4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Hasil observasi penerapan insulasi palka Berdasarkan hasil observasi untuk dua kapal ikan yang sedang difabrikasi oleh galangan tradisional UD. Karyamina Putra, diperoleh rata-rata densitas insulasi palka
± 30,92 kg/m3. Hasil observasi ini menunjukkan bahwa
penggunaan insulasi polyurethane pada palka kapal ikan tersebut memiliki nilai rata-rata yang telah memenuhi standar yang ditetapkan untuk insulasi yang baik, yaitu ρ > 30 kg/m3. Dua kapal yang diobservasi tersebut masing-masing memiliki 5 ruang palka yang disekat menjadi 2 bagian secara simetris arah memanjang kapal, sehingga total terdapat 10 kompartemen palka. Dari 10 kompartemen tersebut, sebanyak 70 % atau 7 kompartemen memiliki dinding insulasi dengan kerapatan ρ > 30 kg/m3 (Tabel 6 dan 7). Tabel 6 Perhitungan densitas insulasi polyurethane pada Kapal 1. Kapal I m
Ukuran Palka
V’ t
LxBxtx2
BxDxt
LxDxt
(5)+(6)+(7)
(8)x0,15
(9) -(10)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
M
ρ
L
B
D
=(11)/(10)
(1)
(2)
(3)
(4)
LOA =18,6
2,15
2,4
2,2
0,15
1,55
0,79
0,71
3,05
0,46
2,59
80
30,86
Lpp=15,6
2,22
2,4
2,2
0,15
1,60
0,79
0,73
3,12
0,47
2,65
80
30,14
B=5,2
2,34
2,35
2,3
0,15
1,65
0,81
0,81
3,27
0,49
2,78
80
28,80
D=2,4
2,36
2,3
2,35
0,15
1,63
0,81
0,83
3,27
0,49
2,78
80
28,77
d= 1,85
2,43
2,3
2.,35
0,15
1,68
0,81
0,86
3,34
0,50
2,84
80
28,15
(12)
Rata-rata ρ =
Purse Seine dengan 10 palka
(13)
29,34
Tabel 7 Perhitungan densitas insulasi polyurethane pada Kapal 2 Kapal 2 m (1)
Ukuran Palka L
B
D
(2)
(3)
(4)
V’ t
LxBxtx2
BxDxt
LxDxt
(5)+(6)+(7)
(8)x0,15
(9) -(10)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
M
ρ =(11)/(10)
(12)
(13)
LOA=17,5
1,6
2,1
2,2
0,15
1,01
0,69
0,53
2,23
0,33
1,90
60
31,67
LPP=13,5
1,6
2,1
2,2
0,15
1,01
0,69
0,53
2,23
0,33
1,90
60
31,67
B=4,5
1,6
1,9
2,2
0,15
0,91
0,63
0,53
2,07
0,31
1,76
58
33,01
D=2,2
1,6
1,9
2,2
0,15
0,91
0,63
0,53
2,07
0,31
1,76
59
33,58
d= 1.8
1,6
1,8
2,2
0,15
0.86
0,59
0,53
1,99
0,30
1,70
55
Purse Seine dengan 10 palka
Keterangan LOA Lpp B D
Rata-rata ρ =
32,58
32,50
: = Panjang seluruh kapal, dalam m. = Panjang antar garis tegak, dalam m. = Lebar kapal, dalam m. = Tinggi geladak kapal, dalam m.
29
d t ρ
= Tinggi sarat kapal, dalam m. = tebal dinding palka, dalam m. = rapat massa (densitas) material dinding insulasi, ρ = M/V, dalam kg/m3. M = massa larutan polyurethane. Kebutuhan penuangan larutan untuk 1 kompartemen dinding palka, dalam kg. V’ = Volume total dinding palka setelah dikurangi volume gading, V – 0,15V, m3. V = Volume total dinding palka sebelum dikurangi volume gading, m3. 4.1.2 Hasil pengukuran laboratorium terhadap kecepatan pencairan es Rata-rata hasil pengukuran jumlah es mencair dalam kotak yang diukur per 8 jam, 16 jam dan 24 jam, disajikan pada Tabel 8. Masing-masing kotak diisi dengan es 3 kg. Hasil pengukuran jumlah es mencair untuk tiap box berinsulasi polyurethane yang diamati disajikan lebih rinci pada Lampiran 10. Proses perhitungan kecepatan penetrasi panas hasil pengukuran kecepatan pencairan es dari kotak insulasi yang diamati di laboratorium, di lakukan dengan cara mengalikan jumlah es yang mencair dengan panas laten pelelehan es per satuan waktu, yaitu :
q = Q/t, Q = Mes x L, di mana : q = kecepatan atau laju penetrasi panas (kkal/jam) Q = jumlah atau beban panas (kkal) t = waktu (jam) Mes = jumlah es mencair (kg) L = panas laten pelelehan es (kkal/kg) Tabel 8 menunujukkan nilai rata-rata jumlah es mencair dalam kotak berinsulasi polyurethane dengan densitas material berbeda, sedangkan Tabel 9 menunjukkan nilai rata-rata kecepatan panas q yang didasarkan atas jumlah es yang mencair (Mes).
30
Tabel 8 Rata-rata jumlah es mencair dalam kotak berinsulasi polyurethane dengan densitas material berbeda. Densitas insulasi (kg/m3) 8 30 35 40 45 50
Durasi pencairan es (jam) 16 Jumlah es (kg)
0,735 0,646 0,678 0,713 0,735
24
1,454 1,323 1,344 1,365 1,399
2,181 1,914 1,950 2,034 2,088
Tabel 9 Kecepatan pencairan es (q kkal), dalam kotak insulasi dengan kerapatan insulasi berbeda. Durasi pencairan es (jam)
ρ30
ρ35
8 16 24
7,35 7,27 7,27
6,46 6,61 6,38
q (kkal/jam) ρ40 6,78 6.72 6.50
ρ45
ρ50
7,13 6.83 6.78
7,35 6.99 6.96
4.1.3 Uji Signifikansi pengaruh perubahan densitas material terhadap laju panas Perbedaan jumlah es yang mencair sebagai akibat perubahan densitas material insulasi polyurethane dapat dilihat pada Tabel 8. Perubahan kecepatan panas terindikasi dari jumlah es yang mencair dalam kurun waktu pengukuran. Uji signifikansi perubahan laju panas dilakukan terhadap data hasil pengukuran tersebut. Hasil pengujian menunjukkan bahwa untuk tingkat signifikansi 0,05, perubahan kecepatan atau panas akibat perubahan densitas tidak signifikan. Hal ini ditunjukkan dari nilai F hitung = 0,506, yang ternyata lebih kecil dari F tabel = 2,15 (Ho diterima). Lampiran 11 menunjukkan proses perhitungan signifikansi pengaruh perubahan densitas material polyurethane terhadap kecepatan penetrasi panas. 4.1.4 Hasil perhitungan laju panas dengan CFD LISA 76 Proses perhitungan numerik terhadap laju panas sebagai akibat perubahan densitas dengan CFD LISA 76 memerlukan data tentang data initial condition dan data boundary condition. Hal tersebut dibutuhkan untuk keperluan iterasi numerik
31
dan tampilan visual obyek yang dianalisis. Data untuk keperluan yang dimaksud disampaikan pada Lampiran 12. Tabel 10 menunjukkan hasil iterasi numerik laju panas akibat perubahan densitas material polyurethane. Tabel 10 Hasil perhitungan numerik laju panas dengan CFD LISA 76 ρ (kg/m3)
K ( kcal h-1 m-1 o C- 1)
qp (kkal/jam)
qc (kkal/jam)
30 35 40 45 50
0,033549 0,028431 0,030777 0,030818 0,031636
7,27 6,38 6,50 6,78 6,96
7,18 6,67 6,5 6,65 7,14
Keterangan : ρ = densitas material polyurethane (kg/m3) k = nilai konduktifitas termal hasil perhitungan (kkalh-1m-1oC-1) (ditunjukkan pada Lampiran 13) q = kecepatan atau laju panas (kkal/jam) qp = laju panas hasil pengukuran laboratorium (kkal/jam) qc = laju panas hasil analisis CFD (kkal/jam) Perbandingan hasil pengujian
kecepatan penetrasi panas q dari
pengukuran laboratorium dan dari analisis CFD LISA 76, ditunjukkan pada Gambar 8 dan Tabel 11. Kecepatan penetrasi panas (q) hasil pengukuran dihitung berdasarkan data yang tertera dalam Tabel 8 :
7.60
q (kkal/jam)
7.40 7.20 7.00
qp
6.80
qc
6.60 6.40 6.20 0
10
20
30
40
50
60
Densitas
Gambar 8. Kecepatan penetrasi panas q dari hasil pengukuran dan analisis CFD LISA 76
32
Tabel 11 Perbandingan hasil pengujian kecepatan penetrasi panas q ρ (kg/m3)
qp (kkal/jam)
qc (kkal/jam)
30 35 40 45 50
7,27 6,38 6,50 6,78 6,96
7,18 6,67 6,5 6,65 7,14
Keterangan : ρ = densitas material polyurethane (kg/m3) qp = laju panas hasil pengukuran laboratorium (kkal/jam) qc = laju panas hasil analisis CFD (kkal/jam) Penggunaan CFD diperlukan untuk menghindari pengulangan yang banyak pada perlakuan, dan menghemat waktu dan biaya. Selain itu penggunaan CFD juga dapat menghasilkan tampilan visual yang menggambarkan distribusi atau perubahan energi dari sistem rekayasa teknis yang melibatkan perubahan energi. Konduktivitas termal hasil pengukuran dapat digunakan sebagai input dalam initial conditions sebagai salah satu syarat dapat digunakannya iterasi numerik dalam program CFD LISA 76. Hasil iterasi dari program CFD tersebut selanjutnya dapat digunakan sebagai tolak ukur dalam menghitung laju panas pada densitas insulasi yang berbeda, misal ρ = 31, 32, 33, ....kg/m3, dan seterusnya. Berdasarkan hasil pengukuran laboratorium dan analisis CFD tersebut dapat diketahui nilai densitas efektif dari material insulasi polyurethane yang diukur, yaitu densitas material ρ = 30 kg/m3 dan ρ = 35 kg/m3. Selanjutnya, analisis distribusi beban panas dengan menggunakan CFD dilakukan terhadap insulasi polyurethane yang memiliki nilai densitas efektif tersebut. Berdasarkan data initial condition dan boundary condition pada Lampiran 12, dapat ditetapkan hasil perhitungan dalam bentuk tampilan visual. Tampilan visual ini diperoleh pada tahap postprocessor, dan dapat dilihat pada Gambar 9.
33
a) ρ = 30 kg/m3
b) ρ = 35 kg/m3
Gambar 9 Tampilan hasil Post-processor pengukuran q insulasi polyurethane dengan densitas berbeda. Tampilan pada gambar 3. menunjukkan bahwa pada kotak dengan densitas dinding insulasi ρ = 30 kg/m3, beban panas di bagian sisi atas kotak belum terenyahkan. Hal ini ditandai warna orange pada sisi atas kotak yang menggambarkan temperatur pada sisi tersebut masih cukup tinggi (T = 39,38 oC). Sedangkan kotak dengan dinding insulasi ρ = 35 kg/m3, seluruh panas sudah terenyahkan. Perbedaan tampilan visual tersebut membuktikan perbedaan kemampuan antara dinding insulasi dengan ρ = 30 kg/m3 dengan ρ = 35 kg/m3. Karateristik distribusi suhu dari tampilan visual dari kedua kotak menunjukkan suhu terendah ada di bagian bawah kotak, hal ini disebabkan karena letak es yang digunakan sebagai bahan uji terletak pada bagian dasar kotak. 4.1.5 Efisiensi penggunaan material polyurethane Berdasarkan tampilan grafik pada Gambar 8, dapat diketahui bahwa efektifitas penggunaan insulasi polyurethane terdapat pada densitas ρ = 30 dan 35 kg/m3 atau nilai densitas di antara kedua nilai tersebut. Penambahan kerapatan di atas nilai tersebut justru semakin menaikankan nilai konduktifitas termalnya. Selain karena persoalan konduktivitas termal, diperoleh fakta dari hasil uji laboratorium, densitas polyurethane di atas 50 kg/m3 memiliki tekanan mekanis yang cukup kuat. Hal ini tentu menyulitkan dalam penerapannya. Hasil survei di galangan kapal tradisional UD. Karyamina Putra, densitas insulasi dari 20 palka ikan yang dibangun berkisar ± 32 kg/m3.
34
Berdasarkan nilai densitas efektif tersebut dapat dihitung efisensi η dan faktor koreksi (fk) dari nilai laju panas q. Tabel 12 menunjukkan nilai fk dan η. Tabel 12 Efisiensi laju panas q, PU pada ρ = 30 – 35 kg/m3 Waktu ρ = 30 – 35 kg/m3 Pengukuran η fk Per 8 jam 0,67 0,889 Per 24 jam 0,74 0,878 Koreksi terhadap laju panas akibat perubahan nilai densitas insulasi dapat ditentukan sebagai berikut : q= Untuk standar per 24 jam q ' =
k (T 1 − T 2 )A fk x k (T 1 − T 2 )A 0,878 x
4.1.6 Hasil iterasi numerik geometri ruang Perhitungan faktor bentuk didasarkan atas perkalian dasar (matrik) dari sisi kubus yang memiliki ukuran sama yaitu (1 x 1 x 1) atau (a x a x a). Perubahan dalam bentuk volume kubus ke
persegi panjang tidak mengubah besar
volumenya, sehingga perpanjangan satu sisi kotak menyebabkan berkurangnya ukuran dari sisi- sisi yang lain. Pendekatan yang digunakan dalam perhitungan faktor bentuk ini adalah menambah panjang
salah satu sisi sehingga matrik
volumenya berubah menjadi (a x b x c) atau (a x b x b). Ilustrasi perubahan tersebut dapat dilihat pada Gambar 10. Perubahan nilai matrik ukuran kotak dan nilai faktor bentuk fb dapat dilihat pada Tabel x. Hasil perkalian dari matrik ini tetap menghasilkan angka 1. Melalui proses iterasi, terdapat 100 perubahan bentuk dari bentuk bujursangkar ke dalam bentuk kotak persegi panjang dengan ukuran sisi-sisi yang berbeda, dan 50 perubahan bentuk dari bentuk bujur sangkar ke dalam bentuk kotak persegi panjang dengan dua sisi berukuran sama. Formulasi tentang perubahan bentuk ruang sebagaimana dimaksud di atas dapat diterapkan pada bentuk palka atau lambung kapal dengan cara memberikan koreksi nilai koefisien midship (Cm). Tabel yang berisi tentang matrik ukuran kotak atau ruang karena perubahan bentuk tersebut beserta faktor luasnya (fb) disajikan pada Lampiran 14 – 16.
35
a a
b
a c a a
b b
Gambar 10 Perubahan bentuk kotak kubus ke kotak persegi panjang dengan volume tetap : (a x a x a) =1, (a x b x c) = 1, dan (a x b x b) =1. 4.2 Pembahasan 4.2.1 Proses pembuatan insulasi Proses pencoran atau prosedur pembuatan insulasi palka berbahan material polyurethane telah mencapai hasil yang diharapkan. Keberhasilan pencoran tersebut terindikasi dari pengembangan busa yang terjadi secara merata di dalam kompartemen dinding. Proses tekanan busa polyurethane saat mengembang menyebabkan busa akan mengembang ke segala arah di dalam kompartemen dinding hingga sebagian kecil busa keluar melewati lubang pengecoran dan sebagian lainnya keluar melewati celah-celah dinding kayu yang kurang rapat. Tekanan busa yang cukup kuat mampu menerobos celah dinding yang sangat sempit. Tekanan busa polyurethane saat terjadi proses pengembangan berkisar 2 3 kg/cm2 pada densitas material 35 – 40 kg/m3 (Shawyer dan Medina 2003). Densitas bersih dari material polyurethane yang dituang ke dalam kompartemen dinding adalah jumlah awal total larutan dikurangi dengan larutan tersisa dalam ember untuk pencoran dan material busa yang keluar dari dinding karena tekanan saat proses pengembangan busa terjadi. Material busa yang keluar dari dinding saat proses pengembangan busa terjadi, ditunjukkan pada Gambar 11.
36
Gambar 11 Busa polyurethane keluar dari celah-celah dinding karena adanya tekanan saat proses pengembangan. Masalah lain yang dihadapi saat fabrikasi dinding insulasi adalah tekanan yang kuat dapat merusak papan dinding palka, dan terlepas dari paku atau baut yang mengikatnya. Terdapat beberapa jenis kayu yang biasa digunakan untuk dinding palka antara lain laban, meranti, merbau, bangkiray dan sebagainya. Berdasarkan hasil pemantauan di lapangan kayu yang digunakan sebagai dinding palka adalah kayu meranti batu, sedangkan untuk geladak menggunakan kayu merbau. Berdasarkan Peraturan Kapal Kayu BKI 1996, kayu meranti batu memiliki spesifikasi teknis dengan Kelas Kuat II – IV. Berdasarkan kelas ini, berat jenis kering udara berkisar antara 0,9 – 0,3 dengan kukuh lentur mutlak (klm) 1100 -360 kg/cm2 dan kukuh tekanan mutlak (ktm) 650 – 215 kg/cm2. Sedangkan untuk Merbau berada pada Kelas Kuat I – II, dengan berat jenis kering udara berkisar antara ≥ 0,9 – 0,6 dengan kukuh lentur mutlak (klm)≥ 1100 -725 ≥ 650 kg/cm2 dan kukuh tekanan mutlak (ktm)
– 425 kg/cm2
Hal ini
menunjukkan bahwa secara teknis, kayu yang digunakan cukup kuat menahan gaya deformasi karena tekanan busa polyurethane. Namun demikian pada tekanan tertentu tekanan busa polyurethane dapat berakibat pada perembesan material busa ke cela-cela sempit atau terlepasnya sambungan antara papan dengan bagian konstruksi lainnya. Besarnya rentang nilai dalam Kelas Kuat tersebut juga dijelaskan oleh Damanik (2005), dengan kriteria yang sama. Jika dikehendaki untuk menaikan densitas insulasi lebih tinggi dari nilai di atas, harus dipertimbangkan untuk menggunakan sistem hubungan konstruksi kapal yang lebih baik, sehingga mampu menahan gaya deformasi saat terjadi proses pengembangan material larutan polyurethane. Selain faktor tekanan busa
37
polyurethane, hal lain yang perlu diperhatikan adalah efektifitas penambahan densitas larutan tersebut, di mana pada batas-batas tertentu kenaikan densitasnya justru menaikan nilai konduktivitas termalnya. Kenaikan nilai konduktivitas termal ini akan menurunkan kemampuan insulasinya. Tentang pengaruh densitas, Bing (2006) menjelaskan, bahwa pertambahan nilai konduktivitas termal tidak proporsional dengan pertambahan densitas material. Untuk mendapatkan kondisi yang ideal dalam pembuatan dinding insulasi berbahan polyurethane, maka nelayan pengrajin kapal tradsional melakukan uji coba dalam menggunakan larutan yang akan dituang. Berdasarkan pengalaman yang mereka peroleh, mereka membuat dinding insulasi dengan cara yang sama untuk kapal-kapal yang lain. Prosedur pembuatan ini dituturkan oleh pemilik galangan kapal UD. Karyamina Putra. UD. Karya mina Putra telah beroperasi dalam bidang pembuatan kapal ikan ikan tradisonal dalam kurun waktu puluhan tahun di Kab. Batang Propinsi Jawa Tengah. Beberapa nelayan di pesisir laut utara Jawa Tengah banyak yang mempercayakan pembuatan kapalnya di galangan tersebut. 4.2.2 Evaluasi nilai densitas polyurethane Pada saat ikan ditangkap dan dimasukan ke dalam palka hingga ikan sampai pada konsumen, maka ikan diusahakan tetap diselimuti oleh es. Sistem penjagaan mutu ikan dengan cara seperti ini dikenal sebagai sistem rantai dingin. Pada sistem rantai dingin ini palka kapal ikan memiliki peran sangat penting, yaitu selain sebagai tempat penyimpanan juga berfungsi sebagai alat transportasi karena keberadaan palka tersebut di kapal. Bentuk konstruksi palka dan struktur dindingnya dapat disampaikan pada Gambar 12. Konstruksi palka pada gambar x adalah konstruksi palka untuk sistem pemuatan ikan secara curah, di mana sistem ini banyak digunakan oleh nelayan pesisir utara Jawa Tengah.
38
abc
abcde
abcf
Keterangan : 1. Sekat antar palka/ kamar mesin 2. Penampang sisi kulit kapal 3. Penampang loteng palka /geladak a. Lapisan penutup palka b. Rongga, sekat penyokong dan insulasi c. Pelat baja dalam/papan dalam d. Rongga disebelah kulit kapal e. Kulit kapal f. Lantai papan dek
Gambar 12 Palka ikan berinsulasi (sumber : Ilyas (1988) ) Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi kualitas insulasi polyurethane adalah densitas material polyurethane yang dituang dalam kompartemen. Hasil perhitungan dari proses fabrikasi insulasi di lapangan menunjukkan nilai densitas berkisar antara 28 - 35 kg/m3. Nilai densitas insulasi ini sebagian telah memenuhi syarat yang ditetapkan untuk standar insulasi yang baik, yaitu ≥ 30ρ kg/m
3
(Dellino 1997). Fakta di lapangan juga menunjukkan, ketika nilai densitas polyurethane dinaikkan mendekati nilai ρ = 34 kg/m3, maka tekanan busa polyuretahne saat terjadi pengembangan menyebabkan suara gemertak pada dinding papan palka. Hal ini menunjukkan bahwa pada nilai densitas tersebut tekanan yang ditimbulkan oleh busa saat terjadi proses pengembangan dapat menimbulkan kerusakan pada konstruksi. Jika dikehendaki untuk menaikan densitas insulasi lebih tinggi dari nilai di atas, harus dipertimbangkan untuk menggunakan sistem hubungan konstruksi kapal yang lebih baik, sehingga mampu menahan gaya deformasi saat terjadi proses pengembangan material larutan polyurethane. Daya simpan dari palka ikan dapat dihitung berdasarkan luasan permukaan palka, kualitas insulasi, dan perbandingan jumlah ikan dengan es yang ada dalam
39
palka. Jika ikan disusun dalam palka sesuai dengan ketentuan cara pemuatan yang baik, maka tinggi tumpukan tidak lebih dari 0,5 m. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kerusakan fisik ikan karena tekanan berat dari lapisan muatan di atasnya. Kerusakan fisik ikan akan menjadi media bagi berkembang biaknya bakteri pembusukan. Dengan demikian proses pembusukan pada ikan yang disimpan dalam palka menjadi lebih cepat. Berdasarkan prinsip di atas, contoh perhitungan tentang daya simpan palka dapat ditunjukkan dengan menggunakan salah satu palka hasil survey, sebagai mana dapat dilihat pada Tabel 13. Dimensi palka tersebut dilengkapi dengan asumsi bahwa kedua palka memiliki kualitas insulasi dan perbedaan suhu luardalam yang sama, yaitu nilai konduktivitas termal k = 0,023, tebal dinding insulasi x = 0,15 m dan perbedaan suhu luar-dalam T = 28oC. Tabel 13 Contoh perhitungan tentang daya simpan palka terkait dengan volume/luas permukaan ruang palka. Palka Kapal 1 Palka Kapal 2 (contoh 1 hold) (contoh 1 hold) (2,15 x 2,4 x 0,5) m3 (1,6 x 2,1 x 0,5) m3 Volume 2:1 2:1 Perbandingan ikan : es 1,09 Ton 0,47 Ton Jumlah ikan yang disimpan 0,78 0,33 Jumlah es pendingin 29 hari 18 hari Daya simpan Pada praktek di lapangan oleh nelayan, perbandingan jumlah es- ikan dapat berkisar 1 : 3, dan tinggi tumpukan bisa melebihi 0,5 m. Dalam praktek di lapangan tentang pemuatan ikan hasil tangkapan, aturan di atas diabaikan oleh nelayan. Tinggi tumpukan ikan bisa lebih dari 0,5 m dan jumlah perbandingan es : ikan berkisar 1 : 3 atau kurang dari jumlah tersebut. Keadaan tersebut dapat berakibat pada penurunan mutu ikan hasil tangkapan. 4.2.3 Hambatan dalam aplikasi teknologi di lapangan Hasil survei juga menunjukkan bahwa penentuan jumlah larutan yang akan dituang ke dalam kompartemen dinding palka, dilakukan melalui uji coba (trial and error) hingga mendapatkan suatu nilai densitas material insulasi yang dianggap ideal. Langkah tersebut ditempuh karena beberapa sebab, antara lain prilaku atau sikap para nelayan tradisional, penggunaan material polyurethane
40
yang belum begitu populer, dan minimnya informasi teknis tentang penggunaan material tersebut untuk keperluan insulasi dinding palka. Beberapa perilaku yang terkait dengan persoalan sosial ekonomi dan budaya masyarakat tradisional berpotensi menghalangi masuknya informasi perkembangan Iptek kepada masyarakat. Faktor pendidikan yang rendah, kebiasaan dan adat istiadat, mengakibatkan penyerapan teknologi di bidang tertentu menjadi lamban atau kurang sesuai dengan spesifikasinya. Berdasarkan hasil penelitian tentang pengaruh aspek-aspek sosial budaya masyarakat nelayan terhadap upaya pemberdayaan masyarakat nelayan (Tjahjo & Nasution 2005), menempatkan dimensi tingkah laku pada urutan skor tertinggi yaitu 75,98, dibandingkan dimensi lain seperti kesehatan masyarakat 52,82, ekonomi 44,63, hukum adat 31,87, dan 69,05 politik. Beberapa langkah dapat ditempuh agar masyarakat nelayan siap untuk menerima transformasi teknologi, di antaranya adalah perbaikan sistem kelembagaan masyarakat nelayan. Menurut Tri Hartono dan Nasution (2005), program pendukung penguatan kelembagaan masyarakat nelayan mencakup : (a) Program penambahan atau perbaikan infrastruktur sosial di bidang kesehatan; (b) Program sosialisasi dan penyuluhan di bidang sanitasi lingkungan; dan (c) Program penyuluhan dan penerapan teknologi tepat guna. Dominasi program penyuluhan sebagai program pendukung dikarenakan menonjolnya pengaruh faktor-faktor dan besarnya peranan dimensi tingkah laku dalam masyarakat. Hal ini tampak dari kendala-kendala upaya pemberdayaan masyarakat nelayan selama ini bersumber dari aspek sosial budaya dalam masyarakat. Peran kelembagaan nelayan ini akan memberikan konstribusi pada perubahan atribut nelayan tradisional menjadi atribut nelayan industri. Hal ini sebagaimana dijelaskan tentang salah satu usaha pendekatan pengentasan kemiskinan melalui pendekatan affirmative action, DKP (2000), bahwa affirmative action yang dilakukan adalah merubah atribut nelayan artisanal dan tradisional menjadi atribut yang dimiliki oleh nelayan industri. Perubahan yang dimaksud tidak hanya menyangkut aspek teknologi, tetapi juga aspek sosial, ekonomi dan kelembagaan.
41
4.2.4 Pengaruh densitas terhadap laju panas (q) Polyurethane adalah jenis material insulasi berbentuk busa yang di dalamnya mengandung gas. Menurut Zemansky dan Ditman (1986), gas pada umumnya merupakan penghantar kalor yang paling buruk Oleh sebab itu, pemilihan jenis material ini sebagai insulasi merupakan alternatif yang cukup baik. Busa polyurethane tersebut disebut sebagai busa polimer. Menurut Feldman dan Hartomo (1995), busa polimer disebut juga polimer seluler, plastik seluler, atau polimer mengembang atau muai adalah sistem bahan multifasa (komposit) yang terdiri atas matriks polimer dan suatu fasa zalir (biasanya gas). Menurut Dellino (1997), untuk insulasi polyurethane yang baik densitas material yang dibutuhkan adalah ρ > 30 kg/m3 , dengan jumlah sel tertutup tidak kurang dari 90 %. Menurut Kim et al. (2010), densitas merupakan parameter yang paling penting untuk mengendalikan sifat mekanik dan termal busa sel tertutup. Nilai efiensi (η) akibat perubahan densitas pada dinding insulasi palka ikan, akan berpengaruh langsung terhadap jumlah ikan yang akan didinginkan dan jumlah es untuk media pendinginan. Hal ini disebabkan karena densitas berpengaruh pada laju panas q dan laju panas akan menentukan besar jumlah es yang mencair. Efiensi (η) dari nilai q pada Tabel 12 diperoleh dari perbandingan antara penambahan jumlah kerapatan dρ dengan perubahan penurunan laju panas dq yang diharapkan. Nilai efisiensi ini dijadikan bahan pertimbangan dalam menetapkan perubahan penggunaan material insulasi dengan cara memberikan koreksi terhadap rumus perhitungan q. Koreksi terhadap laju panas akibat perubahan nilai densitas insulasi dapat ditentukan sebagai berikut : Misal dikehendaki perubahan kerapatan dari ρ =30 kg/m3 menjadi ρ =35 kg/m3, maka :
q=
k (T 1 − T 2 )A k (T 1 − T 2 )A fk , atau q = 0,878 .................. (1) x x
Laju panas terkoreksi tersebut akan mengahasilkan nilai laju panas yang lebih rendah. Hal ini disebabkan karena pengaruh dari perubahan nilai densitas insulasi yang lebih tinggi. Untuk jumlah muatan ikan yang sama, jumlah es untuk
42
media pengawet dapat dikurangi dengan meningkatnya kualitas insulasi, dalam hal ini insulasi dengan densitas pada kerapatan sebagaimana disebutkan sebelumnya. Nilai konduktivitas termal (k) polyurethane pada Tabel 10, adalah hasil perhitungan menurut rumus laju panas q. Hasil ini termasuk cukup besar bila dibandingkan dengan nilai maksimum dari beberapa referensi, misalnya menurut Dellino (1997) nilai k = 0,023, Shawyer dan Pizzali (2003) k = 0,026, dan Papadopoulos (2004) k = 0,027. Hasil penelitian lain memberikan nilai k berbeda, Wen Wu et al. (1998), dalam risetnya tentang pengaruh ukuran sel pada struktur polyuretahne terhadap konduktivitas termalnya
memberikan gambaran bahwa
semakin kecil ukuran sel semakin menurun nilai k nya. Hasil nilai k yang diperoleh berada pada kisaran k = 0,029 – 0,043. Lee et al. (2002), menjelaskan pengaruh kecepatan pengadukan pada struktur busa terhadap variasi ukuran gelembung, denstitas busa, kekuatan tekan, dan konduktivitas termal. Tabel 14 menunjukkan hasil riset tentang pengaruh pengadukan. Tabel 14 Pengukuran sifat busa polyurethane berdasarkan kecepatan pengadukan yang berbeda. Kecepatan Aduk (rpm) 6000 8000 10.000 12.000 Busa Hibrida
Rata-rata Diameter
Densitas (kg/m3)
Kerapatan sel (1012/m3)
332 273 217 194
31,9 32,6 35,4 38,4 62,8
1,42 2,36 4,66 6,73
Konduktivitas Termal (W/m.K) 0,0198 0,0206 0,0208 0,0208 0,0311
Kekuatan Tekanan (Mpa) 5,78 7,74 8,23 8,43 43,02
Sumber : Lee et al. (2002) Berdasarkan Tabel 9 dapat diketahui bahwa untuk peningkatan densitas tertentu berakibat pada penurunan nilai konduktivitas termalnya. Karakter hasil penelitian ini (untuk nilai k) memiliki kesamaan dengan hasil perhitungan k dari data pengukuran tentang efisiensi insulasi akibat perbedaan densitas.
43
Nilai k yang cenderung besar dalam penelitian efisensi insualsi ini diperkirakan karena adanya kebocoran-kebocoran pada sambungan-sambungan dinding box insulasi. Hal serupa juga dialami sistem konstruksi palka tradisional (konstruksi kapal kayu) berinsulasi
polyuretahne. Dalam sistem konstruksi
tersebut sulit sekali untuk mempertahankan ruang palka yang benar-benar kedap. Hal ini disebabkan dalam konstruksi palka terdapat hubungan konstruksi yang harus memutus dinding insulasi. Namun demikian, perbedaan kerapatan dalam insulasi yang digunakan tetap memberi pengaruh pada kecepatan laju penetrasi panas yang masuk ke palka. Sesuai dengan maksud dari penelitian ini, adalah mencari solusi pada tataran aplikasi tersebut dengan membuat suatu analisis penelitian tentang laju panas menggunakan prototype berupa box berinsulasi. Kelebihan dan kekurangan dari berbagai jenis insulasi, menjadikan motivasi untuk selalu mengadakan riset yang bertujuan untuk mendapat insulasi dengan kriteria teknis ekonomis yang lebih baik. Lee et al. (2002), menjelaskan tentang sifat mekanis dan termal dari busa hibrid antara busa polystyrene dengan busa polyurethane. Dibandingkan dengan busa poliuretan murni, kekuatan tekan dari busa hibrida jauh lebih besar, tetapi konduktivitas thermalnya PU murni lebih tinggi. Berkaitan dengan sifat termal dan kekuatan mekanis, Kang et al. (2010), berpendapat bahwa pengaruh penambahan zat aditiv hexamethyldisilazane (HMDS) pada busa polyisocyanurate (PIR) dapat mengurangi ukuran sel sehingga menjadi lebih kecil. Ukuran sel yang lebih kecil tampaknya merupakan salah satu alasan utama untuk peningkatan sifat isolasi termal dan sifat mekanik busa PIR. Badri et al. (2004), menjelaskan tentang keunggulan penggunaan materi polyol berasal dari minyak kelapa sawit sebagai bahan alternatif yang lebih ekonomis menggantikan polyol yang berasal dari petrokimia. Alternatif penggunaan minyak tumbuhan sebagai pengganti bahan petrokimia juga dikemukakan oleh Narine et al. (2007), yang meninjau sifat-sifat mekanis dan sifat termalnya. Polyol dengan terminal kelompok hidroksil primer disintesis dari minyak canola oleh teknologi berbasis ozonolysis dan hidrogenasi, secara komersial tersedia polyol berbasis kedelai dan minyak jarak mentah yang bereaksi dengan diphenylmethane aromatik diisosianat untuk menyiapkan busa. Hal serupa dikemukakan oleh Rohaeti et al. (2003), yaitu tentang penggunaan glukosa, maltosa, dan amilosa sebagai sumber
44
polyol dalam sintesis polyurethane, dapat meningkatkan indeks hidrogen (HBI) dan temperatur transisi (Tg). Ilyas (1992) menjelaskan, bahwa dari berbagai karateristik insulasi yang diinginkan faktor konduktifitas termal tetap menjadi pertimbangan utama. 4.2.5 Pengaruh faktor bentuk terhadap laju panas (q) Tata letak muatan, yaitu cara pemuatan ikan dalam palka yang mencakup pemuatan dengan cara curah, menggunakan rak atau peti kemasan. Cara pemuatan tersebut mempengaruhi penggunaan jumlah es yang digunakan sebagai pengawet ikan. Penentuan cara pemuatan dan penggunaan es dalam perbandingan tertentu akan menentukan kualitas muatan yang diangkut. Rasio kelayakan dalam pemuatan ini umumnya diukur sebagai stowage rate. Amiruddin (2005), mengevaluasi penerapan standar nilai stowage rate ini pada kapal ikan tradisonal dan melihat pengaruhnya terhadap kualitas muatan. Umumnya rasio itu tidak terpenuhi dan berkorelasi terhadap mutu ikan hasil tangkapan yang kurang baik. Stowage rate adalah suatu nilai yang memperhitungkan kecukupan ruang muat untuk memuat suatu jenis muatan secara layak. Ukuran dan bentuk ruang akan menentukan luas permukaan muat dan berpengaruh pada laju panas q. Volume kotak berbentuk kubus memiliki total luas permukaan selubung (kulit) paling kecil dibanding volume kotak berbentuk persegi panjang untuk volume yang sama. Luas permukaan selubung ini akan berpengaruh terhadap laju penetrasi panas dalam ruang yang didinginkan. Perbedaan luas permukaan selubung akibat perbedaan bentuk tersebut dapat dibuktikan melalui uraian berikut. Jika diketahui volume suatu ruang adalah 8 m3, maka ukuran matrik kubusnya adalah : 2 x 2 x 2 = 8 m3 dengan luas selubung (2 x 2) x 6 = 24 m2. Jika bentuk kubus tersebut diubah menjadi bentuk volume persegi panjang untuk volume tetap, misal dengan ukuran matrik 4 x 2 x 1 = 8 m3, maka diperoleh luas permukaan selubung = (4x2)x2 + (4x1)x2 + (2x1)x2 = 26 m2. Berdasarkan fakta di atas maka desain ruang pendingin harus memperhatikan bentuk ruang yang akan digunakan sebagai ruang pendinginan. Selain persoalan heat transfer, penetapan suatu ruang juga mempetimbangkan
45
kelayakan pemuatan yang mencakup faktor kelonggaran (stowage rate) dari barang yang dimuat dan kemudahan dalam operasional bongkar muat. Mengacu pada bentuk geometris kubus, maka perubahan bentuk volume dari kubus ke persegi panjang (untuk volume sama) dapat diketahui nilai perubahan luas permukaan selubungnya dengan cara mengalikannya dengan faktor bentuk. Pendekatan volumetris ini dapat dijelaskan dalam persamaan 2.
[
]
2
A = 6 3 SR.M . fb ……............ (2) Di mana : A = menyatakan luas permukaan selubung (m2) SR = stowage rate atau faktor muat (m3/ton) M = massa muatan (kg, ton). fb = faktor bentuk Berdasarkan data pada Lampiran14 - 16, diperoleh ukuran matrik : Untuk kotak persegi panjang dengan sisi-sisi yang berbeda. Vb =
[
3
]
SR.M x (a x b x c) ………………. (3)
Untuk kotak persegi panjang dengan dua sisi yang sama. Vb =
[
3
]
SR.M x (a x b x b) ......................... (4)
Berdasarkan Persamaan 2, dapat dikembangkan pula persamaan untuk menentukan jumlah larutan material polyurethane yang akan dituang ke dalam dinding palka atau peti. Dengan mengetahui berapa ketebalan insulasi yang direncanakan dan densitas insulasi yang diharapkan, maka jumlah kebutuhan larutan dapat dihitung. Dari persamaan ini juga dapat digunakan untuk memperkirakan kebutuhan material dinding yang lain, misalnya berapa ton atau berapa m3 kayu yang diperlukan untuk pembuatan dinding suatu peti kemas. Untuk menghitung keperluan jumlah larutan tersebut, persamaan yang terbentuk menjadi :
[
] . .
M PUR = 6 3 SR.M . fb x ρPUR ......................... (5) Di mana : x
2
= ketebalan insulasi yang direncanakan. (cm)
MPUR = massa larutan polyurethane (kg)
ρ PUR = jumlah larutan polyurethane yang dituang per m3 (kg/m3)
46
4.2.6 Aplikasi faktor bentuk dalam rumus Berdasarkan perhitungan faktor bentuk sebagaimana tertera dalam Tabel vii dan viii, perhitungan besar luas permukaan akibat perubahan bentuk dapat dihitung dengan mudah. Selain itu, akan diperoleh ukuran matrik volume yang tepat sesuai dengan besar luas permukaannya. Ketepatan penggunaan rumus untuk perubahan bentuk tersebut dapat dibuktikan dalam contoh perhitungan sebagai berikut : Jika diketahui muatan ikan sebesar 4 ton yang akan dimuat dengan cara curah (perbandingan ikan : es = 2 : 1), maka tentukan luas permukaan selubung, matrik volume kotaknya, dan jumlah kebutuhan material insulasinya, jika : a) Kotak berbentuk bujur sangkar.
[
]
2
Luas permukaan selubung (A) = 6 3 2 x 4 x 1 A = 24 m2. Volume ruang (V) = SR x M, V = 2 m3/ton x 4 ton, V = 8 m3. Ukuran matrik (Vb) : (2)(1 x 1 x 1), Vb = (2 x 2 x 2) Catatan : fb =1 untuk bujur sangkar (belum ada perubahan luas). Jika x = 15 cm (0,15 m) dan ρ = 30 kg/m3, maka jumlah material polyurethane yang dibutuhkan : Mpur = 24 x 0,15 x 30, Mpur = 108 kg b) Kotak berbentuk persegi panjang hasil perubahan dari kotak bujur sangkar di atas (V tetap 8 m3). Matrik volume dari kotak tersebut direncanakan memiliki ukuran sisi yang semuanya berbeda. Jika dikehendaki perubahan panjang sebesar 40 % (dL = 40) merujuk pada Tabel vii., maka :
[
]
2
Luas permukaan selubung (A) = 6 3 2 x 4 x 1.038, A = 24,912 m2.
Volume ruang (V) = SR x M, V = 2 m3/ton x 4 ton, V = 8 m3. Ukuran matrik (Vb) : (2)(1,4 x 1 x 0,7143), Vb = (2,8 x 2 x 1,429) Jika x = 15 cm (0,15 m) dan ρ = 30 kg/m3, maka jumlah material polyurethane yang dibutuhkan : Mpur = 24,912 x 0,15 x 30, Mpur = 112.104 kg.
47
Luas permukaan yang dihitung dari ukuran matrik akan sama dengan luas permukaan yang dihitung dengan rumus X di atas. Ini bisa dibuktikan sebagai berikut : Luas permukaan yang dihitung dari jumlah luas sisi-sisinya : (2,8 x 2)x 2
=
11,2 m2
( 2,8 x 1,429)x 2 = 8,0024 m2 ≈ 8 m2. ( 2 x 1,429)x 2
= 5.716 m2
Total luas
= 24,916 ≈ 24,912 m2 (terbukti tepat).
c) Untuk perubahan panjang yang ditetapkan secara acak (nilai dL tidak tertera dalam tabel), nilai dL ditentukan dengan melakukan pembulatan angka dengan acuan nilai tengah 0,005 karena iterasi dilakukan dengan selisih 0,01. Ketentuannya adalah sebagai berikut jika pertambahan nilai dL > 0,005, maka nilai dL dibulatkan ke atas dan jika pertambahan nilai dL < 0,005 maka nilai dL dibulatkan ke bawah. 4.2.7 Kontribusi nilai faktor koreksi (fk) dan faktor bentuk (fb) Perubahan nilai densitas tertentu dari pembuatan insulasi polyurethane memberikan konskwensi pada perubahan nilai laju panasnya (q) karena faktor konduktivitas termalnya (k). Jika parameter-parameter lain dianggap tidak mengalami perubahan, maka perubahan laju panas akibat perubahan densitas tertentu dari hasil percobaan dapat dikoreksi dengan menggunakan faktor (fk). Nilai fk sebagai mana tercantum dalam Tabel x berkorelasi terhadap nilai efisiensinya (η). Kontribusi nilai fk karena pemakaian polyurethane untuk densitas tertentu dan faktor bentuk (fb) karena perubahan luas permukaan kotak, dapat dilihat melalui pola hubungan dari parameter-parameter dalam rumus pada Persamaan 6. Besar laju panas dapat dinyatakan ke dalam persamaan : q = Q/t, dan q =
kA(T 1 − T 2) ……………………… (6) x
Misalkan, persamaan di atas digunakan untuk menghitung kecepatan laju panas dari kotak berbentuk kubus (jadi A = luas selubung kubus). Dan diasumsikan kotak tersebut menggunakan dinding insulasi polyurethane dengan densitas minimal sebagai acuan yang menghasilkan lama waktu penyimpanan t. Maka
48
penurunan
kecepatan
laju
panas karena
meningkatan
densitas insulasi
polyurethane,adalah :
q’ = q x fk, q =
kA(T 1 − T 2) x fk …......…….……… (7) x
Koreksi luas permukaan bujur sangkar karena perubahan bentuk (faktor bentuk, fb) : q’ = q x fb, q =
kA(T 1 − T 2) x fb ......................... (8) x
Jika diasumsikan, baik densitas insulasi maupun bentuk kubus dari kotak di atas diubah menjadi kotak berbentuk persegipanjang (volume sama) dengan densitas insulasi lebih besar, maka akan diperoleh persamaan : q=
kA(T 1 − T 2) • fk • fb ………………………. (9) x
Perubahan kecepatan laju panas di atas dapat digunakan sebagai pertimbangan dalam merencanakan palka kapal ikan atau peti berpendingin yang menggunakan insulasi polyurethane. 4.2.8 Perbandingan daya simpan ruang muat Perbandingan daya simpan ruang muat antara ruang berinsulasi polyurethane dengan ruang muat tanpa insulasi (ruang hanya berdinding kayu), dapat diketahui dari jumlah es yang mencair persatuan waktu. Ilyas (1988), menjelaskan tentang kecepatan pencairan es yang bersumber pada data ice in fisheries (1975), bahwa untuk peti kayu dengan kapasitas 10 kg, es akan mencair 4 kg pada suhu udara luar 30oC selama 12 jam, dan 3,5 kg pada suhu udara luar 25 o
C dalam waktu yang sama. Sebuah peti berinsulasi polyurethane dengan kapasitas yang sama dengan
peti kayu di atas, dapat diperbandingkan kemampuannya dalam menahan penetrasi panas dari luar. Peti berinsulasi tersebut terdiri atas dinding insulasi bermaterial polyurethane dengan tebal dinding 0,03 m dengan densitas material ρ = 30 kg/m3. Hasil pengukuran pada peti berinsulasi tersebut diperoleh rata-rata pencairan es 2,181 kg per 24 jam pada suhu rata-rata T = 27,4 oC.
49
Perbandingan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu menyetarakan besar satuan dari kedua jenis peti tersebut dengan cara interpolasi data. Interpolasi data untuk mendapatkan jumlah es yang mencair pada suhu T = 27,4 oC dari peti kayu, dapat dilakukan sebagai berikut : x 1 = 25 oC,
y = 3,5 kg
x 2 = 30 oC,
y = 4 kg
x 3 = 27,4 oC, y = ........ y = 3,5 +
(27,4 − 25) (4 − 3,5) (30 − 25)
y = 3,74 kg per 12 jam atau y =7,48 kg per 24 jam. Berdasarkan ketentuan rasio Stowage Rate untuk muatan ikan curah adalah 2 ton/m3, maka kapasitas 10 kg memiliki ruang muat bersih sebesar 20 lt dengan luas permukaan ruang 0,66 m2. Luas permukaan luar (0,335 x 0,33 x 0,33) m3 dengan tebal dinding 0,03 m. Penyetaraan juga perlu dilakukan jika kedua model peti tersebut diaplikasikan ke dalam bentuk ruang palka dengan volume yang lebih besar. Shawyer dan Pizzali (2003), menjelaskan bahwa perubahan bentuk ruang yang berakibat pada perubahan bentuk luas permukaan bersifat proporsional terhadap jumlah es yang mencair. Dua buah kotak A dan B dengan tebal dinding yang sama, di mana kotak B memiliki luas permukaan 3,44 kali lebih besar dari ruang A, maka jumlah es yang mencair dari kotak B adalah 3,44 kali lebih besar dari jumlah es yang mencair di kotak A. Berdasarkan prinsip perubahan bentuk di atas dapat pula diperkirakan perbedaan kemampuan daya tahan penetrasi panas dari sebuah palka dengan menggunakan dasar perhitungan daya tahan panas dari kedua jenis peti yang dihitung. Diambil sebuah contoh ukuran palka ikan dari data survei, yaitu (1,6 x 2,1 x 2,2) m3 atau 7,392 m3. Jika diambil contoh bahwa palka ikan digunakan untuk muatan ikan secara curah, maka digunakan ketentuan rasio Stawage Rate 2 ton/m3 untuk menentukan jumlah muatan ikan dan es, diperoleh jumlah muatan 3,7 ton. Jika perbandingan es-ikan 1 : 2, maka jumlah es yang harus dimuat dalam palka adalah 1232 ton.
50
Hasil perhitungan perbandingan daya tahan atau kemampuan dalam menahan penetrasi panas dari luar selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15 dan Tabel 16. Hasil dari perhitungan menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam kemampuan menahan penetrasi panas antara dinding kayu dengan dinding insulasi polyurethane. Pada prakteknya, dinding insulasi polyurethane pada umumnya tidak berdiri sendiri sebagai material pelapis ruang berpendingin. Insulasi polyurethane bersama-sama dengan dinding utama dan pelapis bagian dalam ruang, membentuk sebuah konstruksi penyimpanan yang efektif. Pada peti ikan yang bervolume kecil, keberadaan material tersebut sering diabaikan dalam perhitungan dan dianggap sebagai faktor keamanan. Ilyas (1988), menjelaskan bahwa material konstruksi peti yang terdiri dari beberapa lapis material sehingga nilai konduktivitas termalnya juga beragam, maka yang cukup diperhitungkan hanya lapisan insulasinya saja, lapisan lain dapat diabaikan sebgai tambahan faktor kemanan. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa kemampuan dari insulasi polyurethane akan jauh semakin baik dalam menahan penetrasi panas jika dibandingkan dengan dinding kayu, jika dinding insulasi tersebut digunakan bersama-sama
dengan
kayu
membentuk
konstruksi
penyimpanan
ruang
berpendingin. Selain komposisi material, penggunaan insulasi dalam palka juga menyesuaikan ukuran ketebalan sesuai besar ruang palka. Menurut Baverly (1996), tebal minimum dinding insulasi palka ikan berbahan busa polyurethane adalah 13 cm. Pada pratek di lapangan, penggunaan ketebalan insulasi berada pada kisaran 10 – 20 cm. Berdasarkan standar tersebut maka penambahan ketebalan insulasi pada ukuran palka sebagaimana tercantum pada Tabel 16 akan menambah kemampuan menahan panas lebih signifikan dibandingkan dengan palka kayu tanpa insulasi.
51
Tabel 15 Perbandingan daya tahan panas pada peti kayu dan peti polyurethane Jenis Peti
Luas Permukaan (m2)
Suhu Udara Luar (oC)
Jumlah Es Mencair/hari (kg)
q/24 jam
q / jam
Peti Kayu
0,66
27,4
7,48
598,4
24,93
Peti polyurethane
0,66
27,4
2,18
174,48
7,27
Tabel 16 Perbandingan daya tahan panas pada palka kayu dan palka polyurethane Kondisi Palka
Luas Permukaan (m2)
Suhu Udara Luar (oC)
Jumlah Es Dalam Palka (kg)
Jumlah Es Waktu Mencair/hari Simpan*) (kg) (hari)
Palka kayu
23
27,4
1232
261,3
5
Palka polyurethane
23
27,4
1232
76,2
16
*) Waktu simpan diasumsikan tergantung pada es lama mencair. 4.2.9 Pengaruh Efisiensi Palka Terhadap Perencanaan Awal Kapal Formula hasil analisis perhitungan tentang perubahan geometris kotak kubus sebagaimana disebutkan sebelumnya, dapat diterapkan juga untuk keperluan ruang palka. Penerapan formula tersebut dapat dilakukan dengan cara memberikan koreksi terhadap geometris kotak sesuai dengan karakter bentuk lengkung kapal di bagian tengah (midship section). Pembedaan karakter atau kriteria teknis akibat perubahan nilai B/D dapat diperoleh dengan mudah melalui program Delfship. Sebagai contoh, dihitung salah satu data dari kapal pembanding yaitu Lshp = 18 m dan V =50 m3 yang bersumber dari Fyson (1985), maka dari nilai B/D = 1,6 dan B/D = 1,8 diperoleh gambar body plan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 13.
52
(a) B/D = 1,6
(b) B/D = 1,8
Gambar 13 Perbedaan body plan dari ke dua bentuk kapal karena perbedaan nilai B/D. Bentuk ruang terkoreksi tersebut berhubungan dengan parameter coeficient block (Cb) dan coeficient midship (Cm). Menurut Tupper (2002), hubungan dari kedua parameter tersebut dapat dijelaskan : Cb = V/ (B.T.Lpp) dan Cm = Am/(B.d) …………….. (10) di mana : V Lpp Am B d
= volume displasemen (m3) = panjang antar garis tegak (m) = luas midship (m2), = lebar kapal (m) = tinggi sarat kapal (m) .
Berdasarkan hubungan parameter di atas, maka dapat dijelaskan bahwa nilai Cb kapal tidak sama dengan Cb palka dan volume yang dihitung adalah volume kapal bukan volume palka, tetapi luas midship kapal Am adalah sama dengan luas permukaan melintang palka pada batas sarat T atau D (jika diambil asumsi
nilai T
naik sebatas nilai D). Hal ini disebabkan karena karakter
perbandingan B/D kapal sama dengan B/D palka. Berdasarkan uraian ini, untuk mempertahankan agar volume desain palka dari metode baru tersebut tidak mengalami perubahan ketika terintegrasi dalam perhitungan volume kapal, maka perkalian matrik volume palka harus dibagi dengan nilai Cm kapal. Koreksi nilai volume palka dengan nilai Cm, menghasilkan perubahan rumus perhitungan dari luas permukaan A, sebagai berikut :
53
2
SR.M A = 6 . fb .............................. (11) Cm di mana : A = luas permukaan ruang (m2), SR = stowage rate, M = massa muatan Cm = koefisien midship fb = faktor bentuk tergantung nilai B/D Data tentang tentang nilai Cb, Cp dan Cm yang relevan untuk desain kapal ikan, dapat dilihat pada Tabel 17, dan contoh analisis perhitungan dengan metode pendekatan baru ini dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 17 Koefisien Bentuk Kapal Ikan Cb
Cp
Cm
Cb
Cp
Cm
0,30 0,40 0,42 0,44 0,46 0,48 0,50 0,52 0,54 0,56 0,58
0,550 0,554 0,554 0,554 0,556 0,560 0,566 0,574 0,583 0,595 0,608
0,545 0,722 0,758 0,794 0,827 0,857 0,883 0,906 0,926 0,942 0,954
0,60 0,62 0,64 0,66 0,68 0,70 0,72 0,74 0,76 0,78
0,623 0,639 0,656 0,674 0,693 0,712 0,731 0,750 0,769 0,788
0,968 0,970 0,975 0,978 0,981 0,983 0,985 0,988 0,988 0,990
Sumber : Fyson (1985)
54
Tabel 18 Contoh konsep penentuan ukuran kapal melalui pendekatan prosentase panjang kapal (Lfh/Lshp). Contoh Soal Diketahui : - Muatan ikan dengan cara curah = 30 ton - Lfh/Lship = 0,35 Cb = 0,5 Cm = 0,883 Tentukan : - ukuran palka dengan dLa 0,7 (B/D =1,7) - ukuran utama dan perkiraan displacement awal Penyelesaian : Vfh = (SR x M)/Cm = (2 x 30) 0,883 = 67,95 afh =
3
Vfh
4,08 dLa = 0,7 1,7 1 0,5882 Ukuran palka 6,94 4,08 2,40 Lshp = 19,82 Rasio CUNO : L B D Δ Vfh/Δ 1) 19,82 4,08 2,4 194 0,35 Ukuran Kapal : L B d=0,8D Cb V Δ = V. 1.025 19,82 4,08 1,92 0,5 77,6 79,6 Perbandingan ukuran utama L/B d/B L/D 4,86 0,47 8,26 Nilai L/B dan L/D di atas belum memenuhi syarat , maka dilakukan koreksi dengan L/B = 5, maka diperoleh L = 20.4 dan L/D = 8.5 Ukuran kapal terkoreksi : L’ B d=0,8D Cb V’ Δ ‘ = V. 1,025 Ukuran Kapal : 20,4 4,08 1,92 0,5 79,9 81,9
Keterangan : 1) nilai Vfh/Δ, adalah sama dengan metode CUNO (cubic number) yang digunakan secara umum dalam perencanaan awal kapal. 4.2.10 Tinjauan termodinamika Hasil perhitungan yang tertera pada Tabel 18, memberikan konsekwensi pada efisiensi termal dalam hubungannya dengan luas permukaan (A) sebagaimana dijelaskan dalam rumus laju panas q. Perbedaan efisiensi ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Diasumsikan : -
Selain parameter luas permukaan (A), semua parameter terkait dengan q adalah konstan.
-
Ruang palka, murni berbentuk kotak (tidak ada kelengkungan) .
Maka : untuk q =
k (T 1 − T 2) A dan jika q ' = x
1 akan diperoleh q =q’A x k (T 1 − T 2)
55
[
]
2
Berdasarkan persamaan : A = 6 3 SR.M . fb (m2), nilai laju panas menjadi :
[
]
2
q = q '6 3 SR.M . fb , untuk palka dengan dL = 60, q = q’6[3,68]2 x 1,075 , q = 87q’ kkal/jam, palka dengan dL = 80, q = q’6[3,68]2 x 1,119 , q = 91q’ kkal/jam. Selain kerugian karena perbedaan efiensi termal tersebut, kerugian penggunaan material insulasi yang lebih besar dapat dihitung dengan menggunakan rumus serupa. Misalkan dihitung jumlah material insulasi berbahan polyurethane, maka jumlah material yang dibutuhkan adalah :
[
] . .
M PUR = 6 3 SR.M . fb x ρPUR 2
Jika tebal insulasi x = 0,02 m dan ρ = 30 kg/m3, maka untuk palka dengan dL = 60, Mpur = 87 x 0,02 x 30, Mpur = 52 kg, sedangkan untuk palka dengan dL = 80, Mpur = 91 x 0,02 x 30, Mpur = 54,6 kg, jumlah ini akan semakin besar jika dikehendaki peningkatan kualitas insulasi sama dengan q pada dL 60, dengan cara menaikan densitas material insulasinya. Beberapa referensi berbeda dalam menentukan nilai B/D maksimum. Jika Semyonov dan Tyan Zansky (1960) menetapkan nilai B/D adalah 1.6 – 1,8, maka Fyson (1985) menjelaskan dalam contoh perhitungan pendekatan perencanaan awal dengan menggunakan nilai B/D = 2. Dalam tabel iterasi tentang faktor bentuk (fb), sebagaimana tercantum dalam Tabel 5.5 Bab V, yang menjelaskan perubahan kubus ke persegipanjang dengan dLa = 0 – 100 % La (tiga sisi dengan ukuran berbeda). Nilai B/D = 2 menunjukkan bahwa iterasi telah mencapai angka 100, atau dengan kata lain untuk kotak dengan volume tetap terdapat 1 sisi yang ukurannya telah berubah 2 kali lipat dari ukuran semula (berubah 100 %). Berdasarkan konsep disain yang menyatukan pertimbangan faktor termodinamika dengan karakteristik disain kapal tahap awal, bentuk geometris ini dianggap telah mencapai bentuk maksimum. Nilai B/D yang semakin tinggi ini, akan memberi pengaruh terhadap semakin rendahnya efisiensi termal sistem penyimpanan dalam palka berpendingin. Dengan menggunakan ukuran dan asumsi yang sama, nilai B/D = 2 akan menghasilkan q = 95 q’ kkal/jam dan Mpur = 57 kg. Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa melalui rumus yang dikembangkan dari perubahan bentuk bujur sangkar menjadi persegi empat
56
dengan volume tetap, dapat digunakan secara universal untuk keperluan desain kotak atau kemasan berpendingin lainnya. Hal ini disebabkan karena rumus tersebut dikembangkan dari matrik dasar bujursangkar sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya. 4.2.11 Tinjauan desain kapal Ukuran utama kapal adalah parameter yang sangat penting yang menentukkan karakteristik kapalnya. Karakteristik yang dimaksud mencakup sifat-sifat kekuatan, stabilitas, sistem propulsi, kemampuan olah gerak dan sifatsifat hidrodinamis lainnya. Dalam tahap awal perencanaan kapal, ukuran kapal ditetapkan secara iterasi melalui suatu proses perbandingan dengan standar tertentu, di mana dalam perbandingan tersebut perubahan salah satu ukuran akan berpengaruh terhadap ukuran yang lain. Pada akhirnya perkalian dari ukuran utama tersebut akan memberikan karakteristik tertentu terhadap bentuk lambung kapal. Dalam proses perencanaan kapal pada tahap selanjutnya, ukuran utama ini hampir mewarnai seluruh konsep perhitungannya. Fison (1985), memberikan penjelasan tentang karakteristik kapal ikan serta hubungan perbandingan ukuran utama dalam menentukan displasemen, sebagai berikut : Tabel. 21 Daftar karakteristik kapal ikan Main dimensions LOA LPP LWL Bmax Bwl d max d Dmld Δ V
m m m m m m m m ton m3
Coefficients/Ratios Cb Cm Cw Cp L/B B/d B/D Vfh m3
Sumber : Fyson (1985)
Contoh perhitungan displasemen : Jika ditentukan : Lwl/Bwl = a1, Bwl/d = a2, Bwl/D = a3, maka Lwl = a1 Bwl, d = Bwl/a2, D = Bwl/a3, dan V = a1 x Bwl x Bwl/a2 x Bwl x Cb. Berdasarkan standar perbandingan ukuran utama kapal ikan kecil dari kapal pembanding, yaitu Lwl/Bwl = 3.0, Bwl/d = 2.5, Bwl/D = 2.0, Cb = 0.4, dan V dalam ton, maka :
57
V = Lwl x Bwl x d x Cb ………………………………………….. (4.12) V = 3 Bwl x Bwl x Bwl/2.5 x 0.4 V = 0,48 (Bwl)3 m3, nilai V dalam perhitugan ini dapat diketahui dengan menggunakan metode CUNO. Jika nilai V diketahui, maka nilai Lwl, T dan D dapat diketahui. Contoh perhitungan di atas menjelaskan keterkaitan antar ukuran utama kapal dan displasemennya. Selain menggambarkan adanya unsur iterasi dalam penentuan ukurannya,
sebagaimana
telah
dijelaskan
sebelumnya
bahwa
perbandingan dari ukuran tersebut menunjukkan karakteristik teknis tertentu dari kapal. Sesuai topik persoalan, pembahasan akan diarahkan secara khusus berdasarkan parameter ukuran utama palka dan kapal yang terkait langsung dengan perubahan desainnya, yaitu aplikasi dari ukuran lebar kapal (B) dan tinggi geladak (D). Secara umum dapat dijelaskan bahwa pengaruh ukuran lebar kapal (B) dan tinggi geladak (D) serta perbandingannya akan menentukan sifat teknis kapal sebagai berikut : Lebar Kapal (B) terutama mempunyai pengaruh pada tinggi metacenter, penambahan lebar dengan displacement panjang kapal dan sarat kapal tetap, menyebabkan kenaikan tinggi metacenter of gravitiy (MG). Penambahan lebar pada umumnya digunakan untuk mendapatkan penambahan ruangan badan kapal akan tetapi hal ini juga mempunyai kerugian karena dapat mengurangi fasilitas terusan dan galangan (dock) Ukuran lebar kapal (B) dalam banyak persoalan banyak digunakan sebagai acuan kriteria stabilitas dan olah gerak. Dalam salah satu rumus empiris tentang persamaan equilibrium dari gaya vertikal dan moment anggukan di sekitar COG, dapat dilihat peran lebar kapal model (B) dalam fungsi lcg/B dan vcg/B. Hal tersebut berkaitan dengan analisis persoalan hempasan atau loncatan badan kapal di atas air dengan menggunakan linear stability theori dan nonlinear time domain simulations, (Sun dan Faltinsen 2011). Rawson dan Tupper (2001), karakter tinggi metasenter di atas titik apung (BM) dapat ditentukan melalui karakter lebar kapal (B). Burger dan Corbet (1966), menggunakan nilai B sebagai parameter dalam menentukan periode rolling atau periode natural badan kapal. Amiruddin
58
(2004), menggunakan periode natural badan kapal tersebut sebagai acuan dalam membuat analisis tentang efek resonansi gelombang laut terhadap stabilitas kapal. Tinggi geladak (D) terutama mempunyai pengaruh pada tinggi titik berat kapal G, kekuatan kapal, dan volume ruang dalam kapal. Penambahan tinggi geladak pada umumnya akan menyebabkan kenaikan titik berat di atas lunas (KG) tinggi metasenter kapal (MG) berkurang. Selain itu penambahan tinggi dapat menyebabkan bertambahnya kekuatan memanjang kapal. Dalam kasus contoh untuk panjang kapal Lshp = 18 m dengan kapasitas palka 50 m3, jika dikehendaki volume tetap dan panjang kapal tidak berubah, maka kenaikan B/D, harus menggeser sekat ke arah memanjang kapal. Hal ini merupakan konskwensi logis dari perubahan tinggi palka (D) yang lebih kecil dengan lebar palka (B) tetap, sehingga panjang palka (Lfh) berubah lebih panjang.. Perubahan nilai D ini secara tidak langsung juga akan merubah nilai tinggi sarat kapal (d), karena nilai T umumnya merupakan prosentase tertentu dari besarnya nilai D. Perbandingan D/d berkaitan dengan daya apung cadangan, dan D – T menyatakan ukuran lambung bebas (freeboard). Perbandingan B/d terutama pempunyai pengaruh pada stabilitas kapal. Harga perbandingan B/d yang relatif kecil terutama akan mengurangi stabilitas kapal, sebaliknya harga B/d yang tinggi akan membuat stabilitas kapal menjadi lebih baik Peran ukuran utama yang lain dengan perbandingannya, misal L, L/B, L/D dan sebagainya, juga berperan sangat penting. Peran-tersebut mencakup hubungannya dengan persoalan olah gerak, hambatan dan propulsi, kekuatan kapal dan stabilitas. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diketahui bahwa perubahan ukuran utama kapal merupakan sesuatu yang sensitif dalam menentukan berbagai macam karakteristik teknis kapal. Perubahan ukuran utama tersebut dapat dipertimbangkan dengan memasukkan pertimbangan dari sudut pandang lain, misalnya tinjauan dari sisi termodinamika. Tinjauan dari sisi teknis yang lain tersebut dimungkinkan dengan melakukan suatu kajian yang melibatkan parameter terkait dengan mengacu pada kriteria-kriteria teknis yang sudah ditetapkan.
59