20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi dan Karakterisasi Limbah Padat Pasar Tradisional Timbulan limbah padat pasar Timbulan limbah padat pasar tradisional adalah jumlah atau banyaknya sampah yang dihasilkan oleh pedagang pada suatu pasar. Data mengenai timbulan sampah ini sangat diperlukan untuk desain sistem pengelolaan persampahan, seleksi jenis/tipe peralatan untuk transportasi sampah dan desain TPA. Untuk penentuan timbulan sampah ini dapat digunakan satuan volume dan satuan berat. Hasil penelitian diperoleh rata-rata timbulan sampah pasar Kota Bogor untuk satuan volume adalah 330 m3/hari dan untuk satuan berat adalah 79 860 kg per hari (79.8 ton/hari). Sedangkan sampah yang dihasilkan oleh tujuh pasar tradisionnal Kota Bogor yang dikelola oleh Koperasi Pasar (KOPPAS) yang bekerja sama dengan Perusahaan Daerah (PD) Pasar Pakuan Jaya, menghasilkan limbah padat 115 m3/hari (27 830 kg atau 27.83 ton perhari). Timbulan sampah yang dihasilkan oleh sumber pasar tradisional pada hari libur yaitu Sabtu dan Minggu cenderung lebih di atas rata-rata yaitu 28 ton per hari, lebih banyak dibandingkan pada hari kerja. Tingginya timbulan sampah pada hari libur ini, disebabkan kecenderungan masyarakat yang memanfaatkan waktu libur untuk berbelanja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, sehingga jumlah sampah pun meningkat. Hal ini terutama terlihat pada pasar Kebon Kembang dan pasar Bogor Baru. Timbulan sampah tujuh pasar tradisional Kota Bogor yang dikelola oleh KOPPAS ditunjukkan pada Tabel 5. Tabel 5 Timbulan sampah pasar tradisional Kota Bogor
No
Pasar
1 2 3 4 5 6 7
Kb. Kembang Baru Bogor Merdeka Jambu Dua Gunung Batu Sukasari Padasuka Jumlah
Volume Volume Tidak sampah terangkut terangkut (m³/hari) (m³/hari) (m³/hari) 40 31 14 10 6 7 7
35 28 14 8 6 7 7
5 3 0 2 0 0 0
115
105
10
Koperasi Pasar (KOPPAS) dipercayai oleh PD Pasar Pakuan Jaya untuk mengelola sampah ke-7 pasar tersebut. Sampah yang berasal dari para pedagang diambil oleh petugas kebersihan dari KOPPAS dan dikumpulkan dalam gerobak atau keranjang bambu. Pengambilan sampah dilakukan dua kali sehari, pagi dan sore. Sampah yang telah dikumpul dalam keranjang atau gerobak lalu dibawa ke TPS. Selanjutnya petugas dari Dinas Kebersihan dan Pertamanan membawa
21 sampah di TPS tersebut ke TPA. Bila tidak semuanya terangkut pada hari tersebut akan diangkut pada hari berikutnya, sehingga sampah tidak ada yang tertinggal di TPS. Komposisi limbah padat pasar Komposisi sampah merupakan penggambaran dari masing-masing komponen yang terdapat dalam buangan padat dan distribusinya, biasanya dinyatakan dalam persen berat (%) (Murniwati 2006). Sampah pasar memiliki komposisi yang sedikit berbeda dengan sampah dari perumahan. Komposisi sampah pasar lebih dominan sampah organik. Sampah-sampah plastik jumlahnya lebih sedikit dari pada sampah perumahan, apalagi jika sampahnya berasal dari pedagang sayur atau buah. Komposisi sampah dapat digunakan untuk menentukan pengelolaan yang tepat dan saling efisien sehinga dapat diterapkan proses pengelolaannya. Komposisi limbah padat organik di pasar tradisional Kota Bogor jauh lebih besar dibandingkan dengan sampah anorganik. Komposisi sampah organik sebesar 90%, sedangkan sisanya atau 10% merupakan sampah anorganik. Seperti ditunjukkan pada Gambar 3 di bawah ini. Kertas/kardus 4%
Kayu 2% Lain-lain 1%
Plastik 3%
Organik 90%
Gambar 3 Indentifikasi komposisi sampah rata-rata pasar tradisional Kota Bogor Gambar 3 menunjukkan bahwa identifikasi sampah organik merupakan komponen sampah yang terbesar dengan persentase komposisi rata-rata sebesar 90% dari seluruh sampah pasar yang ada. Komposisi sampah organik berupa sampah sayuran, buah, umbi-umbian dan bumbu dapur sedangkan jenis sampah pasar lainnya yang terdiri dari sampah jenis plastik (3%) seperti kantong plastik, bungkusan makanan dan minuman, sampah kertas/kardus 4%, sampah kayu berupa tempat buah sebanyak 2% dan lain-lain sepeti jenis gelas dan kaleng sebanyak 1%. Berdasarkan pengamatan di lapangan juga menunjukkan bahwa sampah organik sebagian besar dihasilkan oleh pedagang sayaur, buah dan ikan, sedangakan selain sampah organik lebih banyak dihasilkan dari pedagang kelontong.
22 Informasi tentang komposisi sampah dibutuhkan untuk penentuan luas areal tempat pembuangan sampah akhir (TPA) dan pengolahan sampah secara biologi seperti pengolahan composting. Karakteristik limbah padat pasar Setelah diketahui komposisi limbah padat pasar maka selanjutnya akan mudah untuk dilakukan pegelolaan limbah padat pasar tradisional. Salah satu proses pengelolaannya adalah dengan cara pengomposan karena persentase terbanyak adalah bahan organik. Dalam penelitian ini bahan baku yang digunakan untuk pengomposan terlebih dahulu di anaisis karakteristik dari bahan tersebut. Jenis bahan tersebut di antaranya adalah kobis (kol), seledri, daun bawang, kembang kol, sawi dan petsai. Pertimbangan mengenai pemakaian beberapa jenis bahan di atas adalah karena keberadaan bahan tersebut melimpah di pasar tradisional dalam bentuk sampah. Analisis karakteristik sampah sangat diperlukan dalam desain sistem pengelolaan sampah, terutama dalam hal pengolahan sampah pasar. Tabel 6 di bawah ini merupakan kerakteristik sampah organik pasar tradisional Kota Bogor yang dapat dikomposkan. Tabel 6 Karakteristik limbah padat organik pasar tradisional Kota Bogor Parameter Kadar air pH Bahan organik Carbon Nitrogen Phosfat Kadar abu Nilai kalor
Nilai
Satuan
93.00 5.82 5.43 2.80 0.33 919.20 0.78 4 286.50
% bb mg/kg % mg/kg mg/kg % bk kal/g
Hasil pengukuran di laboratorium pengujian departemen Teknologi Industri Pertanian IPB untuk mengetahui karakteristik sampah yang akan dikomposkan. Dari hasil pengujian tersebut menunjukkan bahwa secara umum bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini dapat diolah menjadi kompos (pengomposan), hal ini dapat diketahui dari nilai tiap parameter tersebut dan metode yang digunakan pada Lampiran 2. Kadar air yang tinggi 93.79% berat basah, merupakan salah satu tanda bahwa bahan mudah membusuk dan terdekomposisi. Kadar ini akan berkurang 40-50% setelah mengalami proses pengomposan, karena bahan tersebut sudah terurai oleh mikroorganisme. 1. Berat jenis Hasil penelitian didapatkan berat jenis limbah padat organik dari pasar tradisional di Kota Bogor adalah 242 kg/m3. Azkha (2010), komponen sampah sisa makanan berat jenisnya adalah 0.29 kg/liter (290 kg/m3), sedangkan untuk berat jenis sampah kertas dan plastik adalah 0.07-0.09 kg/liter atau rata-rata 0.08
23 kg/liter (80 kg/m3). Berat jenis kotoran kambing (pupuk kandang) yang digunakan sebagai aktivator pengomposan dalam penelitian ini adalah 0.342 kg/liter (342 kg/m3). Hasil pengukuran ini didapatkan dengan cara dimasukkan 8.5 kg kotoran kambing ke dalam sebuah kotak kardus berukuran 40 cm x 27 cm x 23 cm, sehingga volume kotak adalah 24 840 cm3 (0.02484 m3). Densitas atau berat jenis kotoran kambing adalah berat 8.5 kg dibagi dengan volume 0.02484 m3 dan hasilnya adalah 342 kg/m3. 2. Ukuran dan distribusi partikel Penentuan ukuran dan distribusi partikel sampah digunakan untuk menentukan jenis pengolahan sampah, terutama untuk memisahkan partikel besar dengan partikel kecil. Bahan yang berukuran kecil akan lebih cepat terdekomposisi melalui peningkatan luas permukaan kontaminasi intuk aktifitas mikroba perombak, walau bahan yang berukuran besar juga dapat menghasilkan kualitas kompos yang memuaskan. Rata-rata distribusi partikel limbah padat pasar tradisional di Kota Bogor umumnya berukuran kecil dari 150 mm . Hal ini berarti limbah padat organik pasar tradisional Kota Bogor dapat dikelola dengan sistem composting. Dengan ukuran partikel sampah yang relatif seragam diharapkan proses pembuatan kompos akan berjalan sempurna dalam waktu yang relatif sama. Distribusi ukuran partikel sampah mempengaruhi perencanaan pengolahan sampah untuk pengomposan. Pada pengomposan ukuran partikel yang kecil akan mempercepat proses pembusukan. 3. Kelembaban (kadar air) Penentuan karakteristik kimia sampah diperlukan dalam mengevaluasi alternatif suatu proses dan sistem recovery yang dapat dilakukan pada suatu limbah padat, misalnya untuk mengetahui kelayakan proses pembakaran sampah dan pengolahan biologis. Dengan mengetahui kelembaban atau kadar air sampah dapat ditentukan frekuensi pengumpulan sampah. Frekuensi pengumpulan sampah dipengaruhi oleh komposisi sampah yang dikandungnya. Kadar air yang tinggi 93.79% berat basah, merupakan salah satu tanda bahwa bahan mudah membusuk dan terdekomposisi. Kadar ini akan berkurang 40-50% setelah mengalami proses pengomposan, karena bahan tersebut sudah terurai oleh mikroorganisme. Penelitian menunjukkan kadar air atau kelembaban limbah padat organik pasar tradisional berkisar 93.79% berat basah. Hal ini sedikit lebih tinggi dengan literatur dimana untuk sampah pasar tipikal kelembaban adalah 70–90% (Choiriah 2006). Kelembaban sampah juga dipengaruhi oleh komposisi sampah, musim dan curah hujan. 4. Kadar abu Kadar abu merupakan sisa proses pembakaran pada suhu tinggi. Dengan penentuan kadar abu ini dapat dilihat keefektifan kinerja proses pembakaran tersebut. Kadar abu dari proses pembakaran pada suhu tinggi yaitu 900oC, adalah 0.7% berat basah. Ini berarti dengan proses pembakaran suhu tinggi, limbah padat pasar tradisional Kota Bogor akan tereduksi. Dengan kata lain proses pembakaran sampah dengan suhu tinggi dapat menjadi alternatif pertimbangan dalam hal pengolahan sampah pasar.
24
5. Rasio C/N Rasio C/N merupakan faktor penting dalam mendesain pengolahan sampah biologi seperti dalam proses pembentukan kompos. Rasio C/N sampah pasar tradisional Kota Bogor dalam penelitian ini sebesar 28. Dari literatur nilai optimum rasio C/N antara 25 – 50. Hal ini berarti, dilihat dari rasio C/N sampah pasar tradisional Kota Bogor dapat diolah secara biologi dengan proses composting. Pengomposan Limbah Padat Organik Pasar Tradisional Komposisi bahan baku pengomposan Pada dasarnya semua bahan organik dapat dikomposkan baik yang berasal dari domestik maupun pusat-pusat perdagangan. Namun dalam penelitian ini hanya limbah organik padat dari pasar tradisional yang dikomposkan. Proses pengomposan sangat tergantung pada karakteristik bahan yang dikomposkan, aktivator pengomposan digunakan katoran kambing yang mudah didapatkan di perkampungan sekitar tempat penelitian dan metode pengomposan yang dilakukan secara alami (natural), yaitu bahan dimasukkan ke dalam bak yang telah disiapkan dengan ukuran panjang = 175 cm, lebar = 110 cm dan tinggi = 100 cm untuk variasi pertama dan kedua. Sedangkan ukuran bak untuk variasi tiga dan empat lebih kecil yaitu panjang = 120 cm, lebar = 110 cm dan tinggi = 100 cm, dengan sistem tumpukan (pile). Desain bak untuk pengomposan limbah padat pasar tradisional ditunjukkan pada Gambar 4.
Gambar 4 Bak pengomposan dengan sistem natural static pile Pembuatan kompos secara alami adalah pembuatan kompos dimana proses pembuatannya berjalan dengan sendirinya. Manusia hanya membantu mengumpulkan bahan, menyusun bahan, untuk selanjutnya proses pengomposan berjalan dengan sendirinya. Kompos yang dibuat secara alami memerlukan waktu pembuatan yang lama yaitu mencapai 6-8 minggu. Salah satu kunci keberhasilan dalam melakukan proses pembuatan kompos adalah memperoleh kombinasi campuran bahan baku sedemikian rupa sehingga memperoleh hasil akhir berupa kompos yang memiliki pebandingan C/N terbesar
25 10-12, hal ini juga dipengaruhi oleh aktivator yang digunakan berupa kotoran hewan. Kotoran hewan yang dapat digunakan adalah kotoran ayam, sapi, kerbau, kambing, kuda dan sebagainnya. Adapun komposisi bahan yang dikomposkan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Komposisi bahan organik pasar dan kotoran kambing yang dikomposkan
Kotoran kambing Kubis (Kol) Seledri Daun bawang Kembang kol Sawi Petsai
Variasi 1 (kg) % 300 50 76 13 44 7 46 8 69 12 48 8 17 3
Berat bahan Variasi 2 Variasi 3 (kg) % (kg) % 85 18 75 25 43 14 71 15 46 15 80 17 70 23 125 27 48 16 83 18 18 6 23 5
Variasi 4 (kg) % 85 39 132 61 -
Jumlah
600
300
217
Komposisi bahan
100
100
467
100
100
Tiap variasi memiliki perbedaan komposisis bahan yang digunakan. Variasi satu menggunakan 300 kg sampah pasar dan 300 kg kotoran lambing, sedangkan pada variasi dua hanya menggunakan 300 kg sampah pasar saja. Adapun waktu perlakuannya sama yairtu selama 8 minggu (56 hari) dari tanggal 8 Juli sampai 30 Agustus 2012. Sedangkan variasi tiga dan empat waktu perlakuannya selama 8 minggu dari tanggal 17 Oktober sampai 10 Desember 2012 dengan komposisi yang berbeda, yaitu campuran kotoran kambing dengan sampah pasar selain sayur kubis, sedangkan pada variasi empat hanya sayur kubis yang dicampurkan dengan kotoran kambing. Perbedaan ini akan menunjukkan hasil dari tiap-tiap variasi. Pengomposan dengan sistem natural static pile Pengomposan dapat terjadi secara alamiah maupun dengan bantuan manusia. Pengomposan secara alamiah yaitu dengan cara penumpukan sampah di alam, sedangkan pengomposan dengan bantuan manusia yaitu dengan cara menggunakan teknologi modern maupun dengan menggunakan bahan bioaktivator dan menciptakan kondisi ideal sehingga proses pengomposan dapat terjadi secara optimal dan menghasilkan kompos berkualitas tinggi. Untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik, diperlukan pemahaman proses pengomposan yang baik pula. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik yang kemudian akan digantikan oleh bakteri termofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat, kemudian akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga mencapai 70oC. Suhu akan tetap tinggi selama fase pematangan.
26 Pengukuran temperatur Temperatur adalah salah satu indikator kunci dalam pembuatan kompos. Panas yang ditimbulkan sebagai suatu hasil sampingan dari proses yang diakukan oleh mikroba untuk mengurai bahan organik. Temperatur ini dapat digunakan untuk mengukur seberapa baik sistem pengomposan ini bekerja, disamping itu juga dapat diketahui sejauh mana dekomposisi telah berjalan (Ojowaoo et al. 2011). Sebagi ilustrasi yang diungkapkan oleh Naima (2012), jika temperatur kompos naik dari 40-50oC, maka dapat disimpulkan bahwa campuran bahan baku kompos cukup mengandung bahan nitrogen dan karbon, dan cukup mengandung air (kelembabannya cukup) untuk menunjang pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan teperatur yang terjadi pada variasi satu dan dua. Pengamatan temperatur dilakukan dengan menggunakan alat uji temperatur yaitu termometer dan hasil seperti pada Gambar 5.
Gambar 5 Perubahan suhu dan pertumbuhan mikroba selama proses pengomposan (Stoffella dan Kahn 2001) Mikroba mesofilik kemudian tergantikan oleh mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif, mikroba-mikroba yang ada di dalam kompos akan menguraikan bahan organik menjadi NH+, CO2, uap air dan panas 32 melalui sistem metabolisme dengan bantuan oksigen. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan hingga kembali mencapai suhu normal seperti tanah. Pada fase ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30-50% dari bobot awal tergantung kadar air awal. Kumar et al. 2009 mengemukakan bahwa kompos dapat memiliki kantongkantong yang lebih panas dan ada kantong-kantong yang dingin. Semuanya sangat tergantung pada kandungan uap air (kelembaban) dan komposisi kimia bahan baku kompos akan diperoleh peta gradien temperatur. Dengan menggambarkan
27 grafik termperatur dan lokasi-lokasinya sejalan dengan bertambahannya waktu, maka dapat dijelaskan; sudah berapa jauh proses dekomposisi berjalan, seberapa baik komposisi sampuran bahan baku tersebut, seberapa rata campuran tersebut dan dibagian mana campuran tidak rata serta dibagian mana siskulasi udara berjalan normal dan di bagian mana kurang normal. Berdasarkan informasi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa langkah yang dapat dilakukan utuk mencapai hasil akhir dan memperoleh kompos dengan kualitas yang diinginkan. Pada proses pengomposan ini baik, karena temperatur mencapai 30oC – 40oC pada hari pertama. Kemudian dalam beberapa hari berikutnya temperatur terus meningkat, sehingga bahan baku yang didekomposisi oleh mikroorganisme habis, selanjutnya barulah temperatur turun. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 6. 60 Luar bak Variasi 1
50
Temperatur (ᵒC)
Variasi 2 40
30
20
10
0 0
10
20
30
40
50
60
Hari ke
Gambar 6 Perubahan temperatur pengomposan pada perlakuan pertama Pengambilan data dilakukan di pagi hari sekitar jam 6 pagi, sehingga temperatur lingkungan ada pada kisaran 21oC sampai 25oC. Temperatur lingkungan ini berpengaruh terhadap temperatur pengomposan. Pengamatan pada minggu pertama pengomposan pada variasi satu dan dua ini terlihat bahwa temperatur timbunan rata-rata berkisar antara 35oC sampai 45oC. Berdasarkan penelitian sebelumnya tetang kompos menyatakan sebagian besar mikroorganisme mesophilic tumbuh dengan baik pada temperatur 40 oC. Fluktuasi temperatur timbunan variasi satu dan dua pada setiap hari, dari hari pertama sampai hari ke56 disajikan pada Gambar 6.
28 Gambar 6 menunjukkan juga bahwa temperatur pada awal pengomposan hari pertama tinggi, temperatur 34oC untuk variasi satu dan 33oC untuk variasi dua. Hal ini dapat dipengaruhi oleh temperatur luar 30oC yang dilakukan pengukuran pada jam 10.00 WIB. Namun lain halnya pada hari kedua dan selanjutnya temperatur luar menurun karena pengukuran lilakukan pada pagi hari jam 09.00 WIB. Sedangkan temperatur variasi satu dan dua naik masing-masing 37 oC dan 40oC, pada kondisi ini proses degradasi mengalami peningkatan juga ditandai dengan penurunan tinggi permukaan tumpukan. Temperatur rata-rata 42.5oC pada hari ke-8 merupakan temperatur puncak untuk variasi satu, sedangkan variasi dua temperatur puncak terjadi pada hari ke-3 yaitu 41.5oC. Perbedaan ini sangat dipengaruhi oleh bahan baku yang dijadikan kompos, karena pada variasi dua hanya menggunakan limbah padat organik pasar 300 kg, tanpa menggunakan aktivator kotoran kambing. Dua variasi tersebut setelah mencapai titik puncak, maka temperatur pada hari berikutnya terjadi penurunan hingga titik 30 oC pada hari ke-34 untuk variasi satu dan 25oC pada hari ke-32 untuk variasi dua hampir mendekati temperatur luar, berbeda halnya dengan variasi tiga dan empat, seperti terlihat pada gamabar di bawah ini. 60 Luar bak
Temperatur (ᵒC)
50
Variasi 3 Variasi 4
40 30 20 10 0 0
10
20
30 Hari ke
40
50
60
Gambar 7 Perubahan temperatur pengomposan pada perlakuan dua Perubahan temperatur pada variasi tiga dan empat pada perlakukan kedua yang telah disajikan pada Gambar 7 di atas menunjukkan bahwa perubahan temperatur juga trjadi pada kedua variasi. Pada hari pertama temperatur luar 30oC yang diukur pada jam 11.30 WIB, rata-rata temperatur variasi tiga dan empat adalah 38.8 oC dan 38.5 oC, namun pada hari ke-2 dan ke-3 temperatur naik secara drastis hingga mencapai titik puncak masing-masing yaitu 52.3 oC dan 56.5 oC. Sedangkan hari berikutnya temperatur turun hingga 32 oC pada hari ke-30 dan 28oC pada hari ke-25 untuk variasi empat.
29 Secara keseluruhan temperatur mengalami peningkatan pada minggu pertama, hal ini dikarenakan pangaruh aktivitas perombakan bahan organik oleh mikroba sehingga menimbulkan energi panas, dan temperatu akan normal pada minngu kelima yaitu dari hari ke-30 sampai 35 dikarenakan kompos sudah dalam keadaan matang. Pada Gambar 3 dan 4 terlihat bahwa mulai pada minggu ketiga pengomposan terlihat temperaturnya mulai stabil mendekati temperatur lingkungan. Hal ini menandakan berkurangnya kandungan C (karbon) organik, sehingga aktifitas mikroba berkurang dan kompos mulai ke proses pematangan. Selurh tumpukan kompos kemudian mengalami fase pendinginan dan fase peatangan yang ditandai dengan penurunan suhu dari temperatur puncak menuju ke stabilan. Kematangan kompos terjadi pada temperatur 26-32 oC pada hari ke30. Temperatur ini sama dengan temperatur tanah dan telah sesuai dengan persyartatan kompos matang. Kesesuaian kurva (Curve fitting) Metode yang paling sederhana untuk mencocokkan sebuah kurva terhadap data adalah memplot titik-titik itu, kemudian membuat sketsa sebuah garis yang secara visual memastikan data itu. Walaupun ini adalah sebuah pilihan yang berlaku dan taksiran cepat diperlukan, hasil tersebut tergantung pada titik pandang yang subjektif dari seorang yang mengsketsakan kurva tersebut, hal ini dikemukakan oleh Ghozali (2007). Metode yang paling sering digunakan untuk maksud penaksiran harga-harga tengahan antara titik-titik data yang telah ada adalah interpolasi polinomial. Tujuan interpolasi polinomial ini adalah untuk menentuakan titik antara dari n titik data dengan menggunakan pendekatan fungsi polinomial. Formula umum untuk sebuah polinomial orde ke n adalah:
60 y = 1E-06x5 - 0.000x4 + 0.012x3 - 0.328x2 + 3.006x + 32.42 R² = 0.979
50
Temperatur ( C)
40 30
Tumpukan Luar bak
20 10 0 0
10
20
30
40
50
Hari ke
Gambar 8 Curve fitting untuk variasi satu
60
30 Untuk n+1 tititk-titik data terdapat satu dan hanya satu polinomial orde ke-n atau kurang yang melewati semua titik. Interpolasi polinomial ini kemudian memberikan sebuah formula untuk menghitung nilai-nilai antara. Dalam kasus ini pertimbangan perencanaan dan alokasi sumber diperlukan untuk dapat memprediksikan bagaimana perubahan tersebut sebagai fungsi terhadap waktu, sehingga diharapkan dapat memeriksa data ini dengan memakai teknik ekstrapolasi, dan dapat ditaksirkan berapa temperatur pada hari ke-75 dan ke-100. 60
Temperatur (ᵒC)
50
y = 7E-07x5 - 0.000x4 + 0.006x3 - 0.132x2 + 0.452x + 38.21 R² = 0.931
40 30
Tumpukan Luar bak
20 10 0 0
10
20
30 Hari ke
40
50
60
Gambar 9 Curve fitting untuk variasi dua Setiap variasi pengomposan sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahwa setiap temperatur terjadi kenaikan drastis pada minggu pertama pegomposan. Penyesuaian kurva pada setiap variasi tersebut mengunakan polinomial interpolasi orde lima yang mendekati titik antara, hal ini dibutikan dengan nilai koefisien determinan (R2) mendekati satu. Koefisien determinasi digunakan untuk mengetahui seberapa besar hubungan dari beberapa variabel dalam pengertian yang lebih jelas. 60 y = 3E-07x5 - 4E-05x4 + 0.001x3 - 0.003x2 - 0.971x + 48.54 R² = 0.880
Temperatur ( C)
50 40
Tumpukan
30
Luar bak
20 10 0 0
10
20
30 Hari ke
40
50
Gambar 10 Curve fitting untuk variasi tiga
60
31 60
y = -2E-07x5 + 3E-05x4 - 0.001x3 + 0.062x2 - 1.525x + 48.91 R² = 0.868
Temperatur ( C)
50 40
Tumpukan
30
Luar bak
20 10 0 0
10
20
30 Hari ke
40
50
60
Gambar 11 Curve fitting untuk variasi empat Koefisien determinasi akan menjelaskan seberapa besar perubahan atau variasi pada variabel yang lain (Santos dan Porta Nova 2006.). Dalam bahasa sehari-hari adalah kemampuan variabel bebas untuk berkonstribusi terhadap variabel tetapnya dalam satuan persentase. Ghazali (2007) koefesien determinan (coefficien of determination) atau R2 digunakan untuk mengukur proporsi variasi variabel terikat yang dijelaskan oleh variabel penjelas (variabel bebas). Definisi khusus ini memiliki penafsiran yang falid (falid interpretation)apaila model estimasi (model regresi) mengandung konstanta. Koefesien determinan disesuaikan (adjustet R2) digunakan untuk membandingkan dua model estimasi apabila banyaknya variabel penjelas tidak sama misalnya model estimasi satu memiliki variabel penjelas sebanyak 4 buah dan model estimasi dua memiliki variabel penjelas sebanyak 4 buah dan model estimasi dua memiliki variavel penjelas sebanyak 4 buah dan model estimasi 2 memiliki variabel penjelas sebanyak 5 buah. Nilai koefisien ini antara nol dan satu, jika hasilnya lebih mendekati angka nol berarti kemampuan variabel-variabel independen dalam menjelaskan variasi variabel amat terbatas. Tapi jika hasil mendekati angka satu berarti fariabelfariabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel dependen. Koefisien determinasi (R2) merujuk kepada kemampuan dari variabel independen (X) dalam menerangkan variabel dependen (Y). Berikut grafik penyesuaian kurva untuk semua variasi serta persamaan yang digunakan setiap kurva tersebut. Luas lahan pengomposan Luas lahan pengomposan sangat tergantung kepada kapasitas kompos yang akan diproduksi dapat ditentukan dengan mengetahui volume maksimum sampah yang diproses menjadi kompos (Yulianto 2009). Penelitian ini ukuran ketinggian tumpukan yang digunakan adalah 1 m. Yulianto (2009) menyebutkan ukuran ketinggian yang ideal adalah maksimum 1.5 m, sedangkan panjang dan lebar disesuaikan dengan kapasitas produksi dan luasan ruang pengomposan. Hasil produksi kompos dapat diperkirakan dari jumlah total volume sampah yang
32 diolah. Dalam proses pengomposan terjadi penyusutan bahan baku sampah organik menjadi kompos yang berkisar antara 40-60%, hal ini tergantung dari kadar air awal bahan baku. Perhitungan hasil produksi kemudian digunakan untuk menentukan kapasitas gudang dan distribusi pemasaran kompos. Pengomposan dengan sistem natural static pile ini, menggunakan 4 bak pengomposan. Dua bak yang besar berukuran panjang 175 cm dan lebar 110 cm, dan dua bak yang lebih kecil berukuran panjang 120 cm dan lebar 110 cm. Sehingga, jumlah luasan total bak pengomposan yang digunakan adalah 6.5 m2. Sedangkan jumlah total sampah pasar dan kotoran kambing masing-masing 4.6 m3 dan 1.4 m3. Jadi untuk mengomposkan bahan baku berupa limbah padat organik pasar dan kotoran kambing sebanyak 6 m3, membutuhkan luas lahan 6.5 m2 sebagai tempat pengomposan. Dapat disimpulkan bahwa untuk 1 m3 sampah pasar 77% dan kotoran kambing 23% membutuhkan luas 1.1 m2. Limbah padat tujuh pasar tradisional Kota Bogor yang dikelola oleh Koperasi pasar (KOPPAS) di bawah PD Pasar Pakuan Jaya sebanyak 115 m 3 per hari. Bila akan dikomposkan, maka Jumlah tersebut dikurangi 10% sampah anorganik. Sehingga limbah padat organik yang dapat dikomposkan adalah 103.5 m3, membutuhkan tempat pengomposan dengan luas 114 m2. Jika semua limbah padat organik pasar Kota Bogor dikomposkan, maka luas yang dibutuhkan adalah 297 m3 dikalikan dengan 1.1 m2 sama dengan 327 m2 per hari. Besarnya luas yang dibutuhkan, hendaknya sistem ini dilaksanakan berdampingan dengan TPA (Tempat Pembuangan Akhir) yang jauh dari kepadatan penduduk. Karakteristik Kompos Kematangan kompos Parameter atau kriteria kematangan kompos bervariasi tergantung dari bahan asal kompos, kondisi dan proses dekomposisi selama pengomposan. Gaur (1981) menyatakan bahwa ada beberapa parameter untuk menentukan kematangan kompos yaitu: 1) Karakteristik fisik, seperti suhu, warna, tekstur, dan besarnya kelarutan dalam larutan natrium hidroksida atau natrium fosfat; 2) Nisbah C/N, status dari kandungan hara tanaman, dan nilai kompos yang ditunjukkan oleh uji tanaman; 3) Tidak berbau dan bebas dari patogen, parasit dan biji rumput-rumputan. Setelah semua proses pembuatan kompos dilakukan, mulai dari pemilihan bahan, pengadaan bahan, perlakuan bahan, penyusunan bahan, pencampuran bahan, pengamatan proses sampai menjadi kompos. Selanjutnya pengetesan sederhana terhadap kompos. Apakah kompos yang ada sudah jadi dengan abaik dan apasaja ciri-cirinya. Menurut Queda et al. (2010) ciri-ciri kompos sudah jadi dan baik dapat diamati dari warna dan aroma. Warna kompos biasanya coklat kehitaman dan kompos yang baik tidak mengeluarkan aroma yang menyengat, tetapi mengeluarkan aroma lemah seperti bau tanah atau bau humus hutan. Apabila dipegang dan dikepal, kompos akan menggumpal dan apabila ditekan dengan lunak, gumpalan kompos akan hancur dengan mudah. Hasil yang didapatkan dalam penelitian ini baik variasi satu, dua, tiga dan empat pada minggu ke delapan sama seperti yang dikemukakan oleh Queda et al. (2010). Warna kompos sudah berubah dari warna bahan bakunya yaitu warna kecoklat
33 kehitaman dan tidak mengeluarkan aroma yang menyengat, hal ini terjadi pada keempat variasi yang dilakukan pengomposan. Bahan organik yang dikomposkan dngan sistem naturan static pile, mengalami penyusutan bobot karena adanya penyusutan kadar air, penguapan beberapa jenis gas seperti CO2 dan senyawa-senyawa volatil sebagai hasil dari aktivitas mikroba. Penyusustan bobot bahan sisa mencapai 43-65% bila bahan yang dikomposkan telah mengalami dekomposisi. Data hasil akhir pengomposan dan bobot total dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Berat awal, berat akhir kompos dan berat bahan yang hilang pada setiap variasi
1 2 3 4
Berat awal (kg) 600 300 467 217
Berat akhir kompos (kg) (%) 342 57 105 35 204 44 79 36
Total
1584
730
Variasi
46
Berat bahan yang hilang (kg) (%) 258 43 195 65 263 56 138 64 854
54
Hasil pengukuran di lapangan produksi total kompos untuk semua perlakuan menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kadar air yang relatif sama pada kompos yang dihasilkan. Rata-rata bahan yang dikomposkan mengalami penyusutan yang berbeda yaitu 43% untuk variasi satu, 65% untuk variasi dua, 56% untuk variasi tiga dan 64% untuk variasi empat. Sedangkan proses dekomposisi yang terjadi pada veriasi dua sangat jelas terlihat perbedaannya dengan variasi lain, ini diakibatkan karena bahan awal yang digunakan hanya sampah pasar yang mengandung kadar air lebih tinggi, tanpa ada proses campuran kotoran kambing. Kadar air tersebut hilang pada saat proses dekomposisi, sehingga berat bahan yang hilang mencapai 64%. Kualitas kompos Kompos dapat digunakan sebagai bahan penyubur tanah, kompos harus benar-benar stabil (matang). Beberapa metode dan parameter yang di uji untuk menentukan derajat kestabilan kompos, antara lain: (1) karbon/nitrogen (rasio C/N), (2) stabilitas terhadap pemanasan, (3) reduksi dalam bahan organik, dan (4) parameter humifikasi. Penelitian lain menunjukkan indikator kematangan kompos seperti disajikan pada (Tabel 9) antara lain penetapan rasio C/N, pH, KTK, sedangkan sifat-sifat yang perlu diketahui pada tingkat petani yaitu warna kompos dan aroma. Kompos yang sudah matang berwarna coklat gelap dan berbau tanah (earthy) (Kumar, 2010). Penentuan kualitas kompos dilihat dari tingkat kematangan kompos dan kandungan nutrien yang terkandung dalam kompos. Tingkat kematangan kompos sebagaimana telah dijelaskan pada bahasan sebelumnya, dapat diketahui dari beberapa indikator, antara lain temperatur, bau, tekstur, rasio C/N, kandungan hara kapasitas tukar kation (KTK) seperti disebutkan pada Tabel 9.
34 Tabel 9 Beberapa indikator kematangan kompos Paramater
Indikator
Suhu pH C/N rasio Laju respirasi Warna Bau KTK
Stabil Alkalis < 20 < 10 mm g-1 kompos Coklat tua Tanah > 60 me/100 g abu
Sumber: Simamora dan Salundik (2006) Analisis mutu kompos secara komposit dilakukan hanya terhadap rasio C/N, kapasitas tukar kation (KTK) dan kandungan unsur makro yang dibutuhkan oleh tanaman yaitu N, P dan K. Karakteristik fisik kompos matang pada penelitian ini dapat dilihat secara langsung pada hari terakhir pengomposan. Analisis kondisi fisik kompoas matang terdiri dari berat akhir kompos, bau warna dan bentuk akhir kompos. Bila diperhatikan berdasarkan berat bahan yang dikomposkan telah mengalami penyusutan yang berarti, maka menandakan bahwa kompos telah matang. Kompos yang dihasilkan sudah berubah, tidak terlihat ada sampah sayur yang semula merupakan bahan baku. Selain perubahan berat, perubahan yang sangat jelas juga terjadi pada tinggi permukaan bak pengomposan yang dilakukan pengukuran setiap hari lampiran 4, pada minggu ke-6 tidak terjadi lagi perubahan volume, menunjukkan bahwa kompos sedah matang. Volume bahan yang hilang adalah gas hasil penguraiaan oleh mikroba yang terbuang ke udara, misanya amonia dan uap air sehingga menyebabkan berat bahan akhir menjadi berkurang. Kompos yang telah matang berbau seperti tanah, karena materi yang dikandung sudah menyerupai materi tanah dan berwarna coklat kehitaman, yang terbentuk akibat pengaruh bahan organik yang sudah stabil. Sedangkan bentuk akhir sudah tidak menyerupai bentuk aslinya karena sudah hancur akibat penguraian alami oleh mikroorganisme yang hidup di dalam kompos. Hal ini sesuai dengan standar SNI 19-7030-2004. Karakteristik kompos Setelah matang pada hari ke-30, dan setelah melalui proses pendinginan, kompos dikeluarkan dari tempat tumpukan untuk dilakukan proses pengeringan selama dua hari. Sebelum digunakan sebagai pupuk organik bagi tanaman, diambil beberapa sampel untuk dilakukan uji laboratorium akhir, hal ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik kompos matang. Uji karakteristik kompos matang meliputi beberapa parameter yaitu C-organik, N-total, rasio C/N, kadar air, temperatur dan pH seperti yang disajikan pada Tabel 10.
35 Tabel 10 Analisis kandungan hara dan justifikasi kualitas kompos Paramater
Variasi bahan kompos
Satuan
SNI 19-7030-2004
1
2
3
4
Min.
Maks. 32
C-organik
%
17.7
11.8
22.4
28.5
9.8
N-total
%
1.7
1.5
1.0
1.4
0.4
10
8**
18
16
10
C/N
20
Phosfor (P2O5)
%
0.7
1.0
0.3
0.5
0.1
Kalium (K2O)
%
0.13**
0.7
0.5
0.9
0.2
*
Besi (Fe)
%
0.81
0.48
0.79
0.67
*
2.00
Mangan (Mn)
%
0.1
0.02
0.05
0.04
mg/kg
2
9
3
2
%
44
41
33
35
Cobalt (Co)
0.1 *
34
50 Suhu air Temperatur ᵒC 26 27 27 26 tanah pH 7 7 7 7 6.8 7.5 Keterangan: * Nilainnya lebih besar dari minimum atau lebih kecil dari maksimum ** Tidak sesuai dengan SNI Kadar air
Tabel 10 menjelaskan bahwa C-organik kompos untuk semua variasi memenuhi rentang C-organik dalam SNI 19-7030-2004. Kandungan C-organik kompos semua variasi menunjukkan bahwa proses dekomposisi sudah sempurna hal ini disebabkan karena kandungan C-organik awal dari kompos variasi satu, dua, tiga dan empat sudah cukup rendah yaitu masing-masing 17.7 %, 11.8 %, 22.4 % dan 28.5 %. Kandungan N-total seluruh variasi kompos telah memenuhi persyaratan SNI (minimum 0.4 %). Nilai N-total kompos untuk semua variasi tidak berbeda jauh yaitu 1.03% sampai 1.70%. Hal ini disebabkan karena semua variasi kompos memiliki pori-pori tumpukan kompos yang sama besar, sehingga proses dekomposisi oleh mikroorganisme tidak terhambat karena pori-pori kompos. Poses dekomposisi oleh mikroorganisme yang menghasilkan amonia dan nitrogen terlepas ke udara berada dalam jumlah yang lebih besar. Rasio C/N kompos variasi dua tidak berada pada rentang rasio C/N yang disyaratkan SNI 19-7030-2004. Sedangkan kompos variasi satu, tiga dan empat berada pada rentang yang disyaratkan SNI. Kompos variasi dua tidak memenuhi syarat rasio C/N yang terlalu kecil yaitu 8, mengakibatkan mikroba akan kelebihan N untuk sintesis protein sehingga bahan baku yang digunakan sangat cepat terdekomposisi. Hal ini sangat dipengaruhi oleh bahan baku pengomposan, karena hanya menggunakan sampah sayur saja. Sedangkan bahan penyusun kompos variasi satu, tiga dan empat mengandung kotoran kambing. Kotoran kambing merupakan penyedia unsur P bagi mikroorganisme, sehingga mikroorganisme yang terdapat dalam kompos variasi tersebut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Perbaikan kualitas kompos yang belum memenuhi persyatatan SNI 197030-2004 dapat dilakukan dengan penambahan bahan organik sehingga dapat meningkatkan kandungan unsur hara yang kurang, ataupun penambahan bahan