4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku Tuna Kaleng Produk tuna kaleng merupakan salah satu makanan olahan paling penting di dunia. Gaya hidup serba cepat mendorong terjadinya peningkatan permintaan terhadap produk tuna kaleng yang berarti diikuti oleh peningkatan permintaan terhadap bahan baku. Bahan baku tuna kaleng sendiri terdiri dari beberapa spesies ikan tuna. Europe Uni Regulation 1536/92 menggolongkan tuna berikut nama dagang yang boleh dicantumkan pada label yaitu white tuna untuk albakor (Thunnus alalunga), light tuna untuk tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dan tuna mata besar (Thunnus obesus), dan label „tuna‟ untuk ikan dari genus Thunnus lainnya serta cakalang (Katsuwonus pelamis), sementara genus Euthynnus, Sarda, dan Auxis digolongkan bukan tuna, melainkan bonito. SNI 01-2712.2-2006 sedikit berbeda tentang persyaratan bahan baku ikan tuna dalam kaleng, menyebutkan ikan yang digunakan bahan baku tuna kaleng meliputi semua spesies dari genus Thunnus ditambah tiga spesies dari genus Euthynnus (E. affinis, E. alettaratus dan E. lincatus). Spesies tuna yang umum digunakan sebagai bahan baku tuna kaleng di Indonesia adalah tuna sirip kuning (T. albacares), albakor (T .alalunga), tuna mata besar (T. obesus) dan tuna sirip biru selatan (T. maccoyii). Pemilihan empat spesies tersebut berdasarkan pada teksur, citarasa dan ketersediaannya di perairan Indonesia. Tuna sirip biru selatan merupakan yang paling jarang digunakan karena harganya yang tinggi karena lebih banyak diekspor sebagai bahan baku alternatif tuna sirip biru (T. thynnus) untuk dibuat sushi dan sashimi. Keempat spesies tuna tersebut memiliki perbedaan tekstur dan citarasa karena komposisi daging merah dan putihnya. Potongan daging tuna mentah yang biasa dijual dalam bentuk segar atau beku biasanya berupa tuna loin atau tuna steak, sulit untuk dibedakan spesies asalnya karena telah kehilangan morfologi awalnya. Pereira et al. (2008) menyatakan bahwa kata „morfologi‟ yang digunakan dalam kajian biologi merujuk kepada tampilan dan struktur dari keseluruhan atau bagian tubuh suatu
organisme. Penggunaan morfologi untuk berbagai studi identifikasi ataupun taksonomi masih merupakan yang paling favorit digunakan. Kesulitan dalam identifikasi tuna loin atau tuna steak tersebut adalah pada proses preparasi, pendinginan (chilling) atau pembekuan (freezing) misalnya empat tuna steak dari empat spesies tuna yang diambil sebagai sampel, menunjukkan warna yang tidak berbeda signifikan satu sama lain. Yamashita et al. (2008) menyebutkan bahwa kemiripan dan perbedaan harga dari spesies yang berbeda mendorong terjadinya penipuan dagang berupa substitusi spesies mahal dengan yang lebih murah. Proses sterilisasi komersial yang dilakukan pada proses pembuatan produk tuna kaleng membuat bahan baku mengalami perubahan secara fisik maupun kimia. Perubahan fisik meliputi ciri organoleptik berupa warna, penampakan, tekstur, rasa dan aroma seperti terlihat pada Gambar 3e, sedangkan perubahan kimia meliputi denaturasi protein, degradasi sebagian DNA dan lain-lain. Perubahan ini menjadi tantangan tersediri untuk autentikasi bahan baku yang digunakan. Mackie et al. (1999) menyebutkan bahwa karakteristik morfologi tuna kaleng akan hilang selama filleting dan processing bahan baku. Autentikasi yang berdasar pada protein yaitu elektroforesis protein, kromatografi dan imunoassay tidak lagi sesuai untuk produk yang dikalengkan. Ketidaksesuaian tersebut karena proses pengalengan menggunakan proses panas yang menyebabkan perubahan irreversible pada protein. DNA yang diekstrak dari makanan kaleng sifatnya lebih stabil daripada protein. Kesulitan autentikasi tuna kaleng tidak hanya terdapat pada degradasi protein atau sebagian DNA-nya saja tetapi juga karena penggunaan beberapa jenis rempah-rempah dan pasta. Ram et al. (1996) menyebutkan bahwa penggunaan bahan-bahan aditif seperti rempah-rempah dan pasta dalam seafood dapat menghambat proses polymeration chain reaction (PCR) yang merupakan dasar dari beberapa metode autentikasi berbasis DNA. Tuna kaleng yang digunakan dalam penelitian ini sendiri terdiri dari berbagai merek yang menggunakan media berbeda, yaitu air, minyak, minyak kedelai, bawang bombai, saus cabai dan sambal goreng.
Autentikasi bahan baku di Indonesia belum menjadi perhatian utama dari instansi pemerintah yang menangani masalah standarisasi pangan. Hal ini ditunjukkan oleh tidak adanya syarat dalam SNI 01-2712.3-2006, tentang penanganan dan pengolahan ikan tuna dalam kaleng, untuk mencantumkan nama spesies yang digunakan sebagai bahan baku pada label kemasan tuna kaleng. Negara-negara maju yang peduli akan mutu dan keamanan pangan telah menerapkan peraturan penyebutan nama spesies bahan baku pada label kemasan. Negara Uni Eropa telah memiliki aturan EU Reg.104/2000 yang berbunyi produk perikanan dapat memasuki pasar jika menyebutkan dengan jelas nama dagang, metode produksi dan area penangkapannya. Jepang memiliki peraturan tersendiri mengenai standarisasi label pangan untuk makanan dan minuman yang dibuat oleh instansi bernama The Law Concerning Standardization and Proper Labeling of Agricultural and Forestry Products (JAS Law). Pentingnya autentikasi bahan baku bukan hanya terkait kecurangan dalam dagang (economical fraud), tetapi juga sangat berguna dalam pelestarian spesiesspesies tuna di alam. International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) membuat Red List of Threatened Species (IUCN Red List) yang menyebutkan bahwa Thunnus thynnus dan T. maccoyii berstatus critically endangered, T. obesus (considered vulnerable), T. albacares (with lower risk) dan T. alalunga (included with deficient data). Penangkapan yang melebihi total tangkapan yang diperbolehkan (total allowable catches) akan membuat spesies berrstatus critically endangered semakin kritis posisinya di alam dan membuat ikan berstatus dibawahnya naik setingkat lebih kritis. Hal ini terkait dengan Illegal. Unregulated and Unreported fishing (IUU) yang tentu saja tidak mengalami pengecekan, termasuk didalamnya autentikasi.
4.2 Hasil Ekstraksi DNA Penelitian ini menggunakan metode CTAB untuk melakukan ekstraksi DNA dari jaringan ikan tuna segar maupun tuna kaleng. Larutan yang paling membedakan metode ini dari metode lainnya ialah penggunaan larutan CTAB itu sendiri. Chapela (2006) menyebutkan bahwa CTAB merupakan deterjen kationik
yang mengikat DNA dan membantu ekstraksi kompleks DNA-CTAB dari protein pada ekstraksi fase lipid (kloroform-air). Kekurangan utama dari metode CTAB ialah memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan penggunaan kit komersial dan harus dilakukannya pre-treatment berupa penambahan nirogen cair dan penggerusan caringan dengan mortar sebagai langkah awal pelisisian sel secara fisik. Jaringan daging yang telah diberi nitrogen cair dan digerus diberi larutan CTAB untuk mengikat DNA. Larutan proteinase-K kemudian ditambahkan untuk mendegradasi protein (Dwiyitno 2008). Penggunaan RNase setelah proteinase-K berfungsi untuk memisahkan RNA dari DNA dan bersifat opsional, bergantung pada untuk kebutuhan apa ekstraksi DNA dilakukan. Fenol dan Kloroform dalam larutan phenol-chloroform-isoamylalkohol (PCI) berfungsi untuk membersihkan kontaminan sedangkan isoamilalkohol penting digunakan untuk mencegah terbentuknya busa pada campuran reaksi. PCI pada perbandingan P:C:I = 25:24:1 berperan sebagai lysis buffer, bekerja dengan cara memisahkan protein-lemak ke dalam fase padatan dan DNA serta gula-garam ke dalam fase cair. Larutan chloroform-isoamylalkohol (CI) ditambahkan kemudian untuk mengikat fenol yang kelak dapat menjadi kontaminan bagi DNA yang dihasilkan (Dwiyitno 2008). Hasil ekstraksi yang bertujuan mendapatkan DNA dapat dilihat menggunakan gel elektroforesis di bawah sinar UV dengan adanya pita. Hal ini bertujuan dimana hasil ekstraksi akan digunakan sebagai DNA cetakan pada proses PCR (Muladno 2002). Penambahan larutan isopropanol maupun etanol untuk mengendapkan DNA sehingga pada proses akhir ekstraksi DNA diperoleh DNA dalam bentuk pelet yang terdapat pada dasar tabung mikro. Proses ekstraksi DNA merupakan suatu langkah awal yang penting untuk mendapatkan DNA dalam kuantitas dan kualitas yang baik dimana jika kuantitas maupun kualitas DNA hasil ekstraksi tidak mencukupi atau tidak terekstraksi maka akan menjadi faktor penghambat pada proses selanjutnya, yaitu polymerase chain reaction (PCR). DNA berhasil diekstraksi dari sampel tuna segar dan tuna keleng menggunakan metode CTAB dan disajikan pada Gambar 6 serta 7. Smear yang ada nampak begitu dominan dikarenakan pada proses ekstraksi DNA tidak
digunakan RNAse, sehingga saat dielektroforesis pengotornya bukan hanya berupa protein atau sisa reaktan berupa fenol, tetapi juga RNA.
1
2
3
4
5
6
8
7
9
10 3000 pb 1000 pb 500 pb 100 pb
Gambar 6 Elektroforegram DNA genom tuna segar Keterangan:
1. Marker 100 pb 2. Thunnus albacares (Bali) 3. Thunnus alalunga 4. Thunnus obesus 5. Thunnus maccoyii 6. Thunnus obesus (MuaraBaru) 1
2
3
4
5
6
7 . Thunnus albacares 8 . Thunnus sp. 9 . Thunnus sp. 10. Marker 100 pb konsentrasi agarose: 1%
7
8
3000 pb 1000 pb 500 pb 100 pb
Gambar 7 Elektroforegram DNA genom Tuna Kaleng Keterangan:
1. Marker 100 pb 2. Tuna dalam air (TK1) 3. Tuna minyak kedelai (TK2) 4. Tuna bawang bombai (TK3) 5. Tuna dalam saus cabai (TK4)
6. Tuna sambal goreng (TK5) 7. Tuna dalam air (TK6) 8. Marker 100 pb konsentrasi agarose: 2,5%
Mackie (1997) dan Quinteiro et al. (1998) menemukan fragmen DNA yang tersisa dalam tuna kaleng berukuran kurang dari 100 pasang basa, sedangkan Ram et al. (1996) menemukan bahwa DNA yang diisolasi dari spesies tuna kaleng berukuran kurang dari 123 pasang basa. Hal ini memperkuat dugaan penulis
bahwa ukuran DNA yang berhasil diekstraksi dari tuna kaleng berukuran sekitar 100 pasang basa.
4.3 Amplikon Gen Sitokrom-b DNA Mitokondria Amplifikasi DNA merupakan suatu langkah untuk memperbanyak kuantitas DNA dari kondisi yang tadinya berjumlah sedikit. Amplifikasi DNA dilakukan dengan suatu prosedur yang disebut polymerase chain reaction (PCR) atau reaksi berantai polimerase. DNA yang dibutuhkan untuk PCR jumlahnya sangat sedikit. Kelemahan dari teknik PCR adalah DNA yang digunakan haruslah berkualitas, jika tidak metode yang ada tidak dapat diulangi (non-reproducible). Sampel tidak boleh tercampur dengan bahan dari sumber lain atau mengandung kontaminan misalnya bakteri. Reaksi berantai polimerase (PCR) merupakan suatu proses amplifikasi secara enzimatik yang spesifik untuk menggandakan DNA (Chen dan Janes 2000). Reaksi berantai polimerase (PCR) juga dapat diartikan sebagai suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuens nukleotida tertentu dengan cara in vitro (Yuwono 2006). Proses PCR membutuhkan tiga syarat dasar dalam siklus PCR yaitu: denaturasi DNA cetakan, penempelan sepasang primer oligonukeotida pada DNA cetakan utas tunggal dan pemanjangan secara enzimatik untuk menghasilkan salinan (copy) DNA untuk proses siklus berikutnya. Pemilihan DNA polimerase tergantung pada kebutuhan. Beberapa macam enzim yang secara komersial dijual dapat dipilih sesuai dengan ketahanan terhadap panas, prosesivitas dan ketepatan penempelan. DNA polimerase yang umum digunakan adalah Taq DNA polimerase. DNA polimerase membutuhkan ion magnesium sebagai kofaktor dan katalis untuk reaksi pemanjangan pada suhu 72 oC. Komponen dNTPs terdiri dari dATP, dCTP, dGTP, dan dTTP yang berperan sebagai pasangan basa untuk pemanjangan primer dan menyalin urutan target (Chen dan Janes 2000). Reaksi pelipatgandaan suatu fragmen DNA dimulai dengan melakukan denaturasi DNA template (cetakan) sehingga rantai DNA yang berantai ganda (double stranded) akan terpisah menjadi rantai tunggal (single stranded). Denaturasi DNA dilakukan dengan menggunakan panas pada suhu 94/95 oC
selama 1-2 menit, kemudian suhu diturunkan menjadi 50-55 oC sehingga primer akan „menempel‟ (annealing) pada cetakan yang terpisah menjadi rantai tunggal. Proses pemanjangan secara umum terjadi pada suhu 72 oC (Chen dan Janes 2000). Penempelan primer/annealing tergantung pada suhu melting (Tm). Suhu annealing merupakan langkah yang kritis pada proses amplifikasi. Jika suhu annealing terlalu rendah akan menghasilkan amplifikasi yang tidak spesifik sedangkan jika temperatur terlalu tinggi maka tidak terjadi amplifikasi (Karusanagar et al. 1999). Penempelan yang paling baik ditentukan oleh optimasi prosedur PCR karena meskipun suhu Tm dapat dihitung secara manual atau menggunakan software tertentu, angka yang didapat hanya dapat dijadikan sebagai patokan dalam memulai optimasi, jarang terjadi angka yang dihasilkan dari hitungan atau software langsung akurat. Penelitian ini menggunakan pasangan primer fishcytb-f dan cytb1-5r sebagai reverse primer yang merupakan fragmen sitokrom-b (cyt-b) yang terdapat dalam genom mitokondria ikan. Genom mitokondria mengandung molekul DNA utas ganda yang menyimpan informasi kunci subunit rantai transport elektron yang ditemukan dalam mitokondria (sumber energi bagi sel eukariot). Hampir keseluruhan spesies eukariot memiliki mitokondria. DNA mitokondria (mt-DNA) pada hewan memiliki tingkat mutasi yang tinggi, berdampak pada jumlah variasi urutan yang cukup signifikan antar spesies dengan kekerabatan yang erat, hanya memiliki sedikit intron, diwariskan melalui garis keturunan ibu, menyederhanakan interpretasi dan menghilangkan bias dari pejantan (male biased gene flow), lebih mudah didapat dari DNA yang terdegradasi dan/atau berjumlah sedikit karena dalam tiap sel hanya ada satu DNA inti tetapi ada banyak salinan mt-DNA (Pereira et al. 2008). PCR yang dilakukan terhadap sampel tuna segar menggunakan primer fishcytb-f sebagai forward primer dan cytb1-5r sebagai reverse primer menghasilkan amplikon berukuran 750 pasang basa. Gen cyt-b pada tuna segar yang diamplifikasi berasal dari empat spesies tuna: tuna sirip kuning (Thunnus albacares), tuna albakor (Thunnus alalunga), tuna mata besar (Thunnus obesus) dan tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii). Elektroforegram amplikon cyt-b dari tuna segar disajikan pada Gambar 8.
1
2
3
4
5
6
7
8
9 3000 pb pbpb 1000 pb 750 pb pbpb 500 pbpbpb pbpb 100 pb pbpb
Gambar 8 Elektroforegram amplikon cyt-b tuna segar Keterangan:
1. Marker 100 pb 2. Thunnus albacares (Bali) 3. Thunnus alalunga 4. Thunnus obesus 5. Thunnus maccoyii
6. Thunnus obesus (MuaraBaru) 7. Thunnus albacares 8. Kontrol negatif (-) 9. Marker 100 pb konsentrasi agarose: 1%
Elektroforegram menunjukan ukuran amplikon yang serupa pada empat spesies tuna segar yang berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa DNA target dari primer fishcytb-f dan cytb1-5r pada tuna segar yang belum mengalami pemrosesan suhu tinggi seperti pemasakan dan sterilisasi pada pengalengan berukuran 750 pasang basa. Pita samar yang nampak sedikit di bawah marker 100 pb merupakan excess primer. Excess primer merupakan kelebihan primer yang tidak tepat menempel pada saat proses annealing sehingga terpisah dan terdeteksi di gel agarose. Pengolahan suhu tinggi berupa pemasakan dan sterilisasi yang diterima tuna kaleng telah mendegradasi sejumlah besar DNA ikan tuna dalam kaleng. Degradasi DNA genom yang berhasil diekstraksi tersebut tentu saja akan berimplikasi pada penurunan ukuran fragmen DNA yang akan teramplifikasi pada proses PCR. Hal ini senada dengan yang diutarakan Ram et al. (1996) bahwa implikasi dari ukuran fragmen DNA yang didapat dari proses ekstraksi yang hanya <123 pb adalah ukuran fragmen DNA yang didapat dari proses PCR tuna kaleng seharusnya < 123 pasang basa. Tuna kaleng yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa merek yang dijual di pasar swalayan di sekitar Bogor dengan media larutan yang
bervariasi dari air garam, minyak, pasta hingga sambal goreng. Primer yang digunakan untuk PCR sama dengan yang digunakan untuk mengamplifikasi gen cyt-b pada tuna segar yaitu pasangan primer fishcytb-f dan cytb1-5r. Amplikon cyt-b yang berhasil diamplifikasi dari tuna kaleng berukuran kurang dari 100 pasang basa. Penurunan ukuran target PCR dari primer tersebut sesuai dengan dugaan diatas yaitu disebabkan oleh DNA genom yang sudah terdegradasi selama proses pengalengan yang menggunakan suhu tinggi. Elektroforegram amplikon cyt-b dari tuna kaleng disajikan pada Gambar 9.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
3000 pb 1000 pb 500 pb 100 pb
Gambar 9 Elektroforegram amplikon cyt-b tuna kaleng Keterangan:
1. Marker 100 pb 2. Tuna dalam air (TK1) 3. Tuna minyak kedelai (TK2) 4. Tuna bawang bombai (TK3) 5. Tuna dalam saus cabai (TK4)
6. Tuna sambal goreng (TK5) 7. Tuna dalam air (TK6) 8. Kontrol negatif (-) 9. Marker 100 pb konsentrasi agarose: 2,5%
Ukuran amplikon cyt-b < 100 pasang basa sesuai dengan pendapat Mackie (1997) dan Quintero et al. (1998) yang menemukan bahwa fragmen DNA yang tersisa dalam tuna kaleng berukuran kurang dari 100 pasang basa, sedangkan Ram et al. (1996) menemukan bahwa DNA yang diisolasi dari spesies tuna kaleng berukuran kurang dari 123 pasang basa. Lin dan Hwang (2006) berhasil mengamplifikasi ukuran gen terpanjang untuk sitokrom-b mitokondria DNA tuna kaleng yaitu 126 dan 146 pasang basa. Keberhasilan amplifikasi gen cyt-b tuna kaleng ini berdasar pada kelebihan DNA yang disebutkan oleh Borgo et al. (1996) yaitu ketika DNA ditemukan dalam keadaan telah terdegradasi, amplifikasi PCR lebih sering menetapkan mtDNA sebagai targetnya karena relatif berlimpah jumlahnya dibanding DNA inti.
Selain itu, mt-DNA berbentuk sirkular yang secara alami memiliki resistensi yang lebih tinggi terhadap perusakan oleh panas. Pita yang dihasilkan pada elektroforegram cyt-b tuna kaleng jauh lebih tipis daripada yang dihasilkan pada tuna segar. Fenomena ini menunjukkan bahwa kualitas produk PCR pada tuna kaleng lebih rendah dibandingkan dengan tuna segar. Akane et al. (1994) dan Goodyear et al. (1993) menyatakan bahwa penggunaan bahan tambahan pangan atau proses pengalengan dapat menghasilkan sejenis inhibitor PCR. Inhibitor PCR tersebut turut serta dalam mendegradasi DNA. Ram et al. (1996) lebih pesimistis dengan menyatakan tidak semua sampel ikan kaleng berhasil diamplifikasi karena proses pengalengan dan penggunaan bahan tambahan menghalangi proses PCR, dan diduga sengaja digunakan untuk mencegah aplikasi autentikasi spesies berbasis PCR. Dugaan tersebut bisa jadi benar apabila mengamati excess primer yang ada pada produk dengan bumbu bawang bombai dan sambal goreng pada sampel tuna kaleng lebih tebal daripada excess primer yang ada pada sampel lainnya. Semakin tebal excess primer berarti penempelan primer ke gen semakin kurang optimal, itu adalah salah satu indikator bahwa ada inhibitor yang menghambat proses PCR. Peningkatan kualitas PCR produk dapat saja dilakukan dengan pemberian perlakuan sebelum dilakukan proses ekstraksi DNA yang bertujuan untuk menghilangkan residu rempah-rempah, pasta hingga minyak atau lemak yang berpotensi menurunkan kualitas DNA yang diekstraksi hingga menjadi inhibitor pada proses PCR. Chapela (2006) menyarankan perlakuan pra-ekstraksi dengan menghilangkan minyak dan lemak dari daging tuna kaleng dengan merendamnya dalam larutan kloroform:methanol:air (1:2:0,8).
4.4 Urutan Nukleotida dan Hasil Penjajaran DNA Proses sequencing merupakan suatu metode untuk memperoleh urutan nukleotida dari suatu spesies. Proses sequencing merupakan modifikasi dari replikasi DNA dimana proses ini menyediakan informasi untuk identifikasi spesies (Dwiyitno 2008).
Metode sequencing yang digunakan adalah metode Sanger. Prinsip metode Sanger berdasarkan pendekatan sintesis molekul DNA baru dan pemberhentian sintesis tersebut pada basa tertentu. Proses sequencing diawali dengan proses PCR yang dibagi tiga bagian yaitu denaturasi, annealing, dan elongasi. Komponen lain yang ditambahkan adalah ddNTP (dideoxynucleoside triphosphate). Komponen ddNTP
terdiri
dari
komponen
dideoxyadenosine,
dideoxycytidine,
dideoxyguanidine, dan dideoxythymidine triphosphate. Komponen ddNTP yang bereaksi dengan salah satu komponen dNTP maka sintesis DNA tidak dapat terjadi. Sebagai contoh jika komponen ddNTP yaitu ddATP bereaksi dengan kompoenn dNTP yaitu dATP maka sintesis DNA akan berhenti karena tidak memiliki 3-OH yang mengakibatkan tidak terbentuknya DNA baru (Barnum 2005). Proses sintesis DNA akan berhenti dan berlangsung secara acak dimana proses pemberhentian (kodon stop) tidak bisa diatur sehingga akan menghasilkan panjang yang berbeda. Analisis autentikasi produk hasil perikanan menggunakan gen target DNA mitokondria relatif mudah dilakukan di laboratorium dan dibandingkan dengan bank data (Bossier 1999). Hasil sequencing DNA ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil sequencing spesies ikan tuna No
Kode sampel
1 2 3 4 5 6
BL1 (Thunnus albacares) BL2 (Thunnus alalunga) BL3 (Thunnus obesus) BL4 (Thunnus maccoyii) MB1 (Thunnus obesus) MB5 (Thunnus albacares)
Spesies hasil pencocokan BLAST Thunnus albacares Thunnus alalunga Thunnus obesus Thunnus macoyyi Thunnus obesus Thunnus albacares
Nomor akses NCBI DQ080284.1 GU256526.1 DQ080280.1 EF141183.1 DQ080280.1 DQ080287.1
Homologi 99% 99% 100% 99% 99% 99%
Hasil sequencing berupa urutan nukleotida dibandingkan dengan Gene Bank (www.ncbi.nlm.nih.gov) atau disebut penjajaran menggunakan metode Basic Local Alignment Search Tool (BLAST). Hal ini dapat dilihat sampel yang digunakan dengan hasil sequencing menggunakan metode BLAST telah sesuai dengan spesies hasil identifikasi morfologi pasca dipreparasi. Ikan tuna dengan spesies tuna sirip kuning (Thunnus albacares), albakor (Thunnus alalunga), tuna
mata besar (Thunnus obesus) dan tuna sirip biru selatan (Thunnus macoyyi) dengan menggunakan gen target cyt-b berhasil diidentifikasi. Hasil sequencing selain berupa urutan nukleotida juga dapat melihat tingkat homologi spesies yang diuji. Tingkat homologi merupakan persentase kesamaan spesies yang diuji dengan data yang tersedia di bank data. Spesies tuna sirip kuning (Thunnus albacares), albakor (Thunnus alalunga), tuna mata besar (Thunnus obesus) dan tuna sirip biru selatan (Thunnus macoyyi) memiliki tingkat homologi berturut-turut adalah 99%, 99%, 99% dan 100%. Perbedaan pada tingkat homologi ini disebabkan adanya ketidaksamaan dengan bank data yaitu sebesar 1%. Ram et al. (1996) menyatakan beberapa urutan basa yang ada pada GenBank
seringkali
menimbulkan
ambiguitas,
yang
sebagian
besar
mengakibatkan ketidakakuratan. Hal ini juga dapat disebabkan oleh adanya variasi urutan nukleotida pada spesies yang diuji. Penentuan sekuens untuk tuna kaleng tidak berbeda signifikan tekniknya dengan tuna segar. Data sekuens yang didapat kemudian dianalisis menggunakan BLAST. Perbedaan penjajaran antara tuna segar dan tuna kaleng adalah data sekuens dari tuna segar langsung dimasukkan secara utuh ke dalam BLAST, sedangkan data sekuens dari tuna kaleng harus dipilih terlebih dahulu dalam bentuk fragmen pendek (50 pb), setelah itu baru dimasukkan ke dalam BLAST. Hasil analisis BLAST disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil sequencing spesies ikan tuna kaleng No
Kode sampel
1 2 3 4
TK1 TK2 TK3 TK6
Spesies hasil pencocokan BLAST Thunnus alalunga Thunnus obesus Thunnus albacares Thunnus alalunga
Nomor akses NCBI GU256526.1 GU256525.1 GU256528.1 GU256526.1
Homologi 100% 100% 100% 100%
Hasil analisis yang didapat dari empat sampel tuna kaleng menunjukkan bahwa spesies yang digunakan sebagai bahan baku tuna kaeng di Indonesia ialah tuna sirip kuning (Thunnus albacares) dan tuna mata besar (Thunnus obesus) yang dikategorikan sebagai chunk light tuna dan albakor (Thunnus alalunga) yang disebut sebagai white tuna. Tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii), sesuai dengan teorinya, tidak digunakan sebagai bahan baku produk tuna kaleng karena
harganya yang relatif mahal dan jarang ditemukan di perairan Indonesia karena jumlahnya yang sudah sangat sedikit dan masuk kategori critically endangered (CE) dalam IUCN Red List. Metode sequencing yang digunakan selain menghasilkan data berupa urutan nukleotida juga dapat menghasilkan dendogram dengan bantuan beberapa software yaitu suatu diagram yang menunjukkan hubungan kekerabatan.