4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi 4.1.1 Geografi Pulau Batam terletak antara 10 071 Lintang Utara dan 1040 071 Bujur Timur dan berada pada jalur perdagangan internasional yang sangat padat yaitu di tepi Selat Malaka dan di sebelah Utara berbatasan langsung dengan Singapura. Singapura hanya berjarak 20 km dari P. Batam. P. Batam dikelilingi sejumlah pulau yaitu di sisi sebelah Timur terdapat P. Bintan berjarak sekitar
10 Km. P. Bintan merupakan salah satu pulau di
Kepulauan Riau yang berkembang cukup pesat dengan andalan utama pariwisata dan industri. Di sebelah Barat di sisi sebelah Barat terdapat Pulau Sambu, berjarak kurang lebih 4 km, terdiri dari beberapa pulau diantaranya P. Rempang, P. Galang dan P. Galang Baru. Saat ini pulau-pulau yang berada disebelah Selatan telah menyatu dengan telah dibangunnya jalan dan jembatan yang terdiri dari
6 (enam) buah jembatan dan jalan sepanjang
53,65 Km,
sehingga wilayah ini dikenal sebagai Barelang (Batam, Rempang dan Galang). (Jembatan Barelang 1998). 4.1.2 Fisiografi Pulau Batam merupakan daerah tropis basah beriklim panas. Data dari Master plan Pulau Batam tahun 1991, suhu udara rata-rata setiap bulannya di Kabil adalah 25,30 0C, di Sekupang dan Batu Ampar adalah 26,00 0C. Di Sekupang suhu maksimum 30,40 0C dan minimum 23,50 0C dan di Batu Ampar suhu maksimum 34,40 0C dan minimum 23,60 0C. Kelembaban udara tergantung pada suhu akibat peredaran matahari. Variasi tekanan udara pada permukaan Pulau Batam hampir sama yaitu sekitar 1,008 mb sampai
1,012 mb. Curah hujan yang diambil dari pulau Sambu
maksimum mencapai 277 mm dan maksimum 98 mm. Hujan maksimum terjadi pada bulan Nopember–Desember dan April– Mei.
86
4.1.3 Elevasi Elevasi pulau Batam berkisar antara 0 – 5 meter di atas permukaan laut banyak terdapat di pantai Utara dan pantai Selatan. Sebelum dikembangkan kawasan ini merupakan kawasan mangrove. Lebih dari setengah P. Batam mempunyai ketinggian 5 – 25 meter di atas permukaan laut. Pada ketinggian ini, baik digunakan untuk pemukiman industri atau pariwisata. Ketinggian 25 – 100 Meter meliputi 32% dari seluruh wilayah Pulau Batam. Kawasan ini digunakan untuk pemukiman, industri, pertanian, pariwisata atau hutan lindung. Ketinggian lebih dari 100 m hanya 1% dari luas wilayah P. Batam. 4.1.4 Kondisi Pantai Pulau Batam Dari data Master plan Pulau Batam 1991 disimpulkan beberapa hal mengenai kondisi pantai P. Batam sebagai berikut : a.
Bidang pasang surut maksimum yang terjadi adalah 2,55 m di daerah Batu Ampar dan 3,6 m di Sekupang.
b.
Tinggi gelombang berkisar 0,2 – 0,5 m di Batu Ampar dan 0,1 – 0,4 m di Sekupang. Pada saat bertiup Angin Barat tinggi gelombang dapat mencapai 1 m.
c.
Terdapat
2 (dua) jenis angin utama, yaitu Angin Musim Timur Laut
(Nopember – Maret) dan Angin Musim Barat Daya (Mei - September) dengan kecepatan masing-masing kurang dari 10 knot dan 8 knot. d.
Kecepatan arus di daerah Sekupang adalah
2 m/dt pada saat pasang
purnama. e.
Dari peta bathymetri tampak bahwa banyak terdapat karang di daerah Utara dengan kemiripan topografi di bawah 1% dan banyak tumbuh hutan bakau. Pada beberapa tempat dekat dengan pantai dijumpai pantai dalam (mencapai 10 m). Saat ini telah dikembangkan beberapa pelabuhan diantaranya Pelabuhan
Batu Ampar, Sekupang, Kabil dan Batam Center. Kawasan wisata pantai juga telah dikembangkan diantaranya di Kawasan Wisata Nongsa, Teluk Kuning, Teluk Sinimba dan Pantai Utara Sekupang. Peta situasi pantai dan sungai di P. Batam dapat dilihat pada Gambar 14.
87
88
4.1.5 Ketersediaan Air Saat akhir tahun 1998 kebutuhan air untuk seluruh kegiatan di P. Batam disuplai dari 5 (lima) buah waduk yang telah beroperasi yaitu Waduk Nongsa 60 Liter perdetik ; Waduk Balai
30 Liter perdetik ; Waduk Harapan 210 Liter
perdetik; Waduk Ladi 240 Liter perdetik dan Waduk Muka Kuning 310 Liter perdetik. Total pasokan 810 Liter perdetik. Waduk Duriangkang saat ini sudah selesai dibangun, baru dimanfaatkan air bakunya dan diolah di Waduk Muka Kuning. Potensi Waduk Duriangkang adalah 3.000 liter perdetik. Potensi sumber air di Pulau Batam masih mungkin dikembangkan dengan memanfaatkan Sie (sungai) Tembesi. Kemampuan memasok
+ 638 liter
perdetik. Rencana ke depan dengan telah dihubungkannya P. Batam, Rempang, Galang dan Galang Baru maka akan dibuat jaringan koneksi sumber air di P. Batam dengan yang ada di P. Rempang dan P. Galang. Keterbatasan sumberdaya air juga merupakan keterbatasan kemampuan daya dukung P. Batam khususnya kemampuan daya dukung terhadap pertambahan penduduk. Keterbatasan ini juga diperkuat dengan adanya kebijakan pelarangan penggunaan air tanah di P. Batam. Untuk pengembangan ke depan dan bila lahan dan lingkungan masih dapat mendukung perlu dipikirkan sumber air dari daerah lain atau memanfaatkan teknologi pengolahan air laut menjadi air tawar. 4.1.6 Kependudukan Tercatat dalam laporan perekonomian P. Batam sampai dengan akhir tahun 1998 penduduk Kotamadya Batam telah mencapai 290.638 jiwa terdiri dari 142.615 jiwa laki-laki (49,07%) dan 148.023 jiwa perempuan (50,93%). Lebih banyaknya penduduk perempuan dibanding penduduk laki-laki adalah disebabkan oleh meningkatnya jumlah perusahaan yang beroperasi di P. Batam, terutama industri elektronik yang lebih banyak menyerap tenaga kerja perempuan daripada tenaga kerja laki-laki, dengan anggapan perempuan lebih teliti. Dari hasil registrasi penduduk
keadaan terakhir tahun 1998 penduduk
Kotamadya Batam mengalami peningkatan 13,89% atau bertambah 35.459 jiwa dibanding dengan keadaan pada bulan Desember 1997. Sedang pertumbuhan
89
penduduk P. Batam rata-rata pertahun selama periode tahun 1988 – 1998 adalah sebesar 15,52% (Tabel 10). Tabel 10.
Banyaknya Penduduk Menurut Jenis Kelamin Di Kotamadya Batam Keadaan Akhir Tahun 1994 – 1997 Laki-laki
Perempuan
Jumlah
Pertumbuhan (%)
1984
29.348
26.233
55.581
29,40
1985
31.135
27.304
58.439
5,14
1986
32.713
28.518
61.231
4,78
1987
35.322
31.089
66.411
8,46
1988
43.177
36.240
79.377
19,52
1989
49.983
40.541
90.524
14,04
1990*
59.030
46.790
105.820
16,90
1991
61.111
48.304
109.415
3,40
1992
70.437
52.600
127.037
12,45
1993
81.437
65.268
146.705
19,24
1994
89.565
74.377
163.902
11,72
1995
100.418
95.662
196.080
19,63 26,46
Tahun
1996
123.685
124.273
247.958
1997
127.410
127.769
255.179
2,91
1998**
142.615
148.023
290.638
13,89
Sumber : Laporan Tahunan Perekonomian Pulau Batam, 1998
Dengan peningkatan penduduk yang tinggi, kepadatan penduduk per km2 juga mengalami peningkatan. Kepadatan penduduk di P. Batam per km2 mengalami peningkatan dari 417 jiwa / km2 pada akhir tahun 1997 menjadi 474 jiwa pada akhir tahun 1998, bandingkan dengan Kecamatan Belakang Padang (termasuk Kodya Batam) kepadatan penduduknya hanya
84 jiwa per km2.
(Tabel 11). Tabel 11. Banyaknya Desa, Penduduk dan Luas Wilayah Serta Kepadatan Penduduk Batam Dirinci per Kecamatan Tahun 1998
Kecamatan (1) 1.Belakang Padang
Desa/ Kel.
Luas Wilayah
(2)
(3)
Penduduk Pria (4)
Wanita (5)
Jumlah (6)
Kepadatan Penduduk 2 (km ) (7)
5
224,15
9.617
9.195
18.812
84
2.Batam Barat
14
162,79
43.120
37.584
80.704
496
3.Batam Timur
25
225,53
89.878
101.244
191.122
847
JUMLAH
44
612,59
142.615
148.023
290.638
474
Sumber : Laporan Tahunan Perekonomian Pulau Batam, 1998
90
4.1.7 Sarana dan Fasilitas Untuk menarik investasi baik Dalam dan Luar Negeri, Pemerintah Pusat telah membangun dan menyediakan sarana dan fasilitas yang memadai. Investasi yang ditanam Pemerintah untuk menyiapkan sarana dan fasilitas diantaranya
Jalan
dan
Jembatan,
Pengelolaan
Air
Bersih,
Listrik,
Telekomunikasi, Pelabuhan Laut, Bandara, Rumah Sakit, dan lain-lain sampai dengan akhir tahun 1997 mencapai US$ 1,512,738,848 (Tabel 13.) 4.1.8. Pemanfaatan Lahan Walau belum seluruhnya terbangun permintaan lahan di Pulau Batam sangat tinggi. Oleh sebab itu perubahan yang dilakukan dalam evaluasi Master Plan juga sangat dipengaruhi oleh permintaan dan perubahan peruntukan. Data yang didapat dari UPT. Pengalokasian Lahan Otorita Batam pada tahun 1998 beberapa peruntukan telah dialokasikan kepada investor melampaui target Master Plan 1991, bahkan target untuk tahun 2006. Peruntukan yang melebihi target 2006 antara lain Peruntukan Industri, Peruntukan Fasilitas Umum dan Lapangan Golf (Tabel 12. luas lahan teralokasi). Tabel 12. Luas Lahan Teralokasi di Pulau Batam
No
Peruntukan
Data-data 1998 UPT Pengalokasian Lahan Otorita Batam( M2 )
Data Lemtek FT-UI 1991 Land Use Tahun 2006 ( Ha. )
741,06
1.224,28
1.
Jasa
2.
Perumahan
3.006,708
4.529,68
3.
Industri
3.269,68
3.035,24
4.
Fasilitas Umum
3.846,43
1.803,39
5.
Pariwisata
1.404,51
1.648,23
6.
Pertanian
7.
Lapangan Golf
8.
588,52
(*) 1.411,51
1.887,58
(**) 2.512,37
Transportasi
--
3.079,454
9.
Reserved Area
--
7.634,28
10.
Reservoir / Drainage Alam maupun Buatan
--
2.175,20
11.
Tempat Pemakaman Umum
--
28,00
12.
Tempat Pembuangan Akhir / Sampah
--
37,00
Keterangan : (*) termasuk Perkebunan; (**) termasuk Lingkungan Hijau / Open Space / Kawasan Olahraga selain Golf.
91
Tabel 13. Perbandingan Data Pertumbuhan Di Pulau Batam Tahun 1978, 1983, 1993, 1994, 1995, 1996 dan 1997 No 1. 2.
KETERANGAN
12 A. B. C. 13 A.
PENDUDUK TENAGA KERJA PROSENTASI PERBANDINGAN JML TNG KRJ THD JML PENDUDUK PERUSAHAAN WISATAWAN JALAN BERASPAL AIR MINUM LISTRIK TELEPON KUNJUNGAN PESAWAT PELABUHAN UDARA LANDASAN PACU KAPASITAS SANDAR KAPAL LAUT SEKUPANG BATU AMPAR KABIL INVESTASI PEMERINTAH
B.
SWASTA
14 A. B.
TOTAL A + B PENERIMAAN DEVISA PENERIMAAN DARI WISATAWAN EKSPOR TOTAL A + B
15
PENERIMAAN PEMDA
A.
PENERIMAAN DEVISA/KAPITA/THN PENERIMAAN DEVISA/TENAGA KERJA/THN PENERIMAAN PEMDA/KAPITA/THN KURS : US $
3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10 11
B. C.
1978
1983
1993
1994
1995
1996
1997
31,800 2,240
43,000 5,500
146,214 65,103
162,477 104,844
196,080 118,149
247,588 127,408
254,745 137,101
7.04%
12.79%
44.53%
64.53%
60.26%
51.46%
53.82%
10 -1.4 Km 55 Lt/Sec 5 MW PABX 10 SS/LU --
55 9,670 105 Km 160 Lt/Sec 18 MW 1,470 SS/LU 7 X / Week
3,855 680,373 313 Km 850 Lt/Sec 200 MW 10,506 SS/LU 109 X / Week
4,316 891,165 324.36 Km 850 Lt/Sec 200 MW 14,255 SS/LU 123 X / Week
4,784 936,402 432.2 Km 850 Lt/Sec 224.8 MW 20,651 SS/LU 132 X / Week
6,528 1,076,617 432.2 Km 850 Lt/Sec 224.8 MW 23,604 SS/LU 143 X / Week
9,127 1,119,572 484.72 Km 850 Lt/Sec 231.62 MW 25,244 SS/LU 154 X / Week
850 M
2,500 M
3,600 M
3,600 M
4,000 M
4,000 M
4,000 M
3,000 DWT 3000 DWT 5,000 DWT
10,000 DWT 3,000 DWT 5,000 DWT
10,000 DWT 35,000 DWT 35,000 DWT
10,000 DWT 35,000 DWT 35,000 DWT
10,000 DWT 35,000 DWT 35,000 DWT
10,000 DWT 35,000 DWT 35,000 DWT
10,000 DWT 35,000 DWT 35,000 DWT
US$ 116,038,220 (57.60%) US$ 85,412,087 (42,40%) US$ 201,450,307
US$ 253,002,747 (50.41%) US$ 248,926,652 (49,59%) US$ 501,929,399
US$ 742,713,521 (16.42%) US$ 3,781,830,633 (83,58%) US$ 4,524,544,154
US$ 859,094,428 (17.08%) US$ 4,169,208,058 (82,92%) US$ 5,028,302,486
US$ 1,204,963,475 (20.16%) US$ 4,773,275,935 (79.84%) US$ 5,978,239,410
US$ 1,427,241,003 (23.28%) US$ 4,703,999,964 (76.72%) US$ 6,131,240,967
US$ 1,512,738,848 (23.01%) US$ 5,061,182,623 (76.99%) US$ 6,573,921,471
-US$ 330,040 US$ 330,040 Rp. 1.000.000,(Apr’77 – Mar’78) US$ 10,38
US$ 812,375 US$ 2,605,375 US$ 3,417,750 Rp. 167.311.817,(Apr’82 – Mar’83) US$ 79.48
US$ 249,832,960 US$ 925,810,340 US$ 1,175,643,300 Rp. 6.950.000.000,(Apr’92 – Mar’93) US$ 8,040.56
US$ 320,060,700 US$ 1,388,863,340 US$ 1,708,924,040 Rp. 8.170.000.000,(Apr’93 – Mar’94) US$ 10,517.94
US$ 353,959,956 US$ 2,362,027,710 US$ 2,715,987,666 Rp. 13.230.000.000,(Apr’94 – Mar’95) US$ 13,851.43
US$ 406,961,226 US$ 3,033,532,360 US$ 3,440,493,586 Rp. 17.680.000.000,(Apr’95 – Mar’96) US$ 13,896.04
US$ 423,198,216 US$ 4,885,074,220 US$ 5,308,272,436 Rp. 26.440.000.000,(Apr’96 – Mar’97) US$ 20,837.59
US$ 147,34
US$ 624.41
US$ 18,058.21
US$ 16,299.68
US$ 22,987.82
US$ 27,003.75
US$ 38,717.97
Rp. 31,Rp. 527,-
Rp. 3.891,Rp. 994,-
Rp. 47.533,Rp. 2.050,-
Rp. 50.284,Rp. 2.200,-
Rp. 67.472,Rp. 2.225,-
Rp. 71.409,Rp. 2.370,-
Rp. 103.790,Rp.4.650,-
Sumber : Laporan Tahunan Perekonomian Pulau Batam, 1998
92
4.2 Kondisi Makro Ekonomi dan Investasi 4.2.1 Kondisi Makro Ekonomi Analisis yang akan dilakukan terbatas pada pertumbuhan ekonomi di Barelang (Batam). Untuk keperluan analisis pertumbuhan ekonomi data yang digunakan tetap mencacu sampai dengan tahun 1998.
Adapun data terbaru
digunakan apabila terkait atau memperkuat statment /pernyataa yang ada. Pada Interim Report I Evaluasi Master Plan Barelang yang dilakukan oleh LEMTEK UI (1998) menyatakan bahwa suatu indikator ekonomi yang paling sering digunakan untuk menunjukkan tingkat pertumbuhan ekonomi di suatu negara adalah GDP (Gross Domestik Product). Semakin tinggi GDP di suatu negara, maka dapat dikatakan bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi di negara tersebut semakin tinggi pula. Dan sebaliknya, jika tingkat pertumbuhan GDP suatu negara rendah, maka dapat dikatakan tingkat pertumbuhan negara tersebut rendah pula. Selain GDP, indikator lainnya yang akan dianalisis adalah investasi, ekspor dan kehadiran turis manca negara. 4.2.1.1 Pertumbuhan Ekonomi Asean/Regional Pertumbuhan negara ASEAN sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Pulau Batam, khususnya negara Singapura dan Malaysia. Semakin tinggi pertumbuhan di ASEAN, maka dapat diharapkan akan semakin mengangkat pertumbuhan ekonomi Batam. Pada kurun wakti 1993 – 1997 pertumbuhan ekonomi 7 negara ASEAN secara umum terus meningkat. Pertumbuhan mangalami penurunan pada tahun 1996. Pada tahun 1997 akibat krisis ekonomi, hanya Brunai Darussalam yang mengalami
peningkatan
pertumbuhan.
Singapura
masuh
dapat
mempertahankan tingkat pertumbuhannya, sedang 5 negara ASEAN lainnya secara umum mengalami penurunan yang cukup drastis.
Bahkan negara
Thailand mengalami pertumbuhan negatif. Tiga negara yang paling kena pengaruh krisis tersebut adalah Indonesia, Korea dan Thailand.
Nilai mata uang dari ketiga negara tersebut terus
mengalami penurunan. Arus modal asing dari luar melamban dan arus kredit masuk hampir berhenti.
Sebagai akibat kenaikan tingkat suku bunga, kredit
93
macet makin meningkat dan usaha ekonomi menjadi macet. Dampaknya kinerja perekonomian Indonesia pada tahun 1997 hanya tumbuh dengan angka 4,7% dan tidak sedikit perusahaan yang mengalami krisis bahkan menuju pada ambang kebangkrutan.
Diprediksi pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi
Indonesia mendekati nol, bahkan bisa menjadi negatif (-1,5%). Sebagai gambaran, hasil prediksi ESCAP pertumbuhan ekonomi di kawasan negara Asia Pasifik berkisar antar -3 sampai dengan +8, dengan dua diantaranya mengalami pertumbuhan GDP negatif yaitu Indonesia dan Thailand. Adanya krisis moneter yang terjadi di kawasan ASEAN sedikit banyak telah ikut mempengaruhi perkembangan perekonomian di kawasan SIJOR. Data yang telah dipublikasikan ESCAP pada tahun 1998 menunjukkan bahwa pertumbuhan GDP untuk ketiga negara tersebut pada tahun 1997 adalah untuk Indonesia (Riau/Batam) 4,7%, Malaysia 8% dan Singapura 7%. Untuk daerah Riau sendiri pertumbuhan PDRB mengalami peningkatan 5,46%. Namun demikian, pertumbuhan ekonomi di Riau (Batam) sangat dipengaruhi oleh perkembangan perekonomian di Singapura karena sebagian besar ekspor dari Batam masih melalui Singapura. 4.2.1.2 Pertumbuhan Ekonomi Barelang (Batam) PDRB Batam sebagian besar ditunjang oleh sektor Industri pengolahan dimana pada tahun 1996 sektor ini telah berkontribusi sebesar 66,14%. Sektor perdagangan, hotel dan restoran menempati posisi kedua. Dari sini dapat terlihat bahwa peran industri, ekspor impor untuk keluar masuknya bahan baku barang produksi menjadi bagian sangat penting dan akan mempengaruhi sektor lain seperti perdagangan, perhotelan, restoran dan lain-lain. Perkembangan Batam sebagai kawasan industri dan berhasil tumbuh dengan pesat disebabkan letak yang strategis, aksesibilitasnya yang mudah dan kedekatan dengan Singapura. Berikut diuraikan hasil analisis terhadap beberapa indikator ekonomi Pulau Batam, yang meliputi PDRB, investasi,ekspor dan impor serta kunjungan wisatawan mancanegara (wisman). (1) PDRB Pertumbuhan PDRB Batam pada tahun 1997 tercatat 12,52%, berarti mengalami penurunan dibanding pertumbuhan tahun 1996 yang mencapai
94
18,09%.
Namun penurunan PDRB ini masih lebih tinggi dibanding
pertumbuhan PDRB Riau yang besarnya 6,83% dan juga di atas PDRB Indonesia yang besarnya 4,65%. Walaupun dalam kondisi krisisi pertumbuhan PDRB Batam masih sangat baik, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 12,52% dan masih di atas pertumbuhan negara-negara ASEAN termasuk Singapura dan Malaysia, apalagi bila dibandingkan dengan PDRB Indonesia dimana PDRB Batam mencapai 3 kali lipat. Dari PDRB saja sudah terlihat bahwa perekonomian Batam masih tumbuh baik. Secara sektoral pertumbuhan PDRB Batam tahun 1997 sangat bervariasi. Pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Listrik, Gas dan Air bersih yaitu sebesar 28,44%.
Sektor Pertanian utamanya Perikanan menempati
urutan kedua sebesar 21,50%, sedangkan sektor Perdagangan, Hotel dan Retoran menempati urutan ketiga dengan nilai pertumbuhan PDRB sebesar 14,13%. Sektor Angkutan dan Komunikasi tumbuh sebesar 12,04%; Sektor Jasa tumbuh sebesar 10,20%; Sektor Bangunan sebesar 5,69% dan diikuti oleh Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan tumbuh sebesar 4,53%.
Satu-satunya
sektor
yang
tumbuh
negatif
adalah
sektor
Pertambangan dan Penggalian yaitu -54,56%. Bila dilihat dari sisi peranan tiap sektor ekonomi terhadap PDRB 1997 maka sektor Industri dan pengolahan masih tetap tercatat sebagai primadona penyumbang terbesar dengan peranan 64,96%. Peringkat kedua diisi oleh sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran yang menyumbangkan peran 16,86% dan posisi ketiga sektor lainnya hanya menyumbangkan peran dibawah 5%. Pada tahun 1998 kontribusi sektor Industri dan pengolahan perannya meningkat menjadi 67,37% dan ini menunjukkan semakin kuat dan dominannya sektor industri di P. Batam. (2) Investasi Secara umum investasi yang telah berjalan di Batam tumbuh dengan sangat baik.
Tercatata sejak tahun 1993 sampai dengan tahun 1997
menjelang krisis ekonomi, rata-rata pertumbuhan investasi di P. Batam adalah 10%/tahun.
95
Dengan kemudahan-kemudahan di atas, arus investasi dari swasta mengalir deras.
Sektor-sektor yang dimasuki investasi antara lain sektor
Pertanian, Pertambangan, Industri, Konstruksi/Galangan Kapal, Perhotelan, Pengangkutan, Perumahan dan Perkantoran serta jasa-jasa lainnya. Tiga sektor yang paling diminati pada tahun 1998 adalah sektor Industri dengan 248 proyek; kedua Sektor Jasa-jasa lainnya sebanyak 37 proyek; dan ketiga Sektor Konstruksi/Galangan Kapal sebanyak 23 proyek. Untuk memudahkan dalam melakukan analisis dan menyesuaikan dengan data Master Plan maka 8 sektor yang ada disesuaikan namanya menjadi 6 sektor, yaitu sektor Industri (gabungan dari sektor industri dan galangan kapal), Jasa (gabungan dari sektor jasa dan pengangkutan), Perumahan (kependekatan dari sektor perumahan dan perkantoran), Pariwisata, Pertanian dan Sektor Hijau atau areal Konservasi. Setelah
krisis
ekonomi
pada
tahun
1998
terjadi
penurunan
pertumbuhan investasi, yaitu hanya mencapai 2%, sehingga rata-rata pertumbuhan investasi sampai dengan 1998 menjadi 8,4% pertahun. Apabila dilihat lebih rinci, maka investasi tersebut sampai dengan tahun 1998
disumbangkan oleh Pemerintah dalam bentuk investasi nasional
sebesar 23,4% atau senilai US$ 1.578.208.610 dan oleh swasta (investasi positif) sebesar 76,6% atau senilai dengan US$ 5.166.313.559 sehingga total investasi di P. Batam sampai dengan tahun 1998 adalah sebesar US$ 6.744.522.169. Tumbuh positifnya investasi, khususnya dari pihak swasta disebabkan adanya komitmen yang kuat dan konsistensi dari pemerintah berupa kemudahan, keringanan dan keuntungan bila berinvestasi, diantaranya: 1) Proses perijinan usaha dengan sistem satu atap (one stop services). 2) Tarif sewa tanah yang lebih mudah dibandingkan dengan kawasan industri lain. 3) Prosedur imigrasi yang khusus dan mudah. 4) Prosedur pemasukan barang dari luar negeri yang mudah dan belum dianggap impor. Tidak dikenakan bea masuk dan pungutan impor lainnya (PPn dan PPnBM).
96
5) Lokasi yang strategis dekat dengan pasar Asia dan dilalui dilalui oleh rute pelayaran internasional. 6) Dukungan koordinasi antar instansi pemerintah yang sangat kuat (adanya kepastian berusaha, keamanan dan kenyamanan). Bila diolah dari laporan tahunan perekonomian tahun 1998, maka rencana penanaman modal dalam dan luar negeri (investasi) adalah sebagai berikut: 1) Sektor Industri Industri yang ada di P. Batam meliputi 8 jenis industri dan bergerak dalam bidang usaha makanan, minyak, tekstil, kayu, kertas, kimia dan farmasi, mineral dan logam, logam dasar serta elektronika. Berdasarkan realisasinya hingga tahun 1998, terbesar adalah industri dalam bidang logam dasar dan elektronika (72,78%) dengan nilai investasi sebesar US$ 409.450.000 dan diikuti oleh industri lainnya (19,33%) dengan nilai investasi sebesar US$ 108.735.000 serta industri yang bergerak dalam bidang kimia dan farmasi (6,90%) dengan nilai total investasi sebesar US$ 38.825.000. Untuk industri yang bergerak dalam bidang makanan dan minuman, tekstil, kertas serta industri yang bergerak dalam usaha mineral dan logam nilai investasinya relatif kecil karena dibawah 1%. Grafik rencana dan realisasi penanaman modal asing menurut bidang usaha pada sektor industri pada kurun waktu 1996 – 1998 dapat dilihat pada Gambar 15. 800,000 700,000 600,000 1996 1997 1998 Realisas
409,450
500,000 400,000 300,000 200,000 100,000
108,735 1,339
2,750
1,449
0
38,825
0
0 Makanan
Tekstil
Kayu
Kertas
Kimia & Farmasi
Mineral dan Logam dasar Logam dan elek
Lainnya
Gambar 15. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Industri (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998.
97
2) Sektor Pertanian Sektor pertanian pada umumnya terbagi ke dalam tiga sub-sektor, masing-masing sub-sektor perkebunan, perikanan dan peternakan. Dari ketiga sub-sektor tersebut, tidak terdapat investasi untuk sub sektor perikan an baik melalui PMA maupun PMDN.
Adapun total investasi
untuk perkebunan mencapai US$ 562.000 (41,63% dari rencana investasi) dan peternakan mencapai US$ 8.448.000 (39,28% dari rencana investasi).
Gambar 16 memperlihatkan grafik rencana dan
realisasi investasi sektor pertanian hingga tahun 1998.
25,000
21,505
20,000 1996
15,000
1997 8,448
10,000 5,000
1998 Realisasi
1,350
562
0
0
0 Perkebunan
Perikanan
Peternakan
Gambar 16. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Pertanian (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998. 3) Sektor Perumahan Sektor perumahan terbagi kedalam dua jenis investasi, masingmasing PMDN (Penanaman Modal dalam Negeri) dan PMA (Penanaman Modal Asing).
Realisasi sektor perumahan yang didanai dari PMDN
mencapai US$ 76.547.000 atau 97,45% dari rencana, sedangkan realisasi PMA hanya mencapai US$ 17.302.000 atau 23,16% dari rencana investasi.
Dari hasil ini nampak untuk sektor perumahan
realisasinya sangat rendah yang mungkin diakibatkan krisis ekonomi yang terjadi pada saat itu. Gambar 17. memperlihatkan grafik rencana dan realisasi untuk sektor perumahan hingga tahun 1998.
98
78,547
77,547
78,547 70,405
80,000
74,705
76,547
59,500
70,000 60,000
\\\
50,000
PMDN
40,000
PMA 17,302
30,000 20,000 10,000 1996
1997
1998
Realisasi
Gambar 17. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Perumahan (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998.
4) Sektor Jasa Sama halnya dengan sektor perumahan, sektor jasa juga terbagi kedalam dua jenis investasi, masing-masing PMDN (Penanaman Modal dalam Negeri) dan PMA (Penanaman Modal Asing). Realisasi sektor jasa yang didanai dari PMDN mencapai US$ 17.785.000 atau 6,28% dari rencana, sedangkan realisasi PMA mencapai US$ 182.911.000 atau 33,25% dari rencana investasi.
773,885
749,852
800,000 700,000
550,152
600,000 500,000
380,454 298,695
400,000
PMDN
298,695
PMA 182,911
300,000 200,000 18,785
100,000 1996
1997
1998
Realisasi
Gambar 18. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Jasa (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998.
99
5) Sektor Perhotelan Realisasi
PMA
untuk
sektor
perhotelan
relatif
lebih
baik
dibandingkan dengan sektor lainnya yang pada umumnya persen realisasinya relatif lebih kecil dibandingkan dengan PMDN.
Terhitung
berdasarkan hasil analisis realisasi untuk sektor perhotelan adalah sebesar 78,75% dengan nilai investasi sebesar US$ 212.465.000, sedangkan untuk PMDN realisasinya hanya mencapai 37,84% dengan nilai investasi sebesar US$ 123.074.000. Tingginya realisasi di sektor perhotelan menunjukkan bahwa meskipun sedang mengalami instabilitas pada tahun 1998, namun sektor perhotelan masih mempunyai daya tarik investasi sehingga PMA masih berminat untuk menanamkan investasinya di P. Batam.
Gambar 19. Menyajikan grafik rencana dan realisasi
investasi sektor perhotelan sampai dengan tahun 1998.
364,995 400,000
325,281
325,281
350,000
269,787
258,465 300,000
226,228
212,465
250,000 PMDN
200,000
123,074
PMA
150,000 100,000 50,000 1996
1997
1998
Realisasi
Gambar 19. Grafik Rencana dan Realisasi Investasi Sektor Perhotelan (dalam US$ 000) s/d Tahun 1998.
(3) Ekspor dan Impor Dengan status P. Batam sebagai kawasan Berikat (Bonded Zone), maka barang yang dimasukkan
dari luar negeri ke P. Batam belum
dinyatakan sebagai proses impor, sehingga sampai dengan tahun 1998 data impor kurang mendapat perhatian.
Hal ini juga menyulitkan analisis
perbandingan antara ekspor dan impor. analisis lebih difokuskan pada ekspor.
Dengan data yang ada maka
100
Dari data perkembangan Batam sampai dengan Desember 1998 terlihat bahwa pertumbuhan ekspor sejak tahun 1993 hingga tahun 1997 mencapai 46,25%.
Nilai ekspor pata tahun 1997 adalah senilai US$
4.885.082.830 sedang pada tahun 1998 akibat krisis ekonomi terjadi penurunan menjadi US$ 4.726.207.798 atau terjadi pertumbuhan ekspor dari tahun 1993 sampai dengan tahun 1998 menjadi 36,4% pertahun.
Nilai
tersebut masih dianggap katagori pertumbuhan yang tinggi
yang
mengindikasikan masih berlangsungnya kegiatan/proses industri, perputaran uang dan berarti pertumbuhan ekonomi masyarakat di P. Batam. Peran ekspor dari P. Batam pun cukup menarik bila dilihat dari skala nasional maupun provinsi. Pada tahun 1997 tercatat ekspor non-migas dari P. Batam tercatat senilai US$ 3.033 juta atau 7,9% dari ekspor nasional, dan bila dibandingkan dengan provinsi Riau tanpa Batam adalah 132%. Apabila pada tahun 1998 terdapat 27 provinsi maka rata-rata sumbangan tiap provinsi adalah 3,7%.
Bila dibandingkan dengan ekspor dari P. Batam
sebesar 7,9% maka berarti Batam telah menyumbangkan nilai ekspor setara dengan lebih dari 2 kali nilai provinsi Riau. Seperti dijalankan sebelumnya impor sebelum tahun 1998 kurang mendapat perhatian, namun demikian pada tahun 1998 Neraca Perdagangan Luar Negeri Batam tercatat mengalami surplus sebesar US$ 1,06 miliar yang merupakan selisih dari ekspor senilai US$ 4,73 miliar, dan impor senilai US$ 3,66 miliar.
Dengan neraca perdagangan yang surplus Batam dapat
dikatakan sebagai daerah berpotensi meningkatkan perekonomian nasional. (4) Kunjungan Wisatawan Mancanegara (Wisman) Kunjungan wisman pada masa krisis tahun 1997 tercatat 1.1.52.167 wisman atau 33% dari seluruh wisatawan mancanegara (wisman) yang masuk ke Indonesia dengan total 3.497.ooo wisman. Pada tahun 1997 juga Batam merupakan pintu masuk wisman tertinggi di Indonesia. Pintu masuk tertinggi kedua adalah Jakarta melalui Bandara Udara Sukarno-Hatta sebanyak 1.113.000 wisman dan tertinggi ketiga adalah Bali melalui Bandara Ngurah Rai sebanya 997.000 wisman. Pada tahun 1998 jumlah wisman yang berkunjung ke Batam meningkat mencapai 1.208.454 orang atau meningkat 4,8% dari tahun 1997.
Dengan
101
jumlah turis tersebut pada tahun 1998 devisa yang terserap mencapai US$ 421,57. Dengan rata-rata tinggal di P. Batam selama 2,1 hari didapat ratarata
pengeluaran
wisman
dalam
satu
hari
adalah
US$
180.
Permasalahannya pada tahun 1998 sebagian besar atau 73,9% wisman berasal dari Singapura sehingga agak sulit meningkatkan lama tinggal atau membelanjakan lebih banyak dolarnya di P. Batam.
Kesulitannya adalah
dengan jarak yang dekat wisman dari Singapura dapat pulang dan pergi ke P. Batam dalam satu hari yang sama. Biasanya mereka menginap pada akhir pekan yaitu pada hari Sabtu dan Minggu. Sebenarnya pemasukkan devisa melalui wisman di P. Batam masih bisa ditingkatkan. Salah satunya dengan meningkatkan kualitas pelayanan, penambah obyek wisata serta atraksi kebudayaan yang mewakili budayabudaya yang ada di Indonesia. 4.2.2 Kondisi Investasi Investasi
merupakan
salah
satu
unsur
yang
penting
didalam
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Investasi dapat berasal dari pemerintah atau swasta. Investasi sektor pemerintah dilakukan dan dibiayai melalui APBN dan APBD. Sedang penanaman modal swasta dilakukan melalui Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN). Sampai
dengan
bulan
Desember
1998
di
Pulau
Batam
telah
direkomendasikan rencana penanaman modal sebanyak 333 proyek berasal dari PMA dengan nilai investasi sebesar US$ 2.242 juta dan 126 proyek PMDN dengan nilai investasi sebesar Rp.2.333 miliar. Sedang yang terealisir, untuk PMA sebanyak 222 proyek dengan nilai sebesar US$ 1.455 miliar dan PMDN sebanyak 43 proyek dengan nilai sebesar Rp. 1,46 triliun. Investasi di luar PMA dan PMDN yakni investasi Non Fasilitas tercatat secara keseluruhan sampai dengan Desember 1998 sebesar US$ 4.58 milyar dan Rp. 526 miliar. Sedang total investasi pemerintah secara kumulatif sejak tahun 1978 mencapai Rp. 2,7 triliun. Lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 14. dan Tabel 15.
102
Tabel 14. Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri Menurut bidang Usaha ( Rp. Juta )
PENANAMAN MODAL DALAM NEGERI JUMLAH PROYEK
NILAI INVESTASI
REALISASI s.d Des 1998
BIDANG USAHA
(1) 1. PERTANIAN
1996
1997
1998
(2)
(3)
(4)
1996
1997
1998
(5)
(6)
(7)
JML PRO YEK
NILAI INVESTA SI
(8)
(9)
2
2
2
21.505
21.505
21.505
2
8.448
a. Perkebunan
-
-
-
-
-
-
-
-
b. Perikanan
-
-
-
-
-
-
-
-
c. Peternakan
2
2
2
21.505
21.505
21.505
2
8.448
2. PERTAMBANGAN
-
-
-
-
-
-
-
-
52
52
54
1664.675
1457.497
1500.421
40
1154.338
2
2
2
138.938
138.938
138.938
2
61.061
b. Tekstil
5
5
6
30.250
31.600
31.600
5
30.250
c. Kayu
2
2
2
16.159
16.159
16.159
2
16.159
d. Kertas
-
-
-
-
-
-
-
-
e. Kimia dan Farmasi
2
2
2
435.280
392.355
435.280
1
235.280
f. Mineral dan
-
-
-
-
-
-
-
-
22
23
24
711.587
643.794
643.794
20
511.587
h. Lainnya
18
18
18
332.441
234.648
234.648
10
300.000
4. KONSTRUKSI /
8
8
8
108.874
108.874
108.874
6
78.874
10
14
15
364.995
325.281
325.281
10
123.074
6. PENGANGKUTAN
-
-
-
-
-
-
-
-
7. PERUMAHAN & PERKANTORN
2
3
3
77.547
78.547
78.547
2
76.547
33
38
44
380.454
298.695
298.695
33
18.785
106
117
126
2.619.385
2.289.052
2333.326
93
1.460.070
3. INDUSTRI a. Makanan / Minyak Makan
Logam g. Logam Dasar & Elektronika
GALANGAN KAPAL 5. PERHOTELAN
8. JASA-JASA LAINNYA JUMLAH
Sumber: Laporan Tahunan Perekonomian Pulau Batam, 1998
103
Tabel 15. Rencana Penanaman Modal Asing Menurut Bidang Usaha ( 000 US$ )
PENANAMAN MODAL ASING JUMLAH PROYEK No.
REALISASI s.d. 1998
BIDANG USAHA 1996
1997
(2)
(1) 1.
NILAI INVESTASI
1998
(3)
1996
(4)
1997
(5)
1998
(6)
JML PROY
(7)
NILAI INVESTASI
(8)
(9)
PERTANIAN
3
3
3
17.650
17.650
17.650
1
562
a. Perkebunan
2
2
2
1.350
1.350
1.350
1
562
b. Perikanan
1
c. Peternakan 2.
PERTAMBANGAN
3.
INDUSTRI
-
-
1
-
1
-
16.300
-
16.300
16.300
-
-
-
-
-
-
-
-
177
204
248
853.795
888.543
1162.24 7
171
562,547
a. Makanan/Minyak Makan
3
3
4
27.276
27.276
27.276
2
1,339
b. Tekstil
1
1
2
1.000
1.000
1.000
1
2,750
c. Kayu
1
1
1
1.200
1.200
1.200
1
1,448
d. Kertas
8
e. Kimia dan Farmasi f. Mineral & Logam
-
-
1 13
-
-
23 -
34.182
-
500 40.474
-
149.567
-
-
13
-
38,825 -
g. Logam Dasar & Eketronika
98
113
140
539.208
559.857
721.983
106
409,450
h. Lainnya
66
73
77
250.928
258.735
260.720
48
108,735
4.
KONSTRUKSI / GALANGAN KAPAL
12
20
23
120.403
160.433
165.833
20
969,519
5.
PERHOTELAN
8
12
15
226.228
258.465
269.787
12
212,465
6.
PENGANGKUTAN
-
-
7.
PERUMAHAN & PERKANTORAN
8.
JASA-JASA LAINNYA
JUMLAH
-
-
-
-
-
-
4
6
7
59.500
70.405
74.705
2
17,302
36
36
37
773.885
749.852
550.152
16
182,911
240
281
333
2051.463
2145.34 8
2241.74 5
222
1945.348
Sumber : Laporan Tahunan Perekonomian Pulau Batam, 1998.
104
4.3
Analisis Kebijakan Umum Pengembangan P. Batam
4.3.1
Kebijakan Pengembangan P. Batam sebagai Pilot Proyek Pusat Pertumbuhan di Wilayah Barat Dalam analisis terhadap kebijakan pengembangan P. Batam sebagai pilot
proyek pusat pertumbuhan di wilayah Indonesia bagian barat, Batam tidak bisa hanya dilihat sebagai pulau kecil yang terletak di wilayah barat Indonesia. P. Batam harus ditinjau dan dilihat dari perspektif nasional. Letak P. Batam yang strategis di Selat Malaka yang merupakan jalur lalu lintas perdagangan teramai di dunia, berseberangan dan hanya berjarak 20 km dari Singapura. Singapura sendiri merupakan negara pusat keuangan dunia, simpul distribusi dunia dan tujuan wisata dunia namun mempunyai keterbatasan lahan dan sudah mencapai titik jenuh sehingga harus memperluas ke arah laut. Kondisi ini bisa menjadi rawan atau peluang terhadap P. Batam karena secara ilmiah kepadatan aktivitas dan kejenuhan akan meledak dan mengalir atau merembet ke wilayah sekitarnya.
Kondisi menjadi rawan atau negatif
apabila aliran ini memasuki P. Batam tanpa terkendali dan tidak ada yang menangani. Untuk menangkap peluang dan sekaligus mencegah kerawanan, P. Batam harus ditangani dengan rencana dan konsep yang matang. Sebelum tahun 1970, P. Batam hanya merupakan pulau yang dihuni oleh + 6.000 jiwa dan merupakan bagian dari wilayah Kec. Belakang Padang. Kondisi ini tidak memungkinkan untuk bersaing dan menangkap peluang dan menanggulangi/mencegah kerawanan yang mungkin terjadi. Sebagai gambaran dapat dilihat dari data-data perbandingan antara Batam dan Singapura tahun1970. Mensikapi kondisi ini, pada tanggal 19 Oktober 1970 Pemerintah Pusat melalui Presiden RI mengeluarkan Keputusan No. 65 tahun 1970 tentang Proyek Pembangunan Pulau Batam, yang isinya antara lain: (1)
Menetapkan P. Batam sebagai Badan Logistik dan Operasional untuk industri minyak dan gas bumi yang berkaitan dengan eksploitasi.
(2)
Menunjuk Direktur Utama PN. Pertamina Dr. H. Ibnu Sutowo sebagai penanggung jawab.
105
(3)
Segala biaya pembangunan proyek disisihkan dari anggaran PN. Pertamina.
Keputusan tersebut kemudian disusul dengan Keputusan No. 74 tahun 1971 tentang Pengembangan Pembangunan Pulau Batam dan ditetapkan sebagai daerah industri.
Dalam pasal (2) disebutkan bahwa status daerah
industri tersebut sebagai Entrepot Partikelir, dan dalam pasal (3) dan (4) disebutkan untuk mengkoordinir serta mengintegrasikan kegiatan-kegiatan dibentuk Badan Pimpinan Daerah Industri, dimana Badan Pimpinan tersebut merupakan penguasa dan bertanggung jawab kepada presiden. Untuk meningkatkan dan memperlancar pelaksanaan pengembangan Daerah Industri Pulau Batam, Presiden RI kemudian mengeluarkan Keputusan No. 41 tahun 1973 yang isinya seluruh P. Batam dinyatakan sebagai daerah industri. Pembinaan pengendalian dan pengusahaan daerah industri P. Batam masing-masing diselenggarakan oleh dan dipertanggungjawabkan kepada Badan Pengawas Daerah Industri P. Batam, Otorita Pengembangan Daerah Industri P. Batam. Untuk menjadikan P. Batam sebagai wilayah pertumbuhan maka dilakukan upaya untuk mempermudah masuknya industri baik dari luar maupun dari dalam guna mempercepat pertumbuhan ekonomi dan menggairahkan kegiatan di semua faktor khususnya industri.
Upaya ini didorong tekad
pemerintah dengan menerbitkan Keputusan Presiden No. 33 tahun 1974 yang menentapkan Kawasan Batu Ampar Sekupang dan Kabil sebagai Bonded Warehouse yang selanjutnya berubah dengan Keputusan Presiden No. 41 tahun 1978 dan menentapkan seluruh wilayah P. Batam sebagai Bonded Area. Selanjutnya guna menunjang percepatan pertumbuhan P. Batam diterbitkan beberapa KEPPRES dan Surat Kepmen, antara lain: (1)
Surat Keputusan No. 1 tahun 1978 oleh Ketua Badan Koordinator Penanaman Modal tentang Pemberian Pelimpahan Wewenang Pengurusan dan Penilaian Permohonan Penanaman Modal di Daerah Bonded P. Batam kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam.
(2)
Surat Keputusan Presiden RI No. 22 tahun 1978 tentang Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran serta Pemindahan Barang Kedalam
106
dan Keluar Wilayah Usaha Bonded Warehouse di Daerah Industri P. Batam. (3)
Pada tanggal 8 Januari 1983, ditetapkan P. Batam sebagai daerah berstatus khusus di bidang keimigrasian dalam rangka menunjang pengembangan P. Batam sebagai daerah rawan industri, wilayah usaha bonded warehouse dan pariwisata.
(4)
Surat
Keputusan
70/kp/l/1983
Menteri
tentang
Perdagangan
Pelimpahan
dan
Wewenang
Koperasi di
No.
Bidang
Perdagangan dan Koperasi kepada Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri P. Batam. (5)
Surat Keputusan Presiden No. 56 tahun 1984 tentang Penambahan Wuilayah Lingkungan Kerja Daerah Industri Pulau Batam dan penetapannya sebagai wilayah usaha Bonded Warehouse, atas Pulau Janda Berias, P. Tanjung Sauh, P. Ngenang dan Pulau Moimoi.
Hasil upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Badan / Satuan Pelaksana Otorita Pengembangan Daerah Industri P. Batam dapat dilihat dari beberapa peningkatan beberapa indikator antara lain peningkatan jumlah penduduk, tenaga kerja, jumlah perusahaan, jumlah wisatawan, instansi pemerintah dan swasta, penerimaan devisa dan penerimaan PEMDA. Lonjakan pertumbuhan 8 indikator tersebut dapat mencerminkan pertumbuhan di P. Batam.
PRC (1998) menyatakan bahwa rata-rata
pertumbuhan ekonomi di P. Batam sampai dengan 1998 adalah 17% pertahun. Dari sudut pandang lain khususnya dari sektor sosial dan pemerintahan terjadi ketimpangan.
Sejak tahun 1983 telah dirasakan tuntutan peningkatan
adminstrasi pemerintah karena saat itu P. Batam masih ditangani oleh pemerintah tingkat kecamatan sedangkan investasi telah mencapai US$ 510 juta. Oleh karenanya melalui PP No. 34 tahun 1983 tanggal 7 Desember 1983, ditetapkan Kota Madya Batam di wilayah Provinsi Daerah Tingkat I Riau. Pada tanggal 24 Desember 1983 secara resmi didirikan Kota Madya Batam oleh Menteri Dalam Negeri. Untuk menghindari tumpang tindih tanggung jawab, pada tanggal 23 Januari 1984 dikeluarkan Keputusan Presiden RI No. 7 tahun 1984 tentang
107
Hubungan Kerja Antara Kota Madya Batam dengan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Namun layaknya kapal apabila dinahkodai oleh dua orang maka akan sulit terjadi kesepahaman yang berarti mengganggu operasi dan jalannya kapal dalam mencapai tujuan. Dari beberapa hal yang telah diungkapkan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengembangan P. Batam merupakan upaya menangkap peluang pertumbuhan yang tinggi di Selat Malaka. Indikasi ini dapat terlihat dari pertumbuhan ekonomi P. Batam setelah dilakukan pengelolaan secara khusus hingga rata-rata pertumbuhan ekonomi mencapai 17% pertahun dengan pendapatan perkapita mencapai US$ 1.400, sehingga dapat dikatakan bahwa P. Batam merupakan pusat pertumbuhan baru untuk wilayah barat Indonesia. Namun demikian, perkembangan P. Batam yang pesat juga diiringi dengan masalah-masalah sosial yang timbul seperti kesenjangan pendapatan antara pelaku-pelaku ekonomi dan masyarakat asli, pendatang dan pemukim liar, selain kesenjangan dengan pulau-pulau lain disekitarnya yang belum terselesaikan dengan tuntans. Kesenjangan/konflik juga terjadi antara OPDIP Batam dengan Pemerintah Kota Madya Batam yang harus segera diselesaikan melalui pembagian tugas yang jelas disertai dengan dasar hukum yang tegas. 4.3.2 Kebijakan Pulau Batam sebagai Daerah Pengembangan Khusus Berbeda dengan daerah-daerah lain, Pulau Batam dikembangkan oleh institusi yang merupakan perpanjangan langsung Pemerintah Pusat. Sebagai institusi yang berinduk ke pusat, maka Otorita Batam langsung bertanggung jawab kepada Presiden (Keppres 74 tahun 1971). Kekhususan ini dimaksudkan untuk mempercepat menangkap peluang, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan menarik investasi, selain itu juga mengamankan daerah di wilayah perbatasan. Dalam Keppres No. 41 tahun 1971, peran Otorita Batam, PEMDA ditugaskan antara lain seluruh P. Batam dinyatakan sebagai daerah industri, pembinaan, pengendalian dan pengusahaan daerah Industri P. Batam masingmasing diselenggarakan oleh dan dipertanggungjawabkan kepada Badan Pengawas Daerah Industri P. Batam, Otorita Pengembangan Daerah Industri P. Batam (OPDIP).
108
Kekhususan sangat terlihat dengan diberikannya beberapa pelimpahan khusus dari beberapa instansi, diantaranya: •
Diberikannya hak-hak pengelolaan kepada OPDIP Batam, untuk mengelola dan menggunakan tanah daerah/wilayah OPDIP Batam termasuk P. Jandaberias, P. Tanjung Sauh, P. Nginang dan P. Kasim.
•
Pelimpahan hak dari Ketua BKPM untuk pengurusan dan penilaian pemohon penanaman modal ke daerah Bonded P. Batam kepada Ketua OPDIP Batam.
•
Pelimpahan wewenang dari Menteri Perdagangan dan Koperasi di bidang Perdagangan dan Koperasi kepada Ketua OPDIP Batam.
•
SK Menteri Perhubungan yang memberikan hak pembangunan pelabuhan Sekupang, Batu Ampar, Nongsa dan Kabil untuk dilakukan oleh OPDIP Batam.
Kekhususan yang sangat dirasakan mendorong pengembangan industri di P. Batam adalah dengan ditetapkannya seluruh wilayah P. Batam sebagai Bonded Area melalui Keppres No. 41 tahun 1978. Bahkan berdasarkan pada Keppres No. 28 tahun 1992, maka seluruh P. Batam, Rempang, Galang dan Galang Besar ditetapkan sebagai kawasan Bonded Zone, dan dengan ketentuan bahwa seluruh pulau adalah kawasan berikat maka kawasan Barelang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah-pisah atau dipagar. Dukungan lain yang diberikan khusus kepada OPDIP Batam antara lain: (1) Perpajakan bebas PPn, PPnBM dan BM. (2) Kemudahan dan penyederhanaan perijinan. (3) Harga sewa lahan dan buruh yang relatif murah. Beberapa kekhususan yang diberikan bagi pembangunan P. Batam telah menghasilkan nilai-nilai yang positif yang dapat dinilai dari pertumbuhan ekonomi yang semakin baik, peningkatan investasi PMA dan PMDN, peningkatan PDRB dan PDRB perkapita, peningkatan penerimaan pajak serta peningkatan jumlah tenaga kerja. Hasil positif ini dicapai karena adanya kemudahan dan kecepatan di dalam proses baik di dalam perijinan, usaha, pembangunan, pemasukan dan pengolahan barang di pelabuhan dan kawasan industri.
Hasil positif juga
109
memperlihatkan
pertumbuhan
yang
sangat
cepat
seperti
pertumbuhan
penduduk, pertumbuhan investasi, pertumbuhan ekspor impor dan sebagainya. Namun demikian, ada ekses-ekses negatif yang timbul akibat percepatan pembangunan di P. Batam.
Berkait dengan perpajakan maka penetapan P.
Batam / Barelang sebagai Kawasan Bonded Zone / Kawasan Berikat menjadi daya tarik sendiri, karena masih menjadi perdebatan khususnya terhadap makna dan status hukumnya. Menurut PP No. 36/1996, Kawasan Berikat merupakan kawasan khusus di dalam daerah pabean yang dibatasi dengan pagar guna menyampur dan mengolah bahan baku dan tidak dihuni oleh penduduk. Apabila zone bebas untuk penyimpanan dan pengolahan terletak di luar daerah pabean seharunya bernama Kawasan Perdagangan Bebas atau free trade zone (UU No. 36 tahun 2000).
Free Trade Zone menurut Khyoto Convention dirumuskan
sebagai wilayah suatu negara yang berada di luar daerah pabean yang memperoleh pembebasan bea masuk, pajak penjualan barang mewah dan pajak penambahan nilai.
Di dalam free trade zone dapat dilakukan kegiatan
penyimpanan (ware housing) dan atau alih kapal (transshipping), mengubah bentukan (transforming) dan pengolahan (processing atau manufacturing). Kenyataannya pengembangan P. Batam merupakan satu kesatuan wilayah pengembangan.
Seluruh kegiatan baik pemerintahan, perencanaan
kegiatan dan manufacturing dan jasa termasuk pabean adalah merupakan wilayah kegiatan yang mengatur dan tidak terpisah-pisahkan oleh batas yang tajam termasuk keberadaan penduduknya. Apabila melihat kenyataan ini maka secara de facto P. Batam adalah daerah perdagangan besar dan pelabuhan bebas atau extrade zones, namun secara de jure P. Batam adalah Kawasan Berikat (bonded zone). Ketidakpastian hukum ini masih diperdebatkan dan terjadi tarik menarik beberapa kepentingan dan keputusan yang diambil masih berubah-ubah. Alternatif yang diperdebatkan untuk zona bebas di P. Batam adalah: (1) Kondisi tetap seperti yang sekarang. (2) Ditugaskan menjadi daerah perdagangan bebas di seluruh P. Batam. (3) Sebagian P. Batam ditetapkan sebagai daerah bebas seperti pelabuhan dan kawasan industri.
110
Kondisi ini sangat tidak menguntungkan, karena masyarakat pebisnis dan para investor menilai tidak ada kepastian hukum (Kompas, 25 Maret 2005). Akibatnya ada kekhawatiran tidak ada jaminan keamanan dan investasi ataupun berusaha
untuk
jangka
panjang
di
P.
Batam.
Kekhawatiran
berarti
ketidaktertarikan untuk berinvestasi dari para investor baik yang sudah berusaha di P. Batam maupun yang baru ingin mencoba berusaha dan berinvestasi di P. Batam. Isu ini akan terus berkembang selama belum ada kepastian hukum dan dapat menimbulkan pandangan bahwa ada P. Batam adalah daerah yang tidak menguntungkan untuk berinvestasi. Informasi dari harian Kompas tersebut juga memberitakan tentang 25 PMA yang mengancam henkang dari P. Batam. Ancaman hengkang tersebut timbul dikarenakan beberapa hal : (1) Penundaan pemberlakuan PPn, PPnBM dan BM selama 5 kali. (2) Tidak adanya jaminan keamanan dan kepastian hukum, berupa lahirnya UU FTZ Kota Batam. (3) Reaksi buruh dalam bentuk dan mogok kerja. (4) Kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) selama 5 tahun yang mencapai angka 250%. (5) Adanya birokrasi serta pungutan liar yang dilakukan oleh oknum Bea Cukai yang cukup siginifikan, mencapai 20%. (6) Adanya tekanan dan pemaksaan yang dilakukan oleh oknum pajak yang lebih mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan negara. (7) Tidak adanya aturan perpajakan standar, antara ketentuan Pusat dan Daerah yang membingungkan para investor apalagi diberlakukan surut seperti PPN atas pemanfaatan Barang Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena Pajak (JKP) dari luar daerah pabean pada periode 1 Januari 1995 sampai dengan 31 Desember 2003. Permasalahan lain yang berkaitan dengan kekhususan P. Batam adalah dualisme kepemimpinan dalam satu wilayah kerja, yaitu pimpinan OPDIP Batam dan pimpinan wilayah Kota Madya Batam (Walikota Batam). Dapat dibayangkan bahwa konflik pasti akan terjadi seperti halnya satu kapal yang dipimpin oleh dua nahkoda. Namun kenyataan sampai saat ini pembangunan dan pengembangan di P. Batam dapat berjalan disebabkan karena adanya saling pengertian kedua
111
pimpinan. Bila kedua pimpinan bersikeras dengan dasar-dasar hukum yang ada maka akan terjadi konflik dan perselisihan karena adanya tumpang tindih tanggungjawab dalam satu wilayah kerja yang sama. 4.3.3 Persaingan dengan Wilayah Lain Setelah dikembangkannya P. Batam dan menunjukkan hasil-hasil pembangunan yang positif, Pemerintah Pusat bekerja sama dengan Pemerintah Daerah berupaya mengembangkan wilayah-wilayah lain yang mempunyai potensi didorong untuk lebih cepat melaksanakan pembangunan. Konsep
pembangunan
di
P.
Batam
sebagian
diadopsi
untuk
dikembangkan di wilayah pilihan dengan menyesuaikan kondisi setempat. Wilayah pilihan ini dikenal dengan KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu). Ada 14 Kapet yang telah ditetapkan, yaitu: (1)
Kapet Sangau, di Kalimantan Timur.
(2)
Kapet DAS Kakab di Kalimantan Tengah.
(3)
Kapet Batulicin, di Kalimantan Selatan.
(4)
Kapet Sasamba, di Kalimantan Timur.
(5)
Kapet Manado Bitung di Sulawesi Utara.
(6)
Kapet Batui di Sulawesi Tengah.
(7)
Kapet Bukau di Sulawesi Tenggara.
(8)
Kapet Raol di Sulawesi Selatan.
(9)
Kapet Bima di Nusa Tenggara Barat.
(10) Kapet Mbay di Nusa Tenggara Timur. (11) Kapet Benafiq di Timor Timur. (12) Kapet Suam di Maluku. (13) Kapet Biak di Irian Jaya. (14) Kapet Sabang di Aceh. Untuk
daya
tarik
kawasan
ini
memberikan
insentif,
diantaranya
penyediaan basic infrastructure yang disediakan oleh pemerintah, pembebasan pajak, pelayanan satu atap, dan lain-lain.
Namun pada kenyataanya Kapet
tersebut tidak dapat berkembang optimal dan semakin lama nama-nama Kapet tersebut semakin tidak terdengar dan juga dengan hasil pembangunan yang dilaksanakan.
112
Wilayah lain yang juga dikembangkan khusus adalah P. Natuna dan P. Bintan. Untuk P. Natuna, ditangani oleh Badan Pengelola Pengembangan P. Natuna (BP3 Natuna) yang bertanggung jawab kepada presiden. Direncanakan pulau ini dikembangkan dengan konsep yang sangat mirip dan mendekati konsep pembangunan P. Batam. Penggerak ekonomi utama yang diharapkan adalah sumberdaya alam (natural gas) dari ladang D. Alpha yang mengandung gas sebanyak + 210 trilon cubic feet, termasuk cadangan CO2 sebesar 71%. Nama Natuna sangat meledak dan menjadi primadona karena merupakan megaproyek sebagai proyek terbesar di dunia. Permasalahan dengan kandungan 71% kandungan CO2 menyebabkan biaya penambangan dan pengolahan menjadi sangat tinggi sehingga eiestimasi harga jual gas yang dihasilkan kurang dapat bersaing dengan harga gas dipasaran. Akibatnya proyek ini kurang diminati investor dan berjalan ditempat. Sebagai lanjutannya pengembangan P. Natuna juga terkendala dan berkembang sangat lambat hingga saat ini. Di Pulau Bintan yang dikembangkan khusus adalah Lagoi, yang terletak di wilayah utara P. Bintan. Wilayah ini berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan dan mempunyai potensi pariwisata dengan pantainya yang sangat indah. Pasar potensial adalah Singapura. Secara geografi Lagoi terletak tidak jauh dari Singapura dan tidak sulit dijangkau melalui laut dari pelabuhan Tanah Merah Singapura. Filosofi pengembangan Lagoi adalah Singapura sebagai Engine of Growth dan Indonesia sebagai daerah yang akan dipengaruhi. Sebagai Engine of Growth, Singapura memiliki karakteristik: (1) Bagian global infrastrukture; (2) Pengalaman luas dalam MNCs (Multi National Corporations); (3) industries;
Hi tech
(4) Mengerahkan modal swasta Indonesia dan Singapura; (4)
Training Centre untuk High Skilled; (5) Wisatawan hingga 5 juta/tahun dengan tingkat pertumbuhan 5% pertahun; (6) Income per kapita US$ 10.000 per tahun. Sedangkan Indonesia, sebagai daerah yang dipengaruhi memiliki karakteristik: (1) Sumberdaya alam, lahan dan air serta keindahan alam; (2) Sumber tenaga kerja; (3) Kebudayaan; (4) Pengalaman membangun; dan (5) Memiliki stabilitas keamanan yang cukup baik. Pengembangan Lagoi ditangani oleh Tim Koordinasi Pembangunan Provinsi Riau (TKPPR) yang dibentuk berdasarkan Keppres No. 21/1990 dan
113
terakhir dengan Keppres No. 49/1993. Tim ini mengkoordinasi dalam hal kebijakan, program dan pelaksanaan pembangunan (di luar Otorita Batam). Selain itu, tim tersebut juga melakukan koordinasi dengan instansi pusat, daerah dan juga melakukan pembicaraan dan perundingan bilateral.
Negara yang
menjadi mitra utama untuk kerjasama ini adalah Singapura. Dalam kerjasama ini, masing-masing mengambil manfaat sebagai berikut: (1) Indonesia, mendapatkan manfaat: Pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau dipercepat. Kesempatan kerja secara langsung sekitar 150.000 tenaga kerja dan secara tidak langsung sekitar 750.000 tenaga kerja. Pendapatan devisa sekitar US$ 1-2 milyar pertahun. Mengembangkan tenaga terampil untuk sektor industri dan jasa. (2) Malaysia,
mendapatkan
manfaat
pertumbuhan
ekonomi
yang
berkelanjutan (sustainable economic growth). Untuk memacu kerjasama ini dalam waktu 3 tahun telah diterbitkan 19 (sembilan belas) produk hukum yang pada intinya memberikan insentif dan kemudahan bagi mitra kerja sama dalam melaksanakan rencananya. Dari pihak Indonesia, operasional di lapangan diwakili oleh Tim Pelaksana yang berkedudukan di P. Bintan.
Berbeda dengan di P. Batam, pelaksanaan
kerjasama di P. Bintan/Lagoni sangat didominasi oleh Pihak Singapura, bahkan sangat besar perbedaanya antara wilayah yang dikerjasamakan dengan wilayah perbatasan sekitarnya.
Hal ini menimbulkan persepsi yang negatif dan
anggapan bahwa masyarakat lokal menjadi tamu di negeri sendiri, yang disebabkan oleh ketatnya peraturan dan penjagaan termasuk akses penduduk lokal yang ingin masuk ke dalam kawasan. 4.3.4 Kerjasama SIJORI Pulau Batam terletak di pusat antara Asia Selatan dan Asia Tenggara, muncul sebagai pusat pertumbuhan baru dengan tenaga kerja san sumberdaya lainnya tersedia dengan harga yang murah. Kawasan ini juga muncul sebagai pasar yang baru karena pertumbuhan ekonominya di kawasan ini berlangsung sangat cepat.
Pada tahun 1980-an yaitu ketika negara-negara Afrika dan
114
Amerika Latin sedang menderita gangguan pendapatan 4,7% pertahun selama tahun 1987-1992 (ADB, 1993; PRC, 1998) sampai tahun 1994 negara-negara ini jelas memantapkan posisinya sebagai negara pengekspor utama, khususnya untuk produk-produk manufaktur (Gareffi and Fond, 1992; PRC, 1998). Singapura merupakan pengecualian, karena pendapatan perkapitanya tertinggi, demikian pula tingkat pendidikan dan kesejahteraan rakyatnya, industri dan ekonominya yang telah mengalami diversifikasi membuatnya keluar dari katagori ”negara berkembang”. Seiring dengan berlangsungnya libelarisasi perdagangan, secara global ada kecenderungan untuk membentuk blok-blok perekonomian regional baik terbuka maupun tertutup. ekonomi
dimana
Blok tertutup adalah kesepakatan-kesepakatan
negara-negara
anggotanya
menghilangkan
hambatan-
hambatan dalam perdagangan tetapi secara kolektif melakukan proteksi terhadap kekuasaan-kekuasaan eksternal.
Tatanan semacam ini hanya
mengalihkan proteksi nasional menjadi proteksi supranasional, contohnya adalah Uni Eropa.
Sedang regionalisme terbuka bertujuan untuk liberalisme
perdagangan internasional tetapi menerima peranan bentuk proteksionisme perekonomian regional – supranasional dengan perdagangan bebas sebagai suatu tahap antara Asosiasi Perdagangan Bebas Asia Tenggara (AFTA) merupakan salah satu contoh regionalisme terbuka (Helet dan Bragam, 1994, PRC, 1998). Perdagangan bebas sekarang terbuka bagi segala macam perekonomian secara merata, sehingga lokasi hampir tidak berarti sekali.
Namun teori
perdagangan modern masih menganggap bahwa geografis merupakan faktor yang penting (Sari, 1997; PRC, 1998). Kerjasama SIJORI adalah salah satu kerjasama yang terjadi yang disebabkan karena posisi geografis yang sangat mendukung.
SIJORI, singkatan dari Singapura, Johor (Malaysia) dan Riau
(Indonesia) dan sebagai ujung tombak adalah P. Batam. Secara geografis posisi Singapura berada ditengah antara Johor dan P. Batam dengan jarak yang relatif dekat.
Dengan kedekatan ini maka akan mudah terjadi komunikasi, aliran
informasi, ekonomi dan lain-lain. Bila dilihat secara ekonomi maka Singapura merupakan negara yang paling dominan dan diharapkan sebagai pemicu pertumbuhan wilayah lain di sekitarnya.
Data ekonomi Singapura berdasar
penjelasan singkat Tim Koordinasi Pembangunan Provinsi Riau adalah sebagai berikut:
115
Pendapatan perdagangan S$ 215,6 milyar. Pendapatan per kapita S$ 21.000 (US$ 10.000). Gros pendapatan perusahaan asing S$ 48,5 milyar. Handling di pelabuhan sebesar 172,5 merik ton. Wisatawan sebanyak 5 juta dalam tahun 1990. Pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,3% dalam tahun 1980-an. GNP sebesar US$ 30 milyar dalam tahun 1989. Kekuatan Singapura di bidang ekonomi dan keterbatasan lahan, memungkinkan wilayah di sekitar Singapuran mengambil peran peluang yang ada di Singapura atau cukup menunggu limpahan. Singapura yang sudah jenuh dan membutuhkan tempat/lahan untuk mengalihkan kegiatan yang terus meningkat seperti yang telah disampaikan oleh Kepala Otorita Batam saat itu Dr. B.J. Habibie mengenai teori balon. Menurut teorinya, Singapura akan meledak jika tidak ada saluran yang menampung limpahannya. Oleh karena P. Batam atau wilayah sekitarnya termasuk Johor akan menjadi balon-balon kecil yang akan menyalurkan tekanan ekonomi yang ada di Singapura sebelum mencapai krisis. Teori ini diwujudkan pada tahun 1989 dimana pada saat itu Presiden RI Suharto dan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew meresmikan kerjasama untuk pembangunan P. Batam.
Pada tahun yang sama Goh Chok Tong
mengusulkan dibentuknya segitiga pertumbuhan, dan pada tahun 1990 presiden Suharto dan Perdana Malaysia Mahatir Muhammad menyetujui kerjasama IMSGT atau kepanjangan dari Indonesia Malaysia Singapur – Growth Triangle (Ahmad, 1992; PRC, 1998). Sampai dengan tahun 1998, kerjasama ini terus terjalin, interaksi ekonomi antara Singapura - Barelang (Batam) dan antara Johor – Singapura terus meningkat (International Conference on IMS-GT, 1997; Komar dan Yuan, 1991; PRC, 1998). Pada awalnya pengembangan P. Batam dilakukan sebagai upaya untuk mengurangi ketergantungan ekonomi Indonesia dari Singapura. Pada waktu itu sebagian impor dan ekspor Indonesia dikapalkan melalui Singapura dan pengilangan minyak milik Singapura memperoleh bagian yang paling besar
116
dalam pembagian nilai tambah yang berasal dari sumberdaya minyak dari Indonesia (Rignier, 1991; PRC, 1998).
Dengan adanya kerjasama SIJORI,
Indonesia bisa keluar dari persaingan dengan Singapura dan diharapkan malah dapat menikmati kesuksesan ekonomi Singapura. Konsep tersebut diatas ternyata berjalan cukup baik, dimana masingmasing negara mengambil nilai positif dari ikatan kerjasama ini, misalnya dalam hal tenaga kerja, Batam menawarkan tenaga terampil. Disini terampil dan tidak terampil dengan upah hanya 1/3 dari upah di Singapura dan tidak lebih 2/3 dari upah di Johor. Demikian juga dengan sewa lahan Batam menawarkan harga yang relatif murah. Bila dilihat dari data-data perkembangan Barelang Batam sampai dengan Desember 1998 tercatat dari 317 perusahaan yang bergerak di P. Batam, sebanyak 174 perusahaan (54,8%) berasal dari Singapura, 34 perusahaan (10,7%) kerjasama dengan Singapura, sedangkan Malaysia 9 perusahaan (0,03%) atau 209 perusahaan (65,6%) terkait dengan Singapura dan hanya 15 perusahaan (0,05%) terkait dengan Malaysia (Johor). Ketimpangan kerjasama SIJORI khususnya antara Batam dengan Johor dapat terlihat dengan jumlah perusahaan Malaysia yang bergerak di Batam hanya 0,05% dari seluruh perusahaan yang bergerak di Batam. Kesan negatif juga dirasakan dengan kerjasama antara Batam dan Singapura. Para investor dari Singapura cenderung memandang Batam sebagai dapur atau gudang, dalam arti Batam digunakan sebagai tempat penyimpanan dan perakitan, sedang hasil akhir tetap dilakukan di Singapura, sehingga nilai tambah sebagian besar didapat oleh Singapura.
Batam hanya mendapatkan
upah kerja saja. Dari segi lingkungan juga timbul kesan bahwa Batam sebagai tempat pembuangan limbah.
Indikasi terlihat dengan kebijakan Singapura mulai
memindahkan industri-industri yang menghasilkan limbah yang sulit diolah atau membahayakan lingkungan seperti tank clearing, industri perkapalan dan lainlain. Karena Batam berjarak dengan peraturan tidak terlalu ketat, maka P. Batam menjadi sasaran utama pemindahan industri-industri tersebut yang paling menyolok. Singapura seringkali berupaya mengekspor sampahnya ke P. Batam yang dikemas seolah-olah bahan baku yang akan diolah di P. Batam.
117
4.3.5 Pulau Batam sebagai KEK (Kawasan Ekonomi Khusus) Pulau Batam sampai dengan Tahun 1998 merupakan Kawasan Berikat (Bonded Zone). Sesuai dengan PP 14 Tahun 1990, Bonded Zone adalah suatu kawasan dengan batas-batas tertentu di wilayah pabean Indonesia yang didalamnya diberlakukan ketentuan khusus di bidang kepabeanan, yaitu terhadap barang-barang yang dimasukkan dari luar daerah pabean Indonesia lainnya tanpa terlebih dahulu dikenakan pungutan bea cukai dan atau pungutan Negara lainnya sampai barang tersebut dikeluarkan untuk tujuan impor, ekspor atau re-ekspor.
Dalam bonded zone, dapat dilakukan pengolahan dan
penyimpanan barang. Dengan adanya kekhususan ini, proses pertumbuhan dan pengembangan di P. Batam sangat terbantu. Ini terlihat dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata hingga Tahun 1998 mencapai 17%. Di dalam perjalanannya, kekhususan ini banyak dilirik daerah-daerah lain untuk melakukan hal yang sama didaerahnya. karena seluruh daerah akan meminta.
Hal ini tidak memungkinkan
Dari sector pajakpun mempersoalkan
bahwa dengan diberlakukannya Kawasan Berikat, pendapatan pemerintah dirugikan dengan tidak masuknya PPn, bea masuk maupun bea cukai di P. Batam. Konflik ini berlangsung terus sehingga Pemerintah Pusat meninjau kembali kekhususan di P. Batam.
Pencabutan kekhususan ini telah
menimbulkan keresahan di lingkungan pengusaha Batam bahkan beberapa perusahaan besar di P. Batam telah menarik investasinya dan dipindahkan ke luar negeri. Akhirnya Pemerintah Pusat menyadari manfaat dari kekhususan P. Batam terutama mengenai perpajakan.
Pada Tahun 2005 Pemerintah
mengeluarkan kebijakan yaitu Peraturan Menteri Keuangan No. 66/PM K.04/2005 tentang Kebijakan Bonded Zone Plus (Kawasan Berikat Plus). Kawasan Berikat Plus merupakan salah satu bentuk pengembangan kawasan ekonomi di Indonesia. Kawasan Berikat Plus diberlakukan di P. Batam, Bintan dan Karimun. Kelebihan Kawasan Berikat Plus adalah terletak pada prosedur dan syarat yang lebih sederhana, tidak ada minimum presentase yang harus diekspor diserahkan kepada pengusaha; digunakan sistem post reporting and audit sehingga tidak perlu disegel bea cukai setiap kali masuk dan keluar; impor mesin dan barang modal yang bukan baru, dapat dilakukan langsung tanpa
118
pemeriksaan surveyor dan perijinan dari pusat.
Kontrol berdasarkan post
reporting and audit bila perlu. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah kawasan tertentu dimana diberlakukan ketentuan khusus bidang: (1) Kepabeanan; (2) Perpajakan; (3) Perijinan
(licensing)
Ketenagakerjaan.
one
stop
services;
(4)
Keimigrasian;
dan
(5)
Kawasan ini ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur yang
handal serta Badan Pengelola yang profesional dengan standar internasional. Tujuan dari pengembangan KEK adalah untuk: (1) Peningkatan investasi; (2) Penyerapan tenaga kerja; (3) Penerimaan devisa sebagai hasil dari peningkatan ekspor; (4) Meningkatkan keunggulan kopetitif produk ekspor; (5) Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya lokal, pelayanan dan kapital bagi peningkatan ekspor; dan (6) Mendorong terjadinya peningkatan kualitas SDM melalui technology transfer. Berdasarkan atas fungsi, luas areal, fokus pengembangan dan jenis insentif yang berikan, maka KEK dapat dibedakan atas: (a) Kawasan yang dikeluarkan dari daerah pabean negara yang bersangkutan; dan (b) Kawasan yang tetap berada pada daerah pabean negara yang bersangkutan. (a) Kawasan
yang
bersangkutan.
dikeluarkan
dari
daerah
pabean
negara
yang
Dalam kawasan ini semua arus keluar masuk barang
tidak dikenakan bea masuk, PPN dan cukai. Biasanya diikuti dengan pemberian batas tegas atas area tersebut, dan dinyatakan sebagai wilayah terbatas bagi yang tidak berkepentingan.
Contoh: Export
Processing Zone & Free Trade Zone. (b) Kawasan yang tetap berada pada daerah pabean negara yang bersangkutan.
Dalam kawasan ini biasanya termasuk kawasan yang
lebih luas, dapat berupa kota atau bahkan provinsi. Daya tarik investasi di kawasan semacam ini dilakukan melalui penerapan kebijakan untuk mendukung kemudahan berusaha, pengurangan pajak perusahaan, repatriasi keuntungan serta pelonggaran kontrol devisa. Contoh: Special Economic Zone (FEZ), Free Economic Zone (FEZ), Industrial Zone dan Distribution Zone.
119
Beberapa faktor yang menentukan dalam pemilihan lokasi KEK, antara lain: −
Didukung oleh tersedianya tenaga kerja dengan upah yang kompetitif;
−
Infrastruktur dengan kondisi baik;
−
Lokasi berdekatan dengan pelabuhan dan bandar udara internasional;
−
Tersedianya layanan utilitas yang baik (air, listrik, sewage);
−
Ketersediaan lahan/areal pengembangan;
−
Berdekatan dengan rute pelayaran internasional (untuk pengembangan logistic center atau hub port);
−
Adanya pengelola kawasan yang profesional. Permasalahan yang muncul dalam pengembangan KEK, antara lain: (a)
Keterbatasan
infrastruktur
pembangunannya;
(b)
karena
Rendahnya
keterbatasan profesionalisme
finansial kerja;
(c)
dalam Areal
pengembangan yang terbatas sehingga mengakibatkan tingginya harga tanah dan sewa tanah; (d) Birokrasi yang berbelit-belit (red tape); dan (e) Tingkat pelayanan infrastruktur dan utilitas yang kurang memadai. 4.4 Analisis Spasial Pemanfaatan Lahan Pulau Batam Analisis spasial yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis spasial terhadap master plan tahun 1991 dan master plan tahun 1998. Analisis yang dilakukan meliputi perkembangan luas tata guna lahan, perkembangan area yang dibangun dan tidak dibangun serta perkembangan alokasi lahan masing-masing sektor. 4.4.1 Tata Ruang Sesuai KEPPRES Nomor 56 Tahun 1984 telah ditetapkan bahwa wilayah pengembangan Otorita Batam adalah meliputi P. Batam serta beberapa pulau di sekitarnya yaitu P. Karim Pengenang, P. Momoi, P. Janda Berias dan P. Tanjung Sauti. Dalam master plan 1986 dan derivisi tahun 1991, P. Batam dibagi menjadi 8 Sub Wilayah Pengembangan (SWP) yaitu : (1) SWP Batu Ampar dengan luas 3.609 Ha. (2) SWP khusus Batam Center dengan luas 2.567 Ha.
120
(3) SWP Nongsa dengan luas 3.700 Ha. (4) SWP kabil dengan luas 5.165 Ha. (5) SWP Duriangkang – Tanjung Plaju dengan luas 8.227Ha. (6) SWP Tanjung Uncang – Saguling dengan luas 6.789Ha. (7) SWP Sekupang dengan luas 4.563 Ha. (8) SWP Muka Kuning dengan luas 6.931 Ha. Sampai dengan tahun 1998 yang digunakan adalah master plan P. Batam yang dievaluasi tahun 1991. Pada tahun 1998 pun evaluasi master plan tahun 1991 sedang dilaksanakan namun sampai akhir tahun 1998 evaluasi master plan tersebut belum selesai. Di dalam evaluasi master plan 1986 menjadi master plan 1991, prinsip Tata Guna Lahan untuk peruntukan usaha tidak jauh berbeda. Perbedaan
yang
sangat
terlihat
adalah
perluasan
peruntukan
yang
mengakibatkan perubahan fungsi lahan (lihat Gambar 20 dan 21). Perubahan ini disebabkan pesatnya permintaan lahan untuk industri, jasa dan perumahan. Sampai dengan evaluasi master plan 1991 konsep utama yaitu perbandingan daerah terbangun dan tidak terbangun berbanding 40 : 60. Untuk daerah terbangun dibagi dalam 5 (lima) peruntukan utama, yaitu Peruntukan Jasa / Pertokoan, Peruntukan Perumahan, Peruntukan Industri, Peruntukan Perkebunan / Pertanian dan Pariwisata (Gambar 20).
121
122
123
4.4.2 Master Plan 1991 (1) Perkembangan luasan tata guna lahan Peruntukkan lahan bagi kegiatan pembangunan mengacu pada master plan 1991 adalah untuk kegiatan jasa perkotaan, perumahan, industri, fasilitas umum, pertanian dan pariwisata. Rencana pemanfaatan lahan menurut Master Plan 1991 adalah 7.356 ha atau sudah direalisasikan 45,16%.
Tabel 16.
memperlihatkan Master Plan tahun 1991 dari lahan yang direncanakan untuk dialokasikan. Tabel 16. Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan P. Batam 1991.
Kegiatan guna lahan
TAHUN PERKEMBANGAN 1994
1995
1996
1997
1998
Ketersediaan Lahan [ha]
1
Jasa perkotaan
414,40
519,19
519,19
738,19
847,68
2
Perumahan
940,59
1.107,30
1.408,63
1.709,23
1.859,51
4.529,68
3
Industri
632,00
752,00
1.114,48
1.527,30
1.733,71
3.035,24
4
Fasilitas Umum
335,30
351,80
990,10
1.588,65
1.887,93
3.189,29
5
Pertanian
128,00
128,00
148,00
148,00
148,00
1.411,51
6
Pariwisata
168,63
168,83
579,50
779,50
879,50
Total 2.619,52 3.027,12 4.759,90 6.490,87 7.356,33 Sumber: Master Plan (1991); Interim Report Evaluasi Master Plan Barelang (2006)
1.224,28
3.296,43 16.686,43
Dari master plan 1991 tersebut areal P. Batam yang diperuntukkan bagi pembangunan perumahan, industri, pariwisata, pertanian dan sebagainya mencapai 16.686,43 ha atau 40,11% dari total luas P. Batam. Dengan demikian, luas area yang tidak dibangun adalah seluas 24.913,57 ha atau 59,89% dari luas total P. Batam, dan area ini dianggap sebagai zona konservasi atau preservasi. Mengacu pada Dahuri (2003) yang telah membagi tiga zona masingmasing zona pembangunan, konservasi dan preservasi dengan persentase masing-masing zona sebesar 60 : 20 : 20, maka dapat dikatakan bahwa master plan 1991 sudah sesuai persyaratan yang diinginkan dan bahkan menyisakan area konservasi dan preservasi yang lebih besar dibandingkan dengan area untuk kegiatan pembangunan (Tabel 17). Proporsi zona konservasi dan preservasi yang lebih besar dibandingkan dengan zona pembangunan dilakukan untuk menghindari terjadinya salah satu
124
ancaman utama untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yaitu terjadinya over eksploitasi yang berlebihan atas sumberdaya lahan. Proporsi tersebut sekaligus juga menggambarkan keharmonisan spasial (spatial harmony) sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Dahuri (2003) bahwa tata ruang suatu wilayah harus mempunyai spatial harmony atau keharmonisan ruang, yaitu antara ruang untuk kegiatan manusia dan kegiatan pembangunan (60%) dengan ruang untuk kepentingan pelestarian lingkungan (40%). Tabel 17. Proporsi Masing-masing Zona Berdasarkan Master Plan Prosentase Luas Zoning Terhadap Luas Pulau Batam No
Jenis Zona
Prosentase menurut Dahuri [2003]
Prosentase Pada Master Plan P. Batam 1991 40.11%
1
Zoning Pembangunan
60 %
2
Zoning Konservasi
20 %
3
Zoning Preservasi
20 %
Total
100 %
59.89% 100,00 %
Sumber: Hasil Analisis (2005).
(2) Angka pertumbuhan penggunaan lahan masing-masing sektor Direncanakan angka pertumbuhan penggunaan lahan tertinggi dicapai oleh sektor industri (sebesar 9,07% per tahun) dan sektor jasa (8,84% per tahun). Sektor lainnya juga masih menunjukkan angka pertumbuhan yang tinggi, masing-masing sektor pariwisata (sebesar 5,37% per tahun) dan perumahan (sebesar 5,06% per tahun). Kekecualian hanya pada sektor pertanian dimana angka pertumbuhannya relatif rendah, yakni hanya 0,01% per tahun. Angka pertumbuhan luasan guna lahan tertinggi untuk sektor perumahan terjadi pada kurun waktu tahun 1996-1997 dengan angka pertumbuhan mencapai 6,65% dan 6,63%. Pada kurun waktu yang sama juga terjadi angka pertumbuhan yang tinggi untuk sektor industri, dimana angka pertumbuhannya sangat fantastis, mencapai 11,94% dan 13,60%. Tingginya angka pertumbuhan luasan guna lahan ini juga diiringi oleh pertumbuhan luasan guna lahan untuk sektor pariwisata dan jasa. Angka pertumbuhan tertinggi untuk sektor pariwisata tercapai pada tahun 1996 yang mencapai 12,43% dan untuk sektor jasa pada tahun 1997 dengan angka pertumbuhan mencapai 17,89%.
Tabel 18
memperlihatkan rencana alokasi lahan berdasarkan pada master plan 1991.
125
Tabel 18.
Rencana Alokasi Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan P.Batam 1991.
No.
Kegiatan guna lahan / Sektor
1
Perumahan
2
3
4
5
1994
1998
1.107,30
1.408,63
1.709,23
1.859,51
-
3,68
6,65
6,63
3,31
632
752
1.114,48
1.527,30
1.733,71
-
3,95
11,94
13,60
6,80
128
128
148
148
148
-
0,00
2,00
0,00
0,00
168,53
168,83
579,50
779,50
879,50
-
0,30
12,42
6,06
3,03
414,40
519,19
519,19
738,19
847,68
-
8,56
0,00
17,89
8,94
Pertanian
Jasa
Rata-rata Pertumbuhan (%)
940,59
Industri
Pariwisata
Tahun Perkembangan (ha) dan Tingkat Pertumbuhan (%) 1995 1996 1997
5,06
9,07
0,01
5,37
8,84
Sumbe r: Master Plan (1991); Interim Report Evaluasi Master Plan Barelang (1991)
4.4.3 Realisasi Pengalokasian Berdasarkan Master Plan 1991 (1) Perkembangan luasan tata guna lahan dan keharmonisan spasial Dibandingkan dengan data yang bersumber dari master plan P. Batam tahun 1991, maka berdasarkan data realisasi pengalokasian lahan di P. Batam hingga tahun 1998 berdasarkan ijin prinsip pengalokasian lahan menunjukkan adanya penambahan pengalokasian lahan untuk lapangan golf termasuk lingkungan hijau, open space, dan kawasan olah raga selain golf. Adapun lahan yang sudah teralokasi berdasarkan data tersebut sudah mencapai 14.545,85 ha atau mencapai 37,17% dari luas P. Batam. Namun demikian kondisi ini belum mengganggu keharmonisan spasial oleh karena masih berada di bawah angka 16.686,43 ha (40,11%).
Untuk jelasnya Tabel 19 menyajikan data realisasi
pengalokasian lahan di P. Batam hingga 1998 berdasarkan ijin prinsip pengalokasian lahan P. Batam dan Tabel 20 yang menyajikan perbandingan alokasi lahan pada zona pembangunan.
126
Tabel 19. Data Realisasi Pengalokasian Lahan di P.Batam hingga 1998 Berdasarkan Ijin Prinsip Pengalokasian Lahan [PL] P.Batam 1995
1996
1997
1998
[Ha]
[Ha]
[Ha]
[Ha]
595,30 4,98 2.495,75 7,64 2.594,92 13,55 3.810,51 11,95
783,90 31,68 2.991,58 19,87 3.196,02 23,16 3.845,36 0,91
741,06 -5,46 3.006,70 0,51 3.268,87 2,28 3.847,43 0,05
558,82
563,65
588,52
588,82
1.379,60
0,86 1.379,60 -
4,41 1.404,51 1,81
0,05 1.404,51 -
1.605,75
1.605,75
1.688,76
-
-
5,17
Total 12.118.81 13.045.48 14.449.65 Sumber: Interim Report I.Evaluasi Master Plan Barelang
14.545.85
No 1
Kegiatan guna lahan Jasa perkotaan
567,04
2
Perumahan
2.318,62
3
Kumulatif Industri
2.285,34
4
Fasilitas Umum
3.403,64
6 7
8
Pertanian+Perkebunan Pariwisata Lapangan golf [terma suk lingkungan hijau, open space,kawasan olah raga selain golf}
1.605,75
Rata-rata Peningkatan
10,40 9,34 13,00 4,31 1,78 0,60
1,72
Tabel 20. Perbandingan Alokasi Lahan berdasarkan Master Plan tahun 1991 dan Pengalokasian tahun 1998. No
Zona
Master Plan 1991 Luas (ha) %
Pengalokasian 1998 Luas (ha) %
1
Pembangunan
16.686,43
40,11%
14.545,85
37,36%
2
Total Pulau Batam
41.600,00
-
41.600,00
-
Sumber: Interim Report I.Evaluasi Master Plan Barelang
(2) Angka pertumbuhan pengalokasian lahan masing-masing sektor Peningkatan alokasi lahan selama periode 1995 hingga tahun 1997 sangat tinggi. Hal tersebut mengakibatkan kegiatan investasi di Pulau Batam baik melalui PMA maupun PMDN ataupun kegiatan investasi yang bersumber dari non-Fasilitas PMA/PMDN
terus meningkat selama periode 1995 hingga
1997. Namun demikian, pada tahun 1998 kegiatan investasi sangat menurun yang antara lain diakibatkan terjadinya resesi ekonomi. Indikasi ini terlihat jelas pada penurunan yang sangat tajam pada jumlah lahan yang dialokasikan. Pada tahun 1997 alokasi lahan mencapai 1.404,17 ha, sedangkan pada tahun 1998
127
hanya mencapai 96,20 ha atau hanya 6.84% apabila dibandingkan terhadap alokasi tahun 1997. Berbeda dengan rencana pengalokasian lahan berdasarkan master plan 1991 yang relatif tinggi, rencana pengalokasian lahan tahun 1998 relatif stagnan meskipun untuk beberapa sektor masih cukup tinggi seperti sektor fasilitas umum, perumahan dan industri yang masih mencapai angka di atas 4%. Sedangkan untuk sektor jasa perkotaan, pertanian dan pariwisata angka pertumbuhannya di bawah 1%, terkecuali untuk sektor lapangan golf yang pertumbuhannya cukup signifikan, mencapai 1,1%. Adapun angka pertumbuhan rata-rata pengalokasian lahan adalah sebesar 2,3%. Jika dilihat persektor, angka pertumbuhan tertinggi untuk sektor jasa perkotaan dicapai pada tahun 1996, dengan angka pertumbuhan mencapai 3,45%. Namun sektor ini mengalami guncangan ketika badai krisis yang terjadi pada tahun 1998, dan menunjukkan angka pertumbuhan yang negatif pada tahun tersebut, yakni -3,49%. Tabel 21. Perkembangan Luasan Guna Lahan berdasar Master Plan 1991
No.
Kegiatan guna lahan / Sektor
1
Jasa Perkotaan
2
Perumahan
3
Kumulatif Industri
4
Fasilitas Umum
5
Pertanian
6
Pariwisata
7
Lapangan Golf
8
Total
Tahun Perkembangan (ha) dan Tingkat Pertumbuhan (%) 1995 567,04 2.318,62 2.285,34 3.403,64 558,82 1.379,60 1.605,75 12.118,81 -
1996 595,30 3,45 2.495,75 3,91 2.594,92 10,19 3.810,51 22,56 563,65 0,34 1.379,60 0,00 1.605,75 0 13.045,48 5,55
1997 783,90 1,54 2.991,58 10,94 3.196,02 1,98 3.845,36 1,90 588,52 1,76 1.400,51 1,26 1.605,75 0 14.449,65 0,78
1998 741,07 -3,49 3.006,70 0,33 2.368,87 2,40 3.847,43 0,11 588,82 0,02 1.404,51 0,24 1.688,76 3,30 14.545,85 0,57
Rata-rata Pertumbuhan (%) 0,5 5,06 4,85 8,19 0,70 0,50 1,1 2,3
Sumber: Master Plan (1998)
Sektor perumahan mencapai angka pertumbuhan yang sangat baik pada kurun tahun 1997 dengan tingkat pertumbuhan mencapai 10,94%. Sedangkan sektor industri mencapai tingkat pertumbuhan tertinggi pada tahun 1996 dengan
128
angka mencapai 10,19%. Angka pertumbuhan pengalokasian lahan yang sangat fantastis terjadi pada tahun yang sama untuk sektor fasilitas umum, dimana tingkat pertumbuhannya mencapai 22,56%. Untuk sektor petanian tidak terdapat penambahan alokasi lahan untuk land use pertanian, yang mengindikasikan kurangnya minat investasi pada bidang pertanian pada periode 1995 hingga tahun 1998. Tabel 21 memperlihatkan angka pertumbuhan pengalokasian lahan di P. Batam hingga tahun 1998. (3) Analisis Implementasi Pembangunan di Lapangan Pelaksanaan pembangunan fisik pada lokasi yang telah dialokasikan berjalan lamban, dari data IMB dan sebagian pengecekan dilapangan pembangunan fisik hanya mencapai 21,8% dari lahan yang telah dialokasikan untuk berbagai jenis pengalokasian lahan. Khusus untuk fasilitas umum dan perdagangan, realisasinya hanya 0,46% dan merupakan realisasi yang paling terendah dibandingkan realisasi lainnya seperti peruntukkan jasa perkotaan (3,65%), perumahan (3,91%) serta industri (4,80%). Apabila ditnjau dari ruang Lingkup P. Batam maka, untuk tahun 1998 lahan yang dibangun hanya seluas 319,97 ha atau 2,20% dari total lahan yang telah dialokasikan (Tabel 22) Namun bila ditambahkan dari hasil beberapa pengecekan dilapangan khususnya untuk peruntukan pariwisata dan lapangan golf total wilayah yang sudah mengembang menjadi 2331.59 ha. Tabel 22.
No 1 1 2 3 4 5 6 7 Total
Realisasi Pengalokasian Lahan di P. Batam dan Pelaksanaan Pembangunan Berdasarkan IMB Tahun 1998.
Kegiatan guna lahan
Alokasi Lahan [1998]
2
3
Jasa perkotaan Perumahan Kumulatif Industri Fasilitas Umum dan Perdaganan Pertanian Pariwisata Lapangan golf
Keterangan: *) Tidak ada data
741.06 3006.70 3268.87 3847.43 588.82 1404.51 1688.76 14.545.85
Realisasi Pembangunan Berdasar Imb[1998] Terbangun Tidak Terbangun % % (ha) Luas[Ha] 4 5 6 7 27.08Ha 117.74Ha 157.12Ha 18.03Ha 39.98Ha *) *) *) 319.97 359.95Ha
3.65% 3.91% 4.80% 0.46% *) *) *) *) *) *)
713,98 2.888,96 3.111,75 3.829,40 *) *) *) *) *) *)
96,35 96,08 95,19 99,53 *) *) *) *) *)
129
Sebagai perbandingan dari data satelit pada Bulan Pebruari 2007 memperlihatkan Wilayah batu Ampar dan Batam Centre lebih dari 80% wilayah tersebut
telah
dialokasikan
dan
hampir
seluruhnya
terjadi
aktivitas
pembangunan. Walaupun masih berupa penimbunan dan pembukaan lahan namun demikian data tersebut mengartikan bahwa kosentrasi pembangunan di Batu Ampar dan Batam Centre sangat padat dan dikhawatirkan sudah tidak terjadi keseimbangan antara daerah terbangun (build up Area) dan daerah tidak terbangun (Non Build up Area).
Gambar 22. memperlihatkan pengalokasian
yang sangat padat dan berkurangnya daerah hijau serta daerah penyangga di Wilayah Batu Ampar dan Batam Centre.
Sumber : http://www.flashearth.com
Gambar 22. Pemanfaatan Lahan Terkini 4.4.4 Pemasalahan Pemanfatan Lahan (1) Master Plan Bila dibanding dengan wilayah lain, maka P. Batam bisa dikatakan lebih maju dalam merencanakan pengembangan wilayahnya.
Sejak awal (1978)
Pulau Batam sudah menyiapkan master plan untuk seluruh pulau dan dilakukan revisi setiap 5 tahun. Pada kurun waktu tersebut wilayah lain masih sedikit yang mempunyai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) secara menyeluruh.
130
Master plan yang diterbitkan tahun 1978 masih belum dapat diaplikasikan dengan baik karena masih sangat makro dan bersifat konsep. Dalam master plan ini sudah ditetapkan bahwa kebijakan pemanfaatan lahan adalah 40% lahan yang boleh dibangun sedang 60% merupakan daerah tidak terbangun, yang digunakan sebagai reserve area, daerah tangkapan hujan, hutan lindung, lahan kritis dan hijau kota. Dengan tumbuhnya ekonomi di P. Batam dan derasnya permohonan permintaan lahan, maka pada tahun 1986 master plan P. Batam direvisi. Master plan ini masih dikatakan cukup idealis
dan masih sangat memperhatikan
lingkungan. Beberapa catatan penting yang dapat digunakan sebagai pedoman antara lain: 1)
Keseimbangan daerah terbangun dan tidak terbangun masih baik, yaitu 40:60%. Hal ini berarti lahan kritis, daerah tangkapan air, hutan lindung dan daerah hijau lainnya masih sangat diperhatikan dan keseimbangan lingkungan relatif tidak terganggu.
2)
Zoning dan peruntukkan tiap-tiap setor masih jelas konsepnya dengan memperhatikan dan mengikuti kondisi alam seperti topografi untuk aliran air dan kesesuaian muka lahan (kelandaian lahan).
3)
Daerah pesisir/tepatnya garis pantai, masih dipertahankan keasliannya untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
Daerah-daerah yang
dibuka/dibangun adalah daerah-daerah yang benar-benar dibutuhkan seperti untuk pelabuhan dan wisata pantai. Daerah lainnya dibiarkan asli sesuai dengan kondisi alam (hutan bakau dan pantai relatif terjaga). 4)
Penempatan
waduk
dan
daerah
tangkapan
air
hujan
sangat
diperhatikan dan diamankan dengan adanya kawasan lindung, rencana drainase dan pembuangan limbah. 5)
Penyebaran hijau di tiap sub-wilayah sampai dengan hijau diperkotaan sangat diperhatikan dan direncanakan dengan baik.
6)
Adanya peruntukkan yang dipaksakan yaitu kawasan industri di Muka Kuning. Namun secara teknis diberikan persyaratan yang sangat ketat khususnya dalam pembuangan limbah. Salah satu persyaratan adalah selain limbah harus diolah, buangannya juga harus dialirkan ke laut agar tidak mengganggu Dam Duriangkang.
131
Tingginya pertumbuhan ekonomi dan derasnya permohonan/permintaan lahan menyebabkan master plan di evaluasi pada tahun 1991. Peruntukkan lahan untuk daerah terbangun berbanding daerah tidak terbangun yang pada master plan 1986 adalah 40:60 berubah menjadi 40,11:59,89 (walaupun perbandingan hampir tidak berubah namun kondisi daerah tidak terbangun menjadi
berubah,
Perbandingan
ini
misalnya
lapangan
golf
bukan
walaupun
menurut
standar
daerah
penataan
terbangun).
ruang
masih
memungkinkan (>70:30), namun demikian berdasa kondisi alam setempat dan rencana penggunaan lahan seperti untuk waduk dan daerah tangkapan airnya, perubahan lahan terbangun dan tidak terbangun terlihat sangat dipaksakan dan dapat berdampak merusak keseimbangan. Beberapa perubahan yang terlihat dipaksakan adalah: 1) Perubahan peruntukkan dari hijau menjadi perumahan. Perubahan ini mengganggu daerah tangkapan waduk Sei Harapan karena perubahan peruntukkan mengakibatkan aliran air dari perubahan menuju
ke
waduk
Sei
Harapan
secara
topografi
juga
membahayakan karena yang dirubah adalah perbukitan yang cukup terjal. 2) Penimbunan laut di teluk Sanimba yaitu yang semula laut dirubah peruntukkan menjadi peruntukkan pariwisata dan perumahan. Perubahan ini tidak mempunyai konsep yang kuat. 3) Merubah seluruh garis pantai di Tanjung Ucang hampir sepanjang 11 km, yang semula dibiarkan sesuai dengan kondisi alam, berupa hutan bakau dan rawa dirubah menjadi daerah industri dan hampir seluruhnya adalah industri perkapalan.
Perubahan ini juga
berdampak besar termasuk akibat penimbunan ke laut yang mengakibatkan perairan di sekitar Tanjung Uncang menjadi keruh bahkan dengan adanya pasang surut telah menyebar jauh ke selatan. Dari hasil penelitian PRC (1996) diungkapkan banyaknya terumbu karang yang mati dan tangkapan ikan menjadi berkurang. 4) Perubahan daerah Tiban Kampung. Perubahan ini mengakibatkan perambahan lahan yang meluas sampai merusak daerah tangkapan air waduk Muka Kuning.
132
5) Merubah daerah di sekitar Muka Kuning dan Duriangkang yang semula peruntukkan hijau dirubah menjadi kawasan olah raga. Permasalahannya, seluruh wilayah tersebut aliran airnya menuju ke waduk Duriangkang. Kalau tidak ada pengaturan yang ketat dan pengolahan limbah maka semua limbah yang dihasilkan akan mengalir
dan
mencemari
Waduk
Duriangkang.
Bahkan
kenyataanya saat ini peruntukkan tersebut telah dimanfaatkan untuk industri dan perumahan.
Perubahan-perubahan tersebut di atas
tidak seluruhnya berdasarkan perhitungan akademis dan analisis yang matang. Beberapa pertimbangan yang mendasari perubahan tersebut antara lain: 1) Permintaan dan tekanan yang kuat dari pasar. 2) Tanah/lahan tersebut sudah terlanjut dialokasikan. 3) Lahan diserobot oleh masyarakat. 4) Kurang mendalami dampak yang akan terjadi. Hasil overlay antara Master Plan 1986 dan 1991 dapat dilihat pada Gambar 23 yang menggambarkan penyimpangan Master Plan 1991 terhadap Master Plan 1986; dan Gambar 24
yang merupakan hasil overlay
penyimpangan pengalokasian lahan di Pulau Batam. Pada Gambar 23 terlihat bahwa penyimpangan yang terjadi hanya pada kawasan reserve area yang berubah pengalokasian menjadi kawasan industri; sedangkan pada Gambar 24terlihat penyimpangan yang terjadi meliputi perubahan
garis
pantai
(mangrove)
menjadi
hilang,
adanya
penimbunan/reklamasi di sekitar Teluk Senimba dan pemutihan Tiban Kampung.
133
134
135
Perijinan Penyimpangan bisa juga terjadi karena kebijakan institusi/pimpinan. Penyimpangan biasanya terjadi bila ada investor yang besar dan berkualitas menginginkan lahan tertentu dengan luasan yang besar namun lahan tersebut tidak tepat peruntukkannya. Dengan berbagai pertimbangan keuntungan dan kerugiannya, bila ternyata lebih besar keuntungannya pada saat itu maka akan dikeluarkan kebijakan untuk menerima usulan dari investor dan biasanya untuk pengamanan akan diberikan peryaratan yang ketat kepada investor agar lingkungan tidak rusak (contoh Kawasan Industri Muka Kuning). Penyimpangan di tingkat pimpinan juga bisa terjadi bila arahan pimpinan salah diterjemahkan.
Penyimpangan berawal bila investor
yang memohon lahan kebetulan mempunyai hubungan dengan pimpinan.
Kondisi seperti ini biasanya pimpinan memberikan
persetujuan prinsip atas permintaan investor. Arahan pimpinan apabila ada persetujuan prinsip maka staf wajib menelaah dan memberikan masukkan yang obyektif.
Persetujuan prinsip bisa didukung apabila
hasil telaahan positif (sesuai dengan master plan dan persyaratan lainnya). Namun bisa juga persetujuan prinsip tidak berlaku bila hasil telaahan menyimpulkan penyimpangan dari master plan atau akan menimbulkan dampak negatif yang besar. Penyimpangan terjadi bila persetujuan prinsip yang seharusnya ditolak tetapi usulan dari staf tetap mendukung/menyetujui.
Penyimpangan pengalokasian lahan akibat
perijinan akan dibahas tersendiri pada sub-bab 4.4.5, sedangkan peta penyimpangan pengalokasian lahan akibat perijinan/kebijakan dapat dilihat pada Gambar 25. (2)
Peran investor Penyimpangan seringkali disebabkan oleh permintaan investor yang memaksakan keinginannya untuk menguasai/menyewa lahan yang dimohonkan (Gambar 26
Beberapa alasan yang diajukan untuk
mendesak mendapatkan lahan tersebut antara lain:
136
1) Daya tarik P. Batam. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata 17% per tahun) dan derasnya arus investasi yang masuk ke P. Batam menyebabkan pemilik dana (investor) baik dalam dan luar negeri berminat untuk berpartisipasi dalam pembangunan di P. Batam. Derasnya peminat yang masuk ke P. Batam menyebabkan investor-investor tanpa konsep juga terjun ke P. Batam bahkan banyak yang berspekulasi hanya
untuk
mendapatkan
ijin
selanjutnya difikirkan kemudian.
sewa
lahan
dulu,
kegiatan
Investor semacam ini pada
akhirnya tidak melaksanakan pembangunan terhadap lahan yang didapat.
Ijin yang diterima diperjual belikan dan mencoba
mendapatkan selisih keuntungan dari harga sewa yang dibayarkan ke pihak Otorita berupa Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) dengan harga jual yang laku dipasaran. Keuntungan yang didapat tersebar dari mulut ke mulut dan ini mengundang spekulan lain lain, dan memang bila mendapatkan lahan yang strategis maka keuntungan bisa berlipat ganda dari biaya yang telah dikeluarkan. Suburnya spekulan menyebabkan pertumbuhan pembangunan yang semu. Dari lahan yang telah dialokasikan, hanya 21,8% saja lahan yang telah dibangun.
Artinya 78,2% lahan dikuasai oleh
spekulan tanpa adanya nilai tambah, bahkan terjadi degradasi nilai lahan, dimana penyewa lahan telah merusak lahan yang disewa dengan mengambil
kayu atau sampai dengan memanfaatkan
tanahnya untuk dijual sebagai tanah urug dan ini berarti nilai lahan sudah berkurang. 2) Faktor ekonomi. Hampir seluruh investor, tujuan dari menanamkan investasinya adalah untuk mendapatkan keuntungan, semakin besar keuntungan dan semakin kecil modal yang dikeluarkan adalah faktor utama dalam berinvestasi. Investor di P. Batam berprinsip mengeluarkan modal sekecilkecilnya dan berupaya mendapatkan keuntungan yang sebesarbesarnya. Prinsip ini dapat merusak tatanan bila diterapkan secara sembarangan, artinya tata ruang, peraturan dan kebijakan bisa
137
dikesampingkan bila memang akan menguntungkan bagi investor. Sebagai contoh, pasar sangat tertarik pada wilayah Nagor/Batu Ampar. Harga permeter persegi lahan di Nagoya bila sewa selama 30 tahun dari Otorita Batam pada tahun 1998 adalah Rp. 600.000,Harga dipasaran bisa mencapai Rp. 2.000.000 per m2. Perbedaan yang jauh antara harga dari Otorita Batam dan pasar menjadikan peluang bisnis jual beli tanah di P. Batam khususnya di daerahdaerah strategis. Peluang ini segera diserbu oleh investor/spekulan oportunis dan pemain jual beli lahan lainnya. Bisnis yang dilakukan tidak lagi untuk membangun tetapi lebih banyak mengharapkan keuntungan dari selisih harga lahan. Yang menjadi masalah karena impian mendapatkan keuntungan yang besar maka segala cara dilakukan. Diantaranya memaksakan kehendak untuk mendapatkan lahan-lahan di lokasi strategis dan banyak diminati walaupun sudah tahu bahwa areal tersebut tidak dapat dialokasikan baik dilihat dari peruntukkan master plan ataupun peraturan lingkungan. Cara lain adalah memaksakan dengan mengajukan perubahan peruntukkan agar sesuai dengan keinginan dan kehendak pasar.
Apabila
permohonan ini dikabulkan tanpa pertimbangan yang benar maka dipastikan terjadi penyimpangan dan akan menimbulkan masalah di masa mendatang.
Penyimpangan akibat faktor ekonomi dapat
dilihat pada Gambar 27 3) Persaingan dengan wilayah lain Persaingan
dengan
wilayah
lain
tidak
secara
mempengaruhi penyimpangan pemanfaatan lahan. biasanya digunakan sebagai pemicu persaingan.
langsung
Wilayah lain Investor akan
akan mengatakan bila tidak diberi lahan di P. Batam maka mereka akan mengalihkan investasinya ke wilayah lain. Bila investor yang menyatakan hanya investor bermodal kecil maka akan sangat mudah menolak atau membiarkan pindah ke wilayah lain. Namun apabila investor yang menyatakan adalah investor besar yang mempunyai sumber dana besar dan produk yang dihasilkan berskala
internasional,
maka
permintaan
membimbangkan pengambil keputusan.
tersebut
akan
Dasar pertimbangan
utama adalah peluang belum tentu terjadi dua kali. Maka dengan
138
berbagai pertimbangan kemungkinan besar permohonannya akan diakomodir. Permasalahan akan menjadi parah bila investor besar tersebut akan melakukan kegiatan yang berdampak negatif tinggi dan menggunakan cara-cara yang tidak benar guna meloloskan permintaannya. Biasanya dengan cara membujuk dan menjanjikan memberikan imbalan bila permintaanya diterima atau dikabulkan. (4) Staf pelaksana Ada beberapa point penyimpangan yang terjadi akibat kesalahan dari staf
pelaksana
(Gambar
28
Beberapa
penyimpangan
yang
terjadi
diantaranya adalah sebagai berikut : 1) Salah mengartikan kebijakan.
Seperti dinyatakan sebelumnya bahwa
permohonan yang diajukan dan mendapat disposisi daru pimpinan kadangkala secara langsung di proses sesuai isi disposisi tersebut. Hal ini bisa saja dilakukan namun demikian ada hal-hal yang harus diperhatikan atas disposisi tersebut karena beberapa persetujuan prinsip tidak selalu benar bila dilaksanakan.
Persetujuan ini bila diperkirakan
akan menimbulkan masalah perlu dianalisis dan dilaporkan kembali kepada pimpinan dengan dilengkapi masukan dan telaahan-telaahan yang bisa menjelaskan bahwa permohonan dari investor tersebut bila disetujui akan menimbulkan masalah baik terhadap hukum, master plan, lingkungan atau masalah lain dan dapat menjadi preseden buruk untuk permohonan berikutnya. Masukan ini sangat diperlukan sebagai bahan pimpinan untuk memberikan penjelasan bila permohonan itu harus ditolak atau tidak disetujui. Untuk pihak Otorita Batam, hal ini menjadi dasar yang sangat prinsip dan hal tersebut telah menjadi keputusan bersama bahwa persetujuan prinsip dalam bentuk disposisi belumlah merupakan putusan akhir. Persetujuan tersebut bisa berubah atau dikoreksi apabila akan menimbulkan permasalahan ataupun hal-hal yang membahayakan bagi pemerintah maupun masyarakat. Penyimpangan seringkali terjadi apabila staf pelaksana langsung melaksanakan persetujuan prinsip tersebut walaupun diketahui bahwa dengan persetujuan itu terjadi penyimpangan dan akan menimbulkan permasalahan. Alasan klasik diprosesnya persetujuan tersebut karena
139
sudah disetujui pimpinan atau kadang-kadang takut memberikan masukan yang berbeda dengan persetujuan pimpinan. 2) Data yang tidak akurat. Kebijakan seringkali diambil pada data yang ada, dapat dipastikan bila data yang ada tidak benar maka kebijakan yang dikeluarkan berdasarkan data tersebut akan bermasalah. Data-data yang sering digunakan dan sering menimbulkan masalah antara lain: •
Letak/pemetaan lokasi lahan yang tidak akurat.
•
Luasan lahan yang telah dialokasikan berbeda-beda.
•
Terjadi tumpang tindih lahan yang dialokasikan.
•
Menggunakan skala kecil sebagai pedoman pengalokasian lahan.
•
Batas masing-masing peruntukkan yang berbatasan tidak jelas sehingga pemanfaatannya sesuai dengan interpretasi.
•
Membaca peta hanya 2 dimensi.
•
Adanya perbedaan antara gambar dan keadaan di lapangan.
3) Desakan dari luar. Ungkapan yang berbunyi ”Bekerja benar saja salah” sangat cocok di pekerjaan yang terkait dengan pengalokasian lahan. Seringkali permohonan lahan yang diproses sesuai peraturan dan menghasilkan keputusan penolakan terhadap permintaan investor menjadi bumerang bagi si pemroses. Investor akan berupaya apa yang diminta dapat dipenuhi dan mengisukan apa yang dilakukan oleh staf pelaksana adalah tidak benar atau dikatakan tidak obyektif. Desakan ini disuarakan mulai dari tingkat staf pelaksana hingga pimpinan, dan bila perlu melalui media informasi. Desakan yang kuat dan terus menerus sangat memungkinkan menggoyahkan keputusan, apabila tidak mampu bertahan, keputusan bisa berubah yang semula ditolak menjadi disetujui. Apabila desakan ini tidak membuahkan hasil, ada cara lain yang dilakukan oleh investor nakal untuk menggoalkan niatnya. Mereka akan membujuk mulai dari staf pelaksana hingga pimpinan untuk mengikuti keinginannya dengan cara halus, mengiming-imingi, memberikan janji hingga memberikan imbalan.
Semakin sulit tingkat resikonya maka
bujukan dan imbalan yang dijanjikan semakin besar dan kadang-kadang nilainya cukup fantastis dan sangat menggiurkan.
Namun demikian,
apabila seluruh staf bertanggung jawab dan memegang teguh prinsipprinsip kebenaran, upaya-upaya tersebut tidak akan berhasil.
140
141
142
143
144
145
4.4.5 Penyimpangan pengalokasian lahan akibat perijinan Proses pengalokasian lahan hingga tahap diterbitkannya SBPMB (Surat Bukti Pelaksanaan Mendirikan Bangunan) relatif sangat panjang sehingga sangat memungkinkan terjadinya penyimpangan pengalokasian lahan. Adapun tahapan yang harus dilalui oleh investor hingga mendapatkan SBPMB meliputi: (1) Pembahasan tim; (2) Ijin prinsip; (3) Pengukuran; (4) Surat Perjanjian; (5) Surat Penetapan Lokasi; (6) Surat Keputusan; (7) Surat Hak Atas Tanah; (8) Fatwa Planologi; (9) IMB; dan (10) SBPMB. Berikut uraian masing-masing tahapan dalam pengalokasian lahan hingga mendapatkan SBPMB dan permasalahan yang diduga menyebabkan penyimpangan pengalokasian lahan.
Skematik
prosedur pengalokasian lahan dapat dilihat pada Gambar 30 1). Pembahasan Tim Untuk
menjaga
obyektifitas
dalam
pengalokasian
lahan
maka
permohonan yang masuk akan di evaluasi dan dibahas oleh tim, yang terdiri dari Direktorat Perencanaan, Direktorat Agraria dan Biro Umum (Legal). Tim ini akan menganalisa proposal yang diajukan dan kewajarannya.
Dalam
pembahasan sangat diperlukan obyektifitas, netralitas, kehati-hatian dan data-data yang akurat, khususnya latar belakang investor (bukan spekulan), dan demikian juga data ketersediaan lahan. Permasalahan yang dihadapi dalam pembahasan tim antara lain: (1) Proposal yang baik tidak menyamai kualitas investor; (2) Pemohon adalah spekulan yang menggunakan badan hukum yang lain; dan (3) Data lahan yang kurang akurat. Apabila
permohonan
disetujui
maka
akan
dikeluarkan
surat
pemberitahuan pencadangan lokasi kepada pemohon dan ditagihkan uang muka sebesar 10% dari nilai lahan yang disetujui dengan masa sewa selama 30 tahun. Apabila uang muka telah dilunasi baru akan dibuatkan/diterbitkan Surat Ijin Prinsip.
Apabila permohonan ditolak juga akan diberitahukan
kepada pemohon agar ada keputusan yang jelas.
146
PERMOHONAN
n
PEMBAHA SAN
KEMBALI
disetujui UANG MUKA
IJIN PRINSIP
SKETSA LOKASI (RENCANA) PENGUKURAN (AGRARIA)
JAMINAN PEMBANGUNAN
p
FATWA PLANOLOGI
v
IMB PEMB
w
SBPMB WASDAL
PERJANJIAN
q
PEMBAHASAN PEMBAYARAN (BIRO UMUM)
PENETAPAN LOKASI (PL)
u
o
r BUKTI LUNAS
t
SERTIFIKAT HAK ATAS TANAH (BPN)
SURAT KEPUTUSAN
MELAKSANAKA N
SELESAI PEMBANGUNAN
SELESAI PEMBANGUNAN
Gambar 30 Prosedur Pemanfaatan Lahan di P. Batam
s
147
2). Ijin Prinsip Ijin prinsip merupakan awal dari pelepasan lokasi kepada investor. Ijin prinsip berisi antara lain: (1) Luas, peruntukan dan lokasi lahan yang dicadangkan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: - Dalam hal jaringan infrastruktur kawasan di sekitar lokasi belum tersedia maka penyediaan infrastruktur yang minimum dibutuhkan merupakan tanggung jawab penerima alokasi. - Dalam merencanakan dan membangun di atas lahan semaksimal mungkin mempertahankan topologi area serta bagian lahan yang tidak perlu dibangun agar tidak dibuka. - Diwajibkan untuk melaksanakan penghijauan lingkungan di atas lahannya dengan penanaman pohon-pohon yang rimbun. - Diwajibkan melaksanakan pemagaran serta pemasangan papan nama. - Lokasi yang pasti akan ditetapkan setelah dilaksanakan pengukuran. (2) Apabila dalam 10 hari dari tanggal ijin prinsip tidak menindaklanjuti dengan pengukuran lokasi atau dalam waktu yang telah disanggupi dalam surat pernyataan tidak menyelesaikan kewajiban-kewajibanyya, maka pencadangan lokasi menjadi batal dengan sendirinya. Permasalahan, Surat Ijin seringkali dianggap sudah mempunyai kekuatan hukum untuk menguasai lahan.
Bila Ijin Prinsip jatuh pada
spekulan, seringkali disalah gunakan dan diperjual belikan sehingga lahan tidak segera dibangun tetapi hanya terjadi jual beli surat.
Dari sisi
pemerintah dalam hal ini Otorita Batam juga kurang tegas, apa-apa yang sudah tertulis dan mempunyai konsekuensi/resiko tidak selalu dilaksanakan (penarikan
lahan)
dengan
mempertimbangkan
alasan-alasan
yang
disampaikan oleh investor. 3). Pengukuran Sesuai dengan yang tertera dalam Ijin Prinsip bahwa 10 hari harus segera melakukan pengukuran, maka pihak investor harus segera
148
melakukan pengukuran di lapangan atas lahan yang dicadangkan, investor dapat melakukan sendiri pengukuran, menggunakan jasa swasta atau meminta bantuan Otorita Batam. Dasar dari pengukuran adalah sket lokasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Perencanaan. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan alat untuk menentukan koordinat batas-batas lokasi sekaligus mengukur kepastian luas lahan yang akan digunakan pada proses-proses lanjutan (perjanjian, pembayaran, dan lain-lain). Permasalahan, masih banyak lokasi yang tidak mempunyai detail disain, sehingga sket lokasi yang dikeluarkan tidak terencana dengan baik termasuk batas-batas yang dibuat kurang akurat. Yang lebih repot karena tidak ada disain maka jaringan infrastruktur belum tersedia, belum merupakan satu kesatuan dengan disain keseluruhan (master plan Pulau Batam). Masalah lain yang sering terjadi di sekitar lokasi adalah kurang memperhatikan topografi yang ada. Lahan hanya di lihat secara 2 (dua) dimensi, sehingga pada waktu pengukuran ataupun pembuatan rencana tapak secara keseluruhan seringkali ditemui kendala-kendala atau kesulitankesulitan. Permasalahan semakin berat
bila ditinjau dengan proses yang
dilakukan masa lalu. Pengukuran yang telah dilakukan di masa lalu tidak akurat sehingga bila disatukan dengan sistem yang ada saat ini, posisi lahan yang telah dialokasikan seolah-olah terjadi penggusuran (contoh ekstrim ada lokasi setelah di digitasi dengan koordinat saat ini berada di atas air atau kemiringan curam). 4). Surat Perjanjian Surat Perjanjian berisi kesepakatan dua belah pihak yang mencakup hak, kewajiban dan sangsi dari masing-masing pihak, mengenai: (1) Tanah yang dialokasikan. (2) Penggunaan dan peruntukkan tanah. (3) Jangka waktu dan status hak atas tanah. (4) Uang wajib tahunan Otorita Batam. (5) Gambar penetapan lokasi dan Surat Keputusan Pengalokasian Tanah. (6) Sertifikat hak atas tanah.
149
(7) Peralihan hak atas tanah. (8) Pembangunan fisik. (9) Surat Bukti Pelaksanaan Mendirikan Bangunan. (10) Setelah berakhirnya hak atau tanah yang dialokasikan dan hal-hal lain yang berkait dengan perjanjian. Catatan yang perlu mendapat perhatian di dalam isi Surat Perjanjian, adalah sebagai berikut: (1) Lahan dialokasikan di atas Hak Pengelolaan (Hak Pengelolaan dimiliki oleh Otorita Batam. (2) Segala akibat yang timbul dari pengalokasian menjadi tanggung jawab penerima lahan. (3) Pemotongan, pembuangan dan penimbunan lahan harus dengan ijin Otorita Batam. (4) Tidak diperkenankan merubah, menutup atau menimbun sungai/danau terkecuali bila mendapat ijin dari Otorita Batam. (5) Penambahan, perubahan kegiatan atau peruntukkan harus mendapat pernyataan tertulis dari Otorita Batan, (6) Pengalokasian tanah kepada pemohon dilakukan untuk jangka waktu 30 tahun.
Jangka waktu tersebut dapat diperpanjang untuk jangka
waktu 20 tahun berikutnya serta pembaharuan untuk jangka waktu 30 tahun. (7) Pemohon dapat memperoleh Sertifikat Hak Atas Tanah dengan melalui rekomendasi dari Otorita Batam kepada BPN dengan syarat:
Tidak menerima Surat Keputusan.
Telah melunasi uang sewa untuk jangka waktu 3 tahun dan telah melaksanakan pembangunan di atas tanah tersebut.
(8) Pemohon dapat memperoleh Sertifikat Hak Atas Tanah dengan melalui rekomendasi dari Otorita Batam kepada BPN dengan syarat:
Tidak menerima Surat Keputusan.
Tanah yang akan dialihkan atau dipecah hak-nya harus telah dibangun sesuai dengan IMB dan dibuktikan dengan Surat Bukti Pelaksanaan Mendirikan bangunan (SBPMB).
150
(9) Apabila pemohon menggunakan lahan untuk kawasan seperti Kawasan Industri, Kawasan Perumahan, Kawasan Pertokoan, maka harus memenuhi antara lain:
Menyelesaikan pembangunan sesuai tahapan perencanaan yang tertuang dalam IMB.
Menyelesaikan Prasarana Lingkungan sepeti air, listrik, jalan, tempat parkir, taman dan saluran yang dipersyaratkan dalam IMB.
(10) Bila pemohon tidak dapat memenuhi ketentuan yang diterbitkan oleh Otorita
Batam
berkaitan
dengan
pengalokasian
tanah
maka
kesempatan menggunakan tanah menjadi gugur yang berakibat dibataslkannya pengalokasian tanah, tanpa harus dimintakan kepada hakim. Cukup dibuktikan dengan adanya wan prestasi. Permasalahan, banyak sekali butir ketentuan dalam Surat Perjanjian dilanggar oleh Pemohon.
Namun demikian dengan berbagai macam
pertimbangan Otorita Batam tidak langsung membatalkan pengalokasian tanah, apabila terjadi pembatalan pengalokasian biasanya telah melakukan kesalahan-kesalahm yang terus-menerus dan tidak diperbaiki dan dilakukan selama bertahun-tahuan. 5.
Penetapan Lokasi. Surat Penetapan Lokasi dibuat berdasarkan dari pengukuran di lapangan. Surat Penetapan Lokasi berisi antara lain: berisikan lokasi yang ditetapkan, peruntukkan lokasi, koordinat dan letak, batas-batas tanah yang dialokasikan dan gambar lokasi dengan skala yang jelas. Surat Penetapan Lokasi baru akan diberikan setelah menandatangani Surat Perjanjian. Permasalahan ditemui bila denah lokasi yang diberikan tidak jelas dan data-data di sekitarnya juga tidak jelas sehingga batas lokasi tidak tepat atau tumpang tindih anta lokasi yang satu dengan lokasi yang lainnya.
6.
Surat Keputusan. Surat Keputusan merupakan penegasan dan bukti pemohon sebagai penerima alokasi lahan dari Otorita atas bagian-bagian tertentu dari tanah yang hak pengelolaanya dikuasai oleh pihak Otorita Batam.
Surat
Keputusan ini juga menegaskan bila tidak mentaati ketentuan-ketentuan
151
yang telah dikeluarkan oleh Otorita Batam maka akan dilakukan pencabutan Surat Keputusan dan berarti pembatalan pengalokasian tanah.
Surat
Keputusan mutlak harus dimiliki oleh penerima alokasi karena merupakan persyaraatan untuk memproses atau mendapatkan sertifikat dari BPN. 7.` Sertifikat Hak Atas Tanah. Sertifikat Hak atas Tanah dokeluarkan/diterbitkan oleh Kantor Badan Pertanahan
Nasional.
Seperti
dijelaskan
dalam
perjanjian,
untuk
mendapatkan/mengurus sertifikat hak atas tanah harus melunasi selama 30 tahun, memiliki Surat Keputusan dan seudah melaksanakan pembangunan dan sebagai ketegasan harus mendapatkan rekomendasi dari Otorita Batam. Permasalahan: banyak para pemilik alokasi lahan mencoba langsung mengurus sertifikat secara langsung ke BPN tanpa melalui pihak Otorita Batam
karena
mereka
belum
melaksanakan pembangunan.
melaksanakan
kewajibannya
seperti
Apabila mereka mendapatkan sertifikat
biasanya tanah dapat diperjual belikan, dan ini bisa menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari. 8.
Fatwa Planologi. Dokumen ini memberikan petunjuk dan penjelasan serta aturan untuk merencanakan dan membangun alokasi lahan yang akan dibangun. Selain menjelaskan kepemilikan, luas dan peruntukkan lokasi, fatwa planologi juga memberikan penjelasan-penjelasan batasan yang boleh dibangun seperti ketinggian bangunan, garis sempadan bangunan, batas jalan, saluran, dan lain-lain. Permasalahan: Fatwa Planologi yang dikeluarkan masih kurang sempurna karena kurang memperhatikan topografi dan kondisi lokasi di sekitarnya termasuk ketersediaan / akses terhadap infrastruktur yang ada dan yang akan dibuat. Hal ini disebabkan karena banyak lokasi yang telah dialokasikan tetapi belum mempunyai Rencana Detail Tata Ruang.
9.
IMB. IMB
merupakan
dokumen/surat
yang
sangat
penting
untuk
melaksanakan pembangunan. Surat ini menegaskan apa-apa yang telah
152
ditetapkan di dalam Fatwa Planologi.
Penekanan lebih diutamakan
melengkapi persyaratan-persyaratan teknis untuk membangun serta sangsi apabila dalam waktu yang telah ditentukan pembangunan belum selesai maka ijin yang telah dikeluarkan batal dengan sendirinya. Permasalahan, ijin yang dikeluarkan kadang-kadang tidak segera ditindaklanjuti dengan pembangunan. Masalahn lain ketentuan teknis yang sudah
ditetapkan
seringkali
dilanggar
atau
tidak
dilengkapi
dalam
pembangunan. 10. SBPMB. SBPMB
atau
Surat
Bukti
Pelaksanaan
Mendirikan
Bangunan
merupakan bukti bahwa rencana tidak dibangun sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam IMB.
Untuk membuktikan bahwa yang dibangun
sudah sesuai dengan IMB maka petugas dari Otorita Batam akan melakukan pengecekan di lapangan dan memeriksa antar IMB dengan kondisi bangunan di lapangan.
Hasil pengecekan akan dituangkan dalam Berita
Acara Hasil Pemerikansaan di lapangan. SBPMB akan diterbitkan sesuai Berita Acara yang telah dibuat. 4.5 Analisis Beban Limbah Aktivitas Pembangunan Pulau Batam Analisis lingkungan yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi analisis terhadap sumber dampak, dampak yang ditimbulkan dan alternatif pemecahan permasalahan yang telah dilakukan akibat pengembangan yang intensif di Pulau Batam.
Adapun sumber dampak yang teridentifikasi berdasarkan hasil
pengamatan langsung di wilayah penelitian meliputi pembukaan lahan yang tidak segera dibangun, perambahan terhadap lokasi yang tidak boleh dibangun, penimbunan laut yang merusak lingkungan, erosi dan sedimentasi, buangan domestik dan limbah industri. Berikut adalah uraian masing-masing sumber dampak. (1) Pembukaan Lahan yang tidak Segera Dibangun Hampir semua industri yang ada mendirikan bangunan dengan meratakan tanahnya secara total meskipun industri tersebut terletak pada daerah yang berbukit. Industri yang ada tidak mencoba mempertahankan
153
landform yang ada, padahal meletakkan satu blok bangunan dengan blok bangunan lain pada tanah yang ada perbedaan elevasi bukan merupakan suatu hal yang sulit. Berdasarkan data realisasi IMB yang telah diterbitkan, pembangunan yang telah mendapatkan ijin untuk berbagai keperluan meliputi lahan seluas 319,87 ha. Namun demikian sebagaian besar kegiatan pembangunan yang dilakukan sampai pada tahap pembukaan lahan dan tidak segera dibangun. Dampaknya adalah : Kekeruhan air laut akibat aliran erosi ke laut. Erosi yang mengakibatkan pengelupasan lapisan humus tanah/top soil yang diakibatkan oleh proses penggerusan oleh run-off air hujan. Kondisi lahan yang relatif rata, akan mempersulit untuk mengalirkan air hujan. (2) Perambahan terhadap Lokasi yang tidak boleh Dibangun Lokasi yang tidak boleh dibangun pada umumnya merupakan daerah hijau, dan seiring dengan perkembangan pesat yang terjadi di P. Batam, banyak pendatang yang bertujuan mencari kerja dan diantara mereka banyak yang status sosialnya adalah kelas bawah, tanpa pengetahuan dan kemampuan. Akibatnya, pendatang ini kemudian sebagian besar menempati pemukiman-pemukiman liar yang berdekatan dengan lokasi kerja mereka, yaitu di sekitar kegiatan industri, perdagangan atau proyek bangunan. Adanya
kebutuhan
tempat
tinggal
bagi
pendatang
kelas
bawah
menyebabkan terjadinya perambahan terhadap daerah hijau yang semakin lama
semakin
berkembang
sehingga
perutukkan
yang
seharusnya
merupakan daerah hijau berubah menjadi pemukiman kumuh. Hingga tahun 1998, data mengenai rumah liar yang tercatat sebanyak 2.533 unit dan hanya 23 unit atau 0,90% yang memiliki IMB.
Sisanya
sebanyak 2.510 unit atau 99,09% tidak memiliki IMB dan diasumsikan sebagai rumah liar.
154
Dampak
yang
ditimbulkan
oleh
adanya
rumah
liar
adalah
berkurangnya wilayah tangkapan air (catchment area), peningkatan buangan limbah cair rumah tangga pada badan perairan dan sampah dari kegiatan rumah tangga. Selain itu juga terjadi penurunan estetika P. Batam secara umum karena keberadaan rumah liar yang dikhawatirkan suatu saat tidak dapat dikendalikan lagi bila tidak dilakukan penanganan dengan segera. (3) Penimbunan Laut yang Merusak Lingkungan Aktivitas penimbunan laut (reklamasi) dilakukan oleh hampir semua industri dengan cara meratakan lahannya secara total dan tidak membangun dengan menyesuaikan terhadap kontur lahan yang ada, dan tanah hasil pembukaan lahan ada yang dipakai untuk menimbun area lain dan ada juga yang dipakai untuk menimbun rawa/laut. Penimbunan laut mengakibatkan kerusakan lingkungan perairan pantai, khususnya untuk Sub Wilayah Pengembangan Tanjung Uncang – Sagulung, antara lain: Peningkatan kekeruhan air laut, dan kekeruhan ini menghalangi penetrasi cahaya matahari ke dalam air laut, sehingga mengganggu organisme yang memerlukan cahaya dan mengurangi produktifitas perikanan. Sedimentasi yang sangat tinggi dapat merubah sistem perairan menjadi daratan, oleh karena sebagian sedimen ada yang mengalir ke laut dan sebagian lagi mengendap. Terjadinya
perubahan
arus
laut
yang
dikhawatirkan
merusak
ekosistem yang ada di sekitarnya. (4) Erosi dan Endapan yang Ditimbulkan Sumber terjadinya erosi adalah pembukaan lahan baru dengan melakukan pengelupasan lapisan humus tanah.
Pada saat terjadi hujan
terjadi proses pengerusan butiran tanah oleh run off air hujan, sehingga mengakibatkan terjadinya erosi. Aliran run off tersebut membawa buliran tanah hingga muara-muara sungai atau lokasi yang lebih rendah sehingga
155
terjadilah sedimentasi yang cukup tinggi dan hal dapat menimbulkan dampak yang buruk terhadap ekosistem. Dari foto satelit terakhir (Pebruari 2007) terlihat beberapa lahan yang sudah dialokasikan dan sudah dibuka tetapi tidak segera dibangun serta terjadi beberapa pengerukan laut di Batu Ampar dan Batam Centre yang mengakibatkan erosi dan sedimentasi di Teluk Tering Batam Centre dan juga membuat kekeruhan air laut di Wilayah tersebut. Gambar 31 memperlihatkan penyebab dan akibat dari erosi, sedimentasi dan kekeruhan air laut di Teluk Tering.
http://www.flashearth.com
Sumber : http:///www.flashearth.com
Gambar 31 Penyebab Erosi Laju erosi yang terjadi di beberapa waduk yang ada di P. Batam menunjukkan hal yang mengkhawatirkan.
Tercatat laju erosinya sudah
mencapai kisaran 16,43 – 27,23 ton/ha tahun, dengan laju erosi tertinggi terjadi pada waduk Sei Ladi dan Sei Baloi yang nilainya mencapai 27,23 ton/ha/th untuk Sei Ladi mencapai 23,27 ton/ha/th untuk Sei Baloi.
Bila
dibandingkan dengan laju erosi yang diperkenankan di Indonesia yaitu sebesar 4 – 14 ton/ha/tahun dan Amerika Serikat sebesar 2 – 11 ton/ha/tahun, maka laju erosi di P. Batam relatif sangat tinggi. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan dan perlu pengelolaan yang seksama agar dapat
156
mencegah kerusakan wilayah pesisir yang lebih parah karena dampak negatif yang ditimbulkan di wilayah pesisir berupa sedimentasi. Tabel 23. memperlihatkan data erosi yang terjadi di beberapa waduk di P. Batam. Hingga saat ini, pengelolaan yang sudah dilakukan untuk menghindari terjadinya erosi adalah mengalirkan air hujan pda lembah sungai penerima yang terdekat, misalkan Sei Senimba, Sungai Langkai dan Tembesi Lama serta Sei Temiang dan untuk selanjutnya mengalir ke laut. Cara lainnya adalah membuat saluran-saluran drainase agar dapat mengalirkan air secepat mungkin menuju ke hilir. Tabel 23. Data Erosi di Beberapa Waduk di P. Batam Luas Daerah Tangkapan/ Catchment area
Volume Erosi yang terjadi (ton/ha/th)
Volume Erosi yang terjadi utk Seluruh Catchment Area (ton/th)
No
Waduk
1
Sei Nongsa
222.70
16,43
3.658,96
2
Sei Baloi
124.30
23,27
2.892,74
3
Sei Harapan
811.00
17,30
14.032,70
1.105.80
27.23
30.110,00
4 Sei Ladi Sumber: USU (1993)
(5) Limbah dari kegiatan yang sudah beroperasi Limbah dari kegiatan yang sudah beroperasi di Pulau Batam secara garis besar berasal dari darat dan laut, yaitu: Land based polution sources, yaitu sumber pencemaran yang berasal dari kegiatan jasa perkotaan (89 ha), industri (1.015 ha), rumah tangga (125,42 ha) dan pertanian (2.910 ha). Adapun limbah yang dikeluarkan oleh masing-masing aktivitas dapat diuraikan sebagai berikut: i.
Jasa perkotaan: menghasilkan limbah berupa limbah padat dan limbah cair (sewage).
ii.
Industri: menghasilkan limbah berupa limbah padat sampah besar dengan kapasitas besar > 2 m3, serta limbah padat kecil buangan aktivitas kantor.
Berdasarkan hasil evaluasi Master
Plan P. Batam 1991, jenis limbah yang ditimbulkan dapat
157
dikatagorikan sebagai limbah organik dan limbah berupa logam berat, yang berdasarkan pada klasifikasi sifat kimia terdiri atas Klas A (Ca, Mg, dll), Klas B (Hg, Cd, dll) serta kelas peralihan (Zn, Pb, dan sebagainya). iii.
Perumahan: menghasilkan limbah berupa limbah padat/limbah rumah tangga berupa sampah, limbah cari pemukiman (sewage) dan tinja atau sampah produksi aktivitas manusia/sampah domestik.
Marine based pollution sources, yaitu sumber pencemaran yang berasal dari kegiatan perhubungan laut. 4.6 Analisis Deskriptif Sosial Budaya Permasalahan sosial yang timbul di P. Batam dan merupakan sisi negatif lain yang terjadi akibat percepatan pembangunan di P. Batam dapat dijelaskan sebagai berikut: (1)
Dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga mencapai 17% pertahun, P. Batam secara kasat mata dan fisik terlihat sangat cepat terjadi perubahan pembangunan gedung dan kebutuhan tenaga kerja meningkat pesat. Gambar kasar ini dapat ditangkap oleh masyarakat awam.
Akibatnya, bagaikan magnet, P. Batam
menarik cepat masuknya pendatang baik yang berpendidikan maupun yang tidak mempunyai kemampuan sama sekali. Ini dapat terlihat dari data pertumbuhan penduduk yang hampir setiap 5 tahun jumlah penduduk P. Batam menjadi 2 kali lipat. (2)
Penduduk yang tidak mempunyai kemampuan sulit untuk mendapat pekerjaan yang berpenghasilan layak.
Akibatnya mereka tidak
mampu untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak.
Pada
akhirnya mereka menyerobot lahan kosong bahkan merusak hutan kota, hutan lindung dan lahan kritis. Jumlah mereka sudah sangat mengkhawatirkan, dimana berdasarkan data yang bersumber darii Direktorat Pengamanan OPDIP Batam, sampai akhir 1997 sudah berjumlah 25.964 rumah.
Bila diasumsikan satu rumah berisi 3
orang, maka jumlah penduduk yang tinggal di daerah bermasalah adalah sebanyak 77.892 jiwa.
Bila dibandingkan dengan jumlah
158
penduduk tahun 1997 adalah 255.179 orang, maka jumlah orang yang menghuni di pemukiman bermasalah adalah mencapai 30,52%. (3)
Pertumbuhan yang cepat dan pembangunan yang pesat harus sesuai dengan pengawasan yang memadai bila dilihat dari pembangunan yang dilakukan selama 10 tahun terakhir terlihat peningkatan yang sangat pesat.
Namun demikian dari sisi
pengawasan, organisasi, jumlah personil yang mengawasi serta peralatan yang ada tidak jauh berbeda dengan kondisi 15 tahun yang lalu. Ini berarti kemampuan pengawasan tidak seiring dengan laju pembangunan.
Kondisi ini sangat memungkinkan terjadinya
penyimpangan dalam proses pembangunan seperti penyerobotan hutan lindung, pembabatan daerah hijau, timbulnya rumah liar, penimbunan yang tidak terkendali hingga pembuangan limbah yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. (4)
Hampir seperti yang terjadi di kota-kota besar di Indonesia, pertumbuhan ekonomi/hasil pembangunan hanya dinikmati oleh sebagian kecil penduduknya.
Walau tidak tersedia data tentang
pendapatan penduduk seperti dilaporkan dalam buku Laporan Tahunan Perekonomian Batam tahun 1998 yang disusun oleh BPS Kodya Batam, dari data-data yang disampaikan dalat disimpulkan bahwa masih banyak masalah kependudukan dan ketenagakerjaan. Indikator yang dapat dilihat adalah Upah Minimun Regional (UMR) yang masih berada di bawah nilai Kebutuhan Hidup Minimum (KHM).
Tercatat pada tahun 1998 besarnya UMR adalah Rp.
270.000,- sedangkan KHM adalah Rp. 358.205.
Berarti setiap
pekerja yang dibayar berdasarkan aturan UMR masih kekurangan Rp. 88.205 perbulan.
Bila diasumsikan para tenaga kerja yang
tercatat sebanyak 141.276 orang menerima gaji sesuai atau tidak berbeda jauh dari UMR, dan bila dibandingkan dengan jumlah penduduk sebanyak 290.638 jiwa maka sebanyak 48,6% penduduk tidak terpenuhi kebutuhan hidup minimumnya.
Bila ini ditambah
dengan
di
jumlah
penduduk
yang
menghuni
daerah
yang
bermasalah (rumah liar) sebanyak 30,52% yang juga diasumsikan
159
berpenghasilan rendah (jobless), maka total jumlah penduduk yang tidak sejahtera (hidup dibawah KHM) adalah 79,12% (Asumsi nilai ini duplikasi bila ada buruh yang tinggal di rumah liar). Kesenjangan lain juga terlihat pada penduduk asli yang tinggal di pulau-pulau sekitarnya. Kesenjangan juga dapat dirasakan dari sisi pendidikan.
Apabila
dibandingkan data tahun 1995 dengan tahun 1998, maka prosentase lulusan sekolah dasar terjadi penurunan yaitu dari 28,49% menjadi 24,12%, begitu juga untuk lulusan Diploma dan Universitas. Untuk lulusan Diploma terjadi penurunan dari 2,51% menjadi 1,58%, dan lulusan Universitas dari 2,84% mejadi 1,71%. Apabila yang berminat duduk diperguruan tinggi diasumsikan mencerminkan penduduk yang berpenghasilan tinggi, berarti hanya 5,35% pada tahun 1995 dan 3,29% pada tahun 1998 yang berpenghasilan memadai.
5 IMPLIKASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN 5.1 Penyusunan Unsur Pembentuk SWOT Penyusunan implikasi kebijakan pengelolaan didasarkan pada Metoda SWOT, yang input analisisnya berasal dari beberapa metoda sebelumnya agar dihasilkan kekuatan (strength), kelemahan (weakness), peluang (opportunity) dan ancaman (threath) dari Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pulau Batam, sebagai berikut: 5.1.1 Kekuatan Unsur-unsur yang menjadi kekuatan dalam pengembangan Pulau Batam melalui optimalisasi pemanfaatan lahan adalah: 1) Investasi sektor industri dapat menarik investasi positif tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya (Industri). 2) Meningkatnya kebutuhan lahan untuk perumahan yang akan menampung pekerja-pekerja di kawasan industri dan fasilitas umum yang melayani kegiatan-kegiatan yang berkembang pesat terutama kegiatan industri dan pariwisata (Perumahan). 3) Setiap KK mendapatkan rumah/lahan perumahan dengan komposisi 1:3:6 sesuai SKB antara Menpera dan Otorita Batam sehingga memungkinkan timbulnya pemerataan (Perumahan). 4) Besarnya minat investor untuk menanamkan investasinya di sektor jasa maka direkomendasikan mengkonversikan sebagian sektor pertanian dan hijau menjadi sektor jasa (Jasa). 5) Pertanian merupakan
kawasan transisi
dan bersifat sementara,
peruntukan ini diusulkan dikonversi menjadi peruntukan yang lebih dapat menarik investasi positip antara lain sektor Jasa, Industri dan Perumahan (Pertanian). 6) Pariwisata termasuk sektor yang diminati oleh para investor.
Bahkan
dapat menarik investasi positif yang cukup besar dan bersaing dengan sektor jasa (Pariwisata).
217
5.1.2. Kelemahan 1) Lahan
industri
yang
telah
dialokasikan
sebagian
besar
tidak
melaksanakan pembangunan dan ada kecenderungan terjadi spekulasi untuk mendapatkan keuntungan dari harga lahan (Industri). 2) Limbah dari industri di Pulau Batam sebagian besar tidak dilakukan pengolahan (Industri). 3) Munculnya perumahan liar (RULI) dengan merambah daerah hijau menjadi perumahan yang dilakukan oleh pendatang yang bertujuan mencari kerja, dan diantara mereka banyak yang status sosialnya adalah kelas bawah (Perumahan). 4) Hampir seluruh lahan jasa di perkotaan sudah dialokasikan dan sebagian besar sudah terbangun sehingga kemungkinan akan menyulitkan pengembangan sektor jasa (Jasa). 5) Lahan Pertanian, bukan merupakan peruntukan yang telah ditetapkan untuk Pulau Batam (Pertanian). 6) Sektor pariwisata yang telah dikembangkan di P. Batam sebagian besar adalah perhotelan dan wisata pantai, belum memadukan unsur-unsur budaya dan daya tarik wisata lainnya (Pariwisata). 7) Pariwisata belum digarap secara optimal. Ini terlihat dari masa tinggal dan uang yang dibelanjakan di sektor pariwisata. Rata-rata masa tinggal wisatawan adalah sekitar 2 hari (Pariwisata). 8) Konversi lahan dari peruntukkan lain sangat kecil diharapkan karena lahan pariwisata dibutuhkan kondisi yang spesifik (Pariwisata). 5.1.3. Peluang 1) Peningkatan PAD Pemda dari sektor industri karena tingginya harga sewa lahan (Industri). 2) Pengembangan perumahan sesuai dengan komposisi 1:3:6 sehingga mengurangi kemungkinan munculnya perubahan alokasi lahan untuk perumahan yang berdampak pada mahalnya harga rumah murah untuk kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah (Perumahan).
218
3) Pengembangan sektor jasa dan pariwisata akan sangat berdampak pada pengembangan Pulau Batam sebagai Kota Transit ke Singapura (Jasa dan Pariwisata). 4) Penyediaan komoditi pertanian yang murah yang dapat disediakan oleh pulau-pulau lain di sekitar Pulau Batam. 5.1.4. Ancaman 1) Timbulnya erosi dan abrasi yang disebabkan oleh pembukaan lahan dan penimbunan laut di pesisir dan gangguan terhadap ekosistem alami dan estetika (Industri). 2) Hampir semua garis pantai sudah dibuka dan habitat aslinya hilang seperti mangrove dan terumbu karang di wilayah tersebut (Industri). 3) Pemilik lahan sektor industri dan pada umumnya bukan investor yang sesungguhnya, tetapi hanya spekulan lahan (Industri dan perumahan). 4) Kemungkinan perubahan alokasi pemanfaatan lahan dari sektor pertanian dan hijau melebihi ketetapan sesuai dengan master plan (Jasa). 5) Minimnya produk hasil pertanian dari Pulau Batam, sehingga pulau ini sangat tergantung pasokan dari luar Pulau Batam (Pertanian). 6) Pengembangan pariwisata akan bersaing ketat dengan Singapura (Pariwisata). 5.2
Penyusunan Strategi Pengelolaan dalam Optimalisasi Pemanfaatan Lahan berdasarkan Hasil Analisis SWOT Untuk menentukan kebijakan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan
lahan Pulau Batam yang didasarkan atas kondisi faktual dilapangan, maka teknik yang digunakan adalah mencari strategi silang dari ke-empat faktor tersebut, yaitu : 1. Kebijakan SO, yaitu kebijakan yang disusun untuk memanfaatkan seluruh kekuatan dan mengoptimalkan peluang yang ada; 2. Kebijakan ST, yaitu kebijakan yang disusun untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki dalam menanggulangi ancaman yang ada; 3. Kebijakan WO, yaitu kebijakan memanfaatkan peluang secara optimal untuk mengatasi kelemahan yang dimiliki; dan
219
4. Kebijakan WT, yaitu kebijakan yang disusun untuk mengatasi kelemahan dan mengeliminasi ancaman yang mungkin timbul. Tabel 28 memperlihatkan penyusunan strategi silang dalam optimalisasi pemanfaatan lahan di Pulau Batam. Tabel 28.
Formulasi Kebijakan Pengelolaan Pemanfaatan Lahan di Pulau Batam
KEKUATAN (S) 1. Investasi sektor industri dapat menarik investasi positif tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya (Industri). 2. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk perumahan yang akan menampung pekerja-pekerja di kawasan industri dan fasilitas umum yang melayani kegiatankegiatan yang berkembang pesat terutama kegiatan industri dan pariwisata (Perumahan). 3. Setiap KK mendapatkan rumah/lahan perumahan dengan komposisi 1:3:6 sesuai SKB antara Menpera dan Otorita Batam
untuk
Optimalisasi
PELUANG (O) 1. Peningkatan PAD Pemda dari sektor industri karena tingginya harga sewa lahan (Industri). 2. Pengembangan perumahan sesuai dengan komposisi 1:3:6 sehingga mengurangi kemungkinan munculnya perubahan alokasi lahan untuk perumahan yang berdampak pada mahalnya harga rumah murah untuk kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah (Perumahan). 3. Pengembangan sektor jasa dan pariwisata akan sangat berdampak pada pengembangan Pulau Batam sebagai Kota Transit ke Singapura (Jasa dan Pariwisata). 4. Penyediaan komoditi pertanian yang murah yang dapat disediakan oleh pulaupulau lain di sekitar Pulau Batam.
ANCAMAN (T) 1. Timbulnya erosi dan abrasi yang disebabkan oleh pembukaan lahan dan penimbunan laut di pesisir dan gangguan terhadap ekosistem alami dan estetika (Industri). 2. Hampir semua garis pantai sudah dibuka dan habitat aslinya hilang seperti mangrove dan terumbu karang di wilayah tersebut (Industri). 3. Pemilik lahan sektor industri dan pada umumnya bukan investor yang sesungguhnya, tetapi hanya spekulan lahan (Industri dan perumahan). 4. Kemungkinan perubahan alokasi pemanfaatan lahan dari sektor pertanian dan hijau melebihi ketetapan sesuai dengan master plan (Jasa). 5. Minimnya produk hasil pertanian dari Pulau Batam, sehingga pulau ini sangat tergantung pasokan dari luar Pulau Batam (Pertanian). 6. Pengembangan pariwisata akan bersaing ketat dengan Singapura (Pariwisata).
Kebijakan SO Lahan-lahan yang tidak sesuai dengan fungsi pembangunan P. Batam dan lahan pada sektor lain yang memungkinkan untuk dikonversikan menjadi lahan industri, dengan memperhatikan zoning di dalam Master Plan diusulkan segera dikonversikan terutama ke sektor industri (Industri). Perlu penataan hunian (zoning) perumahan berdasarkan lokasi kerja (Perumahan).
Kebijakan ST Apabila konversi lahan disetujui maka sebaiknya langsung diberikan kepada investor agar mempercepat laju pertumbuhan investasi positif (Industri). Perlu memperbaiki Rencana Tata Ruang khususnya untuk perencanaan perumahan dikawasan padat perkotaan, antara lain kebijakan kebijakan pengetatan ijin KDB dan KLB (Perumahan). Dikeluarkan kebijakan memberi peringatan keras untuk segera membangun atau dilakukan
1.
2.
1.
2.
3.
220
Tabel 28.
Lanjutan ...
1. sehingga memungkinkan timbulnya pemerataan (Perumahan). 2. Besarnya minat investor untuk menanamkan investasinya di sektor jasa maka direkomendasikan mengkonversikan sebagian sektor pertanian dan hijau menjadi sektor jasa (Jasa). 3. Pertanian merupakan kawasan transisi dan bersifat sementara, peruntukan ini diusulkan dikonversi menjadi peruntukan yang lebih dapat menarik investasi positip antara lain sektor Jasa, Industri dan Perumahan (Pertanian). 4. Pariwisata termasuk sektor yang diminati oleh para investor. Bahkan dapat menarik investasi positif yang cukup besar dan bersaing dengan sektor jasa (Pariwisata) 1.
2.
3.
4.
5.
6.
KELEMAHAN (W) Lahan industri yang telah dialokasikan sebagian besar tidak melaksanakan pembangunan dan ada kecenderungan terjadi spekulasi untuk mendapatkan keuntungan dari harga lahan (Industri). Limbah dari industri di Pulau Batam sebagian besar tidak dilakukan pengolahan (Industri). Munculnya perumahan liar (RULI) dengan merambah daerah hijau menjadi perumahan yang dilakukan oleh pendatang yang bertujuan mencari kerja, dan diantara mereka banyak yang status sosialnya adalah kelas bawah (Perumahan). Hampir seluruh lahan jasa di perkotaan sudah dialokasikan dan sebagian besar sudah terbangun sehingga kemungkinan akan menyulitkan pengembangan sektor jasa (Jasa). Lahan Pertanian, bukan merupakan peruntukan yang telah ditetapkan untuk Pulau Batam (Pertanian). Sektor pariwisata yang telah dikembangkan di P. Batam sebagian besar adalah perhotelan dan wisata pantai, belum memadukan unsur-unsur budaya dan daya tarik wisata lainnya (Pariwisata).
5.
6.
7.
Menata Tata Ruang Kawasan Jasa seperti di Batu Ampar (Nagoya) dan Batam Senter (Jasa). Dengan melihat keterbatasan sumberdaya air, karakteristik kesuburan lahan yang kurang dan rendahnya minat investor maka direkomendasikan untuk mengkonversi lahan pertanian kepada sektorsektor lain yang lebih menguntungkan (Pertanian). Mengubah citra pariwisata di P. Batam menjadi lebih positif (Pariwisata).
Kebijakan WO (1)
(2)
Perlu segera diterapkan kebijakan penarikan lahanlahan yang tidak segera dibangun melalui tahapan peringatan atau tindakan keras agar segera membangun (Industri). Lahan yang telah ditarik, segera diproses untuk berikan kepada investor yang bersungguh-sungguh dengan biaya sewa lahan yang lebih tinggi tetapi dengan pelayanan dan penyiapan infrastruktur yang lebih baik. Bila proses tersebut dilaksanakan maka investor akan segera membangun dan investasi positif dengan cepat akan meningkat (Industri).
(3)
(4)
Perlu dipikirkan subsidi bagi penduduk asli yang berpenghasilan rendah/miskin dalam bentuk keringanan atau pemberian kavling atau pemberian perumahan (Perumahan). Perlu memperhatikan segmentasi harga lahan untuk perumahan agar didapat subsidi silang bagi masyarakat berpenghasilan rendah/miskin (Perumahan).
4. penarikan kembali lahan-lahan jasa yang telah dialokasikan tetapi belum dibangun (Jasa). 5. Membuat kebijakan peraturan tata ruang seperti KLB dan KDB (Jasa). 6. Meningkatkan standar pariwisata dengan standar internasional karena Batam berbatasan langsung dengan negara tetangga dan salah satu pintu gerbang terbesar masuknya turis mancanegara setelah Bali (Pariwisata).
Kebijakan WT 1. Kebijakan pengelolaan sumber dampak negatif (Industri) 2. Mengingat lahan di Pulau Batam hampir seluruhnya merupakan pesisir, maka perlu direvisi kembali Rencana Tata Ruang di kawasan tersebut, minimal memperbaiki kawasan pantai dan menyediakan lahanlahan untuk pengolahan limbah secara terpadu (Industri). 3. Perlu perencanaan kawasan perumahan sesuai dengan standar kenyamanan 4. perumahan yang aman, nyaman dan mudah dijangkau dengan fasos dan fasum yang memadai. Hal ini perlu dilakukan untuk kenyamanan dan kelestarian lingkungan (Perumahan). 5. Penataan lingkungan jasa perkotaan dan menambah dengan menambah ruang hijau dan taman kota (Jasa). 6. Perlu dipikirkan untuk memenuhi kebutuhan komoditi pertanian untuk masyarakat Batam dengan harga yang relatif terjangkau (Pertanian).
221
Tabel 28.
Lanjutan ...
7.
Pariwisata belum digarap secara optimal. Ini terlihat dari masa tinggal dan uang yang dibelanjakan di sektor pariwisata. Rata-rata masa tinggal wisatawan adalah sekitar 2 hari (Pariwisata).
8.
Konversi lahan dari peruntukkan lain sangat kecil diharapkan karena lahan pariwisata dibutuhkan kondisi yang spesifik (Pariwisata).
9.
Membuat kebijakan standarisasi bangunan jasa di perkotaan dengan meningkatkan kualitas bangunan dan pelayanan termasuk sarana dan prasarana umum (Jasa).
7.
Direkomendasikan menempatkan sektor pertanian di pulau-pulau lain (Barelang) yang secara alamiah lebih memungkinkan dan mudah dijangkau dari P. Batam, misalnya P. Galang (Pertanian).
10.
Meningkatkan kualitas pelayanan dan ragam wisata (Pariwisata).
8.
Meningkatkan nilai investasi positif per-m2 dengan memadukan unsur kualitas pelayanan dan ragam wisata, citra pariwisata dengan standar internasional (pariwisata)
5.3 Pembobotan Untuk menentukan prioritas dari kebijakan di atas, maka perlu memberikan bobot pada unusr SWOT yang ada pada Tabel 28. Pemberian bobot ( berkisar antara 1 – 3) didasarkan pada derajat kepentingan dari unsur tersebut. Artinya unsur yang paling penting akan mendapatkan nilai paling tinggi, dan sebaliknya unsur yang tidak penting akan mendapatkan nilai paling rendah. Pada Tabel 29 dapat dilihat pemberian bobot untuk setiap unsur kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam proses mendapatkan prioritas kebijakan optimalisasi pemanfaatan lahan Pulau Batam. Tabel 29.
Pemberian Bobot untuk Setiap Kelemahan, Peluang dan Ancaman
Unsur
dari
Kekuatan,
Kekuatan
Bobot
Kelemahan
Bobot
Peluang
Bobot
Ancaman
Bobot
S1 S2 S3 S4 S5 S6
3 2 1 3 1 3
W1 W2 W3 W4 W5 W6 W7 W8
2 2 3 2 1 3 2 2
O1 O2 O3 O4
3 2 3 1
T1 T2 T3 T4 T5 T6
3 2 2 2 2 3
Keterangan: KEKUATAN (S) S1. Investasi sektor industri dapat menarik investasi positif tertinggi dibandingkan dengan sektor lainnya (Industri). S2. Meningkatnya kebutuhan lahan untuk perumahan yang akan menampung pekerja-pekerja di kawasan industri dan fasilitas umum yang melayani kegiatan-kegiatan yang berkembang pesat terutama kegiatan industri dan pariwisata (Perumahan).
222
S3. Setiap KK mendapatkan rumah/lahan perumahan dengan komposisi 1:3:6 sesuai SKB antara Menpera dan Otorita Batam sehingga memungkinkan timbulnya pemerataan (Perumahan). S4. Besarnya minat investor untuk menanamkan investasinya di sektor jasa maka direkomendasikan mengkonversikan sebagian sektor pertanian dan hijau menjadi sektor jasa (Jasa). S5. Pertanian merupakan kawasan transisi dan bersifat sementara, peruntukan ini diusulkan dikonversi menjadi peruntukan yang lebih dapat menarik investasi positip antara lain sektor Jasa, Industri dan Perumahan (Pertanian). S6. Pariwisata termasuk sektor yang diminati oleh para investor. Bahkan dapat menarik investasi positif yang cukup besar dan bersaing dengan sektor jasa (Pariwisata) KELEMAHAN (W) W1. Lahan industri yang telah dialokasikan sebagian besar tidak melaksanakan pembangunan dan ada kecenderungan terjadi spekulasi untuk mendapatkan keuntungan dari harga lahan (Industri). W2. Limbah dari industri di Pulau Batam sebagian besar tidak dilakukan pengolahan (Industri). W3. Munculnya perumahan liar (RULI) dengan merambah daerah hijau menjadi perumahan yang dilakukan oleh pendatang yang bertujuan mencari kerja, dan diantara mereka banyak yang status sosialnya adalah kelas bawah (Perumahan). W4. Hampir seluruh lahan jasa di perkotaan sudah dialokasikan dan sebagian besar sudah terbangun sehingga kemungkinan akan menyulitkan pengembangan sektor jasa (Jasa). W5. Lahan Pertanian, bukan merupakan peruntukan yang telah ditetapkan untuk Pulau Batam (Pertanian). W6. Sektor pariwisata yang telah dikembangkan di P. Batam sebagian besar adalah perhotelan dan wisata pantai, belum memadukan unsur-unsur budaya dan daya tarik wisata lainnya (Pariwisata). W7. Pariwisata belum digarap secara optimal. Ini terlihat dari masa tinggal dan uang yang dibelanjakan di sektor pariwisata. Rata-rata masa tinggal wisatawan adalah sekitar 2 hari (Pariwisata). W8. Konversi lahan dari peruntukkan lain sangat kecil diharapkan karena lahan pariwisata dibutuhkan kondisi yang spesifik (Pariwisata). PELUANG (O) O1. Peningkatan PAD Pemda dari sektor industri karena tingginya harga sewa lahan (Industri). 02. Pengembangan perumahan sesuai dengan komposisi 1:3:6 sehingga mengurangi kemungkinan munculnya perubahan alokasi lahan untuk perumahan yang berdampak pada mahalnya harga rumah murah untuk kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah (Perumahan). O3. Pengembangan sektor jasa dan pariwisata akan sangat berdampak pada pengembangan Pulau Batam sebagai Kota Transit ke Singapura (Jasa dan Pariwisata). O4. Penyediaan komoditi pertanian yang murah yang dapat disediakan oleh pulau-pulau lain di sekitar Pulau Batam. ANCAMAN (T) T1. Timbulnya erosi dan abrasi yang disebabkan oleh pembukaan lahan dan penimbunan laut di pesisir dan gangguan terhadap ekosistem alami dan estetika (Industri). T2. Hampir semua garis pantai sudah dibuka dan habitat aslinya hilang seperti mangrove dan terumbu karang di wilayah tersebut (Industri). T3. Pemilik lahan sektor industri dan pada umumnya bukan investor yang sesungguhnya, tetapi hanya spekulan lahan (Industri dan perumahan). T4. Kemungkinan perubahan alokasi pemanfaatan lahan dari sektor pertanian dan hijau melebihi ketetapan sesuai dengan master plan (Jasa). T5. Minimnya produk hasil pertanian dari Pulau Batam, sehingga pulau ini sangat tergantung pasokan dari luar Pulau Batam (Pertanian). T6. Pengembangan pariwisata akan bersaing ketat dengan Singapura (Pariwisata).
5.4 Penentuan Prioritas Kebijakan Berdasarkan pembobotan yang telah dilakukan pada Tabel 29. maka bobot dari kedelapan kebijakan yang telah diformulasikan dijumlahkan.
223
Penjumlahan didasarkan pada unsur-unsur pembentuk kebijakan tersebut. Dari penjumlahan ini didapatkan prioritas kebijakan seperti dapat dilihat pada Tabel 30. Tabel 30. No.
Penentuan Prioritas Kebijakan Pengelolaan Pulau Batam
Kebijakan
Keterkaitan
Skor
Prioritas
Sektor Industri 1
Perlu segera diterapkan kebijakan penarikan lahan-lahan yang tidak segera dibangun melalui tahapan peringatan atau tindakan keras agar segera membangun
S1, S4, S5, W1, O1, T3, T4
3+3+1+2+3+ 2+2=16
2
2
Lahan yang telah ditarik, segera diproses untuk berikan kepada investor yang bersungguhsungguh dengan biaya sewa lahan yang lebih tinggi tetapi dengan pelayanan dan penyiapan infrastruktur yang lebih baik. Bila proses tersebut dilaksanakan maka inevstor akan segera membangun dan investasi positif dengan cepat akan meningkat
S4, S6, W1, 01, T3
3+3+2+3+2= 13
3
3
Mengingat lahan di Pulau Batam hampir seluruhnya merupakan pesisir, maka perlu direvisi kembali Rencana Tata Ruang di kawasan tersebut, minimal memperbaiki kawasan pantai dan menyediakan lahan-lahan untuk pengolahan limbah secara terpadu
S4, S5, S6, W2, 03, T1, T2
3+1+3+2+3+ 3+2=17
1
4
Lahan-lahan yang tidak sesuai dengan fungsi pembangunan P. Batam dan lahan pada sektor lain yang memungkinkan untuk dikonversikan menjadi lahan industri, dengan memperhatikan zoning di dalam Master Plan diusulkan segera dikonversikan terutama ke sektor industri
S1, S4, S5, W1, O1, T3, T4
3+3+1+2+3+ 2+2=16
2
5
Apabila konversi lahan disetujui maka sebaiknya langsung diberikan kepada investor agar mempercepat laju pertumbuhan investasi positif
S4, S6, T4
3+3+3=9
4
6
Kebijakan pengelolaan sumber dampak negatif
W2, T1
2+3=5
5
Sektor Perumahan 1
Perlu memperbaiki Rencana Tata Ruang khususnya untuk perencanaan perumahan dikawasan padat perkotaan, antara lain kebijakan kebijakan pengetatan ijin KDB dan KLB
S3, W3, O2, T3
1+3+2+2=6
4
2
Perlu penataan hunian (zoning) perumahan berdasarkan lokasi kerja
S2, W3,O1, 02, T3
2+3+3+2+2= 12
1
3
Perlu perencanaan kawasan perumahan sesuai dengan standar kenyamanan perumahan yang aman, nyaman dan mudah dijangkau dengan fasos dan fasum yang memadai. Hal ini perlu dilakukan untuk kenyamanan dan kelestarian lingkungan
S2, S3, W3, 02
2+1+3+2=8
3
4
Perlu dipikirkan subsidi bagi penduduk asli yang berpenghasilan rendah/miskin dalam bentuk keringanan atau pemberian kavling atau pemberian perumahan
S3, W3, O2
1+3+2=6
4
224
Lanjutan Table 30….. 5
Perlu memperhatikan segmentasi harga lahan untuk perumahan agar didapat subsidi silang bagi masyarakat berpenghasilan rendah/miskin
S2, S3, W3, 02, T3
2+1+3+2+2=10
2
S4, S6, W4, W6, O3, T4, T6 S5, W1, O1, T3
3+3+2+3+3+2+ 3= 19
1
1+2+3+2=6
4
S2, S3, O2, T4 S2, S3, S4, W4, O3, T4
2+1+2+2=7
3
1+3+1+2+3+2= 12
2
S5, W4, T4
3+2+2=7
3
S1, S5, W1, W5, W8, 03, T4
3+1+2+2+2+3+ 2=15
1
O4, T5, T6
1+2+3=6
2
S5, W5, O4, T5
1+1+1+2=5
3
S5, W5, O4, T5
1+1+1+2=5
3
S6, W6, W7, W8, O3, T6
3+3+2+2+3+3= 16
3
S6, W6, W7, W8, O3, T1, T6
3+3+2+2+3+3+ 3=19
2
W6, W7, W8, O3, T6
3+2+2+3+3=13
4
S6, W6, W7, W8, O3, T1, T2, T6
3+3+2+2+3+3+ 2+3=21
1
Sektor Jasa 1
Menata Tata Ruang Kawasan Jasa seperti di Batu Ampar (Nagoya) dan Batam Senter
2
Dikeluarkan kebijakan memberi peringatan keras untuk segera membangun atau dilakukan penarikan kembali lahan-lahan jasa yang telah dialokasikan tetapi belum dibangun Membuat kebijakan peraturan tata ruang seperti KLB dan KDB Membuat kebijakan standarisasi bangunan jasa di perkotaan dengan meningkatkan kualitas bangunan dan pelayanan termasuk sarana dan prasarana umum Penataan lingkungan jasa perkotaan dan menambah dengan menambah ruang hijau dan taman kota
3 4
5
1
2
3
4
1 2
3
4
Sektor Pertanian Dengan melihat keterbatasan sumberdaya air, karakteristik kesuburan lahan yang kurang dan rendahnya minat investor maka direkomendasikan untuk mengkonversi lahan pertanian kepada sektor-sektor lain yang lebih menguntungkan Perlu dipikirkan untuk memenuhi kebutuhan komoditi pertanian untuk masyarakat Batam dengan harga yang relatif terjangkau Direkomendasikan menempatkan sektor pertanian di pulau-pulau lain (Barelang) yang secara alamiah lebih memungkinkan dan mudah dijangkau dari P. Batam, misalnya P. Galang Penyediaan komoditi pertanian yang murah yang dapat disediakan oleh pulau-pulau lain di sekitar Pulau Batam Sektor Pariwisata Mengubah citra pariwisata di P. Batam menjadi lebih positif Meningkatkan kualitas pelayanan dan ragam wisata agar dapat meningkatkan masa tinggal dan uang yang dibelanjakan oleh para wisatawan Meningkatkan standar pariwisata dengan standar internasional karena Batam berbatasan langsung dengan negara tetangga dan salah satu pintu gerbang terbesar masuknya turis mancanegara setelah Bali Meningkatkan nilai investasi positif per-m2 dengan memadukan unsur kualitas pelayanan dan ragam wisata, citra pariwisata dengan standar internasional (pariwisata)
225
Berdasarkan Tabel 25 di atas, maka prioritas kebijakan pengelolaan dalam Optimalisasi Pemanfaatan Lahan Pulau Batam adalah sebagai berikut: 5.4.1 Prioritas Kebijakan Sektor Industri (1) Mengingat lahan di Pulau Batam hampir seluruhnya merupakan pesisir, maka perlu direvisi kembali Rencana Tata Ruang di kawasan tersebut, minimal memperbaiki kawasan pantai dan menyediakan lahan-lahan untuk pengolahan limbah secara terpadu. (2) Perlu segera diterapkan kebijakan penarikan lahan-lahan yang tidak segera dibangun melalui tahapan peringatan atau tindakan keras agar segera membangun. (3) Lahan-lahan yang tidak sesuai dengan fungsi pembangunan P. Batam dan lahan pada sektor lain yang memungkinkan untuk dikonversikan menjadi lahan industri, dengan memperhatikan zoning di dalam Master Plan diusulkan segera dikonversikan terutama ke sektor industri. (4) Lahan yang telah ditarik, segera diproses untuk berikan kepada investor yang bersungguh-sungguh dengan biaya sewa lahan yang lebih tinggi tetapi dengan pelayanan dan penyiapan infrastruktur yang lebih baik. Bila proses tersebut dilaksanakan maka inevstor akan segera membangun dan investasi positif dengan cepat akan meningkat. (5) Apabila konversi lahan disetujui maka sebaiknya langsung diberikan kepada investor agar mempercepat laju pertumbuhan investasi positif. (6) Kebijakan pengelolaan sumber dampak negatif. Kebijakan pengelolaan sumber dampak negatif dilakukan dalam rangka mengantisipasi dampak negatif yang timbul akibat aktivitas berbagai kegiatan sehubungan dengan pengembangan yang intensif di Pulau Batam sebagai daerah industri dan jasa. Adapun kebijakan pengelolaan sumber dampak negatif meliputi kebijakan pengelolaan limbah cair, limbah padat dan erosi. (a) Kebijakan Pengelolaan Limbah Cair Limbah cair yang diperkirakan berdampak negatif bagi wilayah pesisir dan laut berdasarkan hasil simulasi sistem berasal semua kegiatan
226
yang dikaji, baik dari sub-sistem industri, perumahan, jasa, pertanian maupun pariwisata. Upaya pengolahan limbah cair yang telah dilakukan selama ini sudah cukup baik.
Upaya tersebut antara lain dengan mempergunakan
Jaringan Induk Saluran Pengumpul dan penyalur Air Limbah, yang menerima air limbah dari 6 blok daerah pelayanan. Selanjutnya lewat Jaringan Induk Saluran Pengumpul dan penyalur, air limbah dialirkan ke Instalasi Pengolahan Air Limbah/Waste Water Treatment Plant [WWTP] pada ujung barat SWP Tanjung Uncang Sagulung. Upaya lain yang perlu dilakukan dalam penanganan limbah cair adalah
dengan
membangun
saluran
terbuka
[untuk
daerah
pemukiman] atau tertutup [untuk daerah Industri, daerah komersiel dan daerah perkantoran] termasuk saluran bawah tanah, untuk mengendalikan air hujan dan air buangan khususnya pada daerah yang belum mempunyai saluran pembuangan. Khusus untuk limbah dari daerah industri. pariwisata dan komersil, limbah cairnya perlu terlebih dahulu diproses untuk memperbaiki kualitas air buangan melalui proses pengolahan,sehingga memenuhi standard air buangan yang berlaku. Berdasarkan hasil analisis sistem optimalisasi pemanfaatan lahan, maka pengelolaan yang perlu dilakukan adalah kewajiban untuk mengelola limbah cair yang akan dibuang ke lingkungan dengan standar minimal 70% dari limbah yang akan dikeluarkan sudah dikelola dan limbah cair yang dikeluarkan sudah sesuai dengan standar baku mutu limbah cari dari Kementrian Lingkungan Hidup RI. Untuk menghindari terserapnya limbah yang berbahaya ke dalam badan tanah dan mencemari sekitarnya maka perlu dibuatkan saluran drainage yang mencakup sistem pengaliran air hujan dan air limbah dari kawasan rumah tangga, komersial dan industri.
Pemisahan
antara saluran drainase air limbah dan air hujan perlu dilakukan untuk mengurangi kemungkinan cemaran limbah industri ke dalam badan sungai, dan tercampurnya air hujan dengan air limbah. Klasifikasi saluran drainase yang diperlukan meliputi saluran drainase tertutup dan saluran drainase terbuka.
Saluran drainase tertutup
227
dibuat untuk daerah komersil, industri, perkantoran dan jalan-jalan utama di sekitar daerah wisata.
Saluran drainase terbuka dibuat
untuk daerah permukiman dan saluran utama drainase. Prinsip-prinsip saluran drainase yang dibuat adalah pada sebelah kiri dan atau kanan jalan dan mengikuti alam atau topografi sehingga aliran air terjadi secara gravitasi untuk menghindari penyumbatan pada badan saluran drainase. (b) Kebijakan Pengelolaan Limbah Padat Limbah padat yang diperkirakan berdampak negatif bagi wilayah pesisir dan laut berdasarkan hasil simulasi sistem berasal kegiatan industri, perumahan, jasa dan pariwisata. Adapun pengelolaan yang sudah dilakukan adalah dengan membuat pembuangan akhir sampah dengan sistem Open Dumping atau dibuang tanpa dipadatkan. Namun demikian pengelolaan limbah padat seperti ini perlu ditingkatkan menjadi sistem Sanitary Landfill. Penanganan
limbah padat memakai
sistem pengumpulan dan
pengangkutan limbah padat dari daerah pelayanan menuju tempat pembuangan akhir/TPA yang sudah disiapkan misalnya TPA Muka Kuning dengan memakai compactor truck yang sudah disiapkan pada daerah-daerah pelayanan.
Untuk kawasan industri, kendaraan
pengumpul dan pengangkut sampah melayani keseluruhan Wilayah Industri Pulau Batam, baik untuk kelompok Industri penghasil limbah padat sampah dalam jumlah besar [>2m3 per hari] maupun kelompok Industri penghasil limbah padat kecil [buangan dari aktivitas kantor]. (c) Kebijakan Pengelolaan Erosi Laju erosi yang terbesar terjadi pada catchment area disekitar dam Ladi, yaitu sebesar 27.23 ton/ha/th yang sudah jauh melebihi laju erosi yang diperkenankan yaitu 4 – 11 ton/ha/th. Sehubungan dengan hal ini perlu dilaksanakan langkah-langkah penanggulangan. Penanggulangan erosi yang paling sesuai untuk catchment area adalah dengan cara
Konservasi
Vegetasi
atau
penanaman
vegetasi dengan masa pemeliharaan 3 tahun atau sampai tanaman dapat hidup tanpa bantu an pada lahan kritis.
228
Melakukan
penanaman
dengan
tanaman
yang
menyelimuti
permukaan tanah juga signifikan untuk mengurangi dampak terjadinya erosi yang terjadi akibat pembukaan lahan pada catchment area akibat penggundulan dari pembangunan rumah liar. Untuk menghindari erosi atau gerusan dan juga kerusakan lain yang diakibatkan oleh aliran air hujan yang mengalir dipermukaan tanah yaitu: luapan dan genangan air, maka air hujan perlu dialirkan ke lembah sungai penerima yang terdekat, misalkan Sei Senimba, Sungai Langkai dan Tembesi lama, serta Sei Temiang dan untuk selanjutnya mengalir ke laut. Drainase merupakan suatu cara untuk mengalirkan air secepat mungkin menuju ke hilir. (d) Kebijakan Pengelolaan Limbah B3 5.4.2 Prioritas Kebijakan Sektor Perumahan (1) Perlu penataan hunian (zoning) perumahan berdasarkan lokasi kerja. (2) Perlu memperhatikan segmentasi harga lahan untuk perumahan agar didapat subsidi silang bagi masyarakat berpenghasilan rendah/miskin. (3) Perlu
perencanaan
kawasan
perumahan
sesuai
dengan
standar
kenyamanan perumahan yang aman, nyaman dan mudah dijangkau dengan fasos dan fasum yang memadai. Hal ini perlu dilakukan untuk kenyamanan dan kelestarian lingkungan. (4) Perlu memperbaiki Rencana Tata Ruang khususnya untuk perencanaan perumahan dikawasan padat perkotaan, antara lain kebijakan kebijakan pengetatan ijin KDB dan KLB. (5) Perlu dipikirkan subsidi bagi penduduk asli yang berpenghasilan rendah/miskin dalam bentuk keringanan atau pemberian kavling atau pemberian perumahan. 5.4.3 Prioritas Kebijakan Sektor Jasa (1) Menata Tata Ruang Kawasan Jasa seperti di Batu Ampar (Nagoya) dan Batam Senter.
229
(2) Membuat kebijakan standarisasi bangunan jasa di perkotaan dengan meningkatkan kualitas bangunan dan pelayanan termasuk sarana dan prasarana umum. (3) Membuat kebijakan peraturan tata ruang seperti KLB dan KDB. (4) Penataan lingkungan jasa perkotaan dan menambah dengan menambah ruang hijau dan taman kota. Kebijakan yang perlu dilakukan dalam pengelolaan Ruang Hijau adalah sebagai berikut: (a) Sektor Hijau harus tetap dipertahankan keberadaanya dan disebar secara merata dan sesuai dengan fungsinya seperti untuk kawasan lindung dan daerah tangkapan hujan (catchment area). (b) Sektor hijau harus terjaga kualitasnya sehingga dapat berfungsi dengan baik. Apabila ada kerusakan harus segera diperbaiki atau apabila ada penyerobotan harus ditarik kembali agar terjadi keseimbangan. (c) Sektor Hijau mungkin saja dikonversikan apabila luasannya asih memenuhi standar dan keseimbangan lingkungan masih bisa dicapai. Namun demikian, perubahan di sektor ini diperlukan analisis yang lebih tajam dan mendetail secara holistik agar tidak terjadi kesalahan dalam membuat kesimpulan. (5) Dikeluarkan
kebijakan
memberi
peringatan
keras
untuk
segera
membangun atau dilakukan penarikan kembali lahan-lahan jasa yang telah dialokasikan tetapi belum dibangun. 5.4.4 Prioritas Kebijakan Sektor Pertanian (1) Dengan melihat keterbatasan sumberdaya air, karakteristik kesuburan lahan yang kurang dan rendahnya minat investor maka direkomendasikan untuk mengkonversi lahan pertanian kepada sektor-sektor lain yang lebih menguntungkan. (2) Perlu dipikirkan untuk memenuhi kebutuhan komoditi pertanian untuk masyarakat Batam dengan harga yang relatif terjangkau.
230
(3) Direkomendasikan menempatkan sektor pertanian di pulau-pulau lain (Barelang) yang secara alamiah lebih memungkinkan dan mudah dijangkau dari P. Batam, misalnya P. Galang. (4) Penyediaan komoditi pertanian yang murah yang dapat disediakan oleh pulau-pulau lain di sekitar Pulau Batam. 5.4.5 Prioritas Kebijakan Sektor Pariwisata (1) Meningkatkan nilai investasi positif per-m2 dengan memadukan unsur kualitas pelayanan dan ragam wisata, citra pariwisata dengan standar internasional. (2) Meningkatkan kualitas pelayanan dan ragam wisata agar dapat meningkatkan masa tinggal dan uang yang dibelanjakan oleh para wisatawan. (3) Mengubah citra pariwisata di P. Batam menjadi lebih positif. (4) Meningkatkan standar pariwisata dengan standar internasional karena Batam berbatasan langsung dengan negara tetangga dan salah satu pintu gerbang terbesar masuknya turis mancanegara setelah Bali. 5.5 Pilihan Instrumen Kebijakan Sampai dengan akhir tahun 1998, Otorita Batam dalam mebuat kebijakan didasarkan 2 hal,yaitu: (1) Kebijakan terpusat (Top-down approach) (2) Kebijakan yang bersumber dari masyarakat (Bottom-up approach). 5.5.1
Kebijakan Terpusat Kebijakan ini dikeluarkan berdasarkan pertimbangan dari pimpinan. Kebijakan diterbitkan karema pimpinan melihat adanya situasi yang harus diaambil tindakan cepat untuk memperbaiki keadaan. Pada umumnya isi kebijakan sangat strategis dan membawa misi pemerintah pusat. Beberapa contoh kebijakan terpusat antara lain diterbitkannya Keppres seperti Keppres 41 Tahun 1973, Keppres No. 45 Tahun 1978, Keppres No. 56 Tahun 1994.
231
Kebijakan yang jenisnya terpusat tetapi dalam skala yang lebih kecil adalah
kebijakan
pembangunan
seperti
diterbitkannya
kebijakan
pembangunan 6 (enam) buah jembatan dan jalan yang menghubungkan P. Batam dengan P. Rempang dan P. Galang; pembangunan Bandara Internasional Hang Nadim; penetapan tariff lahan, dan lain-lain. Dalam pelaksanaannya, kebijakan terpusat juga memberikan perintah (mandate) kepada staf untuk mengolah dan memberikan masukan kepada pimpinan. 5.5.2
Kebijakan yang Berasal dari Masyarakat Kebijakan ini berawal dari pengamatan staf yang melakukan tugas seharihari di lapangan.
Dari hasil pengamatan diusulkan kepada pimpinan
untuk dibuatkan kebijakan-kebijakan yang dapat memperbaiki kondisi atau kinerja di lapangan. Proses pengusulan kebijakan dilakukan seara bertahap dan berjenjang, melalui diskusi-diskusi dan pembahasan yang pada akhirnya dibuatkan usulan kepada pimpinan untuk dibuatkan kebijakan institusi. Beberapa contoh kebijakan yang berasal dari usulan masyarakat (bottom up) antara lain kebijakan perbaikan Rencana Detail Tata Ruang; Penetapan Baku Mutu Lingkungan; Kebijakan penarikan lahan
yang
telah
dialokasikan;
dan
kebijakan
pembongkaran
pembangunan. Kebijakan yang telah dikeluarkan, baik kebijakan terpusat (top down) maupun kebijakan yang berasal dari masyarakat (bottom up) tidak selalu menghasilkan output seperti yang diharapkan. Kebijakan bisa saja tidak berjalan, bahkan menimbulkan konflik atau kasus hukum sehingga memerlukan kajian yang lebih mendalam lagi untuk menyelesaikan kasus-kasus yang timbul tersebut.
Contohnya adalah kebijakan
pembangunan P. Rempang dan P. Galang yang hingga saat ini belum terwujud; dan beberapa pencabutan lahan yang telah dialokasikan berbuntut konflik hingga ke proses hukum. Kegagalan kebijakan yang dikeluarkan bukan berarti kebijakan tersebut salah. Bisa saja kajian dan data serta analisis yang kurang mendalam. Faktor lain adalah adanya kebijakan lain dari pusat yang tidak sejalan dengan kebijakan yang di dikeluarkan oleh pihak otoritas P. Batam.