4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Kualitas Air Pemeliharaan Lobster Kualitas air merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi
kondisi lobster air tawar. Air yang digunakan dalam proses adaptasi, pemeliharaan, penyimpanan, dan pembugaran berasal dari air laboratorium yang telah diendapkan selama dua hari. Media air tersebut dianalisis kualitasnya dan dibandingkan dengan kualitas air kolam budidaya. Hasil analisis kualitas air yang digunakan selama penelitian ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil analisis kualitas air pemeliharaan lobster air tawar Parameter Suhu pH DO CO2 Alkalinitas Amoniak
Kolam Budidaya 25 7,71 6,91 5,93 -
Laboratorium 27 7,01 5,31 3,96 94 0,05
Standar* 25-29 7-9 ≥5 ≤10 50-200 ≤0,05
Satuan o C ppm ppm ppm ppm
Sumber: * = Lukito dan Prayugo (2007)
Hasil analisis kualitas air menunjukkan bahwa air yang digunakan untuk percobaan tidak melebihi batas standar kualitas air untuk kegiatan budidaya lobster air tawar menurut Lukito dan Prayugo (2007). Air yang digunakan memiliki suhu 27°C; pH 7,01; DO 5,31mg/l; CO2 3,96 mg/l; alkalinitas 94 ppm; dan amoniak 0,05 ppm. Kualitas media air yang digunakan dalam penelitian dapat disimpulkan tidak mempengaruhi kondisi kesehatan lobster air tawar baik sebelum maupun setelah diberikan perlakuan.
4.2
Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mengetahui respon penurunan suhu
rendah terhadap aktivitas lobster air tawar dan menentukan kisaran suhu pembiusan lobster air tawar secara langsung. Hasil penelitian tahap ini akan digunakan pada penelitian utama.
4.2.1 Pengamatan aktivitas lobster akibat penurunan suhu Lobster air tawar dipuasakan terlebih dahulu selama 48 jam sebelum dipingsankan. Pemuasaan dilakukan agar organ pencernaan bebas dari kotoran, sehingga tingkat metabolismenya menjadi rendah. Kisaran suhu kritis lobster air tawar selama proses pemingsanan dilakukan dengan metode penurunan suhu secara bertahap dan diamati perubahan aktivitas yang terjadi pada lobster. Hasil pengamatan respon penurunan suhu secara bertahap terhadap aktivitas lobster air tawar disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Perubahan aktivitas lobster selama proses penurunan suhu Waktu (menit) 0-3
Suhu (°C) 26-24
3-6
24-20
6-10
19-16
10-18
15-13
18-30
12-10
30-45
9-7
Perubahan Aktivitas
Kriteria
Lobster bergerak aktif, tubuh tegak, kaki jalan Aktivitas dan kaki renang bergerak normal, respon normal sangat baik Lobster mulai berkurang aktivitasnya, ekor melipat kedalam, kaki jalan dan kaki renang Tenang bergerak perlahan,respon terhadap rangsang masih baik Lobster gelisah, namun sesaat kemudian lobster kembali tenang, kaki jalan dan kaki renang Panik melemah gerakannya, respon mulai berkurang Lobster mulai hilang keseimbangan, ekor Awal menekuk ke dalam, kaki renang dan kaki jalan disorientasi lemah gerakannya, respon semakin lemah Gerakan melemah, posisi tubuh miring/terbalik, kehilangan keseimbangan, respon terhadap Disorientasi rangsangan lemah Lobster limbung, hilang keseimbangan, posisi tubuh miring/terbalik, lobster cenderung diam, Pingsan dan respon sangat lemah (hampir tidak ada)
Ket: Kriteria menurut Wibowo et al. (2005) diacu dalam Suryaningrum et al. (2007)
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa penurunan suhu secara bertahap mengakibatkan perubahan kondisi atau aktivitas fisiologis lobster air tawar. Sisi lain yang dapat diamati dari penelitian ini adalah adanya indikasi bahwa lobster air tawar memiliki kemampuan beradaptasi dengan lingkungan bersuhu rendah yang cukup cepat pada suhu 20-24 ˚C, makin rendah suhu lingkungan semakin rendah pula kemampuan lobster beradaptasi. Suhu media yang semakin menurun mengakibatkan aktivitas lobster juga semakin menurun. Lobster masih
beraktivitas normal pada kisaran suhu 26-24°C. Pada kisaran suhu ini tampak bahwa lobster masih bergerak aktif, tubuh tegak, kaki jalan dan kaki renang bergerak normal, dan respon sangat baik. Pada kisaran suhu 24-20°C, lobster memasuki fase tenang selama tiga menit. Lobster yang sebelumnya bergerak aktif mulai berkurang aktivitasnya, ekor melipat kedalam, kaki jalan dan kaki renang bergerak perlahandan respon terhadap rangsangan masih baik. Suhu yang semakin rendah menyebabkan lobster menurun aktivitas metabolisme dan respirasinya (Suryaningrum et al. 2007). Fase panik mulai terlihat pada saat suhu pembiusan mencapai 19-16 °C selama empat menit. Pada fase ini lobster gelisah dan sesaat kemudian lobster kembali tenang. Gerakan kaki jalan dan kaki renang lemah dan respon terhadap rangsangan mulai berkurang. Munculnya kepanikan ini karena tubuh lobster mulai merasakan perubahan suhu lingkungan yang telah menjauh dari suhu semula. Suhu media air mencapai kisaran suhu 15-13 °C pada menit ke-18 atau mulai memasuki fase awal disorientasi. Fase ini ditandai oleh lobster mulai hilang keseimbangan, ekor menekuk kedalam, kaki renang dan kaki jalan lemah gerakannya, dan respon semakin lemah. Pada fase ini lobster sudah terlihat lemah dan mendekati kondisi pingsan (imotil). Fase disorientasi mulai terlihat pada suhu antara 12-10 °C selama 12 menit. Kondisi lobster pada fase ini gerakannya sudah melemah dengan posisi tubuh miring/terbalik, lobster kehilangan keseimbangan, serta respon terhadap rangsangan dari luar pun semakin melemah dibanding fase sebelumnya. Fase pingsan akhirnya dicapai pada suhu 9-7 °C. Fase ini menunjukkan kondisi lobster yang limbung, hilang keseimbangan dengan posisi tubuh miring/terbalik. Lobster juga cenderung diam dan respon terhadap rangsangan hampir tidak terlihat (sangat lemah). Penelitian yang dilakukan oleh Ikasari et al. (2008) menunjukkan bahwa lobster air tawar yang diujicobakan sudah pingsan pada suhu 12 °C sedangkan pada penelitian ini lobster baru memasuki fase pingsan pada kisaran suhu 9-7 °C. Perbedaan suhu pemingsanan dapat terjadi karena perbedaan ukuran lobster yang digunakan. Lobster yang digunakan pada penelitian Ikasari et al. (2008) berukuran ± 30 gram/ekor, sedangkan lobster yang digunakan dalam penelitian ini
berukuran ± 60 gram/ekor. Hasil pengamatan ini menunjukkan bahwa semakin besar ukuran lobster yang digunakan maka diperlukan suhu yang lebih rendah untuk pemingsanan. 4.2.2 Penentuan suhu pembiusan terbaik Penentuan kisaran suhu kritis pembiusan terbaik lobster air tawar didasarkan pada pengaruh suhu pembiusan yang menyebabkan fase kritis terhadap tingkat kelulusan hidup dan kondisi saat pembugaran. Kisaran suhu kritis tersebut adalah suhu pembiusan 15-13 °C (awal disorientasi), 12-10 °C (disorientasi) dan 9-7 °C (pingsan). Pada penentuan suhu pembiusan terbaik, lobster dipingsankan secara langsung pada kisaran suhu kritis kemudian disimpan dalam kemasan kering selama 12 jam. Hasil pengamatan kelulusan hidup dan kondisi lobster setelah penyimpanan 12 jam dalam kemasan kering disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil pengamatan kondisi lobster setelah penyimpanan 12 jam Suhu Pembiusan (oC) 15-13 12-10 9-7
Posisi Semua sudah bergeser Sebagian bergeser Tidak Bergeser
Kondisi lobster setelah penyimpanan Waktu Kondisi Respon diangkat Sudah sadar Sebagian sadar Masih pingsan
Kelulusan Hidup (%)
Ada
Meronta
100%
Ada
Sebagian Meronta
100%
Tidak ada
Tidak Meronta
100%
Hasil pengamatan penentuan suhu pembiusan terbaik menunjukkan bahwa kondisi lobster setelah penyimpanan selama 12 jam pada kisaran suhu pembiusan 15-13 ˚C, 12-10 ˚C dan 9-7 ˚C masing-masing memiliki tingkat kelulusan hidup 100%. Namun demikian, kondisi lobster berbeda saat kemasan dibongkar. Kondisi lobster yang dipingsankan pada kisaran suhu 15-13 ˚C setelah uji penyimpanan selama 12 jam posisinya dalam kemasan sudah bergeser semua dan telah tersadar. Lobster memberikan respon yang cukup baik setelah dibongkar dan meronta saat diangkat. Kondisi lobster yang dipingsankan pada kisaran suhu 12-10 ˚C setelah uji penyimpanan selama 12 jam posisinya sebagian sudah bergeser dan sebagian sudah sadar ketika kemasan dibongkar. Lobster juga sudah mulai merespon dan saat diangkat sebagian lobster sudah mulai meronta. Kondisi
lobster yang dipingsankan pada kisaran suhu 9-7 ˚C setelah uji penyimpanan selama 12 jam posisinya tidak bergeser ketika kemasan dibongkar dan masih dalam kondisi pingsan sehingga respon masih belum ada dan tidak meronta saat diangkat. Berdasarkan hasil percobaan tersebut maka kisaran suhu pembiusan 9-7 ˚C secara langsung lebih baik digunakan sebagai suhu pembiusan karena menghasilkan kondisi pingsan yang lebih lama selama uji penyimpanan. Kondisi lobster ini menunjukkan bahwa lobster masih dapat bertahan untuk waktu penyimpanan yang lebih lama dari 12 jam dengan menggunakan transportasi sistem kering. Berbeda dengan kisaran suhu pembiusan 15-13 ˚C dan 12-10 ˚C dimana lobster sudah menunjukkan pergerakan dan sadar dalam waktu 12 jam penyimpanan. Kisaran suhu ini kurang ideal untuk diaplikasikan karena akan memperbesar risiko kematian lobster dalam kemasan jika penyimpanan berlangsung lebih lama dari 12 jam. 4.3
Penelitian Utama Penelitian utama bertujuan untuk mengetahui pengaruh cara pengemasan
serbuk gergaji dan spons busa pada uji transportasi sistem kering secara statis (penyimpanan) selama selang waktu tertentu terhadap tingkat kelulusan hidup lobster. Pembiusan lobster air tawar pada penelitian utama menggunakan metode pembiusan secara langsung dengan suhu pembiusan 9-7 ˚C. 4.3.1 Kelulusan hidup lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) Uji penyimpanan lobster dengan menggunakan cara pengemasan yang berbeda (serbuk gergaji dan spons busa) pada penelitian ini menghasilkan mortalitas dan tingkat kebugaran lobster yang berbeda. Tingkat kelulusan hidup lobster air tawar pada uji penyimpanan sistem kering ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Tingkat kelulusan hidup lobster air tawar selama uji penyimpanan Jenis media pengisi Serbuk gergaji Spons
Persentase rata-rata kelulusan hidup lobster air tawar (%) selama penyimpanan 12 jam 24 jam 36 jam 48 jam 60 jam 100 100 80 80 73,33 100 100 100 100 86,67
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tingkat kelangsungan hidup lobster yang dikemas dengan menggunakan media spons (busa) lebih tinggi jika dibandingkan dengan serbuk gergaji. Tingkat kelulusan hidup lobster air tawar menggunakan media spons (busa) sebesar 100% hingga penyimpanan jam ke-48 dan turum menjadi 86,67% pada jam ke-60. Pengemasan lobster air tawar dengan media serbuk gergaji menghasilkan tingkat kelulusan hidup 100% hingga penyimpanan jam ke-24, kemudian turun menjadi 80% pada jam ke- 36, 80% pada jam ke-48, dan 73,33% pada jam ke-60. Penurunan persentase tingkat kelulusan hidup tersebut disebabkan oleh sebagian lobster yang dibius telah tersadar pada saat penyimpanan sehingga aktivitasnya meningkat. Aktivitas yang meningkat menuntut ketersediaan oksigen dalam jumlah yang banyak sedangkan oksigen dalam media kemasan sangat terbatas sehingga lobster mengalami kekurangan oksigen yang berakibat pada kematian. Data mengenai pengamatan tingkat kelulusan hidup lobster air tawar ditunjukkan pada Lampiran 3. Hasil analisis statistik menujukkan bahwa perlakuan cara pengemasan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap kelulusan hidup lobster air tawar, akan tetapi perlakuan lama penyimpanan dan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) terhadap kelulusan hidup lobster air tawar (Lampiran 3). Hasil uji lanjut Tukey
Kelulusan Hidup (%)
untuk perlakuan cara pengemasan ditampilkan pada Gambar 4.
100 95 90 85 80 75 70
97,33±5,96b 86,67±12,47a
Serbuk Gergaji
Spons
Media Kemasan
Gambar 4 Rata-rata kelulusan hidup lobster air tawar dengan perlakuan cara pengemasan selama 12 - 60 jam Keterangan: Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Hasil uji lanjut Tukey untuk perlakuan cara pengemasan menunjukkan bahwa kelulusan hidup lobster hingga 60 jam dalam media kemasan serbuk gergaji
menunjukkan
nilai
rata-rata
86,67±12,47%,
lebih
rendah
bila
dibandingkan dengan kelulusan hidup lobster air tawar yang disimpan dalam media spons busa rata-rata sebesar 97,33±5,96%. Hal ini menunjukkan bahwa media spons busa sebagai media kemasan menghasilkan tingkat kelulusan hidup lobster air tawar lebih baik bila dibandingkan dengan media serbuk gergaji. Media pengisi yang baik adalah media yang dapat menjaga kondisinya tetap basah dan lembab di dalam kemasan sesuai dengan kondisi yang dikehendaki lobster selama transportasi.
Tingkat kelulusan hidup lobster yang dikemas
menggunakan spons busa lebih tinggi dibandingkan serbuk gergaji. Hal ini antara lain disebabkan oleh masih basahnya spons busa selama penyimpanan sehingga ketika lobster tersadar masih dapat mendapatkan oksigen dari suasana basah di lingkungan sekitarnya. Hastarini et al. (2006) menyatakan bahwa spons memiliki daya serap air hingga 14 kali berat awalnya setelah direndam selama 30 menit.
Hal ini
menunjukkan bahwa spons merupakan bahan pengisi yang lebih mampu mempertahankan kelembaban lingkungan. Media pengisi spons juga memiliki sifat berongga dengan densitas kamba 0,35 kg/l yang mengindikasikan tingginya cadangan oksigen yang terkandung dalam media pengisi spons. Serbuk gergaji merupakan media pengisi yang bersifat voluminous (padat) dan memiliki sedikit rongga udara. Hal ini menyebabkan cadangan oksigen yang terkandung didalamnya juga sedikit (Sufianto 2008). Sementara itu, semakin lama penyimpanan maka suhu media serbuk gergaji dalam kemasan semakin tinggi sehingga dapat mengakibatkan lobster terbangun dan aktivitasnya meningkat. Kondisi ini menyebabkan lobster membutuhkan oksigen lebih banyak untuk respirasi sedangkan cadangan oksigen yang tersedia di lingkungannya terbatas.
Kekurangan oksigen yang terus berlangsung selama penyimpanan
menyebabkan lobster mengalami kematian. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P>0,05) terhadap kelulusan hidup lobster air tawar sehingga tidak dilakukan uji lanjut pada faktor lama
penyimpanan ini. Hasil pengamatan perlakuan lama penyimpanan terhadap kelulusan hidup lobster air tawar ditampilkan pada Gambar 5.
Kelulusan Hidup (%)
120 100 80 60 40 20 0 12
24
36
48
60
Lama Penyimpanan (jam)
Gambar 5 Kelulusan hidup lobster air tawar dengan perlakuan lama penyimpanan pada media serbuk gergaji ( ) dan spons ( ) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript..yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Tingkat kelulusan hidup lobster air tawar yang dikemas serbuk gergaji pada penyimpanan jam ke-12 tidak berbeda nyata dengan penyimpanan jam ke-24, 36, 48, dan 60. Demikian juga lama penyimpanan pada media spons busa tampak tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap tingkat kelulusan hidup lobster. Meskipun demikian, dari hasil penelitian ini tampak bahwa kelulusan hidup lobster yang lebih tinggi pada media kemasan spons busa dari pada media serbuk gergaji. Teknik pengemasan menggunakan media pengisi spons masih dapat mempertahankan lobster pada kelulusan hidup 100% hingga 48 jam penyimpanan. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan media serbuk gergaji yang dapat mempertahankan kelangsungan hidup lobster 100% hanya hingga 24 jam penyimpanan. Secara keseluruhan, walaupun media pengisi spons busa berhasil mempertahankan kelulusan hidup lobster air tawar pada transportasi sistem kering dua kali lebih baik dibandingkan dengan serbuk gergaji, namun jika transportasi yang dilakukan hanya memakan waktu kurang dari 24 jam penggunaan serbuk
gergaji masih dapat dianjurkan. Sebagaimana diketahui serbuk gergaji memenuhi syarat media kemasan yang baik, meskipun memiliki daya serap air yang lebih rendah dibandingkan spons busa. 4.3.2 Penyusutan bobot lobster air tawar selama penyimpanan Penyusutan bobot lobster selama uji penyimpanan dihitung berdasarkan selisih bobot yang dibandingkan dengan bobot awal sebelum lobster disimpan. Penyusutan bobot lobster dalam penyimpanan disajikan pada Gambar 6.
Penyusutan Bobot (%)
25 20 10,71
10,27
15
11,26
9,66 8,70
10
8,60
7,94
5
10,43
5,95
3,65
0 12
24
36
48
60
Lama Penyimpanan (jam)
Gambar 6 Penyusutan bobot selama penyimpanan pada media spons busa ( ) dan serbuk gergaji ( ) Penurunan bobot lobster yang menggunakan media serbuk gergaji memiliki tingkat penyusutan yang lebih rendah jika dibandingkan dengan kemasan yang menggunakan spons busa. Kemasan yang berisi media pengisi serbuk gergaji memiliki nilai penyusutan bobot pada jam ke-12, 24, 36, 48, dan 60 berturut-turut adalah 3,65%; 5,95%; 7,94%; 8,60%; dan 10,43% sedangkan pada kemasan yang menggunakan spons busa memiliki nilai penyusutan bobot selama penyimpanan 12, 24, 36, 48, dan 60 jam berturut-turut adalah 8,70%; 9,66%; 10,27%; 10,71%; dan 11,26% (Lampiran 4). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan cara pengemasan dan lama penyimpanan, serta interaksi kedua faktor tersebut memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap penyusutan bobot lobster (Lampiran 6). Hasil uji lanjut Tukey Multiple comparison pada perlakuan cara pengemasan ditampilkan pada Gambar 7.
Penyusutan Bobot (%)
12
10,12±0,99b
10 8
7,31±2,60a
6 4 2 0 Serbuk Gergaji
Spons Media Kemasan
Gambar 7 Rata-rata penyusutan bobot lobster perlakuan serbuk gergaji dan spons selama 12-60 jam Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript .yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Hasil uji lanjut Tukey Multiple Comparison untuk perlakuan cara pengemasan menunjukkan bahwa penyusutan bobot pada serbuk gergaji lebih kecil dibandingkan dengan media spons busa.
Serbuk gergaji memiliki nilai
penyusutan bobot sebesar 7,31±2,60% lebih rendah dibandingkan dengan penyusutan bobot spons busa sebesar 10,12±0,99%. Perbedaan penyusutan bobot dipengaruhi oleh faktor kestabilan pencekalan media dalam menahan lobster air tawar bergeser dari posisi awalnya. Serbuk gergaji yang memenuhi kotak pengemasan mempunyai daya cekal yang lebih baik sehingga lobster susah bergeser dari tempat awalnya ketika lobster sadar. Aktivitas lobster yang tertahan tidak menyebabkan penyusutan bobot yang berlebihan. Berbeda halnya dengan media pengisi spons busa yang menyisakan ruang atau tidak mencekal lobster bergerak saat lobster mulai sadar menyebabkan aktivitas yang tinggi sehingga penyusutan bobot juga semakin besar. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan karena jika penyusutan terlalu tinggi dapat merugikan bagi eksportir ataupun konsumen. Uji lanjut juga dilakukan pada perlakuan lama penyimpanan untuk mengetahui perbedaan nyata yang terjadi. Hasil uji lanjut Tukey Multiple Comparison untuk perlakuan lama penyimpanan ditampilkan pada Gambar 8.
Penyusutan Bobot (%)
12 9,66b
10
10,27b,c
8,70a
11,26d 10,43c
8,60b,c 7,94b,c
8 5,95a,b
6 4
10,71c,d
3,65a
2 0 12
24
36
48
60
Lama Penyimpanan (jam)
Gambar 8 Penyusutan bobot lobster dengan perlakuan lama penyimpanan dalam media serbuk gergaji ( ) dan spons ( ) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript .yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Perlakuan lama penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap penyusutan bobot lobster air tawar pada media serbuk gergaji dan spons. Penyusutan bobot dalam media serbuk gergaji pada penyimpanan jam ke-12 berbeda nyata dengan lama penyimpanan 36, 48, dan 60 jam. Penyusutan bobot dalam media spons pada penyimpanan jam ke-12 berbeda nyata dengan lama penyimpanan jam ke-24, 36, 48, dan 60. Rendahnya metabolisme lobster akan menghasilkan kebutuhan energi untuk aktivitas yang juga rendah. Hal ini berarti bahwa perombakan Adenosin Triphosphat
(ATP)
menjadi
Adenosin
Diphosphat
(ADP),
Adenosin
Monophosphat (AMP) dan Inosin Monophosphat untuk menghasilkan energi sangat rendah, sehingga oksigen yang digunakan unuk merombak ATP untuk menghasilkan energi juga sangat rendah (Karnila dan Edison 2001). Barr et al. (2008) menyatakan bahwa efek fisiologis terjadi pada sistem saraf pusat selama pembiusan berlangsung. Sistem saraf pusat pada krustasea terdiri dari saraf ventral ganda yang menghubungkan rangkaian ganglia. Ganglia ini beranekaragam dan yang terbesar berada diujung anterior berfungsi sebagai otak. Pengkajian mengenai sistem saraf krustasea masih terfokus pada decapoda berukuran besar (Laverack 1988 diacu dalam Elwood et al. 2009).
Seiring bertambahnya waktu penyimpanan, aktivitas lobster semakin meningkat sehingga mengakibatkan kebutuhan energi juga semakin meningkat sementara energi yang dihasilkan lobster pada kondisi ini sangat rendah. Hal ini menyebabkan semakin besar nilai penyusutan bobot yang terjadi. Peningkatan aktivitas lobster yang sudah terbangun ketika masih berada dalam kemasan mengakibatkan proses metabolisme dalam tubuh lobster air tawar meningkat (Ikasari et al. 2008). Pengamatan mengenai penyusutan bobot ini penting untuk dilakukan karena dapat menunjukkan adanya faktor lain selain tingkat kematian yang perlu diperhatikan dalam transportasi lobster air tawar sistem kering. Dalam pemasaran lobster, idealnya penyusutan bobot tidak boleh lebih dari 5% karena akan berdampak langsung pada harga jual lobster (Suryaningrum et al. 2007). Berdasarkan tingkat penyusutan bobot yang diperoleh dari hasil penelitian ini maka penggunaan media pengisi serbuk gergaji dengan waktu tidak lebih dari 24 jam akan lebih efisien dan ekonomis. Menurut Suryaningrum et al. (2007), suhu dingin merupakan salah satu kunci dalam transportasi ikan hidup karena dengan kondisi suhu dingin ini tingkat metabolisme dan respirasi sangat rendah sehingga ikan/krustasea dapat diangkut dengan waktu yang lama dan kelulusan hidup yang tinggi. Peningkatan suhu yang terjadi seiring bertambahnya lama waktu penyimpanan akan meningkatkan aktivitas metabolisme dan respirasi lobster dalam kemasan. Penyusutan bobot yang terjadi pada penelitian ini dapat diakibatkan oleh peningkatan aktivitas yang berlangsung selama proses penyimpanan.
Tingkat metabolisme yang terus
bertambah ini tidak diringi dengan asupan sumber energi untuk menunjang aktivitasnya sehingga aktivitas yang berlangsung menggunakan energi yang masih tersisa dalam tubuh lobster. Hal ini terlihat dampaknya secara langsung pada penyusutan bobot yang ada, terlebih lagi sebelum diberi perlakuan lobster juga dipuasakan dahulu sehingga penyusutan bobot menjadi hal yang wajar terjadi. 4.3.3 Perubahan suhu media pengisi selama penyimpanan Suhu media kemasan optimum yang digunakan dalam transportasi lobster air tawar adalah 15-20 °C (Suryaningrum et al. 2007). Hasil pengamatan suhu
media pengisi selama penyimpanan terus meningkat atau berbanding lurus dengan lama waktu penyimpanan (Gambar 9).
Suhu (°C)
21,7
20,0 12,7
10,0
24,7
25,7
20,3
15,0 15,0
25,3
24,3
25,0
15,3
11,7
5,0 0,0 12
24
36
48
60
Lama Penyimpanan (jam)
Gambar 9 Grafik perubahan suhu media selama penyimpanan pada media serbuk gergaji ( ) dan spons ( ) Selama penyimpanan terjadi peningkatan suhu media serbuk gergaji dan spons hingga mencapai suhu 25,7 °C dan 25,3 °C pada jam ke-60. Suhu awal media pengisi yang digunakan adalah 9 °C. Hasil pengamatan perubahan suhu media kemasan menunjukkan bahwa suhu akhir untuk masing-masing kemasan berbeda (Lampiran 7). Media serbuk gergaji mengalami perubahan suhu berturut-turut mulai dari lama penyimpanan jam ke-12, 24, 36, 48, dan 60 adalah 11,7 °C; 15,3 °C; 20,3 °C; 24,7 °C; dan 25,7 °C. Media pengisi spons busa mengalami perubahan suhu pada setiap pengamatan berturut-turut 12,7 °C; 15 °C; 21,7 °C, 24,3 °C; 25,3 °C. Sampai jam ke-36, dapat dikatakan bahwa suhu penyimpanan lobster air tawar masih berada pada tingkat suhu penyimpanan optimal. Menurut Suryaningrum et al. (2007) suhu optimal media kemasan berkisar antara 15-20 °C. Semakin panjang waktu penyimpanan, maka suhu dalam kotak styrofoam makin mendekati suhu ruang (25 - 27 °C). Media kemasan dalam kotak pengemas akan terus mengalami peningkatan suhu seiring dengan lamanya penyimpanan. Hal ini terjadi akibat menurunnya kemampuan media pengisi kemasan dan juga kemampuan es dalam kemasan untuk dapat mempertahankan suhu tetap rendah serta adanya penetrasi panas dari suhu lingkungan. Secara visual tampak bahwa
serbuk gergaji memiliki kemampuan menahan suhu dingin yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan spons busa. Suhu kemasan memegang peranan penting dalam menentukan kelulusan hidup lobster. Suhu kemasan yang terlalu tinggi ataupun terlalu rendah akan menyebabkan tingkat mortalitas tinggi selama proses transportasi. Media kemasan yang digunakan untuk transportasi lobster air tawar sistem kering harus bersifat lembab karena dalam kondisi ini transportasi lobster air tawar akan lebih lama dan kelulusan hidupnya tinggi (Suryaningrum et al. 2007). Semakin lama bahan pengisi mampu menyimpan kondisi dingin maka semakin panjang waktu dan jarak tempuh transportasi yang bisa dilakukan.