29
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Kimia Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal) Ikan bandeng yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari areal tambak di daerah Kampung Melayu, Teluk Naga, Tanjung Pasir, Kabupaten Tangerang-Banten. Ikan ini mempunyai ciri-ciri morfologi dengan bentuk tubuh ramping, badannya tertutup oleh sisik, jari-jari semuanya lunak dan sirip ekor panjang serta bercagak. Ikan bandeng yang digunakan dalam analisis ini adalah ikan bandeng segar dengan bobot rata-rata 200-250 gram. Sampel ikan bandeng yang diperoleh kemudian dibersihkan dan dipreparasi untuk dipisahkan jeroannya (hati, ginjal, dan usus). Setelah itu, dilakukan analisis uji proksimat. Analisis proksimat jeroan ikan bandeng yang dilakukan pada penelitian ini meliputi penentuan kadar air, kadar lemak, kadar abu, kadar protein, dan kadar karbohidrat. Kadar karbohidrat dihitung dengan cara by difference. Hasil analisis proksimat jeroan ikan bandeng dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8 Hasil analisis proksimat jeroan ikan bandeng (Chanos chanos); A: kadar air; B: kadar protein; C: Kadar lemak; D : Kadar abu; E: kadar karbohidrat Penentuan kadar air suatu bahan pangan perlu dilakukan sebab kadar air suatu bahan pangan dapat mempengaruhi tingkat mutu dari bahan tersebut. Kadar air dalam makanan adalah salah satu faktor dominan yang mempengaruhi karakteristik fisika, kimia, mikrobiologi, dan sensoris yang merupakan kunci penting bagi konsumen dan daya tahan suatu produk (Pisuchpen 2007). Penentuan
30
kadar air dilakukan menggunakan metode oven dengan cara mengeluarkan air pada bahan dengan bantuan panas. Hasil pengujian menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng memiliki kadar air 66,77%. Kadar air ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar air jeroan ikan pink salmon (Oncorhynchus gorbuscha), yakni sebesar 76,60% (Bechtel dan Oliveira 2006). Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kondisi lingkungan, perbedaan hábitat, perbedaan jenis ikan, dan perbedaan jenis pakan. Protein adalah suatu makromolekul yang terbentuk dari asam-asam amino yang berikatan peptida. Di dalam tubuh, protein berfungsi sebagai bahan bakar, sebagai zat pembangun dan pengatur. Protein terdiri dari asam amino yang mengandung unsur C, H, O, serta N yang tidak dimiliki oleh lemak ataupun karbohidrat (Winarno 2008). Hasil pengujian menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng memiliki kadar protein sebesar 8,75%. Kadar protein ini lebih rendah dibandingkan dengan kadar protein jeroan ikan pink salmon (Oncorhynchus gorbuscha), yakni sebesar 18,61% (Bechtel dan Oliveira 2006). Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu kondisi lingkungan, perbedaan hábitat, perbedaan jenis ikan, dan perbedaan jenis pakan. Analisis kadar lemak merupakan salah satu kunci analisis yang digunakan untuk pelabelan makanan dan penjamin mutu (Xiao 2010). Hasil pengujian menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng memiliki kadar lemak sebesar 9,69%. Kadar lemak ini cukup tinggi, hal ini diduga disebabkan karena jeroan, seperti hati, berfungsi sebagai penimbun lemak dalam tubuh ikan (Geneser 1994). Kadar abu digunakan sebagai petunjuk adanya mineral pada suatu bahan. Bahan makanan terdiri dari 96% bahan organik dan air. Sisanya merupakan unsurunsur mineral yaitu, zat anorganik (kadar abu). Dalam proses pembakaran, hanya bahan-bahan organik yang terbakar tetapi zat anorganiknya tidak, karena itulah disebut abu (Winarno 1997). Kandungan mineral pada jeroan ikan diduga berasal dari asupan pakan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng memiliki kadar abu sebesar 1,18%. Kadar abu jeroan ikan bandeng lebih rendah dibandingkan dengan kadar abu jeroan ikan pink salmon (Oncorhynchus gorbuscha) yakni sebesar 1,50% (Bechtel dan Oliveira 2006). Hal ini diduga disebabkan oleh perbedaan habitat, kondisi lingkungan, perbedaan jenis ikan, dan
31
perbedaan jenis pakan. Habitat dan kondisi lingkungan yang berbeda menyebabkan penyerapan mineral yang berbeda terhadap organisme akuatik di dalamnya. Setiap jenis organisme memiliki kemampuan untuk meregulasi dan mengabsorbsi mineral yang berbeda-beda, sehingga hal tersebut akan memberikan pengaruh pada kadar abu jeroan masing-masing organisme. Hasil penelitian Bechtel dan Oliveira (2006) menunjukkan bahwa beberapa ikan cod di Alaska dengan spesies yang berbeda memiliki kadar abu yang berbeda pada jeroannya. Karbohidrat memegang peranan penting di alam karena merupakan sumber energi utama. Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida, yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril-miofibril. Kadar karbohidrat pada jeroan ikan bandeng dihitung dengan metode by difference. Hasil perhitungan karbohidrat dengan metode tersebut menunjukkan bahwa jeroan ikan bandeng mengandung karbohidrat sebesar 13,61%. Kadar karbohidrat yang terhitung diduga polisakarida yaitu glikogen. Hal ini disebabkan karena jeroan, seperti hati, menyerap glukosa dalam usus sesudah makan. Proses ini dilakukan oleh sel hepatosit dan dikonversi menjadi glikogen. Glikogen berasal dari kelebihan glukosa dalam darah. Karbohidrat yang dikonsumsi oleh ikan akan dicerna di dalam pencernaan hingga menjadi glukosa. Glukosa akan diserap oleh dinding usus dan kemudian masuk dalam darah. Glukosa yang dibawa dalam darah akan diambil oleh sel-sel pada tubuh organisme untuk meng-hasilkan energi melalui proses oksidasi (Hadim et al. 2003). Glikogen terdapat dalam jumlah yang paling banyak dari karbohidrat yang terdapat pada ikan. Glikogen berasal dari kelebihan glukosa dalam darah (Cormack 1994). 4.2 Nilai Organoleptik Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal) Penentuan derajat kesegaran ikan bandeng dan terjadinya tahapan-tahapan kemunduran mutu dilakukan menggunakan metode penilaian sensori, yaitu uji organoleptik. Selama proses kemunduran mutu, ikan mengalami perubahanperubahan organoleptik yang dapat diamati dengan menilai derajat kesegarannya. Kesegaran ikan dinilai dari 1-9, angka 9 merupakan nilai terbaik, angka satu merupakan nilai terburuk, dan sebagai batas baik dan buruk diambil angka 5 sebagai garis batas (Ilyas 1983).
32
Ikan yang masih segar memiliki nilai organoleptik 9 dengan penampilan menarik, permukaan tubuh tidak berlendir, atau berlendir tipis dengan lendir bening dan encer. Sisik tidak mudah lepas, perut padat, dan utuh. Mata ikan cerah, putih jernih. Insang tampak cerah dan tidak berlendir. Ikan masih lentur dan tekstur daging pejal, apabila ditekan cepat kembali. Ikan pada fase busuk memiliki nilai organoleptik 3-1 dengan ciri-ciri bola mata sangat cekung, kornea agak kuning, insang berwarna merah coklat, lendir tebal. Bau busuk, tekstur daging lunak, mudah sekali menyobek daging dari tulang belakang. Sumber-sumber pembusukan pada ikan terpusat pada tiga tempat, yaitu lendir pada jeroan, kulit, dan insang. Tiga daerah pusat pembusukan tersebut akan menyerang seluruh bagian tubuh ikan setelah ikan mati. Jeroan mengandung jumlah bakteri dan enzim pembusuk lebih banyak dibandingkan insang dan kulit (Kim dan Mendis 2006). Nilai rata-rata organoleptik jeroan ikan bandeng disajikan pada Gambar 9.
Gambar 9 Rata-rata nilai organoleptik jeroan ikan bandeng (Chanos chanos); : 0 jam; : 80 jam; : 228 jam; : 396 jam. Berdasarkan hasil pengamatan kondisi postmortem sampel jeroan ikan bandeng yang disimpan pada suhu chilling diperoleh empat titik analisis pola kemunduran mutu jeroan ikan bandeng yang semakin menurun dengan semakin meningkatnya waktu penyimpanan. Kondisi prerigor terjadi pada penyimpanan jam ke-0, rigormortis pada penyimpanan jam ke-80, postrigor pada penyimpanan jam ke-228, dan fase busuk pada penyimpanan jam ke-396.
33
Fase prerigor ditunjukkan dengan nilai organoleptik 9 dengan ciri-ciri susunan organ-organ jeroan masih teratur, kompak, cemerlang, amis segar, selaput hitam mengkilat, lekat erat, dinding perut berwarna merah muda cemerlang. Fase rigormortis jeroan ikan bandeng dengan nilai organoleptik 7-8. Pada kondisi ini susunan jeroan masih teratur, belum ada kerusakan yang berarti namun mulai mengalami penurunan mutu seperti mulai munculnya lendir. Fase postrigor ditunjukkan dengan nilai organoleptik 5 dengan ciri-ciri susunan jeroan sudah tidak teratur, dinding lembek dan terjadi perubahan warna menjadi pucat. Fase busuk ditunjukkan dengan nilai organoleptik 3. Pada fase ini susunan organ berantakan, dinding perut lembek dan mudah rusak, bau amis sangat kuat, serta warna yang pucat. Pada penelitian ini diperoleh bahwa sampel jeroan yang disimpan pada suhu chilling masih layak digunakan sampai penyimpanan 17 hari (396 jam). Hasil tersebut sesuai dengan penelitian Wibowo dan Yunizal (1998), yang menyatakan bahwa ikan bandeng utuh yang disimpan dalam es pada kondisi kenyang mampu bertahan selama 11 hari. 4.3
Histologi Jeroan Ikan Bandeng (Usus, Hati, dan Ginjal) selama Periode Kemunduran Mutu Jeroan ikan merupakan salah satu hasil samping proses pengolahan ikan
yang bisa dimanfaatkan untuk industri pembuatan pakan ikan. Organ dalam atau jeroan ikan merupakan sumber alami enzim terbesar. Protease merupakan enzim yang terbesar dalam hasil perairan. Protease akan menghidrolisis ikatan peptida dan disebut proteinase atau peptidase tergantung keberadaan protein atau polipeptida. Sumber proteinase secara menyeluruh ada pada organ lambung, usus, dan hati (Feraro et al. 2010). Ikan termasuk bahan yang mudah mengalami kemunduran mutu selama penyimpanan postmortem. Hal ini disebabkan karena adanya aktivitas enzim proteolitik baik pada otot maupun jaringan ikat (Wang et al. 2011). Mikrostruktur jeroan ikan bandeng mengalami perubahan selama fase kemunduran mutu. Penelitian ini mengamati mikrostruktur jeroan ikan bandeng diantaranya organ usus, hati, dan ginjal. 4.3.1 Histologi usus ikan bandeng selama periode kemunduran mutu Usus merupakan salah satu organ dalam yang berfungsi sebagai tempat pencernaan dan penyerapan makanan. Usus akan mengalami perubahan
34
mikrostruktur selama periode kemunduran mutu. Mikrostruktur usus ikan bandeng pada fase kemunduran mutu selama penyimpanan suhu chilling disajikan pada Gambar 10-13.
d
e
c
a b
Gambar 10 Penampang membujur usus ikan bandeng pada fase prerigor perbesaran 40x (H&E); tunika sub muskularis sirkular (a); tunika sub muskularis longitudinal (b); tunika submukosa (c); mukosa (d); epitel (e); lamina propia (panah kuning); tunika serosa (panah putih); vili intestinal (panah biru).
b
a
Gambar 11 Penampang membujur usus ikan bandeng fase rigormortis perbesaran 40x (H&E); jaringan merenggang (lingkaran a), deskuamasi pada epitel (lingkaran b), vili intestinal (panah).
35
Gambar 12 Penampang membujur usus ikan bandeng fase postrigor perbesaran 40x (H&E); jaringan merenggang dan sudah tidak jelas bagianbagiannya (panah).
Gambar 13 Penampang membujur usus ikan bandeng fase busuk perbesaran 200x (H&E); nekrosis total (lingkaran); bakteri (panah).
36
Gambar 14 Bakteri pembusuk pada fase busuk usus ikan bandeng perbesaran 1000x (H&E); koloni bakteri berbentuk kokus (lingkaran kuning); bakteri berbentuk kokus, soliter (panah). Fase prerigor ditandai dengan masih kompaknya jaringan-jaringan penyusun lapisan usus. Pada usus terdapat vili-vili (Gambar 10-panah biru) yang merupakan penonjolan mukosa yang terdiri atas jaringan ikat di bagian tengah dari lamina propia (Gambar 10-panah kuning) dan dibatasi epitel di permukaannya (Gambar 10-e). Mukosa dibatasi oleh sel epitel selapis kolumnar yang terdiri atas sel absorptif, sel goblet, sel paneth dan sel endokrin. Sel goblet tersebar tidak merata di antara sel-sel absorptif. Takasima dan Hibiya (1995) menyatakan bahwa dinding usus pada ikan hampir sama dengan dinding usus hewan vertebrata tingkat tinggi yang terdiri dari empat lapisan, yaitu mukosa, submukosa, muscularis, dan serosa. Tunika muskularis mokosa terdiri atas lapisan sirkular di sebelah dalam (Gambar 10-a) dan lapisan longitudinal di sebelah luar (Gambar 10-b). Tunika submukosa secara relatif terdiri dari jaringan ikat jarang, di dalamnya terdapat pembuluh darah dan pembuluk limfa yang lebih besar. Lapisan serosa terdiri dari mesotel dengan jaringan ikat subserosa dibawahnya (Geneser 1994).
37
Fase rigormortis ditandai dengan susunan jeroan masih teratur dan pH menurun akibat akumulasi asam laktat. Selain itu, pada fase ini mulai terjadi autolisis oleh enzim (Eskin 1990). Hasil pengamatan sajian histologi usus ikan bandeng pada fase rigormortis menunjukkan warna merah yang lebih pekat dibandingkan dengan fase prerigor. Hal ini diduga disebabkan karena jaringan ikan menyerap pewarna eosin secara dominan. Pewarna eosin akan mewarnai jaringan yang bersifat asam dan memberi warna merah muda sampai merah. Menurut Cormack (1992), warna yang dihasilkan dalam suatu pewarnaan histologis bergantung pada pH jaringan yang diwarnai. Jaringan yang ber pH asam memiliki lebih banyak ion yang bermuatan positif untuk menyerap eosin. Hasil sajian histologi pada fase rigormortis juga menunjukkan mulai terlihatnya jaringan epitel yang rusak atau terputus (Gambar 11-lingkaran b). Selain itu juga terjadi perenggangan jaringan (Gambar 11-lingkaran a). Hal ini bisa disebabkan karena aktivitas enzim aspartic protease, yaitu pepsinogen. Enzim ini termasuk endopeptidase dan aktif pada pH rendah. Pepsin dihasilkan oleh mukosa usus (Kamil dan Shahidi 2001). Fase postrigor ditandai dengan dihasilkannya senyawa amonia dari penguraian protein. Pada kondisi ini pH akan semakin naik dengan semakin banyaknya senyawa volatil yang dihasilkan. Biasanya proses autolisis akan selalu diikuti dengan meningkatnya jumlah bakteri (Junianto 2003). Hasil sajian histologis menunjukkan bahwa usus pada fase postrigor mengalami degenerasi, dimana lapisan-lapisan dalam usus tidak tersusun rapi, tetapi bagian yang merenggang memperlihatkan material yang eosinofilik (Gambar 12). Lapisan memperlihatkan suatu penampilan homogen dan efektif terhadap pewarna eosin. Hal ini diduga disebabkan karena aktivitas enzim endogenous yang ada di dalam tubuh ikan. Degradasi protein dapat disebabkan oleh enzim AcP (Acid phosphatase) yang terdapat dalam mukosa (Yang dan Lin 2005). Fase busuk merupakan fase akhir dari kemunduran mutu pada ikan dimana ikan tidak dapat dikonsumsi. Pada fase busuk (Gambar 13), lapisan-lapisan usus mengalami nekrosis secara total. Inti sel pada lapisan mukosa, submukosa dan muscularis telah benar-benar hilang. Menurut Price dan Wilson (2006), jaringan yang mengalami nekrosa lama kelamaan akan hancur dan hilang. Selain itu
38
ketebalan jaringan ikan semakin menurun seiring dengan lamanya waktu penyimpanan. Hal ini diduga karena terjadinya proses nekrosis pada jaringan usus ikan. Nekrosis merupakan kematian sel yang terjadi ketika terdapat luka berat atau lama hingga suatu saat sel tidak bisa beradaptasi atau memperbaiki diri. Perubahan-perubahan lisis yang terjadi dalam jaringan nekrotik secara umum dapat melibatkan sitoplasma, perubahan-perubahan sangat jelas terlihat dalam inti sel. Inti sel yang mengalami nekrosis akan menyusut, memiliki batas yang tidak teratur dan warna menjadi gelap. Proses ini dinamakan piknosis. Kemungkinan lain inti dapat hancur dan membentuk fragmen-fragmen materi kromatin yang tersebar di dalam sel, proses ini disebut karioreksis. Pada beberapa keadaan, inti sel tidak dapat diwarnai lagi dan benar-benar hilang, proses ini disebut kariolisis (Price dan Wilson 2006). Pada fase busuk juga diduga terdapat bakteri pembusuk (Gambar 13-panah). Bakteri tersebut berbentuk kokus dan berwarna ungu pekat, serta membentuk koloni dan ada yang menyebar (soliter) (Gambar 14). Hubungan antara bakteri dan pewarna yang menonjol disebabkan terutama oleh adanya asam nukleat dalam jumlah besar dalam protoplasma sel. Muatan negatif dalam asam nukleat bakteri akan bereaksi dengan ion positif zat pewarna basa ( Volk dan Wheeler 1993). 4.3.2 Histologi hati ikan bandeng selama periode kemunduran mutu Hati merupakan organ yang berfungsi sebagai tempat penimbun lemak. Selain itu hati juga berfungsi untuk menyimpan cadangan glikogen. Mikrostruktur hati ikan bandeng pada fase kemunduran mutu selama penyimpanan suhu chilling disajikan pada Gambar 15-18.
39
b
a
Gambar 15 Penampang melintang hati ikan bandeng fase prerigor perbesaran 100x (H&E); sel hepatosit (lingkaran a); ruang kosong berbentuk bulat adalah lemak dan berbentuk tidak beraturan yaitu glikogen (lingkaran b).
a
Gambar 16 Penampang melintang hati ikan bandeng fase rigormortis perbesaran 100x (H&E); inti sel mengecil (panah); jaringan merenggang, inti sel berwarna lebih gelap (lingkaran a).
40
Gambar 17 Penampang melintang hati ikan bandeng fase postrigor perbesaran 100x (H&E); sel mengalami pembengkakan (lingkaran); inti sel (panah).
a
b b
Gambar 18 Penampang melintang hati ikan bandeng fase busuk perbesaran 100x (H&E); inti sel hepatosit menghilang atau kariolisis, bagian-bagian sel sudah tidak bisa dibedakan (lingkaran a), ruang-ruang kosong (panah); bakteri (lingkaran b).
41
Gambar 19 Bakteri pembusuk pada fase busuk hati ikan bandeng perbesaran 1000x (H&E); koloni bakteri berbentuk kokus (lingkaran merah); bakteri berbentuk kokus, soliter (lingkaran kuning). Fase prerigor merupakan tahap pertama dari postmortem. Peristiwa ini terjadi ketika jaringan otot yang mulai lembut dan lentur yang disebabkan karena proses biokimia yaitu penurunan tingkat ATP dan keratin fosfat, serta adanya proses glikolisis aktif. Glikolisis merupakan suatu proses konversi glikogen menjadi asam laktat, yang menyebabkan pH turun. Hewan dalam keadaan kenyang dan istirahat mempunyai cadangan glikogen yang besar, sehingga dalam keadaan postmortem daging yang dihasilkan memiliki pH rendah dibandingkan dengan daging hewan yang dihasilkan pada saat setelah disembelih (Eskin 1990). Hati mempunyai lempengan sel-sel parenkim yang disebut sel hepatosit (Gambar 15-lingkaran a), dimana tersusun radier dari pembuluh-pembuluh kecil di tengah yaitu vena sentralis dan dipisahkan oleh sinusoid. Hati terutama terdiri dari bidang kompak, yaitu hepatosit. Hepatosit tersebar dengan pulaupulau jaringan ikat yang terdapat saluran empedu dan pembuluh arteri . Beberapa lobulus hepar yang ditandai oleh jaringan ikat yang mengandung saluran-saluran empedu, portal, dan pembuluh arteri yang menyerupai saluran portal pada mamalia (Akiyoshi dan Inoue 2004). Sel hepatosit mengumpul berbentuk sel poligonal besar, dan memiliki nukleus kecil berbentuk bulat, dan seragam. Sitoplasma hepatosit kadang-kadang penuh dengan tetesan lemak dan yang berupa ruang kosong yang tidak terwarnakan oleh pewarna H&E (Gambar 15-lingkaran b). Glikogen terlihat
42
sebagai ruang kosong dengan bentuk yang tidak beraturan, sedangkan lemak terlihat ruang kosong dengan bentuk bulat (Geneser 1994). Sel hepatosit memiliki dinding sel yang masih tampak utuh dan jelas pada fase prerigor hati ikan bandeng. Hasil
sajian histologi
pada
fase
rigormortis
menunjukkan mulai
merenggangnya sel hepatosit serta bentuknya tidak beraturan (Gambar 16lingkaran a). Hal ini diduga disebabkan karena aktivitas enzim urease
yang
terletak pada matrix peroksisome (Kamil dan Shahidi 2001). Selain itu, inti juga mengalami penyusutan dan berwarna gelap (Gambar 16-panah), proses ini dinamakan piknosis yang diduga disebabkan karena aktivitas enzim (Price dan Wilson 2006). Sitoplasma bersifat asidofil sehingga menyerap warna eosin (merah muda–merah). Hal ini disebabkan karena pada fase ini pH jaringan menjadi rendah akibat adanya penumpukan asam laktat. Fase postrigor merupakan fase awal kebusukan ikan. Proses autolisis berlangsung pada tahap postrigor. Autolisis terjadi disebabkan adanya enzimenzim endogenous yang ada di dalam tubuh ikan (Ocano-Higuera et al. 2009). Hasil sajian histologis pada fase postrigor menunjukkan bahwa terjadi proses piknosis dimana inti sel masih ada tetapi bangunan sel mulai hilang (Gambar 17). Inti berwarna ungu gelap yang menandakan bahwa inti bersifat basa karena kandungan asam nukleatnya banyak mengandung fosfat, sehingga terwarnai oleh pewarna hemaktosilin. Menurut Cormack (1992), pewarna hemaktosilin akan terikat pada muatan listrik negatif pada komponen basofilik, dan eosin terikat pada muatan listrik positif pada komponen bersifat asidofilik. Sel
hati
juga
mengalami
pembengkakan
(Gambar
17-lingkaran).
Pembengkakan sel hati ditandai dengan adanya vakuola (ruang-ruang kosong) akibat hepatosit membengkak yang menyebabkan sinusoid menyempit, dan sitoplasma tampak keruh. Menurut Alifia dan Djawad (2003), pembengkakan sel terjadi karena muatan elektrolit di luar dan di dalam sel berada dalam keadaan tidak setimbang. Ketidakstabilan sel dalam memompa ion Na + keluar dari sel menyebabkan peningkatan masuknya cairan dari ektraseluler kedalam sel sehingga sel tidak mampu memompa ion natrium yang cukup. Hal ini akan menyebabkan sel membengkak sehingga sel akan kehilangan integritas
43
membrannya. Sel akan mengeluarkan materi sel keluar dan kemudian akan terjadi kematian sel (nekrosis). Fase busuk merupakan fase akhir dari kemunduran mutu pada ikan dimana ikan tidak dapat dikonsumsi. Hasil sajian histologis hati pada fase busuk (Gambar 18-panah) menunjukkan bahwa terdapat ruang-ruang kosong yang disebabkan adanya degradasi lemak. Sel-sel hati juga telah mengalami nekrosis total (Gambar 18-lingkaran a) dimana bagian-bagian sel sudah tidak bisa dibedakan satu sama lain. Proses ini dapat disebabkan oleh bakteri maupun aktivitas enzim dalam tubuhnya (Price dan Wilson 2006). Pada fase ini juga diduga terdapat bakteri pembusuk (Gambar 19-lingkaran b). Koloni bakteri berbentuk kokus dan berwarna ungu pekat. 4.3.2 Histologi ginjal ikan bandeng selama periode kemunduran mutu Ginjal adalah organ vital tubuh yang berfungsi untuk mempertahankan homeostasis tubuh. Hal ini membantu dalam mempertahankan voleme dan pH darah dan cairan tubuh (Mohamed 2009). Ginjal juga akan mengalami perubahan mikrostruktur selama periode kemunduran mutu. Mikrostruktur ginjal ikan bandeng pada fase kemunduran mutu selama penyimpanan suhu chilling disajikan pada Gambar 20-23.
c a b d
Gambar 20 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase prerigor perbesaran 100x (H&E); jaringan haemopoeitic (lingkaran a), glomerulus (lingkaran b), tubulus distal (lingkaran c), tubulus proksimal (lingkaran d).
44
b
d c
a
Gambar 21 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase rigormortis perbesaran 100x (H&E); jaringan haemopoeitic (lingkaran a), glomerulus (lingkaran b), tubulus distal (lingkaran c), tubulus proksimal (lingkaran d).
a
b
d
c
Gambar 22 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase postrigor perbesaran 100x (H&E); jaringan haemopoeitic mulai berkurang (lingkaran a), terjadi nekrosis (lingkaran b), tubulus distal (lingkaran c), tubulus proksimal (lingkaran d).
45
b
a
b
Gambar 23 Penampang melintang ginjal ikan bandeng fase busuk perbesaran 200x (H&E), nekrosis (lingkaran a); bakteri pembusuk (lingkaran b).
Gambar 24 Bakteri pembusuk pada fase busuk ginjal ikan bandeng perbesaran 1000x (H&E); koloni bakteri berbentuk basil atau batang (panah). Ginjal normal terbentuk dari nefron, yang terdiri dari satu buah badan malpighi dan tubulus ginjal, serta jaringan haemopoetic di antara struktur (Mahmoud dan Salahy 2003). Hasil sajian histologis ginjal fase prerigor menunjukkan bahwa ginjal terdiri dari glomerulus (Gambar 20, lingkaran b),
46
tubulus proksimal (Gambar 20, lingkaran d), dan tubulus distal (Gambar 20, lingkaran c). Selain itu, juga terdapat jaringan haemopoeitic (Gambar 20, lingkaran a). Glomerulus berbentuk bulat yang terdiri dari pusatan sel mesengial kompak yang dikelilingi oleh kapiler gromelurus. Tubulus proksimal terdiri dari belitan sel epitel kuboid dengan inti basal dan dibatasi luminal pada permukaan. Tubulus distal terdiri dari belitan sel epitel kuboid. Jumlah tubulus distal dalam ginjal hanya sepertiga dari total tubulus (Khare et al. 2008). Hasil sajian histologis ginjal pada fase rigormortis menunjukkan bahwa mulai terjadi kerusakan bangunan sel pada tubulus distal (Gambar 21, lingkaran c), dimana sel-sel epitel mulai tampak tidak utuh. Hal ini diduga akibat dari aktivitas enzim protease yang merusak protein sehingga menyebabkan gangguan pada sel epitel. Selain itu, juga terjadi pembengkakan pada tubulus (Gambar 21, lingkaran d). Menurut Takashima dan Hibiya (1995), perubahan pada ginjal seperti degenerasi tubulus (pembengkakan) dan perubahan sel bisa disebabkan karena ikan hidup dalam air yang terkontaminasi. Dugaan alasan tersebut bisa dipertimbangkan karena ikan bandeng yang dijadikan sampel pada penelitian ini diambil dari daerah dimana airnya berasal dari sungai yang mengalir dari sepanjang kawasan industri Jakarta Barat dan Jakarta Utara. Hasil sajian histologi ginjal pada fase postrigor menunjukkan bahwa terjadi pengurangan jaringan haemopoeitic (Gambar 22, lingkaran a). Menurut Khare et al. (2008), jaringan haemopoeitic mengalami pengurangan dan digantikan oleh jaringan serat periglomerular dan peritubular. Selain itu, pada fase ini ginjal mengalami nekrosis (Gambar 22, lingkaran b). Hal ini diduga disebabkan karena aktivitas enzim endogenous yang ada di dalam tubuh ikan. Degradasi protein dapat disebabkan oleh enzim protease menyebabkan penurunan kekohesifisan suatu jaringan (Yang dan Lin 2005). Hasil sajian histologis ginjal pada fase busuk menunjukkan bahwa jaringan tidak terlihat lagi (Gambar 23-lingkaran a). Bangunan sel telah mengalami kerusakan dan menghilang, serta terjadi nekrosis. Bakteri pembusuk juga ditemukan pada fase busuk ginjal (Gambar 23-lingkaran b). Ringkasan perubahan histologi selama post mortem pada organ jeroan (usus, hati, dan ginjal) disajikan pada Tabel 2.
47
Tabel 2 Ringkasan perubahan histologi jeroan ikan bandeng Fase Post mortem Pre rigor
Usus
Organ Hati
Ginjal
Lapisan jaringan usus Sel hepatosit masih tampak masih kompak, utuh, dan utuh dan jelas, Sitoplasma jelas hepatosit kadang-kadang penuh dengan tetesan lemak berupa ruang kosong yang tidak terwarnakan oleh pewarna H&E,
Glomerulus, tubulus distal, dan tubulus proksimal masih tampak utuh dan jelas,jaringan haemopoeitic tersebar luas
Rigor mortis
Jaringan epitel pada vili mulai terputus
Sel hepatosit merenggang dan bentuknya tidak beraturan, inti sel menyusut (piknosis)
Sel-sel epitel pada tubulus distal mulai mengalami kerusakan
Post rigor
Sel mengalami degenerasi, Inti sel masih ada tetapi lapisan usus tersusun tidak bangunan sel mulai hilang rapi (piknosis)
Jaringan haemopoeitic mengalami pengurangan, dan terjadi nekrosis sel
Fase busuk
Nekrosis total dan terdapat Nekrosis total dan terdapat bakteri pembusuk bakteri pembusuk
Nekrosis total dan terdapat bakteri pembusuk