52
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Parameter Biologi 4. 1.1 Komposisi Jenis dan Kepadatan Makrozoobentos Berdasarkan hasil pengamatan makrozoobentos pada 18 stasiun di sepanjang Sungai Musi bagian hilir selama 2 periode pada bulan April dan Juli 2007 secara keseluruhan terdapat 25 jenis yang termasuk ke dalam 6 kelas dan 3 filum (Lampiran 3). Persentas Komposisi Taksa pada Bulan Juli 2007
Persentase Komposisi Taksa pada Bulan April 2007
Oligochaeta 87.74%
Oligochaeta 86.94%
Polychaeta 3.89% Crustacea 2.29% Bivalvia Gastropoda 5.21%
0.75%
Diptera 0.88%
Odonata 0.03%
Polychaeta 3.21% Diptera Crustacea 0.73% Bivalvia 1.99% Odonata 5.38% Gastropoda 0.02%, 0.91%
Gambar 9 Diagram perbandingan persentase komposisi makrozobentos pada bulan April dan Juli 2007. Dari 6 kelas tersebut diatas, secara keseluruhan pengambilan sampel makrozoobentos pada bulan April 2007 terdapat 21 jenis terdiri 4 jenis yang termasuk ke dalam kelas Oligochaeta yaitu jenis Tubifex sp, Lumbriculus sp, Haplotaxis sp, Branchiura sp, kelas Polychaeta terdapat 3 jenis yaitu Nereis sp, Nepthys cormuta dan Cossura sp, kelas Insecta terdapat 5 jenis yang terdiri dari Chironomous sp, Hydropsche sp, Polycentropus sp, Palpomya sp dan Gomphoides sp, Kelas Gastropoda terdapat 6 jenis terdiri dari Bellamya javanica, Bellamya sumatrensis, Melanoides tuberculata, Anentome sp, Pila ampullacea, Thiara sp. kelas Pelecypoda terdiri dari 2 jenis yaitu Corbicula javanica, Anodonta woodiana dan kelas Crustacea ada 1 jenis yaitu Gammarus sp. Pada pengambilan sampel makrozoobentos bulan Juli 2007 jumlah yang ditemukan juga sama ada 21 jenis. Komposisi jenis yang berbeda dengan bulan April 2007 adalah pada kelas Oligochaeta mempunyai 3 jenis dimana jenis
53
Branchiura sp tidak ditemukan di semua stasiun pengamatan, kelas Polychaeta yang sebelumnya pada bulan April ditemukan 3 jenis, pada bulan Juli ditemukan 2 jenis baru yaitu Namalycastis sp dan Cirratulus sp sedangkan kelas Gastropoda berkurang menjadi 5 jenis yang terdiri dari Bellamya javanica, Bellamya sumatrensis, Thiara sp, Melanoides tuberculata, dan Physa sp
6 5 4 3 2
Tj. Buyut
P. Payung
Selat Cemara
PreS. Cemara
SST
Upang
P. Borang
PTSAP
Hoktong
S. Kundur
Pusri
Wilmar
Ampera
Musi
MuaraOgan
Bulan April Bulan Juli
Gandus
0
PreOgan
1 Pulokerto
JumlahTaksatingkat Genus
7
Gambar 10 Perbandingan jumlah genus pada bulan April dan Juli 2007. Dari Gambar 10 dapat dibandingkan bahwa selama dua periode pengambilan pada bulan April dan Juli 2007 ditemukan adanya perbedaan jumlah taksa pada tingkat genus. Perbedaan jumlah genus tersebut ditemukan
pada stasiun
Pulokerto, Gandus, Pre Ogan, Musi kramasan, Sungai Kundur, Pulau Borang, Upang, Pre Selat Cemara, Selat Cemara, dan Pulau Payung. Adanya perbedaan jumlah komposisi taksa ini dapat disebabkan adanya perbedaan kedalaman pada saat pengambilan sampel, kekeruhan air, substrat dasar perairan, kecepatan arus, pengaruh bahan organik dan kandungan oksigen terlarut di dalamnya serta adanya perubahan kondisi lingkungan akibat kegiatan antropogenik yang menimbulkan tekanan lingkungan terhadap jenis biota makrozoobentos tertentu. Kelimpahan taksa pada tingkat genus di perairan hilir stasiun Sungai Musi berkisar 3 - 6 jenis untuk bulan April dan bulan Juli berkisar 4 - 7 jenis, ini menandakan bahwa tingkat kelimpahan taksa tersebut tergolong rendah dimana menurut Plafkin et al. (1989) bahwa total jumlah 0 sampai dengan 10 jenis yang ditemukan di suatu lokasi menunjukkan bahwa lokasi tersebut sudah mengalami gangguan yang berarti dan sebaliknya semakin baik kualitas air maka semakin tinggi keanekaragaman jumlah taksanya serta kondisinya akan semakin bagus, hal ini dapat dimaklumi karena keadaan umum lokasi stasiun yang berada di zona potamal bagian hilir telah banyak mendapat pengaruh antropogenik dan ini terlihat
54
dari hasil indeks Storet dimana rata-rata hampir semua stasiun kualitas airnya sudah mengalami pencemaran tingkat sedang sampai berat (Tabel 22). Tj Buyut P. payung Selat Cemara Pre S Cemara Upang SST P. Borang PT SAP S. Kundur Hoktong Pusri Wilmar Ampera Muara Ogan Kramasan Pre Ogan Gandus Pulokerto
0%
Tubifex sp Branchiura sp Haplotaxis sp Lumbriculus sp Nereis sp Nepthys cormuta Cossura sp Chironomous sp Palpomya sp Hydropsche sp Polycentropus sp Gomphoides sp Pila sp Thiara sp M. tuberculata Anentome sp Belamya sp C. javanica A. w oodiana Gammarus sp
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Komposisi Jenis (%)
Gambar 11 Persentase komposisi jenis makrozoobentos pada bulan April 2007.
Gambar 11 menunjukkan bahwa persentase komposisi jenis pada bulan April yang paling dominan dan melimpah, yang sering ditemukan adalah dari kelas Oligochaeta yaitu jenis Tubifex sp yang dapat ditemukan pada 15 stasiun kecuali tidak ditemukan pada stasiun Pulokerto, Pre Selat Cemara dan Selat Cemara, di mana persentase rata-rata kepadatan relatifnya dari 15 stasiun itu mencapai 68,41 % dari total jenis keseluruhan makrozoobentos yang lainnya, persentase tertingginya terdapat pada stasiun Musi Kramasan, Ampera dan Muara Ogan yaitu sebesar 98.56 %, 89,8 % dan 89,24 %. Jenis lain yang juga sering ditemukan adalah jenis Lumbriculus sp dan Nereis sp yang dapat ditemukan pada 12 stasiun, kemudian diikuti jenis Corbicula javanica yang dapat ditemukan pada 10 stasiun, dan jenis lain seperti Gammarus sp. banyak ditemukan stasiun yang mengarah ke daerah hypopotamal mulai dari stasiun Upang sampai ke stasiun Tanjung Buyut yang paling dekat ke arah estuaria. dan jenis yang lain bervariasi di setiap stasiun sesuai dengan karakteristik kondisi lingkungan perairan seperti Chironomous sp yang banyak ditemukan didaerah pemukiman padat penduduk dan lndustri. Komposisi jenis yang jarang ditemukan dan hanya ditemukan 1 individu pada 1 stasiun pengamatan saja yaitu jenis Pila sp dan Anentome sp, ditemukan pada stasiun Pulokerto, Anodonta woodiana ditemukan pada stasiun Pulau Payung, Gomphoides sp ditemukan di stasiun PT. SAP dan Palpomya sp ditemukan di stasiun Gandus.
55
Tubifex sp Polypedilum sp Haplotaxis sp Lumbriculus Nereis sp Nepthys cormuta Namalycastis sp Cossura sp Cirratulus sp Chironomous sp Hydropsche sp Polycentropus sp Gomphoides sp Physa sp Thiara sp M. tuberculata Belamya sp C. javanica A. w oodiana Gammarus sp
Tj Buyut P. payung Selat Cemara Pre S Cemara Upang SST P. Borang PT SAP S. Kundur Hoktong Pusri Wilmar Ampera Muara Ogan Kramasan Pre Ogan Gandus Pulokerto 0%
10%
20%
30%
40%
50%
60%
70%
80%
90%
100%
Komposisi Jenis (%)
Gambar 12 Persentase komposisi jenis makrozoobentos pada bulan Juli 2007 . Pada bulan Juli persentase jenis Tubifex sp juga masih merupakan komposisi jenis yang paling dominan dan melimpah di mana rata-rata persentase kepadatan relatifnya sebesar 71,64 % dari 15 stasiun yang ditemukan dan jenis ini hanya tidak ditemukan pada stasiun Upang, Selat Cemara dan Pulau Payung. Persentase tertinggi kepadatan Tubifex sp terdapat pada stasiun Musi Kramasan, Muara Ogan dan Ampera yaitu sebesar 95,74 %, 95,59 % dan 90,88 %. Jenis yang juga sering ditemukan adalah jenis Nereis sp yang dapat ditemukan pada 13 stasiun pengamatan, diikuti dengan Lumbriculus sp ditemukan pada 12 stasiun, kemudian jenis Corbicula javanica ditemukan pada 11 stasiun, dan jenis lainnya adalah Gammarus sp, jenis dari kelas Polychaeta seperti Nepthys cormuta serta Cossura sp ditemukan pada stasiun di daerah hypopotamal yang mengarah ke daerah muara. Komposisi jenis yang jarang, dan hanya ditemukan pada satu stasiun saja adalah jenis Physa sp pada stasiun Musi Kramasan, Cirratulus sp dan Anondonta woodiana di stasiun Pulau Payung, Haplotaxis sp pada stasiun Ampera, Polypedilum sp dan Gomphoides sp ditemukan di stasiun Pulokerto. Adanya perbedaan komposisi jenis antar stasiun ini tergantung dari tipe substrat dasar perairan dan faktor antropogenik yang mempengaruhi lingkungan perairan. Dari hasil dendrogram analisis kluster pada bulan April 2007 (Gambar 13) terdapat dua pengelompokkan besar hubungan antara kelimpahan dengan stasiun yaitu kelompok yang pertama adalah kelompok yang kepadatannya rendah yang terdiri dari Stasiun Pulokerto, Selat Cemara, Tanjung Buyut, Pre Selat Cemara, Pulau Payung, Gandus, Pulau Borang dan SST Pulau Burung, Upang, Pre Ogan,
56
Sungai Kundur, PT. SAP, Wilmar dan Ampera, sedangkan kelompok kedua adalah kelompok yang kepadatannya tinggi terdiri dari Stasiun Musi Kramasan, Hoktong, Pusri dan Muara Ogan. Pada kelompok pertama kepadatan totalnya berkisar dari yang terkecil 30 ind/m2 pada stasiun Pulokerto sampai dengan yang tertinggi pada stasiun Ampera 515 ind/m2. Pada kelompok yang kedua kepadatan totalnya berkisar 1007,5 ind/m2 pada stasiun Pusri dan tertinggi pada stasiun Muara Ogan yaitu 1557,5 ind/m2. Diagram pohon untuk variabel Jarak Euclidean Pertalian Tunggal Pulokerto Selat Cemara Tanjung Buyut Pre S.Cemara Pulau Payung Gandus Pulau Borang SST.P.Burung Upang Pre Ogan S.Kundur/M.komring PT.SAP Wilmar Ampera Musi.kramasan Hoktong Pusri. Muara Ogan 0
100
200
300
400
500
Jarak pertalian
Gambar 13 Dendogram analisis kluster hubungan kepadatan makrozoobentos dengan stasiun pengambilan sampel pada bulan April 2007. Diagram Pohon untuk Variabel Jarak Euclidean Pertalian Tunggal Pulokerto Pulau Borang Tanjung Buyut Pre S.Cemara SST.P.Burung Upang Selat Cemara Pulau Payung Gandus Pre Ogan Pusri. PT.SAP S.Kundur/M.komring Wilmar Ampera Muara Ogan Hoktong Musi.kramasan 0
200
400
600
800
1000
1200
Jarak Pertalian
Gambar 14 Dendogram analisa kluster hubungan kepadatan makrozoobentos dengan stasiun pengambilan sampel pada bulan Juli 2007. Gambar 14 hasil analisis kluster dendogram menunjukkan bahwa pada bulan Juli 2007 juga terdapat tiga pengelompokkan besar hubungan antara kepadatan
57
dengan stasiun yaitu kelompok yang pertama adalah kelompok yang kepadatannya rendah yang terdiri dari stasiun Pulokerto, Pulau Borang, Tanjung Buyut, Pre Selat Cemara, SST. Pulau Burung, Upang, Selat Cemara, dan Pulau Payung, kelompok kedua adalah kelompok yang kepadatannya sedang yang terdiri dari stasiun Gandus, Pre Ogan, Pusri, PT. SAP, Sungai Kundur, dan Wilmar sedangkan kelompok ketiga adalah kelompok yang kepadatannya tinggi terdiri dari stasiun Ampera, Muara Ogan, Hoktong, dan Musi Kramasan. pada kelompok pertama kepadatan totalnya berkisar dari yang terkecil stasiun Pre Selat Cemara 90 ind/m2 sampai dengan Stasiun Upang 155 ind/m2, untuk kelompok kedua kepadatannya berkisar mulai dari 250 ind/m2 pada stasiun Gandus sampai pada stasiun Wilmar 535 ind/m2 dan pada kelompok yang ketiga berkisar 767,5 ind/m2 pada stasiun Ampera dan tertinggi pada stasiun Musi Kramasan yaitu 3405 ind/m2. Perbandingan kepadatan antar stasiun pada bulan April dan Juli 2007 tersebut tersaji pada Gambar 15.
30000 25000 20000 15000 10000
Tj. Buyut
P. Payung
Selat Cemara
Pre S. Cemara
SST
Upang
PT SAP
P. Borang
S. Kundur
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
Musi Kramasan
Bulan April Bulan Juli
Gandus
0
Pre Ogan
5000 Pulokerto
2
Kepadatan Total (Ind/m )
35000
Gambar 15 Kepadatan total makroozobentos pada bulan April dan Juli 2007. Secara keseluruhan kepadatan jenis makrozoobentos yang tinggi selama 2 kali pengambilan sampel pada bulan April dan Juli 2007 terdapat pada stasiun Musi Kramasan, Muara Ogan, Hoktong, Pusri, Ampera, Wilmar dan Sungai Kundur dibandingkan pada stasiun lainnya hal ini disebabkan keadaan lokasi stasiun tersebut adalah mewakili daerah pemukiman padat penduduk dan pusat pasar tradisional seperti Ampera, Musi Kramasan, Muara Ogan dan daerah industri seperti pabrik karet Hoktong, pabrik pupuk urea Pusri, pabrik kopi Wilmar, dan Pertamina dekat Sungai Kundur. Dengan adanya hubungan dengan kondisi lingkungan di stasiun yang mendapat pengaruh antropogenik berupa masukan limbah dan bahan organik maka akan menimbulkan kondisi lingkungan yang
58
tercemar kemudian diikuti tingginya jumlah makrozoobentos yang berukuran kecil sehingga ini akan mempengaruhi kepadatan total hampir seluruh stasiun pengamatan, dari hasil pengamatan diketahui bahwa 84,03 % yang mendominasi di daerah tersebut adalah jenis Tubifex sp, sebagaimana di ketahui bahwa kelas Oligochaeta seperti Tubifex sp merupakan jenis yang mempunyai tingkat toleran yang tinggi terhadap pencemar terutama bahan organik yang tinggi dan tahan pada kandungan oksigen yang rendah, hal ini mengambarkan bahwa adanya pencemaran bahan organik yang ada di daerah tersebut walaupun kadar oksigen terlarutnya masih mendukung kehidupan makrozoobentos, sehingga kepadatannya cukup tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Menurut Hawkes (1979) meningkatnya kandungan bahan organik di perairan maka akan meningkatkan pula jenis-jenis yang tahan terhadap perairan tercemar salah satunya adalah jenis Tubifex sp. Di samping itu juga tingginya tingkat kepadatan ini disebabkan oleh substrat dasar perairan di daerah potamal yang cenderung didominasi oleh tipe substrat berlumpur yang salah satunya disebabkan kecepatan arusnya tidak terlalu deras dibandingkan dengan arus yang berada di bagian hulu sehingga kebanyakkan yang ditemukan adalah jenis makrozoobentos yang dominan hidup di substrat berlumpur yang mempunyai tipe cara makan bersifat deposit feeders seperti jenis cacing Oligochaeta dan Polychaeta serta Filter feeders seperti jenis Pelecypoda (Bivalvia). Hal ini juga didukung oleh pernyataan Wilhm (1975) yang menyatakan bahwa sifat substrat dasar perairan dan penambahan bahan pencemar ke dalam air berpengaruh terhadap kelimpahan, komposisi serta tingkat keanekaragamannya, dimana kepadatan jenis deposit feeders akan maksimal pada substrat yang berlumpur karena kandungan organiknya tinggi.
4.1.2 Indeks Komunitas Ekologi Komunitas adalah kumpulan populasi yang hidup pada suatu lingkungan tertentu yang saling berinteraksi dan membentuk tingkat tropik. Konsep komunitas penting di dalam ekologi dan relevan digunakan untuk menganalisa kondisi suatu lingkungan karena komposisi dan karakteristik dari komunitas merupakan indikator yang sangat baik untuk menunjukkan kondisi lingkungan dimana komunitas tersebut berada. Lima karakteristik struktur komunitas adalah keanekaragaman, dominasi, kelimpahan relatif, bentuk dan struktur pertumbuhan serta struktur trofik (Krebs 1989).
59
Indeks keanekaragaman (H’), keseragaman (E) dan dominansi (C) dan indeks biotik Hilsenhoff (HBI) merupakan kajian indeks yang sering digunakan untuk menduga kondisi suatu lingkungan perairan dan kestabilan komunitas berdasarkan komponen biologis. Kondisi lingkungan suatu perairan dikatakan baik atau stabil apabila diperoleh indeks keanekaragaman dan keseragaman yang tinggi, dan indeks dominansi yang rendah. Indeks keseragaman berkorelasi positif dengan indeks keanekaragaman, dimana indeks keseragaman menunjukkan besarnya keseimbangan komposisi dan jumlah individu yang dimiliki oleh setiap genus atau spesies yang menggambarkan keanekaragaman jenis makrozoobentos di suatu kawasan sedangkan indeks dominansi menggambarkan besarnya tingkat dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya dalam suatu kawasan yang menyebabkan rendahnya nilai indeks keanekaragaman. Menurut Legendre dan legendre (1983), Jika keanekaragaman (H’) sama dengan nol maka komunitas akan terdiri atas spesies tunggal. Nilai keanekaragaman (H’) akan mendekati maksimum jika semua spesies terdistribusi secara merata dalam komunitas sehingga dapat disimpulkan bahwa nilai indeks keanekaragaman sangat dipengaruhi oleh faktor jumlah spesies, jumlah individu dan pola penyebaran pada masing-masing spesies. Tabel 11 Nilai indeks ekologi pada bulan April 2007 Stasiun (April 2007) No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Pulokerto Gandus Pre Ogan Musi Keramasan
Muara Ogan Ampera Wilmar Pusri Hoktong Sungai Kundur PT. SAP Pulau Borang SST. P. Burung Upang Pre Selat Cemara
Selat Cemara Pulau Payung Tanjung Buyut
Indeks Dominansi (C)
Indeks keanekaragaman (H')
Indeks
Modifikasi
Keseragaman
Indeks
(E)
HBI
0.20 0.29 0.54 0.97 0.80 0.81 0.42 0.86 0.80 0.62 0.57 0.56 0.52 0.39 0.43 0.46 0.25 0.22
2.42 2.18 1.24 0.12 0.62 0.62 1.59 0.48 0.66 1.13 1.24 1.36 1.48 1.62 1.54 1.29 2.16 2.30
0.93 0.84 0.53 0.07 0.31 0.26 0.62 0.21 0.28 0.49 0.54 0.52 0.57 0.69 0.66 0.82 0.83 0.89
5.65 6.61 7.38 7.95 7.77 7.78 7.17 7.84 7.76 7.53 7.42 7.30 7.31 5.70 5.40 4.80 5.72 5.24
60
3
9 8
6 5
1.5
4
1
3 2
0.5
0 TanjungBuyut
PulauPayung
Selat Cemara
PreSelat Cemara
Upang
SST. P. Burung
PulauBorang
PT. SAP
Sungai Kundur
Pusri
Hoktong
W ilmar
Musi Keramasan
Gandus
PreOgan
Pulokerto
(E) HBI
Ampera
1
0 (C) (H')
IndeksEdanHBI
7
2
MuaraOgan
IndeksH' danD
2.5
Gambar 16 Hubungan ke empat indeks ekologi pada bulan April 2007. Gambar 16 menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman yang tinggi terdapat di stasiun Pulokerto, Tanjung Buyut, Pulau Payung, Gandus yang berkisar antara 2,16 – 2,42 dan nilai indeks keseragamannya juga tinggi berkisar 0,83 – 0,93 sedangkan nilai indeks dominansinya tergolong rendah yang berkisar 0,20 0,29, hal ini menunjukkan bahwa kondisi komunitas lingkungan perairan di stasiun tersebut cukup stabil. Nilai keanekaragaman yang tinggi juga menunjukkan jenis makrozoobentos yang lebih beragam dimana jumlah taksanya lebih banyak dan menunjukkan ada hubungannya dengan kondisi lingkungannya, semakin tinggi keanekaragaman berarti kondisi lingkungannya semakin baik dan komunitasnya tergolong stabil. Nilai indeks keanekaragaman yang paling rendah terdapat di stasiun muara Musi Kramasan, Pusri, Muara Ogan, Ampera, dan Hoktong yang berkisar 0,12 – 0,66 kemudian juga dikuti dengan rendahnya nilai indeks keseragaman di bawah 0,50 yaitu berkisar antara 0,07 – 0,31, sedangkan nilai indeks dominansinya cukup tinggi yang berkisar antara 0,80 - 0,97, hasil analisis indeks dominansi ini sejalan dengan hasil analisis indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman dimana nilai indeks keanekaragaman dan indeks keseragaman yang rendah biasanya diikuti dengan nilai indeks dominansi yang tinggi begitu juga sebaliknya. Tingginya nilai indeks dominansi ini disebabkan tingginya jumlah jenis makrozoobentos yang berukuran kecil sehingga ini akan mempengaruhi beberapa individu jenis yang lainnya atau dengan kata lain mendominasi sehingga mengakibatkan terjadinya ketidak-seimbangan ekosistem yang kemungkinan disebabkan adanya gangguan secara alami atau kegiatan antropogenik yang menimbulkan tekanan lingkungan, sehingga hanya beberapa jenis tertentu saja yang dapat bertahan hidup seperti
61
halnya jenis Tubifex sp yang mempunyai kisaran toleransi hidup yang tinggi terhadap bahan pencemar, hal ini dapat terlihat bahwa jenis makrozoobentos pada stasiun yang mempunyai nilai HBI yang tinggi dan nilai indeks keanekaragaman rendah seperti pada daerah muara Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera dan Pusri dimana yang mendominasi adalah dari kelas Oligochaeta yaitu Tubifex sp dan
Lumbriculus
sp.
Salah
satu
penyebab
lain
kecilnya
nilai
indeks
keanekaragaman adalah tipe substrat yan bertipe liat berlumpur karena menurut Koesbiono (1979) dasar perairan yang berupa pasir atau sedimen halus merupakan lingkungan yang kurang baik bagi hewan bentos selain tipe dari jenis deposit feeders dimana pada substrat halus kandungan oksigennya tidak begitu banyak akan tetapi kandungan nutrien berlimpah. Pada stasiun Pre Selat Cemara dan Selat Cemara walaupun komposisi taksanya rendah yaitu 5 jenis dan 3 jenis namun nilai indeks keanekaragamannya sedang 1,54 dan 1,29 sedangkan untuk nilai indeks keseragamannya tinggi yaitu 0,66 dan 0,82 serta nilai indeks dominansi tergolong rendah sampai sedang dibawah 0,50 yaitu 0,43 dan 0,46 hal ini dipengaruhi pola penyebaran dan kepadatan yang merata sehingga tidak ada jenis yang terlalu mendominasi di samping itu juga dipengaruhi oleh keadaan karakteristik habitat dan substrat dasar perairannya yang bertipe substrat lempung berliat dan lempung sehingga dapat disimpulkan bahwa rendah jumlah taksa yang ditemukan belum tentu kondisi lingkungannya kurang baik tetapi juga bisa dipengaruhi oleh faktor lainnya. Menurut Odum (1971) penilaian tercemar tidaknya suatu ekosistem tidak sedemikian mudah terdeteksi dari hubungan antara keanekaragaman dan kestabilan komunitasnya. Sistem yang stabil dalam pengertian tahan terhadap gangguan atau bahan pencemar dapat saja memiliki keanekaragaman yang rendah atau juga tinggi, hal ini tergantung dari fungsi aliran energi yang terdapat pada perairan tersebut. Tabel 12 Nilai indeks ekologi pada bulan Juli 2007 No.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Stasiun ( Juli 2007)
Pulokerto Gandus Pre Ogan Musi Keramasan
Muara Ogan Ampera Wilmar Pusri
Indeks Dominansi (C)
Indeks keanekaragaman (H')
Indeks Keseragaman (E)
Modifikasi Indeks HBI
0.28 0.71 0.74 0.92 0.93 0.83 0.41 0.54
2.19 0.89 1.07 0.72 0.25 0.56 1.56 1.32
0.78 0.39 0.41 0.31 0.13 0.24 0.60 0.57
5.75 7.68 7.59 7.90 8.07 7.81 7.37 7.65
62
Lanjutan Tabel 12 No.
Stasiun ( Juli 2007)
9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Hoktong Sungai Kundur PT. SAP Pulau Borang SST. P. Burung Upang Pre Selat cemara Selat Cemara Pulau Payung Tanjung Buyut
Indeks Dominansi (C) 0.88 0.9 0.66 0.48 0.48 0.32 0.37 0.29 0.24 0.28
Indeks Keanekaragaman (H') 0.43 1.01 1 1.46 1.59 1.87 1.71 1.89 2.23 2.06
Indeks Keseragaman (E) 0.18 0.39 0.43 0.63 0.61 0.72 0.66 0.81 0.79 0.80
2.5
Modifikasi Indeks HBI 7.85 7.53 7.59 6.87 7.06 4.40 5.75 4.57 4.80 5.83 9
7 6
1.5
5 4
1
3
Indeks HBI
Indeks H', E, dan D
8 2
2
0.5
0 Tanjung Buyut
Pulau Payung
Selat Cemara
Pre Selat cemara
Upang
SST. P. Burung
Pulau Borang
PT. SAP
Sungai Kundur
Hoktong
Pusri
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
Musi Keramasan
HBI
Pre Ogan
(H') (E)
Gandus
(C)
Pulokerto
1 0
Gambar 17 Hubungan ke empat indeks ekologi pada bulan Juli 2007. Gambar 17 menunjukkan bahwa nilai indeks keanekaragaman yang tinggi dapat ditemukan di stasiun Pulau Payung, Pulokerto, Tanjung Buyut, yang berkisar antara 2,06 – 2,23, tingginya nilai indeks keanekaragaman ini disebabkan hampir meratanya jumlah individu dalam stasiun tersebut. Di samping itu juga pada ketiga stasiun ini mempunyai nilai indeks keseragamannya tinggi yang berkisar 0,78 – 0,80, semakin tinggi nilai indeks keseragaman suatu perairan (mendekati 1) maka kelimpahan pada masing-masing jenis cukup merata dan tidak ada kecenderungan spesies tertentu yang mendominasi dan ini terlihat pada nilai indeks dominansinya tergolong rendah yang berkisar 0,24--0,28, Hal ini menunjukkan kondisi lingkungan perairan di stasiun tersebut masih cukup baik belum memperlihatkan tekanan ekologis dan komunitas tergolong stabil. Nilai indeks keanekaragaman yang rendah terdapat di stasiun Muara Ogan, Hoktong, Ampera, Musi Kramasan dan Gandus, yang berkisar 0,25–0,89, kemudian juga dikuti dengan rendahnya nilai indeks keseragaman berkisar antara 0,13–0,39, sedangkan nilai indeks dominansinya cukup tinggi yang berkisar antara
63
0,71-0,93, Tingginya nilai indeks dominansi menggambarkan kondisi perairan tidak stabil dan kemungkinan tercemar sehingga mengakibatkan terjadinya ketidakseimbangan ekosistem yang dapat disebabkan adanya tekanan atau gangguan dari lingkungan, sehingga hanya beberapa jenis tertentu saja yang dapat bertahan hidup seperti halnya Tubifex sp yang mempunyai kisaran toleransi hidup yang tinggi terhadap bahan pencemar. Hal ini dapat terlihat bahwa jenis makrozoobentos pada stasiun yang mempunyai nilai indeks keanekaragaman rendah dan nilai indeks HBI yang tinggi seperti pada daerah Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera dan Pusri yang mendominasi adalah dari kelas Oligochaeta yaitu jenis Tubifex sp dan jenis Lumbriculus sp. Kecenderungan dominasi yang tinggi tersebut diduga terkait erat dengan kecenderungan prilaku kelas Oligochaeta untuk membentuk kelompok dan koloni.
4.1.3 Modifikasi Indeks Biotik Hilsenhoff (HBI) Indeks biotik Hilsenhoff adalah indeks yang digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran perairan berdasarkan biota perairan. Dalam modifikasi indeks ini, jenis-jenis hewan makrozoobentos mempunyai nilai toleransi yang berbedabeda yang menggambarkan daya tahan spesies tersebut terhadap tingkat kualitas air. Semakin tinggi nilai toleransi yang dimiliki suatu spesies makrozoobentos maka hewan tersebut tergolong ke dalam jenis yang toleran terhadap kondisi perairan yang ekstrim, seperti pencemaran bahan organik (Hilsenhoff 1988). Tabel 13 Kategori kualitas air berdasarkan nilai HBI No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Stasiun Pulokerto Gandus Pre Ogan Musi Keramasan Muara Ogan Ampera Wilmar Pusri Hoktong Sungai Kundur PT. SAP Pulau Borang SST. P. Burung Upang Pre Selat Cemara Selat Cemara Pulau Payung Tanjung Buyut
April 2007
5.65 6.61 7.38 7.95 7.77 7.78 7.17 7.84 7.76 7.53 7.42 7.30 7.31 5.70 5.40 4.80 5.72 5.24
Kategori kualitas air Sedang Agak buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sedang Sedang Baik Sedang Sedang
Juli 2007 5.75 7.68 7.59 7.90 8.07 7.81 7.37 7.65 7.85 7.53 7.59 6.87 7.06 4.40 5.75 4.57 4.80 5.83
Kategori kualitas air Sedang Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Sangat buruk Buruk Buruk Baik Sedang Baik Baik Agak buruk
64
Tabel 13 menunjukkan bahwa nilai HBI pada dua kali pengambilan sampel di beberapa stasiun terdapat variasi perbedaan kualitas air menjadi menurun seperti di stasiun Gandus dan Wilmar yang sebelumnya dikategorikan agak buruk dan buruk menurun menjadi sangat buruk begitu juga pada stasiun Tanjung Buyut dimana pada bulan April kualitas airnya sedang menurun menjadi agak buruk. Selain perubahan kualitas air yang menurun juga ada perubahan yang kualitas airnya meningkat pada bulan Juli yaitu pada stasiun Upang dan Pulau Payung yang kriterianya buruk dan sedang meningkat menjadi kualitas air yang baik. Selain stasiun tersebut diatas, kategori kualitas air semuanya tergolong sangat buruk baik pada bulan April maupun Juli 2007 yaitu pada stasiun Pre Ogan, Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera, Pusri, Hoktong, Sungai Kundur, PT.SAP, Pulau Borang dan SST. Pulau Burung hal ini kemungkinan adanya pengaruh antropogenik dan tata guna lahan di sekitar badan Sungai Musi di wilayah stasiun tersebut seperti adanya industri sehingga kemungkinan menerima limbah pencemaran lebih tinggi dari pada stasiun yang tergolong agak buruk sampai baik. Hal ini juga di dukung oleh komposisi jenis makrozoobentosnya di semua wilayah stasiun tersebut yang sebagian besar didominasi oleh kelas Oligochaeta jenis Tubifex sp dan Lumbriculus sp yang merupakan jenis toleran terhadap pencemaran terutama bahan organik dan tahan pada gas oksigen terlarut yang rendah sedangkan jenis yang intoleran yang ditemukan sangat sedikit sekali yaitu Gomphoides sp. Tabel 14 Hubungan kriteria Ika-Storet dengan indeks biotik pada bulan April 2007 April 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Stasiun Pulokerto Gandus Pre Ogan Musi Keramasan
Muara Ogan Ampera Wilmar Pusri Hoktong Sungai Kundur PT. SAP Pulau Borang SST. P. Burung Upang Pre S. Cemara Selat Cemara Pulau Payung Tanjung Buyut
IKA-Storet Nilai -18 -18 -18 -36 -40 -36 -36 -36 -36 -22 -12 -16 -16 -4 -22 -22 -26 -18
Kategori Sedang Sedang Sedang Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Sedang Sedang Sedang Sedang Baik Sedang Sedang Sedang Sedang
Shanon Wiener Nilai 2.42 2.18 1.24 0.12 0.62 0.62 1.59 0.48 0.66 1.13 1.24 1.36 1.48 1.62 1.54 1.29 2.16 2.30
Kategori Tinggi Tinggi Sedang Rendah Rendah Rendah Sedang Rendah Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi Tinggi
Modifikasi Indeks Biotik Hilsenhoff Nilai Kategori 5.65 Sedang 6.61 Agak buruk 7.38 Sangat buruk 7.95 Sangat buruk 7.77 Sangat buruk 7.78 Sangat buruk 7.17 Buruk 7.84 Sangat buruk 7.76 Sangat buruk 7.53 Sangat buruk 7.42 Sangat buruk 7.30 Sangat buruk 7.31 Sangat buruk 5.70 Sedang 5.40 Sedang 4.80 Baik 5.72 Sedang 5.24 Sedang
65
Tabel 15 Hubungan kriteria Ika-Storet dengan indeks biotik pada bulan Juli 2007 Juli 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Stasiun Pulokerto Gandus Pre Ogan Musi Keramasan
Muara Ogan Ampera Wilmar Pusri Hoktong Sungai Kundur PT. SAP Pulau Borang SST. P. Burung Upang Pre S Cemara Selat Cemara Pulau Payung Tanjung Buyut
IKA-Storet Nilai -18 -32 -36 -36 -36 -36 -36 -36 -36 -36 -18 -18 -36 -18 -18 -26 -26 -54
Kategori Sedang Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Buruk Sedang Sedang Buruk Sedang Sedang Sedang Sedang Buruk
Shanon Wiener Nilai 2.19 0.89 1.07 0.72 0.25 0.56 1.56 1.32 0.43 1.01 1.00 1.46 1.59 1.87 1.71 1.89 2.23 2.06
Kategori Tinggi Rendah Sedang Rendah Rendah Rendah Sedang Sedang Rendah Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Sedang Tinggi Sedang
Modifikasi Indeks Biotik Hilsenhoff Nilai Kategori 5.75 Sedang 7.68 Sangat buruk 7.59 Sangat buruk 7.90 Sangat buruk 8.07 Sangat buruk 7.81 Sangat buruk 7.37 Sangat buruk 7.65 Sangat buruk 7.85 Sangat buruk 7.53 Sangat buruk 7.59 Sangat buruk 6.87 Buruk 7.06 Buruk 4.40 Baik 5.75 Sedang 4.57 Baik 4.80 Baik 5.83 Agak buruk
Tabel 14 dan 15 menunjukkan bahwa bahwa pada ke 18 stasiun pengukuran memperlihatkan variasi perbedaan dan kesesuaian antara metode indeks Storet, indeks Shanon-Wiener dan indeks HBI, terdapat kesesuaian yang lebih antara metode IKA-Storet dengan indeks HBI dibandingkan dengan indeks Shanon Wiener. perbedaan tersebut dikarenakan pada indeks HBI memperhatikan tingkat kepekaan jenis terhadap kondisi lingkungan perairannya di mana setiap spesies memiliki nilai toleransi sesuai dengan tingkat kepekaannya terhadap perubahan lingkungan perairan dan dari hasil yang ditemukan di dominasi jenis yang toleran sehingga mempengaruhi kategori penilaian yang kebanyakkan tergolong ke dalam kriteria buruk dan sangat buruk dibandingkan dengan indeks Shanon-Wiener yang hanya berupa parameter keanekaragaman jenis saja tanpa memperhatikan tingkat kepekaan jenis terhadap kondisi lingkungan perairannya. Menurut Odum (1971). Penilaian tercemar tidaknya suatu ekosistem tidak hanya melihat hubungan keanekaragaman dalam komunitasnya saja tetapi tergantung juga dari jenis individu dan fungsi aliran energi yang terdapat di suatu perairan. Pada bulan April terdapat kesesuaian hubungan antara indeks Storet, indeks HBI, indeks Shanon Wiener dimana terdapat kesamaan kriteria kualitas air pada 10 stasiun antara indeks Storet dengan indeks HBI dan antara indeks Storet terhadap indeks Shanon Wiener sehingga apabila digabungkan ketiga komponen penilai
66
indeks kualitas air ke dalam suatu dendrogram analisis pengelompokkan berdasarkan analisis kluster tersaji pada Gambar 18 sebagai berikut : Diagram Pohon untuk Variabel Jarak Euklidean Pertalian Tunggal 9 8
Jarak Pertalian
7 6 5 4 3 2
Pulokerto
Tanjung Buyut
Pre S.Cemara
Selat Cemara
Upang
Pulau Payung
S.Kundur/M.komring
PT.SAP
Pulau Borang
SST.P.Burung
Gandus
Pre Ogan
Musi Kramasan
Ampera
Hoktong
Pusri
Muara Ogan
0
Wilmar
1
Gambar 18 Dendrogram analisis kluster pengelompokkan stasiun berdasarkan hubungan 3 indeks kualitas air pada bulan April 2007. Dari hasil dendrogram analisis kluster diatas disimpulkan bahwa pada bulan April 2007 kategori kualitas airnya dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok besar yaitu tercemar berat terdapat di stasiun Muara Ogan, Wilmar, Pusri, Hoktong, Ampera, dan Musi Kramasan, tercemar sedang terdapat di stasiun, Sungai Kundur, PT.SAP, SST. Pulau Burung, Pulau Borang, Pre Ogan dan Gandus serta tercemar ringan terdapat di stasiun Upang, Pulau Payung, Selat Cemara, Pre Selat Cemara Tanjung Buyut dan Pulokerto. Pada bulan Juli 2007 juga terdapat kesesuaian hubungan indeks Storet, indeks HBI, indeks Shanon Wiener dimana terdapat 13 stasiun yang sama antara indeks Storet dengan indeks HBI dan 12 stasiun yang sama antara indeks Storet terhadap indeks Shanon Wiener sehingga apabila digabungkan ketiga komponen penilai indeks kualitas air ke dalam suatu dendrogram pengelompokkan analisis kluster (Gambar 19) yang dapat disimpulkan bahwa pada bulan Juli kategori kualitas airnya dapat digolongkan ke dalam 3 kelompok besar yaitu tercemar berat pada stasiun Muara Ogan, Hoktong, Ampera, Musi Kramasan, Pusri, Sungai Kundur dan Pre Ogan, tercemar sedang terdapat pada stasiun Gandus, Wilmar,
67
Pulau Borang, SST. Pulau Burung PT. SAP dan Tanjung Buyut serta tercemar ringan pada stasiun Upang, Selat Cemara, Pulau Payung, Pre Selat Cemara dan Pulokerto. Diagram Pohon untuk Variabel Jarak Euklidean Pertalian Tunggal 14 12
Jarak Pertalian
10 8 6 4
Pulokerto
Pulau Payung
Pre S.Cemara
Upang
Selat Cemara
Gandus
Wilmar
Pulau Borang
SST.P.Burung
PT.SAP
Tanjung Buyut
Pre Ogan
S.Kundur/M.komring
Musi Kramasan
Ampera
Hoktong
Muara Ogan
0
Pusri
2
Gambar 19 Dendrogram analisis kluster pengelompokkan stasiun berdasarkan hubungan 3 indeks kualitas air pada bulan Juli 2007. Diagram Pohon ntuk Variabel Jarak Euklidean Pertalian Tunggal 12
Jarak Pertalian
10 8 6 4 2
Pulokerto
Pre S.Cemara
Pulau Payung
Upang
Gandus
Selat Cemara
Pre Ogan
S.Kundur/M.komring
PT.SAP
Pulau Borang
SST.P.Burung
Tanjung Buyut
Musi Kramasan
Ampera
Pusri
Hoktong
Muara Ogan
Wilmar
0
Gambar 20 Dendrogram analisis kluster pengelompokkan stasiun berdasarkan hubungan 3 indeks kualitas air pada bulan April dan Juli 2007.
68
Apabila dihubungkan dengan 2 kali periode pengambilan berdasarkan gabungan pengelompokkan analisis kluster indeks kualitas air pada bulan April dan Juli 2007 maka akan dapat ditemukan suatu tren pola pengelompokkan stasiun berdasarkan sumber pencemarnya ke dalam 3 kategori kualitas air yaitu kelompok pertama ; tercemar berat mulai dari stasiun Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera, Wilmar, Pusri, sampai Hoktong dimana daerah ini merupakan daerah kawasan industri dan pemukiman padat penduduk yang berada dekat pusat kota yang terdiri dari industri besar seperti pabrik semen, pabrik pupuk urea, Pertamina, beberapa pabrik pengolahan karet (crumb rubber), pabrik kopi dan pusat pasar tradisional 16 ilir sehingga sumber limbah dari berbagai kegiatan antropogenik dan aktivitas industri menyebabkan turunnya mutu kualitas air menjadi buruk menyebabkan komunitas biota air di lingkungan perairan tersebut tidak stabil dan terganggu hal ini ditandai dengan adanya nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman yang rendah, kepadatan tinggi, serta nilai indeks dominansinya yang tinggi yang di dominasi oleh jenis Oligochaeta seperti Tubifex sp serta dicirikan dengan tingginya beberapa parameter seperti amonia, nitrit, klorida diatas ambang baku mutu yang ditetapkan dan kandungan BOD5, COD yang juga cukup tinggi dibandingkan dengan beberapa stasiun yang lainnya, hal ini menandakan bahwa di lokasi tersebut mengalami pencemaran berat atau mengalami gangguan besar dimana menurut Plafkin et al. (1989) kriteria kondisi biologi lingkungan yan tercemar berat adalah
tidak
Trichoptera),
ditemukannya
jenis
EPT
(Ephemeroptera,
Plecoptera
dan
jenis yang toleran mendominasi, kepadatan organismenya tinggi
yang didominasi dari 1 atau 2 taksa saja. Kelompok kedua ; tercemar sedang
terdapat di stasiun Pulokerto, Pulau
Borang, PT.SAP, Pre Selat Cemara, Gandus, Pre Ogan, SST. Pulau Burung dan Tanjung Buyut dimana daerah ini sudah jauh dari pusat kota sehingga tidak terlalu banyak terdapat pemukiman padat penduduk dan kawasan industri, sumber pencemar industri di kawasan ini seperti pabrik karet (crumb rubber) yang banyak terdapat di Gandus dan Pre Ogan, pabrik minyak goreng di PT. SAP dan pabrik tekstil dan Pulp di stasiun Pulau Borang dan SST. Pulau Burung, limbah domestik serta Pertamina di Stasiun Sungai Kundur sedangkan sumber yang lainnya kemungkinan berasal dari akumulasi pencemaran limbah pertanian lahan kering dan persawahan yang masuk dalam perairan yang terbawa oleh limpasan air sungai sehingga mutu kualitas airnya turun menjadi sedang seperti pada stasiun Tanjung
Buyut.
Hal
ini
dapat
ditandai
dengan
rata-rata
nilai
indeks
69
keanekaragamannya sedang dan nilai indeks dominansinya rendah sampai sedang serta kepadatannya rendah sampai sedang dan juga ditandai sudah munculnya kelompok dari jenis EPT seperti spesies fakultatif Hydropsche sp, dominasi dari jenis toleran spesies seperti Tubifex sp sudah berkurang, dicirikan dengan adanya nilai amonia, nitrit, klorida yang tinggi dan nilai TDS yang tinggi di stasiun Pre Ogan dan Tanjung Buyut. Kelompok ketiga ; tercemar ringan terdapat di stasiun Pulokerto, Upang, Selat Cemara, Pre Selat Cemara dan Pulau Payung, stasiun ini kecuali Pulokerto merupakan stasiun yang jauh dari pusat kota dan mengarah ke arah hypopotamal (muara) sumber pencemarnya kemungkinan dari limbah pertanian dan akumulasi dari bagian hulunya karena cakupan daerahnya semakin luas. Komunitas pada daerah ini tergolong masih stabil, dimana pada stasiun Selat Cemara dan Pre Selat Cemara merupakan stasiun referensi yang kondisi habitatnya masih cukup baik untuk mendukung kehidupan biota perairan. Hal ini ditandai dengan nilai indeks dominansi yang rendah, kepadatannya sedang serta didominasi oleh Gammarus sp jenis yang mengindikasikan adanya pemulihan air bersih (self Purification) di daerah tersebut (mulai stasiun Upang sampai Pulau Payung). Adanya daerah yang tercemar ringan di daerah yang mengarah ke arah muara (stasiun Upang sampai stasiun Pulau Payung) dibandingkan dengan staisun sebelumnya disebabkan karena adanya beberapa sebab diantaranya adanya bahan pencemar dari stasiun yang banyak terdapat aktivitas antropogenik yang ditransportasikan dalam jarak yang sangat jauh dan membutuhkan waktu sehingga dalam perjalanannya dipengaruhi oleh stabilitas perairan, sifat fisik dari bahan pencemar dan kecepatan aliran dari perairan tersebut serta kondisi hidrodinamika yang berbeda pada daerah yang dilaluinya yang berkaitan dengan perbedaan model pencampuran (mixing), penyebaran (dispersion), laju penguraian dan pengenceran serta laju reaerasi (difusi oksigen di permukaan air) menyebabkan air terpurifikasi sehingga kualitas air di stasiun yang mengarah ke arah muara menjadi lebih baik dibandingkan dengan stasiun yang berada dekat kota Palembang disamping itu juga dikarenakan karakteristik Sungai Musi yang kompleks yang juga mengalami pasang surut dua kali dalam sehari mempengaruhi gelombang untuk mempercepat perairan melakukan proses purifikasi.
70
4.1.4
Pola Sebaran Jenis Makrozoobentos Pola penyebaran dalam komunitas dipengaruhi oleh adanya perubahan
lingkungan dimana komunitas tersebut berada, selain itu pola sebaran biota dalam komunitas juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu substrat yang merupakan habitat suatu spesies, ketersediaan makanan dalam bentuk detritus dan partikel tersuspensi, pengaruh faktor ekologis seperti faktor fisika, kimia dan lingkungan serta strategi adaptasi dan interaksi biologis antar populasi yang terdapat dalam komunitas perairan tersebut. Untuk mengetahui bagaimana pola penyebaran jenis spesies dalam suatu komunitas digunakan indeks pola penyebaran Morisita dan kemudian diuji kebenarannya dengan menggunakan uji statistika yaitu sebaran chi square. Terdapat 2 pola penyebaran makrozoobentos di perairan Sungai Musi bagian hilir yaitu pola yang bersifat mengelompok dan pola yang bersifat seragam seperti tersaji pada Tabel 16 dan 17 sebagai berikut : Tabel 16 Pola sebaran jenis makrozoobentos pada bulan April 2007 Jenis Organisme (Periode April 2007) Tubifex sp Branchiura sp Haplotaxis sp Lumbriculus sp Nereis sp Nephtys cormuta Cossura sp Chironomous sp Palpomya sp Hydropsche sp Polycentropus sp Gomphoides sp Pila ampullacea Thiara sp Melanoides tubeculata Anentome sp Belamya sp Corbicula javanica Anodonta woodiana Gammarus sp
Id 2,54 9 9 2,43 1,25 4,13 2,17 2,17 6 1,28 1,28 0 0 18 6 0 5,25 2,57 0 4,56
X2 Hitung 4013,55 34 4 264,62 34,04 173,82 23 32,28 27 19 19 17 17 51 27 17 80,75 275,83 17 273,43
Pola Sebaran Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Seragam Seragam Mengelompok Mengelompok Seragam Mengelompok Mengelompok Seragam Mengelompok
Tabel 16 menunjukkan bahwa terdapat 2 pola sebaran jenis makrozoobentos pada bulan April 2007 yaitu bersifat mengelompok dan bersifat seragam. Pola seragam dimiliki oleh jenis Gomphoides sp, Pila ampullacea, Anentome sp dan Anodonta woodiana dan jenis yang lainnya adalah mengelompok.
71
Tabel 17 Pola sebaran jenis makrozoobentos pada bulan Juli 2007 Jenis Organisme (Periode Juli 2007) Tubifex sp Haplotaxis sp Lumbriculus sp Nereis sp Namalycastis sp Nephtys cormuta Cossura sp Cirratulus sp Chironomous sp Polypedillum sp Hydropsche sp Polycentropus sp Gomphoides sp Physa sp Thiara sp Melanoides tubeculata Belamya sp Corbicula javanica Anodonta woodiana Gammarus sp
Id 3,66 3 2,45 1,59 3 3,43 3 0 2,22 3 3,6 0 0 18 7,2 9,42 3,58 2,70 3,58 3,51
X2 Hitung 10240,40 34 196,98 48,66 23 214,56 23 17 41,57 34 30 14 17 34 41,8 67,57 84,33 427,86 84,33 240,8
Pola Sebaran Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Seragam Mengelompok Mengelompok Mengelompok Seragam Seragam Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok Mengelompok
Tabel 17 menunjukkan bahwa pola sebaran jenis makrozoobentos pada bulan Juli 2007 juga terdapat 2 pola yaitu bersifat mengelompok dan bersifat seragam. Pola seragam dimiliki oleh jenis Cirratulus sp, Polycentropus sp, Gomphoides sp dan jenis yang lainnya adalah mengelompok. Pola penyebaran yang bersifat mengelompok terjadi karena jenis-jenis yang ditemukan berada dalam jumlah yang banyak dan mendominasi pada suatu area. Pola hidup mengelompok di duga berkaitan erat antar spesies dan saling berhubungan. Sifat mengelompok ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain kondisi lingkungan, tipe substrat, kebiasaan makan dan cara mereka berproduksi, hal inilah yang membuat mereka hidup bergerombol. Dari 2 kali pengambilan sampel
makrozoobentos
terlihat
bahwa
pola
sebaran
mengelompok
ini
kebanyakkan berasal dari kelas Oligochaeta dan Polychaeta yang cenderung berkelompok dan berkoloni hal ini dipengaruhi oleh tipe cara makan dan tipe substrat dasar perairan, Menurut APHA (1989) pada dasar perairan yang relatif homogen, maka organismenya cenderung mengelompok. Di Sungai Musi bagian hilir pada dasar perairannya relatif sama didominasi oleh substrat berlumpur sehingga cocok bagi kelas tersebut yang bersifat deposit feeders. Penyebaran yang bersifat mengelompok ini memiliki kecenderungan dalam berkompetisi dengan jenis lainnya, terutama dalam hal makanan serta memiliki sifat
72
mobilitas yang rendah sehingga sukar menyebar dan berpindah tempat. Pola penyebaran mengelompok merupakan respon terhadap lingkungan yang kurang mendukung karena adanya perbedaan faktor fisika dan kimia yang terdapat pada masing-masing stasiun, sehingga organisme tersebut berkelompok mencari habitat yang sesuai (Nybakken 1992). Pola penyebaran yang bersifat seragam kemungkinan dapat disebabkan adanya pengaruh komposisi pasir yang rendah di stasiun yang terdapat jenis yang pola sebarannya bersifat seragam selain itu juga disebabkan kurangnya cadangan makanan di lokasi tersebut. Menurut Odum (1993), pola penyebaran seragam dapat terjadi dimana persaingan diantara individu sangat keras sehingga akan mendorong pembagian ruang untuk habitat bentos. Sebenarnya jenis pola sebaran seragam sangat jarang ditemukan, seragam disini dapat diartikan sebagai seragam dengan pola sebaran acak yakni di dalam sebaran jenis yang acak terdapat jenis-jenis yang seragam sebarannya.
4.1.5 Spesies Bioindikator Setiap spesies mempunyai batas antara toleransi terhadap suatu faktor yang ada di lingkungan berdasarkan teori Shelford (Odum 1993) maka makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan memiliki penyebaran yang luas juga dan sebaliknya organisme yang kisaran toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit. Perbedaan batas toleransi antara dua jenis
populasi
terhadap
faktor
lingkungan
mempengaruhi
kemampuan
berkompetisi, jika sebagian akibat suatu pencemaran limbah industri terhadap suatu lingkungan adalah berupa penurunan kadar oksigen terlarut dalam air maka spesies yang mempunyai toleransi terhadap kondisi itu akan meningkatkan populasinya karena spesies kompetisinya berkurang (Sastrawijaya 1991). Dari Lampiran 4 makrozoobentos yang dapat dijadikan sebagai bioindikator adalah sebagai berikut :
a. Makroozobentos yang bersifat intoleran Makrozoobentos yang bersifat intoleran adalah makrozoobentos yang mampu hidup dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai pada perairan yang kaya bahan organik atau tercemar, kelompok ini tidak dapat berkembang dengan baik apabila terjadi penurunan kualitas lingkungan
73
(Wilhm 1975). Jenis yang bersifat intoleran beberapa diantaranya jenis yang berasal dari kelompok EPT yaitu dari kelas trichoptera, jenis Polycentropus sp dan Hydropsche sp yang persentase dominannya ditemukan pada stasiun yang kondisi lingkungan masih sedkit lebih baik dibandingkan dengan stasiun yang lainnya, ini ditemukan di stasiun Pulokerto, Pre Selat Cemara, dan di stasiun Gandus pada bulan April, rendahnya kehadiran dari kelompok EPT dapat mengindikasikan adanya kondisi lingkungan perairan yang menurun atau tercemar. Menurut Mackie (1998) bahwa beberapa jenis makrozoobentos dari kelompok EPT adalah jenis yang membutuhkan kualitas air dengan kandungan oksigen terlarut yang tinggi diatas 50 % dan tingkatan tropiknya diatas mesotropik. Kelimpahan
untuk
kelompok
EPT
(Ephemeroptera,
Plecoptera
dan
Trichoptera) sangat rendah hanya ditemukan di beberapa stasiun yang jumlah jenis dan individu sedikit 1 atau 2 saja. Kecuali pada bulan Juli di stasiun Pulokerto ditemukan 3 individu dari 1 jenis saja, untuk stasiun yang lainnya kelompok EPT ditemukan pada stasiun Gandus, Pre Ogan dan stasiun yang mengarah ke zona hypopotamal mulai stasiun PT. SAP sampai dengan Pre Selat Cemara. Pada bulan April ditemukan pada stasiun Pulokerto ada 4 individu dari ordo Trichoptera yang terdiri dari 2 famili yaitu Hydropsche sp dan Polycentropus sp, stasiun Gandus ada 2 individu yaitu jenis Hydropsche sp, dan untuk jenis lainnya ditemukan 1 individu saja di 4 stasiun yang mengarah kearah hypopotamal yaitu stasiun Pulau Borang, SST, Upang Jaya, Pre Selat Cemara dan Selat Cemara. Untuk jenis Plecoptera dan Ephemeroptera tidak ditemukan pada saat 2 kali pengambilan sampel hal ini dikarenakan kedua jenis itu merupakan jenis yang bersifat intoleran atau sensitif terhadap pencemaran dan habitatnya cenderung di air bersih sedangkan selama 2 pengambilan sampel air sungainya berwarna keruh kecoklatan,
Menurut
Plafkin
et
al.
(1989)
bahwa
semakin
tinggi
keanekaragamannya maka kondisi biologinya semakin bagus. Dari hasil ini dapat dilihat tren bahwa kelompok EPT dijumpai di awal zona epipotamal dan kemudian muncul lagi di zona yang mengarah hypopotamal hal ini berkaitan dengan kualitas air dan kondisi biologi yang agak baik di stasiun awal seperti di stasiun Pulokerto dan dari mulai baik lagi di daerah stasiun Upang sampai Selat Cemara yang menandakan kondisi airnya sudah mulai mengalami purifikasi sedangkan untuk stasiun yang ada di daerah metapotamal cenderung tidak ditemukan jenis dari kelompok EPT hal ini dikarenakan di wilayah tersebut telah mengalami tekanan berat akibat banyaknya pengaruh antropogenik seperti limbah industri dan
74
pemukiman padat penduduk yang ada di sekitar perairan Sungai Musi bagian hilir. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketidak hadiran dari kelompok EPT di dalam suatu perairan sungai mengindikasikan bahwa sungai tersebut telah tercemar, sehingga kelompok EPT dapat dijadikan salah satu indikator adanya gangguan terhadap lingkungan perairan sungai.
b. Makrozoobentos yang bersifat fakultatif Makrozoobentos yang bersifat fakultatif merupakan makrozoobentos yang mampu hidup dalam kisaran kondisi lingkungan yang lebih luas dibandingkan dengan kelompok yang intoleran, jenis ini ditemukan pada kelompok Bivalvia (Pelecypoda) jenis Corbicula javanica yang cukup sering ditemukan di setiap stasiun mulai dari stasiun yang kondisi lingkungan baik sampai pada stasiun yang kondisi kualitas air menurun ini menandakan bahwa jenis ini mempunyai kisaran hidup yang luas sehingga digolongkan ke dalam kriteria spesies fakultatif karena dapat bertahan terhadap pada perairan yang banyak bahan organik dan mampu bertahan terhadap stressor pada tingkat tertentu. Menurut Mackie (1998) kelompok kelas Bivalvia, Gastropoda dan Amphipoda dapat dimasukan jenis kelompok yang fakultatif. Jenis lainnya dari kelompok Gastropoda yaitu jenis Bellamya javanica dan Bellamya sumatrensis yang juga banyak ditemukan pada stasiun yang tercemar, kemudian dari kelas Amphipoda jenis Gammarus sp, banyak ditemukan pada daerah yang kualitas airnya tidak terlalu tercemar yang mengarah ke zona hypopotamal menuju daerah estuaria yaitu mulai dari stasiun upang sampai daerah Pulau Payung dimana jenis Tubifex sp tidak mendominasi lagi dan dibeberapa stasiun jenis ini mempunyai persentase dominasi yang tinggi. Menurut Sastrawijaya (1991) bahwa zona yang mempunyai banyak Gammarus-nya dianggap sebagai zona pertama kembalinya fauna yang biasa terdapat pada air bersih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis ini dapat dijadikan sebagai indikator purifikasi (SelfPurification) perairan Sungai Musi bagian hilir.
c. Makrozoobentos yang bersifat toleran Makrozoobentos yang bersifat toleran adalah makrozoobentos yang dapat hidup dan berkembang pada kisaran toleransi yang sangat luas, artinya kelompok ini sering dijumpai di perairan yang tercemar atau berkualitas buruk dimana umumnya kelompok ini peka terhadap berbagai bentuk dan tekanan serta
75
kelimpahannya terus bertambah di perairan yang tercemar bahan organik (Wilhm 1975). Jenis yang bersifat toleran di perairan hilir Sungai Musi yakni dari kelas Oligochaeta jenis Tubifex sp dan Lumbriculus sp dimana kedua jenis ini merupakan jenis yang paling dominan ditemukan di hampir setiap stasiun hal ini disebabkan karena Sungai Musi pada bagian hilir cenderung didominasi substrat yang berlumpur sehingga kebanyakkan yang ditemukan adalah jenis makrozoobentos yang dominan hidup di substrat berlumpur dan mempunyai tipe cara makan bersifat Deposit feeders seperti jenis cacing Oligochaeta dan Polychaeta sebagaimana di ketahui bahwa kelas Oligochaeta seperti Tubifex sp merupakan jenis cacing yang ujung anteriornya selalu terbenam di dasar perairan seperti lumpur, berwarna merah, pink, kadang terbungkus suatu selubung (pipa) yang ujung posteriornya dilambaikan untuk memperoleh oksigen sehingga tahan pada kandungan oksigen yang rendah serta mempunyai tingkat toleran yang tinggi terhadap pencemar terutama kandungan bahan organik yang tinggi hal ini mengambarkan bahwa adanya pencemaran bahan organik yang ada di daerah tersebut sehingga kepadatannya cukup tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lainnya. Menurut Hawkes (1979) meningkatnya kandungan bahan organik di perairan maka akan meningkatkan pula jenis-jenis yang tahan terhadap perairan tercemar salah satunya adalah jenis Tubifex sp. Jenis yang lain adalah kelas Polychaeta yang juga dikenal sebagai organisme yang toleran terhadap tekanan lingkungan seperti kandungan oksigen terlarut rendah, kontaminasi organik dan polusi sampah sehingga dapat dijadikan sebagai indikator yang tertekan (EPA 1986). Jenis tersebut adalah Nereis sp yang juga sangat banyak ditemukan di beberapa stasiun terutama di stasiun yang mengarah ke arah estuaria. Menurut Lardicci dan Castelli (1985) jenis Nereis sp memiliki kemampuan menyerap bahan organik terlarut, mampu beradaptasi terhadap perubahan salinitas, toleran terhadap kandungan oksigen rendah, dan konsentrasi logam berat serta perubahan suhu yang ekstrim. Jenis toleran yang lainnya yaitu pada kelompok Chironomidae jenis Chironomous sp dimana dari beberapa literatur yang di dapat jenis ini mempunyai kisaran sebaran wilayah yang luas dan Menurut Sastrawijaya (1991) jenis Chironomous sp tergolong sebagai indikator pencemaran berat dan dapat hidup pada kondisi oksigen yang terbatas seperti di daerah yang mengalami pencemaran organik tinggi. Sebenarnya ditemukan juga jenis yang mempunyai toleransi terhadap pencemaran tinggi dari beberapa literatur yang didapat misal Physa sp yang tahan
76
terhadap pencemaran panas (termal) diatas 30oC yang di temukan di stasiun Musi Kramasan yang mengalami tekanan berat
dan Anodonta woodiana di stasiun
Pulau Payung namun jenis ini hanya ditemukan 1 individu di 1 stasiun saja sehingga belum bisa dijadikan referensi sebagai spesies indikator di Sungai Musi yang mengindikasikan adanya suatu pencemaran. Dimana menurut Helllawel 1986, diacu dalam Rosenberg dan Resh (1993) bahwa suatu takson dapat dikatakan sebagai indikator, jika takson tersebut berstatus eksklusif dengan frekuensi kehadiran minimal 50 %. Spesies indikator menurut Wittig 1993, diacu dalam Mhatre dan Pankhurst (1996) adalah organisme, bagian dari suatu organisme atau masyarakat suatu organisme (komunitas) yang menyediakan informasi tentang kondisi lingkungan baik sebagian atau secara keseluruhan di dalam suatu kawasan. Menurut Hellawell (1986) bahwa karakteristik ideal dari jenis organisme bioindikator adalah ; a) mudah di identifikasi, b) tersebar secara kosmopolit, c) kelimpahan dapat dihitung, d) variabilitas ekologi dan genetiknya rendah, e) ukuran tubuh relatif besar, f) mobilitas terbatas dan masa hidupnya relatif lama dan g) terintegrasi dengan kondisi lingkungan.
77
4.2 Karakteristik Parameter Fisika-kimia Perairan Sungai Musi Bagian Hilir Faktor lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan suatu oraganisme baik baik langsung maupun tidak langsung. Faktor lingkungan tersebut dapat bersifat fisika, kimia maupun biologi. Untuk memperjelas pengaruh dari faktor fisika dan kimia terhadap kualitas perairan Sungai Musi bagian hilir dan makrozoobentos, maka perlu adanya kajian sebagai berikut :
4.2.1 Parameter Fisika Perairan Suhu Tiap organisme perairan mempunyai batas toleransi yang berbeda terhadap perubahan suhu perairan bagi kehidupan dan pertumbuhan organisme perairan. Oleh karena itu suhu merupakan salah satu faktor fisika perairan yang sangat penting bagi kehidupan organisme atau biota perairan. Secara umum suhu berpengaruh langsung terhadap biota perairan berupa reaksi enzimatik pada organisme dan tidak berpengaruh langsung terhadap struktur dan disperse hewan air (Nontji 1984). Suhu air pada perairan Sungai Musi bagian hilir berkisar antara 29 sampai dengan 32oC. Pada bulan April suhu terendah ditemukan pada stasiun Pulokerto, Pre Ogan, Musi Kramasan dan Muara Ogan yaitu 29 oC dan suhu yang tertinggi didapatkan pada stasiun Pulau Borang dengan suhu 30,83oC, sedangkan pada bulan Juli yang terendah terdapat pada stasiun SST. Pulau Burung dengan suhu 29oC dan suhu yang tertinggi terdapat di stasiun Pulau Payung dengan suhu 32 oC, tingginya suhu di stasiun daerah ini kemungkinan besar dikarenakan daerah ini berada di wilayah estuaria dekat muara sehingga muncul perbedaan ketinggian dari permukaan laut dimana pada umumnya suhu udara daerah dataran rendah lebih tinggi dibandingkan dataran tinggi. Penyebab lain dikarenakan adanya pengaruh dari pasang surut air laut dan salinitas yang menyebabkan naiknya suhu perairan. Di samping itu juga adanya variasi nilai suhu tersebut kemungkinan besar disebabkan adanya perbedaan waktu pengukuran sampel air, suhu yang relatif rendah didapatkan pada pengukuran sampel pada waktu pagi hari sedangkan suhu yang tinggi didapatkan pada pengukuran sampel air pada siang hari sehingga intensitas sinar matahari yang masuk ke dalam badan air lebih tinggi. Namun demikian kisaran suhu rata rata dari setiap stasiun menunjukkan perkembangan yang berfluktuasi dan
78
perbedaannya relatif homogen tidak berbeda jauh, hal ini disebabkan karena semua pengambilan sampel air hanya dilakukan di lapisan permukaan air sampai batas zona eufotik sehingga tidak terlihat kisaran suhu berdasarkan strata vertikal dari kolom air. Gambar 21 menunjukkan bahwa rata-rata suhu pada bulan Juli lebih tinggi dibandingkan pada bulan April hal ini dikarenakan pada bulan Juli masih termasuk periode bulan kering (musim kemarau) sehingga intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam badan air menjadi lebih tinggi dan menyebabkan suhu air menjadi lebih hangat dibandingkan pada bulan April yang termasuk ke dalam periode bulan basah (musim hujan) yang menyebabkan intensitas curah hujan tinggi pada bulan tersebut sehingga suhu air sungai dipengaruhi oleh air hujan yang suhunya relatif lebih dingin dan secara tidak langsung akan mempengaruhi suhu air pada saat pengukuran pada bulan April. 32.00
Suhu ( oCelcius )
31.50 31.00 30.50 30.00 29.50 29.00 28.50
27.50
Pulokerto Gandus Pre Ogan M. Kramasan Muara Ogan Ampera Wilmar Pusri Hoktong S. Kundur PT SAP P. Borang SST.P.Burun Upang Pre S.Cemara Selat Cemara P. payung Tjg. Buyut
28.00
Bulan April 2007 Bulan Juli 2007
Gambar 21 Kisaran fluktuasi nilai suhu pada bulan April dan Juli 2007. Keberadaan suhu di perairan selain mempengaruhi kelarutan-kelarutan gas dalam air juga mempengaruhi metabolisme organisme biota akuatik salah satunya adalah makrozoobentos. Dari kisaran rata-rata nilai suhu tersebut, suhu di perairan Sungai Musi bagian hilir berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 termasuk stabil dan masih memenuhi peruntukkan baku mutu untuk semua kelas serta masih dapat mendukung pertumbuhan dan proses metabolisme makrozoobentos. Menurut Welch (1980) bahwa suhu diatas 35 – 40 oC merupakan lethal temperature bagi makrozoobentos karena mencapai titik kritis yang dapat menyebabkan kematian.
79
Kecepatan Arus Kecepatan arus Sungai Musi bagian hilir berkisar mulai dari 0,06 m/dtk sampai dengan 1,49 m/dtk dan apabila kecepatan arus pada bagian kiri, tengah dan kanan sungai diratakan maka nilai fluktuatif rata-rata kecepatan arus pada bulan April berkisar 0,13 - 0,97 m/dtk dan pada bulan Juli berkisar 0,12 -0,71 m/dtk. Menurut Mason (1993) bahwa perairan yang mempunyai arus > 1 m/dtk dikategorikan dalam perairan yang berarus sangat deras, perairan dengan arus > 0,5– 1 m/dtk dikategorikan sebagai arus deras, kecepatan arus 0,25– 0,5 m/dtk dikategorikan sebagai arus sedang, kecepatan arus 0,1– 0,25 m/dtk di kategorikan arus lambat dan kecepatan arus < 0,1 m/dtk dikategorikan arus sangat lambat. Berdasarkan kategori tersebut diatas maka nilai rata-rata kecepatan arus perairan Sungai Musi pada bagian hilir termasuk dalam kategori berarus sangat lambat sampai dengan berarus deras. 1.00
Kecepatan Arus (m/s)
0.90 0.80 0.70 0.60 0.50 0.40 0.30 0.20
Tj. Buyut
P. payung
Selat Cemara
Upang
Pre S.Cemar
SST.P.Burun
PT SAP
P. Borang
S. Kundur
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
M. Kramasan
Bulan Juli 2007
Gandus
Bulan April 2007
Pre Ogan
0.00
Pulokerto
0.10
Gambar 22 Rerata kecepatan arus Sungai Musi pada bulan April dan Juli 2007. Gambar 22 menunjukkan bahwa kecepatan arus pada bulan April lebih tinggi dibandingkan dengan bulan Juli hal ini dikarenakan pada bulan April masih termasuk ke dalam periode bulan basah (musim hujan) sehingga jumlah dan debit air yang masuk ke dalam badan air sungai lebih tinggi yang akan mempengaruhi laju kecepatan arus menjadi lebih cepat, hal ini dapat terlihat pada stasiun Ampera, Pre Ogan, Pre Selat Cemara, Selat Cemara dan Pulau Payung dimana pada saat pengukuran arus terjadi pasang tinggi pada stasiun tersebut. Pada bagian tengah sungai di beberapa stasiun pengukuran kecepatan arus dikategorikan ke dalam arus sangat deras seperti pada stasiun Ampera, Sungai Kundur, Pre Selat Cemara dan Pulau Payung.
80
Pasang Surut Pasang surut merupakan gerakan naik turunnya permukaan air laut sebagai akibat adanya gaya tarik menarik benda-benda diangkasa, terutama bulan dan matahari terhadap massa air di bumi. Bulan mempunyai peranan yang lebih besar dari pada matahari dalam menentukan pasang surut (Bishop diacu dalam Adriman 1995). Hasil perhitungan MSL (means sea level) dengan menggunakan data pasang surut dari PT. Pelindo di area ambang luar pada bulan April dan Juli menunjukkan bahwa tipe pasang surut Sungai Musi bagian hilir adalah bersifat campuran, antara pasang harian tunggal dan pasang harian ganda (Gambar 23 dan Gambar 24).
Gambar 23 Pasang surut hilir Sungai Musi (ambang luar) pada bulan April 2007.
Gambar 24 Pasang surut hilir Sungai Musi (ambang luar) pada bulan Juli 2007.
81
Pola harian tunggal berarti dalam 24 jam terjadi satu kali pasang dan satu kali surut, sedangkan pola harian ganda berarti dalam 24 jam terjadi dua kali pasang dan dua kali surut. Kedalaman Dari pengukuran kedalaman Sungai Musi pada bagian hilir di setiap stasiun yang dilakukan pada tepi kiri, kanan dan tengah badan air didapatkan bahwa kedalamannya berkisar 0,55 - 20,7 meter. Nilai kedalaman pada setiap stasiun sangat bervariasi, adanya variasi perbedaan kedalaman pada setiap stasiun pada bulan April dan Juli disebabkan karena tidak tepatnya pengukuran pada titik yang sebelumnya, hal ini dikarenakan beberapa faktor salah satunya adalah posisi kapal dimana pada saat air surut kapal tidak dapat mencapai tepi sungai. tepi sungai yang dalam baik kiri maupun kanan didapatkan pada stasiun di sekitar wilayah kota Palembang seperti stasiun Ampera, Pusri, Hoktong, PT. SAP, hal ini dikarenakan di beberapa stasiun tersebut terdapat kegiatan pengerukan sungai untuk keperluan industri maupun sebagai tempat berlabuhnya kapal, sedangkan pada bagian tepi Sungai Musi di sekitar daerah Banyuasin di beberapa stasiun sudah mengalami pendangkalan baik di tepi kiri maupun di tepi kanan badan sungai, hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat sedimentasi akibat erosi pinggir sungai yang
Tj. Buyut
P. payung
Selat Cemara
Upang
Pre S.Cemara
SST.P.Burung
PT SAP
P. Borang
S. Kundur
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
M. Kramasan
Bulan Juli 2007
Gandus
Bulan April 2007
Pre Ogan
20.00 18.00 16.00 14.00 12.00 10.00 8.00 6.00 4.00 2.00 0.00 Pulokerto
Kedalaman (m)
kebanyakkan lahannya sudah berubah menjadi lahan pertanian.
Gambar 25 Rerata kedalaman stasiun di Sungai Musi bagian hilir. Gambar 25 menunjukkan bahwa rata-rata kedalaman tertinggi terjadi pada bulan April 2007 hal ini disebabkan karena pada bulan tersebut intensitas curah
82
hujan lebih tinggi dibandingkan pada bulan Juli yang menyebabkan volume air di badan sungai lebih banyak sehingga di beberapa stasiun kedalamannya lebih tinggi dibandingkan pada bulan Juli.
Kecerahan, Total Padatan Tersuspensi dan Padatan Terlarut Kecerahan, kekeruhan muatan padatan tersuspensi merupakan parameter yang saling berkaitan dimana peningkatan konsentrasi muatan padatan tersuspensi akan
meningkatkan
kekeruhan
air
dan
sebaliknya
mengurangi
tingkat
kecerahannya. Kecerahan perairan menunjukkan kemampuan cahaya untuk
menembus
lapisan
air
pada
kedalaman
tertentu, dari hasil
pengukuran kecerahan untuk setiap masing-masing stasiun berkisar 15 cm – 35 cm (Gambar 30), nilai kecerahan tersebut menunjukkan bahwa perairan Sungai Musi bagian hilir dikategorikan ke dalam perairan yang keruh hal ini terlihat pada waktu pengukuran sampel di badan air bahwa airnya berwarna coklat keruh dan menurut Boyd (1990) perairan yang tergolong jernih kecerahannya mencapai 40 cm. Kecerahan dipengaruhi oleh warna air, kekeruhan dan penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam badan air. Kecerahan suatu perairan disebabkan oleh tingkat kekeruhan di mana semakin keruh suatu perairan maka tingkat kecerahannya semakin rendah. Kekeruhan terutama disebabkan adanya partikel tanah seperti lumpur,
plankton
dan
partikel
terlarut yang
dapat
mengendap
sehingga
menghalangi penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dalam badan perairan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap proses fotosintesis di perairan. Rendahnya nilai kecerahan di Sungai Musi bagian hilir ini disebabkan oleh tingginya nilai padatan tersuspensi (Gambar 30) yang berasal dari sedimen yang terbawa oleh arus dari bagian hulu sungai dan air hujan erosi pinggiran sungai, aktivitas penggalian pasir serta padatnya transportasi kapal yang ada di bagian hilir sungai. Total partikel tersuspensi (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter 1 µm) yang tertahan pada kertas saring milipore dengan ukuran diameter pori-pori 0,45 µm. Nilai TSS menggambarkan seberapa besar jumlah bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan perairan.
300 250 200 150 100 50 0
TSS April TSS Juli Kecerahan April Kecerahan Juli
Gambar 26
4500 4200 3900 3600 3300 3000 2700 2400 2100 1800 1500 1200 900 600 300 0
TDS April TDS Juli Kecerahan April Kecerahan Juli
P u lo k e r to G andus P re O gan M . K ram as an M uara O gan A m pera W ilm a r P us ri H o k to n g S. Kundur PT SAP P . B orang S S T .P .B u r u n g U pang P r e S .C e m a r a S e la t C e m a r a P. payung T jg . B u y u t
T D S ( m g /l) d a n K e c e r a h a n ( c m )
350
P u lo k e r t o G andus P re O gan M . K ram as an M uara O gan A m pera W ilm a r P us ri H o k to n g S. Kundur PT SAP P . B orang S S T . P .B u r u n g U pang P r e S .C e m a r a S e la t C e m a r a P. payung T j. B u y u t
T S S ( m g / l) d a n K e c e r a h a n ( c m )
83
Grafik perbandingan kisaran nilai, TSS, TDS dan kecerahan pada bulan April dan Juli 2007.
Dari hasil pengukuran nilai TSS, menunjukkan bahwa nilai TSS periode bulan April dan Juli untuk masing-masing stasiun berkisar antara 14 mg/l sampai dengan 296 mg/l (Gambar 26). Rata-rata nilai tersebut belum melampaui ambang batas baku mutu lingkungan yang berlaku di Indonesia berdasarkan pada PP. No. 82 Tahun 2001 untuk kepentingan perikanan yaitu masih lebih rendah dari 400 mg/l. Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan
nilai
padatan
tersuspensi dapat tersaji pada Tabel 18 dibawah ini. Tabel 18 Kesesuaian perairan untuk kepentingan perikanan berdasarkan nilai TSS Nilai TSS (mg/l) Pengaruh terhadap Kepentingan Perikanan 25 Tidak berpengaruh 25-80 Sedikit berpengaruh 81-400 Kurang baik bagi kepentingan perikanan >400 Tidak baik bagi kepentingan perikanan Sumber : Alabaster & Lloyd 1982, diacu dalam Effendi 2003.
Gambar 30 menunjukkan bahwa pada bulan April rata-rata nilai TSS-nya lebih tinggi dibandingkan pada bulan Juli hal ini disebabkan karena pada bulan April masih tergolong dalam periode musim hujan sehingga sumber air banyak berasal dari bahan-bahan tersuspensi koloid dan bahan tersuspensi yang berukuran besar seperti partikel halus tanah serta zat-zat yang tererosi dari daratan yang terhanyut oleh ar hujan melalui limpasan air (run-off) yang masuk ke dalam badan perairan di samping itu juga banyaknya bahan atau zat dari bagian hulu sungai yang terbawa oleh arus yang deras ke bagian hilir sungai, menyebabkan tingkat kekeruhannya menjadi lebih tinggi.
84
Nilai TSS yang tinggi ditemukan pada stasiun Tanjung Buyut, Pulau Payung dimana tingginya nilai TSS pada stasiun ini disebabkan oleh banyak faktor diantaranya karena merupakan tempat akumulasi dari bahan-bahan tersuspensi terlarut dan koloid melalui aliran air dari bagian hulu stasiun. Peningkatan nilai TSS ini juga dapat disebabkan oleh semakin banyak terjadi penggundulan hutan terutama didaerah manggrove yang menyebabkan terjadi pengikisan tanah yang masuk ke perairan melalui proses run-off. Nilai TSS yang tinggi juga ditemukan di stasiun Wilmar dan Pusri ini di duga disebabkan karena di daerah ini merupakan daerah
pemukiman
dan
industri
sehingga
aktivitas
manusia
yang
bisa
menyebabkan terjadinya padatan tersuspensi. Nilai TSS mengambarkan seberapa besar jumlah bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan perairan. Tingginya TSS dan kekeruhan akan mempengaruhi jumlah, jenis, dan sifat organisme dari makrozoobentos di stasiun tersebut. Padatan terlarut total (TDS) adalah padatan-padatan yang mempunyai ukuran yang lebih kecil dari pada padatan tersuspensi, padatan ini terdiri dari senyawa-
TDS (mg/l)
Tj. Buyut
P. Payung
4750 4500 4250 4000 3750 3500 3250 3000 2750 2500 2250 2000 1750 1500 1250 1000 750 500 250 0 Selat Cemara
Pre S.Cemara
Upang
SST.P.Burung
PT SAP
P. Borang
Hoktong
Pusri
Wilmar
Ampera
S. Kundur
T DS Juli
Muara Ogan
T DS April
M. Kramasan
T SS Juli
Gandus
T SS April
Pre Ogan
300 280 260 240 220 200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0 Pulokerto
TSS (mg/l)
senyawa anorganik dan organik yang larut air, mineral dan garam-garamnya.
Gambar 27 Perbandingan nilai TSS dan TDS pada bulan April dan Juli 2007 . Gambar 27 menunjukkan bahwa kisaran nilai padatan total tersuspensi (TDS) berkisar 18,10 mgl/l - 4660 mg/l. Di mana nilai TDS yang tertinggi ditemukan pada stasiun Pulau Payung dan Tanjung Buyut. karena pada air laut juga banyak terdapat partikel tersuspensi. Tingginya nilai TDS di stasiun tersebut kemungkinan ketika partikel tersuspensi yang dibawa oleh sungai bercampur dengan air laut, kehadiran ion-ion dalam air laut akan menyebabkan lumpur menggumpal dan membentuk partikel yang lebih besar sehingga akhirnya mengendap ke dasar perairan yang didominasi oleh substrat lumpur (Nybakken 1988). disamping itu diakibatkan arusnya tidak terlalu deras yang menyebabkan tidak adanya
85
pengadukan massa air (turbulence) sehingga padatan tersuspensi mengendap ke dasar perairan sungai yang akhirnya menyebabkan nilai TDS di stasiun tersebut menjadi lebih tinggi. Berdasarkan PP. No. 82 tahun 2001 nilai TDS di Sungai Musi bagian hilir masih memenuhi kriteria baku mutu untuk kelas III kecuali di stasiun Tanjung Buyut dan stasiun Pre Ogan pada bulan Juli, tingginya nilai TDS di stasiun Pre Ogan disebabkan adanya aktivitas penambangan pasir di sekitar lokasi pengambilan sampel.
Daya Hantar Listrik (Konduktivitas) Daya hantar listrik (DHL) dalam air menunjukkan daya hantar total konsentrai ion dalam air. Kisaran nilai DHL di Sungai Musi pada bulan April berkisar antara 35,90 µmhos/cm dan 9350 µmhos/cm sedangkan pada bulan Juli berkisar antara 55,20 µmhos/cm dan 4250 µmhos/cm. Kisaran nilai DHL pada bulan April yang ada di perairan Sungai Musi bagian hilir relatif bervariasi dan semakin ke hilir nilainya cenderung mengalami peningkatan seperti pada stasiun yang berada di dekat daerah estuaria yaitu Pulau Payung dan Tanjung Buyut dimana nilainya sangat tinggi hal ini dikarenakan tingginya nilai TDS yang ada di stasiun tersebut seperti ditunjukkan pada Gambar 28 dan kemudian dikuti adanya pengaruh kadar salinitas dari air laut yang masuk ke daerah stasiun tersebut sedangkan nilai DHL yang tinggi pada bulan Juli di temukan pada stasiun Tanjung Buyut, Pre Ogan, dan Pulau Payung. Tingginya nilai DHL pada stasiun Pre Ogan tersebut diduga karena adanya akumulasi garamgaram terlarut akibat peningkatan buangan limbah baik itu limbah domestik maupun industri karet ke perairan sungai serta adanya aktivitas penambangan pasir sedangkan pada stasiun Tanjung Buyut dan Pulau Payung disebabkan
Tj. Buyut
P. payung
S. Cemara
Pre S.Cemara
SST
Upang
PT SAP
P. Borang
S. Kundur
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
M. Kramasan
April Juli April Juli
Gandus
DHL DHL TDS TDS
Pre Ogan
9750 9000 8250 7500 6750 6000 5250 4500 3750 3000 2250 1500 750 0
Pulokerto
DHL (mmhos/cm) dan TDS (mg/l)
pengaruh masukkan air laut.
Gambar 28 Hubungan antara DHL dan TDS pada bulan April dan Juli 2007.
86
Tingginya nilai DHL pada bulan Juli dibandingkan bulan April disebabkan pada bulan Juli masih dikategorikan ke dalam musim kemarau yang menyebabkan intensitas curah hujan tidak terlalu tinggi dan debit air menjadi lebih kecil sehingga terjadi proses pemekatan konsentrasi garam-garam terlarut. Tingginya nilai DHL di stasiun tersebut dapat menyebabkan stres fisiologis pada makrozoobentos.
4.2.2 Parameter Kimia Perairan Derajat Keasaman (pH) pH perairan merupakan salah satu parameter lingkungan yang berpengaruh terhadap proses-proses kehidupan dan susunan spesies dalam komunitas organisme. Batas toleransi organisme air terhadap derajat keasaman sangat bervariasi tergantung pada suhu air, oksigen terlarut, adanya anion dan kation serta stadium organisme. Nilai pH suatu perairan memiliki ciri yang khusus, adanya
keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan yang diukur adalah konsentrasi ion hidrogen. Dengan adanya asam-asam mineral bebas dan asam karbonat menaikkan pH, sementara adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat dapat menaikkan kebasaan air. Secara umum nilai rata-rata pH di Sungai Musi bagian hilir baik pada bulan April maupun Juli relatif sama yaitu berkisar 7 nilai pH yang tinggi ditemukan di stasiun Pulau Payung dan Tanjung Buyut yang menunjukkan bahwa kehadiran dari beberapa kation seperti Ca2+, mg2+, Na+, NH4+ dan Fe2+ yang pada umumnya dapat bersenyawa dengan anion bikarbonat hal ini disebabkan adanya pengaruh air laut yang memiliki pH dan kapasitas penyangga (buffer capacity) yang tinggi dan didukung geologi tanah yang ada di sekitar perairan tersebut. Stabilnya nilai pH di Sungai Musi bagian hilir ini diduga karena kandungan bahan organik dan degradasi bahan anorganik yang masih berada dalam kondisi mesotrofik. Menurut (Zonneveld et al. 1991) pada umumnya tinggi rendahnya nilai pH perairan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya kandungan mineral perairan tersebut, dimana mineral tersebut digunakan sebagai nutrien di dalam siklus produksi perairan. Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 dan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No.16 tahun 2005, rata-rata pH yang didapat pada semua stasiun pengukuran bersifat netral dan cenderung basa baik bulan April maupun bulan Juli sehingga masih memenuhi baku mutu kualitas air kelas III yang mensyaratkan pH-
87
nya berkisar antara 6 sampai dengan 9 dan bagi organisme bentik pH tersebut masih dalam kisaran toleransi. Hynes (1978) menyebutkan bahwa nilai pH yang tidak menguntungkan bagi makrozoobentos bernilai dibawah 5 atau diatas pH 9.
Gas Oksigen Terlarut (Disolved Oxygen) Konsentrasi gas oksigen terlarut (DO) adalah konsentrasi gas oksigen yang terlarut dalam air. Sumber oksigen terlarut dalam air berasal dari hasil proses fotosintesis oleh fitoplankton atau tumbuhan air lainnya dan difusi dari udara (APHA 1989). Oksigen terlarut dalam air selalu merupakan parameter penting untuk mengetahui kualitas lingkungan perairan karena disamping merupakan faktor pembatas bagi lingkungan perairan juga dapat dijadikan sebagai petunjuk tentang
1.20
6.00
1.00
5.00
0.80
4.00
0.60
3.00
0.40
2.00
Tj. Buyut
P. payung
Selat Cemara
Upang
Pre S.Cemara
SST
PT SAP
P. Borang
Pusri
Hoktong
S. Kundur
Juli 2007
Wilmar
Apr-07
Ampera
Juli 2007
Muara Ogan
0.00
Pre Ogan
0.00 Apr-07
M. Kramasan
0.20 Gandus
1.00
Kecepatan Arus (m/s)
7.00
Pulokerto
Nilai DO (mg/l)
adanya pencemaran bahan organik (Nybakken 1992).
Gambar 29 Perbandingan kisaran nilai DO dan kecepatan arus pada bulan April dan Juli 2007. Gambar 29 menunjukkan bahwa kisaran nilai DO di Sungai Musi relatif homogen, dimana pada bulan April kisaran DO berkisar antara 2.42 mg/l sampai dengan 4.97 mg/l, sedangkan pada bulan Juli berkisar 3,88 mg/l sampai dengan 6,14 mg/l. Effendi (2000) menyatakan bahwa kadar oksigen terlarut pada perairan alami biasanya kurang dari 10 mg/l sehingga kisaran nilai DO diatas masih dapat di toleransi. Kisaran nilai gas oksigen terlarut minimum pada bulan April ditemukan pada stasiun Pre Selat Cemara sedangkan pada bulan Juli ditemukan pada stasiun Selat Cemara dan Pulau Payung hal ini mungkin disebabkan karena cakupan daerahnya semakin luas sehingga akumulasi limbah pencemaran domestik maupun non domestik yang mengandung bahan organik dari berbagai sumber lokasi yang
88
masuk ke perairan sungai semakin meningkat ke arah hilir dan ini di dukung kondisi sungai yang tidak mengalami percampuran (mixing) dan pergerakan (turbulence) karena rata-rata kecepatan arus air pada stasiun Selat Cemara dan Pulau Payung kemungkinan disebabkan pada saat pengukuran air pasang surutnya dalam keadaan setimbang. Kisaran nilai gas oksigen terlarut maksimum pada bulan April ditemukan di stasiun Musi Kramasan dan pada bulan Juli ditemukan pada stasiun Gandus, dimana pada stasiun ini kemungkinan terjadinya percampuran (mixing) dan pengadukan (turbulence) massa air sehingga proses aerasi berlangsung baik yang menyebabkan kisaran nilai DO-nya cenderung lebih tinggi. Gambar 29 menunjukkan bahwa kisaran nilai gas oksigen terlarut dalam air pada bulan Juli lebih tinggi dibandingkan pada bulan April disebabkan karena pada bulan Juli masih tergolong ke dalam periode kemarau sehingga intensitas curah hujannya rendah dan ini akan mempengaruhi jumlah massa air, kecepatan arus dan pergerakannya (turbulence) yang menyebabkan difusi oksigen dalam air menjadi rendah. Kandungan gas oksigen terlarut yang tinggi di sungai pada umumnya disebabkan oleh adanya turbulensi oleh gerakan air dan kedalaman yang relatif dangkal (Odum 1971). Menurut Jeffries dan Mills (1996), bahwa kadar oksigen akan berkurang dengan meningkatnya suhu, ketinggian dan berkurangnya tekanan atmosfer. Oksigen terlarut dapat menjadi faktor pembatas pada saat sungai dalam kondisi : 1) Rendahnya turbulensi, 2) Pada malam hari dimana proses fotosintesis tidak terjadi dan sebagian besar produsen dan konsumen menggunakan oksigen untuk respirasi, 3) Tingginya kandungan bahan polutan oranik yang berasal dari limbah rumah tangga, industri dan pertanian yang menghasilkan tingginya kebutuhan oksigen oleh mikroba untuk proses perombakan bahan organik, 4) Semakin meningkatnya suhu, ketinggian dan berkurangnya tekanan atmosfer. Berdasarkan PP No. 82 tahun 2001 dan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No.16 tahun 2005, kisaran rata-rata kandungan oksigen terlarutnya pada semua stasiun pengukuran baik bulan April maupun bulan Juli untuk kelas III bagi kepentingan perikanan, masih memenuhi baku mutu kualitas air yang disyaratkan yaitu batas minimum 3 mg/l kecuali di stasiun Pre Selat Cemara pada bulan April, sehingga disimpulkan bahwa kisaran nilai oksigen terlarut masih cukup mendukung kehidupan makrozoobentos.
89
Kebutuhan Oksigen Biokimia (Biochemical Oxygen Demand) Kebutuhan oksigen biokimiawi atau BOD5 merupakan ukuran banyaknya oksigen yang digunakan mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan organik yang terdapat dalam air pada keadaan aerobik yang diinkubasi pada suhu 20oC selama 5 hari. Nilai BOD5 umumnya digunakan sebagai indikator dalam menentukan kelimpahan bahan organik dalam air dengan asumsi bahwa sebagian besar oksigen terutama di konsumsi oleh mikroorganisme selama berlangsungnya metabolisme bahan organik (APHA 1989). Gambar 30 dan 31 menunjukkan bahwa kisaran nilai BOD5 berkisar dari 0 mg/l sampai dengan 4.97 mg/l. Pada bulan April, rata-rata nilai BOD5 berkisar dari 0,16 mg/l sampai dengan 3,15 mg/l. Rendah nilai BOD5 ditemukan pada stasiun Pre Ogan dan Upang, kisaran rata-rata nilai BOD5 yang tinggi ditemukan pada stasiun Hoktong yang mempunyai nilai BOD5 3,15 mg/l, Musi Kramasan 2,38 mg/l, Ampera 2,26 mg/l, Muara Ogan 2,02 dan Pusri 1,17 mg/l, tingginya nilai BOD5 di lokasi stasiun tersebut disebabkan berdekatan dengan daerah pemukiman padat penduduk, pasar tradisional dan daerah industri sehingga limbah akumulasi
14.00
6.00
12.00
5.00
10.00
4.00
8.00
3.00
6.00
2.00
4.00
Tj. Buyut
P. payung
S. Cemara
SST
Upang
PTSAP
P. Borang
S. Kundur
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
Pre S.Cemara
April 2007
Muara Ogan
DO
M. Kramasan
COD
Gandus
0.00
BOD5
Pre Ogan
1.00
0.00 Pulokerto
2.00
DO(mg/l)
BOD5 danCOD(mg/l)
pencemaran bahan organik agak lebih tinggi.
3.00
DO(mg/l)
4.00
2.00
0.00 Tj. Buyut
P. payung
S. Cemara
PreS.Cemara
SST
Upang
P. Borang
PTSAP
S. Kundur
Hoktong
Pusri
W ilmar
Ampera
1.00 MuaraOgan
DO
5.00
M. Kramasan
COD
6.00
PreOgan
BOD5
7.00
Gandus
10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
Pulokerto
BOD5 danCOD(mg/l)
Gambar 30 Hubungan antara BOD5,COD dan DO pada bulan April 2007.
Juli 2007
Gambar 31 Hubungan antara BOD5,COD dan DO pada bulan Juli 2007.
90
Rendahnya rata-rata nilai BOD5 di semua stasiun di bulan April dan Juli 2007 terkait dengan karakteristik Sungai Musi yang sangat luas dan kompleks serta pembebasan air dari polutan (water discharge) sehingga bahan-bahan pencemar seperti bahan organik dari stasiun yang banyak terdapat aktivitas antropogenik dipengaruhi
oleh
kecepatan
aliran
dari
perairan
tersebut
serta
kondisi
hidrodinamika yang berbeda pada daerah yang dilaluinya yang berkaitan dengan perbedaan model pencampuran (mixing), penyebaran (dispersion), laju penguraian dan pengenceran serta laju reaerasi (difusi oksigen di permukaan air) menyebabkan air terpurifikasi sehingga rata-rata nilai BOD5 di stasiun yang diindikasikan adanya pencemaran bahan organik menjadi rendah. .Tingginya kandungan BOD5 pada bulan Juli ditemukan pada stasiun Sungai Kundur yaitu 2,91 mg/l, Muara Ogan 2,46 mg/l, Ampera 1,13 mg/l dan PT. SAP 1,21 mg/l hal ini disebabkan karena lokasi beberapa stasiun tersebut berdekatan dengan daerah pemukiman padat penduduk, pasar tradisional dan daerah industri sehingga limbah akumulasi pencemaran bahan organik agak lebih tinggi dibandingkan dengan stasiun yang lainnya namun demikian nilai tersebut masih memenuhi batas ambang baku mutu yang disyaratkan. Untuk stasiun Pre Ogan (Musi II) kandungan nilai BOD5-nya tidak terdeteksi hal ini dikarenakan beberapa sebab diantaranya kesalahan dalam proses pengambilan sampel air untuk BOD ataupun penyimpanan sampel air BOD-nya. Perbandingan tingginya kisaran nilai rata-rata BOD5 di setiap stasiun pada bulan April dan Juli cenderung bervariasi, rendahnya nilai BOD5 pada bulan April di beberapa stasiun diakibatkan karena pada bulan April curah hujan masih tergolong tinggi
sehingga
Bagaimanapun
terjadi juga
proses
pengukuran
pengenceran secara
air
kimiawi
sungai bersifat
oleh
air
sesaat,
hujan. karena
dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan. Namun demikian kisaran nilai BOD5 tersebut belum melampaui batas ambang baku mutu yang disyaratkan berdasarkan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan no.16 Tahun 2005 untuk kelas III sebesar 4 mg/l. Kebutuhan Oksigen Kimia (Chemical Oxygen Demand) Kebutuhan oksigen kimiawi (COD) mengambarkan jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi baik yang dapat di degradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar di degradasi secara biologis (non biodegradable) menjadi CO2 dan H2O (Boyd 1990).
91
Pada kondisi normal nilai COD lebih tinggi daripada nilai BOD5, karena bahan-bahan yang stabil terhadap reaksi biologi dan mikroorganisme dapat ikut teroksidasi seperti sellulosa yang sering tidak terukur melalui uji BOD5, karena sulit dioksidasi melalui reaksi biokimia akan tetapi dapat diukur melalui uji COD (Fardiaz 1992), hubungan antara COD dengan BOD5 pada Gambar 35 menunjukkan bahwa disetiap stasiun nilai COD-nya lebih tinggi dibandingkan dengan BOD5, hal ini berarti pada perairan Sungai Musi bagian hilir banyak terdapat kandungan bahan organik dan bahan pencemar lainnya yang tidak dapat atau sulit terurai secara biologis oleh mikroorganisme. Tingginya nilai COD berkaitan dengan penghilangan zat-zat pencemar (reduced substances). Pada bulan April terlihat pula hubungan antara COD dengan DO dimana semakin tinggi nilai COD semakin rendah nilai DOnya hal ini dikarenakan kebutuhan gas oksigen terlarut yang ada di dalam air meningkat karena banyak digunakan untuk mengoksidasi zat anorganik dan zat organik yang sulit terurai dalam air secara kimiawi diantaranya unsur-unsur N yang melampui baku mutu di beberapa stasiun seperti NO2- NO3- NH3, S dan P dan
Tj. Buyut
P. payung
Selat Cemara
Pre S.Cemara
SST
Upang
PT SAP
P. Borang
S. Kundur
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
M. Kramasan
Juli 2007
Gandus
Apr-07
Pre Ogan
12.00 11.00 10.00 9.00 8.00 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
Pulokerto
COD (mg/l)
zat anorganik lainnya.
Gambar 32 Perbandingan kisaran nilai COD pada bulan April dan Juli 2007. Gambar 32 menunjukkan bahwa perbandingan nilai COD pada bulan April lebih tinggi dibandingkan pada bulan Juli. Pada bulan April berkisar 1,83 mg/l – 11,73 mg/l, nilai COD terendah terdapat di stasiun Pusri dan yang tertinggi terdapat di stasiun Pulokerto, sedangkan pada bulan Juli nilai COD-nya berkisar 3,63 – 8,90 mg/l dimana yang terendah terdapat di stasiun Musi Kramasan dan yang tertinggi terdapat pada stasiun Pre Selat Cemara. Berdasarkan perbandingan tersebut terlihat bahwa nilai COD-nya cenderung bervariasi dan di beberapa stasiun relatif homogen. Tingginya nilai COD berkaitan dengan reduced substances pada bulan April dibandingkan pada bulan Juli disebabkan karena pada bulan April intensitas curah
92
hujan lebih tinggi sehingga bahan pencemar dan tersuspensi yang berukuran besar seperti partikel halus tanah serta zat-zat yang tererosi dari daratan yang terhanyut oleh ar hujan melalui limpasan air (run-off) yang masuk ke dalam badan perairan mempengaruhi tingginya kandungan bahan-bahan pencemar yang berasal dari limbah rumah tangga, industri dan pertanian yang menyebabkan tingginya kebutuhan oksigen untuk proses perombakan bahan tersebut secara kimiawi dalam badan perairan. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 dan Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No.16 Tahun 2005 tentang peruntukkan air dan baku mutu air sungai didapatkan bahwa nilai COD pada bulan April dan Juli di semua stasiun masih memenuhi baku mutu yang disyaratkan untuk kelas III (kepentingan perikanan) yaitu 50 mg/l, sehingga masih dapat mendukung kehidupan makrozoobentos yang ada di dasar perairan.
Kesadahan dan Alkalinitas Kesadahan (hardness) menggambarkan kandungan kation Ca2+ dan Mg2+ serta kation polivalen lainnya. Kesadahan air yang paling banyak adalah akibat
Tj. Buyut
P. payung
Selat Cemara
PreS.Cemara
SST
Upang
PTSAP
P. Borang
S. Kundur
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
Kramasan
MuaraOgan
Gandus
Apr-07 Juli 2007
PreOgan
120.0 110.0 100.0 90.0 80.0 70.0 60.0 50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0
Pulokerto
Kesadahan(mg/l)
hadirnya kation Ca2+ dan Mg2+ dalam air (Boyd 1990).
Gambar 33 Perbandingan nilai kesadahan pada bulan April dan Juli 2007. Gambar 33 menunjukkan bahwa kisaran nilai kesadahan pada bulan Juli di setiap stasiun lebih tinggi dibandingkan pada bulan April, kecuali pada stasiun Muara Ogan. Tingginya nilai kesadahan pada bulan Juli disebabkan intensitas curah hujan berkurang karena pada bulan Juli termasuk dalam periode bulan kering sehingga jumlah debit air berkurang, penyebab lainnya juga di pengaruhi masukan pasang massa air laut yang mempengaruhi kation Ca2+ dan Mg2+ dalam air, hal ini dapat terlihat pada stasiun yang mengarah kea rah muara sungai atau di daerah
93
estuaria. Pada bulan April nilai kesadahannya berkisar 4 mg/l sampai dengan 25 mg/l. nilai kesadahan terendah ditemukan di stasiun Hoktong dan yang tertinggi di stasiun Tanjung Buyut. Sedangkan pada bulan Juli nilai kesadahannya berkisar 12,50 mg/l sampai dengan 115 mg/l, yang terendah ditemukan pada stasiun Gandus dan yang tertinggi ditemukan pada stasiun Tanjung Buyut. Tabel 19 Klasifikasi perairan berdasarkan nilai kesadahan Kesadahan (mg/l) 0-75 75-150 150-300 >300
Kriteria Rendah Moderat Sadah Sangat sadah
Sumber : Sawyer dan Mc Carthy, diacu dalam Boyd (1990).
Berdasarkan kriteria menurut Sawyer dan Mc Carthy, diacu dalam Boyd (1990) secara keseluruhan nilai kesadahan di perairan Sungai Musi bagian hilir masih tergolong rendah yaitu berkisar 4 – 45 mg/l, kecuali pada stasiun Tanjung Buyut pada bulan Juli. Alkalinitas menggambarkan jumlah basa (alkalin) yang terkandung dalam air yang dapat ditentukan dengan titrasi asam kuat (H2SO4) atau HCl sampai pada pH tertentu (Hariyadi et al. 2000). Alkalinitas dalam air disebabkan oleh ion-ion karbonat (CO32-), bikarbonat (HCO3-), hidroksida (OH-), fosfat (PO43-), silikat (SiO44-) dan sebagainya (Alaerts dan Santika, 1984). Nilai alkalinitas suatu perairan yang baik antara 30 – 500 mg/l CaCO3 dan pada perairan alami nilai alkalinitasnya adalah 40 mg/l CaCO3. 50 40 30 20
Tj. Buyut
P. payung
Selat Cemara
PreS.Cemara
SST
Upang
PTSAP
P. Borang
S. Kundur
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
MuaraOgan
PreOgan
Apr-07 Juli 2007
Kramasan
0
Gandus
10 Pulokerto
Alkalinitas (mg/l)
60
Gambar 34 Perbandingan kisaran nilai alkalinitas pada bulan April dan Juli 2007. Gambar 34 menunjukkan bahwa kisaran nilai alkalinitas di setiap stasiun bervariasi, pada bulan April nilai salinitas berkisar 12 mg/l sampai dengan 60 mg/l
94
nilai alkalinitas yang rendah pada stasiun Pre Ogan dan SST. Pulau Burung dan yang tertinggi pada stasiun Pulau Payung dan Tanjung Buyut, tingginya nilai alkalinitas pada stasiun ini disebabkan karena adanya pengaruh masukan dari air laut yang mempengaruhi ion-ion penyusun alkalinitas yang tinggi dalam air seperti karbonat (CO32-), bikarbonat (HCO3-), hidroksida (OH-), fosfat (PO43-), silikat (SiO44). Sedangkan nilai alkalinitas pada bulan Juli
cenderung relatif homogen dan
berkisar antara 15,25 mg/l sampai dengan 28,50 mg/l. berdasarkan klasifikasi Swingle (1968) nilai alkalinitas pada semua stasiun baik bulan April maupun bulan Juli termasuk kategori alkalinitas rendah, kecuali pada stasiun Tanjung Buyut pada bulan April dikategorikan termasuk alkalinitas sedang. Tabel 20 Hubungan antara nilai alkalinitas dan kondisi kualitas air bagi perikanan
Alkalinitas (mg/l) 0 – 10 10 – 50 50 – 200 > 200
Kualitas Air Sangat asam dan tidak dapat dimanfaatkan Alkalinitas rendah, kematian ikan kemungkinan terjadi, penyediaan CO2 rendah, pH bervariasi Alkalinitas sedang, pH bervariasi, penyediaan CO2 sedang, produktivitas sedang Jarang ditemukan, pH stabil, produktivitas rendah, kehidupan ikan di duga terancam
50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 P u lo k e r to G andus Pre O gan Kram as an M uara O gan Am pera W ilm a r Pus ri H o k to n g S. Kundur PT SAP P. Borang SST U pang P r e S .C e m a r a S e la t C e m a r a P. pay ung T j. B u y u t
0.0
April 2007 pH
Alkalinitas
Hardness
Juli 2007 pH
140.00
25
120.00 100.00
20
80.00
15
60.00
10
40.00
5
20.00
0
0.00
H A R D N E S S ( m g /l
60.0
30
P u lo k e r to G andus P re O ga n K ram as an M uara O gan A m pera W ilm a r P us ri H o k to n g S. Kundur PT SAP P. Borang SST U pang P r e S .C e m a r a S e la t C e m a r a P. payung T j. B u y u t
p H & A L K A L IN IT A S ( m g /l)
50.0 45.0 40.0 35.0 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0
p H & A L K A L I N I T A S (m g / l )
70.0
H A R D N E S S ( m g /l)
Sumber Swingle 1968, diacu dalam Boyd (1990).
Alkalinitas
Hardness
Gambar 35 Hubungan alkalinitas, hardness dan pH di bulan April dan Juli 2007. Gambar 35 menunjukkan bahwa adanya hubungan antara alkalinitas dan pH, yang memberikan gambaran jumlah ion-ion karbonat (HCO3- dan CO32-) yang menjadi suatu penyangga suatu perairan (Buffer system) terhadap perubahan pH. Di perairan payau pada umumnya kapasitas buffernya cukup baik (nilai alkalinitasnya tinggi), hal ini dapat terlihat tingginya nilai pH pada stasiun Pulau
95
Payung dan Tanjung Buyut. Menurut Widigdo (2001) bahwa perubahan pHnya relatif rendah, jarang pH turun hingga di bawah 6,5 atau naik melebihi 9.
Total Organik Karbon (TOC) dan Organik Karbon Terlarut (DOC) Total organik karbon (TOC) menggambarkan bahan organik karbon total di dalam perairan sedangkan organik karbon terlarut (DOC) menggambarkan konsentrasi jumlah karbon yang terlarut dalam air.
25 20 15 10
P. payung
Tanjung Buyut
Selat Cemara
Upang
SST
P. Borang
PT SAP
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
Pre S.Cemara
DOC Juli
S. Kundur
DOC April
Muara Ogan
TOC Juli
Musi Kramasan
TOC April
Gandus
0
Pre Ogan
5 Pulokerto
DOC dan TOC (mg/l)
30
Gambar 36 Perbandingan nilai TOC dan DOC pada bulan April dan Juli 2007. Gambar 36 menunjukkan bahwa kisaran nilai DOC berkisar antara 0,48 mg/l sampai dengan 12.38 mg/l. Pada bulan April nilai DOC yang rendah ditemukan di stasiun Hoktong dan Pulau Borang sedangkan nilai DOC yang tertinggi ditemukan pada stasiun Tanjung Buyut sebesar 12.58 mg/l. Tingginya nilai DOC pada stasiun ini kemungkinan disebabkan akumulasi limbah pencemaran yang masuk ke perairan sungai yang semakin meningkat ke arah hilir karena cakupan daerahnya semakin luas. Sedangkan pada bulan Juli nilai DOC terendah pada stasiun Muara Ogan sebesar 0,48 mg/l dan tertinggi pada stasiun Ampera sebesar 6,18 mg/l yang disebabkan adanya run-off dari pemukiman dan pasar. Tingginya nilai DOC pada bulan April dikarenakan pada bulan tersebut masih tergolong periode musim hujan sehingga jumlah massa air sungai dari hulu banyak dan mempengaruhi proses pengadukan massa air sehingga kandungan karbon terlarut pada bulan April cenderung lebih tinggi dibandingkan pada bulan Juli. Untuk kisaran nilai TOC dari gambar 40 terlihat cenderung relatif bervariasi baik pada bulan April maupun pada bulan Juli yaitu berkisar 4,57 mg/l – 24,05 mg/l. Pada bulan April nilai TOC yang tinggi ditemukan pada stasiun Pre Selat Cemara, SST. Pulau Burung dan Wilmar sedangkan terendah ditemukan
96
pada stasiun Sungai Kundur, tingginya kisaran nilai TOC berkaitan dengan keadaan stasiun tersebut yang merupakan daerah persawahan, pemukiman dan daerah industri. Menurut Mason (1993), pada perairan tercemar kadar karbon organiknya mencapai 10 mg/l. Jadi dapat disimpulkan bahwa kondisi perairan di beberapa stasiun sudah tercemar. Pada bulan Juli nilai TOC yang tinggi dtemukan pada stasiun Pulau Payung dan nilai TOC yang terendah pada stasiun Musi Kramasan.
Salinitas Salinitas merupakan nilai yang menunjukkan jumlah garam-garam terlarut dalam satuan volume air yang biasanya dinyatakan dengan satuan promill (o/oo). 6.0
Salinitas (%0)
5.0 4.0 3.0 2.0
0.0
Bulan April 2007 Bulan Juli 2007
Pulokerto Gandus Pre Ogan M. Kramasan Muara Ogan Ampera Wilmar Pusri Hoktong S. Kundur PT SAP P. Borang SST.P.Burung Upang Pre S.Cemara Selat Cemara P. payung Tjg. Buyut
1.0
Gambar 37 Kisaran nilai salinitas hilir Sungai Musi pada bulan April dan Juli 2007. Hasil pengukuran salinitas pada Sungai Musi bagian hilir menunjukkan nilai yang sangat kecil berkisar antara 0 o/oo – 6 o/oo (Gambar 37). Mulai dari Stasiun Pulokerto sampai dengan Pre Selat Cemara nilai salinitas menunjukkan nilai 0 meskipun terkadang daerah ini di pengaruhi pasang surut air laut, nilai tersebut menandakan bahwa pada stasiun-stasiun tersebut tidak terjadi percampuran massa air antara air tawar dan air laut, sedangkan pada stasiun yang dekat dengan daerah laut mempunyai kisaran nilai salinitas 0,1 - 6 o/oo (pengukuran pada saat surut) hal ini menunjukkan terjadi percampuran massa air antara air tawar dengan air laut. Pada bulan April di stasiun Tanjung Buyut nilai salinitasnya mencapai 6 o/oo sedangkan pada bulan Juli 3
o
/oo. Tingginya nilai salinitas pada stasiun ini
menunjukkan bahwa stasiun ini merupakan pertemuan antara air tawar dengan air laut sedangkan pada stasiun Selat Cemara dan Pulau Payung pada bulan Juli nilai salinitasnya mencapai 0,1 o/oo sedangkan pada bulan April nilai salinitas pada
97
stasiun tersebut 0 hal ini disebabkan adanya pengaruh musim hujan sehingga air di dominasi oleh air tawar yang datang dari hulu sungai. Tabel 21 Klasifikasi air berdasarkan nilai salinitasnya Jenis Air
Salinitas o/oo
Limnis (Air Tawar)
< 0,05 o/oo
Mixohalin (air payau)
0,5 - 30 o/oo
30 – 40 o/oo Euhalin (air laut) > 40 o/oo Hyperhalin Sumber : Schliefer 1958, diacu dalam Effendi (2003).
Notji (2002) menyatakan bahwa perairan dengan pengadukan vertikal yang kuat disebabkan oleh gerak pasang surut hingga menyebabkan perairan sungai menjadi homogen secara vertikal, karena berada di bawah kondisi pasang surut maka salinitas dapat berubah secara drastis, bergantung pada kedudukan pasang dan surut. Pada saat surut salinitas didominansi oleh air tawar yang datang dari sungai, sedangkan pada saat pasang masuknya air laut yang menentukan salinitas.
Fosfat dan Klorida Unsur fosfor di perairan tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai elemen, melainkan dalam senyawaan fosfat yang berada dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat (Jeffries & Mills 1990). Fosfat adalah bentuk fosfor yang dmanfaatkan oleh tumbuhan. Menurut Moss (1998) fosfat adalah ion yang terdapat di perairan dalam sedikit (minor ion). Fosfat merupakan salah satu unsur penting bagi pembentukan protein dan berperan dalam pembentukan metabolisme organisme (Wardoyo 1981). Sumber alami fosfor di perairan adalah pelapukan batuan mineral dan dekomposisi bahan organik. Sumber-sumber antropogenik fosfor adalah limbah industri, limbah domestik, hanyutan dari pupuk dan hancuran bahan organik serta mineral-mineral fosfat (saeni 1989). Berdasarkan hasil pengamatan (Gambar 38) terlihat bahwa pada bulan April nilai fosfat berkisar antara 0,056 mg/l – 0,640 mg/l, dan pada bulan Juli berkisar 0,076 mg/l – 0,717 mg/l. Nilai fosfat ini belum melampaui batas ambang maksimum baku mutu lingkungan perairan yang berlaku di Indonesia yaitu kelas III (kepentingan perikanan) yaitu 1 mg/l.
98
0.800 0.700
Fosfat (mg/l)
0.600 0.500 0.400 0.300 0.200
Tj. Buyut
P. payung
Selat Cemara
Pre S.Cemara
SST
Upang
PT SAP
P. Borang
Hoktong
S. Kundur
Pusri
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
M. Kramasan
Juli 2007
Gandus
Apr-07
Pre Ogan
0.000
Pulokerto
0.100
Gambar 38 Perbandingan kisaran nilai fosfat pada bulan April dan Juli 2007. Adanya perbedaan tinggi rendahnya konsentrasi fosfat pada masing-masing stasiun diduga karena pengaruh pada saat pengambilan sampel. Rendahnya nilai fosfat pada beberapa stasiun dimungkinkan karena pada saat pengambilan sampel senyawa fosfat berada pada kondisi mengendap di dasar perairan bersama sedimen sehingga fosfat yang berada pada permukaan air lebih sedikit. Jeffries dan Mills (1990) menyatakan bahwa senyawa fosfat dapat membentuk kompleks dengan ion besi dan kalsium pada kondisi aerob, bersifat tidak larut dan mengendap pada sedimen sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh algae akuatik. Terdapat perbedaan nilai fosfat yang mencolok antara bulan April dan Juli, dimana tingginya nilai fosfat pada bulan Juli diduga berasal dari buangan limbah industri,
deterjen dari limbah domestik dan pertanian yang ada di bagian hulu
stasiun yang cukup tinggi, sedangkan debit air sungai menurun karena pada bulan tersebut termasuk pada periode bulan kering (musim kemarau) selain itu juga pada saat pengambilan sampel pada bulan Juli, fosfat yang terendap di dasar perairan berada di permukaan terbawa oleh arus dari dasar ke permukaan perairan. Klorida bersumber dari klor yang merupakan ion dari senyawa anorganik yang mempunyai mobilitas yang tinggi dan pada umumnya terdapat di hampir semua ekosistem air. konsentrasi klor dalam air terutama dipengaruhi oleh proses perombakan kimiawi dari substrat dasar perairan (Barus 2002). Kisaran nilai klorida pada bulan April berkisar dari 1.02 mg/l – 2699.16 mg/l dan pada bulan Juli berkisar pada 5,51 mg/l – 2360,97 mg/l.
99
3000
Klorida(mg/l)
2500 2000 1500 1000
Tjg. Buyut
P. payung
Selat Cemara
Upang
PreS.Cemara
SST.P.Burung
PTSAP
P. Borang
S. Kundur
Pusri
Hoktong
W ilmar
Ampera
MuaraOgan
M. Kramasan
Juli 2007
Gandus
April 2007
PreOgan
0
Pulokerto
500
Gambar 39 Perbandingan nilai klorida pada bulan April dan Juli 2007. Gambar 39 menunjukkan adanya perbedaan yang mencolok terhadap kandungan klorida yang ada di stasiun Ampera dan Muara Ogan dengan stasiun yang lainnya pada bulan April dimana nilai kloridanya mencapai 2699,16 mg/l sedangkan pada bulan Juli nilai klorida yang tinggi ditemukan pada stasiun Pulau payung dan Tanjung Buyut yaitu sebesar 359,38 mg/l dan 2360,97 mg/l, hal ini di duga pada stasiun Muara Ogan dan Ampera tersebut tingginya nilai klorida disebabkan adanya limbah domestik dari pemukiman seperti deterjen dan lahan persawahan penduduk sedangkan pada stasiun Pulau Payung dan Tanjung Buyut disebabkan adanya akumulasi bahan-bahan pencemar yang bersumber dari sedimen yang terbawa dari bagian hulu stasiun. Menurut para ahli, kandungan klor di dalam air yang bersumber dari substrat dan sedimen yang kaya klor dapat mencapai konsentrasi antara 100 sampai 1000 mg/l, namun apabila aspek geologis tersebut tidak ada, maka konsentrasi klor dalam air yang lebih besar dari 30 mg/l merupakan indikasi adanya pencemaran. Tingginya klorida di beberapa stasiun mempengaruhi keberadaan dari makrozoobentos dan kebanyakkan hanya jenis yang bersifat toleran yang mampu beradaptasi terhadap kisaran tersebut.
Minyak Minyak bumi terdiri dari senyawa organik hidrokarbon di tambah dengan sejumlah kecil oksigen, nitrogen, sulfur, fosfor, senyawa organik dan senyawa logam. Pada gambar 44 menunjukkan bahwa nilai kandungan minyak di setiap stasiun cenderung relatif bervariasi yaitu berkisar antara 2–30 mg/l. Nilai kandungan minyak yang tinggi pada perairan Sungai Musi bagian hilir pada bulan April ditemukan pada stasiun Pusri, Sungai Kundur, PT. SAP, dan Wilmar yaitu sebesar 26 mg/l, 23 mg/l, 21 mg/l, 20 mg/l, tingginya kandungan minyak di sini
100
berkaitan erat dengan keadaan stasiun ini yang merupakan daerah industri pupuk urea, Pertamina, industri minyak kelapa sawit dan industri pengolahan kopi dan juga lokasi stasiun di Sungai Musi bagian hilir ini merupakan jalur transportasi aktivitas pengangkutan bahan dan minyak yang cukup padat sehingga minyak yang berasal dari kapal baik itu kebocoran kapal pengangkut maupun buangan industri dapat menyebabkan tingginya kandungan minyak pada stasiun tersebut di bandingkan dengan stasiun yang lainnya. 30
Minyak (mg/l)
25 20 15 10
Tj. Buyut
P. payung
Selat Cemara
Upang
Pre S.Cemara
SST
PT SAP
P. Borang
S. Kundur
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
M. Kramasan
Gandus
Apr-07 Juli 2007
Pre Ogan
0
Pulokerto
5
Gambar 40 Perbandingan kisaran nilai minyak pada bulan April dan Juli 2007. Pada bulan Juli nilai kandungan minyak yang tinggi terdapat pada stasiun Pre Selat Cemara, Wilmar dan Musi Kramasan yaitu sebesar 30 mg/l, 23 mg/l dan 24 mg/l. Tingginya nilai kandungan minyak pada daerah ini disebabkan letaknya berdekatan dengan pemukiman penduduk dan industri serta PLTU yang ada di stasiun Musi Kramasan sehingga limbahnya berakibat terhadap peningkatan kandungan minyak pada stasiun tersebut. Dari Gambar 40 terlihat perbandingan kandungan minyak pada bulan April lebih rendah dibandingkan pada bulan Juli, hal ini disebabkan pada bulan April intensitas curah hujannya lebih tinggi sehingga mempengaruhi debit massa air dan terjadi proses pengenceran massa air sungai dibandingkan pada bulan Juli. Berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 dan Peraturan Gubernur Sumsel No.16 Tahun 2005 tentang peruntukkan air dan baku mutu air sungai didapatkan bahwa nilai kandungan minyak pada bulan April dan Juli 2007 di semua stasiun masih memenuhi baku mutu yang disyaratkan untuk semua kelas yaitu 1000 mg/l sehingga masih dapat mendukung kehidupan makrozoobentos di dasar perairan.
101
Senyawa Nitrogen (NH3, NO3 dan NO2) Senyawa nitrogen di perairan tawar terdapat dalam berbagai bentuk yaitu berupa gas molekul N2 terlarut, asam amino,
NO2- (nitrit), NO3- (nitrat), NH3
(amonia) dan NH4+ (amonium) serta sejumlah besar N yang berikatan dalam organik kompleks. Sumber nitrogen alami berasal dari air hujan presipitasi, fiksasi nitrogen dari air dan sedimen dan limpasan dari daratan dan air tanah (Wetzel 2001). Nitrogen di perairan dapat berupa nitrogen anorganik dan organik. Nitrogen anorganik terdiri atas NH3 (amonia), NH4+ (amonium), NO2- (nitrit), NO3- (nitrat) dan molekul N2 dalam bentuk gas. Sumber nitrogen organik berupa protein, asam amino, dan urea. Sumber nitrogen organik di perairan berasal dari proses pembusukan makhluk hidup yang telah mati sedangkan sumber antropogenik adalah limbah industri dan limpasan dari daerah pertanian, kegiatan perikanan dan limbah domestik (Effendi 2003). Secara alami senyawa amonia merupakan hasil penguraian protein, pembusukan bahan organik serta ekskresi kotoran hewan dan manusia yang jumlahnya relatif rendah di perairan. Distribusi amonia di perairan tawar sangat bervariasi menurut musim dan tergantung terhadap tingkat kesuburan perairan dan masukan buangan berupa bahan-bahan organik (Wetzel 2001). 8.000 7.000 Amonia (mg/l)
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000
Tjg. Buyut
Selat Cemara P. payung
Upang
Pre.S.Cemara
SST.P.Burung
PT SAP
P. Borang
S. Kundur
Pusri
Hoktong
Ampera Wilmar
Muara Ogan
M. Kramasan
Juli 2007
Gandus
Apr-07
Pre Ogan
0.000
Pulokerto
1.000
Gambar 41 Perbandingan kisaran nilai amonia pada bulan April dan Juli 2007. Gambar 41 menunjukkan bahwa kisaran nilai amonia cenderung bervariasi. Pada bulan April kisaran kandungan amonia dalam air berkisar 1,29 mg/l - 7,27 mg/l. Tingginya kandungan amonia dalam air terdapat di stasiun Pusri dan Sungai Kundur serta Pulau Payung, tinggi nilai di kedua stasiun Pusri dan Sungai Kundur
102
diakibatkan karena adanya aktivitas dari daerah industri pupuk urea Pusri sebagai sumber utama amonia dan aktivitas industri Pertamina di samping adanya limbah domestik dan limbah pertanian. Pada bulan Juli kisaran nilai amonia berkisar 0,10 mg/l – 4,07 mg/l. kandungan amonia yang tinggi ditemukan pada stasiun Selat Cemara dan Pulau Payung yang diduga di pengaruh aliran air ke sungai yang membawa pupuk dari kegiatan pertanian pada stasiun sebelumnya sedangkan pada stasiun Pusri hasil pengukurannya bernilai rendah diduga pada bulan Juli pabrik pupuk urea Pusri tidak sedang membuang limbahnya ke sungai atau terjadi kesalahan dalam analisis dan pengukuran kandungan nitrat di laboratorium. Dari hasil pengukuran kandungan amonia pada masing-masing stasiun, kadar amonia sudah melampaui ambang batas maksimum baku mutu lingkungan perairan yang berlaku di Indonesia untuk kepentingan perikanan yaitu kandungan amonia bebas untuk ikan yang peka ≤ 0,02 mg/l sedangkan untuk makrozoobentos berkisar 1 mg/l. Tingginya nilai amonia akan mempengaruhi
pola penyebaran dan laju
mortalitas makrozoobentos. Nitrat (NO3-) adalah bentuk utama dari nitrogen anorganik di perairan yang masuk melalui permukaan daerah aliran sungai, air bawah tanah, dan air hujan atau presipitasi (Wetzel 2001). Nitrat merupakan salah satu senyawa nitrogen yang mudah larut dalam air dan bersifat stabil yang berperan penting dalam sintesis protein tumbuhan dan hewan. 7.000
Nitrat (mg/l)
6.000 5.000 4.000 3.000 2.000
Tjg. Buyut
P. payung
Selat Cemara
Upang
Pre S.Cemara
SST.P.Burung
PT SAP
P. Borang
S. Kundur
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
M.Kramasan
Juli 2007
Gandus
Apr-07
Pre Ogan
0.000
Pulokerto
1.000
Gambar 42 Perbandingan nilai nitrat di Sungai Musi pada bulan April dan Juli 2007. Dari hasil pengukuran kandungan nitrat dalam air pada bulan April berkisar 0,350 mg/l – 6.350 mg/l, kisaran nilai nitrat yang tinggi ditemukan pada stasiun Wilmar, Pusri, Upang dan Pre Selat Cemara, tingginya kandungan nitrat pada
103
stasiun Pusri dan Wilmar karena di pengaruhi keberadaan pabrik pupuk urea sehingga terdapat kandungan amonia yang tinggi pada stasiun tersebut, sedangkan di stasiun Upang dan Pre Selat Cemara disebabkan adanya masukan limbah domestik dan limpasan pupuk dari areal pertanian ke dalam badan air di mana di sekitar daerah tersebut banyak terdapat pemukiman dan areal pertanian penduduk, sedangkan pada bulan Juli kandungan nitrat dalam air berkisar 0,40 mg/l – 3,73 mg/l. Kandungan tertinggi terdapat pada stasiun Wilmar dan Pusri sedangkan yang terendah ditemukan di stasiun Pulau Borang. Hasil pengukuran kandungan nitrat dalam air pada masing-masing stasiun berkisar 0,40 mg/l - 6.35 mg/l berarti
nilai ini belum melampaui batas ambang maksimum baku mutu
lingkungan yang berlaku di Indonesia untuk kepentingan perikanan yaitu lebih kecil atau sama dengan 20 mg/l, rendahnya nilai nitrat ini masih mampu mendukung kehidupan makrozoobentos yang ada di dasar perairan. Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Nitrat dan nitrit merupakan bentuk nitrogen yang teroksidasi. Nitrit biasanya tidak dapat bertahan lama dalam perairan dan merupakan keadaan sementara proses oksidasi antara amonia dan nitrit (Alaert & Santika 1984). Nitrit (NO2-) merupakan bentuk peralihan antara amonia dan nitrat (nitrifikasi), dan antara nitrat serta gas nitrogen (denitrifikasi) yang ditemukan di perairan dalam jumlah yang sedikit karena bersifat tidak stabil dengan bergantung pada keberadaan oksigen (Effendi 2003). Di perairan kadar nitrit jarang melebihi 1 mg/l, dimana kadar nitrit yang melebihi dari 0,05 mg/l dapat bersifat toksik bagi organisme perairan yang sangat sensitif. 24 Nitrit (mg/l)
20 16 12 8 4 Tjg. Buyut
P. payung
Selat Cemara
Pre.S.Cemara
Upang
P. Borang
SST.P.Burung
PT SAP
S. Kundur
Hoktong
Pusri
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
Gandus
M. Kramasan
Apr-07
Pre Ogan
Juli 2007
Pulokerto
0
Gambar 43 Perbandingan nilai nitrit di Sungai Musi pada bulan April dan Juli 2007
104
Dari hasil pengukuran kandungan nitrit dalam air pada bulan April berkisar antara 0,051 mg/l – 0,976 mg /l sedangkan pada bulan Juli berkisar 0,467 mg/l – 11 mg/l. Dari hasil pengukuran pada bulan April dan bulan Juli hampir semua stasiun melebihi melampaui batas ambang maksimum baku mutu lingkungan yang berlaku di Indonesia untuk kelas III yang disyaratkan ≤ 0,06 mg/l, kecuali pada PT. SAP dan Pulau Borang. Tingginya nilai nitrit yang melampaui batas ambang maksimum ini diduga karena pada saat pengambilan sampel air masih banyak kandungan amonia yang belum teroksidasi menjadi nitrat.
4.2.3 Hubungan Karakteristik Fisika-Kimia Air Antar Stasiun Hubungan antara parameter fisika dan kimia antar stasiun dianalisis dengan menggunakan metode analisis komponen utama (principal component analysis). parameter tersebut terdiri dari parameter fisika yaitu suhu air, kedalaman, kecerahan, kecepatan arus, TSS, TDS dan daya hantar listrik (conductivity) sedangkan parameter kimianya terdiri dari pH, alkalinitas, kesadahan, salinitas, BOD5, COD, DO, TO, DOC, klorida, minyak, PO4, NH3, NO3 dan NO2. Parameter fisika dan kimia tersebut diintegrasikan yang nantinya akan diperoleh nilai matriks hubungan antar parameter, akar ciri, dan nilai kumulatif ragam. Hasil dari analisis komponen utama yang dilakukan terhadap matriks korelasi menghasilkan sumbusumbu faktorial yang mengekstraksikan secara maksimum informasi-informasi yang di dapat dari parameter-parameter yang digunakan. Kualitas informasi pada tiap sumbu diukur dari besarnya akar ciri yang memungkinkan untuk mengevaluasi hubungan antar parameter-parameter yang digunakan. Suatu korelasi dinyatakan positif atau berbanding lurus jika nilainya berkisar antara 0.5 sampai dengan 1.0 sedangkan parameter-parameter yang dinyatakan berhubngan negatif atau berbanding terbalik jika nilainya berada pada kisaran -0.5 sampai dengan -1.0. Selain itu nilai antara -0.5 hingga 0.5 dianggap tidak mempunyai hubungan atau pengaruh yang nyata baik positif maupun negatif (Gasperz 1995). Hasil analisis komponen utama (PCA)
terhadap matriks korelasi data
parameter fisika dan kimia air pada bulan April 2007 menunjukkan adanya pengelompokan stasiun-stasiun pengamatan dengan karakter penciri lingkungan. Dari hasil analisis terwakili dengan menggunakan 3 sumbu utama yang mampu menjelaskan 60,21 % dari ragam total yang terdiri dari komponen utama 1 sebesar 29,38 %, komponen kedua sebesar 15,91 % dan komponen ketiga 14,93 %.
105
sehingga interpretasi analisis komponen utama dianggap telah mewakili keadaan yang sebenarnya terjadi tanpa mengurangi banyak informasi dari data yang diperoleh. Dimana menurut Gasperz (1995) akar ciri dari analisis komponen utama yang kecil (mendekati 10 %) biasanya tidak di pergunakan karena kontribusinya sangat kecil dalam menjelaskan keragaman data.
Proyeksi variabel pada axis F1 dan F2 : 45.29 % Proyeksi cases (stasiun) pada axis F1 dan F2 : 45.29 % 5
1.0
4
Suhu NO3
Pre.S.Cemara P.Borang PT. SAP
3 2
0.5
Upang Pusri P. Payung SST
1
0.0
TOC
PO4
NO Kec. Arus 2 Oil
Alkalinitas KecerahanpH Hardness TDS DHL Salinitas TSS
Faktor 2: 15.91%
faktor 2 : 15.91%
NH3
COD DOC
-0.5
Chlorida BOD5 Kedalaman
S. Kundur Selat Cemara Wilmar Hoktong Gandus Pre Ogan Muara Ogan Pulokerto
0 -1 -2
M. Kramasan
-3 -4
DO
Tj. Buyut
Ampera
-5 -6
-1.0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
-7
1.0
Faktor 1 : 29.38%
-8
Active
-6
-4
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
Faktor 1: 29.38%
(A)
Active
(B)
Gambar 44 Analisis komponen utama pada sumbu faktorial 1 dan 2 (A). distribusi parameter fisika-kimia air (B). distribusi stasiun penelitian pada bulan April 2007. Proyeksi variabel pada axis F1 dan F3 : 60.21 %
Proyeksi cases (stasiun) pada axis F1 dan F3 : 60.21 % 4 3
1.0 COD TOC
Chlorida Kedalaman Suhu Kec. Arus Oil 0.0
Kecerahan
DOC
pH Alkalinitas
1
M. Kramasan Upang Pre Ogan Gandus
0
Selat Cemara Wilmar Muara Ogan
Tj. Buyut
-1 Hoktong S. Kundur -2 P. Payung -3
BOD5
-0.5
Salinitas DHL TDS
PO4 Hardness
NO3 DO
Faktor 3: 14.93%
Faktor 3 : 14.93%
0.5
SST PT. SAP Pre.S.Cemara P.Borang Ampera Pulokerto
2
TSS -4
NO2 NH3
Pusri
-5
-1.0
-6
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Faktor 1 : 29.38%
-7
Active
(A)
-6
-4
-2
0
2
4
6
Faktor 1: 29.38%
8
10
12
14
Active
(B)
Gambar 45 Analisis komponen utama pada sumbu faktorial 1 dan 3 (A). distribusi parameter fisika-kimia air (B). distribusi stasiun penelitian pada bulan Juli 2007.
106
Berdasarkan grafik analisis komponen utama (PCA) dan matriks korelasi maka dapat dijelaskan bahwa setiap stasiun pada bulan April 2007 dapat di kelompokkan menurut karakter penciri habitatnya. Pengelompokkan stasiun hasil PCA menunjukkan adanya tiga kelompok stasiun yaitu kelompok pertama stasiun Pulokerto, Gandus, Pre Ogan, Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera, Wilmar, PT.SAP, Pulau Borang. Kelompok yang kedua adalah stasiun Pusri, Hoktong, Sungai Kundur, dan Pulau Payung dan kelompok yang ketiga adalah stasiun Tanjung Buyut. Kelompok yang pertama dicirikan oleh sumbu I positif yaitu COD, TOC, klorida, kedalaman, kecepatan arus, suhu, PO4, sedangkan pada kelompok kedua dicirikan pada sumbu I negatif yaitu DO, BOD5, NH3,NO2,NO3 dan Minyak Kelompok ketiga di cirikan pada sumbu II positif dominan dicirikan oleh alkalinitas, salinitas, hardness, pH, TSS, TDS dan kecerahan. Kelompok pertama merupakan bagian hulu dari beberapa stasiun penelitian dimana daerah ini mewakili daerah pemukiman padat penduduk, pasar tradisional, pabrik-pabrik karet crumb rubber, pabrik kopi dan industri rumah tangga, pertanian serta Pertamina sehingga di sini banyak menghasilkan limbah-limbah bahan organik dari limbah domestik pemukiman penduduk serta industri
terutama di
stasiun Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera yang dicirikan dengan parameter COD, TOC yang tinggi, klorida dan fosfat. Tingginya disebabkan akibat adanya masukan buangan dari limbah pertanian disekitar daerah Muara Ogan dan Musi Kramasan. Pada kelompok kedua dicirikan dengan NH3, NO3 dan NO2 yang tinggi hal ini disebabkan masukan dari buangan limbah dari stasiun PT. Pusri yang menghasilkan pupuk urea dimana ketiga parameter tersebut sangat berhubungan erat dalam pembuatan pupuk urea, selain itu dicirikan juga dengan BOD5 yang tinggi sehingga menyebabkan rendahnya kandungan oksigen terlarut dalam air yang diduga akibat adanya buangan limbah pabrik karet Hoktong dan limbah domestik di dekat Sungai Kundur. Tingginya kandungan minyak di stasiun ini dikarenakan berdekatan dengan Pertamina. Kelompok yang ketiga hanya ada 1 stasiun yakni Tanjung Buyut yang merupakan daerah payau (estuaria) sehingga sudah dipengaruhi oleh air laut, ini terciri pada parameter salinitas yang tinggi akibat adanya pergerakan massa air pasang dari laut yang akan mempengaruhi kadar garam dari laut banyak yang masuk ke perairan sungai dan mempengaruhi aktivias ion-ion penyusun kesadahan dan alkalinitas sehingga menyebabkan terjadi kenaikan pH di samping itu juga dicirikan adanya DOC, TSS dan TDS yang tinggi
107
sebagai akibat adanya akumulasi masukan limbah bahan organik dari bagian hulu stasiun, dimana daerah Tanjung Buyut merupakan perairan muara sehingga daerah cakupannya luas dan banyak menerima beban masukan yang dibawa oleh aliran sungai pada bagian hulunya. Proyeksi variabel pada axis F1 dan F2 : 45.22 %
Proyeksi cases (stasiun) pada axis F1 dan F2 : 45.22 % 8
1.0 6
COD
4
PO 4 0.5 TSS
TOC
2
pHOil 0.0
NO 3
Alkalinitas Chlorida Salinitas
Faktor 2: 18.16%
Faktor 2 : 18.16%
Pre.S.Cemara Selat Cemara UpangSST
NH3
Kecerahan
NO Kec.2 Arus DOC
Suhu
P.Borang
P. Payung
PT. SAP Gandus Pulokerto Wilmar S.Ogan Kundur Muara Hoktong Pusri M. Kramasan Ampera
0
Tj. Buyut
-2 DO
-0.5
Hardness BOD Kedalaman 5
-4
DHL TDS
Pre Ogan -6 -1.0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Faktor 1 : 27.06%
Active
-8 -10
-8
-6
-4
(A) Gambar 46
-2
0
2
4
6
Faktor 1: 27.06%
Active
(B)
Analisis komponen utama pada sumbu faktorial 1 dan 2 (A). distribusi parameter fisika-kimia air (B). distribusi stasiun penelitian pada bulan Juli 2007.
Proyeksi variabel pada axis 1 dan 3 : 59.51 %
Proyeksi cases (stasiun) pada axis 1 dan 3 : 59.51 % 8
1.0 6
0.5
DO
SalinitasHardness Chlorida Alkalinitas
Tj. Buyut
4
Kec. Arus
PO4 0.0
TSS NH3 DHL TDS
Kecerahan
NO3
pH COD Oil TOC
Faktor 3: 14.29%
Faktor 3 : 14.29%
NO2 Suhu
2
M. Kramasan Pusri Hoktong Gandus Muara Pulokerto Wilmar S.Ogan Kundur P.Borang PT. SAP P. Payung Upang Ampera Pre.S.Cemara Selat Cemara
0
SST
-2
DOC
-0.5
-4
BOD5 Kedalaman
Pre Ogan
-6
-1.0 -1.0
-0.5
0.0 Faktor 1 : 27.06%
(A)
0.5
1.0
Active
-8 -10
-8
-6
-4
-2
0
Faktor 1: 27.06%
2
4
6
Active
(B)
Gambar 47 Analisis komponen utama pada sumbu faktorial 1 dan 3 (A). distribusi parameter fisika-kimia air (B). distribusi stasiun penelitian pada bulan Juli 2007. Pada bulan Juli dari hasil analisis terwakili dengan menggunakan 3 sumbu utama yang mampu menjelaskan 59,51 % dari ragam total yang terdiri dari komponen utama 1 sebesar 27,06 %, komponen kedua sebesar 18,16 % dan
108
komponen ketiga 14,29 % sehingga setiap stasiun dapat dikelompokkan menurut karakter penciri habitatnya. Pengelompokkan stasiun hasil PCA juga menunjukkan adanya tiga kelompok stasiun yaitu kelompok pertama stasiun Pulokerto, Gandus, Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera, Wilmar, Pusri, Hoktong, Sungai Kundur, PT.SAP, Pulau borang, SST. Pulau Burung. Kelompok yang kedua adalah stasiun Pre Ogan, Upang, Selat Cemara dan Pre Selat Cemara dan kelompok yang ketiga adalah stasiun Pulau Payung dan Tanjung Buyut. Kelompok yang pertama dicirikan oleh sumbu II positif yaitu kecepatan arus, kecerahan, DO, NO3, NO2 dan DOC sedangkan pada kelompok kedua dicirikan pada sumbu I negatif yaitu kedalaman, BOD, COD, TOC, pH, NH3, DHL, TDS dan suhu.sedangkan pada kelompok ketiga di cirikan pada sumbu II negatif dominan dicirikan oleh alkalinitas, salinitas, hardness, PO4, klorida dan TSS. Kelompok pertama merupakan bagian hulu dari stasiun penelitian dimana daerah ini mewakili daerah pemukiman padat penduduk, pasar tradisional, pabrikpabrik
karet crumb rubber, pabrik kopi dan industri rumah tangga, pertanian,
industri pupuk urea, industri minyak kelapa sawit, serta Pertamina sehingga di sini banyak menghasilkan limbah bahan organik dan anorganik dari limbah domestik pemukiman penduduk, industri dan pertanian terutama di stasiun Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera yang dicirikan dengan parameter tingginya NO3 dan NO2 yang diduga bersumber dari masukan limbah pertanian dan industri. Pergerakan kecepatan arus yang kuat menyebabkan pergerakan massa air teraduk secara sempurna sehingga kandungan oksigen terlarutnya (DO) nya meningkat. Pada kelompok yang kedua dicirikan adanya BOD5 dan COD, minyak, kedalaman, TOC, DHL, NH3, TDS dan suhu. Kisaran nilai suhu akan mempengaruhi nilai pH, disini terlihat suhu dan pH di setiap stasiun relatif stabil dimana kisarannya tidak berbeda jauh, BOD5 dan COD yang rendah menunjukkan bahwa di daerah stasiun ini pencemaran bahan organik tergolong rendah. Adanya TDS disebabkan adanya akumulasi yang di bawah oleh aliran air sedangkan pergerakan massa air pada stasiun tersebut tidak terlalu besar sehingga kandungan TDS mudah mengendap di perairan. Kelompok yang ketiga dijelaskan pada sumbu II negatif terdiri 2 stasiun yang berdekatan yakni Pulau Payung dan Tanjung Buyut. Kedekatan antar stasiun ini disebabkan letaknya berdekatan di daerah payau (estuaria) sehingga sudah dipengaruhi oleh air laut, ini terciri khusus pada pada parameter salinitas yang tinggi akibat adanya air pasang dari laut akan mempengaruhi kadar garam dari laut
109
banyak yang masuk ke perairan sungai dan mempengaruhi aktivias ion-ion penyusun kesadahan dan alkalinitas yang menyebabkan terjadi kenaikan pH. Di samping itu juga dicirikan adanya, fosfat, klorida dan TSS yang tinggi sebagai akibat akumulasi adanya masukan limbah bahan organik dan pertanian dari bagian hulu stasiun, dimana daerah Tanjung Buyut yang merupakan perairan muara sehingga daerah cakupannya luas dan banyak menerima beban masukan yang dibawa oleh aliran sungai.
4.2.4 Tingkat Kualitas Air menurut Metode Ika-Storet Indeks kualitas air metode Storet adalah suatu metode penilaian yang dapat menggambarkan tentang kondisi kualitas air dari data mentah tentang kualitas air yang kemudian ditransformasikan menjadi suatu indeks, dengan metode ini dapat diketahui parameter-parameter apa saja yang telah melampaui atau tidak memenuhi syarat baku mutu kualitas air (Canter 1977). Tabel 22 Penentuan kualitas air pada bulan April dan Juli 2007 dengan Ika-Storet No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18.
Stasiun Pulokerto Gandus Pre Ogan Musi Keramasan
Muara Ogan Ampera Wilmar Pusri Hoktong Sungai Kundur PT. SAP Pulau Borang SST. P. Burung Upang Pre S. Cemara Selat Cemara Pulau Payung Tanjung Buyut
IKA-Storet bulan April Nilai Kategori -18 Sedang -18 Sedang -18 Sedang -36 Buruk -40 Buruk Buruk -36 Buruk -36 Buruk -36 Buruk -36 -22 Sedang -12 Sedang -16 Sedang -16 Sedang -4 Baik -22 Sedang -22 Sedang -26 Sedang -18 Sedang
IKA-Storet bulan Juli Nilai Kategori -18 Sedang -32 Buruk -36 Buruk Buruk -36 Buruk -36 Buruk -36 Buruk -36 -36 Buruk Buruk -36 Buruk -36 -18 Sedang -18 Sedang -36 Buruk -18 Sedang -18 Sedang -26 Sedang -26 Sedang -54 Buruk
Tj. Buyut
Pulau payung
Selat Cemara
Pre Selat Cemara
Upang Jaya
P. Borang
SST. P. Burung
-20
PT SAP
S. Kundur
Hoktong
Pusri
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
M. Kramasan
Pre Ogan
-10
Gandus
0 Pulokerto
Indeks Kualitas Air STORET
110
-30 -40 -50 -60 Kete rangan Kategori Kualitas Mutu Air --- Batas Kelas A : -1 s/d -10 Mutu Air Baik --- Batas Kelas C : -11 s/d -30 Mutu Air Sedang --- Batas Kelas D : > -30 Mutu Air Buruk
Apr-07
Juli 2007
Gambar 48 Perbandngan Ika-Storet hilir Sungai Musi periode April dan Juli 2007. Dari Gambar 48 memperlihatkan kondisi kualitas air Sungai Musi bagian hilir, Berdasarkan metode Storet dengan mengacu pada baku Kelas III berdasarkan PP. No. 82 tahun 2001, Peraturan Gubernur Sumatera Selatan No.16. tahun 2005, serta Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 1990. dapat di lihat bahwa kualitas air Sungai Musi bagian hilir pada periode bulan April 2007 yang mengacu pada baku mutu kelas III (untuk kepentingan perikanan) berdasarkan klasifikasi EPA (Enviromental Protection Agency) dikategorikan ke dalam 3 kriteria mutu air yaitu pertama : baku mutu air baik atau tergolong tercemar ringan yang terdapat di stasiun Upang berarti dari 12 perbandingan parameter dengan baku mutu air yang ada, hampir semuanya memenuhi baku mutu yang disyaratkan hal ini menunjukkan di daerah tersebut masih cukup layak bagi kepentingan perikanan, ini dibuktikan tingginya aktivitas penangkapan ikan oleh nelayan di wilayah sekitar stasiun tersebut.
Kedua : termasuk ke dalam mutu kualitas air sedang atau tercemar
sedang karena skor nilai yang di dapat berkisar antara -12 sampai dengan -26, dapat ditemukan pada stasiun Pulokerto, Gandus, Pre Ogan, Musi Kramasan, Sungai Kundur, PT. SAP, Pulau Borang, SST. Pulau Burung, Pre Selat Cemara, Selat Cemara, Pulau Payung dan Tanjung Buyut. Ketiga : termasuk ke dalam mutu kualitas air buruk dimana skor nilai yang di dapat berkisar -36 sampai dengan -40, dapat ditemukan pada stasiun Hoktong, Pusri, Wilmar, Ampera, Muara Ogan dicirikan tingginya nilai parameter klorida dan nitrit dan amonia di beberapa stasiun misalnya pada stasiun Pusri yang melebihi baku mutu air yang disyaratkan. Pada periode bulan Juli 2007 kondisi kualitas airnya dikategorikan ke dalam 2 kriteria mutu air saja yaitu pertama : yang termasuk ke dalam mutu kualitas air sedang atau tercemar sedang dimana skor nilai yang di dapat berkisar antara -18
111
sampai dengan -26, dapat ditemukan pada stasiun Pulokerto, Gandus, PT. SAP, Pulau Borang, SST Pulau Burung, Pre Selat Cemara, Selat Cemara, dan Pulau Payung, Ketiga : termasuk ke dalam mutu kualitas air buruk dimana skor nilai yang di dapat berkisar -36 sampai dengan -54, dapat ditemukan pada stasiun Pre Ogan, Musi Kramasan, Muara Ogan, Ampera, Pusri, Hoktong, Sungai Kundur dan Tanjung Buyut dicirikan tingginya beberapa parameter seperti TDS di stasiun Pre Ogan dan Tanjung Buyut, klorida, nitrit, amonia pada beberapa stasiun dan secara umum jika dibandingkan pada bulan April, maka kualitas air pada bulan Juli lebih buruk karena di beberapa stasiun mengalami penurunan kualitas seperti pada stasiun Pre Ogan, SST. Pulau Burung dan Tanjung Buyut pada bulan april tercemar sedang menurun menjadi tercemar berat pada bulan Juli. Adanya perbedaan daerah yang tercemar berat dan sedang (stasiun Upang sampai stasiun Pulau Payung) berdasarkan indeks Storet karena adanya beberapa sebab diantaranya adanya bahan pencemar dari stasiun yang banyak terdapat aktivitas antropogenik di kawasan industri kota ditransportasikan dalam jarak yang sangat jauh dan membutuhkan waktu sehingga dalam perjalanannya dipengaruhi oleh stabilitas perairan, sifat fisik dari bahan pencemar, water discharge dan kecepatan aliran dari perairan tersebut serta kondisi hidrodinamika yang berbeda pada daerah yang dilaluinya yang berkaitan pencampuran (mixing), penyebaran (dispersion), laju penguraian dan pengenceran serta laju difusi oksigen di permukaan air menyebabkan air terpurifikasi sehingga kualitas air di stasiun yang mengarah ke arah muara menjadi lebih baik dibandingkan dengan stasiun yang berada dekat kota Palembang.
4.3 Karakteristik Sedimen (Substrat Dasar Perairan) 4.3.1 Nilai pH Sedimen
112
Nilai pH sedimen merupakan konsentrasi ion hidrogen dalam air sedimen. Kondisi keasaman dalam sedimen dapat di duga dari pH sedimen, karena asam merupakan hasil disosiasi dalam air.
6 5 4 3 2 1 0
Apr-07 Juli 2007
Pulokerto Gandus Pre Ogan M Kramasan Muara Ogan Ampera Wilmar Pusri Hoktong Kundur SAP SST.P.Burung Pulau Borang Upang Pre S.Cemara Selat Cemara Pulau Payung Tjg. Buyut
Nilai pH Sedimen
7
Gambar 49 Perbandingan nilai pH dalam sedimen pada bulan April dan Juli 2007. Dari hasil pengukuran pH sedimen pada bulan April dan bulan Juli di dapatkan nilai pH berkisar 3,25 – 7 dan terlihat bahwa setiap stasiun memiliki Fluktuasi nilai pH sedimen pH yang tidak mencolok hanya ada beberapa stasiun yang nilai pH sedimennya cukup rendah yaitu pada bulan Juli di stasiun PT. SAP, SST.Pulau Burung dan Pulau Borang sedangkan nilai pH yang tinggi terdapat di stasiun Tanjung Buyut dan PT. SAP pada bulan April hal ini menunjukan bahwa buffer capacity perairan yang cukup tinggi di stasiun tersebut. Apabila dibandingkan dengan pH perairan ternyata pH sedimen lebih rendah. Perubahan pH ini erat kaitannya dengan proses-proses biologi dan kimia yan terjadi dalam sedimen seperti proses dekompisisi yang akan menghasilkan ion-ion hidrogen di samping senyawa nutrien lainnya.
Nilai pH sedimen selama pengamatan masih berada
dalam kisaran yang aman bagi kehidupan makrozoobentos, kecuali pada bulan juli di stasiun PT. SAP, SST. Pulau Burung dan Pulau Borang. Menurut Hynes (1978), nilai pH yang aman untuk makrozoobentos adalah berkisar antara 5-9. pada kisaran ini pengaruh toksisitas bahan beracun akan sangat kecil, sedangkan nilai pH dibawah 5 dan diatas 9 sangat tidak menguntungkan bagi makrozoobentos.
4.3.2 Bahan Organik (Organic Matter)
113
Bahan organik total (BOT) menggambarkan kandungan bahan organik yang dapat dioksidasi oleh KmnO4 dan asam kuat (H2SO4). Kandungan bahan organik total di perairan terdiri dari bahan organik terlarut, tersuspensi dan koloid.
0.7 0.6 0.5 0.4
Tanjung Buyut
Selat Cemara
Pulau Payung
Upang
Pre Selat Cemara
SST
Pulau Borang
SAP
Kundur
Pusri
Hoktong
Ampera Wilmar
Muara Ogan
Juli 2007
Musi Kramasan
Apr-07
Gandus
0.1 0
Musi II/P.Ogan
0.3 0.2
Pulokerto
Bahan Organik (%)
1 0.9 0.8
Gambar 50 Perbandingan nilai bahan organik pada bulan April dan Juli 2007. Gambar 50 menunjukkan bahwa kandungan bahan organik pada bulan April dan Juli relatif bervariasi berkisar antara 0,08 % - 0,95 %. Pada bulan April persentase bahan organik tinggi terdapat pada stasiun PT. SAP, Hoktong dan Muara Musi Kramasan sedangkan pada bulan Juli Selat Cemara, Pre Selat Cemara dan Pusri. Tingginya kandungan bahan organik ini di stasiun tersebut disebabkan oleh masukan bahan organik yang terbawa oleh aliran sungai yang berasal dari limbah aktivitas manusia, kegiatan perikanan, pertanian dan industri. Menurut Abel (1989), adanya masukan bahan organik dalam jumlah yang berlebih akan menimbulkan perubahan pada ekosistem. Perubahan ini tergantung dari jumlah bahan organik dan karakteristik fisik perairan. Adanya peningkatan bahanbahan organik yang sangat tinggi akan memacu aktivitas organisme dekomposer untuk menguraikan bahan organik menjadi senyawa yang lebih sederhana lagi sehingga kandungan oksigen terlarut juga akan menurun, dan ini akan berbahaya bagi biota perairan khususnya keberadaan makrozoobentos. Bahan organik berkorelasi positif dengan tipe partikel sedimen atau substrat halus
hal
ini
berhubungan
dengan
kondisi
lingkungan
tenang
sehingga
memungkinkan pengendapan sedimen lumpur diikuti oleh akumulasi bahan organik ke dasar perairan dan menjadi sumber makanan bagai organisme bentik sehingga jumlah dan laju penambahannya dalam sedimen pada batasan tertentu mempunyai pengaruh yang besar terhadap jenis, jumlah dan kelimpahan makrozoobentos.
114
4.3.3 Logam Berat dalam Sedimen Logam berat adalah istilah yang digunakan secara umum untuk kelompok logam dari metaloid dengan densitas lebih besar dari 5 g/cm3, terutama pada unsur Cd, Cr, Pb, Hg, Ni dan Zn. Logam berat secara normal merupakan unsur dari tanah, sedimen, air dan organisme hidup serta menyebabkan pencemaran jika konsentrasinya telah melebihi batas normal.
Pencemaran lingkungan perairan
oleh bahan pencemar yang mengandung logam berat dapat membahayakan bagi organisme akuatik. Pendistribusian logam berat dalam air untuk sampai ke dasar perairan tergantung pada faktor fisika kimia perairan tersebut serta banyaknya dan tingkat intensitas aktivitas antropogenik yang bisa menyebabkan tingginya logam berat di sedimen dasar perairan. Kromium (Cr) merupakan logam yang keras dan penghantar panas yang baik, di alam unsur ini tidak ada dalam bentuk logam murni, sumber alami kromium sangat sedikit dan biasanya dalam bentuk Cr3+ yang banyak terdapat dalam industri tekstil, keramik gelas dan kromium heksavalen (Cr6+) yang berasal dari industri pelapisan logam. Organisme akuatik dapat terpapar oleh Cr melalui media itu sendiri, sedimen maupun makanan (Effendi 2003).
14 12 10 8 6 4
Tanjung Buyut
Selat Cemara
Pulau Payung
Upang
Pre Selat Cemara
Pulau Borang
SAP
SST.P.Burung
Kundur
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
Musi Kramasan
Apr-07 Juli 2007
Gandus
0
Musi II/P.Ogan
2 Pulokerto
Cr (VI) mg/g Berat Kering
16
Gambar 51 Kisaran nilai Cr (VI) sedimen pada bulan April dan Juli 2007. Dari hasil pengukuran didapatkan bahwa kisaran nilai Cr (VI) pada bulan April berkisar 0,3381 mg/g sampai dengan 5,6792 mg/g sedangkan pada bulan Juli berkisar antara 1,003 mg/g – 14,703 mg/g. Dari Gambar 51 menunjukkan bahwa kandungan logam berat pada beberapa stasiun pada bulan Juli relatif melampaui batas maksimum yang dapat menyebabkan keracunan ataupun kematian pada
115
organisme akuatik salah satunya makrozoobentos, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh fabris dan Werner (1994) bahwa konsentrasi maksimum logam kromium yang dapat ditolerir oleh organisme adalah 0,51 ppm, sedangkan menurut klasifikasi US-EPA region V bahwa konsentrasi Cr (VI) dalam sedimen yang melewati > 0.006 mg/kg dikategorikan mengalami pencemaran berat dan mempengaruhi jumlah, jenis, mortalitas dan pola sebaran makrozoobentos. Dari hasil pengukuran didapatkan nilai konsentrasi Cr (VI) yang melewati ambang batas setelah dikonversi ke mg/kg yaitu di stasiun Sungai Kundur sebesar 0,0138 mg/kg, SST. Pulau Burung sebesar 0,0147 mg/kg pada bulan Juli 2007 hal ini kemungkinan disebabkan pada stasiun Sungai Kundur adanya limbah yang berasal dari industri Pertamina dan pemukiman padat penduduk dan di stasiun SST. Pulau Burung berasal dari limbah dari persawahan dan perkebunan penduduk yangmenggunakan unsur kromium, stasiun yang tinggi lainnya yaitu di stasiun Ampera sebesar 0,0069 mg/kg hal ini di duga disebabkan adanya limbah aktivitas pasar tradisional, pemukiman padat penduduk dan industri rumah tangga misalnya kerajinan songket yang menggunakan unsur kromium untuk proses pembuatannya serta di Stasiun Pre Selat Cemara sebesar 0,0067 mg/kg yang berasal dari limbah pertanian yang berasal dari daerah sebelumnya yang terbawa oleh air sungai dan banyak terakumulasi di stasiun ini. Logam berat yang terlarut dalam air mempunyai sifat mudah mengendap jika berikatan dengan materi organik bebas dan penyerapan langsung oleh permukaan partikel sedimen. Tingginya kandungan Cr (VI) dalam sedimen di beberapa stasiun diatas juga didukung oleh rendahnya nilai pH sedimen yang berkisar antara 4 – 5,5 sedangkan pH dalam air tinggi, pada umumnya semakin tinggi pH maka kestabilan bergeser dari karbonat ke hidroksida dan hidroksida ini mudah sekali membentuk ikatan permukaan dengan partikelpartikel yang ada di badan perairan, lama-kelamaan persenyawaan yang terjadi antara hidroksida dengan partikel tersebut akan mengendap dan membentuk lumpur di dasar perairan sehingga mempengaruhi jenis makroozobentos di stasiun tersebut yang didomiansi jenis yang bersifat toleran. Menurut Fakhruddin (1996) bahwa tingginya kandungan kromium dalam sedimen di sebabkan oleh adanya sifat
dasar
perairan
berupa
pasir
berlumpur
yang
dapat
mempercepat
terakumulasinya logam berat, di samping itu pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Pada bulan April tidak ditemukan kandungan kromium yang melebihi ambang batas hal ini disebabkan adanya faktor pengenceran dan pengadukan massa air akibat curah
116
hujan yang tinggi yang terjadi pada bulan April, sedangkan sedimen di Sungai Musi bagian hilir kebanyakkan didominasi substrat liat berlumpur ini sesuai dengan pendapat Hawkes (1979), bahwa logam yang masuk ke dalam perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran, dan dispersi. Timbal (Pb) secara alami banyak ditemukan dan tersebar luas pada bebatuan dan lapisan kerak bumi. Masuknya logam Pb ke dalam perairan melalui proses pengendapan yang berasal dari aktivitas di darat seperti industri, rumah tangga, erosi, jatuhan partikel-partikel dari sisa proses pembakaran yang mengandung Pb. 1.8 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4
Tjg. Buyut
Selat Cemara
Pulau Payung
Upang
Pre S.Cemara
Pulau Borang
SAP
SST.P.Burung
Kundur
Pusri
Hoktong
Wilmar
Ampera
Muara Ogan
Juli 2007
MKramasan
Apr-07
Gandus
0
Musi II/P.Ogan
0.2 Pulokerto
Pb (mg/g Berat Kering)
1.6
Gambar 52 Perbandingan nilai Pb dalam sedimen pada bulan April dan Juli 2007. Hasil pengukuran logam berat Pb di sedimen pada bulan April berkisar antara 0,4042 mg/g – 0,7872 mg/g sedangkan pada bulan Juli berkisar 0,3937 – 1,747 mg/g. Rendahnya kandungan logam berat timbal (Pb) dalam sedimen Sungai Musi bagian hilir pada bulan April, menunjukkan bahwa kandungan logam berat Pb pada perairan belum terjadi pengendapan di dasar sedimen dan terbawa oleh aliran air.
Berdasarkan Klasifikasi baku mutu yang
dikeluarkan US-EPA maka kandungan Pb yang terdapat dalam sedimen belum melewati batas baku mutu yang ditetapkan.
4.3.4 Tipe Substrat Dasar Perairan Pengamatan terhadap kondisi fisika dan kimia dan tekstur sedimen dalam hubungannya dengan struktur komunitas makrozoobentos sangat penting untuk dilakukan karena sedimen atau substrat dasar perairan merupakan habitat bagi hewan dan tumbuhan yang hidup di dasar perairan. Tekstur atau tipe substrat merupakan salah satu parameter sedimen yang berpengaruh terhadap kehidupan bentos, jenis sedimen tersebut sangat menentukan kepadatan dan komposisi
117
hewan bentos. Tipe substrat dapat ditentukan dengan mengukur komposisi dari fraksi-fraksi pembentuknya yaitu kandungan pasir, liat dan lumpur atau debu dengan menggunakan segitiga Millar. (Brower & Zar 1990). Tabel 23 Klasifikasi komposisi fraksi sedimen berdasarkan segitiga Millar
No.
Lokasi Stasiun
% Pasir
April 2007 % Debu
1.
Pulokerto
14.1
46.8
39.1
2.
Gandus
26.0
42.2
31.9
Lempung liat berlumpur
3.
Pre Ogan
16.1
65.9
18.1
4.
14.1
43.1
42.7
44.8
21.9
5. 6.
Musi Kramasan Muara Ogan Ampera
Lempung berlumpur Liat berlumpur
40.4
11.2
7.
Wilmar
8.
Pusri
22.0 34.4
42.2 41.8
35.8 23.8
9.
Hoktong
34.0
28.3
37.7
10.
S. Kundur
55.8
25.9
18.3
11.
PT. SAP
25.5
67.8
12.
P. Borang
1.7
13.
SST
14.
Tipe Substrat Liat berlumpur
% Pasir
% Debu
% Liat
7
49
44
19
43
38
4 9
49 48
47 43
4
46
50
1
47
52
39 17
34 55
27 28
Lempung berliat
32
37
31
13
48
39
6.7
Lempung berpasir Liat berlumpur
60
21
19
56.8
41.4
Liat berlumpur
1
62
37
17.4
68.5
14.1
Liat berlumpur
1
53
46
Upang
43.8
33.6
22.6
12
51
37
15.
Pre Selat Cemara
18.5
53.9
27.7
Lempung liat berpasir Lempung berlumpur
27
41
32
16.
S.Cemara
56.8
20.6
22.6
Lempung
1
50
49
17.
P. Payung
4.2
68.0
27.7
4
56
40
18.
Tj. Buyut
25.2
49.7
25.1
Lempung liat berlumpur Lempung liat berlumpur
13
56
31
33.3 48.4
% Liat
Juli 2007
Lempung berlumpur Lempung Lempung liat berlumpur Lempung liat berlumpur
Tipe Substrat Liat berlumpur Lempung liat berlumpur Liat berlumpur Liat berlumpur Liat berlumpur Liat berlumpur Lempung berliat Lempung liat berlumpur Lempung liat berlumpur Liat berlumpur Lempung berpasir Liat berlumpur Liat berlumpur Liat berlumpur Lempung liat berlumpur Liat berlumpur Liat berlumpur Lempung liat berlumpur
Tekstur substrat terdiri atas campuran ketiga fraksi tersebut, tidak ada substrat yang terdiri atas satu fraksi saja, tetapi semua tipe substrat terdiri atas
118
ketiga fraksi tersebut
(Brower & Zar 1990). Odum (1971) menjelaskan bahwa
karakter dasar suatu perairan sangat menentukan penyebaran makrozoobentos yaitu substrat perairan seperti lumpur, pasir, liat, berpasir kerikil dan batu, dimana masing-masing tipe menentukan komposisi jenis makrozoobentos. Dari Tabel 22 menunjukkan bahwa kandungan substrat pada pengamatan bulan April di seluruh stasiun yang ada memiliki kandungan fraksi debu atau lumpur yang cukup tinggi yaitu 20,6 % sampai dengan 67,8%, diikuti fraksi dengan kandungan liat yang berkisar 6,7 % sampai dengan 42,9 % dan kandungan pasir berkisar antara 1,7 % sampai dengan 56,8 %. Pada bulan Juli di seluruh stasiun juga masih didominasi oleh kandungan fraksi debu atau lumpur yang cukup tinggi yaitu berkisar 21 % sampai dengan 62 %, diikuti fraksi dengan kandungan liat yang berkisar 19 sampai dengan 52 % dan kandungan pasir yang berkisar antara 1 % sampai dengan 60 %. Secara keseluruhan tipe substrat dasar perairan Sungai Musi bagian hilir pada setiap stasiun didominasi oleh tipe substrat liat berlumpur, kemudian diikuti oleh lempung liat berlumpur, lempung berlumpur, lempung berliat, lempung berpasir, lempung dan lempung liat berpasir. Pada bulan April tipe substrat di dominasi oleh tipe liat berlumpur yang ditemukan pada stasiun Pulokerto, Musi Kramasan, PT. SAP, Pulau Borang dan SST. Pulau Burung. kemudian diikuti dengan tipe lempung liat berlumpur yang ditemukan pada stasiun Gandus, Wilmar, Pusri, Pulau Payung, jenis tipe lainnya adalah tipe lempung berlumpur yang ditemukan pada 3 stasiun yaitu stasiun Pre Ogan, Muara Ogan dan Pre Selat Cemara, tipe lempung ditemukan pada stasiun Ampera dan Selat Cemara kemudian tipe lempung berliat dan lempung berpasir ditemukan hanya pada 1 stasiun yaitu Hoktong dan Sungai Kundur sedangkan pada bulan Juli tipe substratnya juga masih didominasi oleh tipe liat berlumpur yang terdapat pada 11 stasiun dan sisa stasiun yang lainnya bertipe lempung liat berlumpur yang dapat ditemukan di 5 stasiun yaitu stasiun Gandus, Pusri, Hoktong, Pre Selat Cemara dan stasiun Tanjung Buyut, diikuti dengan tipe lempung berliat dan lempung berpasir yang masing-masing terdapat di stasiun Wilmar dan stasiun PT. SAP dimana pada sedimen berpasir biasanya kandungan oksigennya lebih tinggi dibandingkan dengan substrat yang lebih halus, hal ini disebabkan pada sedimen yang ukuran partikelnya lebih besar akan terdapat rongga-rongga yang akan memungkinkan terjadinya pertukaran air yang lebih intensif, pertukaran air ini akan mengakibatkan terjadinya distribusi gas O2 hal ini menyebabkan tingginya kandungan oksigen terlarut pada kedua stasiun tersebut.
119
Secara umum terdapat perubahan komposisi tipe substrat pada bulan April dan Juli di 9 stasiun (Tabel 22), adanya perbedaan atau perubahan komposisi ini di pengaruhi oleh karakteristik perairan di lokasi stasiun pengamatan dan juga adanya pengaruh dari pergerakan massa air sehingga menyebabkan adanya perbedaan tipe substrat tersebut. Pada lokasi yang arusnya lemah dan pergerakan massa air (turbulence) relatif kurang akan membuat partikel-partikel yang lebih kecil akan terbawa jauh oleh massa air dan meninggalkan partikel pasir yang berukuran lebih besar sehingga terendap terlebih dahulu, maka fraksi liat dan debu atau lumpur akan terus melayang dan terbawa oleh massa air, sampai akhirnya diendapkan juga. Adanya dominasi tipe sedimen liat berlumpur di Sungai Musi bagian hilir di sebabkan juga adanya masukan bahan-bahan tersuspensi, koloid dan bahan lainnya dari daratan melalui limpasan air (run-off) yang masuk ke badan perairan, kemudian akibatnya partikel akan mengendap dan berperan dalam pembentukan substrat lumpur. Odum (1971) menjelaskan bahwa pengendapan partikel lumpur di dasar perairan tergantung arus. Apabila arusnya kuat maka partikel yang mengendap adalah partikel berukuran lebih besar, sebaliknya pada tempat yang arusnya lemah maka yang akan mengendap adalah lumpur halus. Pembentukkan endapan lumpur juga mendapat pengaruh dari laut, karena pada air laut juga banyak terdapat partikel tersuspensi. Ketika partikel tersuspensi yang dibawa oleh sungai bercampur dengan air laut, kehadiran ion-ion dalam air laut akan menyebabkan lumpur menggumpal dan membentuk partikel yang lebih besar (Nybakken 1988). 4.4 Hubungan Parameter Fisika, Kimia Air dan Sedimen dengan Struktur Komunitas Makrozoobentos berdasarkan Analisis Komponen Utama
4.4.1 Hubungan Parameter dengan Struktur Komunitas pada Bulan April 2007 Hubungan antara parameter fisika kimia kunci dan sedimen dengan kondisi struktur komunitas makrozoobentos dianalisis dengan menggunakan metode analisis komponen utama. Parameter fisika dan kimia kunci adalah parameter yang berkaitan langsung dengan makrozoobentos yang meliputi kecepatan arus, suhu, kedalaman, kecerahan, TSS, TDS, TOC, DOC,
BOD5, COD, DO, NH3, NO2,
klorida, salinitas dan sedimen yang meliputi bahan organik, pH sedimen, Cr (VI) sedimen, Pb sedimen dan komposisi fraksi tekstur sedimen dan untuk struktur komunitas makrozoobentos parameter yang digunakan adalah kepadatan dan
120
indeks biologi yang meliputi indeks keanekaragaman, indeks dominansi dan indeks keseragaman. Hasil analisis komponen utama (PCA) terhadap matriks korelasi data parameter
fisika,
kimia
air
dan
sedimen
terhadap
struktur
komunitas
makrozoobentos pada bulan April 2007 menunjukkan adanya pengelompokan stasiun pengamatan dengan karakter penciri lingkungan. Dari hasil analisis terwakili dengan menggunakan 3 sumbu utama yang mampu menjelaskan 50,96 % dari ragam total yang terdiri dari komponen utama pertama sebesar 24,95 %, komponen kedua sebesar 14,16 % dan komponen ketiga
11,85 %. sehingga
interpretasi analisis komponen utama dianggap telah mewakili keadaan yang sebenarnya terjadi tanpa mengurangi banyak informasi dari data yang diperoleh. Di mana menurut Gasperz (1995) akar ciri dari analisis komponen utama yang kecil (mendekati 10 %) biasanya tidak di pergunakan karena kontribusinya sangat kecil dalam menjelaskan keragaman data. Berdasarkan akar ciri yang dihasilkan dari analisis komponen utama (PCA) yang terpusat pada dua sumbu (F1 dan F2) maka parameter yang dijelaskan oleh sumbu F1 adalah kepadatan, TSS dan TOC sedangkan sumbu F2 adalah indeks dominasi, indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, kecepatan arus, suhu, kedalaman, kecerahan, TDS, DOC, BOD5, COD, DO, NH3, NO2, klorida, salinitas dan sedimen yang meliputi bahan organik,
pH sedimen, Cr (VI) sedimen, Pb
sedimen dan komposisi fraksi tekstur sedimen. Proyeksi variabel pada axis F1 dan F2 : 39.11%
Proyeksi cases (stasiun) pada axis F1 dan F2 : 39.11 % 6 5
1.0
4
TSS DO
Liat BOD5NO2 Cr (VI) sedimen
0.5 Faktor 2 : 14.16%
DOC Salinitas TDS
Pb sedimen Indeks D'
2
Kecerahan
NH3 TOC
0.0
3
Faktor 2: 14.16%
Kepadatan
Pasir pH sedimen
COD Lumpur/debu
Klorida Kedalaman Bahan Organik
Indeks H' Indeks E'
Suhu
Tj. Buyut Muara Ogan M. Kramasan Hoktong Pusri
Wilmar Pulokerto Gandus
1
Pre Ogan P. Payung
0 S. Kundur
Selat Cemara Upang P.Borang
-1
Kec.Arus
-0.5
-2
SST PT.SAP Ampera Pre S. Cemara
-3
-1.0
-4
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Faktor 1 : 24.95% Active
(A)
Gambar 53
-5 -5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
Faktor 1: 24.95%
4
5
6
7
Active
(B)
Analisis komponen utama sumbu faktorial 1 dan 2 (A). distribusi parameter fisika-kimia air dan sedimen (B). distribusi stasiun penelitian April 2007.
121
Proyeksi variabel pada axis F1 dan F3 : 50.96%
Proyeksi cases (stasiun) pada axis F1 dan F3 : 50.96% 7 6
1.0
Ampera
5
Klorida Kedalaman
4
DOC COD Kecerahan Salinitas TDS
0.5
3
0.0
Tj. Buyut
2 Faktor 3: 11.85%
Faktor 3 : 11.85%
DO
Pasir Kec.Arus IndeksBOD D' 5 Cr (VI) sedimen TOC Kepadatan Bahan Organik Lumpur/debu pH sedimen TSS Indeks IndeksE'H' Pb Liat sedimen Suhu
M. Kramasan Muara Ogan
1
SST Selat Cemara PreUpang Ogan Pulokerto PT.SAP
0
S. Kundur
NO2
-0.5
Wilmar Gandus P.Borang Pre S. Cemara
Hoktong -1 -2
NH3
P. Payung
Pusri
-3 -4
-1.0 -5
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0 -6
Faktor 1 : 24.95% Active
-8
-7
-6
-5
-4
-3
-2
(A)
Gambar 54
-1
0
1
2
3
4
5
6
Faktor 1: 24.95%
7
Active
(B)
Analisis komponen utama sumbu faktorial 1 dan 3 (A). distribusi parameter fisika-kimia air dan sedimen (B). distribusi stasiun penelitian pada bulan April 2007.
Berdasarkan grafik analisis komponen utama dan matriks korelasi dapat dijelaskan bahwa pada bulan April 2007 setiap stasiun dapat dikelompokkan menurut
karakter
penciri
habitatnya.
Pengelompokkan
stasiun hasil
PCA
menunjukkan adanya empat pengelompokkan yaitu kelompok pertama terdiri dari Musi Kramasan, Muara Ogan, Hoktong, Pusri. Kelompok yang pertama dicirikan oleh sumbu I positif yaitu kepadatan dan sumbu II negatif dicirikan indeks dominansi, BOD5, NH3, NO2, di sini terlihat jelas bahwa pada ke empat stasiun terutama Musi Kramasan, Muara Ogan, Hoktong mempunyai nilai BOD5 yang cukup tinggi (2,38, 2,02 dan 3,15 mg/l) dibandingkan pada stasiun yang lainnya, hal ini disebabkan karena letak stasiun tersebut berada di daerah pemukiman padat penduduk, dan industri karet dan pupuk urea sehingga masukan limbahnya mempengaruhi jumlah kandungan BOD5 pada ketiga stasiun tersebut yang cenderung tinggi tetapi masih memenuhi baku mutu berdasarkan PP. No.82. Tahun 2001. sedangkan nilai DO tidak memberi pengaruh yang kuat atau tidak menjadi faktor pembatas utama perkembangan komunitas makrozoobentos di lokasi tersebut karena nilai oksigen dalam air berfluktuasi dan cukup tinggi, ini diduga erat kaitannya dengan proses water discharged dimana adanya volume air yang tinggi menyebabkan terjadinya pengenceran terhadap masukan limbah ke dalam air, di samping itu pengaruh pergerakkan arus yang kuat juga mempengaruhi difusi
122
oksigen di permukaan air sehingga kandungan oksigennya masih memenuhi baku mutu berdasarkan PP. No. 82. Tahun 2001, tingginya BOD5 di kelompok stasiun ini berkorelasi positif dengan bahan organik dan NH3 (7,268 mg/l) serta NO2 (1,219 mg/l) yang tinggi terutama di stasiun Pusri, ini terkait dengan adanya industri pupuk urea Pusri di lokasi stasiun tersebut sehingga menyebabkan tingginya kadar amonia dan kadar nitrit yang belum teroksidasi menjadi nitrat. Dari lokasi stasiun penelitian tersebut BOD5 dan bahan organik memiliki korelasi yang erat (terlihat dari sudut kosinus kuadrat yang terbentuk berdekatan) pada kedua karakter pencirinya terhadap struktur komunitas makrozoobentos yang nilai kepadatan dan indeks dominasinya tinggi dibandingkan pada stasiun lainnya dan dengan meningkatnya jumlah kepadatan berarti akan ada jenis yang mendominasi, salah satu yang mendominasi pada keempat stasiun tersebut adalah dari kelas Oligochaeta seperti jenis Tubifex sp yang merupakan jenis organisme toleran terhadap tingkat BOD5 dan bahan organik yang tinggi, sehingga disimpulkan bahwa kelompok pertama merupakan daerah yang telah tercemar terutama oleh pencemaran bahan organik dan tingginya kandungan unsur nitrogen (NH3, NO2) yang menunjukkan adanya tekanan ekologis yang mempengaruhi makrozoobentos. Pada kelompok yang kedua adalah stasiun Ampera, dan Sungai Kundur dicirikan oleh kedalaman, klorida, tipe substrat pasir, dan pH sedimen, dan Cr (VI) dalam sedimen. Pada kedua stasiun tersebut rata-rata mempunyai kedalaman yang dalam dan nilai klorida yan tinggi (2699,16 mg/l) pada stasiun Ampera ini berkaitan dengan adanya pengaruh dari limbah domestik dari pasar, dan akumulasi buangan klor untuk pemutih dari pabrik karet yang ada di sekitar stasiun tersebut sedangkan pH sedimen dan Cr (VI) sedimen tidak mempunyai korelasi positif atau pengaruh yang kuat terhadap kedua stasiun tersebut. Pada kelompok ketiga didasarkan pada kedekatan antar stasiun yaitu stasiun Wilmar, Pulau Borang, PT. SAP, SST P. Burung, Upang, Pre Selat Cemara dan Selat Cemara, ini dicirikan pada sumbu II positif seperti suhu, kecepatan arus, TOC, COD, tekstur liat, serta Pb sedimen. di sini terlihat suhu relatif sama setiap stasiun dan kecepatan arusnya mulai dari tipe arus lambat sampai arus cepat, TOC berkorelasi negatif dengan teksturnya liat ditunjukkan pada beberapa stasiun ini mempunyai kandungan persentase tekstur tanah liat yang cukup tinggi sedangkan Pb sedimen tidak memberikan pengaruh yang kuat terlihat bahwa Pb sedimen pada bulan April tidak terlalu tinggi. Untuk nilai COD berkorelasi positif dengan
123
lokasi stasiun yang ditunjukkan tingginya nilai COD di stasiun PT. SAP, Pulau Borang dan SST. Pulau Burung (10,15, 10,23 dan 10,32 mg/l) hal ini terkait dengan adanya pabrik minyak goreng, pabrik pulp, pabrik tekstil dekat lokasi stasiun tersebut. Pada kelompok keempat yang terdiri dari stasiun Pulokerto, Gandus, Pre Ogan, Pulau Payung dan Tanjung Buyut. Untuk kelompok empat, ini juga berdasarkan kedekatan letak stasiunnya di mana stasiun Pulokerto lebih berkorelasi positif dengan stasiun Gandus dan Pre Ogan, sedangkan stasiun Pulau Payung lebih berkorelasi positif dengan stasiun Tanjung Buyut, penciri habitatnya berdasarkan letak kedekatan kedua stasiun tersebut, yaitu TSS, TDS, DOC, kecerahan dan salinitas berkorelasi negatif sedangkan tekstur substrat lumpur / debu berkorelasi positif atau memberi pengaruh kuat terhadap keberadaan makrozoobentos dimana tingginya nilai keanekaragaman juga berkorelasi positif dengan tingginya nilai keseragaman. Tingginya TSS terdapat di stasiun Pulau Payung dan Tanjung Buyut (192 dan 296 mg/l) menyebabkan terjadinya kekeruhan yang berkorelasi dengan rendahnya nilai kecerahan. Tingginya TSS juga menyebabkan tingginya TDS (188 dan 4660 mg/l) di kedua lokasi stasiun tersebut. Adanya pengaruh pasang dari air laut menyebabkan kadar salinitasnya tinggi pada stasiun Tanjung buyut yang paling dekat dengan laut. Tingginya TSS akibat banyak menerima beban masukan yang dibawa oleh aliran air dari bagian hulu sungai. Keberadaan makrozoobentos juga dipengaruhi oleh tingginya detritus sebagai sumber pakan yang masuk ke dalam perairan bersama aliran permukaan air sungai yang diindikasikan dengan konsentrasi TSS. Tingginya keanekaragaman dan keseragaman pada tipe substrat liat berlumpur di lokasi stasiun tersebut diduga berkaitan dengan banyaknya makanan yang tersedia dan preferensi yang tinggi dari tiap genus terhadap substrat tersebut. Pada umumnya C-organik tinggi ditemukan pada substrat lumpur dan liat, pada substrat yang halus biasanya nutrien tersedia dalam jumlah yang cukup besar, hal ini menunjukkan bahwa tipe substrat masih dapat mendukung kehidupan makrozoobentos dan ini didukung oleh kandungan oksigen yang masih cukup baik (4,04-4,85 mg/l) yang menyebabkan proses ekologis masih dapat berlangsung dengan baik. disamping itu akibat adanya pengaruh jarak dan waktu dari kawasan industri dekat menyebabkan kualitas air yang mengarah ke muara sudah mengalami purifikasi sehingga mengakibatkan keragaman dan keseragamannya
124
bertambah tinggi serta komposisi jenis yang banyak muncul adalah dari kelompok Gammarus dan Polychaeta, diantaranya jenis yang
toleran terhadap salinitas
seperti Nereis sp. Keanekaragaman dan keseragaman yang tinggi diduga terkait erat dengan kecenderungan polychaeta yang banyak ditemukan di daerah hypopotamal untuk membentuk kelompok dan koloni sedangkan jenis dari Tubifex sp tidak lagi mendominasi.
4.4.2 Hubungan Parameter dengan Struktur Komunitas pada Bulan Juli 2007 Hasil analisis komponen utama (PCA) terhadap matriks korelasi data parameter fisika dan kimia air
pada bulan Juli 2007 menunjukkan adanya
pengelompokkan stasiun-stasiun pengamatan dengan karakter penciri lingkungan. Dari hasil analisis terwakili dengan menggunakan 3 sumbu utama yang mampu menjelaskan 54,62 % dari ragam total yang terdiri dari komponen utama 1 sebesar 27,01 %, komponen kedua sebesar 14,95 % dan komponen ketiga
12,66 %.
sehingga interpretasi analisis komponen utama dianggap telah mewakili keadaan yang sebenarnya terjadi tanpa mengurangi banyak informasi dari data yang diperoleh. Menurut Gasperz (1995) akar ciri dari analisis komponen utama yang kecil (mendekati 10 %) biasanya tidak di pergunakan karena kontribusinya sangat kecil dalam menjelaskan keragaman data.
Proyeksi variabel axis F1 dan F2 : 41.96 %
Proyeksi cases (stasiun) axis F1 dan F2 : 41.96% 8
6 1.0
Cr (VI) Liatsedimen Kecerahan
S. Kundur
Lumpur
COD Pb sedimen BOD5 Indeks Indeks H' E Bahan Organik Kepadatan Indeks D NO2 Kedalaman TSS TDS DO suhu
Pulokerto Upang P. Payung Muara Ogan Selat Cemara Ampera M. Kramasan Pre Ogan Gandus
0
Pusri HoktongPT.SAP
Pre S. Cemara
-2
Klorida Salinitas Pasir pH sedimen
-0.5
P.Borang
2
NH3
0.0
SST
4
TOC
Faktor 2: 14.95%
Faktor 2 : 14.95%
0.5
Kec.Arus DOC
Wilmar -4
Tj. Buyut
-1.0 -1.0
-0.5
0.0
0.5
-6
1.0
Faktor 1 : 27.01%
Active
(A)
-8 -8
-6
-4
-2
0
2
Faktor 1: 27.01%
4
6
8
Active
(B)
Gambar 55 Analisis komponen utama sumbu faktorial 1 dan 2 (A). distribusi parameter fisika-kimia air dan sedimen (B). distribusi stasiun penelitian pada bulan Juli 2007.
125
Proyeksi cases (stasiun) pada axis F1 dan F3 : 54.62% 8 Proyesi variabel pada axis F1 dan F3 : 54.62%
6
1.0
4
Tj. Buyut
Pre Ogan
TDS
Lumpur pH Liat sedimen Klorida Kec.ArusBOD5 Salinitas suhu TOC
Indeks D
DO Kepadatan Cr (VI) sedimen DOC Kedalaman Pb sedimen NO2 Kecerahan
0.0
P. Payung Ampera M. Kramasan S. Kundur Muara Ogan Pulokerto Gandus P.Borang Pusri Upang Hoktong SST Selat Cemara Wilmar
2 Faktor 3: 12.66%
Faktor 3 : 12.66%
0.5
NH3TSS Indeks H' Indeks E
0
-2 -0.5
PT.SAP
Bahan Organik COD
Pasir
Pre S. Cemara
-4
-1.0
-6 -1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
Faktor 1 : 27.01% Active
-8 -8
-4
-2
0
2
4
6
8
Faktor 1: 27.01%
(A)
Gambar 56
-6
Active
(B)
Analisis komponen utama sumbu faktorial 1 dan 3 (A). distribusi parameter fisika-kimia air dan sedimen (B). distribusi stasiun penelitian Juli 2007.
Berdasarkan grafik analisis komponen utama dan matriks korelasi maka dapat dijelaskan bahwa pada bulan Juli 2007 setiap stasiun dapat dikelompokkan menurut
karakter
penciri
habitatnya.
Pengelompokkan
stasiun hasil
PCA
menunjukkan adanya empat pengelompokkan yaitu kelompok pertama terdiri dari stasiun Muara Ogan, Musi Kramasan, Ampera, Hoktong, dan Sungai Kundur, kelompok yang pertama ini dicirikan parameter pada sumbu II positif yaitu DO dan NO2 yang tinggi, lokasi stasiun penelitian tersebut memiliki korelasi yang erat pada kedua karakter pencirinya terhadap struktur komunitas makrozoobentos dimana nilai kepadatan dan indeks dominasinya tinggi dibandingkan pada stasiun yang lain dan dengan meningkatnya jumlah kepadatan berarti akan ada jenis yang mendominasi salah satu yang mendominasi pada keempat stasiun tersebut adalah jenis Tubifex sp yang merupakan jenis organisme yang toleran sedangkan oksigen terlarut (DO) cukup tinggi (5,33 mg/l - 5,98 mg/l). dan ini berkorelasi dengan rendahnya nilai BOD5 (0,16 mg/l – 2,46 mg/l) hal ini menyebabkan tingginya nilai kepadatan makrozoobentos karena DO dan BOD5 tidak menjadi faktor pembatas utama, selain itu juga dipengaruhi oleh tingginya Nilai NO2 (0,547 mg/l – 23,533 mg/l) sebagai faktor pembatas utama keberadaan makrozoobentos di lokasi tersebut, menurut Effendi (2003) kadar nitrit melebihi 0,05 mg/l dapat bersifat toksik pada organisme perairan yang sangat sensitif.
126
Pada kelompok yang kedua adalah stasiun Pulokerto, Pulau Borang, SST.Pulau Burung dan Upang dicirikan oleh Cr (VI) sedimen dan tipe substrat liat dan
ini
tidak
memberikan
pengaruh
yang
kuat
terhadap
keberadaan
makrozoobentos di lokasi stasiun tersebut, faktor utama yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos di lokasi ini adalah TOC yang tinggi (9,38 mg/l – 10,58 mg/l). dan pH sedimen yang rendah di stasiun Pulau Borang (3) dan PT. SAP (4). Untuk kelompok ketiga adalah stasiun Pre Ogan, Gandus, Pusri, Wilmar, PT.SAP, dicirikan oleh suhu, kedalaman, Pb sedimen, DOC, BOD5, tekstur substrat pasir. Suhu di setiap stasiun relatif sama. Kedalaman memberikan pengaruh yang kuat pada stasiun Pre Ogan sedangkan kecepatan arus dikategorikan dari arus lambat sampai sedang ini berkorelasi positif dengan fluktuasi nilai BOD5 yang rendah dan rendahnya nilai DOC dan bukan merupakan faktor pembatas utama terhadap keberadaan makrozoobentos di beberapa stasiun pada lokasi ini. Tipe tekstur substrat pasir berkorelasi positif pada stasiun PT.SAP terlihat bahwa selain jenis cacing juga didominasi oleh kelas Mollusca salah satunya dari kelas Bivalvia yaitu Corbicula javanica hal ini berkaitan dengan tipe bivalvia yang cenderung tersebar pada substrat berpasir sampai liat berlumpur. Kelompok yang keempat adalah berdasarkan letak kedekatan stasiun yaitu Pulau payung dengan Tanjung Buyut dan Pre Selat Cemara dengan Selat Cemara parameter pencirinya yaitu lumpur, TDS, klorida, salinitas, COD, bahan organik, TSS dan NH3. Nilai COD yang tinggi ditemukan di stasiun Pre Selat Cemara dan Selat Cemara (6,57 mg/l – 8,90 mg/l), dan ini berkorelasi dengan tingginya bahan organik dan pencemar lainnya di lokasi stasiun tersebut yang akan mempengaruhi keberadaan makrozoobentos terkait dengan bahan organik sebagai sumber makanannya sehingga mempengaruhi tingginya nilai keanekaragaman dan keseragaman makrozoobentos pada stasiun tersebut. Untuk parameter TOC memberikan korelasi yang positif pada stasiun Pulau Payung (12,98 mg/l), sedangkan tipe substrat lumpur / debu memberikan korelasi yang positif pada keempat stasiun terutama pada stasiun Pulau payung dan Tanjung Buyut yang merupakan daerah estuaria yang banyak terdapat endapan lumpur sebagai akibat proses sedimentasi dan pengaruh gelombang pasang yang menyebabkan nilai TDS tinggi (458 mg/l dan 2490 mg/l) pada kedua stasiun tersebut disamping itu
127
juga dicirikan juga adanya klorida yang tinggi yang di pengaruhi oleh ion-ion dari air laut (359,38 mg/l dan 2360,67 mg/l). Tingginya nilai amonia pada stasiun Selat Cemara dan Pulau Payung (2,486 mg/l dan 4,075 mg/l) serta tingginya TSS (138 mg/l dan 190 mg/l) akan mempengaruhi kuat terhadap jenis, jumlah, keanekaragaman dan keseragaman makrozoobentos pada lokasi stasiun tersebut.