25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten
Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5049’45” LS sampai dengan 6002’00” LS dan 106003’00” BT sampai dengan 106016’00” BT. Kawasan perairan Teluk Banten merupakan laut semi tertutup yang dicirikan dengan pencampuran massa air yang mempunyai salinitas tinggi dan salinitas rendah (Ambarwulan dan Hobma 2004 in www.gmrf.org). Perairan Karangantu yang berada di sekitar Teluk Banten dan terdapat pada Laut Jawa yang termasuk dalam WPP 712. Perairan Laut Jawa merupakan daerah pertemuan arus yang dipengaruhi pergerakan air dari Samudera Hindia, Laut Cina Selatan, dan Laut Banda (Yuliana 2009). Suhu permukaan Teluk Banten berkisar antara 26.9 0C-31 0C pada pagi hari dan 29.8 0C-33.4 0C pada siang hari serta salinitas berkisar antara 20-21.6 permill (Manulu 2003). Kedalaman perairan antara 2 sampai 13 meter, tetapi pada bagian mulut teluk dapat mencapai 20 meter. Beberapa sungai yang mengalir di perairan Karangantu antara lain Sungai Wadas, Domas, Soge, Kemanyungan, Baros, dan Sungi Pelabuhan (Mohamad 2006). Musim ikan di Pelabuhan Perikanan Karanantu terjadi pada bulan AprilNovember karena pada bulan-bulan tersebut terjadi kenaikan produksi dibandingkan dengan bulan lainnya, tetapi kadang-kadang mengalami pergeseran (Ditjen Tangkap-DKP 2009).
4.1.2. Kondisi perikanan tembang di Teluk Banten
Penduduk sekitar Teluk Banten sebagian besar berprofesi sebagai nelayan tradisional dengan menggunakan alat tangkap utama berupa bagan, jaring rajungan, gillnet, pancing dan jaring dogol. Kapal penangkapan ikan di wilayah PPP Karangantu merupakan kapal kayu. Kapal-kapal dominan berukuran kurang dari 10 GT. Kapal penangkapan ikan yang umumnya digunakan oleh PPP Karangantu adalah perahu motor tempel dan kapal motor. Hasil tangkapan utama berupa ikan
26
pepetek, tembang, cum mi, dan terii. Berikut ini i disajikann gambar pproduksi peer jenis K u (Gambar 6). 6 ikan dominnan tahun 20009 di PPP Karangantu
108 ton 115 ton
463 ton
119 ton 2009 ton
211 tonn
338 ton
Peperek Tembang Cumi Teri Kuniran Kurisi Kembungg
Gam mbar 6. Prooduksi per jenis ikan do ominan tahuun 2009 di P PPP Karang gantu Sumberr : Ditjen-Taangkap (DK KP 2009) Ikan tembang dii Teluk Bannten yang didaratkan d d PPP Karrangantu sebagian di besar ditanngkap denggan mengguunakan alaat tangkap bagan. Alaat tangkap bagan perahu diopperasikan deengan mengggunakan perahu motor tempel. U Ukuran mataa jaring yang digunnakan 0.3 cm. c Daerahh penangkapan ikan bagi b nelayann tersebut adalah pulau-pulauu sekitar Teluk T Banteen seperti Pulau P Panjang, Pulau Dua, dan Pulau Tunda. Ikaan tembangg yang tertaangkap didiistribusikann ke daerah Serang, Ciilegon, Bogor, dan Jakarta.
4.1.3. Seb baran ukuran panjangg Panjaang ikan tem mbang yanng diamati selama s penelitian sebaanyak 1 131 ekor dengan selaang kelas teerkecil 40-441 mm dan terbesar 1770-171 mm m. Secara tem mporal j jumlah ikaan yang diiamati berffluktuatif. Pada P pengaambilan coontoh pertaama (1 Februari 20010) dan pengambilan p n contoh kelima k (5 Maret M 20100) tidak ad da ikan tembang yang diamatti dikarenakkan terjadi fase bulann terang. P Pada pengam mbilan contoh keddua (9 Febrruari 2010) jumlah ikaan tembang yang diam mati sebanyaak 256 ekor, penggambilan contoh c kettiga (17 Februari F 2 2010) sebaanyak 134 ekor, pengambilaan contoh keempat k (255 Februari 2010) sebaanyak 297 eekor pengam mbilan contoh keeenam (13 Maret M 20100) sebanyak k 315 ekoor, dan penngambilan contoh c
27
ketujuh (21 Maret 2010) sebanyak 129 ekor. Sebaran ukuran ikan tembang selama pengamatan di setiap pengambilan contoh dapat dilihat pada Gambar 7.
9 Februari 2010
17 Februari 2010
25 Februari 2010
13 Maret 2010
21 Maret 2010
Gambar 7. Sebaran ukuran panjang ikan tembang (Sardinella fimbriata) yang didaratkan di PPP Karangantu setiap pengambilan contoh
28
4.1.4. Hubungan panjang bobot
Pola pertumbuhan ikan tembang di Teluk Banten dapat diketahui melalui analisa hubungan panjang dan berat. Panjang tubuh ikan yang diukur merupakan panjang total dan berat yang diukur merupakan bobot basah. Contoh ikan tembang yang digunakan dalam analisa sebanyak 816 ekor ikan. Hubungan panjang dan bobot ikan tembang dapat dilihat pada Gambar 8 serta hubungan logaritma panjang dan logaritma berat pada Gambar 9.
Berat (gram)
50
W = 2.5 x 10-4L2.282 n = 816
40 30 20 10 0 0
50
100
150
200
Panjang (mm)
log W
Gambar 8. Hubungan panjang dan bobot ikan tembang di Teluk Banten
4 3.5 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
Log W = -6.823 + 2.282 log L R² = 0.733
0
2
log L
4
6
Gambar 9. Hubungan logaritma panjang dan logaritma berat ikan tembang di Teluk Banten Berdasarkan analisis hubungan panjang dan bobot diketahui persamaan hubungan panjang dan berat ikan tembang di Teluk Banten adalah W= 2.5 x 10-4 L2.282 dan nilai kisaran b yang diperoleh sebesar 2.19-2.38 berdasarkan uji t yang dilakukan terhadap nilai b dengan α = 0.05 diketahui bahwa pola petumbuhan ikan
29
tembang di Teluk Banten yaitu allometrik negatif yang artinya pola pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pola pertumbuhan bobot. Berdasarkan hubungan logaritma panjang dan logaritma berat diperoleh persamaan log W = -6.823 + 2.282 log L yang artinya setiap pertambahan logarima panjang sebesar 1 cm akan menaikkan logaritma berat sebesar 2.282 gram. Hubungan panjang dan bobot ikan tembang pada setiap pengambilan contoh dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Hubungan panjang dan bobot ikan tembang di setiap pengambilan contoh Waktu n b R2 Keterangan 9 Februari 2010 256 2.42 0.90 allometrik negatif 17 Februari 2010 134 1.81 0.94 allometrik negatif 25 Februari 2010 297 2.38 0.85 allometrik negatif 21 Maret 2010 129 1.71 0.42 allometrik negatif 4.1.5. Parameter pertumbuhan
Penggunaan metode NORMSEP sangat penting diperhatikan nilai indeks separasi. Hasil analisis indeks separasi dan jumlah populasi secara teoritis dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Indeks separasi dan jumlah populasi teoritis ikan tembang Tanggal 9 Februari 2010 17 Februari 2010 25 Februari 2010
13 Maret 2010
21 Maret 2010
Nilai tengah (mm) 43.27 81.91 97.29 51.09 93.21 69.67 83.68 135.5 83.15 132.5 150.07 94.52 146.53 157.42
simpangan baku 2.47 4.24 3.42 3.7 2.53 3.8 4.91 3.47 6.39 2.18 2.23 5.8 2.92 3.63
Jumlah populasi (N) 56 127 38 71 26 47 156 33 108 43 10 31 26 9
SI 11.52 4.02 13.52 3.22 12.37 11.52 7.97 11.92 3.47
Hasil analisis parameter pertumbuhan ikan tembang di Teluk Banten dengan menggunakan metode Ford Walford yaitu koefisien pertumbuhan (K), panjang
30
infinitif (L∞) dan umur teoritis ikan pada saat panjang sama dengan nol (t0) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Parameter pertumbuhan berdasarkan model Von Bertalanffy (K, L∞, t0) ikan tembang di Teluk Banten (Februari-Maret 2010) Parameter K (per tahun) L∞ (mm) t0
Nilai 0.59 183.22 -0.32
Persamaan pertumbuhan Von Bertalanfy ikan tembang di Teluk Banten yaitu Lt = 183.22 (1-e[-0.59 (t+0.32)]) . Ikan tembang yang tertangkap di Teluk Banten dan di daratkan di PPP Karangantu memiliki panjang maksimum lebih kecil yaitu 171 mm jika dibandingkan dengan panjang asimtotiknya (L∞) sebesar 183.22 mm. Kurva pertumbuhan ikan tembang di Teluk Banten dapat diketahui dengan cara memplotkan umur (bulan) dengan panjang ikan (mm) seperti yang dilihat pada Gambar 10.
Panjang (mm)
200
L∞
150 100 50 0 1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35 37 39 41 43 45 47 49 51 53 55 Bulan
Gambar 10. Kurva pertumbuhan ikan tembang
4.1.6. Mortalitas dan laju eksploitasi
Mortalitas yang dianalisa meiputi mortalitas total (Z), laju mortalitas alami (M), dan laju mortalitas penangkapan (F). Hasil analisis dan laju mortalitas ikan tembang di Teluk Banten disajikan pada Tabel 5. Berdasarkan Tabel 5. dapat dilihat bahwa laju mortalitas penangkapan ikan tembang (2.86) lebih besar dibandingkan dengan laju mortalitas alaminya (1.58).
31
selain itu diketahui pula laju eksploitasi ikan tembang di Teluk Banten sebesar 0.64 yang berarti 64 % kematian ikan tembang disebabkan oleh aktivitas penangkapan. Tabel 5. Laju mortalitas dan laju eksploitasi ikan tembang di Teluk Banten Laju mortalitas Total (Z) Alami (M) Penangkapan (F) Eksploitasi (E)
Nilai per tahun 4.44 1.58 2.86 0.64
Meningkatnya laju mortalitas penangkapan disebabkan oleh meningkatnya jumlah upaya penangkapan. Hal ini dapat dilihat dari data upaya berupa trip dari tahun 2005-2009 yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya seperti yang disajikan pada Tabel 1.
4.1.7. Model stok ikan tembang
Potensi sumberdaya ikan tembang diduga dengan menggunakan data hasil tangkapan ikan tembang yang ditangkap di perairan Teluk Banten dan didaratkan di PPP Karangantu serta upaya penangkapan berupa trip dari alat tangkap bagan. Produksi tangkapan, upaya penangkapan, CPUE ikan tembang berdasarkan pada data statistik perikanan PPP Karangantu dari tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Produksi (ton), upaya penangkapan (trip) ikan tembang di Teluk Banten Tahun Produksi (ton) Upaya (trip) CPUE(ton/trip) 2005 143.381 1 562 0.091 2006 94.087 1 106 0.085 2007 159.595 2 035 0.078 2008 201.559 2 827 0.071 2009 131.283 3 992 0.032 Sumber : Ditjen-Tangkap (DKP 2009)
Potensi sumberdaya ikan tembang menggunakan model surplus produksi yang dikembangkan oleh Fox dan Schaefer. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui dari tahun 2005-2006 nilai hasil tangkapan per upaya (CPUE) terus mengalami penurunan. Hal ini mengindikasikan terjadinya penurunan stok ikan tembang di
32
Teluk Banten. Hubungan antara upaya dan hasil tangkapan per upaya (CPUE)
CPUE (ton/trip)
dengan pendekatan Schaefer dan Fox dapat dilihat pada Gambar 11 dan 12. 0.1000 0.0900 0.0800 0.0700 0.0600 0.0500 0.0400 0.0300 0.0200 0.0100 0.0000
y = -2E-05x + 0.115 R² = 0.876
0
1000
2000
3000
4000
5000
Upaya (trip)
Gambar 11. Grafik hubungan upaya dan CPUE dengan pendekatan Schaefer
Upaya (unit) 0.0000 ln CPUE (ton/trip)
‐0.5000 0
1000
2000
3000
4000
5000
‐1.0000 ‐1.5000 ‐2.0000
y = -0.00033x - 1.920 R² = 0.837
‐2.5000 ‐3.0000 ‐3.5000 ‐4.0000
Gambar 12. Grafik hubungan upaya dan CPUE dengan pendekatan Fox Berdasarkan hasil analisis, nilai koefisien determinasi (R2) dengan menggunakan model Schaefer lebih besar yaitu 87.6% jika dibandingkan dengan model Fox yaitu 83.7%. Upaya penangkapan yang melebihi upaya optimum dapat menyebabkan menurunnya produksi ikan seperti yang terlihat pada Gambar 13.
33 250 2008
Produksi (ton)
200 2005
150 100
2007 2009
2006
50 0 0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
Effort (trip)
Gambar 13. Hubungan upaya penangkapan dan hasil tangkapan
4.2. Pembahasan 4.2.1. Sebaran ukuran panjang
Jumlah contoh ikan tembang yang digunakan dalam analisis parameter pertumbuhan sebanyak 1 131 ekor. Hasil pemisahan kelompok ukuran menunjukan bahwa ikan contoh terdiri dari 3 kelompok ukuran seperti yang ditampilkan pada Gambar 14. Berdasarkan hasil analisa terlihat adanya pergeseran sebaran ukuran panjang, terjadi pada pengambilan contoh kedua (9 Februari 2010) hingga pengambilan contoh ketujuh (21 Maret 2010). Kelompok ukuran pertama memliki nilai tengah panjang 43.27-94.52 mm; kelompok ukuran kedua memiliki nilai tengah panjang 80.08-146.53 mm; kelompok ukuran ketiga memiliki nilai tengah panjang 97.29157.42 mm seperti yang terlihat pada Tabel 7. Kecenderungan peningkatan ukuran panjang ikan tembang di Teluk Banten mengindikasikan adanya pertumbuhan selama periode pengambilan contoh. Kajian mengenai laju pertumbuhan ikan tembang akan dibahas pada bab berikutnya.
Tabel 7. Nilai tengah panjang total ikan tembang di Teluk Banten setiap pengamatan Tanggal 9 Feb-10 17-Feb-10 25-Feb-10 13-Mar-10 21-Mar-10
Nilai tengah panjang Kelompok ukuran 1 Kelompok ukuran 2 43.27 80.08 51.09 93.21 69.67 83.68 83.15 132.5 94.52 146.53
Kelompok ukuran 3 94.16 135.5 150.07 157.42
34
9 Februari 2010 n = 256
17 Februari 2010 n = 134
25 Februari 2010 n = 297
13 Maret 2010 n = 315
21 Maret 2010 n = 129
Gambar 14. Kelompok ukuran ikan tembang (Sardinella fimbriata)
35
Panjang total maksimum ikan tembang yang tertangkap di Teluk Banten selama penelitian adalah 171 mm sedangkan panjang total maksimum ikan tembang di Teluk Palabuhanratu (Syakila 2009) adalah 165 mm. Perbedaan ukuran panjang total ikan tembang dapat disebabkan oleh lokasi pengambilan contoh yang berbeda, keterwakilan ikan contoh yang diambil, dan laju penangkapan yang tinggi. Laju pertumbuhan yang berbeda dapat dialami oleh spesies ikan yang sama dan hidup pada lokasi yang berbeda dikarenakan adanya faktor dalam dan faktor luar yang mempengaruhinya.
Menurut
Effendie
(2002)
faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam adalah faktor yang umumnya sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit, dan penyakit sedangkan faktor luar yang mempengaruhi pertumbuhan ikan diantaranya suhu dan makanan.
4.2.2. Parameter pertumbuhan
Parameter pertumbuhan diduga dengan menggunakan metode Ford Walford. Metode Ford Walford dapat digunakan karena data diambil pada interval waktu tetap. Metode ini memerlukan masukan panjang rata-rata ikan dari beberapa kelompok ukuran. Kelompok ukuran dipisahkan dengan menggunakan metode Bhattacharya (Sparre dan Venema 1999). Nilai tengah panjang total kelompok ukuran satu merupakan kelompok ukuran yang akan digunakan dalam analisis parameter pertumbuhan selanjutnya. Hal ini dikarenakan L∞ yang diperoleh paling mendekati dengan panjang total maksimum ikan tembang yang tertangkap di Teluk Banten dan didaratkan di PPP Karangantu. Indeks separasi sangat penting diperhatikan dalam pemisahan kelompok ukuran ikan dengan menggunakan metode NORMSEP. Menurut Hasselblad (1966), McNew & Summerfelt (1978) serta Clark (1981) in Sparre & Venema (1999) menyatakan bahwa indeks separasi merupakan kuantitas yang relevan terhadap studi bila dilakukan kemungkinan bagi suatu pemisahan dua komponen yang berdekatan. Jika I<2 maka pemisahan kelompok ukuran tidak mungkin dilakukan karena terjadi tumpang tindih yang besar antar kelompok ukuran ikan. Berdasarkan hasil pemisahan kelompok ukuran ikan tembang pada Tabel 3 diketahui indeks separasi pengambilan contoh kedua sampai pengambilan contoh ketujuh berkisar antara 3.22
36
sampai 13.52. Hal ini menunjukan bahwa pemisahan kelompok ukuran ikan tembang dapat diterima dan dilakukan analisis selanjutnya. Hasil analisis pemisahan kelompok ukuran pada Tabel 3 menunjukan bahwa jumlah total ikan contoh yang diamati sebanyak 781 ekor. Jumlah ini lebih kecil jika dibandingkan dengan jumlah total ikan contoh sebenarnya (observasi) yang diamati yaitu sebesar 1 131 ekor hal ini dikarenakan adanya kelompok umur yang tidak terhitung. Perbedaan jumlah total ikan contoh yang digunakan disebabkan oleh adanya pengacakan pada saat pengambilan ikan contoh. Walaupun ikan contoh yang digunakan merupakan contoh acak yang sempurna, nilai observasi akan tetap mengalami fluktuasi seputar distribusi dari populasi yang sebenarnya (Sparre dan Venema 1999). Persamaan pertumbuhan von Bertalanfy ikan tembang di Teluk Banten yaitu Lt = 183.22 (1-e[-0.59 (t+0.32)]) . Ikan tembang yang tertangkap di Teluk Banten dan di daratkan di PPP Karangantu memiliki panjang maksimum lebih kecil yaitu 171 mm jika dibandingkan dengan panjang asimtotiknya (L∞ ) sebesar 183.22 mm dengan nilai koefisien pertumbuhan (K) sebesar 0.59 per tahun. Studi mengenai parameter pertumbuhan ikan tembang pernah dilakukan di Teluk Palabuhanratu dan hasil analisis menyebutkan bahwa panjang infinitif (L∞) ikan tembang di daerah tersebut sebesar 170.023 mm dengan nilai koefisien pertumbuhan (K) sebesar 1.48 per tahun. Perbedaan nilai koefisien pertumbuhan (K) ikan tembang di Teluk Banten (0.59) dengan Teluk Palabuhanratu (1.48) dapat disebabkan karena faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi diantaranya keturunan (genetik), parasit, dan penyakit sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi yaitu suhu dan makanan (Effendie 2002). Oleh karena itu, perbedaan nilai K dan L∞ ikan tembang di Teluk Palabuhanratu diduga disebabkan oleh faktor genetik dan lingkungan yang berbeda dengan Teluk Banten. Selain itu parameter pertumbuhan ikan tembang dari genus yang berbeda yaitu Sardinella gibbosa pernah dilakukan di tiga daerah yaitu Labuan, Palabuhanratu, dan Blanakan.
Nilai L∞ yang diperoleh di daerah Labuan yaitu 203.18 mm dengan nilai K sebesar 0.60, Teluk Palabuhanratu L∞ yang dipeoleh yaitu 203.18 mm dengan nilai K sebesar 0.97, dan di daerah Blanakan nilai L∞ yang diperoleh yaitu 192.68 mm dengan nilai K sebesar 1.10. Nilai K ikan tembang di daerah Labuan tidak jauh
37
berbeda dengan nilai K di daerah Teluk Banten. Hal ini diduga daerah Labuan (Selat Sunda) letaknya berdekatan dengan Banten. Ikan tembang di daerah Blanakan memiliki K lebih besar jika dibandingkan daerah Palabuhanratu dan Labuan, Hal ini diduga karena daerah Blanakan yang merupakan kawasan mangrove merupakan daerah spawning ground sehingga banyak Teluk ditemukan ikan tembang muda sehingga K yang diperoleh lebih besar karena pertumbuhan ikan pada fase muda cenderung lebih cepat daripada fase dewasa. Berdasarkan nilai K dan L∞ yang diperoleh terlihat bahwa nilai K yang besar maka L∞ akan semakin kecil dan memiliki umur yang relatif pendek. Hal ini berarti ikan tembang di Teluk Banten memiliki umur yang lebih lama jika dibandingkan dengan ikan tembang di Teluk Palabuhanratu. Kurva pertumbuhan ikan tembang di Teluk Banten dapat dilihat pada Gambar 10. dengan memplotkan umur (bulan) dan panjang teoritis ikan (mm) sampai ikan berumur 55 bulan. Pada saat ikan berumur 55 bulan (4.5 tahun), secara teoritis panjang total ikan adalah 183.22 mm. Panjang maksimum ikan tembang yang tertangkap di Teluk Banten dan didaratkan di PPP Karangantu yaitu 171 mm. Berdasarkan Gambar 10 diketahui bahwa laju pertumbuhan ikan selama rentang hidupnya tidak sama. Ikan yang berumur lebih muda memiliki laju pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan ikan yang berumur tua. Menurut Dina (2008) parameter ikan memiliki peranan yang penting dalam pengkajian stok ikan. Salah satu aplikasi yang paling sederhana adalah untuk mengetahui panjang ikan pada saat umur tertentu atau dengan menggunakan inverse persamaan pertumbuhan von Bertalanffy dapat diketahui umur ikan pada panjang tertentu. Dengan demikian penyusunan rencana pengelolaan perikanan menjadi lebih mudah.
4.2.3. Hubungan panjang bobot
Analisa hubungan panjang berat dapat digunakan untuk mempelajari pertumbuhan. Persamaan hubungan panjang dan berat ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya (Effendie 2002).
38
Berdasarkan analisis hubungan panjang dan berat terhadap 816 ikan tembang di Teluk banten diketahui persamaan hubungan panjang dan berat ikan tembang di Teluk Banten adalah W= 2.5 x 10-4 L2.282 dan nilai kisaran b yang diperoleh sebesar 2.19-2.38 berdasarkan uji t yang dilakukan terhadap nilai b dengan
α = 0.05
diketahui bahwa pola petumbuhan ikan tembang di Teluk Banten yaitu allometrik negatif yang artinya pola pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pola pertumbuhan berat. Pola pertumbuhan yang sama juga dimiliki oleh ikan tembang yang berada di Perairan Ujung pangkah (Rosita 2007). Namun pola pertumbuhan yang berbeda terdapat di perairan Teluk Palabuhanratu yang memiliki pola pertumbuhan isometrik artinya pola pertumbuhan panjang sama dengan pola pertumbuhan berat dengan persamaan hubungan panjang dan berat W= 9×10-6 L2.99 dan nilai kisaran b sebesar 2.86-3.12 (Syakila 2009). Ikan tembang dari genus yang berbeda yaitu Sardinella gibbosa memiliki pola pertumbuhan isometrik di tiga daerah yaitu Palabuhanratu, Blanakan, serta Labuan (Hari 2010). Osman (2004) in Lelono (2007) menjelaskan perbedaan nilai b dapat disebabkan oleh musim, jenis kelamin, area, temperatur, fishing time, fishing vessel, dan ketersediaan makanan. Moutopoulus & Stergiou (2002) in Kharat et al. (2008) menyatakan perbedaan nilai b juga disebabkan oleh perbedaan jumlah dan variasi ukuran ikan yang diamati.
4.2.4. Mortalitas dan laju eksploitasi
Laju mortalitas merupakan parameter kunci yang digunakan untuk menggambarkan kematian. Mortalitas Berdasarkan Tabel 5 dapat dilihat bahwa laju mortalitas penangkapan ikan tembang (2.86) lebih besar dibandingkan dengan laju mortalitas alaminya (1.58). Mortalitas alami dapat disebabkan oleh pemangsaan, penyakit, stres pemijahan, kelaparan, dan usia (Sparre & Venema 1999). Oleh karena itu dapat diduga menurunya laju mortalitas alami disebabkan oleh berkurangnya jumlah ikan yang tumbuh hingga berusia tua dan mengalami kematian secara alami akibat telah tertangkap lebih dahulu oleh aktifitas penangkapan yang tinggi. Meningkatnya laju mortalitas penangkapan disebabkan oleh meningkatnya jumlah upaya penangkapan. Hal ini dapat dilihat dari data upaya berupa trip dari tahun 2005-2009 yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya seperti yang
39
disajikan pada Tabel 6. Tingginya laju mortalitas penangkapan dan menurunnya laju mortalitas alami menunjukan dugaan terjadinya growth overfishing yaitu berkurangnya jumlah ikan tua (Sparre & Venema 1999). Kondisi growth overfishing juga dapat terlihat dari banyaknya jumlah ikan muda yang tertangkap yaitu dengan ukuran panjang antara 84 mm – 85 mm, sedangkan ukuran ikan tembang jantan dewasa yang telah matang gonad yaitu 133 mm sedangkan ikan betina sebesar 144 mm (Bramantyo 2006). Berdasarkan pada mortalitas alami (M) dan mortalitas penangkapan (F) dapat ditentukan laju eksploitasi (E) yang dihitung dengan rumus E=F/Z. Laju eksploitasi merupakan indeks yang menggambarkan tingkat pemanfaatan stok dalam suatu perairan (Nasution et al. 2008). Berdasarkan hasil analisis diketahui pula laju eksploitasi ikan tembang di Teluk Banten sebesar 0.64 yang berarti 64% kematian ikan di Teluk Banten disebabkan oleh aktifitas penangkapan. Tingginya laju eksploitasi di perairan tersebut disebabkan oleh kegiatan penangkapan oleh nelayan bagan yang berlangsung setiap hari kecuali pada saat terjadi terang bulan. Menurut Gulland (1971) in Pauly (1984) laju eksploitasi optimum sebesar 0.5, jika dibandingkan dengan laju eksploitasi ikan tembang di Teluk Banten yang telah melewati batas optimumnya maka diketahui adanya tekanan penangkapan terhadap ikan tembang di Teluk Banten. Hal ini juga terlihat dari panjang maksimum ikan tembang yang tertangkap di Teluk Banten yaitu 171 mm, ukuran ini lebih kecil dibandingkan panjang asimtotnya yaitu 183.22 mm dan jumlah ikan yang berukuran besar yang tertangkap hanya sedikit. Indikasi awal dampak laju eksploitasi yang telah melebihi nilai optimum terlihat dari data hasil tangkapan per upaya (CPUE) (ton/trip) ikan tembang pada tahun 2005-2009 yang mengalami penurunan tiap tahunnya seperti disajikan pada Tabel 6. Gejala overfishing ikan tembang dari spesies Sardinella fimbriata juga terjadi di daerah Palabuhanratu dimana tingkat eksploitasi sebesar 0.87 (Syakila 2009) selain itu ikan tembang dari genus yang berbeda yaitu Sardinella gibbosa juga mengalami gejala overfishing di tiga daerah yaitu Labuan dengan tingkat eksploitasi sebesar 0.53, Pelabuhanratu sebesar 0.56, dan Blanakan sebesar 0.63 (Hari 2010).
40
4.2.5. Model stok ikan tembang
Potensi sumberdaya ikan tembang dilakukan melalui analisa model surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer dan Fox. Data yang digunakan dalam analisis meliputi data produksi dan upaya penangkapan ikan tembang di Teluk Banten dari tahun 2005-2009. Model surplus produksi dapat diterapkan bila diketahui hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) atau hasil tangkapan per upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies dan atau CPUE berdasarkan spesies dan upaya penangkapan dalam beberapa tahun (Sparre & Venema 1999). Hasil analisis potensi ikan tembang diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) dengan menggunakan model Schaefer lebih besar yaitu 87.6% jika dibandingkan dengan model Fox yaitu 83.7%. Hal ini berarti model Schaefer lebih mewakili untuk menggambarkan dinamika stok ikan tembang di Teluk Banten periode 2005-2009 sehingga dalam pengelolaannya menggunakan model Schafer karena model tersebut memiliki koefisien determinasi yang lebih besar. Hasil analisis model Schaefer dapat diketahui nilai potensi lestari (MSY) serta upaya optimum (fmsy) ikan tembang di Teluk Banten sehingga dapat ditentukan kapan terjadinya overeksploitasi dengan membandingkan effort dan produksi ikan tembang setiap tahunnya. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan model Schaefer diperoleh nilai upaya penangkapan optimum (fmsy) sebesar 3 044 trip per tahun dan nilai jumlah tangkapan maksimum lestarinya atau Maksimum Sustainable Yield (MSY) sebesar 176.061 ton per tahun dengan tingkat pemanfaatan sebesar 154.454 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan atau Total Available Catch (TAC) sebesar 126.763 ton per tahun. Berdasarkan Gambar 13 diketahui bahwa pada tahun 2008 nilai hasil tangkapan yang diperoleh berada di atas potensi lestarinya yaitu sebesar 201.559 ton per tahun serta pada tahun 2009 jumlah upaya penangkapan telah melebihi upaya penangkapan optimumnya yaitu sebesar 3 992 trip. Upaya penangkapan telah melebihi upaya penangkapan optimumnya (fmsy) oleh karena itu perlu adanya pembatasan upaya penangkapan dan sebaiknya tidak dilakukan penambahan upaya penangkapan lagi untuk kegiatan penangkapan ikan tembang di Teluk Banten. Perikanan dalam kondisi upaya tangkap lebih memiliki beberapa indikasi diantaranya waktu melaut menjadi lebih panjang, lokasi
41
penangkapan yang lebih jauh, ukuran mata jarring menjadi lebih kecil, nilai CPUE yang menurun, ukuran ikan semakin kecil, dan biaya penangkapan yang meningkat (Widodo & Suadi 2006). Kondisi upaya tangkap lebih di Teluk Banten diindikasikan dari mata jaring yang digunakan kecil, nilai CPUE mengalami penurunan selama lima tahun (2005-2009), dan panjang total ikan maksimum menjadi lebih kecil. Upaya tangkap lebih (overfishing) secara sederhana dapat diartikan sebagai penerapan sejumlah upaya penangkapan yang berlebih terhadap suatu stok ikan dan terbagi ke dalam dua pengertian yaitu growth overfishing dan recruitment overfishing. Growth overfishing terjadi jika ikan ditangkap sebelum sempat tumbuh
mencapai ukuran dimana peningkatan lebih lanjut dari pertumbuhan akan mampu membuat seimbang dengan penyusutan stok yang diakibatkan oleh mortalitas alami. Recruitment overfishing adalah pengurangan melalui penangkapan terhadap suatu
stok sedemikian rupa sehingga jumlah stok induk tidak cukup banyak untuk memproduksi telur yang kemudian menghasilkan rekrut terhadap stok yang sama (Widodo & Suadi 2006). Kondisi tangkap lebih yang terjadi pada stok ikan tembang di Teluk Banten berdasarkan analisis yang diperoleh termasuk ke dalam growth overfishing sedangkan untuk recruitment overfishing perlu dilakukan penelitian
lebih lanjut.
4.2.6. Implikasi untuk pengelolaan stok ikan tembang
Pengelolaan perikanan adalah untuk menjamin produksi yang berkelanjutan dari waktu ke waktu dari berbagai stok ikan, terutama melalui berbagai tindakan pengaturan yang dapat meningkatkan kehidupan sosial nelayan dan sukses ekonomi bagi industri yang didasarkan pada stok ikan (Widodo 2002). Berdasarkan hasil penelitian terdapat beberapa indikasi tingginya tekanan penangkapan yang mengarah kepada gejala tangkap lebih diantaranya jumlah ikan berukuran besar yang tertangkap sedikit, ukuran maksimum ikan yang tertangkap 171 mm lebih kecil dibandingkan ukuran asimtotnya 183.22 mm, laju eksploitasi ikan tembang sebesar 0.64 melebihi nilai eksploitasi optimum (0.5), dan Catch per Unit Effort tahun 20052009 terus mengalami penurunan. Pengelolaan terhadap stok ikan tembang di Teluk Banten perlu dilakukan agar sumberdaya ikan tembang dapat berlangsung secara berkelanjutan. Pendekatan
42
tujuan pengelolaan menggunakan konsep MSY dengan menggunakan model Schaefer yaitu upaya penangkapan (trip) tidak lebih dari 3 044 trip per tahun dan nilai jumlah tangkapan maksimum lestarinya sebesar 176.06 ton per tahun dengan potensi lestari sebesar 158.45 ton per tahun dan jumlah tangkapan yang diperbolehkan sebesar 126.76 ton per tahun. Pencegahan growth overfishing dilakukan dengan cara pengaturan upaya penangkapan, pengaturan mata jarring dan penutupan musim daerah penangkapan (Widodo & Suadi 2006). Namun dalam suatu pengelolaan perikanan sulit untuk mengatur dan merubah kondisi yang telah ada sehingga upaya yang mungkin dilakukan adalah berupa pembatasan seperti tidak mengizinkan adanya penangkapan baru yang masuk ke perairan serta membatasi jumlah tangkapan nelayan tanpa mengurangi jumlah perahu nelayan yang telah ada saat ini sehingga tercapai pemanfaatan yang optimum.