24
S2 µ n Xi
= Standar deviasi = Nilai rata-rata = Jumlah data = Data ke-i
b. Menyajikan data dalam bentuk grafik untuk distribusi secara spasial. c. Membandingkan data dengan literatur yang ada untuk melihat kualitas perairan 3.4.4. Indeks Similaritas Canberra Indeks similaritas Canberra digunakan untuk melihat kesamaan antar stasiun pengamatan
berdasarkan
parameter
yang
diamati,
nilai
yang
diperoleh
dikelompokkan dengan menggunakan sidik gerombolan hirarki metode rataan ikatan kelompok, kemudian dibuat dalam bentuk plot (dendrogram) (Styobudiandi et al 2009). Diagram dendrogram ini menggunakan program Minitab 15 pada komputer. Prinsip pengelompokan Indeks Canberra ini dilakukan dengan cara mencari nilai korelasi antar stasiun, sehingga setiap stasiun akan memiliki nilai korelasi dengan semua stasiun lain. Nilai korelasi antar stasiun tersebut selanjutnya disusun dalam sebuah mastriks yang disebut matriks similaritas Canberra. Hasil perhitungan Indeks Similaritas Canberra kemudian ditampilkan dalam bentuk dendogram berdasarkan keterkaitan antara kelompok yang menggambarkan tingkat kemiripan habitat dan beberapa stasiun pengamatan dengan melihat nilai masing-masing parameter.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
24
25
Ekosistem mangrove memiliki peran penting bagi kawasan pesisir. Informasi mengenai tingkat kerusakan ekosistem mangrove dikawasan pesisir Kota Serang dapat diketahui antara lain dengan mengetahui struktur komunitas mangrove, keadaan lingkungan perairan pesisir Kota Serang, dan kondisi substratnya. 4.1. Struktur Komunitas Mangrove 4.1.1 Kerapatan mangrove Kerapatan mangrove yaitu jumlah total tegakan dari suatu jenis mangrove tertentu dalam suatu unit area. Di Kecamatan Kasemen terdapat tiga jenis mangrove yang tumbuh dengan kerapatan berbeda-beda yaitu Avicennia marina, Rhizophora apiculata, dan Rhizophora mucronata. Kondisi mangrove diamati berdasarkan kerapatan jenis, frekuensi jenis, dan tutupan jenis vegetasi mangrove (Tabel 8). Tabel 8. Jumlah jenis mangrove tiap stasiun Jenis
Pantai Pelabuhan Karangantu Pohon
Am Ra Rm
Am Ra Rm
Anakan
Muara Sungai Cengkok (barat)
Semai
Pohon
Anakan
Semai
9 0 0 6 1 2 0 0 0 0 0 0 1 0 0 0 1 0 Muara Sungai Cengkok Muara kali perumpung (timur)
Sungai Cengkok Pohon
Anakan
Semai
0 0 0 0 0 1 0 0 0 Cagar Alam Pulau Burung (barat)
Pohon
Anakan
Semai
Pohon
Anakan
Semai
Pohon
Anakan
Semai
1 0 0
9 0 0
0 0 0
6 0 0
1 1 0
1 0 0
1 0 2
4 0 2
1 0 0
Keterangan: Luas kerapatan : Pohon (ind/100m2), Anakan (ind/25m2) dan Semai (ind/m2) Am = Avicennia marina Ra = Rhizophora apiculata Rm = Rhizophora mucronata Mangrove di setiap stasiun memiliki tingkat kerapatan yang berbeda-beda, penyebaran jenis mangrove pada lokasi penelitian tidak merata. Mangrove jenis Avicennia marina terdapat pada hampir setiap stasiun dan dalam jumlah yang relatif lebih besar dari jenis mangrove lainnya, mangrove jenis Rhizophora mucronata hanya terdapat pada Pantai Pelabuhan Karangantu, Sebelah Barat muara Sungai
25
26
Cengkok, dan Sebelah Barat Cagar Alam Pulau Burung, sedangkan Rhizophora apiculata hanya terdapat pada Muara Kali Perumpung dan Badan Sungai Cengkok. mangrove yang terdapat di kawasan Kecamatan Kasemen ini adalah vegetasi mangrove yang umum di jumpai pada ekosistem mangrove di Indonesia khususnya Pulau Jawa. Kerapatan mangrove tiap lokasi di Kecamatan Kasemen memiliki kerapatan dan ketebalan berbeda-beda (Gambar 8). Pada pantai Pelabuhan Karangantu ditumbuhi oleh 2 jenis mangrove yaitu Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Pantai Pelabuhan Karangantu memiliki kerapatan pohon mangrove tertinggi. Pada lokasi ini banyak ditumbuhi oleh pohon mangrove dari hasil rehabilitasi beberapa tahun yang lalu oleh pihak pemerintah. Pantai Pelabuhan Karangantu banyak ditumbuhi mangrove yang sudah dewasa (pohon) dengan ketinggian 4-5m. Saat ini sedang ada program rehabilitasi mangrove di pesisir pelabuhan berupa bibit pada luasan ±1ha. Muara Sungai Cengkok sebelah barat masih terdapat mangrove jenis Avicennia marina dan Rhizophora mucronata, sedangkan muara Sungai Cengkok sebelah timur hanya ditumbuhi oleh Avicennia marina. Mangrove di muara Sungai Cengkok memiliki kerapatan lebih kecil daripada Pantai Pelabuhan Karangantu, pada lokasi ini telah mengalami pencemaran. Pencemaran rumah tangga yang menumpuk di muara Sungai Cengkok sangat tinggi, hal ini dapat dilihat degan menumpuknya sampah-sampah anorganik dimuara yang terbuat dari plastik seperti bungkus makanan, sandal, tempat makanan, dan lain-lain. Badan Sungai Cengkok merupakan kawasan yang paling buruk kondisi mangrovenya. Petak-petak tambak ikan sudah memenuhi daerah pasang surut hingga ke tepian sungai. Di tepi Sungai Cengkok hanya ditemukan 3 anakan mangrove jenis Rhizophora apiculata yang ditanam oleh masyarakat yang tinggal dekat muara. Petak-petak tambak ikan di kawasan ini 80% aktif dan sisanya ditinggalkan oleh pemiliknya. Meskipun sudah dikelola oleh dinas setempat dalam pengelompokan petak-petak tambak, pengelolaan dan pengawasan tambak masih belum optimal.
26
Gambar 8. Peta kerapatan tegakan mangrove
27
Muara kali perumpung terdapat tegakan mangrove yang terbentang memanjang mengikuti tepian pantai dengan ketebalan <40m, pada lokasi ini
27
28
mangrove banyak ditemukan dalam bentuk anakan dan semai jenis Avicennia marina dan Rhizophora apiculata dengan tingkat kerapatan 110 ind/100m2 dan 10 ind/100m2. lahan tepat dibelakang ekosistem mangrove adalah tambak-tambak ikan tradisional. Sebelah barat Cagar Alam Pulau Burung dengan ketebalan mangrove 40-100m ini ditumbuhi mangrove jenis Avicennia marina dan Rhizophora mucronata. Pada lokasi ini kerapatan pohon mangrove cukup rendah sebesar 3 ind/100m2 untuk jenis Avicennia marina, akan tetapi kelimpahan anakan dan semai cukup tinggi yaitu 60 ind/100m2 dan 100 ind/100m2. Pohon mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen masih produktif untuk memenuhi kebutuhan regenerasi alami. Hal ini terlihat dari bersarnya perbandingan jumlah semai dan anakan yang masih ada dari pohon mangrove yang tersisa. Sehingga tidak perlu adanya regenerasi tambahan dari lokasi atau indukan pohon mangrove lain untuk menyediakan stok bibit mangrove. Tegakan pohon mangrove yang masih bertahan sekarang sebelumnya adalah semai dan anakan beberapa tahun silam bersama dengan semai dan anakan mangrove lain yang tidak dapat bertahan hingga sekarang baik karena lemahnya pertahanan terhadap kondisi alam maupun dari pengaruh manusia. Apabila diakumulasi keseluruhan tegakan mangrove seluas 420ha di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen dengan kerapatan pohon rata-rata 4 ind/100m2, anakan 13 ind/100m2 dan semai 83 ind/100m2. Perbandingan tingkat kerapatan pohon mangrove terhadap tingkat kerapatan anakan dan semai sangat jauh yaitu 1:24. Hal ini menunjukkan bahwa mangrove dapat meningkatkan jumlah dan luasannya tanpa upaya rehabilitasi apabila proses regenerasi dapat berjalan tanpa hambatan. Apabila tegakan mangrove anakan dan semai saat ini hanya mampu menggantikan tegakan pohon mangrove sekarang maka tingkat survivalnya hanya 4,17% atau tingkat mortalitas yang terjadi sebesar 95,83% dari seluruh jumlah anakan dan semai mangrove yang hidup saat ini. Jumlah anakan dan semai mangrove yang besar dibandingkan dengan jumlah pohon mangrove menjadi peluang besar bagi mangrove untuk melakukan regenerasi. 4.1.2 Indeks Nilai Penting (INP)
28
29
INP adalah nilai yang memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam ekosistem mangrove. Rincian perhitungan INP berkisar antara 0 sampai 300 (Tabel 9). Tabel 9. Indeks Nilai Penting (INP) Jenis
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 4
Stasiun 5
Stasiun 6
Am
266
300
0
300
300
80
Rm
34
0
0
0
0
220
Keterangan: Am = Avicennia marina Rm = Rhizophora mucronata INP ditentukan dari tingkat kerapatan relatif jenis, frekuensi relatif jenis, dan penutupan relatif jenis. Mangrove anakan dan semai masih banyak dipengaruhi oleh lingkunganya daripada pengaruhnya terhadap lingkungan, sehingga mangrove anakan dan semai belum memiliki peran berarti seperti halnya pohon mangrove. Mangrove yang terdapat dikawasan pesisir Kecamatan Kasemen terhampar pada tepi pantai dengan kisaran ketebalan antara 40-100 m. Luasan ekosistem mangrove yang terbatas ini menjadi faktor pembatas pengaruh ekosistem mangrove terhadap lingkungan sekitarnya. Diantara ketiga jenis mangrove yang terdapat dikawasan pesisir Kecamatan Kasemen terdapat dua jenis mangrove yang memiliki peran ekologis, yaitu: Avicennia marina dan Rhizophora mucronata sedangkan Rhizophora apiculata diliha dari nilai INP tidak memiliki peran sama sekali. Mangrove jenis Rhizophora apiculata yang terdapat pada muara kali perumpung adalah mangrove semai yang baru bisa tumbuh menjadi anakan, Rhizophora apiculata memiliki peran ekologis dalam jangka waktu 15-20 tahun setelan mencapai usia dewasa menjadi pohon. Mangrove jenis Avicennia marina tersebar lebih banyak dari pada jenis Rhizophora mucronata, sehingga besar pengaruhya juga berbeda. Mangrove jenis Avicennia marina tersebar diseluruh pesisir Indonsia (Noor et al. 2006), hal ini menunjukkan bahwa mangrove jenis Avicennia marina memiliki daya tahan hidup bagus terhadap pengaruh tekanan alam yang tinggi.
29
30
4.1.3 Tingkat kerusakan mangrove Tingkat kerusakan mengrove menggambarkan kondisi fisik mangrove yang mengalami kerusakan dalam suatu kawasan tertentu. Tingkat kerusakan mangrove ditentukan berdasarkan kerapatan mangrove mengacu pada Kep-MENLH No 201 (2004) modifikasi (Tabel 10). Tabel 10. Tingkat kerusakan mangrove Tingkat Kerusakan Baik
Regenerasi (%) 0,00
1
Kerapatan (ind/100m2) 10
2
6
Rusak sedang
2,72
3
0
Habis
0,00
4
1
Rusak berat
1,11
5
6
Rusak sedang
5,00
6
3
Rusak berat
1,88
Rusak sedang
1,79
Stasiun
Rata-rata
Tingkat kerusakan ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen dapat dilihat dari tingkat kerapatan pohon mangrove perluasan area. Luasan mangrove sepanjang 4 km, dengan ketebalan 100 m ini secara keseluruhan memiliki tingkat kerusakan rata-rata 4 ind/100m2 dengan tingkat kerusakan yang beraneka ragam. Sebagian besar lokasi mangrove sudah melewati batas rusak dan satu lokasi yang masih masuk dalam kategori baik (tidak rusak) adalah kawasan pesisir Pelabuhan Karangantu dengan kerapatan 10 ind/100m2. Kerusakan ekosistem mangrove tertinggi terjadi pada sepanjang Sungai Cengkok, dan saat ini sudah tidak terdapat tegakan pohon mangrove yang masih hidup (hanya tersisa semai mangrove), sedangkan pada lokasi lain meskipun dengan tingkat kerapatan rendah masih terdapat tegakan mangrove yang bertahan hingga sekarang (Gambar 9). Perbedaan tingkat kerapatan mangrove menyebabkan perbedaan tingkat kerusakan mangrove.
30
Gambar 9. Peta tingkat kerusakan mangrove
31
31
32
Luasan mangrove yang tersisa saat ini adalah lahan yang tersisa dari konversi lahan mangrove menjadi petak-petak tambak ikan seluas 5.642 ha (Pemprov Banten 2008). Saat ini petak tambak yang ada luasannya sudah jauh melebihi luasan mangrove yang tersisa. Kemampuan mangrove untuk memperluas distribusinya kearah daratan kini sudah dibatasi oleh tambak-tambak ikan. Menurut Bengen (2001b) dampak kegiatan manusia pada ekosistem mangrove berupa konversi menjadi lahan perikanan adalah: (1) mengancam regenerasi stok ikan dan udang di perairan lepas pantai yang memerlukan hutan mangrove, (2) terjadinya pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat hutan mangrove, (3) pendangkalan perairan pantai, dan (4) Erosi garis pantai dan intrusi garam. Sedangkan kemampuan mangrove untuk regenerasi dibatasi oleh keberadaan hama bibit mangrove dari fauna ekosistem mangrove khususnya kepiting bakau (wideng). Hampir 50% atau bahkan lebih bibit mangrove yang ditanam gagal tumbuh karena cacat atau mati yang disebabkan oleh hama kepiting, sedangkan abrasi pantai di muara Sungai Cengkok sebelah barat tercatat hingga 2 ha, setiap upaya rehabilitasi di lokasi tersebut selalu gagal oleh gangguan abrasi pantai. (sofian, 21 Agustus 2009, komunikasi pribadi). Adanya perubahan tata guna dan fungsi lahan mangrove serta berbagai aktifitas pembukaan lahan telah menyebabkan semakin berkurangnya luas hutan mangrove dan terjadinya perubahan komposisi vegetasi pada berbagai strata pertumbuhan seperti semai, anakan dan pohon (Nursal et al. 2006). Kerusakan mangrove secara temporal hanya bertahan sekitar 15-20 tahun kedepan, karena akan digantikan oleh semai dan bibit mangrove yang tumbuh dan memiliki peran ekologis sebagaimana pohon mangrove (Noor et al. 2006). Apabila generasi mangrove saat ini dapat bertahan, maka tingkat kerusakan ekosistem mangrove berangsur-angsur akan menurun, dan sebaliknya tingkat kerusakan ekosistem mangrove akan semakin parah apabila generasi mangrove saat ini tidak dapat dipertahankan. Ekosistem mangrove dapat mempebaiki kerusakannya apabila memiliki kerapatan 10-15 ind/100m2. Saat ini terdapat jumlah semai dan anakan mangrove sebanyak ±24 kali lipat dari jumlah pohon mangrove yang ada sekarang, sehingga tingkat kerusakan mangrove akan hilang apabila daya regenerasinya yang dapat bertahan hidup meningkat dari 4,17% menjadi 10,42-15,63%.
32
33
Kerusakan mangrove menyebabkan menurunnya produktivitas perairan dan menurunnya kesejahteraan nelayan kecil (subsisten) yang menggantungkan pendapatannya dari perairan dangkal tersebut (Setyawan 2008). Dengan kondisi kerusakan ekosistem mangrove saat ini maka fungsi ekosistem mangrove dalam menjalankan perannya semakin berat. Ekosistem mangrove ini masih menjadi barisan terdepan dalam melindungi 5.642 ha tambak yang ada dari terpaan ombak, badai, dan gelombang yang menghampiri daratan, mencegah intrusi air laut sejauh mungkin dari pemukiman penduduk, menyuplai stok benih-benih ikan untuk tumbuh besar dan ditangkap oleh nelayan, menyediakan ranting-ranting dan kayu bakar untuk masyarakat, menghasilkan daun dan buah untuk pakan ternak, serta fungsi lain bagi ekosistem sekitarnya. 4.2. Kondisi substrat Parameter yang diamati untuk sampel substrat adalah pH tanah, kadar Corganik, dan tekstur substrat. Parameter substrat pH, tekstur, tipe substrat, dan kadar C-organik relatif sama pada setiap lokasi (Tabel 11). Tabel 11. Kondisi substrat Stasiun 1 2 3 4 5 6
pH 6,4 7,5 7,5 7,5 7,5 7,5
Pasir 1,22 3,88 2,88 2,28 4,29 1,08
Tekstur (%) Debu 20,39 27,20 28,70 34,69 35,90 18,84
Liat 78,39 68,92 68,42 63,03 59,81 80,08
Tipe Substrat Liat Liat Liat Liat Liat Liat
C-organik (%) 9,25 5,42 3,68 3,51 4,75 3,51
Substrat adalah satu-satunya media tanam yang menjadi media pertumbuhan mangrove sejak pertama kali menancapkan akar kedalam substrat. Kemampuan mangrove untuk dapat hidup, tumbuh, dan berkembang biak sangat bergantung pada kondisi substrat yang menjadi media utamanya. Kondisi substrat menjadi salah satu faktor penting bagi kehidupan mangrove. Derajat keasaman (pH) substrat mangrove di Kecamatan Kasemen berada pada kondisi netral cenderung asam. Kondisi substrat ini sangat cocok bagi
33
34
pertumbuhan mangrove, karena mangrove dapat tumbuh subur pada kondisi substrat netral dan cenderung asam. pH substrat mempengaruhi laju pertumbuhan dan sangat menentukan tingkat keberhasilan hidup bibit mangrove. Menurut Setyawan (2008) kondisi substrat mangrove pada umumnya cenderung asam, karena aktivitas bakteri pereduksi belerang dan adanya sedimentasi tanah lempung yang asam. Tekstur substrat ditentukan dari komposisi fraksi pasir, debu, dan liat. Menurut Witasari (2002) tekstur dan komposisi sedimen di dasar teluk banten merupakan hasil pengendapan moderen yang berasal dari daratan dan dari paparan, sumber dari lingkungan darat memberikan kontribusi terbesar. Endapan asal darat terutama terkirim melalui aliran sungai ke laut, sedangkan endapan asal paparan umumnya terbentuk secara insitu. Kawasan pesisir perairan sering dilalui oleh saluran air dari daratan dan lautan sehingga terjadi laju pegendapan yang cukup tinggi, hal yang sama juga terjadi pada kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, tekstur substrat lebih didominasi oleh liat dari sedimentasi perairan. Substrat di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen tergolong tipe substrat liat. Meskipun perbedaan persentasi fraksi liat antara stasiun satu dan lainnya tidak sama, komposisi fraksi liat lebih besar dari 40% dan komposisi fraksi lainnya lebih kecil dari fraksi liat, tekstur substrat liat pada segitiga millar memiliki proporsi paling besar diantara tipe tekstur yang lain, sehingga tekstur substrat di kawasan ini yang terbentuk berdasarkan pengelompokan substrat segitiga millar relatif sama yaitu tekstur liat. Kesuburan substrat ditentukan dari kandungan C-organik yang tersimpan, semakin besar kandungan C-organik pada suatu substrat maka substrat tersebut semakin subur. Substart dapat dikatakan memiliki kesuburan tinggi apabila kandungan C-organiknya >3%, dan menjadi sangat tinggi apabila >5% C-organik (Hardjowigeno 2003). Kawasan pesisir Kecamatan Kasemen memiliki kesuburan berkisar antara 3,51-9,25% C-organik, kandungan C-organik tertinggi pada stasiun 1 dan kadar C-organik terendah pada stasiun 4 dan 6. Substrat pada stasiun 1 lebih tinggi kadar C-organiknya dibandingkan dengan stasiun lainnya, hal ini disebabkan dengan tingginya tingkat kerapatan pohon mangrove dan derajat keasaman yang lebih rendah mampu meningkatkan proses dekomposisi bahan organik yang tertimbun pada substrat tersebut. Kadar C-organik yang tinggi pada substrat di kawasan ini menandakan bahwa substrat tersebut sudah subur akan kandungan C-
34
35
organik. Kebutuhan mangrove akan kesuburan substrat (C-organik) di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen sudah terpenuhi, dengan demikian maka kesuburan substrat tidak menjadi hambatan bagi pertumbuhan mangrove. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kesuburan substrat adalah tekstur substrat. Tekstur substrat yang terdiri atas partikel-partikel kecil (liat) memiliki kemampuan menangkap bahan organik lebih tinggi dari pada partikelpartikel yang berukuran lebih besar (pasir). Liat adalah partikel substrat yang paling kecil dengan ukuran kurang dari 0,002mm, sedangkan pasir adalah partikel substrat yang paling besar dengan ukuran 0,500-2,000mm. Substrat yang terdiri atas fraksi liat membentuk susunan partikel-partikel yang bersifat micropores yaitu substrat yang memiliki pori-pori kecil dalam jumlah banyak, sedangkan substrat yang terdiri atas fraksi pasir membentuk susunan partikel-partikel yang bersifat macropores yaitu substrat yang memiliki pori-pori besar dalam jumlah sedikit. Micropores karena ukuran pori-porinya yang kecil sulit mengalirkan air dan bahan organik sehingga pada lapisan ini sering terisi oleh air, sedangkan macropores dengan ukuran pori-porinya yang besar mampu melewatkan air sehingga pada lapisan ini sering terisi oleh udara (Plaster 2003). Semakin banyak jumlah persentase liat pada suatu substrat maka kemungkinan kadar air dan tingkat kesuburannya semakin tinggi dan semakin banyak jumlah persentase pasir pada suatu substrat maka kemungkinan kadar air dan tingkat kesuburannya semakin rendah. 4.3. Parameter Lingkungan Perairan Kualitas perairan dapat mempengaruhi ekosistem mangrove dan kondisi kehidupan biota dikawasan pesisir. Kualitar perairan yang buruk selama dapat diminimalisir oleh ekosistem mangrove akan berubah menjadi perairan yang baik, akan tetapi kualitas perairan yang tidak dapat diminimalisir oleh ekosistem mangrove selain menghasilkan perairan yang tetap buruk juga semakin merusak ekosistem mangrove tersebut. Parameter yang perlu diamati pada pengelolaan ekosistem mangrove adalah suhu, salinitas, dan pH. 4.3.1 Suhu
35
36
Suhu adalah salah satu faktor penting yang mempengaruhi kelangsungan hidup biota perairan. Suhu perairan di Kecamatan Kasemen memiliki kesamaan pada kondisi pasang dan surut (Gambar 10). 33
O
Suhu ( C)
32 31 P as ang 30
S urut
29
6
5
4
3
2
1
28
Stasiun
Gambar 10. Diagram sebaran suhu perairan. Sebaran suhu perairan di Kecamatan Kasemen pada saat kondisi pasang dan surut relatif stabil yaitu 30,5-32,0 0C. Pada suhu tersebut biota perairan dapat tumbuh normal apabila tidak terjadi fluktuasi yang tajam. Selama bulan Juli-Agustus 2009 pasang surut terjadi sebanyak satu kali dalam sehari. Pasang terjadi pada siang sampai malam hari, sedangkan surut terjadi dari pagi sampai siang. Suhu perairan pada kondisi pasang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi surut. Ini terjadi disebabkan penyinaran matahari di tengah laut selama seharian sehingga pada saat surut panas yang diserap air laut masuk ke kawasan pesisir. Terkecuali pada stasiun 1 dengan keberadaan pelabuhan dan aktifitas manusia seperti bongkar muat dan keluar masuk kapal nelayan serta buangan limbah domestik, maka suhu air laut di stasiun 1 ketika surut relatif lebih tinggi daripada saat pasang. Vegetasi mangrove yang sudah menjadi pohon tidak banyak terpengaruh oleh temperatur perairan, karena sudah memiliki pondasi yang kuat dan menciptakan kerindangan bagi lingkungan sekitarnya. Akan tetapi temperatur perairan sangat diperhatikan untuk pembibitan mangrove. Bibit mangrove yang ditanam atau tertanam secara alami akan tumbuh dengan baik pada temperatur perairan yang stabil. 4.3.2 Salinitas
36
37
Tingkat salinitas umumnya pada kawasan pesisir mengalami fluktuasi tinggi sehingga menciptakan ekosistem yang berbeda dengan perairan lainnya. Salinitas perairan di Kecamatan Kasemen tidak mengalami fluktuasi tinggi (Gambar 11).
Ssalinitas (‰)
36 34 P as ang
32
S urut 30
6
5
4
3
2
1
28
Stasiun
Gambar 11. Diagram sebaran salinitas perairan. Sebaran salinitas perairan pasang dan surut di kawasan mangrove Kecamatan Kasemen masuk kategori air laut karena berada pada salinitas >30‰. Hal ini menunjukkan bahwa selama penelitian peristiwa pasang-surut di Kecamatan Kasemen tidak menyebabkan terjadinya perubahan salinitas yang besar. Ini disebabkan juga kecilnya arus yang terjadi di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen. Perubahan salinitas akan lebih signifikan apabila terjadi pasang purnama dan musim hujan, karena terjadi perpindahan masa air yang lebih banyak dari hari biasanya. Salinitas perairan Kecamatan Kasemen masih layak untuk ekosistem mangrove, karena tanaman mangrove masih dapat tumbuh dengan baik hingga salinitas 38‰. Salinitas perairan lebih banyak berperan bagi mangrove pada saat bibit. Bibit sejak pertama kali menancapkan bijinya kedalam tanah (substrat) maka pada saat itu bibit mulai membiasakan diri dengan berbagai kondisi lingkungan untuk dapat tumbuh dan berkembang biak. Menurut Wibisono et. al. (2006) kriteria perairan untuk penanaman mangrove adalah perairan payau (7-15‰). Sehingga dalam penanaman mangrove buatan sebaiknya dilakukan dilokasi terpisah yang memiliki salinitas payau. 4.3.3 Derajat keasaman (pH)
37
38
Derajat keasaman / pH air dapat berubah-ubah tergantung dari masukan air laut dan air tawar dari daratan. pH perairan mengalami perbedaan pada kondisi pasang dan surut (Gambar 12). 8
pH
7.5 P as ang
7
S urut 6.5
6
5
4
3
2
1
6
Stasiun
Gambar 12. Diagram sebaran pH perairan. Kondisi ekosistem pesisir yang ekstrim menciptakan vegetasi yang kuat terhadap berbagai dinamika alam yang terus berubah. Vegetasi mangrove adalah salah satu ekosistem pesisir yang memiliki keunikan mampu bertahan hidup pada perairan yang berubah-ubah. Mangrove dapat bertahan pada perairan dengan perubahan pH, sehingga pH tidak banyak mempengaruhi pertumbuhan mangrove. Sebaran pH dari ke enam stasiun lokasi pengamatan berkisar antara 7,16-7,67. pada saat surut pH cenderung meningkat dan pada saat pasang pH perairan kembali naik. pH tertinggi dicapai pada saat surut di stasiun 4, sedangkan pH terendah di capai pada saat pasang di stasiun 6. karena selang perubahan pH air tidak terlalu jauh, maka pH air laut di Kecamatan Kasemen cukup stabil. pH perairan yang stabil diperlukan untuk menjaga kualitas bibit mangrove pada saat rehabilitasi. Pertumbuhan mangrove akan optimal apabila kondisi perairannya memiliki kondisi pH yang stabil. Setelah dewasa maka daya tahan terhadap alam meningkat sehingga mampu mengkondisikan ketika terjadi perubahan pH yang tidak sesuai.
4.4. Indeks Similaritas Canberra
38
39
Dendrogram kerapatan mangrove menggambarkan tingkat kekerabatan kerapatan mangrove antara lokasi satu dan lainnya. Tingkat kekerabatan kerapatan mangrove di Kecamatan Kasemen berkisar antara 50,31%-92,14% (Gambar 13).
50,31%
60,72% 65,58% 64,00%
60,72%
92,14%
Gambar 13. Grafik dendrogram kerapatan mangrove Pada grafik di atas dapat dilihat tingkat kekerabatan kerapatan mangrove seluruh lokasi mencapai tingkat 50,31%. Hal ini menunjukkan bahwa kerapatan mangrove kawasan pesisir Kecamatan Kasemen terdapat kesamaan antara lokasi satu dan lokasi lainnya, sebagaimana diketahui pada tabel kerapatan mangrove sebagian besar kondisi mangrove rusak berat, sebagian lagi rusak sedang, dan sisanya baik. Nilai rata-rata tingkat kekerabatan dari kerapatan mangrove diperoleh tingkat 65,68% yang membagi kerapatan mangrove menjadi 3 kelompok. Kelompok 1 terdiri atas stasiun 1, 2, dan 5. Stasiun 2 dan 5 terdapat kemiripan hingga 92,14%, karena pada stasiun tersebut kerapatan pohon mangrove sama yaitu 6 ind/100m2 dan mengandungan kadar C-organik yang tinggi yaitu 5,42% pada stasiun 2 dan 4,75% pada stasiun 5. Stasiun 2 dan 5 masih memiliki kemiripan dengan stasiun 1 pada tingkat 64,00%. Karena stasiun 1 memiliki kandungan Corganik sangat tinggi yaitu 9,25%. Kelompok 1 adalah kelompok yang memiliki kerapatan mangrove lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok lainnya.
39
40
Kelompok 2 terdiri atas stasiun 4 dan 6 dengan tingkat kemiripan hingga 60,72%. Kelompok 2 memiliki kadar C-organik yang tinggi dan dengan persentase yang sama yaitu 3,51%. Pada kelompok 2 ini kerapatan mangrove rendah dan mengalami tingkat kerusakan mangrove hingga rusak berat. Stasiun 4 dan 6 memiliki tingkat kerusakan yang lebih tinggi dari pada kelompok 1. Kelompok 3 hanya terdiri atas satu stasiun yaitu stasiun 3. Stasiun 3 adalah satu-satunya stasiun dengan tingkat kekerabatan sangat rendah mencapai 50,31%. Pada kelompok 3 ini kondisi mangrove sudah sangat parah, tidak ditemukan tegakan pohon mangrove sama sekali, berbeda halnya dengan stasiun lain yang memiliki tegakan pohon mangrove dengan kerapatan berbeda-beda. Kelompok 3 adalah kelompok yang memiliki kondisi mangrove rusak berat. 4.5. Manajemen Rehabilitasi Mangrove Kondisi mangrove yang sudah kritis akibat konversi lahan mangrove yang berlebihan berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove baik secara langsung (misal kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun secara tidak langsung (misal pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan) (Bengen 2001b). Agar dapat dimanfaatkan kembali dengan baik maka perlu dilakukan manajemen rehabilitasi mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen yang meliputi rehabilitasi mangrove, penataan lingkungan pesisir Kecamatan Kasemen dan pemanfaatan ekosistem mangrove yang lebih ramah lingkungan dan tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup. Upaya rehabilitasi di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen sudah dilakukan oleh beberapa pihak baik dari pemerintahan maupun dari LSM, sayangnya upaya tersebut dilakukan sendiri-sendiri tanpa ada kerjasama yang membuat upaya rehabilitasi tersebut dapat dipertahankan. Selain itu paska rehabilitasi tersebut tidak ada monitoring untuk memantau perkembangan hasil rehabilitasi tersebut. Banyak sisa-sisa penanaman mangrove yang bertahan sejak awal dan banyak juga yang mati. Bibit mangrove yang ditanam di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen biasanya mati karena hama kepiting dan abrasi pantai. Hama kepiting sering menjadi masalah dalam upaya rehabilitasi mangrove. 4.5.1 Rehabilitasi mangrove 40
41
Ekosistem mangrove yang rusak dapat dipulihkan dengan cara rehabilitasi. Rehabilitasi hutan mangrove adalah upaya mengembalikan fungsi hutan mangrove yang mengalami degradasi kepada kondisi yang dianggap baik dan mampu mengemban fungsi ekologis dan ekonomis (Menhut 2004). Campur tangan manusia dalam rehabiliasi mangrove diusahakan sekecil mungkin terutama dalam memaksakan keinginan untuk menumbuhkan jenis mangrove tertentu menurut yang diingini oleh manusia. Dengan demikian, usaha rehabilitasi semestinya mengandung makna memberi jalan/peluang kepada alam untuk mengatur/memulihkan dirinya sendiri. Menurut Lewis dan Streever (2000) in (Setyawan et al. 2004), reforestasi adalah penanaman mangrove pada bekas area hutan mangrove, sedang afforestasi adalah penanaman mangrove pada area yang semula bukan hutan mangrove. Rehabilitasi yang dapat dterapkan disini adalah rehabilitasi reforestasi, karena banyak lokasi ekosistem mangrove yang perlu dihidupkan kembali dan tidak ada lahan kosong yang belum digunakan oleh masyarakat. a. Jenis vegetasi mangrove Dalam kegiatan rehabilitasi mangrove, masing-masing jenis mangrove memiliki karakter yang berbeda. Jenis mangrove yang dapat ditanam untuk rehabilitasi mangrove dapat ditentukan berdasarkan kondisi lingkungannya, pengalaman upaya rehabilitasi pada lokasi terdekat, dan sejarah jenis mangrove yang masih tersisa pada lokasi tersebut dan sekitarnya. Kawasan pesisir Kecamatan Kasemen berada pada kondisi geografis tropis dengan 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau, memiliki substrat dengan kandungan organik tinggi (>3%), pH berkisar antara 6,5 – 7,0 dan memiliki tipe substrat liat serta sering digenangi oleh air pasang-surut dengan salinitas tinggi. Untuk rehabilitasi mangrove pada kawasan tersebut diperlukan jenis mangrove yang mampu bertahan dengan tekanan alam cukup kuat sehingga dapat bertahan hidup hingga dewasa dan melaksanakan kembali peran mangrove yang pernah ada sebelumnya. Mangrove jenis Rhizopora spp dan Avicennia spp adalah vegetasi mangrove yang sering digunakan untuk rehabiliasi dan peluang keberhasilannya cukup tinggi. Kegiatan rehabilitasi mangrove yang telah dirintis sejak tahun 1960 di kawasan pantai utara Pulau Jawa sekitar 20.000 ha di laporkan telah berhasil di rehabilitasi
41
42
dengan menggunakan tanaman utama Rhizopora spp dan Avicennia spp dengan persen tumbuh hasil penanaman berkisar antara 60%-70%. Hal serupa juga dilakukan pada sekitar 105 ha hutan mangrove yang rusak di Cilacap, di mana telah berhasil di rehabilitasi dengan menggunakan tanaman pokok Rhizopora spp dan Bruguiera spp (Iqbal 2009). Vegetasi mangrove yang masih hidup di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen hingga saat ini terdiri atas tiga jenis mangrove yaitu Avicenia marina, Rhizophora mucronata, dan Rhizophora apiculata. Sedangkan menurut Iqbal (2006) dalam hasil studi vegetasi mangrove yang berlokasi di Cagar Alam Pulau Burung Teluk Banten, menyatakan bahwa terdapat lima jenis vegetasi mangrove yang masih hidup yaitu Avicennia lanata, Avicennia marina, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, dan Bruguiera excaristata. Berdasarkan tekanan kondisi lingkungan yang cukup berat, mengambil pengalaman dari rehabilitasi yang berhasil dilakukan di pesisir Pulau Jawa, dan sejarah vegetasi mangrove yang masih tersisa di kawasan selitarnya, maka vegetasi mangrove yang tepat untuk rehabilitasi kawasan pesisir Kecamatan Kasemen ada tiga jenis yaitu: Avicennia marina, Rhizophora apiculata, dan Rhizophora mucronata. Sedangkan upaya rehabilitasi lanjutan setelah ketiga jenis tersebut dapat melakukan introduksi vegetasi tambahan dari Cagar Alam Pulau Burung yang berdekatan dengan kawasan pesisir Kecamatan Kasemen sebanyak 2 jenis yaitu mangrove jenis Avicennia lanata dan Bruguiera excaristata. b. Lokasi rehabilitasi Rehabilitasi mangrove untuk upaya rehabilitasi kawasan pesisir Kecamatan Kasemen dapat dimulai dari tiga lokasi yaitu dari pantai Pelabuhan Karangantu, muara Sungai Cengkok sebelah barat, dan muara Kali Perumpung. Ketiga lokasi ini dipilih karena memiliki keunggulan yaitu kondisi ekosistem mangrove yang lebih baik daripada ekosistem mangrove di sekitarnya. Upaya rehabilitasi mangrove dimulai dari kawasan mangrove dengan kondisi kerusakan paling ringan kearah kawasan mangrove dengan kondisi kerusakan paling berat. Ini dilakukan dengan pertimbangan: menekan ancaman kerusakan mangrove yang lebih parah, melihat peluang terbesar penyelamatan ekosistem mangrove, dan memberi peluang bagi ekosistem mangrove menjadi ekosistem homeostasis.
42
43
Pantai Pelabuhan Karangantu dengan tingkat kerusakan mangrove baik memiliki kerapatan mangrove paling tinggi diantara stasiun yang lain. Dengan ketebalan dari tepi pantai yang sangat tipis dibandingkan dengan luasan tambak yang ada maka perlu penambahan luasan ekosistem mangrove kearah daratan, kekurangan yang ada pada pantai Pelabuhan Karangantu adalah regenerasinya sangat rendah, sehingga upaya rehabilitasi yang dilakukan dengan penyemaian mangrove dapat memperbesar jumlah semai dan anakan mangrove yang ada sekarang. Upaya rehabilitasi mangrove pada lokasi ini akan menjadi indikator keberhasilan rehabilitasi mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen, karena lokasi ini memiliki kerusakan paling rendah dengan kategori baik. Muara Sungai Cengkok sebelah barat dengan tingkat kerusakan mangrove rusak ringan memiliki kemampuan regenerasi mangrove yang lebih baik dibandingkan dengan pantai Pelabuhan Karangantu. Upaya rehabilitasi yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kerapatan mangrove pada generasi berikutnya. Dalam pelaksanaan rehabilitasi mangrove di muaras Sungai Cengkok perlu dilakukan
pencegahan
pencemaran
sampah
domestik
anorganik,
karena
penumpukan sampah tertinggi berada pada muara Sungai Cengkok. Pencegahan sampah anorganik dapat dilakukan dengan membuat pelindung sampah di sepanjang tepi pantai dengan memasang jaring atau anyaman bambu, sehingga sampah tidak dapat masuk ke lokasi rehabilitasi mangrove dan air pasang-surut tetap dapat keluar masuk seperti sedia kala. Muara Kali Perumpung dengan tingkat kerusakan mangrove rusak ringan memiliki kemampuan regenerasi mangrove tidak sebesar muara Sungai Cengkok. Upaya rehabilitasi mangrove yang perlu dilaksanakan memerlukan jumlah bibit yang lebih banyak agar capaian kerapatan mangrove yang baik seimbang dengan lokasi rehabilitasi mangrove pada kedua lokasi lainnya. Muara Kali Perumpung tidak mengalami pencemaran domestik seperti halnya muara Sungai Cengkok, sehingga tidak perlu penanganan serius untuk pencemaran sampah. Penanganan yang paling penting adalah pencegahan gangguan hama kepiting bakau yaitu dengan menanam bibit mangrove yang usianya lebih tua atau dengan penopang bambu. 4.5.2 Penataan lingkungan pesisir
43
44
Kawasan pesisir Kecamatan Kasemen memiliki potensi sumberdaya alam yang melimpah, dengan luasan pesisir yang terbatas dan kepadatan penduduk yang terus meningkat maka untuk menjaga kelestarian kawasan pesisir perlu adanya penataan lingkungan pesisir. Lahan di pesisir Kota Serang didominasi oleh area pertambakan yang terdapat di sepanjang pantai dengan luas 5.642 ha (Pemprov Banten 2008). Model tambak yang terdapat di pesisir Kota Serang adalah tambak pembesaran ikan secara tradisional tanpa menggunakan pakan tambahan (hanya menggunakan pakan alami). Jenis tambak yang di budidayakan adalah tambak ikan Bandeng dan udang Windu. Siklus panennya sekitar 3 bulan dan memanfaatkan pasang surut untuk sumber irigasi. Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam Keputusan Presiden Nomor 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung ditetapkan lebar minimum jalur hijau (green belt) adalah 130 kali perbedaan pasang surut tertinggi dan terendah yang diukur dari garis pantai terendah. Perbedaan pasang surut di Pantura Pulau Jawa rata-rata sebesar 1,5m, sehingga lebar green belt minimum 195m (Dephut 2006). Ekosistem mangrove merupakan jalur hijau yang mempunyai fungsi ekologis dan sosial ekonomi, untuk memperbaikinya harus memperhatikan fungsi ekosistem tersebut. Ekosistem mangrove sebagai fungsi ekologis dapat di selamatkan lagi dengan melakukan pencegahan pemanfaatan
mangrove secara berlebihan,
sedangkan ekosistem mangrove sebagai fungsi sosial dan ekonomi dapat digunakan dengan menyadari pentingnya ekosistem mangrove bagi kehidupan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Melihat pentingnya peran green belt bagi masyarakat dan kehidupan sekitarnya maka rekomendasi untuk jalur hijau berkisar antara 200-300 m dari tepi pantai dan 100 m pada pinggiran Sungai Cengkok dengan kerapatan optimum. Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan terhadap ekosistem mangrove perlu adanya dukungan dari lingkungan sekitarnya, penataan kawasan pesisir ekosistem mangrove selain harus efektif dan efisien juga tidak boleh merugikan masyarakat sekitarnya. Kawasan yang masih berstatus lahan umum atau milik pemerintah bisa ditanam kembali bibit mangrove dengan kerapatan optimal. Sedangkan pada lahan yang sudah masuk kepemilikan warga dapat dilakukan kesepakatan yang sama-sama
44
45
menguntungkan seperti sistem tumpang sari dimana masyarakat tetap dapat melakukan kegiatan perikanan dengan dikombinasikan mangrove. Pola tumpang sari berdasarkan Menhut (2004) adalah tradisional, komplangan, kao-kao, dan terbuka (Gambar 14).
Gambar 14. Macam-macam pola tumpang sari tambak (Menhut 2004) Penerapan pola tumpang sari pada kawasan pesisir memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri dibandingkan dengan tambak yang dibuat tanpa memanfaatkan vegetasi mangrove sama sekali. Keuntugan yang dapat diperoleh dengan pola tumpang sari adalah sumber palsma nutfah, penyinaran matahari yang lebih teduh, konstruksi pematang yang lebih kuat, dan kualitas perairan yang lebih baik. Sedangkan kerugian atau kendala yang dihadapi dengan pola tumpang sari adalah perlunya perawatan mangrove berupa penjarangan setelah 3 tahun dan peremajaan setelah 5 tahun (Puspita et al. 2005). Kerugian yang ada untuk menerapkan pola tumpang sari tambak tidak sebanding dengan keuntungan yang diperoleh sehingga penerapan pola tumpang sari ini lebih mudah diterima masyarakat secara ekonomi.
45
46
Penataan lingkungan pesisir ini adalah refleksi dari perbaikan ekosistem mangrove yang sudah mengalami kerusakan, sehingga proporsi pembagian lahannya banyak merekomendasikan penghijauan lingkungan pesisir dengan vegetasi pantai yang memiliki manfaat biologis dan nilai ekonomi bagi masyarakat. Penataan lingkungan pesisir yang direkomendasikan untuk upaya rehabilitasi ekosistem mangrove mengarah kepada optimalisasi lahan kosong yang belum tergarap dan penghijauan pada lda lahan yang sudah terpakai (Gambar 15). Menurut Rahmawati (2006), secara umum, semua habitat mangrove dapat memperbaiki kondisinya secara alami dalam waktu 15 – 20 tahun jika: (1) kondisi normal hidrologi tidak terganggu, dan (2) ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Dengan melihat kondisi kawasan pesisir Kecamatan kasemen, maka dapat diprediksi masa perbaikan mangrove akan memerlukan waktu lebih dari 20 tahun, hal ini disebabkan kondisi salinitas perairan yang tidak kondusif akibat buangan air tambak yang tidak teratur dan sumber air tawar dari bendungan Sungai Cengkok yang sering ditutup. Pada tahun 1999, paradigma pembangunan kehutanan berbasis masyarakat sudah
diupayakan.
Hal
ini
dimaksudkan
untuk
mengoptimalkan
upaya
pemberdayaan masyarakat lokal atau masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan ekosistem mangrove. Pendekatan yang paling tepat dan dapat dilakukan untuk upaya rehabilitasi ekosistem mangrove adalah dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat pesisir (coastal society empowering approach). Semestinya
upaya
rehabilitasi
atas
biaya pemerintah
tersebut
semuanya
dipercayakan kepada masyarakat mulai dari perencanaan, pelaksanaan, evaluasi keberhasilan
dan pemanfaatannya
secara
berkelanjutan. (Sudarmadji 2001).
Kelebihan dan keuntungan yang dapat diperoleh dari pendekatan tersebut adalah adanya kontribusi besar dari masyarakat pesisir dalam pengembalian fungsi mangrove bagi ekosistem pesisir dan mata pencaharian mereka serta adanya pengawasan langsung dari masyarakat paska upaya rehabilitasi tersebut karena mangrove yang mereka tanam sudah dianggap milik mereka sendiri yang harus dirawat dan dijaga keberadaannya.
46
Gambar 15. Peta rekomendasi penataan lingkungan pesisir Kecamatan Kasemen
47
47
48
4.5.3 Pemanfaatan ekosistem mangrove Pemanfaatan ekosistem mangrove dapat dikategorikan menjadi pemanfaatan ekosistem secara keseluruhan (nilai ekologi) dan pemanfaatan produk-produk yang dihasilkan ekosistem tersebut (nilai sosial, ekonomi, dan budaya). Secara tradisional, masyarakat setempat memanfaatkan mangrove untuk memenuhi berbagai keperluan secara lestari, tetapi meningkatnya jumlah penduduk dapat menyebabkan terjadinya tekanan berlebihan yang tidak terbaharukan pada sumber daya ini. Ekosistem mangrove di wilayah pesisir Kota Serang dimanfaatkan oleh masyarakat setempat baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung hutan mangrove antara lain: pohon dan ranting mangrove dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai kayu bakar untuk keperluan rumah tangga sedangkan daunnya dimakan oleh hewan ternak kambing dan domba. Menurut Iqbal (2009), pemanfaatan mangrove sebagai kayu bakar apabila dipakai sendiri berkisar antara 0,5-1,5 m3/hari. Tetapi apabila kayu tersebut akan dijual, maka masyarakat akan mengambil lebih banyak lagi, yaitu sekitar 5-12m3/hari. Nelayan yang tinggal di sekitar kawasan pesisir juga memanfaatkan nilai ekosistem mangrove dengan menangkap ikan, udang dan kerang dengan alat serok secara tradisional, selain itu manfaat langsung yang paling berpengaruh di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen adalah konversi lahan mangrove menjadi tambak yang kini sudah terbentang cukup luas dari perbatasan mangrove di tepi pantai hingga dekat dengan pemukiman penduduk. Pemanfaatan ekosistem mangrove secara langsung masih bersifat tradisional, karena belum bisa melihat nilai ekonomi yang lebih tinggi dari sekedar menangkap ikan dan merubah lahan mangrove menjadi tambak, masyarakat cenderung memilih manfaat langsung yang terlihat di depan mata tanpa perlu pengolahan lebih lanjut. Nilai ekologis utama yang dapat diperoleh dari ekosistem mangrove yang baik adalah sebagai daerah pemijahan (spawning ground), daerah asuhan (nursery ground) dan tempat mencari makan (feeding ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang, burung dan biota lain. Di samping itu berperan pula sebagai penyerap karbon dioksida, filtrasi limbah, pembentukan daratan, menjaga kealamian habitat, menjaga pantai dari erosi, intrusi air laut dan badai. Ekosistem mangrove juga memiliki kemampuan tinggi dalam menyimpan karbon dibandingkan dengan
48
49
ekosistem lainnya di kawasan pesisir, sehingga dapat dijadikan salah satu alernatif dalam solusi pemanasan bumi. Adapun nilai sosial-budayanya meliputi fungsi konservasi, pendidikan, ekoturisme dan identitas budaya (Setyawan 2008). Manfaat langsung yang dapat dikembangkan oleh masyarakat pesisir yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi selain sebagai kayu bakar dan bangunan adalah kayu lapis, bubur kertas, peternakan lebah madu, bagan penangkap ikan, kayu untuk mebel dan kerajinan tangan, tannin, bahan obat, gula, alkohol, asam asetat, protein hewani, madu, karbohidrat, dan bahan pewarna. Ekosistem mangrove juga dapat dikatakan sebagai ekosistem bioprospektif, karena pemanfaatannya khususnya sebagai tanaman obat tradisional dapat dijadikan
sebagai pengobatan modern
dengan mengkaji lebih dalam kandungan yang tersimpan didalam tanaman mangrove. Manfaat langsung yang dapat dikembangkan dari ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kecamatan Kasemen adalah biji, daun, dan buah untuk bahan makanan kebutuhan keluarga dan untuk masakan lokal khas Pesisir Kota Serang, dan kerajinan tangan berupa pahatan kayu dari pohon mangrove berbentuk burung untuk para pengunjung wisata Pulau Burung. Manfaat tak langsung yang dirasakan oleh masyarakat pesisir Kecamatan Kasemen adalah sebagai penahan abrasi, gelombang, arus, dan badai dari laut serta penahan interusi air laut, daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makanan (feeding ground), dan daerah pemijahan (spawning ground) berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya. Mangrove yang ditanam ditanggul/pematang tambak dapat memperkuat struktur tanggul/pematang tambak sehingga tidak longsor. Manfaat tak langsung yang diterima masyarakat ini secara berangsur-angsur menurun dan pada akhirnya apabila tidak ditindak lanjuti akan menghilang. Ketebalan mangrove yang berkisar antara 40-100m semakin berat melawan abrasi pantai, terpaan gelombang arus dan badai. Tegakan mangrove yang ditanam pada tanggul/pematang hanya sebagai penahan pondasi saja karena jumlahnya terbatas dan banyak pemangkasan ranting dan daun yang menyebar sehingga lahan sekitarnya masih terasa panas pada siang hari. Selain nilai ekologis, ekosistem mangrove juga memiliki nilai ekonomis yang diperoleh dari barang dan jasa yang diproduksi oleh ekosistem magrove tersebut. Hasil kajian analisis biaya dan manfaat hutan mangrove di beberapa daerah
49
50
menunjukkan total nilai ekonominya dapat mencapai triliunan rupiah. Total economic value (TEV) ekosistem mangrove per tahun di Pulau Madura Rp. 49 trilyun, Irian Rp. 329 trilyun, Kalimantan Timur Rp. 178 trilyun, Jawa Barat Rp. 1,357 trilyun, dan untuk seluruh Indonesia Rp. 820 trilyun. Di teluk Bintuni, Irian, ekosistem mangrove seluas 300.000 ha setiap tahun mendukung pemanfaatan secara tradisional Rp. 100 milyar, perikanan Rp. 350 milyar, dan kayu Rp. 200 milyar (Ruitenbeek 1992 in Setyawan 2008). Hasil kajian PKSPL-IPB (Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor) dari berbagai daerah seperti Madura, Pemalang, Subang, dan Pesisir Selat Malaka mengungkapkan nilai ekonomi total (sebenarnya) dengan kisaran antara Rp. 40.000.000-Rp. 70.000.000 per hektar per tahun (Bengen 2001b). Kawasan pesisir Kecamatan Kasemen dengan luasan mangrove 420 ha dengan pemeliharaan dan pemanfaatan optimal dapat menghasilkan nilai ekonomi sebesar Rp. 16,8-29,4 milyar.
50