22
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 4.1.1 Geografi dan Administrasi Pulau Liukang Loe terletak di wilayah perairan sebelah selatan pulau Sulawesi tepatnya pada posisi 05038’20” – 05039’84” LS dan 120025’14.87” – 120026’46,75” BT. Pulau Liukang Loe termasuk dalam wilayah administrasi Dusun Liukang Loe Desa Bira Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba. Pulau Liukang Loe terdiri dari dua dusun yakni Dusun Ta’buntuleng dan Dusun Pasilohe. Luas wilayah Pulau Liukang Loe sekitar 5.67 km2 (termasuk mikro island) dengan panjang pantai sekitar ± 3 km. Sebagian besar daratan Pulau Liukang Loe tersusun dari batu karang dan merupakan pulau berbukit. Akses menuju pulau Liukang Loe adalah dari pantai Bira. Pulau Liukang Loe dapat dicapai dengan menggunakan perahu motor tempel dengan waktu tempuh sekitar 30 menit dari Pantai Bira. Jadwal penyeberangan sehari sebanyak 3-4 kali mulai jam 07.00 pagi hingga jam 15.00 wita. 4.1.2 Demografi Jumlah penduduk di pulau Liukang Loe sekitar ± 650 orang dengan jumlah Kepala Keluarga sekitar 203. Komposisi penduduk berdasarkan umur adalah : - 0 – 5 tahun : 30 orang - 5 – 17 Tahun : 220 orang - >17 tahun : 400 orang Sedangkan komposisi penduduk berdasarkan mata pencaharian 80 % nelayan sementara sisanya bermata pencaharian PNS, pedagang, bengkel, dan pengrajin. Komposisi penduduk berdasarkan tingkat pendidikan : - Sarjana : 10 orang - Tamat SMA : 30 orang. - Tamat SMP : 50 orang - Tamat SD : 200 orang - Tidak tamat SD : 360 orang Rendahnya tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap peningkatan produksi karena dengan tingkat pendidikan yang tinggi dari nelayan akan memberikan kemudahan dalam menerapkan atau mengadopsi teknologi baru maupun dalam proses menjalin kerja sama dengan lembaga ekonomi baik formal maupun informal, disamping itu nelayan akan terampil dalam mengelola usaha perikanan. Komposisi penduduk berdasarkan agama adalah 100 % agama Islam.
23
4.1.3 Aktifitas Masyarakat Umumnya masyarakat di pulau Liukang Loe adalah perantau, setelah mengumpulkan banyak modal kemudian kembali dan menjadi nelayan mandiri, sehingga tidak terdapat kelembagaan punggawa-sawi di pulau tersebut. Alat tangkap yang digunakan nelayan pada umumnya adalah alat tangkap yang ramah lingkungan seperti panah dan jaring sehingga mendukung pelestarian sumberdaya pulau. Produksi perikanan tangkap di pulau ini cukup tinggi dimana pemasaran dilakukan di Pantai Bira bahkan sampai ke ibukota Kabupaten Bulukumba. Jumlah nelayan tangkap sekitar 200 orang. Jenis ikan hasil tangkapan berupa ikan karang, seperti ikan kerapu, baronang, cepa dan lainnya. Secara umum produksi perikanan tangkap sekitar 5 kg/nelayan/hari sedangkan yang memiliki armada penangkapan yang besar mampu menghasilkan ikan sekitar 1 ton/20 hari/unit perahu. Sarana penangkapan yang banyak ditemukan di pulau ini berupa perahu yang digunakan berupa perahu tanpa motor serta perahu motor tempel berkekuatan 24 PK. Jumlah perahu sekitar 100 buah dengan peralatan tangkap berupa panah dan jaring. Lokasi penangkapan ikan karang oleh masyarakat di pulau ini umumnya dilakukan sekitar pulau sampai ke wilayah perairan pulau Kambing. Jenis kegiatan pariwisata bahari yang telah dikembangkan adalah wisata pantai, diving dan snorkling. Selain itu, kegiatan peternakan juga terdapat di Pulau ini berupa peternakan kambing, ayam serta bebek yang dilakukan masyarakat. Kegiatan lain seperti kerajinan berupa kain tenun, pembuatan batako serta kerajinan dari kerangkerangan dimana hasil kegiatan kerajinan umumnya dipasarkan ke wilayah pantai bira sebagai pusat kegiatan pariwisata di Kabupaten Bulukumba. Kegiatan pertanian dan perkebunan masyarakat di Pulau Liukang Loe umumnya dilakukan dalam skala kecil. Tanaman yang terdapat di pulau yang dibudidayakan oleh masyarakat berupa tanaman lantoro, srikaya batu, asam, kelor dan petai yang ditanam di daerah perbukitan pulau, sedangkan tanaman pisang,ubi kayu, jagung, kelapa, dan pepaya dilakukan di sekitar pemukiman masyarakat. 4.1.4 Sosial Budaya Masyarakat Sejarah pulau Liukang Loe mulai ditempati oleh masyarakat sekitar tahun 1940. Warga pertama kali yang menempati pulau ini ada 2 orang yakni Ballosang di Kampung Ta’bungtuleng (berarti mentok/ujung atau tidak ada jalan) yang merupakan RK pertama dan Dorahing di Dusun Passiloe (berarti banyak pasir). Wilayah perairan pulau Liukang Loe sebelum tahun 1940-an sampai 1990 merupakan lokasi nelayan dari pantai Bira yang menangkap ikan sampai keperairan sekitar pulau kambing, selain itu juga memanfaatkan pulau ini untuk tempat persinggahan ketika cuaca buruk, mula-mula mereka membangun rumah semipermanen (gubuk) dan lama-kelamaan akhirnya mereka menetap dan berkembang menjadi seperti sekarang. Liukang Loe memiliki 2 arti yakni Liukang Loe berasal dari dua suku kata yaitu “Liukang” yang berarti dikelilingi, dan “Loe” yang berarti banyak, sehingga Liukang Loe dapat diartikan sebagai tempat yang dikelilingi oleh banyak air.
24
Sedangkan versi lain dan kebanyakan warga mengetahui yakni Liukang berasal dari kata Liu Liukang yang berarti jenis kayu khas (kayu hitam) yang terdapat di pulau ini dan Loe berarti banyak. Menurut cerita masyarakat bahwa jenis kayu ini dahulu banyak ditemukan namun sekarang sudah jarang karena tahun 1990-an sudah dieksploitasi besar-besaran karena harganya cukup mahal yang dipasarkan sampai ke Makassar. Status kepemilikan pulau ini secara umum masih merupakan tanah Negara. Namun menurut cerita masyarakat bahwa telah ada beberapa orang yang berasal dari luar pulau mengklaim sebagai tanah adat dari keluarga mereka. Namun pada tahun 2000-an sebanyak 100 kavling (50 kavling di Ta’bungtuleng dan 50 Kavling di Pasilohe) dengan luas 18 x 20 meter setiap kavling telah disertifikasi hak milik melalui program Prona oleh BPN. Umumnya masyarakat di pulau ini merupakan masyarakat perantau. Hal ini menjadi kebiasaan/budaya masyarakat apabila telah remaja (tamat SMA) sudah diizinkan pergi meratau. Umumnya mereka menjadi pelaut, pedagang dan sebagainya. Umumnya wilayah yang sering di datangi seperti Kepulauan Selayar, Makassar, Papua dan Nusa Tenggara. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di wilayah ini cukup baik dengan keberadaan atau kondisi perumahan yang tergolong cukup baik. Penataan perumahan dan kondisi rumah yang sudah kebanyak merupakan rumah permanen (rumah batu) dengan fasilitas rumah yang cukup lengkap menandakan tingkat ekonomi masyarakat tergolong baik. Pemukiman masyarakat cukup padat di kedua dusun. Pengetahuan masyarakat terhadap nilai sumberdaya perikanan sudah tinggi bahkan sampai pada distribusi pemasarannya. Begitu pula dengan lokasilokasi di sekitar pulau secara detail masyarakat memberikan nama seperti Batubong, Panekang Kera, Ujung Papaiya yang berada disebelah Barat pulau. Kemudian Panralangan, Kassi Tabua, Batu Sobbalong, Bate Baroso disebelah utara. Selanjutnya Ujung Baturapa disebelah Timur Pulau. 4.1.5 Kelembagaan Masyarakat Pulau Liukang Loe merupakan pulau kecil dengan tingkat kepadatan penduduk 115 jiwa/km2. Kondisi pulau yang tidak terlalu luas menjadikan penduduk yang bermukim di Pulau Liukang Loe saling mengenal dan sebagian besar ada yang memiliki ikatan persaudaraan. Hal ini menimbulkan sifat kekeluargaan yang kuat antar penduduk jika dilihat dari adanya kegiatan gotong royong, saling membantu dan saling menjaga keamanan. Keamanan di Pulau Liukang Loe bisa dibilang sangat aman karena selain sifat kekeluargaan yang kental, luas pulau yang tidak terlalu luas, akses keluar masuk pulau-pulau sangat terbatas sehingga mudah untuk mengenali apakah ada orang asing yang keluar masuk pulau. Masyarakat Pulau Liukang Loe memiliki organisasi kemasyarakatan yang dibedakan menjadi 2 tipe yaitu tipe formal/legal (memiliki kekuatan hukum) yang meliputi LKMD, organisasi profesi dan organisasi pemuda. Sedangkan tipe informal/non legal formal (hanya berdasarkan kesepakatan bersama) meliputi
25
kelompok nelayan, kelompok pengajian dan lain-lain. Pengorganisasi masyarakat dan proses-proses pembangunan di tingkat Dusun difasilitasi oleh sebuah lembaga pemerintahan dusun yang terdiri dari kepala dusun yang dibantu oleh kepala kampung serta beberapa warga desa sebagai bagian perangkat pemerintahan dusun. Beberapa bantuan telah pernah mereka peroleh seperti bantuan sarana budidaya rumput laut, alat pengolahan ikan sampai ke panel solarcell. 4.2 Kondisi Biofisik Kawasan 4.2.1 Kondisi Iklim Pulau Liukang Loe tersusun dari batu karang yang mendominasi dan hanya sebagian kecil merupakan hamparan pasir putih. Secara umum kawasan hamparan pasir putih dijadikan sebagai kawasan perumahan sedangkan kawasan batu karang (perbukitan) dijadikan kawasan perkebunan. Kondisi meteorologi di Pulau Liukang Loe tidak begitu berbeda dengan kondisi meteorologi Kabupaten Bulukumba secara umum. Angin yang bertiup di sekitar Pulau Liukang Loe merupakan angin musim yang berubah arah dua kali dalam setahun dengan rata-rata kecepatan 3-7 knot. Rata-rata curah hujan di sekitar Pulau Liukang Loe adalah 1 000 - 1 500 mm/tahun. Suhu rata-rata berkisar antara 23.82 ºC - 27.68 ºC. Suhu pada kisaran ini sangat cocok untuk pertanian tanaman pangan dan tanaman perkebunan. Kabupaten Bulukumba berada di sektor timur, musim gadu antara Oktober -Maret dan musim rendengan antara April-September. Daerah dengan curah hujan tertinggi terdapat pada wilayah barat laut dan timur sedangkan pada daerah tengah memiliki curah hujan sedang sedangkan pada bagian selatan curah hujannya rendah. dengan curah hujan sebagai berikut : 1. Curah hujan antara 800 – 1 000 mm/tahun meliputi Kecamatan Ujungbulu, sebagian Gantarang, sebagian Ujung Loe dan sebagian besar Bontobahari. 2. Curah hujan antara 1 000 – 1 500 mm/tahun meliputi sebagian Gantarang, sebagian Ujung Loe dan sebagian Bontotiro. 3. Curah hujan antara 1 500 – 2 000 mm/tahun meliputi Kecamatan Gantarang, sebagian Rilau Ale, sebagian Ujung Loe, sebagian Kindang, sebagian Bulukumpa, sebagian Bontotiro, sebagian Herlang dan Kecamatan Kajang. 4. Curah hujan di atas 2 000 mm/tahun meliputi Kecamatan Kindang, Kecamatan Rilau Ale, Kecamatan Bulukumpa dan Kecamatan Herlang. 4.2.2 Kondisi Oseanografi Kondisi oseanografi memegang peranan penting dalam mempengaruhi dinamika ekosistem dan kondisi perairan, karena permukaan perairan tidak pernah diam dan selalu terjadi gerakan (dinamis). Gerakan permukaan ini disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya adalah pola arus, pola gelombang, peristiwa pasang surut, dan batimetri. Kondisi oseanografi di pulau Liukang Loe dapat dilihat sebagai berikut :
26
a. Pasang surut Pasang surut merupakan naik turunnya paras laut, terutama karena gaya tarik akibat gravitasi (gravitational attraction) antara bulan, matahari dan bumi. Naik turunnya muka laut dapat terjadi sekali sehari (pasut tunggal), atau dua kali sehari (pasut ganda), sedangkan pasut lainnya yang tidak berperilaku seperti di atas disebut pasut campuran. Pengukuran pasang surut dilakukan di Kampung ta’buntuleng (dermaga) dan diasumsikan mewakili kondisi pasang surut daerah survey. Adapun tipe pasang surut di Pulau Liukang Loe adalah campuran condong ke semidiurnal yang memiliki ciri khas yakni terjadi dua kali air tinggi (pasang) dan dua kali air rendah (surut) dalam satu hari (24 jam) dimana salah satu air pasang memiliki amplitudo yang lebih tinggi dari air pasang lainnya. Selain tipe pasut juga dihasilkan tunggang pasut, yakni perbedaan tinggi air pada saat pasang tertinggi dan surut terendah. Tunggang pasut yang diperoleh adalah 135 cm, yang berarti bahwa lokasi termasuk dalam klasifikasi pantai microtidal (tunggang pasut antara < 2 m). Karena memiliki tunggang pasut yang kecil (< 2 m) maka diperkirakan pengaruh pasut terhadap pergerakan dan transpor sedimen di wilayah kajian relatif kecil. b. Gelombang Gelombang memiliki peran terhadap proses abrasi dan sedimentasi pantai, melalui mekanisme perombakan material sedimen pantai. Gelombang yang sangat sering terjadi di laut dan cukup penting adalah Gelombang yang dibangkitkan oleh angin. Gelombang dibangkitkan oleh angin karena adanya pengalihan energi dari angin ke permukaan laut akibat fluktuasi tekanan udara pada permukaan air laut. Proses pembangkitan ini terjadi pada suatu daerah yang disebut daerah pembangkitan Gelombang (Wind wave generating area). Gelombang yang mendekati pantai akan mengalami transformasi (perubahan) karena terjadinya perubahan kedalaman dan adanya halanganhalangan berupa pulau-pulau atau bangunan-bangunan pantai. Gelombang yang mendekati pantai akan memusat jika mendekati tanjung, dan menyebar jika menemui/memasuki teluk (cekungan). Selain itu gelombang yang mendekati pulau juga akan mengalami perubahan kemiringan (rasio antara tinggi dan panjang gelombang) dan pada akhirnya pecah secara spilling, plunging, collapsing atau surging tergantung dari keadaan topografi dasar lautnya. Tinggi gelombang signifikan pada kondisi normal relatif lemah yaitu kurang dari 0.5 m dengan arah datang gelombang dominan dari Selatan (175 – 1850). Periode gelombang bervariasi dari 4.6 detik sampai dengan 6.2 detik. Berdasarkan prediksi BMKG, pada bulan Juni 2012 tinggi gelombang maksimum dapat mencapai 0.75 – 1.25 m di perairan pantai Bira dengan arah datang gelombang dari Timur. Gelombang di laut lepas umumnya berasal dari arah timur. Ketika memasuki laut dangkal mengalami proses refraksi oleh kontur kedalaman laut dan proses difraksi oleh pulau-pulau di depan daerah kajian. Akibatnya terjadi pembelokan arah rambat dan tinggi gelombang ketika mendekati pantai.
27
c. Arus Arus merupakan faktor penting untuk dipertimbangkan untuk melakukan aktivitas wisata snorkling dan selam. Hasil pengukuran arus pada stasiun penelitian menunjukkan bahwa arah dan kecepatan arus sesaat bervariasi di masing-masing stasiun pengamatan. Data kecepatan arus dapat dilihat pada Tabel 4.1 sebagai berikut. Tabel 4.1 Data Pengukuran Kecepatan Arus dan Arah Arus di Pulau Liukang Loe Stasiun Stasiun I Stasiun II Stasiun III Stasiun IV
Lintang
Bujur
120.25454 120.25152 120.26202 120.26570
-5.394960 -5.384443 -5.381295 -5.381690
Kec. Arus (m/detik) 0.17 0.10 0.14 0.21
Arah Arus 240 - 280o 310 - 320 o 310 - 360 o 310 - 360 o
Sumber : DKP Provinsi Sulawesi Selatan, 2012.
Hasil pengukuran, menunjukkan arah arus umumnya dari timur ke utara dengan kecepatan berkisar antara 0.1 – 0.21 m/detik. Kecepatan arus tertinggi diperoleh pada stasiun 4 yakni 0.21 m/detik dan terendah pada stasiun ke 2 yakni sebesar 0.10 m/detik. d. Parameter kualitas air laut Kualitas air merupakan salah satu penentu utama dalam pengembangan wisata bahari. Kualitas air mempengaruhi pertumbuhan karang dan keragaman ikan karang yang merupakan daya tarik utama dalam kegiatan wisata bahari. Perbedaan musim berpengaruh terhadap nilai parameter kualitas perairan (fisik, kimia, biologi dan oseanografi). Nybakken (1999) menyatakan bahwa parameter kualitas perairan memiliki hubungan dan pengaruh antara satu dengan lainnya. Hasil analisis perbandingan antara nilai kualitas perairan di Pulau Liukang Loe dengan baku mutu air laut untuk kegiatan ekowisata pesisir disajikan pada Tabel 4.2 sebagai berikut : Tabel 4.2 Pengukuran Kualitas Air Laut di Pulau Liukang Loe Stasiun I
Stasiun II
Stasiun III
Stasiun IV
(Batubomg)
(Panekang Kera)
(Ujung Baturapa)
(Batu Sobbalong)
Parameter
RataRata
Baku Mutu
BOD (mg/l)
1.12
1.01
1.19
1.17
1.12
10
DO (mg/l)
5.91
5.79
5.52
6.56
5.95
>5
NH3 (mg/l)
0.10
0.13
0.11
0.08
0.11
2
pH
6.80
6.95
7.17
7.47
7.10
6.5-8.5
0.91
1.10
0.75
0.90
0.91
5
Salinitas (0/∞)
Kekeruhan (NTU)
33.65
33.15
33.45
33.50
33.44
Alami
Suhu ( 0C)
28.40
28.85
28.75
28.50
28.63
Alami
28
Tabel 4.2 menunjukkan bahwa nilai rata-rata parameter kualitas perairan laut di pulau Liukang Loe umumnya berada pada kisaran baku mutu atau nilai parameter yang disyaratkan dalam kegiatan ekowisata bahari. Nilai tingkat kecerahan di perairan ini sangat tinggi, menjadikan algae zooxanthellae yang terdapat di hewan karang tersebut dapat memperlancar proses fotosintesisnya dan mempengaruhi peningkatan penyebaran ekosistem terumbu karang (Nybakken 1999). Walaupun demikian parameter BOD yang menjadi indikator pencemaran limbah organik dalam penelitian ini belum melebihi batas maksimum baku mutu atau yang disyaratkan dalam kegiatan ekowisata pesisir dengan konsentrasi pada masing-masing stasiun I sampai IV (1.12, 1.01, 1.19 dan 1.17) dimana menurut lee et al. 1978 bahwa parameter BOD ≤ 2.9 termasuk dalam kategori tidak tercemar. Hasil pengamatan dalam penelitian ini menunjukkan nilai parameter kualitas perairan belum mengalami perubahan yang mendasar. Hasil pengamatan kondisi DO yang diukur untuk beberapa lokasi di perairan Pulau Liukang Loe menunjukan nilai rata-rata 5.95 mg/l atau masing-masing per stasiun I sampai IV (5.91, 5.79, 5.52 dan 6.56). Kisaran nilai tersebut masih tergolong memenuhi syarat baku mutu lingkungan. Sementara terkait dengan kandungan nitrogen yang diukur dalam penelitian ini adalah nitrogen dalam bentuk amonia (NH3) dimana kandungan amonia di seluruh stasiun pengamatan rata-rata berkisar 0.11 atau masing-masing per stasiun I sampai IV (0.10, 0.13, 0.11, 0.08) dimana kadar ini masih berada dibawah ambang baku mutu atau lebih rendah dibanding nilai baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH/51/2004 untuk peruntukan wisata bahari sebesar 2 mg/l. Sementara hasil pengukuran nilai pH dan kekeruhan selama penelitian menunjukkan kisaran nilai 6.80-7.50 dan 0.75-1.10 NTU. Selain status kualitas air parameter lain yang dijadikan acuan tercemar atau tidaknya suatu lingkungan pesisir yaitu keberadaan bakteri Escherichia coli (E. Coli). Kehadiran bakteri E-Coli terkait dengan keberadaan bakteri pathogen yang dapat menyebabkan penyakit pada suatu perairan. Nilai kandungan E-Coli pada suatu perairan sangat ditentukan oleh aktivitas yang terdapat disekitar perairan tersebut. Aktivitas yang paling banyak menyebabkan kandungan E. Coli suatu perairan adalah limbah buangan rumah tangga seperti tinja. Nilai parameter E. Coli pada perairan Liukang Loe berkisar antara 95 – 240 MPN/100 ml. Nilai parameter E-Coli pada perairan Liukang Loe dapat dilihat pada Tabel 4.3 dibawah ini. Tabel 4.3 Parameter Bakteri Escherichia coli (E. Coli) di Pulau Liukang Loe Koordinat Lintang Bujur 1 120.254543 -5.39496 2 120.251515 -5.384443 3 120.262024 -5.381295 4 120.265799 -5.38169 Sumber : DKP Provinsi Sulawesi Selatan, 2012. No.
E. Coli (MPN/100 ml) 240 95 163 126
Baku Mutu
1 000
29
Berdasarkan Tabel 4.3 tersebut terlihat bahwa parameter bakteri Escherichia coli (E. Coli) sebagai indikator pencemaran di Pulau Liukang Loe masih tergolong rendah atau berada dibawah ambang baku mutu peruntukkan wisata bahari. Berdasarkan nilai pengukuran tersebut menunjukkan bahwa lokasi penelitian sedikit menerima limpahan limbah dari aktivitas antropogenik (aktivitas wisata maupun pemukiman masyarakat) atau karena kemampuan perairan untuk memulihkan dirinya (self purification) sehingga mampu mengencerkan limbah, ini berarti bahwa kondisi perairan Pulau Liukang Loe relatif lebih baik untuk kegiatan wisata bahari. 4.3 Kondisi dan Pemanfaatan Sumberdaya Pulau Liukang Loe Pulau Liukang Loe memiliki potensi sumberdaya yang cukup besar baik di lingkungan perairan berupa ekosistem terumbu karang maupun potensi di lingkungan teresterial berupa sumberdaya hutan, perkebunan, peternakan, hewan langka dan lain-lain. Pemanfaatan sumberdaya di Pulau Liukang Loe sudah tergolong cukup tinggi dimana terjadi penurunan tutupan karang dari tahun ketahun sampai saat ini tutupan karang yang tergolong masih bagus hanya di temukan di sisi utara hingga timur pulau. Hal ini terjadi mengingat tingginya aktivitas nelayan yang menangkap ikan disekitar wilayah Pulau Liukang Loe menggunakan bom ataupun penggunaan potassium sehingga berdampak nyata pada penurunan tutupan karang secara drastis. Akan tetapi dengan adanya peraturan yang ketat dari pemerintah daerah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kab. Bulukumba serta digalakkannya sosialisasi dan penyuluhan akan pentingnya pelestarian terumbu karang di Pulau Liukang Loe secara perlahan masyarakat lokal mulai sadar akan kondisi tersebut. Alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan tidak lagi menggunakan bom melainkan hanya menggunakan pancing, panah dan jaring yang di pasang di pinggir pantai. Bentuk pemanfaatan sumberdaya di Pulau Liukang Loe tergolong cukup tinggi, hal ini terlihat dari kondisi sumberdaya terumbu karang yang rusak. Kondisi kerusakan terumbu karang diperparah dengan adanya penambangan karang hal ini terkait dengan kebutuhan material untuk bahan bangunan yang terus meningkat. Selain penambangan, ancaman pengeboman atau racun juga menjadi penyebab kerusakan terumbu karang di Pulau Liukang Loe akan tetapi kejadian ini sudah mulai berkurang karena masyarakat mulai merasa ikan mulai berkurang. Daerah yang menjadi tempat daerah pengeboman di sebelah barat pulau. Menurut Adrianto (2005) menyatakan bahwa kegiatan perikanan yang tidak ramah lingkungan (bom dan racun) dan penambangan karang untuk bahan bangunan merupakan indikasi umum terjadinya penurunan kualitas sumberdaya perikanan dan lingkungan laut di pulau kecil. Selain itu, adanya aktivitas antropogenik seperti aktivitas wisata juga berpotensi menurunkan kualitas sumberdaya karena wisatawan yang berkunjung dapat menginjak terumbu karang sehingga diperlukan keterampilan khusus atau
30
tour guide dalam melakukan wisata di Pulau Liukang Loe. Adapun aktivitas wisata seperti berjemur, menikmati keindahan alam, memancing, snorkling dan selam bisa dikembangkan di kawasan ini. Walaupun wisatawan yang berkunjung ke kabupaten Bulukumba sebagian besar sasaran utamanya adalah Pantai Bira, namun sebagian di antaranya berminat untuk berkunjung atau melakukan kegiatan wisata ke Pulau Liukang Loe sebagai satu rangkaian perjalanan wisata. Jika Pulau Liukang Loe dikembangkan scara optimal termasuk fasilitas penunjang, transportasi, dan informasi yang lebih baik, tidak menutup kemungkinan jumlah wisatawan akan meningkat untuk menikmati indahnya kawasan Pulau Liukang Loe. Adanya aktivitas antropogenik (wisata bahari) akan memberikan ancaman limbah. Selama survey yang dilakukan tidak ditemukannya tempat pembuangan akhir dari sampah. Masyarakat membuang sampah ke laut begitu saja tanpa melakukan pengelolaan sampah terlebih dahulu agar mudah diurai oleh lingkungan. Selain mencemari ekosistem yang ada dengan adanya penurunan kualitas air, sampah dapat mengurangi nilai estetika pantai. 4.4 Karakteristik Sumberdaya Pulau Liukang Loe 4.4.1 Ekosistem Terumbu Karang Pulau Liukang Loe termasuk Pulau yang berpasir putih dan memiliki formasi terumbu karang dapat kita jumpai pada kedalaman 3 meter hingga 10 meter. Kondisi terumbu karang Pulau Liukang Loe tergolong baik hingga rusak, dimana tutupan karang berkisar 10.2 % sampai 51.24 %. Berdasarkan pengamatan kondisi karang dengan menggunakan metode LIT pada stasiun 1 kondisi terumbu karang tergolong rusak baik pada kedalaman 3 meter maupun pada kedalaman 10 meter. Komponen lain yang mendominasi pada stasiun 1 adalah pasir (S) yang mencapai 39.08% pada kedalaman 3 meter dan 28.92% pada kedalaman 10 meter. Patahan karang (R) sebesar 3.52% pada kedalaman 3 meter sedangkan pada kedalaman 10 meter ditemukan cukup tinggi yaitu sebesar 14.20%. Pengamatan kondisi terumbu karang pada stasiun 2 hanya dilakukan pada satu kedalaman yaitu 5 meter, disebabkan kedalaman 3 meter tidak ditemukan formasi terumbu karang, dan kedalaman lebih dari 5 meter merupakan hamparan pasir. Tutupan karang hidup pada stasiun ini hanya sebesar 10,68% tergolong rusak. Komponen patahan karang (R) cukup tinggi yaitu sebesar 30.84%. komponen karang mati yang ditutupi alga (DCA) sebesar 21.16%. Pengamatan kondisi terumbu karang Stasiun 3 dilakukan pada kedalaman 5 meter dan 7 meter. Jika dibandingkan dengan stasiun lain, tutupan karang hidup stasiun 3 jauh lebih tinggi. Kondisi terumbu karang stasiun 3 dimana tutupan karang hidup pada kedalaman 5 meter sebesar 51.24%, yang terdiri dari karang Acropora bercabang (ACB) sebesar 7.16%, Acropora Tabulate (ACT) sebesar 1.80%, Acropora submasive (ACS) sebesar 7.52% , dan Acropora digitate sebesar 0.60%. Karang hidup selain genus Acropora ditemukan sebesar
31
34.16% yang didominasi oleh karang masive (CM) sedangkan pada kedalaman 7 meter tutupan karang hidup ditemukan yaitu sebesar 46.84%. 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 10.00 0.00 3 meter 10 meter 5 meter Stasiun 1 (Batubong) Stasiun 2 (Panekang Kera)
5 meter
7 meter
Stasiun 3 (Ujung Baturapa)
5 meter
7 meter
Stasiun 4 (Batu Sobbalong)
Gambar 4.1 Persentase Tutupan Karang Hidup Pulau Liukang Loe Kondisi terumbu karang stasiun 4 dimana tutupan karang hidup pada kedalaman 5 meter sebesar 33.84% sedangkan pada kedalaman 7 meter ditemukan cukup tinggi yaitu sebesar 51.24%. 4.4.2 Ikan Karang Pengamatan terhadap ikan karang menggunakan metode Underwater Fish Visual Sensus (UVC), dimana ikan yang dijumpai pada jarak 2.5 m di sebelah kiri dan kanan garis transek sepanjang 70 meter dicatat jenis dan jumlahnya. Pengamatan ikan karang difokuskan pada tiga kategori yaitu ikan target (ikan ekonomis penting yang biasa ditangkap untuk kepentingan konsumsi), ikan mayor (ikan yang berukuran kecil dengan pewarnaan yang beragam atau dikenal juga dengan ikan hias) dan ikan indikator (jenis ikan karang yang menjadi indikator kesuburan daerah ekosistem tersebut). Pengamatan ikan karang dilakukan dengan teknik visual sensus yang mengikuti garis transek karang. Ikan Karang yang ditemukan di Pulau Liukang Loe sebanyak 77 spesies dengan kelimpahan total dari 4 stasiun pengamatan adalah sebesar 1 033 ind. Ikan karang yang tercatat dikelompokkan menjadi 3 kelompok yaitu kelompok ikan indikator, kelompok ikan target dan kelompok ikan mayor.
32
Kelimpahan (individu/m²)
Kelimpahan Ikan Karang di Pulau Liukang Loe 300 250 200 150 100 50 0 3m
10 m
5m
Stasiun 1 (Batubong) Stasiun 2 (Panekang Kera)
5m
7m
Stasiun 3 (Ujung Baturapa)
5m
7m
Stasiun 4 (Batu Sobbalong)
Gambar 4.2 Kelimpahan Ikan Karang Pulau Liukang Loe Kelimpahan ikan karang yang tertinggi ditemukan di stasiun 1 kedalaman 3 meter yaitu sebesar 256 individu dan pada kedalaman 10 meter sebanyak 228 individu. Kelimpahan ikan karang pada stasiun 2 sebanyak 170 individu, stasiun 3 kedalaman 5 meter sebanyak 205 individu dan kedalaman 7 meter sebanyak 210 individu serta stasiun 4 pada kedalaman 5 meter sebanyak 174 individu dan pada kedalaman 7 meter sebanyak 183 individu. Sementara kelimpahan kelompok ikan mayor banyak ditemukan di stasiun 1 yaitu 194 individu pada kedalaman 3 meter dan 182 individu pada kedalaman 10 meter. Ikan mayor yang banyak ditemukan merupakan jenis Dascyllus reticulatus dan Odonus niger. Kelimpahan kelompok ikan mayor stasiun 2 sebesar 128 individu, stasiun 3 sebesar 172 individu pada kedalaman 5 dan 165 pada kedalaman 7 meter dan stasiun 4 pada kedalaman 5 sebesar 133 individu dan 154 pada kedalaman 7 meter. Kelimpahan kelompok ikan indikator tertinggi ditemukan di stasiun 1 kedalaman 10 meter yaitu sebesar 9 individu, stasiun 3 sebesar 8 individu, stasiun 2 sebesar 5 individu dan stasiun 4 sebesar 2 individu. Jenis ikan indikator yang ditemukan antara lain Chaetodon vagabundus, Chaetodon klenii, Chaetodon trifasciatus, Chaetodon rafflessi dan Heniochus varius. Kelimpahan kelompok ikan target juga banyak ditemukan di stasiun 1 yaitu sebesar 61 individu pada kedalaman 3 meter, stasiun 4 sebesar 39 individu, stasiun 2 sebesar 37 individu dan stasiun 3 sebesar 25 individu. Ikan target yang banyak ditemukan di Pulau Liukang Loe adalah jenis Ctenochaetus striatus dan Pseundanthias dispar.
33
Kelimpahan Kelompok Ikan Karang di Pulau Liukang Loe 250 200 150 100 50 0 3m
10 m
Stasiun 1 (Batubong)
5m Stasiun 2 (Panekang Kera) Mayor
5 m
7m
Stasiun 3 (Ujung Baturapa)
Indikator
5 m
7m
Stasiun 4 (Batu Sobbalong)
Target
Gambar 4.3 Kelimpahan Kelompok Ikan Karang Pulau Liukang Loe. 4.4.3 Karakteristik Pantai Pulau Liukang Loe tidak semua dikelilingi oleh pantai berpasir. Pantai berpasir hanya ditemui disisi utara, selatan dan timur pulau dengan lebar pantai yang bervariasi. Lebar pantai sebelah utara pulau rata-rata 30 m, sebelah tenggara 13 m dan sebelah barat 5 m. Pantai Liukang Loe merupakan tipe pantai berpasir halus dengan tingkat kecerahan perairan mencapai 100 % serta tingkat kemiringan pantai yang landai 3-100. Penutupan lahan rata-rata vegetasi pantai di pulau ini terbagi beberapa bagian dimana vegetasi tergantung dari kondisi tekstur tanahnya. Untuk wilayah pemukiman (berpasir) umumnya vegetasi didominasi oleh tanaman kelapa, pisang, mangga, pepaya, dan tanaman perdu. Hasil wawancara dengan penduduk lokal menunjukkan bahwa gelombang besar dari arah Barat terjadi pada bulan Januari-Maret (musim barat) yang menggerakkan sedimen ke arah timur dan sebaliknya pada musim Timur (JuliAgustus) dimana gelombang datang dari arah tenggara membawa sedimen ke arah barat kembali sehingga terjadi keseimbangan kembali. Hal ini menunjukkan bahwa dinamika sedimen pantai sangat bergantung kondisi gelombang yang dibangkitkan oleh angin muson (musim barat dan timur). Untuk biota berbahaya seperti bulu babi hanya ditemukan pada pantai sebelah selatan sementara pantai bagian utara dan barat hampir tidak ditemukan. Sedangkan sumber air tawar berada di sekitar pantai karena adanya pemukiman yang memiliki sumber air dari sumur. Tipologi pantai Pulau Liukang Loe yang seperti ini sangat sesuai untuk dimanfaatkan sebagai wisata rekreasi pantai. Ini terbukti dengan adanya kawasan pantai yang dimanfaatkan sebagai tempat wisata.
34
(A)
(B)
(C)
(D)
Gambar 4.4 Tipologi Pantai di Pulau Liukang Loe Pada Gambar 4.4 dapat dilihat tipologi pantai berpasir yang terdapat di Pulau Liukang Loe dan termasuk dalam kategori sesuai untuk pengembangan wisata pantai. Pada Gambar (A) dan (B) merupakan tipe pantai yang terletak di sebelah utara pulau atau di Kampung Ta’buntuleng. Pada Gambar (C) merupakan tipe pantai yang terletak di sebelah barat dan Gambar (D) merupakan tipe pantai yang terletak di sebelah tenggara pulau atau terletak di Kampung Pasilohe. 4.5 Perkembangan Kunjungan Wisatawan Wisatawan yang berkunjung ke Pulau Liukang Loe berasal dari dalam maupun luar negeri. Wisatawan yang berasal dari luar negeri yaitu berasal dari Kanada, Perancis, Belanda, Jerman, Swiss, Italia, dan Australia. Data kunjungan wisatawan ke Pulau Liukang Loe secara rinci belum tersedia di instansi maupun kantor desa setempat mengingat bahwa letak ataupun status Pulau Liukang Loe ini berada dalam satu paket pengembangan wisata bahari dengan Pantai Pasir Putih Bira. Akan tetapi, diperkirakan sekitar 10-15% total wisatawan yang berkunjung ke Pulau Liukang Loe (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bulukumba, 2012).
35
Jumlah Kunjungan Wisatawan
Data bulanan mengenai kunjungan wisatawan yang diperoleh dari tahun 2008-2012 juga dapat dilihat bahwa kunjungan wisatawan terbanyak ke Pulau Liukang Loe yaitu dimulai pada bulan Agustus hingga akhir tahun. Hal ini disebabkan karena pada bulan tersebut adalah periode musim timur, dimana pada periode tersebut kawasan Pulau Liukang Loe lebih bersih dibandingkan pada bulan-bulan sebelumnya dan perairannya sangat jernih sehingga merupakan waktu terbaik untuk berkunjung. Gambaran detail mengenai kunjungan wisatawan dapat dilihat pada Gambar 4.5 berikut ini.
500 450 400 350 300 250 200 150 100 50 0 2008
2009
2010
2011
2012
Tahun
Gambar 4.5 Grafik Kunjungan Wisatawan di Pulau Liukang Loe (Sumber : Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kab. Bulukumba, 2012). 4.6
Analisis Kesesuaian Wisata Bahari di Pulau Liukang Loe
Setiap aktivitas wisata yang akan dikembangkan hendaknya disesuaikan dengan potensi sumberdaya dan peruntukkannya. Analisis kesesuaian pemanfaatan wisata bahari berbasis konservasi mencakup penyusunan matriks kesesuaian setiap kategori ekowisata bahari yang ada pada setiap stasiun pengamatan, pembobotan dan serta dilakukan analisis indeks kesesuaian setiap kategori. Analisis kesesuaian wisata bahari juga menjelaskan bahwa seberapapun menariknya suatu lokasi wisata secara ekologis, tapi tetap memiliki keterbatasan dalam hal jumlah dan frekuensi kunjungan dalam suatu ruang dan waktu sesuai dengan peruntukkan masing-masing aktivitas wisata bahari. Kegiatan wisata pulau-pulau kecil terkait dengan potensi sumberdaya alam dikenal dengan istilah 3S (Sea, Sun dan Sand). Sea terkait dengan sumberdaya terumbu karang, mangrove dan biota pesisir lainnya, sun terkait dengan aktivitas berjemur sedangkan sand terkait dengan rekreasi (Dodds, 2007). Adapun aktivitas wisata dalam penelitian ini yaitu : (1). Wisata pantai (2). Wisata snorkling (3). Wisata selam.
36
Penilaian kesesuaian wisata bahari di Pulau Liukang Loe didasarkan pada kriteria/parameter dengan menggunakan pendekatan sistem informasi geografis (SIG) dengan metode tumpang susun (overlay) yang disajikan dalam bentuk peta kesesuaian lahan dan besaran luasan dengan warna yang berbeda-beda. Berdasarkan hasil analisis spasial dengan cara tumpang susun (overlay) diperoleh hasil kesesuaian wisata yaitu kawasan pesisir sesuai untuk wisata pantai kategori rekreasi, snorkling dan diving (selam). 4.6.1 Analisis Kesesuaian Wisata Pantai Wisata pantai adalah jenis wisata yang memanfaatkan pantai dan perairan tepi pantai sebagai obyek dan daya tarik wisata dan kepentingan rekreasi. Pulau Liukang Loe memiliki panjang garis pantai ± 3 km. Kawasan pantai Pulau Liukang Loe yang merupakan pantai berpasir dan tidak bervegetasi berdasarkan hasil pengamatan berada pada wilayah Utara dan Barat. Salah satu daerah yang sesuai dan telah dijadikan untuk wisata pantai adalah pantai sebelah utara atau terletak di Kampung Ta’buntuleng (Gambar A dan B) karena dianggap memiliki panorama yang indah oleh wisatawan serta menjadi spot bagi wisatawan yang datang berlibur. Potensi ini juga dapat dijadikan sebagai alternatif bagi wisatawan sehingga tidak terfokus pada satu jenis wisata saja. Aktivitas wisata pantai yang bisa dilakukan disekitar wilayah pantai Liukang Loe mulai dari kegiatan berjemur, bersantai, melihat pemandangan, berkemah serta olahraga pantai. Hasil analisis menunjukkan dua kelas kesesuaian, yaitu sesuai (S) – warna hijau dengan panjang pantai 1 411 m dan sesuai bersyarat (SB) – warna kuning dengan panjang pantai 1 279 m, sehingga total potensi untuk wisata pantai sekitar 2 690 m. Kelas sesuai berada di pantai sebelah utara (Kampung Ta’buntuleng) dengan potensi ekologis atau panjang area yang dimanfaatkan sebesar 932 m, pantai sebelah barat dengan panjang area yang dimanfaatkan sebesar 164 m dan pantai sebelah tenggara (Kampung Pasilohe) dengan panjang area yang dimanfaatkan sebesar 318 m. Adanya kategori kelas sesuai untuk wisata pantai didasarkan pada keberadaan panorama alam pantai pasir putih dan tingkat kecerahan perairan yang sangat jernih yang hampir terdapat pada kawasan pulaupulau kecil. Sementara itu kelas sesuai bersyarat dikarenakan adanya penutupan lahan pantai oleh vegetasi belukar dan pohon kelapa, lebar pantai yang kecil, tipe pantai yang terjal, material dasar berlumpur dan berkarang serta keberadaan biota berbahaya seperti bulu babi meskipun jarak dengan pemukiman penduduk relatif dekat. Parameter fisik penentu kesesuaian ekowisata pantai menurut Daby (2003) terkait dengan keruhnya air dan keberadaan biota berbahaya di atas dan di dalam sedimen pada musim tertentu yang menunjukkan kualitas lingkungan di sekitar pantai yang buruk dan dapat mengancam keselamatan para turis. Adapun peta kesesuaian wisata pantai kategori rekreasi dapat dilihat pada Gambar 4.7.
37
4.6.2 Analisis Kesesuaian Wisata Snorkling Analisis kesesuaian untuk wisata snorkling dilakukan pada kawasan terumbu karang dengan kedalaman antara 3-5 m. Aktivitas snorkling bisa menjadi pilihan wisata tersendiri. Hal ini karena tidak semua wisatawan bisa melakukan wisata selam untuk menikmati keindahan terumbu karang. Pembobotan kelas kesesuaian untuk wisata snorkling dengan mempertimbangkan faktor pembatas yang terdiri dari tutupan terumbu karang, jenis life form, kecerahan perairan, jenis ikan karang, kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang.
Gambar 4.6 Kondisi terumbu karang Pulau Liukang Loe Hasil analisis kesesuaian yang dilakukan didapatkan luas terumbu karang di Pulau Liukang Loe dengan pembagian pada tiga kelas kesesuaian, yaitu kelas sangat sesuai (SS) – warna hijau dengan luas kawasan 16.85 ha, kelas sesuai (S) – warna kuning dengan luas kawasan 7.80 ha dan kelas sesuai bersyarat (SB) – warna merah dengan luas kawasan 23.95 ha. Kelas sangat sesuai berada di sebelah timur pulau yaitu stasiun Bate Baroso dengan luas area yang dimanfaatkan sebesar 101 133 m2 dan Ujung Baturapa dengan luas area yang dimanfaatkan sebesar 21 433 m2 sedangkan kelas sesuai berada di sebelah utara pulau yaitu stasiun Kassi Tabua dengan luas area yang dimanfaatkan sebesar 41 433 m2 dan Batu Sobbalong dengan luas area yang dimanfaatkan sebesar 81 733 m2. Parameter kecerahan dan tutupan komunitas karang juga sangat menentukan dalam kegiatan snorkeling. Perairan yang jernih mengundang rasa ingin tahu untuk melihat keindahan bawah laut sedangkan tutupan komunitas karang merupakan daya tarik utama bagi wisatawan untuk menikmati keindahan bawah laut. Berdasarkan kondisi eksisting dan hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan bahwa potensi pengembangan wisata dengan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang di Pulau Liukang Loe terdapat di sisi utara hingga sisi timur pulau dengan kondisi baik. Hasil analisis SIG menunjukkan kelas kesesuaian pada kelas sangat sesuai (S1) dan sesuai (S2). Peta kesesuaian wisata snorkling dapat dilihat pada Gambar 4.8.
Gambar 4.7 Peta Kesesuaian wisata pantai di Pulau Liukang Loe
38
Gambar 4.8 Peta Kesesuaian wisata snorkling di Pulau Liukang Loe
39
40
4.6.3. Analisis Kesesuaian Wisata Selam Kawasan yang memiliki potensi sebagai lokasi wisata bahari kategori wisata selam yang dianalisis adalah perairan yang memiliki kedalaman diatas 6 meter, dimana tujuan wisata adalah wisatawan dapat melihat keindahan bawah laut dengan peralatan SCUBA (Yusniar, 2010). Faktor yang menjadi pertimbangan dalam penentuan kriteria kesesuaian wisata selam yaitu tutupan karang, jenis life form, jenis ikan karang, kecerahan perairan, kecepatan arus dan kedalaman terumbu karang. Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan pengembangan wisata bahari kategori selam (diving) di perairan Pulau Liukang Loe bahwa hanya lokasi sebelah utara hingga timur yang sesuai untuk wisata selam (diving) yakni pada stasiun Batu Sobbalong dengan luas area yang dimanfaatkan sebesar 73 900 m2 dan stasiun Ujung Baturapa dengan luas area yang dimanfaatkan sebesar 73 400 m2. Sementara pada lokasi sebelah barat pulau kondisi terumbu karang dalam kondisi rusak. Kondisi terumbu karang untuk sisi timur dalam kondisi baik sedangkan pada sisi utara relatif sedang. Tingkat kecerahan pada stasiun Batu Sobbalong dan Ujung Baturapa mencapai 100%. Kecerahan merupakan syarat utama yang harus dipenuhi dalam kegitan wisata diving. Semakin cerah suatu perairan maka keindahan bawah laut yang dapat dinikmati wisatawan akan semakin tinggi. Kawasan wisata diving dengan kecerahan 80-100% adalah lokasi yang sangat sesuai untuk wisata diving. Kawasan terumbu karang dengan kecerahan 50-80% adalah sesuai untuk wisata diving sedangkan kawasan terumbu karang yang nilai kecerahannya kurang dari 20% dianggap tidak sesuai, Persentase tutupan komunitas karang, jenis lifeform, dan jenis ikan karang mempunyai nilai daya tarik bagi wisatawan karena memiliki variasi morfologi dan warna yang menarik (Arifin, 2008). Pada wisata selam berbeda dengan wisata snorkling dimana kedalaman menjadi faktor pembatas. Kedalaman terumbu karang yang bisa dinikmati dengan menyelam antara kedalaman 7-15 m. Hasil analisis matriks kesesuaian kawasan pengembangan wisata bahari kategori selam (diving) di perairan Pulau Liukang Loe diperoleh tiga kelas kesesuaian yakni kelas sangat sesuai (SS) – warna hijau dengan luas 7.39 ha, kelas sesuai (S) – warna kuning dengan luas 7.34 ha dan kelas sesuai bersyarat (SB) – warna merah dengan luas 9.83 ha. Adapun faktor yng menjadi pembatas untuk kesesuaian wisata selam di Pulau Liukang Loe adalah kecilnya persentase tutupan karang. Hasil analisis SIG menunjukkan kelas kesesuaian pada kelas sangat sesuai (S1) dan sesuai (S2). Peta kesesuaian wisata pantai dapat dilihat pada Gambar 4.9 sebagai berikut.
Gambar 4.9 Peta Kesesuaian wisata selam di Pulau Liukang Loe
41
42
4.7
Daya Dukung Ekologi Wisata Bahari Pulau Liukang Loe
Konsep daya dukung didasarkan pada pemikiran bahwa lingkungan memiliki kapasitas maksimum dalam mendukung suatu pertumbuhan organisme. Daya dukung ekologi dalam penelitian ini merupakan jumlah maksimum pengunjung yang dapat ditolelir oleh suatu kawasan wisata untuk waktu tertentu tanpa menimbulkan degradasi sumberdaya alam (objek wisata). Aktivitas wisata di Pulau Liukang Loe tidak bersifat mass tourism, maka penentuan daya dukung kawasan harus mempertimbangkan aspek kelestarian lingkungan. Beberapa nilai yang dipakai dalam kajian DDK ini disesuaikan dengan kondisi dan persepsi pelaku wisata di lokasi penelitian, misalnya rata-rata waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan wisata pantai, snorkling dan selam. Penghitungan daya dukung kawasan dilakukan terhadap tiap sub zona wisata yang dianggap sangat sesuai dengan asumsi bahwa wisatawan yang datang terspesifikasi berdasarkan jenis kegiatan wisata. Untuk ekowisata pantai, penghitungan dilakukan berdasarkan panjang pantai, sedangkan untuk ekowisata bahari jenis kegiatan snorkling dan selam berdasarkan luas kawasan yang sesuai. DDK Sub Zona Wisata Pantai. Pantai berpasir putih dengan tipe susbtrat berpasir merupakan faktor utama yang berperan dalam penentuan pemanfaatan kawasan ekowisata untuk kegiatan wisata pantai sehingga diberikan bobot yang tinggi (3). Hal ini karena pantai berpasir putih memiliki daya tarik bagi wisatawan untuk melakukan aktivitas seperti berjemur, berenang, olahraga volley pantai ataupun hanya duduk-duduk sambil menikmati pemandangan alam. Hasil analisis kesesuaian menunjukkan bahwa ada 3 stasiun pengamatan yang termasuk kategori yang sesuai untuk kegiatan rekreasi pantai. Berdasarkan hasil analisis, maka diperoleh pada pantai sebelah utara atau stasiun Kampung Ta’buntuleng jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 37 orang/hari, pantai sebelah barat pulau dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 6 orang/hari dan pantai sebelah tenggara pulau atau stasiun Kampung Pasilohe jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 13 orang/hari atau total panjang pantai yang sesuai untuk wisata pantai 1 411 m dan jumlah wisatawan yang dapat ditampung di sub zona wisata pantai setiap hari adalah 56 orang/hari dengan waktu yang dibutuhkan setiap wisatawan untuk beraktivitas selama 3 jam. Hal ini menunjukan bahwa banyaknya wisatawan yang dapat melakukan aktivitas wisata di pantai sangat dipengaruhi oleh panjang pantai. DDK Sub Zona Wisata Snorkling. Luasan ekosistem terumbu karang diasumsikan sebagai luasan area yang akan digunakan untuk aktifitas snorkling yang berdasarkan hasil analisis kesesuaian termasuk dalam kelas sangat sesuai. Hasil analisis kesesuaian lahan menunjukkan bahwa kawasan yang termasuk kategori sangat sesuai untuk aktivitas snorkling yaitu stasiun Bate Baroso dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 405 orang/hari dan stasiun Ujung Baturapa dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 89 orang/hari sedangkan kelas sesuai berada di sebelah utara pulau yaitu stasiun Kassi Tabua dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 166 orang/hari dan Batu Sobbalong dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung
43
sebesar 327 orang/hari atau dengan kata lain total luas areal karang untuk peruntukkan wisata snorkeling sebesar 24.65 ha dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung di sub zona wisata snorkling setiap hari adalah 986 orang/hari dengan waktu yang dibutuhkan setiap wisatawan untuk beraktivitas selama 3 jam. DDK Sub Zona Wisata Selam. Ekosistem terumbu karang merupakan faktor utama yang menentukan dalam penetapan kawasan wisata bahari karena merupakan daya tarik bagi wisatawan untuk melakukan aktivitas wisata snorkling dan selam. Luasan ekosistem terumbu karang di tiap stasiun pengamatan diasumsikan sebagai luasan area yang akan digunakan untuk selam yang berdasarkan hasil analisis kesesuaian termasuk dalam kelas sangat sesuai. Hasil analisis kesesuaian lahan diperoleh bahwa untuk aktivitas selam diperoleh kelas kesesuaian yakni kelas sesuai dengan luas areal 14.73 ha. Berdasarkan luas kawasan tersebut maka diperoleh jumlah wisatawan yang dapat ditampung di sub zona wisata selam yaitu stasiun Batu Sobbalong dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 296 orang/hari dan stasiun Ujung Baturapa dengan jumlah wisatawan yang dapat ditampung sebesar 294 orang/hari atau total wisatawan yang dapat ditampung untuk wisata selam sebesar 589 orang/hari dengan waktu yang dibutuhkan setiap wisatawan untuk beraktivitas selama 2 jam. Hasil analisis daya dukung ekowisata dari sisi ekologi di Pulau Liukang Loe disajikan pada Tabel 4.4 berikut. Tabel 4.4 Nilai daya dukung kawasan ekowisata bahari di Pulau Liukang Loe dengan pendekatan ruang (spasial) No.
Jenis Wisata
1
Pantai
2
Snorkling
3
Luas/Panjang Area yang Dimanfaatkan/ Potensi Ekologis (Lp) 1 411 m
Nilai Daya Dukung Kawasan - DDK (Orang/Hari) 56
246 510 m2
986
2
589 1 631 orang/hari 595 315 orang/tahun
Selam
147 311 m Total
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2012.
Tabel 4.4 menunjukkan bahwa daya dukung ekologi untuk kegiatan wisata pesisir (wisata pantai, snorkling, selam) di Pulau Liukang Loe yakni 1 631 orang per hari atau jika ditotalkan dalam setahun sebesar 595 315 orang per tahun. Jika dibandingkan dengan data kunjungan wisatawan pada musim puncak sebesar 321 orang/hari yang artinya jumlah tersebut masih berada dibawah berdasarkan perhitungan daya dukung kawasan untuk pengembangan ekowisata bahari sehingga berdasarkan kegiatan pemanfaatan saat ini, diketahui kegiatan ekowisata bahari di Pulau Liukang Loe masih berada di bawah daya dukung ekologi sehingga masih dapat ditingkatkan kuantitasnya. Daya dukung wisata pantai memiliki jumlah yang lebih kecil dibanding ketiga kegiatan wisata lainnya, oleh karena keterbatasan kawasan pantai yang sesuai. Zakai and Chadwick-Furman (2002) merekomendasikan 5 (lima) upaya pengelolaan wisata selam dalam meminimalisasi kerusakan terumbu karang yakni : (1). Pembatasan jumlah
44
penyelam per lokasi per tahun (2). Diperlukan guide untuk seluruh penyelaman (3). Transfer keterampilan bagi penyelam pemula mulai dari kawasan terumbu karang yang rentan kerusakan sampai kawasan berpasir, (4). Mengalihkan tekanan penyelaman dari kawasan terumbu karang alami ke terumbu karang buatan, dan (5). Pengembangan pendidikan lingkungan bagi penyelam melalui kursus keterampilan mengenai tata cara dan perintah yang dilakukan bersama selama melakukan kegiatan di bawah air. Selanjutnya, pemanfaatan sumberdaya Pulau Liukang Loe untuk menunjang kegiatan wisata bahari sangat berkaitan dengan kesesuaian dan daya dukung kawasan tersebut. Sementara kesesuian dan daya dukung suatu kawasan sangat bergantung pada kondisi ekologis dari lingkungan. Pada sisi lain kondisi lingkungan ekologis terukur dari parameter diantaranya parameter fisika dan kimia. Selanjutnya kondisi fisika dan kimia suatu kawasan pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya beban limbah yang masuk. Menurut Mara (2004) menyatakan bahwa konsentrasi limbah organik mencapai 70 % di perairan pesisir seperti protein, karbohidrat dan lemak. Untuk mengetahui konsentarsi limbah organik di perairan maka dapat dilakukan dengan perhitungan DO dan BOD. Nilai BOD menggambarkan jumlah oksigen yang digunakan mikroba untuk merombak bahan organik yang ada di badan air. Sementara semakin rendahnya konsentrasi DO menandakan adanya bahan organik dalam badan air sebagai dampak dari aktivitas mikroorganisme. Sementara dengan adanya peningkatan kunjungan wisatawan sampai ke daya dukung kawasan di Pulau Liukang Loe diperlukan skenario rancangan kebijakan yang dapat dilaksanakan dalam kondisi nyata yang didasarkan pada faktor-faktor yang berpengaruh di masa yang akan datang. Skenario yang dimodelkan mencoba menganalisis jumlah maksimum wisatawan dan masyarakat lokal yang beraktivitas di lingkungan pesisir Pulau Liukang Loe hubungannya dengan batas maksimum nilai kualitas perairan yang diperbolehkan (baku mutu) wisata bahari. Sehingga diasumsikan bahwa aktivitas wisatawan dan masyarakat lokal yang ada di Pulau Liukang Loe berpeluang untuk mencemarkan perairan (batas baku mutu). Oleh karena itu dibangun simulasi dengan asumsi model akan terus berlanjut dimasa yang akan datang. Asumsi yang digunakan untuk skenario model ini secara umum adalah : 1. Periode waktu simulasi dibatasi hanya 10 tahun adalah periode umur efektif dari Instalasi Pengolahan air Limbah. 2. Jumlah penduduk dan wisatawan mengikuti pola pertumbuhan yang terjadi saat penelitian. 3. Parameter limbah yang digunakan dalam model adalah BOD dan konsentrasinya mengacu pada saat penelitian. 4. Migrasi penduduk tidak diperhitungkan dan dianggap nol. Hasil simulasi dengan analisis kualitas perairan dan dibandingkan dengan baku mutu menunjukkan bahwa kondisi daya dukung dengan pendekatan kualitas air masih bisa mentolerir aktivitas wisata dengan sumbangan BOD ke lingkungan perairan Pulau Liukang Loe hingga tahun 2022 atau masih berada di bawah baku
45
mutu yang dipersyaratkan Kepmen Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. Hal ini didukung oleh hasil perhitungan daya dukung dengan pendekatan kualitas perairan dengan parameter BOD dan baku mutu di perairan Pulau Liukang Loe seperti disajikan pada Tabel 4.5 sebagai berikut : Tabel 4.5 Nilai daya dukung kawasan ekowisata bahari di Pulau Liukang Loe dengan pendekatan kualitas air Tahun 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022
Kategori Masyarakat Wisatawan Masyarakat Wisatawan Masyarakat Wisatawan Masyarakat Wisatawan Masyarakat Wisatawan Masyarakat Wisatawan Masyarakat Wisatawan Masyarakat Wisatawan Masyarakat Wisatawan Masyarakat Wisatawan
BOD Daya Dukung (mg/l) (orang/hari) 3.27 688 6.73 1 420 3.19 727 6.81 1 550 3.14 765 6.86 1 672 3.09 803 6.91 1 794 3.05 841 6.95 1 919 3.01 880 6.99 2 041 918 2.98 7.02 2 162 956 2.95 7.05 2 286 2.92 994 7.08 2 409 2.90 1 033 7.10 2 531
Total 2 108 2 277 2 437 2 597 2 760 2 921 3 080 3 242 3 403 3 564
Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2013.
Hasil analisis dengan asumsi tidak melakukan perhitungan kontribusi BOD dari perairan lain menunjukkan bahwa untuk mengkaji daya dukung dengan pendekatan kualitas perairan 10 tahun mendatang dengan BOD sebagai indikator pencemaran organik diperoleh nilai BOD akan mencapai ambang baku mutu dengan nilai maksimum jumlah penduduk dan wisatawan mengalami peningkatan dimana pada Tahun 2022 diprediksi sebesar 3 564 orang/hari dengan komponen masyarakat sebesar 1 033 orang atau kontribusi BOD sebesar 2.90 mg/l dan jumlah wisatawan sebesar 2 531 orang/hari dengan kontribusi BOD sebesar 7.10 mg/l.
Konsentrasi BOD (mg/l)
46
11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Baku Mutu
2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 Tahun
Gambar 4.10 Prediksi Konsentrasi BOD di Pulau Liukang Loe. Pada Gambar 4.10 dapat dilihat prediksi kontribusi BOD untuk komponen wisatawan semakin meningkat setiap tahun akan tetapi belum mencapai ambang baku mutu yang dipersyaratkan untuk peruntukkan wisata bahari hingga tahun 2022. Hal ini mengindikasikan pada kondisi saat ini dengan jenis serta tingkat kegiatan yang berlangsung di Pulau Liukang Loe, kondisi kualitas perairan belum mencapai baku mutu maksimum BOD yaitu 10. Akan tetapi, ancaman pencemaran wilayah pesisir Pulau Liukang Loe bukan berarti tidak ada sama sekali. Hal ini kemungkinan terkait dengan meningkatnya aktivitas masyarakat termasuk wisata dan kegiatan pemanfaatan lain (perikanan dan transportasi) dimasa mendatang. 4.8
Strategi Pengelolaan Wisata Bahari Pulau Liukang Loe
Perumusan alternatif kebijakan pengembangan wisata bahari di Pulau Liukang Loe dengan menggunakan atribut ekologi. Menurut Dahuri (2001) menyebutkan bahwa terdapat beberapa metode untuk pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan, diantaranya : 1). Menetapkan batas-batas (boundaries) baik vertikal maupun horizontal terhadap garis pantai (coastal line), wilayah pesisir sebagai suatu unit pengelolaan (management unit) 2). Menghitung luasan 3). Mengalokasi atau melakukan zonasi wilayah pesisir tersebut menjadi 3 zona utama, yaitu : 1). Preservasi 2). Konservasi 3). Pemanfaatan. Selain itu, diperlukan juga pengaturan lahan secara komprehensif dan tepat sesuai dengan peruntukan serta tidak melebihi daya dukung (Adrianto, 2005). Pulau Liukang Loe memiliki ekosistem yang unik yang patut untuk dikelola secara arif dan bijaksana, untuk diperlukan pengaturan sumberdaya demi kelestarian sumber alam yang ada. Menurut masyarakat kawasan yang menjadi daerah penangkapan ikan dulunya memiliki terumbu karang hidup dalam kondisi yang masih baik. Namun, sejalan dengan banyaknya aktivitas yang bersifat merusak yang masih dilakukan oleh nelayan dan masyarakat lokal ditambah
47
dengan adanya aktivitas wisata sehingga ekosistem terumbu karang mengalami tekanan dan mendorong terjadinya kerusakan terumbu karang. Untuk menghindari kerusakan ekosistem terumbu karang semakin parah, maka perlu dilakukan pembatasan daerah pemanfaatan ekosistem dan sumberdaya di Pulau Liukang Loe sehingga tercapai keseimbangan antara aktivitas pemanfaatan dan konservasi. Pengelolaan Wisata Pulau Liukang Loe untuk pemanfaatan wisata bahari sebaiknya dilakukan di kawasan yang sesuai agar pemanfaatan yang dilakukan bisa memberikan kepuasan bagi wisatawan, tidak mengganggu aktivitas pemanfaatan lain dan tidak merusak kondisi ekologi yang terkait di sekitar pesisir Pulau Liukang Loe. Pembatasan pemanfaatan sesuai dengan daya dukung pemanfaatan yang sudah diukur dari luas kawasan sesuai harus dilakukan agar wisatawan mendapatkan kepuasan, kenyamanan dan ketenangan dalam berwisata, hal ini dilakukan agar keberadaan sumberdaya yang dimanfaatkan tetap lestari dan bisa berkelanjutan. Berdasarkan analisis kesesuaian wisata snorkling dan selam di Pulau Liukang Loe tergolong cukup sesuai untuk kedua jenis wisata tersebut. Persentase tutupan karang hidup cukup beragam, mulai dari kategori rusak hingga baik. Keberadaan ekosistem karang tersebut jika tidak dilestarikan kemungkinan akan mengalami perubahan atau penurunan kualitas lingkungan. Penurunan kualitas tersebut tentunya akan mengurangi nilai estetika alam bawah laut dan akan mengancam keberlanjutan kegiatan wisata yang telah ada. Untuk mempertahankan kelestarian sumberdaya ekosistem terumbu karang yang ada di Pulau Liukang Loe, berbagai upaya dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba antara lain : 1. Penetapan pemanfaatan kawasan secara tegas oleh pemerintah daerah terhadap pemanfaatan sumberdaya ekosistem terumbu karang Pulau Liukang Loe. Penetapan aturan yang jelas dan tegas dalam melakukan aktivitas wisata akan mampu mendorong pencapaian misi konservasi sehingga dengan pendekatan ekowisata memberikan banyak peluang untuk memperkenalkan kepada wisatawan tentang pentingnya perlindungan alam dan penghargaan pada masyarakat lokal. Strategi ini menjadi yang utama mengingat kondisi eksisting ekosistem terumbu karang yang menyebar di perairan Pulau Liukang Loe terutama di sebelah barat pulau berada pada kondisi buruk sehingga dalam penetapan pemanfaatan kawasan ini seharusnya merupakan full protected area yang artinya asset-aset wisata tidak diperkenankan beroperasi di kawasan tersebut. 2. Melakukan pengawasan terhadap jumlah wisatawan agar tidak melebihi daya dukung kawasan. Hal ini akan sangat menjadi krusial sehingga patut mendapat perhatian serius dimana terkhusus untuk periode musim puncak (peak season) kunjungan wisatawan dengan cara membatasi jumlah penjualan tiket masuk atau dengan cara menerapkan sistem kuota dan menetapkan lama tinggal wisatawan di lokasi wisata mengingat kegiatan wisata bahari berpeluang mass tourism.
48
3. Meningkatkan upaya pemulihan ekosistem terumbu karang melalui pemberdayaan masyarakat. Dalam ekowisata bahari meningkatkan upaya konservasi terhadap terumbu karang merupakan salah satu strategi yang penting dengan melibatkan masyarakat lokal melalui pemberian insentif seperti mata pencaharian alternatif. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi ketergantungan mereka terhadap sumberdaya yang ada pada ekosistem tersebut sehingga laju kerusakan terumbu karang dapat diminimalkan dan daya dukung dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan. Pengetahuan dan keterlibatan masyarakat lokal perlu ditingkatkan dalam pengelolaan ekowisata bahari. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyuluhan dan pelatihan agar masyarakat menjaga dan melestarikan sumberdaya pesisir yang ada sehingga kegiatan-kegiatan destruktif seperti bom dan bius yang sifatnya merusak dapat diminimalisir. Upaya pelestarian terumbu karang dapat dilaksanakan apabila peran serta masyarakat sudah optimal untuk menjaga sumberdaya alam secara langsung dan menikmati hasil dari pengelolaan sumberdaya tersebut. Secara umum adanya penurunan persentase tutupan karang dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa tingginya kerusakan terumbu karang. Berdasarkan wawancara dengan masyarakat bahwa kerusakan terumbu karang terjadi akibat penangkapan ikan yang sifatnya destruktif oleh nelayan seperti bom ikan dan penggunaan sianida, akan tetapi belakangan ini masyarakat mulai sadar dan mengganti alat tangkat dengan alat tangkap yang lebih ramah lingkungan seperti panah dan jaring ikan. Munculnya kesadaran tersebut karena masyarakat menganggap wisatawan tidak akan berkunjung ke Pulau Liukang Loe jika sumberdaya (terumbu karang) rusak dan secara langsung akan berpengaruh terhadap kesejahteraan ekonomi masyarakat. Untuk itu diperlukan regulasi terhadap kawasan yang terancam sehingga dampak ekologi bisa diminimalkan. Rusaknya sumberdaya untuk pemanfaatan akan berdampak pada buruknya kondisi lingkungan dan kelangkaan sumberdaya. Jika hal ini terjadi maka kemungkinan adanya pemanfaatan yang merusak dan konflik antar masyarakat bisa terjadi dan tujuan kesejahteraan ekonomi masyarakat otomatis tidak akan tercapai.