17
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.
Hasil
4.1.1.
Kondisi umum perairan selat sunda Selat Sunda merupakan selat yang membujur dari arah Timur Laut menuju
Barat Daya di ujung Barat Pulau Jawa atau Ujung Selatan Pulau Sumatra. Selat Sunda termasuk perairan laut dangkal dengan kedalaman sampai 1800 meter. Kedalaman air ini bertambah secara bertahap dan melebar ke arah Samudra Hindia (Rostitasari 2001). Pola aliran di Selat Sunda menunjukan fenomena yang menarik. Hal ini di sebutkan oleh Wyrtki (1961) in Rostitasari (2001) bahwa arus di Selat ini secara umum searah sepanjang tahun. Selat Sunda dipengaruhi oleh adanya Angin Muson Tenggara dan Angin Muson Barat Laut yang terjadi di Indonesia. Pada saat Muson Tenggara, suhu permukaan Selat Sunda lebih dari 29 °C dengan konsentrasi klorofil-a lebih dari 0,5 mg/m3 dan salinitas yang rendah (Hendiarti et al. 2005 in Ramansyah 2009). Menurut Wyrtki (1961) in Ramansyah (2009) pada bulan Juli sampai Oktober Angin Muson Tenggara berhembus sangat kuat di Pantai Selatan Jawa dan Arus Khatulistiwa Selatan tertekan jauh ke Utara sehingga cabang Arus Khatulistiwa Selatan berbelok sampai ke Selat Sunda. Pada bulan Mei sampai dengan bulan Agustus terjadi kenaikan massa air di Selatan Jawa samapi Sumbawa (Wyrtki 1961 in Ramansyah 2009 ).
4.1.2. Hubungan panjang bobot Pola hubungan panjang dan bobot ikan jantan dan betina tidak berbeda nyata (p > 0,05, Lampiran 6). Hubungan panjang bobot yang diperoleh yaitu W = 0,000008L3,062 dengan kisaran nilai b antara 2,984-3,141 (p = 0,05) Hubungan panjang bobot disajikan pada Gambar 7.
18
200 180 160 W = 8E-06L3,062 R² = 0,938 N = 389 ekor
Bobot (gram)
140 120 100 80 60 40 20 0 0
50
100
150
200
250
300
Panjang (mm)
Gambar 7. Hubungan panjang bobot ikan kembung lelaki di Selat Sunda tahun 2011
4.1.3.
Parameter pertumbuhan Berdasarkan data contoh yang terkumpul (Lampiran 7), panjang minimum
ikan kebung lelaki jantan adalah 115 mm dan panjang maksimum 244 mm sedangkan panjang minimum ikan betina 105 mm dan panjang maksimum adalah 242 mm. Ikan kembung lelaki jantan dan betina memiliki satu hingga tiga kelompok umur tiap bulannya, masing-masing dengan nilai tengah dan simpangan bakunya (Lampiran 8). Parameter pertumbuhan dianalisis menggunakan nilai tengah panjang pada kelompok umur yang sama. Dugaan pola petumbuhan ikan kembung lelaki ditunjukan oleh garis putus-putus pada Gambar 8 (ikan jantan) dan Gambar 9 (ikan betina) yang menghubungkan pergeseran bulanan titik nilai tengah kelompok umur dari satu kohort.
19
April
Mei
Juni
Juli
Agst
Sept
0
25
50
75
100
125
150 175 200
225
Panjang total (mm) Gambar 8. Kelompok ukuran panjang ikan kembung lelaki jantan di Selat Sunda dari bulan April sampai september tahun 2011 Alasan menggunakan nilai tengah panjang yang ditunjukan oleh garis putusputus dalam analisis parameter pertumbuhan adalah karena ikan-ikan pada kelompok umur tersebut diduga merupakan ikan dari kohort yang sama.
20
April
Mei
Juni
Juli
Agst
Sept
0
75 100 125 150 175 200 225 Panjang total (mm) Gambar 9. Kelompok ukuran panjang ikan kembung lelaki betina di Selat Sunda dari bulan April sampai September tahun 2011 25
50
Analisis parameter pertumbuhan disajikan pada Lampiran 9. Hasil dugaan paremeter pertumbuhan (L∞, K dan to) disajikan pada Tabel 3.
21
Tabel 3. Parameter pertumbuhan L∞, K dan to ikan kembung lelaki di Selat Sunda tahun 2011 Parameter Panjang asimtotik (mm) K (1/bulan) to (bulan)
Betina 243,86 0,42 -0,66
Jantan 297,23 0,19 -0,33
Parameter pertumbuhan baik ikan kembung lelaki jantan maupun betina dapat dinyatakan dalam persamaan masing-masing Lt = 297,23 [1-e
-0,19(t+0,33)
]
(Gambar 10) dan Lt = 243,86 [1-e-0,42(t+0,66)] (Gambar 11). Secara teoritis ikan kembung jantan dan betina memiliki panjang asimtotik yang berbeda masingmasing 297,23 mm dan 243 mm dan memiliki koefisien pertumbuhan (K) masingmasing 0,19/bulan dan 0,42/bulan. Oleh sebab itu dapat diperkirakan ikan betina lebih cepat mati dibandingkan dengan ikan jantan. Perkiraan lama hidup ikan jantan 15,7 bulan sedangkan ikan betina yaitu 7,2 bulan.
L∞ 300
Panjang total (mm)
250
200
Lt = 297,23 [1-e -0,19(t+0,33)]
150
100 Titik yang digunakan untuk menduga kurva pertumbuhan
50
0 -2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Waktu (bulan)
Gambar 10. Kurva pertumbuhan ikan kembung lelaki jantan di Selat Sunda tahun 2011
22
300
L∞ 250
Panjang total (mm)
200
150
Lt = 243,86 [1-e-0,42 (t+0,66)]
100
Titik yang digunakan untuk menduga kurva pertumbuhan
50
0 -2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
20
Waktu (bulan)
Gambar 11. Kurva pertumbuhan ikan kembung lelaki betina di Selat Sunda tahun 2011
4.1.4. Tingkat kematangan gonad Proporsi gonad ikan kembung lelaki yang telah matang disajikan pada Lampiran 10. Persamaan proporsi gonad yang telah matang terhadap panjang adalah P = 1/(1+ e-0,13(L-208)). Panjang pertama kali ikan kembung lelaki matang gonad terjadi saat P = 50% yaitu 208 mm. Hal ini berarti dari semua ikan kembung lelaki dengan panjang total 208 mm, 50% berpeluang telah matang gonad. Proporsi gonad ikan kembung lelaki yang telah matang disajikan pada Gambar 12.
Proporsi gonad matang (%)
23
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Titik yang digunakan untuk menduga kurva sigmoid
Lm = 208 mm 260 250 240 230 220 210 200 190 180 170 160 150 140 130 120 110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Panjang (mm)
Gambar 12. Proporsi gonad yang matang ikan kembung lelaki di Selat Sunda tahun 2011
Sebaran tingkat kematangan gonad ikan kembung lelaki betina setiap bulan disajikan pada Gambar 13 dan data disajikan pada Lampiran 10. Frekuensi TKG 4 mengalami fluktuasi dengan tiga puncak yaitu pada bulan Mei (3%), Juli (32%) dan September (50%). Penurunan frekuensi TKG 4 pada bulan Mei ke bulan Juni menunjukan bahwa ikan mengalami pemijahan. Sama halnya yang terjadi pada bulan Juli ke Agustus menunjukan terjadi aktifitas pemijahan pada periode tersebut. Pada bulan September frekuensi TKG 4 mengalami peningkatan dan
Frekuensi (%)
diduga pada periode tersebut akan terjadi pemijahan.
100% 90% 80% 70% 60% 50% 40% 30% 20% 10% 0%
TKG 1 TKG 2 TKG 3 TKG 4 April
Mei
Juni
Juli
Agustus September
Waktu (bulan)
Gambar 13. Frekuensi tingkat kematangan gonad ikan kembung lelaki betina di Selat Sunda dari bulan April sampai September tahun 2011
24
4.2.
Pembahasan Hasil dugaan hubungan panjang bobot dan parameter pertumbuhan (K, L∞
dan to) dapat dipengaruhi oleh variasi contoh yang digunakan, kondisi lingkungan dan tingkat eksploitasi ikan tersebut. Faktor contoh diantaranya panjang maksimum, panjang minimum dan sebaran panjang
ikan yang tertangkap.
Semakin besar kisaran antara panjang maksimum dengan panjang minimum maka dugaan yang diperoleh diharapkan akan memberikan hasil yang lebih mewakili keadaan di alam jika dibandingkan dengan kisaran panjang ikan yang lebih kecil. Panjang terkecil ikan kembung lelaki yang tertangkap di Selat Sunda yang didaratkan di PPI Labuan yaitu 105 mm sedangkan panjang terbesar yaitu 244 mm. Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Mosse dan Hutubessy (1996) di Perairan Ambon dan sekitarnya diperoleh panjang ikan terkecil yaitu 29,0 mm dan panjang terbesar yaitu 309 mm. Artinya ikan contoh yang tertangkap di Perairan Ambon merupakan ikan muda hingga ikan yang tua, namun berbeda dengan ikan contoh yang tertangkap di Selat Sunda hanya ikan yang sudah dewasa atau tua saja. Hal tersebut menunjukan bahwa contoh yang diambil dari Perairan Ambon diharapkan lebih mewakili keadaan populasi jika dibandingkan dengan contoh ikan yang diambil dari Selat Sunda. Berdasarkan analisis hubungan panjang bobot ikan kembung lelaki di Selat Sunda diperoleh nilai dugaan b (p = 0,05) berkisar 2,984-3,141. Menurut Mosse dan Hutubessy (1996) ikan kembung di Perairan Pulau Ambon dan sekitarnya memiliki nilai b sama dengan 3,26 yang menunjukan bahwa ikan-ikan kembung lelaki di perairan tersebut lebih gemuk dibanding dengan ikan kembung lelaki di Selat Sunda. Hal serupa juga ditunjukan olah Sujastani (1974) in Mosse dan Hutubessy (1996) dan Djamali (1977) in Mosse dan Hutubessy (1996) yang telah menduga nilai b ikan kembung lelaki di Laut Jawa dan Pulau Panggang berturutturut 3,17 dan 3,25. Perbedaan kondisi ikan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya yaitu faktor perbedaan kondisi lingkungan dan ketersediaan makanan (Effendie 1997). Lingkungan Selat Sunda yang relatif kurang baik diduga mengakibatkan ikan tersebut lebih kurus. Hasil pemantauan yang dilakukan oleh TP2LI pada tahun 2001 menunjukan bahwa kekeruhan, COD, BOD, H2S dan
25
amoniak telah melampaui baku mutu. Pengamatan dan analisis kualitas air perairan pantai dan laut yang dilakukan oleh Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang (2002), memperlihatkan adanya indikasi pencemaran logam berat kadmium (Cd) dan nikel (Ni) yang berada diatas baku mutu yang diperbolehkan bagi keperluan budidaya perikanan. Hasil pengukuran didapat kandungan logam Cd berkisar 0,011 – 0,179 mg/l, sementara baku mutu adalah ≤ 0,01 mg/l (Bapedal Provinsi Banten 2006). Menurut Banten Province Environmental Strategy, kualitas air di Selat Sunda dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah aktivitas yang terjadi di darat sekitar perairan tersebut. Sumber pencemaran dapat masuk melalui sungai yang bermuara di Selat Sunda. Salah satu sungai yang bermuara di Selat Sunda adalah Sungai Cidanau. Sungai ini memiliki kandungan bahan organik dan permanganat (7,7 mg/L) yang cukup tinggi. Selain itu, pencemaran juga berasal dari aktivitas agroindustri, industri kecil dan domestik serta limbah penambangan liar yang berada di Kabupaten Pandeglang. Mengingat besarnya pengaruh aktivitas di daratan sekitar Selat Sunda maka perlu adanya penanganan masalah tersebut dari hulu ke hilir secara terpadu antar instansi terkait. Faktor lainya yang dapat mempengaruhi tingkat kegemukan ikan adalah jumlah makanan. Jumlah makanan di Selat Sunda tergolong rendah. Jumlah klorofil di Selat Sunda adalah 0,5 mg/m3 (Hendiarti et al. 2005 in Ramansyah 2009) sedangkan jumlah klorofil di Laut Jawa berkisar 2,01 mg/m3 (Setiapermana 1976).
Jumlah klorofil yang tinggi berimplikasi pada jumlah
plankton yang tinggi dan sebaliknya. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Perdanamihardja (2011) bahwa ikan kembung lelaki di Teluk Jakarta memiliki nilai b sama dengan 2,87. Hal tersebut berarti ikan di teluk Jakarta jauh lebih kurus dibanding ikan di Selat Sunda, Laut jawa, Pulau Panggang dan periran Ambon. Menurut Forum Pengendali Lingkungan Hidup Indonesia (2004) Teluk Jakarta merupakan teluk yang paling tercemar di Asia akibat limbah industri dan rumah tangga. Faktor pencemaran yang tinggi merupakan salah satu penyebab ikan di Teluk Jakarta memiliki bobot kurus. Akibat penambahan bahan pencemar di perairan akan berpengaruh terhadap biomassa ikan tersebut.
26
Laju pertumbuhan ikan betina lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan ikan jantan namun hal ini berbanding terbalik dengan panjang maksimum yang dapat dicapai oleh ikan tersebut. Hal ini menunjukan bahwa ikan betina lebih cepat mencapai panjang maksimum. Faktor yang mempengaruhi hal tersebut yaitu hormon dan alokasi makanan (Effendie 1997). Faktor laju penuaan ikan tersebut berdampak pada perkiraan lama ikan hidup. Ikan jantan lebih lama hidup jika dibandingkan dengan ikan betina. Jika ikan tersebut dibandingkan dengan ikan di Laut Jawa maka panjang asimtotik ikan di Laut Jawa lebih kecil dibanding ikan di Selat Sunda yaitu 238,88 mm dengan koefisien pertumbuhan 0,23 (Burhanudin et al. 1984) . Berbeda halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Mosse dan Hutubessy (1996) yang menduga panjang asimtotik ikan kembung lelaki di perairan Pulau Ambon dan sekitarnya yaitu 330,00 mm dengan koefesien pertumbuhan 1,37. Hal ini berarti panjang maksimum yang dapat dicapai oleh ikan kembung lelaki di perairan tersebut lebih tinggi dibanding dengan ikan yang terdapat di Selat Sunda. Faktor utama yang mempengaruhi hal tersebut adalah intensitas penangkapan dan kondisi perairan. Faktor lain diantaranya keturunan, penyakit, hormon dan kemampuan memanfaatkan makanan, ketersediaan makanan, kompetisi dalam memanfaatkan ruang dan suhu perairan (Effendie 1979). Berdasarkan kurva pertumbuhan ikan kembung lelaki, ikan kembung lelaki muda memiliki laju pertumbuhan yang lebih tinggi dibandingkan dengan laju pertumbuhan ikan kembung yang sudah tua. Artinya kecepatan pertumbuhan menurun apabila ikan makin bertambah tua. Dugaan panjang pertama kali matang gonad ikan kembung lelaki di Selat Sunda adalah 208 mm, sedangkan panjang pertama kali matang gonad ikan kembung lelaki di Perairan Ambon dan sekitarnya yaitu 240 mm. Hal ini menunjukan bahwa ikan kembung lelaki di Selat Sunda lebih cepat memijah dibandingkan dengan ikan di Perairan Ambon. Perbedaan tersebut dapat dipengaruhi oleh tingkat eksploitasi, pencemaran dan juga ketersediaan makanan. Tingginya aktivitas penangkapan juga akan menurunkan panjang pertama kali matang gonad. Perairan Ambon dan sekitarnya masih dapat dikatakan belum tereksploitasi secara intensif dan perairan masih bebas dari pencemaran (Mosse
27
dan Hutubessy 1996). Menurut Taeran (2007) Potensi lestari ikan (MSY) kembung di Perairan Ambon sebesar 3179139 Kg/tahun sedangkan pemanfaatan hanya 2653275 Kg/tahun yang berarti ikan kembung di daerah tersebut masih di bawah eksploitasi. Hasil analisis tingkat kematangan gonad mengindikasikan bahwa aktivitas pemijahan ikan kembung lelaki di Selat Sunda terjadi pada bulan Mei, Juli dan September. Menurut
Mosse dan Hutubessy (1996), ikan kembung lelaki di
perairan Ambon dan sekitarnya mengalami masa pemijahan sepanjang tahun dengan periode 4 minggu dan puncak pemijahan pada bulan Mei sampai Juli. Namun berbeda halnya dengan penelitian Sujastani (1974) in Mosse dan Hutubessy (1996) pemijahan ikan kembung lelaki di Laut Jawa terjadi sekali dalam setahun. Pada bulan Juni terdapat suatu kohort ikan yang masih muda yang ditandai dengan ukuran panjang total yang relatif kecil dibanding dengan ikan pada bulan sebelumnya. Ikan-ikan tersebut mempunyai kisaran panjang total yaitu 105-168 mm yang belum matang gonad. Katagori matang gonad ditetapkan pada gonad yang telah mencapai TKG 3 ke atas (Wooton 1991 in Mosse dan Hutubessy 1996). Menurut Collette dan Nauen (1983) panjang ikan kembung lelaki pertaman kali matang gonad adalah 196 mm. Ikan-ikan muda yang masuk ke dalam suatu stok merupakan ikan yang berasal dari daerah nursery area yang melakukan migrasi (King 1995). Menurut Hardenberg (1938) in Rifqie (2007) pada saat musim barat yaitu pada bulan Juni-September, dinamika stok ikan kembung yang masuk ke Selat Sunda berasal dari Samudra Hindia. Mengingat hal tersebut maka perlu dilakukan pengelolaan agar ikan tetap lestari. Kelestarian sumber daya ikan kembung lelaki di Selat Sunda dapat dijaga dengan melakukan penangkapan yang difokuskan hanya kepada ikan-ikan yang lebih besar dari 208 mm. Hal ini berkaitan dengan asumsi bahwa ikan yang berukuran 208 mm telah melakukan aktivitas reproduksi minimal satu kali. Cara tersebut dapat ditempuh dengan mengatur ukuran mata jaring alat tangkap sehingga ikan yang tertangkap merupakan ikan yang berukuran lebih dari 208 mm. Selain itu, Kelestarian suatu spesies ikan salah satunya dipengaruhi oleh keberhasilan pada fase reproduksi. Tingkat keberhasilan reproduksi dapat
28
ditingkatkan melalui beberapa cara yaitu menjaga kawasan pemijahan dan peremajaan
serta memberikan kesempatan bagi ikan-ikan tersebut untuk
memijah. Salah satu cara yang ditempuh untuk meningkatkan keberhasilan reproduksi adalah dengan menjaga ekosistem manggrove dan estuari.