4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Perbandingan Hasil Pemodelan dengan Data Lapang 4.1.1 Angin Angin pada bulan September 2008 terdiri dari dua jenis data yaitu data angin dari ECMWF sebagai masukan model dan data angin dari BMKG sebagai data pembanding data model angin ECMWF. Angin ECMWF pada bulan September 2008 dominan bertiup dari arah Tenggara dengan kecepatan rata-rata adalah 5.7 m/det dan kecepatan maksimal adalah 7.9 m/det (Gambar 7a). Arah pada mawar angin tersebut terbagi ke dalam 3 arah mata angin dari 16 arah mata angin diantaranya arah angin dari Tenggara (SE), antara Tenggara dan Timur (ESE), dan antara Tenggara dan Selatan (SSE). Kecepatan antara 3.6 sampai 5.7 m/det memiliki persentasi yang sama dengan persentasi pada kecepatan antara 5.7 sampai 8.8 m/det yaitu masing-masing adalah 50% dari semua jumlah data. Angin pada bulan September 2008 memiliki kecepatan maksimal 6.1 m/det dengan kecepatan rata-rata adalah 4.1 m/det (BMKG, 2008). Kecepatan ini lebih rendah dibandingkan dengan kecepatan dari data ECMWF yang dikarenakan pengaruh daratan dan bangunan lain pada saat pengukuran data angin. Arah angin dominan dari data angin BMKG berasal dari arah Utara dan Timur dengan persentasi masing-masing adalah 38% dan 33.3% serta 28.7% berasal dari arah selain Utara dan Timur (Gambar 7b). Pola acak data insitu terjadi karena pengambilan data pada kecepatan maksimal dan arah angin pada kecepaan maksimal sehingga pola angin hanya terlihat harian dan tidak terlihat setiap jamnya.
34
Gambar 7. Mawar angin dari data ECMWF (7a) dan mawar angin dari data BMKG (7b) pada bulan September 2008 Data angin BMKG memiliki kisaran data yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan data angin ECMWF. Grafik tersebut juga menunjukkan kisaran data angin ECMWF komponen Utara-Selatan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan data angin BMKG. Namun sebaliknya pada komponen Timur-Barat data angin BMKG memiliki kisaran kecepatan yang tinggi dibandingkan data angin ECMWF. Hal tersebut menunjukkan bahwa pola angin BMKG sedikit berbeda dengan pola angin ECMWF (Gambar 8).
Gambar 8. Perbandingan komponen Timur-Barat dan Utara-Selatan antara data dari BMKG dan ECMWF pada Bulan September 2008
35
Keseluruhan data angin baik data angin ECMWF maupun data angin BMKG memiliki pola yang hampir sama pada bulan September 2008. Perbedaan dari keduanya disebabkan oleh perbedaan pemrosesan data, data angin ECMWF merupakan data model yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan Eropa dengan analisis berulang (reanalisis) dengan konstanta data asimilasi dan model atmosfer (Metzger, 2003). Data BMKG merupakan data insitu yang diambil pada ketinggian 46 meter diatas permukaan laut. Ketidaksamaan ini menyebabkan perbedaan antara data angin ECMWF dan data angin BMKG, data angin BMKG harus dilakukan beberapa koreksi sehingga memiliki kesamaan dengan data angin ECMWF. Faktor lain yang menyebabkan perbedaan adalah titik pengambilan data ECMWF berada pada laut lepas sedangkan pengambilan data BMKG berada pada daratan sehingga gaya gesek permukaan menyebabkan perbedaan kecepatan dan arah angin. Gerak angin dipengaruhi oleh beberapa faktor lain seperti rotasi bumi dan gaya gesek serta kelandaian tekanan (Pariwono, 1989). 4.1.2 Pasang Surut Elevasi permukaan laut merupakan salah satu data masukan syarat batas terbuka pada model hidrodinamika 2 dimensi. Model hidrodinamika 2 dimensi terdiri dari tiga batas terbuka yaitu batas terbuka bagian Utara, bagian Barat, dan bagian Timur. Batas terbuka Utara diisi oleh data masukan berupa elevasi permukaan laut pada beberapa titik salah satunya pada koordinat 108.1316o BT dan 5.1036o LS, 105.6813o BT dan 6.0279o LS pada batas terbuka bagian Barat, serta 110.4723o dan 6.4264o LS pada batas terbuka bagian Timur. Elevasi permukaan laut pada bulan September 2008 untuk masukan model mencakup tiga jenis grafik pasang surut pada tiga batas terbuka (Gambar 9).
36
Gambar 9. Elevasi permukaan laut sebagai masukan model hidrodinamika 2 dimensi pada bulan September 2008 di syarat batas terbuka bagian Utara (atas), Barat (tengah), dan Timur (bawah) Pasang surut pada batas terbuka di bagian Utara menunjukan nilai pasang tertinggi adalah 0.39 meter di atas rata-rata tinggi permukaan laut (Mean Sea Level) dan surut terendah adalah 0.46 meter di bawah rata-rata tinggi permukaan laut, sehingga daerah tersebut memiliki tunggang pasang surut sebesar 0.86 meter. Elevasi permukaan laut pada batas terbuka bagian Barat memiliki nilai pasang tertinggi sebesar 0.67 meter di atas rata-rata tinggi permukaan laut dan surut terendah sebesar 0.55 meter di bawah permukaan laut sehingga memiliki tunggang pasang surut 1.22 meter. Elevasi permukaan laut di batas terbuka bagian timur memiliki tunggang pasang surut sebesar 0.71 meter dengan pasang tertinggi sebesar 0.41 meter diatas permukaan laut dan surut terendah sebesar 0.3 di bawah permukaan laut. Batas terbuka bagian Barat memiliki tunggang pasang surut lebih tinggi dibandingkan dengan batas terbuka lainnya, hal tersebut disebabkan oleh tipe topografi perairan serta rambatan gelombang pasang surut dari perairan sekitarnya. Data pasang
37
Tabel 3. Tipe pasang surut menurut bilangan fromzal di laut Jawa Stasiun Tide Gauge Pulau Pari Jakarta Cirebon
Perbandingan (O1+K1)/(M2+S2) 6.98 3.72 0.73
Tipe pasang surut Diurnal Diurnal Campuran ke semidiurnal
surut menghasilkan beberapa komponen pasang surut utama yaitu O1, K1, M2, dan S2. Perbandingan antara jumlah komponen utama pasang surut bertipe diurnal (O1+K1) dengan jumlah komponen utama pasang surut bertipe semidiurnal (M2+S2) dikenal dengan bilangan Fromzal. Bilangan tersebut menghasilkan prediksi tipe pasang surut di daerah tersebut, Dua stasiun yaitu Pulau Pari dan Jakarta memiliki tipe pasang surut diurnal sedangkan pada stasiun Cirebon memiliki tipe pasang surut campuran condong ke semidiurnal (Tabel 3). Model hidrodinamika 2 dimensi menghasilkan data elevasi permukaan laut dengan keluaran data per jam. Data observasi lapang yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya digunakan untuk verifikasi hasil model hidrodinamika 2 dimensi melalui perbandingan 4 komponen pasang surut utama yaitu O1, K1, M2,dan S2. Masing-masing komponen hasil observasi lapang dibandingkan dengan hasil model hidrodinamika 2 dimensi sehingga didapatkan selisih amplitudo dan fase antara kedua data tersebut. Selisih amplitudo antara hasil model dan hasil observasi lapang kurang dari 10 cm dengan rata-rata selisih terkecil adalah komponen utama pasang surut O1 dan rata-rata selisih terbesar adalah komponen utama pasang surut K1. Stasiun yang memiliki selisih amplitudo terkecil antara hasil model dan hasil observasi lapang adalah Jakarta pada komponen pasang surut S2, Selisih amplitudo pasang surut dibawah 10 cm pada setiap stasiun dikuatkan juga oleh penelitian Koropitan
38
Tabel 4. Validasi data model pasang surut dengan data Dinas Hido-Oseanografi pada bulan September 2008
Stasiun
Amplitudo/H (cm) Observasi Model ΔH
Fase /ø (Derajat) Observasi Model Δø
O1 Pulau Pari Jakarta Cirebon
12.21 13.75 5
15.2 15 9.1
-2.99 -1.25 -4.1
368.89 385.32 57.4
339.66 340.1 20.34
29.23 45.22 37.06
K1 Pulau Pari Jakarta Cirebon
21.29 25.17 14
23.3 22.5 7.4
-2.01 2.67 6.6
378.82 394.73 302.71
352.19 351.24 290.16
26.63 43.49 12.55
M2 Pulau Pari Jakarta Cirebon
1.76 5.41 16
8 8.7 11.4
-6.24 -3.29 4.6
91.89 140.85 101.11
129.57 121.14 74.78
-37.68 19.71 26.33
S2 Pulau Pari Jakarta Cirebon
3.04 5.04 10
5.6 5.1 11.1
-2.56 -0.06 -1.1
89.44 102.12 416.98
81.21 82.94 274.74
8.23 19.18 142.24
dan Ikeda (2008) yang mengkaji dan membandingkan 11 stasiun pasang surut di beberapa wilayah di Indonesia, hasil penelitian tersebut menunjukkan selisih antara hasil model dan hasil observasi lapang pada umumnya kurang dari 10 cm. Selisih fase antara hasil model hidrodinamika 2 dimensi dengan hasil observasi lapang pada komponen pasang surut tunggal memiliki rata-rata 32.36o (2 jam 8 menit) sedangkan untuk komponen pasang surut ganda memiliki rata-rata 42.23o (1 jam 27 menit). Hasil model hidrodinamika 2 dimensi mendekati data hasil observasi lapang pada elevasi permukaan laut yang digunakan untuk model sebaran minyak. Selisih secara umum fase pada model hidrodinamika 2 dimensi kurang dari 2 jam dengan selisih rata-rata adalah 1 jam 47 menit yang artinya
39
terdapat waktu tunda antara pasang surut hasil observasi lapang dengan pasang surut hasil model selama waktu tersebut. 4.2 Hasil Pemodelan Hidrodinamika Pola arus hasil model hidrodinamika 2 dimensi yang digunakan untuk awal model tumpahan minyak (Gambar 15) menunjukan bahwa elevasi permukaan laut tertinggi berada pada kisaran 0.3 meter diatas rata-rata tinggi permukaan laut yang terletak pada selat sunda, sedangkan elevasi terendah berada pada kisaran 0.3 meter dibawah rata-rata tinggi permukaan laut yang terletak pada perairan bagian Timur Sumatera. Hasil model hidrodinamika menunjukan kecepatan arus tertinggi pada hasil model hidrodinamika tanggal 15 September 2008 sebesar 1.54 m/det dengan kecepatan rata-rata arus sebesar 0.08 m/det. Pola arus hasil model hidrodinamika ketika terjadi tumpahan minyak (Gambar 10) menguat pada wilayah kanan model dan melemah pada bagian kiri model, hal ini dikarenakan elevasi batas terbuka pada bagian Timur berada pada elevasi tertinggi (terjadi pasang) sedangkan pada batas terbuka bagian Utara berada pada kondisi surut. Elevasi pada syarat terbuka model bagian Barat menuju pasang sehingga arus akan bergerak dari batas terbuka model menuju ke dalam wilayah model, hal ini menyebabkan daerah tersebut memiliki elevasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah lain pada model. Kecepatan angin pada saat model berlangsung adalah 1.62 m/det yang berasal dari arah Timur, namun pengaruh angin tidak terlalu mendominasi pada model tersebut. Bagian Timur wilayah model memiliki elevasi tertinggi pada kisaran 0.3 m diatas MSL (Mean Sea Level) sedangkan pada
40
Gambar 10. Pola arus hasil model hidrodinamika saat terjadi tumpahan minyak perairan lain khususnya di Barat Laut pulau Jawa memiliki elevasi dengan kisaran 0.2 m dibawah MSL (Mean Sea Level). Tanggal 18 September 2008 pukul 17:59 (relatif pada meridian Greenwich) dengan kecepatan angin pada model hidrodinamika adalah 5.17 m/det yang berasal dari arah Tenggara (Gambar 11a) dan Elevasi pada syarat terbuka di bagian Timur untuk masukan data model lebih tinggi dibandingkan dengan elevasi yang lainnya sehingga daerah tersebut memiliki pola arus yang kuat dengan elevasi tertinggi pada hasil model hidrodinamika. Arus maksimum pada hasil model hidrodinamika sebesar 0.36 m/det dengan kisaran arus rata-rata sebesar 0.12 m/det (Gambar 16a). Pola arus hasil model hidrodinamika 2 dimensi pada saat terjadi pasang di batas terbuka bagian Utara terjadi tanggal 19 September 2008 pukul 06:59 (Gambar 16b). Pola arus tersebut sebagian mengarah ke Tenggara dan sebagian mengarah ke Barat. Pola arus tersebut dikarenakan terdapat perbedaan antara waktu pasang di beberapa batas terbuka. Elevasi pada syarat terbuka di Utara untuk masukan model menunjukan kondisi pasang sehingga terjadi pergerakan arus yang menuju pantai. Elevasi pada syarat
b
a
c
Gambar 11. Pola arus hasil model hidrodinamika saat menjelang pasang (a), pasang (b), menjelang surut (c), dan surut (d) pada syarat batas terbuka di Utara
d
42
batas terbuka di Barat menunjukan kondisi yang sama yaitu menuju pasang sehingga arah arus bergerak ke domain model. Arus dengan kecepatan yang kecil ditemukan pada daerah yang dekat dengan syarat batas terbuka di bagian Timur, hal tersebut dikarenakan kondisi elevasi pada batas terbuka menuju surut sehingga terjadi pembalikan arah arus yang dapat mengakibatkan arus pada wilayah tersebut melemah. Kecepatan arus maksimal (Gambar 11b) adalah 0.35 m/det degan kecepatan arus rata-rata adalah 0.14 m/det Pola arus hasil model hidrodinamika pada kondisi menjelang surut pada elevasi batas terbuka di bagian Utara dan Timur, sedangkan elevasi pada batas terbuka di bagian Barat pada saat surut (Gambar 11c). Akibat adanya pengaruh elevasi pada batas terbuka di bagian Utara dan bagian Timur yang menuju surut, maka pola arus mengikut i perubahan tersebut dengan adanya pengurangan kecepatan dan perubahan arah arus di beberapa wilayah. Kecepatan rata-rata pada kondisi menjelang surut sebesar 0.09 m/det dan lebih kecil jika dibandingkan pada saat terjadi surut (Gambar 11d) dengan rata-rata kecepatan arus sebesar 0.17 m/det. Pola arus hasil model hidrodinamika pada saat menjelang surut dan pada saat surut berbeda, perbedaan tersebut dikarenakan elevasi masukan pada model memiliki ketinggian yang bebeda. Pola arus hasil model hidrodinamika pada saat surut pada kondisi syarat batas Utara dan Timur menuju pasang pada batas terbuka bagian Barat (Gambar 11d), Perbedaan tersebut menyebabkan perubahan pola arus di beberapa wilayah. Pola arus pada batas terbuka di bagian Barat menuju ke arah Timur Laut dengan kecepatan maksimum berada di Kepulauan Seribu, pola arus pada batas terbuka di bagian Utara menuju ke luar domain model (Utara), dan pola arus pada batas
43
terbuka di bagian Timur menuju ke arah Timur. Pola arus tersebut berhubungan dengan elevasi pada batas terbuka dan data penggerak lain seperti angin pada masukan model lainnya. Perbedaan antara pola arus hasil model hidrodinamika pada saat pasang dan pada saat surut terletak pada arah dan kecepatan arusnya. Pola arus pada saat pasang (maksimum floow) menuju ke garis pantai dengan kecepatan lebih besar daripada saat surut, sedangkan pola arus pada saat surut (maksimum ebb) menjauhi garis pantai. Pola arus pada hasil model hidrodinamika pada bulan September 2008 menunjukan pengaruh yang dominan adalah gaya masukan dari pasang surut laut pada masing-masing batas terbuka. Arus akan mengalami peningkatan kecepatan pada saat menjelang pasang dan akan maksimal saat pasang, hal ini juga terjadi pada saat kondisi surut. Arus akan melemah ketika terjadi pembalikan kondisi elevasi dari pasang ke surut atau sebaliknya dari surut ke pasang. Hal ini dikarenakan tidak ada gaya pembangkit yang searah dengan gaya sebelumnya. Arus akan menuju domain model dan berakhir di garis pantai ketika terjadi pasang dan akan menuju keluar dari domain model ketika terjadi surut. Arus laut juga dipengaruhi oleh kedalaman perairan masukan model yang mengakibatkan perambatan gelombang pasang surut di beberapa wilayah berbeda. Menurut Hatayama et all (1996) perairan Indonesia sangat kompleks dengan kedalaman yang beraneka ragam, namun Laut Jawa termasuk perairan dangkal dengan rata-rata kedalaman 30 meter. Beberapa pola arus hasil hidrodinamika menunjukan semakin dangkal suatu perairan maka kecepatan arus akan semakin cepat, dan semakin sempit suatu kawasan perairan maka kecepatan arus juga akan semakin cepat (Gambar 11). Perairan kepulauan seribu merupakan perairan yang
44
dangkal sehingga arus akan sedikit dibelokan dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan kecepatan arus sebelumnya, Perairan selat Sunda juga menunjukan peningkatan kecepatan arus. Data meteorologi (curah hujan, kelembaban, radiasi, tekanan udara, temperatur udara, dan tutupan awan) dianggap homogen pada model sehingga yang membedakan adalah data masukan angin dan pasang surut. Pola arus hasil hidrodinamika menunjukan data masukan model pasang surut lebih berpengaruh terhadap model hidrodinamika daripada data angin. Hal ini disebabkan perbedaan elevasi akan memberikan gaya yang lebih kuat pada beberapa lapisan kedalaman, namun data angin memberikan pengaruh lebih kuat pada permukaan perairan melalui wind stress yang semakin dalam akan semakin lemah. 4.3 Hasil Pemodelan Tumpahan Minyak 4.3.1 Model Sebaran Tumpahan Minyak Model sebaran tumpahan minyak dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arus laut, angin, dan difusi minyak. Pola sebaran tumpahan minyak dari tanggal 14 sampai 29 September 2008 merupakan contoh kasus tumpahan minyak di wilayah Balongan yang terjadi pada pertengahan September 2008 (gambar 12). Pola sebaran minyak sebagian besar menuju ke arah Barat Laut, pada tanggal 14 September 2008 merupakan saat terjadi kebocoran minyak selama 6 jam sampai tanggal 19 September 2008 sehingga hanya menunjukkan titik karena minyak belum menyebar. Tanggal berikutnya yaitu tanggal 17 September 2008 minyak sudah menyebar sejauh 21.34 km dengan luas minyak di perairan adalah 98.79 km2 (Gambar 12a). Penyebaran minyak semakin jauh dan meluas yang
45
a
b
c
d
e
f
Gambar 12. Model sebaran tumpahan minyak selama 15 hari (15-29 September 2008) tanggal 15 September (a), 17 September (b), 19 September (c), 21 September (d), 25 September (e), dan 29 September (f) dengan total tumpahan minyak 2400 barel continous 5 hari disebabkan oleh pengaruh angin dan arus. Tanggal 15 September 2008 minyak mulai mendekati pantai pada solusi mínimum (titik merah) dan pada tanggal 16 September minyak berada di pantai pada solusi best guest (titik hitam). Keberadaam minyak di pantai pada model ditunjukan dengan tanda silang merah
46
Tabel 4. Luas tumpahan minyak dan jarak terjauh minyak dari sumber tumpah pada bulan September 2008 Tanggal Luas Minyak (km2) Jarak minyak dari sumber (km) 15/09/08 11.67 49.4 17/09/08 21.34 98.79 19/09/08 40.78 172.89 21/09/08 60.34 246.98 23/09/08 78.01 321.07 25/09/08 92.23 358.12 27/09/08 110.68 469.26 29/09/08 125.24 691.54 dan silang hitam untuk masing-masing solusi. Tumpahan minyak yang mendekati pantai pada tanggal 15 September merupakan bukan model utama melainkan model yang diperkirakan hanya terjadi 5% dari 100% kemungkinan, Tumpahan minyak tersebut bertahan sampai tanggal 29 September 2008. Tanggal 16 sampai 24 September sebaran minyak pada best guest berada di pantai dan pada tanggal berikutnya sudah menginggalkan pantai. Keadaan minyak yang lepas dari pantai ini menunjukan bahwa syarat tertutup model tumpahan minyak adalah slippery yang artinya minyak tidak mudah terperangkap di daerah pantai. Tanda merah merupakan solusi mínimum untuk antisipasi tumpahan minyak secara acak (random) yang disebut mínimum regret solution. Tumpahan minyak semakin menyebar dengan luas maksimum minyak yang ada di perairan adalah 691.54 km2 yaitu pada tanggal 29 September 2008 (Tabel 4). Luas minyak yang ada di perairan semakin bertambah luas yang dikarenakan adanya proses difusi minyak dan penyebaran oleh faktor fisik seperti arus dan angin. Kemungkinan wilayah yang terjadi tumpahan minyak diturunkan dari sebaran tumpahan minyak per waktunya sehingga didapat luasan tumpahan
47
Gambar 13. Kemungkinan wilayah yang terkena tumpahan minyak (Probability of impacted area) pada bulan September tahun 2008 berdasarkan waktu minyak dengan selang waktu 2 hari. Penyebaran tumpahan minyak untuk antisipasi wilayah yang terkena dampak tumpahan minyak diperlihatkan melalui warna yang berbeda berdasarkan waktu sebaran tumpahan minyak pada model (Gambar 13). Sebaran tumpahan minyak mencapai perairan Subang pada tanggal 24 September 2008 dan pada tanggal 29 September 2008 sebaran minyak mencapai perairan Karawang. Kemungkinan wilayah sebaran tumpahan minyak dapat membantu antisipasi daerah yang akan terkena dampak tumpahan minyak dan dapat melihat wilayah yang telah dilalui minyak. Tumpahan minyak pada solusi mínimum model yang sampai ke pantai berada pada wilayah Utara Indramayu di Desa Brondong, hal ini dikuatkan oleh Pikiran Rakyat tanggal 17 September 2008 yang memberitakan mengenai pembersihan wilayah pantai dusun Bondol Desa Brondong Kabupaten Indramayu
48
Gambar 14. Perbandingan model sebaran tumpahan minyak dengan simulasi dan data lapang Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) tahun 2008 selama 4 hari (14-18 September 2008) oleh nelayan. Beberapa nelayan membersihkan tumpahan minyak yang sampai ke wilayah hutan mangrove dan pesisir dengan menggunakan karung plastik (Pikiran Rakyat, 17 September 2008). Tumpahan minyak yang sangat dekat dengan pantai berada pada wilayah Desa brondong dan Desa Pabean Ilir sehingga model tersebut dapat membantu antisipasi sebaran minyak sebelum mencapai pantai kedua desa tersebut. Model sebaran tumpahan minyak dengan menggunakan GNOME kemudian dibandingkan menggunakan data sebaran tumpahan minyak KLH pada tahun 2008 selama 4 hari setelah terjadi tumpahan. Hasil verifikasi menunjukan sebaran tumpahan minyak menggunakan GNOME memiliki kesamaan pola sebaran minyak yaitu mengarah ke Barat Laut (Gambar 14). Sebaran tumpahan minyak yang berada di pantai menurut pengamatan KLH tahun 2008 adalah Desa Pabean Ilir, Desa Brondong, Desa Tortoran, Desa Pabean Udik, Desa Karangsong, Desa Singaraja, Desa Singajaya, Desa Lamanrntarung, dan Desa Karanganyar. Desa-
49
desa tersebut menjadi target utama dalam kemungkinan dampak wilayah yang terkena tumpahan baik pada solusi mínimum atau dengan solusi terbaik pada model sebaran minyak menggunakan GNOME. Kondisi minyak mencapai pantai harus segera ditangani secara serius, hal ini dikarenakan kawasan pesisir merupakan kawasan yang sangat rentan ketika terjadi tumpahan minyak. Kawasan yang rentan dapat ditunjau dari beberapa faktor seperti banyaknya tumpahanya minyak yang mencapai pantai tersebut, lamanya minyak berada dipantai, karakteristik lingkungan fisik seperti tipe pantai dan sedimen, kondisi cuaca di daerah tersebut, efektivitas pembersihan minyak, karakteristik biologi dan ekonomi pantai. Terdapat beberapa cara menangani minyak ketika terjadi tumpahan yaitu menggunakan senyawa dispersant melalui udara, menggunakan oil boom dan skimmers untuk dipompa ke kapal, pembersihan minyak di pantai, dan pembakaran minyak. Penggunaan senyawa dispersant tidak dianjurkan dalam simulasi model ini, hal ini dikarenakan batimetri perairan Laut Jawa tergolong pada laut yang dangkal sehingga masih berbahaya bagi organisme laut yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Penggunaan boom dan skimmers sangat dianjurkan karena ramah lingkungan dan minyak dapat diolah kembali, proses pembersihan ini dapat dilakukan pada ketiga skenario tumpahan minyak dan lebih disarankan pada tumpahan minyak yang akan mencapai pantai sehingga intensitas pencemaran pantai menjadi berkurang. Pembakaran minyak di laut adalah solusi terakhir dan memperhitungkan pada kondisi cuaca dan arah angin karena pembakaran minyak akan menghasilkan polusi udara berupa asap tebal. Pengontrolan dan pengaturan yang baik dan
50
berkelanjutan pada beberapa kilang minyak dan kapal-kapal tanker pembawa minyak dapat meminimalisir terjadinya tumpahan dan kebocoran minyak di laut. 4.3.2 Model Nasib (Fate) Minyak Model nasib minyak menyajikan perilaku minyak ketika berada di perairan, model nasib minyak pada bulan September 2008 disimulasikan selama 5 hari setelah terjadi tumpahan minyak pada tanggal 14 September 2008 (Gambar 15). Model nasib minyak menggunakan data angin rata-rata harian dan menggunakan data rata-rata arus hasil model hidrodinamika selama model disimulasikan. Model nasib minyak menghasilkan beberapa perubahan karakteristik minyak baik kimia (densitas, viskositas, dan kandungan air dalam minyak) maupun fisik minyak (penguapan, dispersi, dan ketersediaan minyak dalam perairan). Viskositas dan densitas (Gambar 15a dan 15b) dengan nilai API 21.1 menunjukan perilaku yang hampir sama yaitu terjadi peningkatan selama model berlangsung. Nilai API tersebut menggambarkan gravitasi spesifik minyak pada suhu tertentu terhadap suhu air. Viskositas minyak menunjukan kekentalan minyak yang disebabkan oleh cuaca kondisi lingkungan sekitar dan masuknya senyawa lain seperti air. Kandungan air dalam minyak (Gambar 15c) mengalami peningkatan hingga mencapai 60% lebih pada waktu terakhir model. Masuknya air dalam minyak adalah proses emulsifikasi yang disebabkan oleh turbulensi, semakin besar turbulensi yang terjadi maka semakin besar peluang terjadinya emulsifikasi. Turbulensi yang besar pada model diakibatkan oleh adanya data masukan angin yang dapat mengakibatkan gelombang pada fetch tertentu dan data arus. Kecepatan angin dan arus yang lebih besar akan mengakibatkan turbulensi yang lebih besar. Evaporasi pada model nasib minyak disebabkan oleh
51
Gambar 15. Nasib minyak setelah tumpah (API 21.1) selama 5 hari pada bulan September yang terdiri dari densitas minyak dalam kg/cu m (a) dan viskositas minyak dalam cSt (b), kandungan air (c), evaporasi (d), dispersi (e), dan ketersediaan minyak (f) dalam % temperatur udara dan permukaan laut serta volume minyak yang tumpah. Semakin tinggi nilai temperatur maka semakin tinggi nilai evaporasi. Model evaporasi minyak terus mengalami peningkatan selama 5 hari (Gambar 15c) sehingga evaporasi minyak yang terjadi pada model tersebut
52
sebanyak 6593 barrel dari 25565 barrel minyak yang tumpah. Dispersi minyak merupakan senyawa minyak yang memisah dari kumpulan minyak yang disebabkan oleh turbulensi terutama gelombang. Minyak yang terdispersi pada model sangat dipengaruhi oleh masukan data angin, hal ini disebabkan data angin yang diberikan akan membangkitkan data gelombang pada model nasib minyak. Dispersi minyak mengalami peningatan pada hari pertama model selama 16 jam sekitar 12 barrel. Evaporasi minyak selama 5 hari model sebanyak 6593 barrel dengan dispersi sebesar 12 barrel dan faktor lain menyebabkan ketersedian minyak berkurang menjadi 18959 barrel dari total tumpah 25565 barrel (Lampiran 1). Grafik hasil model menunjukan peningkatan pada saat 6 jam pertama model, hal ini dikarenakan minyak tumpah selama 6 jam di hari pertama yang kemudian dapat diatasi sehingga tidak ada lagi minyak yang tumpah di hari berikutnya selama simulasi model. Grafik dispersi minyak sangat dipengaruhi oleh angin dan turbulensi air laut untuk memecah senyawa minyak. Tumpahan minyak di laut pada dasarnya akan mengalami beberapa proses yaitu penyebaran, penguapan, dispersi, disolusi, sedimentasi, oksidasi, disolusi, dan emulsifikasi. Beberapa proses tersebut mempengaruhi perubahan kondisi minyak yang ada diperairan seperti perubahan densitas minyak, perubahan viskositas minyak, dan perubahan ketersediaan minyak di laut. Model nasib minyak menampilkan grafik evaporasi dan dispersi yang kemudian akan mempengaruhi densitas dan viskositas minyak. Peningkatan densitas minyak akan selalu diikuti dengan peningkatan viskositas minyak, hal ini dikarenakan viskositas minyak (kinematic viscosity) dihitung dari densitas minyak. Peningkatan variabel model tersebut dipengaruhi oleh kondisi fisik
53
lingkungan (angin, arus laut, suhu udara, salinitas, dan gelombang) dan kondisi minyak (nilai API, viskositas minyak, densitas minyak, dan titik tuang). Minyak yang dimodelkan adalah minyak golongan III yaitu minyak mentah sehingga ketika berada di perairan minyak akan kehilangan volumenya sebesar 40% dari volumen awal dan semakin kecil nilai densitas minyak maka akan semakin tinggi nilai API minyak tersebut (ITOPF, 2010).