45
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Lingkungan Perairan Kondisi perairan di sekitar Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu pada saat penelitian berlangsung, berada pada musim peralihan Timur-Barat (Oktober 2009), musim peralihan Barat-Timur (Maret 2010), dan musim Timur (Juli 2010). Suhu perairan berkisar 28,67±0,58–29,50 oC dengan kisaran salinitas 29,83±0,29 -32,67±0,58o/oo. Nilai salinitas terendah diperoleh pada Maret 2010, namun kondisi ini umum terjadi di Kepulauan Seribu pada musim peralihan Barat-Timur dimana curah hujan masih cukup tinggi (Suyarso 1995). Kecerahan perairan di lokasi penelitian berkisar 8-12 meter dengan pH 7,5-8, sedangkan kandungan oksigen terlarut (DO) cukup tinggi berkisar 7,43±0,15-7,8 mg/l. Secara umum kondisi ini menunjukkan bahwa perairan di sekitar Pulau Pramuka mendukung kehidupan dan pertumbuhan terumbu karang. Hasil pengukuran parameter fisikakimia perairan selengkapnya disajikan pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3 Hasil pengukuran parameter fisika-kimia perairan Oktober 2009 Parameter
Satuan
Suhu
°C
Salinitas
O
Maret 2010
Juli 2010
Sta. 1
Sta. 2
Sta. 1
Sta. 2
Sta. 1
Sta. 2
29,50 ±0,0
29,33 ±0,29
29,33 ±0,29
29,50 ±0,0
28,67 ±0,58
29,00 ±0,0
/OO
31,00 ±0,0
31,17 ±0,29
29,83 ±0,29
30,33 ±0,58
32,67 ±0,58
32,33 ±0,58
Kecerahan
m
10,00
8,00
12,00
12,00
12,00
12,00
Kecepatan arus
m/s
0,14
***
0,07
0,06
0,09
0,04
Arah arus
°
160,00
***
80,00
100,00
204,33
271,33
Sedimentasi
mg/cm2/hr
pH
*
*
0,0753
2,8531
2,6566
1,9095
7,5-8
7,5-8
7,50
7,50
7,50
8,00
DO
mg/l
7,63 ±0,12
**
**
**
7,80 ±0,10
7,43 ±0,15
Amonium (NH4)
mg/l
0,8480
1,2050
0,17
0,2990
1,237
0,83
Nitrat (NO3_N)
mg/l
0,0170
0,0440
0,02
0,0920
0,033
0,03
Nitrit (NO2_N)
mg/l
<0,002
<0,002
<0,02
<0,02
<0,020
<0,020
Phosphat (PO4_P)
mg/l
0,0400
0,0300
0,09
<0,010
0,038
0,043
Silikat (SiO2) mg/l 0,2330 0,1380 0,32 Ket.: * pemasangan alat; ** pengukuran gagal; *** data hilang.
0,1120
2,756
0,908
Tingginya sedimentasi di Stasiun 2 diduga karena kondisi Stasiun 2 lebih terbuka terhadap datangnya sedimen yang terbawa arus terutama dari arah Utara dan Timur, sedangkan Stasiun 1 relatif lebih terlindung dari sedimen yang
46 terbawa arus dari arah Timur, Barat dan Utara. Kondisi perairan di Stasiun 2 (Gosong Pramuka) juga cenderung memiliki kandungan ammonium (NH4) dan Nitrat (NO3) yang lebih tinggi Hal ini sangat mungkin terjadi akibat adanya pengkayaan nutrien berupa limbah organik dari sisa pakan ikan di karamba jaring apung yang banyak terdapat di Gosong Pramuka dan sekitar Pulau Panggang (Gambar 12). Hasil penelitian Jimmi (2009) di kawasan Kepulauan Seribu juga menunjukkan bahwa perairan di sekitar Pulau Pramuka dan Pulau Panggang (zona permukiman) cenderung memiliki kandungan ammonium lebih tinggi dibandingkan dengan perairan di Pulau Belanda dan Kayu Angin Bira (zona inti).
Gambar 12 Karamba jaring apung di sekitar Gosong Pramuka (foto: Aziz 2005). Menurut Koropitan et al. (2009) pola aliran arus musiman menyebabkan intensifikasi konsentrasi nutrien di bagian Barat dan Timur dari Teluk Jakarta berturut-turut selama musim Barat Laut dan Tenggara. Selain itu angin musim juga dapat mempengaruhi kandungan nitrogen di dalam teluk. Pola aliran di Teluk Jakarta terutama disebabkan oleh angin musim, dimana arus mengalir ke arah Timur selama musim Barat Laut dengan kecepatan 0.8-1.4 m s-1 dan ke arah Barat selama musim Tenggara dengan kecepatan 0.8-1.2 m s-1 (Setiawan & Putri 1998, in Koropitan et al. 2009). Input nutrient malalui sungai yang tertinggi dari Sungai Citarum cenderung dialirkan keluar dari teluk selama musim Barat Laut dan sebaliknya, terdistribusi dengan baik didakam teluk selama musim Tenggara (Koropitan et al. 2009). 4.2 Jenis-jenis Biota yang Ditemukan di Terumbu Buatan Perkembangan komunitas pada permukaan terumbu buatan yang menjadi objek penelitian ini termasuk dalam tahap akhir perkembangannya
47 karena telah terbentuk selama sembilan tahun sejak ditenggelamkan pada 2001. Seluruh permukaan terumbu buatan telah ditumbuhi bermacam alga dan biota lainnya seperti karang, sponge, ascidians, bulubabi, gastropoda, dan softcoral (Gambar 13 dan Tabel 4).
Gambar 13 Biota-biota yang ditemukan di terumbu buatan beton. A. Ascidians, B. Nudibranch, C. Colobometra perspinosa, D. Rhabdastrella globostellata, E. Cypraea sp., F. Padina, G. Sea star (Culcita), H. Hyotissa sp., I. Dendronephthya, J. Litophyton, K. Callyspongia aerizusa, L. Asthenosoma sp. (foto: Aziz & Subhan 2010).
48 Tabel 4 Jenis-jenis biota non-karang yang hadir di terumbu buatan. No. 1. 2.
Nama biota Ascidians Bulubabi
Jenis Didemnum molle Echinothrix calamaris Asthenosoma sp. Diadema sp. Culcita sp. Colobometra perspinosa Oxycomanthus bennetti Comanthus sp. Hyotissa sp. Tridacna sp. Padina Caulerpa lainnya Phyllidia sp. Dendronephthya Litophyton Nephthea Cypraea tigris Trochus niloticus Anthogorgia sp.? Callyspongia aerizusa Callyspongia sp. Xestospongia sp. Chelonaplysilla sp. Rhabdastrella globostellata
Sta.1 Sta. 2 Kehadiran + + Menetap + Selalu ada + + + + 3. Bintang laut + Tidak tetap 4. + + Selalu ada Crinoids + + + + 5. Kerang + Menetap + 6. Makroalgae + + Menetap + + + 7. + Tidak tetap* Nudibranch 8. + Menetap Softcoral + + 9. Gastropoda + Tidak tetap* + 10. Gorgonian + Menetap 11. Sponge + + Menetap + + + + + 12. Turf algae + + Menetap Ket.: berdasarkan observasi bulan Oktober 2009-Juli 2010, kecuali *, pada Oktober 2009.
4.3 Kondisi Label Penanda Koloni Kondisi label penanda koloni banyak yang rusak dan hilang setelah beberapa bulan dipasang (Tabel 5). Kondisi label yang tipis dan cepat ditumbuhi alga, terutama dari jenis turfalga telah menarik ikan-ikan herbivora untuk memakan alga pada label tersebut, sehingga label banyak yang rusak dan habis termakan, sedangkan sebagian lainnya terlepas. Ikan-ikan herbivory pemakan alga pada label umumnya berasal dari family Pomacentridae seperti Dischistodus prosopotaenia, Neoglyphidodon melas, dan Pomacentrus alexanderae Tabel 5 Perkembangan kondisi label koloni karang rekrut di terumbu buatan. Lokasi Sta. 1
Sta. 2
Kondisi Maret
Kondisi Juli
Kondisi Awal
Utuh
Rusak
Hilang
Utuh
Rusak
357
124
119
114
56
99
100%
34,73%
33,33%
31,93%
15,69%
27,73%
202 56,58%
190
53
80
57
100%
27,89%
42,11%
30%
19 10%
74 38,95%
51,05%
4.4 Kelimpahan dan Kepadatan Koloni Karang Rekrut
Hilang
97
49 Kelimpahan total koloni karang rekrut yang ditemukan pada semua terumbu buatan sampel berjumlah 641 koloni pada Oktober 2009 dan meningkat menjadi 673 koloni pada Maret 2010. Sebanyak 457 koloni dari 21 genera ditemukan di Pulau Pramuka dan 216 koloni dari 16 genera di Gosong Pramuka. Kelimpahan koloni rekrut tertinggi adalah 116 koloni/modul dengan kepadatan 38,9 koloni/m2, sedangkan kelimpahan terendah adalah 31 koloni dengan kepadatan 10 koloni/m2. Hasil selengkapnya disajikan pada Gambar 14.
Gambar 14 Rerata kelimpahan dan kepadatan koloni per musim. Ket.: Data Mei 2007 bersumber dari Dit. PPK-DKP (2007). Hasil penelitian rekrutmen karang keras oleh Bachtiar dan Prayogo (2008) pada permukaan Reef ballTM setelah tiga tahun di Teluk Benete, Sumbawa Barat, menemukan 640 koloni dari 30 modul (struktur) reef ball dari bahan beton berdiameter 1,2 m dan tinggi 0,9 m. Kelimpahan koloni karang pada permukaan reef ball ternyata berbeda nyata antar kedalaman, dimana koloni pada kedalaman 10-12 m jauh lebih rendah dan berbeda nyata dengan kelimpahan pada kedalaman 3-9 m (Bachtiar & Prayogo 2008). Ferse (2008), mengkombinasikan terumbu buatan dari batako berkapur dengan transplantasi karang pada area seluas 100 m2 di 3 lokasi di Sulawesi Utara, yaitu Gangga, Meras, dan Bunaken. Hasilnya menunjukkan bahwa rekrutmen karang pada tiap lokasi ditemukan bersifat musiman, dan
jumlah
rekrut tertinggi ditemukan pada tiga bulan interval (n = 2391, kira-kira 8,7 rekrut per 100 cm2) terjadi di Bunaken, namun tidak terdapat hubungan sebangun antara transplantasi karang dan rekrutmen karang (Ferse 2008).
Kelimpahan koloni rekrut yang tinggi di Stasiun 1 (Pulau Pramuka) diduga disebabkan oleh laju sedimentasi yang relatif lebih rendah, keberadaan ikan-ikan pemakan alga yang lebih banyak dan kondisi perairan yang lebih terlindung.
50 Kandungan mineral silikat dalam perairan yang lebih tinggi di Stasiun 1, diperkirakan juga menjadi faktor yang berpengaruh, karena mineral ini berperan dalam proses pelekatan planula untuk menetap dalam bentuk juvenile karang pada permukaan terumbu buatan (Samidjan 2005). Di Stasiun 2, rendahnya kelimpahan koloni rekrut diduga karena kondisinya lebih terbuka dengan laju sedimentasi yang relatif lebih tinggi, substrat banyak terdiri dari pasir halus, serta rendahnya kelimpahan ikan-ikan herbivor. Penelitian Birrell (2005) menunjukkan bahwa keberadaan turf alga dan sedimen mencegah larva karang untuk menempel, sebaliknya saat turf alga dan sedimen tidak ada, rerata penempelan meningkat 5-50 kali lebih besar. Distribusi kelimpahan genera karang rekrut dalam persen (%) disajikan dalam Gambar 15. Kelimpahan koloni karang rekrut pada terumbu buatan didominasi oleh genus Porites dengan rerata persentase setiap musim 35,73% dan Pocillopora (14,25%), kemudian Cyphastrea (9,83%), Acropora (7,35%), Favites (7,3%), Favia (5,4%), Goniastrea (4,71%), Montipora (4,1%), dan Millepora (2,65%). Kelimpahan total koloni rekrut disajikan pada Gambar 16.
Gambar 15 Persentase kelimpahan koloni karang rekrut berdasarkan genus.
51
Gambar 16 Kelimpahan total koloni rekrut berdasarkan genus. Genus yang persentase kelimpahan koloninya kurang dari 2 % digabung menjadi genus lainnya, yaitu: Leptoseris, Leptastrea, Tubastrea, Diploastrea, Stylophora, Platygyra, Hydnophora, Symphyllia, Herpolitha, Galaxea, Fungia, dan Cynarina. Beberapa foto karang rekrut disajikan pada Gambar 17.
52
©AM. AZIZ, 2010
Gambar 17. Beberapa karang rekrut pada terumbu buatan. A. Acropora nasuta, B. Cyphastrea, C. Favia, D. Favites, E. Fungia, F. Montipora, G. Platygyra, H. Pocillopora eydouxi, I. Millepora, J. Seriatopora hystrix, K. Porites lobata, L. Symphyllia (foto: Aziz 2010). Komposisi karang rekrut pada terumbu buatan ini berbeda dengan yang ditemukan pada permukaan reef ball setelah tiga tahun ditenggelamkan di Sumbawa Barat, dimana famili Acroporidae mendominasi dengan 75,78%. Famili dengan persentase cukup besar lainnya yaitu Faviidae (9,22%), Pocilloporidae (9,22%), dan Poritidae (3,12%) (Bachtiar & Prayogo 2008). Marga Porites keberadaannya melimpah di sekitar lokasi penelitian dan bersama dengan Acropora dan Montipora, merupakan jenis karang yang
53 dominan di perairan Indonesia dalam hal persentase tutupan karang hidup di perairan dan jumlah kekayaan jenisnya (Suharsono 1998). Hasil penelitian McCook (2001) terhadap kompetisi terhadap ruang antara Porites lobata dan filamentous alga memperlihatkan bahwa karang tersebut merupakan kompetitor superior bagi alga, karena dapat menghalangi pertumbuhan alga secara signifikan, sebaliknya alga mempunyai efek yang kecil terhadap pertumbuhan Porites. Karang Pocillopora damicornis merupakan jenis yang dominan pada substrat penempelan (Dit. PPK-DKP 2007; Samidjan 2005; Rudi 2006) dan jenis pionir dalam proses rekrutmen karang (Rudi 2006). Hal ini terkait dengan cara reproduksi jenis ini, yaitu sebagai brooder (mengerami telur) yang memproduksi planula sepanjang tahun, dan planulanya bersifat menempel tidak jauh dari lokasi induknya (Harrison & Wallace 1990, in Dit.PPK-DKP 2007; Rudi 2006). 4.5 Tutupan Koloni Karang Rekrut pada Terumbu Buatan Luas tutupan koloni karang rekrut pada terumbu buatan di Stasiun 1 lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan Stasiun 2. Pada bulan Oktober 2009, rerata luas tutupan koloni per modul adalah 32,94±11,65% di Stasiun 1 dan 17,26±6,45% di Stasiun 2. Pada sembilan bulan berikutnya (Juli 2010), luas tutupan koloni menjadi 41,46±15,28% di Stasiun 1 atau naik 8,52% dan 20,38±6,08% di Stasiun 2 atau naik 3,12% (Gambar 18).
Gambar 18 Persentase tutupan karang rekrut pada terumbu buatan. (Ket.: Luas permukaan modul di Sta.1=13,97 m2, dan di sta.2=15,69 m2). Total luas koloni karang rekrut pada terumbu buatan di Stasiun 1 mencapai 46 155,95 cm2 pada bulan Oktober 2009 dan 57 965,67 cm2 pada bulan Juli 2010, sedangkan di Stasiun 2 luasnya tercatat 27 011,19 cm2 pada bulan Oktober 2009 dan 31 972,74 cm2 pada bulan Juli 2010. Persentase
54 tutupan koloni rekrut pada terumbu buatan dipengaruhi oleh kelimpahan koloni di masing-masing stasiun, sehingga di Stasiun 1 persen tutupan karang rekrutnya juga lebih tinggi dari Stasiun 2. Namun demikian luas tutupan koloni di Stasiun 2 lebih seragam karena memiliki nilai simpangan baku yang lebih kecil. Tingginya kelimpahan dan persen tutupan karang rekrut di Stasiun 1 ini memperkuat pernyataan Yeemin (2006) bahwa kegiatan restorasi sebaiknya dilaksanakan pada daerah yang terlindung sehingga mudah dikontrol dan dikelola untuk kepentingan restorasi ekosistem, pendidikan, penelitian, dan ekowisata. Peningkatan tutupan karang pada periode Maret-Juli 2010 lebih kecil jika dibandingkan dengan periode Oktober 2009-Maret 2010 terutama di Stasiun 1. Jika dikombinasikan dengan data kelimpahan koloni rekrut sejak Mei 2007, akan terlihat bahwa pertumbuhan karang rekrut pada terumbu buatan beton semakin melambat namun memiliki komposisi jenis/genus yang cenderung stabil. Diduga, hal ini terjadi karena terumbu buatan beton yang telah ditenggelamkan selama sembilan tahun (2001-2010) telah memasuki tahap akhir perkembangan komunitas dan mendekati klimaks pertumbuhan. Komunitas klimaks adalah komunitas terakhir/puncak dari seri-seri perkembangan ekosistem yang telah mantap dan berada dalam keseimbangan dengan habitat fisik (Odum 1993). Suksesi primer dan perkembangan komunitas karang rekrut yang terjadi pada terumbu buatan beton tampaknya akan berakhir pada klimaks edaphic, akibat pengaruh faktor pembatas fisik berupa luas permukaan substrat (Odum 1993). Terbatasnya ruang permukaan substrat beton untuk penempelan dan pertumbuhan koloni membatasi perkembangan komunitas yang terbentuk pada terumbu buatan tersebut. Untuk mengetahui apakah suatu komunitas itu klimaks atau bukan, biasanya dipakai kriteria komposisi jenis. Namun ini bukan kriteria yang baik sebab komposisi jenis dapat mengalami perubahan sebagai respon terhadap perubahan musim dan fluktuasi cuaca jangka pendek walaupun ekosistem secara keseluruhan tetap mantap (Odum 1993). Distribusi luas tutupan koloni karang rekrut di kedua stasiun didominasi oleh 2 genera karang yang sama yaitu Porites dan Acropora, kemudian Cyphastrea (Sta.1) dan Pocillopora (Sta.2) pada urutan ketiga, diikuti Pocillopora (Sta.1) dan Cyphastrea (Sta.2) pada urutan keempat (Gambar 19 dan 20). Dominansi oleh karang dari genus Porites dan Acropora ini diperkirakan karena karang dari family Poritidae dan Acroporidae memiliki strategi reproduksi dengan
55 cara memijah (spawning), yaitu melepaskan sperma dan telur ke kolom air yang diikuti dengan fertilisasi eksternal. Di terumbu karang alami, kedua famili banyak
Gambar 19 Persentase tutupan karang rekrut pada bulan Oktober 2009 dan Maret 2010. terdapat di berbagai kondisi perairan dan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dan bertahan dalam waktu lama (Rudi 2006).
Gambar 20 Persentase tutupan karang rekrut pada bulan Juli 2010. 4.6 Pertumbuhan Karang Rekrut pada Permukaan Terumbu Buatan Perubahan luas koloni karang rekrut di Stasiun 1 dalam cm2/bulan disajikan dalam Gambar 21. Hampir semua genus mengalami peningkatan,
56 kecuali Acropora yang mengalami penyusutan luas pada bulan Juli 2010. Hal ini terjadi karena adanya kematian beberapa koloni Acropora yang pada pengamatan bulan Oktober 2009 telah mengalami pemutihan (bleaching) sebagian. Pada periode Maret-Juli 2010, pertambahan luas Cyphastrea lebih besar dari periode sebelumnya, berkebalikan dengan Porites yang justru pertumbuhannya menurun dari periode Oktober 2009-Maret 2010.
Gambar 21 Perubahan luas genus karang rekrut di Stasiun 1. Luas koloni rekrut jenis Acropora di Stasiun 2 juga mengalami penurunan secara bertahap akibat kematian beberapa koloni yang berkompetisi dengan turfalga (Gambar 22). Sebaliknya, pertambahan luas Porites di Stasiun 2 pada bulan Juli 2010 justru lebih cepat dari periode sebelumnya.
Gambar 22 Perubahan luas genus karang rekrut di Stasiun 2. Dominasi Porites pada Stasiun 2 merupakan bukti bahwa karang ini adalah kompetitor superior bagi alga. Adapun Cyphastrea yang kelimpahan dan
57 pertumbuhannya cukup tinggi di kedua stasiun, memiliki polip besar sehingga relatif lebih tahan terhadap sedimentasi dan juga relatif tidak terpengaruh oleh bleaching (Marshall & Baird 2000, in Rudi 2006)(Gambar 23). Karang dari genus Cyphastrea jenis C. serailia merupakan karang pemijah (broadcast spawner) yang larvanya memiliki periode kemampuan (competency period) menempel pada substrat sampai 26 hari (Wilson & Harrison 1998). Hal ini mengindikasikan bahwa C. serailia berpotensi untuk menyebar secara luas pada jarak yang jauh.
©AM. AZIZ, 2010
Gambar 23 Koloni Cyphastrea sp. yang memperlihatkan pertumbuhan cukup cepat. Ket.: A. Oktober 2009 luas 362,80 cm2, tanda panah koloni bleaching, B. Maret 2010 luas 469,81 cm2, C. Juli 2010 luas 497,06 cm2, tanda panah koloni baru Tubastrea sp.(foto: Aziz 2010). Kematian koloni Acropora diduga kuat adalah akibat kalah berkompetisi dengan turfalga, yang tumbuh dengan cepat (overgrowth) dan mengolonisasi seluruh permukaan Acropora (Gambar 24). Kompetisi antara karang dan makroalga adalah tahap kritis selama proses degradasi terumbu karang (Miller 1998 & McCook 1999, in McCook 2001). Pada umumnya, hanya sedikit taksa alga yang mampu secara nyata menumbuhi karang sehat melalui kontak langsung, seperti Lobophora, Dictyota, Halimeda, Dictyosphaeria dan alga berkapur (crustose coralline algae), maupun beberapa alga merah berfilamen tertentu (McCook et al. 2001). Menurut McCook et al. (2001), kemampuan karang untuk berkompetisi dengan alga berbeda nyata antar bentuk hidup (life forms) karang. Karang dan alga dari jenis yang berbeda akan memiliki kemampuan atau mungkin mekanisme yang berbeda bergantung pada faktor-faktor seperti ukuran, struktur, bentuk, bentuk pertumbuhan, pola pertumbuhan, ukuran polip dan tentakel, dan mekanisme reproduksi seksual dan aseksual, maupun faktor lingkungan seperti nutrien, herbivora dan intensitas cahaya.
58
©AM. AZIZ, 2010
Gambar 24 Koloni Acropora millepora di Stasiun 2 yang mati akibat ditumbuhi alga (1. Oktober 2009, luas koloni 879,51 cm2, 2. Maret 2010, luas koloni hidup 63%, 3. Juli 2010, koloni mati 100%, 4. Oktober 2009, koloni hidup 660,71 cm2, 5. Maret 2010, 100% koloni ditumbuhi alga, 6. Juli 2010, Acropora jenis lain tetap hidup (foto: Aziz 2010). Penelitian yang dilakukan oleh Jompa dan McCook (2003a) tentang kompetisi antara karang Porites spp. dengan turf alga dan red alga (Anotrichium tenue) di Great Barrier Reef-Australia, menunjukkan bahwa sebagian besar jaringan hidup karang yang ditumbuhi Anotrichium tenue akhirnya mati. Pola yang cukup seragam adalah A. tenue menduduki jaringan karang hidup di perbatasan antara rangka karang mati dan turf alga. Jaringan karang yang diduduki kemudian memutih (bleached) dan mati. Setelah itu koloni karang yang mati diduduki oleh alga hijau-biru dan 1-2 bulan kemudian oleh campuran jenis turf alga berfilamen (Jompa & McCook 2003a). Jompa dan McCook (2003b) juga meneliti kompetisi antara turf alga merah berfilamen Corallophila huysmansii dan karang keras Porites cylindrica di GBR. Hasilnya, C. huysmansii menyebabkan kerusakan jaringan karang yang akut walaupun cukup jauh dari filamen (Jompa & McCook 2003b). Jompa dan McCook (2002) juga melakukan eksperimen tentang efek nutrien dan herbivor pada kompetisi antara karang Porites cylindrica dan alga coklat Lobophora variegata di Orpheus Island Research Station, GBR. Hasilnya menunjukkan bahwa kematian jaringan karang bertambah secara signifikan dengan kehadiran alga L. variegata dan efek ini lebih besar jika tidak ada
59 herbivora. Pengaruh dari nutrien tidak nyata dan hanya sedikit pada pertumbuhan alga dan kematian jaringan karang saat herbivora dikeluarkan dari kompetisi (Jompa & McCook 2002). Gambar 25 menunjukkan kompetisi antara karang masif Favia dan turfalga.
©AM. AZIZ, 2010
Gambar 25 Kompetisi antara karang Favia sp. dan turfalga. a. Oktober 2009 luas jaringan hidup 4,23 cm2, b. Maret 2010 luas jaringan hidup 5,16 cm2, c. Juli 2010 luas jaringan hidup 6,56 cm2 (foto: Aziz 2010). Kontribusi Pocillopora terhadap pertumbuhan total di Stasiun 2 juga rendah (7,83%) dan berada di bawah Millepora (8,06%). Hal ini diperkirakan akibat matinya beberapa koloni Pocillopora akibat dikolonisasi oleh soft coral dari jenis Litophyton. Beberapa koloni besar soft coral tumbuh di atas koloni Pocillopora dan mampu menutupi sebagian permukaan koloni Pocillopora dalam waktu relatif cepat. Jaringan karang Pocillopora yang telah mati kemudian ditumbuhi alga, sehingga mempercepat kematian sebagian kecil jaringan karang yang masih hidup dan akhirnya tersingkir dari kompetisi (Gambar 26).
©AM. AZIZ, 2010
Gambar 26 Kolonisasi Pocillopora damicornis oleh soft coral Litophyton. A. Oktober 2009 luas jaringan karang hidup 192,86 cm2, B. Maret 2010 luas jaringan hidup tersisa 39,61 cm2 (20,54%), C. Juli 2010 soft coral tumbuh semakin besar (foto: Aziz 2010). Keberadaan soft coral di Stasiun 2 cukup mendominasi persentase tutupan pada permukaan terumbu buatan. Pada bulan Oktober 2009 tutupannya
60 berkisar 0,39-15,91% dengan rerata 5,81%. Pada Maret 2010, total tutupan soft coral meningkat berkisar 0,67-20,83% dengan rerata tutupan 7,99%. Tutupan softcoral di Stasiun 2 cukup mendominasi, dengan rerata luas mencapai 0,28 m2/modul atau 9,04±7,88% (rerata±Sb). Menurut Sammarco et al. (1983), soft corals dapat bersaing secara efektif terhadap ruang melawan karang keras (scleractinian). Kemampuan soft corals untuk mengolonisasi ruang dengan cepat terkait dengan kemampuannya dalam berkembangbiak secara aseksual (budding) dan translokasi (Benayahu & Loya 1987, in Atrigenio & Aliño 1996). Pertumbuhan yang relatif cepat dan kemampuan kolonisasi tersebut dapat menyingkirkan organisme lain secara total (Hughes et al. 1987, in Atrigenio & Aliño 1996). Eksperimen oleh Atrigenio dan Aliño (1996) menggunakan keramik terakota menunjukkan bahwa keramik yang diletakkan dekat dengan koloni-koloni soft coral Xenia puertogalerae memiliki lebih sedikit karang rekrut daripada yang diletakkan jauh dari soft coral. Namun jenis Xenia sp. termasuk kurang agresif dan hanya mempengaruhi kompetitor yang melakukan kontak dengan koloni (Coll et al. 1985, in Atrigenio & Aliño 1996), sehingga efek ini bersifat selektif. Jenis soft coral yang lebih agresif adalah Sinularia flexibilis dan Lobophytum pauciflorum, dua jenis soft coral ini dapat membunuh karang skleraktinia Acropora formosa dan Porites cylindrica (Coll et al. 1985, in Atrigenio & Aliño 1996). Hasil eksperimen efek allelopathic dari S. flexibilis menunjukkan bahwa S. flexibilis mengeluarkan allelochemicals di dalam kolom air sehingga mempengaruhi rekrutmen karang di sepanjang arah aliran arus (Maida et al. 1995, in Atrigenio & Aliño 1996) dan dapat menghalangi pertumbuhan koloni karang scleractinian yang ada di dekatnya (Alino et al. 1992, in Atrigenio & Aliño 1996). Sammarco et al. (1983) melakukan eksperimen dengan menempatkan koloni-koloni dari 3 jenis soft corals, Lobophytum pauciflorum, Sinularia pavida, dan Xenia sp. di dekat lokasi 2 karang keras Pavona cactus dan Porites cylindrica. Hasilnya adalah terjadi kematian lokal tingkat tinggi secara nyata dalam tiga dari enam interaksi terakhir pada area dimana soft corals dan karang scleractinian berhubungan langsung,. Dalam situasi non-kontak, Lobophytum pauciflorum juga menyebabkan kematian luas dan nyata pada Porites cylindrica, sebaliknya, karang scleractinian tidak memiliki efek terhadap soft coral.
61 Secara keseluruhan, rerata persen tutupan koloni karang mati di terumbu buatan mencapai 1,19±0,56% (rerata±Sb) di Stasiun 1 dan 2,22±1,34% di Stasiun 2. Nilai Indeks Mortalitas Karang rekrut pada bulan Juli 2010 berkisar 0,02-0,05 di Stasiun 1 dan 0,005-0,15 di Stasiun 2. Hal ini menunjukkan bahwa harapan karang rekrut untuk hidup dan tumbuh pada permukaan terumbu buatan masih tinggi. 4.7 Fenomena Pemutihan Karang Rekrut Pada pengamatan bulan Juli 2010, terjadi fenomena pemutihan karang (coral bleaching). Beberapa koloni karang rekrut, terutama dari jenis Pocillopora yang berada pada kedalaman 3-4 meter di Stasiun 1 terlihat memutih (Gambar 27). Kejadian pemutihan karang ini diduga merupakan akibat adanya fluktuasi suhu yang cukup tinggi di perairan yang terjadi beberapa minggu sebelumnya. Sementara di Stasiun 2 tidak terlihat fenomena bleaching, karena terumbu buatan terletak pada kedalaman 7-8 meter sehingga pengaruh fluktuasi suhu permukaan tidak terlalu besar.
Gambar 27 Beberapa koloni karang rekrut yang memutih (bleached) di Stasiun 1. A & B Pocillopora eydouxi, C. P. damicornis, D. P. verrucose (foto: Aziz 2010). Menurut BMKG, suhu udara di Jakarta pada bulan April 2010 mencapai o
33-35 C (http://metrotvnews.com; www.republika.co.id). BMKG juga menyatakan
62 bahwa cuaca 2010 merupakan yang paling ekstrim selama 12 tahun terakhir. Indikasi tersebut terlihat dari terjadinya penyimpangan waktu musim kemarau yang ditandai dengan memanasnya suhu permukaan laut hampir di seluruh wilayah Indonesia (http://www.antaranews.com; http://www.mediaindonesia.com). BMKG memperkirakan, suhu permukaan laut naik 0,5-1,6 oC di atas normal (Kompas 12 Mei 2010). Laporan NOAA juga menyebutkan bahwa suhu bulan April 2010 merupakan yang terpanas untuk April sejak 1880, hal ini dilihat dari kombinasi suhu tanah dan air permukaan di seluruh Bumi yang mencapai rerata 58,1 oC (http://techno.okezone.com). Data sebaran suhu permukaan laut juga menunjukkan bahwa suhu di sekitar Kepulauan Seribu pada bulan April 2010 mencapai 33 oC (http://www.lapanrs.com/SMBA/smba, 17 September 2010). Kejadian pemutihan karang selama Mei-Juni 2010 juga dilaporkan oleh Reef Check Indonesia. Beberapa lokasi di Gili Trawangan, Gili Air, dan Gili Meno, Lombok mengalami bleaching hingga 20% akibat kenaikan suhu hingga 30-31 o
C, namun hasil pengamatan pada bulan Juli 2010 menunjukkan kondisi terumbu
karang tersebut dapat bertahan dan berangsur membaik. Laporan pemutihan karang selama 2010 yang dirilis http://www.goblue.or.id dari beberapa kontributor menyebutkan bahwa di Padang pemutihan yang luas terjadi pada jenis Acropora dan Psammocora pada Juni 2010; di Sabang-Aceh, sekitar 80% karang keras dari marga Acropora, Montipora, Pocillopora dan Seriatophora (susceptible group); Favia, Favites, Goniastrea, Fungia, Platygira, Hydnopora, Galaxea, Diploastrea dan Lobophyllia (intermediate group); serta Porites (masif) dan Pavona (resistant group) juga mengalami pemutihan. Sementara di Wakatobi, pada tanggal 17-27 April, sekitar 60-65% menunjukkan tanda-tanda bleaching, sedangkan 10-17% koloni telah memutih total (http://www.goblue.or.id). 4.8 Tutupan Substrat Dasar di Terumbu Karang Alami Kondisi substrat dasar di Pulau Pramuka (Stasiun 1) didominasi oleh reruntuhan karang mati (rubble) sebesar 51,4%, sedangkan tutupan karang keras (hard coral) hanya sebesar 23,14% atau termasuk kategori rusak.Tutupan tipe substrat lainnya adalah karang mati beralga (DCA) sebesar 11,58%, pasir (7,52%), dan sponge (3,14%). Kondisi substrat dasar di Gosong Pramuka (Stasiun 2) memiliki tutupan karang hidup lebih baik, yaitu sebesar 40,43% atau termasuk kategori sedang. Substrat lainnya berupa rubble (26,34%), karang mati beralga (DCA) (24,47%), dan pasir (4,78%), sedangkan kategori substrat lainnya terdiri atas soft coral, ascidians, dan bulubabi (Gambar 28).
63
Gambar 28 Persentase tutupan substrat di terumbu karang alami. Secara umum, kedua stasiun didominasi oleh substrat abiotik yang terdiri atas rubble, karang mati beralga, dan pasir. Rubble yang mendominasi kedua stasiun tampak seperti bekas pemboman (blast fishing) karena ukuran patahannya yang kecil-kecil dan umumnya seragam. Aktani (2003) juga menyimpulkan bahwa patahan karang yang mendominasi tutupan substrat di Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu adalah dampak dari kegiatan penangkapan ikan menggunakan bom banyak terjadi sebelum kawasan Kepulauan Seribu ditetapkan sebagai Taman Nasional pada tahun 1995. Penelitian Aktani (2003) pada beberapa pulau di Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa tutupan karang keras di Pulau Genteng, Pandan, Melinjo, Bira, Opak, dan Putri berturut-turut adalah 43, 29, 25, 20, 18, dan 7%, adapun tutupan karang mati mendominasi seluruh pulau yang di survei dan berkisar 52-83%. Persentase tutupan rubble di Stasiun 1 yang lebih tinggi diperkirakan karena daerah di sekitar Stasiun 1 merupakan fishing ground bagi nelayannelayan kecil dari sekitar Pulau Pramuka dan Pulau Panggang, dimana mereka biasa membuang jangkar di daerah tersebut. Aktifitas penjangkaran (anchoring) para nelayan seringkali merusak, membalikkan, mematahkan, dan mematikan koloni-koloni karang yang ada di bawahnya. Kondisi berbeda terjadi di Stasiun 2 (Gosong Pramuka) dimana aktifitas penjangkaran dilarang dilakukan, sejak daerah ini ditetapkan oleh masyarakat dan Pemda setempat sebagai Area Perlindungan Laut (APL). Larangan membuang jangkar dengan adanya sanksi di area ini tampaknya dipatuhi oleh para nelayan dan pemilik perahu, mereka lebih memilih menambatkan perahu pada tali pelampung yang telah disediakan daripada membuang jangkar.
64 Persentase tutupan karang keras yang diperoleh dalam penelitian ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian Andono (2004) di ujung Selatan Pulau Pramuka yang lokasinya berdekatan dengan Stasiun 1. yaitu sebesar 20,20%. Andono (2004) juga mencatat tutupan karang keras di ujung Utara Gosong Pramuka pada kedalaman 10 meter mencapai 35,0%, di Barat Laut Gosong Pramuka pada kedalaman 10 meter 56,40%, dan di Barat Gosong Pramuka pada kedalaman 8 meter tutupan karang kerasnya 50,5%. Tutupan karang keras di ketiga lokasi ini didominasi oleh genus Acropora dan Montipora (Andono 2004). Hasil yang dicatat oleh Terangi (2007), diacu dalam Azizy (2009) menyebutkan bahwa tutupan karang keras di Pulau Pramuka pada 2004 sebesar 34,71% dan pada 2005 hanya 16,01%, sedangkan menurut Dit.PPK-DKP (2007), tutupan karang hidup di Stasiun Pulau Pramuka adalah 30,85 dan di Stasiun Gosong Pramuka 66%. Genera-genera karang yang mendominasi tutupan karang hidup di Stasiun 1 sedikit berbeda dengan di Stasiun 2. Acropora dan Porites menjadi yang paling dominan di Stasiun 1 dengan persentase tutupan masing-masing 6,6% dan 5,53%. Genera lain yang cukup signifikan adalah Leptoseris (1,98%), Seriatopora (1,39%), Fungia (1,19%), dan Montipora (1,05%) (Gambar 29).
Gambar 29 Persentase tutupan karang hidup di terumbu alami menurut genus. Di Stasiun 2, Montipora menjadi yang paling dominan dengan persentase tutupan 20,31%, disusul Porites (7,64%), Acropora (4,4%), dan Seriatopora (4,27%). Genera lainnya adalah gabungan dari beberapa genera yang persentase tutupannya kurang dari 1%, yaitu: Merulina, Herpolitha, Turbinaria,
65 Symphyllia, Pachyseris, Echinopora, Cyphastrea, Favites, Millepora, Favia, Pocillopora, Goniastrea, Anacropora, Platygyra, dan Ctenactis. 4.9 Diameter Substrat di Sekitar Terumbu Buatan Persentase tutupan substrat abiotik di kedua stasiun didominasi oleh substrat berdiameter 10-100 mm yang terdiri atas rubble dan karang mati beralga masing-masing 50,77% di Stasiun 1 dan 56,35% di Stasiun 2 (Gambar 30). Substrat dengan diameter lebih besar dari 100 mm, yang memungkinkan larva karang menempel dan tumbuh, tutupannya hanya 14,10% di Stasiun 1 dan 5,94% di stasiun 2. Hasil ini menunjukkan bahwa penenggelaman terumbu buatan beton di kedua lokasi penelitian sudah tepat untuk meningkatkan ketersediaan substrat penempelan yang cukup luas dan stabil.
Gambar 30 Persentase tutupan substrat dasar abiotik berdasarkan diameter.
Reruntuhan karang mati (rubble) sebenarnya menyediakan substrat penempelan yang sesuai bagi bermacam invertebrata laut, namun persoalannya rubble tidak stabil, sehingga invertebrata yang menempel mengelupas, berantakan dan terkubur sebelum dapat tumbuh cukup besar untuk menetap secara mandiri (Raymundo et al. 2007). Selain itu, peningkatan sedimen akan menurunkan penempelan karang (coral settlement), dan sedimen yang terendap di dasar terumbu dapat menghalangi penempelan larva karang serta menutupi juvenile karang yang baru menempel (Birrel et al. 2005).
4.10 Kelimpahan Ikan Karang di Terumbu Buatan
66 Kelimpahan ikan di terumbu buatan bersifat fluktuatif menurut musim. Kelimpahan tertinggi di kedua stasiun dicapai pada Maret 2010 dengan rerata kelimpahan masing-masing 82±13,16 ekor/modul dan 87±23,97 ekor/modul untuk Stasiun 1 dan 2 (Gambar 31). Kelimpahan ikan terendah diperoleh pada Mei 2007, yaitu 25,38 ekor/modul (Stasiun 1) dan 11,29 ekor/modul (Stasiun 2) (Dit.PPK-DKP 2007).
Gambar 31 Rerata kelimpahan ikan karang di terumbu buatan. Ikan-ikan yang ditemukan di terumbu buatan di Stasiun 2 (Gosong Pramuka) jumlahnya lebih sedikit daripada di Stasiun 1. Hal ini diduga karena ikan-ikan tersebut lebih suka berada di terumbu karang alami disekitarnya yang memiliki persentase tutupan karang lebih tinggi, lebih beragam, lebih banyak makanan dan lebih banyak tempat untuk berlindung. Sebaliknya, di Stasiun 1 lebih banyak ikan-ikan karang yang berlindung atau mencari makan di sekitar terumbu buatan, karena kondisi terumbu karang alaminya lebih buruk, persentase tutupannya rendah, lebih sedikit makanan, dan lebih sedikit ruang tempat berlindung dari pemangsa. Persentase kelimpahan jenis ikan di terumbu buatan setiap musim disajikan dalam Gambar 32 untuk Stasiun 1 dan Gambar 33 untuk Stasiun 2. Kelimpahan jenis ikan di kedua stasiun didominasi oleh ikanikan dari famili Pomacentridae seperti Pomacentrus, Abudefduf dan Chromis.
67
Gambar 32 Persentase kelimpahan jenis ikan di terumbu buatan Sta. 1 per musim. Famili Pomacentridae merupakan golongan ikan karang yang memiliki sebaran paling besar di dunia yang jumlah spesiesnya diperkirakan mencapai 320 jenis (Allen 2000). Menurut Allen (2000), ciri khas famili Pomacentridae adalah sikapnya yang selalu mempertahankan wilayah kekuasaannya dari ikan yang lain. Famili Pomacentridae dari jenis Hemyglyphidodon plagiometopon juga ditemukan dominan di terumbu buatan beton piramid yang ditenggelamkan di Pulau Menjangan Besar, Kepulauan Karimunjawa, sedangkan pada terumbu buatan yang ditenggelamkan di Pulau Weh, Kota Sabang didominasi oleh ikan famili Pomacentridae dari jenis Pomacentrus sp. (Dit. PPK-DKP 2005).
Gambar 33 Persentase kelimpahan jenis ikan di terumbu buatan Sta. 2 per musim.
68 Pada bulan Mei 2007, kelimpahan ikan yang tertinggi adalah Caesio teres dan Chromis viridis masing-masing di Stasiun 1 dan 2. Pada bulan Oktober 2009, kelimpahan jenis ikan tertinggi di Stasiun 1 adalah Amblyglyphidodon curacao dan di Stasiun 2 Chromis viridis, sedangkan pada Maret 2010, Pomacentrus alexanderae mendominasi kelimpahan ikan di terumbu buatan di kedua stasiun. Jenis P. alexanderae juga paling banyak ditemukan di terumbu buatan Stasiun 1 pada Juli 2010, adapun Abudefduf sexfasciatus tertinggi kelimpahannya di Stasiun 2. Penelitian Ferse (2008) tentang pengaruh transplantasi karang terhadap komunitas ikan pada area terumbu buatan yang dikombinasikan dengan transplantasi karang memperoleh kelimpahan ikan tertinggi sebesar 796±36 individu/100 m2 (rerata±SE) dengan jumlah jenis 71±2 jenis. Pengamatan pada kondisi lingkungan terumbu karang, komposisi jenis dan rekrutmen ikan mengindikasikan bahwa pengaruh transplantasi karang terhadap komunitas ikan sangat bergantung pada kondisi terumbu (Ferse 2008). Kondisi struktur komunitas ikan karang di terumbu buatan dapat dilihat dari
nilai-nilai
indeks
struktur
komunitasnya
yang
meliputi
indeks
keanekaragaman (H’), indeks keseragaman (E), indeks dominansi (C), indeks kesamaan (S), dan indeks mortalitas karang (IMK) untuk ekosistem terumbu karang (Tabel 6). Nilai indeks keanekaragaman (H’) ikan pada terumbu buatan berkisar 2,1160-2,7236 yang berarti bahwa keragaman jenis ikan di terumbu buatan sedang dan komunitas cukup stabil (Odum 1993). Nilai indeks keanekaragaman yang berada dalam kisaran 1
Jml Jenis 24 17 28 18 16 15 19 21
Jml individu 189 344 413 269 85 122 436 226
H' 2.1160 2.3939 2.7236 2.2603 2.1608 2.2198 2.3738 2.3663
E 0.6658 0.8449 0.8174 0.7820 0.7793 0.8197 0.8062 0.7772
C 0.0531 0.1089 0.0920 0.1461 0.1729 0.1388 0.1224 0.1324
S 0.2000 0.3125 0.5957 0.4615
69 Indeks keseragaman (E) terendah dengan nilai 0,6658 terdapat di Stasiun 1 pada Mei 2007, sedangkan yang tertinggi dengan nilai 0,8449 diperoleh di Stasiun 1 pada Oktober 2009. Kisaran nilai indeks keseragaman jenis ikan karang pada terumbu buatan ini menandakan bahwa jumlah jenis dalam populasi besar dan komunitas ikan pada terumbu buatan stabil, kecuali pada Mei 2007 di Stasiun 1 dimana nilai E < 0,5. Nilai indeks dominansi (C) berkisar 0,0531-0,1729 yang berarti bahwa tidak ada jenis ikan yang cukup nyata mendominasi komunitas di terumbu buatan karena semua jenis memiliki peran yang cukup seragam dalam komunitas. Stasiun 2 pada Mei 2007 memiliki nilai C paling tinggi karena hanya ditemukan 85 individu ikan dari 16 jenis, dan terdapat jenis yang lebih melimpah dari lainnya. Indeks similarity (S) membandingkan kesamaan jenis antara Stasiun 1 dan 2 pada setiap bulan pengambilan data. Nilai indeks kesamaan kedua stasiun pada bulan Mei 2007 (Musim peralihan Barat-Timur), Oktober 2009 (Musim peralihan Timur-Barat), Maret 2010 (Musim peralihan Barat-Timur), dan Juli 2010 (Musim Timur) berturut-turut adalah 0,20; 0,3125; 0,5957; dan 0,4615. Nilai ini termasuk rendah dan menunjukkan bahwa jenis-jenis yang ada di kedua stasiun cukup berbeda karena jumlah spesies yang dapat ditemui di kedua stasiun umumnya kurang dari 50% dari total spesies.
4.11 Kelimpahan Jenis Ikan Karang di Terumbu Karang Alami Kelimpahan jenis ikan di terumbu karang alami di Gosong Pramuka mencapai 919,5±341,5 ekor/250 m2 pada Maret 2010 dan 367,5±99,7 ekor/250 m2 pada Juli 2010. Jumlah ini lebih tinggi daripada kelimpahan di Pulau Pramuka yang hanya 306,5±44,6 ekor/250 m2 pada Maret 2010 dan 253±26,9 ekor/250 pada Juli 2010 (Gambar 34).
Gambar 34 Kelimpahan jenis ikan di terumbu alami di sekitar terumbu buatan.
70 Kelimpahan jenis ikan di terumbu karang alami pada bulan Maret terdiri atas 28 jenis di Stasiun 1 dan 32 jenis di Stasiun 2. Tiga jenis ikan yang memiliki persentase kelimpahan tertinggi di Stasiun 1 adalah Pristotis obtusirostris (27,19%), Chromis atripectoralis (27,08%), dan Caesio cuning (10,93%), sedangkan tiga kelimpahan tertinggi di Stasiun 2 pada waktu yang sama adalah jenis Pomacentrus alexanderae (33,77%), Caesio cuning (12,72%), dan Amblyglyphidodon curacao (12,72%) (Gambar 35). Pada bulan Juli, kelimpahan ikan di Stasiun 1 dan 2 sama-sama terdiri atas 27 jenis dari 8 famili (Gambar 36).
Gambar 35 Persentase kelimpahan jenis ikan di terumbu alami pada Maret 2010.
Gambar 36 Persentase kelimpahan jenis ikan di terumbu alami pada Juli 2010.
71 Tiga jenis ikan dengan kelimpahan tertinggi di Stasiun 1 ditempati Caesio cuning (18,18%), Pomacentrus alexanderae (15,81%), dan Caesio teres (15,81%), sedangkan di Stasiun 2 oleh Caesio cuning (19,18%), Pomacentrus alexanderae (13,06%), dan Abudefduf vaigiensis (9,80%). Penelitian di Pulau Genteng, Pandan, Melinjo, Bira, Opak, dan Putri di Kepulauan Seribu menunjukkan bahwa ikan karang dari family Pomacentridae memiliki kelimpahan tertinggi berkisar 53-62%, diikuti ikan dari family Labridae yang berkisar 27-33% (Aktani 2003). Komposisi komunitas ikan, termasuk komposisi jenis dan kelimpahannya berubah berdasarkan musim sesuai pergantian musim Barat (Aktani 2003). Penelitian Andono (2004) menemukan 35 jenis ikan dari 16 famili dengan kelimpahan 431 ekor/250 m2 di ujung Selatan Pulau Pramuka pada kedalaman 7 m. Di beberapa lokasi di Gosong Pramuka Andono (2004) juga menemukan 28 jenis ikan dari 11 famili dengan kelimpahan 218 individu di Barat Laut; 33 jenis ikan dari 14 famili dengan kelimpahan 165 individu di ujung Utara; dan 15 jenis ikan dari 12 famili dengan kelimpahan 303 individu di Utara bagian tengah (kelimpahan dalam 250 m2). Hasil monitoring Terangi (2004), diacu dalam Azizy (2009) menunjukkan kekayaan jenis ikan di Kepulauan Seribu mencapai 211 jenis dari 25 famili. Kelimpahan jenis tertinggi yaitu Pomacentridae (69 jenis) dan Labridae (40 jenis). Nilai indeks keanekaragaman (H’) ikan di terumbu alami berkisar 2,16642,7162 sedangkan indeks keseragaman (E) memiliki kisaran 0,6251-0,8241. Indeks dominansi (C) terendah dan tertinggi pada bulan Juli 2010 terdapat di Stasiun 2 yaitu 0,0913 dan 0,1754. Adapun indeks kesamaan (S) di kedua Stasiun adalah 0,5 pada bulan Maret dan 0,41 pada bulan Juli. Nilai indeks struktur komunitas ikan di terumbu alami disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7 Nilai indeks struktur komunitas ikan karang di terumbu alami. Waktu Sta.1 Mar'10
Jml Jenis 28
H' 2.4461
E 0.7341
C 0.1575
S 0.50
Sta.1 Jul'10
27
2.6875
0.8154
0.1006
0.41
Sta.2 Mar'10 Sta.2 Jul'10
32 27
2.1664 2.7162
0.6251 0.8241
0.1754 0.0913
Kisaran nilai indeks keanekaragaman (H’) ikan di kedua stasiun berada dalam level yang sama yaitu 1
72 tingkat sedang (Odum 1993). Dari segi indeks keseragaman (E), pada maret 2010 kedua stasiun memiliki nilai 0,5 < E ≤ 0,75 yang berarti komunitas bersifat labil, tetapi pada bulan Juli 2010 nilainya meningkat menjadi 0,75 < E ≤ 1,0 yang berarti komunitas dalam kondisi stabil (Daget 1976). Nilai indeks dominansi jenis ikan di Stasiun 1 sedikit lebih tinggi dari Stasiun 2, tetapi masih berada pada level rendah (C<0,2) yang artinya dominasi jenis di kedua stasiun rendah. Nilai indeks kesamaan yang berkisar 0,41-0,5 menunjukkan bahwa komunitas di kedua stasiun cukup berbeda. Nilai indeks keanekaragaman ikan tahun 2004 di Kepulauan Seribu berkisar 1,30-2,88, sedangkan di wilayah Kelurahan Pulau Panggang kisarannya 1.84-2.88. Kisaran nilai ini menurun pada tahun 2005 menjadi 1,21-2,62 di Kepulauan Seribu dan 1,46-2,57 (Azizy 2009). Adanya perbedaan kelimpahan dan beberapa nilai indeks struktur komunitas ikan baik di terumbu buatan maupun di terumbu alami di kedua stasiun ini cukup beralasan. Mengingat jarak antara terumbu buatan dan terumbu alami tidak terlalu jauh, diduga bahwa kelimpahan ikan di terumbu buatan sangat dipengaruhi oleh kondisi terumbu karang di ekosistem alami. Semakin tinggi persentase tutupan karang hidupnya, maka ikan akan lebih memilih tinggal dan mencari makan di terumbu karang alami.
4.12 Hubungan Persentase Tutupan Karang dengan Kelimpahan Ikan Hubungan persentase tutupan karang hidup dengan kelimpahan ikan di terumbu buatan beton diplotkan pada grafik menggunakan regresi berganda (polynomial) dari 10 kali ulangan. Regresi dari Stasiun 1 mendapat nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,71 (Gambar 37). Hal ini berarti bahwa peubah bebas X (persentase tutupan koloni) dan Y (jumlah individu ikan) memiliki hubungan positif yang kuat (r=0,84), dimana X dapat menjelaskan Y sebesar 71%.
Gambar 37 Hubungan persen tutupan koloni dengan jumlah individu ikan Sta. 1.
73
Di Stasiun 2, nilai koefisien determinasi (R2) ternyata jauh lebih kecil, hanya sebesar 0,055. Hal ini berarti bahwa x dan y pada Stasiun 2 tidak memiliki hubungan yang signifikan, karena pada tingkat kepercayaan 95% x hanya dapat menjelaskan y sebesar 5,5% (Gambar 38).
Gambar 38 Hubungan persen tutupan koloni dengan jumlah individu ikan Sta. 2.
Soekarno (1989) dalam Madduppa (2006) menyatakan bahwa hubungan regresi linier antara persentase tutupan karang hidup dan jumlah jenis ikan di Kepulauan Seribu bersifat positif dengan nilai r sebesar 0,82. Madduppa (2006) juga menyatakan bahwa persentase tutupan karang keras (scleractinian coral) memiliki hubungan positif dalam pola kuadratik dengan kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus. Hasil penelitian Madduppa tentang hubungan antara persentase tutupan karang keras dan kelimpahan ikan Chaetodon octofasciatus di Kepulauan Seribu memperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0,711 atau 71,1% pada kedalaman 3 meter dan 0,568 atau 56,8% pada kedalaman 10 meter (Madduppa 2006).
4.13
Analisis Statistika Hasil pengujian hipotesis menggunakan analisis ragam (two-way ANOVA
with replication) terhadap kelimpahan koloni karang rekrut menyimpulkan bahwa kelimpahan koloni rekrut berbeda nyata (α0,05 dan α0,01) antar lokasi penelitian (F=69,17; P<0,01; df=1,16), tetapi tidak berbeda nyata antar waktu pengambilan data (musim) (F=0,3467; P<0,01; df=1,16). Uji lanjutan (uji-t) untuk beda rerata juga menyimpulkan hal yang sama (t stat=11,89; P<0,01; df=9), dengan nilai korelasi Pearson 0,6822.
74 Hasil pengujian hipotesis terhadap persentase luas tutupan koloni antar stasiun versus antar musim menyimpulkan bahwa persentase tutupan koloni karang rekrut pada terumbu buatan berbeda nyata (α0,05 dan α0,01) antar lokasi penelitian, tetapi tidak berbeda nyata antar musim (F=14,6182; P<0,01; df=1,16). Uji lanjutan terhadap beda rerata menggunakan uji-t juga memberikan hasil yang sama (t stat=7,5963; P<0,01; df=9) dengan nilai korelasi Pearson 0,87. Hasil analisis ragam terhadap kelimpahan ikan di terumbu buatan menyatakan bahwa pada taraf α=0,01, kelimpahan ikan hanya berbeda nyata antar musim (F=26,61; P<0,01; df=1,16). Uji-t untuk rerata kelimpahan antar stasiun menyatakan kelimpahan hanya berbeda nyata (α=0,05) pada satu arah (t stat=2,0133; P<0,05; d=9), dan tidak berbeda nyata pada taraf α=0,01. 4.14
Implikasi Manajemen
4.14.1 Dasar Pengambilan Kebijakan Salah satu tujuan pengelolaan terumbu karang adalah untuk menciptakan keseimbangan antara pemanfaatan berkelanjutan dan konservasi terumbu karang. Data dan informasi yang benar, lengkap dan dapat dipercaya (reliable) merupakan dasar bagi pengambilan kebijakan yang tepat untuk pengelolaan tersebut. Setidaknya ada dua jenis informasi yang penting untuk diketahui oleh para pengambil kebijakan (stakeholders) yaitu (Bunce et al. 2000): 1. Status terumbu karang dan perubahannya dalam hal kesehatan karang dan ikan; dan 2. Masyarakat yang menggunakan dan mempengaruhi terumbu karang (stakeholders), termasuk pola penggunaan dan persepsinya terhadap pengelolaan terumbu karang. Terkait dengan upaya rehabilitasi terumbu karang menggunakan terumbu buatan beton, informasi jenis pertama yang dibutuhkan meliputi; kualitas lingkungan perairan, persentase tutupan karang hidup di calon lokasi rehabilitasi, jumlah jenis karang, jumlah dan jenis ikan karang, tipe dan ukuran substrat serta persentase tutupannya (McCook L 1 April 2010, komunikasi pribadi). Informasi lain yang juga diperlukan adalah ketersediaan suplai larva (planula) karang dari terumbu karang alami sebagai sumber rekrutmen alami. Informasi jenis kedua meliputi identitas para pemangku kepentingan terkait dengan terumbu buatan, antara lain para pengguna, pengambil kebijakan, pengelola, penerima dampak, dan pihak-pihak terkait lainnya.
75 Perlu dipahami bahwa walaupun digunakan untuk menyediakan berbagai fungsi biologis dan ekologis, penenggelaman terumbu buatan terutama adalah untuk alasan sosial, dan berpotensi menghasilkan dampak sosial-ekonomi baik positif maupun negatif (Sutton & Bushnell 2007). Karena itu, analisis stakeholder penting dilakukan dalam perencanaan karena menentukan keberhasilan pengelolaan dan optimalisasi manfaat sosial-ekonomi bagi masyakat lokal. Analisis ini akan memetakan persepsi, pendapat, keinginan, dan respon dari setiap grup/pihak yang terkait dengan terumbu buatan (Sutton & Bushnell 2007). Pemangku kepentingan yang dianalisis dapat terdiri dari: para pengambil kebijakan (Pemerintah, Pemda, DPR, DPRD); penyelam dan pemancing rekreasi; nelayan komersial dan tradisional/lokal; pelaku bisnis wisata dan wisatawan; organisasi/pemerhati lingkungan (LSM); dan komunitas ilmiah (perguruan tinggi/universitas, lembaga penelitian) (Sutton & Bushnell 2007). Hal lain yang juga perlu dilakukan adalah sosialisasi manfaat dan dampak sosialekonomi terumbu buatan serta manajemen konflik/isu-isu yang mungkin timbul, misalnya dalam hal perubahan hak kepemilikan dan penggunaan sumberdaya. 4.14.2 Analisis Manajemen Berdasarkan analisis data, persen tutupan substrat dasar di lokasi penelitian didominasi oleh rubble, karang mati beralga dan pasir, masing-masing sebesar 70,50% di Stasiun 1 dan 55,59% di Stasiun 2. Dari nilai tersebut, komposisi substrat abiotik dengan diameter lebih besar dari 100 mm persentase tutupannya hanya 14,10% di Stasiun 1 dan 5,94% di Stasiun 2. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan substrat alami untuk penempelan larva karang secara alami sangat terbatas, dengan demikian di lokasi penelitian layak dilakukan penenggelaman terumbu buatan. Berdasarkan hasil analisis kelimpahan dan persen tutupan koloni karang rekrut pada terumbu buatan,dapat disimpulkan bahwa terumbu buatan beton cukup efektif dan dapat digunakan sebagai metode rehabilitasi terumbu karang. Adapun perbedaan nilai kelimpahan dan persen tutupan di Stasiun 2 yang lebih rendah, tampaknya lebih disebabkan oleh faktor lingkungan dan kondisi lokasi penenggelaman, seperti laju sedimentasi, arus dan gelombang, kandungan ammonium, kandungan silikat, kompetisi dengan makroalga dan soft coral, serta rendahnya kelimpahan ikan herbivora yang memangsa alga.
76 Analisis biaya dan manfaat Walaupun terumbu buatan secara ekologis cukup efektif sebagai metode rehabilitasi karang, biaya yang diperlukan untuk melakukan rehabilitasi dengan terumbu buatan, terutama di pulau-pulau kecil termasuk cukup mahal. Sebagai contoh, untuk menenggelamkan 1 unit terumbu buatan beton tipe piramid berukuran 1x1x1 m3 di Pulau Setinjang, Kota Pontianak, Kalimantan Barat dibutuhkan biaya sebesar sekitar Rp 2 890 000,- sedangkan di Kota Padang, Sumatera Barat, biayanya mencapai Rp 2 980 000,- per unit untuk tipe dan ukuran yang sama (sumber: Dit. PPK-DKP 2006, diolah). Biaya ini digunakan untuk konstruksi, bahan dan material, biaya pengerjaan, pengangkutan, sewa kapal, proses penenggelaman, termasuk biaya survei awal dan monitoring. Tingginya biaya ini dipengaruhi oleh keterbatasan akses transportasi, sarana dan prasarana, ketersediaan material di lokasi dan tingginya biaya hidup, bahan bakar, dan ongkos kerja di daerah terpencil. Analisis manfaat ekonomi terumbu buatan beton untuk rehabilitasi karang sebenarnya dapat dilakukan melalui pendekatan Total Economic Value (Tabel 8), seperti yang dilakukan terhadap hasil perikanan (Whitmarsh et al. 2008). Menurut Table 8 Nilai yang dipengaruhi oleh pengembangan habitat buatan Nilai ekonomi total (Total economic value) Nilai kegunaan langsung
Nilai kegunaan tidak langsung
Nilai kegunaan pasif
Manfaat dari penggunaan segera struktur buatan dalam bentuk keluaran yang dapat dikonsumsi atau dinikmati langsung, misalnya: Penggunaan ekstraktif (penangkapan ikan komersial & rekreasi, budidaya laut/lepas pantai). Penggunaan nonekstraktif (wisata selam dan berselancar).
Manfaat yang disediakan struktur buatan untuk mendukung aktivitas ekonomi lain, atau hal positif lain yang mempengaruhi pengguna lingkungan laut lain, misalnya: Produksi perikanan melalui perlindungan habitat, misalnya seagrass. Pengalihan upaya dari perikanan yang overexploited. Perlindungan pesisir dan pantai. Perbaikan kualitas perairan.
Manfaat dari mengetahui bahwa aset kelautan telah di lindungi (nilai keberadaan & warisan) atau dapat digunakan di kemudian hari (nilai pilihan), misalnya: Pengetahuan bahwa perlindungan berbasis terumbu telah meningkatkan keanekaragaman laut . Pengetahuan bahwa habitat khas dilindungi secara utuh untuk generasi mendatang.
Whitmarsh et al. (2008), nilai ekonomi hasil tangkapan ikan dari terumbu buatan beton yang ditenggelamkan di laguna Formosa, Portugal sejak tahun 1990 mencapai kira-kira € 13 per unit upaya, lebih tinggi dibandingkan kontrol (Whitmarsh et al. 2008). Nilai per unit upaya (VPUE) pada terumbu buatan meningkat dari waktu ke waktu sebesar € 0,177 per bulan. Untuk mencapai nilai ekonomi total yang optimal dari penenggelaman terumbu buatan beton, maka dalam pengambilan kebijakannya terdapat syarat-
77 syarat yang harus dipenuhi (diagram alur pada Gambar 39). Pertama, kondisi lingkungan dan kualitas perairan di calon lokasi penenggelaman terumbu buatan sesuai bagi kehidupan dan pertumbuhan karang. Kedua, adanya suplai larva karang sebagai sumber rekrutmen alami, artinya terumbu buatan perlu diletakkan tidak jauh dari ekosistem terumbu karang alami. Ketiga, terdapat hambatan untuk terjadinya rekrutmen/penempelan larva karang alami akibat substrat yang tidak stabil, atau diameternya terlalu kecil. Keempat, terumbu buatan yang setiap unitnya terdiri dari beberapa bagian harus diikat dan diletakkan pada dasar perairan yang cukup landai agar tidak mudah terguling/jatuh.
Mulai
Apakah kualitas perairan sesuai?
Tidak
Jangan lakukan penenggelaman terumbu buatan
Ya Apakah Tersedia sumber suplai larva?
Tidak
Gunakan metode lain, seperti: transplantasi
Ya Apakah tersedia substrat yang stabil & cukup besar?
Ya
Biarkan terumbu karang pulih secara alami
Tidak
Lakukan penenggelaman terumbu buatan
Adakah dukungan masyarakat lokal?
Tidak
Pengelolaan oleh: Selesai Pemerintah/ Pemda/ Swasta
Ya Pengelolaan Terumbu Buatan Berbasis Masyarakat
Gambar 39 Diagram alur pengambilan keputusan rehabilitasi karang dengan terumbu buatan beton (modifikasi dari Edwards & Clark 1999).