4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4. 1
Jenis Ektoparasit Jenis ektoparasit yang ditemukan dari empat belas ekor tikus putih (R.
norvegicus) galur Sprague Dawley terdiri atas tiga jenis, yaitu tungau Laelaps echidninus, kutu Polyplax spinulosa, dan larva caplak. 4.1.1 Laelaps echidninus L. echidninus merupakan tungau yang paling banyak ditemukan pada tikus putih (R. norvegicus) galur Sprague Dawley. Hasil pengamatan dan pengukuran, menunjukkan bahwa jenis L. echidninus memiliki mata tunggal, berukuran satu mm, berwarna cokelat, berbentuk oval, dan terbagi menjadi dua bagian yaitu gnatosoma dan idiosoma (Gambar 5). Gnatosoma merupakan bagian anterior sedangkan idiosoma merupakan bagian posterior dari tubuh L. echidninus. Di bagian gnatosoma terdapat sepasang pedipalpus dan kelisera. Pedipalpus terletak di lateral dan memiliki ukuran yang lebih panjang dibandingkan dengan kelisera. Kelisera pada L. echidninus berukuran kecil namun sangat kuat. Bagian idiosoma tidak mempunyai skutum atau perisai dorsal. Abdomennya hampir ditutupi sepenuhnya seta yang terlihat menyebar rata, berukuran kecil, meruncing dan terdapat keping genital yang berbentuk konkaf. L. echidninus dewasa memiliki empat pasang kaki yang panjang, dan bentuk yang bulat sedangkan larvanya hanya memiliki tiga pasang kaki. Stigmata terletak di bagian lateral di antara kaki ketiga dan keempat. Gambaran morfologi tersebut sesuai dengan Strandtmann & Mitchell (1963) yang menyatakan bahwa L. echindinus betina memiliki panjang rata-rata kurang lebih satu mm dengan bentuk yang oval hingga bulat dan berwarna merah kecokelatan. Pilus dentilis lurus dan apendikulat berada di puncak. Tritosternum lebih lebar dibandingkan dengan piringan pada bagian basis. Seta adanal memiliki panjang yang hampir sama dengan seta post natal yaitu 1/2-2/3. seta inner basal pada trokhanter I bervariasi, mulai dari yang paling panjang hingga yang paling pendek, dan terdapat seta yang kasar tetapi tidak terlihat begitu jelas. L.
18
echidninus jantan memiliki rata–rata panjang sekitar 880 . Seta koksa berbentuk filiform dan semua seta tarsal lonjong runcing. Peritreme terletak lebih ke depan mendekati koksa II. Seluruh seta anal terlihat tipis dengan bentuk meruncing. L. echidninus tergolong parasit yang biasa terdapat pada hewan laboratorium terutama tikus putih (R. norvegicus). L. echidninus termasuk ke dalam ordo Acariformes dan famili Laelaptidae. Foreyt (2001) menyatakan bahwa L. echidninus merupakan satu di antara jenis ektoparasit yang tersebar di wilayah tropis. Tungau tersebar diseluruh dunia (worldwide distribution) karena L. echidninus memiliki ukuran tubuh kecil, yaitu satu mm dan dapat dengan mudah beradaptasi dengan lingkungan.
i
h g
a b c d e
f
Gambar 5 Laelaps echidninus. (a) pedipalpus, (b) kelisera, (c) (d) (e) coxae 1-4, (f) keping anal, (g) seta, (h) anus, (i) kuku Berdasarkan klasifikasinya, L. echidninus tergolong ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Arachnida, ordo Acariformes, famili Laelaptidae, genus Laelaps, dan spesies Laelaps echidninus (Noble & Noble 1989). L. echidninus termasuk tungau yang menghabiskan hampir seluruh hidupnya di tubuh inangnya. Pada tikus putih (R. norvegicus) tungau ini biasanya ditemukan dalam bentuk dewasa dan nimfa serta beberapa di antaranya dapat ditemukan dalam bentuk larva. Siklus hidup tungau terdiri dari telur, prelarva, larva, protonimfa, deutronimfa, trinimfa dan dewasa (Mullen et al. 2009). Dalam
19
daur hidupnya, seekor tungau betina dapat menghasilkan ratusan hingga ribuan telur. Telur-telur berubah menjadi larva dan sebagian besar bertindak sebagai ektoparasit pada inangnya. L. echidninus betina merupakan tungau yang berkembang biak secara ovivar. Tungau betina akan memproduksi hexapod larva, terkadang larva tersebut parthenogenesis. Larva tungau tidak makan, namun berganti kulit (molting) sampai fase pertama dari nimfa pada 10-13 jam. Perubahan menjadi nimfa fase kedua berlangsung dalam kurun waktu hingga sebelas hari. Lalu dalam kurun waktu tiga sampai sembilan hari akan berubah menjadi fase dewasa. Jadi, seluruh siklus hidup memerlukan waktu kurang lebih dua puluh hari. Tungau betina dapat hidup selama dua sampai tiga bulan jika makan, namun hanya mampu bertahan kurang lebih satu minggu tanpa adanya makanan. L. echidninus umum ditemukan pada tikus liar. Inang alaminya adalah cotton rats dan tikus-tikus liar lainnya. Tikus laboratorium dan mencit juga peka terhadap tungau ini dan infestasi pada tikus laboratorium sering terjadi. Hal ini dikarenakan kondisi kandang tikus yang tidak bersih maupun infestasi melalui alas kandang yang terinfestasi oleh L. echidninus. Alas kandang tikus yang biasa digunakan dalam pemeliharaan tikus laboratorium adalah jerami maupun serbuk kayu yang dapat menjadi tempat berkembang biak L. echidninus. Tungau akan makan pada malam hari dengan cara merobek kulit inang kemudian menghisap darah dari inang tersebut melalui kulit yang telah dilukai. Selain menghisap darah, L. echidninus juga memakan sekresi lakrimal dan eksudat serous dari inangnya. Terkadang, tungau juga memakan larva mereka sendiri. Pada kondisi laboratorium, mereka tidak pernah terlihat melukai kulit dari inang mereka. Menurut Flynn & Baker (2007) L. echidninus merupakan inang alami dari Hepatozoon muris dan vektor Francisella tularensis, penyebab penyakit tularemia. L. echidninus dapat menyebabkan urtikaria pada tikus putih (Zhao 2002).
20
4.1.2 Polyplax spinulosa Polyplax spinulosa merupakan kutu penghisap yang termasuk ke dalam ordo Phthiraptera dan subordo Anoplura (sucking lice), famili Polyplacidae. Kutu ini biasa ditemukan pada tikus laboratorium (R. norvegicus) dan tikus liar. Menurut Burmeister (1839) P. spinulosa tergolong ke dalam kingdom Animalia, filum Arthropoda, kelas Insecta, ordo Phthiraptera, famili Polyplacidae, genus Polyplax, dan spesies Polyplax spinulosa.
A B
a b c
C d e f
Gambar 6 Polyplax spinulosa. (A) Kepala, (B), Toraks, (C), Abdomen, (a) mulut, (b) antena, (c) kaki, (d) kuku, (e) segmen, (f) keping pleura Hasil penelitian menunjukkan bahwa P. spinulosa memiliki ukuran tubuh mencapai 1,5 mm dengan pembagian struktur tubuh kepala, toraks, dan abdomen. P. spinulosa tidak memiliki mata. Kepala kutu berukuran kecil dan terdapat sepasang antena yang tersegmentasi menjadi tiga sampai lima bagian dan meruncing pada bagian ujung dari antena tersebut. Di bagian toraks terdapat tiga pasang kaki dengan kuku yang berbentuk seperti capit pada bagian ujung kaki. Abdomen P. spinulosa berukuran panjang dan menyerupai kerucut. Bagian abdomen memiliki tujuh keping lateral pada setiap sisi dan memiliki tujuh sampai tiga belas keping dorsal. Tubuh kutu berwarna kuning kecokelatan (Gambar 6). Suckow et al. (2006) menyatakan bahwa P. spinulosa merupakan jenis kutu yang biasa dijumpai pada tikus laboratorium (R. norvegicus). Kutu ini
21
memiliki tubuh yang ramping dan berwarna kuning kecoklatan dan memiliki panjang tubuh 0,6-1,5 mm. Pada bagian kepala umumnya memiliki bentuk yang ramping dan lebih sempit dibandingkan toraks. Di bagian toraks terdapat keping ventral yang berbentuk pentagonal. Abdomen kutu dewasa berwarna kecokelatan dan memiliki sebelas segmen yang ditutupi oleh seta. P. spinulosa betina umumnya memiliki tubuh yang lebih panjang dari pada jantan yang memiliki bentuk tubuh lebih pendek dan lebar. Pada kutu betina, organ genitalnya memiliki dua pasang gonopod yang berfungsi untuk memandu, memanipulasi, dan memberikan perekat pada telur untuk diletakkan pada rambut maupun kulit inang. Organ genital P. spinulosa jantan umumnya besar dan terletak pada bagian tengah dari abdomen. Kutu memiliki enam kaki dengan kuku yang digunakan untuk mencengkeram rambut inang (Mullen et al. 2009). Kutu termasuk serangga yang bermetamorfosis tidak sempurna, yaitu perkembangbiakkan yang memiliki fase hidup telur, nimfa, dan dewasa dimana fase nimfa menyerupai fase dewasa. P. spinulosa betina termasuk hewan ovivar. Sebagian besar telurnya diletakkan pada rambut inang. Telur-telur pada kutu memiliki operculum yang merupakan tempat untuk keluarnya larva, berbentuk kerucut dengan pori-pori di sepanjang operculum. Pada bagian atas dari operculum terdapat lubang kecil yang diselimuti oleh kutikula tipis berfungsi untuk tempat respirasi embrio yang sedang berkembang. Pada tahap nimfa, terdapat tiga nimfa instar dan nimfa ketiga akan berubah menjadi dewasa. Umumnya tahap ini berlangsung selama empat sampai lima belas hari, masingmasing nimfa instar selama tiga sampai delapan hari dan menjadi dewasa mencapai 35 hari. Pada kondisi yang optimal, kutu ini dapat menghasilkan sepuluh sampai dua belas generasi pertahunnya, namun jarang terjadi pada keadaan alaminya (Mullen et al. 2009). P. spinulosa termasuk ke dalam kutu dengan inang yang spesifik (host specific) dan biasanya tidak dapat hidup jauh dari inangnya lebih dari empat jam atau empat hari pada sebagian kasus. P. spinulosa menghabiskan seluruh hidupnya pada tubuh inangnya. Kutu ini dapat berkembang dengan baik pada koloni tikus laboratorium dan jika infestasi terjadi dalam jumlah yang banyak
22
maka dapat menyebabkan pendarahan yang serius pada tikus yang menjadi inangnya sehingga terjadi anemia serta dermatitis akibat gigitan dari P. spinulosa. Selain itu, P. spinulosa merupakan vektor dari Myoplasma haemomuris (Haemobartonella muris), Rickettsia typhii, Trypanosoma lewisi, Borellia duttoni, dan Brucella brucei (Suckow et al. 2006).
4.1.3 Larva Caplak Larva caplak merupakan jenis ektoparasit ketiga yang ditemukan pada tikus putih (R. norvegicus). Hasil penelitian menunjukkan bahwa larva caplak yang ditemukan tergolong ke dalam ordo Parasitiformes dan famili Ixodidae. Hal ini ditunjukkan oleh adanya skutum pada larva tersebut yang merupakan ciri khas dari famili Ixodidae. Ixodidae memiliki tubuh yang berbentuk bulat telur dan mempunyai integumen. Panjang bagian dari mulut sama dengan bagian basis kapituli. Segmen kedua dari palpi dan basis kapituli tidak tumbuh ke arah lateral. Caplak jantan dan betina memiliki skutum, namun pada caplak jantan skutum menutupi seluruh tubuh bagian dorsal sedangkan pada betina hanya menutupi sepertiga bagian anterior dari tubuh. Larva caplak memiliki tiga pasang kaki yang terdapat pada abdomen (Gambar 7). Caplak tergolong ke dalam famili Ixodidae (caplak keras) dan Argasidae (caplak lunak). Berdasarkan hasil penangkapan tikus di Korea, Kim et al. (2010) menemukan banyak larva caplak yang berasal dari famili Ixodidae pada tikus putih (R. norvegicus). Caplak dewasa memiliki daur hidup yang diawali dari bentuk telur yang diletakkan di tanah oleh induknya. Larva yang telah menetas akan segera mencari inang untuk ditempatinya agar dapat bertahan hidup. Larva akan berubah menjadi nimfa. Larva dan nimfa caplak menghisap darah inangnya untuk dapat melakukan perubahan siklus hingga pencapaian dewasanya. Larva caplak memiliki tiga pasang kaki dan tidak berwarna. Larva caplak akan berbentuk bulat dan akan menjadi lebih besar ketika kenyang menghisap darah. Stadium larva pada caplak merupakan stadium parasitik. Infestasi larva caplak dapat menyebabkan anemia dan dermatitis. Selain itu, larva caplak memiliki peranan dalam penyebaran penyakit. Nijhof et al. (2007) menyatakan
23
bahwa Ixodidae merupakan vektor Anaplasma phagocytophilum dan Rickettsia helvetic pada tikus. Keberadaan larva caplak pada tikus laboratorium dapat terjadi karena faktor alas kandang yang digunakan terinfestasi oleh telur caplak. Pemeliharaan tikus laboratorium dikondisikan untuk dikandangkan sehingga larva yang ditemukan hanya sedikit. a b c e d
Gambar 7 Larva Caplak Ixodidae. (a) palpi (b) kapitulum, (c) basis kapituli, (d) kaki, (e) skutum. 4.2
Sebaran Jenis-Jenis Ektoparasit pada Tikus Putih (R. norvegicus) Berdasarkan hasil penelitian, jenis ektoparasit yang paling dominan
terdapat pada tubuh tikus spesies R. norvegicus adalah L. echidninus. Jenis-jenis ektoparasit lain yang berhasil diidentifikasi adalah P. spinulosa, dan larva caplak (Tabel 1). L. echidninus yang berhasil diidentifikasi pada empat belas ekor tikus (R. norvegicus) sebesar sebesar 92% (46 ekor). P. spinulosa teridentifikasi sebanyak 6% (3 ekor), dan larva caplak sebanyak 2% (1 ekor).
24
Tabel 1 Jenis ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) No Tikus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Total %
Jenis Ektoparasit (ekor) Laelaps Polyplax echidninus spinulosa 4 0 7 0 5 0 4 2 4 1 3 0 5 0 4 0 2 0 1 0 1 0 3 0 2 0 1 0 46 3 92% 6%
Larva Caplak 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 2%
Total 4 7 5 6 5 3 5 4 2 1 2 3 2 1 50 100%
L. echidninus merupakan tungau yang dominan ditemukan pada tikus putih. Hal ini terkait dengan daur hidup L. echidninus yang memiliki daur hidup metamorfosis sempurna. Larva dewasa yang bertelur akan meletakkan telurtelurnya pada permukaan tanah maupun alas kandang. Telur-telur akan berubah menjadi larva, nimfa, dan dewasa pada tubuh inang. Siklus hidup L. echidninus dewasa tergolong lama karena dapat bertahan hidup selama kurang lebih dua sampai tiga bulan. 4.3
Sebaran Ektoparasit Berdasarkan Regio Hasil penelitian menunjukkan bahwa total ektoparasit yang berhasil
dikoleksi dari beberapa regio tubuh empat belas ekor tikus (R. norvegicus) galur Sprague Dawley, seperti kepala, punggung, dan ekor adalah sebanyak 50 ekor (Tabel 2). Sebesar 44% (22 ekor) ektoparasit ditemukan di regio tubuh punggung tikus putih (R. norvegicus), bagian pangkal ekor sebanyak 32% (16 ekor), dan bagian kepala sebanyak 24% (12 ekor). Hasil ini menunjukkan bahwa regio yang paling dominan ditemukan ektoparasit tersebut adalah pada bagian punggung tikus putih (R. norvegicus). Hal ini terjadi karena pada bagian punggung merupakan bagian dari tubuh yang paling jarang terjadi pergerakan, pergesekan dengan kandang dan tikus lainnya sehingga pada daerah tersebut banyak
25
ditemukan ektoparasit. Selain itu, pada daerah punggung merupakan daerah yang nyaman bagi kehidupan ektoparasit karena pada lokasi ini memiliki kelenturan kulit yang cukup baik sehingga memudahkan ektoparasit tersebut mengambil makanan. Tabel 2 Sebaran ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) berdasarkan regio No Tikus 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Total %
4.4
Jumlah Ektoparasit pada beberapa Regio (ekor) Kepala punggung Pangkal Ekor 0 4 0 4 3 0 0 2 3 0 4 1 0 2 1 2 1 0 3 0 2 1 0 2 0 1 1 0 0 3 1 1 0 1 2 0 0 0 2 0 2 1 12 22 16 24 44 32
Total 4 7 5 5 3 3 5 3 2 3 2 3 2 3 50 100
Gambaran Umum Tikus yang Terinfestasi Ektoparasit Berdasarkan hasil pengamatan yang telah dilakukan, gigitan ektoparasit
dapat mempengaruhi kondisi fisiologis dari tikus putih (R. norvegicus) yaitu tikus mengalami kegelisahan, seringnya menggigit bagian dari tubuhnya, kerontokan rambut, dan lebih sering bergerak. Banyaknya jumlah ektoparasit yang menginfestasi tikus mengakibatkan terganggunya kondisi fisiologis tikus dan dermatitis. Zhao (2002) menyatakan bahwa infestasi ektoparasit dapat menyebabkan urtikaria, kerusakan pada kulit, dan anaphylaxis. Perubahan fisologis tersebut dapat mengakibatkan tikus mengalami penurunan nafsu makan, stamina, dan tingkat kesehatan tikus sehingga penggunaan tikus yang terinfestasi ektoparasit akan mempengaruhi hasil penelitian. Selain itu, ektoparasit dapat sebagai
reservoir
beberapa
parasit
lain,
seperti
Coxiella
tsutsugamushi, dan leptospira interrogans (Wei et al. 2010).
burnetii,
O.
26
4.5
Gambaran Sel Darah Putih (Leucocyte) Tikus Putih (R. norvegicus) Gambaran sel darah putih memberikan informasi mengenai reaksi sel
darah putih terhadap infestasi ektoparasit pada tubuh tikus. Tabel 3 menunjukkan perbandingan persentase diferensiasi sel darah putih pada jumlah normal dengan jumlah yang didapatkan pada penelitian. Tabel 3 Persentase gambaran sel darah putih tikus putih (R. norvegicus) Sel leukosit
Normal (%)
Hasil penelitian (%)
Limfosit
68-84
74-95
Monosit
0-4
0-13
Neutrofil
12-37
0-8
Eosinofil
0-7
0-7
Basofil
0-3
0-5
Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah limfosit yang didapatkan adalah 74-95%. Jumlah limfosit yang terdapat pada tikus ini lebih besar dibandingkan dengan nilai normal, yaitu berkisar antara 68-84%. Hal ini kemungkinan akibat infestasi ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) terjadi dalam waktu yang cukup lama sehingga tubuh tikus membentuk suatu sistem pertahanan yang spesifik. Zat asing yang berada pada tubuh tikus putih (R. norvegicus) dikenal oleh tubuh sebagai suatu antigen. Antigen yang terdapat pada tubuh tikus putih ini akan menginduksi sel T helper yang kemudian mensekresikan limfokin untuk mengaktifkan limfosit B spesifik. Limfosit B akan berdiferensiasi membentuk plasmablas yang merupakan prekusor dari sel plasma. Sel plasma tersebut nantinya akan berproliferasi dan menghasilkan antibodi. Pada penelitian ini, jumlah monosit yang terkandung di dalam darah tikus putih (R. norvegicus) lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah normal, yaitu berada dalam kisaran 0-13%. Hal ini berkaitan dengan monosit yang memiliki peranan dalam pertahanan lokal spesifik. Monosit merupakan sel darah yang secara bebas dapat bermigrasi ke dalam jaringan yang meradang, terutama jika
27
terjadi inflamasi kronik. Samuelson (2007) menyatakan bahwa di dalam jaringan, monosit (makrofag) bereaksi dengan limfosit dan memegang peranan penting dalam pengenalan dan interaksi sel-sel dengan antigen. Kisaran eosinofil yang didapatkan dari hasil pengamatan preparat darah tikus putih (R. norvegicus) menunjukkan kisaran yang sama dengan angka normal eosinofil dalam darah tikus, yaitu sebesar 0-7%. Eosinofil merupakan sel yang sering diproduksi dalam jumlah besar pada tubuh yang terinfeksi parasit, dan akan melakukan migrasi besar-besaran ke lokasi yang terinfeksi parasit. Namun, dalam hal ini eosinofil bekerja hanya beberapa saat setelah paparan atau gigitan ektoparasit sehingga jumlah eosinofil dalam darah tidak begitu besar sedangkan basofil merupakan sel darah putih granuler yang hanya berjumlah sedikit pada tubuh mamalia, termasuk tikus putih (R. norvegicus). Neutrofil yang didapatkan di dalam darah tikus berkisar di antara 0-8%. Jumlah ini cukup rendah dibandingkan dengan kisaran normal neutrofil dalam darah, yaitu 9-34%. Hal ini terjadi akibat infestasi ektoparasit pada tikus putih (R. norvegicus) sudah berlangsung cukup lama sedangkan neutrofil merupakan sel pertahanan pertama pada respon primer dan pembentukan antibodi pada beberapa jam setelah terjadi paparan pertama oleh suatu antigen.
4.6
Pengendalian Ektoparasit pada Tikus Putih (R. norvegicus) Pemeliharaan tikus dengan baik merupakan suatu tindakan pengendalian
dan pencegahan yang dapat dilakukan agar tikus putih (R. norvegicus) sebagai hewan coba tidak terinfestasi ektoparasit. Pemeliharaan tikus putih sebaiknya diletakkan pada kandang yang cukup. Sebanyak empat sampai lima ekor tikus putih merupakan jumlah yang maksimal untuk diletakkan pada sebuah kandang. Selain itu, tikus putih dapat juga dilakukan dengan menempatkan sebanyak satu tikus pada satu kandang. Ukuran kandang yang dianjurkan 900 cm 2 . Kandang tersebut harus dibuat dari bahan yang baik, cukup kuat, mudah dibongkar, mudah dibersihkan, mudah untuk dipasang lagi. Kandang juga harus rutin untuk dibersihkan, yaitu seminggu dua kali. Pembersihan kandang dapat dilakukan
28
dengan cara pencucian dan pensterilan dengan bahan kimia pada suhu maksimal 120C. Alas kandang yang digunakan juga diganti sesering mungkin. Alas kandang dapat menggunakan serbuk kayu maupun jerami yang terlebih dahulu dijemur dibawah sinar matahari. Tikus putih sebaiknya dirawat dan dikandangkan pada suhu yang optimal, yaitu pada suhu 20-25C (Smith & Mangkoewidjojo 1988). Pengendalian tikus putih (R. norvegicus) yang telah terinfestasi oleh ektoparasit dalam jumlah banyak dapat dilakukan dengan menggunakan insektisida golongan piretroid yang saat ini banyak digunakan seperti metoflutrin, dialetrin, dan lain-lain. Penggunaan insektisida pada hewan coba harus memperhatikan aturan pakai sehingga mampu mengendalikan ektoparasit pada tikus dengan baik dan mencegah terjadinya resistensi pada ektoparasit. Selain itu, pemilihan insektisida harus tepat. Pemeliharaan tikus putih (R. norvegicus) sebagai hewan coba perlu diawasi oleh dokter hewan sehingga kesehatan hewan coba tetap terjaga.