31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Ekstrak Protein Sarkoplasama dan Miofibril Sampel ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung sebelum diekstraksi dianalisis kadar total proteinnya dengan metode Kjeldahl. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan protein ikan tongkol yaitu 16.44%, kerang hijau 14.03% dan udang jerbung sebesar 13.96%.
Menurut Chaijan et al. (2004),
sebagai unsur utama dalam otot ikan, protein terdapat sekitar 13.74 – 17.54%. Kandungan protein awal biasanya berkisar 11-24%, tergantung dari jenis spesies, nutrisi, dan siklus reproduksi hewan tersebut. Selanjutnya ekstraksi protein sampel dilakukan menggunakan larutan bufer dengan kekuatan ion yang berbeda. Proses ekstraksi ini bertujuan untuk memperoleh fraksi protein sarkoplasma dan miofibril dari ketiga sampel tersebut. Fraksi protein sarkoplasma dihasilkan dari proses ekstraksi menggunakan larutan bufer dengan kekuatan ion yang lebih rendah yaitu bufer fosfat pH 7.5 dengan kekuatan ion 0.05. Fraksi protein miofibril diperoleh melalui ekstraksi dengan bufer pH 7.5 dan kekuatan ion 0.5. Peningkatan kekuatan ion dalam larutan bufer fosfat dilakukan dengan penambahan senyawa KCl (Suzuki 1981). Protein sarkoplasma dan miofibril merupakan protein utama di dalam serabut otot ikan. Kedua jenis protein ini berbeda dalam hal kelarutannya. Protein sarkoplasma dapat larut dalam air, sehingga untuk melakukan ekstraksi cukup dengan kekuatan ion rendah. Protein miofibril merupakan protein yang tidak larut dalam air, tetapi larut dalam larutan garam. Kontribusi muatan-muatan ion dalam senyawa garam menyebabkan protein ini harus diekstraksi dengan kekuatan ion yang lebih tinggi (Hashimoto et al. 1979). Menurut Ahmed (2005) selain pH dan kekuatan ion bufer, adanya inhibitor protease juga mempengaruhi proses ekstraksi protein. Inhibitor protease digunakan untuk menjaga kestabilan ekstrak dengan menghambat kerja enzim protease, karena itu dalam penelitian ini ditambahkan inhibitor protease berupa aprotinin. Proteolisis merupakan masalah utama yang sering terjadi setelah proses ekstraksi. Proteolisis menyebabkan protein terdegradasi menjadi protein-protein dengan berat molekul rendah. Beberapa jenis protease terdapat pada sel daging ikan, dimana inhibitor protease komersial dapat digunakan untuk menghambat
32
masing-masing protease tersebut. Salah satu jenis inhibitor protease yang sering digunakan adalah aprotinin. Aprotinin memiliki kelarutan yang tinggi dan spesifitas penghambatan yang luas, meliputi tripsin, kimotripsin, plasmin, urokinase dan berbagai protease intraseluler (Fritz dan Wunderer 1983). Hasil ekstraksi protein sarkoplasma dan miofibril dari ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung kemudian diukur kadar proteinnya dengan metode Bradford. Hasil pengukuran ini selanjutnya digunakan sebagai data untuk karakterisasi berat molekul protein dengan SDS PAGE dan juga untuk pengujian alergenisitas
ketiga
sampel
tersebut
dengan
metode
ELISA
maupun
immunoblotting. Dari hasil pengukuran kadar protein ekstrak, diperoleh kadar protein sarkoplasma sampel udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau berturut-turut adalah 1.154 mg/ml, 1.269 mg/ml dan 0.691 mg/ml. Hal ini berarti dari 390 ml ekstrak protein terdapat protein sarkoplasma udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau masing-masing sebanyak 0.45 gram, 0.495 gram dan 0.269 gram. Kemudian untuk kadar protein miofibril udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau yaitu 0.627 mg/ml, 0.878 mg/ml dan 0.176 mg/ml. Sehingga dari 390 ml ekstrak yang diperoleh, terdapat protein miofibril berturut-turut 0.244 gram, 0.342 gram dan 0.068 gram. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa kadar protein sarkoplasma yang diperoleh lebih tinggi dibandingkan dengan protein miofibril. Hasil penelitian Yuliarni (1998) yang melakukan ekstraksi protein udang windu (Penaeus monodon fabr.) juga menunjukkan bahwa kadar protein sarkoplasma udang yaitu 2.29 mg/ml lebih tinggi dibandingkan protein miofibril (0.58 mg/ml). Protein sarkoplasma merupakan protein yang mudah larut dalam air atau larutan garam encer, sehingga proses ekstraksinya lebih mudah dibandingkan dengan protein miofibril yang dapat larut pada konsentrasi garam > 0.3 M (Hultin et al. 1995). Menurut Suzuki (1981), kandungan sarkoplasma krill adalah 5.70% - 6.50% (dalam 20 gram krill terdapat sebesar 1.14 -1.30 gram) dan protein miofibril adalah 3.30 % - 4.10% (dalam 20 gram krill terdapat 0.66 – 0.82 gram). Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa kandungan protein sarkoplasma dan miofibril yang diperoleh masih lebih rendah. Perbedaan jenis spesies udang yang digunakan akan
32
33
memberikan kandungan protein yang berbeda pula (Zakaria et al. 1998). Selain itu, Subagio et al. (2004) menyatakan bahwa jenis ikan pelagis seperti ikan tongkol, memiliki protein larut air (fraksi protein sarkoplasma) yang lebih besar dibandingkan dengan protein miofibril. Berdasarkan hasil pengukuran kadar total protein dengan metode Kjeldahl dan pengukuran kadar protein ekstrak dengan metode Bradford, dapat diketahui rendemen ekstrak dan neraca massa protein selama proses ekstraksi berlangsung. Tabel 2 dibawah menunjukkan perbandingan jumlah protein terekstrak dengan total protein dalam sampel. Tabel 2. Jumlah total protein sampel awal dan protein terekstrak Jenis Protein
Udang jerbung Ikan Tongkol Kerang Hijau
Berat sampel (gram)
Total protein Kjeldahl (gram)
Total protein terekstrak (gram) sarkoplasma
Miofibril
20.9 19.72 20
2.92 3.24 2.81
0.45 0.495 0.269
0.244 0.342 0.068
Dari Tabel 2 diketahui dari masing-masing berat awal sampel udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau yang diekstraksi, jumlah protein sarkoplasma dan miofbril yang terekstrak yaitu kurang dari 50% dari total protein awal. Seperti terlihat pada sampel udang jerbung, jumlah protein sarkoplasma yang terekstrak yaitu 0.45 gram (15% dari total protein) dan protein miofibril yaitu 0.244 gram (8% dari total protein). Hashimoto et al. (1979) melaporkan bahwa komposisi protein otot ikan terdiri dari 23-29% protein sarkoplasma, 6266% protein miofibril, 6-9% fraksi larut alkali dan 2-3% fraksi stroma. Perbedaan hasil ini diduga masih banyak terdapat protein yang masih belum terlarut dalam bufer dan masih terdapat pada sisa pelet akhir proses ekstraksi. Binsi et al. (2006) menyatakan bahwa kelarutan protein dalam larutan bufer berkekuatan ion berbeda dari ikan yang berbeda bervariasi 85% dan 95%, tergantung dari jenis spesies, metode penanganan dan kondisi selama penyimpanan. Jumlah ekstrak protein dapat lebih ditingkatkan dengan melakukan modifikasi dan optimasi teknik ekstraksi lebih lanjut. Modifikasi proses ekstraksi protein dapat dilakukan dengan
34
perlakuan konsentrasi garam KCl dan pH larutan bufer yang digunakan (Birkeland dan Bjerkeng 2004). 4.2. Karakteristik Ekstrak Protein dengan Elektroforesis SDS PAGE Karakterisasi ekstrak protein dengan elektroforesis SDS PAGE bertujuan untuk mengetahui protein-protein penyusun daging sampel yaitu udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau. Ekstrak protein baik sarkoplasma dan miofibril yang akan dianalisis dengan elektroforesis terlebih dahulu dihitung kadar proteinnya dengan metode Bradford. Hal ini bertujuan agar konsentrasi sampel tidak kurang dari batas deteksi pewarna yang digunakan (batas deteksi coomassie briliant blue = 0.1µg) (Bollag dan Edelstain 1991). Dengan diketahui kadar protein masing-masing sampel, maka jumlah protein yang akan diinjeksikan ke dalam mini slab elektroforesis dapat dibuat sama. Elektroforesis memiliki peranan penting dalam pemisahan molekul-molekul biologi, khususnya protein. Elektroforesis juga sangat sensitif terhadap perbedaan muatan dan berat molekul yang cukup kecil (Bachrudin 1999). Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan dua jenis gel, yaitu gel penahan (stacking gel) dan gel pemisah (separating gel). Gel penahan dibuat dengan konsentrasi gel 4% yang memiliki ukuran pori lebih besar dan pH lebih kecil (6.8). Sementara gel pemisah dibuat dengan konsentrasi gel 12% yang mempunyai ukuran pori lebih kecil dan pH lebih besar (8.8). Pemilihan konsentrasi gel ini tergantung pada kisaran berat molekul protein yang akan dipisahkan. Semakin besar ukuran poripori gel (konsentrasi gel yang rendah) maka semakin besar molekul protein yang dapat bermigrasi. Gel penahan dibuat dengan ukuran pori lebih besar dengan kekuatan ion yang lebih kecil, sehingga mempercepat pergerakan molekul karena tahanan friksi yang rendah. Protein yang akan dipisahkan dilarutkan dalam bufer yang mengandung SDS (Sodium Dodesil Sulfat) dan 2-merkaptoetanol. Penggunaan SDS dan merkaptoetanol disertai dengan pemanasan akan memecah struktur tiga dimensi protein, terutama ikatan disulfida menjadi subunit-subunit polipeptida secara individual. SDS akan membungkus rantai protein yang tidak terikat membentuk kompleks SDS-protein yang bermuatan negatif. Kemudian kompleks SDS-protein ini dialirkan dalam medium yang mengandung medan listrik sehingga senyawa 34
35
protein yang bermuatan negatif akan bergerak ke arah elektroda yang polaritasnya berlawanan dengan molekul protein. Kompleks SDS-protein yang lebih besar mempunyai mobilitas yang lebih rendah dengan kompleks yang lebih lebih kecil. Hal tersebut disebabkan oleh kerapatan partikel gel yang menghambat mobilitas protein. Prinsip inilah yang digunakan untuk memisahkan molekul-molekul dengan muatan berbeda (Wijaya dan Rohman 2001). Berikut adalah berturut-turut dari atas ke bawah subunit protein dari berbobot molekul terbesar sampai terkecil, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5. Pola elektroforesis fraksi protein. M: low-molecularweight protein marker, 1: sarkoplasma tongkol, 2: miofibril tongkol, 3: sarkoplasma kerang hijau, 4: miofibril kerang hijau, 5: sarkoplasma udang jerbung, 6: miofibril udang jerbung Pita-pita yang terbentuk pada gel pemisah diidentifikasi dengan pewarnaan gel menggunakan larutan coomasie blue dalam asam asetat glasial dan metanol. Asam asetat glasial digunakan untuk fiksasi protein yang berguna untuk mengendapkan dan mengimobilisasi protein sehingga warna yang terbentuk permanen. Selanjutnya penentuan berat molekul masing-masing pita protein dihitung berdasarkan kurva standar marker (Lampiran 8a), yang diperoleh melalui hubungan antara mobilitas relatif (Rf) dengan nilai logaritma berat molekul (Log BM) protein marker. Nilai mobilitas relatif (Rf), logaritma berat molekul (Log BM) dan berat molekul protein standar dapat dilihat pada Tabel 3.
36
Tabel 3 menunjukkan Marker yang digunakan sebagai standar protein terdiri atas protein-protein dengan berat molekul kecil (Low Molecular Weight). Marker (Fermentas) tersebut mengandung tujuh jenis protein standar yang sudah diketahui berat molekulnya, yaitu β-galactosidase (BM: 116 kDa), bovine serum albumin (BM: 66.2 kDa), ovalbumin (BM: 45 kDa), lactate dehydrogenase (BM: 35 kDa), REase BSP 981 (BM: 25 kDa), β-lactoglobulin (BM: 18.4 kDa) dan lysozime (BM: 14.4 kDa). Tabel 3. Nilai mobilitas relatif (Rf), logaritma berat molekul (Log BM) dan berat molekul protein standar Pita ke1 2 3 4 5 6 7
Jenis protein β-galactosidase BSA Ovalbumin Lactate dehydrogenase Rease Bsp981 β-lactoglobulin Lysozyme
BM (kDa)
Log BM
Jarak pergerakan (cm)
Rf
116 66.2 45 35 25 18.4 14.4
2.0645 1.8209 1.6532 1.5441 1.3979 1.2648 1.1584
1.81 3.4 5.41 6.92 8.86 10.47 10.97
0.157 0.296 0.470 0.602 0.770 0.910 0.954
Analisis data protein standar dilakukan dengan regresi linier, dimana dari hubungan antara logaritma berat molekul (sumbu Y) dan mobilitas relatif (sumbu X) diperoleh persamaan Y= 2.1739-1.0369X dengan R2= 0.9858. Persamaan regresi dari kurva linier standar tersebut digunakan untuk menghitung berat molekul protein-protein yang berhasil dipisahkan dari ekstrak fraksi protein udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau. Hasil pemisahan protein sampel secara keseluruhan (Gambar 5) menunjukkan bahwa pita protein yang muncul pada gel elektroforesis memiliki jumlah dan ketebalan yang berbeda-beda. Pita protein yang muncul lebih banyak dan lebih tebal pada fraksi sarkoplasma dibandingkan dengan fraksi miofibril. Terutama terlihat pada fraksi sarkoplasma udang jerbung dan ikan tongkol. Hal ini sesuai dengan uji kadar protein fraksi tersebut, yang menunjukkan bahwa kadar protein fraksi sarkoplasma sampel lebih tinggi dibandingkan dengan kadar protein fraksi miofibril. Pita-pita protein yang dihasilkan dari elektroforesis kemudian dianalisis densitasnya dengan menggunakan program Image J, sehingga menghasilkan 36
37
visualisasi seperti Gambar 6. Pengukuran densitas pita protein bertujuan untuk mengetahui persentase masing-masing pita tersebut. Hasil pembacaan densitas pita marker standar dengan program Image J dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Hasil pembacaan densitas pita marker standar dengan program Image J Puncak kurva yang terlihat pada Gambar 6 menandakan subunit protein dengan bobot molekul tertentu. Lebar kurva menandakan ketebalan pita yang tampak. Dan dengan garis dasar yang sama pada setiap kurva, luas area di bawah kurva yang dibatasi oleh garis dasar dihitung sebagai konsentrasi subunit protein yang terlihat pada pita. Perhitungan konsentrasi subunit merupakan perbandingan luas area masing-masing pita dibagi dengan luas area seluruh pita, sehingga jumlah total seluruh pita adalah 100%. Dari pembacaan densitas pita marker standar diatas, diketahui bahwa konsentrasi terbesar penyusunnya adalah jenis protein ovalbumin (20.36%) dan β-lactoglobulin (21.14%). Data hasil analisis terperinci mengenai berat molekul dan konsentrasi masing-masing subunit dapat dilihat pada Lampiran 8b – 8d. Penjelasan lebih rinci dari masing-masing sampel adalah sebagai berikut: 4.2.1. Ikan Tongkol Hasil elektroforesis SDS PAGE dari protein ikan tongkol yang terlihat pada Gambar 5 menunjukkan bahwa fraksi sarkoplasma terdiri dari 13 subunit protein penyusun, sedangkan fraksi miofibril terdiri dari 15 subunit protein penyusun. Kisaran berat molekul penyusun fraksi protein sarkoplasma mulai dari 14.65 kDa - 117.06 kDa. Fraksi miofibril tersusun dari protein dengan berat molekul berkisar
38
dari 14.62 kDa - 107.28 kDa. Penelitian terhadap pola elektroforesis protein ikan sardine dan ikan mackerel (Hashimoto et al. 1979) menunjukkan bahwa fraksi miofibril terdiri dari beberapa pita protein yang sesuai dengan myosin heavy chain (MHC), aktin, troponin dan tropomiosin. Fraksi sarkoplasma utamanya terdiri dari mioglobin, albumin dan beberapa enzim yang terkait dengan metabolisme penghasil energi seperti kreatinin kinase, aldolase dan gliseraldehid-3-phospat (Ladrat et al. 2003). Gambar 7 memperlihatkan densitas pita-pita elektroforesis hasil pemisahan fraksi protein sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol dengan menggunakan program Image J, sedangkan perhitungan konsentrasi masingmasing subunit protein dapat dilihat pada Lampiran 8b.
.
(a)
(b)
Gambar 7. Hasil pembacaan densitas pita protein ikan tongkol dengan program Image J: (a).fraksi sarkoplasma; (b). fraksi miofibril. Gambar 7(a) memperlihatkan pita protein yang dominan pada fraksi protein sarkoplasma adalah pita ke-4, 5, 7, 8, 9 dan ke 13 yang memiliki berat molekul berturut-turut adalah 63.19 kDa, 54.41 kDa, 39.85 kDa, 36.6 kDa, 28.89 kDa dan 14.65 kDa. Sesuai dengan penelitian Ladrat et.al (2003), pita protein dengan berat molekul 39.85 kDa dan 54.41 kDa diperkirakan sebagai kreatinin kinase dan aldolase, sedangkan komponen 36.6. kDa sebagai gliseraldehid-3-phospate dehidrogenase. Protein dengan berat molekul sekitar 14 kDa diidentifikasi sebagai parvalbumin. Gambar 7(b) menunjukkan fraksi protein miofibril ikan tongkol memiliki 4 pita protein yang dominan yaitu pita ke-5, 10, 11 dan ke-15 dengan berat molekul 69.95 kDa, 40.94 kDa, 38.63 kDa dan 14.62 kDa. Dengan membandingkan berat
38
39
molekul, komposisi protein penyusun fraksi miofibril dapat diidentifikasi. Komponen myosin heavy chain (MHC, ~200 kDa) dalam elektroforesis fraksi miofibril ini tidak terdeteksi. Komponen dengan berat molekul 40.94 kDa diidentifikasi sebagai aktin. Miosin dan aktin merupakan protein utama yang mendominasi fraksi miofibril (Hashimoto et al. 1979). Pita protein dengan berat molekul 14.62 kDa diidentifikasi sebagai myosin light chain, sedangkan pita dengan berat molekul 38.63 kDa diperkirakan sebagai tropomiosin (Ladrat et al. 2003). 4.2.2. Kerang Hijau Berdasarkan hasil pemisahan protein, diketahui bahwa fraksi sarkoplasma kerang hijau terdiri dari 11 komponen penyusun, yaitu dengan berat molekul berkisar 14.5 kDa – 92.5 kDa. Fraksi protein miofibril terdiri dari 5 komponen yang memiliki berat molekul berkisar dari 15.18 kDa – 136.21 kDa. Gambar 9 memperlihatkan hasil pembacaan densitas pita protein kerang hijau dengan program Image J, sedangkan perhitungan konsentrasi masing-masing subunit protein dapat dilihat pada Lampiran 8c.
(a)
(b)
Gambar 8. Hasil pembacaan densitas pita protein kerang hijau dengan program Image J: (a).fraksi sarkoplasma; (b). fraksi miofibril. Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa terdapat empat subunit protein yang dominan penyusun fraksi sarkoplasma kerang hijau adalah protein dengan berat molekul 33.85 kDa, 39.56 kDa, 50.87 kDa dan 59.45 kDa. Lima komponen penyusun fraksi miofibril terdapat 2 subunit protein yang dominan yaitu dengan berat molekul 136.21 kDa dan 93.51 kDa yang diidentifikasi sebagai MHC dan
40
paramiosin. Pita paramiosin menyusun sekitar 14% fraksi miofibril dari protein otot kerang-kerangan (Thanonkaew et al. 2006). Penelitian elektroforesis SDSPAGE terhadap protein kerang Crasosstrea gigas memperlihatkan band protein yang memiliki berat molekul berkisar dari 19 kDa – 233 kDa (Romero et al. 2004). Pita protein yang muncul lebih banyak dan lebih tebal pada fraksi sarkoplasma dibandingkan dengan pita protein yang muncul pada fraksi miofibril kerang hijau. Pita dominan yang muncul tersebut menunjukkan protein penyusun fraksi sarkoplasma memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan protein penyusun fraksi miofibril. Perbedaan komposisi protein disebabkan karena perbedaan sifat dan karakteristik dari masing-masing fraksi tersebut. Paredi et al. (1998) melakukan karakterisasi protein SDS-PAGE dari kerang jenis Aulacomya ater ater (Molina) yang menunjukkan bahwa protein miofbril terdiri dari MHC, paramiosin, aktin, troponin dan myosin light chain dengan berat molekul masingmasing adalah 200, 110, 42, 37 dan 17 kDa. 4.2.3. Udang Jerbung Hasil elektroforesis protein sarkoplasma dan protein miofibril udang jerbung yang terlihat pada Gambar 6 memperlihatkan adanya pita-pita yang merupakan protein-protein penyusun masing-masing fraksi tersebut. Dari hasil pemisahan protein sarkoplasma udang jerbung terdiri dari 22 komponen penyusun, yaitu dengan berat molekul berkisar 14.87 kDa – 143.77 kDa. Fraksi protein miofibril udang jerbung terdiri dari 17 komponen, dengan berat molekul berkisar dari 15.18 kDa – 107.48 kDa. Fraksi protein sarkoplasma udang jerbung memiliki jumlah komponen yang lebih banyak dibandingkan dengan fraksi miofibril. Dari 22 komponen penyusun fraksi protein sarkoplasma udang jerbung, diketahui terdapat 4 komponen protein yang dominan. Fraksi protein miofibril udang jerbung memiliki 3 protein yang dominan. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis gel dengan program Image J, ditunjukkan pada Gambar 9.
40
41
(a)
(b)
Gambar 9. Hasil pembacaan densitas pita protein udang jerbung dengan program Image J:(a).fraksi sarkoplasma; (b). fraksi miofibril. Gambar 9 menunjukkan persentase pita protein penyusun fraksi sarkoplasma dan miofibril udang jerbung. Empat protein dominan yang menyusun fraksi sarkoplasma udang jerbung terlihat dengan persentase yang lebih besar yaitu pita protein ke-19, 12, 10 dan ke-4 dengan berat molekul berturut-turut 19.2 kDa, 45.47 kDa, 56.91 kDa dan 91.4 kDa. Persentase masing-masing subunit penyusun fraksi protein sarkoplasma dan miofibril udang jerbung secara lengkap dapat dilihat pada Lampiran 8d. Pita protein dengan berat molekul 91.4 dan 45.47 kDa diidentifikasi sebagai phosporilase dan kreatinin kinase. Ayuso et al. (2009) melakukan karakterisasi protein udang dengan SDS-PAGE dan uji alergenisitas dengan ELISA. Hasil menunjukkan bahwa protein dengan berat molekul ~20 kDa ditemukan sebagai alergen baru dari udang, yang diidentifikasi sebagai SCP (sarcoplasmic calciumbinding protein). Pola elektroforesis dari fraksi miofibril udang jerbung menunjukkan 3 subunit protein yang dominan yaitu pita ke-2, ke-8 dan ke-17 dengan berat molekul masing-masing adalah 100.77 kDa, 38.19 kDa dan 15.18 kDa. Komponen dengan berat molekul berkisar 100.77 kDa diperkirakan sebagai paramiosin. Pita protein dengan berat molekul 38.19 kDa dianggap sebagai tropomiosin. Sahabudin et al. (2011) melakukan uji ELISA dan imunoblotting protein udang menggunakan serum subyek penderita alergi. Hasil uji menunjukkan bahwa tropomiosin merupakan suatu komponen protein miofibril
42
yang terdiri dari 2 subunit dengan berat molekul 34-38 kDa yang dilaporkan sebagai alergen utama dalam spesies udang. Komponen myosin light chain diidentifikasi pada pita protein ke-17 dengan berat molekul 15.18 kDa. Pita dengan ketebalan (densitas) dominan menunjukkan bahwa protein dengan berat molekul tersebut memiliki konsentrasi yang lebih tinggi dibanding protein lainnya. Protein dengan berat molekul tertentu yang memiliki konsentrasi tinggi akan lebih banyak mengikat pewarna bromfenol biru. Kompleks yang terbentuk ini akan bergerak melalui pori-pori gel dan ketika ukuran molekul lebih besar dari ukuran pori, protein akan terperangkap dalam pori gel. Konsentrasi protein yang tinggi akan membentuk pita protein yang lebih tebal dan lebih dominan dibanding pita protein yang lain. 4.3. Alergenisitas Ekstrak Protein dengan Metode ELISA ELISA merupakan deteksi cepat tentang adanya interaksi antara antigenantibodi yang mempunyai sensitivitas tinggi. Antigen dalam penelitian ini adalah fraksi protein sarkoplasma dan miofibril udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau yang diduga sebagai alergen. Antibodi yang digunakan adalah IgE dari 20 serum manusia yang mempunyai riwayat alergi pangan yang berbeda-beda. Teknik ELISA yang digunakan yaitu ELISA tidak langsung, yaitu antigen terikat pada lempeng mikrotiter. Konsentrasi antigen yang dipilih adalah 10 µg/well. Konsentrasi ini diduga sebagai konsentrasi optimal sehingga semua tempat pengikatan ditempel oleh antigen, sehingga semua tempat pengikatan ditempeli dan tersedia sebanyak mungkin tempat reseptor antibodi. Malcolm (1995) menyatakan konsentrasi optimum antigen untuk pelapisan adalah 1 – 10 µg/well. Konsentrasi yang terlalu tinggi akan menyebabkan meningkatnya laju antigen yang terlepas sehingga mengurangi sensitivitas. Selain terjadi pelepasan, kerapatan pengikatan akan dapat merubah konfirmasi antigen sehingga interaksi yang terjadi tidak stabil dan dapat terlepas selama pengujian. Protein sampel yang bertindak sebagai antigen akan terikat dalam lempeng mikrotiter, namun masi menyisakan ruang-ruang kosong. Adanya ruang kosong ini dapat membuat reaksi non spesifik yang dapat mengganggu pengukuran. Untuk mencegah hal tersebut terjadi perlu dilakukan pemblokan ruang-ruang kosong dengan BSA (albumin serum sapi) dalam PBS. BSA merupakan protein 42
43
yang tidak bersifat antigenik, sehingga tidak akan bereaksi dengan antibodi (IgE). Selain itu untuk menghindari terjadinya reaksi non spesifik lainnya dapat dilakukan dengan mencuci setiap kali satu tahapan ELISA selesai dilakukan (Ashorn dan Krohn 1986). Sumber antibodi primer yang digunakan adalah IgE dalam serum subyek alergi. Dimana sebelumnya perlu dilakukan tahapan penentuan total IgE dari masing-masing subyek alergi, untuk mengetahui kandungan IgE yang dapat menunjukkan status alergi subyek yang bersangkutan (Hamada et al. 2003). Selanjutnya untuk mengetahui adanya ikatan antara protein sampel dengan IgE serum ditambahkan suatu antibodi pendeteksi yaitu anti IgE manusia konjugat HRP. Reaksi pengikatan ditunjukkan dengan adanya perubahan warna melalui penambahan subtrat TMB (3,3´-diaminobenzidine tetrahydrochloride) (Afolabi dan Thottappilly 2008). 4.3.1. IgE Total Serum Subyek Alergi Penentuan IgE total dalam serum subyek dilakukan untuk mengetahui status alergi dari masing-masing subyek tersebut. Pada metode ini serum subyek yang mengandung IgE dilapiskan pada lempeng mikrotiter. Adanya IgE dalam serum dideteksi dengan anti-IgE manusia berkonjugasi enzim. Serum yang diuji berasal dari darah subyek yang mempunyai riwayat menderita alergi. Darah penderita alergi diinkubasi selama 30 menit dan disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 20 menit. Inkubasi bertujuan untuk memisahkan serum secara maksimal dari plasma darah. Kemudian serum yang diperoleh dilakukan pengenceran 1:5 dan 1:10. Pengenceran yang dilakukan ini merupakan pengenceran terendah, karena kandungan IgE dalam serum sangat rendah. Menurut Roitt dan Delves (2001), kandungan IgE normal dalam serum manusia berkisar antara 17-450 ng/ml. Penelitian sebelumnya (Yuliarni 1998) juga menggunakan serum pengenceran 1:5 dan 1:10 untuk menentukan kandungan IgE total dalam serum subyek alergi dan melaporkan bahwa serum pengenceran 1:5 memberikan hasil yang tidak terlalu jauh berbeda. Walaupun serum pengenceran 1:5 cinderung memiliki kandungan yang lebih tinggi. Serum yang sudah diencerkan dilapiskan pada lempeng mikrotiter dan selanjutnya ditambahkan anti IgE manusia berlabel enzim HRP untuk mendeteksi
44
IgE dalam serum subyek. Hasil deteksi ini diketahui dengan menambahkan substrat enzim HRP dan dibaca dengan ELISA reader. Selain itu, juga dilakukan pembuatan kontrol negatif yang digunakan untuk perbandingan nilai absorbansi serum yang diperoleh. Kontrol negatif menggunakan serum yang berasal dari subyek normal, yang secara medis tidak memiliki riwayat alergi. Hasil pengukuran IgE ini bersifat kualitatif, dimana subyek dapat digolongkan positif alergi jika kandungan total IgE dalam bentuk nilai absorbansi lebih tinggi dibandingkan dengan nilai absorbansi kontrol negatif ditambah dengan 2 kali standar deviasinya (Kumar et al. 2010). Hasil uji ELISA terhadap 20 serum subyek penderita alergi dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Hasil uji ELISA terhadap serum pengenceran 1:5 dan 1:10 dibandingkan dengan kontrol negatifnya (rata + 2SD) : (A) Subyek A-J, (B) Subyek K-T Hasil uji ELISA (Gambar 10) memperlihatkan bahwa 20 subyek positif menderita alergi karena memiliki nilai absorbansi yang lebih tinggi dibandingkan
44
45
dengan kontrol negatif (rata-rata + 2SD), baik pengenceran 1:5 maupun 1:10. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh serum yang diuji sesuai dengan sejarah medisnya sehingga dapat digunakan untuk mengetahui kapasitas pengikatan IgE terhadap protein sampel. Adanya IgE merupakan indikasi terjadinya alergi dalam tubuh ke20 serum subyek. IgE merupakan antibodi yang dalam keadaan normal jumlahnya sangat kecil. Pada subyek yang atopik terdapat kecinderungan menghasilkan IgE dalam jumlah yang lebih tinggi dari kondisi normal dan mengakibatkan individu yang bersangkutan mudah menderita alergi (Zakaria et al. 1992; Roitt dan Delves 2001). Kandungan IgE total seluruh serum pada pengenceran 1:10 menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengenceran 1:5. Walaupun serum dengan pengenceran 1:5 cinderung memiliki kandungan IgE yang lebih tinggi. Hasil ini menunjukkan bahwa pada pengenceran yang lebih tinggi (1:5), jumlah IgE yang dapat berikatan dengan antigen lebih sedikit. Hal ini disebabkan dengan kerapatan pengikatan yang tinggi, konformasi IgE berubah dan dapat terjadi kekurangan tempat pengikatan spesifik ke antigen karena susunannya sangat rapat dan kadang-kadang berlapis.Konsentrasi IgE yang tinggi menyebabkan interaksi pengikatan tidak stabil dapat dapat terlepas selama pengujian. Oleh karena itu peningkatan jumlah antibodi yang terikat tidak selalu berarti peningkatan sensitivitas uji (Cantarero et al. 1980). Penggunaan serum dengan pengenceran 1:10 juga dilakukan dalam penelitian Kumar et al. (2010). Sehingga berdasarkan hal tersebut, serum dengan pengenceran 1:10 digunakan dalam uji alergenisitas ekstrak sampel selanjutnya. 4.3.2. Alergenisitas Ekstrak Protein Sarkoplasma dan Miofibril Pengujian ini bertujuan untuk menguji kelayakan ekstrak protein sampel udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau sebagai isolat protein alergen yang dapat digunakan untuk uji diagnosis alergi. Isolat alergen yang dapat digunakan untuk diagnosis alergi adalah isolat protein yang memiliki sensitivitas yang tinggi, yang mampu berikatan dengan IgE serum subyek alergi. Pengujian dilakukan dengan metode ELISA tidak langsung, dimana terjadi interaksi antara antigen (ekstrak protein) dengan antibodi primer dari serum subyek alergi serta antibodi sekunder yang berlabel enzim. Penggunaan antibodi sekunder (anti IgE berlabel
46
enzim HRP) berguna untuk mendeteksi interaksi spesifik antara antigen (ekstrak protein) dengan antibodi serum alergi (IgE). Hasil yang diperoleh berupa munculnya warna setelah pemberian subtrat TMB yang sesuai dengan konjugat enzimnya, dan dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Dimana kemudian hasil positif ditunjukkan dengan nilai absorbansi yang lebih besar daripada nilai kontrol negatif. Kontrol negatif yang digunakan sebagai dasar pembacaan merupakan rata-rata nilai absorbansi kontrol negatif ditambah dengan 2 kali standar deviasinya. Kontrol negatif dibuat dengan menginkubasi sampel dengan serum subyek normal yang tidak menderita alergi berdasarkan sejarah medisnya. Pengujian ELISA dilakukan terhadap 20 serum responden yang berdasarkan wawancara memiliki sejarah medis alergi makanan. Selain itu berdasarkan pengujian total IgE sebelumnya, ke-20 serum tersebut dipastikan memang positif menderita alergi. Rekaman sejarah alergi yang diderita masing-masing responden dan hasil pengujian ELISA masing-masing ekstrak protein terhadap 20 serum dapat dilihat pada Tabel 4. Perbandingan hasil uji ELISA dengan rekaman jenis alergi yang diderita responden dilakukan dengan skoring. Responden mengaku positif menderita alergi dan hasil uji ELISA juga menunjukkan positif maka diberi skor 1. Responden mengaku positif menderita alergi dan hasil uji ELISA menunjukkan negatif maka diberi skor 0. Responden mengaku negatif menderita alergi dan hasil uji ELISA menunjukkan positif diberikan skor 0. Responden mengaku negatif menderita alergi dan hasil uji menunjukkan negatif diberikan skor 1. Berdasarkan Tabel 4 diketahui bahwa hasil uji ELISA secara keseluruhan menunjukkan bahwa masing-masing ekstrak protein sampel baik fraksi sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol, kerang hijau dan udang jerbung mampu mendeteksi IgE spesifik pada serum penderita alergi makanan laut. Sifat alergenisitas ekstrak protein memberikan hasil yang berbeda pada serum subyek yang berbeda. Perbedaan alergenisitas ini disebabkan oleh sifat dari antibodi IgE masing-masing subyek. Bagian molekul antigen yang bereaksi dengan antibodi atau dengan reseptor spesifik pada limfosit T disebut epitop dan yang menentukan spesifitas reaksi antigen-antibodi. Jumlah epitop pada satu molekul antigen
46
47
berbeda dengan jumlah epitop pada antigen yang lain. Sehingga hanya antigen (ekstrak protein) yang mempunyai epitop yang sesuai yang dapat bereaksi spesifik dengan molekul antibodi IgE. Struktur protein globular yang biasanya terdiri dari 14-21 residu asam amino menentukan terjadinya interaksi di daerah aktif pengikatan antigen dan antibodi tersebut (Roitt dan Delves 2001). Tabel 4. Perbandingan hasil uji ELISA dengan sejarah medis alergi masing masing subyek No
Kode Subyek
Riwayat alergi (Hasil wawancara)
HASIL ELISA Su
Mu
St
Mt
Sk
Mk
Skor perbandingan*
Seafood 1 A + + + + + + Udang 2 B + + + + + + Seafood 3 C + + + + Udang 4 D + Udang 5 E + + Kepiting,Udang 6 F + + + Kerang 7 G + Seafood 8 H + + + + Udang,ikan 9 I + + + Seafood,Telur 10 J + Kerang 11 K + + + + Udang 12 L + + + + + Udang, Kepiting 13 M + Udang 14 N + + + Ikan 15 O + Seafood 16 P + + + + Udang,Ikan 17 Q + + MSG 18 R Seafood 19 S + + Seafood 20 T + Keterangan : - St : Sarkoplasma tongkol -Su: Sarkoplasma udang -Sk: Sarkoplasma kerang -Mt: Miofibril tongkol -Mu: Miofibril udang -Mk: Miofibril kerang *skor 1 : hasil wawancara (+), hasil uji ELISA (+);hasil wawancara (-), hasil uji ELISA (-) skor 0 : hasil wawancara (+), hasil uji ELISA (-);hasil wawancara (-), hasil uji ELISA (+)
Tabel 4 menunjukkan hasil uji ELISA yang sesuai dengan rekaman sejarah alergi responden (skor 1) terdapat hanya pada beberapa subyek saja. Seperti pada subyek A yang berdasarkan wawancara mengaku memiliki alergi terhadap semua jenis seafood, uji ELISA dari ekstrak protein udang, ikan tongkol dan kerang juga
1 0 1 1 1 0 1 0 1 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 0
48
memperlihatkan hasil yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa pada serum subyek A tersebut memang mengandung IgE anti protein udang, tongkol dan kerang. Kemudian terdapat kasus seperti subyek H (skor 0) yang mengaku memiliki riwayat alergi makanan laut, namun hasil uji ELISA menunjukkan hanya positif terhadap udang dan ikan tongkol. Hal ini kemungkinan dapat disebabkan bahwa subyek H kurang mengetahui secara pasti jenis alergi yang dideritanya. Karena selama ini adanya persepsi bahwa seseorang yang mengalami reaksi alergi terhadap satu jenis makanan laut maka akan mengalami alergi terhadap makanan laut lainnya, sehingga hasil wawancara yang ada tidak cukup mewakili (Candra et al. 2011). Kasus lain yang memiliki skor 0 yaitu seperti pada subyek N yang mengaku memiliki alergi terhadap udang, namun uji ELISA menunjukkan hasil positif juga terhadap protein miofibril kerang. Hal ini disebabkan adanya protein alergen yang sama dalam udang dan kerang yang dapat bereaksi positif dengan IgE serum subyek N. Penelitian Leung et al. (1996) menyatakan bahwa terjadinya reaksi silang antara kelompok udang dan kerang-kerangan disebabkan adanya epitop yang sama dalam alergen utamanya yaitu tropomiosin. Reaksi yang positif terhadap protein ketiga sampel menunjukkan bahwa didalam sampel udang, tongkol dan kerang mengandung protein alergen. Sehingga dari segi penggunaan praktis, ekstrak protein dari ketiga sampel baik fraksi sarkoplasma dan miofibril sudah dapat digunakan sebagai alergen untuk uji kutanus. 4.3.2.1. Ikan Tongkol Hasil uji ELISA terhadap alergenisitas protein ikan tongkol menunjukkan bahwa ekstrak protein baik fraksi sarkoplasma dan miofibril mampu berikatan spesifik dengan IgE beberapa serum subyek penderita alergi makanan laut dan sesuai dengan sejarah medis subyek alergi tersebut. Uji ELISA terhadap 20 subyek penderita alergi, diketahui hanya 5 orang subyek (A, B, C, H dan K) yang menunjukkan IgE spesifik yang tinggi yang dapat berikatan dengan protein fraksi miofibril dan sarkoplasma ikan tongkol. Hal ini ditunjukkan dari rata-rata nilai absorbansi (nilai OD) lima serum tersebut lebih tinggi dibandingkan kontrol negatif (Gambar 11). Terhadap lima subyek tersebut, fraksi protein sarkoplasma ikan tongkol lebih bersifat alergen daripada fraksi miofibril. Alergenisitas 48
49
tertinggi terlihat pada subyek A, dengan rata-rata nilai absorbansi interaksi protein sarkoplasma dengan IgE serum lebih tinggi (OD= 0.546) dibandingkan dengan protein miofibril (OD= 0.537). Hamada et al. (2003) melakukan penelitian terhadap jenis protein alergen
pada ikan mackarel dan ditemukan bahwa
parvalbumin merupakan alergen mayor yang terdapat dalam protein sarkoplasma dengan berat molekul 12 kDa. Selain pervalbumin, terdapat tiga kelas protein yaitu kolagen yang terdiri dari 100 kDa rantai α (Sakaguchi et al. 2000), aldehid pospatdehidrogenase 41 kDa (Das Dores et al. 2002) dan transferin dengan berat molekul 94 kDa (Kondo et al. 2006) diidentifikasi sebagai protein alergen ikan.
Gambar 11. Hasil uji ELISA protein ikan tongkol terhadap 20 serum subyek(A-T) (A)fraksi sarkoplasma; (B)fraksi miofibril Sebanyak 11 subyek menunjukkan hasil negatif terhadap kedua fraksi protein ikan tongkol. Hal ini terlihat dari rata-rata nilai absorbansi interaksi kedua protein terhadap IgE serum subyek tersebut lebih rendah dibanding dengan kontrol (Gambar 11). Nilai absorbansi yang rendah menunjukkan rendahnya
50
reaktivitas IgE spesifik serum tersebut dengan protein dari fraksi sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol. Selain itu, dari hasil uji pada Gambar 11 juga dapat diketahui bahwa hanya 2 subyek (F dan I) yang serumnya memiliki IgE anti protein sarkoplasma ikan tongkol. Dua subyek lain yaitu subyek L dan S hanya menunjukkan hasil positif terhadap protein miofibril ikan tongkol. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak protein ikan tongkol baik fraksi sarkoplasma maupun miofibril bersifat alergen dan dapat berikatan spesifik dengan IgE serum subyek. Perbedaan alergenisitas protein sarkoplasma dan miofibril ini terjadi karena setiap IgE individu yang berbeda memiliki sisi pengikatan yang berbeda pula terhadap antigen tertentu (Bellanti 1993). 4.3.2.2. Kerang Hijau Hasil uji alergenisitas protein sarkoplasma dan miofibril kerang hijau terhadap 20 serum subyek alergi menunjukkan bahwa terdapat 5 serum subyek yang bereaksi terhadap kedua fraksi protein kerang hijau tersebut. Kelima serum tersebut berasal dari subyek A, B, I, L, dan P. Alergenisitas paling kuat dari fraksi protein sarkoplasma diperlihatkan pada subyek A (OD= 0.525), sedangkan fraksi protein miofibril berinteraksi paling kuat terhadap serum subyek L (OD= 0.738). Hal ini menunjukkan bahwa subyek A mengandung lebih banyak IgE spesifik yang dapat berikatan dengan protein sarkoplasma kerang hijau. Shiomi et al. (2009) dengan uji ELISA melaporkan bahwa protein dari 4 spesies siput dan 7 spesies kerang bersifat alergenik dan komponen alergen mayor diidentifikasi sebagai tropomiosin. Hasil uji ELISA reaktifitas dua fraksi protein kerang hijau dapat dilihat di Gambar 12. Gambar 12 memperlihatkan hasil uji terhadap 7 serum dari subyek D, E, H, M, R, dan T yang memberikan nilai rata-rata absorbansi lebih rendah daripada kontrol negatif. Hal ini menunjukkan bahwa didalam serum subyek tersebut jumlah IgE spesifik yang rendah terhadap fraksi protein sarkoplasma dan miofibril kerang hijau. Sehingga dapat dikatakan bahwa protein sarkoplasma dan miofibril tidak memiliki sifat alergenik terhadap 7 serum tersebut.
50
51
Gambar 12. Hasil uji ELISA protein kerang hijau terhadap 20 serum subyek (A-T) (A)fraksi sarkoplasma; (B)fraksi miofibril Berdasarkan data hasil wawancara riwayat alergi masing-masing subyek (Tabel 4), subyek G dan K diketahui memiliki alergi terhadap kerang. Hasil uji ELISA ekstrak protein kerang hijau terhadap kedua serum subyek tersebut menunjukkan bahwa ekstrak protein kerang hijau memang bersifat alergenik terhadap dua serum subyek G dan K. Fraksi sarkoplasma kerang hijau bersifat alergenik pada serum subyek G, sedangkan fraksi miofibril bersifat alergenik terhadap serum subyek K. Hasil tersebut menunjukkan bahwa kedua fraksi ekstrak protein kerang hijau mengandung komponen protein alergen, sehingga untuk penggunaan ekstrak sebagai isolat alergen dapat dilakukan dengan mengekstrak protein secara keseluruhan. Hal ini juga ditunjang dari segi praktis penggunaannya, karena dalam konsumsi sehari-hari belum ditemukan pemisahan kedua fraksi protein tersebut.
52
4.3.2.3. Udang Jerbung Penentuan alergenisitas protein sarkoplasma dan miofibril udang jerbung didasarkan pada nilai absorbansi interaksi antigen (ekstrak protein) dengan IgE serum pengenceran 1:10 dapat dilihat pada Gambar 13. Dimana dari hasil tersebut dapat diketahui bahwa alergenisitas protein udang berbeda pada serum subyek yang berbeda. Perbedaan alergenisitas protein udang ini pada beberapa subyek dapat disebabkan oleh sifat dari IgE masing-masing subyek. Menurut Bellanti (1993), daerah antibodi aktif molekul imunoglobulin ditentukan oleh rangkaian asam amino. Individu yang berbeda akan mempunyai IgE yang berbeda tergantung pada antigen mana yang dapat mensensitisasi sel plasma pembentuk antibodi. Dengan demikian akan memiliki daerah antibodi aktif yang berbeda, sehingga hanya antigen (protein alergen) yang mempunyai sisi aktif yang sama yang dapat bereaksi dengan IgE tersebut.
A
Gambar 13. Hasil uji ELISA protein udang jerbung terhadap 20 serum subyek (A-T) (A)fraksi sarkoplasma; (B)fraksi miofibril 52
53
Dari hasil uji ELISA (Gambar 13) menunjukkan bahwa dari 20 subyek yang diuji hanya 7 subyek yang memberikan hasil positif alergi terhadap kedua fraksi protein udang jerbung (sarkoplasma dan miofibril) yaitu subyek A, B, E, H, L, N dan subyek P. Alergenisitas protein udang paling kuat terlihat pada subyek L yang terlihat dari rata-rata nilai absorbansi yang lebih tinggi dibanding subyek lainnya. Nilai absorbansi interaksi protein miofibril dengan IgE serum subyek L lebih tinggi (OD= 1.681) daripada fraksi protein sarkoplasma (OD= 0.935). Semakin besar nilai absorbansi berarti semakin banyak kompleks yang terbentuk. Sementara kompleks yang terbentuk menunjukkan kandungan IgE dalam serum yang bereaksi dengan protein udang, baik fraksi sarkoplasma maupun miofibril. Zakaria et al.(1998) dengan metode ELISA melaporkan bahwa ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril udang putih juga dapat berinteraksi dengan IgE serum subyek alergi, dimana protein miofibril lebih bersifat alergenik. Data hasil ELISA alergenisitas protein udang jerbung secara lengkap disajikan pada Lampiran 10a. Selain itu dapat diketahui juga bahwa 5 serum subyek (G, I, J, O, dan R) memberikan hasil negatif terhadap uji alergenisitas kedua fraksi protein udang jerbung. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya reaktivitas IgE serum tersebut terhadap protein kedua fraksi udang. Hasil uji penentuan total IgE menunjukkan bahwa serum keenam subyek tersebut memiliki kandungan IgE yang lebih tinggi dibandingkan serum subyek normal. Bellanti (1993) menyatakan bahwa IgE setiap individu memiliki sisi pengikatan yang berbeda, sehingga hanya antigen yang memiliki sisi pengikatan sesuai dengan antibodi yang dapat beraksi dengannya. Hal ini juga yang menjelaskan terjadinya perbedaan alergenisitas protein sarkoplasma dan miofibril udang pada subyek C, F, Q dan subyek D, K, M, S, T. Dimana serum tiga subyek (C, F, Q) memberikan hasil positif terhadap protein sarkoplasma udang dan lima serum (D, K, M, S, T) yang memberikan hasil positif terhadap protein miofibril udang. Yuliarni (1998) dengan metode yang sama melaporkan bahwa ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril udang windu juga dapat berinteraksi dengan IgE serum subyek alergi. Jenis protein yang bersifat alergenik yang diidentifikasi dalam fraksi miofibril udang adalah tropomiosin yang memiliki berat molekul 34-38 kDa (Lehrer et al. 2003), arginin
54
kinase 40 kDa (Yu et al. 2003), sarcoplasmic calcium binding protein (SCP) dan myosin light-chain (Ayuso et al. 2008). 4.4. Profil Protein Alergenik Ekstrak Protein Sarkoplasma dan Miofibril dengan Metode Immunoblotting Tujuan immunoblotting dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui jenis protein alergen dalam masing-masing ekstrak sampel yang dapat memicu alergi pada individu yang berbeda. Metode immunoblotting digunakan untuk melihat interaksi antara antigen (protein alergen) dan antibodi, sehingga dapat diketahui protein dengan berat molekul tertentu yang bersifat alergenik dari fraksi sarkoplasma maupun miofibril udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau. Reaksi positif ditandai dengan terbentuknya kompleks protein dengan antibodi (IgE) yang berwarna coklat pada membran nitroselulosa. Hal tersebut menunjukkan bahwa protein yang terikat secara spesifik dengan antibodi (IgE) dalam serum penderita alergi adalah protein alergen. Teknik immunoblotting dilakukan dengan mentransfer pita protein pada gel SDS PAGE ke membran nitroselulosa. Marck (1995) menyatakan bahwa nitroselulosa merupakan membran yang paling umum digunakan untuk blotting. Membran ini mempunyai kapasitas mengikat protein sebesar 80 µg/cm2. Ukuran pori yang digunakan adalah 0.45 µm, dengan ukuran pori yang kecil ini diharapkan jumlah protein yang hilang pada saat transfer kecil. Untuk meningkatkan efisiensi pengikatan protein yang didenaturasi pada membran nitroselulosa, ditambahkan metanol 20% ke dalam bufer transfer. Proses transfer terjadi selama 1,5 jam pada tegangan 90 volt. Voltase yang terlalu tinggi pada proses transfer dapat menyebabkan kerusakan sampel karena meningkatnya panas dalam sistem. Setelah proses transfer selesai, membran nitroselulose kemudian diblok dengan susu skim 5% untuk menutupi seluruh membran yang tidak terikat protein, sehingga terjadinya pengikatan non spesifik dapat dihindari. Serum yang digunakan dalam uji immunoblotting yaitu serum subyek A, B, H, L dan P. Serum yang mengandung IgE spesifik ini kemudian ditambahkan ke membran dan diinkubasi selama 1 jam dan dicuci dengan PBST selama 3 kali. Pencucian berguna untuk menghilangkan SDS dari protein sehingga protein yang terdenaturasi oleh SDS dapat kembali ke struktur semula. Selanjutnya dilakukan
54
55
penambahan anti IgE manusia dengan konjugat HRP, dan diinkubasi selama 1 jam lalu
dicuci
dan
ditambahkan
substrat
DAB
(3,3´-diaminobenzidine
tetrahydrochloride). Hasil positif akan ditandai dengan terbentuknya warna coklat pada komponen yang bersifat alergen. Hasil immunoblotting pada lima serum yang berbeda diperlihatkan pada Gambar 14. Rincian berat molekul komponen penyebab alergi dari masing-masing ekstrak dapat dilihat pada Lampiran 11.
A
H Mk Sk Mu Su
P
L Mt St
Mk
Sk Mu Su
Mt
St
Mk Sk Mu Su
Mt
St
B
Keterangan : - St : Sarkoplasma tongkol -Mt: Miofibril tongkol
-Su: Sarkoplasma udang -Mu: Miofibril udang
-Sk: Sarkoplasma kerang -Mk: Miofibril kerang
Gambar 14. Imunoblotting protein udang jerbung, ikan tongkol dan kerang hijau (A) serum subyek A dan B; (B) Serum H, L dan P Hasil uji terhadap 5 serum (A, B, H, L dan P) diketahui bahwa immunoblotting
ekstrak
protein
sarkoplasma
udang
jerbung
dapat
mengidentifikasi 12 protein yang berikatan dengan IgE. Protein tersebut memiliki berat molekul berkisar 27-84 kDa. Komponen protein utama dalam ekstrak
56
sarkoplasma udang yang dapat mengikat IgE pada masing-masing subyek berbeda-beda. Dimana pada subyek A komponen protein ekstrak sarkoplasma yang dapat bereaksi dengan IgE adalah komponen dengan berat molekul 54.34 kDa, sedangkan pada subyek B adalah komponen berberat molekul 56.87 kDa. Komponen protein ekstrak sarkoplasma udang yang dapat berikatan dengan IgE serum subyek L dan P terlihat lebih banyak, dengan satu komponen dominan yaitu berberat molekul 30.56 kDa. Berdasarkan data jenis alergen yang terdaftar dalam IUIS (Lampiran 7), komponen dengan berat molekul ini (30.56 kDa) diidentifikasi sebagai triosephospate isomerase (~28 kDa). Selain itu juga diketahui munculnya jenis alergen arginin kinase dengan berat molekul 40 kDa yang berikatan dengan IgE serum subyek L. Garcia-Orozco et al. (2007) melakukan karakterisasi protein udang putih (Litopenaeus vannamei) dengan imunoblotting dan hasilnya menunjukkan bahwa protein 40 kDa yang diidentifikasi sebagai arginin kinase mampu berikatan dengan IgE serum penderita alergi udang. Alergen yang diberi nama Lit v 2 ini ditemukan pertama kali pada spesies udang Litopenaeus vannamei dan memiliki kemiripan 96% dengan alergen Pen m 2 dari Penaeus monodon. Immunoblotting ekstrak protein miofibril udang jerbung mengidentifikasi 13 protein pengikat IgE, dengan berat molekul berkisar antara 15-107 kDa. Dimana komponen protein yang diketahui menyebabkan alergi pada kelima serum subyek berbeda-beda. Komponen dengan berat molekul 36 - 39 kDa yang dapat berikatan dengan kelima serum subyek diidentifikasi sebagai tropomiosin yang merupakan jenis alergen mayor pada udang (Lehrer et al. 2003). Namun selain komponen tersebut terdapat komponen lain, seperti komponen dengan berat molekul 52.08 kDa, 78.7 kDa dan ~100 kDa yang juga dapat menyebabkan alergi pada subyek berbeda. Meskipun belum terdapat penelitian yang melaporkan adanya alergen dengan berat molekul tersebut, terdapat penelitian imunoblotting lain yang mengidentifikasinya sebagai minor alergen pada udang jenis Penaeus monodon (Sahabudin et al. 2011). Komponen yang diidentifikasi sebagai myosin light chain dengan berat molekul 15.18 kDa juga muncul sebagai alergen pada subyek L. Gambar 14 menunjukkan bahwa terdapat beberapa komponen dalam ekstrak sarkoplasma dan miofibril ikan tongkol yang diidentifikasi sebagai protein
56
57
alergen. Dari kelima subyek yang diuji, hanya subyek A dan L menunjukkan terjadinya pengikatan IgE dengan komponen protein dalam ekstrak sarkoplasma ikan tongkol. Komponen dengan berat molekul 54.43 kDa diidentifikasi sebagai alergen pada serum subyek A. Sedangkan sebanyak 5 komponen protein sarkoplasma tongkol yang dapat berikatan dengan IgE subyek L yaitu dengan berat molekul 19.57 kDa, 24.43 kDa, 28.86 kDa, 36.65 kDa dan 91.82 kDa. Beberapa komponen alergen juga diidentifikasi dalam ekstrak protein miofibril ikan tongkol yaitu dengan berat molekul berkisar 27 – 38 kDa. Komponen dengan berat molekul 38.64 kDa diidentifikasi sebagai alergen terhadap serum subyek P namun tidak terhadap serum subyek L. Hamada et al. (2003) melaporkan bahwa jenis protein alergen mayor pada ikan adalah parvalbumin dengan berat molekul 12 kD, kolagen (100 kDa), aldehid phospatase (41 kDa), dan transferin pada 94 kDa. Meskipun beberapa jenis alergen mayor tersebut tidak muncul dalam pengujian ini, penelitian Misnan et al. (2005) dengan metode imunoblotting melaporkan adanya komponen protein ~50 kDa sebagai alergen mayor dalam ikan tenggiri batang (Scomberomorus commerson). Komponen protein lain yang berpotensi alergenik juga terdeteksi dengan berat molekul 125 , 60, 46, 38, 36 dan 26 kDa. Berdasarkan hasil elektroforesis SDS-PAGE diketahui bahwa ekstrak sarkoplasma dan miofibril kerang terdiri dari berbagai jenis komponen protein. Namun hanya sedikit komponen yang bersifat alergenik (Porcel et al. 2001). Berdasarkan imunoblotting terhadap 5 serum subyek, dapat diketahui jenis komponen yang bersifat alergenik. Dimana terlihat bahwa hanya IgE dari serum subyek L dan P yang mampu berikatan dengan protein dalam ekstrak sarkoplasma kerang. Sedangkan komponen dalam ekstrak protein miofibril kerang dapat mengikat IgE yang berasal dari serum subyek A, L dan P. Komponen ekstrak protein sarkoplasma kerang yang memiliki sifat alergenik terhadap subyek L dan P memiliki berat molekul berkisar dari 28 – 78 kDa. Sedangkan sebanyak 4 komponen ekstrak protein miofibril kerang yang dominan bersifat alergenik yaitu dengan berat molekul 28.61 kDa, 29.88 kDa, 32.96 kDa dan 93.5 kDa. Data berat molekul komponen yang bersifat alergenik dapat secara lengkap dilihat pada Lampiran 11. Penelitian Leung et al. (1996)
58
yang menguji reaktivitas silang komponen alergen dalam udang dan kerangkerangan, melaporkan bahwa tropomiosin merupakan alergen mayor yang dapat bereaksi silang pada beberapa jenis produk laut kelompok moluska dan crustacea. Secara keseluruhan, hasil immunoblotting menunjukkan bahwa ketiga jenis ekstrak protein produk laut tersebut mengandung komponen yang bersifat alergenik. Namun jenis komponen penyebab alergi (alergen) pada tiap-tiap individu berbeda. Perbedaan alergenisitas ini disebabkan jumlah epitop yang terdapat dalam satu alergen lebih dari satu dan berbeda dengan jumlah epitop pada alergen yang lain (Huby et al. 2000). Jumlah epitop dalam suatu alergen akan menentukan spesifitas pengikatan terhadap IgE, sehingga hanya alergen yang memiliki epitop yang sesuai yang dapat bereaksi spesifik dengan molekul IgE tersebut. Penelitian Maleki et al. (2010) juga menunjukkan bahwa pengikatan IgE terhadap alergen dalam suatu ekstrak bervariasi antar individu, hal ini berarti bahwa adanya satu jenis alergen dalam masing-masing ekstrak tidak akan dikenali sama oleh IgE individu yang berbeda. Oleh karena itu untuk keperluan diagnostik, baik ekstrak protein sarkoplasma dan miofibril dapat digunakan untuk uji tusuk dalam bentuk crude tanpa harus mengisolasi komponen alergennya.
58