18
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Situasional Objek sejarah di Kota Baubau yang telah didata oleh BPCB Makassar, tercatat sebanyak 14 objek. Objek-objek tersebut terdiri atas makam, struktur benteng, istana/rumah adat, dan mesjid. Pergantian undang-undang mengenai cagar budaya membuat objek-objek tersebut masuk ke dalam kategori sedang dalam proses. Untuk itu harus dilakukan penetapan ulang oleh pemerintah setempat dengan mengeluarkan surat keputusan. Berdasarkan rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Baubau 2011-2030, terdapat dua kawasan yang menjadi kawasan cagar budaya. Kedua kawasan tersebut yaitu lanskap Keraton Buton dan Baadia menjadi kawasan cagar budaya (Gambar 4).
Bappeda Kota Baubau (2014)
Gambar 4 Rencana tata ruang wilayah Kota Baubau tahun 2011-2030 Setelah ditetapkan menjadi kota pusaka tahun 2012, hal yang telah dilakukan di Kota Baubau yaitu inventarisasi aset pusaka mikro dan juga zonasi kawasan prioritas kota pusaka (Gambar 5). Zona tersebut dibuat berdasarkan pola sebaran aset pusaka makro yang ada di Kota Baubau yang berhubungan dengan keberadaan lanskap Keraton Buton sebagai masterpiece Kota Pusaka Baubau.
19 Namun dari pola zona yang terbentuk terlihat batas-batas yang dibentuk berdasarkan objek terluar bukan berdasarkan batas kultural objek. Terlebih belum semua aset pusaka makro terinventarisasi oleh tim kota pusaka.
Gambar 5 Peta zonasi kota pusaka Baubau Kawasan Benteng Keraton Buton menjadi kawasan inti karena memiliki nilai sakral yang tinggi. Selain menetapkan kawasan inti, ditetapkan pula lima kawasan penyangga yaitu pelabuhan lama, Lipu Katobengke, Wajo, Baadia, dan Sorawolio (Dirjen Penataan Ruang 2013). Konsep Ruang Bagian tubuh manusia mampu menjabarkan mikro dan makro kosmos di Kota Baubau. Malihu (2011) telah menggambarkan hubungan manusia di Buton dengan rumah dan perahu namun gambaran tersebut tidak dapat menjelaskan lebih banyak mengenai pola spasial dan orientasi Kota Baubau secara mikro dan makro kosmos. Perwujudan manusia sangat kental pada kosmologi rumah yang terdiri atas kepala, badan/perut, dan kaki. Pada rumah, bagian kepala disebut bhoba, bagian perut disebut tonga, dan bagian kaki disebut tamb(e)i. Posisi dinding dan rangka juga tidak boleh terbalik karena diibaratkan akan menimbulkan kecacatan apabila hal ini diabaikan. Dinding diibaratkan sebagai kulit dan rangka sebagai tulang. Begitupun pada halaman rumah. Bagian depan rumah merupakan perwujudan tubuh bagian depan dan halaman belakang merupakan perwujudan tubuh bagian belakang. Perahu juga memiliki kesamaan dengan manusia yang terdiri atas rope (labuan), puse (tengah/pusat), dan wana (buritan) yang dipersepsikan sebagai sesuatu yang hidup. Perahu dipandang sebagai rumah kedua yang berkedudukan setara tetapi berbeda fungsi dengan rumah tinggal. Hubungan rumah dan perahu
20 dianggap sebagai suami dan istri yang saling melengkapi serta menyeimbangkan kehidupan (Malihu 2011). Sebagaimana halnya rumah, kayu penyusun bagian perahu juga tidak boleh terbalik (Maula et al. 2011). Bagi masyarakat Buton, daratan dan lautan sama penting sebagaimana dua sisi perahu (Malihu 2011). Kesetaraan tersebut sudah tercermin sejak masa pemerintahan Raja Buton ke-4 terhadap ketetapan mengenai penghasilan raja (Zahari 1977a). Perahu menggambarkan keseimbangan bagian rope dan wana yang dihubungkan oleh puse. Bila mengabaikan salah satunya, maka perahu tidak mampu mencapai tujuannya. Perkembangan kota di Baubau terlihat mengikuti pola perahu. Bagian utara merupakan perairan selat dan teluk Buton, bagian tengah merupakan keraton sebagai pusat pemerintahan, dan bagian selatan merupakan ruang terbuka hijau dan lahan pertanian (Gambar 6). Rumah yang berada di dalam lanskap kota Baubau menggambarkan isi perahu dalam hal ini manusia.
Gambar 6 Pola perkembangan Kota Baubau yang mengikuti pola perahu Jika melihat posisi Kota Baubau terhadap wilayah bekas Kesultanan Buton, polanya juga serupa. Barata Muna, Barata Tiworo, dan Moronene berada di rope. Barata Kulisusu dan Barata Kaledupa berada di wana. Kota Baubau (Keraton Buton) sebagai ibukota kesultanan terletak di puse atau bagian tengah yang menyatukan rope dan wana. Hal ini sejalan dengan naskah kabanti, sebuah naskah tradisional dalam kesultanan Buton yang menyebutkan Buton sebagai negeri perahu (Gambar 7).
21 Masyarakat Buton menganggap kepala, depan, dan atas bukanlah lebih baik dari kaki, belakang, dan bawah sebab sebagaimana tubuh manusia, semua bagian tubuh memiliki fungsi masing-masing dan tidak dapat bekerja sendiri-sendiri. Prinsip keseimbangan ini tercermin dari seluruh aspek kehidupan di Buton seperti sistem pemeritahan lahiriyah dan batiniyah, pembagian peran masyarakat, pembagian tata ruang, serta hak dan kewajiban daerah bagian kesultanan. Semua itu terangkum sebagaimana falsafah yang dipegang masyarakat untuk saling menyegani, mengayomi, menyayangi, dan menghormati.
Gambar 7 Pola wilayah Kesultanan Buton yang mengikuti pola perahu Karakter Lanskap Sejarah Berdasarkan data yang diperoleh melalui penelusuran sejarah dan observasi lapang, lanskap sejarah di Kota Baubau, terdapat 17 lanskap sejarah berdasarkan keterikatan sebaran objek dan batas kulturalnya (Gambar 8). Ke-17 lanskap sejarah tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kelompok berdasarkan karakter periode terbentuknya yaitu peninggalan prakerajaan, peninggalan kerajaan dan kesultanan, peninggalan kolonial, dan pascakemerdekaan. Lanskap prakerajaan diwakili oleh lanskap pesisir tua dan Labalawa. Lanskap kerajaan dan kesultanan antara lain lanskap Keraton Buton, Waborobo, Lowu-Lowu dan Kolese, Lipu Katobengke dan sekitarnya, serta Benteng Sorawolio. Selanjutnya Baadia dan Sambali, Wajo, Loji-Kotamara dan sekitarnya, Liwuto Makasu serta perairan Selat dan Teluk Buton, dan juga Ciacia dan Kaisabu. Lanskap kolonial antara lain lanskap kolonial dan awal kemerdekaan,
22 pecinan, Wakonti, dan Palabusa. Sedangkan lanskap pascakemerdekaan yang unik yaitu lanskap Waliabuku dan Ngkaring-Ngkaring (Tabel 5). Lanskap-lanskap tersebut terbentuk menjadi satu kesatuan karena kesamaan gaya, fungsi, dan nilai yang disepakati oleh masyarakat setempat (Shamsuddin et al. 2012).
Gambar 8 Peta sebaran lanskap sejarah Kota Baubau Prakerajaan Zona prakerajaan berada pada Lanskap Pesisir Tua dan Labalawa (Gambar 9). Lanskap ini berisi peninggalan-peninggalan zaman sebelum Kerajaan Buton terbentuk. Objek sejarah sulana tombi merupakan bekas lubang tiang bendera yang hingga saat ini, bendera tersebut menjadi lambang kebesaran raja-raja di Buton dan dinamakan Tombi Pagi. Diriwayatkan rombongan Sipanjonga dan rekannya Simalui mendarat di Kalampa dan mengibarkan bendera kebesarannya tersebut. Sipanjonga dan Simalui kemudian bertemu dengan Sitamanajo dan Sijawangkati yang mendarat di tempat lain hingga akhirnya tinggal bersama di Kalampa dan menjadi perkampungan yang besar dan ramai. Mereka berempat inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan Mia Patamiana atau si empat orang dari Johor. Keempat orang ini pula yang secara turun-temurun menjadi pemuka adat siolimbona di masa Kerajaan dan Kesultanan Buton (Zahari 1977a). Lokasi yang sangat dekat dengan pantai, membuat Sipanjonga bersama pengikut-pengikutnya berpindah ke arah daerah yang lebih tinggi. Daerah yang mereka pilih ditumbuhi banyak semak belukar dan kemudian mereka menebasnya. Kegiatan menebas ini disebut welia dan merupakan cikal bakal penamaan Wolio sebagai pusat kebudayaan Buton. Sijawangkati mendapat enau, kemudian diamdiam mengambil enau tersebut dan ternyata enau tersebut ada pemiliknya yang artinya tempat tersebut telah ada penghuninya. Pemilik enau tersebut adalah Dungkucangia, Raja Tobe-Tobe yang berasal dari Tiongkok. Suatu waktu mereka bertemu dan berkelahi namun tidak ada yang kalah sehingga mereka berdamai dan
23 bermufakat untuk hidup bersama (Zahari 1977a). Bekas peninggalan Kerajaan Tobe-Tobe dapat dijumpai di sebelah barat perkampungan Labalawa. Peninggalanya antara lain Benteng Tobe-Tobe yang dulunya merupakan istana Dungkucangia. Di benteng ini dulu ditemukan topi kebesaran Dungkucangia yang kini telah dipindahkan oleh pemerintah untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan seperti pencurian ataupun pengrusakan. Tabel 5 Penyusun karakter masing-masing lanskap sejarah Kota Baubau No
Lanskap
Karakter penyusun
Pesisir tua dan Labalawa
Situs-situs peninggalan kerajaan Tobe-Tobe dan peninggalan awal Kerajaan Buton
Keraton Buton
Prakerajaan 1 Kerajaan dan kesultanan 2 3
Waborobo
Struktur benteng, mesjid, rumah adat Buton, lembaga adat Buton Pemukiman tradisional, bahasa, dan hutan adat
4
Lowu-Lowu dan Kolese
Struktur benteng dan goa
5 6
Lipu Katobengke dan sekitarnya Benteng Sorawolio
Bekas permukiman tua, permukiman tradisional, situs megalitik, dan kebudayaan etnis Katobengke Struktur benteng dan mesjid
7
Baadia dan Sambali
8
Wajo
Struktur benteng, rumah adat Buton, dan kebudayaan Buton Bangunan tradisional
9
Loji-Kotamara dan sekitarnya Liwuto Makasu serta perairan Selat dan Teluk Buton Ciacia dan Kaisabu
Pemukiman tradisional dan kebudayaan Buton
Bangunan bergaya arsitektur art deco
13
Kolonial dan awal kemerdekaan Pecinan
14
Wakonti
Bak air kolonial dan tanah katampai Wa Ode Wau
15
Palabusa
Bangunan bergaya arsitektur art deco
10
11
Makam sultan Buton ke-6, perairan, dan kebudayaan Liwuto Makasu Lembaga adat dan Bahasa Ciacia serta Kaisabu
Kolonial 12
Pertokoan tua Tionghoa
Pascakemerdakaan 16
Waliabuku
17
Ngkaring-Ngkaring
Lembaga adat dan permukiman bergaya Bugis dan Waliabuku Lembaga adat, persawahan, dan permukiman bergaya Bali
Permukiman Tobe-Tobe eksis hingga tahun 1960an. Permukiman ini ditinggalkan karena adanya wabah penyakit. Masyarakat Tobe-Tobe kemudian berpindah di perkampungan Labalawa dan sebagian ke daerah Batauga, Kabupaten Buton. Sisa-sisa permukiman Tobe-Tobe dapat ditemukan tidak jauh dari Benteng Tobe-Tobe. Terdapat ratusan makam dengan nisan kuno yang terbuat dari batu. Dapat ditemukan pula bekas Mesjid Tobe-Tobe dan situs kaluku gadi didepannya. Kaluku gadi menurut masyarakat setempat merupakan lambang diplomasi (Safarudin 9 Maret 2014, komunikasi pribadi). Tetapi, ada indikasi
24 bahwa situs tersebut dulunya merupakan jam untuk melihat arah bayangan matahari guna menentukan waktu shalat sebab saat mengunjungi situs terlihat adanya bayangan yang dihasilkan oleh situs. Di belakang mesjid, terdapat makam imam terakhir mesjid Tobe-Tobe yang hingga akhir hayatnya menolak untuk berpindah tempat. Perkampungan Labalawa juga memiliki mesjid. Di dalam mesjid terdapat sebuah batu pipih yang berasal dari Mesjid Tobe-Tobe. Batu pipih tersebut memiliki nilai sakral bagi masyarakat Labalawa. Setidaknya terdapat tiga buah batu yang bermakna bagi masayarakat Labalawa selain batu dari Mesjid TobeTobe, yaitu Batu Wamunante dan juga batu di Mata Air Kampebuni. Batu di Mata Air Kampebuni telah tertimbun longsor. Batu tersebut berwarna hitam, mengkilat, licin, dan tidak ditumbuhi lumut. Mata air Kampebuni digunakan sebagai salah satu air yang digunakan untuk memandikan sultan saat dilantik yang terletak di dekat hutan kaombo (hutan larangan) di Labalawa (Safarudin 9 Maret 2014, komunikasi pribadi).
Gambar 9 Lanskap pesisir tua dan Labalawa Permukiman Labalawa tergolong sangat baik karena arsitektur tradisionalnya terpelihara dengan baik dibandingkan dengan permukimanpermukiman lain di Kota Baubau. Situs sejarah di Labalawa cukup banyak seperti makam Dungkucangia dan makam Sipanjonga yang terletak di Benteng Labalawa yang memiliki kaitan dengan ritual-ritual pertanian di Labalawa. Benteng Labalawa bukan benteng yang tersusun atas batu tetapi merupakan tempat dilaksanakan upacara-upacara adat seperti upacara kagasiano liwu yang berlanggsung selama 40 hari 40 malam dan ritual-ritual yang berhubungan dengan pertanian. Di Benteng tersebut juga terdapat Batu Wolio Labalawa sebagai perlambang pertemuan Dungkucangia dan Sipanjonga. Selain itu terdapat pula baruga yang digunakan untuk bermusyawarah.
25 Sejauh 33.5 m dari makam Dungkucangia, terdapat katingkaa sebagai tempat dilaksanakan pertemuan untuk menetapkan tanggal dimulainya aktivitas bertani. Masyarakat setempat melakukan budidaya organik sesuai tradisi mereka selama ratusan tahun. Masyarakat juga membudidayakan tanaman dengan benih lokal dari nenek moyang mereka namun belum ada upaya dari pemerintah untuk mendaftarkannya benih lokal tersebut menjadi varietas lokal sebagai warisan kekayaan sumberdaya genetis dan kebanggan daerah. Setidaknya terdapat 6 jenis jagung dan 4 jenis kacang panjang lokal yang dibudidayakan petani setempat. Budaya intangible lainnya di Labalawa antara lain: (1) sistem pemerintahan adat yang dipimpin oleh pangasa dan dua orang wati; (2) kesenian lokal seperti tarian kanaga-naga dan tarian lingge-lingge; (3) profesi petani sekaligus nelayan tradisional, dan (4) dua buah bahasa lokal yaitu Bahasa Labalawa dan Bahasa Tobe-Tobe. Bahasa Tobe-Tobe keberadaanya memprihatinkan karena penuturnya tersisa 3 orang dan telah memasuki usia sepuh. Lanskap Pesisir Tua dan Labalawa juga termasuk Perkampungan Sulaa yang dikenal dengan Kampung Tenun Buton karena mayoritas wanita di sana berprofesi sebagai penenun tradisional. Perkampungan Sulaa sendiri tidak dapat dipisahkan dengan komunitas Labalawa sebab batas kultural Labalawa memang sampai dipesisir. Itulah sebabnya di perkampungan ini ditemukan banyak etnis Labalawa. Di perkampungan ini terdapat makam sapati Manjawari. Beliau adalah sapati (perdana menteri) pertama dalam sistem Kerajaan Buton pada masa pemerintahan Raja Buton ke-3 (Disbudpar Kota Baubau 2013). Namun, riwayat lain menyebutkan bahwa Manjawari dimakamkan bukan di Sulaa melainkan di Kabaena tepatnya di pegunungan Enano (Zahari 1977a). Tidak jauh dari Sulaa terdapat Benteng Kalampa (Gambar 10). Benteng tersebut memiliki ukuran 25 x 15.30 m dengan tinggi 1-2 m dan ketebalan dinding 30-130 m. Elemen utama benteng yaitu dinding benteng dan 3 buah bastion di arah barat, timur, dan selatan (Disbudpar Kota Baubau). Berbeda dengan bentengbenteng lain di Kota Baubau, Benteng Kalampa tidak direkatkan. Keberadaanya tidak terawat bahkan pernah dijual belikan untuk dijadikan resort namun setelah dipertentangkan oleh masyarakat adat, keberadaan benteng zaman prakerajaan ini bisa terselamatkan (Pratama et al. 2013). Makam Betoambari terletak di Kelurahan Katobengke tidak jauh dari Benteng Kalampa. Betoambari merupakan anak Sipanjonga dengan pernikahannya dengan adik Simalui yang bernama Sibaana. Betoambari semasa hidupnya menemukan Kerajaan Kamaru dan menikahi putri Raja Kamaru bernama Waguntu. Pernikahan Betoambari dengan Waguntu membawa pengaruh yang sangat besar bagi Wolio (saat itu kerajaan Buton belum lahir) karena dua buah negeri yang besar yaitu Tobe-Tobe dan Kamaru bersatu (Zahari 1977a).
Gambar 10 Benteng Kalampa
26 Goa Moko terletak di Pantai Nirwana. Goa berair payau ini masih menyimpan misteri sejak ditemukannya ratusan keramik yang berasal dari Tiongkok di dalamnya beberapa tahun silam (Coppenger 2011). Belum ada jawaban mengapa keramik tersebut berada di dasar goa tersebut. Saat ini Goa Moko menjadi objek wisata andalan bagi pengunjung Pantai Nirwana namun pengawasannya belum terlalu baik yang dilihat dari adanya beberapa sampah yang mengambang di permukaannya. Kerajaan dan kesultanan Zona kerajaan dan kesultanan meliputi Keraton Buton, Baadia dan Sambali, Benteng Sorawolio,Waborobo, Lowu-Lowu dan Kolese, Liwuto Makasu dan Perairan Selat Buton, Lipu Katobengke dan sekitarnya, Wajo, Loji-Kotamara dan sekitarnya, serta Ciacia dan Kaisabu. Wilayah-wilayah ini terbentuk pada saat pemerintahan kerajaan dan kesultanan didirikan. Keraton Buton Keraton bagi masyarakat Buton bermakna sebagai ibukota sebagai pusat pemerintahan. Berbeda halnya dengan keraton-keraton di Jawa yang berupa kompleks istana raja, Keraton Buton memiliki beberapa elemen penting di dalamnya. Hal ini didasari karena adanya perbedaan sistem pemerintahan pada Kerajaan dan Kesultanan Buton. Keraton dalam pengertiannya di Buton ialah kotaraja atau kompleks permukiman perangkat pemerintahan kerajaan/kesultanan yang bersifat spesial, yang di dalamnya terdiri atas beberapa elemen penting baik wujud maupun tak wujud, serta dikelilingi oleh benteng pertahanan (Gambar 11). Pada dasarnya sistem pemerintahan kerajaan terbentuk sebelum Islam masuk ke Buton dan kesultanan setelah Islam masuk. Penyebutan kawasan Benteng Keraton Buton sebagai sebuah kota, disebutkan dalam naskah tradisional Buton yakni kabanti yang berjudul Ajonga Inda Molusa.
Gambar 11 Lanskap Keraton Buton
27 Pada masa kesultanan yang diperkirakan mulai pada tahun 1542, pemerintahan di Buton memiliki dua kelembagaan berbeda yaitu kelembagaan lahiriyah dan kelembagaan batiniyah. Hal ini didasari atas pemikiran bahwa suatu negara diibaratkan oleh tubuh manusia yang akan sempurna bila memiliki jasad dan roh. Kelembagaan lahiriyah (sara ogena) dipimpin oleh sapati sedangkan kelembagaan batiniyah (sara kidina) dipimpin oleh imam mesjid. Kedua sara ini bertanggung jawab kepada sultan. Sultan sendiri mendapat mandat dari siolimbona, semacam dewan legislatif pada sistem pemerintahan kesultanan Buton (Addin et al. 2011a; Addin et al. 2011b; Addin et al. 2011c; Zahari 1977a). Keraton Buton terdiri atas sembilan kampung utama yang memiliki peran penting terhadap kelangsungan pemerintahan. Kampung-kampung tersebut antara lain Barangkatopa, Baluwu, Gundu-Gundu, Dete, Rakia, Melai, Peropa, Gama, dan Siompu (Azizu et al.2011). Perkampungan ini dikelilingi oleh benteng yang disusun dengan menggunakan batu kapur dan direkatkan dengan larutan kapur serta pasir. Benteng tersebut merupakan buah karya masyarakat Buton yang dibangun pada masa Sultan Buton ke-3 bernama La Sangaji dengan gelar Sultan Kaimuddin yang kemudian dijadikan permanen pada masa Sultan Buton ke-4 bernama La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin. Benteng Keraton Buton memiliki enam elemen penting yaitu dinding benteng, lawa (gerbang), baluara (bastion), badili (meriam), lubang pengintaian pada dinding benteng, serta parit pertahanan pada topografi yang datar dan dahulu ditanami tumbuhan beracun, berduri, menimbulkan efek gatal, serta ditempatkan pula hewan-hewan berbisa (Gambar 12).
Gambar 12 Benteng Keraton Buton Panjang benteng 2 740 m dengan tinggi berkisar antara 3-5 m dan luas 23.375 hektar yang menjadikan Benteng Keraton Buton sebagai benteng terluas di dunia. Jumlah gerbang sebanyak 12 dan dan bastion sebanyak 16. Jumlah meriam yang terdapat di sepanjang keliling benteng sebanyak 31 buah dan yang berada di dalam benteng sebanyak 5 buah (Disbudpar Kota Baubau 2013). Rahman et al. (1994) sebelumnya melaporkan bahwa jumlah meriam di sepanjang keliling benteng ada 32 buah yang artinya saat ini terdapat satu lagi meriam yang saat ini berpindah dalam kurun 20 tahun terakhir. Sebelumnya, jumlah meriam di Benteng Keraton Buton dilaporkan sebanyak 46 buah dan bahkan lebih dari 100 tetapi dipindahkan ke beberapa gedung pemerintahan. Keberadaan lubang pengintaian dan parit sebagai salah satu elemen penting benteng sering terlupakan. Beberapa bagian benteng yang pernah dipugar, terlihat mengabaikan keberadaan lubang pengintaian. Untuk parit sendiri, beberapa diantaranya terlihat ditimbun untuk dijadikan jalur sirkulasi manusia.
28 Di dalam benteng terdapat sebuah gundukan bukit berongga yang disebut Bukit Turisina. Di bukit ini beridiri sebuah mesjid yang dikenal dengan nama Mesjid Agung Keraton Buton (Masigi Ogena) yang didirikan tahun 1712 pada masa Sultan Buton ke 19 (Addin et al. 2011d). Dinding mesjid berbahan batu kapur, atap berbentuk jurai, dan puncak berbentuk pelana. Kapasitas mesjid dapat menampung 677 jamaah. Elemen-elemen penting dari mesjid ini antara lain adanya tempayan, bedug, lampu lilin, serambi dan bak penampungan air, 10 buah pintu darurat, pintu imam dan pintu utama, 12 buah jendela, tempat tongkat perangkat mesjid, mihrab, dan dua buah meriam di depan mesjid. Dilihat dari bentuk dan elemennya, ada indikasi bahwa Mesjid Agung Keraton Buton mengalami pengaruh budaya Tiongkok dan Jawa sebab serupa dengan bentuk awal mesjid-mesjid kuno di Jawa pada abad 15-16 akibat pengaruh pertukangan Tiongkok (Handinoto dan Hartono 2007). Selain sebagai tempat shalat, Mesjid Agung Keraton Buton juga berfungsi sebagai tempat pengangkatan sultan, perundingan/musyawarah, perayaan hari-hari besar islam, mengumumkan masalah penting negeri, tempat menginap musafir, tempat pengajaran islamiah, tempat menyembayangkan jenazah, pemakaman pembesar negeri, dan juga ziarah (Rahman et al. 1994). Di sebelah mesjid, terdapat tiang bendera kesultanan yang disebut kasulana tombi. Tiang bendera ini digunakan untuk mengibarkan bendera Kesultanan Buton, longa-longa. Kayu yang digunakan berasal dari Negeri Siam, dengan tinggi 21 m dan diameter 25-70 cm. Tiang bendera ini pernah rusak pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-30 dan diperbaiki pada masa Sultan Buton ke-31 (Pratama et al. 2013; Rahman et al. 1994). Perbedaan Kesultanan Buton dengan kesultanan lainnya ialah bahwa setiap sultan memiliki istananya masing-masing karena istana tidak diwariskan secara turun temurun. Disebut kamali jika kediaman sultan tersebut didiami oleh permaisuri yang juga turut dilantik ketika sang suami dilantik sebagai sultan (Mulku AM 13 Februari 2014, komunikasi pribadi). Di dalam Benteng Keraton terdapat dua buah kamali yaitu Kamali Bata, Istana Sultan Buton ke-32 dan Kamali Kara, Istana Sultan Buton ke-37 (Gambar 13). Perlu diluruskan pula bahwa Kamali Kara merupakan istana Sultan Muhammad Umar dengan gelar Sultan Kaimuddin IV. Tamburaka (2010) mereproduksi gambar Kamali Bata dari buku Die Sunda–Expedition des Vereins für Geographie und Statistik zu Frankfurt am Main karya Elbert. Tamburaka menyatakan bahwa Kamali Bata adalah istana Sultan Murhum dengan gelar Sultan Kaimuddin. Kesalahpahaman ini kemungkinan muncul karena adanya kemiripan gelar. Dalam bukunya, Elbert (1911) melakukan perjalanan ke Buton pada tahun 1909. Tahun 1909 sangat dekat dengan periode jabatan Sultan Muhammad Umar menjabat yakni pada tahun 1885-1904, bukan pada saat masa pemerintahan Sultan Murhum 1491-1537. Beberapa situs peninggalan Kerajaan dan Kesultanan Buton dalam lanskap Keraton Buton antara lain Batu Popaua (batu pelantikan/yoni), Batu Yigandangi (lingga), Batu Peropa, Batu Baluwu, Batu Kenia Sumpa, situs Pesantren Kenepulu Bula, Jangkar VOC, Baruga Wolio, galampa, Goa Arupalakka, beberapa makam raja, sultan, dan perangkatnya, serta rumah masyarakat dengan gaya arsitektur tradisional Buton. Kebudayaan intangible yang masih terpelihara dengan baik di lanskap Benteng Keraton antara lain ritual pengrajin emas dan perak yang menurut kisah didatangkan oleh Raja Buton ke-4 (Zahari 1977a; Rabani 2010),
29 pengrajin pakaian adat, penenun tradisional, Bahasa Wolio, kuliner tradisional, seni, serta adat dan nilai-nilai luhur. Selain itu di lingkungan keraton sampai saat ini hari-hari resmi zaman kesultanan yang diadatkan juga masih terpelihara seperti pakandeana anana maelu pada 10 Muharram, gorana oputa pada 12 malam Raubiul Awal hingga malam ke 30, haroa rajabu pada jumat awal bulan Rajab, sisifu-sya-a-bani pada 14 atau 15 bulan Sya’ban, Ramadhan, rara-e-ya mpu 1 Syawal, dan rara-e-ya mpu 10 Dzulhidjah (Zahari 1977c).
Gambar 13 Kamali Kara (kiri) dan Kamali Bata (Kanan) Baadia dan Sambali Adanya permukiman Baadia tidak dapat dipisahkan dengan Sultan Buton ke-29, La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin. Baadia berasal dari bahasa arab yang berarti hutan, karena pada awal pembukaanya masih merupakan hutan. (Zahari 1977c). Baadia merupakan kompleks permukiman para pembesar (Gambar 14). Sebelumnya, permukiman pembesar bersifat sementara (Rahman et al. 1994). Informasi lainnya pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-29, terjadi kebakaran besar dalam Benteng Keraton sehingga keluarga keraton ada yang menetap di luar kawasan keraton salah satunya Baadia (Sudjiton et al. 2012). Riwayat lain menyebutkan permukiman Baadia dibuka akibat perkembangan penduduk di dalam keraton dan sekitarnya semakin meningkat (Zahari 1977c). Sebagai salah satu permukiman tua di Kota Baubau dapat dilihat dari objek sejarah yang ada di Baadia. Benteng Baadia berada pada ketinggian ± 120 mdpl. Ukurannya 7 kali lebih kecil dari Benteng Keraton. Elemen penting pada Benteng Baadia antara lain dinding benteng, 3 buah pintu, 3 buah bastion, 4 buah meriam, 19 lubang pengintaian, dan bekas kediaman Sultan Buton ke-29. Dari 19 buah lubang pengintaian, hanya 16 buah lubang pengintaian yang dapat diakses langsung. Lubang pengintaian di Benteng Baadia sepertinya memiliki makna tersendiri yang perlu dikaji khusus sebab meskipun posisinya bersampingan dengan lubang pengintaian lain, tetapi derajat pandangnya berbeda. Dari 16 lubang pandang tersebut hanya 8 buah lubang yang arah pandangnya masih baik. Sedangkan 8 lainnya terhalangi oleh dua buah rumah yang berada tidak jauh dari benteng (Gambar 15). Sebelumnya, di dalam Benteng Baadia ditemukan banyak fragmen keramik yang mengiindikasikan di dalam benteng pernah didirikan rumah tinggal (Rahman et al. 1994). Salah satu yang dapat terlihat di dalam
30 Benteng Baadia yaitu bekas kediaman Sultan Buton ke-29 (Saidu LOM 9 Februari 2014, komunikasi pribadi).
Gambar 14 Lanskap Baadia dan Sambali Tidak jauh dari Benteng Baadia terdapat liang pertapaan Sultan Buton ke-29 berupa bongkahan batu kapur besar yang terdiri atas tiga buah cekungan. Liang pertapaan ini digunakan beliau untuk berdiam diri, menenangkan diri, beristirahat, dan juga berpikir. Sultan La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin bukan hanya seorang pemimpin tetapi juga seorang filsuf. Pada masa pemerintahannya perkembangan agama Islam sangat menonjol. Ia mengarang buku-buku agama dalam bahasa Arab, Melayu-Jawi, dan bahasa daerah disaat pada masa itu orangorang lebih banyak membudayakan tradisi lisan (Zahari 1977c). Kondisi liang pertapaan ini sangat memprihatinkan sebab benar-benar tepat di atas liang ini didirikan sebuah vila (dijadikan landasan bangunan). Sultan Buton ke-29 juga mendirikan mesjid dan kolam air di Baadia. Mesjid tersebut bernama Mesjid Quba. Mesjid Quba dinamai demikian karena adanya kolam air untuk berwudhu. Mesjid ini hasil renovasi dari sebuah langgar yang dulu telah ada (Rahman et al. 1994). Dahulu di Buton hanya ada tiga buah mesjid yaitu Mesjid Agung Keraton Buton, Mesjid Sorawolio, dan Mesjid Quba. Bangunan ibadah lain selain tiga buah mesjid yang telah disebutkan sebelumnya disebut langgar. Ketiga mesjid ini mengadaptasi tiga mesjid utama di Arab yakni Masjidil Haram, Masjid An-Nabawi, dan Masjidil Aqsa (Suluhu 12 Februari 2014, komunikasi pribadi). Di sekitar Mesjid Quba juga terdapat makam Keluarga Baadia. Pada sisi selatan mesjid, terdapat makam Sultan La Ode Muhammad Idrus Kaimuddin. Makam ini tidak memiliki nisan sebagaimana makam lainnya karena nisannya dianggap dinding Mesjid Quba (Saidu LOM 22 Mei 2014, komunikasi pribadi).
31
Gambar 15 Benteng Baadia Di Baadia terdapat dua buah kamali atau istana sultan (Gambar 16). Dua buah kamali ini bernama Kamali Baadia Masae dan Kamali Baadia Bau namun sering digeneralisasi dengan nama Kamali Baadia, milik Sultan Buton ke-38 (Mulku AM 13 Februari 2014, komunikasi pribadi). Saat ini Kamali Baadia Bau dijadikan sebuah museum (Pusat Kebudayaan Wolio) yang menampilkan perlengkapan adat Kesultanan Buton (Mulyadi 2010). Kedua kamali ini memiliki konstruksi sama dengan rumah tradisional Buton lainnya meskipun secara wujud terlihat berbeda bentuknya (Rahman et al.1994).
Gambar 16 Kamali Baadia Bau (kiri) dan Kamali Baadia Masae (kanan) Objek-objek sejarah lainnya antara lain rumah seorang bonto ogena. Rumah ini lebih dikenal dengan rumah naskah karena di dalamnya tersimpan naskahnaskah peninggalan Kesultanan Buton baik berupa buku, surat-surat, dan dokumen lainnya termasuk karya-karya Sultan Buton ke-29 yang hampir sebagian berusia lebih dari seratus tahun. Naskah-naskah tersebut berjumlah 301 buah naskah (Niempe 2012). Selain rumah naskah juga dapat ditemukan rumah Lakina Kaledupa yang dahulu menjabat sebagai Raja Barata Kaledupa dan Rumah Kepala Distrik Gu yang usianya ± 100 tahun. Tercatat setidaknya ada 25 rumah tradisional di dalam Baadia dan sebagian diantaranya berusia lebih dari 50 tahun. Selain objek berupa rumah, di Baadia juga terdapat bak air peninggalan zaman kolonial pada masa pemerintahan Sultan Buton ke 38. Bak air tersebut menampung air dari Waborobo untuk kebutuhan masyarakat keraton dan sekitarnya (Zahari 1977b). Sambali dalam Bahasa Wolio maknanya adalah luar sehingga dapat diartikan permukiman Sambali adalah permukiman di luar karena posisinya
32 sendiri berada di luar benteng. Pada zaman dulu, di sambali inilah hidup beberapa pengrajin untuk kebutuhan keraton seperti penenun dan pande kau. Pande kau merupakan tukang kayu alias arsiteknya orang Wolio. Keahlian mereka diwariskan secara turun temurun. Pada zaman dahulu, mereka memperoleh kepercayaan dari kesultanan karena keahliannya tersebut dalam membangun rumah bagi elit keraton. Peran mereka tidak hanya sebatas membangun rumah tetapi dari pemilihan kayu terbaik, lokasi terbaik, ukuran, hingga menjadi sebuah rumah. Perbedaan pande kau di Sambali dengan tukang kayu lainnya ialah mereka memahami prinsip dan nilai dalam pembangunan rumah. Misalnya rumah tradisional Buton tidak boleh menggunakan kayu yang terbalik. Artinya bagian atas pohon harus terletak di bagian atas dan bagian bawah pohon harus terletak di bagian bawah juga, begitupun bagian depan dan belakangnya. Itulah sebabnya jika melihat dari luar dinding rumah Buton terpasang vertikal, bukan horizontal. Ada dua hal yang melatar belakangi hal tersebut. Pertama, rumah diibaratkan sebagai tubuh manusia. Jika salah menempatkan organ tubuh, hasilnya tentu akan cacat dan menimbulkan kesusahan. Kedua, sebagai bentuk penghormatan kepada pohon tersebut. Pohon tersebut rela mati untuk kebutuhan hidup manusia sehingga harus ditempatkan sebaik-baiknya sebagaimana saat ia tumbuh. Dengan demikian ketika rumah tersebut rampung, dianggap ikut hidup sebagaimana sebuah pohon yang tumbuh subur (Asri 10 Februari 2014, komunikasi pribadi). Prinsip penting lain yaitu lokasi rumah dalam hal ini orientasi. Selama ini banyak yang berpikir arah orientasi rumah harus selalu menghadap timur. Tetapi prinsip itu tidak selalu paten. Ada prinsip penting lainnya yang dipertimbangkan yaitu topografi. Jika melihat beberapa bangunan tua di keraton dan sekitarnya, pasti akan sulit ditemukan pintu yang menghadap tebing. Hal ini disebabkan nenek moyang masyarakat Buton percaya bahwa rezeki itu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Bangunan yang menyampingi tebing memiliki makna filosofis menangkap rezeki dari tempat tinggi dan menghindarkannya jatuh ke tempat yang rendah. Jika bangunan menghadap tebing atau membelakangi tebing, maka rezeki dianggap masuk dari pintu depan kemudian tumpah ke pintu belakang (Saim 10 Februari 2014, komunikasi pribadi). Dahulu, satuan ukur pembuatan rumah mengacu kepada ukuran tubuh si pemilik. Misalnya depa, hasta, langkah, tinggi, lebar ketika membuka mulut, dan lainnya. Ketam tradisional yang digunakan untuk memperhalus kayu terdiri dari empat ukuran, sehingga menghasilkan tekstur yang sempurna (Asri 10 Februari 2014 komunikasi pribadi). Suleman (2010) dalam penelitiannya menggolongkan jenis rumah adat Buton berdasarkan ukurannya menjadi tiga yakni dua petak, tiga petak, dan lima petak. Artinya besar ukuran rumah bukanlah hal yang paten sebab yang paten adalah satuan ukur dan simbol-simbol pada rumah tersebut. Selain mengetahui prinsip-prinsip penting bangunan, pande kau juga mengetahui tanaman apa saja yang boleh dan tidak boleh ditanam disekitar rumah. Misalnya, halaman rumah harus kosong dan satu-satunya tanaman yang dapat tumbuh yaitu delima karena dianggap buah dari surga sedangkan tanaman pepaya jika memang merasa perlu ditanam harus ditempatkan di belakang rumah (Saim 10 Februari 2014, komunikasi pribadi). Ketika berkeliling di keraton dan sekitarnya, memang banyak rumah yang menanam delima di depan rumah mereka. Keistimewaan tanaman delima ini juga terlihat dari beberapa corak tenunan Buton
33 yang menggunakan nama delima sebagai nama coraknya. Pada zaman dulu masyarakat Buton, selain buah delima turut pula dimanfaatkan daun delima untuk membersihkan saluran persalinan (Mulku AM 10 Februari 2014, komunikasi pribadi). Prinsip mengenai penataan tanaman pada halaman rumah Buton menarik untuk dikaji lebih lanjut karena terdapat beberapa prinsip yang mirip dengan kebudayaan Tiongkok (Yi 2013), terlebih dalam sejarah Buton diriwayatkan bahwa Buton memiliki hubungan dengan Tiongkok (Zahari 1977a; Zuhdi 2010). Selain aturan mengenai tanaman, tempayan berisi air juga ditempatkan di halaman samping tangga menuju pintu masuk, orang Buton zaman dulu memiliki kebiasaan ketika akan masuk rumah meskipun tidak telanjang kaki, tetap harus mencuci kaki dulu baru kemudian boleh masuk rumah. Fungsi tempayan berisi air ini juga digunakan untuk berwudhu sebelum ke mesjid ataupun ritual penyiraman usai melayat. Benteng Sorawolio Sorawolio bermakna pendamping Wolio (Gambar 17). Benteng Sorawolio terdiri atas dua benteng yang terpisah sekitar 50 m (Gambar 18). Di antara kedua benteng ini terdapat bangunan bekas Mesjid Sorawolio. Ukuran Benteng Sorawolio sepuluh kali lebih kecil dari Benteng Keraton Buton (Rahman et al. 1994). Dahulu di Sorawolio terdapat permukiman namun ditinggalkan oleh penduduknya (Nirwati WO 13 Februari 2014, komunikasi pribadi). Permukiman di Sorawolio ditinggalkan karena seringnya terjadi kebakaran. Rumah di Sorawolio maksimal hanya bisa berdiri 7 buah rumah dan jika lebih dari itu permukiman di Sorawolio akan selalu terbakar habis (Saidu LOM 25 Maret 2014, komunikasi pribadi).
Gambar 17 Lanskap Benteng Sorawolio Perkampungan di Sorawolio berkembang pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-7. Pada masa itu diangkat seorang kepala untuk mengawasi kampung dengan gelar Lakina Sorawolio, pembangunan mesjid dengan perangkatnya yang
34 terdiri dari imam, khatib, dan bilal. Untuk jaminan keamanan juga dibangun sebuah benteng pertahanan yang dikenal dengan nama Kotana Sorawolio (Zahari 1977b). Benteng ini juga menjadi saksi bisu pertempuran Kesultanan Buton dan VOC pada tahun 1637. Saat itu digambarkan bahwa Benteng Sorawolio sebagai benteng masih dikerjakan dan terletak di seberang keraton (Schoorl 2003).
Gambar 18 Benteng Sorawolio 1 (kiri), Mesjid Sorawolio (tengah), dan Benteng Sorawolio 2 (kanan) Posisi Benteng Sorawolio berada di timur Benteng Keraton Buton yang dipisahkan oleh lembah sedalam ± 80-90 m (Disbudpar Kota Baubau 2013). Elemen penting pada benteng Sorawolio antara lain dinding benteng, gerbang, bastion, meriam, lubang berbentuk persegi, lubang pengintaian, dan parit. Pada situs Benteng Sorawolio sebelah utara terdapat 2 bastion, 3 lubang pengintaian, dan 5 meriam yang salah satunya tertimbun tanah sehingga tidak begitu terlihat jika tidak diperhatikan dengan seksama. Situs Benteng Sorawolio bagian selatan, terdiri atas 1 buah gerbang, 1 bastion, 23 lubang pengintaian, 3 lubang berbentuk persegi (kemungkinan lubang untuk meriam), dan 3 buah meriam yang berjatuhan (2 berada di timur dan 1 berada di lembah bagian barat). Waborobo Waborobo merupakan sebuah perkampungan tua yang berada di selatan Baadia (Gambar 19). Waborobo dalam bahasa setempat bermakna kegaduhan. Hal ini erat kaitannya dengan asal usul perkampungan Waborobo dan juga pesta adat masyarakat setempat. Dahulu Waborobo merupakan 4 buah limbo (kampung) maka dari itu di Waborobo dalam struktur lembaga adat setempat memiliki 4 orang pangalasa (ketua adat) dan 2 orang wati (pengawas). Perkampungan awal berada di selatan Waborobo saat ini, yang ditandai dengan adanya Batu Waborobo (Rajimin 23 Maret 2014, komunikasi pribadi). Kepedulian terhadap situs tersebut sangat rendah karena masyarakat setempat merasa kebudayaan mereka selama ini diabaikan yang mengakibatkan situs tersebut keberadaanya tidak dianggap ada dan tidak ada upaya maupun perasaan bangga memilikinya (Awal S 23 Maret 2014, komunikasi pribadi). Pesta adat di kampung Waborobo bernama katambeade yang dilakukan setiap usai panen selama 40 hari 40 malam mengelilingi 4 kampung dan menceritakan kedatangan mia patamiana alias si empat orang dari Johor yang memiliki pengaruh terhadap cikal bakal kelahiran Kerajaan Buton. Katambeade artinya seseorang yang mengikat dagu. Rangkaian acaranya cukup banyak seperti olahraga tradisional, pertunjukan seni tari, dan pekandekandea (makan-makan). Pesta adat ini terakhir kali dilaksanakan pada tahun 1983 dan tidak dilaksanakan
35 lagi karena adanya permasalahan internal kampung antara pemuda dan tetua dalam upaya pelestarian budaya (Sumardi 23 Maret 2014, komunikasi pribadi). Tempat bersejarah di Waborobo antara lain Hutan Kaombo Waborobo. Sistem kepemilikan tanah pada zaman kesultanan Buton dibagi menjadi enam yaitu turakia (hak pakai), katampai (hak milik), tanah perkuburan, tanah dalam benteng keraton, tanah bebas, dan kaombo. Kaombo dewasa ini dikenal dengan hutan larangan meskipun pada dasarnya fungsinya bukan sebatas fungsi ekologis tapi juga sebagai pertahanan terakhir (Zahari 1977a). Di Waborobo, Hutan Kaombo masih terjaga dengan baik dan di atur oleh adat setempat.
Gambar 19 Lanskap Waborobo Air Matapu merupakan mata air yang berada di Waborobo. Pada masa pemerintahan Sultan Buton ke-37, dibuat rencana pembangunan pengairan air bersih dari air Matapu ke keraton karena adanya kesulitan masyarakat keraton memperoleh kebutuhan air minum. Untuk memenuhi kebutuhan air minum, masyarakat keraton harus berjalan sekitar 5 km untuk mengambil air di kali. Rencana ini terealisasi pada masa Sultan Buton ke-38 (Zahari 1977c). Air Matapu terhubung dengan situs bak air kolonial di Baadia. Saat ini kondisi Air Matapu masih baik dan masih dimanfaatkan oleh masyarakat Waborobo (Gambar 20). Satu hal lagi yang unik di perkampungan Waborobo adalah adanya komunitas Labuantae. Meski hanya dibatasi pagar, Waborobo dan Labuantae adalah dua etnis dengan kebudayaan yang berbeda. Masyarakat Labuantae merupakan etnis Katobengke yang tinggal bersampingan dengan komunitas Waborobo. Bahasa mereka juga berbeda dan tentunya kepala adat mereka berbeda. Jika Waborobo dipimpin oleh 4 orang kepala adat yang disebut pangalasa, komunitas Labuantae dipimpin oleh kepala adat yang disebut parabela dari Katobengke yang strukturnya juga tidak sama.
36
Gambar 20 Air Matapu Lowu-Lowu dan Kolese Lowu-Lowu merupakan salah satu kadie dalam sistem pemerintahan kesultanan Buton (Gambar 21). Asal-usul Lowu-Lowu diriwayatkan bahwa pada masa pemerintahan Raja Buton ke-5, terjalin hubungan kekerabatan yang erat sekali. Kerajaan Luwu memberikan petani untuk mengajarkan tata cara bercocok tanam kepada Buton dan mereka menetap di suatu tempat yang kemudian tempat itu dikenal dengan nama Luwu-Luwu atau Lowu-Lowu (Zahari 1977a). Lokasi Lowu-Lowu sangat strategis karena berdekatan dengan Baruta (selat sempit di perairan Buton), berhadapan langsung dengan Pulau Muna di sebelah barat, dan pusat Kota Baubau di bagian barat dayanya.
Gambar 21 Lanskap Lowu-Lowu dan Kolese
37 Saat ini Lowu-Lowu terbagi menjadi dua kelurahan yaitu Kelurahan LowuLowu dan Kelurahan Kolese. Objek bersejarah pada lanskap Lowu-Lowu dan Kolese yaitu adanya benteng Lowu-Lowu. Keberadaan benteng ini memprihatinkan karena adanya oknum yang mendirikan kafe dan memiliki sertifikat tanah kepemilikan pada struktur benteng. Bahkan oknum tersebut menutup-nutupi informasi bahwa ada struktur benteng di dalam (Gambar 22). Tidak jauh dari Benteng Lowu-Lowu terdapat sebuah goa yang bernama Goa Kolese. Menurut penuturan masyarakat setempat, pada zaman dulu goa tersebut berfungsi untuk melindungi diri dari serangan musuh. Goa Kolese berada di bawah permukaan tanah dan terhubung dengan mulut goa lainnya tetapi masyarakat setempat kini menutupnya karena menjadi tempat persembunyian hama babi (Mustafa 27 Februari 2014, komunikasi pribadi).
Gambar 22 Benteng Lowu-Lowu Liwuto Makasu serta perairan Selat dan Teluk Buton Liwuto Makasu merupakan sebuah pulau kecil di perairan selatan Selat dan Teluk Buton yang berada di wilayah administratif Kota Baubau (Gambar 23). Saat ini Liwuto Makasu dikenal dengan nama Pulau Makasar. Liwuto Makasu dan perairan Selat Buton menjadi saksi penting dari beberapa peristiwa sejarah yang menunjukkan kekhasan Kesultanan Buton. Di Liwuto Makasu, terdapat makam Sultan Buton ke-8, Sultan Mardan Ali. Makam tersebut bukan hanya sekedar makam sebab menjadi lambang tegaknya keadilan pada masa Kesultanan Buton. Sultan Mardan Ali menjadi salah satu sultan yang dihukum mati karena dianggap lalai dalam menjalankan amanah (Zahari 1977b). Sejarah lain dari Liwuto Makasu dan perairan Selat Buton yaitu saksi bisu peristiwa perang antara Kesultanan Buton dan Kerajaan Gowa. Perang antara dua kerajaan Sulawesi ini berlangsung pada tanggal 1 Januari 1667 pagi hari. Perang berakhir menjelang malam ketika panglima perang Kerajaan Gowa, Karaeng Bonto Marannu menyatakan menyerah. Oleh Kesultanan Buton, 5 500 pasukan Kerajaan Gowa yang menjadi tawanan ditempatkan di Liwuto Makasu yang secara bertahap dikembalikan ke negerinya. Diriwayatkan beberapa orang tawanan tidak kembali dan memilih menetap di Liwuto Makasu seperti Daeng Mandangi, Daeng Madongi, dan Karaeng Gasala (Addin et al.2011f). Perairan Selat dan Teluk Buton bukan hanya menyimpan catatan perang tetapi juga keindahan alam (Gambar 24). J.P. Coen dalam suratnya kepada Bewindhebber di Banten pada 1 Januari 1614 mengomentari pelabuhan alam di Baubau dengan mnengatakan “hier is een zeer schoone reede en de baye” yang bermakna “di sini suatu pelabuhan dan teluk yang sangat indah” (Schoorl 2003; Zuhdi 2010). Alfred Russel Wallace ketika akan menuju Kepulauan Aru juga mengomentari view dari kapalnya pada tanggal 22 Desember 1856. Ia mengatakan
38
Gambar 23 Lanskap Liwuto Makasu serta Perairan Selat dan Teluk Buton “laut kembali tenang, perahu melewati Buton sebuah pulau besar, berbukit-bukit, berhutan lebat, dan padat penduduknya” (Wallace 2009). Blair bersaudara ketika melakukan ekspedisi ke Indonesia pada tahun 1972 dalam rangka membuat film dokumenter Ring of Fire juga singah ke Baubau. Mereka menuliskan dalam riwayat perjalannya dengan mengatakan “Baubau kota utama kota itu, ternyata merupakan sekumpulan rumah panggung putih yang terawat, berdiri di bawah perbukitan berhutan yang berselubung kabut. Bahkan ada galangan berkeriatkeriut tempat Sinar Surya dapat ditambatkan” (Blair dan Blair 2012).
Gambar 24 Perairan Selat dan Teluk Buton dari Liwuto Makasu Perairan Selat dan Teluk Buton juga menjadi bukti bahwa Buton merupakan kerajaan maritim. Beberapa kapal tradisional Buton seperti sope, koli-koli, jarangka, dan bangka/lambo/boti pernah berlalu-lalang di perairan ini bersama kapal-kapal pedagang lain dari berbagai penjuru negeri (saat ini selain koli-koli dan jarangka, kapal tradisional Buton lainnya sudah jarang terlihat lagi). Berbagai produk budaya di Buton selalu dikaitkan dengan lautan. Bahkan ekonomi Buton dari dulu hingga kini digerakkan dari perairan (Makmun 2011; Malihu 2011; Hamid 2011; Zuhdi 2010).
39 Budaya intangible di Liwuto Makasu yang masih terpelihara dengan baik antara lain profesi nelayan tradisional, penenun tradisional, petani rumput laut, dan ritual tuturangia andala. Ritual tuturangiana andala yaitu ritual masyarakat Liwuto Makasu untuk memberi makan penguasa laut pada titik-titik yang diangggap sakral (Addin et al. 2011f). Ritual bahari pada di beberapa tempat relatif bertujuan sama meskipun pelaksanaanya berbeda. Demikian pula di Liwuto Makasu, yang secara umum pelaksanaan ritual tersebut mengungkapkan keyakinan, rasa syukur, permohonan keselamatan, dan konservasi lingkungan (Sartini 2012) Lipu Katobengke dan sekitarnya Lanskap Lipu Katobengke terletak di Kelurahan Lipu dan Kelurahan Katobengke (Gambar 25). Masyarakat yang mendiami kelurahan ini mayoritas etnis Katobengke, salah satu etnis dengan jumlah yang cukup besar di wilayah administratif Kota Baubau. Mereka memiliki eksistensi tersendiri terhadap Kesultanan Buton selama ratusan tahun. Peran mereka yang utama yaitu sebagai prajurit perang kesultanan (Tahara 2012). Selain sebagai prajurit sejak turuntemurun, mereka juga berperan menyediakan kebutuhan akan produk berbahan dasar tanah liat.
Gambar 25 Lanskap Lipu Katobengke dan sekitarnya Kebudayaan etnis Katobengke berbeda dengan etnis lainnya di Buton. Struktur adatnya dipimpin oleh parabela dan dibantu oleh dua orang waci, sedangkan struktur spiritual ada imam dan moji. Parabela dipilih dan dicalonkan oleh mpulu howafuluno. Permukiman awal mereka berada di kawasan Lipu Morikana yang berarti kampung tua. Di sana terdapat makam Parabela Mancuana (parabela yang paling diutamakan/dituakan). Mereka meninggalkan Lipu Morikana karena adanya musibah kebakaran. Meskipun telah meninggalkan
40 perkampungan lama mereka, kegiatan adat hingga saat ini rutin dilaksanakan di Lipu Morikana (Zade L 11 Mei 2014, komunikasi pribadi). Objek-objek sejarah di lanskap Lipu Katobengke antara lain permukiman penduduk yang mayoritas masih mempertahankan arsitektur tradisional mereka, kerajinan gerabah, dan Batu Ajara (Gambar 26). Batu Ajara merupakan menhir di zaman megalitik yang digunakan pada saat ritual keagamaan dan pemujaan yang terletak di halaman SD Negeri 1 Katobengke berdekatan dengan sebuah pohon asam besar (Disbudpar Kota Baubau 2013). Situs ini sudah jarang digunakan untuk ritual. Kondisinya sendiri bisa dikatakan tidak terawat dan terlalu berdekatan dengan dinding bangunan sekolah. Terlihat pada permukaan situs terkena tumpahan cat. Tidak jauh dari Kelurahan Lipu dan Katobengke, terdapat pengrajin perlengkapan dari kuningan yang dulu digunakan untuk keperluan adat zaman Kesultanan. Pengrajin kuningan bukan berasal dari etnis Katobengke melainkan etnis Wolio tetapi karena lokasinya yang dekat dan juga perannya sejak zaman kesultanan untuk memenuhi kebutuhan akan kuningan, maka pengrajin kuningan masuk dalam lanskap Lipu Katobengke. Pengrajin kuningan keahliannya diwariskan secara turun-temurun dan hanya kaum mereka yang diperkenankan membuatnya. Saat ini hanya tersisa satu pengrajin yang mengusahakan kerajinan kuningan yang terletak di daerah Pimpi (Sarmin 4 Maret 2014, komunikasi pribadi).
Gambar 26 Pengrajin gerabah (kiri), permukiman tradisional (tengah) dan situs megalitik Batu Ajara (kanan) Wajo Sejarah permukiman bernama Wajo di Kota Baubau terjadi karena adanya kontak budaya antara Kerajaan Buton dan Bone (Gambar 27). Dahulu penghuni wilayah Wajo di Baubau adalah masyarakat daerah bernama Wajo di Bone yang melakukan pelarian ketika menghindari konflik Kerajaan Gowa pada abad ke-17 (Rabani 2010). Pada lanskap Wajo terdapat beberapa bangunan tua. Tidak jauh dari sisi utara Benteng Keraton Buton terdapat dua rumah tradisional yaitu rumah bonto ogena dan rumah Kepala Distrik Mawasangka pada masa Kesultanan Buton. Kedua rumah ini terlihat masih menerapkan prinsip-prinsip spasial yang diungkapkan oleh pande kau di Sambali yaitu menyampingi tebing. Selain dua rumah bergaya arsitektur tradisional, di Wajo juga terdapat dua bangunan bergaya kolonial yaitu masih rumah milik bonto ogena dan juga bekas gedung SKOPMA (Gambar 28). Rumah bonto ogena merupakan salah satu rumah
41 yang didirikan pada era kolonial ketika diperbolehkan membangun di Baubau yaitu pada awal tahun 1906 (Saidu LOM 15 April 2014, komunikasi pribadi). Di
Gambar 27 Lanskap Wajo seberang rumah bonto ogena terdapat gedung SKOPMA (Sekolah Koperasi Menangah Atas), yang selanjutnya digunakan untuk menjadi Sekolah Menengah Ekonomi Atas, Sekolah Pendidikan Pertanian, dan kini menjadi Kantor Lembaga Adat (Disbudpar Kota Baubau 2013). Gedung ini didirikan sekitar tahun 1950an. Awalnya didirikan untuk memenuhi kebutuhan akan gedung serbaguna di Kota Baubau (Saidu LOM 15 April 2014, komunikasi pribadi).
Gambar 28 Rumah bonto ogena (kiri) dan Gedung SKOPMA (kanan)
42 Loji-Kotamara dan sekitarnya Loji merupakan nama sebuah kampung yang berada di pesisir pantai Kota Baubau (Gambar 29). Dahulu sebelum menjadi perkampungan, terdapat dua buah loji (gudang) yang didirikan oleh Belanda. Pembangunan dua buah loji tersebut tertuang pada perjanjian antara Belanda dan Sultan Buton ke-4 pada tahun 1613 (Zahari 1977a). Dahulu loji bukan hanya sebagai gudang tetapi juga benteng pertahanan pantai di samping Sungai Baubau yang dijanjikan oleh Belanda pada tahun 1653 beserta 13 orang utusan Belanda untuk menjadi pengawal sultan. Satu dari dua buah loji yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan mesiu di Loji dihancurkan oleh Belanda. Hal ini dikarenakan tindakan kesultanan yang turut membunuh 13 orang pengawal sultan sebelum pihak kesultanan mengeksekusi mati Sultan Buton ke-6 yang dianggap lalai menjalankan amanah. Dari perselisihan antara Belanda dan Kesultanan Buton tersebut lahir sebuah ungkapan yakni kata-mara yang menjadi awal penyebutan kawasan di bawah permukiman Loji saat ini sebagai Kotamara (Zahari 1977b).
Gambar 29 Lanskap Loji-Kotamara dan sekitarnya Kawasan Loji-Kotamara berkembang menjadi permukiman diperkirakan terjadi pada awal abad ke-19 karena adanya kebakaran besar dalam Benteng Keraton. Di Loji terdapat beberapa objek bersejarah seperti beberapa rumah tua di Loji (Gambar 30), mesjid Loji, Sumur Tua Wasintalalo, dan sebuah meriam. Terdapat pula makam keluarga besar Loji yang memiliki peran di zaman Kesultanan Buton seperti Sultan Buton ke-33, kapitalau terakhir, dan sapati. Masih bisa dijumpai pula beberapa rumah yang berusia lebih dari 50 tahun di daerah ini dan juga Mesjid Tua Loji yang baru saja dipugar oleh masyarakat setempat. Di Kotamara terdapat objek sejarah lainnya yaitu dua buah meriam (salah satunya berada di Pasar Wameo) dan Batu Poaro. Batu Poaro merupakan sebuah batu karang yang memiliki memoar bagi masyarakat Buton karena dijadikan
43 monumen masuknya ajaran agama Islam di Buton yang dibawa oleh Syekh Abdul Wahid. Sayangnya kondisi Batu Poaro saat ini bisa dikatakan nyaris rusak akibat pembangunan yang tidak memerhatikan objek sejarah. Batu Poaro diapit oleh dua tempat yaitu Islamic Center dan Pasar Wameo, tetapi perencanaanya diduga kurang tepat sehingga Batu Poaro bukan hanya menjadi sulit terlihat karena kondisinya selalu terendam air tapi juga ditutupi limbah lautan. Padahal Batu Poaro sendiri memiliki keterikatan dengan hari jadi Kota Baubau yang diambil dari momentum ketika Sultan Buton ke-1 menganut agama Islam. Air di Batu Poaro juga digunakan dalam budaya Buton yaitu posuo. Selain air Batu Poaro pada lanskap Loji-Kotamara dan sekitarnya juga terdapat Mata Air Kanakea yang digunakan untuk memandikan peserta posuo. Posuo merupakan prosesi upacara peralihan status dari seorang kabuabua (gadis remaja) menjadi kalambe (gadis dewasa) berdasarkan pandangan adat bukan berdasarkan psikologi perkembangan, melalui pendidikan karakter selama 8 hari 8 malam (Wahidin 2011). Di sekitar Mata Air Kanakea juga terdapat sebuah bangunan tua yang kondisinya sebagian rusak. Rumah tersebut selama ini dikenal sebagai rumah kenepulu tetapi sebelum ditinggali oleh kenepulu rumah tersebut merupakan kamali Sultan Buton ke-33, ayah sang kenepulu (Razinuddin LM 17 Februari 2014, komunikasi pribadi).
Gambar 30 Tiga buah rumah tua di Loji Izin pembukaan lahan perkebunan kelapa di Tampunabale dan Pulau Tobea kepada Belanda oleh Kesultanan Buton diberikan pada tahun 1929 di masa pemerintahan Sultan Buton ke-37 (Makmun 2011). Jejak sejarah perkebunan tersebut meski tidak berada di Kota Baubau, dapat ditemui di daerah Kaobula. Di sana terdapat rumah onderneming kelapa di Tamponabale pada zaman kolonial. Rumah tersebut desainnya berasal dari Australia termasuk beberapa materialnya yaitu kaca berwarna-warni. Oleh sebab itu, bangunan ini pada zaman dulu disebut banua tonde (rumah dari kaca) oleh masyarakat Kota Baubau (Saidu LOM 15 April 2014, komunikasi pribadi). Di Kaubula juga terdapat dua buah meriam di Mesjid Kaobula. Lanskap Ciacia dan Kaisabu Lanskap Ciacia dan Kaisabu terletak di Kecamatan Sorawolio yang terdiri atas empat kelurahan (Gambar 31). Masing-masing kelurahan memiliki perangkat adat masing-masing. Parabela merupakan kepala adat, moji sebagai pengatur hukum, pande suka mengatur musim untuk membuka lahan, dan waci bertugas
44 sebagai penasehat bila ada masalah. Kebudayaan intangible lebih banyak ditemukan di lanskap ini. Seperti ritual mataa’ dan bongkana tao yang merupakan ritual pertanian, sampua atau pingitan selama delapan hari, acara pernikahan, kelahiran, sunatan, dan kematian. Kesenian yang dapat ditemukan antara lain permainan raga, gasing, dan roji. Tarian pada lanskap ini antara lain linda, pajoge, dan pangencei. Terdapat pula seni bela diri khas daerah ini yaitu manca. Makanan pokok masyarakat setempat yaitu nasi, jagung, serta kambose (jagung tumbuk) (Zainudin 23 Maret 2014, komunikasi pribadi).
Gambar 31 Lanskap Ciacia dan Kaisabu Masyarakat Ciacia dan Kaisabu meskipun memiliki kemiripan kultur, tetapi bahasa mereka tidak sama (Baitu L 23 Maret, komunikasi pribadi). Di Kaisabu sendiri terdapat dua anak bahasa dari Bahasa Kaisabu. Akibat perbedaan bahasa ini, masyarakat Kaisabu menganggap dirinya adalah orang Kaisabu bukan orang Ciacia (Syamsuddin 23 Maret 2014, komunikasi pribadi). Umumnya masyarakat di lanskap Ciacia dan Kaisabu berprofesi sebagai petani. Sejak zaman kesultanan, etnis mereka memang diberi tugas untuk memasok bahan makanan di kesultanan (Ramadhan 2012b). Adanya baruga di setiap kelurahan sebagai bukti bahwa adat istiadat masih terpelihara dengan baik. Baruga ialah sebuah balai yang digunakan oleh masyarakat untuk menggelar ritual adat. Baruga dan galampa tidaklah sama. Galampa dimiliki oleh perangkat penting di kesultanan untuk bermusyawarah. Ketidak pahaman akan hal tersebut menyebabkan beberapa kelompok masyarakat menyebut baruga mereka sebagai galampa. Hal menarik di lanskap ini yaitu penggunaan huruf hangeul (한글) dari Korea terhadap bahasa Ciacia. Sejarahnya bermula saat Prof Chun Tae Hyun dari Korea Selatan pada tahun 2005 tertarik dengan kenyataan bahwa Bahasa Ciacia tidak memiliki aksara. Setelah melakukan penelitian, ditemukan bahwa Bahasa Ciacia memiliki pelafalan yang sama dengan Bahasa Korea (Mauliana 2014).
45 Penggunaan huruf hangeul di Baubau menyita perhatian publik di seluruh dunia. Beberapa media nasional dan internasional berbondong-bondong datang untuk meliput daerah ini. Pemerintah Kota Baubau selain mengadopsi hangeul menjadi aksara untuk Bahasa Ciacia, juga membangun kerjasama dalam bentuk Sister City dengan Kota Seoul (Ramadhan 2012b). Keunikan lanskap ini dengan huruf hangeul-nya dapat disaksikan melalui papan informasi sepanjang jalan Kecamatan Sorawolio (Gambar 32). Bahasa Ciacia sebagai budaya intangible, juga mengenal tradisi budaya lisan yang disebut pomali dan masih lestari hingga saat ini. Tradisi lisan tersebut merupakan bentuk pendidikan akhlak budi pekerti terhadap diri dan lingkungan sekitar, yang berisi larangan berbentuk sebab-akibat (Balawa 2010).
Gambar 32 Papan nama jalan menggunakan aksara hangeul Kolonial Zona kolonial terdiri atas lanskap kolonial dan awal kemerdekaan, pecinan, Palabusa, dan Wakonti. Sesuai namanya, zona ini merupakan peninggalan zaman kolonial yang dibangun pada masa Belanda mulai membangun di Kota Baubau. Kolonial dan awal kemerdekaan Lanskap kolonial dan awal kemerdekaan berada di pesisir utara Kota Baubau (Gambar 33). Bisa dikatakan keberadaan lanskap bergaya kolonial dan awal kemerdekaan di Sulawesi Tenggara hanya terdapat di Kota Baubau. Hal ini disebabkan dahulu Baubau merupakan ibukota Afdeling Sulawesi Timur pada tahun 1911 dan juga ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara pada tahun 1952. Kota Kolonial dihuni oleh orang-orang Eropa yang dibangun dengan rencana tertentu yang berciri agama Kristen berkembang di dalamnya, penekanan pada pengembangan wajah fisik kota, kegiatan ekonomi sebagai penggeraknya, dan infrastruktur yang meniru gaya Eropa (Rabani 2010). Karakter kolonial terlihat jelas terutama di sekitar Jalan Balai Kota dan Jalan Letter Buton yang ditandai dengan berdirinya beberapa bagunan bergaya art deco. Kawasan ini dulunya merupakan kawasan elit para petinggi Hindia Belanda. Beberapa ojek sejarah pada kawasan ini yang masih bertahan antara lain bekas kantor asisten resindence, rumah jabatan asisten residence (Gambar 34), perumahan opsir KNIL, rumah controliur, kantor pos kolonial, pasangrahan kalangan atas, rumah jabatan dokter Belanda, Lapangan Merdeka, dan Letter Buton (Gambar 35) sebagai landmark yang dibangun pemerintah kolonial (Rabani 2010; Disbudpar Kota Baubau 2013; Alimudin 2010).
46
Gambar 33 Lanskap Kolonial dan Awal Kemerdekaan Pola spasial di lingkar Jalan Balai Kota dan Jalan Letter Buton menyerupai konsep alun-alun dengan adanya Lapangan Merdeka di tengahnya. Alun-alun merupakan simbol kekuasaan berbalut budaya yang bersifat sakral dalam kebudayaan Jawa yang dikenal sejak abad ke-13 masehi. Pada masa kolonial, Belanda dalam membangun suatu kota sering pula membuat alun-alun sebagai imitasi pencitraan kekuasaan (Sari 2013). Pandangan Belanda terhadap alun-alun yaitu sebagai citra kota muslim di Indonesia. Meskipun sebenarnya citra muslim tersebut lekat karena awal kehadiran Belanda pada masa kejayaan kerajaankerajaan islam di nusantara. Pada beberapa daerah Belanda tidak membangun alun-alun baru, tetapi Belanda terlihat mengintervensi keberadaan alun-alun dengan mendirikan beberapa bangunan di sekitar alun-alun. Hal ini dimaksudkan untuk dapat mengontrol aktivitas masyarakat pribumi yang intensif beraktivitas di alun-alun yang mengakibatkan secara perlahan transformasi alun-alun terbentuk (Rukayah et al. 2010). Tidak ada catatan sejarah mengenai perancang Kota Baubau pada masa kolonial maupun alasan pemerintah Hindia Belanda menata kawasan lingkar Jalan Balai Kota dan Jalan Letter Buton dengan sedemikian rupa. Indikasi yang timbul, kawasan ini terbentuk karena faktor politis, geografis, dan juga tren yang berkembang pada saat itu. Dari sudut pandang politis, kemungkinan Belanda memang ingin menunjukkan citra kekuasaannya tetapi kebudayaan alun-alun memang tidak dapat dijumpai di Buton sehingga maknanya tidak ditangkap oleh masyarakat. Kemudian, adanya kebijakan Kesultanan Buton menetapkan bahwa orang asing hanya boleh bermukim di sekitar pantai (Rabani 2010). Lokasi pada kawasan ini juga memungkinkan Belanda untuk mengontrol perekonomian karena berdekatan dengan laut dan juga memiliki view yang indah (Gambar 36)
47
Gambar 34 Rumah asisten residence Beberapa catatan juga menyatakan apresiasi Belanda terhadap keindahan panorama laut di Baubau (Schoorl 2003). Pada masa kependudukan Belanda di Baubau, view tidak pernah luput dari perencanaan kota dan menyebut Baubau sebagai kota landshaft tetapi masyarakat Buton pada masa itu tidak memahami apa maksud dari tagline tersebut terhadap Baubau. Hal ini dibuktikan dahulu banyak ditemukan hardscape berupa patung di sepanjang jaringan jalan yang dibangun Belanda untuk menambah keindahan kota. Bahkan terdapat kantor khusus yang mengatur tata kota di Baubau pada masa kolonial yaitu kantor landshaft yang dilengkapi dengan bengkelnya yang disebut bengkel landschaft. Keberadaan kantor dan bengkel landshaft kini masih dapat ditemui di Jalan Jendral Sudirman yang kini menjadi kantor ASDP sedangkan bengkelnya berada di samping gedung Wa Ode Wau (Saidu LOM 6 April 2014, komunikasi pribadi).
Gambar 35 Letter Buton tahun 1932 (kiri), Letter Buton tahun 1950an (tengah), dan Letter Buton kini (kanan) Belanda mulai menetap di Kota Baubau setelah perjanjian Asyikin Brugman pada tanggal 8 April 1906 (Zahari 1977c). Belanda benar-benar merencanakan dan merancang sebuah kota di pesisir Kota Baubau yang terlihat dari banyaknya fasilitas yang dibangun pada masa tersebut. Adapun fasilitas-fasilitas tersebut antara lain rumah jabatan pegawai kolonial, rumah sakit, lapangan tenis, rumah jabatan bintara Belanda, penjara, gereja di Jalan Jendral Sudirman, kantor doane di Pelabuhan Murhum, pemakaman Tionghoa dan Belanda di Tanah Abang, dan pasangrahan kalangan bawah serta sekolah Tionghoa di Jalan Kartini. Belanda juga membangun fasilitas publik berupa taman di tengah kota yang bernama Keboen Raja. Taman ini berada di perempatan Jalan Kartini dan Jalan Jendral Sudirman yang dulunya ditumbuhi aneka semak berbunga dan tiga pohon besar, serta air mancur dengan kolam segi enam di tengah-tengah taman. Kolam bekas
48 air mancur tersebut masih bisa ditemukan di tapak namun kini dijadikan tong sampah (Saidu LOM 6 April 2014, komunikasi pribadi).
Tropenmuseum (2014)
Gambar 36 Kawasan Lingkar Jalan Balai Kota dan Jalan Letter Buton dari laut (1920-1940) Tidak hanya fasilitas untuk pihak pemerintah kolonial, Belanda juga membangunkan istana untuk Sultan Buton yang dikenal dengan sebutan Kamali Baubau (Gambar 37). Rumah jabatan bonto ogena di Jalan Sultan Hasanuddin serta kantor dan rumah jabatan Kepala Distrik Bungi di Jalan Diponegoro juga turut dibangun Belanda yang masih dapat dijumpai hari ini. Beberapa bangunan yang dibangun pada periode yang sama di lanskap ini antara lain rumah pribadi kepala distrik bungi di Jalan M.H. Thamrin, rumah saudagar Tionghoa di Jalan Mayjend Sutoyo, rumah school opziner di Jalan Kartini, rumah sara wolio yang ketika itu juga menjabat sebagai jaksa bagi pemerintah kolonial di Jalan Jendral Sudirman, rumah kenepulu terakhir di Jalan Yos Sudarso, rumah kepala Distrik Kabaena yang juga pernah menjabat sebagai juru bahasa kesultanan, dan rumah yarona Kaledupa di Jalan Martadinata.
Gambar 37 Kamali Baubau
49 Pada lanskap ini juga dapat ditemui Malige, yaitu kediaman Sultan Buton ke-37 dan Kamali Batulo, istana Sultan Buton ke-38 yang digunakan permaisuri jika ingin menenangkan diri (Gambar 38). Bangunan Kamali Batulo berasal dari Kulisusu (kini Kabupaten Buton Utara) yang dipindahkan ke Baubau karena sebelum menjadi Sultan Buton, La Ode Falihi pernah bertugas di daerah tersebut dan ketika masa jabatannya habis rumah tersebut turut dibawanya. Rumah adat Buton tidak menggunakan paku dan memang dirancang sedemikian rupa oleh para leluhur untuk dapat dibongkar pasang karena masyarakat Buton merupakan etnis pelaut yang mobilitasnya tinggi (Saidu LOM 6 April 2014, komunikasi pribadi). Setelah Indonesia merdeka dan Belanda meninggalkan tanah air, pembangunan tahap dua berlangsung di Kota Baubau. Pada tahun 1952, Baubau menjadi ibukota Kabupaten Sulawesi Tenggara. Untuk menunjang Baubau sebagai ibukota kabupaten, beberapa fasilitas yang dibangun oleh Belanda dialih fungsikan. Peninggalan lain pada masa ini ditandai dengan berdirinya beberapa rumah dinas pegawai Kabupaten Sulawesi Tenggara di sepanjang Jalan Jendral Sudirman, rumah dinas dokter di Jalan Kartini, rumah dinas ketua pengadilan dan kepala kejaksaan di antara Jalan Balai Kota dan Jalan Letter Buton, Kantor Perikanan di Jalan Yos Sudarso, rumah guru sekolah menengah di Jalan Cut Nyak Dien, Gedung Wa Ode Wau sebagai gedung serba guna di Jalan Jendral Sudirman (Saidu LOM 6 April 2014, komunikasi pribadi).
Gambar 38 Kamali Batulo (kiri) dan Malige (kanan) Beberapa rumah pribadi pejabat pada masa itu tersebar di Jalan Kartini seperti rumah kepala perdagangan dan rumah jaksa Kabupaten Sulawesi Tenggara (Saidu LOM 6 April 2014, komunikasi pribadi). Pada masa transisi dari masa kolonial ke awal kemerdekaan tepatnya pada tanggal 14 Mei 1954, Keboen Raja dihilangkan dan dibangun Sekolah Kepandaian Putri (Zahari 1977c). Landmark baru juga dibangun di kilometer nol Kota Baubau tepatnya di depan pelabuhan. Landmark tersebut menggunakan patung berpakaian galangi yang mengangkat tangan kanannya ke arah gerbang pelabuhan sebagai tanda selamat datang di Kota Baubau. Patung tersebut pada masa itu di sebut patung/tugu galangi (Saidu LOM 6 April 2014, komunikasi pribadi).
50 Kondisi situs di lanskap kolonial dan awal kemerdekaan belum semuanya didata oleh dinas terkait (Disbudpar Kota Baubau 2013). Kondisi diperparah dengan satu demi satu bangunan cagar budaya dijual bahkan beberapa di antaranya telah hilang dan juga adanya perusakan yang direncanakan. Sebut saja penambahan elemen yang menghilangkan unity pada rumah jabatan Bupati Buton yang merubuhkan paviliun di sebelah timur dan didirikan sebuah bangunan berlantai dua, kantor doane yang berada di Pelabuhan Murhum terbengkalai dan terancam dihilangkan karena akan dibangun mesjid di pelabuhan, dan rumah kenepulu terakhir dipasangi spanduk bahwa rumah tersebut dijual (Gambar 39).
Gambar 39 Rumah kenepulu yang dipasangi spanduk bahwa rumah tersebut dijual Pecinan Kontak hubungan Buton dan Tiongkok sudah ada sejak zaman prakerajaan Buton (Zahari 1977a; Zuhdi 2010). Diduga etnis Tionghoa di Baubau bermigrasi secara bertahap. Lanskap pecinan di pesisir pantai Baubau terbentuk sekitar akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20. Keberadaan komunitas di pecinan di atur oleh Belanda. Dalam perjanjian Asyikin Brugman pada 8 April 1906, disebutkan pada pasal 22 ayat 2, “Keberadaan orang-orang Cina yang tinggal di Buton telah menjadi besar karena Guvermen Belanda yang karena itu bila mereka diminta bantuan perlu diberikan seperti juga membantu Guvermen Belanda” (Zahari 1977a). Sebagaimana kota-kota kolonial yang dibangun oleh Belanda, penduduk timur asing menempati wilayahnya sendiri (Gambar 40). Etnis Tionghoa yang datang ke Kota Baubau untuk memperebutkan peluang ekonomi dan kemudian tinggal permanen di sekitar permukiman orang-orang Belanda (Rabani 2010). Biasanya area pecinan berdampingan dengan area pekojan yang dihuni oleh etnis Arab (Suprihatin et al. 2009). Hal ini disebabkan adanya kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda yang tertuang dalam peraturan Wijkenstelsel (Suryaningrum et al. 2009). Perbedaan kota kolonial di Baubau dan di daerah lain yaitu hanya ditemukan area pecinan di dekat daerah kolonial. Area pekojan yang dihuni komunitas etnis Arab tidak ditemukan karena Kesultanan Buton memiliki ikatan emosional dengan komunitas Arab sehingga keberadaanya mudah melebur dengan keraton. Keunikan lainnya mengenai dampak penataan kolonial terhadap
51 komunitas Tionghoa, Belanda, dan penduduk lokal di Baubau, tidak terjadi sentimen politik dan rasial yang akhirnya membentuk pelapisan sosial seperti halnya di kota-kota lain di Indonesia yang terkadang harmonis dan terkadang juga menimbulkan ketegangan (Basundoro 2012).
Gambar 40 Lanskap Pecinan Objek sejarah yang paling banyak ditemukan pada lanskap pecinan di Baubau yaitu ruko-ruko yang usianya ratusan tahun (Gambar 41). Karakter pertokoan tersebut sesuai dengan karakter daerah pecinan yang umumnya (Dewi et al. 2005). Pada lanskap pecinan juga terdapat Mesjid Raya Baubau. Mesjid ini dibangun oleh masyarakat sebagai wujud kekecewaan terhadap pemerintah Belanda saat membangun pesisir Kota Baubau. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada lanskap kolonial dan awal kemerdekaan, Belanda membangun infrastruktur perkotaan termasuk fasilitas. Namun Belanda tidak membangun tempat ibadah untuk masyarakat lokal dalam hal ini mesjid. Terlebih Belanda malah membangun gereja yang akhirnya gereja tersebut menjadi gereja pertama yang berdiri di Pulau Buton. Konflik pernah terjadi akibat protes dari masyarakat Buton dan akhirnya masyarakat membangun sendiri mesjid (Saidu LOM 13 Maret 2014, komunikasi pribadi). Objek bersejarah lainnya yang dapat ditemui di lanskap ini yaitu jembatan gantung, tanggul jembatan batu, dan pelabuhan tua Kota Baubau. Jembatan gantung merupakan jembatan pertama yang ada di Kota Baubau. Jembatan ini dibangun oleh Belanda di awal tahun 1900an (Suluhu 12 Februari 2014, komunikasi pribadi). Saat ini jembatan gantung telah berubah yang kini dibuat menjadi jembatan permanen. Sebagian bekas jembatan gantung ini masih bisa ditemui di tapak. Dahulu, jembatan batu merupakan tanggul pemecah ombak. Sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kata jembatan. Bentuknya memanjang
52
Sudjiton et al. (2012)
Gambar 41 Kawasan pecinan dulu (kiri) dan kini (kanan) ke laut, membuat masyarakat lokal mengatakan jembatan. Struktur tanggul jembatan batu ini dahulu tidak menyatu tetapi terdiri atas beberapa bagian tumpukan batu (Saidu LOM 30 Maret 2014, komunikasi pribadi). Bahan baku tanggul jembatan batu merupakan batu bekas Loji yang dibangun Belanda untuk pertahanan (Razinuddin LM 17 Februari 2014, komunikasi pribadi). Sebelum adanya Pelabuhan Murhum, pelabuhan di Kota Baubau yaitu di muara Sungai Baubau. Sejak adanya Pelabuhan Murhum, kawasan pelabuhan tua ini kini bersih dari kapal-kapal. Hanya beberapa kapal kecil saja yang berlalu-lalang. Kebudayaan intangible di lanskap pecinan yaitu perayaan hari-hari besar komunitas Tionghoa seperti imlek dan cap go meh. Biasanya terdapat pula atraksi kesenian barongsai di lanskap ini. Perayaan lebih sering dilaksanakan tertutup oleh masing-masing keluarga. Komunitas Tionghoa juga masih menggunakan bahasa mereka dalam kesehariannya dan banyak diantara mereka yang juga fasih berbahasa Wolio. Selanjutnya, dapat pula ditemui pedagang yang menjual kuliner Tionghoa di lanskap ini. Palabusa Palabusa berada di Kecamatan Bungi (Gambar 42). Lokasi ini dikenal sebagai kawasan budidaya rumput laut oleh masyarakat dan adanya PT. Selat Buton yang membudidayakan mutiara. Di dalam area PT Selat Buton ini menyimpan saksi sejarah perang dunia seperti adanya bangkai pesawat Jepang di dalam perairannya. Awalnya area ini dikelola oleh Belanda yang kemudian dilanjutkan oleh Jepang (Saidu LOM 30 Maret 2014, komunikasi pribadi). Terdapat pula monumen seseorang berkebangsaan Jepang DR. Sukeyo Fujita pada tahun 1931 dan dua buah bangunan peninggalan zaman kolonial yang menyimpan foto-foto perjalanan area Palabusa. Area ini di dalam PT. Selat Buton bukanlah area publik. Untuk memasukinya, harus bersurat terlebih dahulu. Wakonti Diriwayatkan bahwa Wakonti merupakan katampai Wa Ode Wau yang diberikan oleh sultan atas jasanya yang besar. Wa Ode Wau merupakan seorang saudagar yang memiliki kekayaan yang berlimpah. Beliau berprofesi sebagai pedagang yang mengekspor barang dagangannya ke Makassar, Jawa, Aceh, Singapura, Johor, dan Maluku (Makmun 2011). Tanpa jasa beliau, Benteng Keraton Buton tidak akan berdiri dengan megahnya seperti saat ini (Zahari 1977a). Objek sejarah yang ada di Wakonti yaitu adanya bak air kolonial pertama yang di Kota Baubau. Bak air ini yang menyalurkan air ke pusat Kota Baubau ketika Belanda membangun kota pada periode tahun 1900an (Saidu LOM 9 Februari
53
Gambar 41 Lanskap Palabusa 2014, komunikasi pribadi). Bak air ini dapat memiliki nilai ilmu pengetahuan yang besar untuk melihat bagaimana cara Belanda membangun Kota Baubau. Saat ini bak air di Wakonti masih digunakan oleh masyarakat sekitar namun tidak terawat dibandingkan bak air di Baadia dan juga Air Matapu di Waborobo yang juga dibangun oleh Belanda (Gambar 43).
Gambar 43 Lanskap Wakonti
54 Pascakemerdekaan Zona pascakemerdekaan berisi lanskap-lanskap unik yang terbentuk karena adanya migrasi ke Kota Baubau oleh komunitas etnis pendatang. Etnis pendatang ketika datang ke Kota Baubau turut membawa kebudayaan mereka sehingga terbentuk karakter lanskap yang berbeda. Lanskap yang masuk dalam zona ini yaitu Ngkaring-Ngkaring dan Waliabuku. Ngkaring-Ngkaring Ngkaring-Ngkaring merupakan sebuah kelurahan di Kecamatan Bungi. Penduduknya merupakan komunitas etnis Bali di Kota Baubau (Gambar 44). Lanskap Ngkaring-Ngkaring merupakan salah satu destinasi favorit peserta Sail Indonesia yang tiap tahun rutin mengunjungi Kota Baubau sehingga lanskap ini dikenal dengan sebutan Little Bali. Etnis Bali menetap di Ngkaring-Ngkaring sejak tahun 1978 melalui program transmigrasi. Ada informasi yang menyatakan etnis Bali sendiri yang berinisiatif datang ke Buton untuk mencari tanah yang subur, kemudian membuat proposal kepada pemerintah, hingga akhirnya diizinkan untuk pindah. Informasi lainnya, mereka dipanggil untuk mengusir roh-roh jahat di wilayah Ngkaring-Ngkaring. Dikatakan bahwa dahulu wilayah ini tempat orang-orang yang meninggal mendadak. Lalu setelah etnis Bali bermukim, keadaan menjadi damai (Coppenger 2011).
Gambar 44 Lanskap Ngkaring-Ngkaring Etnis Bali di Ngkaring-Ngkaring berprofesi sebagai petani sawah. Mereka juga dikenal pandai membuat batu bata. Sawah Ngkaring-Ngkaring, ditetapkan sebagai kawasan pusaka alam pada program P3KP karena memiliki nilai estetik
55 yang tinggi dan memiliki gaya yang khas serta mengandung nilai ilmu pengetahuan terhadap sistem irigasinya (Gambar 45). Namun, zona yang ditetapkan hanya sawahnya saja (Dirjen Penataan Ruang 2013). Hal ini tentu tetap mengancam kelestarian sebab kelestarian sawah di Ngkaring-Ngkaring tidak akan bisa berlanjut tanpa melindungi komunitas setempat sebagai pelaku utamanya.
Gambar 45 Sawah Ngkaring-Ngkaring Kehidupan masyarakat di Ngkaring-Ngkaring sangat harmonis dan tidak pernah terjadi konflik yang berarti dengan penduduk lokal di Buton (Sukardi N 27 Februari 2014, komunikasi pribadi). Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Ramadhan (2012a) mengenai relasi antar etnik di Baubau khususnya untuk etnis pendatang bahwa tidak ditemukan gejala yang mengindikasikan pluralitas etnis, agama, maupun budaya sebagai sumber konflik. Tata ruang di Ngkaring-Ngkaring menerapkan hasta kosala-kosali, sebagaimana di Bali. Masyarakat setempat menempatkan utamaning utama di timur bagian selatan, mengikuti Buleleng karena mayoritas masyarakatnya berasal dari Buleleng. Objek-objek sejarah di lanskap ini selain persawahan antara lain monumen transmigrasi, permukiman awal transmigrasi, Pura Ngkaring-Ngkaring, wantilan sebagai tempat melaksanakan musyawarah ataupun pertemuan adat, dan bale kul-kul (Gambar 46). Budaya intangible yang ada pada lanskap ini yaitu ritual pada hari-hari besar keagamaan seperti galungan dan kuningan, serta tarian khas Bali seperti panyembrana, nelayan, dan manukrawa yang diiringi oleh musik tradisional Bali. Atraksi ogoh-ogoh dilaksanakan di Ngkaring-Ngkaring setiap tahunnya untuk menyambut hari raya nyepi.
Gambar 46 Permukiman Ngkaring-Ngkaring (kiri), wantilan dan bale kul-kul (tengah), serta Pura Ngkaring-Ngkaring (kanan)
56 Waliabuku Sama halnya dengan Ngkaring-Ngkaring, lanskap Waliabuku juga dibentuk oleh etnis pendatang (Gambar 47). Hal yang mencolok yaitu jika pada lanskap Ngkaring-Ngkaring seluruhnya didiami oleh etnis Bali, pada Lanskap Liabuku didiami oleh etnis Bugis dan Liabuku. Kedua etnis ini hidup bersama-sama dan tetap mempertahankan kebudayaan masing-masing. Baik etnis Bugis maupun Liabuku, memiliki kepala adat masing-masing. Kepala adat etnis Bugis, dipimpin oleh seorang daeng yang dituakan. Kepala adat etnis Liabuku dipimpin oleh parabela dengan perangkat lainnya yaitu wati, kaosa, kanamia, sarea, dan bonto. Perbedaan etnis Liabuku dengan etnis lokal lainnya di Baubau yaitu perangkat adat tidak dipilih tetapi diturunkan (Hiji L 23 Maret 2014, komunikasi pribadi).
Gambar 47 Lanskap Waliabuku Etnis Bugis sesungguhnya tinggal menyebar di Kota Baubau namun pusat kebudayaan Bugis terletak di Waliabuku. Setiap tahunnya diadakan padenda yang merupakan pesta panen di rumah kepala adat. Acara dimulai ketika padi mulai menguning dengan menumbuk lesung. Dibuat pula bette yakni makanan tradisional Bugis berbahan dasar beras pulut dan gula merah. Acara ini dihadiri bukan hanya etnis Bugis di Waliabuku tetapi seluruh keluarga besar kerukunan Sulawesi Selatan yang tinggal di Baubau. Jumlah kepala keluarga etnis Bugis di Waliabuku lebih kurang 70 kepala keluarga yang umumnya bekerja sebagai petani sawah dan kakao. Umumnya etnis Bugis di Waliabuku tinggal di rumah tradisional Bugis (Syarifuddin A 23 Maret 2014, komunikasi pribadi). Tidak diketahui pasti sejak kapan etnis Bugis mulai bermukim di Kota Baubau sebab diriwayatkan hubungan Bugis (terutama Bugis Bone) dan Buton telah terjalin
57 sejak lama bahkan hubungannya bukan sebatas pertemanan tapi persaudaraan (Zahari 1977b). Menurut informasi yang didapatkan, gelombang migrasi etnis Bugis terbesar ke Baubau terjadi pada tahun 1960-1970an. Kebanyakan etnis Bugis saat itu bekerja sebagai pedagang tembakau (Syarififuddin A 23 Maret 2014). Etnis Liabuku sendiri telah lama tinggal di Waliabuku. Dulu nenek moyang mereka tinggal di perbukitan sebelah timur kampung Waliabuku sekarang, yang ditandai dengan adanya batu Waliabuku. Pada masa mereka lalu berprofesi sebagai petani lahan kering yang menanam singkong, jagung, dan padi ladang. Saat ini etnis Liabuku lebih banyak membudidayakan tanaman kakao. Terdapat sebuah baruga di Waliabuku, yang digunakan untuk acara adat. Berbeda dengan komunitas adat lainnya di Baubau pada umumnya, di komunitas adat Liabuku melakukan pesta adat bukan yang berkaitan dengan pertanian tetapi pesta adat untuk menjalin silaturahmi sesama etnis Liabuku. Acara dilakukan selama empat hari empat malam dengan menampilkan beberapa kesenian seperti tarian linda, kangaru, dan pajoge. Selain untuk memimpin acara, perangkat adat juga berperan penting dalam pelaksanaan ritual pernikahan dan kematian (Hiji L 23 Maret 2014, komunikasi pribadi). Jumlah kepala keluarga etnis Liabuku sebanyak 50 kepala keluarga. Sebagaimana etnis Bugis di Waliabuku, etnis Liabuku juga umumnya tinggal di rumah bergaya tradisional Buton (Gambar 48). Hal inilah yang memberikan keunikan tersendiri bagi lanskap Waliabuku terlebih kedua etnis hidup rukun bahkan tidak sedikit yang terikat oleh hubungan pernikahan.
Gambar 48 Baruga Waliabuku (kiri), rumah etnis Liabuku (tengah), dan rumah etnis Bugis (kanan) Analisis Kualitas Lanskap Sejarah Kualitas lanskap sejarah dibagi menjadi empat yaitu keunikan, keaslian, nilai penting, dan kenyamanan. Skor maksimal komponen keunikan sebesar 12, keaslian dan nilai penting masing 9, dan kenyamanan sebesar 6. Hasil penilaian kualitatif terhadap tujuh belas lanskap sejarah yang berada di Kota Baubau pada komponen keaslian menunjukkan bahwa Lanskap Benteng Sorawolio memperoleh skor paling tinggi dibandingkan dengan lanskap lainnya (Gambar 49). Pada komponen penilaian keunikan, hasil yang diperoleh lebih beragam pada tiap lanskap. Terdapat lima lanskap sejarah yang memiliki skor tertinggi pada penilaian komponen ini. Kelima lanskap sejarah tersebut antara lain Lanskap Kolonial dan Awal Kemerdekaan, Ngkaring-Ngkaring, Pesisir Tua dan Labalawa, Keraton Buton, serta Baadia dan Sambali. Skor paling rendah hanya terdapat pada satu lanskap yaitu Wakonti (Gambar 50).
58 Komponen penilaian terhadap nilai penting menunjukkan hasil terdapat lima lanskap sejarah yang memiliki nilai penting tertinggi. Kelima lanskap sejarah tersebut antara lain Pesisir Tua dan Labalawa, Lipu Katobengke dan sekitarnya, Benteng Sorawolio, Keraton Buton, serta Baadia dan Sambali (Gambar 51). Untuk komponen kenyamanan, hasil skoring menunjukkan hasil bahwa terdapat lima lanskap sejarah yang memperoleh nilai tertinggi. Kelima lanskap tersebut antara lain Ngkaring-Ngkaring, Waborobo, Lowu-Lowu dan Kolese, Benteng Sorawolio, dan Palabusa (Gambar 52).
Skor
9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Gambar 49 Hasil skoring penilaian komponen keaslian 14
Skor
12 10 8 6 4 2 0
Gambar 50 Hasil skoring penilaian komponen keunikan
Skor
59 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
Skor
Gambar 51 Hasil skoring penilaian komponen nilai penting 7 6 5 4 3 2 1 0
Gambar 52 Hasil skoring penilaian komponen kenyamanan Analisis Prioritas Pelestarian Hasil analytical hierarchy process (AHP), menunjukkan bahwa komponen keunikan merupakan komponen prioritas dalam upaya pelestarian lanskap sejarah di Kota Baubau disusul komponen nilai penting, keaslian, dan kenyamanan. Alternatif yang prioritas untuk pelestarian lanskap sejarah di Kota Baubau yaitu peninggalan dengan karakter lanskap kerajaan dan kesultanan yang kemudian disusul oleh lanskap kolonial dan awal kemerdekaan, prakerajaan, dan pascakemerdekaan (Gambar 53). Komponen keunikan berisi kualitas dan kuantitas lanskap sejarah yang diukur berdasarkan asosiasi kesejarahan, integritas, keragaman yang berbeda dari kebiasaan, dan kualitas estetik.
60
Gambar 53 Komponen dan alternatif prioritas pelestarian lanskap sejarah Kota Baubau Berdasarkan hasil AHP maka diperoleh nilai komponen dan alternatif prioritasnya. Penilaian lanjutan dilakukan guna melihat lanskap yang memiliki prioritas untuk dilestarikan dengan mengombinasikan hasil analisis kualitas lanskap dengan menggunakan skoring. Hasil yang diperoleh lanskap Benteng Sorawolio memperoleh nilai tertinggi sebesar 3.798 yang disusul oleh lanskap Keraton Buton serta lanskap Baadia dan Sambali dengan nilai 3.794. Dengan demikian, ketiga lanskap tersebut merupakan lanskap yang menjadi prioritas dalam pelestarian lanskap sejarah Kota Baubau (Tabel 6). Tabel 6 Hasil penilaian lanskap sejarah prioritas Kota Baubau No
Nama Lanskap
Nilai prioritas lanskap
Prakerajaan 1
Pesisir Tua dan Labalawa
1.386
2
Keraton Buton
3.794
3
Waborobo
2.839
4
Lowu-Lowu dan Kolese
3.251
5
Lipu Katobengke dan sekitarnya
3.534
6
Benteng Sorawolio
3.798
7
Baadia dan Sambali
3.794
8
Wajo
3.118
9
Loji-Kotamara dan Sekitarnya
3.113 2.903
11
Liwuto Makasu serta Perairan Selat dan Teluk Buton Ciacia dan Kaisabu
12
Kolonial dan Awal Kemerdekaan
2.506
13
Pecinan
2.242
14
Palabusa
2.004
15
Wakonti
1.588
16
Ngkari-Ngkari
0.948
17
Waliabuku
0.852
Kerajaan dan kesultanan
10
2.601
Kolonial
Pascakemerdekaan
61 Survei Masyarakat Sebanyak 10 pertanyaan diberikan kepada responden yang telah dinyatakan valid dengan nilai reabilitas sebesar 0.857 dan rtabel sebesar 0.291. Pengujian validitas instrumen dengan melibatkan 33 orang diluar responden. Survei melibatkan 402 responden namun hanya 359 jawaban yang diolah lebih lanjut karena 43 responden tidak menjawab pertanyaan dengan lengkap. Dengan demikian selang kepercayaan yang diperoleh yakni sebesar 5.17 dengan tingkat kepercayaan sebesar 95%. Responden terdiri laki-laki dan perempuan yang tersebar di delapan kecamatan di Kota Baubau. Pekerjaan responden terbagi atas pelajar, mahasiswa, PNS, pegawai swasta, wiraswasta, dan untuk pekerjaan selain yang disebutkan dikelompokkan pada kelompok lainnya. Latar belakang pendidikan responden antara lain SMP, SMA, D3, D4/S1, dan S2. Kelompok etnis dikelompokkan berdasarkan geoetnik, geopolitik, dan linguistik yang terdiri atas Basilika, Wakatobi, Ciacia, Katobengke, Kulisusu, Moronene, Wolio, Gulamasta, Muna, Kamaru, dan kelompok etnis pendatang yang berasal dari luar Kesultanan Buton. Selain yang telah disebutkan, dikelompokkan pula etnis lainnya yang merupakan etnis eks Kesultanan Buton tetapi tidak dapat dikelompokkan ke kelompok sendiri karena persentasenya yang rendah. Hasil survei menunjukkan lebih dari setengah responden tidak mengetahui bahwa Baubau telah ditetapkan sebagai kota pusaka. Perihal pengetahuan mengenai terminologi kota pusaka, hanya 48% responden yang memahami maksud kota pusaka. Hanya selisih 3% dari masyarakat yang tidak mengetahui. Perihal pengetahuan mengenai sejarah Buton di Baubau dan peninggalan pusaka di Baubau, 58% menganggap mengetahui sejarah Baubau dan 70% menganggap tahu peninggalan sejarah yang ada di Baubau (Tabel 7). Tabel 7 Pengetahuan masyarakat mengenai kota pusaka Pertanyaan Jawaban Tidak Tahu Baubau sebagai kota pusaka 61% Kota pusaka 52% Sejarah Buton di Baubau 42% Peninggalan pusaka Baubau 30%
Tahu 39% 48% 58% 70%
Lebih dari 90% responden menganggap pusaka harus dilindungi baik wujud maupun tak wujud, termasuk juga panorama alam. Sebanyak 92% responden tidak sepakat jika hanya yang harus dilestarikan hanya milik etnis mayoritas dan 82% responden menganggap pusaka etnis pendatang juga harus turut dilindungi (Tabel 8). Sebanyak 60% responden sepakat bahwa semua pihak memiliki peran dalam pelestarian pusaka di Kota Baubau. Sisanya sebanyak 29% menganggap masyarakat, pemerintah, dan LSM saja yang memiliki peran, 9% mengganggap hanya masyarakat dan pemerintah, dan 2% menganggap pihak masyarakat, pemerintah dan swasta saja yang memiliki peran (Gambar 54).
62 Tabel 8 Persepsi masyarakat perihal pelestarian lanskap sejarah Kota Baubau Pertanyaan Jawaban Tidak Ya Pusaka harus dilestarikan 1% 99% Pusaka tak wujud harus dilestarikan 3% 97% Panorama alam harus dilestarikan 6% 94% Hanya pusaka etnis mayoritas yang harus 92% 8% dilestarikan Pusaka etnis pendatang harus turut 18% 82% dilestarikan Ketika responden diminta partisipasinya untuk memilih lanskap mana yang harus dilestarikan guna mendukung Baubau sebagai kota pusaka, lebih dari 60% responden sepakat bahwa ketujuh belas lanskap yang telah diinventarisasi harus dilindungi. Lanskap Benteng Sorawolio, Keraton Buton, serta Baadia dan Sambali memperoleh perhatian yang tinggi dari responden sebab 100% responden menganggap ketiga lanskap tersebut harus benar-benar dilindungi (Gambar 55).
2% 29% 60%
Pemerintah, masyarakat, dan swasta Pemerintah, masyarakat, dan LSM
9%
Hanya masyarakat dan pemerintah Semua pihak
Gambar 54 Pihak yang harus berperan dalam pelestarian lanskap sejarah Kota Baubau 120% 100% 80% 60% 40% 20% 0%
Gambar 55 Pilihan masyarakat terhadap lanskap sejarah Kota Baubau yang harus dilestarikan
63 Jawaban responden terhadap pertanyaan yang diberikan, dipengaruhi oleh jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, etnis, dan kecamatan (Tabel 9). Pelajar lebih banyak tidak mengetahui bahwa Baubau telah ditetapkan sebagai kota pusaka. Profesi PNS hampir seluruhnya mengetahui bahwa Baubau telah ditetapkan sebagai kota pusaka (Gambar 56a). Meskipun mahasiswa lebih banyak yang mengetahui Baubau ditetapkan sebagai kota pusaka, tapi lebih banyak mahasiswa yang tidak mengetahui makna kota pusaka (Gambar 56b). Tingkat pendidikan juga mempengaruhi pengetahuan mengenai kota pusaka. Latar belakang pendidikan D4/S1 dan S2 lebih banyak yang mengetahui makna kota pusaka dan juga tahu bahwa Kota Baubau sebagai kota pusaka (Gambar 57a). Etnis Basilika, Ciacia, Wakatobi, Katobengke, dan etnis yang masuk dalam kategori lainnya, tidak mengetahui makna kota pusaka (Gambar57b).
a Gambar 56
b
Grafik hubungan pekerjaan dan pengetahuan mengenai Baubau sebagai kota pusaka (a) dan hubungan pekerjaan terhadap pengetahuan mengenai kota pusaka (b)
Responden yang bertempat tinggal di kecamatan terluar di Kota Baubau seperti Bungi, Lea-Lea, dan Sorawolio umumya tidak mengetahui sejarah Buton di Baubau dan juga tidak mengetahui peninggalan pusaka yang ada di Baubau (Gambar 58). Letak lanskap sejarah yang berada dengan kecamatan responden cenderung dipilih hampir seluruhnya dirasa perlu dilestarikan menurut responden. Hal ini terlihat pada seluruh responden yang berasal dari Kecamatan Bungi dan Kokalukuna menganggap Lanskap Palabusa perlu dilestarikan. Hal serupa juga ditunjukkan pada Lanskap Ngkaring-Ngkaring oleh responden yang berasal dari Kecamatan Bungi dan Lea-Lea (Gambar 59). Focus group discussion (FGD) dilakukan untuk menjawab pertanyaan yang timbul setelah dilakukan inventarisasi lanskap sejarah di Kota Baubau dan survei kepada masyarakat. Hasil yang diperoleh, masyarakat lokal umumnya tidak mengetahui bahwa Kota Baubau telah ditetapkan sebagai kota pusaka yang disebabkan program kota pusaka ini tidak tersosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini sejalan dengan hasil survei bahwa informasi mengenai penetapan Baubau sebagai kota pusaka lebih banyak diketahui oleh kalangan PNS. Namun demikian, terminologi kota pusaka dianggap baik karena masyarakat memahami maknanya meski pemahamannya sempit.
64 Tabel 9 Hasil uji chi-square berdasarkan latar belakang responden No
Pertanyaan
Chi-square Jenis Kelamin 0.110
Pekerjaan
Pendidikan
Etnis
Kecamatan
0.000*
0.000*
0.909
0.005*
1
Baubau sebagai kota pusaka
2
Kota pusaka
0.526
0.001*
0.000*
0.034*
0.000*
3
Sejarah Baubau
0.950
0.131
0.022*
0.001*
0.000*
4
Peninggalan pusaka Baubau
0.093
0.001*
0.000*
0.006*
0.000*
5
Pusaka harus dilestarikan
0.164
0.978
0.933
0.988
0.000*
6
0.039*
0.625
0.533
0.687
0.005*
0.180
0.016*
0.318
0.008*
0.475
0.847
0.453
0.161
0.054
0.077
0.092
0.119
0.197
0.002*
0.111
0.682
0.668
0.956
0.001*
0.295
0.161
0.588
0.769
0.619
0.124
0.421
0.457
0.535
0.405
0.000*
0.011*
0.727
0.815
0.593
0.280
0.930
0.672
0.973
0.665
0.201
15
Pusaka tak wujud harus dilestarikan Panorama alam harus dilestarikan Hanya pusaka etnis mayoritas yang harus dilestarikan Pusaka etnis pendatang harus turut dilestarikan Pemerintah, masyarakat, dan swasta, sebagai pemilik tanggung jawab Semua pihak sebagai pemilik tanggung jawab Pemerintah, masyarakat, dan LSM sebagai pemilik tanggung jawab Hanya masyarakat dan pemerintah sebagai pihak pemilik tanggung jawab Kolonial dan awal kemerdekaan Pecinan
0.321
0.496
0.033*
0.067
0.552
16
Ngkaring-Ngkaring
0.093
0.585
0.881
0.125
0.018*
17
Waborobo
0.900*
0.872
0.481
0.022*
0.525
18
Ciacia dan Kaisabu
0.469
0.919
0.988
0.643
0.309
19
Lowu-Lowu dan Kolese
0.947
0.809
0.988
0.941
0.693
20
Waliabuku
0.954
0.810
0.927
0.041*
0.384
21
Loji-Kotamara dan sekitarnya Pesisir tua dan Labalawa
0.211
0.377
0.519
0.041*
0.231
0.833
0.656
0.987
0.053
0.055
0.577
0.496
0.910
0.848
0.861
0.401
0.474
0.834
0.164
0.357
25
Liwuto Makasu serta perairan Selat dan Teluk Buton Lipu Katobengke dan Sekitarnya Benteng Sorawolio
1
1
1
1
1
26
Keraton Buton
1
1
1
1
1
27
Baadia dan Sambali
0.201
0.999
0.911
0.961
0.881
28
Palabusa
0.300
0.292
0.588
0.448
0.024*
29
Wakonti
0.123
0.650
0.665
0.542
0.007*
30
Wajo
0.396
0.577
0.759
0.311
0.092
7 8
9 10
11 12
13
14
22 23
24
Keterangan: (*) signifikan pada taraf kesalahan 0.05.
65
a Gambar 57
b
Grafik hubungan tingkat pendidikan dan pengetahuan mengenai Baubau sebagai kota pusaka (a) dan hubungan etnis terhadap pengetahuan mengenai kota pusaka (b)
Masyarakat Kota Baubau yang menyatakan mengetahui pusaka yang ada di Kota Baubau, hanya memahami pusaka tersebut antara lain Benteng Keraton Buton, Benteng Sorawolio, Benteng Baadia, Kamali, dan Malige. Hal ini disebabkan adanya fenomena keratonsentris. Baik masyarakat maupun pemerintah memiliki kebanggaan yang sangat besar terhadap Keraton Buton. Pusaka intangible seperti ritual dan kesenian bisa dikatakan lebih lestari dibandingkan pusaka lainnya sebab masyarakat sangat menjunjung nilai-nilai yang ada.
a Gambar 58
b
Grafik hubungan kecamatan dan pengetahuan mengenai sejarah Buton di Baubau (a) dan hubungan kecamatan terhadap peninggalan pusaka di Baubau (b)
Fenomena yang terjadi di Baubau, umumnya seluruh lapisan masyarakat dapat menceritakan sejarah Buton di Baubau namun hanya mengetahui cerita dan tidak berwawasan kepada objek sebagai bukti peninggalan. Saat ini, dari bidang pendidikan para pelajar dan mahasiswa di Buton memperoleh pendidikan sejarah dan budaya Buton. Namun, pendidikan tersebut hanya mempelajari timeline sejarah tanpa apresiasi terhadap objek. Jika ada, objek yang ditunjukkan hanya
66 Benteng Keraton Buton. Penyebabnya antara lain belum ada persamaan kurikulum dalam hal ini standar dan kriteria antar lembaga pendidikan sehingga subjektifitas pengajar lebih berpengaruh.
a Gambar 59
b
Grafik hubungan kecamatan terhadap lanskap Palabusa sebagai lanskap yang harus dilestarikan (a) dan hubungan kecamatan terhadap lanskap Ngkaring-Ngkaring sebagai lanskap yang harus dilestarikan (b)
Masyarakat ingin berperan aktif dalam melestarikan lanskap sejarah yang ada di Baubau. Peran yang diinginkan yaitu sebagai pengontrol. Selama ini masyarakat merasa kesulitan untuk menyampaikan apresiasi mereka karena lebih sering mendapatkan respon yang kurang memuaskan dari stakeholders terkait sehingga akhirnya merasa kurang percaya diri untuk terlibat dalam pelestarian. Kasus ketidakpercayaan diri untuk terlibat dalam pelestarian pusaka, juga ditemui di Kuala Lumpur, Malaysia oleh Ashari dan Mohamed (2012) namun penyebab utamanya lebih kepada masalah komitmen. Meskipun demikian, masyarakat di Kuala Lumpur memiliki keinginan berpartisipasi sebagai donatur. Su dan Li (2012) melaporkan pada pelestarian situs warisan dunia di Cina, masyarakat lokal juga sering perannya diabaikan. Berdasarkan hasil temuan Sarvazadeh dan Abidin (2012), peran masyarakat sangat penting yang menyatakan partisipasi masyarakat dengan dukungan para profesional dan pengambil keputusan, lebih meningkatkan kemampuan mengatasi ancaman dan kelemahan pelestarian pusaka perkotaan di Iran. Hasil FGD juga menunjukkan bahwa masyarakat sepakat bahwa 17 lanskap sejarah di Kota Baubau, harus dilestarikan baik yang tangible maupun intangible dengan syarat pusaka tersebut harus mampu bernilai ekonomi bagi masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan persepsi masyarakat di Kuala Lumpur, Malaysia yang menyatakan nilai penting suatu pelestarian pusaka yaitu atraksi wisata dapat membawa dampak ekonomi bagi masyarakat sekitar (Ashari dan Mohamed 2012). Signifikansi Kawasan Prioritas Kota Pusaka Baubau Berdasarkan hasil inventarisasi, kawasan prioritas terutama kawasan penyangga perlu diperluas karena adanya batas kultural yang terabaikan seperti pada lanskap Lipu yang didiami oleh etnis Katobengke, kebudayaannya tidak terlepas dari Lipu Morikana di Palagimata. Begitupun lanskap pelabuhan lama
67 yang tidak dapat dipisahkan dengan lanskap kolonial dan awal kemerdekaan sebagai cikal bakal Kota Baubau (Gambar 60). Berdasarkan hal tersebut, maka penambahan zona penyangga perlu dilakukan. Perairan Selat dan Teluk Buton, serta peninggalan prakerajaan secara kultural tidak dapat dipisahkan dengan Keraton Buton. Perluasan dan penambahan zona penyangga yang telah ditetapkan akan menambah nilai signifikansi pada kawasan prioritas kota pusaka.
Gambar 60 Rekomendasi kawasan prioritas Kota Pusaka Baubau Sebelum Kota Baubau sebagai kota pusaka diarahkan menjadi world heritage, maka perlu dilakukan penilaian signifikansi berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan oleh world heritage. Pada kawasan prioritas kota pusaka di Baubau yang diperluas dapat memenuhi kriteria (i), (ii), (iii), dan (iv) dari sepuluh kriteria yang ada. Kriteria (i) yaitu mewakili karya jenius manusia. Benteng keraton digunakan sebagai benteng pertahanan dan dibangun pada masa Sultan Buton ke-3 oleh masyarakat Buton. Sisi dalam benteng merupakan keraton yang bermakna kompleks pemerintahan Kesultanan Buton (Ibukota Kesultanan Buton). Keraton Buton berdasarkan naskah kuno Buton pada pertengahan tahun 1800an disebut sebagai sebuah kota. Konstruksi benteng menggunakan batu yang direkatkan dengan larutan kapur. Elemen penyusunnya antara lain dinding benteng, lawa, baluara, badili, lubang pengintaian, dan parit. View dari benteng keraton memperlihatkan lanskap wilayah kesultanan Buton dan menegaskan bahwa Buton pada masa lalu merupakan negeri kepulauan yang berjaya. Kriteria (ii) yaitu menunjukkan pentingnya pertukaran nilai-nilai kemanusiaan, selama rentan waktu atau budaya dunia, perkembangan arsitektur atau teknologi, seni yang monumental, perencanaan kota, atau desain lanskap. Keberadaan Benteng Keraton terbentuk karena interaksi manusia dan lanskap dari sisi geografis dan politis yang rentan terhadap serangan bangsa lain pada masa
68 lalu. Benteng keraton juga memiliki konektifitas dengan keberadaan ratusan benteng yang ada di Kesultanan Buton termasuk Benteng Baadia dan Sorawolio yang tak jauh dari Benteng Keraton yang menjadi daerah penyangga Keraton Buton. Bukan hanya benteng tetapi juga elemen lain di dalam benteng seperti rumah tradisional, kamali, Masigi Ogena, Sulana Tombi, batu popaua, batu yi gandangi, baruga, galampa, goa arupalaka, dan makam-makam para petinggi, serta pusaka intangible lainnya yang kesemuanya merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Elemen-elemen tersebut menunjukkan proses interaksi kebudayaan Melayu, Jawa, Tiongkok, Arab, Eropa, Bugis, dan Buton itu sendiri. Nilai penting lainnya, pada zona ini pada awal abad ke-20 merupakan dua buah kota yang tetap eksis menjalankan peran dan fungsinya masing-masing. Kedua kota tersebut yaitu Keraton Buton sebagai ibukota pemerintahan Kesultanan Buton dan Kota Baubau di pesisir yang dibangun oleh pemerintah Hindia Belanda. Kriteria (iii) yaitu menanggung kesaksian yang unik atau setidaknya luar biasa untuk tradisi budaya atau peradaban yang hidup atau tidak hilang. Perbedaan Benteng Keraton Buton dari benteng-benteng pada umumnya yaitu di dalamnya terdapat kehidupan manusia. Selanjutnya, keunikan sistem pemerintahan Kerajaan dan Kesultanan Buton menyebabkan konsep keraton di Buton berbeda dengan keraton lainnya. Terdapat tiga sara yaitu sara wolio, sara ogena, dan sara kidina yang merupakan lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Sara wolio dan sara ogena telah bubar tetapi sara kidina tidak pernah bubar sampai saat ini. Kawasan prioritas ini juga menjadi saksi peradaban masa lalu seperti pertahanan dari ancaman serangan dari pihak lawan (benteng), linguistik (bahasa wolio sebagai bahasa persatuan beserta aksaranya), ekonomi (mata uang kampua), pemerintahan (undang-undang Murtabat Tujuh), naskah kesultanan, rumah adat tahan gempa, simbol-simbol, tata ruang, keselarasan alam, dan produk-produk budaya lainnya (tenunan, pandai besi, tata rias dan busana, makanan tradisional, ritual, kerajinan emas, perak, dan kuningan, gerabah, kapal tradisional, dan lainnya), serta aturan kepemilikan tanah zaman kerajaan dan kesultanan masih lestari di dalam Keraton Buton. Kriteria (iv) yaitu menjadi contoh luar biasa dari jenis bangunan, ensemble atau lanskap yang menggambarkan signifikansi dalam sejarah manusia, arsitektur, dan teknologi. Benteng Keraton Buton dan juga benteng-benteng sekitar yang menjadi penyangganya merupakan buah karya asli masyarakat Buton pada masa Kesultanan Buton. Hal ini menunjukkan buah pemikiran dan tenaga manusia yang luar biasa dalam menciptakan ruang hidup yang aman untuk menjaga kedaulatannya. Keberadaan lima penyangga yang memiliki gaya yang khas juga menggambarkan kekhasan tersendiri atas kekayaan budaya yang dimiliki. Strategi Pelestarian Lanskap Sejarah Kota Baubau Dengan melihat kondisi saat ini, maka diperlukan beberapa strategi pelestarian untuk Kota Pusaka Baubau. Rekomendasi strategi yang diberikan untuk melestarikan lanskap sejarah di Kota Baubau secara umum terbagi atas tiga. Ketiga rekomendasi tersebut antara lain kebijakan perlindungan, peningkatan keterlibatan masyarakat, dan penataan kawasan lanskap sejarah.
69 Kebijakan Perlindungan Rekomendasi utama untuk melestarikan lanskap sejarah di Kota Baubau yaitu dengan menetapkan status hukum yang jelas kepada lanskap sejarah di Kota Baubau. Status hukum tersebut dapat berupa sekurang-kurangnya berupa peraturan walikota maupun peraturan daerah. Untuk lanskap sejarah yang memiliki nilai signifikansi yang tinggi, direkomendasikan untuk dilaksanakan penetapan sebagai cagar budaya yang ada di Baubau untuk mencegah terjadinya penurunan kualitas dan kuantitas lanskap sejarah. Undang-Undang No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, membuka pintu selebar-lebarnya kepada pemerintah daerah agar lebih aktif dalam upaya pelestarian. Untuk itu, pemerintah daerah di Kota Baubau harus memiliki sikap sadar budaya karena Kota Baubau sendiri memiliki banyak pusaka dalam bentuk cagar budaya. Berdasarkan hasil penilaian, lanskap Benteng Sorawolio, Keraton Buton, serta Baadia dan Sambali memperoleh nilai prioritas paling tinggi di antara lanskap sejarah lainnya. Untuk itu, ketiga lanskap tersebut sebaiknya ditingkatkan status perlindungnya. Terlebih dari hasil survei kepada masyarakat, ketiga lanskap tersebut juga memperoleh dukungan penuh yang terlihat dari nilai kesetujuan yang mencapai angka 100%. Rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Baubau menetapkan Lanskap Benteng Keraton Buton dan Baadia sebagai kawasan cagar budaya perlu dikaji lebih dalam sebab keberadaan lanskap tersebut tidak dapat dipisahkan dengan lanskap Benteng Sorawolio dan juga Sambali. Terlebih Lanskap Benteng Sorawolio dalam kajian ini menduduki peringkat teratas pada hampir seluruh komponen kualitas lanskap sejarah dan juga pada survei kepada masyarakat. Kawasan Jalan Balai Kota dan Jalan Letter Buton juga memiliki nilai keunikan yang tinggi di Kota Baubau. Kedepan, lanskap ini harus menjadi prioritas kawasan cagar budaya sebab mengandung nilai sejarah yang penting terhadap perkembangan Kota Baubau dan juga Sulawesi Tenggara. Peningkatan Keterlibatan Masyarakat Pewarisan sejarah lokal melalui pembelajaran jalur formal dan informal, dapat memperkuat nilai dan kepedulian yang tentunya akan berdampak kepada pelestarian (Amin 2011; Farid 2012). Dari bidang pendidikan, rekomendasi yang diberikan yaitu kurikulum pengajaran agar tidak sebatas mengajarkan timeline sejarah tetapi harus berwawasan objek dan lanskap sehingga lebih atraktif. Kenyataan yang diperoleh di Baubau, masyarakat mengetahui sejarah tetapi tidak mengetahui objek dan sebarannya. Pemerintah telah melakukan awal yang baik dengan menganjurkan muatan lokal berupa mata pelajaran sejarah dan budaya Buton namun ternyata tidak semua sekolah mengajarkannya. Rekomendasi lainnya yaitu, pelajaran budaya lokal etnis tertentu yang mayoritas tinggal di wilayah tertentu, juga harus mendapatkan proporsi pembelajaran mengenai kebudayaan lokal mereka. Pembelajaran sejarah dan budaya Buton tidak harus diajarkan pada mata pelajaran tersebut tetapi juga dapat dikaitkan dengan mata pelajaran lain misalnya kesenian. Standar dan kriteria pembelajaran perlu ditetapkan agar pembelajaran lebih jelas dan terarah. Kegiatan yang direkomendasikan yaitu festival yang dilaksanakan di jalur lanskap sejarah (street festival). Selama ini di Kota Baubau rutin melaksanakan gerak jalan indah. Tetapi gerak jalan indah kurang dapat merangsang jiwa kreatif
70 karena monoton dan peserta hanya sebagai objek bukan subjek yang merancang ide yang lebih kontemporer. Dengan street festival, diharapkan masyarakat dapat berperan mengasah kemampuan dalam merancang pertunjukan mereka sendiri. Hasil survei kepada masyarakat juga menunjukkan bahwa Lanskap Liwuto Makasu serta Perairan Selat dan Teluk Buton lebih banyak dipilih untuk dilestarikan meski objek sejarahnya sedikit. Hal ini disebabkan dulu di lanskap ini rutin diadakan festival sehingga masyarakat merasa punya hubungan dengan lanskap tersebut. Selain street festival, kegiatan yang direkomendasikan yaitu kompetisi blog mengenai lanskap sejarah di Kota Baubau. Media lokal di Baubau selama ini berharap adanya peran serta masyarakat di Baubau yang aktif menulis untuk mempromosikan Kota Baubau. Meskipun media lokal sudah membuka diri terhadap masukan artikel dari masyarakat, minat menulis di Baubau masih rendah (Eba AK 10 Mei 2014, komunikasi pribadi). Hal ini bukan dipengaruhi oleh fenomena tidak melek teknologi karena bisa dikatakan masyarakat Baubau sangat aktif di media sosial (Kudus I 21 Februari 2014, komunikasi pribadi). Bila rekomendasi ini dilaksanakan, ada beberapa keuntungan yang bisa dimanfaatkan antara lain meningkatkan minat menulis, meningkatkan pengetahuan mengenai lanskap sejarah di Baubau, meningkatkan rasa kepemilikan terhadap lanskap sejarah di kota Baubau, dan tentunya mempromosikan Kota Baubau. Baubau juga memiliki serangkaian kegiatan ritual yang berhubungan dengan pertanian. Palmer (2011) menyatakan dalam hasil risetnya di Liwuno, Kabupaten Buton, ritual pertanian cenderung ditinggalkan oleh masyarakat. Hal berbeda terjadi di Baubau karena tradisi ritual pertanian masih tetap lestari hingga saat ini. Jika ritual adat ini dapat dikoneksikan, tentu kalender wisata Baubau tidak pernah terputus. Terlebih ritual pertanian ini waktunya cukup panjang bahkan beberapa tempat di Baubau ada yang hingga 40 hari 40 malam. Hal yang juga tidak kalah penting, petani Labalawa di Lanskap Pesisir Tua dan Labalawa, membudidayakan sumber benih beberapa komoditas yang usianya diperkirakan ratusan tahun. Pemerintah kota kepada dinas terkait, perlu meregistrasi varietas tersebut sebagai varietas lokal Kota Baubau untuk melindungi sumber daya genetik dan juga sebagai kebanggaan daerah. Baubau juga perlu menetapkan place branding yang tepat. Selama ini publik bingung karena setidaknya ada tiga place branding di Baubau yakni negeri kahalifatul khamis, negeri seribu benteng, dan kota dengan benteng terluas di dunia. Tobias dan Wahl (2013) menyatakan place branding dapat mempromosikan daerah dan mampu melestarikan suatu lanskap apabila didukung dengan keunikan yang sebenarnya pada suatu tempat. Terhadap pelaku usaha yang mempertahankan tradisi seperti pandai besi, pengrajin perak dan emas, pengrajin kuningan, penenun, dan pengrajin gerabah, perlu dibina untuk mengembangkan produknya. Para pengrajin selama ini hanya menjaga tradisi tanpa melihat tren pasar sehingga perlu adanya inovasi produk. Ada perasaan ketakutan dengan adanya inovasi malah akan menghilangkan kebudayaan. Hal ini dapat diatasi dengan museum. Saat ini di Baubau hanya ada satu museum dan bukan milik pemerintah. Kedepan, Baubau harus memiliki museum yang bisa menampilkan perkembangan kebudayaan sehingga perasaan takut jika melakukan inovasi terhadap suatu produk dapat diinimalisir.
71 Pemerintah juga sebaiknya memperkuat kerjasama dan koordinasi karena saat ini yang terjadi, adanya saling lempar tanggung jawab antar tiap instansi. Masalah pertanahan juga sering timbul karena adanya klaim dari oknum sebagai pemilik lahan. Kasus semacam ini terjadi pada Benteng Lowu-Lowu dan dahulu juga pernah dialami oleh Benteng Kalampa. Untuk itu rekomendasi juga disarankan kepada dinas terkait apabila ingin mengeluarkan sertifikat tanah, izin membangun, maupun izin membuka usaha, sebaiknya juga turut melibatkan dinas lain utamanya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Alasan yang mendasarinya karena karakter Kota Baubau berbeda dengan kota-kota lainnya di Indonesia sebab memiliki banyak peninggalan sejarah namun ketidak tahuan masyarakatnya lebih tinggi. Kerjasama dengan stakeholders lainnya juga perlu ditingkatkan karena dapat meningkatkan keberlanjutan kota yang memiliki nilai sejarah yang tinggi (Ismail dan Mohd-Ali 2011) Penataan Kawasan Lanskap Sejarah Penataan kawasan lanskap sejarah perlu direncanakan agar tidak terjadi penurunan kualitas visual. Penurunan kualitas bisa terjadi ke arah dalam maupun ke arah luar lanskap sejarah. Contoh penurunan kualitas ke arah dalam lanskap sejarah yang sering dijumpai di Kota Baubau yaitu keberadaan reklame yang ditempatkan begitu saja sehingga menimbulkan kesan semrawut. Selain terlihat semrawut, reklame juga dapat membahayakan keselamatan (Juniarko et al. 2010). Contoh penurunan kualitas ke arah luar misalnya pada kasus topografi Kota Baubau yang berbukit dan menghadap laut. Benteng selalu dibangun dipinggir tebing. Fungsi benteng untuk bertahan, menyerang, dan memantau musuh yang datang dari luar tentu membutuhkan arah pandang yang baik. Bila pembangunan di luar arah benteng tidak ada pengaturan mengenai batas tinggi bangunan, tidak menutup kemungkinan arah pandangan yang seharusnya melihat ke suatu vista, akan tidak terlihat dan menimbulkan penurunan sense pada saat berada di dalam benteng. Khusus untuk Benteng Keraton Buton, selama ini memasang label sebagai Benteng Terluas di dunia. Penataan di sisi terluar benteng dianggap perlu dilakukan karena sense kemegahan benteng justru lebih terlihat dari arah luar dan hingga saat ini, penataan kawasan luar benteng nampaknya belum dilakukan. Selama ini potensi kemegahan dari luar terabaikan karena dibukanya jalan di utara benteng dan pengunjung tidak menapaki dari luar, sehingga terlewat begitu saja dengan kendaraan. Objek-objek sejarah yang telah ditinggalkan pelakunya seperti peninggalan prakerajaan dan kolonial tetap harus dijaga kualitas dan kuantitasnya. Sebagai sebuah aset, peninggalan yang telah ditinggalkan sesungguhnya memiliki potensi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat (Mansur 2006). Hal yang dapat dilakukan yaitu dengan dikelola dengan pola pemanfaatan yang adaptif yaitu digunakan kembali dengan cara yang berbeda tanpa mengubah bentukan yang ada. Pola pemanfaatan adaptif seperti ini terbukti mampu melestarikan objek sejarah (Abubakar 2012). Keberadaan objek bersejarah di Kota Baubau memiliki atmosfer tersendiri. Namun pengelolaan selama ini dititik beratkan kepada peningkatan kualitas pada siang hari sehingga pemanfaatannya hanya bisa dilihat siang hari. Untuk menikmati objek dari luar, tidak harus masuk dilakukan pada siang hari sehingga
72 dirasa perlunya suatu penataan pencahayaan pada malam hari terutama pada bangunan-bangunan bersejarah di dalam Kota Baubau. Manurung (2008) menyatakan bahwa penataan pencahayaan pada bangunan bersejarah di malam hari, dapat meningkatkan karakter dan identitas objek. Kelangkaan informasi mengenai pusaka di Kota Baubau masih menjadi masalah utama. Dari pengamatan di lapang, hanya objek yang berada di dalam Benteng Keraton Buton saja yang memiliki papan informasi. Untuk di luar benteng, informasi yang jelas hanya ditemui pada makam bersejarah. Informasi hanya dapat diakses oleh pengunjung yang dapat berbahasa Indonesia. Untuk itu diperlukan sebuah papan informasi yang lebih berkeadilan kepada seluruh pengunjung dan juga mampu menjadi semacam bank data. Konsep yang ditawarkan yaitu papan informasi dilengkapi dengan informasi dalam dua bahasa yakni Indonesia dan Inggris yang memuat informasi singkat mengenai objek. Informasi yang lebih detail dapat diakses melalui QR-Code yang tertera dalam papan informasi, yang akan menyambungkan pada sebuah situs web. Papan informasi juga menampilkan gambar kondisi eksisting dan kondisi zaman dulu untuk meningkatkan pengetahuan (Gambar 61)
Gambar 61 Rekomendasi papan informasi pada objek pusaka Penggunaan media internet untuk melestarikan pusaka dirasa penting. Situs web bisa menjadi bank data yang berisi informasi lengkap mengenai pusaka yang ada (Sofian dan Hendrata 2012). Saat ini persentase pengguna internet dunia terus meningkat yang memiliki potensi yang besar. Pemanfaatan media internet bukan hanya mampu melestarikan dan memberikan informasi objek pusaka tetapi juga dapat menjadi media promosi. Keunggulan lainnya, biaya yang dibutuhkan tidak mahal. Pemerintah dapat merancang sebuah kegiatan yang menghubungkan papan