27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Surimi Patin Pengaruh Pencucian Daging lumat dan surimi merupakan bahan baku yang sering digunakan pada industri perikanan. Sifat fungsional daging lumat dan surimi merupakan karaktersitik awal yang harus diketahui agar dapat menghasilkan produk pangan yang bermutu baik dan disukai konsumen. 4.1.1 Karakteristik kimia Karakteristik kimia surimi sangat mempengaruhi mutu produk pangan yang dihasilkannya. Sifat fungsional daging dipengaruhi oleh kandungan air, protein, lemak, protein larut garam dan pH (Damodaran 1985). (a) Nilai pH Nilai pH merupakan parameter yang penting dalam analisis surimi. Hal ini terkait dengan sifat fungsional dari surimi.
Mutu daging ikan segar dapat
diindikasikan dengan nilai pH yang mendekati netral antara 6,8-7,2. Nilai pH surimi yang diperoleh berkisar antara 6,76 sampai dengan 8,79 pada pencucian dengan NaHCO3.
Pencucian dengan Na2HPO4 menghasilkan
surimi dengan pH antara 6,76 sampai dengan 8,25. Nilai pH tertinggi diperoleh pada pencucian satu kali dengan konsentrasi bahan pencuci 0,7%. Hal ini sangat dimungkinkan karena pH larutan dengan konsentrasi bahan pencuci tertinggi tersebut mencapai 10. Hasil yang diperoleh dari penelitian menunjukkan bahwa pencucian satu kali dengan menggunakan bahan pencuci alkali (3%, 5% dan 7%) menghasilkan surimi dengan pH>8,0.
Ini terjadi karena daging lumat tidak mengalami
pembilasan. Berbeda dengan pencucian 2, 3 dan 4 kali yang nilainya lebih rendah dari pencucian satu kali untuk setiap perlakuan konsentrasi bahan pencuci. Hasil pengukuran nilai pH surimi pada penelitian ini disajikan dalam Gambar 5. Jenis pencuci tidak berpengaruh terhadap nilai pH surimi patin (p>0,050). Faktor konsentrasi pencuci dan frekuensi pencucian berpengaruh nyata terhadap surimi patin yang dihasilkan (p<0,05) (Lampiran 4b). Setiap taraf pencucian memberikan hasil yang berbeda terhadap nilai pH, sedangkan taraf konsentrasi
28
5% dan 7% tidak berpengaruh nyata pada nilai pH surimi (Lampiran 4c dan 4d). Pengukuran pH larutan NaHCO3Na dan Na2HPO4 pada konsentrasi 5% dan 7% menghasilkan nilai pH yang tidak berbeda yaitu 10.
Nilai pH
8.79 8.60 7.46 7.16
6.76
8.69 8.03 7.29 6.94
6.76
6.76
8
6.76 6.79 6.95 6.98 6.81
10
8.33 7.60 7.20 7.07
A
6 4 2 0 0%
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
7%
Nilai pH
6.76 8.25 7.88 7.49 7.30
6.76 8.21 7.88 7.70 7.55
8
6.76 6.79 6.95 6.98 6.81
10
6.76 8.09 7.96 7.36 7.33
B
6 4 2 0 0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
7%
Gambar 5 Histogram nilai pH surimi, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali. Liu et al. (2010) melaporkan pembentukan gel pada daging ikan silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) terjadi pada pH 5,5-7,5, sedangkan pada pH 8-9 tidak terbentuk gelasi. Peningkatan nilai pH menyebabkan penurunan tingkat gelasi dan kekuatan gel. Titik isoelektrik protein berkisar pada pH 5,5. Kemampuan daging dalam membentuk gel menjadi optimum pada pH tersebut. Pembentukan gel masih baik pada pH dengan kisaran 6,0-6,4 (Foegeding et al. 1996). Hasil penelitian Suryanti (2009) menunjukkan pembuatan surimi dari patin siam (Pangasius hypopthalmus) menghasilkan pH surimi 7,57, sedangkan daging lumat patin siam dengan pencucian satu kali dalam air dingin dan tanpa pencucian menghasilkan pH surimi 7,25 dan 7,19.
29
(b) Kadar air Kadar air merupakan data penting yang harus selalu dicantumkan dalam bahan pangan dan produk pangan karena sangat mempengaruhi mutu dari bahan dan produk pangannya. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa semakin tinggi frekuensi pencucian pada daging lumat patin menghasilkan surimi dengan kadar air yang cenderung meningkat (Gambar 6).
Kadar air (% bb)
0%
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
80.29 80.46 81.46 79.07 78.88
79.99 80.01 79.36 81.19 81.87
79.99 78.77 79.27 80.68 81.16
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
79.99 78.68 79.10 81.40 82.79
A
7%
0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
79.99 80.25 81.10 82.31 83.19
79.99 80.98 83.43 83.16 83.11
79.99 80.03 82.79 83.08 83.83
90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
79.99 77.11 79.10 82.18 82.04
Kadar air (% bb)
B
7%
Gambar 6 Histogram kadar air surimi, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali. Hasil analisis ragam kadar air (% bb) menunjukkan bahwa jenis pencuci, konsentrasi pencuci dan frekuensi pencucian menghasilkan perbedaan yang nyata pada surimi (Lampiran 5a).
Konsentrasi bahan pencuci yang memberikan
pengaruh yang berbeda adalah antara 0% dengan 3% dan 5%, sedang yang lainnya tidak berbeda (Lampiran 5b dan 5c). Kadar air daging lumat dan surimi dengan satu dan dua kali pencucian tidak memberikan pengaruh yang berbeda, begitu pun antara surimi dengan tiga dan empat kali pencucian memberikan hasil yang tidak berbeda.
30
Pencucian daging ikan berpengaruh terhadap kadar air. Kadar air tertinggi diperoleh pada surimi dengan frekuensi pencucian 4 kali. Chen et al. (1997) melaporkan bahwa pencucian berkali-kali dengan waktu yang lama akan meningkatkan hidrasi daging lumat dan degradasi protein miofibril, yang membuat proses dehidrasi berikutnya menjadi lebih sulit. Penelitian yang dilakukan oleh Pratiwiningsih (2004) menunjukkan kadar air daging marlin sebelum diolah menjadi surimi sebesar 74% dan setelah diolah menjadi surimi kadar airnya sebesar 77,07%. Suryanti (2009) melaporkan kadar air daging lumat, daging lumat dengan satu kali pencucian dalam air dingin dan surimi patin siam secara berurutan 77,87%, 81,21% dan 83,05%. (c) Kadar protein Protein merupakan makromolekul yang paling banyak terdapat dalam jaringan daging ikan. Hasil pengamatan penelitian ditunjukkan pada Gambar 7. 76.36 83.71 66.12
66.12 79.01
66.69 78.83 73.47 76.18 84.91
80
66.69 76.59 77.36 76.45 72.58
100
68.35 84.35 71.46 79.75 83.07
Kadar protein (% bk)
A
60 40 20 0 0%
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
7%
66.69 71.64 80.95 72.92 72.33
66.69 76.40 84.53 81.04 80.89
80
66.69 77.49 88.79 87.06 85.06
100
66.69 78.55 71.46 83.24 79.58
Kadar protein (% bk)
B
60 40 20 0 0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
7%
Gambar 7 Histogram kadar protein surimi, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali. Hasil analisis ragam kadar protein (% bk) menunjukkan bahwa hanya faktor frekuensi pencucian yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05)
31
(Lampiran 6a). Perlakuan yang berbeda diberikan antara daging lumat dengan surimi yang dicuci. Perlakuan frekuensi pencucian satu, dua, tiga dan empat tidak menghasilkan perbedaan kadar protein (Lampiran 6b). Penelitian yang dilakukan Suryanti (2009) menghasilkan kadar protein daging lumat, daging lumat dengan pencucian satu kali dalam air dingin dan surimi yang besarnya masing-masing 83,81%, 87,25% dan 81,65% (bk). Penelitian Siddaiah et al. (2001) menunjukkan kadar protein daging lumat ikan silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) sebesar 87,65% (bk), sedangkan Weber et al. (2008) melaporkan kadar protein silver catfish (Rhamdia quelen) sebesar 75,98% (bk). (d) Kadar lemak Kadar lemak dalam daging ikan sangat mempengaruhi mutu surimi yang dihasilkan.
Proses pencucian yang dilakukan terhadap daging lumat dapat
mengurangi kadar lemak surimi yang dihasilkan. Hal ini dapat dilihat pada hasil pengamatan seperti disajikan pada Gambar 8.
0%
3%
5.41 6.17 3.81 3.22
6.85 5.83 4.64 6.93
26.69
27.37
27.37 7.35 5.73 4.43 3.86
27.37 6.66 5.34 5.54 3.53
Kadar lemak (% bk)
A 30 25 20 15 10 5 0
5%
7%
Konsentrasi NaHCO3
7.34
14.48 12.47 7.93
27.37
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
6.65
11.85 12.05 12.01
27.37 5.56 6.95
7.58
26.07
0%
3.38
12.67
27.37 6.20 5.34 5.78
Kadar lemak (% bk)
B 30 25 20 15 10 5 0
7%
Gambar 8 Histogram kadar lemak surimi, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali.
32
Penurunan kadar lemak merupakan salah satu parameter penting dalam penentuan surimi terbaik dalam penelitian ini. Hasil pengamatan menunjukkan kadar lemak surimi patin lebih rendah dari daging lumat. Pencucian dengan air (0%) telah dapat menghilangkan lemak yang nilainya tidak jauh berbeda dari pencucian dengan alkali (3%, 5% dan 7%). Hasil penelitian menunjukkan kadar lemak menurun cukup tinggi hanya dengan pencucian air dingin sebanyak satu kali. Hal ini karena karakteristik lemak patin yang berbeda dengan kebanyakan ikan berlemak lainnya, meskipun dalam penelitian ini masih belum dilakukan karakterisasi lemak patin. Hasil analisis ragam kadar lemak (% bk) menunjukkan bahwa jenis pelarut, konsentrasi pencuci dan frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada surimi yang dihasilkan (p<0,05) (Lampiran 7a). Konsentrasi yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata adalah antara 0% dengan 5% dan 7%, serta antara 3% dengan 5%. Frekuensi pencucian menunjukkan bahwa hanya surimi dengan pencucian tiga kali yang tidak berbeda dari surimi dengan dua dan empat kali pencucian. Perlakuan frekuensi pencucian lainnya menunjukkan hasil yang berbeda (Lampiran 7b dab 7c). Penelitian Suryanti (2009) yang menggunakan ikan patin siam sebagai bahan baku surimi diperoleh kadar lemak 5,94% (bk). Karayannakidis et al. (2007) melaporkan pencucian ikan sardin (Sardina pilchardus) dengan alkali efektif untuk menghilangkan lemak. Bledso et al. (2000) menyatakan bahwa pada pengolahan surimi dari ikan yang banyak mengandung lemak digunakan natrium bikarbonat (NaHCO3) sebanyak 0,5% yang berfungsi untuk membantu mengurangi kandungan lemak. Benjakul et al. (2003b) melaporkan bahwa proses pencucian dapat menghilangkan sebagian lemak dalam daging dan berpengaruh pada kemampuan membentuk gel. 4.1.2 Karakteristik fisik Sifat fungsional protein yang berperan penting dalam pengolahan daging meliputi sifat emulsi, water holding capacity (WHC) dan kekuatan gel (Fennema 1985). Mao dan Wu (2007) menyatakan bahwa atribut warna dan tekstur yaitu kekuatan gel merupakan faktor utama dalam penerimaan produk-produk olahan pangan berbasis surimi. Pada penelitian ini pengamatan dilakukan terhadap kedua
33
atribut tersebut dan menjadi parameter penentu untuk menetapkan surimi terbaik dalam penelitian ini. (a) Rendemen Penghitungan rendemen merupakan hal yang perlu dilakukan untuk dapat memperkirakan bahan baku yang dibutuhkan dalam produksi.
Penghitungan
rendemen dalam penelitian ini dilakukan dengan membandingkan jumlah surimi yang dihasilkan dengan berat utuh ikan yang digunakan. Data yang diperoleh dari penghitungan rendemen menunjukkan bahwa frekuensi pencucian berbanding terbalik dengan rendemen yang dihasilkan, yaitu semakin tinggi frekuensi pencucian maka akan semakin rendah rendemen yang dihasilkan.
Hal ini terjadi karena pencucian menyebabkan leaching beberapa
komponen dari daging ikan.
Siklus pencucian yang meningkat akan
meningkatkan jumlah komponen larut air yang leaching.
Hasil pengamatan
disajikan dalam Gambar 9.
20
37.71 28.83 26.16 28.30 26.32
30
38.58 28.12 25.25 22.71 17.72
40
38.11 28.06 28.77 31.16 23.34
50
39.74 29.65 34.12 23.63 22.76
Rendemen surimi (%)
A
10 0 0%
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
7%
0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
37.79 37.36 30.15 25.42 22.01
37.12 27.75 31.31 28.18 27.04
33.30 26.74 27.59 25.07 27.17
50 40 30 20 10 0
36.31 30.43 33.43 23.69 22.76
Rendemen surimi (%)
B
7%
Gambar 9 Histogram rendemen surimi, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali.
34
Konsentrasi pencuci dan frekuensi pencucian berpengaruh nyata terhadap rendemen surimi (Lampiran 8a).
Pencucian dengan konsentrasi pencuci 5%
memberikan hasil yang berbeda nyata dengan konsentrasi pencuci 7%, sedangkan perlakuan yang lain tidak berpengaruh nyata. Pada frekuensi pencucian, hampir semua perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata, kecuali pencucian satu dan dua kali (p>0,05) (Lampiran 8b dan 8c). (b) Derajat putih surimi Warna merupakan salah satu atribut penting yang diamati dalam penelitian ini, karena pada umumnya daging patin memiliki warna yang agak kekuningan. Penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki warna surimi patin menjadi lebih pucat. Hasil pengamatan yang diperoleh disajikan pada Gambar 10.
0%
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
56.44 59.11 64.26 65.65 68.81
57.69 62.44 59.72 62.00 63.90
57.51 64.48 62.52 64.02 64.82
80 70 60 50 40 30 20 10 0
53.67 59.14 64.14 63.54 66.60
Derajat putih surimi (%)
A
7%
0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
54.36 66.97 66.23 65.05 65.92
54.20 64.91 64.01 62.97 64.66
53.75 57.57 65.40 61.19 66.34
80 70 60 50 40 30 20 10 0
52.04 67.75 67.66 67.18 68.37
Derajat putih surimi (%)
B
7%
Gambar 10 Histogram derajat putih surimi, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali. Derajat putih surimi yang dihasilkan dari masing-masing perlakukan lebih tinggi dari daging lumatnya.
Chen et al. (1997) melaporkan bahwa proses
35
pencucian menghilangkan sebagian lemak dan pigmen dalam daging ikan. Derajat putih tertinggi diperoleh dari pencucian 4 kali. Perlakuan pencucian yang diberikan pada daging lumat patin mampu meningkatkan derajat putih surimi yang dihasilkan.
Hal ini terjadi karena
pencucian yang dilakukan dapat mengeluarkan darah, lemak dan senyawa lain yang dapat menyebabkan warna yang kurang menarik pada daging patin. Hal ini terlihat dari air sisa pencucian yang berwarna merah dan terdapat banyak buih lemak yang mengapung pada air sisa pencucian. Derajat putih surimi semakin baik dengan siklus pencucian yang meningkat. Hal ini menunjukkan lebih banyak senyawa yang leaching karena pencucian yang berulang. Hasil analisis ragam terhadap warna menunjukkan bahwa jenis pencuci, konsentrasi pencuci dan frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat putih surimi yang dihasilkan (p<0,05) (Lampiran 9a). Semua perlakuan konsentrasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap derajat putih surimi, kecuali pada konsentrasi 0% dengan 7% dan konsentrasi 3% dengan 5% (Lampiran 9b). Frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang nyata, kecuali antara pencucian tiga kali dengan pencucian satu dan dua kali (Lampiran 9c). Kim et al. (1996) menyatakan bahwa warna surimi dari daging gelap dapat diperbaiki dengan meningkatkan siklus pencucian. Penelitian Santoso et al. (2009) menunjukkan hal yang sama. Surimi yang dibuat dari tetelan beku ikan kakap dan ikan layang dengan tiga kali pencucian memiliki derajat putih yang lebih tinggi dari surimi dengan dua kali pencucian. Karayannakidis et al. (2007) melakukan pencucian terhadap daging ikan sardin (Sardina pilchardus) dengan kondisi asam dan alkali dan menghasilkan indeks kecerahan dan derajat putih yang lebbih baik.
Bledso et al. (2000)
menyatakan bahwa pada pengolahan surimi dari ikan yang banyak mengandung lemak dengan natrium bikarbonat (NaHCO3) sebanyak 0,5% dapat mengubah warna menjadi lebih baik. Santoso et al. (2008) melakukan penelitian pembuatan surimi dari ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dan ikan pari kelapa (Trygon sephen) yang dibuat dengan pencucian air dingin sebanyak tiga kali. Hasilnya menunjukkan derajat putih warna surimi cucut pisang dan pari kelapa masing-masing 41,1% dan 32,5%.
36
(c) Kekuatan gel Ikan dengan kadar lemak tinggi seperti patin umumnya memiliki kemampuan membentuk gel yang rendah. Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi kadar lemak adalah dengan melakuan perlakuan pencucian terhadap daging lumat. Hasil penelitian pengaruh pencucian terhadap kekuatan gel disajikan pada Gambar 11.
100
163.33 164.60 215.50 153.10 113.87
150
157.37 182.13 185.47 153.53 129.03
200
172.33 185.50 206.07 160.07 118.83
250
179.00 230.43 183.17 134.27 83.63
Kekuatan gel (g cm)
A
50 0 0%
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
7%
100
165.00 176.73 184.53 169.60 127.43
150
169.03 177.90 176.93 143.10 125.47
200
172.33 158.33 172.87 154.97 128.30
250
172.60 230.43 183.17 134.27 83.63
Kekuatan gel (g cm)
B
50 0 0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
7%
Gambar 11 Histogram kekuatan gel kamaboko, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali. Hasil analisis ragam kekuatan gel (p<0,05) menunjukkan bahwa jenis pelarut dan frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan gel kamaboko yang dihasilkan (Lampiran 10a). Pada faktor frekuensi pencucian diperoleh data bahwa semua perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kekuatan gel kamaboko yang dihasilkan, kecuali antara pencucian dua kali dengan pencucian satu dan empat kali (Lampiran 10b). Surimi dari pencucian satu kali dengan air (0%) menghasilkan kamaboko dengan kekuatan gel tertinggi yaitu 230,43 g.cm. Kekuatan gel tertinggi menjadi
37
dasar penentuan surimi terbaik pada penelitian sehingga pencucian dengan air dingin dan frekuensi pencucian satu kali ditetapkan menjadi perlakuan terbaik. Pencucian empat kali menghasilkan kekuatan gel terendah. Ini menunjukkan bahwa siklus pencucian yang meningkat cenderung menurunkan kekuatan gel. Chen et al. (1997) menyatakan bahwa penambahan siklus pencucian dengan waktu yang lama akan meningkatkan hidrasi daging lumat dan degradasi protein miofibril, yang akhirnya menghambat kemampuan membentuk gel. Santoso et al. (2009) melaporkan bahwa kekuatan gel surimi yang dibuat dari tetelan ikan kakap dan ikan layang dengan pencucian air dingin sebanyak dua kali lebih tinggi dari pencucian tiga kali. Liu et al. (2010) melaporkan pembentukan gel pada daging ikan silver carp (Hypophthalmichthys molitrix) terjadi pada pH 5,5-7,5. Peningkatan nilai pH menyebabkan penurunan tingkat gelasi dan kekuatan gel. Phatcharat et al. (2006) melaporkan bahwa pencucian dengan NaOCl 20 ppm dapat memperbaiki sifat gel surimi bigeye snapper (Priacanthus tayenus). Penelitian lain dilaporkan oleh Karayannakidis et al. (2007) yang melakukan pencucian daging ikan sardin (Sardina pilchardus) pada pH 5,5 dan dihasilkan kamaboko dengan mutu gel terbaik. Santoso et al. (2008) melaporkan kekuatan gel surimi dari ikan cucut pisang (Carcharinus falciformis) dan pari kelapa (Trygon sephen) dengan pencucian air dingin sebanyak tiga kali adalah 276,24 g.cm dan 339,82 g.cm. 4.1.3 Karakteristik sensori Penilaian sensori surimi dilakukan terhadap penampakan. Penilaian sensori kamaboko meliputi uji lipat, uji gigit, penampakan, warna, tekstur, aroma, dan rasanya. (a) Penampakan surimi Uji sensori dilakukan dengan menilai penampakan surimi. Skor minimal surimi dengan grade A adalah 7 (BSN 2006). Hasil penelitian menunjukan surimi dari satu kali pencucian dengan air dingin telah memenuhi syarat tersebut. Hasil rata-rata skor sensori untuk penampakan surimi disajikan dalam Gambar 12. Hasil pengamatan sensori terhadap penampakan surimi diperoleh hasil ratarata tertinggi yaitu 7,8 untuk pencucian dengan NaHCO3 3% dengan dua kali
38
pencucian, sedangkan pada pencucian dengan Na2HPO4 skor tertinggi pada pencucian 0% dengan satu kali pencucian. Skor 7 menunjukkan bahwa surimi yang dihasilkan murni daging tanpa tulang, duri, sisik, dan benda asing namun terdapat sedikit serat (5%). Berdasarkan uji Kruskal-Wallis (Lampiran 11a) dan uji perbandingan berganda diperoleh hasil bahwa hanya perlakuan pencucian dua kali dengan satu dan empat kali yang menghasilkan pengaruh berbeda pada penampakan surimi. Konsentrasi pencuci tidak memberikan pengaruh berbeda terhadap penampakan surimi (Lampiran11b dan 11c).
0%
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
6.0 5.5 5.5 6.0 6.3
6.0 7.0 6.5 6.0 5.5
7.8 5.5 5.5
6.3
4.5
10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
6.3 7.5 6.3 7.0 6.3
Skor penampakan
A
7%
6.0 5.8 6.5 6.8 5.3
6.0 5.5 6.3 6.5 5.3
6.0
6.0 5.5 7.3 6.8 5.0
8.0
6.0 7.5 6.5 7.0 6.0
Skor penampakan
B 10.0
4.0 2.0 0.0 0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
7%
Gambar 12 Histogram skor penampakan surimi, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali. (b) Uji lipat kamaboko Kemampuan membentuk gel surimi menentukan kekuatan gel kamaboko yang dihasilkannya. Kekuatan gel secara sensori dapat dinilai dengan melakukan uji lipat kamaboko. Kamaboko yang dibuat dari surimi hasil pencucian satu kali dengan konsentrasi 0% (air) memperoleh skor 7,3 yang berarti masih masuk dalam kategori grade A berdasarkan BSN (2006).
Hasil uji lipat menunjukkan
39
kamaboko dari surimi terbaik hanya sedikit retak bila dilipat 4. Hasil pengamatan sensori terhadap uji lipat kamaboko diperoleh hasil rata-rata terendah dan tertinggi yaitu 4,3 dan 8,3 dan disajikan pada Gambar 13.
0%
8.3 8.3 7.5
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
4.8
6.0
5.0
6.0 7.8 7.5 7.0 4.3
8.3 7.5 7.1
6.0
10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
6.0 7.3 7.8 5.3 4.3
Skor uji lipat
A
7%
0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
8.5 6.5 8.0 5.0
6.0
8.3 7.5 8.3 6.5
6.0
6.0 7.5 8.3 7.3 5.5
6.0 7.3 7.5 4.8 4.3
Skor uji lipat
B 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
7%
Gambar 13 Histogram skor uji lipat kamaboko, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali. Berdasarkan uji Kruskal-Wallis (Lampiran 12a) dan uji perbandingan berganda diperoleh hasil bahwa konsentrasi bahan pencuci 0% menghasilkan skor penampakan yang berbeda dengan konsentrasi yang lainnya. Konsentrasi yang juga memberikan skor berbeda yaitu antara konsentrasi 5% dengan 3% dan 7% serta antara konsentrasi 7% dengan 5% (Lampiran 12b). Hasil uji sensori sejalan dengan pengukuran kekuatan gel kamaboko dimana frekuensi pencucian yang meningkat menghasilkan kamaboko dengan skor uji lipat yang semakin rendah. Hal ini karena frekuensi pencucian yang lebih banyak menyebabkan kekuatan gel yang menurun. Uji lipat terhadap daging lumat menunjukkan hasil yang berbeda dengan surimi hasil pencucian satu, dua, dan tiga kali namun tidak berbeda dengan pencucian empat kali. Pencucian empat kali berbeda dengan pencucian satu, dua dan tiga kali (Lampiran 12c).
40
(c) Uji gigit kamaboko Kekuatan gel kamaboko dapat juga dinilai dengan uji gigit. Kamaboko yang dibuat dari surimi hasil pencucian satu kali dengan air dingin memperoleh skor 7,1 yang berarti masih masuk dalam kategori grade A berdasarkan BSN (2006).
Pada uji gigit diperoleh hasil bahwa kamaboko dari surimi terbaik
memiliki kekenyalan yang agak kuat. Hasil pengamatan penelitian dapat dilihat dari Gambar 14.
0%
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
6.9 7.6 6.9 6.1 6.1
6.9 6.9 7.4 6.9 6.9
6.9 7.5 7.0 6.8 5.9
10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
6.6 7.1 6.4 6.1 5.5
Skor uji gigit
A
7%
0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
6.9 7.0 6.0 6.8 5.0
6.9 7.6 7.1 7.9 7.1
6.9 5.9 6.6 6.5 6.0
6.6 6.9 6.1 5.6 5.9
Skor uji gigit
B 10.0 8.0 6.0 4.0 2.0 0.0
7%
Gambar 14 Histogram skor uji gigit kamaboko, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali. Hasil pengamatan sensori terhadap uji gigit kamaboko diperoleh hasil ratarata antara 5,0 hingga 7,9 yang artinya kamaboko yang dihasilkan memiliki kekenyalan agak lunak sampai agak kuat.
Berdasarkan uji Kruskal-Wallis
(Lampiran 13a) dan uji perbandingan berganda diperoleh hasil bahwa semua faktor memberikan pengaruh berbeda terhadap skor uji gigit kamaboko. Skor uji gigit kamaboko dari surimi yang dicuci dengan konsentrasi 7% tidak berbeda dengan 0% dan 3%.
Hasil yang tidak berbeda juga diperlihatkan antara
konsentrasi 3% dan 5% (Lampiran 13b). Skor uji gigit kamaboko dari surimi
41
yang dicuci dengan frekuensi pencucian satu kali berbeda dengan pencucian dua dan tiga kali yang berbeda (Lampiran 13c). (d) Penampakan kamaboko Penampakan merupakan atribut pertama yang dinilai konsumen dalam memilih produk. Penilaian penampakan kamaboko meliputi bentuk kamaboko, permukaan, ketebalan serta struktur yang berpori. Hasil pengamatan penelitian dapat dilihat dari Gambar 15. 5.1 5.5 5.5
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
3.6
3.8
5.1 4.5 5.0 4.4
3.8
3.0 0%
3.8 3.6 4.0 3.3 3.6
5.1 4.9 4.8
6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
3.8
Skor penampakan
A
7%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
5.1 5.4 5.1 4.1
3.8
3.8 4.6 5.3 4.4 4.3
3.0 0%
3.8 4.3 5.0 5.6 4.3
4.9 4.5 4.8
3.8
Skor penampakan
B 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
7%
Gambar 15 Histogram skor penampakan kamaboko, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali. Hasil pengamatan sensori terhadap penampakan kamaboko diperoleh hasil rata-rata antara 3,0 hingga 5,6. Skor 3 menunjukkan kamaboko yang dihasilkan memiliki penampakan yang utuh tetapi kurang rapi, permukaan dan ketebalan kurang rata, berpori serta kurang mengkilat. Kamaboko dengan skor tertinggi memiliki spesifikasi utuh, rapi, permukaan rata, ketebalan kurang rata, sedikit berpori, dan agak mengkilat. Berdasarkan uji Kruskal-Wallis (Lampiran 14a) dan uji perbandingan berganda diperoleh hasil bahwa semua faktor memberikan pengaruh yang berbeda terhadap penampakan kamaboko. Penampakan kamaboko yang tidak berbeda ditunjukkan antara kamaboko dari daging lumat dan
42
kamaboko dari surimi dengan konsentrasi pencuci 3% serta antara konsentrasi 5% dan 7% (Lampiran 14b).
Perlakuan frekuensi pencucian yang berbeda
ditunjukkan oleh kamaboko dari daging lumat dengan kamaboko dari surimi hasil pencucian satu, dua dan tiga kali. Hasil yang berbeda juga ditunjukkan oleh kamaboko dari surimi dengan pencucian empat kali dengan pencucian satu, dua, dan tiga 3 kali (Lampiran 14c). (e) Warna kamaboko Warna merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dalam produksi surimi. Jenis ikan yang mengandung lemak tinggi serta komposisi daging merah yang tinggi umumnya tidak dijadikan bahan baku untuk pembuatan surimi. Jika akan digunakan, diperlukan perlakuan untuk memperbaiki warna surimi, misalnya dengan pencucian. Hasil pengamatan terhadap warna kamaboko disajikan pada Gambar 16.
0%
1.5
3.3 4.0 4.8 4.5 1.6
4.1 4.6 4.9 4.8
4.1 4.9 4.5 1.5
3.1
3.5 3.5 3.1 4.4
6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
1.6
Skor warna
A
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
7%
0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
3.6 3.8 3.8 4.3 1.5
4.0 4.4 4.0 4.3 1.6
3.4 4.0 4.3 4.0 1.6
4.1 4.0 3.5 4.5 1.6
Skor warna
B 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
7%
Gambar 16 Histogram skor warna kamaboko, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali. Warna kamaboko dari daging lumat memperoleh skor paling rendah yaitu 1,5.
Nilai ini menunjukkan kisaran warna kamaboko yang kuning sampai
43
kecoklatan. Skor tertinggi diperoleh dari perlakuan pencucian 3 kali dengan konsentrasi NaHCO3 3% yaitu 4,9 dengan kisaran warna hampir putih. Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 15a) dan uji perbandingan berganda diperoleh hasil bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap warna kamaboko. Kamaboko dari surimi dengan konsentrasi pencuci 0% berbeda dengan konsentrasi 5% dan 7%.
Pencucian dengan konsentrasi
pencuci 3% dan 5% juga memberikan pengaruh yang berbeda (Lampiran 15b), sedangkan pada faktor frekuensi pencucian, hampir semua perlakuan berpengaruh nyata, kecuali antara pencucian dua dengan tiga kali (Lampiran 15c). (f) Tekstur kamaboko Tekstur merupakan atribut penting pada produk olahan surimi selain warna. Tekstur kamaboko yang dinilai adalah kekenyalan, kekompakan dan kepadatan kamaboko. Tekstur kamaboko hasil pengamatan disajikan pada Gambar 17.
0%
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
5.9 5.5 4.9 4.4
4.8
4.8 5.3 5.6 5.9 4.3
4.9 5.3 4.9 5.0 4.3
7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
4.9 5.6 5.0 4.8 4.1
Skor tekstur
A
7%
0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
3.4
4.8 5.5 5.4 5.5
4.9 5.5 5.4 5.8 4.1
4.9 5.1 4.9 4.8 4.1
4.8 5.6 5.1 4.6 4.0
Skor tekstur
B 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
7%
Gambar 17 Histogram skor tekstur kamaboko, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali. Tekstur kamaboko dari daging lumat memperoleh skor paling rendah yaitu 4,8 (tekstur kamaboko tergolong kenyal, agak kompak dan agak padat). Nilai
44
tertinggi adalah 5,9 (NaHCO3) dan 5,8 (Na2HPO4) yang berarti kenyal, kompak dan padat. Umumnya daging lumat patin yang diolah menjadi produk gelasi memiliki tekstur yang kurang kenyal, kurang kompak dan tidak padat. Tekstur kamaboko menjadi lebih baik pada surimi yang dicuci, namun pencucian empat kali menghasilkan skor tekstur yang lebih rendah dari pencucian yang lainnya. Hasil uji perbandingan berganda yang dilakukan antar perlakuan konsentrasi dan frekuensi pencucian menunjukkan bahwa hanya perlakuan 3% dan 5% yang berbeda nyata (Lampiran 16a) serta perlakuan empat kali pencucian berbeda dengan pencucian yang lain (Lampiran 16b dan 16c). (g) Aroma kamaboko Penilaian terhadap aroma dilakukan dengan menilai terciumnya aroma ikan dari kamaboko. Perlakuan pencucian terhadap daging lumat patin berpengaruh terhadap aroma ikan pada kamaboko seperti disajikan pada Gambar 18.
0%
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
5.5 5.4 5.3
5.6 5.8 5.1
5.6 5.4 5.1
7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
6.1 5.5 5.0
Skor aroma
A
7%
0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
5.6 5.1 4.6
5.8 5.3 5.4
5.8 5.6 5.6
5.6 4.6 4.8
Skor aroma
B 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
7%
Gambar 18 Histogram skor aroma kamaboko, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali. Aroma ikan pada kamaboko umumnya berkurang dengan adanya proses pencucian. Aroma ikan paling tercium pada kamaboko yang dibuat dari daging
45
lumat. Aroma kamaboko dari surimi terbaik memperoleh skor 4,6-5,5. Kisaran ini menunjukkan kamaboko yang dihasikan tercium aroma ikan sampai agak kuat. Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 17a) menunjukkan adanya perlakuan yang memberikan pengaruh nyata terhadap aroma ikan pada kamaboko patin. Hasil uji perbandingan berganda yang dilakukan menunjukkan bahwa hanya pada taraf konsentrasi 0% dengan 3% serta antara 0% dengan 5% yang berbeda nyata (Lampiran 17b). Pencucian daging dapat menghilangkan trimetil amin oksida (TMAO), selain darah, sarkoplasma, dan enzim (Shimizu et al. 1992).
Skor tertinggi
penilaian aroma pada penelitian ini diperoleh kamaboko dari daging lumat. Hal ini karena tidak terjadi leaching komponen pembentuk aroma seperti senyawasenyawa nitrogen termasuk di dalamnya asam amino bebas, peptida dengan bobot molekul rendah dan nukleotida. (h) Rasa kamaboko Penilaian rasa meliputi rasa ikan serta rasa gurih pada kamaboko. Hasil pengamatan terhadap aroma ikan pada kamaboko disajikan pada Gambar 19.
Skor rasa
0%
3% 5% Konsentrasi NaHCO3
5.5 5.4 5.5 5.0 5.0
5.5 5.1 5.1 5.3 5.4
5.5 5.3 5.0 4.9 5.4
6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
5.6 5.3 5.1 4.4 4.8
A
7%
Skor rasa
0%
3% 5% Konsentrasi Na2HPO4
5.5 4.5 4.4 5.1 4.5
5.5 5.1 5.0 5.0 5.4
5.4 5.4 5.0 4.4 4.9
6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0
5.4 4.9 5.1 4.9 4.9
B
7%
Gambar 19 Histogram skor rasa kamaboko, A: dengan NaHCO3, B: dengan Na2HPO4, : daging lumat, : pencucian 1 kali, : pencucian 2 kali, : pencucian 3 kali dan : pencucian 4 kali.
46
Rasa kamaboko dari surimi yang tidak melalui proses pencucian memperoleh skor paling tinggi yaitu 5,5 dan 5,6 untuk pencuci NaHCO3 dan Na2HPO4. Nilai skor tersebut berarti kamaboko terasa ikan dan agak gurih. Hasil uji Kruskal-Wallis (Lampiran 18a) menunjukkan adanya perlakuan yang meberikan pengaruh nyata terhadap aroma ikan pada kamaboko patin. Hasil uji perbandingan berganda menunjukkan bahwa tidak ada perlakuan konsentrasi yang berbeda nyata (Lampiran 18b).
Hasil yang berbeda ditunjukkan pada
frekuensi pencucian dua dan tiga kali yang berbeda dengan daging lumat (Lampiran 18c).
4.2 Karakteristik Surimi Pengaruh Perendaman Filet Tahap perendaman dilakukan dengan tujuan mengetahui pengaruh lama perendaman filet dalam air dingin terhadap karakteristik kimia dan fisik surimi. Perendaman dilakukan terhadap filet daging patin sebelum digiling. Perlakuan ini dilakukan dengan empat taraf lama perendaman yaitu 0, 10, 20 dan 30 menit pada air dingin (10 °C) dengan perbandingan daging dengan air 1:3 (b/v). 4.2.1 Karakteristik kimia Karakteristik kimia surimi hasil perendaman filet yang diamati meliputi pH, kadar air, lemak, dan protein. Hasil yang dicantumkan dalam Tabel 3 merupakan nilai rata-rata dari dua kali ulangan. Tabel 3 Hasil analisis kimia surimi pengaruh perendaman filet Frekuensi Pencucian Tanpa dicuci
Dicuci 1 kali
Lama Perendaman 0 menit 10 menit 20 menit 30 menit 0 menit 10 menit 20 menit 30 menit
pH 6,76 6,77 6,80 6,80 6,83 6,79 6,84 6,82
Kadar air (% bb) 77,76 78,86 78,95 79,00 81,14 81,52 82,05 81,54
Kadar lemak (% bk) 10,99 11,16 10,86 11,29 11,29 10,31 8,97 7,12
Kadar protein (% bk) 80,27 82,88 77,36 78,48 78,76 83,20 76,94 76,65
Hasil analisis ragam nilai pH surimi (Lampiran 19) menunjukkan bahwa nilai pH yang berbeda nyata hanya dipengaruhi oleh frekuensi pencucian. Lama perendaman tidak berpengaruh terhadap nilai pH surimi yang dihasilkan. Hal ini
47
dimungkinkan karena yang digunakan hanya air tanpa tambahan bahan lain yang bisa mempengaruhi pH air maupun surimi yang dicuci. Nilai pH yang cenderung tidak berubah dengan lama perendaman filet menunjukkan bahwa kondisi daging ikan tidak mengalami perubahan mutu yang berarti. Hal ini terjadi karena suhu perendaman tetap dijaga pada suhu 10 °C sehingga mutu daging ikan masih tetap terjaga pada kondisi segar. Pengamatan terhadap kadar air, menunjukkan hasil yang berbeda antara daging lumat dengan surimi yang dilakukan pencucian sebelumnya. Berdasarkan analisis ragam, lama perendaman, dan pencucian memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air surimi yang dihasilkan (nilai p<0,05) (Lampiran 20a). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa lama perendaman 20 dan 30 menit berbeda dengan kadar air surimi yang tidak direndam sebelum digiling (Lampiran 20b). Pengamatan kadar lemak menunjukkan penurunan kadarnya pada surimi yang melalui proses pencucian. Perendaman tidak berpengaruh terhadap kadar lemak surimi. Kadar lemak surimi hanya dipengaruhi oleh pencucian (Lampiran 21). Hal ini terjadi karena setelah perendaman dilakukan trimming (pemisahan lemak). Kadar lemak terendah diperoleh surimi dari lama perendaman 30 menit dengan pencucian satu kali. Perendaman filet dengan air dingin yang lebih lama membuat lemak yang menempel di atas permukaan menjadi lebih padat sehingga lebih mudah untuk dipisahkan sebelum filet dilumatkan. Pengamatan kadar protein menunjukkan bahwa perlakuan lama perendaman memberikan pengaruh yang berbeda (Lampiran 22a), yaitu lama perendaman filet 10 menit berbeda dengan lama perendaman yang lainnya (Lampiran 22b). Protein daging lumat lebih tinggi dari surimi.
Lama perendaman juga berpengaruh
terhadap kadar protein surimi yang dihasilkan.
Hal ini menunjukkan bahwa
bukan hanya pencucian yang dapat menyebabkan leaching komponen larut air dari daging patin. Perendaman filet juga dapat menyebabkan leaching meskipun tidak sama dengan pencucian. 4.2.2 Karakteristik fisik Karakteristik fisik surimi yang diamati meliputi warna surimi dan kekuatan gel kamabokonya. Masing-masing dilakukan sebanyak dua kali ulangan. Hasil yang dicantumkan dalam Tabel 4 merupakan nilai rata-rata dari dua kali ulangan.
48
Hasil pengamatana derajat putih surimi hasil perendaman menunjukkan bahwa perendaman filet memberikan pengaruh terhadap derajat putih surimi yang dihasilkan. Perendaman terhadap filet daging menghasilkan derajat putih yang lebih tinggi dari surimi yang tidak dilakukan perendaman filet sebelumnya. Hal yang sama juga terjadi pada kekuatan gel. Tabel 4 Hasil analisis derajat putih surimi dan kekuatan gel kamaboko Frekuensi Pencucian Tanpa dicuci
Lama Perendaman 0 menit
Derajat putih surimi (%) 54,14 58,41 56,48 60,17 64,87 66,83 69,13 68,64
10 menit
Pencucian 1 kali
20 menit 30 menit 0 menit
10 menit 20 menit 30 menit
Kekuatan gel kamaboko (g.cm) 190,05 231,35 242,85 260,20 223,30 253,75 263,15 278,15
Analisis ragam yang dilakukan terhadap derajat putih (Lampiran 33a) serta kekuatan gel (Lampiran 34a) menunjukkan bahwa perendaman dan frekuensi pencucian memberikan pengaruh yang nyata terhadap surimi (p<0,05). Hasil Uji Tukey menunjukkan perendaman menghasilkan nilai derajat putih surimi tanpa perendaman filet dengan surimi yang direndam filetnya terlebih dahulu, baik dengan lama perendaman 10, 20 dan 30 menit (Lampiran 33b). Perendaman 10, 20 dan 30 menit tidak memberikan pengaruh yang nyata pada nilai derajat putih. Pada kekuatan gel, semua perbandingan lama perendaman filet memberikan nilai yang berbeda nyata (Lampiran 34b).
4.3 Karakteristik Pempek Surimi terbaik dari penelitian tahap kedua digunakan sebagai bahan baku pempek. Perlakuan yang menghasikan surimi terbaik adalah dari penelitian tahap perendaman filet yang dilakukan, dipilih perendaman filet 30 menit serta pencucian satu kali untuk dijadikan perlakuan sebelum daging patin digunakan sebagai bahan baku pempek.
Perlakuan pada pembuatan pempek adalah
formulasi bahan yang terdiri dari surimi patin, tapioka, air dan garam. Pempek yang dihasilkan dari masing-masing perlakuan kemudian dilakukan pengamatan
49
fisik (derajat putih dan kekuatan gel), kimia (kadar air, abu, lemak, dan protein) serta uji sensori (uji pembedaan terhadap warna, aroma, tekstur, dan rasa). 4.3.1 Karakteristik kimia Hasil analisis kimia pempek patin menunjukkan bahwa kadar air, protein dan lemak berbanding terbalik dengan jumlah tapioka yang ditambahkan dalam formulasi. Kadar abu berbanding lurus dengan peningkatan jumlah tapioka. Hasil pengamatan kimia pempek disajikan pada Tabel 5 dan merupakan hasil rata-rata tiga kali ulangan. Hasil analisis ragam kadar air (bb) pempek patin (Lampiran 23a) menunjukkan bahwa formulasi memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05). Analisis kadar abu (bk) mennunjukkan bahwa formulasi tidak berpengaruh nyata (Lampiran 24). Tabel 5 Hasil analisis kimia pempek patin Sampel Pempek gabus Formulasi 1 Formulasi 2 Formulasi 3 Formulasi 4
Kadar air (% bb) 61,64 70,81 65,92 63,58 60,22
Kadar abu (% bk) 3,04 2,66 3,04 3,56 4,11
Kadar protein (% bk) 15,71 30,68 22,79 15,69 15,21
Kadar lemak (% bk) 3,16 2,15 0,75 0,84 0,83
Pengamatan yang dilakukan terhadap kadar protein (bk) menunjukkan bahwa formulasi berpengaruh secara nyata (p<0,05) (Lampiran 25a). Hasil uji lanjut menunjukkan bahwa semua formulasi berbeda nyata satu dengan yang lain (Lampiran 25b). Kadar lemak pempek dengan perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hal ini ditunjukkan dengan analisis ragam pada Lampiran 26a.
Uji lanjut menunjukkan bahwa kadar lemak pempek dengan
perlakuan formulasi 4 berbeda nyata dengan perlakuan yang lainnya. Namun tidak dengan perlakuan yang lainnya (Lampiran 26b). Penggunaan tapioka dengan jumlah yang lebih banyak menghasilkan kadar air pempek yang lebih rendah. Hal ini terlihat dari kadar air pempek formulasi 1, 2, 3 dan 4 yang semakin rendah secara berturut-turut. Jumlah tapioka yang ditambahkan berpengaruh terhadap jumlah air yang dapat terperangkap dalam
50
granula amilosa dan amilopektin sehingga menjadi air terikat dalam molekul amilosa maupun amilopektin. Hal ini menyebabkan jumlah air bebas menurun dan penghitungan kadar air juga ikut berkurang. Kadar lemak dan kadar protein juga menurun dengan penambahan jumlah tapioka yang digunakan. Hal ini terjadi karena komponen utama dalam tapioka adalah karbohidrat sehingga yang akan meningkat adalah kadar karbohidratnya, meskipun pada penelitian ini tidak dilakukan pengamatan kadar karbohidrat pempek patin. Kadar abu meningkat sejalan dengan jumlah penggunaan tapioka yang semakin banyak. Jumlah tapioka yang lebih banyak menghasilkan pempek dengan kadar abu yang lebih tinggi. 4.3.2 Karakteristik fisik Kekuatan gel pempek meningkat sejalan dengan peningakatan jumlah tapioka yang ditambahkan (Tabel 6). Semakin banyak pati yang ditambahkan, akan meningkatkan kekuatan gel. Tabel 6 Hasil analisis fisik pempek patin Sampel Pempek gabus Formulasi 1 Formulasi 2 Formulasi 3 Formulasi 4
Kekuatan gel (g.cm) 289,23 213,40 304,64 295,00 386,67
Derajat putih (%) 73,38 70,60 68,88 66,94 70,22
Hasil analisis ragam terhadap derajat putih pempek patin (Lampiran 27a) menunjukkan bahwa formulasi yang diberikan tidak memberikan pengaruh yang nyata (p>0,05). Pengukuran kekuatan gel pempek patin menunjukkan hal yang sebaliknya dengan derajat putih. Formulasi pempek memberikan pengaruh yang nyata terhadap kekuatan gel (p<0,05) (Lampiran 28a).
Semua perlakuan
formulasi berbeda antara yang satu dengan yang lainnya (Lampiran 28b). Hal ini disebabkan oleh jumlah pati yang ditambahkan pada masing-masing formulasi berbeda. Kekuatan gel pada formulasi 4 lebih tinggi dari pempek yang lain. Formulasi ini menggunakan pati yang paling banyak dari pempek yang lain. Pati merupakan biopolimer yang biasa ditambahkan pada surimi sebagai ingredient untuk memperbaiki sifat fungsionalnya (Lee 2002). Dilaporkan oleh
51
Chin et al. (1998) bahwa interaksi antara protein dan karbohidrat dapat meningkatkan kemampuan membentuk gel. Tekstur produk olahan surimi dipengaruhi juga dengan sifat fisiko-kimia dan jumlah bahan yang ditambahkan serta interaksinya dengan matriks gel protein (Lee 2002). Penambahan tapioka dalam pembuatan pempek berfungsi sebagai pengikat air untuk menghindari penyusutan akibat pemasakan. Tapioka juga membentuk tekstur yang baik dan meningkatkan volume. Peningkatan volume dapat mengurangi jumlah daging ikan yang digunakan sehingga menekan biaya produksi.
Penggunaan jumlah tapioka yang semakin banyak dapat membuat
pempek semakin padat, kenyal, dan keras. Tekstur yang keras terjadi karena struktur matriks pati menjadi sulit dipecahkan (Pandisurya 1983). 4.3.3 Karakteristik sensori Karakteristik sensori pempek yang dinilai meliputi warna, tekstur, aroma, dan rasanya. Warna dan tekstur merupakan atribut pertama yang diperhatikan konsumen dalam memilih pempek ikan. Setelah itu konsumen dicicipi aroma dan rasa ikan baru akan dapat dinilai konsumen. Dari hasil uji pembedaan terhadap pempek patin diperoleh data seperti tersaji pada Tabel 7. Tabel 7 Hasil uji pembedaan pempek patin Pasangan Sampel
PG – PG F1 – PG F2 – PG F3 – PG F4 – PG Total
Warna Sama Beda 10 0 6 4 7 3 6 4 6 4 35 15
Tekstur Sama Beda 10 0 6 4 6 4 4 6 3 7 29 21
Aroma Sama Beda 10 10 3 7 5 5 2 8 2 8 22 28
Rasa Sama Beda 0 10 1 9 2 8 1 9 2 8 6 44
Keterangan: PG = pempek gabus; F1 = formulasi 1; F2 = formulasi 2; F3 = formulasi 3; F4 = formulasi 4
Penilaian yang dilakukan panelis terhadap pempek patin menunjukkan bahwa pempek patin memiliki rasa yang hampir mirip dengan pempek gabus dengan tingkat kemiripan 88%. Penilaian terhadap seluruh atribut menunjukkan bahwa formulasi 2 merupakan pempek terbaik.
Tingkat kemiripan pempek
terbaik dengan pempek kontrol merupakan yang tertinggi yaitu 65%.
52
Rosdiana (2002) melaporkan pempek dengan jumlah penambahan pati terbanyak menghasilkan warna yang lebih putih dari pempek lainnya. Penilaian tekstur menunjukkan bahwa penambahan tapioka paling sedikit menghasilkan pempek dengan tekstur paling lembut dengan aroma ikan paling kuat. Hasil analisis warna pempek (Lampiran 29a) diketahui bahwa rasio tapioka yang diberikan dalam formulasi pempek memberikan pengaruh yang berbeda nyata antara pempek kontrol dengan pempek perlakuan (p<0,05). Uji Dunnet menunjukkan bahwa hanya formulasi 2 yang tidak berbeda secara nyata dengan kontrol sedang pempek dengan rasio yang lainnya berbeda dengan kontrol (Lampiran 29b). Hasil analisis tekstur pempek (Lampiran 30a) diketahui bahwa jumlah tapioka yang diberikan dalam formulasi pempek memberikan pengaruh yang berbeda nyata antara pempek kontrol dengan pempek perlakuan (p<0,05). Uji Dunnet (2-arah) menunjukkan bahwa hanya dua perlakuan yang berbeda dengan pempek gabus, yaitu formulasi 3 dan formulasi 4 (Lampiran 30b). Pada pengamatan aroma pempek, diperoleh hasil analisis bahwa formulasi tapioka memberikan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 31a). Uji lanjut menunjukkan bahwa semua perlakuan formulasi berbeda nyata dengan kontrol (Lampiran 31b). Tidak demikian dengan rasa pempek patin. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh terhadap rasa. Panelis menilai bahwa rasa pempek patin sama dengan pempek kontrol.