4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pembuatan Gel Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) Penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan frekuensi pencucian terbaik pada surimi ikan nila merah. Penelitian ini berupa perhitungan rendemen, uji lipat, uji gigit, pengujian protein larut garam dan kekuatan gel. Perlakuan pada penelitian pendahuluan yaitu banyaknya pencucian daging lumat yang dilakukan (1 kali, 2 kali, dan 3 kali) dengan penambahan cryoprotectant berupa STPP 0,25% untuk tiap perlakuan. 4.1.1 Rendemen Rendemen merupakan bagian yang dapat dimanfaatkan dari suatu individu atau biota. Semakin tinggi rendemennya maka nilai ekonomisnya pun akan semakin tinggi pula. Hasil perhitungan rendemen daging dan surimi ikan nila merah yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Rendemen daging dan surimi ikan nila merah (Oreochromis sp) Bobot (gr) Ikan daging utuh (fillet) 6000 1500
Rendemen daging (%) 25
Bobot daging lumat dibagi 3 (gr)
Bobot surimi Frekuensi pencucian 1 2 3 1 2 3 500 500 500 389 378 367 Rendemen Surimi (%) 19,45 18,9 18,35
Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa rendemen daging ikan nila merah sebesar 25%, sedangkan rendemen surimi ikan nila yang dihasilkan berturut-turut sebesar 19,45%; 18,9%; 18,35%. Rendemen daging lebih kecil jika dibandingkan dengan hasil penelitian Filho (2010) sebesar 30%-35%. Hal ini dapat disebabkan oleh habitat atau lingkungan dan cara makan. Setelah pencucian, rendemen akan semakin berkurang akibat pelepasan atau hilangnya komponen-komponen lain seperti darah, lemak, serta protein larut air. Semakin banyak frekuensi pencucian maka akan menurunkan bobot surimi yang dihasilkan (Suzuki 1981).
28
4.1.2 Uji lipat Uji lipat merupakan salah satu pengujian sensori awal bertujuan untuk menentukan serta memastikan kekuatan gel dan elastisitas surimi oleh para panelis (Shaviklo, 2006). Berdasarkan hasil analisis Kruskal Wallis dapat diketahui nilai Asymsig > 0,05 Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai pengujian uji lipat. Berikut adalah hasil pengujian uji lipat dapat dilihat pada Gambar 5.
4,73
4,75 4,7
4,67
4,65 4,6
4,57
4,55 4,5 4,45 Pencucian 1 kali Pencucian 2 kali
Pencucian 3 kali
Gambar 5 Histogram nilai rata-rata uji lipat gel ikan nila merah (Oreochromis sp) Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai frekuensi pencucian 2 kali menunjukkan nilai uji lipat yang terbesar yaitu, 4,73 sedangkan nilai terkecil ditunjukkan oleh frekuensi pencucian 1 kali sebesar 4,57. Berdasarkan Gambar 5. dapat dilihat bahwa tendensi penilaian uji lipat terhadap produk gel ikan mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya frekuensi pencucian. Uji lipat dapat dikaitkan dengan kemampuan elastisitas produk. Elastisitas produk sosis atau produk berbasis gel dapat disebabkan oleh kandungan protein myofibril yaitu aktin dan miosin, kualitas air cucian, pH daging, temperatur air, kadar air, kekuatan ionik dan tendensi hidrophilik (Sonu, 1986). 4.1.3 Uji gigit Uji gigit merupakan salah satu pengujian sensori awal bertujuan untuk mengevaluasi resiliensi dan elastisitas surimi oleh para panelis. Uji gigit dilakukan
29
dengan cara menggigit bagian contoh yang memiliki ketebalan ± 5 mm dengan menggunakan gigi bagian depan dan dikonversikan ke dalam tabel yang telah disediakan (Shaviklo, 2006). Berdasarkan hasil analisis Kruskal Wallis dapat diketahui nilai Asymsig < 0,05 Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan frekuensi pencucian memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai pengujian uji gigit. Berikut adalah hasil pengujian uji lipat dapat dilihat pada Gambar 6.
8,6 8,4 8,2 8 7,8 7,6 7,4 7,2 7 6,8 6,6
b
8,47
a
7,53 7,27a
Pencucian 1 kali
Pencucian 2 kali
Pencucian 3 kali
Gambar 6 Histogram nilai rata-rata uji gigit gel ikan nila merah (Oreochromis sp) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 6 menunjukkan surimi dengan frekuensi pencucian 2 kali berbeda nyata dengan surimi frekuensi 1 kali dan 3 kali. Nilai frekuensi pencucian 2 kali menunjukkan nilai uji gigit yang terbesar yaitu, 8,47 sedangkan nilai terkecil ditunjukkan oleh frekuensi pencucian 1 kali sebesar 7,27. Menurut Cross (1986) mengatakan bahwa prinsip pengujian atau evaluasi yang berkaitan dengan tekstur atau keempukan dapat dianalisis atau dieliminasi oleh para panelis yang dapat dievaluasi saat itu juga. Panelis cenderung menyukai perlakuan pencucian kedua dengan nilai tertinggi uji gigit sebesar 8,47 yang tidak terlalu keras maupun tidak terlalu lunak. Kondisi produk seperti ini dapat terjadi karena perbedaan jumlah jaringan daging, jumlah simpanan lemak, temperatur contoh dan lama waktu produk tersebut diuji. Hal-hal ini biasanya saling berhubungan saat pengujian.
30
4.1.4 Protein larut garam Protein larut garam adalah protein yang akan larut dalam larutan garam tertentu berupa protein miofibril. Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketaihui nilai Asymsig > 0,05 Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan frekuensi pencucian tidak memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai pengujian protein larut garam. Berikut adalah hasil pengujian protein larut garam dapat dilihat pada Gambar 7.
8
6,92
7
6,67
6
5,13
5 4 3 2 1 0 Pencucian 1 kali
Pencucian 2 kali
Pencucian 3 kali
Gambar 7 Histogram nilai rata-rata uji protein larut garam surimi ikan nila merah (Oreochromis sp) Gambar 7 menunjukkan bahwa nilai frekuensi pencucian 1 kali menunjukkan nilai uji lipat yang terbesar yaitu, 6,92 sedangkan nilai terkecil ditunjukkan oleh frekuensi pencucian 3 kali sebesar 5,13. Kandungan protein larut garam atau myofibril dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kualitas air pencucian antara lain kekuatan ionik atau konsentrasi garam inorganik, pH dan temperature. Kekuatan ionik air pencucian dapat menyebabkan daging akan cenderung mengembang. Jika kekuatan ionik air tersebut kecil maka sel-sel daging akan mengembang sehingga sulit mengeluarkan air dari surimi akan menyebabkan kandungan air surimi yang relatif tinggi (Toyoda, 1992). Hal itulah yang diduga
menyebabkan semakin banyak frekuensi
pencucian akan
menurunkan protein larut garam pada surimi tersebut. Menurut Hossain (2004) mengatakan bahwa pada proses pencucian yang berlebihan setelah protein sarkoplasmik telah dihilangkan dari daging. Pencucian selanjutnya akan
31
menyebabkan kehilangan lebih lanjut protein myofibril dari daging. Oleh karena itu, akan meningkatkan penggunaan air cucian dan treatment buangan air cucian serta kehilangan protein myofibril lebih lanjut. 4.1.5 Kekuatan gel Kekuatan gel merupakan salah satu indeks kualitas produk yang dapat diukur berdasarkan spesies, musim dan perlakuan lainnya dengan satuan gf atau g force (Kongpun, 1999).
Berdasarkan hasil sidik ragam dapat diketahui nilai
Asymsig < 0,05 Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan frekuensi pencucian memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap nilai pengujian kekuatan gel. Berikut adalah hasil pengujian gel ikan terhadap kekuatan gel yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 8. 1000
b
940,96
b
948,03
900 800 700
638,13a
600 500 400 300 200 100 0 Pencucian 1 kali Pencucian 2 kali Pencucian 3 kali
Gambar 8 Histogram nilai rata-rata uji kekuatan gel gel ikan nila merah (Oreochromis sp) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Gambar 8 menunjukkan kekuatan gel surimi dengan frekuensi pencucian 3 kali berbeda nyata dengan surimi frekuensi 1 kali dan 2 kali, sedangkan kekuatan gel dengan pencucian 1 kali dan 2 kali tidak berbeda nyata terhadap kekuatan gel. Nilai frekuensi pencucian 2 kali menunjukkan nilai kekuatan gel yang terbesar yaitu, 948,03 sedangkan nilai terkecil ditunjukkan oleh frekuensi pencucian 3 kali sebesar 648,13.
32
Jumlah frekuensi pencucian dapat diperlukan bergantung pada jenis ikan, komposisi dan tingkat kesegaran ikan yang ingin di proses. Proses pencucian bertujuan untuk menghilangkan bahan-bahan yang larut dalam air seperti protein sarkoplasmik, enzim pencernaan dan bahan organik molekular rendah setra menghilangkan lemak dan darah untuk meningkatkan kualitas warna dan aroma serta meningkatkan kekuatan gel surimi. Secara umum, kekuatan gel akan meningkat sampai dengan pencucian kedua. Hal ini dapat terjadi karena diduga fungsi dari konsentrasi protein myofibril sudah tercapai pada level tertingginya sehingga proses pencucian selanjutnya tidak diperlukan untuk meningkatkan kekuatan gel surimi (Toyoda et al. 1992). Selain itu, peningkatan konsentrasi protein dapat menyebabkan peningkatan pada kekuatan gel surimi serta kandungan lemak yang relatif tinggi dapat menurunkan kekuatan gel surimi (Reinheimer, 2010). Kandungan lemak pada daging pun akan semakin menurun ketika frekuensi pencucian ditingkatkan (Pattaravivat et al., 2008). Menurut Sonu (1986) mengatakan bahwa peningkatan kekuatan gel dapat dilakukan dengan cara frekuensi pencucian ditingkatkan atau ditambah tetapi kenaikan kekuatan gel dapat juga dipengaruhi oleh kualitas air cucian yaitu daya isoelektrik yang berhubungan dengan tingkat tendensi hidrophilik. Jika tingkat tendensi hidrophilik rendah dapat menyebabkan penurunan kekuatan gel dan meningkatkan kadar air dalam surimi. 4.2 Penelitan Pembuatan Sosis Ikan Nila Merah (Oreochromis sp) Penelitian utama bertujuan untuk mendapatkan produk sosis yang terbaik. Penelitian ini berupa uji kesukaan atau hedonik, uji lipat, uji gigit, kekuatan gel, Water Holding Capacity, stabilitas emulsi dan proksimat. Perlakuan pada penelitian utama yaitu perbedaan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai. 4.2.1 Karakteristik sensori Pengujian sensori berupa uji hedonik atau uji kesukaan dapat dilakukan untuk menentukan kualitas produk atau bahan makanan yang telah tersedia. Parameter yang dilakukan uji meliputi parameter warna, rasa, aroma, penampakan dan tekstur. Mutu sensorik pangan adalah sifat produk atau komoditas yang hanya dikenali atau dapat diukur dengan proses pengindraan yaitu penglihatan dengan mata, penciuman dengan hidung, pencicipan dengan rongga mulut, perabaan
33
dengan ujung jari tangan atau pendegaran dengan telinga. Mutu organoleptik mempuyai peranan dan makna yang sangat besar dalam penilaian mutu produk (Soekarto, 1990). 4.2.1.1 Warna Warna adalah salah satu pendekatan fisik karakteristik produk makanan kepada konsumen sebagai dasar apakah produk tersebut dapat diterima konsumen atau tidak (Cross, 1986). Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa nilai Asymsig < 0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter warna pada produk sosis ikan nila merah. Berikut adalah hasil pengujian sosis ikan nila merah terhadap karateristik warna yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 9.
8
7,07c
7
c
6,8
6,33b
6
5,87a
5 4 3 2 1 0 ISP 10%
ISP 13%
ISP 16%
ISP 19%
Gambar 9 Histogram nilai rata-rata parameter warna sosis ikan nila merah (Oreochromis sp) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan
Gambar
9
menunjukkan
bahwa
perlakuan
dengan
penambahan isolat protein kedelai sebesar 10% dan 13% tidak berbeda nyata dengan karakteristik warna sosis yang dihasilkan, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan penambahan konsentrasi ISP sebesar 16% dan 19%. Sedangkan perlakuan penambahan konsentrasi protein sebesar 16% dan 19% saling berbeda nyata dengan perlakuan penambahan konsentrasi ISP 10% dan 13%.
34
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan isolat protein kedelai mengakibatkan warna produk sosis menjadi semakin gelap atau mengarah pada warna kecoklatan. Menurut Wilson (1981) penambahan bahan tambahan aditif atau bahan lainnya akan menyebabkan perubahan warna seperti bahan tambahan isolat protein kedelai. Penambahan ini akan berdampak pada warna produk yang akan semakin gelap atau kecoklatan serta memunginkan untuk mempercepat proses browning pada produk tersebut. 4.2.1.2 Rasa Rasa adalah sesuatu sesuatu sensasi yang didapatkan oleh indera pengecap atau pencicip manusia berupa asin, asam, pahit, manis dan gurih. Rasa merupakan parameter yang sangat menentukan apakah produk tersebut dapat diterima atau tidak meskipun parameter lainnya sudah diterima atau baik. Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa nilai Asymsig <0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter rasa sosis ikan nila merah. Berikut adalah hasil uji hedonik sosis ikan nila merah terhadap parameter rasa dapat dilihat pada Gambar 10.
7,4
c
7,27
7,2
6,9b
7
b
6,73
6,8 6,6 6,4
6,13a
6,2 6 5,8 5,6 5,4 ISP 10%
ISP 13%
ISP 16%
ISP 19%
Gambar 10 Histogram nilai rata-rata parameter rasa sosis ikan nila merah (Oreochromis sp) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
35
Gambar 10 menunjukkan bahwa perlakuan dengan penambahan isolat protein kedelai sebesar 13% dan 16% tidak berbeda nyata terhadap parameter rasa pada produk sosis ikan nila merah, sedangkan berbeda nyata dengan penambahan ISP sebesar 10% dan 19%. Perlakuan penambahan isolat protein kedelai 10% berbeda nyata dengan penambahan isolat protein kedelai 19%. Berdasarkan Gambar 10 dapat dilihat bahwa nilai tertinggi terdapat pada penambahan isolat protein kedelai 10% sebesar 7,27 dan akan semakin menurun dengan seiringnya penambahan isolat protein kedelai. Rasa isolat protein kedelai yang cenderung pahit akan berakibat pada penurunan penerimaan panelis terhadap produk tersebut. Konsentrasi penggunaan ikan nila merah sebagai bahan baku utama yang semakin berkurang dapat menyebabkan rasa sosis atau produk akan semakin berkurang atau menghilang dan muncul rasa pahit. Selai itu, rasa produk pun dapat dipengaruhi oleh bahan pengisi dan bumbu-bumbu yang ditambahkan. 4.2.1.3 Aroma Aroma adalah salah satu pendekatan fisik karakteristik produk makanan kepada konsumen sebagai dasar apakah produk tersebut dapat diterima konsumen atau tidak (Cross, 1986). Aroma sangat menentukan penerimaan produk tersebut terhadap konsumen karena tanpa melihatnya pun konsumen dapat membayangkan seperti apa produk tersebut. Berikut adalah hasil pengujian parameter aroma sosis ikan nila merah pada Gambar 11. 6,85
6,8
6,8 6,75
6,7
6,7 6,65
6,6
6,6
6,57
6,55 6,5 6,45 ISP 10%
ISP 13%
ISP 16%
1SP 19%
Gambar 11 Histogram nilai rata-rata parameter aroma sosis ikan nila merah (Oreochromis sp)
36
Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa nilai Asymsig >0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter aroma sosis ikan nila merah. Aroma sosis ikan cenderung sama yaitu, aroma khas ikan nila yang cukup kuat serta dipengaruhi oleh bumbu-bumbu yang ditambahkan ke dalam adonan sosis ikan. Selain itu, aroma dapat disebabkan oleh bahan baku yang digunakan dan penggunaan metode pemasakan serta perlakuan sebelum pemasakan (Cross, 1986). 4.2.1.4 Penampakan Penampakan adalah salah satu pendekatan fisik karakteristik produk makanan kepada konsumen sebagai dasar apakah produk tersebut dapat diterima konsumen atau tidak (Cross, 1986). Penampakan merupakan gabungan dari intrepretasi warna ataupun bentuk. Berikut adalah hasil pengujian kesukaan parameter penampakan sosis ikan nila merah yang dapat dilihat pada Gambar 12.
6,8 6,75
6,77 6,73 6,7
6,7
6,63
6,65 6,6 6,55 ISP 10%
ISP 13%
ISP 16%
ISP 19%
Gambar 12 Histogram nilai rata-rata parameter penampakan sosis ikan nila merah (Oreochromis sp) Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa nilai Asymsig >0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter aroma sosis ikan nila merah. Penampakan sosis ikan nila merah cenderung sama yaitu, kompak dan lentur. Penambahan isolat protein kedelai befungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki tekstur dan flavour produk
37
sehingga memengaruhi penampakan produk (Mervina, 2009). Selain itu, penambahan isolat protein kedelai dapat meningkatkan struktur akhir produk daging, menstabilkan proses emulsifikasi sehingga didapatkan produk yang stabil (Young, 1985). 4.2.1.5 Tekstur Tekstur merupakan salah satu parameter dalam menentukan kualitas atau mutu suatu produk. Tekstur dapat dihubungkan dengan keadan atau sifat penyerapan air (juiciness) dan keempukan dari produk tersebut. Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa nilai Asymsig <0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter aroma sosis ikan nila merah. Berikut adalah hasil pengujian kesukaan parameter tekstur sosis ikan nila merah yang dapat dilihat pada Gambar 13.
8 7 6
c
6,3b
6,93
7,3d
a
5,5
5 4 3 2 1 0 ISP 10%
ISP 13%
ISP 16%
ISP 19%
Gambar 13 Histogram nilai rata-rata parameter tekstur sosis ikan nila merah (Oreochromis sp) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan Gambar 13 menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 10% berbeda nyata dengan semua perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 13%, 16% dan 19%. Perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 13% berbeda nyata dengan semua perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 10%, 16% dan 19%. Perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 16% berbeda nyata
38
dengan semua perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 10%, 13% dan 19%. Perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 19% berbeda nyata dengan semua perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 10%, 13% dan 16%. Dapat dilihat pada Gambar 13 nilai tertinggi atau perlakuan yang paling disukai oleh panelis terhadap parameter tekstur adalah penambahan isolat protein kedelai sebesar 19% dengan nilai 7,3 dan akan semakin menurun seiring dengan perlakuan yang dilakukan. Kinsella (1985) bahwa isolat protein kedelai yang digunakan dalam pembuatan sosis dapat meningkatkan daya ikat air yang dapat menyebabkan kenaikan nilai tekstur. Kenaikan nilai tesktur pun akan seiring atau berbanding lurus dengan nilai kekuatan gel. Selain itu, ada faktor-faktor lain yang dapat menentukan nilai tekstur atau keempukan yaitu, gigitan pertama pada saat kunyahan pertama, kemudahan produk untuk pecah ke bentuk fragmen dan jumlah residu yang tersisa setelah mengunyah. Perubahan keempukan dan sifat air produk sangat berhubungan. Produk atau daging sedikit tidak berair akibat memperpanjang proses pemasakan, begitupun dengan kempukan produk (Cross, 1986). Adapun protein kedelai akan bercampur dengan produk untuk meningkatkan karakteristik tekstur. Efek penambahan tofu yang terbuat dari kacang kedelai berpengaruh pada peningkatan tekstur emulsifikasi gel dengan penambahan bubuk tofu. Penambahan tersebut akan meningkatkan kekuatan dan stabilitas struktur gel matriks serta retensi kelembaban. Selain itu, akan mengakibatkan struktur gel lebih tebal dan berisi (Panyathitipong, 2010). 4.2.2 Karakteristik Fisik Sifat fisik merupakan sifat-sifat yang dapat diukur dengan alat-alat tertentu Pengujian ini dapat dilakukan untuk menentukan kualitas elastisitas produk atau bahan makanan yang telah tersedia antara. (Soekarto, 1990). Pengujian karakteristik
fisik
berupa
uji
lipat,
uji
gigit,
kekuatan
gel
serta
water holding capacity. 4.2.2.1 Uji lipat Uji lipat merupakan salah satu pengujian sensori awal bertujuan untuk menentukan serta memastikan kekuatan gel dan elastisitas surimi oleh para
39
panelis (Shaviklo, 2006). sosis ikan nila merah. Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa nilai Asymsig <0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter uji lipat sosis ikan nila merah.Berikut adalah hasil pengujian uji lipat dapat dilihat pada Gambar 14.
c
5 4,5 4 3,5 3
4,5 b
3,3a
3,67
3,83b
2,5 2 1,5 1 0,5 0 ISP 10%
ISP 13%
1SP 16%
ISP 19%
Gambar 14 Histogram nilai rata-rata parameter uji lipat sosis ikan nila merah (Oreochromis sp) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan Gambar 14 menunjukkan bahwa perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 13% dan 16% tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter uji lipat sosis ikan nila merah. Pada perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 10% dan 19% memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 13% dan 16%, sedangkan perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 10% berbeda nyata dengan perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 19%. Dapat dilihat pada Gambar 14 nilai uji lipat tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan isolat protein 19% dengan nilai 4,5 dan semakin menurun seiring dengan menurunnya konsenrasi isolat protein yang ditambahkan. Kenaikan nilai uji lipat akan sebanding atau berbanding lurus dengan kenaikan kekuatan gel. Hal ini dapat disebabkan oleh karena meningkatnya kemampuan kapasitas produk atau sosis dalam daya keretakan dan daya ketegangan. Selain itu, penambahan
40
isolate protein dapat meningkatkan daya pembentukan gelasi sehingga meningkatkan nilai uji lipat (Niwa, 1992). 4.2.2.2 Uji gigit Uji gigit merupakan salah satu pengujian sensori awal bertujuan untuk mengevaluasi resiliensi dan elastisitas surimi oleh para panelis. Uji gigit dilakukan dengan cara menggigit bagian contoh yang memiliki ketebalan ± 5 mm dengan menggunakan gigi bagian depan dan dikonversikan ke dalam tabel yang telah disediakan (Shaviklo, 2006). Berdasarkan hasil analisis Kruskal-Wallis dapat diketahui bahwa nilai Asymsig <0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter uji gigit sosis ikan nila merah. Berikut adalah hasil pengujian uji gigit dapat dilihat pada Gambar 15. c
8 7
b
7,13 a
7,6
a
6,2
6,27
ISP 10%
ISP 13%
6 5 4 3 2 1 0 ISP 16%
ISP 19%
Gambar 15 Histogram nilai rata-rata parameter uji gigit sosis ikan nila merah (Oreochromis sp) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan Gambar 15 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 10% dan 13% tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter uji gigit sosis ikan nila merah. Pada perlakuan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 16% memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan penmbahan konsentrasi isolat protein 19% terhadap parameter uji gigit sosis ikan nila merah.
41
Menurut Cross (1986) mengatakan bahwa prinsip pengujian atau evaluasi yang berkaitan dengan tekstur atau keempukan dapat dianalisis atau dieliminasi oleh para panelis yang dapat dievaluasi saat itu juga. Panelis cenderung memilih sosis dengan nilai tertinggi yaitu perlakuan penambahan isolat protein 19% sebesar 7,6. Semakin Kondisi produk seperti ini dapat terjadi karena perbedaan jumlah jaringan daging, jumlah simpanan lemak, temperatur contoh dan lama waktu produk tersebut diuji. Hal-hal ini biasanya saling berhubungan saat pengujian. Menurut Mervina (2009) penambahan isolat protein kedelai berfungsi sebagai zat aditif untuk memperbaiki tekstur dan flavour produk sehingga memengaruhi penampakan produk mengakibatkan nilai uji gigit pun meningkat. 4.2.2.3 Kekuatan gel Kekuatan gel merupakan salah satu indeks kualitas produk yang dapat diukur berdasarkan spesies dan dipenguruhi oleh musim serta perlakuan lainnya dengan satuan gf atau g force (Kongpun, 1999). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa nilai Asymsig <0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter kekuatan gel sosis ikan nila merah. Berikut adalah hasil pengujian kekuatan gel sosis ikan nila merah dapat dilihat pada Gambar 16.
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0
457,8c 314,23b
322,43b
ISP 13%
ISP 16%
a
247,1
ISP 10%
1SP 19%
Gambar 16 Histogram nilai rata-rata parameter kekuatan gel sosis ikan nila merah (Oreochromis sp) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
42
Berdasarkan Gambar 16 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 13% dan 16% tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter kekuatan gel sosis ikan nila merah. Pada perlakuan penambahan isolat protein kedelai 10% memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan perlakuan penambahan isolat protein kedelai 19%. Kekuatan gel tertinggi terdapat pada penambahan isolat protein kedelai konsentrasi 19% sebesar 457,8 gf dan semakin menurun seiring dengan penurunan penambahan konsentrasi isolat protein kedelai. Penambahan protein non-daging tertentu kedalam surimi untuk membentuk suatu produk mempunyai efek sebagai bahan pengisi. Kekuatan gel produk surimi dengan penambahan isolat protein kedelai mempunyai hubungan yang berbanding lurus dengan derajat denaturasi isolat protein tersebut. Penambahan isolat protein kedelai dapat merubah sifat penyerapan air produk yang menyebabkan dehidrasi dan peningkatan densitas antara matriks protein. Selain itu, penggunaan isolat protein kedelai dapat mempengaruhi daya absorbsi air yang menyebabkan kekerasan atau pembentukan gel meningkat saat proses gelatinisasi (Niwa, 1992). Penurunan penggunaan isolat protein kedelai memungkinkan protein daging dalam formulasi sosis akan digantikan dengan protein kedelai. Adapun faktor yang dapat mempengaruhi kekerasan pada sosis adalah jenis protein antara lain aktin dan miosin (Fawza et al. 2000). Pembentukan gel dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain konsentrasi, pH, adanya komponen lain serta perlakuan panas ketika pemasakan. Protein sebagai penyerap lemak dan penstabillitas emulsi yang dapat digunakan pada bahan pangan (Sathivel et al. 2009). 4.2.2.4 Water Holding Capacity Water Holding Capacity merupakan atribut atau faktor penting dalam gelasi protein yang tidak hanya memengaruhi ekonomi produksi tetapi juga memengaruhi kualitas produknya. Daya mengikat air dapat didefinisikan sebagai kemampuan gel protein untuk mempertahankan air dengan daya gravitional (Shaviklo, 2006). Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dapat diketahui bahwa nilai Asymsig >0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap
43
parameter Water Holding Capacity sosis ikan nila merah. Berikut adalah hasil pengujian WHC dapat dilihat pada Gambar 17. 78
76,73
76,8
ISP 16%
ISP 19%
76 74
71,78
72 70
69,5
68 66 64 ISP 10%
ISP 13%
Gambar 17 Histogram nilai rata-rata parameter WHC sosis ikan nila merah (Oreochromis sp) Berdasarkan Gambar 17 menunjukkan bahwa nilai tertinggi terdapat pada perlakuan penambahan isolat protein 19% sebesar 76,8% dan terkecil pada perlakuan penambahan isolat protein 10% sebesar 69,5%. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa semakin tinggi konsentrasi penambahan ISP maka nilai WHC akan mengingkat. Menurut Kinsella (1985) bahwa isolat protein kedelai yang digunakan dalam pembuatan sosis dapat meningkatkan daya ikat air. Hal ini diduga karena adanya interaksi antara ikatan oligomerik antara trimerik glikoprotein dan glisin yang menggambarkan ikatan intermolekular dan intramolekular,
interaksi
elektrostatik
dan
ikatan
hydrogen
sehingga
meningkatkan daya ikat air atau penyerapan air terhadap produk. Selain itu, bentuk dari isolat protein kedelai yang kompak, stabil dan mempunyai struktur globular menyebabkan air tidak mudah terlepas. Isolat protein kedelai mempunyai nilai penyerapan air sekitar antara 150% sampai 400% (Singh, 2008). Hal ini pun dapat disebabkan oleh adanya ion protein yang berasal dari penambahan ISP yang saling berikatan sehingga meningkatkan kemampuan mengikat air. Isolat protein kedelai bersifat hidrofilik dan dapat menyatu dengan produk olahan daging untuk mengurangi terjadinya cooking loss (Zhang et al. 2010).
44
4.2.3 Karakteristik Kimia Sifat fisik merupakan sifat-sifat yang dapat diukur dengan metode dan bahan kimia tertentu Pengujian ini dapat dilakukan untuk menentukan kualitas produk atau bahan makanan yang telah tersedia antara. (Soekarto, 1990). Karakteristik kimia yang dapat diuji adalah stabilitas emulsi dan proksimat. 4.2.3.1 Stabilitas Emulsi Stabilitas emulsi adalah suatu disperse atau suspense cairan dalam cairan yang lain dengan molekul-molekul kedua cairan tersebut tidak saling berbaur tetapi saling antagonistik. Kestabilan emulsi bergantung terhadap tipe dari protein hewani yang ditambahkan atau bahan-bahan lain yang mempunyai protein tambahan lainnya yang dapat menggantikan protein daging (Wilson, 1981). Berdasarkan
hasil
analisis
sidik
ragam
dapat
diketahui
bahwa
nilai
Asymsig <0,05. Hal ini dapat dikatakan bahwa perbedaan penambahan isolat protein kedelai memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter stabilitas emulsi sosis ikan nila merah. Berikut adalah hasil stabilitas emulsi dapat dilihat pada Gambar 18. 71
70,55b
70,5
69,86b
70
69,48ab
69,5 69 68,5
68,41a
68 67,5 67 ISP10%
ISP 13%
ISP 16%
ISP19%
Gambar 18 Histogram nilai rata-rata parameter stabilitas emulsi sosis ikan nila merah (Oreochromis sp) Keterangan : Angka-angka pada histogram yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Berdasarkan Gambar 18 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 10% dan 13% tidak memberikan pengaruh yang berbeda
45
nyata terhadap parameter stabilitas emulsi sosis ikan nila merah. Pada penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 16% dan 19% memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter stabilitas emulsi konsentrasi isolat protein kedelai 10% dan 13% tetapi penambahan konsentrasi isolat protein kedelai 13% tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan setiap perlakuan. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa nilai atau tingkat stabilitas emulsi akan semakin tinggi dengan semakin tingginya konsentrasi isolat protein kedelai yang ditambahkan. Stabilitas emulsi tertinggi berada pada penambahan isolat protein kedelai 19%. Hal ini sejalan dengan pernyataaan, isolat protein kedelai atau ISP merupakan bahan yang larut dengan protein yang dapat menyebabkan proses emulsifikasi lemak yang efektif (Wilson, 1981). Isolat protein kedelai dapat mengemulsi 10 ml sampai 35 ml lemak per 100 mg protein. Hal ini menyebabkan kemampuan isolat protein kedelai dapat meningkatkan formasi dan stabilitas emulsi, meningkatkan tekstur, menghilangkan bau dan mereduksi kehilangan setelah pemasakan. Dengan kata lain, isolat protein merupakan emulsi tipe daging yang paling efektif (Singh, 2008). Menurut Yulianti (2003) Isolat protein kedelai memiliki tingkat kepolaran tinggi yang akan menyebabkan fase protein-air membentuk matrik yang lebih kuat sehingga butiran-butiran lemak dapat diselubungi semakin banyak sehingga emulsi akan lebih stabil. Protein kedelai juga mengandung dua asam amino yaitu, conglycinin dan glycinin. Asam amino tersebut merupakan asam amino penting yang bersifat physicochemical meliputi kemampuan emulsifikasi, gelasi, foaming dan daya mengikat air yang tinggi sehingga cocok digunakan sebagai emulsifier (Jooyandeh, 2011). Tetapi jika protein kedelai tersebut masih mengandung minyak kacang kedelai yang tinggi dapat memperlambat pembentukan formasi ikatan nondisulfida yang diakibatkan oleh efek pencairan oleh minyak, konstituen non protein daging (Benjakul, 2004). 4.2.3.2 Proksimat Analisis proksimat bertujuan untuk mengkarakterisasi tipe produk atau bahan mentah berdasarkan kadar air, kadar abu, lemak kasar dan protein kasar
46
(AOAC 1980). Berikut adalah analisis proksimat sosis ikan nila merah hasil penelitian dan sosis komersial dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 4 Analisis proksimat sosis ikan nila merah dan sosis komersial Komposisi
Hasil (%)
Sosis Komersial (%)
Kadar air
80,93
65,73
Protein
11,21
9,37
Lemak
0,77
2,38
Kadar abu
0,76
2,13
Karbohidrat
6,35
20,39
Kadar air pada sosis nila merah dapat dikataan tinggi yaitu sekitar 80,93%. Hal ini dapat disebabkan oleh komposisi air yang digunakan dalam pembuatan sosis dan karakteristik bahan baku yang digunakan. Air yang ditambahkan pada pembuatan sosis dapat dikatakan dalam jumlah yang cukup besar yaitu dengan perbandingan antara daging dan air es sebesar 1 : 1. Kadar lemak sangat penting karena dapat memengaruhi penampakan permukaan bahan atau produk (Hossain, 2004). Kadar lemak dalam produk sosis dapat dikatakan rendah. Hal ini diduga disebabkan oleh lemak yang ditambahkan ke dalam adonan pun hanya sebesar 3% dari bobot total. Adapun faktor lain yang dapat menyebabkan kandungan lemak rendah, yaitu kadar lemak dari bahan baku pembuatan sosis. Bahan penbuatan sosis ini adalah surimi ikan nila merah yang sudah mengalami pencucian dua kali sehingga kandungan lemaknya pun sudah jauh berkurang. Proses pencucian dapat menghilangkan komponen-komponen penghambat pembentukan gel, salah satunya adalah lemak (Toyoda, 1992). Kadar abu sosis ikan nila merah ini lebih rendah dari sosis komersial. Kandungan abu pada sosis ini dapat berasal dari kandungan mineralyang terdapat pada ikan nila merah dan garam yang ditambahkan. Selain itu, rendahnya kadar abu tersebut dapat disebabkan akibat pencucian yang terjadi. Pencucian mengakibatkan bahan-bahan inorganik garam dan bahan organik molecular rendah menghilang. Sedangkan kadar protein pada sosis ikan nila merah mencapai 11,21%. Hal ini dapat dipengaruhi oleh bahan pengikat yang ditambahkan pada sosis ikan nila merah. Kandungan protein pada isolat protein kedelai dapat
47
mencapai 90% (basis kering) (Young, 1985). Karbohidrat dapat berasal dari patipatian seperti tepung terigu dan tepung tapioca. Kandungan karbohidrat pada sosis ikan nila merah ini cukup rendah yaitu, 6,35%. Hal ini dapat disebabkan oleh penambahan tepung-tepungan yang relatif rendah pula.