4
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Mempelajari, Mendeskripsikan dan Memverifikasi Proses Pembuatan Tuna Loin Beku di PT X PT X merupakan perusahaan yang memproduksi tuna loin beku dengan tujuan ekspor utama Amerika Serikat. Bahan baku yang digunakan merupakan jenis yellow fin dan big eye tuna yang berasal dari transit di kawasan industri Muara Baru, Jakarta. Bahan baku yang diterima sudah dibuang isi perut dan insangnya. Berdasarkan pengamatan, proses pengolahan tuna loin beku di PT X terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut : (1) penerimaan bahan baku, (2) pencucian I, (3) penyimpanan sementara, (4) pencucian II, (5) penimbangan I, (6) pembuangan kepala dan sirip, (7) pembentukan loin, (8) pembuangan kulit (skinning), daging gelap dan duri, (9) penimbangan II, (10) pembungkusan sementara, (11) pemberian gas co, (12) pendinginan (chilling), (13) sortasi mutu, (14) perapihan (retouching), (15) penimbangan iii, (16) pembungkusan, (17) pemvakuman, (18) penyusunan, (19) pembekuan, (20) penimbangan IV, (21) pengemasan dalam master carton dan (22) penyimpanan beku. Deskripsi masing-masing tahapan tersebut adalah : (1) Penerimaan bahan baku di perusahaan Ikan tuna yang telah sampai pada bagian penerimaan diperiksa kembali oleh checker. Pengecekan tersebut bertujuan untuk memastikan bahwa kualitas ikan tuna yang akan diolah dalam keadaan baik. Pengecekan dilakukan pada mutu dan suhu tuna. Suhu ikan tuna yang akan diolah menjadi tuna loin harus ≤ 3 oC. Pengecekan mutu dilakukan dengan pemeriksaan tekstur, warna dan bau (aroma) dari daging ikan tuna. Daging ikan tuna yang diperiksa diambil dengan coring tube dari bagian dekat insang. (2) Pencucian I Pencucian I dilakukan pada saat ikan dimasukkan ke dalam ruang penerimaan. Pencucian I dimaksudkan untuk membersihkan kulit ikan dari kotoran yang menempel. Pencucian I dilakukan dengan menggunakan air mengalir dengan cara dibasuh pada permukaan kulit ikan tanpa menggunakan spon pembersih. Proses pencucian dilakukan pada tempat yang dibuat khusus dengan selokan dibawahnya sehingga air cucian dapat mengalir dengan baik. Air yang digunakan untuk
80 30
mencuci adalah air bersih dengan kualitas air minum. Proses ini dilakukan dalam waktu yang singkat yaitu kurang dari satu menit. (3) Penyimpanan sementara Penyimpanan sementara bertujuan untuk mempertahankan mutu ikan dengan cara menjaga suhu ikan agar tetap berada pada kisaran suhu 0-5oC. Proses ini dilakukan dengan memasukan ikan ke dalam bak penampungan besar berisi air yang ditambahkan es curai dalam jumlah yang besar. Suhu pada bak tersebut diperkirakan 0oC. Bak penampungan yang digunakan berukuran besar dengan volume 3 x 3 x 1,5 m dengan kapasitas ± 90-450 ekor ikan (ukuran ikan berkisar antara 30-150 kg). Ikan dimasukkan ke dalam bak penampungan tanpa penyusunan. Lamanya penyimpanan sementara tergantung pada lamanya kesiapan dari proses pengolahan selanjutnya dan juga waktu kedatangan ikan. Ikan yang datang mendekati waktu istirahat akan disimpan dalam bak penyimpanan sementara sampai waktu istirahat selesai dan proses pengolahan dilanjutkan kembali. Waktu istirahat karyawan di perusahaan adalah sekitar 45 menit yaitu dari pukul 12.00-12.45 WIB. (4) Pencucian II Pencucian II dilakukan dengan tujuan menghilangkan kotoran yang masih tersisa pada bagian permukaan kulit setelah proses penyimpanan sementara. Air yang digunakan untuk mencuci adalah air bersih dengan kualitas air minum. (5) Penimbangan I Penimbangan I dilakukan sebelum proses cutting. Tahap ini dilakukan untuk kepentingan rekaman dan pencocokan dengan berat yang tertera pada label. Waktu proses pada tahap ini tergolong cepat yaitu kurang dari 30 detik. (6) Pembuangan kepala dan sirip Pembuangan kepala dan sirip dilakukan untuk menghilangkan bagian tubuh yang tidak dibutuhkan. Proses dilakukan oleh pekerja secara manual dengan menggunakan pisau. Proses ini membuang bagian kepala sampai batas operculum dan seluruh sirip ikan (sirip dorsal, pektoral, dan sentral). Waktu proses ini sekitar satu menit. Pemotongan dilakukan di atas meja yang permukaannya halus. Meja tersebut dibersihkan dengan air mengalir setelah melakukan pemotongan 3-5 ekor ikan.
31 81
(7) Pembentukan loin Pembentukan loin dimulai dengan membelah daging ikan menjadi dua bagian sepanjang bagian gurat sisi (linear lateralis, LL). Selanjutnya, dilakukan pemfiletan dari bagian perut sampai pangkal ekor dan dari bagian punggung sampai pangkal ekor, sehingga didapatkan dua bagian yang terlepas dari tulang. Selanjutnya dilakukan proses yang sama pada sisi lainnya, sehingga dari satu ekor ikan akan diperoleh empat loin. (8) Pembuangan kulit (skinning I), daging gelap dan duri Pembuangan kulit (skinning) dilakukan untuk mendapatkan produk yang sesuai dengan spesifikasi. Pada tahap ini dilakukan pemisahan daging gelap dan duri-duri kecil yang masih menempel pada daging ikan. Proses pengerjaan pada tahapan ini dilakukan di atas meja yang dilapisi dengan talenan yang permukaanya mudah dibersihkan. Keseluruhan proses proses pembuangan kulit (skinning), daging gelap, dan duri membutuhkan waktu sekitar dua menit. (9) Penimbangan II Penimbangan II dilakukan untuk mengetahui berat loin yang dihasilkan. Proses penimbangan dilakukan secara manual dengan timbangan digital. Bagian timbangan yang kontak dengan daging ikan terbuat dari logam dengan permukaan yang halus. Hasil penimbangan II dicatat dalam formulir penimbangan untuk mengetahui rendemen daging ikan tuna. Setelah proses penimbangan selesai, permukaan timbangan dibasuh menggunakan air untuk memperkecil risiko kontaminasi. (10) Pembungkusan sementara Pembungkusan sementara dilakukan dengan plastik LDPE (Low Density Polyetilen) polos. Loin yang telah dibungkus kemudian diletakkan dalam keranjang plastik dan ditimbun dengan flake ice secukupnya. Suhu ruang selama pembungkusan sementara ± 20oC. (11) Pemberian gas CO Penanganan dan pengolahan tuna loin berdasarkan SNI 01-4104.3-2006 tidak mencantumkan proses pemberian gas CO, akan tetapi bahan baku bermutu tinggi susah diperoleh. Selain itu, PT X tetap melakukan proses ini karena tidak ada larangan dari negara tujuan ekspornya (Amerika). Pemberian gas CO (karbon
82 32
monoksida) dilakukan pada semua grade loin kecuali loin SON (skin on). Pemberian gas CO 20-40 psi dilakukan menggunakan selang yang terhubung dengan satu set jarum suntik yang terdiri dari 15 jarum. Jumlah penyuntikan pada daging disesuaikan dengan size loin. Suhu ruang maupun suhu ikan tidak dicatat dalam proses ini. (12) Pendinginan (chilling) Loin yang yang telah di smoke dibungkus dengan plastik dan disusun dalam keranjang. Masing-masing keranjang berisi 3 loin dan diberi label yang berisi no batch, hari proses cutting dan jenis loin. Loin-loin tersebut kemudian disimpan dalam chill room yang bersuhu sekitar 0-1oC selama 48 jam. Pintu chill room dilengkapi dengan plastik curtain transparan untuk mengurangi masuknya suhu tinggi dari luar ketika pintu dibuka. (13) Sortasi mutu Sortasi secara organoleptik dilakukan berdasarkan warna dan tekstur setelah penyimpanan pada suhu chilling selama 48 jam. Loin wild, ID-on, SON disortasi ulang sebelum diproses menjadi loin atau produk lainnya. Loin dengan grade A diproses menjadi saku, grade B menjadi loin ID-on, grade C atau size yang terlalu kecil menjadi steak sedangkan daging sisa potongan diproses menjadi cubes dan ground meat. Loin yang mempunyai mutu organoleptik di bawah standar dipisahkan dan diberi gas CO ulang. Suhu ruang selama sortasi sekitar 20 oC dicatat dalam record daily temperature. (14) Perapihan (retouching) Perapihan dilakukan untuk membuang daging yang rusak, sisa-sisa daging gelap, sisa kulit, serta sisa duri yang masih menempel pada produk sehingga diperoleh loin yang sesuai dengan spesifikasi. Daging yang telah dirapihkan diseka menggunakan spon yang telah disemprot dengan alkohol dengan tujuan mengurangi resiko kontaminasi pada produk, terutama kontaminasi mikroba. Waktu proses pada tahap ini sekitar empat menit. (15) Penimbangan III Penimbangan III dilakukan untuk mengetahui berat produk tuna loin sebelum pembungkusan. Proses ini untuk keperluan dokumentasi dan mengetahui
83
33
rendemen akhir produk. Pada proses ini dilakukan secara manual menggunakan timbangan digital. (16) Pembungkusan Pembungkusan dilakukan untuk melindungi produk terhadap kontaminasi dari lingkungan luar. Kemasan yang digunakan adalah plastik polyethylene berlabel. Pembungkusan dengan plastik dilakukan secara manual dengan waktu yang cukup singkat yaitu sekitar 5 detik. (17) Pemvakuman Pemvakuman dilakukan untuk membuat suasana hampa udara pada produk. Pemvakuman dilakukan menggunakan mesin vakum yang dioperasikan oleh pekerja. (18) Penyusunan Produk yang telah dibungkus dan divakum disusun dalam keranjang plastik untuk dibekukan. Penyusunan bertujuan agar produk memiliki bentuk yang baik pada saat beku sehingga memudahkan penyusunan dalam master carton. Pada setiap keranjang diberi no batch kemudian diangkut ke Air blast freezer. Waktu proses pada tahap ini sekitar lima menit per lima keranjang. (19) Pembekuan Pembekuan dilakukan untuk menghambat kebusukan dan penurunan mutu ikan sehingga kualitas daging dapat terjaga. Proses pembekuan dilakukan dengan menggunakan air blast freezer pada suhu -20oC selama sekitar 8 jam. Ruang pembekuan memiliki luas yang cukup dan monitor suhu yang dapat dilihat dengan mudah. Pemeriksaan produk hasil pembekuan dilakukan oleh petugas Quality Control (QC). (20) Penimbangan IV Penimbangan IV dilakukan untuk mengetahui berat loin setelah pembekuan. Penimbangan dilakukan secara manual untuk memperoleh berat akhir produk untuk keperluaan pengemasan. (21) Pengemasan dengan menggunakan master carton dan pelabelan Pengemasan dengan master carton dimaksudkan untuk melindungi produk dari kerusakan fisik selama distribusi. Pengemasan dilakukan secara manual oleh pekerja. Pada proses ini juga dilakukan pemberian label pada master carton.
84 34
Pelabelan tersebut dimaksudkan untuk memberi informasi tentang spesifikasi produk. Pengemasan dan pelabelan dilakukan oleh pekerja bagian pengepakan dan diawasi dan dicek oleh QC. (22) Penyimpanan beku Penyimpanan beku dilakukan untuk menunggu waktu ekspor atau pengiriman produk. Penyimpanan produk dilakukan dalam cold storage dengan suhu dibawah -18oC. Penyusunan produk dalam cold storage dilakukan dengan rapi agar tidak terjadi kerusakan fisik pada produk. PT X tidak menerapkan sistem first in first out (FIFO). Pihak perusahaan tidak menerapkan hal ini karena terbatasnya luas cold storage sehingga menyulitkan pihak perusahaan menerapkan sistem tersebut. Diagram alur proses produksi tuna loin beku selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3. Penerimaan bahan baku Pencucian I Penyimpanan sementara
Pendinginan (chilling) Sortasi mutu Perapihan (retouching)
Pencucian II Penimbangan III Penimbangan I Pembuangan kepala dan sirip Pembentukan loin Pembuangan kulit (skinning), daging gelap dan duri
Penimbangan II
Pembungkusan Pemvakuman Penyusunan Pembekuan Penimbangan IV
Pembungkusan sementara
Pengemasan dalam master karton
Pemberian gas CO
Penyimpanan
Gambar 3 Diagram alur proses produksi tuna loin pada PT X.
35 85
4.2 Mempelajari Sistem Pelaksanaan, Memverifikasi Program Higiene pada Proses Produksi Tuna Loin Beku, dan Melakukan Penilaian Pelaksanaan Program Higiene PT X Penilaian sistem higiene perusahaan, pelaksanan penelitian mengacu pada CAC (2003). Adapun aspek higiene yang dipelajari adalah: produksi bahan baku, desain dan fasilitas, prosedur pengendalian, sanitasi dan higiene karyawan. 4.2.1 Produksi bahan baku CAC (2003) pada section III menyatakan lingkungan penghasil bahan baku sebaiknya tidak menjadi sumber kontaminasi pada produk. Sistem pengadaan bahan baku PT X adalah dari transit Y di kawasan Perum Perikanan Samudera Nizam Zachman, Muara Baru. Dokumen yang memuat informasi mengenai produksi bahan baku pada PT X dituangkan dalam harvest vessel receiveing record (Lampiran 9). Berdasarkan hasil observasi langsung, diketahui bahwa lokasi sumber bahan baku PT X memiliki lingkungan serta ruang proses dengan tingkat higiene yang rendah. Lantai ruang proses kotor dan air lelehan es cenderung menggenang, ruang proses tidak terpisah dari lingkungan luar serta standar higiene karyawan yang rendah. Karyawan pada transit ini tidak menggunakan seragam lengkap, memiliki kebiasaan merokok, meludah dan bercakap-cakap pada ruang pengolahan. Kondisi asal bahan baku yang kurang baik ini berpotensi untuk menghasilkan bahan baku dengan kualitas yang buruk. Perusahaan melakukan antisipasi agar tidak memperoleh bahan baku yang buruk yaitu mengandung mikroorganisme dan histamin yang tinggi dengan melakukan analisis sensori dan melakukan pengukuran suhu bahan baku saat bahan baku diterima. 4.2.2 Desain dan Fasilitas Desain internal dan layout yang baik dari suatu perusahaan akan sangat mendukung penerapan sistem higiene yang baik untuk melindungi produk, terutama dari kontaminasi
silang
selama
proses produksi berlangsung
(CAC 2003). Desain perusahaan semestinya dibuat sedemikian rupa sehingga dapat memisahkan area bersih dan area kotor (Lelieveld et al. 2003). Desain tersebut kemudian didukung dengan penyediaan fasilitas yang sesuai dengan
86 36
standar higiene yang berlaku. Standar tersebut secara umum diantaranya aman (tidak mengandung bahan kimia berbahaya), mudah dibersihkan, tahan lama, tidak korosif dan memiliki permukaan yang halus. (1) Lokasi perusahaan Pada saat akan menentukan lokasi perusahaan, pihak manajemen harus memperhatikan potensi kontaminasi dari lingkungan yang mungkin terjadi. Berdasarkan CAC (2003) perusahaan harus terletak jauh dari lingkungan tercemar dan kegiatan industri yang dapat menjadi ancaman kontaminasi yang serius; daerah rawan hama; dan daerah dimana limbah baik padat maupun cair tidak dapat dibersihkan secara efektif. Keberadaan sumber air dan pembuangan limbah juga perlu dipertimbangkan (Marriot dan Gravani 2006). PT X berada di kompleks Perum Perikanan samudera Jakarta (PPSJ) Nizam Zachman. Jarak PT X dengan perusahaan lain berada pada jarak yang cukup sehingga resiko gangguan yang berasal dari bau lingkungan luar dapat dihindarkan. Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003), area unit pengolahan memadai untuk melakukan penanganan tuna loin dalam kondisi saniter dan higienis dan area bersih terpisah dari area kotor. (2) Desain dan layout Desain dan tata ruang unit pengolahan merupakan salah satu area paling kritis dalam mencegah terjadinya kontaminasi (Marriot & Gravani 2006). Menurut CAC (2003) desain interior perusahaan pengolahan makanan harus tahan lama, mudah dibersihkan, serta kedap air. Prinsip utama yang harus dipenuhi dalam membuat desain interior adalah harus dapat meminimalisasi kemungkinan kontaminasi internal dan mencegah akumulasi kontaminasi eksternal. Bangunan PT. PT X terdiri dari tiga lantai (denah dapat dilihat pada Lampiran 10). Pada Lantai 1 terdapat pos satpam, tempat penyimpanan tas dan sepatu, tempat parkir, ruang penerimaan bahan baku, dan ruang produksi. Pada lantai 2, terdapat ruang mekanik, musholla, ruang penyimpan styrofoam, ruang istirahat karyawan, ruang administrasi, laboratorium, ruang ganti karyawan, dan dapur. Pada lantai 3, terdapat gudang penyimpanan bahan pengemas, ruang penyimpanan bahan kimia, binatu, dan kamar istirahat (mess karyawan).
37 87
Ruang produksi terdiri dari ruang produksi 1 dan ruang produksi 2 yang dihubungkan dengan anteroom. Antara ruang produksi 1 dan 2 juga terdapat ruang cold storage. Pada ruang produksi 1 terdapat ruang Air Blast Freezer (ABF) 1 dan chilling room 1. Pada ruang produksi 2 terdapat ruang ABF 2, chilling room 2, tempat pembuatan ice flake dan ruang smoking. Di sisi samping ruang produksi terdapat selokan yang mengalirkan limbah cair ke luar unit pengolahan. 1) Ruang penerimaan Ruang penerimaan bahan baku di UPI PT X terpisah dengan ruang produksi. Pemisah kedua ruangan ini adalah pintu yang diberi plastik curtain. Ruang penerimaan digunakan untuk melakukan prosedur penerimaan bahan baku, proses cutting dan fileting. Lantai, dinding, dan langit-langit ruang penerimaan bahan baku PT X terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan. Pada ruangan ini juga tersedia air bersih dalam jumlah yang cukup. Lantai didesain dengan kemiringan yang cukup sehingga limbah cair dapat mengalir dengan baik ke saluran pembuangan pada sudut ruangan. Selain itu, ruang penerimaan bahan baku tertutup dari lingkungan luar. Untuk mencegah masuknya serangga (lalat), PT X memasang lampu anti serangga pada pintu masuk ikan dan pintu masuk karyawan. Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan (Lampiran 6) (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) ruang penerimaan bahan baku PT X memenuhi persyaratan higiene. 2) Ruang penanganan dan pengolahan Ruang penanganan dan pengolahan adalah ruangan utama pada industri pengolahan pangan. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam menata ruangan ini. Konstruksi bangunan, tata letak peralatan, dan pemilihan bahan untuk alat-alat yang kontak dengan bahan baku harus direncanakan dan dipilih sesuai dengan kegunaannya (Lelieveld et al. 2003). Kondisi ruang penanganan dan pengolahan di unit pengolahan ini yaitu tertutup dari lingkungan luar; komponen ruangan (lantai, dinding, dan langit-langit) terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan bersih dan diperbaiki; tersedia air bersih dalam jumlah cukup; saluran limbah mengalir dengan baik; dan di pintu masuk di pasang lampu anti serangga.
88 38
Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan (Lampiran 6) (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) ruang penanganan dan pengolahan PT X memadai untuk melaksanakan proses produksi secara higienis. 3) Lantai Lantai di unit pengolahan PT X adalah ubin keramik berukuran 30x30 cm yang berwarna putih. Ubin ini kedap air dan tidak korosif. Kemiringan lantai di area pengolahan masih cukup untuk mengalirkan air dari proses pengolahan karena tidak terlihat air menggenang di lantai ruang produksi. Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan (Lampiran 6) (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) kondisi lantai memenuhi persyaratan. 4) Dinding Dinding bangunan PT X adalah tembok beton. Tinggi dinding dari lantai hingga langit-langit di ruang pengolahan ± 4 meter. Ketinggian ini cukup untuk terlaksananya proses produksi yang higienis. Dinding bagian dalam di ruang pengolahan dilapisi dengan ubin keramik hingga ketinggian 1.5 meter dan sisanya dicat berwarna putih. Pelapisan dinding dengan ubin keramik membuat dinding bagian dalam kedap air, mudah dibersihkan dan tahan lama. Pertemuan antara dinding dan lantai juga tidak membentuk sudut sehingga dapat mencegah akumulasi atau penumpukan debu dan kotoran. Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan (Lampiran 6) (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) kondisi dinding memenuhi persyaratan. 5) Langit-langit Langit-langit bangunan UPI PT X berwarna putih terang, terlihat bersih dan halus. Berdasarkan pengamatan, tidak dijumpai pipa-pipa yang menonjol pada langit-langit unit pengolahan. Pemeliharaan langit-langit dilakukan dengan pembersihan yang teratur dan pengecekan kondisi langit-langit. Hal ini merupakan tindakan yang tepat karena adanya celah pada langit-langit dapat menjadi tempat akumulasi debu dan kotoran maupun rembesan air yang dapat jatuh mengenai produk yang sedang diproses (Wierenga & Holah 2003; Winarno & Surono 2004). Kondisi langit-langit bangunan di PT X memenuhi persyaratan acuan (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) pada penilaian kesesuaian higiene desain dan layout (Lampiran 6).
89 39
6) Pintu Pintu utama menuju ruang produksi terbuat dari bahan stainless steel yang cukup kuat dan mudah dibersihkan. Pada pintu tersebut dipasang tombol pembuka/penutup otomatis. Tirai dari plastik curtain dipasang pada pintu untuk mencegah masuknya debu dari lingkungan luar secara berlebihan. Plastik curtain yang digunakan sebagai tirai pintu bersifat relatif tahan lama, tahan korosi, permukaannya halus serta mudah dicuci. Alat penangkal serangga dan lalat dipasang pada setiap pintu ruang pengolahan yang berhubungan dengan lingkungan luar. Kondisi pintu tersebut sesuai dengan acuan (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) yang digunakan pada tahap penilaian kesesuaian higiene pada aspek desain dan layout (Lampiran 6). 7) Ventilasi Menurut Cramer (2006), ventilasi yang dibangun harus dapat berrfungsi untuk membuang asap, uap atau bau tidak sedap dari UPI dan membawa udara segar. Ventilasi juga berfungsi memberikan kenyamanan kepada pekerja. Sistem sirkulasi udara pada PT X menggunakan blower dan air conditioner (AC). Blower berfungsi mengalirkan udara ke luar ruangan sedangkan AC berfungsi mengalirkan udara pada ruangan. PT X tidak melakukan proses produksi yang menghasilkan asap maupun uap panas sehingga penggunaan blower dan air conditioner (AC) pada ruang proses dapat dikatakan sesuai. 8) Penerangan Penerangan ruang proses menggunakan lampu TL (tube lamp) 40 watt. Wierenga dan Holah (2003) menyatakan bahwa lampu harus dilindungi dengan pelapis, biasanya polikarbonat, untuk melindungi kaca dan memuatnya bila pecah. Dalam hal ini, PT X menyusun lampu dalam rumah-rumahan yang masingmasing terdiri dari dua lampu TL.
Setiap rumah-rumahan lampu dilindungi
dengan plastik mika transparan. Plastik mika berfungsi untuk memudahkan pembersihan dan melindungi lampu. Kekuatan cahaya lampu minimum untuk pengolahan adalah 500-600 lux (Wierenga & Holah 2003). Fasilitas penerangan di ruang proses PT X tidak diukur menggunakan alat khusus sehingga tidak diketahui secara pasti intensitasnya. Namun, berdasarkan pengamatan intensitas penerangan sudah
90 40
memadai untuk mendukung berlangsungnya proses pengolahan yang higienis. Kondisi penerangan sesuai persyaratan pada acuan (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) yang digunakan pada tahap penilaian kesesuaian higiene pada aspek desain dan layout (Lampiran 6). (3) Peralatan Perlengkapan dan peralatan yang kontak dengan bahan baku atau produk tuna loin diantaranya meja produksi, talenan, pisau, keranjang, timbangan, spons, dan nampan. Meja produksi, pisau dan nampan terbuat dari bahan stainless steel, sedangkan keranjang, dan talenan dari bahan plastik yang keras. Peralatan yang digunakan tersebut bersifat tahan karat, kedap air, dan permukaannya relatif halus sehingga mudah dibersihkan. Peralatan dan perlengkapan yang digunakan untuk menangani produk di unit pengolahan ini tidak digunakan untuk melakukan hal yang lain. Setelah digunakan, peralatan dikumpulkan dan dibawa menuju ruang pencucian untuk dibersihkan dan didisinfeksi. Ruang pencucian berada di ruang yang terpisah dari ruang pengolahan. Saluran pembuangan air di tempat pencucian juga cukup baik, terlihat dari tidak adanya air yang tergenang. (4) Fasilitas Keputusan untuk menambah investasi fasilitas dalam proses produksi selalu berorientasi pada profit yang akan diperoleh perusahaan. Berinvestasi untuk fasilitas higiene sangat penting untuk dilakukan karena akan menjadi pondasi yang kuat bagi kegiatan produksi perusahaan terutama untuk menghasilkan produk yang berkualitas dan aman untuk dikonsumsi. Untuk itu diperlukan suatu rancangan higiene yang bagaimanapun juga harus cocok dan mendukung persyaratan-persyaratan lainnya (Lelieveld et al 2003). 1) Suplai air dan es Air dalam industri pangan digunakan sebagai bahan baku proses dan pencucian alat. Air sebagai bahan baku dan bahan pembantu dalam proses produksi dapat meningkatkan potensi kontaminasi. Oleh karena itu, semua air yang kontak dengan produk harus berkualitas air minum (potable water) dan bebas dari bakteri patogen (Lelieveld et al. 2003; Winarno & Surono 2004).
91 41
Pasokan air bersih PT X diperoleh dari Perusahaan Air Minum (PAM) Muara Baru. Air bersih tersebut belum memenuhi standar air minum untuk keperluan proses produksi. Air dengan kualitas air minum diperoleh dengan melakukan proses filtrasi, ozonisasi dan penyinaran utraviolet (UV). Pengawasan kualitas air dan es dilakukan setiap satu minggu sekali. Sampel air diambil dari keran yang ada pada ruang produksi dan sampel es diambil dari mesin flake ice. Sampel air dan es diambil secara aseptik masing-masing sebanyak dua sampel. Sampel tersebut kemudian dianalisis kualitasnya di laboratorium internal PT X (contoh hasil pengujian air dapat dilihat pada Lampiran 20) Upaya pengendalian dan pengawasan distribusi air dilakukan oleh mekanis. Upaya tersebut dilakukan dengan pemberian nomor pada setiap outlet dan keran air. Penomoran tersebut bertujuan untuk menandai keran mana saja yang mengeluarkan air yang berkualitas air minum, tidak berkualitas air minum dan air hangat. Prosedur ini sesuai dengan acuan (Dirjen P2HP 2007, Mariot dan Gravani 2006, CAC 2003, Leliveld et al. 2003) yang digunakan pada tahap penilaian kesesuaian fasilitas air dan es (Lampiran 6). 2) Fasilitas pencucian tangan dan disinfeksi Fasilitas pencucian tangan dan foot bath di PT X terdapat di pintu masuk menuju ruang produksi. Hanya terdapat satu pintu masuk menuju ruang produksi yang juga digunakan sebagai pintu keluar. Fasilitas foot bath di unit pengolahan ini berupa bak dengan kedalaman ±40 cm dan berisi air yang mengandung klorin 200 ppm. Fasilitas pencuci tangan dioperasikan menggunakan sensor atau tidak dioperasikan dengan tangan. Setiap fasilitas pencuci tangan dilengkapi dengan sabun sebagai desinfektan. Berdasarkan wawancara dengan manajer pabrik, sabun yang digunakan telah sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh Dinas Perikanan setempat. Fasilitas pencucian tangan dan disinfeksi telah sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. 3) Ruang ganti, kamar mandi dan toilet Ruang ganti karyawan digunakan untuk tempat mengganti baju yang dikenakan dari luar dengan baju khusus (seragam) untuk bekerja. Ruang ganti tersebut berada di ruangan dan bangunan yang terpisah dari unit produksi. Ruang
92 42
ganti untuk karyawan pria dan wanita dibedakan namun letaknya berdampingan. Ruang ganti karyawan dilengkapi dengan loker untuk menyimpan barang-barang pekerja. Dinding dan lantai ruang ganti terbuat dari ubin keramik berwarna putih yang mudah dibersihkan. Jumlah toilet di unit pengolahan ini empat buah yang terdiri dari dua toilet untuk karyawan proses, satu toilet untuk karyawan administrasi dan tamu, serta satu toilet dilantai tiga untuk karyawan binatu dan sanitasi. Jumlah toilet atau jamban untuk 50 – 100 karyawan adalah tiga jamban (Winarno dan Surono 2004). Jumlah karyawan proses pada PT X adalah 87 orang yang terdiri dari 77 orang dan 10 orang karyawan administrasi. Berdasarkan hal tersebut empat toilet yang ada dapat mencukupi bagi 87 karyawan. Jenis jamban yang digunakan pada toilet adalah tipe leher angsa, sesuai dengan spesifikasi toilet menurut Winarno dan Surono (2004). Toilet yang diperuntukkan bagi karyawan administrasi, supervisor, dan manajer berada di tempat terpisah dan relatif bersih. Demikian pula kondisi toilet yang diperuntukkan bagi pekerja. Toilet dilengkapi dengan fasilitas cuci tangan. Fasilitas ruang ganti, kamar mandi dan toilet di PT X telah memenuhi persyaratan. 4) Ruang pendinginan dan gudang beku Permukaan lantai, dinding, dan langit-langit ruang pendingin dan ruang pembekuan terbuat dari bahan plat stainless steel. Bahan ini bersifat kedap air sehingga mudah dicuci dan didisinfeksi pada saat tidak beroperasi. Selain itu, relatif tahan lama dan dapat mencegah akumulasi kotoran, jamur, dan pengelupasan. Pada ruang pendinginan dan gudang beku terdapat alat sensor suhu yang dimonitor oleh petugas setiap dua jam sekali. Pihak PT X melakukan perekaman pada kegiatan kontrol dan monitoring suhu ruang pendingin (chilling room) dengan chilling temperature monitoring kontrol (Lampiran 11), ruang pembekuan dengan frezzing monitoring report (Lampiran 12) dan gudang (cold storage) dengan cold storage temperature report (Lampiran 13). Tirai udara dipasang pada pintu gudang beku, ruang pembeku dan ruang pendingin sedangkan pada anteroom tidak dipasang tirai udara.
93 43
Kapasitas ruang pendingin (chilling room) dan pembeku (air blast freezing) yang dimiliki oleh PT X memadai untuk menampung produk. Menurut pihak perusahaan gudang beku (cold storage) mempunyai kapasitas terbatas dan kurang memadai sehingga menyulitkan pihak perusahaan untuk menerapkan sistem FIFO (first in first out). Tidak diterapkannya sistem FIFO dalam penyimpanan produk merupakan suatu penyimpangan waktu dan suhu yang dapat menjadi penyebab bahaya histamin. Oleh karena itu, sistem ini harus segera diperbaiki. 5) Sistem pembuangan limbah Penanganan limbah dan sampah merupakan salah satu permasalahan penting pada industri pangan. Permasalahan utama limbah dari industri pengolahan pangan adalah bahan organik yang terkandung di dalamnya. Bahan organik yang sangat banyak dalam limbah industri pengolahan pangan merupakan sumber makanan bagi mikroba sehingga mikroba dapat tumbuh dengan cepat. Hal ini dapat menyebabkan ketersediaan oksigen yang terlarut dalam air menjadi berkurang.
Penurunan
membahayakan
jumlah oksigen terlarut
organisme
akuatik
yang
secara signifikan dapat ada
di
dalamnya
(Marriot & Gravani 2006). Penanganan limbah cair di PT X diantaranya dilakukan dengan membuat sistem penampungan limbah secara bertingkat. Limbah cair dari pengolahan dialirkan ke luar unit pengolahan dengan selokan pada pojok ruangan. Limbah cair ini disaring kemudian dialirkan menuju tangki penampungan pada Unit Pengolahan Limbah (UPL) di kompleks Perum Perikanan Samudera Jakarta (PPSJ) Muara Baru, Jakarta Utara. Limbah ikan dari proses cuting seluruhnya dibeli oleh pengumpul untuk dimanfaatkan, sehingga tidak ada bagian ikan yang dibuang. Limbah padat selain ikan (plastik, spons, gloves, dll.) ditempatkan dalam wadah fiber yang memiliki tutup. Limbah padat dan kering ditempatkan pada wadah yang berbeda. Setiap hari, petugas sanitasi mengumpulkan limbah-limbah padat dengan trash bag kemudian limbah tersebut akan diangkut oleh petugas kebersihan Muara Baru (Alur pembuangan limbah padat dapat dilihat pada Lampiran 14).
94 44
6) Pengawasan binatang pengerat (pest kontrol) Prosedur pengendalian binatang pengganggu dilakukan dengan memasang perangkap di sekitar bangunan unit pengolahan dan lampu insectkill di setiap pintu masuk menuju ruang produksi. Selain itu, perusahaan juga melakukan fogging setiap bulan. Berdasarkan wawancara diketahui bahwa perusahaan mengontrak suatu instansi untuk penanganan binatang pengganggu. Instansi tersebut membuat peta penyebaran
pemasangan
perangkap
untuk
memudahkan
pengontrolan.
Pengontrolan dilakukan dua kali seminggu pada sore hari setelah proses produksi selesai. Fogging merupakan prosedur disinfeksi ruangan menggunakan bahan kimia yang didispersikan. Berdasarkan wawancara dengan supervisor sanitasi unit pengolahan, fogging dilakukan setiap satu bulan sekali. Prosedur ini dilakukan pada saat tidak ada proses produksi dan biasanya dilakukan pada sore hari. Fogging efektif untuk menurunkan populasi mikroba di udara hingga 2-3 log dalam 30-60 menit. Alat fogging yang paling efektif adalah kompresor udara yang dapat menghasilkan partikel berukuran 10-20 mikron. Untuk disinfeksi permukaan, fogging hanya efektif jika bahan kimia dapat mengendap di permukaan alat (Holah 2003). 4.2.3 Prosedur pengendalian Prosedur pengendalian adalah upaya untuk menjamin bahwa proses produksi yang berlangsung senantiasa berada pada kondisi yang terkontrol. Pengendalian proses adalah upaya menjamin bahwa proses sesuai dengan standar yang diadopsi agar menghasilkan produk yang sesuai permintaan. Pada penerapan sistem manajemen keamanan pangan, prosedur pengendalian diarahkan kepada prinsip keamanan, penekanan risiko dan dampak yang merugikan (Wallace et al. 2011). (1) Kontrol terhadap bahaya Pelaku industri pangan harus menerapkan suatu sistem kontrol terhadap bahaya keamanan pangan (dalam hal ini HACCP). Kontrol terhadap bahaya diterapkan dengan melakukan identifikasi bahaya pada seluruh alur proses sehingga perusahaan dapat merancang sistem higiene yang tepat untuk mencegah timbulnya risiko bahaya tersebut (CAC 2003).
95 45
Upaya PT X dalam menerapkan HACCP sebagai sistem kontrol terhadap bahaya, dimulai dengan melakukan identifikasi bahaya pada setiap alur proses produksi tuna loin beku oleh Tim HACCP perusahaan. Berdasarkan identifikasi tersebut, PT X menetapkan penerimaan bahan baku dan proses packing sebagai tahapan yang memiliki bahaya potensial. Bahaya potensial pada penerimaan bahan baku adalah dekomposisi dan kadar histamin bahan baku yang timbul karena penyalahgunaan waktu. Upaya pencegahan yang dilakukan adalah pemeriksaaan suhu dan kesegaran ikan/ uji organoleptik saat kedatangan ikan; dan menolak bahan baku jika ditemukan dekomposisi. Berdasarkan penelitian Kanoko (2000) pada tahap penerimaan bahan baku di Hawaiian fishery, dari 583 ekor ikan pelagis (scombroid) yang disortasi berdasarkan bau (odor), 464 (79.58%) ekor ikan diterima. Setelah dianalisis, dari 464 yang diterima tersebut hanya 14 ekor (11%) yang kadar histaminnya melebihi 5 mg/100 gram (standar Amerika). Dari hasil tersebut dinyatakan bahwa analisis sensori efektif diterapkan pada tahap sortasi bahan baku untuk mencegah risiko histamin. Oleh karena itu, pada tahap penerimaan bahan baku sebaiknya perusahaan menempatkan karyawan yang terlatih melakukan uji sensori dan QC (Quality control) harus lebih teliti dan memperketat pengawasan. Pengemasan memiliki potensi bahaya mikrobiologi (TPC) akibat kebocoran kemasan dan peningkatan histamin akibat penyimpangan suhu dan waktu. Upaya pencegahan kedua bahaya potensial tersebut adalah dengan pemeriksaan setiap 30 menit. Berdasarkan penilaian kesesuaian dengan acuan (CAC 2003), ketidaksesuaian pada tahap ini yaitu tidak semua tahapan proses dicantumkan dalam identifikasi bahaya. Tahapan tersebut adalah pemberian gas CO dan penyimpanan pada suhu 0-1oC (chilling) selama 48 jam setelah pemberian gas CO. Sebaiknya perusahaan memperbaiki
prosedur
lamanya
proses
penyimpanan
tersebut
dengan
penyimpanan yang lebih singkat. Upaya ini dapat dilakukan untuk memperkecil peluang terbentuknya enzim histidine dekarboksilase oleh bakteri psikrotrofik.
96 46
(2) Aspek kunci dalam pengendalian sistem higiene CAC (2003) section V menyatakan bahwa aspek kunci sistem pengendalian higiene sangat penting untuk dilakukan. Pengendalian tersebut dilakukan dengan beberapa upaya yaitu memastikan bahwa suhu produk selalu dipertahankan dalam suhu dingin, pengendalian terhadap cemaran baik secara mikrobilogi, kimia maupun fisika, dan pencegahan kontaminasi silang baik yang berasal dari pekerja maupun peralatan. 1) Waktu dan suhu Pengendalian suhu ikan selama proses produksi tuna loin beku dilakukan dengan pemberian es curai. Berdasarkan pengamatan, karyawan pada beberapa tahap proses kurang cepat menangani ikan.
Kecepatan waktu proses pada
beberapa tahap penting produksi tuna loin perlu dianalisis. Hal ini mengingat penyimpangan waktu proses dapat menurunkan suhu ikan, terutama apabila pada proses tersebut ikan tidak kontak langsung dengan es. 2) Tahapan proses spesifik Tahapan proses spesifik merupakan tahapan khusus atau perlakuan khusus pada produk yang berkontribusi pada higiene pangan. Tahapan tersebut diantaranya pendinginan (chilling), proses termal, iradiasi, pengeringan, penambahan bahan kimia dan pengemasan vakum atau modified atmosphere packaging (CAC 2003). Tahapan proses spesifik yang ada pada PT X adalah pendinginan (chilling) dan pengemasan vakum. Proses chilling dilakukan setelah proses smooking dengan CO selama 48 jam (2 hari) agar warna merah pada daging terbentuk dengan baik dan merata. Suhu pada proses ini adalah 0-1oC. Kenaikan suhu ruang chilling dapat terjadi apabila aktivitas buka tutup pintu ruangan ini relatif sering dilakukan. Menurut Emborg dan Dalgaard (2008), pada proses penyimpanan suhu chilling
pembentukan
histamin oleh bakteri psikrotrofik dapat terus berlangsung meskipun kecil. Fluktuasi suhu dapat terjadi akibat buka tutup ruang chilling terutama pada saat bahan baku yang diterima dalam jumlah banyak. Oleh karena itu, monitoring terhadap suhu ruang chilling perlu ditingkatkan. Proses pemvakuman bertujuan untuk menghampakan udara sehingga menghambat pertumbuhan bakteri aerobik. Pengecekan dilakukan untuk
97 47
memastikan bahwa semua loin tervakum dengan baik (tidak ada celah udara). Ketidaksesuaian pada tahap ini adalah tidak adanya kegiatan perekaman atau monitoring. 3) Pencegahan kontaminasi silang Kontaminasi pada produk, khususnya bakteri sangat berpengaruh pada peningkatan histamin pada tuna loin. Kontaminasi silang dicegah dengan menerapkan cara produksi makanan yang baik (CPMB) dan prosedur sanitasi. (3) Persyaratan bahan baku Bahan baku yang digunakan PT X adalah bahan baku dengan grade B. Hasil pengujian kadar histamin (Lampiran 15) dan TPC (Lampiran 16) oleh laboratorium internal menunjukkan bahan baku yang masuk dalam rantai proses merupakan bahan baku dengan kualitas baik. Data mengenai bahan baku dicatat dalam form Daily record of raw material receiving (Lampiran 17). PT X melakukan sortasi bahan baku dengan pengukuran suhu dan analisis sensori. Penolakan dilakukan jika suhu pusat ikan melebihi 4.4 oC dan ditemukan dekomposisi. Selain itu, analisis histamin dan mikrobiologi dilakukan pada setiap batch bahan baku yang diterima. Dengan kata lain, hasil analisis sensori dan pengukuran suhu tidak dijadikan sebagai dasar dilakukannya analisis histamin dan mikrobiologi. Menurut pihak PT X, apabila setelah analisis diketahui bahwa suatu batch bahan baku memiliki kadar histamin dan jumlah mikrobiologi yang tinggi (melampaui ambang batas), maka produk akhir dari batch tersebut tidak diekspor melainkan dialihkan ke pasar lokal. Penerimaan bahan baku merupakan titik kendali kritis (CCP) pada proses produksi tuna. Kadar biogenik amin khususnya histamin yang telah terbentuk pada bahan baku, akan berpengaruh pada kadar histamin produk akhir. Hal ini karena histamin tidak dapat didegradasi dengan proses pengolahan (Tsai 2006). Tindakan preventif yang paling efektif adalah penerapan praktek higiene yang baik selama penanganan pasca tangkap dan transportasi, khususnya dengan memelihara suhu ikan dibawah 4,4oC (FDA 2009). Kecepatan perkembangan histamine dipengaruhi oleh jenis bakteri yang banyak mengkontaminasi tuna. Jenis bakteri yang mendominasi ditentukan oleh iklim perairan lokasi penangkapan ikan. Berdasarkan informasi dari PT X, bahan baku yang diterima
98 48
berasal dari lokasi penangkapan 572-573 yaitu daerah Samudera Hindia dan Laut Jawa dimana perairan tersebut merupakan perairan dengan iklim tropis. Berdasarkan Emborg et al. (2008) bakteri yang lebih banyak mengkontaminasi ikan yang berasal dari perairan tropis adalah jenis bakteri mesofilik. Sehingga lebih tepat untuk menjaga suhu ikan dibawah 4,4oC (4) Pengemasan dan pelabelan Produk tuna loin beku menggunakan polyethylene sebagai kemasan primer (inner carton) dan karton tebal berlapis lilin sebagai kemasan sekunder (master carton/MC). Pemilihan bahan pengemas harus diperhatikan, karena bahan pengemas dapat menjadi sumber kontaminasi bagi produk (Lelieveld 2003). Metode pengemasan loin yang digunakan adalah pengemasan vakum. Wei et al. (1990) menyatakan bahwa pengemasan vakum tidak berfungsi dalam menghambat aktivitas enzim dalam pembentukan histamin. Jika perusahaan menginginkan kemasannnya memiliki fungsi untuk menghambat pembentukan histamin, disarankan untuk menggunakan Modified atmospher packaging (MAP) (Reddy et al. 1992). Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan Emborg et al. (2004) diketahui bahwa penggunanaan MAP dengan komposisi ~40% CO2/~60% O2 dan penyimpanan 2oC mampu mereduksi pertumbuhan bakteri penghasil histamin termasuk bakteri psikotrofik seperti M. morganii dan P. phosphoreum. Label pada kemasan primer tuna loin yang diproduksi PT X berisi jenis produk dan nutrition fact, sedangkan pada master carton terdiri dari jenis produk, berat bersih, nutrition fact tuna, kode produksi, informasi penyimpanan, nomor registrasi, size produk, logo, data tanggal produksi, dan bar code. Selain itu, pada master carton juga tertulis kalimat yang menunjukkan produk tersebut berasal dari Indonesia. Berdasarkan PP No.69/1999 tentang Pelabelan dan Periklanan Pangan, label pangan sekurang-kurangnya mencantumkan nama produk, daftar bahan yang digunakan, berat bersih atau isi bersih serta tanggal, bulan dan tahun kadaluarsa. Pemilihan bahan kemasan dan konten dalam pelabelan yang dilakukan oleh PT X telah sesuai dengan PP No.69/1999 tentang Pelabelan dan Periklanan Pangan dan peraturan dirjen P2HP (2007). Pencatatan dilakukan dalam Dailly Report of
99 49
Packing and Labelling (Lampiran 18). Kemasan dan Label yang digunakan pada PT X dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4 Kemasan dan label yang digunakan PT X. (5) Air Air dalam industri pangan digunakan sebagai bahan baku proses produksi dan untuk pembersihan (wang et al. 2003). Air sebagai bahan baku dan bahan pembantu dalam proses produksi dapat meningkatkan potensi kontaminasi. Oleh karena itu, semua air yang ditujukan untuk pengolahan pangan harus bebas dari bakteri patogen (Lelieveld 2003; Winarno & Surono 2004). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa air yang digunakan oleh PT X dalam proses produksinya adalah air dengan kualitas air minum dan dilakukan pengecekan kualitas air setiap satu minggu sekali. Hasil pengecekan air PT X dapat dilihat pada Lampiran 20. (6) Manajemen dan supervisi Kontrol sistem higiene sangat bergantung pada kemampuan manajerial pihak manajemen dan supervisi. Pihak tersebut merupakan perancang sistem higiene yang diterapkan oleh perusahaan. Untuk itu suatu perusahaan harus mempunyai pihak manajemen yang kompeten dibidang higiene (CAC 1997). Berdasarkan pengamatan, secara umum sistem higiene yang berjalan cukup teratur. Hal ini menggambarkan kompetensi pihak manajemen dan supervisi PT X dalam merancang dan mengawasi sistem higiene. Data yang dapat digunakan untuk memverifikasi hal ini adalah data penilaian pelaksana sistem (karyawan) terhadap pembuat sistem (manajemen puncak) dalam suatu perusahaan (Brown 1999).
100 50
(7) Dokumen dan rekaman Dokumen merupakan bagian penting yang tidak boleh dilupakan oleh perusahaan. Rekaman terhadap seluruh aspek dimulai dari penerimaan bahan baku hingga proses stuffing sangat diperlukan. Dokumen dari suatu perusahaan akan menggambarkan kredibilitas dan efektivitas sistem kontrol keamanan pangan yang dilakukan oleh perusahaan (CAC 1997). Sistem perekaman produksi tuna loin dilakukan secara berkelanjutan dan berurutan di setiap proses, mulai dari penerimaan bahan baku sampai dengan pengiriman produk akhir. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, pemberian gas CO (karbon monoksida) dan pemvakuman tuna loin tidak direkam oleh pihak PT X. Pemberian gas CO dilakukan dalam kemasan plastik dengan penanda batch di suatu ruangan khusus. Pada perlakuan ini, karyawan hanya melakukan pengaturan pada tekanan gas tanpa memperhatikan mutu daging dan memperhitungkan volume atau kuantitas gas. Akibatnya, sering ditemukan loin yang tidak memenuhi standar/kriteria warna daging yang ditetapkan sehingga harus dilakukan pemberian ulang gas CO. Kualitas organoleptik (warna daging) tuna yang terbentuk merupakan kunci keberhasilan pemberian gas CO. Tingginya potensi kegagalan akibat standard operational procedur (SOP) yang kurang lengkap serta waktu tunggu proses yang lama, menyebabkan kegiatan perekaman sangat dibutuhkan. Rekaman tersebut meliputi waktu proses, kode batch loin, suhu ruang, tekanan gas dan volume gas yang dipakai, jenis, ukuran dan kualitas loin. Pemvakuman dilakukan dengan mengelompokkan produk sejenis dan batch yang sama dalam mesin vakum. Waktu yang dibutuhkan untuk melakukan sekali proses sekitar 41.40 detik. Adakalanya hasil pemvakuman tidak sempurna, beberapa buah kemasan seringkali tidak tervakum dengan baik (masih ditemukan ruang udara bebas di dalam kemasan). Kegagalan dalam penvakuman dapat diakibatkan oleh kemampuan alat yang menurun dan penvakuman bersamaan pada jenis produk yang berbeda. Oleh karena itu dibutuhkan suatu kegiatan perekaman mengenai informasi tentang waktu proses, kode batch, suhu ruang, efisiensi alat, dan jenis produk yang akan divakum. Rekaman yang lengkap akan
101 51
memudahkan dalam melakukan penelusuran (traceback) apabila suatu saat dilakukan penarikan produk (withdrawl atau recall). (8) Prosedur penarikan Sistem mampu telusur (traceability) internal yang dilaksanakan oleh PT X terintegrasi dalam prinsip HACCP keenam yaitu record keeping. Prinsip dasar sistem traceability adalah kemampuan untuk mengidentifikasi produk sepanjang rantai pemasok (supply chain) atau produsen (Frederiksen dan Gram 2003). Secara teknis, traceability
adalah sistem perekaman (record keeping) yang
menunjukkan alur produk dari pemasok, produsen sampai ke konsumen akhir (Nimmo Bell and Company Ltd 2007). Salah satu kunci sukses dalam penerapan traceability adalah pemberian kode identifikasi (batch). Kode produk merupakan pembawa data atau informasi dari suatu produk sepanjang proses produksi. Ketika kode produk dibaca oleh database
maka
akan
ditemukan
sejumlah
informasi
tentang
proses
(Derrick dan Dillon 2004). Pengkodean di PT X dibagi menjadi dua, yaitu pengkodean tahap pembelian (purchasing) sampai tahap penimbangan akhir dan pengkodean tahap pengemasan sampai stuffing. Pengkodean pada tahap pembelian sampai penimbangan akhir menggunakan selembar kertas atau plastik pembungkus produk. Kode batch terdiri dari huruf dan angka. Digit pertama merupakan kode tempat perusahaan produksi, digit ke-2 sampai ke-4 merupakan nomor urut penerimaan bahan baku dimulai dari 001-999, digit ke-5 merupakan kode asal supplier bahan baku. Contoh kode batch tahap pembelian-penimbangan akhir dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Contoh kode batch tahap pembelian-penimbangan akhir. Pada tahap pengemasan-stuffing kode batch sebelumnya dari tahap pembelian-penimbangan diterjemahkan menjadi kode produksi. Kombinasi huruf dan angka sebanyak 5 digit diubah menjadi huruf seluruhnya. Digit ke-2, ke-3 dan
102 52
ke-4 yang semula angka diubah menjadi huruf dengan metode penyandian yang hanya diketahui oleh pihak perusahaan. Kode produksi dicetak pada kedua sisi master carton sebagai kode identifikasi proses tuna loin. Contoh kode produksi tahap pengemasan-stuffing dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Contoh kode produksi pengemasan- stuffing pada master carton. Kode yang diterapkan di PT X cukup singkat, mudah dibaca dan mempunyai ciri khusus. Akan tetapi, kode tersebut tidak menunjukkan jenis produk yang lebih spesifik. Satu kode yang sama dipakai untuk beberapa macam produk. Hal ini akan menyulitkan pihak tim traceability apabila suatu saat dilakukan proses recall product khususnya saat terkena masalah histamin. 4.2.4 Sanitasi Aspek utama yang dibahas dalam kegiatan sanitasi dimulai dari sanitasi alat, ruang produksi dan sanitasi pekerja. Peralatan pencucian harus dibersihkan secara teratur, sehingga tujuan pencucian betul-betul tercapai. Peralatan dan tempat pencucian yang kotor akan menjadi sumber kontaminasi dan dapat menimbulkan masalah dikemudian hari. Pembersihan peralatan di PT X dilakukan segera setelah proses produksi. Peralatan dibersihkan menggunakan sabun/deterjen (tidak diketahui jenisnya), lalu pembilasan menggunakan air panas. Pengecekan kembali kebersihan peralatan setelah pembersihan tidak dilakukan. Namun sebelum memulai kembali proses produksi, peralatan didisenfeksi dengan alkohol 70%. Ruang pengolahan dibersihkan setiap hari setelah proses produksi selesai. Dinding, langit-langit, lantai dibersihkan dengan deterjen dan dibilas dengan air. Kondisi ruang pengolahan bersih dan kondusif. Inspeksi terhadap kondisi sanitasi
103 53
harian perusahaan dicatat dalam Dailly Report of Sanitation Inspection (Lampiran 19). Berdasarkan pengamatan, program sanitasi berjalan dengan efektif dan terkontrol. 4.2.5 Personal Standar higiene personal merupakan tulang punggung dari semua pendekatan pada praktek berproduksi makanan yang baik dan benar (Hall 1999). Personal hygiene berkaitan dengan kebersihan badan dan kesehatan karyawan. Menurut CAC (2003) karyawan yang sakit dan kotor dapat mencemari produk dengan mudah, oleh karena itu fasilitas higiene personal harus tersedia untuk memastikan bahwa hygiene personal dapat terkontrol. Penerapan hygiene karyawan PT X dimulai sebelum karyawan masuk ruang produksi. Karyawan wajib mengenakan pakaian kerja, sepatu boot, sarung tangan, apron, penutup kepala, masker, dan mencuci kaki dalam bak cuci kaki yang mengandung klorin 200 ppm. Karyawan tidak diperkenankan memakai perhiasan di tangan termasuk jam tangan. Karyawan dengan kuku yang panjang juga tidak diperkenankan masuk sebelum memotong kukunya. Karyawan yang sakit, khususnya infeksi saluran pernafasan, sakit mata, sakit kulit yang berat dan mudah menular tidak diperkenankan masuk ke ruang proses. Berdasarkan pengamatan, kebiasaan kurang baik ketika bekerja seperti membetulkan topi, masker, dan memegang bagian tubuh yang lain yang tidak mendukung hygiene pekerja sering terjadi. Selain itu, kebiasaan karyawan seperti menggaruk kulit, menggosok hidung, menyentuh atau meraba pakaian secara tidak disadari masih sering dilakukan. Hal ini merupakan sesuatu yang berbahaya bagi produk karena memiliki andil besar dalam perpindahan kontaminan dari pekerja ke produk. Kebiasaan bercakap-cakap selama bekerja, bersin, dan batuk juga merupakan sumber kontaminasi yang dapat dihindari dengan pemakaian masker.
104 54
4.3
Kajian Keterkaitan Sistem Pelaksanaan Program Higiene dengan Mutu Produk Tuna Loin Beku
4.3.1 Mutu produk tuna loin beku Mutu produk akhir sangat dipengaruhi oleh sejauh mana spesifikasi bahan baku dan spesifikasi proses telah terpenuhi. Mutu produk akhir yang ingin dicapai berpedoman pada spesifikasi yang telah ditetapkan pada peraturan-peraturan dan standar yang dikeluarkan oleh pemerintah dan upaya memenuhi keinginan konsumen (Wallace et al. 2011). Mutu produk tuna loin beku dipengaruhi oleh mutu bahan baku dan sistem higiene yang diterapkan selama proses produksi berlangsung. Kriteria mutu tersebut diantaranya adalah total mikroorganisme dan histamin pada produk. (1) Mikrobiologi Rataan jumlah bakteri pada tahap penerimaan bahan baku, tahap pembentukan loin dan produk akhir adalah 1,4 x 104 Koloni/g, 2,4 x 104 Koloni/g dan 7,2 x 104 Koloni/g. Kenaikan jumlah bakteri selama proses pengolahan dapat dilihat pada Gambar 7. Jumlah bakteri masih dibawah Angka Lempeng Total (ALT) yang dipersyaratkan SNI 01-4104-2006 dengan persyaratan 5 x 105 Koloni/g. Berdasarkan data yang diperoleh, maka produk tuna loin yang diproduksi oleh PT X masih memenuhi persyaratan. Meningkatnya jumlah bakteri pada tahapan proses pengolahan menunjukkan adanya proses penyimpangan dalam penerapan higiene. Keberadaan bakteri penghasil enzim histidine dekarboksilase pada ikan merupakan penyebab terjadinya peningkatan kadar histamin pada ikan. Jenis bakeri yang mampu memproduksi histamin dari histidin dalam jumlah tinggi yaitu Proteus morganii (big eye, skipjack), Enterobacter aerogenes (skipjack), Clostridium perferingens (skipjack) (Keer et al. 2002).
Log TPC (Koloni/g)
105 55
5 4.8 4.6 4.4 4.2 4 3.8 3.6
4.85 4.38
4.14
1
2
Tahapan proses
3
1= bahan baku 2= loin setelah penyimpanan suhu chilling 3= produk akhir
Gambar 7 TPC pada ikan tuna selama proses produksi. Hasil analisis jumlah bakteri penghasil histamin dengan menggunakan Niven’s agar menunjukkan nilai yang semakin meningkat (Gambar 8). Rataan jumlah bakteri penghasil histamin pada tahap penerimaan bahan baku, tahap pembentukan loin, dan produk akhir adalah 4.8 x 103 koloni/g, 5.1 x 103 koloni/g dan 3.1 x 104 koloni/g.
Log TPC (Koloni/g)
5 4 3
4.49 3.68
3.7
1
2
2 1 0 1= bahan baku 2= loin setelah penyimpanan suhu chilling 3= produk akhir
3
Tahapan Proses
Gambar 8 Jumlah bakteri penghasil histamin pada tuna loin selama proses produksi. Jumlah bakteri penghasil histamin bukan merupakan syarat untuk menentukan mutu produk. Bakteri penghasil histamin dianalisis untuk melihat adanya risiko kenaikan kadar histamin pada produk. Bakteri penghasil histamin akan dapat menimbulkan keracunan atau bahkan kematian apabila telah menghasilkan enzim histidin dekarboksilase. Jumlah bakteri pembentuk histamin dalam sampel ikan tuna selanjutnya dibandingkan dengan nilai TPC untuk mengetahui besarnya potensi pembentukan histamin akibat aktivitas bakteri penghasil enzim histidin
106 56
dekarboksilase. Histogram perbandingan nilai rataan log jumlah bakteri
Log Bakteri (Koloni/g)
pembentuk histamin dan nilai rataan log TPC dapat dilihat pada Gambar 9. 6 5 4 3
4.14
4.85
4.38
4.49
3.7
3.68
2 1 0 RW
IP
Tahapan Proses
EP
RW = bahan baku IP = loin setelah penyimpanan suhu chilling EP = produk akhir
= TPC = BPH
Gambar 9 Jumlah bakteri total dan bakteri penghasil histamin. Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui bahwa jumlah bakteri pembentuk histamin pada proses pengolahan tuna loin beku lebih rendah jika dibandingkan dengan nilai TPC, yaitu rataan masing-masing pada bahan baku 88,9%, pada produk dalam proses 84,5% dan pada produk akhir 92,5%. Hal ini disebabkan tidak semua jenis bakteri yang terdapat pada daging ikan mampu menghasilkan enzim histidin dekarboksilase yang dapat mengubah asam amino histidin menjadi histamin. Penggunaan suhu rendah (<10 oC) selama penyimpanan dan penanganan merupakan cara yang efektif untuk mengontrol pertumbuhan bakteri pembentuk histamin. Pada suhu 0oC sampai 10oC bakteri histamin jenis psikofilik masih dapat tumbuh namun kadar histamin yang terbentuk sedikit (Taylor et al. 1991 diacu dalam Lehane dan Olley 2000). Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Enzim yang terdapat pada ikan sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan walaupun sel bakteri telah rusak selama penyimpanan beku (Keer et al. 2002). Histamin yang telah terbentuk
tidak
dapat
didegradasi
walaupun
dengan
pembekuan
(Ababouch dan Gram 2004). Penanganan yang baik pada saat pengolahan akan menghambat pertumbuhan bakteri penghasil histamin pada produk. Penanganan yang berlangsung pada PT X
107 57
berlangsung dengan alur yang baik namun waktu penanganan belum cukup cepat. Tahapan proses yang dapat menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah bakteri penghasil histamin diantaranya adalah tahap penerimaan bahan baku, apabila ikan tidak ditangani secara baik (Tsai 2006). Selain penanganan yang baik dan penggunaan suhu rendah, hal lain yang perlu diperhatikan untuk mencegah kontaminasi bakteri adalah dengan melakukan kegiatan penyekaan (swabbing) pada peralatan. Penyekaan dilakukan dengan menggunakan spon yang diberi desinfektan (alkohol 70%) pada permukaan peralatan yang kontak dengan ikan seperti meja, pisau, nampan, dan talenan. Untuk memonitoring bahwa kegiatan ini berjalan efektif dalam mencegah kontaminasi silang adalah dengan melakukan uji swabbing. FDA (2011) menyatakan bahwa uji swabbing merupakan suatu uji untuk memvalidasi efektivitas kegiatan sanitasi pada peralatan produksi. Pengujian dilakukan dengan menyeka permukaan peralatan dengan kapas steril kemudian melakukan perhitungan jumlah bakteri. Prosedur pengujian tersebut secara lengkap tertuang dalam FDA:Validation of cleaning procedure. Pengujian ini sebaiknya dilakukan secara kontinyu oleh laboratorium internal perusahaan minimal satu minggu sekali. Penyekaan peralatan dengan alkohol 70% telah dilakukan di PT X, namun kegiatan validasi dengan pengujian swabbing belum dilakukan secara rutin. (2) Histamin Analisis histamin dilakukan dengan 3 tahap yaitu tahap ekstraksi, tahap clean up dan tahap pembentukan berdasarkan SNI 2354.10:2009. Hasil analisis kadar histamin menunjukkan bahwa rataan nilai kadar histamin mengalami peningkatan selama proses pengolahan. Berdasarkan data yang diperoleh rataan kadar histamin pada tahap penerimaan bahan baku adalah sebesar 1,17 ppm, tahap pembentukan loin 3,67 ppm, dan produk akhir setelah pembekuan 10,26 ppm. Peningkatan kadar histamin pada proses pengolahan tuna loin di PT X dapat dilihat pada Gambar 10. Berdasarkan data kadar histamin yang diperoleh, menunjukkan bahwa produk tuna loin yang diproduksi oleh PT X masih layak untuk dikonsumsi. Batas histamin menurut SNI-01-4104-2006 adalah 10 ppm. Peningkatan kadar histamin pada proses pengolahan tuna loin pada PT X dapat disebabkan oleh ketidaksesuaian atau penyimpangan dalam pelaksanaan program
108 58
higiene. Penyimpangan tersebut diantaranya yaitu penanganan yang kurang baik dan peningkatan suhu proses karena waktu proses yang tidak sesuai pada beberapa tahapan proses. Peningkatan kadar histamin pada produk saat pembentukan loin (IP) dan produk akhir (EP) cukup tinggi, hal ini dapat terjadi karena penyimpangan waktu pemberian gas CO dan penyimpanan dalam suhu chilling selama 48 jam setelah diberi perlakuan pemberian gas CO. Penyimpanan dalam suhu chilling masih memungkinkan bakteri psikotrofik penghasil histamin masih dapat tumbuh dan menghasilkan histamin walaupun dalam jumlah yang kecil
Histamin (ppm)
(Lehane dan Olley 2000). 12 10 8 6 4 2 0
10.26
3.67 1.168 1
1= bahan baku 2= loin setelah penyimpanan suhu chilling 3= produk akhir
2
3 Tahapan proses
Gambar 10 Kadar histamin produk tuna loin selama pengolahan. Kenaikan kadar histamin yang tinggi sebanding dengan jumlah peningkatan jumlah bakteri, khususnya bakteri penghasil. Kenaikan tersebut disebabkan oleh jumlah bakteri awal yang tinggi dan kontaminasi selama penanganan dan pengolahan. Secara alami di dalam tubuh ikan memang mengandung bakteri, Bagian tersebut yaitu bagian perut dan insang. Oleh karena itu, kenaikan jumlah histamin akibat aktivitas bakteri pada bagian tubuh ikan dapat berbeda-beda. Berdasarkan Frank et al. (1981) (Gambar 11) bagian daging tuna yang paling banyak berpotensi menghasilkan HFP (Histamin Fish Poisoning) adalah daging pada bagian dekat perut dan insang. Perut dan insang merupakan bagian yang paling banyak mengandung bakteri. Oleh karena itu daging pada dekat bagian tersebut berpotensi tinggi menghasilkan histamin lebih cepat dibandingkan bagian lainnya (Hui dan Taylor 1983).
109 59
Gambar 11 Variasi risiko histamin berdasarkan bagian tubuh yang dijadikan sampel pada tuna (Frank et al. 1981) 4.3.2 Ketidaksesuaian pelaksanaan program higiene yang berpotensi meningkatkan pembentukan histamin Berdasarkan hasil penilaian kesesuaian (Lampiran 6), temuan ketidaksesuaian pelaksanaan program higiene yang berpotensi menyebabkan kenaikan jumlah histamin pada produk tuna loin beku adalah: mutu dan suhu bahan baku; penyimpangan waktu proses (tahap penerimaan bahan baku, pemberian gas CO, pemvakuman, pengepakkan, dan penyimpanan beku) dan aspek personal (pihak manajemen dan karyawan). Dilakukan analisis lebih lanjut terhadap aspek-aspek tersebut sebagai data verifikasi. (1) Mutu dan suhu bahan baku
Histamin dapat terakumulasi di dalam daging ikan karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum dan sesudah pembekuan. Enzim histidin dekarboksilase yang terbentuk sebelum pembekuan pada ikan dapat meneruskan pembentukan histamin di dalam daging ikan tanpa memperhatikan sel bakteri yang injury selama penyimpangan beku (Baranowski et al, 1990). Enzim lebih stabil dibandingkan bakteri pada suhu beku (FDA 1998). Oleh karena itu, mutu bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tuna loin beku harus memiliki kualitas organoleptik, suhu, serta kandungan mikroorganisme dan histamin yang rendah. Pada saat penerimaan dilakukan pengecekan suhu dan organoleptik oleh QC. Ikan tuna yang mutunya kurang baik dengan bau dan tekstur yang lembek akan diuji kandungan histaminnya. Dilakukan analisis statistik terhadap data histamin (Lampiran 21) dan suhu bahan baku (Lampiran 22) yang diperoleh dari perusahaan.
110 60
Berdasarkan Gambar 12 dapat dilihat bahwa, suhu bahan baku yang diterima berada dibawah 2oC. Kondisi ini sangat baik mengingat standar penerimaan bahan
Suhu(oC)
baku PT X adalah ≤ 3oC. 4.00 3.50 3.00 2.50 2.00 1.50 1.00 0.50 0.00 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Xbar Maks Min UCL
Days
Gambar 12 Fluktuasi suhu ikan tuna bahan baku loin. Pengukuran
kadar
histamin
oleh
laboratorium
internal
perusahaan
menggunakan Veratox histamine assay kit. Menurut produsen kit ini Neogen Corporation (2007), kit ini mengacu pada metode pengukuran histamin enzymelinked immunosorbent assay (ELISA) dan metode fluormetrik AOAC 977.13. Berdasarkan penelitian oleh produsen, kit ini memiliki korelasi 99,3% jika dibandingkan dengan metode fluorometrik AOAC 977.13 (Neogen Corporation 2007). Data histamin hasil pengukuran perusahaan internal yang dianalisis selama bulan januari-september 2010 dapat dilihat pada Gambar 13.
Histamin (ppm)
10.00
5.00
0.00 1
6 Jan Jun
11 Feb Jul
16 Mar Ags
21 Apr Sep
Days
26 May UCL
Gambar 13 Fluktuasi kadar histamin ikan tuna bahan baku loin. Berdasarkan Gambar 13 dapat dilihat bahwa, histamin bahan baku yang diterima berada dibawah batas kendali atas. Kondisi ini menandakan bahwa mutu
111 61
bahan baku baik. Rataan kadar histamine bahan baku adalah 1,51 ppm dengan standar deviasi 0,53. Hasil tersebut juga tidak berbeda jauh dengan hasil pengukuran histamin bahan baku yang dilakukan di BPMPHPK DKI Jakarta (Gambar 10) yaitu 1,17 ppm. Kenaikan kadar histamin yang mencapai 10,26 ppm pada produk akhir (Gambar 10) diduga disebabkan karena penyimpangan suhu dan waktu selama proses penanganan dan pengolahan. Dikatakan demikian karena berdasarkan hasil pengujian dan data dari perusahaan, kadar histamin bahan baku rendah. Menurut Baranowski et al. (1990), histamin dapat terakumulasi karena adanya kesalahan penanganan bahan baku sebelum pembekuan. Hal ini karena enzim histidin dekarboksilase yang telah terbentuk sebelum pembekuan dapat meneruskan pembentukan histamine di dalam daging tanpa memperhatikan sel bakteri yang injury selama penyimpanan beku. (2) Penyimpangan waktu dan suhu pada beberapa alur proses produksi Kinerja
proses
pada
tahapan
produksi
dapat
dilakukan
dengan
membandingkan kondisi pada saat sekarang dengan target yang ditetapkan. Pengukuran tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik Statistical Process Control (SPC), peta kendali (control chart) beserta analisis kapabilitas proses (Gasperz 2001). Dalam Statistical Process Control (SPC) analisis yang dapat dilakukan adalah analisis time cycle. Keseimbangan lintasan (line balancing) berhubungan erat dengan proses produksi di suatu industri atau perusahaan. Dalam suatu perusahaan, tiap unit proses atau stasiun kerja membutuhkan waktu untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, yang disebut cycle time atau waktu proses. Untuk dapat memenuhi permintaan konsumen akan produk sesuai dengan waktu yang dijadwalkan, perusahaan dituntut untuk meningkatkan efisiensi kerja pada tiap unit proses, diantaranya dengan melakukan produksi dengan cycle time yang sama dengan atau mendekati rataan kecepatan lintasan. Kecepatan lintasan dihitung dengan cara membagi total waktu proses pada satu unit dengan total produksi dalam satu kurun waktu yang telah ditentukan. Apabila cycle time pada suatu unit proses lebih besar (lebih lambat) daripada kecepatan lintasan maka akan terjadi waktu tunggu bagi unit proses yang lain atau idle time. Sebaliknya apabila cycle time
112 62
pada suatu unit proses lebih kecil (lebih cepat) daripada kecepatan lintasan maka akan menyebabkan produk menumpuk atau bottleneck (Gaspersz 2007). Sejumlah pekerjaan di PT X telah dibagi dalam unit-unit proses atau stasiun kerja. Berdasarkan hasil perhitungan (Lampiran 22) kecepatan lintasan proses produksi tuna loin di PT X agar dapat memenuhi target ekspor sebesar 10-30 ton tiap bulan adalah 2,52-7,56 detik. Dengan kata lain perusahaan mengharapkan tiap unit proses mempunyai cycle time maksimum sebesar 7,56 detik dan cycle time minimum sebesar 2,52 detik. Perhitungan dan analisis cycle time dilakukan hanya pada unit proses yang berperan penting dalam kelancaran alur proses, apabila mengalami kegagalan atau kurang sempurna dalam unit proses tersebut maka dapat mengakibatkan terjadinya kerja ulang atau reworking pada unit proses selanjutnya. Disamping itu unit proses dengan selang waktu besar atau mempunyai waktu tunggu (idle time) tinggi dan tidak sesuai perlu dihitungan dan dianalisis. Berdasarkan analisis kesesuaian pelaksanaan program higiene (Lampiran 6), unit proses tersebut meliputi: 1. Penerimaan bahan baku, 2. Pemberian gas CO, 3. Pemvakuman, dan 4. Pengepakan. Hasil perhitungan statistik terhadap beberapa proses tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Analisis statistika kendali proses pada beberapa alur proses yang mengandung ketidaksesuaian dalam pelaksanaan program higiene. No.
1
Keterangan PBB 7,56
PCO 12
Nilai PVK 40,4
2,52
10
39
2,52
-29
5,04
11
39,7
5,04
-24,5
PPK 7,56
PBK -20
3
Upper Spesification Limit (USL) Lower Spesification Limit (LSL) Target
4
Rataan proses
6,40
11.45
39,83
8,85
-22,80
5
Standar deviasi proses
1,52
0,99
0,51
2,44
1,74
6
1,12
0,49
0,49
2,02
0.75
7
Standar deviasi maksimum (Smaks) DPMO
225000
300000
50000
600000
0
8
Kapabilitas proses (Cpm)
0,5
0,5
0,93
0,2
2
9
Sigma
2,25
2,03
3,14
2,02
6
2
Keterangan: PBB: Penerimaan bahan baku, PCO: Pemberian gas CO, PVK: Pemvakuman, PPK: Pengepakan, PBK: Pembekuan
113 63
Penerimaan bahan baku merupakan tahap awal pada proses produksi tuna loin beku. Pada tahap ini, aktivitas yang dilakukan adalah pembongkaran dari mobil pengangkut, pengukuran suhu ikan dan analisis sensori, dan pencucian 1. Salah satu prinsip penting yang harus dipenuhi dalam pengolahan atau proses produksi tuna loin dan hasil perikanan lainnya adalah cepat (quick), disamping aman dan bersih. Selama proses pengolahan, waktu proses merupakan salah satu faktor yang dapat mempertahankan kesegaran bahan baku. Apabila proses pengolahan tidak segera dilakukan dan waktu yang lama maka akan terjadi kenaikan suhu ikan dengan signifikan yang selanjutnya dapat memacu pertumbuhan bakteri atau terbentuknya histamin pada loin. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa data cycle time penerimaan bahan baku selama bulan Agustus-september memiliki nilai rataan 6,4 detik, nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) sebesar 7,56 detik sedangkan nilai batas spesifikasi bawah sebesar (lower specification limit-LSL) 2,52 detik. Nilai DPMO sebesar 225000 yang berarti setiap satu juta kesempatan produksi terdapat 225000 kali peluang kegagalan memenuhi spesifikasi cycle time. Nilai DPMO yang tinggi disebabkan oleh sempitnya range spesifikasi yang ditentukan oleh perusahaan, selain itu juga standar kerja yang kurang tepat dalam proses penerimaan bahan baku. Pemberian gas CO pada proses produksi dilakukan untuk memberikan wana yang merah pada loin. Ketidaksesuaian pelaksaan program higiene pada tahap ini adalah tidak ada perekaman dari staf quality control (QC) maupun dari staf lainnya selama proses berlangsung. Pemberian gas CO dilakukan pada daging dalam kemasan plastik dengan penanda batch di suatu ruang khusus yang terpisah dengan ruang lainnya. Pada tahap ini pengaturan CO hanya diterapkan pada tekanan gas saja tanpa memperhitungkan volume atau kuantitasnya maupun waktu pemberian gas CO. Hal ini akan menyebabkan kemungkinan kegagalan proses sangat besar. Standar waktu pemberian gas CO berdasarkan Cardinal et al. (2006) adalah 12 menit. Waktu pemberian gas CO yang tidak diatur dapat menyebabkan proses terlalu lama sehingga idle time menuju proses selanjutnya menjadi panjang. Sebaliknya, apabila proses terlalu singkat, pemberian gas CO dimungkinkan tidak
114
64
sempurna sehingga warna yang terbentuk tidak memenuhi standar. Kedua kemungkinan ini, akan mempertinggi risiko kenaikan histamin. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa rataan data cycle time pemberian gas CO adalah 11,45 menit. Nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) sebesar 12 menit. Nilai DPMO sebesar 300000 yang berarti setiap satu juta kesempatan produksi terdapat 300000 kali peluang kegagalan memenuhi spesifikasi cycle time. Nilai DPMO yang tinggi disebabkan oleh standar kerja yang kurang tepat dalam proses pemberian gas CO. Proses pemvakuman adalah proses yang dilakukan untuk membuat suasana hampa udara pada produk. Ketidaksesuaian pelaksaan program higiene pada tahap pemvakuman tuna loin adalah tidak ada perekaman dari staf quality control (QC) maupun dari staf lainnya. Berdasarkan pengamatan pada
setting alat
pemvakuman, lamanya proses pemvakuman adalah 40,4 detik yang terdiri dari 37 detik pemvakuman plastik dan 3,4 detik sealing. Pada tahap ini terjadi fluktuasi waktu proses. Hal ini akan menyebabkan kemungkinan kegagalan proses sangat besar. Kegagalan tersebut diantaranya proses yang terlalu lama akan menyebabkan plastik pembungkus loin sobek sedangkan waktu yang terlalu singkat akan menyebabkan kemasan tidak tervakum secara sempurna. Kedua kemungkinan ini akan mempertinggi resiko peningkatan kadar histamin apabila tidak dilakukan upaya perbaikan. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa rata-rata data cycle time proses pemvakuman adalah 39,83 detik. Nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) sebesar 40,4 detik. Nilai DPMO sebesar 50000 yang berarti setiap satu juta kesempatan produksi terdapat 50000 kali peluang kegagalan memenuhi spesifikasi cycle time. Pengepakan merupakan salah satu titik kritis pada proses produksi tuna loin beku. Penyimpangan waktu dalam proses ini dapat mengakibatkan terjadinya dekontaminasi. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa data cycle time pengepakan selama bulan Agustus-september memiliki nilai rataan 8,85 detik. nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) 7,56 detik sedangkan nilai batas spesifikasi bawah (lower specification limit-LSL) 2,52 detik. Nilai DPMO sebesar 600000 yang berarti setiap satu juta kesempatan produksi terdapat 600000 kali peluang kegagalan memenuhi spesifikasi cycle time. Nilai DPMO
115 65
yang tinggi disebabkan oleh sempitnya range spesifikasi yang ditentukan oleh perusahaan, selain itu juga standar kerja yang kurang tepat dalam proses pengepakan. Penyimpanan beku adalah tahap akhir proses produksi seblum dilakukan proses stuffing. Berdasarkan Tabel 4 dapat diketahui bahwa data cycle temperature penyimpanan beku selama bulan Agustus-september memiliki nilai rataan -22,80oC. Nilai batas spesifikasi atas (upper specification limit-USL) sebesar -20oC sedangkan nilai batas spesifikasi bawah (lower specification limitLSL) -29oC. Pada proses penyimpanan beku nilai DPMO PT X sebesar 0. Hal ini berarti setiap satu juta kesempatan produksi tidak terdapat kegagalan memenuhi spesifikasi batas atas (suhu minimum) penyimpanan beku yaitu -20oC. Kondisi ini sangat baik mengingat tempat penyimpanan beku (cold storage) adalah tempat penyimpanan bagi produk akhir loin dalam waktu tertentu sampai saat proses stuffing. Kondisi cold storage khususnya fluktuasi suhu dapat mempengaruhi kualitas ikan tuna. Menurut Undeland (2001), suhu cold storage yang sering berfluktuasi dapat menjadi salah satu faktor utama turunnya mutu dari ikan. Jika fluktuasi suhu terjadi dibawah -20oC maka kecepatan pembusukkan ikan sangat kecil. Fluktuasi cold storage dapat menyebabkan dekomposisi produk dan mutu produk yang dihasilkan akan turun. Kim et al. (2002) menyatakan, TMAO dapat dipecah menjadi DMA dan FA pada saat penyimpanan beku oleh enzim dalam daging ikan, tetapi enzim tersebut dapat dihambat pada suhu kurang dari -29oC. Menurut Taylor dan Speckhard (1983), bakteri pembentuk histamin masih ditemukan pada 3 dari 10 ikan tuna yang disimpan pada suhu -15 oC. Maka kondisi suhu cold storage sangat penting untuk dijaga ≤-200C agar bakteri pembentuk histamin tidak dapat tumbuh dengan cepat. Kebersihan cold storage sebaiknya juga diperhatikan agar tidak terjadi dekontaminasi mikroba pada produk tuna loin beku. Ketidaksesuain pada tahap penyimpanan beku pada PT X adalah tidak diterapkannya sistem FIFO. Hal ini akan sangat besar pengaruhnya terhadap kandungan histamin produk tuna loin beku. Ben-Gigirey et al. (1999) menyatakan bahwa bakteri jenis S.maltophilia yang diisolasi dari tuna albacore selama penyimpanan pada suhu -25oC dalam waktu 6 bulan, kadar histaminnya
116 66
meningkat dengan pesat sebesar 5 ppm. Bakteri jenis ini merupakan produsen kadaverin yang kuat, sehingga pada saat produk mengalami thawing efek sinergis kadaverin dan histamin dapat menimbulkan keracunan histamin. Sedangkan menurut Lakmisha et al. (2008) ikan yang disimpan selama 2 bulan pada suhu 18oC kandungan histaminnya dapat mencapai 20,8 ppm. Maka sebaiknya perusahaan menggunakan sistem FIFO agar risiko peningkatan kadar histamin pada produk akhir dapat dihindari. Hasil analisis kapabilitas proses penerimaan bahan baku, pemberian gas CO, pemvakuman dan pengepakan rendah (<1) yaitu 0,5; 0,5; 0,93 dan 0.2 dengan nilai sigma 2,25; 2,03; 3,14 dan 2,02. Hal ini menandakan bahwa pada tahapantahapan tersebut PT X belum mampu memenuhi spesifikasi target pada tingkat kegagalan 0. Menurut Gaspersz (1998) kapabilitas proses merupakan kemampuan dari proses untuk menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi. Jika proses memiliki kapabilitas yang baik, proses itu akan menghasilkan produk yang berada di batas-batas spesifikasi. Sebaliknya apabila proses memiliki kapabilitas yang jelek, proses akan menghasilkan banyak produk yang berada di luar batas spesifikasi sehingga menimbulkan kerugian karena banyak produk yang ditolak. Kapabilitas proses yang rendah pada beberapa tahapan pengolahan tuna loin akan berakibat fatal dan mengakibatkan meningkatnya kadar histamin selama pengolahan. Namun, apabila dibandingkan dengan hasil pengukuran kadar histamin dari laboratorium internal perusahaan (Gambar 13), dapat dilihat bahwa kapabilitas proses yang rendah ini tidak mempengaruhi kenaikan histamin secara signifikan. Berdasarkan Kusuma (2002), kapabilitas industri di dunia terutama di negara berkembang memang belum mampu memenuhi standar tingkat kegagalan 0 (6 sigma). Di Indonesia kapabilitas proses pada berbagai industri, rata-rata belum mampu mencapai nilai ≥ 2. Meskipun demikian, pihak PT X sebaiknya segera melakukan tindakan perbaikan agar dikemudian hari tidak berakibat pada kenaikan kadar histamin secara signifikan. Beberapa tindakan perbaikan yang dapat dilakukan dengan membuat standar kerja dan memperketat kontrol serta perekaman pada tahapan-tahapan ini.
117 67
(3) Personal Kegagalan dalam implementasi HACCP yang tinggi seringkali disebabkan oleh aspek
personal,
dalam
hal
ini
pihak
manajemen
dan
karyawan
(Wallace et al. 2011). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dahyar (2009) yaitu faktor penyebab variasi kadar histamin tuna loin beku digolongkan ke dalam lima faktor utama, yaitu bahan baku, cold storage bahan baku, ruang anteroom, manusia dan manajemen. Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam diagram sebab akibat (Gambar 14).
Gambar 14 Diagram sebab akibat variasi kadar histamin tuna loin beku. (Dahyar 2009) Menurut Taylor (2004) seharusnya manajer produksi memberikan contoh dan membimbing karyawan dalam menerapkan HACCP. Manajer produksi juga sebaiknya mengecek apakah CCP selalu dimonitor dan pelaksanaan HACCP sudah sesuai dengan pedoman yang dibuat perusahaan. Manajemen puncak harusnya memotivasi kesadaran pekerja tentang pentingnya HACCP dan mengulang pelatihan jika diperlukan untuk karyawan terutama pada QC. Tanpa kepemimpinan yang baik maka program HACCP tidak akan berjalan sesuai harapan. Untuk itu seorang manajer harus memiliki kompetensi yang memadai untuk dapat menciptakan suatu sistem higiene yang efektif di perusahaannya. Analisis kompetensi manajemen PT X dalam sistem higiene dilakukan berdasarkan penilaian karyawan. Hasil analisis tersebut dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5 diketahui bahwa pihak manajemen memiliki kompetensi pada bidang higiene. Hal ini dapat dilihat dari hasil pengisian kuisioner ≥ 75% karyawan menjawab sangat setuju bahwa pihak manajemen khususnya manajer memiliki kemampuan yang memadai pada bidang higiene.
118 68
Manajemen yang terlatih dan memiliki kemampuan yang memadai dalam higiene akan mampu menciptakan sistem yang baik untuk menghasilkan produk yang aman bagi konsumen (Egan et al 2007). Demikian pula di PT X, kemampuan manajemen pada bidang higiene sudah baik ini dan diharapkan mampu mereduksi risiko bahaya histamin maupun bahaya potensial lainnya. Tabel 5 Uji tingkat kepercayaan karyawan pada kinerja manajemen puncak dalam sistem higiene
1
2
3
4
5
Pernyataan Saya mampu memenuhi kebutuhan dan sumberdaya manusia yang dibutuhkan di perusahaan Manager saya memiliki kualitas dan kepemimpinan yang baik dan memadai Manager saya memiliki kemampuan dan kualitas untuk mengembangkan tujuan perusahaan Manager saya memiliki fokus dan kemampuan memadai pada bidang higiene Manager saya telah terlatih dalam standar higiene yang tinggi
Tidak setuju (%) 0
Kurang setuju (%) 0
Cukup setuju (%) 10,71
Setuju (%) 67,85
Sangat setuju (%) 21,42
0
0
7,14
10,71
82,14
0
3,57
7,14
17,85
75
0
0
3,57
17,85
75
0
0
3,57
21,42
75
6
Saya melihat manager saya menerapkan higiene setiap hari
0
0
7,14
32,14
60,71
7
Manager saya kompeten pada bidangnya
0
0
10,71
7,14
82,14
Hal lain yang dapat menyebabkan variasi kadar histamin dalam bahan baku tuna adalah pekerja. Misalnya, saat penerimaan bahan baku, pekerja menangani ikan dengan kasar dan tidak mencuci tangannya terlebih dahulu sebelum bekerja. Menurut Yamanaka et al. (1982) penanganan yang salah pada ikan tuna sebelum dibekukan dapat menjadi pemicu peningkatan kadar histamin, walaupun ikan dibekukan sampai suhu -50oC. Kemudian Tao et al. (2009) menyatakan bahwa kadar histamin pada ikan juga dipengaruhi oleh waktu dan teknik penanganan. Kesalahan penanganan oleh pekerja sebagian besar
karena kurangnya
pengetahuan karyawan mengenai higiene. Berdasarkan kuesioner (Lampiran 7) yang di isi oleh para karyawan (Gambar 15) dapat dilihat bahwa pengetahuan higiene karyawan PT X sudah tergolong baik, namun masih ada diantara karyawan yang sama sekali tidak
119
69
mengetahui apa itu higiene sehingga perlu diadakan suatu training agar seluruh karyawan mengetahui tentang higiene secara mendetail. Pengetahuan yang baik tentang higiene juga akan menaikkan kepedulian karyawan terhadap keselamatan dan kesehatan konsumen berkaitan dengan tingginya resiko histamin akibat praktek higiene yang tidak baik sehingga para karyawan akan lebih berhati-hati
80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
74%
Persentase
Persentase
dalam bekerja.
22% 4% tahu
pernah sama dengar sekali tapi tidak tidak tahu tahu
90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
78%
18% 4%
peduli
Tingkat pengetahuan
biasa saja
tidak peduli
Tingkat kepedulian
a. Tingkat pengetahuan higiene karyawan
b. Tingkat kepedulian karyawan terhadap kesehatan konsumen
70% 60%
59%
Persentase
50% 40%
33%
30% 20% 8%
10% 0% tahu
pernah sama sekali dengar tapi tidak tahu tidak tahu
Tingkat pengetahuan
c. Tingkat pengetahuan karyawan tentang histamin Gambar 16 Hasil pengisian kuisioner oleh karyawan PT X.
120 70
Selain pemberian pelatihan, hal lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan karyawan tentang higiene adalah dengan pembuatan petunjuk kerja dalam bentuk gambar yang mudah diingat dan dipahami. Petunjuk berupa gambar contoh penanganan ikan yang baik, serta gambar mengenai berbagai mutu tuna loin beku, baik gambar tuna loin beku yang mutunya dapat diterima maupun gambar tuna loin beku yang mutunya tidak dapat diterima agar QC dan semua pekerja dapat memahami. Petunjuk gambar akan lebih mudah dimengerti dibandingkan dengan petunjuk berupa tulisan, selain itu pekerja juga akan lebih tertarik untuk melihatnya daripada hanya membaca suatu tulisan (Gaspersz 2006).