4
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sistem Sosial-Ekologi Desa Basaan
4.1.1 Sistem Sumberdaya Desa Basaan Kabupaten Minahasa Tenggara tidak terlepas dari kegiatan tektonik dan magmatisme busur gunung api karena lajur Tunjaman Sulawesi Utara, Sangihe Timur dan Selatan. Morfologi dataran dengan kemiringan lereng antara 0-5% menempati daerah pantai dan muara sungai dengan ketinggian 0-25m di atas muka laut. Relief pantai rendah hingga datar dengan karakteristik garis pantai yaitu pantai berpasir dan berbatuan dasar dan daratan berlumpur. Panjang area tapak daerah pantai di Desa Basaan secara vertikal dari arah pantai bervariasi kurang lebih 5-1500m, sedangkan pada Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus berkisar 5100m. Terdapat dua sungai yang bermuara di Teluk Totok yaitu Sungai Basaan dan Sungai Totok. Morfologi perbukitan bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar 515%, di beberapa tempat >30%, dan ketinggian antara 0-200m di atas permukaan laut mengisi pantai belakang. Karakteristik garis pantai berpasir, berkerikil hingga berbatuan dasar. Untuk morfologi perbukitan terjal, kemiringan lereng antara 15-70%, dan ketinggian berkisar 0-1500m di atas permukaan laut ada di bagian dari kaki tubuh pegunungan hingga pesisir pantai, di antaranya ada pada daerah sekitar pesisir pantai Laut Maluku antara Kema hingga Ratatotok. Karakteristik garis pantai yang terdiri dari batuan dasar mengisi pantai belakang. Berdasarkan derajat kekuatan geologi teknik, daerah pantai Bentenan hingga Belang dan sebagian pantai Ratatotok memiliki zona derajat kekuatan geologi teknik sangat rendah karena dibentuk oleh endapan alluvium (Qal) berupa lanau pasiran dan endapan pantai. Untuk daerah pantai Desa Basaan memiliki zona derajat kekuatan geologi teknik rendah karena dibentuk oleh endapan sungai (Qs). Daerah ini sangat rentan terhadap abrasi, dimana daerah ini terdapat sungai yang mengendapkan material di pesisir pantai dengan bantuan arus laut. Sungaisungai yang ada membentuk gosong-gosong pasir dan bahan-bahan yang dibawanya mengendap di depan pantai.
57
58 Di wilayah pesisir Desa Basaan terdapat ekosistem mangrove, terumbu karang dan lamun. Keberadaan ekosistem-ekosistem tersebut sangat penting untuk menunjang kehidupan di Desa Basaan. Selain menghasilkan barang (ikan, kayu bakar, dll) yang dimanfaatkan langsung oleh masyarakat, juga menghasilkan jasa ekologi seperti penahan gelombang pasang, abrasi dan angin. Keterkaitan fungsi antar ke tiga ekosistem tersebut sangat penting, karena kerusakan salah satu ekosistem akan mempengeruhi keberadaan ekosistem yang lain. 4.1.2 Kondisi Sosial Masyarakat dan Infrastruktur Desa Basaan masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Ratatotok Kabupaten Minahasa Tenggara. Pada tahun 2011, penduduk Desa Basaan sebagian besar berasal dari suku Minahasa dan Bajo, dengan jumlah penduduk sebanyak 1.178 jiwa, yang terdiri dari 629 jiwa Laki-laki dan 549 jiwa perempuan. Jumlah kepala keluarga sebanyak 329 dengan rata-rata anggota keluarga sebanyak 4 orang. Hal ini menunjukkan program keluarga berencana yaitu 2 anak setiap keluarga sudah diterapkan oleh masyarakat Desa Basaan. Pola pemukiman masyarakat bersifat menetap, ada rumah-rumah permanen, rumah panggung yang beratapkan seng yang didirikan di sebelah menyebelah jalan desa dengan bagian depan rumah atau serambi muka menghadap kejalan, antara rumah dan jalan desa dibatasi dengan pagar, ada yang permanen seperti beton, ada pula yang menggunakan patok-patok kayu dan bambu dan ada pula yang manjadikan tanaman-tanaman tertentu sebagai pagar hidup. Rumah-rumah permanen dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan WC. Untuk rumah-rumah yang didirikan di pesisir pantai
memiliki bentuk
rumah yang sangat sederhana, berlantaikan tanah, sedangkan di pinggiran pantai umumnya berbentuk rumah panggung yang sebagian besar berdiri diatas permukaan laut dengan dindingnya dari anyaman bambu dan tiang-tiangnya terdiri dari kayu bakau bulat di samping rumah terdapat jembatan darurat yang terbuat dari bambu yang menghubungkan rumah satu ke rumah yang lain dan rumah-rumah tersebut tidak dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan WC, sehingga masyarakat menggunakan hutan bakau di belakang rumahnya, pantai dan sungai sebagai tempat buang hajat. Meskipun di pesisir pantai telah disediakan oleh pemerintah jamban keluarga (WC) sebanyak 3 buah, tetapi tidak dapat menampung seluruh masyarakat, sehingga menyebabkan adanya antrian
59 masyarakat yang akan menggunakan fasilitas tersebut. Secara umum sanitasi yang ada di Desa Basaan cukup baik.
Gambar 10 Peta administrasi Desa Basaan. Adapun mata pencaharian masyarakat Desa Basaan adalah petani (65%), nelayan (30%) dan lain-lain (5%). Sebagian besar nelayan merupakan mereka yang berasal dari suku Bajo, walaupun saat ini komunitas nelayan tersebut sudah merupakan generasi campuran, artinya telah terjadi kawin antar suku. Untuk tingkat pendidikan dikelompokkan menjadi lima yaitu : (1) tidak sekolah 132
60 penduduk (11,66%); (2) sekolah dasar 453 penduduk (40,17%); (3) sekolah menengah pertama 375 penduduk (33,13%); (4) sekolah menengah atas 136 penduduk (12,01%); dan (5) perguruan tinggi 36 penduduk (3,18%). Dari data yang ada, dapat dikatakan tungkat pendidikan masyarakat tergolong rendah. Hal ini disebabkan kurangnya sarana dan prasarana pendidikan yang ada, dimana berdasarkan hasil observasi di Desa Basaan hanya terdapat sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP), sedangkan sekolah menengah atas (SMA) terdapat di Ratatotok dan Belang yang jaraknya cukup jauh dari Desa Basaan. Usaha ekonomi produktif yang dilakukan masyarakat selain dalam bidang penangkapan ikan, maka melalui kelompok nelayan yang ada mereka melakukan usaha pemeliharaan ikan dalan kurungan jaring apung (KJA). Mengingat pembangunan kelautan dan perikanan di kawasan ini akan melibatkan partisipasi semua kalangan masyarakat, maka upaya memberdayakan ekonomi masyarakat merupakan keharusan. Pemberdayaan ekonomi yang dimaksud diharapkan mampu
meningkatkan
kapasitas
sumberdaya
manusia
(SDM)
dan
kesejahteraannya tanpa mengesampingkan kultural dan sistem nilai yang dianut. 4.2
Ekologi Terumbu Karang
4.2.1 Oseanografi Perairan sekitar Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus memiliki pasang surut ganda utama atau semi diurnal tides, terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam satu hari dengan nilai tunggang pasut (tidal range) sebesar 1,17 m. Pasang surut di perairan ini dipengaruhi oleh rambatan pasang surut dari perairan Laut Maluku. Kondisi ini menunjang kegiatan budidaya perikanan dengan metode kurungan jaring apung (KJA) dan jaring tancap. Pada umumnya arus yang bergerak ke dalam Teluk Totok lebih dominan, terutama melewati selat-selat yang ada di Pulau Putus-Putus, karena adanya masukan massa air dari Laut Maluku. Analisis pola arus pasang surut tersebut menunjukkan bahwa kecepatan arus di perairan sekitar Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus memenuhi persyaratan untuk kegiatan budidaya terutama metode KJA. Melihat kondisi geografis Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, semua arah angin dapat membangkitkan gelombang, terutama arah angin dari selatan dan
61 timur. Kondisi bergelombang yang besar terjadi pada saat musim selatan (bulan Agustus hingga Oktober) dengan tinggi gelombang lebih besar dari 1 m. Hasil pengukuran beberapa variabel kualitas air (Tabel 12) menunjukkan bahwa kondisi perairan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dalam kondisi yang baik. Nilai oksigen terlarut yang diperoleh (lebih besar 3 ml/l) menggambarkan bahwa perairan mendukung kehidupan organisme laut khususnya ikan. Apabila oksigen terlarut kurang dari 3 ml/l dan berlangsung dalam waktu lama, akan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan dan kurangnya nafsu makan ikan. Walaupun demikian pada kondisi oksigen terlarut dalam jumlah yang sangat banyak dapat juga mengakibatkan terjadinya kematian pada ikan, sebab di dalam pembuluh-pembuluh darah terjadi emboli gas yang dapat mengakibatkan tertutupnya pembuluh-pembuluh rambut dalam daun-daun insang ikan. Tabel 12 Pengukuran parameter fisik-kimia perairan TEMP (°C)
SAL. (o/oo)
0 45,4 0 4,05 27,7 10 46,5 2 3,73 26,9 0 46,1 0 4,22 28,6 2 10 46,6 2 4,35 27,5 0 46,1 0 4,12 26,8 3 10 46,2 0 4,15 26,9 0 46,3 0 4,08 27,5 4 10 46,6 3 4,07 27,5 5 0 46,4 0 4,05 26,2 10 46,3 2 4,03 25,9 6 0 46,5 0 3,80 26,7 10 46,3 6 3,54 26,4 Cat: Pengukuran dilakukan tanggal 7 september 2011
29,6 30,4 30,1 30,5 30,1 30,1 30,3 30,5 30,3 30,3 30,4 31,2
STASIUN
1
KED. (m)
KONDUK (mS/cm)
TURBID (NTU)
DO (ml/l)
KECEPATAN ARUS (cm/dtk)
15.6 25.2 29.5 31.4 32.3 22.5
Suhu permukaan laut merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan, kesehatan dan penyebaran organisme laut. Umumnya organisme di daerah terumbu beradaptasi dengan kisaran suhu yang normal di mana mereka tinggal dan apabila suhu air menjadi lebih dingin atau lebih panas dari suhu normal, organisme yang hidup akan menderita atau bahkan mati. Khususnya organisme karang, perubahan suhu yang cukup besar dapat
62 menyebabkan pemutihan karang dan menyebabkan kematian bagi karang. Suhu yang optimal untuk pertumbuhan karang adalah 25-28 oC (Nybakken 1988). Distribusi salinitas di daerah ini secara signifikan tidak berbeda antar stasiun penelitian. Hasil ini menunjukkan bahwa sebaran salinitas hampir homogen dan masih berada dalam kisaran ideal untuk kegiatan budidaya. Proses metabolisme terutama di dalam osmoregulasi dengan tekanan osmotik pada karang dapat berlangsung dengan baik. Karang mempunyai toleransi terhadap salinitas 27‰40‰ dengan salinitas optimal 32‰-35‰ (Nybakken 1988). 4.2.2 Komponen Bentik Penyusun Terumbu Karang Kondisi terumbu karang ditentukan mengikuti parameter kriteria baku kerusakan terumbu karang dari Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 4 Tahun 2001 dan Yap dan Gomes (1984). Tabel 13 Kategori penentuan kondisi terumbu karang Kepmen LH No 4 tahun 2001 Kategori Sub Kategori Tutupan Karang (%)
Rusak Baik
Buruk Sedang Baik Baik sekali
0 - 24,9 25 - 49,9 50 - 74,9 75 - 100
Yap dan Gomez (1984) Kategori Tutupan Karang (%)
Poor Enough Good excellent
0 - 24,9 25 - 49,9 50 - 74,9 75 - 100
Kondisi terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tahun 2011, diperoleh tutupan karang pada Stasiun 1, 2, 5 dan 6 sebesar 25-49,9% sehingga dikategorikan enough-sedang, Stasiun 4 dengan tutupan karang 23,50% dikategorikan poor-buruk dan Stasiun 3 dengan tutupan karang 72,95% dikategorikan good-baik. Selain itu dari hasil pengukuran kondisi fisik-kimia perairan (Tabel 12) secara umum memiliki nilai dengan kisaran yang mendukung kehidupan terumbu karang, kecuali nilai turbiditas pada kedalaman 10 meter di Stasiun 6 sebesar 6 NTU yang berada di atas ambang batas sebesar 5 NTU (berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut). Tutupan karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus telah mengalami degradasi. Laju degradasi berkisar dari 0,02%/tahun hingga 7,74%/tahun. Degradasi terkecil terjadi di Stasiun 3 (Pulau Hogow) kedalaman 10 meter dan
63 terbesar di Stasiun 4 (Pulau Putus-Putus) kedalaman 3 meter. Stasiun 1,2,4,5 mengalami laju degradasi yang tinggi pada kedalaman 3 meter, dan untuk Stasiun 6 yang mengalami laju degradasi yang tinggi pada kedalaman 3 dan 10 meter. Tabel 14 Laju degradasi terumbu karang Stasiun
St-1 St-2 St-3 St-4 St-5 St-6
Laju Degradasi (%/tahun) 3m 10m
6,93 6,28 0,42 7,74 5,72 5,96
3,24 0,51 0,02 2,63 1,52 6,20
Gambar 11 Perubahan persentase tutupan karang tahun 2002-2011
64 Pada pengamatan persentase tutupan karang, secara keseluruhan terlihat adanya penurunan tutupan karang. Pada Stasiun 1, 2, 3 dan 6 penurunan tutupan karang pada tahun 2002-2009 relatif kecil. Penurunan yang cukup besar terjadi pada tahun 2011 di Stasiun 1 (kedalaman 3 meter 15%, 10 meter 8%), 2 (kedalaman 3 meter 13%), 4 (kedalaman 3 meter 12%) dan 6 (kedalaman 3 meter 29%, 10 meter 15%). Penurunan yang cukup besar pada tahun 2011 di beberapa stasiun tersebut, disebabkan adanya fenomena pemutihan karang (coral bleaching) yang umumnya terlihat pada kedalaman 3 meter dan mulai teramati sejak tahun 2009, dan khusus pada Stasiun 6 juga teramati tingkat kekeruhan yang tinggi pada kedalaman 10 meter. Khusus Stasiun 3, persentase tutupan karang relatif stabil dari tahun 2002 hingga 2011. Salah satu faktor yang membedakan kondisi tutupan karang di Stasiun 3 dengan stasiun lainnya, karena tidak ditemukan fenomena pemutihan karang di lokasi ini. Pada Stasiun 4 penurunan yang cukup besar (5%) terjadi di kedalaman 10 meter pada tahun 2005, tahun 2006-2010 terjadi penurunan yang relatif kecil dan pada tahun 2011 terjadi penurunan yang besar di kedalaman 3 meter (13%) tetapi terjadi peningkatan di kedalaman 10 meter (4%). Penurunan tutupan karang yang cukup besar di Stasiun 5 terjadi pada tahun 2007-2008 di kedalaman 3 meter (7-9%), relatif stabil pada tahun 2009-2010 dan meningkat pada tahun 2011 (kedalaman 3 meter 1%, 10 meter 3%).
Gambar 12 Luasan tutupan karang hidup dan komponen biotik Dari Gambar 12 terlihat bahwa degradasi persentase tutupan karang juga menyebabkan penurunan luasan terumbu karang yang memiliki karang hidup.
65 Secara keseluruhan, luasan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau PutusPutus sebesar 114,96 Ha. Pada tahun 2002, luasan tutupan karang hidup sebesar 63,20 Ha dan menjadi hanya 49,90 Ha pada tahun 2011. Akibat penurunan tutupan karang hidup memunculkan ruang yang ditempati oleh komponen biotik lainnya di terumbu karang seperti algae, soft coral dan fauna lainnya. Penempatan ruang ini, mengakibatkan luasan tutupan komponen biotik dari tahun 2002 hingga 2010 tidak mengalami perubahan secara drastis. Penurunan tutupan komponen biotik yang cukup besar justru di temukan pada tahun 2011. Perubahan persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang pada Stasiun 1 secara siknifikan terjadi pada tahun 2006 dan 2011 (Tabel 15). Perubahan pada tahun 2006 terlihat pada penurunan yang cukup besar pada tutupan alga (10,00% pada tahun 2005 menjadi 2,68%) dan peningkatan tutupan abiotik berupa pasir dan rubble (6,70% pada tahun 2005 menjadi 28,55%). Pada tahun 2011 terjadi penurunan tutupan karang hidup yang cukup besar yaitu 58,45% pada tahun 2010 menjadi 40,52%, diikuti dengan lonjakan tutupan abiotik berupa pasir dan patahan karang (12,73% pada tahun 2010 menjadi 32,25%). Tabel 15 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 1 Komponen BIOTIK Karang Hidup Karang Lunak Sponge Alga Fauna lain Jumlah ABIOTIK Karang Mati Pasir dll. Jumlah
2002
2003 2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
66,94 66,00 64,60 63,25 62,62 62,15 61,85 59,35 58,45 40,52 4,20 7,70 14,82 4,50 4,30 7,00 10,45 12,23 5,70 3,10 7,02 1,55 4,07 4,40 1,60 3,10 3,65 2,87 2,10 7,20 4,87 6,50 1,70 10,00 2,68 5,75 4,40 10,02 8,80 8,08 0,39 1,60 0,07 0,70 0,25 1,60 0,90 0,92 0,71 0,00 83,42 83,35 85,26 82,85 71,45 79,60 81,25 85,39 75,76 58,90 11,80 6,30 3,54 10,45 6,25 10,35 2,90 3,80 11,51 8,85 4,78 10,35 11,20 6,70 22,30 10,05 15,85 10,81 12,73 32,25 16,58 16,65 14,74 17,15 28,55 20,40 18,75 14,61 24,24 41,10
Pada Stasiun 2, perubahan persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang secara signifikan terjadi pada tahun 2011 (Gambar 16). Dimana perubahan pada tahun 2011 terlihat pada penurunan yang cukup besar pada tutupan karang hidup (53,77% pada tahun 2010 menjadi 44,15%) dan tutupan alga (21,83% pada
66 tahun 2010 menjadi 10,70%). Penurunan kedua komponen biotik tersebut diikuti dengan peningkatan yang cukup besar dari tutupan komponen abiotik yaitu karang mati (8,10% pada tahun 2010 menjadi 20,55%) dan pasir dan patahan karang (9,09% pada tahun 2010 menjadi 17,10%). Tabel 16 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 2 Komponen BIOTIK Karang Hidup Karang Lunak Sponge Alga Fauna lain Jumlah ABIOTIK Karang Mati Pasir dll. Jumlah
2002
2003
2004 2005
2006
2007
2008 2009
2010
2011
60,14 59,13 58,60 59,10 59,13 58,28 57,18 55,45 53,77 44,15 24,50 22,42 22,08 21,60 24,40 23,80 26,17 22,50 21,83 10,70 0,30 0,90 2,58 1,65 0,92 2,40 1,40 0,53 0,93 0,40 2,40 1,80 1,45 1,00 3,00 2,30 2,40 4,68 6,18 6,85 0,70 1,50 0,00 1,25 0,45 1,90 0,70 0,10 0,10 0,25 88,04 85,75 84,71 84,60 87,90 88,68 87,85 83,26 82,81 62,35 1,05 3,25 4,44 4,20 3,10 2,80 2,80 6,95 8,10 20,55 10,91 11,00 10,85 11,20 9,00 8,52 9,35 9,79 9,09 17,10 11,96 14,25 15,29 15,40 12,10 11,32 12,15 16,74 17,19 37,65
Tabel 17 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 3 Komponen
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
BIOTIK Karang Hidup 74,84 72,80 72,86 73,85 72,83 73,35 73,60 73,00 78,81 Karang Lunak 7,06 8,60 9,00 8,20 8,66 9,00 7,75 9,25 7,95 Sponge 1,90 1,50 2,42 1,20 1,35 1,20 1,10 2,00 1,10 Alga 3,30 3,35 2,06 3,40 4,16 3,05 3,85 1,85 1,20 Fauna lain 0,65 0,65 0,23 1,20 1,05 0,70 0,85 1,15 0,90 Jumlah 87,75 86,90 86,57 87,85 88,05 87,30 87,15 87,25 89,96 ABIOTIK Karang Mati 6,30 6,00 6,55 4,80 4,90 5,80 5,90 6,53 3,90 Pasir dll. 5,95 7,10 6,88 7,35 7,05 6,90 6,95 6,22 6,14 Jumlah 12,25 13,10 13,43 12,15 11,95 12,70 12,85 12,75 10,04
72,95 2,90 0,95 7,85 0,20 84,85 4,15 11,00 15,15
Perubahan yang terjadi di Stasiun 3 tidak siknifikan (Tabel 17). Terjadinya perbedaan nilai merupakan fluktuasi tutupan pada komponen biotik dan abiotik setiap tahun. Pada Stasiun 3 ini terjadi fluktuasi tutupan karang hidup, seperti peningkatan tutupan pada tahun 2005, 2007, 2008 dan yang cukup besar terjadi pada tahun 2010 (73,00% pada tahun 2009 menjadi 78,81%). Meskipun demikian pada tahun 2011 terjadi penurunan tutupan komponen biotik (89,96% pada tahun
67 2010 menjadi 84,85%) dan peningkatan tutupan abiotik (10,04% pada tahun 2010 menjadi 15,15%), dimana perubahan ini lebih besar dibandingkan dengan yang terjadi tahun-tahun sebelumnya. Tabel 18 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 4 Komponen BIOTIK Karang Hidup Karang Lunak Sponge Alga Fauna lain Jumlah ABIOTIK Karang Mati Pasir dll. Jumlah
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 38,06 18,52 0,00 12,72 1,00 70,30
37,40 19,35 0,85 11,60 0,60 69,80
37,22 17,87 0,00 11,07 0,50 66,66
34,58 16,50 0,35 15,47 1,30 68,20
34,10 16,82 0,58 16,65 0,10 68,25
33,55 21,01 0,35 13,04 0,60 68,55
31,07 21,50 0,00 16,11 0,00 68,68
29,33 20,27 0,60 16,90 3,40 70,50
27,69 23,50 21,10 16,12 0,90 0,60 17,87 3,94 2,45 0,60 70,01 44,76
6,60 6,80 8,58 5,65 5,60 6,28 5,12 5,55 5,40 7,66 23,10 23,40 24,75 26,15 26,15 25,17 26,20 23,95 24,59 47,58 29,70 30,20 33,34 31,80 31,75 31,45 31,32 29,50 29,99 55,24
Perubahan persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang yang terjadi di Stasiun 4 dan 5 dari tahun 2002 hingga 2010 tidak siknifikan (Tabel 18 dan 19). Perubahan yang siknifikan terlihat pada tahun 2011 pada total persentase tutupan biotik dan abiotik. Di Stasiun 4 terjadi penurunan tutupan biotik (70,01% pada tahun 2010 menjadi 44,76%) dan peningkatan tutupan abiotik (29,99% pada tahun 2010 menjadi 55,24%). Demikian juga di Stasiun 5 terjadi hal yang sama, penurunan tutupan biotik (80,65% pada tahun 2010 menjadi 56,75%) dan peningkatan tutupan abiotik (19,35% pada tahun 2010 menjadi 43,25%). Tabel 19 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 5 Komponen BIOTIK Karang Hidup Karang Lunak Sponge Alga Fauna lain Jumlah ABIOTIK Karang Mati Pasir dll. Jumlah
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 40,65 27,05 1,30 12,55 0,95 82,50
39,84 27,76 1,25 11,45 2,95 83,25
38,57 27,48 1,51 11,56 1,52 80,64
37,97 29,53 1,75 13,80 0,90 83,95
38,26 26,04 2,17 13,20 0,70 80,37
34,45 25,60 2,30 14,80 3,20 80,35
28,53 36,97 2,20 12,10 0,90 80,70
27,39 36,82 1,54 12,23 1,48 79,46
25,88 27,78 39,07 20,45 1,20 0,35 12,45 6,17 2,05 2,00 80,65 56,75
3,35 2,20 4,58 4,15 6,20 8,00 7,40 6,56 5,70 5,15 14,15 14,55 14,79 11,90 13,43 11,65 11,90 13,98 13,65 38,10 17,50 16,75 19,36 16,05 19,63 19,65 19,30 20,54 19,35 43,25
68 Kesamaan perubahan yang terjadi pada Stasiun 4 dan 5, disebabkan oleh karena posisi stasiun-stasiun tersebut yang sejajar dan terletak pada sisi bagian luar Pulau Putus-Putus yang berbatasan langsung dengan Laut Maluku. Posisi ini menyebabkan tekanan yang diterima baik secara alami maupun aktivitas manusia pada kedua stasiun tersebut relatif sama. Persentase tutupan pada Stasiun 6 mengalami perubahan yang siknifikan pada komponen karang hidup di tahun 2011 (Tabel 20). Pada tahun 2011 tersebut, penurunan tutupan karang hidup sangat besar (47,81% pada tahun 2010 menjadi 25,95%), diikuti dengan peningkatan tutupan karang mati (6,40% pada tahun 2010 menjadi 17,60%) dan pasir dan rubble (17,86% pada tahun 2010 menjadi 33,65%). Tabel 20 Persentase tutupan komponen penyusun terumbu karang Stasiun 6 Komponen BIOTIK Karang Hidup Karang Lunak Sponge Alga Fauna lain Jumlah ABIOTIK Karang Mati Pasir dll. Jumlah
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 48,40 48,59 48,29 48,85 48,51 48,05 48,05 48,11 47,81 25,95 12,79 14,00 14,53 16,45 17,48 17,65 10,50 11,99 9,14 9,15 1,20 1,10 2,08 1,20 1,40 0,90 3,10 3,25 4,30 2,20 8,60 9,11 7,67 10,65 9,27 7,75 12,35 11,54 12,59 10,70 1,20 2,90 2,18 1,60 0,80 1,60 2,65 1,70 1,90 0,75 72,19 75,70 74,75 78,75 77,46 75,95 76,65 76,59 75,74 48,75 5,30 7,70 7,53 3,55 4,55 5,15 4,10 5,20 6,40 17,60 22,51 16,60 17,72 17,70 17,99 18,90 19,25 18,21 17,86 33,65 27,81 24,30 25,25 21,25 22,54 24,05 23,35 23,41 24,26 51,25
Tingginya penurunan tutupan karang batu di Stasiun 6 pada tahun 2011 sangat dipengaruhi oleh kondisi perairan, dimana hasil pengukuran kualitas air khususnya kekeruhan pada lokasi ini menunjukkan nilai yang cukup tinggi yaitu sebesar 6 NTU (Tabel 12). Seperti diketahui karang sangat sensitif terhadap tingkat kekeruhan/sedimentasi, pada tingkatan kekeruhan yang tinggi dapat menyebabkan kematian karang. Menurut Knowlton (2001) dan Hughes et al. (2003), karang merupakan fauna dominan dalam ekosistem terumbu karang yang mengalami ancaman kerusakan sebagai akibat interaksi global dan lokal dari berbagai pihak yang berkontribusi terhadap degradasi karang. Selanjutnya menurut mereka, degradasi
69 karang dapat didefinisikan sebagai kematian jaringan karang hidup dan menurunnya keragaman hayati karang seiring meningkatnya penutupan dari alga dan komponen biotik lainnya. Lebih lanjut dalam beberapa penelitian dikatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang meliputi penangkapan dan perubahan struktur tropik yang mengakibatkan perubahan struktur dalam rantai makanan (Jackson et al. 2001; Pandolfi et al. 2003), polusi nutrient (Pastorok & Bilyard 1985), sedimen (Rogers 1990; Fabricius 2005), toksin (Glynn et al. 1989), perubahan suhu permukaan laut (Glynn & D‟Croz 1990; Glynn 1993, 1996; Hoegh-Guldberg 1999). Tekanan yang menyebabkan karang terdegradasi secara langsung melalui peningkatan tingkat kematian dan secara tidak langsung melalui peningkatan penyakit dan menurunnya proses rekruitmen karang. Pengamatan di lokasi penelitian menunjukkan faktor penangkapan ikan yang dilakukan nelayan menjadi salah satu penyebab utama degradasi terumbu karang karena beberapa nelayan masih menggunakan cara-cara yang merusak seperti penggunaan bom dan racun dari getah pohon. Selain faktor teknik penangkapan ikan, degradasi terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus ditemukan fenomena pemutihan karang. Dalam kurun waktu 10 tahun pengamatan selalu di temukan karang-karang yang mengalami pemutihan pada semua lokasi, dengan jumlah terbesar ditemukan pada tahun 2009 hingga 2010. Hal ini sangat terlihat dampaknya dengan turunnya secara drastis luasan tutupan karang pada pengamatan tahun 2011. Isu pemutihan karang sebagai salah satu penyebab degradasi karang juga terjadi di Wakatobi Indonesia (BAPPENAS 2010) dan Timur Karibia (Donner et al. 2007) yang disebabkan oleh kenaikan suhu permukaan. Kejadian yang sama juga dilaporkan oleh Watlington (2006) di pulau Virginia, Garrison et al. (2003) di Afrika dan Levitus et al. (2000) di Tropical Western Atlantic. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tekanan simultan dari berbagai sumber merupakan penyebab degradasi karang. Dalam analisis komponen utama (principal component analysis-PCA), variabel yang dilihat adalah komponen-komponen bentik penyusun terumbu karang. Dalam analisis ini digunakan 2 sumbu yang memiliki kontribusi terbesar terhadap karakteristik perairan. Untuk kedalaman 3 meter, sumbu pertama memberikan kontribusi sebesar 44,21% terhadap sebaran karakteristik ACB
70 (Acropora branching), ACT (Acropora tabulate) dan CM (coral masive) pada Stasiun 1, 2 dan 6. Pada sumbu ini korelasi yang bersifat negatif ditunjukkan oleh komponen ACT dan CM, artinya disaat persentase tutupan ACB tinggi pada Stasiun 1, 2 dan 6, akan diikuti dengan rendahnya persentase tutupan ACT dan CM. Sumbu kedua memberikan kontribusi 35,52% terhadap sebaran CF (coral foliose), SC (soft coral) dan algae pada Stasiun 3, 4 dan 5. Korelasi negatif ditunjukkan CF pada Stasiun 4 dan 5, sedangkan SC dan algae pada Stasiun 3, jadi ketika persentase tutupan CF tinggi di Stasiun 3 akan diikuti dengan persentase tutupan SC dan algae yang rendah. Hal sebaliknya terjadi di Stasiun 4 dan 5.
Kedalaman 3 meter
2,5
2
ACB
1,5
Algae
St-4
St-5
0,5 CM
-0,5
St-2 St-6
CB
0 ACT
St-1
DCA
ACB
St-3
-1 -1,5
-- axis F2 (24.46 %) -->
1 -- axis F2 (35.51 %) -->
2
SC
1,5
Kedalaman 10 meter
-1
-0,5
0
0,5
-- axis F1 (44.21 %) -->
0 -0,5 -1
St-2
St-1
DCA
St-3
CF CE
SC
St-6 St-4 St-5 Algae
CM
-2 -2,5
-2 -1,5
0,5
CB
-1,5
CF -2
1
1
1,5
2
-2,5 -2 -1,5 -1 -0,5 0
0,5
1
1,5
2
2,5
-- axis F1 (44.64 %) -->
Gambar 13 Proyeksi dari stasiun dan komponen bentik dalam bidang dua dimensi (sumbu 1 dan sumbu 2) dengan menggunakan PCA Untuk kedalaman 10 meter, sumbu pertama memberikan kontribusi sebesar 44,64% terhadap sebaran karakteristik SC dan algae pada Stasiun 4, 5 dan 6. Pada sumbu ini korelasi yang ada bersifat positif. Sumbu kedua memberikan kontribusi 24,46% terhadap sebaran CF, ACB dan CB (coral branching) pada Stasiun 1, 2 dan 3. Korelasi negatif ditunjukkan CF pada Stasiun 4 dan 5, jadi ketika persentase tutupan ACB dan CB tinggi di Stasiun 4 dan 5 akan diikuti dengan persentase tutupan CF yang rendah. Dominasi karang dengan bentuk pertumbuhan ACB dan CB di Stasiun 4 dan 5 karena posisi lokasi berhadapan langsung dengan Laut Maluku sehingga sering mengalami gempuran ombak serta memiliki reef flat yang cukup luas, kondisi seperti itu tidak cocok untuk karang dengan bentuk
71 pertumbuhan CF. Wilayah terumbu karang yang sering mendapat tekanan fisik gelombang perairan biasanya disominasi oleh karang bercabang. 4.2.3 Kondisi Ikan Target Dari hasil penelitian, ditemukan 86 spesies yang masuk dalam 13 famili ikan target. Jumlah spesies yang ditemukan bervariasi pada setiap tahun dan stasiun pengamatan. Gambar 14 menunjukkan bahwa perubahan jumlah spesies tidak membentuk suatu pola dari tahun ke tahun, dimana hal tersebut terlihat dari nilai indeks determinasi (R2) yang sangat kecil.
Gambar 14 Perubahan jumlah spesies ikan target tahun 2002-2011 Seperti yang diungkapkan Nybakken (1988), perubahan jumlah spesies ikan target pada suatu lokasi sulit untuk dilihat jika lokasi tersebut masih mempunyai banyak tempat beradaptasi khusus yang didapat dari persaingan pada suatu keadaan karang. Jadi dapat dikatakan bahwa, ikan-ikan ini mempunyai
72 relung ekologi yang lebih sempit dan berarti daerah itu dapat menampung lebih banyak spesies. Emor (1993) dalam penelitiannya di pulau Bunaken menyatakan bahwa banyaknya spesies ikan karang disebabkan terdapatnya variasi habitat yang ada di terumbu karang, dimana semua tipe habitat yang ada diisi oleh spesies ikan karang yang berbeda.
Gambar 15 Perubahan jumlah Individu ikan target tahun 2002-2011 Jumlah individu ikan target yang ditemukan pada masing-masing kedalaman dan stasiun berkisar dari 351 individu/250m 2 (kedalaman 10m Stasiun 6 tahun 2008) hingga 2027 individu/250m2 (kedalaman 10m Stasiun 3 tahun 2002). Berbeda dengan jumlah spesies, pada jumlah individu membentuk suatu pola penurunan jumlah individu dari tahun 2002 hingga 2011 dengan koefisien determinasi lebih dari 0,5. Penurunan jumlah individu ikan target di Pulau Hogow
73 dan Pulau Putus-Putus ini (Gambar 15) mengikuti apa yang terjadi pada luasan tutupan karang hidup. Seperti yang dikemukakan oleh Hutomo et al. (1988) dalam penelitiannya di pulau Bali dan Batam bahwa kondisi karang yang baik, ditandai dengan persentase tutupan karang hidup yang tinggi berhubungan linier dengan kelimpahan ikan. Hal ini ditunjang oleh pendapat Sutton (1983) in Emor (1993) yang mendapatkan hubungan positif antara kelimpahan ikan karang dengan heterogenitas habitat karang. Seperti halnya pada jumlah individu, biomassa ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus menunjukkan suatu pola penurunan dari tahun 2002 hingga 2008 dan mulai meningkat pada tahun 2009 (Gambar 16). Setelah dilakukan analisis diperoleh model
−
dengan koefisien
2
determinasi R = 0,69 artinya model ini layak untuk digunakan. Walaupun dari data jumlah individu dan biomassa terlihat adanya penurunan, tidak bisa karena hal tersebut dapat membuktikan secara meyakinkan bahwa penurunan yang terjadi pada komunitas ikan target semata-mata karena tekanan kegiatan eksploitasi ikan target. Data kondisi terumbu karang telah menunjukkan, bahwa efek penurunan tutupan karang hidup telah memainkan peran penting dalam menghasilkan kondisi ikan target seperti yang telah diamati.
Gambar 16 Penurunan biomassa ikan target tahun 2002 hingga 2011
74 Penurunan biomassa ikan target akan mempengaruhi keberadaan ekosistem terumbu karang yaitu dengan adanya perubahan kondisi ikan target akan secara substansial berpengaruh terhadap perubahan tingkatan tropik (tropic level) di ekosistem terumbu karang dan memiliki dampak terhadap ketahanan hidup dan interaksi antara spesies ikan target. Selain itu, dengan memperhatikan hubungan antara ukuran panjang dan fekunditas, diharapkan bahwa biomassa ikan target dewasa yang dilihat dari ukuran panjangnya (dijelaskan lebih rinci pada bab 4.3) cukup untuk mendukung hasil telur lebih besar dan output larva per satuan luas terumbu karang khususnya pada wilayah pemijahan, sehingga produksi larva terus meningkat dan tersebar ke wilayah terumbu karang sekitarnya. Berdasarkan jumlah individu dari masing-masing jenis ikan target yang diperoleh, dilakukan perhitungan indeks keannekaragaman. Secara keseluruhan, indeks keannekaragaman ikan target yang diperoleh cukup tinggi dengan rata-rata nilai yang diperoleh pada keseluruhan stasiun pengamatan sebesar 2,48 hingga 3,19. Nilai rata-rata tertinggi diperoleh pada Stasiun 1 kedalaman 3 meter dan terendah pada Stasiun 2 kedalaman 10 meter. Dari Tabel 21 terlihat bahwa terdapat perbedaan nilai rata-rata indeks keanekaragaman antara kedalaman 3 meter dan 10 meter. Pada kedalaman 3 meter nilai indeks keanekaragaman yang diperoleh lebih besar 3, sedangkan pada kedalaman 10 meter lebih kecil 3. Hal ini tentunya berhubungan dengan keberagaman habitat (komponen bentik penyusun terumbu karang) yang ada pada masing-masing kedalaman. Pada lokasi penelitian, ditemukan keberagaman habitat yang lebih banyak pada kedalaman 3 meter. Topografi lokasi ikut mendukung keberagaman habitat yang ada, dimana kedalaman 3 meter umumnya terletak pada daerah reef flat hingga reef slope, sedangkan kedalaman 10 meter umumnya sudah berada pada daerah drop dengan tingkat kemiringan hingga 90o. Kondisi ini menyebabkan komponen bentik karang yang mendiami kedalaman 10 meter didominasi oleh tipe bentuk pertumbuhan tertentu, seperti karang encrusting dan foliose. Lebih sedikitnya tipe habitat yang ada pada kedalaman 10 meter menyebabkan jenis ikan target yang ada pada kedalaman ini lebih sedikit dibandingkan dengan kedalaman 3 meter. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa tingginya keragaman ikan target pada suatu lokasi berhubungan erat dengan variasi habitat yang ada di terumbu karang, dimana semua tipe habitat yang ada diisi oleh jenis ikan target.
75 Tabel 21 Indeks keanekaragaman (H‟) ikan target Tahun
3m 3,17 2002 2,86 2003 3,06 2004 3,13 2005 3,16 2006 3,18 2007 3,24 2008 3,41 2009 3,37 2010 3,33 2011 Rata-rata 3,19
1
2 10m 2,94 2,86 2,74 2,81 2,78 2,43 2,90 2,61 2,90 2,95 2,79
3m 3,20 3,09 3,00 3,08 2,99 2,74 3,00 3,15 3,30 3,26 3,08
3 10m 2,62 2,34 2,31 2,41 2,28 2,44 2,70 2,53 2,57 2,63 2,48
3m 3,35 3,17 3,19 3,18 3,04 3,10 2,95 3,11 3,27 3,29 3,17
4 10m 3,27 3,10 3,03 2,65 3,19 3,03 2,49 2,79 3,07 2,89 2,95
3m 3,19 3,08 3,05 3,22 3,23 3,12 2,90 3,15 3,21 3,18 3,13
5 10m 3,21 2,97 2,99 3,01 3,04 3,02 2,62 2,82 2,83 2,45 2,90
3m 3,25 3,28 3,25 3,30 3,22 2,92 2,86 3,27 3,23 3,22 3,18
6 10m 3,29 3,13 3,15 3,16 3,11 2,94 2,12 2,96 3,10 2,87 2,98
3m 3,41 3,16 3,17 3,38 3,20 2,87 2,75 3,03 3,10 3,08 3,11
10m 3,09 2,82 3,03 2,94 2,88 2,38 2,86 2,89 2,92 2,86 2,87
Keberadaan ikan target di lokasi peneltian, juga dilihat dari sisi potensi sumberdaya perikanannya. Potensi ini menggambarkan perikanan terumbu yang ada di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dengan mengestimasi kelimpahan stok, hasil tangkapan potensial dan MSY (maximum sustainable yield) optimal.
Gambar 17 Stok, potensial tangkapan dan MSYopt ikan target tahun 2002-2011 Adanya degradasi yang terjadi pada tutupan karang hidup, berimplikasi terhadap keberadaan stok ikan target, seperti pada Gambar 17 terlihat penurunan stok, potensial tangkapan dan MSYopt dari tahun 2002 hingga 2011, dimana khusus untuk stok pada tahun 2002 sebesar 24.579.800 ekor menjadi 11.065.600
76 ekor pada tahun 2011. Penurunan yang sangat besar ini tentu sangat mengkhawatirkan dari sudut ekologi karena hal ini mengindikasikan terjadinya degradasi kualitas terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Dampak langsung dari hal tersebut dirasakan oleh nelayan khususnya nelayan yang beraktifitas di terumbu karang. 4.3
Penentuan Wilayah Pemijahan, Pembesaran dan Mencari Makan Secara Spasial Dan Temporal
4.3.1 Penentuan Secara Spasial Penentuan wilayah pemijahan, pembesaran dan mencari makan dilakukan dengan melihat sebaran individu ikan target pada setiap stasiun berdasarkan kategori ukuran ikan yang dibagi dalam dua kategori yaitu dewasa dan belum dewasa. Dari sebaran individu yang diperoleh terlihat 3 pola sebaran yaitu pertama, pola yang didominasi oleh ikan target dewasa (ditemukan pada Stasiun 3); kedua, pola yang didominasi oleh ikan target belum dewasa (ditemukan pada Stasiun 1 dan 2); ketiga, pola yang jumlah ikan target dewasa dan belum dewasa tidak berbeda jauh (ditemukan pada Stasiun 4, 5 dan 6). Melihat pola-pola sebaran yang diperoleh, maka dapat dikatakan bahwa lokasi Stasiun 3 yang didominasi oleh ikan target dewasa merupakan lokasi pemijahan, lokasi Stasiun 1 dan 2 yang didominasi oleh ikan target belum dewasa merupakan lokasi pembesaran, dan lokasi Stasiun 4, 5 dan 6 yang memiliki jumlah ikan dewasa dan belum dewasa tidak berbeda jauh merupakan lokasi mencari makan.
Gambar 18 Kelimpahan ikan target berdasarkan kategori dewasa dan belum dewasa pada Stasiun 3 tahun 2002-2011
77 Dari Tabel 22 dan 23 terlihat pada Stasiun 3 jumlah individu melimpah pada kelas ukuran 16-30cm. Selain itu ditemukan jumlah ikan yang cukup banyak pada kelas ukuran 46-60cm, bahkan pada beberapa tahun pengamatan ditemukan ikan berukuran lebih besar 60cm dari famili Serranidae. Hal ini menunjukkan bahwa lokasi Stasiun 3 didominasi oleh ikan-ikan yang berukuran siap untuk reproduksi.
Gambar 19 Peta lokasi Stasiun 3 (Pulau Hogow) sebagai lokasi pemijahan Berdasarkan pengamatan yang dilakukan ditemukan adanya penurunan kelimpahan ikan yang siknifikan pada tahun 2003 dibandingkan dengan tahun 2002. Melihat faktor kondisi terumbu karang di Stasiun 3 yang relatif stabil dengan laju degradasi yang kecil (Tabel 14), maka penurunan ini lebih banyak disebabkan oleh faktor eksternal seperti penangkapan oleh nelayan. Hal ini didukung oleh pernyataan masyarakat bahwa sejak tahun 2003 jumlah ikan karang di pesisir pantai mereka menurun drastis, sehingga masyarakat khususnya nelayan mengalihkan daerah penangkapan ikan karang ke Pulau Hogow dan Pulau PutusPutus. Sejak tahun 2004 terlihat kelimpahan ikan target pada Stasiun 3 relatif stabil.
78 Dijadikannya daerah Stasiun 3/Pulau Hogow sebagai lokasi pemijahan didukung dengan kondisi terumbu karang yang baik (diatas 70%) dan keanekaragaman karang yang tinggi sehingga memiliki banyak bentuk pertumbuhan karang. Dengan demikian banyak habitat yang dapat dijadikan tempat memijah bagi ikan target. Tabel 22
Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2) pada Stasiun 3 kedalaman 3 meter
Famili Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae
Tabel 23
2002 2003 2004 2005 403 312 324 319 22 5 10 9 0 0 0 0 28 3 16 9 26 11 18 0 52 31 35 42 65 46 34 41 63 39 52 70 154 119 92 100 72 31 29 17 347 281 282 246 7 0 2 2 675 150 300 95
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 285 208 109 167 178 140 4 13 8 2 4 6 0 0 0 0 0 0 10 14 6 5 6 6 27 30 0 13 11 6 20 19 2 10 12 7 49 45 8 23 28 17 21 21 24 27 26 24 101 87 53 68 84 68 34 59 14 17 28 19 308 238 161 179 203 180 0 5 3 0 1 3 150 425 130 125 275 202
Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2) pada Stasiun 3 kedalaman 10 meter
Famili
2002 2003 2004 2005 Acanthuridae 617 457 364 273 Labridae 27 12 5 17 Carangidae 14 0 3 14 Serranidae 9 2 4 7 Lethrinidae 37 21 21 18 Lutjanidae 56 40 39 24 Holocentridae 62 50 36 8 Mullidae 40 39 21 6 Scaridae 98 26 54 12 Nemipteridae 85 74 74 50 Siganidae 233 212 196 19 Haemulidae 7 2 3 5 Caesionidae 750 525 400 420
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 432 375 136 136 297 212 39 34 11 11 14 11 0 0 0 0 0 0 16 15 4 4 6 4 21 21 19 19 18 18 25 22 8 8 27 17 33 23 0 0 18 8 9 16 17 17 18 17 64 63 30 30 50 37 72 39 60 60 50 55 100 94 80 80 95 87 2 2 1 1 3 1 375 425 375 375 425 395
79 Untuk Stasiun 1 dan 2 menjadi lokasi pembesaran selain didukung dengan kondisi terumbu karang yang cukup, juga karena lokasi ini terletak pada daerah yang relatif terlindung, dimana lokasi ini terletak di bagian dalam teluk.
Gambar 20 Kelimpahan ikan target berdasarkan kategori dewasa dan belum dewasa pada Stasiun 1 dan 2 tahun 2002-2011
Gambar 21
Peta lokasi Stasiun 1 dan 2 (Pulau Putus-Putus) sebagai lokasi pembesaran
80 Melihat hasil yang diperoleh pada Stasiun 1 dan 2 (Tabel 24, 25, 26 dan 27) menunjukkan jumlah individu ikan target melimpah pada ukuran yang lebih kecil 15cm. Kondisi ini memperjelas keberadaan ikan-ikan yang berukuran belum siap reproduksi melimpah pada lokasi-lokasi tersebut, sehingga semakin mempertegas bahwa lokasi Stasiun 1 dan 2 sebagai daerah pembesaran. Tabel 24
Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2) pada Stasiun 1 kedalaman 3 meter
Famili
2002 2003 2004 2005 Acanthuridae 335 278 207 245 Labridae 13 12 5 17 Carangidae 5 0 3 0 Serranidae 6 2 4 10 Lethrinidae 3 4 5 5 Lutjanidae 53 42 41 39 Holocentridae 43 37 20 11 Mullidae 43 45 25 13 Scaridae 117 78 63 48 Nemipteridae 190 161 164 136 Siganidae 233 212 196 207 Haemulidae 1 1 5 1 Caesionidae 210 70 190 180
Tabel 25
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 223 206 187 173 161 172 14 16 24 15 19 19 8 0 0 3 3 1 6 7 8 9 10 9 7 3 6 6 4 5 28 44 27 33 32 30 22 26 43 34 33 37 55 66 39 31 29 33 90 101 67 66 58 62 165 126 66 77 57 60 149 121 199 152 127 162 1 3 4 1 1 2 80 100 200 135 155 175
Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2) pada Stasiun 1 kedalaman 10 meter
Famili
2002 2003 2004 2005 Acanthuridae 304 240 182 136 Labridae 33 29 18 18 Carangidae 17 0 9 10 Serranidae 3 3 2 5 Lethrinidae 20 0 3 19 Lutjanidae 21 20 12 21 Holocentridae 34 15 7 56 Mullidae 31 16 20 33 Scaridae 9 7 4 12 Nemipteridae 21 17 17 18 Siganidae 113 123 76 95 Haemulidae 3 0 2 0 Caesionidae 380 270 280 235
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 184 157 127 134 129 125 11 11 30 12 19 18 15 0 0 9 12 6 7 4 8 2 3 5 10 4 10 2 13 10 26 26 20 15 14 13 6 4 9 0 18 12 4 3 15 17 15 13 17 11 20 0 3 4 4 9 7 9 10 6 64 55 145 96 90 122 1 1 7 0 0 1 300 300 325 275 225 210
81 Tabel 26
Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2) pada Stasiun 2 kedalaman 3 meter
Famili Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae Tabel 27
2002 2003 2004 2005 386 327 327 333 22 17 10 27 0 0 0 0 7 11 3 7 11 3 8 0 35 15 7 43 20 10 5 18 73 50 70 91 112 96 77 91 37 30 29 26 231 194 217 192 1 1 0 4 115 75 95 95
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 268 205 153 196 185 157 14 10 15 17 18 16 0 0 0 0 0 0 12 9 8 3 9 8 12 13 5 3 7 5 14 6 10 10 12 12 39 24 13 8 12 12 43 33 19 19 32 24 83 79 44 60 62 54 30 16 9 18 22 14 253 189 91 128 122 104 2 4 0 1 1 1 150 250 150 50 85 80
Kelimpahan individu ikan target (per 250m2) pada Stasiun 2 kedalaman 10 meter
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Acanthuridae 293 233 193 147 172 236 222 196 192 160 Labridae 21 7 11 19 20 20 20 8 5 11 Carangidae 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Serranidae 6 2 3 5 9 9 4 1 1 0 Lethrinidae 5 4 4 9 4 3 2 3 1 1 Lutjanidae 51 31 23 11 24 24 34 27 22 20 Holocentridae 8 7 5 11 5 5 9 4 5 2 Mullidae 70 66 52 43 16 56 30 46 36 29 Scaridae 25 9 5 27 18 16 12 3 9 7 Nemipteridae 0 1 0 0 5 5 2 0 1 0 Siganidae 49 19 21 33 20 35 30 33 33 25 Haemulidae 1 0 0 0 2 1 0 0 0 0 Caesionidae 650 650 575 625 700 550 315 375 300 250 Famili
Seperti halnya pada Stasiun 3, ditemukan adanya penurunan kelimpahan ikan yang siknifikan pada tahun 2003 dibandingkan dengan tahun 2002 di Stasiun 1 dan 2, tetapi berbeda dengan Stasiun 3 yang kondisi terumbu karangnya relatif stabil, pada Stasiun 1 dan 2 laju degradasi terumbu karang cukup tinggi terutama pada kedalaman 3 meter (Tabel 14), sehingga penurunan kelimpahan ikan banyak disebabkan oleh faktor degradasi tersebut selain faktor eksternal seperti penangkapan oleh nelayan.
82 Stasiun 4, 5 dan 6 menjadi lokasi mencari makan disebabkan karena lokasi ini memiliki tutupan algae dan tumbuhan lain cukup besar yang menjadi sumber makanan bagi ikan target herbivor. Sebagai satu tingkatan dalam tingkatan tropik , maka ikan herbivor akan mengundang ikan karnivor untuk berkumpul juga di Stasiun 4, 5 dan 6 guna mencari makan. Tabel 28
Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2) pada Stasiun 4 kedalaman 3 meter
Famili Acanthuridae Labridae Carangidae Serranidae Lethrinidae Lutjanidae Holocentridae Mullidae Scaridae Nemipteridae Siganidae Haemulidae Caesionidae Tabel 29
2002 2003 2004 2005 480 373 388 429 16 13 7 30 0 0 0 0 11 4 2 11 20 0 3 22 38 30 22 30 50 39 31 42 100 64 73 87 99 67 67 91 59 50 38 31 247 206 210 231 16 2 8 6 600 175 290 325
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 404 339 173 273 288 223 12 12 17 7 9 9 0 0 0 0 0 0 15 13 5 4 8 7 11 3 0 11 9 4 25 25 9 18 21 14 12 12 27 20 19 19 42 53 40 44 50 43 80 73 34 43 42 36 46 37 35 32 43 37 200 160 165 146 157 139 6 6 6 2 5 4 225 290 350 125 325 275
Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2) pada Stasiun 4 kedalaman 10 meter
Famili
2002 2003 2004 2005 Acanthuridae 515 409 406 404 Labridae 29 23 18 13 Carangidae 15 0 0 0 Serranidae 8 7 3 12 Lethrinidae 24 12 5 25 Lutjanidae 44 32 29 53 Holocentridae 39 21 23 31 Mullidae 115 75 88 90 Scaridae 44 36 32 30 Nemipteridae 21 15 19 17 Siganidae 87 53 70 67 Haemulidae 9 4 6 10 Caesionidae 675 525 450 550
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 269 292 215 217 214 204 28 20 8 12 9 7 60 0 0 7 0 0 16 12 4 5 2 3 10 4 7 5 7 5 41 16 16 11 9 9 28 14 39 28 29 33 65 63 38 29 47 41 29 28 17 22 23 16 12 14 2 6 8 5 56 38 17 38 51 32 10 2 0 6 5 2 650 350 650 450 575 575
83 Tabel 30
Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2) pada Stasiun 5 kedalaman 3 meter
Famili
2002 2003 2004 2005 Acanthuridae 335 300 314 343 Labridae 33 20 20 24 Carangidae 0 0 0 0 Serranidae 14 10 7 14 Lethrinidae 22 16 14 18 Lutjanidae 45 27 18 5 Holocentridae 15 9 11 8 Mullidae 120 114 94 101 Scaridae 196 159 153 161 Nemipteridae 23 16 7 12 Siganidae 202 152 171 198 Haemulidae 4 1 2 3 Caesionidae 525 250 100 25 Tabel 31
Tahun 2006 2007 2008 2009 2010 2011 236 233 166 185 199 172 21 16 5 16 14 8 0 0 0 0 0 0 9 9 7 9 6 5 11 6 11 11 13 12 31 56 17 23 23 17 22 21 5 8 16 8 79 65 43 47 51 46 146 107 34 89 108 69 18 15 5 6 8 6 120 130 118 112 138 126 1 2 0 1 1 0 225 400 150 225 350 250
Kelimpahan individu ikan target (per 250m2) pada Stasiun 5 kedalaman 10 meter
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Acanthuridae 360 309 330 363 232 178 63 122 154 106 Labridae 28 24 14 30 25 30 10 14 14 9 Carangidae 35 24 16 20 75 15 28 19 20 24 Serranidae 26 8 9 23 19 12 7 10 15 9 Lethrinidae 45 37 18 12 24 24 0 14 26 12 Lutjanidae 50 30 32 26 49 49 8 22 27 17 Holocentridae 54 28 18 21 46 45 9 18 14 11 Mullidae 50 52 68 71 53 24 7 9 11 8 Scaridae 70 49 55 70 68 66 11 21 37 23 Nemipteridae 28 8 16 19 12 21 2 7 13 5 Siganidae 77 38 27 39 60 64 14 14 25 19 Haemulidae 4 1 0 3 5 6 0 3 3 1 Caesionidae 525 200 250 200 500 450 275 250 325 262 Famili
Hasil yang diperoleh pada Stasiun 4, 5 dan 6 (Tabel 28, 29, 30, 31, 32 dan 33) menunjukkan jumlah individu ikan target melimpah pada ukuran yang lebih kecil 15cm dan 16-30cm. Untuk ukuran panjang 31-45cm cukup melimpah pada Stasiun 4 dan 5. Dengan penyebaran ukuran ikan yang diperoleh, sangat jelas terlihat bahwa kelimpahan ikan yang belum siap reproduksi dan ikan siap
84 reproduksi merata atau tidak berbeda pada stasiun-stasiun tersebut. Kondisi ini menunjukkan bahwa lokasi Stasiun 4, 5 dan 6 sebagai daerah mencari makan. Penurunan kelimpahan ikan yang siknifikan pada tahun 2003 dibandingkan dengan tahun 2002 juga terlihat pada Stasiun 4, 5 dan 6. Tidak berbeda dengan Stasiun 1 dan 2, laju degradasi terumbu karang yang tinggi terutama pada kedalaman 3 meter (Tabel 14) merupakan faktor utama penurunan kelimpahan ikan selain faktor eksternal kegiatan penangkapan oleh nelayan yang ikut berpengaruh. Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2) pada Stasiun 6 kedalaman 3 meter Tahun Famili 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Acanthuridae 358 261 268 332 198 264 166 183 206 191 Labridae 44 21 26 33 31 27 19 11 9 8 Carangidae 80 50 32 100 130 0 15 50 34 42 Serranidae 14 6 7 7 6 3 5 3 6 5 Lethrinidae 7 3 2 4 9 7 0 3 2 2 Lutjanidae 61 32 23 30 25 21 21 14 18 16 Holocentridae 5 4 2 8 12 0 0 2 1 2 Mullidae 86 47 52 52 40 29 37 33 26 29 Scaridae 241 196 168 156 145 135 41 65 76 69 Nemipteridae 222 170 148 159 167 153 134 116 117 113 Siganidae 132 108 91 97 98 90 105 88 84 84 Haemulidae 4 1 2 1 3 4 2 1 1 2 Caesionidae 300 150 150 150 125 250 310 150 200 175
Tabel 32
Kelimpahan individu ikan target (per 250m 2) pada Stasiun 6 kedalaman 10 meter Tahun Famili 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Acanthuridae 241 183 179 179 162 117 54 104 121 87 Labridae 29 21 17 21 18 19 8 13 11 9 Carangidae 25 0 0 0 80 0 0 0 0 0 Serranidae 19 11 8 15 5 6 6 7 4 5 Lethrinidae 60 33 43 42 18 24 16 31 28 23 Lutjanidae 131 90 93 103 132 50 15 19 33 23 Holocentridae 89 45 39 52 65 27 36 36 41 37 Mullidae 62 40 38 44 27 28 34 23 18 25 Scaridae 49 29 36 43 50 29 20 18 15 16 Nemipteridae 36 27 18 2 8 22 19 15 22 20 Siganidae 63 40 25 30 27 59 12 16 20 14 Haemulidae 0 1 0 2 2 2 1 1 0 1 Caesionidae 500 300 175 225 400 550 130 250 150 165
Tabel 33
85
Gambar 22 Kelimpahan ikan target berdasarkan kategori dewasa dan belum dewasa pada Stasiun 4, 5 dan 6 tahun 2002-2011
Gambar 23 Peta lokasi Stasiun 4, 5 dan 6 (Pulau Putus-Putus) sebagai lokasi mencari makan
86 Adanya perbedaan preferensi habitat yang menjadikan lokasi-lokasi di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebagai wilayah spawning ground, pembesaran dan mencari makan disebabkan karena ikan target dalam keberadaannya selalu akan menyesuaikan diri pada lingkungannya. Setiap spesies memperlihatkan preferensi/kecocokan habitat yang tepat yang diatur oleh kombinasi faktor ketersediaan makanan, tempat berlindung dan variasi parameter fisik. Sejumlah besar spesies ditemukan pada terumbu karang adalah refleksi langsung dari besarnya kesempatan yang diberikan habitat (Allen & Steene 1996). 4.3.2 Penentuan Secara Temporal Penentuan secara temporal lebih dikhususkan untuk lokasi pemijahan yaitu penentuan waktu ikan target memijah. Setelah ditentukan bahwa daerah terumbu karang Stasiun 3 atau Pulau Hogow sebagai lokasi pemijahan ikan target berdasarkan distribusi ikan dewasa dan belum dewasa, maka ingin diketahui secara temporal waktu dari pemijahan tersebut. Memperhatikan distribusi ikan dewasa dan belum dewasa di Pulau Hogow mengikuti urutan bulan pengambilan data (Gambar 24) ada keunikan yang tercipta yaitu suatu pola dimana adanya perbandingan jumlah dewasa yang jauh lebih besar pada bulan pebruari hingga april dan bulan september hingga nopember. Dari pola ini dapat mengindikasikan bahwa pada bulan-bulan tersebut merupakan waktu beberapa jenis ikan target melakukan pemijahan.
Gambar 24 Kelimpahan ikan target berdasarkan kategori dewasa dan belum dewasa pada Stasiun 3 mengikuti bulan pengamatan Selain menggunakan distribusi kehadiran ikan target sebagai dasar penentuan waktu pemijahan, juga dilakukan pengamatan TKG (tingkat
87 kematangan gonad) dari 4 jenis ikan target yang banyak ditemukan di pulau Hogow selama 12 bulan pengamatan yaitu Caesio cuning, Epinephelus coioides, Scarus dimidiatus dan Siganus puellus.
Gambar 25 TKG ikan Caesio cuning, Epinephelus coioides, Scarus dimidiatus dan Siganus puellus dalam satu tahun pengamatan Pada pengamatan TKG ikan Caesio cuning ditemukan bahwa ikan ini melakukan pemijahan pada kisaran bulan pebruari hingga april, dimana pada bulan-bulan tersebut ditemukan TKG III-VI. Bulan pebruari ditemukan 4 ekor TKG III (hampir masak) dan empat ekor TKG IV (masak), bulan maret ditemukan 3 ekor TKG IV dan 5 ekor TKG V (siap reproduksi), dan bulan april ditemukan 2 ekor TKG VI (keadaan salin-produk seksual telah dikeluarkan). Pada pengamatan bulan-bulan yang lain TKG tertinggi di temukan pada bulan agustus dan september yaitu TKG III. Ikan Epinephelus coioides melakukan pemijahan pada bulan september hingga oktober. Pada bulan september ditemukan 2 ekor TKG III, 7 ekor TKG IV dan 1 ekor TKG V, sedangkan pada bulan oktober ditemukan 3 ekor TKG III, 3
88 ekor TKG IV, 1 ekor TKG V dan 1 ekor TKG VI. Untuk bulan yang lain, hanya april, juli dan agustus ditemukan ikan memiliki TKG III. Seperti halnya ikan Caesio cuning, ikan Scarus dimidiatus dan Siganus puellus juga berdasarkan TGK yang diperoleh melakukan pemijahan pada bulan pebruari hingga maret. Pengamatan TKG ikan Scarus dimidiatus pada bulan pebruari ditemukan 2 ekor TKG 3, 1 ekor TKG IV dan 3 ekor TKG V, bulan maret ditemukan 3 ekor TKG IV, 1 ekor TKG V dan 1 ekor TKG VI. Untuk ikan Siganus puellus pada pebruari ditemukan 2 ekor TKG IV dan 5 ekor TKG V, bulan maret ditemukan 1 ekor TKG IV dan 4 ekor TKG 5. Dengan hasil-hasil yang diperoleh, baik sebaran distribusi kehadiran ikan target maupun lewat pengamatan TKG, menunjukkan bahwa secara temporal waktu pemijahan yang terjadi di pulau Hogow adalah bulan pebruari hingga april dan bulan september hingga oktober. 4.4
Nilai Ekonomi Terumbu Karang Nilai ekonomi terumbu karang merupakan total nilai manfaat langsung dan
tidak langsung yang diidentifikasi di lokasi penelitian. Dari hasil identifikasi diperoleh 3 manfaat langsung terumbu karang yaitu perikanan, karang mati sebagai bahan bangunan dan wisata selam. Hasil perhitungan yang dilakukan diperoleh
nilai
perikanan
sebesar
Rp.55.149.157/ha/tahun
atau
Rp.6.340.498.529/tahun, bahan bangunan sebesar Rp.10.461.526/ha/tahun atau Rp.1.202.761.609/tahun dan wisata selam sebesar Rp.55.000.000/tahun, sehingga total
nilai
manfaat
langsung
sebesar
Rp.81.497.158/ha/tahun
atau
Rp.7.598.260.138/tahun. Untuk nilai manfaat tidak langsung didekati melalui fungsi ekosistem terumbu karang sebagai habitat ikan target (pemijahan, pembesaran dan mencari makan) dan fungsi fisik terumbu karang sebagai pelindung pantai dari gelombang. Sebagai habitat ikan target di peroleh nilai sebesar Rp.522.785.422/ha/tahun atau Rp.60.104.640.000/tahun
(wilayah
pemijahan
Rp.36.038.640.000,
wilayah
pembesaran Rp.2.706.480.000 dan wilayah mencari makan Rp.21.359.520.000) dan pelindung pantai (dengan panjang garis pantai kurang lebih 12km) diperoleh nilai sebesar Rp.93.937.548/ha/tahun atau Rp.10.800.000.000/tahun, sehingga total nilai manfaat tidak langsung sebesar Rp.616.722.971/ha/tahun atau
89 Rp.70.904.640.000. Dari hasil nilai manfaat langsung dan tak langsung, diperoleh total nilai ekonomi terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebesar Rp.682.812.039,13/ha/tahun atau Rp.78.502.900.138/tahun. Nilai manfaat langsung perikanan dan wisata yang diperoleh ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan hasil penelitian Husni (2001) di kawasan Gili Indah Kabupaten Lombok Barat NTB yaitu perikanan sebesar Rp.48.731.275/ha/tahun dan wisata sebesar Rp.69.117.180. Jika mengacu pada pernyataan Hiew dan Lim (1998) in Kusumastanto (2000) bahwa nilai fungsi terumbu karang sebagai pencegah erosi sebesar US$34.871,75/ha/tahun atau Rp 278.974.000/ha/tahun dengan asumsi US$1 setara dengan Rp.8.000, maka nilai fungsi terumbu karang sebagai pencegah erosi yang akan diperoleh di kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus akan jauh lebih besar. Kecilnya nilai yang diperoleh tersebut karena mengacu pada pembuatan break water dinas pengairan Sulawesi Utara sebesar Rp.300.000/m3. Demikian juga dengan total nilai ekonomi yang jauh lebih kecil dari hasil yang diperoleh Dahuri (1999) di kawasan Barelang dan Bintan sebesar Rp.1.614.637.864/ha/tahun. Kecilnya total nilai ekonomi yang diperoleh juga disebabkan karena belum dimasukkannya nilai-nilai lain seperti nilai keindahan, keragaman biota (biodiversity), warisan dan lain-lain (Ruitenbeek 2001). Perkiraan perhitungan nilai produksi perikanan dari terumbu karang tergantung pada kondisi terumbu karang dan kualitas pemanfaatan dan pengelolaan oleh masyarakat di sekitarnya, untuk itu perlu dilakukan tindakantindakan pengelolaan terumbu karang guna meningkatkan nilai ekonomi yang ada. Seperti hasil penelitian White & Trinidad (1998) di Philipina yaitu setiap 1 km 2 terumbu karang sehat dapat menghasilkan keuntungan tahunan antara US$15.00045.000 dari kegiatan perikanan berkelanjutan, US$2.000-20.000 dari pariwisata dan US$5.000-25.000 dari fungsi perlindungan pesisir (perlindungan abrasi) dengan
total
keuntungan/pendapatan
potensial
antara
US$32.000-
113.000/km2/tahun. 4.5
Optimasi Fungsi Ekologi-Ekonomi Terumbu Karang
4.5.1 Optimasi Fungsi Ekologi Terumbu Karang Sebagai Habitat Ikan Target Optimasi fungsi ekologi yang dilakukan adalah melihat hubungan antara komponen biotik penyusun terumbu karang dengan kehadiran ikan target pada masing-masing lokasi yang telah ditentukan fungsi ekologinya (pemijahan,
90 pembesaran dan mencari makan). Berdasarkan analisis PCA yang dilakukan pada komponen penyusun terumbu karang, diperoleh komponen utama yang memiliki kontribusi terbesar terhadap jumlah ikan target yaitu karang hidup, soft coral dan algae (Bab 4.2.2). Berdasarkan hasil analisis PCA tersebut dilakukan analisis regresi berganda untuk melihat hubungan antara tutupan komponen biotik dengan kehadiran ikan target. Model hubungan yang dihasilkan dari analisis tersebut seperti terlihat pada Tabel 34. Tabel 34
Model hubungan komponen bentik penyusun terumbu karang dengan kehadiran ikan target pada setiap wilayah
Wilayah Model R2 Pemijahan y = -2,5E-15 + 0,56x1 + 0,09x2 - 0,03x3 0,72 Pembesaran y = -2E-16 + 0,45x1 - 0,06x2 - 0,42x3 0,76 Mencari makan y = -8,3E-16 + 0,18x1 + 0,02x2 + 0,22x3 0,74 Keterangan: y adalah jumlah ikan; x1 adalah persentase tutupan karang hidup; x2 adalah persentase tutupan soft coral; x3 adalah persentase tutupan algae; dan R2 adalah koefisien determinasi. Melihat model-model hubungan yang dihasilkan maka secara umum interaksi antara ikan karang dengan habitatnya yang menggambarkan fungsi ekologis terumbu karang meliputi tiga bentuk utama. Pertama, adanya suatu interaksi peran yang melibatkan struktur terumbu dan pola reproduksi dan makan ikan karang yang berasosiasi dengan terumbu. Kedua, adanya hubungan langsung antara struktur terumbu dan tempat perlindungan. Hal ini akan terlihat jelas pada ikan-ikan yang kecil. Lebih jauh interaksi ini penting bagi eksistensi karang yaitu penyedian substrat dasar. Ketiga, adanya interaksi pola makan yang melibatkan beberapa ikan karang dan biota sesil, termasuk alga. Dari model yang terbentuk dan berdasarkan nilai koefisien regresi, terlihat bahwa untuk lokasi pemijahan komponen bentik karang hidup dengan bentuk pertumbuhan foliose atau CF (jenis Echinopora) memberikan kontribusi terbesar diikuti soft coral dan algae. Lokasi pembesarankontribusi terbesar juga diberikan oleh komponen bentik karang hidup tetapi berbeda dengan lokasi pemijahan pada lokasi ini bentuk pertumbuhan karang hidupnya adalah bercabang (branching) atau CB dan ACB (jenis Anacropora, Porites dan Acropora) diikuti kontribusi selanjutnya oleh soft coral dan algae. Untuk lokasi mencari makan kontribusi
91 terbesar diberikan oleh komponen biotik algae diikuti karang hidup dan soft coral. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus yang sebagian merupakan ikan herbivor sangat membutuhkan kehadiran algae (selain karang hidup) sebagai sumber makanan mereka. Hasil yang diperoleh pada Stasiun 4, 5 dan 6, seperti yang ditemukan oleh Purwanto (1987) dan Aktani (1990) in Emor (1993) di Kepulauan Seribu, dimana mereka menemukan kelimpahan dan keragaman spesies ikan karang tidak selalu tergantung dari buruknya kondisi terumbu (yang dilihat dari tutupan karang hidup), melainkan juga tergantung dari ketersediaan sumber makanan dikaitkan dengan sifat makan dari ikan karang. Mereka membuktikan bahwa penurunan kondisi karang akan diganti oleh komunitas algae sebagai niche dari ikan-ikan herbivor. Choat & Bellwood (1991) menyebutkan bahwa interaksi yang kuat antara ikan karang dan terumbu karang sebagai habitat tidak hanya dijelaskan dari konteks fisik namun juga melalui perilaku makan ikan. Ikan harus makan untuk dapat bertahan hidup, dan apa yang dimakan oleh ikan karang merupakan informasi yang penting dalam mempelajari ekologi ikan yang hidup di terumbu karang. Perilaku makan
ikan karang akan memberi pengaruh terhadap
keseluruhan ekosistem terumbu karang dan juga sebaliknya. Lebih lanjut Choat & Bellwood (1991) mengatakan ikan herbivora adalah kelompok yang paling tinggi penyebaran dan kelimpahannya di daerah terumbu karang. Ikan herbivora terdiri dari sekitar 76 spesies Siganidae, 25 spesies Scaridae, 79 spesies Pomacentridae dan sekitar 159 spesies yang bersifat omnivora-herbivora. Keberadaan ikan–ikan herbivora mempunyai tiga peranan penting pada ekosistem terumbu karang. Pertama, sebagai konsumer dari produsen, herbivora merupakan penghubung antara aliran energi yang berasal dari produsen ke konsumen tingkat 2 (karnivora). Kedua, mereka mempengaruhi penyebaran, ukuran, komposisi dan bahkan pertumbuhan dari tumbuhan di terumbu karang. Komposisi dan struktur dari tumbuhan yang berasosiasi dengan terumbu karang digambarkan melalui konteks aktivitas herbivori. Pemangsaan oleh ikan herbivora (grazing) secara substansi mengubah alga yang ada di terumbu, dimana hal ini memberika pengaruh positif maupun negatif pada karang. Ketiga, interaksi antara
92 ikan–ikan herbivora merupakan alat dalam model demografi dan perilaku ikan karang secara keseluruhan. Selain ikan herbivora, di kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus juga ditemukan banyak ikan karnivora, khususnya dari famili Lutjanidae dan Seranidae. Ikan karnivora mempunyai morfologi untuk makan yang bervariasi, mulai dari mulut kecil yang khusus seperti pada ikan Forceps Butterflyfish (Forcipiger spp) sampai struktur mulut yang besar seperti pada ikan Scorpionfish (Scorpaenidae), Kakap (Lutjanidae) dan Kerapu (Seranidae). Karnivora mempunyai peranan penting dalam siklus energi dimana hal tersebut terkait dengan struktur fisik terumbu, pola makan ikan dan siklus nutrien. Dalam model hubungan yang diperoleh, keberadaan ikan karnivora di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sangat dipengaruhi oleh persentase tutupan karang hidup karena ketersediaan makanan ikan ini berkorelasi positif dengan keberadaan karang hidup. Hal ini berhubungan dengan tingkatan tropik dimana banyak organisme (seperti krustasea, invertebrata dan zoobenthos) yang merupakan sumber makanan ikan karnivora memanfaatkan karang hidup sebagai tempat hidup mereka. 4.5.2 Optimasi Ekonomi Pengelolaan Ikan Target Pemanfaatan sumberdaya ikan target pada terumbu karang seringkali tidak memperhatikan stok alami dan kemampuan regenerasi sehingga sumberdaya tersebut dieksploitasi berlebihan. Di sisi lain apabila stok sumberdaya alami ikan target tidak dimanfaatkan maka tidak akan memberikan kontribusi ekonomi bagi masyarakat khususnya nelayan. Pada estimasi kriteria pengelolaan digunakan parameter bioekonomi seperti r (laju pertumbuhan intrinsik ikan), q (koefisien daya tangkap), K (kapasitas daya dukung), p (harga) dan c (biaya). Berdasarkan analisis menggunakan parameter bioekonomi tersebut akan diketahui nilai optimal pemanfaatan sumberdaya ikan target pada terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Pendugaan hasil tangkapan optimum (catch) dan upaya tangkap optimum (effort) dengan menggunakan model produksi surplus, didasarkan pada pemahaman bahwa hasil tangkapan per satuan upaya merupakan ukuran biologi yang mengindikasikan kelimpahan dan/atau densitas dari suatu stok ikan yang
93 dieksploitasi. Sparre & Venema (1999) menyatakan model ini dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik, untuk beberapa tahun terdahulu, hasil tangkapan (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per satuan upayanya dan/atau hasil tangkapan persatuan upaya dan upaya tangkapnya. Lebih lanjut Sparre & Venema (1999) menyatakan cara termudah untuk mempelajari perikanan multi spesies dengan model ini, hanya menghasilkan interpretasi yang tidak langsung tentang stok. Pada dasarnya upaya tangkap yang diperhitungkan berdasarkan banyaknya waktu (trip) dan perahu yang beroperasi, berkaitan pula dengan biaya operasi penangkapan dan harga ikan. Sesuai IHK (Indeks Harga Konsumen) 2010 di Kabupaten Minahasa Tenggara menurut harga nominal tahun 2006, harga ikan target sebesar Rp 4.323.342/ton. Sementara rata-rata biaya operasi penangkapan ikan target setiap upaya tangkap (perahu-hari) sebesar Rp 42.500. Berdasarkan data harga dan biaya tersebut, pendekatan bioekonomi telah diterapkan untuk menentukan upaya tangkap optimal beserta kontribusinya pada hasil tangkapan dan keuntungan usaha. Tabel 35 menyajikan hasil analisis dengan pendekatan bioekonomi tersebut. Tabel 35 Hasil estimasi bioekonomi sumberdaya ikan target di wilayah terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus Parameter Stock (ton/th) Catch (ton/th) Effort (trip) Rente (Rp)
MSY 190,58 67,54 176,76 404.538.845,10
MEY 191,90 67,53 175,53 404.558.529,42
OA 2,64 1,86 351,07 0,00
OPT 165,44 66,36 200,08 396.650.224,17
Ket : MSY = Maximun Sustainable Yield; MEY = Maximum Economic Yield; OA = Open Access; OPT = Optimal Tabel 35 menunjukkan upaya tangkap untuk memperoleh hasil tangkapan maksimum optimal (OPT) adalah sebesar 200,08 trip. Hasil tangkapan tersebut sebanyak 66,36 ton ikan target dengan nilai rente/pendapatan
sebesar
Rp.396.650.224,17. Besaran ini sedikit lebih kecil dari hasil pendugaan MSY yang sebanyak 67,54 ton ikan target. Posisi OPT ini, demikian pula dengan MSY, MEY dan OA yang tidak optimum, sesuai dengan kaidah dari pendekatan bioekonomi yang diterapkan Fauzi (2004).
94 Jika diasumsikan nelayan menangkap ikan merata pada semua wilayah (pemijahan, pembesaran dan mencari makan) maka dapat diprediksi kontribusi dari masing-masing wilayah terhadap produksi ikan target. Kontribusi terbesar diberikan oleh wilayah mencari makan dan pemijahan, sedangkan wilayah pembesaran kontribusinya relatif kecil. Hal ini disebabkan wilayah mencari makan dan pemijahan memiliki jumlah ikan berukuran besar yang banyak.
Gambar 26 Persentase kontribusi setiap wilayah terhadap produksi ikan target Dari Gambar 27 terlihat bahwa produksi perikanan pada wilayah mencari makan dan pemijahan saling berkorelasi negatif, artinya disaat produksi dari salah satu wilayah naik akan diikuti penurunan produksi pada wilayah lainnya. Dengan kata lain, kegiatan nelayan setiap tahun terkonsentrasi pada kedua wilayah secara bergantian, sangat bergantung pada jumlah ikan di kedua wilayah tersebut.
Gambar 27 Kontribusi produksi ikan target pada setiap wilayah
95 Selain melihat persentase kontribusi produksi ikan target dari setiap wilayah, juga dapat diprediksi kontribusi jumlah produksi dari masing-masing wilayah tersebut. Dari data produksi yang tercatat di Desa Basaan, terlihat produksi ikan target setiap tahun belum mencapai nilai produksi optimal yaitu sebesar 66,36 ton, dimana produksi terbesar pada tahun 2002 sebesar 65,45 ton. Walaupun produksi ikan target yang terdata setiap tahun belum mencapai nilai produksi optimal, tetapi diperoleh data penurunan produksi ikan target pada semua wilayah (indikasi kelebihan tangkap). Hal ini terlihat dari jumlah trip penangkapan yang dilakukan nelayan sejak tahun 2006 (Lampiran 3) sudah diatas trip optimal yaitu 200,08 trip (Tabel 35). Selain itu, banyaknya data produksi nelayan yang tidak tercatat terutama produksi ikan target yang dilakukan nelayan yang berasal dari luar Desa Basaan. Terjadinya hal tersebut karena terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebagai kawasan milik umum (common property), sehingga banyak negai layan dari daerah lain yang menjadikan kawasan ini sebagai wilayah penangkapan. Tentunya kondisi ini perlu ditangani dengan baik untuk mencegah kelebihan tangkap ikan target. 4.5.3 Optimasi Keterkaitan Terumbu Karang dan Produksi Ikan Target Hubungan antara produksi ikan target, upaya penangkapan (E) dan luas terumbu karang diestimasi melalui analisis regresi. Hasil dari estimasi parameter biologi mengikuti determinasi kombinasi dari α, r dan q, juga dengan menggabungkan nilai dari parameter ekonomi p dan c, dapat menstimulasi efek tetap dari perubahan luas terumbu karang dalam ekuilibrium produksi dan TR dari perikanan ikan target pada tahun 2002-2011. Tabel 36 Analisis regresi produksi ikan target, effort dan luas terumbu karang Peubah Terumbu Karang x Effort (E) Efford squared (E2) R Square Adjusted R Square Marginal Produktivity - Terumbu karang (MPT) - Estimates (at means) (MPE)
Coefficients 0,0024 -0,0006 0,8417 0,7964 0,5044 0,3963
Standard Error 0,0016 0,0002
t Stat 1,4599 -2,8818
P-value 0,1877 0,0236
96 Nilai-nilai
dari
hasil
analisis
regresi
tersebut
diestimasi
dengan
menggunakan data time series dari harvest, effort dan tutupan karang. Model estimasi yang diperoleh :
, h adalah harvest
(produksi), E adalah effort (upaya penangkapan) dan T adalah terumbu karang (luasan karang hidup) Model tersebut menunjukkan bahwa jika luas tutupan karang hidup di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus (59 ha) dengan rata-rata upaya penangkapan (effort) sebesar 207,40 trip akan dapat menghasilkan produksi perikanan ikan target sebesar 55,18 ton per tahun. Bila mengikuti harga ikan target pada tahun 2011 di Kabupaten Minahasa Tenggara sebesar Rp.25.000/kg, maka nilai produksi yang diterima nelayan dari manfaat terumbu karang sebesar Rp.1.379.417.000. Marjinal produktivitas dari luas terumbu karang (MP T) adalah 0,50 ton per hektar, artinya perubahan setiap satu satuan luas tutupan karang hidup pada ekosistem terumbu karang (per 1 hektar) akan berdampak pada produksi ikan target sebesar 0,50 ton. Sedangkan marjinal produktivitas dari upaya penangkapan (MPE) adalah 0,40 ton per trip, artinya perubahan setiap satu satuan upaya penangkapan (effort) akan berdampak pada perubahan produksi ikan target sebesar 0,40 ton. Melihat hubungan perubahan luas tutupan karang hidup terhadap perubahan produksi ikan target adalah linier yang berarti jika terjadi perubahan luas tutupan karang hidup positif (semakin bertambah), maka perubahan hasil produksi ikan target bernilai positif (meningkat). Terganggunya fungsi-fungsi ekosistem terumbu karang secara keseluruhan akan berpengaruh terhadap ketersediaan stok ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus tiap periode, seperti yang ditunjukkan pada analisis di atas dimana penurunan tutupan karang hidup berpengaruh terhadap stok ikan target. Kondisi ini menyebabkan hasil tangkapan nelayan semakin berkurang sehingga menurunkan total penerimaan (total revenue) nelayan dan devisa Kabupaten Minahasa Tenggara. Dari Gambar 28 menunjukkan bagaimana kerugian ekonomi yang terkait dengan degradasi tutupan karang hidup dari tahun 2002 hingga 2011 akibat pemanfaatan ikan target secara terbuka (open access). Seperti terlihat, pada awal-
97 awal periode (tahun 2002-2004) dengan upaya tangkap (effort) yang jauh lebih rendah memperoleh produksi perikanan ikan target yang lebih tinggi dari periode berikutnya (tahun 2005-2011). Dampak dari degradasi luasan tutupan karang hidup yang rata-rata 3,93% per tahun (lihat Bab 4.2.2) atau 16,5 hektar akan mengurangi produksi ikan target sebesar 8,75 ton atau kerugian sebesar Rp.218.625.000. Melihat apa yang dihasilkan pada Gambar 28, diperoleh modelmodel estimasi optimal coral covered area (Tt), optimal production of target fish (Qt), optimal revenues (Rt) dan optimal effort (Et).
Gambar 28 Optimal tutupan karang hidup (Tt), optimal produksi ikan target (Qt), optimal pendapatan (Rt) dan optimal upaya penangkapan (Et).
Gambar 29 Model optimal coral covered area (Tt)
98 Model optimal coral covered area (Tt) : − Dari model ini diperoleh tutupan karang hidup optimal sebesar 66,82 hektar pada tahun 2008. Model optimal tutupan karang hidup (Gambar 29), terlihat bahwa pada tahun 2015 tutupan karang hidup yang ada di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus akan mencapai luasan sebesar 2,4 hektar. Model optimal production of target fish (Qt) : − Dari model ini diperoleh produksi optimal ikan target sebesar 61,07 ton pada tahun 2007. Pada Gambar 30, terlihat bahwa pada tahun 2014 produksi ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sebesar 0 ton.
Gambar 30 Model optimal production of target fish (Qt) Model optimal revenues (Rt) : −
Gambar 31 Model optimal revenues (Rt)
−
99 Dari model ini diperoleh pendapatan optimal sebesar Rp. 370.050.000 pada tahun 2011. Seperti terlihat pada Gambar 31, pada tahun 2019 pendapatan perikanan ikan target yang ada di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus akan mencapai nilai sebesar Rp. 0. Model optimal effort (Et) : −
−
Dari model ini diperoleh upaya penangkapan optimal pada tahun 2013 sebesar
289 trip. Pada Gambar 32 terlihat bahwa upaya penangkapan akan
meningkat terus hingga tahun 2013 untuk mengejar produksi sebesar-besarnya, dan selanjutnya mulai terjadi penurunan karena ketersediaan ikan target yang semakin berkurang.
Gambar 32 Model optimal effort (Et) Hasil-hasil analisis optimalisasi telah menunjukkan bahwa nilai ekonomi terumbu karang dalam mendukung perikanan ikan target dapat diperkirakan melalui penerapan fungsi produksi, dimana model fungsi produksi menunjukkan nilai produksi akibat perubahan yang terjadi pada ekosistem terumbu karang. Dengan kata lain pendekatan fungsi produksi cocok untuk menilai peran ekologi terumbu karang dalam mendukung perikanan ikan target. Sebagai suatu sistem ekologi, terumbu karang mengalami ancaman sebagai dampak pembangunan wilayah pesisir, sehingga penting untuk mengoptimalkan nilai ekonomi dari fungsi ekologis terumbu karang. Kegagalan untuk mempertimbangkan nilai ini, menggambarkan tidak dihargainya
nilai
ekonomi
terumbu karang dalam
keputusan-keputusan
pembangunan wilayah pesisir atau sering dianggap tidak siknifikan atau bahkan dinilai nol. Hal ini terutama terjadi pada negara-negara berkembang (Barbier
100 2000) termasuk Indonesia, dimana banyak ekosistem terumbu karang terancam akibat kegiatan budidaya, pariwisata dan pembangunan infrastruktur. Dalam konteks pengelolaan, selama tingkat upaya penangkapan meningkat tanpa memperhatikan stok ikan yang ada akan menyebabkan produksi ikan target menurun, bahkan jika kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau PutusPutus sepenuhnya di lindungi. Selain itu setiap peningkatan produksi dan pendapatan dari kegiatan perikanan ikan target di terumbu karang cenderung tidak akan berlangsung lama karena hal tersebut akan menarik lebih banyak upaya penangkapan di kawasan terumbu karang tersebut. Pengelolaan yang baik dari kegiatan perikanan ikan target di terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau PutusPutus dalam jangka pendek adalah mengontrol eksploitasi berlebihan untuk membawa produksi ke level yang optimal serta perlunya melindungi terumbu karang untuk kebijakan ekonomi jangka panjang. 4.5.4 Status Keberlanjutan Sesuai dengan tujuan penelitian, pemanfaatan ikan target di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus ditelaah status keberlanjutannya dengan menggunakan RAPFISH (Rapid Assessment Techniques for Fisheries). Berdasarkan survei, hasil penilaian cepat mengenai status keberlanjutan perikanan ikan target dikemukakan menurut dimensinya yang terdiri dari sejumlah atribut. Deskripsi penilaian tersebut sebagai suatu diagnosis status keberlanjutan perikanan ikan target di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, dikemukakan secara berurutan mencakup dimensi ekologi, dimensi ekonomi, dimensi sosial, dimensi kelembagaan dan dimensi teknologi. 4.5.4.1 Deskripsi Dimensi Dan Atribut Dimensi ekologi a. Persentase tutupan karang Persentase tutupan karang merupakan indikator dalam menentukan kondisi dari terumbu karang. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab 4.2.2 bahwa terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus sedang mengalami degradasi dengan penurunan tutupan karang hidup. Degradasi terumbu karang ini tentu berdampak pada keberadaan organisme lain yang hidup di habitat ini sehingga dalam pengelolaan berkelanjutan atribut ini sangat perlu untuk diperhatikan.
101 b. Keanekaragaman ikan target Salah satu indeks ekologi untuk melihat keberadaan komunitas ikan target adalah keanekaragaman. Semakin tinggi indeks keanekaragaman ikan target akan menunjukkan banyaknya tipe habitat di terumbu karang untuk tempat hidup ikan (lihat bab 4.2.3), atau dengan kata lain ekosistem terumbu karang masih representatif untuk kehidupan banyak jenis ikan. c. Substrat Keberadaan jenis substrat di terumbu karang sangat penting untuk diketahui, karena larva karang batu (planula) sangat memerlukan subsrat yang keras (CaCO3) sebagai tempat untuk menempel. Semakin sedikitnya subsrat keras yang ada, akan semakin memperkecil peluang planula untuk menempel yang pada akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan karang batu. Dalam penelitian ini, khususnya Stasiun 3, 4 dan Tanjung Buyat banyak ditemukan substrat pasir. d. Salinitas Keberadaan ekosistem terumbu khususnya karang batu sangat ditentukan oleh faktor-faktor pembatas, dimana salah satu faktor pembatas tersebut adalah salinitas. Kisaran optimal salinitas guna pertumbuhan karang adalah 29-35‰. Kisaran salinitas yang ada di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus yang diukur pada bulan September 2011 adalah 29,6-31,2‰. e. Sedimentasi Seperti halnya salinitas, faktor pembatas lain bagi pertumbuhan karang adalah sedimentasi. Sedimentasi yang tinggi akan menyebabkan kematian karang batu. Dalam pengamatan yang dilakukan, sedimentasi yang ada berdasarkan nilai turbiditas yang diperoleh. Dari hasil pengukuran yang dilakukan di peroleh kisaran turbiditas di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus adalah 0-6 NTU yang artinya tingkat kekeruhan yang ada relatif rendah. f. Tingkat eksploitasi ikan karang Selama ini, kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus merupakan lokasi penangkapan ikan target oleh masyarakat Desa Basaan. Pada tahun 2011 jumlah produksi ikan target berjumlah 35,72 ton, sangat sedikit dibandingkan pada tahun 2002 yang mencapai 65,45 ton. Penurunan ini juga dipengaruhi oleh kondisi ekologi karang batu yang mengalami degradasi.
102 Dimensi ekonomi a. Keuntungan (profit) Yang dimaksud keuntungan disini adalah besarnya pendapatan yang diperoleh oleh nelayan yang menangkap ikan target, dalam hal ini apakah hasil yang diperoleh cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga nelayan. Sebagai responden adalah nelayan Desa Basaan Kabupaten Minahasa Tenggara. Hasil pengambilan data pada masyarakat nelayan menunjukkan keuntungan dari hasil perikanan ikan target masuk kategori menguntungkan. b. Rata-rata penghasilan relatif terhadap UMR Yang dilihat pada atribut ini adalah apakah hasil usaha/pendapatan nelayan yang menangkap ikan target sebanding/lebih kecil/lebih besar dengan UMR (upah minimal regional) yang berlaku di Sulawesi Utara sebesar Rp.1.050.000 per bulan. Pendapatan perbulan yang diperoleh nelayan Desa Basaan dari kegiatan perikanan ikan target berkisar Rp.950.000-Rp.1.100.000 per bulan. c. Ketergantungan pada sumberdaya sebagai sumber nafkah Banyak nelayan di Minahasa Tenggara juga berprofesi sebagai petani, sehingga pada saat musim angin Selatan (pada bulan Agustus-September), musim yang membuat aktivitas nelayan untuk melaut di wilayah ini terganggu maka sebagian nelayan mengisi waktu dengan bertani. Karena sebagian besar nelayan yang ada di Desa Basaan adalah turunan suku Bajo yang memiliki karakteristik nelayan penuh tetapi umumnya nelayan tradisional dengan wilayah operasi terjauh hanya pada terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, maka yang ingin dilihat adalah apakah nelayan Desa Basaan menggantungkan hidupnya pada sumberdaya ikan target d. Waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang Untuk kegiatan ekonomi, penggunaan waktu oleh nelayan dalam kegiatan pemanfaatan terumbu karang sangat berpengaruh terhadap pendapatan nelayan itu sendiri. Sebagian besar nelayan di desa Basaan mengunakan seluruh waktunya untuk berkegiatan di terumbu karang. Hal ini, seperti yang sudah dijelaskan di atas karena sebagian besar nelayan di Desa Basaan adalah nelayan tradisional yang tidak dapat beroperasi pada wilayah yang jauh.
103 e. Pemandu wisata Keindahan terumbu karang yang ada di Pulau Hogow dan Pulau PutusPutus akan mengundang wisatawan khususnya penyelam untuk menyelam di lokasi ini. Untuk itu ingin dilihat apakah sudah ada pemandu wisata lokal yang terlibat dalam kegiatan wisata tersebut, sebagai salah satu sumber penghasilan bagi masyarakat. Hasil pengambilan data diperoleh belum adanya pemandu wisata di Desa Basaan. f. Wisatawan lokal Dalam hal ini ingin dilihat jumlah wisatawan lokal yang berkunjung di daerah ini, apakah menikmati pantai ataupun menyelam. Kedatangan wisatawan lokal ke daerah ini tentu akan memberikan efek samping dalam kegiatan ekonomi masyarakat. Wisatawan lokal yang banyak mengunjungi daerah ini adalah masyarakat dari daerah sekitar hingga Manado. Kedatangan wisatawan lokal di daerah ini biasanya terjadi pada akhir pekan (hari sabtu dan minggu). g. Wisatawan mancanegara Seperti halnya wisatawan lokal, kehadiran wisatawan mancanegara yang umumnya untuk menyelam tentu akan berdampak pada kegiatan ekonomi di kawasan ini. Kedatangan wisatawan mancanegara di kawasan ini masih dalam jumlah yang sedikit (rata-rata 55 wisatawan per tahun) dan umumnya datang untuk menyelam. h. Jumlah objek wisata Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus memiliki banyak lokasi yang dapat dijadikan objek wisata. Untuk itu ingin diketahui apakah telah ditentukan lokasilokasi yang dapat dijadikan objek wisata. Semakin banyak objek wisata yang menarik tentunya akan meningkatkan jumlah wisatawan yang datang. Dari hasil penelitian didapatkan belum adanya penentuan lokasi wisata oleh pemerintah di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Oleh sebab itu umumnya wisatawan berkunjung ke pantai pasir putih yang ada di pulau Hogow. i. Lama tinggal wisatawan Lama tinggal wisatawan lokal maupun mancanegara yang datang di kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus menyebabkan sangat berpengaruh pada sektor ekonomi. Semakin lama wisatawan tinggal tentu akan lebih besar
104 pendapatan yang diterima masyarakat maupun daerah. Kondisi
yang terjadi
adalah tidak adanya wisatawan khususnya dari manca negara yang menginap di lokasi ini, disebabkan belum tersedianya tempat/rumah untuk mereka menginap. Untuk wisatawan lokal seluruhnya langsung pulang ke asal mereka sesudah berkunjung ke Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Dimensi sosial a. Partisipasi keluarga Partisipasi keluarga yang ingin dilihat adalah jumlah anggota keluarga yang terlibat dalam kegiatan pemanfaatan di kawasan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Saat ini yang ada di Desa Basaan, jumlah anggota keluarga yang berkegiatan di terumbu karang rata-rata 2 orang per keluarga. b. Peran partisipasi Peran partisipasi masing-masing anggota keluarga dalam pemanfaatan terumbu karang ingin dilihat dalam bentuk parsipasi yang positif (tidak merusak terumbu karang) atau negatif (cenderung merusak terumbu karang). Masyarakat Desa Basaan saat ini berperan positif dalam pemanfaatan terumbu karang. c. Jumlah lokasi potensi konflik Dengan bertambahnya penduduk dan kebutuhan meningkat di satu sisi, sedangkan di sisi lain terjadinya degradasi terumbu karang tentu akan menimbulkan konflik dalam pemanfaatan. Untuk itu ingin dilihat jumlah lokasilokasi pemanfaatan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus yang rawan konflik. Untuk masyarakat Desa Basaan sendiri hingga saat ini tidak tercipta konflik dalam pemanfaatan terumbu karang. Konflik yang ada adalah konflik antara masyarakat Desa Basaan dengan desa lain dalam pemanfaatan terumbu karang dan terjadi pada banyak lokasi di Pulau Hogow dan Pulau PutusPutus. d. Tingkat pendidikan Dalam pemanfaatan terumbu karang yang berkelanjutan tentu diperlukan sumberdaya manusia yang paham akan pentingnya pengelolaan. Keberadaan sumberdaya manusia yang menunjang program pengelolaan sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan masyarakat itu sendiri. Hasil yang diperoleh, tingkat pendidikan masyarakat nalayan Desa Basaan umumnya hanya lulus SD dan SMP.
105 e. Pertumbuhan pekerja eksploitasi 10 tahun terakhir Meningkatnya
tingkat
eksploitasi
ikan
target
dipengaruhi
oleh
meningkatnya jumlah nelayan yang beroperasi di wilayah terumbu karang. Dari hasil pengambilan data lapangan didapatkan peningkatan jumlah upaya penangkapan (effort) dari tahun 2002 hingga 2011. Peningkatan upaya tangkap ini salah satu penyebabnya adalah bertambahnya nelayan terumbu karang di Desa Basaan. Kondisi di Desa Basaan menunjukkan peningkatan jumlah nelayan yang beroperasi di kawasan terumbu karang hanya 5-10% dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. f. Upaya perbaikan ekosistem terumbu karang Dengan adanya degradasi terumbu karang yang menyebabkan berkurangnya produksi ikan target telah disadari masyarakat Desa Basaan. Untuk itu dalam penelitian ini, ingin dilihat upaya yang dilakukan masyarakat untuk perbaikan ekosistem terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Dari hasil penelitian di lapangan, didapatkan adanya upaya-upaya perbaikan ekosistem terumbu karang berupa transplantasi karang yang dibuat bekerjasama dengan Fakultas Perikanan dan Kelautan UNSRAT sejak tahun 2010 sampai 2011. g. Zonasi peruntukan lahan Untuk menghindari konflik sosial dalam pemanfaatan terumbu karang serta guna perbaikan kondisi terumbu karang perlu dilakukan zonasi peruntukan lahan. Zonasi peruntukan lahan sudah dibuat di sekitar Desa Basaan seperti lokasi budidaya ikan karang dan daerah perlindungan laut (DPL). Khusus untuk DPL banyak dilanggar karena hilangnya tanda-tanda batas wilayah. Dimensi kelembagaan a. Ketersediaan peraturan pengelolaan sumberdaya secara formal Untuk melakukan pengelolaan yang baik tentunya diperlukan aturan-aturan formal yang dapat dijadikan acuan dalam tindakan-tindakan pengelolaan terumbu karang. Saat ini di kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus belum ada aturan formal yang mengatur pengelolaan terumbu karang. b. Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan Keberlanjutan keberadaan ekosistem terumbu karang sangat tergantung pada sikap masyarakat khususnya nelayan dalam kegiatan pemanfaatan. Sikap
106 yang dimaksud disini adalah kepatuhan terhadap aturan untuk tidak melakukan kegiatan yang berdampak merusak terumbu karang. Hasil survey menunjukkan tingkat kepatuhan masyarakat terhadap peraturan pemanfaatan terumbu karang di Desa Basaan relatif rendah. Hal ini terbukti dengan masih banyak nelayan yang menggunakan alat tangkap yang tidak efektif dalam kegiatan di terumbu karang seperti bubu dan jaring. c. Mengendalikan pemanfaatan sumberdaya Mengendalikan pemanfaatan sumberdaya harusnya adalah pihak yang paling berkepentingan atau berhubungan langsung dengan keberadaan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus yaitu masyarakat. Yang terjadi saat ini adalah pengendali pemanfaatan sumberdaya adalah pemerintah yang tingkat perhatian terhadap keberadaan terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau PutusPutus sangat kecil. d. Pemantauan, pengawasan dan pengendalian Tidak adanya kelompok nelayan terumbu karang yang telah dibentuk, serta belum adanya zonasi peruntukan di terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus, sehingga kegiatan pemantauan, pengawasan dan pengendalian belum berjalan dengan baik di kawasan ini. e. Tokoh panutan Tokoh panutan yang dimaksud adalah tokoh masyarakat yang dapat didengar nasihat dan perintahnya oleh masyarakat. Di Desa Basaan terdapat beberapa orang yang terdiri dari tokoh agama dan pemerintah desa maupun anggota masyarakat yang menjadi panutan oleh masyarakat umumnya. f. Penyuluhan hukum lingkungan Kurangnya pemahaman masyarakat Desa Basaan bahwa akibat dari kegiatan yang merusak terumbu karang dapat mendapat hukuman disebabkan karena sedikitnya penyuluhan tentang hukum yang diterima. Hasil survey mendapatkan bahwa selama tahun 2010 hingga 2011 hanya satu kali masyarakat menerima penyuluhan tentang hukum lingkungan. g. Koperasi Salah satu sebab yang seringkali menghambat kegiatan perikanan oleh nelayan adalah kekurangan modal atau pemasaran hasil perikanan. Untuk
107 mengatasi hal ini langkah terbaik adalah mendirikan koperasi. Hingga saat ini di Desa Basaan belum ada koperasi yang didirikan, yang ada hanyalah kegiatan simpan pinjam yang dilakukan beberapa komunitas seperti kelompok agama maupun arisan para ibu-ibu. h. Tradisi/budaya Tradisi atau budaya masyarakat perlu dilihat dalam konteks pengelolaan berkelanjutan. Salah satu sisi negatif dari tradisi masyarakat nelayan Desa Basaan yang keturunan suku Bajo adalah seluruh aktifitas mereka lakukan di pesisir pantai termasuk membuang sampah dan hajat. Hal ini tentu berdampak negatif kepada keberadaan ekosistem pesisir. Dimensi teknologi a. Alat eksploitasi yang digunakan Umumnya alat yang digunakan masyarakat nelayan Desa Basaan dalam kegiatan penangkapan ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus bersifat pasif, seperti pancing, jaring tancap dan bubu. Khusus untuk bubu, karena peletakkannya di antara karang batu, maka dalam operasionalnya berdampak negatif karena merusak karang batu. b. Ketersediaan alur atau akses eksploitasi Alur atau akses eksploitasi di ekosistem terumbu karang Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus secara resmi belum ditentukan, sehingga masyarakat nelayan menentukan sendiri alur atau akses yang akan mereka gunakan. c. Tipe alat pengangkut Alat pengangkut hasil tangkapan ikan target oleh nelayan Desa Basaan umumnya adalah perahu dengan ukurun kecil. Hal ini menyebabkan dalam setiap trip penangkapan jumlah produksi yang dapat diangkut terbatas. d. Teknologi penanganan pasca panen Teknologi pasca panen yang diterapkan nelayan Desa Basaan masih sederhana. Jika hasil tangkapan ikan target tidak seluruhnya dapat dijual atau dimakan maka teknologi yang dilakukan adalah pembuatan ikan asin. e. Ekoteknologi pada kegiatan wisata Ekoteknologi yang dimaksud adalah teknologi yang ramah lingkungan. Untuk wilayah Desa Basaan dan kawasan Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus
108 belum ada teknologi seperti itu. Karena wisatawan yang umumnya datang di lokasi adalah wisatawan lokal maka akibat yang terjadi adalah menumpuknya sampah di lokasi. Mengatasi hal ini hanya dilakukan pengumpulan sampah oleh masyarakat, itupun dilakukan pada waktu-waktu tertentu saja seperti ulang tahun kemerdekaan atau adanya kegiatan bersih pantai yang dilakukan instansi pemerintah atau LSM. f. Teknologi perahu Perahu yang digunakan oleh masyarakat nelayan Desa Basaan umumnya adalah perahu katinting dengan ukuran yang relatif kecil. Pada saat-saat kesulitan mendapatkan bahan bakar minyak untuk mesin katinting, biasanya masyarakat memasang layar pada perahu mereka. 4.5.4.2 Status Keberlanjutan Dengan mengacu pada deskripsi umum dari masing-masing dimensi dan atribut yang telah dijelaskan sebelumnya, analisis untuk status keberlanjutan pengelolaan kawasan terumbu karang berbasis ikan target di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus dilakukan. Hal ini untuk melihat atribut mana pada masingmasing dimensi yang menjadi pengungkit atau menjadi faktor yang perlu diperhatikan dalam keberhasilan pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan. Hasil analisis ordinasi untuk dimensi ekologi (Gambar 33) mendapatkan nilai indeks 54,64 pada skala 0–100. Berdasarkan klasifikasi kondisi, maka kondisi aspek ekologi berada pada kategori baik. Hal ini mengacu pada pengklasifikasian status yaitu indeks <50 berarti status buruk, 50-75 berarti baik dan >75 berarti sangat baik. Untuk menguji pengaruh dari beragam kekeliruan (ketidak-pastian), baik yang berkenaan dengan skoring maupun dalam proses ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang dilakukan analisis Monte Carlo. Analisis Monte Carlo yang telah diterapkan memperlihatkan hasil simulasi yang relatif identik dengan ordinasi semula. Indikatornya ditunjukkan pancaran hasil simulasi ordinasi yang berada di dan sekitar posisi ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang yang terdahulu ditentukan. Hal ini berarti bahwa hasil penilaian terhadap agregat kegiatan pengelolaan berada pada kriteria berkelanjutan atau cukup efektif. Selanjutnya berdasarkan posisi
titik
acuan
utama
(reference)
dan
acuan
tambahan
(anchors)
109 memperlihatkan bahwa kedudukannya berada pada kondisi baik (good) serta pada posisi atas (up) (di atas garis horizontal antara buruk dan baik, serta terletak pada posisi sebelah kanan dari garis vertikal atas dan bawah). Kondisi ini menunjukan kegiatan pemanfataan saat ini masih baik tapi cenderung ke menurunkan kualitas kawasan karena nilai indeks yang mendekati 50. Implikasinya, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa pengelolaan dan pembangunan saat ini cenderung ditata ke arah kurang berkelanjutan. Dengan demikian hasil penelitian ini menjadi peringatan bagi pengelola dan semua pengguna (stakeholders) untuk dapat mengevaluasi program pengelolaan terumbu karang saat ini.
Gambar 33 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi ekologi
Gambar 34 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi ekonomi
110 Untuk dimensi ekonomi (Gambar 34), hasil analisis ordinasi dan analisis Monte Carlo untuk dimensi ekonomi mendapatkan nilai indeks 50,74 pada skala 0–100, berada pada kategori baik. Walaupun nilai ordinasi ini berada pada kategori yang baik, tetapi sudah sangat mendekati nilai kritis 50, bahkan pada analisis Monte Carlo sebagian titik sudah berada pada nilai indeks lebih kecil 50. Hal ini menunjukkan bahwa status pengelolaan terumbu karang dari dimensi ekonomi saat ini memerlukan penanganan yang lebih baik. Hasil analisis ordinasi dan Monte Carlo untuk dimensi sosial mendapatkan nilai indeks 52,68 pada skala 0–100 berada pada kategori baik (Gambar 35). Seperti halnya dimensi ekologi dan ekonomi, meskipun nilai ordinasi ini berada pada kategori yang baik, tetapi sudah mendekati nilai kritis 50. Sehingga menunjukkan status pengelolaan terumbu karang dari dimensi sosial juga memerlukan penanganan yang lebih baik. Kondisi yang baik ini terlihat dari peran partisipasi masyarakat Desa Basaan yang cukup baik pada setiap kegiatan pengelolaan terumbu karang yang dilakukan oleh pemerintah, LSM maupun masyarakat itu sendiri.
Gambar 35 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi sosial Berbeda dengan dimensi-dimensi yang sudah dijelaskan sebelumnya yang nilai ordinasinya mendekati 50, hasil analisis ordinasi dan Monte Carlo untuk dimensi kelembagaan mendapatkan nilai indeks 65,16 pada (Gambar 36). Hasil ini menunjukkan status pengelolaan terumbu karang dari dimensi kelembagaan berlangsung dengan penanganan yang baik. Meskipun dari hasil pengambilan data, di Desa Basaan hanya terdapat satu kelompok nelayan yang eksis hingga
111 sekarang yaitu kelompok nelayan untuk kegiatan budidaya, tetapi masyarakat Desa Basaan sudah sering mendapat penyuluhan dan pelatihan tentang pengelolaan terumbu karang. Dengan cukup sering mendapat penyuluhan dan pelatihan yang diterima masyarakat Desa Basaan, menghasilkan pola kelembagaan yang cukup baik pada masyarakat, sehingga berimplikasi terhadap sikap dan pola kegiatan masyarakat pada kawasan terumbu karang. Pengetahuan masyarakat tentang pentingnya terumbu karang dalam pengelolaan wilayah pesisir, khususnya hubungannya dengan keberadaan ikan target sebagai salah satu sumber penghasilan masyarakat sudah cukup baik.
Gambar 36 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi kelembagaan
Gambar 37 Analisis ordinasi dan Monte Carlo dimensi teknologi
112 Untuk dimensi teknologi (Gambar 37), hasil analisis ordinasi dan analisis Monte Carlo untuk dimensi teknologi mendapatkan nilai indeks 58,76 pada skala 0–100, berada pada kategori baik. Hal ini menunjukkan bahwa status pengelolaan terumbu karang dari dimensi teknologi saat ini sudah berlangsung relatif baik. Kondisi yang baik ini terlihat dari ketersediaan alur atau akses eksploitasi dan penggunaan alat eksploitasi yaitu pancing oleh nelayan Desa Basaan yang tidak merusak terumbu karang. Hasil ordinasi status keberlanjutan, pada dasarnya memberikan ilustrasi tentang status keberlanjutan setiap dimensi sesuai skor dari atribut-atributnya. Posisi nilai indeks dilustrasikan pada sumbu absis yang mencerminkan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang dalam dua ekstrim acuan yang diklasifikasi antara 0 (buruk) dan 100 (baik). Sementara posisi pada sumbu ordinat mengindikasikan variasi skor dari atribut-atribut pengelolaan yang telah ditelaah. Untuk semua dimensi keberlanjutan pengelolaan terumbu karang, hasil pemetaan ordinasi yang dilakukan menunjukkan status keberlanjutan yang baik untuk dilakukan. Untuk melihat ketepatan analisis, maka sebagai patokannya adalah nilai stress dan koifisien r2 yang dihasilkan. Data pada Tabel 37 mengungkapkan koefisien determinasi untuk semua dimensi keberlanjutan pengelolaan terumbu karang bernilai lebih besar 0,90. Hasil estimasi nilai proporsi ragam data masukan yang dapat dijelaskan teknik analisis ini, terindikasi memadai. Tabel 37 Nilai stress dan koefisien determinasi dalam proses ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus menurut dimensinya Kriteria Ketepatan Stress Koefisien r2
Dimensi keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Ekologi Ekonomi Sosial Kelembagaan Teknologi 0,14 0,13 0,15 0,14 0,11 0,95 0,95 0,94 0,95 0,98
Menurut Hardle & Simar (2007) nilai stress yang lebih kecil dari 0,20 tidak menunjukkan goodness of fit yang tergolong poor, seperti yang ditunjukkan nilai stress untuk semua dimensi keberlanjutan yang lebih kecil dari 0,20. Dengan demikian, data hasil skoring sebagai persepsi terhadap atribut-atribut status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang dapat secara tepat diolah dan dihasilkan ordinasinya dengan analisis multi dimensional seperti yang terlihat pada Gambar 33 hingga 37.
113 Kepekaan
setiap atribut
terhadap
hasil
pemetaan
ordinasi
status
keberlanjutan pengelolaan terumbu karang telah diestimasi menggunakan analisis leverage (pengungkitan). Kepekaan atribut-atribut dalam dimensi ekologi bervariasi antara 1,10 dan 17,90; dimensi ekonomi 0,93 dan 8,26; dimensi sosial 0,25 dan 4,54; dimensi kelembagaan 2,33 dan 3,78; dan dimensi teknologi 6,21 dan 7,25. Hasil analisis ini mengindikasikan bahwa setiap dimensi keberlanjutan pengelolaan terumbu karang mengandung satu atau lebih atribut yang dominan menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, besaran nilai proporsi (%) ini mengindikasikan kontribusi atribut dimaksud terhadap ordinasi status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang.
Gambar 38 Kepekaan atribut dimensi ekologi (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Dalam dimensi ekologi mengungkapkan atribut persentase penutupan karang memberikan kontribusi terbesar pada status tersebut. Seperti yang sudah dijelaskan pada bab sebelumnya, terjadinya laju degradasi tutupan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus cukup tinggi, sehingga untuk meningkatkan status keberlanjutan terumbu karang, hal ini menjadi atribut yang paling penting untuk diperhatikan dan ditangani.
114 Untuk dimensi ekonomi atribut pemandu wisata, waktu yang digunakan untuk pemanfaatan terumbu karang, ketergantungan kepada sumberdaya sebagai sumber nafkah dan wisatawan mancanegara diindikasikan berpengaruh pada status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang. Hingga saat ini belum terdapat pemandu wisata di Desa Basaan, sehingga wisatawan lokal maupun internasional yang berkunjung ke Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus ditangani langsung oleh pemandu wisata dari Manado. Disisi lain masyarakat Desa Basaan sangat menggantungkan sumber pendapatannya dari terumbu karang, khususnya eksploitasi ikan target sehingga waktu terbesar di habiskan untuk kegiatan di terumbu karang. Ketergantungan yang sangat besar ini memberikan kontribusi yang besar terhadap tekanan ekologi bagi terumbu karang.
Gambar 39 Kepekaan atribut dimensi ekonomi (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Dalam dimensi sosial indikasi serupa ditunjukkan oleh atribut-atribut jumlah lokasi potensi konflik pemanfaatan, tingkat pendidikan dan upaya perbaikan kerusakan ekosistem terumbu karang. Semakin berkurangnya hasil penangkapan ikan target menyebabkan sering terjadi konflik pada wilayah penangkapan. Hal ini lebih diperparah dengan tingkat pendidikan masyarakat yang relatif rendah, sehingga resolusi konflik yang dilakukan pemerintah maupun pihak-pihak yang coba mengatasi konflik yang terjadi menjadi sangat sulit. Kebutuhan ekonomi yang mendesak, membuat upaya perbaikan kerusakan terumbu karang menjadi sedikit sulit walaupun pemahaman masyarakat tentang pentingnya keberadaan terumbu karang sudah cukup baik.
115
Gambar 40 Kepekaan atribut dimensi sosial (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang
Gambar 41 Kepekaan atribut dimensi kelembagaan (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Pada dimensi kelembagaan kontribusi yang diberikan atribut-atribut merata, tetapi yang tertinggi adalah tradisi/budaya dan koperasi. Tradisi dan budaya yang perlu diperhatikan adalah budaya Suku Bajo yang melakukan seluruh aktivitas di pantai, termasuk membuang sampah dan hajat. Saat ini sebagian masyarakat Suku Bajo sudah mulai melakukan perubahan aktivitas tersebut setelah penyuluhanpenyuluhan kesehatan dilakukan, serta pembuatan sarana MCK (mandi-cucikakus) oleh pemerintah. Dari hasil FGD dengan masyarakat, mereka memerlukan
116 koperasi terutama untuk proses penjualan hasil perikanan mereka. Selama ini hasil perikanan debeli tengkulak dengan harga yang sangat murah. Seperti halnya pada dimensi kelembagaan, pada dimensi teknologi kontribusi yang diberikan atribut-atribut merata, dengan kontribusi tertinggi adalah atribut teknologi perahu dan teknologi pasca panen. Secara umum, perahu yang digunakan nelayan Desa Basaan berupa perahu tanpa motor atau menggunakan layar. Beberapa nelayan telah mendapatkan bantuan mesin ketinting, tetapi dengan kesulitan mendapatkan bahan bakar serta harganya yang tinggi membuat nelayan tidak menggunakan mesin ketinting tersebut. Untuk teknologi pasca panen yang ada memang masih tradisional yaitu pembuatan ikan asin, sehingga harga ikan menjadi relatif murah.
Gambar 42 Kepekaan atribut dimensi teknologi (%) dalam menentukan status keberlanjutan pengelolaan terumbu karang Atribut-atribut yang memberikan kontribusi terbesar pada setiap dimensi adalah atribut yang perlu ditangani dengan baik untuk keberhasilan pengelolaan terumbu karang yang berkelanjutan. Dengan kata lain, atribut-atribut tersebut saat ini belum berjalan sebagaimana yang diinginkan status berkelanjutan dalam pengelolaan terumbu karang di Pulau Hogow dan Pulau Putus-Putus. Untuk itu perlu koordinasi dari semua pihak yang terkait, baik pemerintah maupun masyarakat.