4. Hasil dan Pembahasan
4.1 Analisis Hasil Sintesis
Pada penelitian ini aldehida didintesis dengan metode reduksi asam karboksilat menggunakan reduktor NaBH4/I2 dalam THF.
4.1.1 Sintesis Histidinal dan Fenilalaninal
Pada penelitian ini histidinal disintesis dengan cara mereduksi histidin sedangkan fenilalaninal direduksi dari fenilalanin. Penambahan I2 dilakukan untuk menghasilkan sebuah asil sistem yang lebih reaktif terhadap proses reduksi dibandingkan dengan karboksilat. Gas N2 terus menerus dialirkan selama proses refluks untuk menghilangkan oksigen pada sistem reaksi. Adapun usulan mekanisme reaksi reduksi histidin menjadi histidinal adalah sebagai berikut:
O +
H3N
CH
C
O O-
+ I2
+
H3N
CH2
CH
C
CH2
Histidin N
N NH
NH
I
+ HI
O +
H3N
CH
O-
BH3
C
+
I
H3N
CH
C
CH2
H
I
Na+
H CH2
Na+ - B
+
H
N
H H N
NH
NH
O
O H3B
NH2+ CH
CH
+ NaI
- BH3
H2N
CH
CH
CH2
CH2
N
N
NH
NH
Histidinal Gambar 4.1 Mekanisme reaksi sintesis pembentukan histidinal Mekanisme reduksi dari fenilalanin menjadi fenilalaninal mirip dengan mekanisme reaksi reduksi histidin menjadi histidinal. O +
H3N
CH
C
O O-
CH2
+ I2
+
H3N
CH
C
I
+ HI
CH2
Fenilalanin
23
O +
H3N
CH
C
O-
BH3 +
I
H3N
CH
C
CH2
H
I
Na+
H CH2
Na+ - B
+
H
H H
O
O H3B
NH2+ CH
CH
+ NaI
- BH3
H2N
CH
CH
CH2
CH2
Fenilalaninal Gambar 4.2 Mekanisme reaksi sintesis fenilalaninal Pada mekanisme reaksi di atas dapat dilihat bahwa asil sistem terbentuk dengan mekanisme reaksi substitusi nukleofilik. Pembentukan asil iodida merupakan altrenatif reaksi yang sangat baik sehingga proses reduksi dapat berjalan dengan lebih mudah. Hal ini disebabkan oleh sifat I yang merupakan sebuah gugus pergi yang baik. Proses reduksi berlangsung pada saat terjadinya transfer ion hidrida pada karbon karbonil. Sistem kemudian akan kehilangan ion iodida seiring dengan terbentuknya kembali gugus karbonil. Penambahan metanol setelah proses refluks dilakukan untuk memisahkan iod dari senyawa hasil sintesis. Proses sintesis berlanjut dengan ditambahkannya KOH yang pada akhirnya menciptakan dua fasa pada sistem reaksi. Histidinal merupakan senyawa yang bersifat polar sehingga larut pada fasa air. Berbeda halnya dengan fenilalaninal yang lebih bersifat non polar sehingga larut dalam fasa organik sistem ekstraksi. Histidinal yang terbentuk mempunyai rendemen sebesar 9,17% dan meleleh pada suhu 217 – 2190C. Berdasarkan literatur, histidin meleleh pada suhu 252-2570C. Jadi, jika dibandingkan
24
titik leleh histidinal lebih rendah daripada histidin karena histidinal kurang polar dibandingkan dengan histidin. Fenilalaninal yang terbentuk mempunyai rendemen sebesar 2,56% dan meleleh pada suhu 177 -1790C. Berdasarkan literatur, histidin meleleh pada suhu 220 - 2220C. Jadi, jika dibandingkan titik leleh fenilalaninal pun lebih rendah daripada fenilalanin karena fenilalaninal kurang polar dibandingkan dengan fenilalanin. Hasil sintesis beserta asam amino histidin dan fenilalanin dikarakterisasi dengan metode spektrofotometri FTIR dengan data sebagai berikut: Tabel 4.1 Data spektroskopi inframerah L-Histidin, L-Fenilalanin dan senyawa hasil sintesis. Senyawa
Struktur
Serapan (cm-1)
Jenis getaran
2500-3300
Regangan gugus –OH
1247,2
Tekuk C-OH
1636,2
Ulur C=O asam karboksilat
1400-1600
Ulur cincin aromatik
2500-3300
Regangan gugus –OH
1743,3 ; 1650,9
Ulur C=O asam karboksilat
1400-1600
Ulur cincin aromatik
O H C
H2N
C
OH
CH2
L-Histidin
N NH
OH
O
L-Fenilalanin
H
NH 2 CH 2
25
Tabel 4.1 (lanjutan) Senyawa
Struktur
H2N
N
Histidinal
O
H2 C N H
H
Serapan (cm-1)
Jenis getaran
1845,4
Ulur C=O aldehida
1543,8 ; 1616,7
Ulur N-H
2925.1
Uluran C-H dari –CHO
1800-an
Ulur C=O aldehida
1539,1
Ulur N-H
H
Fenilalaninal H2N
O
H2 C H
H
Berdasarkan tabel di atas, senyawa aldehida hasil sintesis metode reduksi dengan menggunakan NaBH4/I2 dalam THF memiliki puncak baru yang berbeda dengan asam aminonya yaitu puncak serapan vibrasi ulur C-H dari gugus –CHO yang pada fenilalaninal terlihat pada 2925,1 cm-1 dan puncak serapan vibrasi ulur C=O aldehida pada 1845,4 cm-1. Selain itu vibrasi tekuk C-OH yang muncul pada 1247,2 cm-1 di senyawa histidin, menjadi tidak terlihat pada senyawa histidinal yang menunjukkan bahwa senyawa hasil sintesis telah mengalami reduksi pada gugus karboksilat dari histidin. Oleh karena itu, berdasarkan karakterisasi dengan menggunakan spektrum FTIR dapat disimpulkan bahwa senyawa yang terbentuk dari sintesis adalah senyawa aldehida histidinal dan fenilalaninal.
4.1.2 Analisis Daya Inhibisi Korosi Pada penelitian ini telah ditentukan daya inhibisi korosi dari 6 jenis asam amino yaitu glisin, alanin, fenilalanin, asam aspartat, tirosin dan histidin. Selain itu ditentukan pula aktivitas inhibisi korosi dari senyawa histidinal dan fenilalaninal hasil sintesis. Aktivitas inhibisi korosi dari senyawa-senyawa tersebut dapat dihitung dari persamaan berikut ini:
26
% inhibisi =
(laju korosi blanko - laju korosi sampel) x100% (laju korosi blanko)
Tabel 4.2 Hasil pengukuran % inhibisi dengan metode Tafel Untuk senyawa histidin dan turunannya Senyawa
I cor (μA/cm2)
Laju korosi (mm/tahun)
% inhibisi
Blanko
77,4529
924
0
Glisin
88,0015
1050
negatif
Fenilalanin
95,9919
1145
negatif
Tirosin
79,3092
946
negatif
Asam aspartat
77,3719
922
0,22
Alanin
771,4016
705
7,79
Histidin
64,926
775
16,12
Histidinal
41,094
492
46,75
Fenilalaninal
62,4959
746
19,26
Berdasarkan tabel di atas, ternyata dari 6 jenis asam amino yang diuji aktivitas inhibisi korosinya hanya 3 jenis asam amino yang mepunyai aktivitas inhibisi korosi yaitu alanin, histidin dan asam aspartat. Hal ini disebabkan oleh pengaruh rantai samping terhadap keasaman suatu asam amino ternyata cukup besar. Histidin, alanin dan asam aspartat dapat berperan sebagai inhibitor korosi karena adanya interaksi antara pasangan elektron bebas pada atom N pada gugus imidazol, pasangan elektron bebas pada atom N dari gugus amina dan pasangan elektron bebas pada atom O dari gugus karboksilat dengan permukaan logan yang bermuatan positif. Ikatan koordinasi yang terjadi akan mengakibatkan senyawa korosif tidak akan bisa berinteraksi dengan permukaan logam sehingga laju korosi menjadi menurun. Diantara tiga asam amino yang diukur, histidin merupakan asam amino dengan kemampuan inhibisi korosi paling besar. Hal ini disebabkan karena histidin memiliki rantai sampiny yang berupa gugus imidazol. Seperti telah diketahui bahwa senyawa turunan imidazol yang sering dikenal sebagai Imidazolin Oleat (Corrosion Inhibitor Oleic Imidazoline, OI) merupakan salah satu senyawa inhibitor korosi organik yang telah diketahui memiliki aktivitas inhibisi tinggi dengan biaya relatif murah (Brahma, 2005). Senyawa turunan imidazol merupakan salah satu senyawa yang banyak digunakan dalam proses pencegahan korosi pada pertambangan minyak (Edward, 1994). Jenis inhibitor yang berasal dari turunan senyawa imidazol mempunyai kelebihan dibandingkan jenis inhibitor lainnya. Hal ini disebabkan karena adanya gugus heteroatom nitrogen pada cincin imidazol yang memiliki pasangan elektron bebas dan dapat membentuk ion sehingga dapat teradsorpsi dengan baik pada permukaan logam.
27
Aktivitas inhibisi korosi alanin lebih besar jika dibandingkan dengan asam aspartat. Gugus – CH3 pada rantai samping alanin merupakan gugus pendorong elektron. Akibat adanya aktivitas pendorongan elektron ini, maka kerapatan elektron atom oksigen pada gugus karboksil akan menyebabkan alanin lebih sulit untuk melepaskan proton dibandingkan dengan asam aspartat sehingga alanin menjadi kurang asam. Untuk ketiga jenis asam amino yang lain, senyawa-senyawa tersebut tidak mempunyai aktivitas sebagai inhibitor korosi. Hal ini disebabkan rantai-rantai samping pada asam amino tirosin dan fenilalanin merupakan gugus-gugus penarik elektron. Aktivitas penarikan elektron menyebabkan atom oksigen pada gugus karbonil menjadi lebih positif sehingga keasaman kedua asam amino ini menjadi semakin besar. Meskipun glisin memiliki rantai samping berupa hidrogen, namun kemampuan hidrogen dalam mendorong elektron relatif kecil sehingga tidak memberikan pengaruh yang signifikan seperti halnya pada alanin. Perubahan gugus fungsi dari gugus fungsi karboksilat menjadi gugus fungsi aldehida ternyata dapat meningkatkan aktivitas inhibisi korosi dari asam amino. Berdasarkan hasil penelitian, aktivitas inhibisi korosi histidinal besarnya hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan histidin, sedangkan fenilalanin yang sebelumnya merupakan aktifator korosi berubah menjadi suatu inhibitor korosi setelah gugus karboksilatnya berubah menjadi aldehida. Meningkatnya aktivitas inhibisi korosi diakibatkan oleh hilangnya pusat asam pada senyawa hasil sintesis dan berganti menjadi gugus aldehida. Untuk melengkapi data analisis kemampuan inhibisi senyawa histidin dan turunannya, maka dilukiskan struktur 3-dimensi dari senyawa histidin, fenilalanin, histidinal dan fenilalaninal menggunakan software ChemOfiice 3D dalam keadaan energi terendah beserta interaksi senyawa tersebut pada permukaan logam. Dari gambar di bawah terlihat interaksi antara pasangan elektron bebas pada senyawa inhibitor korosi dengan permukaan logam. Pada gambar dibagian atas terlihat bahwa histidin dan fenilalanin sama-sama memiliki tiga pasang elektron bebas. Akan tetapi berdasarkan hasil pengujian aktivitas inhibisi meski fenilalanin mempunyai pasangan elektron bebas, namun karena gugus aromatik merupakan gugus penarik elektron, maka atom oksigen pada gugus karboksilat fenilalanin menjadi kurang negatif. Dengan demikian, atom hidrogen pada gugus karbonilnya menjadi mudah lepas dan akan berperan sebagai aktifator korosi Senyawa histidin juga memiliki tiga interaksi pasangan elektron bebas dengan permukaan logam. Histidin merupakan asam amino dengan kemampuan inhibisi korosi yang besar. Hal ini disebabkan karena histidin memiliki rantai samping yang berupa gugus imidazol. Seperti telah diketahui bahwa senyawa turunan imidazol yang sering dikenal sebagai Imidazolin Oleat (Corrosion Inhibitor Oleic Imidazoline, OI) merupakan salah satu senyawa inhibitor
28
korosi organik yang telah diketahui memiliki aktivitas inhibisi tinggi dengan biaya relatif murah (Brahma, 2005).
Gambar 4.3 Interaksi antara inhibitor korosi dengan permukaan logam. Gambar bagian atas memperlihatkan interaksi antara histidin (gambar sebelah kiri) dan fenilalanin (gambar sebelah kanan) dengan permukaan logam. Gambar bagian bawah memperlihatkan interaksi antara histidinal (gambar sebelah kiri) dan fenilalaninal (gambar sebelah kanan) dengan permukaan logam. Keterangan : Noktah biru = atom nitrogen, noktah merah = atom oksigen; noktah abu-abu = atom karbon; noktah putih = atom hidrogen dan noktah merah muda = noktah pasangan elektron bebas.
Bila ditinjau dari sisi pI nya, histidin merupakan asam amino yang bersifat basa sehingga akan mampu mendonorkan elektronnya untuk berikatan dengan permukaan logam. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan asam-asam amino lain yang di uji dalam penelitian ini. Kelima asam amino lain mempunyai pKa yang rendah sehingga asam amino-asam amino tersebut mempunyai sifat keasaman yang lebih kuat. Karena itu, kelimanya akan lebih mudah dalam melepaskan proton yang akan memperkecil aktivitas inhibisi korosi dari kelima asam amino tersebut, bahkan pada sebagian diantaranya justru meningkatkan laju korosi.
29
Pada gambar bagian bawah, histidinal mempunyai dua pasang elektron bebas yang berinteraksi dengan permukaan logam. Secara teoritis berkurangnya interaksi ini akan menurunkan aktivitas inhibisi korosinya. Namun, aktivitas inhibisi histidinal justru lebih besar daripada histidin. Hal ini disebabkan oleh hilangnya pusat asam (gugus karboksilat) karena berubah menjadi gugus aldehida. Senyawa fenilalaninal memiliki satu pasang elektron bebas yang berinteraksi dengan permukaan logam. Meskipun jumlah interaksinya lebih sedikit, namun fenilalaninal dapat berperan sebagai inhibitor korosi karena gugus karboksilat berubah menjadi gugus aldehida.
30