35
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Faktor Fisiko dan Kimia Perairan Faktor lingkungan merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan kondisi alam tempat pembudidayaan rumput laut. Faktor lingkungan yang diukur pada penelitian meliputi suhu perairan, salinitas, pH, kecerahan dan unsur hara (nitrat dan fosfat). Semua faktor lingkungan wakan berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut.
(a) Suhu perairan Suhu perairan merupakan salah satu faktor penting yang perlu diperhatikan dalam budidaya rumput laut, karena suhu akan mempengaruhi laju fotosintesis rumput laut. Chen dan Shang (1976) dalam Sjafrie (1990) menyatakan bahwa temperatur optimum untuk budidaya Gracilaria verrucosa adalah 20-25 oC, sedangkan menurut Kadi dan Atmadja (1988) suhu air yang dipersyaratkan untuk membudidayakan Gracilaria di Indonesia, sebaiknya 20-28 oC. Hasil pengukuran suhu perairan tambak berkisar antara 25-29 oC. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa kondisi perairan Tambak Desa Selok, Adipala Cilacap, sesuai untuk pertumbuhan rumput laut G. verrucosa.
(b) Salinitas Gracilaria mempunyai toleransi yang lebar terhadap salinitas, oleh karena itu G. verrucosa memungkinkan dibudidayakan di daerah pertambakan atau air payau. Kjeldsen dan Phinney (1972) dalam Sutresno dan Prihatini (2003), menyatakan bahwa salinitas akan mempengaruhi laju respirasi dan fotosintesis makroalga, tetapi setiap spesies makroalga mempunyai toleransi yang berbedabeda terhadap kisaran salinitas. G. verrucosa dapat ditanam pada kisaran salinitas antara 20-30 ppt (Sadhori 1992). Hasil pengukuran pada perairan tambak di Desa Selok, Cilacap telah sesuai dengan syarat pertumbuhan G. verrucosa yaitu 2528 ppt. Berdasarkan penelitian Sutresno dan Prihatini (2003), salinitas berpengaruh terhadap pertumbuhan talus G. verrucosa. Salinitas 25-29 ppt memberikan rata-rata bobot basah, panjang talus dan bobot kering tertinggi.
36
(c) Kedalaman dan kecerahan Kecerahan merupakan jarak yang dapat ditembus cahaya matahari ke dalam perairan. Semakin jauh jarak tembus cahaya matahari, semakin luas daerah yang memungkinkan terjadinya fotosintesis. Kecerahan ini berbanding terbalik dengan kekeruhan (Nybaken 1988). Mutu dan banyaknya cahaya berpengaruh terhadap
produksi
dan
pertumbuhan
rumput
laut
(Kadi
dan
Atmadja, 1988). Kedalaman perairan Tambak Desa Selok, Adipala Cilacap adalah 60 cm. Kondisi ini sesuai dengan pernyataan Sulistijo (2002), bahwa kedalaman air tambak untuk budidaya rumput laut adalah berkisar antara 20-50 cm. Cahaya matahari tersebut sumber energi dalam proses fotosintesis yang mana terjadi pembentukan
bahan
organik
yang
diperlukan
bagi
pertumbuhan
dan
perkembangan rumput laut G. verrucosa
(d) Nilai pH Nilai pH merupakan hasil pengukuran aktivitas ion hidrogen dalam perairan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air (Saeni 1989). Perubahan nilai pH akan sangat mempengaruhi pertumbuhan dan aktivitas biologis. Nilai pH perairan selama penelitian berkisar antara 6-7, nilai pH perairan selama penelitian baik untuk budidaya G. verrucosa. Kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan
rumput
laut
adalah
berkisar
antara
6-9
(Chapman
dan
Chapman 1980; Ahda et al. 2005).
(e) Unsur hara Kesuburan perairan ditentukan oleh kandungan nitrat dan fosfat. Unsur fosfat yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan akuatik adalah bentuk orto-fosfat, sedangkan nitrogen yang dapat diserap dalam bentuk nitrit (NO2), nitrat (NO3), dan ammonium (NH4), namun yang paling disukai tumbuhan adalah dalam bentuk ammonium (Effendi 2000). Rumput laut atau alga sebagaimana tanaman berklorofil lainnya memerlukan unsur hara sebagai bahan baku dalam proses fotosintesis. Untuk menunjang pertumbuhan diperlukan ketersediaan unsur hara dalam perairan. Masuknya material atau unsur hara ke dalam jaringan tubuh rumput laut adalah
37
dengan jalan proses difusi yang terjadi pada seluruh bagian permukaan tubuh rumput laut. Bila difusi makin banyak akan mempercepat proses metabolisme sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan (Doty dan Glenn 1981). Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan alami dan merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan alga karena nitrat sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Kadar nitrat pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l, akan tetapi jika kadar nitrat lebih besar dari 0,2 mg/l akan mengakibatkan eutrofikasi (pengayaan) yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat (Effendi 2000). Kadar nitrat mempengaruhi reproduksi alga bila zat hara tersebut melimpah di perairan (Aslan 1998). Konsentrasi nitrat yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 0,120-0,170 mg/l. Konsentrasi nitrat ini cukup baik bagi pertumbuhan rumput laut. Fosfat merupakan salah satu nutrien makro yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuhan. Sumber fosfat dalam perairan dapat berasal dari pelapukan batuan mineral, dekomposisi bahan organik, pupuk buatan (limbah perairan), limbah industri, limbah rumah tangga, dan mineral-mineral fosfat (Saeni 1989). Fosfat merupakan faktor pembatas bagi tumbuhan dan alga akuatik karena digunakan dalam
transfer
energi,
sehingga
keberadaannya
sangat
mempengaruhi
produktivitas perairan. Keberadaan fosfat di perairan alami biasanya relatif sedikit lebih kecil dari nitrogen (Effendi 2000). Kandungan fosfat dari hasil pengamatan didapatkan nilai kisaran yaitu 0,015-0,022 mg/l. Dilihat dari hasil pengukuran bahwa nilai fosfat cukup rendah. Menurut UNESCO/WHO/UNEP (1992) dalam Effendi
(2000)
bahwa
kadar
fosfat
dalam
perairan
berkisar
antara
0,0005 – 0,02 mg/l. 4.2 Laju Pertumbuhan Harian Gracilaria verrucosa Pertumbuhan tanaman dapat dipantau dengan cara sampling untuk mengukur laju pertumbuhannya sehingga dapat diprediksi. Nilai laju pertumbuhan harian pada metode penanaman apung yaitu sebesar 3,20-4,46%; sedangkan pada metode penanaman dasar sebesar 3,01-3,63% (Gambar 5).Rata-rata laju pertumbuhan G. verrucosa pada metode penanaman apung dan dasar menunjukkan peningkatan sampai umur panen 60 hari, kemudian mengalami
38
penurunan pada umur panen 75 dan 90 hari. Laju pertumbuhan harian pada bobot bibit 50, 75, dan 100 g untuk semua metode penanaman juga menunjukan peningkatan pada umur panen 60 hari dan penurunan pertumbuhan pada umur panen 75 dan 90 hari. Nilai laju pertumbuhan harian G. verrucosa pada metode penanaman apung umur panen 60 hari yaitu 4,46%, 4,27%, dan 4,16% masingmasing berasal dari bobot bibit awal 50, 75 dan 100 g, untuk metode penanaman dasar yaitu 3,63%, 3,50% dan 3,34% masing-masing berasal dari bobot bibit awal 50, 75 dan 100 g. Perlakuan metode penanaman apung menghasilkan laju pertumbuhan harian yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode penanaman dasar. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan G. verrucosa pada perlakuan metode penanaman dasar rumput laut banyak tertutup oleh tanaman atau hewan pengganggu sehingga kemampuan untuk menyerap cahaya dan sumber nutrisi lain tidak optimal. Kecerahan perairan menentukan intensitas sinar matahari atau cahaya yang masuk perairan. Kemampuan daya tembus sinar matahari ke dalam perairan sangat ditentukan oleh kedalaman perairan, warna perairan, kandungan bahan-bahan organik maupun anorganik, kepadatan plankton, jasad renik, dan detritus (Wardoyo 1975 dalam Apriyana 2006). Semakin besar cahaya matahari yang diterima maka proses fotosintesis dapat berjalan semakin cepat sehingga meningkatkan laju pertumbuhan yang pada akhirnya meningkatkan bobot basahnya (Aslan 1998). Kecerahan perairan yang ideal untuk budidaya rumput laut yang disarankan oleh Direktorat Jenderal Perikanan, Direktorat Bina Produksi (2006) adalah 1,5 m, hal ini dimaksudkan agar rumput laut dapat melakukan fotosintesis dengan baik. Laju pertumbuhan G. verrucosa yang ditanam pada tambak di daerah Cilacap ini menunjukkan peningkatan pada umur panen 60 hari kemudian mengalami penurunan pada umur panen 75 dan 90 hari. Panen dapat dilakukan pada umur panen 2-2,5 bulan sesudah penanaman; waktu panen memang bervariasi untuk setiap penanaman lokasi penanamanan yang berbeda (Indriani dan Sumiarsih 2004).
39
Bobot bibit mempunyai pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan, dimana bobot bibit yang lebih kecil memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi, hal ini diduga semakin kecil bobot bibit yang digunakan, persaingan untuk mendapatkan unsur hara dari perairan semakin kecil sehingga pertumbuhannya semakin cepat (Sulistijo dan Atmadja 1977). Histogram laju pertumbuhan harian rumput laut G. verrucosa dapat dilihat pada Gambar 7.
Berat (g)
Metode Apung 2500
y = 0.292x 2 - 1.243x + 83.04 R² = 0.991
2000
y = 0.307x 2 - 5.631x + 108.5 R² = 0.995
1500
y = 0.242x 2 - 5.262x + 86.93 R² = 0.997
1000
500
0 0
15
30
45
60
75
90
105
Lama Pengamatan (hari) bobot bibit 50
bobot bibit 75
bobot bibit 100
Metode Dasar 2500
Berat (g)
2000 y = 0.196x 2 - 2.280x + 137.7 R² = 0.999
1500
y = 0.139x 2 - 0.623x + 89.42 R² = 0.997
1000
y = 0.097x 2 - 0.068x + 53.51 R² = 0.995
500
0 0
15
30
45
60
75
90
105
Lama Pengamatan (hari) bobot bibit 50
bobot bibit 75
bobot bibit 100
Gambar 7. Laju pertumbuhan harian Gracilaria verrucosa pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda
40
4.3 Komposisi Kimia Gracilaria verrucosa Kering Rumput laut yang digunakan dalam pembuatan agar diperolah dari hasil budidaya di Desa Selok, Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, yang dibudidayakan menggunakan metode rakit dengan tiga perlakuan utama, yaitu metode penanaman (apung dan dasar), bobot bibit (50, 75, dan 100 g), dan umur panen (45, 60, 75 dan 90 hari). Rumput laut hasil panen kemudian dilakukan pencucian dengan air tawar untuk menghilangkan kotoran yang menempel, kemudian dijemur 2 sampai 3 hari hingga diperoleh rumput laut kering. Rumput laut kering kemudian siap digunakan sebagai bahan baku ekstraksi agar. Sebelum dilakukan ekstraksi, rumput laut terlebih dahulu diuji komposisi kimianya, yang meliputi kadar air, kadar abu, dan abu tak larut asam.
4.3.1 Kadar air Kadar air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya tahan suatu bahan dan menunjukkan kestabilan serta indeks mutu dari bahan pangan. Bahan dengan kadar air tinggi, akan lebih mudah rusak dibandingkan dengan bahan yang berkadar air rendah (Winarno 1997). Kadar air merupakan komponen yang penting dalam rumput laut kering, karena akan mempengaruhi mutu rumput laut. Hasil penelitian ini menunjukkan rata-rata kadar air yang dihasilkan berkisar antara 21,22-24,54% . Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan umur panen memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar air rumput laut kering yang dihasilkan. Bertambahnya umur panen menyebabkan kadar air cenderung meningkat, hal ini diakibatkan oleh sifat hidrofilik yang dimiliki oleh rumput laut. Kadar air maksimal yang disyaratkan oleh SNI untuk rumput laut kering (1998) maksimum 25%, dengan demikian kadar air rumput laut kering pada penelitian ini masih memenuhi syarat yang ditetapkan oleh SNI N0. 01-2690 (1998). Hasil penelitian Wenno (2009) menunjukkan bahwa umur panen memberikan pengaruh yang nyata terhadap kadar air Eucheuma cotonii, sedangkan pada bagian talus dan bobot bibit tidak berpengaruh nyata. Histogram kadar air pada G. verrucosa dicantumkan pada Gambar 8.
41
24,02
a/q
b/q
24,02
a/p
21,74
23,80 a/q
ab/q
21,42
23,60
a/p
a/q
23,55
23,27 a/q
a/p
a/q
23,37
23,32 a/q
21,39
kadar air (%)
25
21,23
30
a/p
Metode rakit apung
20
15
10
5
0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
Kadar Air (%)
24,47 c/q
b/q
24,54
22,14 b/p
bc/q
24,23
ab/q
24,08
ab/p
22,01
23,30 a/q
ab/q
23,90
ab/p
21,94
ab/qc
23,78
a/p
23,24
25
21,22
30
a/q
Metode rakit dasar
20 15 10 5 0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
Keterangan: Huruf (a,b) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan bobot bibit (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan perlakuan dalam umur panen (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test Gambar 8. Kadar air rumput laut Gracilaria verrucosa kering pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen berbeda
4.3.2 Kadar abu Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan mineral pada rumput laut kering yang tidak terbakar selama pembakaran atau pengabuan. Winarno (1996) menyatakan bahwa kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Proses pembakaran menyebabkan bahan-bahan yang mudah menguap yaitu air dan bahan volatile lainnya akan mengalami oksidasi dengan menghasilkan CO2.
42
Histogram kadar abu rumput laut G. verrucosa kering dapat dilihat pada Gambar 9.
kadar abu (%)
30
30,08
34,14
d/p
d/q
c/r
34,99
30,16
32,96
b/p
c/q
b/q
32,75
b/p
29,53
31,81 b/q
31,21 a/q
28,16 a/p
35
30,29 a/q
31,06
40
a/q
Metode rakit apung
25 20 15 10 5 0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
kadar abu (%)
b/p
33,13
b/pq
34,35
b/q
31,03
36,37
ab/p
b/q
34,15
b/q
35,44
30,26 a/p
ab/q
33,08
ab/q
33,9 1
29,87
a/p
a/p
30,50
35
31,73
40
a/p
Metode rakit dasar
30 25 20 15 10 5 0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
Keterangan: Huruf (a,b) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan bobot bibit (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan perlakuan dalam umur panen (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test
Gambar 9. Kadar abu rumput laut Gracilaria verrucosa kering pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda Kadar abu yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 28,1636,37%. Bertambahnya umur panen menyebabkan kadar abu rumput laut
43
cenderung meningkat. Hal ini disebabkan semakin lama rumput laut berada di perairan maka penyerapan terhadap mineral akan semakin tinggi. Bobot bibit 50 g memiliki kadar abu yang lebih besar, hal ini disebabkan semakin kecil bibit rumput laut maka penyerapan garam mineral akan lebih besar karena persaingan untuk mendapatkan garam-garam mineral semakin kecil. Kadar abu yang dihasilkan pada penelitian ini memenuhi standar FAO (1971) dalam Angka dan Suhartono (2000) yaitu sebesar 15-40%.
4.3.3 Kadar abu tak larut asam Abu tak larut asam terdiri dari garam-garam klorida yang tidak larut asam, garam-garam logam berat dan silika. Kadar abu tak larut asam merupakan salah satu kriteria untuk menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan (Basmal et al. 2003). Unsur mineral yang terdapat di dalam abu adalah oksida-oksida garam yang mengandung kation dan anion. Anion tersebut antara lain anion sulfat, nitrat, dan Cl, sedangkan kationnya adalah Na, Ca, K, Mg, Fe, dan logam-logam lain (Winarno 1997). Rumput laut termasuk bahan pangan yang mengandung mineral yang cukup tinggi seperti Na, Ca, K, Cl, Mg, Fe, S, dan sebagainya (Winarno 1996). Penelitian ini menghasilkan kadar abu tak larut asam sebesar 0,13-1,44%. Berdasarkan hasil analisis ragam perlakuan bobot bibit, dan umur panen memberikan pengaruh nyata terhadap kandungan abu tidak larut asam. Kadar abu tak larut asam yang dihasilkan dalam penelitian ini memenuhi standar yang ditetapkan oleh EEC (1986) dalam Angka dan Suhartono (2000) yaitu maksimum 2%. Semakin besar bobot bibit semakin banyak kontaminan pada talus, begitu pula pada umur panen semakin lama rumput laut berada di perairan maka semakin banyak pula kontaminan. Histogram kadar abu tak larut asam rumput laut kering disajikan pada Gambar 10.
44
c/q
b/r b/p
c/r
0,69
c/p
1,01
1,07
b/q a/p
0,48
0,17 a/p
0,50
0,85
a/r
0,52
a/q
0,74
a/r
0,72
0,49 a/q
1,00
0,13
kadar abu tak larut asam (%)
1,50
1,28
c/r
Metode rakit apung
0,00 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
c/r
c/q
0,42 b/p
0,66
0,75
b/q
c/p
1,13
1,23 b/r a/r
0,64
0,85
a/q a/p
0,30
a/p
0,50
0,79
0,57
a/q
a/r
1,00
0,22
kadar abu tak larut asam (%)
1,50
1,44
c/r
Metode rakit dasar
0,00 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
Keterangan: Huruf (a,b) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan bobot bibit (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan perlakuan dalam umur panen (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test
Gambar 10. Kadar abu tak larut asam rumput laut Gracilaria verrucosa kering pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda 4.4 Karakteristik Fisiko-Kimia Agar Gracilaria verrucosa Agar merupakan polisakarida yang terakumulasi dalam dinding sel rumput laut penghasil agar atau agarofit, oleh karenanya kandungan agar yang terdapat dalam rumput laut di pengaruhi oleh musim (Armisen dan Galatas 2000). Salah satu rumput laut agarofit adalah Gracilaria verrucosa yang digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan agar berasal dari budidaya di perairan Desa Selok,
45
Cilacap dengan perlakuan berbagai metode penanaman, bobot bibit dan umur panen. Penelitian pada tahap ini bertujuan menentukan perlakuan terbaik dari hasil ekstraksi agar. Penentuan perlakuan terbaik dipilih berdasarkan parameter rendemen, kekuatan gel, viskositas, kadar air, dan kadar abu yang sesuai dengan standar mutu agar.
4.4.1 Rendemen Rendemen merupakan salah satu parameter penting dalam menilai efektif tidaknya proses pembuatan tepung agar. Efektif dan efisiennya proses ekstraksi bahan baku untuk pembuatan tepung agar dapat dilihat dari nilai rendemen yang dihasilkan. Rendemen merupakan banyaknya agar yang dikandung dalam rumput laut dan dinyatakan dalam persen. Rata-rata rendemen agar yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 23,00-32,57%. Rendemen agar yang diperoleh dalam penelitian ini memenuhi SNI N0. 01-2690 rumput laut kering (1998), G. verrucosa dianggap baik jika kandungan agarnya diatas 20% (SNI 1998). Bobot bibit dan umur panen yang berbeda memiliki pengaruh nyata terhadap rendemen. Menurut Fritz (1987) hasil fotosintesis dari Rhodophyceae merupakan senyawa polisakarida. Rumput laut yang memiliki bobot awal yang lebih kecil, karena persaingannya relatif kecil, cenderung untuk tumbuh lebih cepat dan mengandung lebih banyak senyawa polisakarida. Agar merupakan polisakarida yang terakumulasi dalam dinding sel rumput laut penghasil agar atau agarofit, oleh karenanya agar yang terdapat dalam rumput laut dipengaruhi oleh musim. Semakin tua umur panen maka kandungan polisakarida yang dihasilkan semakin banyak sehingga karaginannya juga semakin tinggi (Syamsuar 2006). Rendemen agar selain dipengaruhi cara ekstraksi, dipengaruhi pula oleh spesies, iklim, waktu pemanenan dan lokasi budidaya (Chapman dan Chapman 1980). Utomo dan Satriyana (2006) menyatakan besarnya rendemen ini belum tentu sama untuk rumput laut yang sama apabila dipanen pada waktu yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Marinho-Soriano dan Bourret (2003) efek
46
musim berpengaruh terhadap rendemen agar. Histogram rendemen agar dapat dilihat pada Gambar 11.
rendemen (%)
25
b/p 24,99
25,93
a/q
b/r 29,48
c/p 25,93
c/q 28,37
b/r 26,74
d/p
29,62
d/q
23,22
30
26,27 a/p
28,47 b/q
35
28,75
a/r
32,57
c/r
Metode rakit apung
20 v
15 10 5 0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
rendemen (%)
25
24,87 b/p
26,63 b/q
29,05
c/p 26,17
27,33
c/q
p/r
c/r 26,39
29,56
c/p
d/q 28,43
31,18
a/p 23,00
a/q 24,62
30
27,75
35
a/r
d/r
Metode rakit dasar
20 15 10 5 0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
Keterangan: Huruf (a,b) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan bobot bibit (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan perlakuan dalam umur panen (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test
Gambar 11. Rendemen agar Gracilaria verrucosa pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda 4.4.2 Kadar air Kadar air menyatakan jumlah air serta bahan-bahan volatil yang terkandung dalam agar. Kadar air suatu produk biasanya ditentukan oleh kondisi
47
pengeringan, pengemasan dan cara penyimpanan. Kondisi penyimpanan dan pengeringan yang kurang baik menyebabkan tingginya kandungan air pada produk sehingga bahan lebih cepat mengalami kerusakan (Syamsuar 2006). Histogram kadar air agar dicantumkan pada Gambar 12.
b/p
11,66
b/q
11,89
11,46
10,93
b/q
a/p
ab/pq
11,54
11,22
11,21
ab/pq
ab/p
a/p
10,92
11,29
a/p
ab/q
11,33
12
11,14
a/p
10,81
14
kadar air (%)
a/pq
Metode rakit apung
10 8 6 4 2 0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
kadar air (%)
a/p
11,44
b/p
11,41
b/p
11,13
b/q
11,22
b/q
11,23
ab/p
10,80
ab/p
11,12
a/p
10,78
ab/p
10,78
10,83
a/p
a/p
10,87
12
10,72
14
a/p
Metode rakit dasar
10 8 6 4 2 0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
Keterangan: Huruf (a,b) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan bobot bibit (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan perlakuan dalam umur panen (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test
Gambar 12. Kadar air agar Gracilaria verrucosa pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda
48
Nilai kadar air agar hasil penelitian berkisar antara 10,72-11,89%. Hasil analisis ragam menunujukkan bahwa perlakuan umur panen berpengaruh nyata (p 0,05) terhadap kadar air agar yang dihasilkan. Menurut Utomo dan Satriyana (2006) bertambahnya umur panen menyebabkan kadar air cenderung meningkat, hal ini diakibatkan oleh sifat hidrofilik yang dimiliki oleh rumput laut. Berdasarkan hasil penelitian Syamsuar (2006) kadar air pada karaginan berpengaruh nyata terhadap umur panen. Proses ekstraksi atau pada tahap pengeringan dapat mempengaruhi kadar air pada tepung agar. Kadar air yang dihasilkan pada penelitian ini sesuai dengan SNI agar tepung (1995), yaitu maksimum sebesar 17%. Kadar air merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi daya tahan suatu bahan dan menunjukkan kestabilan serta indeks mutu dari bahan pagan (Utomo dan Satriyana 2006).
4.4.3 Kadar abu Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu berhubungan dengan mineral suatu bahan. Nilai kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yeng terkandung dalam bahan pangan tersebut (Apriyantono et al. 1989). Rata-rata kadar abu yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 5,45-6,73%. Menurut Standar SII (1978) dalam Angka dan Suhartono (2000) kadar abu agar maksimum 4%, sedangkan standar FCC (1981) dalam Angka dan Suhartono (2000) maksimal 6,5%. Umur panen yang semakin lama akan mempengaruhi kadar abu yang terkandung dalam rumput laut. Hal ini dapat disebabkan karena semakin lama rumput laut berada dalam perairan maka semakin banyak kandungan mineral yang diserap, sehingga akan meningkatkan kadar abu pada agar yang dihasilkan. Elemen mineral yang paling banyak dalam rumput laut adalah kalium, kalsium, fosfor, zat besi, dan iodium (Anggadiredja et al. 2006). Pada penelitian ini bobot bibit dan umur panen memiliki pengaruh yang nyata terhadap kadar abu. Tingginya kadar abu dipengaruhi oleh garam dan mineral yang menempel pada rumput laut, seperti kandungan garam dan mineral di perairan (Suryaningrum et al. 1991). Elemen mineral yang paling banyak dalam rumput
49
laut adalah kalium, kalsium, fosfor, zat besi, dan iodium (Anggadiredja et al. 2006). Histogram kadar abu agar dapat dilihat pada Gambar 13.
kadar abu (%)
c/p
6,73
c/p
6,17
c/p
6,05
c/p
6,04
5,93
b/p
bc/p
5,87
b/p
5,79
a/p
5,66
b/p
5,74
a/p
5,54
6
5,53
a/p
5,45
7
a/p
Metode rakit apung
5 4 3 2 1 0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
kadar abu (%)
d/q
6,26
c/p
5,96
c/p
6,06
5,91
c/q
b/p
5,73
b/p
5,72
b/r
5,96
b/q
5,76
a/p
5,54
a/r
5,76
a/p
5,68
6
5,51
7
a/p
Metode rakit dasar
5 4 3 2 1 0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
Keterangan: Huruf (a,b) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan bobot bibit (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan perlakuan dalam umur panen (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test
Gambar 13. Kadar abu agar Gracilaria verrucosa pada metode penanaman, bobot bibit, dan umur panen yang berbeda
50
4.4.4 Kekuatan gel Parameter kualitas dari agar yang tidak kalah pentingnya adalah kekuatan gel dari agar itu sendiri yang banyak diperlukan dalam berbagai industri seperti industri makanan, makanan dalam kaleng, dan keperluan bioteknologi pada kultur mikroorganisme. Kekuatan gel yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 200,00-306,33 gcm. Nilai kekuatan gel tertinggi yang didapatkan pada kedua metode penanaman yaitu pada kombinasi perlakuan bobot bibit 50 g dan umur panen 60 hari. Bertambahnya umur akan meningkatkan kandungan 3,6-anhidro-Lgalaktosa, hal ini sesuai dengan pernyataan Friedlander dan Zelokovitch (1984), bahwa peningkatan kekuatan gel berbanding lurus dengan banyaknya kandungan 3,6-anhidrogalaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Selanjutnya menyebabkan
menurut sifat
Moriano beraturan
(1977), dalam
tingginya polimer
3,6-anhidro-L-galaktosa
yang
akan
menyebabkan
meningkatnya potensi pembentukan heliks rangkapnya sehingga pembentukan gel lebih cepat dicapai. Bobot bibit yang lebih kecil menghasilkan kekuatan gel yang lebih tinggi, hal ini disebabkan bobot bibit yang lebih kecil akan menyerap unsur hara ataupun cahaya lebih optimal karena kompetisi yang rendah sehingga menghasilkan kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa yang tinggi. Rendahnya kekuatan gel agar ini disebabkan karena rendahnya kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa yang terdapat dalam agar dan tingginya kadar sulfat dari agar. Senyawa 3,6-anhidro-L-galaktosa bertanggung jawab terhadap kekuatan gel dari agar. Peningkatan kekuatan gel sangat berkaitan dengan jumlah 3,6-anhydroL-galaktosa dan sulfat yang terkandung di dalamnya (Ress 1969). Kandungan sulfat berpengaruh terhadap kekuatan dari agar, semakin tinggi kandungan ester sulfat dalam agar, maka kekuatan gel yang terbentuk akan semakin rendah (Chapman dan Chapman 1980). Histogram kekuatan gel dapat dilihat pada Gambar 14.
51
226,00
224,33
257,00
b/p
b/p
b/q
c/p
265,00
274,00
c/p
c/q
295,33
c/p
277,33
c/p
274,00
306,33
a/p
a/p
209,00
250
202,00
300
236,67
kekuatan gel (gcm)
350
a/q
d/q
Metode rakit apung
200 150 100 50 0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
a/p
213,33
219,67
b/p
b/q
244,67
252,33
c/q
b/p
265,00
c/r
285,33
268,67
c/p
c/p
271,67
293,67
212,67
a/p
250
200,00
300
230,00
kekuatan gel (gcm)
350
a/q
a/r
d/p
Metode rakit dasar
200 150 100 50 0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
Keterangan: Huruf (a,b) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan bobot bibit (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan perlakuan dalam umur panen (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test
Gambar 14. Kekuatan gel agar Gracilaria verrucosa pada metode penanaman, bobot bibit dan umur panen yang berbeda 4.4.5 Viskositas Viskositas atau kekentalan didefinisikan sebagai perbandingan antara tekanan geser suatu cairan. Suspensi koloid dalam larutan dapat meningkat
52
dengan cara mengentalkan cairan sehingga terjadi absorbsi dan pengembangan koloid (Glicksman 1983). Rata-rata viskositas agar yang dihasilkan dalam penelitian ini berkisar antara 30,57-38,17 cP. Histogram viskositas dapat dilihat pada Gambar 15.
a/q
33,62
b/p
33,27
b/p
33,11
c/p
36,04
35,57
c/q
c/pq
35,75
36,24
d/p
c/p
36,24
38,17
a/q
a/p
30,83
35
31,78
viskositas (cP)
40
32,71
a/r
d/q
Metode rakit apung
30 25 20 15 10 5 0 45
60
75
90
umur panen (hari)
bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
b/p
31,47
33,27 b/q
b/r
32,11
33,69
c /p
c /q
35,05
c /r
35,40
d/p
34,89
d/q
35,23
37,17
a/p
a/p
30,57
31,11
35
30,61
viskositas (cP)
40
a/q
d/r
Metode rakit dasar
30 25 20 15 10 5 0 45
60
75
90
umur panen (hari) bobot bibit 50 g
bobot bibit 75 g
bobot bibit 100 g
Keterangan: Huruf (a,b) menunjukkan adanya perbedaan dalam perlakuan bobot bibit (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test Huruf (p,q,r) menunjukkan adanya perbedaan perlakuan dalam umur panen (p<0,5) berdasarkan uji Duncan Multiple range test
Gambar 15. Kekuatan viskositas agar Gracilaria verrucosa pada metode penanaman, bobot bibit dan umur panen yang berbeda
53
Viskositas merupakan faktor kualitas yang penting untuk zat cair dan semi cair (kental) atau produk murni, dimana hal ini merupakan ukuran dan kontrol untuk mengetahui kualitas dari produk akhir (Joslyn 1970). Viskositas agar berpengaruh terhadap sifat gel terutama titik pembentukan gel dan titik leleh, dimana viskositas agar yang tinggi menghasilkan laju pelelehan dan pembentukan gel yang lebih tinggi dibanding agar yang viskositasnya rendah. Hasil penelitian Suryaningrum (1988) menyatakan bahwa peningkatan umur panen menurunan viskositas. Penurunan viskositas ini dipengaruhi oleh kandungan sulfat.Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan bobot bibit dan umur panen berpengaruh nyata terhadap viskositas. Viskositas dan kekuatan gel saling terkait dengan 3,6-anhidro-L-galaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Viskositas disebabkan oleh adanya daya tolak menolak antar grup sulfat yang bermuatan negatif disepanjang rantai polimernya, sehingga menyebabkan rantai polimer kaku dan tertarik kencang. Karena sifat hidrofilik menyebabkan molekul tersebut dikelilingi oleh air yang tidak bergerak, hal inilah yang menentukan nilai viskositas (Guiseley et al. 1980).
4.5 Sifat Fisiko-Kimia Agar Terbaik Berdasarkan hasil penelitian tahap sebelumnya, diperoleh perlakuan terbaik yang akan dianalisis lebih lanjut karakteristik fisiko-kimia agarnya. Parameter yang dijadikan kriteria utama dalam penentuan perlakuan terbaik adalah rendemen, kadar air, kadar abu, viskositas dan kekuatan gel. Hasil agar terbaik pada penelitian ini dihasilkan pada perlakuan dengan bobot bibit 50 g dan umur panen 60 hari baik pada metode apung dan metode dasar. Sifat fisik kimia agar terbaik dapat dilihat pada Tabel 3. Titik jendal merupakan suhu dimana gel
mulai terbentuk.Titik
pembentukan gel merupakan temperatur saat terjadinya peralihan dari fasa sol ke fasa gel dimana pada keadaan ini terjadi perubahan konformasi gulungan acak (random coil) menjadi rantai berpilin ganda (double helix) yang kemudian beragregasi membentuk struktur tiga dimensi (Rees et al. 1969). Friedlander dan Zelokovitch (1984) menyatakan bahwa suhu titik jendal dan titik leleh berbanding lurus dengan kandungan 3,6-anhidro-L-galaktosa dan
54
berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Berdasarkan hasil penelitian titik jendal dan titik leleh pada metode apung berbeda nyata dengan metode dasar, hal ini dapat diduga karena kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa memiliki pengaruh yang berbeda nyata pada kedua metode. Tabel 3. Sifat fisiko-kimia agar terbaik Metode
Parameter Titik jendal ( C) Titik leleh (oC) Derajat putih (%) 3,6-anhidro-l-galaktosa (%)
Apung 35,45 0,49b 63,00 0,56b 16,60 0,06b 37,52 0,45b
Sulfat (%)
2,71
o
Logam bobot (ppm) Pb Cu Zn Hg
Dasar 33,60 0,10a 60,27 0,11a 14,93 0,11a 36,35 0,08a
0,28a
3,55
tidak terdeteksi 0,34 0,15b 3,04±0,01a tidak terdeteksi
0,99b
tidak terdeteksi 0,26 0,03a 3,28±0,10a tidak terdeteksi
Keterangan : Huruf (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan adanya perbedaan antara perlakuan bobot bibit (p<0,05) berdasarkan uji Duncan Multiple range Test.
Berdasarkan hasil penelitian Purnawati (1992) menjelaskan bahwa suhu pembentukan gel erat kaitannya dengan kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa. Adanya 3,6-anhidro-L-galaktosa dalam molekul agar menyebabkan sifat beraturan dalam rantai polimer bertambah dan sebagai akibatnya akan mempertinggi potensi pembentukan heliks rangkapnya, dengan demikian suhu pembentukan gel lebih cepat tercapai. Suryaningrum (1988) menyatakan bahwa suhu pembentukan gel berbanding lurus dengan kandungan 3,6-anhidro-L-galaktosa dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfatnya. Menurut Whistler (1973) agar mempunyai temperatur leleh antara 60-97 oC pada konsentrasi 1,5%. Perbedaan temperatur leleh dipengaruhi oleh jenis rumput laut, kondisi tempat tumbuh dan metode ekstraksi. Titik jendal pada metode penanaman apung lebih tinggi dibandingkan dengan metode penanaman dasar (Tabel 5). Suhu pembentukan gel erat kaitannya dengan kadar 3,6-anhidroL-galaktosa dan kadar sulfat. Peningkatan kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa dan penurunan
kadar
sulfat
akan
meningkatkan
suhu
pembentukan
gel
(Glicksman 1983). Satari (2001) menyatakan bahwa sifat agar antara lain dapat
55
membentuk gel dalam larutan 1,5% agar membentuk gel yang stabil pada suhu 32-39 oC. Istini et al. (1986) menambahkan bahwa beberapa sifat dari agar adalah pada tidak larut dalam air dingin tetapi larut dalam air panas. Titik leleh gel adalah suhu dimana pertama kali gel mulai mengalami pelelehan. Titik pelelehan adalah suhu pada saat penguraian daerah simpulan (junction zones) menjadi struktur pilinan ganda (double helix) dan untuk selanjutnya berubah menjadi konformasi gulungan acak (random coil) (Rees et al. 1969). Menurut Whistler (1973) agar mempunyai temperatur leleh antara 60 – 97 oC pada konsentrasi 1,5%. Perbedaan temperatur leleh dipengaruhi oleh jenis rumput laut, kondisi tempat tumbuh dan metode ekstraksi. Derajat putih merupakan gambaran secara umum dari warna suatu bahan pada umumnya. Derajat putih agar diharapkan mendekati 100% karena agar yang bermutu tinggi biasanya tidak berwarna, sehingga aplikasinya lebih luas. Nilai derajat putih pada metode apung lebih tinggi dibandingkan nilai derajat putih pada metode dasar, hal ini diduga akibat pencucian yang kurang sempurna. Metode dasar lebih banyak tertempel oleh kotoran dibandingkan dengan metode apung. Tumbuhan lain pengganggu atau kotoran lain yang menempel dan sukar dipisahkan dalam pencucian, diduga menurunkan derajat putih tepung agar. Agar terdiri dari 3,6-anhidro-L-galaktosa dan galaktosa. Agar yang berkualitas baik mempunyai kandungan 3,6-anhidro-L-galaktosa dan nilai gel strength yang tinggi dangan kandungan sufat rendah.Kadar 3,6-anhidro-Lgalaktosa ini biasanya berbanding lurus dengan kekuatan gel dari agar dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfat yang dimiliki agar (Utomo dan Satriyana 2006). Kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa berbanding lurus dengan kekuatan gel dari agar dan berbanding terbalik dengan kandungan sulfat yang dimiliki agar (Utomo dan Satriyana 2006). Peningkatan kekuatan gel sangat berkaitan dengan jumlah 3,6-anhidro-L-galaktosa dan sulfat yang terkandung dalam agar (Rees 1969 dalam Utomo dan Satriyana 2006). Agar yang dihasilkan oleh metode apung memiliki kadar 3,6-anhidro-L-galaktosa yang lebih tinggi dan berbeda nyata dengan metode dasar (Tabel 3). Menurut Maciel et al. (2007) 3,6-anhidro-L-galaktosa dapat dipengaruhi oleh proses fotosintesis, respirasi dan kandungan karotenoid.
56
Peningkatan kekuatan gel sangat berkaitan dengan jumlah 3,6-anhidro-Lgalaktosa dan sulfat yang terkandung dalam agar (Rees 1969 di dalam Utomo dan Satriyana 2006). Izumi (1971) menyatakan bahwa penurunan konsentrasi 3,6-anhidro-L-galaktosa selalu disertai dengan penurunan kandungan grup 6-0metil dan peningkatan residu sulfat. Peningkatan kekuatan gel sangat berkaitan dengan jumlah 3,6-anhidro-L-galaktosa dan sulfat yang terkandung di dalamnya. Kadar sulfat merupakan parameter yang digunakan untuk berbagai jenis polisakarida yang terdapat dalam alga merah (Winarno 1996). Konsentrasi sulfat dalam agar dapat dipengaruhi oleh perbedaan jenis dan asal rumput laut, metode ekstraksi, serta umur panen. Peningkatan umur panen dapat memberikan respon terhadap kandungan sulfat (Suryaningrum 1988). Kandungan sulfat pada agar yang dihasilkan pada metode apung berbeda nyata dengan agar yang dihasilkan oleh metode dasar. Agar yang dihasilkan pada metode penanaman dasar mempunyai kadar sulfat yang lebih tinggi dibandingkan metode penanaman apung (Tabel 3), hal ini dapat disebabkan karena sulfat dapat diperoleh dari dua sumber yaitu dari air dan tanah dasar tambak. Kandungan sulfat berpengaruh terhadap kekuatan gel dari agar, semakin tinggi kandungan ester sulfat dalam agar, maka kekuatan gel yang terbantuk akan semakin rendah (Chapman dan Chapman 1980). Pencemaran air dapat berupa garam dari logam berat dan logam berat yang membentuk senyawa toksik. Beberapa logam berat merupakan logam yang paling berbahaya dari zat-zat pencemar. Logam berat yang sering dijumpai dalam perairan antara lain Timbal (Pb), Merkuri (Hg), Seng (Zn) danTembaga (Cu) dalam bentuk senyawa toksik. Syamsuar (2006) menyatakan bahwa adanya kandungan logam pada perairan menunjukkan adanya pencemaran pada lokasi penanaman rumput laut, karena rumput laut mampu menyerap logam berat dari perairan melalui proses absorbsi. Adanya seng dalam agar disebabkan oleh akumulasi seng oleh rumput laut melalui absorbsi atau proses pertukaran ion. Proses ini terjadi melalui dinding sel rumput laut, yang kemudian bersenyawa dengan protein atau polisakarida. Nilai standar SNI untuk logam berat pada agar tepung yaitu sebesar, untuk Pb maksimum 2 ppm, Cu maksimum 30 ppm, Zn maksimum 40 ppm, dan
57
Hg maksimum 0,03 ppm (SNI No. 01.2802.1995). Nilai logam berat yang terkandung dalam agar pada penelitian ini masih memenuhi standar.