahaman stakeholder dalam menyikapi perubahan fokus kebijakan minapolitan
0,025
2
0,050
Kelemahan 1. Upaya peningkatan kapasitas nelayan kurang optimal
Jumlah
1.000
3,098
Tabel 11 menunjukkan bahwa koordinasi antar kelembagaan terkait merupakan faktor internal terpenting dalam sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Hal ini dapat dilihat dari nilai bobotnya di mana memiliki nilai yang terbesar (0,079) dibandingkan dengan faktor internal lainnya. Faktor penting berikutnya adalah sosialisasi program minapolitan, kinerja pengelolaan TPI/PPI, jumlah unit penangkapan ikan, ketersediaan sumberdaya ikan, komitmen Pemda dan jumlah industri pengekspor tuna dan layur. Jumlah kapal penangkapan, ketersediaan sumberdaya ikan, komitmen Pemda, dan industri pengekpor tuna dan
127 layur diberi rating 4 karena faktor-faktor tersebut memiliki pengaruh yang sangat signifikan terhadap permasalahan yang ada dalam sistem minapolitan perikanan tangkap Palabuhanratu. Kelengkapan fasilitas pelabuhan, akses transportasi dan telekomunikasi, posisi strategis PPN, kemampuan swadaya pengadaan kapal, sosialisasi program, penurunan produksi, percepatan kegiatan (rencana aksi) minapolitan dan koordinasi antar kelembagaan, serta kinerja pengelola TPI diberi rating 3 karena memiliki pengaruh yang signifikan terhadap permasalahan sistem minapolitan. Dukungan kegiatan-kegiatan dari APBD, dukungan kegiatan dari investasi swasta, inkonsistensi anggaran minapolitan, upaya peningkatan kapasitas nelayan, ketidakseimbangan posisi tawar di antara anggota primer rantai pasok, upaya optimalisasi alokasi unit penangkapan ikan dan ketidaksepahaman stakholder dalam menyikapi perubahan fokus kebijakan minapolitan diberi rating 2, karena pengaruhnya kurang signifikan terhadap permasalahan sistem. Total nilai EFAS sebesar 3,098 (≥ 2,5) artinya kondisi internal sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu memiliki kekuatan untuk mengatasi situasi. 2. Analisis faktor eksternal Analisis faktor eksternal ini mencakup peluang dan ancaman terhadap sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Beberapa peluang yang harus dapat dioptimalkan untuk mengembangkan minapolitan adalah: 1) Permintaan pasar ekspor untuk komoditas tuna dan layur tinggi Jepang merupakan salah satu negara importir terbesar dunia untuk tuna segar. Sebagian tuna segar yang diekspor ke Jepang dikonsumsi langsung terutama untuk sashimi dan sushi. Permintaan tuna segar Jepang diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan sashimi dan produk-produk berbasis tuna segar yang siap saji di pasar internasional. Bagi Indonesia, Jepang juga merupakan negara tujuan utama ekspor tuna. Lebih dari 40%, nilai ekspor tuna Indonesia ditujukan ke Jepang dan sekitar 21% ditujukan ke pasar Amerika Serikat. Namun dengan melemahnya kurs yen terhadap dollar sebagai dampak dari lesunya ekonomi Jepang dalam sepuluh tahun terakhir ini, permintaan ikan tuna di pasar Jepang cenderung menurun. Akan tetapi setelah terjadinya tsunami di Jepang, maka permintaan tuna
128 Jepang pun kembali meningkat, karena banyaknya ikan tuna yang mati dan tercemar oleh radiasi di Jepang (Ronny 2011). 2) Tingginya minat investor di kawasan Palabuhanratu Indikasi awal untuk menilai tingginya untuk berinvestasi di kawasan PPN Palabuhanratu adalah banyaknya pihak swasta yang melakukan kemitraan bisnis dengan pihak PPN Palabuhanratu. Tabel 17 menunjukkan bahwa sebanyak 17 perusahaan yang menyewa lahan industri di PPN Palabuhanratu dengan total luas lahan yang telah disewa seluas 13.499,8 m2. Pada saat roadmap kegiatan di kawasan inti minapolitan telah selesai direalisasikan seperti pembangunan darmaga III, pengembangan areal industri pelabuhan perikanan dan penataan unit bisnis perikanan terpadu, diharapkan mampu menarik investor untuk mengembangkan sektor perikanan dan kelautan di kawasan industri PPN Palabuhanratu. Menurut Lamatta (2011) pengembangan unit bisnis di lingkungan PPN Palabuhanratu juga diharapkan dapat melayani kegiatan industri hulu dan hilir yang terintegrasi sehingga perkembangannya dapat lebih baik lagi. Prinsip dasar dari kegiatan unit bisnis perikanan terpadu adalah memadukan beberapa jumlah usaha yang terkait dalam kegiatan perikanan dalam satu lokasi dan kemitraan untuk menciptakan sinergi guna meningkatkan pendapatan nelayan. Kondisi ini merupakan faktor penting yang harus dapat diraih untuk meningkatkan kinerja sistem minapolitan di masa mendatang. 3) Kerja sama pemerintah dan swasta dalam pengembangan kawasan minapolitan Kerja sama pemerintah dan swasta (public privat partnerships) dapat menjadi alternatif ketika pemerintah memiliki keterbatasan anggaran. Menurut Simbolon (2011), dalam kaitannya dengan pengelolaan ORFP, pemerintah dapat melakukan mitra kerja sama dengan pihak swasta dalam pengembangan ekonomi perikanan dan kelautan melalui berbagai upaya seperti (1) penataan nelayan komersil (industri) dan nelayan tradisional, (2) pemberdayaan masyarakat, (3) pengembangan pasca panen untuk meningkatkan nilai tambah hasil tangkapan nelayan, (4) penataan zonasi daerah penangkapan antara nelayan tradisional dan industri untuk mencegah terjadinya konflik horizontal
129 antar nelayan. Ditambahkan pula bahwa pemerintah harus berani mengakui keterbatasannya dalam alokasi anggaran untuk membangun ORFP dan memberikan peluang yang lebih besar kepada pihak investor swastamasyarakat untuk dapat meningkatkan perannya dalam membantu pemerintah untuk mengembangkan sektor perikanan dan kelautan. Dalam kaitannya dengan pengembangan kawasan inti minapolitan di Palabuhanratu, master plan dan business plan yang telah dibuat harus dikemas lebih menarik sebagai sebuah konsep pengembangan kawasan minapololitan yang akan ditawarkan (dipromosikan) kepada pihak investor swasata-masyarakat. Konsekuensinya, sebelum melakukan forum kemitraan bisnis minapolitan, pemerintah harus menyiapkan aturan main kemitraan yang jelas, terukur dan feasible secara bisnis. Peluang kerja sama ini menjadi faktor penting yang harus dapat dioptimalkan untuk pengembangan minapolian di masa mendatang. 4) Dukungan dari perguruan tinggi dalam pengembangan minapolitan Perguruan tinggi memiliki peranan penting untuk mengembangkan kreativitas, skill dan talent pada sumberdaya manuasia. Selain itu, perguruan tinggi juga mengemban tugas untuk melakukan penelitian dan pengabdian masyarakat. Oleh karena itu, kedua belah pihak dapat melakukan kerja sama yang lebih spesifik dan fokus untuk mengembangkan minapolitan. Dukungan dari perguruan tinggi dalam pengembangan minapolitan harus dapat dioptimalkan oleh pengelola program (pemerintah). Peluang ini juga merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kinerja minapolitan. 5) Trend harga tuna di TCWM dan layur di CFR Cina meningkat Gambar 18 menunjukkan bahwa trend harga layur di CFR Cina dalam dua tahun terakhir cenderung meningkat setiap tahunnya. Harga bigeye tuna segar di Tokyo Central Wholesale Market tahun 2011 juga relatif lebih tinggi dibandingkan harga 3 tahun sebelumnya (Gambar 17). Trend harga tuna dan layur di negara tujuan ekspor yang meningkat dapat menjadi salah satu daya tarik bagi pelaku bisnis. Peluang ini merupakan faktor penting yang harus dapat dioptimalkan oleh pelaku bisnis tuna dan layur di Palabuharatu.
130 6) Berkembangnya produk hasil laut lainnya yang memiliki nilai tambah Berkembangnya produk hasil laut lainnya yang memiliki nilai tambah dari bahan baku tuna dan layur maupun ikan lainnya sangat diharapkan untuk kemajuan
klaster
industri
perikanan
tangkap.
Perusahaan
tuna
di
Palabuhanratu yang selama ini hanya berfungsi melakukan pengumpulan (agen) dan pengepakan hasil tangkapan. Dalam jangka panjang diharapkan, perusahaan tuna di Palabuhanratu dapat melakukan ekspor dalam bentuk tuna produk segar (dingin), utuh (fresh whole), beku utuh (frozen whole), dan dalam bentuk kaleng (canned tuna). Segmentasi pasar juga bertambah tidak hanya di Jepang tetapi juga pasar tuna di Amerika Serikat, Uni Eropa dan negara lainnya. Begitu juga dengan produk layur, jika memungkinkan (stok layur ke perusahaan relatif meningkat) dapat dikembangkan produk ekspor layur dalam bentuk kaleng. Peluang ini merupakan faktor penting yang seharusnya dapat dioptimalkan untuk menumbuhkembangkan klaster hasil perikanan tangkap di kawasan industri perikanan Palabuhanratu. 7) Pasokan ikan ke kawasan industri di zona inti lancar Kawasan industri perikanan ini adalah kawasan di sekitar PPN Palabuhanratu yang dialokasikan sebagai pusat industri pengolahan hasil perikanan dan laut. Area industri perikanan di kawasan inti minapolitan akan berkembang optimal ketika pasokan ikan ke kawasan industri lancar. Industri pengolahan hasil perikanan akan berkembang secara sehat ketika pasokan ikan yang dihasilkan oleh unit penangkapan dari PPN Palabuhanratu maupun daerah lainnya dapat memenuhi kebutuhan industri pengolahan yang ada. Artinya, antara usaha penangkapan ikan dengan industri pengolahan merupakan satu kesatuan yang dapat menjadi motor penggerak perekonomian di kawasan industri perikanan. Peluang ini merupakan faktor penting yang harus dapat dioptimalkan untuk mengembangkan kawasan industri perikanan di kawasan inti minapolitian perikanan tangkap Palabahubanratu. 8) Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi maju Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memiliki peranan penting dalam pengembangan minapolitan. Salah satu hal yang membuat perusahaan distributor tuna dan layur bertahan adalah penyediaan produk yang
131 tepat bagi konsumen di waktu yang tepat, dan dalam biaya yang ekonomis. Ketersediaan produk dan harga jual yang ekonomis hanya dapat terjadi jika ada koordinasi yang baik antara perusahaan dengan pihak-pihak yang terkait dengan rantai pasoknya. Koordinasi antara pihak-pihak dalam rantai pasok tidak hanya melibatkan koordinasi persediaan saja, tetapi juga informasi tentang pasar yang berguna untuk perencanaan perusahaan. Dengan demikian, penggunaan teknologi informasi dapat mempercepat penyampaian informasi dalam manajemen rantai pasok. Chopra dan Meindl (2004) diacu So et al. (2009) mengemukakan bahwa terdapat 4 pendorong utama yang menentukan kinerja rantai pasok manapun, yaitu fasilitas, persediaan, transportasi dan informasi. Oleh karena itu, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin maju merupakan peluang yang harus dapat dioptimalkan oleh anggota rantai pasok. 9) Jaminan pasar untuk tuna dan layur dari eksportir Produk tuna dan layur yang dihasilkan oleh nelayan di sekitar kawasan Teluk Palabuhanratu hingga saat ini selalu terserap oleh perusahaan eksportir. Sistem kemitraan yang terjalin antara perusahaan dengan pedagang pengumpul semakin memperkuat kepastian jaminan pasar tuna dan layur yang dihasilkan oleh pedagang pengumpul. Peluang ini harus dapat dioptimalkan sehingga dapat menguntungkan baik pihak nelayan, pedagang pengumpul maupun perusahaan. Selain memiliki peluang, sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu juga memiliki beberapa faktor eksternal yang menjadi ancaman seperti; 1) Kelestarian sumberdaya ikan terganggu Fishing ground nelayan layur dan tuna di PPN Palabuhanratu berada di WPP-RI 573 yaitu Samudera Hindia Selatan Jawa hingga Laut Timor bagian Barat. Menurut Sutisna (2010b), stok ikan demersal, small pelagic dan large pelagic pada WPP-RI 573 termasuk dalam katagori fully exploted. Status stok sumberdaya ikan tersebut harus menjadi perhatian bagi pihak pengambil kebijakan agar berkembangnya industrialisasi perikanan di kawasan
132 minapolitan tidak mengancam keberlanjutan sumberdaya ikan di masa mendatang. 2) Over capacity dan over fishing Berkembangnya usaha penangkapan di PPN Palabuhanratu jika tidak dikendalikan melalui upaya-upaya untuk mengontrol hasil tangkapan maka status stok sumberdaya ikan yang telah masuk katagori fully exploited dapat berubah status menjadi over exploited. Artinya, kondisi perikanan tangkap di kawasan Palabuhanratu telah terjadi over capacity dan over fishing. Ancaman over fishing yang berkelanjutan akan berdampak fatal karena perikanan akan colaps dan dapat merusak sistem minapolitan yang telah dibangun. Dengan demikian, ancaman over fishing jika tidak diatasi dengan benar dapat mengganggu keberlanjutan sistem minapolitan. 3) Praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat Praktek monopoli dan persaingan yang tidak sehat terjadi di antara anggota rantai pasok. Pedagang pengumpul melakukan monopoli harga jual ikan dari pihak nelayan. Persaingan tidak sehat terjadi di antara pedagang pengumpul. Jika salah satu pedagang pengumpul menaikan harga jual ikan dari nelayan tanpa persetujuan pedagang pengumpul lainnya, maka akan dimusuhi karena dikhawatirkan nelayan lain akan pindah ke pedagang pengumpul yang menaikkan harganya. Persaingan usaha juga terjadi di antara perusahaan eksportir terutama dalam hal penetapan harga. Perang harga antar perusahaan sebagai salah satu strategi untuk mendapatkan pasokan ikan dari pedagang pengumpul. Namun sebagian besar eksportir layur lebih memilih menjalin kerja sama pinjaman modal dengan pedagang pengumpul sebagai strategi untuk mendapatkan kontiyunitas pasokan ikan. Ancaman ini merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi kinerja sistem minapolitan. 4) Konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut Konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut yang pada umumnya terjadi antar nelayan disebabkan oleh perebutan fishing ground. Fakta ini juga diperkuat oleh hasil penelitian Sutomo (2012) yang melakukan
133 kajian model co-management perikanan tangkap di Palabuhanratu. Pada penelitian tersebut telah mengidentifikasi jenis-jenis konflik pengelolaan perikanan di Palabuhanratu (Tabel 12). Tabel 12 Konflik pengelolaan perikanan di Palabuhanratu No
Jenis konflik
Pihak bertikai
Keterangan
1.
Penggunaan bahan peledak, 2000-2007
Nelayan rumpon dan bukan rumpon
Berulang, melibatkan banyak nelayan
2.
Jalur penangkapan, 20032007
Nelayan besar, nelayan kecil, POLAIR
Sering, sering terutama pada musim paceklik
3.
Penangkapan penyu dan lainnya
Nelayan dan aparat
Pengawasan lemah, tindakan kurang tegas, tidak adil
4.
Konflik penjualan ikan, 2004-2007
Nelayan, tengkulak, industri, pedagang
TPI tidak aktif, harga diatus tengkulak, industri lepas tangan
5.
Konflik hibah perikanan
Nelayan lokal, HNSI, PEMDA, masyarakat
Sering disusupi unsur politis
6.
Konflik tambat labuh
Nelayan lokal, nelayan pendatang, PPN, PEMDA
Selesai melalui pengaturan lama dan retribusi tambat labuh, lokasi tambat labuh
Sumber; Sutomo (2012)
Sutomo (2012) juga menjelaskan bahwa banyak kapal nelayan besar yang menangkap ikan pada jalur penangkapan kurang dari 4 mil. Kondisi ini memicu konflik antara nelayan besar dan nelayan kecil. Namun setelah areal tambat labuh diperluas pada tahun 2007-2009 dan informasi fishing ground serta kondisi cuaca disediakan secara gratis oleh PPN Palabuhanratu, konflik dan mis informasi fishing ground sudah berkurang. Ancaman ini jika tidak diatasi dengan baik akan mempengaruhi kinerja sistem minapolitan. 5) Berkembangnya sentra komoditas tuna dan layur di luar kawasan Palabuhanratu Berkembangnya sentra komoditas tuna dan layur di luar kawasan Palabuhanratu dapat menjadi ancaman perikanan tuna dan layur di Palabuhanratu. Kondisi ini dapat terjadi ketika PPN Palabuhanratu sebagai zona inti kawasan minapolitan tidak memiliki daya saing yang tinggi dengan daerah lain. Jika komoditas unggulan minapolitan kalah bersaing dengan daerah lain dapat berdampak pada pindahnya investor (perusahaan
134 penangkapan dan pengolahan) ke daerah yang lebih kondusif. Ancaman ini harus dapat dijadikan peringatan dini dan pemicu bagi pengelola minapolitan untuk kreatif dan inovatif dalam meningkatkan daya saing minapolitan di Palabuhanratu. 6) Stabilitas politik nasional yang labil Stabilitas politik nasional yang labil memiliki peran yang cukup signifikan terhadap pengembangan minapolitan di daerah termasuk di PPN Palabuhanratu. Dinamika politik nasional terutama perubahan posisi kepemimpinan dapat menggeser prioritas-prioritas anggaran dan kegiatan minapolitan (APBN) yang telah ditetapkan dalam rencana jangka panjang (roadmap minapolitan). Oleh karena itu, pengelola minapolitan Palabuhanratu khususnya PEMDA dituntut untuk tetap konsisten, komitmen dan kreatif dalam mengembangkan minapolitan. 7) Embargo produk tuna dan layur Indonesia Embargo produk tuna dan layur Indonesia merupakan ancaman laten yang
harus
diperhatikan
oleh
seluruh
pihak
yang
terkait
dengan
pengembangan minapolitan di Palabuhanratu. Sunarwan (2007), menjelaskan bahwa Cina pernah memberlakukan embargo terhadap seluruh produk perikanan asal Indonesia pada tanggal 3 Agustus 2007. Embargo tersebut dilakukan karena Cina menduga produk perikanan Indonesia mengandung bakteri dan zat kimia, seperti mercury, logam berat, cadminum dan antibiotik dalam jumlah besar. Kondisi ini memaksa pemerintah pusat (KKP) melakukan klarifikasi dan negosiasi dengan pemerintah Cina. Setelah embargo dicabut pada tahun 2008, perdagangan produk perikanan laut Indonesia ke Cina kembali pulih. Kasus yang sama juga terjadi di Uni Eropa. Menurut Adhi (2006), pada tanggal 21 Maret 2006, Komisi Eropa telah mengeluarkan keputusan untuk melakukan wajib kontrol terhadap produk impor perikanan asal Indonesia di setiap pelabuhan di 25 negara anggota Uni Eropa. Keputusan itu merupakan pukulan berat bagi Indonesia. Penyebabnya antara lain ditemukannya kandungan histamin yang tinggi pada tuna dan swordfish tercemar logam berat, udang tercemar antibiotik chloramphenicol dan nitrofurans, serta produk ikan yang mengandung bakteri Escheria coli.
135 Selanjutnya, Barani (2011) menjelaskan bahwa embargo produk-produk perikanan dari Indonesia yang diekspor ke Jepang terutama tuna, karena dicurigai banyak kapal-kapal IUU penangkap tuna dari Indonesia. Tabel 13 Matrik EFAS minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu Faktor-faktor Eksternal
Bobot
Rating
Skor
Peluang 1. Permintaan pasar ekpor untuk komoditas tuna dan layur tinggi
0,112
4
0,450
2. Tingginya minat investor di kawasan Palabuhanratu
0,064
3
0,193
3. Kerja sama pemerintah dan swasta dalam pengembangan kawasan minapolitan
0,037
2
0,074
4. Dukungan dari perguruan tinggi dalam pengembangan minapolitan
0,023
2
0,047
5. Trend harga tuna di TCWM dan layur di CFR Cina meningkat
0,112
2
0,225
6. Berkembangnya produk hasil laut lainnya yang memiliki nilai tambah
0,064
3
0,193
7. Pasokan ikan ke kawasan industri di zona inti lancar
0,064
3
0,193
8. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi maju
0,037
3
0,112
9. Jaminan pasar untuk tuna dan layur dari eksportir
0,112
4
0,450
Ancaman 1. Kelestarian sumberdaya ikan terganggu
0,112
3
0,337
2. Over capacity dan over fishing
0,064
3
0,193
3. Konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut
0,054
3
0,161
4. Praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat
0,037
3
0,112
5. Berkembangnya sentra komoditas tuna dan layur di luar kawasan Palabuhanratu
0,016
1
0,016
6. Stabilitas politik nasional yang labil
0,023
2
0,047
7. Embargo produk tuna dan layur Indonesia
0,064
1
0,064
Jumlah
1.000
Tabel 13 terlihat bahwa faktor eksternal yang terpenting dalam sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu adalah tingginya permintaan pasar ekspor, jaminan pasar, dan kelestarian sumberdaya. Berdasarkan perhitungan matrik banding berpasangan dari faktor-faktor tersebut diperoleh hasil nilai bobot tertinggi yaitu terbesar 0,112. Faktor eksternal yang memiliki tingkat kepentingan terendah adalah berkembangnya sentra komoditas tuna dan layur di luar kawasan Palabuhanratu. Nilai bobot yang diperoleh faktor tersebut sebesar 0,016. Tingginya permintaan pasar ekspor dan jaminan pasar untuk tuna dan layur dari ekportir merupakan kondisi ekternal yang sangat menguntungkan bagi sistem minapolitan perikanan tangkap Palabuhanratu. Akan tetapi, daya
2,867
136 tawar pembeli (juragan dan eksportir) juga sangat kuat sehingga harga ikan yang diterima nelayan hanya dipengaruhi oleh interaksi antara eksportir dan juragan. Kondisi ini tidak kondusif bagi pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Oleh karena itu, ketiga faktor eksternal tersebut diberi rating 4. Tingginya minat investor diberi rating 3 karena memiliki pengaruh yang signifikan dalam pengembangan klaster industri perikanan di Palabuhanratu, meskipun sampai saat ini terdapat 5 industri tuna dan 8 industri layur. Berkembangnya produk-produk olahan hasil laut, pasokan ikan ke kawasan industri dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi juga merupakan peluang yang cukup baik sehingga diberi rating 3. Kerja sama antara pemerintah dan swasta serta dukungan perguruan tinggi pengaruhnya kurang signifikan dalam pengembangan minapolitan jika dibandingkan dengan faktor-faktor eksternal lainnya sehingga kedua faktor eksternal tersebut juga diberi rating 2. Ancaman terbesar yang dihadapi oleh sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu adalah 1) kelestarian sumberdaya ikan terganggu, 2) konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut, 3) serta over fishing dan over capacity, dan 4) praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat. Keempat faktor tersebut signifikan mempengaruhi sistem minapolitan sehingga diberi rating 3. Stabilitas politik nasional yang labil pengaruhnya sedikit terhadap sistem sehingga diberi rating 2. Berkembangnya sentra komoditas tuna dan layur di luar kawasan Palabuhanratu dan embargo produk tuna dan layur Indonesia diberi rating 1 karena pengaruhnya sangat sedikit terhadap sistem minapolitan. Jumlah faktor-faktor eksternal dalam matrik EFAS sebesar 2,867 (≥ 2,5) artinya sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu mampu merespon kondisi eksternal yang ada. 3. Perumusan tema-tema strategi Tabel 11 dan Tabel 13 menunjukkan total skor faktor internal dan faktor eksternal masing-masing 3,098 dan 2,867. Nilai-nilai tersebut jika diplotkan dalam grafik kuadran SWOT berada pada kuadran 1 (Gambar 35). Kuadran I merupakan situasi yang menguntungkan di mana sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu memiliki peluang dan kekuatan sehingga dapat memanfaatkan peluang yang ada. Strategi yang harus diterapkan dalam kondisi ini
137 adalah mendukung kebijakan pertumbuhan yang agresif (growth oriented strategy).
Peluang 4 4.
Mendukung strategi tern-around
1.
3
3,098 ; 2,867
Kelemahan 1
Mendukung strategi agresif
Kekuatan 2
3
4
2
3.
Mendukung strategi defensif
2.
Mendukung strategi diversifikasi
1 Ancaman
Gambar 35 Ploting skor faktor internal dan eksternal sistem minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu dalam kuadran SWOT.
Analisis SWOT menghasilkan empat kombinasi strategi (Gambar 36), yaitu 1) strategi strengths opportunities (SO) adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang, 2) strategi strengths threats (ST) adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman, 3) strategi weaknesses opportunities (WO) adalah strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang, dan 4) strategi weaknesses threats (WT) adalah strategi yang meminimalkan kelemahan serta menghindari ancaman.
138
Internal
Strengths (S)
Weaknesses (W)
1.
Jumlah kapal penangkapan tuna dan layur Palabuhanratu
1.
Upaya peningkatan kapasitas nelayan kurang optimal
2.
Ketersediaan sumberdaya ikan yang cukup
2.
Ketidakseimbangan posisi tawar diantara anggota rantai pasok
3.
Komitmen Pemda terhadap program minapolitan
3.
Sosialisasi program minapolitan kurang optimal
4.
Jumlah industri pengekspor tuna dan layur
4.
Fluktuasi produksi tuna dan layur
5.
Kelengkapan fasilitas pelabuhan perikanan
5.
Inkonsistensi anggaran pengembangan minapolitan
6.
Akses transportasi dan telekomunikasi relatif baik
6.
Upaya percepatan kegiatan minapolitan belum optimal
7.
Posisi PPN strategis sebagai fishing based
7.
Koordinasi antar kelembagaan terkait belum optimal
8.
Dukungan kegiatan-kegiatan minapolitan dari APBD
8.
Upaya optimasi alokasi unit penangkapan ikan belum ada
9. Dukungan kegiatan-kegiatan dari investasi swasta 10. Kemampuan beberapa nelayan lokal untuk pengadaan kapal > 5GT secara swadaya
Eksternal Opportunities (O)
Strategi SO
1.
Permintaan pasar ekpor untuk komoditas tuna dan layur tinggi
2.
Tingginya minat investor di kawasan Palabuhanratu
3.
Kerja sama pemerintah dan swasta dalam pengembangan kawasan minapolitan
4.
Dukungan dari perguruan tinggi dalam pengembangan minapolitan
5.
Trend harga tuna di TCWM dan layur di CFR Cina meningkat
6.
Berkembangnya produk hasil laut lainnya yang memiliki nilai tambah
7.
Pasokan ikan ke kawasan industri di zona inti lancar
8.
Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi maju
9.
Jaminan pasar untuk tuna dan layur dari eksportir
1. Meningkatkan sarana, prasarana dan infrastruktur transportasi serta pelabuhan perikanan (O2, O3, S3, S8, S9) 2. Optimalisasi produksi tuna dan layur (O1, O4, S1, S2, S5, S7, S10)
Strategi ST
Threats (T) 1.
Kelestarian sumberdaya ikan terganggu
2.
Over capacity dan over fishing
3.
Konflik pemanfaatan ruang wilayah pesisir dan laut
4.
Praktek monopoli dan persaingan usaha yang tidak sehat
5.
Berkembangnya sentra komoditas tuna dan layur di luar Palabuhanratu
6.
Stabilitas politik nasional yang labil
7.
Embargo produk tuna dan layur Indonesia
1. Pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan (T1, T2, T3, T5, T7, S1, S2, S5, S7, S10) 2. Pengembangan pola kemitraan antara nelayan, juragan dan eksportir yang berimbang (T3, T4, T6, S7, S9, S10)
9. Kinerja pengelola TPI belum optimal 10. Ketidaksepahaman stakeholder dalam menyikapi perubahan fokus kebijakan minapolitan
Strategi WO 1. Kerja sama kemitraan bisnis minapolitan (W2, W3, W6, W10, O1, O2, O3, O6, O7, O9) 2. Peningkatan kinerja pengelola pelabuhan perikanan (W1, W3, W4, W5, W7, W9, W10, O2, O3, O4, O8) 3. Industrialisasi perikanan (W4, W6, W8, O1, O2, O3, O4, O5, O6, O7, O8, O9)
Strategi WT 1. Membangun kesadaran kolektif untuk tetap komitmen dan konsisten dalam mengembangkan minapolitan (W3, W5, W6, W7, W10, T3, T4, T5, T6)
Gambar 36 Matrik SWOT strategi pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. 138
139
1) Strategi Strengths Opportunities (SO) Strategi ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang. Atas dasar tersebut, perumusan alternatif strateginya adalah: (1) Optimalisasi produksi tuna dan layur Strategi ini dimaksudkan untuk meningkatkan daya saing produk tuna dan layur di PPN Palabuhanaratu. Peningkatan daya saing tidak semata-mata hanya mementingkan peningkatan produksi tuna dan layur tetapi lebih kepada peningkatan kualitas dan keberlanjutan sumberdaya tuna dan layur di masa mendatang. 100% 90%
Produksi (kg)
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0% 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Bulan Kualitas I
Kualitas II
Kualitas III
Gambar 37 Fluktuasi kualitas produk tuna di PPN Palabuhanratu tahun 2011. Gambar 37 menunjukkan bahwa kualitas produk tuna bulanan tahun 2011 di PPN Palabuhanratu berfluktuasi. Pada tahun 2011, produksi tuna didominasi oleh kualitas I (73%) sisanya kualiatas II (13%) dan kualitas III (14%). Produk tuna kualitas I terendah pada bulan September (50%) dan tertinggi pada bulan Desember (92%). Strategi optimalisasi produk dalam kaitannya dengan kualitas adalah strategi untuk meningkatkan prosentase jumlah produk tuna kualitas I. Kualitas produk tuna dan layur sangat erat hubungannya dengan proses penanganan hasil tanggapan ikan di atas kapal hingga proses distribusi ke konsumen akhir. Aspek penting yang harus dipahami oleh anggota rantai pasok (pelaku usaha) adalah 1) teknologi
140 penanganan hasil tangkapan di atas kapal, 2) efisiensi alur distribusi produk, dan 3) inovasi teknologi distribusi produk. Strategi optimalisasi produk dalam kaitannya dengan peningkatan produksi dan menjaga keberlanjutan sumberdaya adalah bagaimana membuat kajian optimalisasi alokasi unit alat tangkap tuna dan layur di Palabuhanratu. Kemudian dalam tataran kebijakan adalah pembatasan jumlah unit penangkapan tuna dan layur. Jika dikaitkan dengan Matrik SWOT (Gambar 36), strategi ini dilakukan dengan menggunakan beberapa kekuatan internal sistem minapolitan di Palabuhanratu (S1, S2, S5, S7, dan S10) untuk memanfaatkan beberapa peluang (O1 dan O4). (2) Meningkatkan sarana, prasarana dan infrastruktur transportasi dan pelabuhan perikanan Strategi ini ditempuh untuk memberikan kenyamanan fasilitas pelayanan bagi pelaku usaha eksisting maupun pelaku usaha baru yang akan berinvestasi di kawasan industri PPN Palabuhanratu. Setidaknya ada tiga hal pokok yang harus diperhatikan yaitu jalur transportasi (darat, laut dan udara), teknologi informasi, fasilitas pelabuhan perikanan. Ketiga jenis infrastruktur tersebut merupakan elemen penting untuk mendukung pengembangan industrialisasi perikanan yang modern sehingga jenis, kapasitas dan kualitas fasilitas harus ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pengguna. Jika dikaitkan dengan Matrik SWOT (Gambar 36), strategi ini dilakukan dengan menggunakan beberapa kekuatan internal sistem minapolitan di Palabuhanratu (S3, S8, dan S9) untuk memanfaatkan beberapa peluang (O2 dan O3). 2) Strategi Weaknesses Opportunities (WO) Strategi ini dibuat dengan mengurangi seluruh kelemahan untuk merebut dan memanfaatkan peluang. Perumusan alternatif strateginya adalah: (1) Kerja sama kemitraan bisnis minapolitan Strategi ini harus konsisten dan kontinyu dilakukan oleh pihak pemerintah pusat maupun daerah. Kemitraan bisnis tidak hanya untuk menarik investor baru di kawasan industri PPN Palabuhanratu (zona inti) tetapi juga untuk daerah di sekitarnya (kawasan penunjang). Oleh karena
141 itu, business plan zona inti dan zona penunjang harus dikemas menjadi lebih menarik, elegan, dan scientific sehingga dapat menjadi perhatian berbagai pihak khususnya pemerintah, dunia usaha, akademisi, masyarakat dan lembaga sosial lainnya. Dalam perspektif klaster industri, kemitraan bisnis minapolitan identik dengan pengembangan kemitraan klaster industri perikanan dimana secara fisik lokasi pengembangannya berada di kawasan industri pelabuhan perikanan. Langkah-langkah yang dapat dilakukan dalam membangun kemitraan bisnis tersebut adalah: a. Membentuk
organisasi
kemitraan
yang akan menjadi
wadah
pelaksanaan setiap rencana aksi klaster industri perikanan pada khususnya ataupun program minapolitan pada umumnya; b. Memperkuat
organisasi
kemitraan
melalui
pendokumentasian
sumberdaya yang ada untuk mendukung klaster industri perikanan dan mempublikasikan informasi berkaitan dengan aktivitas kemitraan klaster industri perikanan; c. Menghimpun dana oprasional untuk mendanai kegiatan operasional kemitraan klaster industri perikanan Jika dikaitkan dengan Matrik SWOT (Gambar 36), strategi ini dilakukan dengan harapan dapat mengurangi beberapa kelemahan internal sistem minapolitan di Palabuhanratu (W2, W3, W6, dan W10) sehingga dapat memanfaatkan beberapa peluang (O1, O2, O3, O6, O7, dan O9). (2) Peningkatan kinerja pengelola pelabuhan perikanan Strategi ini merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas sumberdaya pengelola pelabuhan perikanan sehingga peran penting pelabuhan perikanan khususnya PPN Palabuhanratu dalam menunjang efisiensi usaha perikanan tangkap dapat dijalankan seoptimal mungkin. Dengan kata lain, pengelola pelabuhan perikanan dalam menjalankan kewajibannya harus dapat memberikan pelayanan terbaik agar kinerja pelabuhan perikanan tetap dapat berfungsi secara optimal dalam melayani industri perikanan.
142 Peningkatan kapasitas (capacity building) bagi pengelola pelabuhan perikanan didefinisikan sebagai “sampai seberapa jauh staf mampu menunjukkan kontribusi yang nyata terhadap pengembangan personal, organisasi dan masyarakat nelayan”. Faktor-faktor signifikan yang mempengaruhi pembangunan kapasitas adalah komitmen bersama, kepemimpinan,
reformasi
peraturan,
reformasi
kelembagaan,
dan
pengakuan tentang kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh pengelola pelabuhan perikanan. Selain peningkatan kapasitas SDM pengelola pelabuhan, juga sangat penting untuk meningkatkan kapasitas lembaga pengelola pelabuhan. Pengembangan kelembagaan pelabuhan perikanan merupakan strategi dan cara untuk memulihkan, memperbaiki dan meningkatkan sinkronisasi hubungan kerja dalam kelembagaan pelabuhan perikanan sehingga meningkat prestasinya. Peningkatan kapasitas kelembagaan diarahkan kepada mengubah cara berpikir, sikap dan kebiasaan lama yang telah berurat akar dan memberikan wawasan baru atau nilai-nilai baru good governance. Jika dikaitkan dengan Matrik SWOT (Gambar 36), strategi ini dilakukan dengan harapan dapat mengurangi beberapa kelemahan internal sistem minapolitan di Palabuhanratu (W1, W3, W4, W5, W7, W9, dan W10) sehingga dapat memanfaatkan beberapa peluang (O2, O3, O4, dan O8). (3) Industrialisasi perikanan Industrialisasi perikanan pada dasarnya merupakan aktualisasi dari pengembangan pelabuhan perikanan. Pengembangan kapasitas, kualitas dan jenis fasilitas pelabuhan perikanan akan mendorong kegiatan ekonomi lainnya
sehingga
pelabuhan
perikanan
menjadi
suatu
kawasan
pengembangan industri perikanan. Sasaran strategis industrialisasi perikanan mencakup 3 hal pokok yaitu: a. Integrasi rantai pasok, meliputi a) mengembangkan sentra produksi di wilayah pontensial di kawasan PPN Palabuhanratu, dan b) membangun industri pengolahan di sentra produksi dalam satu kesatuan pengembangan;
143 b. Pengembangan sistem produksi, meliputi a) meningkatkan produksi komoditas pilihan utama untuk bahan baku industri dan kebutuhan pangan dalam negeri, dan b) meningkatkan mutu dan kualitas produk serta menjaga kontinuitas produksi; c. Peningkatan sarana dan prasarana, melalui a) meningkatkan saran dan prasarana pengolahan dan pemasaran serta promosi, dan b) meningkatkan sarana dan prasarana pendukung produksi perikanan termasuk pengembangan jalan produksi, angkutan dan jalur distribusi. Penguatan sistem dan manajemen pemulihan SDI Penguatan sistem dan manjemen Pelabuhan Perikanan Penguatan sistem dan manajemen pendaratan ikan Penguatan sistem dan manajemen standarisasi serta modernisasi sarana perikanan tangkap Penguatan sistem dan manajemen perijinan Penguatan sistem dan manajemen modal dan investasi Penguatan sistem dan usaha nelayan
Kebijakan Pengembangan Industrialisasi Perikanan Tangkap
Peningkatan Produksi Peningkatan Nilai Produksi Upaya/ Kegiatan
Peningkatan Pendapatan Peningkatan Tenaga Kerja yang Terserap
Sumber : KKP (2012)
Gambar 38 Kerangka konseptual kebijakan dan strategi industrialisasi perikanan sebagai salah satu kegiatan percepatan minapolitan di Palabuhanratu.
Industrialisasi perikanan juga merupakan program yang diinisiasikan oleh KKP sebagai salah satu program akselerasi minapolitan perikanan tangkap di Indonesai dan PPN Palabuhanratu sebagai salah satu lokasi pilot project. Gambar 38 menunjukkan bahwa kebijakan industrialisasi perikanan tangkap yang merupakan kegiatan percepatan minapolitan di Palabuhanratu dilakukan melalui 7 strategi, yaitu a) penguatan sistem dan manajemen pemulihan sumberdaya ikan, b) penguatan sistem dan menajemen pelabuhan perikanan, c) penguatan sistem dan manajemen pendaratan ikan, d) penguatan sistem dan manajemen standarisasi serta
144 modernisasi sarana perikanan tangkap, e) penguatan sistem dan manajemen perijinan, f) penguatan sistem dan manajemen modal dan investasi, serta g) penguatan sistem dan usaha nelayan. Mengacu pada Matrik SWOT (Gambar 36), strategi ini dilakukan dengan harapan dapat mengurangi beberapa kelemahan internal sistem minapolitan di Palabuhanratu (W4, W6, dan W8) sehingga dapat memanfaatkan beberapa peluang yang dimiliki (O1, O2, O3, O4, O5, O6, O7, O8, dan O9). 3) Strategi Strengths Threats (ST) Strategi ST ini dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk mengatasi ancaman. Perumusan alternatif strateginya adalah: (1) Pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan Konsep
perikanan
tangkap
berkelanjutan
tidak
semata-mata
menyangkut produksi lestari (sustainable yield), potensi perikanan lestari (maximum sustainable yield) dan total allowable catch (TAC). Konsep tersebut masih terfokus untuk menentukan kelestarian output, yaitu produksi ikan yang mengacu pada nilai MSY ataupun TAC. Oleh karena itu, diperlukan perubahan mindset tentang perspektif baru keberlanjutan perikanan tangkap yaitu keberlanjutan proses yang memperhatikan status ekosistem dan manusia. Menurut Charles (2001), perspektif baru tentang konsepsi perikanan berkelanjutan mencakup dua hal pokok, yaitu pertama, kesehatan ekosistem dan sistem manusia (healthy ecosystems and human systems), dan kedua, multiple objectives yakni suatu keseimbangan antara konservasi sumberdaya dan kepentingan manusia. Komponen-komponen
keberlanjutan
perikanan
mencakup
keberlanjutan ekologi, keberlanjutan sosial ekonomi, keberlanjutan masyarakat, serta keberlanjutan kelembagaan. Keberlanjutan ekologi merupakan upaya untuk memelihara keberlanjutan stok atau biomas sehingga tidak melewati daya dukungnya, serta memberikan perhatian utama
untuk
meningkatkan
kapasitas
dan
kualitas
ekosistem.
Keberlanjutan sosial ekonomi berarti secara ekonomi pemanfaatan sumberdaya perikanan harus relevan dan secara sosial memberikanan
145 manfaat yang berkelanjutan bagi generasi mendatang. Keberlanjutan komunitas (masyarakat) adalah keterpaduan keberlanjutan kesejahteraan dari sisi komunitas baik kesejahteraan ekonomi maupun sosial budaya serta kesehatan jangka panjang. Keberlanjutan kelembagaan terkait dengan pengelolaan dan pemeliharaan aspek finansial, administrasi yang baik dan sehat serta kemampuan pengorganisasian untuk jangka panjang. Mengacu pada Matrik SWOT (Gambar 36), strategi ini dilakukan dengan menggunakan beberapa kekuatan internal sistem minapolitan di Palabuhanratu (S1, S2, S5, S7, dan S10) untuk mengatasi beberapa ancaman eksternal (T1, T2, T3, T5, dan T7). (2) Pengembangan pola kemitraan antara nelayan, juragan dan eksportir yang berimbang (win-win partnerships). Strategi ini dapat dilakukan melalui integrasi vertikal karena dengan integrasi vertikal dapat dicapai efisiensi yang lebih tinggi. Integrasi vertikal dapat dilakukan melalui pola kemitraan inti plasma maupun contrac farming. Pola kemitraan yang ada sekarang (pada rantai pasok layur) sudah cukup baik tetapi diperlukan penyempurnaan tentang mekanisme untuk menyeimbangkan posisi tawar antar nelayan, pedagang pengumpul dan perusahaan. Mengacu pendapat Saptana et al. (2003), kemitraan yang dibangun dapat berjalan dengan seimbang ketika terjadi konsolidasi baik dari anggota rantai pasok maupun manajemen rantai pasoknya. Oleh karena itu yang terpenting dalam pengembangan kelembagaan di tingkat nelayan bukan struktur formalnya tetapi kompatibilitas fungsi-fungsi yang harus dijalankan. Dengan demikian yang perlu memperoleh perhatian serius adalah mengidentifikasi secara seksama kelembagaan lokal yang dapat dijadikan embrio kelembagaan dalam kerangka kemitraan usaha. Pengembangan kelembagaan nelayan (rantai pasok) harus dilakukan melalui proses sosial yang matang, terencana, tersosialisasikan, yang akhirnya dapat berjalan dengan baik. Dalam mengembangkan pola kemitraan agribisnis perikanan yang seimbang tentunya memerlukan inovasi kelembagaan dan intervensi.
146 Intervensi seharusnya tidak diartikan sebagai campur tangan akan tetapi hendaknya dipandang sebagai uluran tangan. Setiap tindakan uluran tangan harus mampu menimbulkan perubahan positif, sehingga tindakan perubahan atau pengembangan dapat dirasakan oleh seluruh jaringan agribisnis perikanan atau anggota rantai pasok. Saptana et al. (2003) menjelaskan tentang konsep strategi inovasi kelembagaan, yaitu business intermediary,
dan
intermediary
ini
paralel sebagai
organization. penghantar
Kelembagaan
kelompok
nelayan
business untuk
meningkatkan posisi tawarnya pada posisi yang mandiri sejalan dengan tingkat kematangan usaha (business maturity) dan kemitraan usaha yang telah ada. Sementara itu, paralel organization menjadi pendamping yang bersifat fasilitasi, mediasi dan regulatif dalam menghantar business intermediary menjadi lembaga formal yang mandiri, misalnya menjadi koperasi agribisnis perikanan layur. Mengacu pada Matrik SWOT (Gambar 36), strategi ini dilakukan dengan menggunakan beberapa kekuatan internal sistem minapolitan di Palabuhanratu (S7, S9, dan S10) untuk mengatasi beberapa ancaman eksternal (T3, T4, T6, dan T7). 4) Strategi Weaknesses Threats (WT) Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan beberapa kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Perumusan alternatif strateginya adalah: (1) Membangun kesadaran kolektif untuk tetap komitmen dan konsisten dalam mengembangkan minapolitan. Strategi ini dapat dilakukan melalui Forum Lintas Pelaku Minapolitan, public campaign, sosialisasi, dan promosi untuk menyatukan berbagai pihak. Artinya, bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan berupa pertemuan koordinasi, sosialisasi dan konsolidasi terhadap rencana aksi minapolitan, industrialisasi perikanan maupun kemitraan bisnis kepada para pelaku ekonomi atau stakeholders kunci. Hasil yang diharapkan dari strategi ini adalah terumuskannya pola kerja sama pelaksanaan
147 pengembangan atau penguatan klaster industri perikanan yang terintegrasi dalam sistem minapolitan. Mengacu pada Matrik SWOT (Gambar 36), strategi ini dimaksudkan untuk meminimalkan beberapa kelemahan sistem minapolitan di Palabuhanratu (W3, W5, W6, W7, dan W10) dan mengatasi beberapa ancaman eksternal (T3, T4, T5, T6 S7, dan S9). 4.3.2
Analisis balanced scorecard Proses membangun balanced scorecard akan menghasilkan suatu gambaran
mengenai apa yang ingin dicapai, bagaimana cara mencapainya, target yang diinginkan dan program yang harus dijalankan. Penyusunan balanced scorecard minapolitan perikanan tangkap Palabuhanratu hanya dibatasi 5 tahapan yaitu perumusan strategi berdasarkan analisis SWOT, perumusan strategi dalam perspektif balanced scorecard, perumusan sasaran strategis, identifikasi faktorfaktor keberhasilan dan pengembangan tolok ukur, identifikasi penyebab dan dampak serta membuat keseimbangan. 1. Perumusan strategi berdasarkan analisis SWOT Analisis SWOT sebagaimana telah diuraikan di atas telah menghasilkan beberapa strategi pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu, yaitu 1) optimalisasi produksi tuna dan layur, 2) meningkatkan sarana, prasarana dan infrastruktur transportasi serta pelabuhan perikanan, 3) kerja sama kemitraan bisnis minapolitan, 4) peningkatan kinerja pengelola pelabuhan perikanan, 5) industrialisasi perikanan, 6) pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan, 7) pengembangan pola kemitraan antara nelayan, juragan dan eksportir yang berimbang, 8) membangun kesadaran kolektif untuk tetap komitmen dan konsisten dalam mengembangkan minapolitan. 2. Perumusan strategi dalam perspektif balanced scorecard Berdasarkan 8 strategi hasil analisis SWOT kemudian ditransformasikan ke dalam 4 perspektif balaced scorecard, yaitu 1) pelanggan dan stakeholder, 2) keuangan, 3) bisnis internal, dan 4) kapasitas kelembagaan (Tabel 14). Penjabaran keempat perspektif tersebut sebagai berikut:
148 1) Pelanggan dan stakeholder Persepsi pelanggan dan stakeholder sangat penting, karena maju atau mundurnya kinerja minapolitan perikanan tangkap sangat ditentukan oleh pelanggan dan stakeholder. Pelanggan adalah anggota primer dan sekunder rantai pasok komoditas unggulan minapolitan sedangkan stakeholder adalah pihak lain yang terkait dengan minapolitan (di luar anggota rantai pasok) baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, fokus strategi minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu lebih diarahkan pada pelayanan yang berkualitas kepada pelanggan dan stakeholder. Artinya, apa yang dibutuhkan pelanggan dan stakeholder harus dipenuhi dengan baik oleh pengelola minapolitan. Atas dasar tersebut perumusan strategi berdasarkan perspektif pelanggan dan stakeholder adalah: (1) Pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan (2) Meningkatkan sarana, prasarana dan infrastruktur transportasi serta pelabuhan perikanan 2) Perspektif Keuangan (Financial) Perumusan tujuan strategis berdasarkan perspektif keuangan dilakukan melalui pelayanan yang efektif dan efiesien. Berdasarkan hasil analisis SWOT maka perumusan strategi yang termasuk dalam perspektif keuangan adalah: (1) Optimalisasi produk tuna dan layur (2) Kemitraan bisnis minapolitan 3) Perspektif bisnis internal Ukuran proses internal berfokus pada berbagai proses internal yang akan berdampak besar kepada kepuasan pelanggan dan pencapaian tujuan finansial kelembagaan. Tujuan proses bisnis internal akan menyoroti berbagai proses penting yang mendukung keberhasilan strategi kelembagaan tersebut walaupun beberapa diantaranya mungkin merupakan proses yang saat ini sama sekali belum dilaksanakan.
Perumusan
strategi
dalam
perspektif
bisnis
internal
menggambarkan proses-proses yang penting untuk meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir. Atas dasar tersebut, perumusan strategi berdasarkan perspektif bisnis internal adalah:
149 (1) Industrialisasi perikanan (2) Pengembangan pola kemitraan antara nelayan, juragan dan eksportir yang berimbang (win-win partnerships). 4) Perspektif kapasitas kelembagaan Perspektif kapasitas kelembagaan merupakan dasar bagi perspektif lainnya dalam balanced scorecard, dan penciptaan value pada kelembagaan sangat didominasi oleh pengaruh human capital (SDM). Pada arsitektur balanced scorecard, persepktif ini diletakkan paling bawah karena merupakan dasar bagi perspektif lainnya (Gambar 37). SDM yang termotivasi dan dilengkapi dengan ketrampilan dan perlengkapan yang tepat harus didukung oleh suasana kerja yang mendorong terciptanya perbaikan secara terus menerus. Perspektif kapasitas kelembagaan mengambarkan kompetensi dan kemampuan semua anggota kelembagaan minapolitan. Oleh karena itu, perumusan strategi berdasarkan perspektif kapasitas kelembagaan adalah: (1) Peningkatan kinerja pengelola pelabuhan perikanan (2) Membangun kesadaran kolektif untuk tetap komitmen dan konsisten dalam mengembangkan minapolitan Tabel 14 Tujuan strategis pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu berdasarkan perspektif balanced scorecard Perspektif Pelanggan dan stakeholder
Tujuan Strategis 1) Pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan 2) Meningkatkan sarana, prasarana dan infrastruktur transportasi serta pelabuhan perikanan
Keuangan
1) Optimalisasi produk tuna dan layur 2) Kemitraan bisnis minapolitan
Bisnis internal
1) Industrialisasi perikanan 2) Pengembangan pola kemitraan antara nelayan, juragan dan eksportir yang berimbang (win-win partnerships).
Kapasitas kelembagaan
1) Peningkatan kinerja pengelola pelabuhan perikanan 2) Membangun kesadaran kolektif untuk tetap komitmen dan konsisten dalam mengembangkan minapolitan
150 3. Perumusan sasaran strategi PERSPEKTIF PELANGGAN DAN STAKEHOLDER Tujuan: 1. Pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan 2. Meningkatkan sarana, prasarana dan infrastruktur transportasi serta pelabuhan perikanan Sasaran 1) Keseimbangan antara konservasi dan eksploitasi 2) Tingkat kepuasan pelayanan bagi pelanggan dan stakeholder PERSPEKTIF KEUANGAN
PERSPEKTIF BISNIS INTERNAL
Tujuan: 1. Optimalisasi produk tuna dan layur 2. Kemitraan bisnis minapolitan Sasaran 1) Kontinuitas produk dengan mutu yang berkualitas tinggi 2) Kemitraan klaster industri perikanan.
Tujuan: 1. Industrialisasi perikanan 2. Pengembangan pola kemitraan antara nelayan, juragan dan eksportir VISI DAN yang berimbang STRATEGI Sasaran 1) Integrasi rantai pasok, pengembangan sistem produksi dan peningkatan sarana dan prasarana 2) Konsolidasi anggota rantai pasok dan inovasi kelembagaan kemitraan PERSPEKTIF KAPASITAS KELEMBAGAAN
Tujuan: 1. Peningkatan kinerja pengelola pelabuhan perikanan 2. Membangun kesadaran kolektif untuk tetap komitmen dan konsisten dalam mengembangkan minapolitan Sasaran 1) Pengelola pelabuhan dapat menjalankan kewajibannya agar fungsi penting pelabuhan perikanan tetap berfungsi secara optimal dalam melayani industri perikanan 2) Pendistribusian dan monitoring informasi sumberdaya dan kegiatan kemitraan klaster industri perikanan agar terjadi sinergi kemitraan.
Gambar 39 Tujuan dan sasaran strategis pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Tahap selanjutnya dalam penyusunan balanced scorecard adalah merinci tujuan pada tiap-tiap perspektif dan merumuskan sasaran strategis (indikator ukuran hasil atau indikator akibat). Gambar 39 menunjukkan hubungan sebab akibat sasaran strategis dari keempat persepektif balanced scorecard. Kinerja pelanggan dan stakeholders sebenarnya merupakan hasil dari suatu proses yang
151 simultan yang dimulai dengan adanya peningkatan kinerja pengelola pelabuhan perikanan, dan kesadaran kolektif untuk tetap komitmen dan konsisten dalam mengembangkan minapolitan. Selanjutnya berimplikasi pada kontinuitas produk unggulan dengan mutu yang berkualitas tinggi (optimalisasi produksi komoditas unggulan) dan berkembangnya industrialisasi perikanan. Sinergitas antara optimalisasi produk unggulan dan industrialisasi perikanan akan mendorong timbulnya konsolidasi anggota rantai pasok, inovasi kelembagaan kemitraan dan akhirnya terbentuk kemitraan bisnis minapolitan. Pada saat produksi komoditas unggulan optimal, industrialisasi perikanan berjalan dengan baik dan terjadi kemitraan yang seimbang (win-win partnerships) serta pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan maka pada akhirnya pelanggan dan stakeholder akan merasa puas dan memiliki loyalitas yang tinggi dalam pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. 4. Identifikasi faktor-faktor keberhasilan Berdasarkan sasaran strategis yang telah dirumuskan, kemudian akan dijabarkan lebih detail ke dalam beberapa faktor-faktor penting keberhasilan atau tolok ukur sasaran strategis (Tabel 15). Tolok ukur sasaran stragegisnya adalah 1) status keberlanjutan ekologi, sosial ekonomi, masyarakat dan kelembagaan, 2) jenis, kapasitas dan kualitas fasilitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan pelanggan, 3) kenyamanan dan loyalitas pelanggan dalam jangka panjang atas pelayanan yang diberikan, 4) penerapan manajemen mutu dari mulai input, proses, output dan layanan purna jual, 5) kesadaran mutu dipahami oleh anggota rantai pasok,
6)
tingkat
perolehan
kerja
sama
kemitraan,
7)
kemampuan
mempertahankan kemitraan, 8) tingkat kepuasan mitra bisnis, 9) peningkatan nilai produksi, 10) peningkatan pendapatan nelayan, 11) peningkatan tenaga kerja yang terserap, 12) klaster industri perikanan yang berdaya saing, 13) posisi tawar yang seimbang antara nelayan, pedagang pengumpul dan perusahaan, 14) kelompok nelayan yang memiliki kematangan usaha menjadi lembaga formal yang mandiri, 15) efiensi dan efektivitas kinerja pelabuhan perikanan, 16) para pelaku ekonomi dan stakeholders kunci lainnya memiliki kesadaran kolektif untuk berkolaborasi dan bersinergi mengembangkan klaster industri perikanan yang terintegrasi dalam
152 sistem
minapolitan,
17)
terumuskannya
pola
kerja
sama
pelaksanaan
pengembangan klaster industri perikanan yang terintegrasi. Tabel 15 Faktor-faktor keberhasilan sasaran strategis pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu Sasaran strategis
Faktor-faktor keberhasilan (tolok ukur)
1) Keseimbangan konservasi dan eksploitasi
Status keberlanjutan ekologi, sosial ekonomi, masyarakat dan kelembagaan
2) Tingkat kepuasan pelayanan bagi pelanggan dan stakeholder
Jenis, kapasitas dan kualitas fasilitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan pelanggan Kenyamanan dan loyalitas pelanggan dalam jangka panjang atas pelayanan yang diberikan
3) Kontinuitas produk dengan mutu yang berkualitas tinggi
Penerapan manajemen mutu dari mulai input, proses, output dan layanan purna jual Kesadaran mutu dipahami oleh anggota rantai pasok
4) Kemitraan klaster industri perikanan.
Tingkat perolehan kerja sama kemitraan Kemampuan mempertahankan kemitraan Tingkat kepuasan mitra bisnis
5) Integrasi rantai pasok, pengembangan sistem produksi dan peningkatan sarana dan prasarana
Peningkatan nilai produksi Peningkatan pendapatan nelayan Peningkatan tenaga kerja yang terserap Klaster industri perikanan yang berdaya saing
6) Konsolidasi anggota rantai pasok dan inovasi kelembagaan kemitraan
Posisi tawar yang seimbang antara nelayan, pedagang pengumpul dan perusahaan Kelompok nelayan yang memiliki kematangan usaha menjadi lembaga formal yang mandiri
7) Pengelola pelabuhan dapat menjalankan kewajibannya agar fungsi penting pelabuhan perikanan tetap berfungsi secara optimal dalam melayani industri perikanan
Efiensi dan efektivitas kinerja pelabuhan perikanan
8) Pendistribusian dan monitoring informasi sumberdaya dan kegiatan kemitraan klaster industri perikanan agar terjadi sinergi kemitraan
Para pelaku ekonomi dan stakeholders kunci lainnya memiliki kesadaran kolektif untuk berkolaborasi dan bersinergi mengembangkan klaster industri perikanan yang terintegrasi dalam sistem minapolitan Terumuskannya pola kerja sama pelaksanaan pengembangan klaster industri perikanan yang terintegrasi
5. Pengembangan tolok ukur, identifikasi penyebab dan dampak serta membuat keseimbangan Tolok ukur sebagaimana telah dirumuskan pada Tabel 15 kemudian diterjemahkan ke dalam target-target yang dapat dijangkau pada periode waktu
153 tertentu. Umpan balik dapat diperoleh melalui evaluasi terhadap pencapaian target-target dari tolok ukur yang telah ditetapkan. Target-target tersebut dapat dicapai melalui langkah-langkah tindakan atau inisiasi (indikator sebab). Indikator sebab ini merupakan langkah-langkah tindakan untuk mencapai indikator akibat. (Nurani et al. 2011). Tabel 16 menunjukkan rumusan tujuan, sasaran, tolok ukur dan inisiasi pengembangan minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu. Perumusan inisiasinya adalah 1) analisis status keberlanjutan perikanan tangkap di Palabuhanratu,
2)
alternatif
kebijakan
pengelolaan
perikanan
tangkap
berkelanjutan, 3) analisis tingkat kepuasan pelanggan dan stakeholder di kawasan minapolitan, 4) peningkatan sarana, prasarana dan infrastruktur penunjang industrialisasi perikanan yang memiliki standar internasional, 5) penerapan ISO 9000, 6) pembentukan
dan penguatan lembaga kemitraan minapolitan, 7)
pengembangan kawasan perikanan terpadu, 8) pengembangan pelabuhan perikanan untuk menunjang proses industrialisasi perikanan, 9) evaluasi value chain komoditas tuna dan layur, 10) intervensi business intermediary, dan paralel organization, 11) penerapan focused quality dimana pelayanan diberikan pengelola pelabuhan perikanan bertujuan untuk memenuhi keinginan dari pelanggan, 12) pelatihan capacity building bagi pengelola pelabuhan perikanan, 13) pengembangan sistem informasi sumberdaya dan kemitraan klaster industri perikanan Gambar 40 menunjukkan keterkaitan keempat perspektif dalam mencapai tujuan minapolitan dimana perspektif kapasitas kelembagaan mendorong tercapainya tujuan dan sasaran strategis dari perspektif bisnis internal dan perspektif keuangan. Secara simultan ketiga perspektif tersebut akan mendorong tercapainya tujuan dan sasaran strategis dari perspektif pelanggan dan stakeholder.
154 Tabel 16 Pengembangan tolok ukur, identifikasi penyebab dan dampak serta membuat keseimbangan Tujuan berbasis perspektif Pelanggan dan stakeholders: 1. Pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan 2. Meningkatkan sarana, prasarana dan infrastruktur transportasi serta pelabuhan perikanan
Sasaran 1) Keseimbangan konservasi dan eksploitasi
154
Target
Inisiatif
Status keberlanjutan ekologi, sosial ekonomi, masyarakat dan kelembagaan
Status keberlanjutan perikanan tangkap di Palabuhanratu baik
Analisis status keberlanjutan perikanan tangkap di Palabuhanratu Alternatif kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan
Jenis, kapasitas dan kualitas fasilitas pelayanan sesuai dengan kebutuhan pelanggan Kenyamanan dan loyalitas pelanggan dalam jangka panjang atas pelayanan yang diberikan
Tingkat kebutuhan pelanggan sesuai dengan fasilitas pelayanan yang dimiliki pelabuhan perikanan Kemudahan aksesibilitas bagi industri perikanan Kepuasan pelanggan terhadap fasilitas yang ada
Analisis tingkat kepuasan pelanggan dan stakeholder di kawasan minapolitan Peningkatan sarana, prasarana dan infrastruktur penunjang industrialisasi perikanan yang memiliki standar internasional
1) Kontinuitas produk dengan mutu yang berkualitas tinggi
Penerapan manajemen mutu mulai dari input, proses, output dan layanan purna jual Kesadaran mutu dipahami oleh anggota rantai pasok
Meminimumkan produk reject atau klaim berkurang Peningkatan mutu dan kualitas produk minimal 20%
Penerapan ISO 9000
2) Kemitraan klaster industri perikanan
Tingkat perolehan kerja sama kemitraan Tingkat kepuasan mitra bisnis
Kenaikan tingkat perolehan kerja sama kemitraan Kenaikan tingkat kepuasan mitra bisnis
Pembentukan dan penguatan lembaga kemitraan minapolitan
2) Tingkat kepuasan pelayanan bagi pelanggan dan stakeholder
Keuangan 1. Optimalisasi produk tuna dan layur 2. Kemitraan bisnis minapolitan
Tolok Ukur
155 Tabel 16 Lanjutan Tujuan berbasis perspektif
Sasaran
Bisnis Internal 1. Industrialisasi perikanan 2. Pengembangan pola kemitraan antara nelayan, juragan dan eksportir yang berimbang
1) Integrasi rantai pasok, pengembangan sistem produksi dan peningkatan sarana dan prasarana
Kapasitas kelembagaan 1. Peningkatan kinerja pengelola pelabuhan perikanan 2. Membangun kesadaran kolektif untuk tetap komitmen dan konsisten dalam mengembangkan minapolitan
Tolok Ukur
Target
Inisiatif
Peningkatan nilai produksi Peningkatan pendapatan nelayan Peningkatan tenaga kerja yang terserap Klaster industri perikanan yang berdaya saing
Efisiensi biaya produksi Peningkatan industri pengolahan dan pemasaran, serta kegiatan promosi klaster industri perikanan.
Pengembangan kawasan perikanan terpadu Pengembangan pelabuhan perikanan untuk menunjang proses industrialisasi perikanan
2) Konsolidasi anggota rantai pasok dan inovasi kelembagaan
Posisi tawar yang seimbang antara nelayan, pedagang pengumpul dan perusahaan Kelompok nelayan yang memiliki kematangan usaha menjadi lembaga formal yang mandiri
Profit share yang diterima nelayan buruh minimal 60% Penyempurnaan pola kemitraan inti plasma dan contrac farming.
Evaluasi value chain komoditas tuna dan layur Intervensi business intermediary, dan paralel organization
1) Pengelola pelabuhan dapat menjalankan kewajibannya agar fungsi penting pelabuhan perikanan tetap berfungsi secara optimal dalam melayani industri perikanan
Efiensi dan efektivitas kinerja pelabuhan perikanan
Perbaikan kualitas pelayanan seperti, ketepatan waktu pelayanan, akurasi pelayanan, kesopanan dan keramahan dalam memberikan pelayanan, tanggung jawab, kelengkapan, kemudahan dalam mendapatkan pelayanan, variasi model pelayanan, kenyamanan dalam memperoleh pelayanan
Penerapan focused quality dimana pelayanan diberikan pengelola pelabuhan perikanan bertujuan untuk memenuhi keinginan dari pelanggan. Pelatihan capacity building bagi pengelola pelabuhan perikanan
155
156 Tabel 16 Lanjutan Tujuan berbasis perspektif
Sasaran
156
2) Pendistribusian dan monitoring informasi sumberdaya dan kegiatan kemitraan klaster industri perikanan agar terjadi sinergi kemitraan.
Tolok Ukur Para pelaku ekonomi dan stakeholders kunci lainnya memiliki kesadaran kolektif untuk berkolaborasi dan bersinergi mengembangkan klaster industri perikanan yang terintegrasi dalam sistem minapolitan Terumuskannya pola kerja sama pelaksanaan pengembangan klaster industri perikanan yang terintegrasi
Target Data inventori pelaku ekonomi klaster industri perikanan , informasi mengenai asset SDA dan SDM klaster industri perikanan Format publikasi informasi kegiatan kemitraan klaster industri perikanan
Inisiatif Pengembangan sistem informasi sumberdaya dan kemitraan klaster industri perikanan
157 Tujuan strategis
Pengembangan perikanan tangkap berkelanjutan Meningkatkan sarana, prasarana dan infrastruktur transportasi serta pelabuhan perikanan
Ukuran Strategis Sasaran (indikator akibat)
Keseimbangan konservasi dan eksploitasi Tingkat kepuasan pelayanan bagi pelanggan dan stakeholder berkualitas tinggi
Inisiatif (Indikator sebab) - Analisis status keberlanjutan perikanan tangkap di Palabuhanratu - Alternatif kebijakan pengelolaan perikanan tangkap berkelanjutan
-- Peningkatan sarana, prasarana dan
infrastruktur penunjang industrialisasi perikanan yang memiliki standar internasional - Analisis tingkat kepuasan pelanggan
Optimalisasi produk tuna dan layur
Kontinuitas produk dengan mutu yang berkualitas tinggi
Penerapan ISO 9000
Kemitraan bisnis minapolitan
Kemitraan klaster industri perikanan
Pembentukan dan penguatan lembaga kemitraan bisnis minapolitan
Industrialisasi perikanan
Integrasi rantai pasok, pengembangan sistem produksi dan peningkatan sarana dan prasarana
- Pengembangan kasawan perikanan terpadu - Pengembangan pelabuhan perikanan untuk menunjang proses industrialisasi perikanan
Pengembangan pola kemitraan antara nelayan, juragan dan eksportir yang berimbang
Konsolidasi anggota rantai pasok dan inovasi kelembagaan
- Evaluasi value chain komoditas tuna dan layur - Intervensi business intermediary, dan paralel organization
Peningkatan kinerja pengelola pelabuhan perikanan
Pengelola pelabuhan dapat menjalankan kewajibannya agar fungsi penting pelabuhan perikanan tetap berfungsi secara optimal Peningkatan kemampuan system informasi Pendistribusian dan monitoring informasi sumberdaya dan kegiatan kemitraan klaster industri perikanan agar terjadi sinergi kemitraan
Membangun kesadaran kolektif untuk tetap komitmen dan konsisten dalam mengembangkan minapolitan
- Penerapan focused quality management - Pelatihan capacity building bagi pengelola pelabuhan perikanan Pengembangan sistem informasi sumberdaya dan kemitraan klaster industri perikanan
Gambar 40 Rumusan tujuan, sasaran strategis, dan indikator pencapaian sasaran strategis. 157
158
4.4
Pemeliharaan Program Program minapolitan pada dasarnya merupakan salah satu bentuk program
pengembangan wilayah. Artinya, daur hidup program minapolitan mencakup program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Dalam kasus program minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu, Pemda setempat telah merumuskan roadmap rencana aksi untuk tahun 2011 hingga tahun 2014. Kemudian pada tahun 2012 dilakukan intervensi program akselerasi minapolitan di PPN Palabuhanratu yaitu industrialisasi perikanan dimana tuna, tongkol dan cakalang ditetapkan sebagai komoditas unggulan. Program ini dirancang untuk implementasi tahun 2012 hingga tahun 2014. Fakta ini menunjukkan bahwa minapolitan sebagai sebuah program pilot akan berakhir pada tahun 2014. Keberlanjutan program minapolitan pasca tahun 2014 sangat tergantung dinamika politik dan kebijakan dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Jika hasil evaluasi implementasi program dianggap berhasil, maka pasca tahun 2014 pemerintah seharusnya dapat melanjutkan kebijakan program minapolitan berupa program penguatan dan pengembangan minapolitan. Akan tetapi sebaliknya, jika program minapolitan dianggap gagal maka kemungkinan besar, secara formal, program minapolitan akan berakhir. Pertanyaan mendasar yang harus dipahami oleh stakeholder terkait adalah 1) apa yang harus dilakukan jika secara formal program minapolitan telah berakhir, 2) apakah stakeholder lokal siap menerima estafet tanggung jawab pasca program. Masalah ini kadang menjadi isu sensitif di kalangan pengelola program maupun stakeholder terkait. Namun adanya tingkat kepercayaan yang tinggi atau optimisme para stakeholder lokal dapat dijadikan modal yang sangat penting untuk mengatasi isu keberlanjutan program. Menurut Sondita et al. (2005), stakeholder yang memiliki optimisme tinggi akan sanggup menentukan langkahlangkah inisiatif yang kreatif untuk memastikan keberlanjutan program pada saat sumberdaya dari pihak luar berakhir. Beberapa hal yang perlu ditangani untuk menjamin keberlanjutan program adalah 1) komitmen pemerintah daerah harus melembaga, artinya harus ada institusi resmi yang ditetapkan sebagai pengelola keberlanjutan program, 2) semangat entrepreneurship harus dibangun di tingkat masyarakat, pengelola dan stakeholder terkait, 3) kerja sama dengan stakeholder
159 lain harus dibangun dan dimanfaatkan khususnya kerja sama antara pihak pemerintah, akademisi dan swasta untuk merespon kebutuhan-kebutuhan khusus masyarakat. Mengingat bahwa PPN Palabuhanratu sebagai zona inti minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu, keberlanjutan program minapolitan sangat ditentukan oleh kinerja pengelola pelabuhan perikanan. Sesuai fungsinya, pelabuhan perikanan merupakan suatu institusi yang memiliki peran penting dalam menunjang efisiensi usaha perikanan tangkap dan industrialisasi perikanan. Artinya, jika pengelola pelabuhan perikanan dapat memberikan pelayanan terbaik sehingga kinerja pelabuhan perikanan tetap dapat berfungsi secara optimal dalam melayani industri perikanan maka keberlanjutan minapolitan perikanan tangkap akan terjamin meskipun secara formal telah berakhir. Hasil survei identifikasi gaps implementasi program minapolitan (Tabel 17), diperoleh nilai bobot 0,8 (berada pada selang 75% - 100%). Mengacu klasifikasi Moenandir (2010) maka pengelola program relatif siap untuk menjamin pemeliharaan program. Tabel 17 Hasil survei identifikasi gaps implementasi program minapolitan di Palabuhanratu Tipe Responden
Jumlah Responden
Skor
Bobot
Dinas Kelautan dan Perikanan
4
4
0,20
PPN Palabuhanratu
4
4
0,20
Bappeda
1
4
0,20
Peneliti
1
4
0,20
Jumlah bobot
0,80
Dalam kaitannya dengan kelembagaan pengelola keberlanjutan program minapolitan perikanan tangkap di Palabuhanratu, setidaknya ada 3 kelembagaan yang menjadi elemen penting yaitu 1) PPN Palabuhanratu, 2) Dinas Keluatan dan Perikanan,
dan
3)
Bappeda.
PPN
Palabuhanratu
berperan
sebagai
penanggungjawab teknis program minapolitan perikanan tangkap di zona inti. Dinas Kelautan dan Perikanan berperan sebagai penanggung jawab teknis program minapolitan di zona penunjang. Adapun Bappeda berfungsi sebagai
160 koordinator perencanaan dan penganggaran untuk pengembangan kawasan minapolitan. Bappeda juga memiliki power yang kuat pada saat Musrenbang agar SKPD terkait dapat berkontribusi dalam pengembangan kawasan minapolitan. Dengan skema model tersebut, pemeliharan dan keberlanjutan minapolitan tergantung pada kinerja PPN Palabuhanratu, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Bappeda. Mengacu pada konsep analisis balanced scorecard, kinerja ketiga kelembagaan tersebut akan menjadi penggerak utama tujuan strategis dari perspektif bisnis internal dan keuangan serta pada akhirnya bermuara pada kepuasan pelanggan dan stakeholder minapolitan. Pemeliharaan program minapolitan akan efektif jika mampu menerapkan konsep siklus perbaikan program secara berkelanjutan (Gambar 9). Perbaikan berkelanjutan merupakan mekanisme evaluasi program untuk membandingkan antara indikator program yang telah dirumuskan dalam balanced scorecard dengan capaian hasil pelaksanaan program pada periode waktu tertentu. Tingkat capaian
pelaksanaan
program
tersebut
dapat
diketahui
dengan
cara
membandingkan antara data baseline indikator program pada tahap inisiasi program dan capaian indikator program pada periode jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang.