12
4. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Sosio Demografi Kecamatan Tamansari merupakan salah satu kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor yang terletak di bawah kaki Gunung Salak. Kecamatan ini memiliki 8 desa, yaitu Desa Pasireurih, Sirnagalih, Tamansari, Sukamantri, Sukaluyu, Sukaresmi, Sukajadi, dan Sukajaya dengan jumlah penduduk pada tahun 2010 sebanyak 91 899 jiwa. Responden penelitian ini adalah ibu balita berjumlah 61 orang yang tinggal di Kecamatan Tamansari. Besar rumah tangga adalah jumlah anggota rumah tangga yang terdiri dari suami, istri, anak, dan anggota rumah tangga lainnya yang tinggal bersama. Secara umum, besar rumah tangga responden cukup bervariasi pada kedua kelompok. Tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari separuh responden kelompok kontrol dan intervensi tergolong pada rumah tangga kecil (≤4 orang). Kelompok intervensi memiliki proporsi rumah tangga sedang yang lebih banyak dibandingkan rumah tangga besar. Keadaan sebaliknya terjadi pada kelompok kontrol yang memiliki proporsi rumah tangga sedang lebih sedikit dibandingkan rumah tangga besar. Meskipun demikian, hasil uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara besar rumah tangga kelompok kontrol dan intervensi. Secara keseluruhan usia ayah dan ibu tergolong pada usia produktif. Usia ayah berkisar antara 20-55 tahun, dengan median 30 tahun dan usia ibu berkisar antara 18-45 tahun, dengan median 25 tahun. Sebagian besar ayah dan ibu pada kedua kelompok berada pada kisaran usia 21-40 tahun. Meskipun demikian, masih cukup banyak ibu yang tergolong pada usia ≤ 20 tahun pada kedua kelompok. Hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara usia ayah dan ibu pada kelompok kontrol dan intervensi. Tingkat pendidikan ayah dan ibu dilihat dari lama pendidikannya. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan adanya perbedaaan yang nyata antara lama pendidikan ayah (p=0.019) dan ibu (p=0.000) pada kelompok kontrol dan intervensi. Kelompok kontrol memiliki lama pendidikan (setara 1 SMP) yang sedikit lebih baik dibandingkan kelompok intervensi (setara kelas 5 SD). Meskipun demikian, ketika melihat sebaran tingkat pendidikannya, hampir seluruh ayah dan ibu pada kelompok kontrol dan intervensi tergolong dalam tingkat pendidikan yang rendah (≤ 9 tahun) dan hanya sedikit (<10%) yang memiliki tingkat pendidikan SMA dan diploma atau sarjana. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang berperan dalam menunjang kualitas sumberdaya manusia. Hasil penelitian Adnan & Muniandy (2012) menunjukkan bahwa pendidikan ibu dapat mempengaruhi praktek pemberian makan anak sehingga dapat mempengaruhi status gizi anak. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Abuya et al. (2012) yang menunjukkan bahwa tingkat pendidikan ibu dapat menjadi prediktor yang kuat untuk status gizi anak.
13
Tabel 3 Sebaran responden berdasarkan karakteristik rumah tangga Karakteristik Rumah tangga Besar rumah tangga Kecil Sedang Besar Median (IQR) p value
Kontrol n (%)
Intervensi n (%)
Total n (%)
18 (58.1) 6 (19.4) 7 (22.6) 4 (3.0)
17 (56.7) 8 (26.7) 5 (16.7) 4 (2.3)
35 (57.4) 14 (23.0) 12 (19.7) 4 (1.5)
0 (0.0) 27 (90.0) 3 (10.0) 30 (8.0)
1 (1.6) 57 (93.4) 3 (4.9) 30 (8.5)
7 (23.3) 22 (73.3) 1 (3.3) 25 (7.5)
13 (21.3) 47 (77.0) 1 (1.6) 25 (7.0)
28 (93.3) 1 (3.3) 0 (0.0) 1 (3.3) 6 (2.0)
53 (86.9) 4 (6.6) 0 (0.0) 4 (6.6) 6 (0.5)
29 (96.7) 1 (3.3) 0 (0.0) 5 (2.0)
51 (83.6) 8 (13.1) 2 (3.3) 6 (2.0)
0.716
Usia Ayah ≤ 20 tahun 21- 40 tahun ≥ 41 tahun Median (IQR) p value
1 (3.2) 30 (96.8) 0 (0.0) 29 (6.0)
Usia Ibu ≤ 20 tahun 21- 40 tahun ≥ 41 tahun Median (IQR) p value
6 (19.4) 25 (80.6) 0 (0.0) 23 (7.0)
Pendidikan Ayah SD SMP SMA Diploma/S1 Median (IQR) p value
25 (80.6) 3 (9.7) 0 (0.0) 3 (9.7) 6 (0.0)
Pendidikan Ibu SD SMP SMA Median (IQR) p value
22 (71.0) 7 (22.6) 2 (6.5) 6 (3.0)
0.195
0.519
0.019
0.000
Tabel 4 menunjukkan bahwa secara umum jenis pekerjaan ayah adalah buruh non tani (buruh pembuatan sepatu), petani, pedagang, buruh tani, PNS, jasa dan lainnya. Kecamatan Tamansari merupakan salah satu sentra produksi sepatu, oleh karena itu banyak ayah yang bekerja sebagai buruh sepatu dengan upah per minggu. Pekerjaan sebagai buruh sepatu (buruh non tani) ditekuni oleh lebih dari sepertiga (35.5%) ayah di kelompok kontrol dan lebih dari separuh (66.7%) ayah di kelompok intervensi. Pekerjaan di bidang jasa seperti tukang ojeg dan supir dijalani
14 oleh hampir sepertiga ayah di kelompok kontrol, sementara itu pekerjaan sebagai petani, pedagang, dan buruh tani dijalani oleh sepertiga ayah di kelompok intervensi. Tabel 4 Sebaran responden berdasarkan pekerjaan Kontrol n (%)
Intervensi n (%)
Total n (%)
Pekerjaan ayah Petani Pedagang Buruh tani Buruh non tani PNS Jasa Lainnya
1 (3.2) 2 (6.5) 3 (9.7) 11 (35.5) 0 (0.0) 9 (29.0) 5 (16.1)
3 (10.0) 3 (10.0) 3 (10.0) 20 (66.7) 1 (3.3) 0 (0.0) 0 (0.0)
4 (6.6) 5 (8.2) 6 (9.8) 31 (50.8) 1 (1.6) 9 (14.8) 5 (8.2)
Pekerjaan ibu Pedagang Buruh non tani Jasa Ibu rumah tangga
3 (9.7) 0 (0.0) 1 (3.2) 27 (87.1)
1 (3.3) 1 (3.3) 0 (0.0) 28 (93.3)
4 (6.6) 1 (1.6) 1 (1.6) 55 (90.2)
Pekerjaan
Pekerjaan ibu di kedua kelompok pada umumnya adalah ibu rumah tangga. Hanya ada 2 orang ibu di kelompok intervensi yang ikut bekerja membantu suaminya dengan bekerja sebagai pedagang dan buruh sepatu. Sementara itu, di kelompok kontrol hanya ada 3 orang ibu yang berdagang di rumah untuk menambah penghasilan rumah tangga dan 1 orang di bidang jasa. Tabel 5 Median dan interquartile range (IQR) pendapatan dan pengeluaran rumah tangga (Rp/kapita/bulan) Keterangan
Kontrol
Intervensi
Total
Pendapatan
273 333 (494 819)
212 500 (163 125)
240 000 (257 525)
p value 0.067
187 040 (122 964) 184 967 (267 585) 456 170 (343 284)
196 071 (87 026) 126 917 (110 186) 340 048 (178 621)
190 714 (101 660) 164 340 (212 701) 376 140 (249 786)
0.817 0.817 0.162
Pengeluaran Pangan Non pangan Total
Pendapatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan rumah tangga yang berimplikasi terhadap kemampuan pemenuhan kebutuhan pangan dan non pangan anggota rumah tangga. Pendapatan total rumah tangga diperoleh dari pendapatan kepala rumah tangga, istri dan pendapatan dari anggota rumah tangga lainnya seperti anak dan orangtua yang bekerja yang termasuk dalam satu pengelolaan keuangan. Median pendapatan dan pengeluaran total per kapita per bulan kelompok intervensi lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Akan tetapi keragaman pendapatan dan pengeluarannya juga cukup tinggi. Hal ini
15 menunjukkan tingkat pendapatan dan pengeluaran rumah tangga cukup beragam, ada yang memiliki pendapatan dan pengeluaran yang sangat tinggi dan ada juga yang sangat rendah. Pendapatan kelompok kontrol sedikit lebih baik dibandingkan dengan kelompok intervensi (p<0.1). Pengeluaran pangan dan non pangan antara kelompok intervensi dengan kelompok kontrol memiliki pola yang sama dengan pendapatan dan pengeluaran total. Kedua kelompok memiliki median pengeluaran pangan lebih tinggi dibandingkan dengan pengeluaran non pangan. Hasil uji Mann Whitney terhadap pengeluaran pangan, pengeluaran non pangan dan pengeluaran total per kapita per bulan menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata diantara kedua kelompok tersebut. BPS (2013) menyatakan bahwa garis kemiskinan Indonesia pada bulan September 2012 untuk wilayah perdesaan adalah Rp 240 441 per kapita per bulan. Berdasarkan garis kemiskinan tersebut, maka kelompok kontrol termasuk tidak miskin atau sedikit lebih tinggi dari garis kemiskinan, sedangkan kelompok intervensi sedikit berada di bawah garis kemiskinan. Sebaran pengeluaran pangan dan non pangan dapat dilihat secara rinci pada tabel di bawah ini. Tabel 6 Pengeluaran pangan dan non pangan rumah tangga responden (Rp/kap/bulan) Kontrol Intervensi Karakteristik responden Rata-rata % Rata-rata % Pengeluaran pangan Beras 54 000 10.4 65 300 17.8 Lauk-pauk 44 700 8.6 33 400 9.1 Sayur 20 400 3.9 19 200 5.2 Buah 10 100 1.9 7 795 2.1 Minyak goreng 8 934 1.7 8 850 2.4 Minuman 10 800 2.1 9 096 2.5 Jajanan 42 400 8.2 38 700 10.5 Susu 8 731 1.7 7 924 2.2 Lainnya 11 600 2.2 13 000 3.5 Total pangan 211 664 40.7 203 265 55.4 Pengeluaran non pangan Kesehatan Pendidikan Pakaian Listrik Bahan bakar Rokok Lainnya Total non pangan
15 500 2 628 15 900 14 700 8 278 47 400 204 000 308 406
3.0 0.5 3.1 2.8 1.6 9.1 39.2 59.3
24 300 4 635 12 100 11 300 7 761 42 500 61 200 163 796
6.6 1.3 3.3 3.1 2.1 11.6 16.7 44.6
Rata-rata alokasi pengeluaran pangan kelompok intervensi memiliki proporsi yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok kontrol akan tetapi kedua kelompok tersebut memiliki pola yang hampir sama. Sebagian besar alokasi pangan digunakan untuk memenuhi pembelian beras, makanan jajanan, dan lauk pauk. Alokasi pengeluaran pangan terbesar dikeluarkan untuk pembelian beras
16 yang merupakan makanan pokok sebagian besar masyarakat Indonesia. Besarnya alokasi pengeluaran untuk makanan jajanan perlu diwaspadai terutama jajanan anak, karena banyak jajanan yang mengandung zat aditif berbahaya yang dapat merugikan kesehatan. Proporsi pengeluaran non pangan terbesar adalah untuk pengeluaran non pangan lain-lain (pengeluaran transport, pulsa handphone, pembayaran kredit, sumbangan dan pajak), rokok, dan kesehatan. Pembayaran kredit motor, hutang dan arisan merupakan kontributor pengeluaran tertinggi pada pengeluaran non pangan lain-lain. Biaya kesehatan memiliki proporsi pengeluaran yang cukup besar karena responden memiliki anak balita yang masih rentan terhadap penyakit sehingga lebih sering berobat. Pengeluaran non pangan yang paling sedikit adalah untuk biaya pendidikan. Hal ini terjadi karena sebagian besar anggota rumah tangga responden hanya bersekolah sampai SMP sehingga tidak mengeluarkan biaya SPP.
Pemanfaatan Pekarangan Pekarangan adalah lahan di sekitar rumah, memiliki batas lahan dan kepemilikan yang jelas, dapat ditanami berbagai jenis tumbuhan atau tempat memelihara berbagai jenis ternak dan ikan. Keberlangsungan pekarangan tergantung pada biofisik, sosio ekonomi dan budaya. Secara sosio ekonomi, pekarangan memiliki empat fungsi, yaitu; (1) produksi subsisten, untuk melengkapi pangan pokok (sayuran, buah, bumbu, produk hewani), dan produk non pangan lainnya, serta berkontribusi terhadap ketahanan pangan, (2) pekarangan dapat menghasilkan produk komersial untuk mendapatkan tambahan pendapatan, (3) fungsi sosio budaya, untuk keindahan, tempat bermain anak, tempat bersosialisasi dan upacara keagamaan, (4) fungsi ekologi dan lingkungan, sebagai habitat untuk tanaman dan hewan (Arifin et al. 2012). Tabel 7 Rata-rata dan standar deviasi luas lahan dan produksi pekarangan responden Karakteristik Responden
Kontrol (n=31)
Intervensi (n=30)
Luas lahan (m2) Pekarangan Sawah Kebun Kolam
21.0 ± 33.9 0.0 ± 15.7 ± 59.9 0.8 ± 2.8
Produksi tanaman (kg/tahun) Pekarangan 13.9 ± 37.4 Sawah 0.0 ± Kebun 52.7 ± 131.1 Kolam 14.2 ± 55.2 Ternak 8.5 ± 27.5
Total (n=61)
p value
6.8 ± 7.4 56.7 ± 204.2 24.0 ± 127.7 0.4 ± 2.2
14.0 ± 25.5 27.9 ± 144.8 19.8 ± 98.5 0.6 ± 2.5
0.065 0.037 0.671 0.628
8.4 ± 21.3 408.3 ± 1455.9 133.2 ± 486.4 17.2 ± 64.7 2.3 ± 4.7
11.2 ± 30.5 1 011.2 ± 6 299.3 92.3 ± 352.9 15.7 ± 59.6 5.5 ± 20.0
0.969 0.442 0.886 0.628 0.400
Terdapat empat jenis lahan yang diusahakan oleh keluarga responden, yaitu lahan pekarangan, sawah, kebun dan kolam. Rata-rata luas pekarangan dan kolam yang dimiliki oleh kelompok kontrol lebih luas dibandingkan dengan kelompok
17 intervensi (p<0.1). Akan tetapi keragamannya juga cukup tinggi, artinya luas lahan tidak tersebar merata di seluruh rumah tangga responden. Sementara itu, luas sawah yang dimiliki kelompok intervensi lebih luas dibandingkan kelompok intervensi p<0.05 Hal ini disebabkan oleh tidak ada satu pun responden di kelompok kontrol yang memiliki sawah. Luas kebun, dan kolam di kedua kelompok tidak berbeda nyta (p>0.1). Keragaman data yang tinggi, menunjukkan bahwa luas kebun dan kolam responden bervariasi. Sebagian besar responden di kedua kelompok tidak memiliki kebun dan kolam. Hasil produksi tanaman per tahun yang diusahakan pada berbagai jenis lahan menunjukkan bahwa produksi tanaman di kedua kelompok masih rendah. Hasil uji beda menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara produksi tanaman di pekarangan, sawah, kebun, kolam dan hasil ternak pada kelompok kontrol dan intervensi. Rendahnya produksi di kedua kelompok serta keragaman yang tinggi dari hasil produksi tanaman ini dapat menyebabkan tidak nampaknya perbedaan yang nyata antar kedua kelompok. Kelompok kontrol lebih banyak memanfaatkan pekarangan dibandingkan dengan kelompok intervensi. Namun, pemanfaatan tersebut belum dilakukan dengan optimal bahkan sebagian pekarangan dibiarkan kosong. Lebih dari separuh reponden (63.3%) kelompok intervensi tidak memanfaatkan pekarangannya dengan alasan tidak memiliki benih/bibit tanaman, tidak punya waktu/repot mengurus rumah/anak-anak, tidak tahu cara menanamnya dan berbagai alasan lainnya. Hanya separuh (54.8%) responden kelompok kontrol yang telah memanfaatkan pekarangannya dengan berbagai jenis tanaman. Jenis pemanfaatan pekarangan yang banyak dilakukan di kedua kelompok adalah menanam buah-buahan, tanaman hias, sayuran, umbi-umbian dan tanaman lainnya. Tabel 8 Sebaran responden berdasarkan pemanfaatan pekarangan Kontrol n (%)
Intervensi n (%)
Total n (%)
Pemanfaatan pekarangan Dimanfaatkan Tidak dimanfaatkan
17 (54.8) 14 (45.2)
11 (36.7) 19 (63.3)
28 (45.9) 33 (54.1)
Jenis pemanfaatan pekarangan Sayuran Buah Umbi-umbian Tanaman hias Lainnya
5 (16.7) 11 (36.7) 3 (10.0) 9 (30.0) 2 (6.7)
1 (8.3) 8 (66.7) 0 (0.0) 2 (16.7) 1 (8.3)
6 (14.3) 19 (45.2) 3 (7.1) 11 (26.2) 3 (7.1)
Karakteristik Responden
Tanaman buah merupakan tanaman tahunan yang buahnya dapat dimakan dan tidak memerlukan perawatan yang intensif dari pemilik rumah sehingga tanaman ini banyak ditanam di sekitar rumah. Tanaman hias merupakan komoditas unggulan Kecamatan Tamansari, sehingga cukup banyak responden yang menanam tanaman hias, baik untuk dijual, dibudidayakan, ataupun hanya untuk estetika saja. Sayuran dan umbi-umbian lebih banyak ditanam di sawah dan kebun. Tanaman jenis ini kurang menjadi prioritas ditanam di pekarangan karena lahan yang sempit dan tidak terbiasa ditanam di sekitar halaman rumah. Kementan (2012)
18 menerangkan bahwa pemanfaatan pekarangan dapat mewujudkan kemandirian dan ketahanan pangan dengan cara; (1) memenuhi kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga, (2) meningkatkan penghasilan rumah tangga, dan (3) meningkatkan konsumsi makanan yang beragam, bergizi dan seimbang sesuai dengan potensi pangan lokalnya. Kurangnya pemanfaatan pekarangan dan tingginya potensi pekarangan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan gizi rumah tangga mendorong diadakannya program pemanfaatan pekarangan. Program ini merupakan program pendayagunaan pekarangan dengan cara penanaman sayuran atau pemeliharaan ternak untuk pemenuhan konsumsi rumah tangga. Pelaksanaan program pemanfaatan pekarangan diawali dengan sosialisasi program kepada para responden dan dilanjutkan dengan observasi awal pemanfaatan pekarangan untuk menentukan jenis tanaman atau ternak yang akan dikembangkan di kelompok intervensi. Sosialisasi program disampaikan oleh tim peneliti, tim penyuluh pertanian dari Badan Penyuluh Pertanian, Perikanan dan Kelautan (BP3K Dramaga) dan pemerintah desa setempat pada minggu ke-3 bulan Maret 2012. Sosialisasi program meliputi penyampaian maksud dan tujuan program, waktu pelaksanaan, dan bentuk kegiatan dan himbauan dari pemerintah desa akan keterlibatan/kerjasama dari peserta program. Hasil observasi awal menunjukkan bahwa terdapat 11 jenis tanaman yang menjadi pilihan responden berdasar minat responden, dengan prioritas yang paling tinggi sampai paling rendah secara berturut-turut yaitu tomat, cabe keriting, jahe, terong ungu, bayam, pare hijau, kacang panjang, ceisin, pakcoy, buncis dan kangkung. Setelah berdiskusi dengan tim peneliti dan responden, akhirnya diputuskan tanaman yang akan dikembangkan dalam program ini adalah tanaman yang wajib ditanam dan tanaman pilihan. Tanaman wajib meliputi cabe rawit, cabe merah, tomat, kangkung dan bayam. Cabe rawit, cabe merah, dan tomat mewakili tanaman bumbu yang pasti dibutuhkan oleh responden untuk memasak, sedangkan kangkung dan bayam mewakili tanaman yang diharapkan dapat memberikan kontribusi zat gizi terrhadap rumah tangga responden. Tabel 9 menunjukkan luas pekarangan sebelum ada program pemanfaatan pekarangan dan luas lahan yang digunakan pada program ini. Tabel 9 Sebaran responden berdasarkan luas pekarangan (m2) Luas pekarangan Luas pekarangan pre ≤ 10 11-30 > 30
x̄ ± sd
Kontrol n (%)
Intervensi n (%)
Total n (%)
16 (51.6) 7 (22.6) 8 (25.8) 21.0 ± 33.9
21 (70.0) 9 (30.0) 0 (0.0) 6.8 ± 7.4
37 (60.7) 16 (26.2) 8 (13.1) 14.0 ± 25.5
22 (73.3) 6 (20.0) 2 (6.7) 8.9 ± 12.7
39 (65.0) 13 (21.7) 8 (13.3) 19.6 ± 64.3
p value Luas pekarangan post ≤ 10 11-30 > 30
x̄ ± sd p value
0.065 17 (56.7) 7 (23.3) 6 (20.0) 30.0 ± 89.6 0.204
19 Rata-rata luas pekarangan kelompok kontrol yang dimanfaatkan adalah 21.0 m2, lebih luas dibandingkan dengan kelompok intervensi yang hanya 6.8 m2 (p<0.1). Luas lahan di kelompok kontrol cukup bervariasi. Lebih dari separuhnya memiliki luas ≤10 m2 dan seperempatnya >30 m2. Sementara itu, di kelompok intervensi, sebagian besar responden memiliki luas pekarangan ≤10 m2, dan tidak ada yang memiliki luas pekarangan >30 m2. Setelah dilakukan program pemanfaatan pekarangan, terdapat 2 responden yang memperluas pekarangannya menjadi >30 m2. Luas pekarangan kelompok kontrol yang berkurang diakibatkan alih fungsi lahan pekarangan menjadi teras rumah yang di semen dan perluasan bangunan rumah. Pemanfaatan pekarangan yang sempit (<200 m2) dapat mengurangi pengeluaran pangan sampai 9.9% (Arifin et al. 2012), dan pekarangan dengan luas 16 m2 berpotensi dalam memenuhi kecukupan zat gizi dalam sehari (zat besi dan kalsium sebesar 40%, vitamin A 80% dan vitamin C 100%) dengan anggota rumah tangga sebanyak 5 orang (AVRDC 1993 diacu dalam Ali dan Tsou 1997). Pelaksanaan program pemanfaatan pekarangan yang dilakukan meliputi 5 tahapan yaitu: (1) penentuan demplot sebagai tempat percontohan praktek budidaya tanaman, (2) praktek persemaian tanaman dengan menggunakan media sekam bakar dan bokashi, (3) persiapan penanaman yang meliputi pembuatan rak vertikultur, pembuatan pagar pekarangan, pengolahan pekarangan, pendistribusian bibit, polybag dan pupuk, (4) praktek pembuatan pupuk cair sebagai salah satu upaya pemenuhan nutrisi tanaman dengan memanfaatkan sumberdaya lokal dan aman bagi konsumsi pangan, dan tahap kelima (5) penanaman yang dilakukan setelah pengolahan tanah dan pembuatan pagar atau pembuatan rak vertikultur. Hasil monitoring pemanfaatan pekarangan menunjukkan bahwa sebagian responden tidak terbiasa menanam sayuran atau tanaman pertanian lainnya terutama responden yang berusia di bawah 30 tahun. Semua responden belum memahami tentang budidaya dan pemeliharaan tanaman, terutama pemilihan media tanam. Oleh karena itu teknik melarung dikenalkan pada responden sebagai salah satu upaya pemanfaatan limbah pekarangan menjadi kompos dan media tanam. Teknik melarung dilakukan dengan cara memasukkan tanah dan sampah organik secara berlapis ke dalam karung, tambahkan pupuk kandang jika ada, biarkan selama 2 minggu hingga 1 bulan lalu dapat dijadikan media tanam sayuran. Walaupun belum diaplikasikan oleh semua responden, tetapi sudah mulai terlihat pemanfaatan teknik ‘melarung’ tersebut, di samping pemanfaatan polibag, ember bekas atau pot tanaman. Tanaman cabe, tomat, pakcoy, terong, dan buncis merupakan jenis tanaman yang dianggap sulit di budidayakan karena pemeliharaannya memerlukan perawatan yang lebih intensif dibandingkan tanaman berdaun. Namun hasil panennya cukup banyak karena masa produktifnya yang relatif lama dibandingkan dengan sayuran daun. Sementara itu, tanaman yang mudah ditanam adalah bayam, tomat, kangkung dan caisin. Tanaman yang pertama siap ditanam dari persemaian adalah caisin dilanjutkan dengan tanaman lainnya. Tanaman bayam, kangkung, kacang panjang dan buncis sudah mulai ditanam oleh responden pada minggu pertama bulan Mei dan pada beberapa responden sudah panen di minggu pertama bulan Juni. Tanaman bayam, kangkung, ceisin sudah mulai dipanen pada minggu ke-4 bulan Mei sampai
20 minggu ke-2 bulan Juni. Hasil produksi pekarangan selama 1 tahun intervensi dapat dilihat pada Gambar 2. Produksi pekarangan cukup fluktuatif selama 1 tahun intervensi berlangsung. Pada awal pelaksanaan program pemanfaatan pekarangan, responden dan rumah tangga cukup antusias untuk mengikuti program tersebut. Namun semangat ini turun naik seiring dengan perjalanan waktu. Ketika musim hujan dan kemarau yang parah maka para PPL lebih banyak memberikan motivasi agar responden tidak cepat menyerah melihat tanamannya mati akibat kekeringan ataupun kelebihan air.
Gambar 2. Hasil total panen pekarangan kelompok intervensi (kg) Selama 1 tahun intervensi, produksi pekarangan tertinggi terjadi pada bulan Agustus 2012 (114.8 kg) dengan sayuran yang menyumbang produksi terbanyak adalah tomat (63.9 kg), terong (15.2 kg) dan pare (10.5 kg). Sebagian besar hasil panen dikonsumsi sendiri, dan sisanya dibagikan ke tetangga atau saudara. Terdapat beberapa responden yang menjual hasil panennya di rumah atau ke warung karena menanam di luas areal yang cukup luas sehingga hasilnya cukup banyak. Produksi pekarangan turun drastis pada bulan September dan Oktober 2012 dikarenakan musim kemarau, sehingga tanaman menjadi kering dan mati kekurangan air. Responden lebih mengutamakan air untuk kebutuhan hidup seharihari seperti memasak, mencuci, dan MCK. Secara perlahan, bulan NovemberDesember 2012 produksi pekarangan mulai meningkat seiring dengan berlalunya musim kemarau, Akan tetapi pada bulan Januari 2013, curah hujan cukup tinggi di wilayah penelitian sehingga menyebabkan produksi pekarangan berada di titik terendah (11.2 kg) dengan sayuran yang menyumbang produksi terbanyak adalah cabe rawit (2.6 kg), terong dan pare masing-masing 2 kg. Pada Gambar 3, dapat dilihat bahwa terong, tomat, dan pare merupakan sayuran buah yang memberikan kontribusi besar terhadap produksi pekarangan. Tanaman ini merupakan tanaman yang dapat dipanen berulang kali sehingga berpotensi untuk terus ditanam di pekarangan. Sementara itu, caisin dan kangkung merupakan sayuran daun yang paling tinggi produksinya. Jenis sayuran buah dan daun yang produksinya tinggi ini mengindikasikan bahwa sayuran tersebut cocok
21 untuk ditanam di pekarangan dan berpotensi meningkatkan konsumsi sayuran dan pendapatan rumah tangga.
Gambar 3. Hasil panen pekarangan selama intervensi 1 tahun (kg) Tinggi rendahnya produksi sayuran dan keberhasilan program pemanfaatan pekarangan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor eksternal meliputi luas lahan, cuaca, pupuk, hama dan penyakit tanaman (HPT), dan cara perawatan. Luas lahan yang sempit menghasilkan produksi yang sedikit. Masalah ini di coba diatasi dengan penanaman pada polibag dan vertikultur, akan tetapi hasil panen yang dihasilkan belum menunjukkan hasil yang optimal. Cuaca yang terlalu kering dan panas atau terlalu basah juga dapat menurunkan produksi pekarangan, seperti yang digambarkan hasil panen pada bulan September 2012 dan Januari 2013. Kurangnya pupuk, perawatan dan penanganan HPT yang tidak tepat juga dapat menurunkan hasil panen pekarangan. Sebagian besar responden dengan tanaman pekarangan yang subur merupakan responden yang memiliki kandang kambing dekat dengan pekarangannya. Kotoran kambing yang digunakan sebagai
22 pupuk kandang meningkatkan kesuburan tanah dan memberikan nutrisi bagi tanaman sehingga hasil produksi sayuran pekarangan meningkat. Hama yang banyak dikeluhkan oleh responden adalah hama semut merah yang menyebabkan tanaman tidak dapat berkembang dengan optimal. Faktor internal yang dapat mempengaruhi produksi sayuran adalah motivasi responden dan dukungan rumah tangga. Dukungan suami merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemanfaatan pekarangan yang optimal di kelompok intervensi. Suami mendukung responden dalam hal pembuatan sarana seperti pagar, rak, penataan dan budidaya. Pekarangan yang sangat sempit dapat ditata dengan menarik dan efisien dengan bantuan suami sehingga tanaman dapat tumbuh subur dan produktif sehingga dapat mengurangi biaya dapur sehari-hari. Hasil panen yang diperoleh dikonsumsi sendiri dan dibagikan ke tetangga sekitar yang membutuhkan. Harapan yang banyak dilontarkan adalah agar responden tetap dikunjungi dan program terus berjalan karena bermanfaat untuk rumah tangga dan masyarakat. Alokasi waktu responden ataupun suami responden merupakan salah satu faktor pendukung keberhasilan pemanfaatan pekarangan. Walaupun responden merasakan manfaat dari peningkatan pemanfaatan pekarangan dan sudah terbiasa menanam, tetapi ketika responden dan suaminya tidak punya waktu untuk merawat dan memelihara tanaman, maka produksi pekarangannya menjadi kurang optimal.Tanaman pekarangan rumah (home gardening) tergantung pada (1) tenaga kerja yang ada di rumah, (2) ketersediaan lahan di sekitar rumah, (3) ketersediaan teknologi sederhana atau perkakas berkebun sederhana, (4) ketersediaan bibit dan air, dan (5) minat atau motivasi. Walaupun manfaatnya dalam pemenuhan gizi rumah tangga terbatas, akan tetapi produksi sayuran dapat meningkatkan pendapatan dibandingkan dengan jenis tanaman lainnya jika sayuran tersebut tumbuh di musim yang tepat dan petani memiliki kemampuan manajemen yang baik (AVRDC 1995). Pada pengumpulan data akhir seluruh responden menyatakan niatnya untuk melanjutkan pemanfaatan pekarangan karena memberikan manfaat bagi rumah tangganya. Pada pelaksanaan program pemanfaatan pekarangan terdapat beberapa kendala yaitu sebagian responden merasa kesulitan dalam merawat tanaman pekarangan (28.6%), menyiapkan pupuk (17.9%), membuat persemaian (14.3%) dan membuat media tanam (14.3%), namun dengan dukungan rumah tangga (suami dan orangtua) dan bantuan serta arahan PPL, tahapan budidaya yang dirasakan cukup sulit tersebut dapat diatasi. Pemanfaatan pekarangan di kelompok intervensi dapat berlangsung secara berkelanjutan karena responden sudah dapat membibitkan tanaman secara mandiri, serta membuat dan menggunakan pupuk buatan sendiri sehingga proses budidaya tanaman pekarangan dapat berlangsung tanpa tergantung pada pihak lain. Sebagian besar responden menyatakan bahwa program pemanfaatan pekarangan dapat menghemat uang belanja sehingga responden dapat mengurangi pembelian sayuran rata-rata Rp 9 700/minggu, dengan penghematan minimum sebesar Rp 1 000/minggu dan maksimum Rp 70 000/minggu. Hampir seluruh responden puas dengan hasil tanaman pekarangannya. Namun demikian, responden masih mempunyai harapan agar hasil panen tanaman pekarangan dapat mengurangi belanja sayur, produksi yang lebih banyak dan dapat lebih memperindah halamannya.
23 Tabel 10 Sebaran responden berdasarkan pemanfaatan pekarangan Pemanfaatan pekarangan Program pekarangan bermanfaat bagi rumah tangga
n 28
% 100.0
Tingkat kesulitan menanam di pekarangan Sulit Biasa saja Tidak sulit
14 5 9
50.0 17.9 32.1
Ibu ingin melanjutkan pemeliharaan tanaman pekarangan
4 4 5 8 5 28
14.3 14.3 17.9 28.6 17.9 100.0
Ibu puas dengan hasil tanaman pekarangan
26
92.9
Ibu membibitkan tanaman pekarangan sendiri
22
78.6
Ibu membuat dan menggunakan pupuk sendiri (tidak membeli)
27
96.4
Program pekarangan dapat menghemat belanja sayuran
26
92.9
Rata-rata jumlah uang belanja sayuran yang dihemat (Rp/minggu)
9759±13 795
Tahapan yang dirasakan sulit dalam program pekarangan Membuat persemaian Menyiapkan media tanam Menyiapkan pupuk Perawatan Lainnya
Harapan terhadap tanaman pekarangan Produksi lebih banyak Dapat mengurangi belanja sayur Dapat memperindah halaman Tidak berharap apa-apa Lainnya
26 28 25 3 1
92.9 100.0 89.3 10.7 3.6
Pengetahuan Gizi dan Efikasi Diri Pengetahuan gizi dan kesehatan merupakan faktor penting untuk terbentuknya praktek gizi kesehatan. Bagi masyarakat perdesaan pengetahuan gizi dapat diperoleh melalui berbagai sumber seperti posyandu, petugas kesehatan, media cetak dan media elektronik. Pengukuran pengetahuan gizi dilakukan melalui 2 waktu, yaitu jangka pendek dan jangka panjang. Untuk pengukuran pengetahuan gizi jangka pendek, dilakukan pre dan post-test sebanyak 10 soal per topik penyuluhan sehingga total pertanyaan adalah 50 soal. Pengetahuan gizi di kelompok intervensi meningkat dengan rata-rata peningkatan sebesar 12.3 poin (Tabel 11). Hasil uji paired t-test menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antar skor pengetahuan pre dan post penyuluhan. Selain itu, hasil uji independent t-test (p<0.001) juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara kelompok
24 kontrol dan intervensi. Hal ini mengindikasikan keberhasilan penyuluhan dalam meningkatkan pengetahuan gizi kesehatan responden dalam jangka pendek. Sementara itu, pengukuran pengetahuan gizi jangka panjang, dilakukan dengan cara memberikan pertanyaan gizi dan kesehatan sebanyak 10 pertanyaan yang sama pada pengumpulan data awal dan akhir (Tabel 12). Skor pengetahuan gizi data awal dan data akhir kelompok intervensi tidak berbeda nyata (Wilcoxon p=0.145). Begitupun dengan hasil uji Mann Whitney antara kelompok kontrol dan intervensi juga tidak berbeda nyata (p=0.156). Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan kategori pengetahuan gizi pre-post penyuluhan (jangka pendek) Kategori pengetahuan gizi
Kontrol
Intervensi
Pre
Post
Pre
Post
Kurang (<60)
9 (29.0)
7 (22.6)
10 (33.3)
3 (10.0)
Sedang (60 - 80)
18 (58.1)
21 (67.7)
19 (63.3)
16 (53.3)
Baik (>80) Rata-rata ± Std (skor) Selisih Independent t test p value
4 (12.9) 3 (9.7) 64.7 ± 16.8 66.5 ±15.9 1.8 ± 8.9
1 (3.3) 11 (36.7) 62.4 ± 9.8 75.6 ± 11.2 12.3 ± 7.4* 0.000
*Signifikan pada (p<0.001)
Tabel 12 menunjukkan bahwa median skor pengetahuan gizi kedua kelompok termasuk ke dalam kategori sedang. Setelah dilakukan intervensi penyuluhan gizi, rata-rata skor kedua kelompok meningkat. Sehingga hasil uji beda menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut. Peningkatan skor pengetahuan gizi di kelompok kontrol dapat disebabkan oleh tingginya informasi mengenai gizi dan kesehatan yang diperoleh responden di kelompok kontrol. Tingkat partisipasi responden di posyandu berhubungan positif dengan pengetahuan dan perilakunya (Madanijah dan Triana 2007). Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan kategori pengetahuan gizi Kategori pengetahuan gizi
Kontrol
Intervensi
Pre
Post
Pre
Post
Kurang (<60)
10 (32.3)
4 (13.8)
13 (43.3)
11 (39.3)
Sedang (60 - 80)
18 (58.1)
10 (34.5)
10 (33.3)
6 (21.4)
3 (9.7) 15 (51.7) 70 (20) 90 (20) -10 (20)*
7 (23.3) 70 (32.5)
11 (39.3) 75 (30)
Baik (>80) Median (IQR) Selisih p value
0 (30) 0.156
*Signifikan pada (p<0.001)
Hasil analisis data lebih dari 300 penelitian menunjukkan bahwa pendidikan gizi lebih efektif jika fokus pada perilaku/action dan secara sistematis menghubungkan teori, penelitian, dan praktek dibandingkan pengetahuan saja. Faktor lingkungan merupakan salah satu komponen yang sangat penting. Oleh karena itu, program pendidikan gizi dalam pelaksanaannya sebaiknya bekerja sama
25 pengambil keputusan di masyarakat untuk meningkatkan ketersediaan dan akses pangan (harga dan tempat yang terjangkau) (Contento 2008). Selain pengetahuan, efikasi diri juga merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan perilaku. Efikasi diri adalah keyakinan atau harapan seseorang mengenai kemampuannya untuk melakukan suatu perilaku tertentu yang akan mempengaruhi kehidupannya. Efikasi diri menentukan bagaimana orang merasakan sesuatu, berpikir, memotivasi diri sendiri dan berperilaku. Efikasi diri dihasilkan melalui 4 tahap utama yaitu, kognitif, motivasi, afektif dan pemillihan proses (Bandura 1994). Efikasi diri konsumsi sayur dilihat dari 7 pertanyaan menggunakan 3 skala likert (tidak yakin, yakin, sangat yakin). Tabel 13. Menunjukkan bahwa sebagian besar responden di kedua kelompok memiliki skor efikasi diri konsumsi sayur yang rendah. Skor yang rendah mengindikasikan responden meragukan kemampuan dirinya sendiri untuk dapat menyediakan dan mengonsumsi sayur dalam jumlah yang cukup untuk rumah tangganya. Komitmen yang lemah terhadap konsumsi sayur ini dapat menimbulkan konsumsi sayur rumah tangga yang rendah. Rincian pernyataan efikasi diri konsumsi sayur (pernyataan 17) dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan skor efikasi diri konsumsi sayur Skor efikasi Kontrol Intervensi Total Rendah (<13) 27 (90.0) 23 (76.6) 50 (83.3) Sedang (13-17) 3 (10.0) 6 (20.0) 9 (15.0) Tinggi (>17) 0 (0.0) 1 (3.3) 1 91.7) Median (IQR) 11.0 (3) 12.0 (3.3) 11.5 (3) p value 0.316 Menurut Contento (2008) niat dapat dilihat dari sikap, persepsi pengaruh sosial atau norma sosial, dan efikasi diri. Orangtua yang peduli pada kesehatan dan asupan makanan anaknya dapat mengubah kebiasaan makannya ketika anaknya ada di sekitar mereka (Maclellan et al. 2004). Orangtua, terutama ibu merupakan gatekeeper asupan gizi anak. Ibu biasa membeli, menyiapkan dan menyediakan makanan. Orangtua memiliki peranan yang penting dalam pembentukan kebiasaan makan dan preferensi anak-anak. Tabel 14. menunjukkan bahwa sebagian besar ibu di kelompok kontrol dan intervensi yakin dapat menyediakan sayuran yang cukup untuk dimakan rumah tangga dan dapat membuat rumah tangga makan sayuran dalam jumlah yang cukup. Keyakinan ibu, sedikit menurun ketika ibu ditanyakan mengenai kesanggupannya membuat balitanya makan sayuran dalam jumlah yang cukup. Lebih dari separuh ibu merasa yakin dapat membuat anak balitanya makan sayuran dalam jumlah yang cukup, dan kurang dari sepertiganya merasa tidak yakin. Keyakinan ibu juga menjadi menurun ketika ditanya mengenai kesanggupannya dalam membuat rumah tangga dan balitanya mengonsumsi sayuran 3-5 porsi sehari untuk orang dewasa dan 2-3 porsi untuk balita sesuai anjuran PUGS. Pada kelompok kontrol, Sebagian besar ibu yakin dapat membuat rumah tangga makan sayuran dalam jumlah yang cukup, akan tetapi keyakinan tersebut turun sebesar 36.7% ketika ibu ditanya kesanggupannya untuk dapat mendorong rumah tangga makan sayuran 3-5 porsi sehari. Keyakinan ibu juga turun sebesar 10% ketika ditanya kesanggupannya untuk dapat mendorong
26 balitanya makan sayuran 2-3 porsi sehari. Pada kelompok intervensi, keyakinan ibu yang yakin dapat membuat rumah tangga dan balitanya makan sayuran dalam jumlah yang cukup juga menurun sebesar 43.3% ketika ibu ditanya kesanggupannya untuk dapat mendorong rumah tangga makan sayuran 3-5 porsi sehari dan turun sebesar 16.7% ketika ibu ditanya kesanggupannya untuk dapat mendorong balitanya makan sayuran 2-3 porsi sehari. Tabel 14 Sebaran responden berdasarkan efikasi diri konsumsi sayur Kebiasaan makan
Kontrol n (%)
Intervensi n (%)
Total n (%)
Ibu dapat menyediakan sayuran dalam jumlah yang cukup untuk dimakan rumah tangga Tidak yakin 5 (16.7) 4 (13.3) 9 (15.0) Yakin 24 (80.0) 23 (76.7) 47 (78.3) Sangat yakin 1 (3.3) 3 (10.0) 4 (6.7) Ibu dapat membuat rumah tangga anda makan sayuran dalam jumlah yang cukup Tidak yakin 4 (13.3) 7 (23.3) 11 (18.3) Yakin 26 (86.7) 21 (70.0) 47 (78.3) Sangat yakin 0 (0.0) 2 (6.7) 2 (3.3) Ibu dapat membuat balita anda makan sayuran dalam jumlah yang cukup Tidak yakin 9 (30.0) 6 (20.0) 15 (25.0) Yakin 19 (63.3) 20 (66.7) 39 (65.0) Sangat yakin 2 (6.7) 4 (13.3) 6 (10.0) Ibu dapat mendorong rumah tangga makan sayuran 3-5 porsi/hari Tidak yakin 14 (46.7) 21 (70.0) Yakin 15 (50.0) 8 (26.7) Sangat yakin 1 (3.3) 1 (3.3)
35 (58.3) 23 (38.3) 2 (3.3)
Ibu dapat mendorong balita makan sayuran sebanyak 2-3 porsi/hari di rumah Tidak yakin 14 (46.7) 14 (46.7) 28 (46.7) Yakin 16 (53.3) 15 (50.0) 31 (51.7) Sangat yakin 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7) Ibu dapat menyediakan camilan/snack sayur setiap hari untuk rumah tangga dan balita Tidak yakin 17 (56.7) 18 (60.0) 35 (58.3) Yakin 13 (43.3) 11 (36.7) 24 (40.0) Sangat yakin 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7) Ibu dapat meningkatkan konsumsi sayuran rumah tangga dan balita anda akan 3 bulan kedepan Tidak yakin 7 (23.3) 11 (36.7) 18 (30.0) Yakin 23 (76.7) 18 (60.0) 41 (68.3) Sangat yakin 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7)
Perbedaan keyakinan ini dapat disebabkan oleh persepsi yang dimiliki responden mengenai jumlah konsumsi sayuran yang cukup untuk rumah tangga berbeda dengan standar atau anjuran PUGS yang berlaku. Hal ini dapat terlihat pernyataan sebagian besar responden yang menyatakan bahwa sayuran sebaiknya dikonsumsi rumah tangga dan balita sebanyak 2-3 kali sehari. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Lechner et al. (1997) yang menunjukkan terjadinya inkonsistensi antara penilaian konsumsi sayur secara subyektif yang lebih tinggi
27 dibandingkan dengan penilaian secara obyektif berdasarkan pedoman gizi. Sebanyak 88% responden merasa sudah cukup mengonsumsi sayuran, akan tetapi jika dibandingkan dengan pedoman, maka mereka termasuk ke dalam kelompok orang yang tidak cukup mengonsumsi sayuran. Efikasi diri sebagian besar ibu di kelompok kontrol (76.7%) dan lebih dari separuh ibu kelompok intervensi (60.0%) cukup baik untuk meningkatkan konsumsi sayuran rumah tangga dan balita anda akan 3 bulan kedepan. Camilan sehat yang tersedia di rumah dapat mengurangi jajanan anak yang tidak sehat di luar rumah. Akan tetapi, lebih dari separuh ibu di kelompok kontrol (56.7%) dan intervensi (60.0%) merasa tidak yakin dapat menyediakan camilan/snack sayur setiap hari untuk rumah tangga dan balitanya. Alasan yang banyak dikemukan oleh responden tidak dapat menyediakan camilan sayuran adalah repot, tidak ada waktu membuat dan harganya mahal. Tabel 15 Sebaran responden berdasarkan efikasi diri pemanfaatan pekarangan Pemanfaatan Pekarangan
Kontrol n (%)
Intervensi n (%)
Ibu dapat meningkatkan produksi sayuran dari pekarangan Tidak yakin 17 (56.7) 18 (60.0) Yakin 13 (43.3) 11 (36.7) Sangat yakin 0 (0.0) 1 (3.3)
Total n (%) 35 (58.3) 24 (40.0) 1 (1.7)
Ibu dapat meningkatkan makan sayur rumah tangga dari hasil produksi sayuran pekarangan Tidak yakin 20 (66.7) 9 (30.0) 29 (48.3) Yakin 10 (33.3) 20 (66.7) 30 (50.0) Sangat yakin 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7) Ibu dapat melanjutkan program tanaman pekarangan tanpa pendampingan PPL/bantuan dari IPB/organisasi luar lainnya Tidak yakin 5 (16.7) 5 (16.7) Yakin 24 (80.0) 24 (80.0) Sangat yakin 1 (3.3) 1 (3.3)
Secara keseluruhan, hanya ada 1 orang ibu dari kelompok intervensi yang merasa sangat yakin dapat meningkatkan produksi sayuran dari pekarangan. Lebih dari separuhnya (58.3%) merasa tidak yakin dan sisanya (40.0%) merasa yakin. Lebih dari separuh Ibu (66.7%) di kelompok kontrol merasa tidak yakin dapat meningkatkan konsumsi sayur dari hasil produksi sayuran pekarangan dan sisanya (33.3%) merasa yakin. Kondisi sebaliknya terjadi di kelompok intervensi, lebih dari separuh ibu (66.7%) kelompok intervensi merasa yakin dapat meningkatkan konsumsi sayur dari hasil produksi sayuran pekarangan dan 30% merasa tidak yakin. Ibu di kelompok intervensi sebagian besar merasa yakin dapat melanjutkan program tanaman pekarangan tanpa pendampingan PPL/bantuan dari IPB/organisasi luar lainnya. Hal ini baik untuk keberlanjutan pemanfaatan pekarangan setelah program ini selesai.
28 Konsumsi Sayur dan Asupan Zat Gizi Rumah tangga Definisi sayur banyak dihubungkan dengan kandungan, kualitas gizi dan manfaat kesehatannya. Dari aspek gizi, sayur merupakan pangan dengan densitas energi yang rendah, kaya akan vitamin, mineral, serat dan komponen bioaktif lainnya (World Cancer Research Fund/American Institute of Cancer Research 2007). Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makan, kepercayaan tentang makanan misalnya pantangan, distribusi makanan diantara anggota rumah tangga, cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan. Ada berbagai faktor yang menentukan kebiasaan makan di antaranya adalah pola pemberian makan orangtua kepada anak. Ibu adalah orang yang paling dominan dalam menentukan menu sayur rumah tangga dan balita di kedua kelompok. Sebagian besar anggota rumah tangga (86.7%) kelompok kontrol tidak ikut menentukan menu sayur rumah tangga. Pola yang berbeda ditunjukkan oleh kelompok intervensi, Walaupun ibu merupakan orang dominan dalam menentukan menu rumah tangga, akan tetapi keinginan atau pendapat anggota rumah tangga lain juga ikut diperhitungkan dalam menentukan menu sayur rumah tangga. Tabel 16 Sebaran responden berdasarkan kebiasaan makan sayur rumah tangga Kontrol Intervensi Total Kebiasaan makan n (%) n (%) n (%) Siapa yang paling dominan dalam menentukan menu sayur rumah tangga dan balita 2 (6.7) 1 (3.3) 3 (5.0) Ayah 27 (90.0) 27 (90.0) 54 (90.0) Ibu 1 (3.3) 2 (6.7) 3 (5.0) Anak Terdapat anggota rumah tangga yang lain ikut menentukan menu 4 (13.3) 13 (43.3) Ya 26 (86.7) 17 (56.7) Tidak
17 (28.3) 43 (71.7)
Terdapat anggota rumah tangga yang tidak menyukai sayuran 9 (30.0) 12 (40.0) Ya 21 (70.0) 18 (60.0) Tidak
21 (35.0) 39 (65.0)
Ibu memperkenalkan berbagai macam sayuran kepada balita 27 (90.0) 28 (93.3) Ya 3 (10.0) 2 (6.7) Tidak
55 (91.7) 5 (8.3)
Rumah tangga dan balita suka mencoba berbagai macam sayur? (selain yang disukai rumah tangga dan balita) 22 (73.3) 27 (90.0) 49 (81.7) Ya 8 (26.7) 3 (10.0) 11 (18.3) Tidak Ibu mendorong rumah tangga dan anak balita untuk makan sayur 27 (90.0) 25 (83.3) Ya 3 (10.0) 4 (13.3) Kadang-kadang
52 (86.7) 7 (11.7)
29 Sebagian besar (70.0%) responden di kelompok kontrol menyatakan bahwa masih ada anggota rumah tangganya yang tidak menyukai sayuran karena tidak dibiasakan dari kecil, aroma dan rasa sayuran yang tidak enak serta alasan kesehatan (kangkung dapat menyebabkan penyakit asam urat). Sementara itu di kelompok intervensi, sebanyak 62.1% responden menyatakan masih ada anggota rumah tangganya yang tidak menyukai sayuran dengan alasan tidak suka, rasanya pahit dan aromanya tidak menyenangkan, serta sayuran dapat menyebabkan penyakit asam urat. Beragam reaksi ibu ketika menyikapi anggota rumah tangganya yang tidak menyukai sayuran seperti membujuknya memakan sayuran, memintanya mencoba terlebih dahulu, memaksanya, mencampurkan sayuran dalam makanan lain, memasak jenis sayuran yang disukai saja, sampai membiarkannya. Sebagian besar ibu di kedua kelompok mendorong rumah tangga dan balitanya untuk makan sayur dan ibu juga suka mencoba berbagai macam sayuran (selain yang disukai rumah tangga dan balita). Orangtua yang peduli pada kesehatan dan asupan makanan anaknya dapat mengubah kebiasaan makannya ketika anaknya ada di sekitar mereka (Maclellan et al. 2004). Penghambat utama konsumsi sayur dan buah adalah rendahnya usaha, kurangnya pengetahuan, faktor sosio-psikologis (preferensi, kebiasaan, mood), faktor lingkungan sosial (pengaruh anggota rumah tangga, pengalaman masa kecil) dan ketersediaan. Semakin banyak hambatan maka semakin sedikit orang mengonsumsi sayur dan buah. Persepsi yang salah mengenai kecukupan asupan yang sudah tinggi, preferensi anak, sikap ibu, pengalaman masa kecil termasuk paparan yang terbatas terhadap sayur dan buah atau memori negatif dapat mempengaruhi konsumsi sayur dan buah (Maclellan et al. 2004). Anak-anak mengonsumsi lebih banyak sayuran yang tidak di sukai ketika sayuran tersebut di sajikan bersama sayuran yang di sukai (Olsen et al. 2012). Kepuasaan atau kenikmatan merupakan determinan konsumsi sayur dan buah seperti rasa, daya cerna dan rasa kenyang. Pola asuh makan merupakan faktor utama dari pengenalan lingkungan makanan dan mempengaruhi preferensi makanan anak dan asupan energinya. Birch dan Fisher (1998) menyatakan bahwa hanya sedikit pilihan makanan yang diperkenalkan orangtua, kebanyakan diketahui melalui pengalaman makan dan berhubungan dengan kemampuan mengunyah makanan dan lingkungan makan terutama konteks sosial dan psikologis. Tabel 17 Sebaran rumah tangga responden berdasarkan frekuensi makan Kontrol Intervensi Total Frekuensi makan n (%) n (%) n (%) Frekuensi makan rumah tangga dalam sehari 1 kali 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7) 2 kali 12 (40.0) 11 (36.7) 23 (38.3) 3 kali 17 (56.7) 18 (60.0) 35 (58.3) 4 kali 1 (3.3) 0 (0.0) 1 (1.7) Frekuensi makan sayuran rumah tangga dalam sehari 1 kali 12 (40.0) 7 (25.0) 2 kali 11 (36.7) 14 (50.0) 3 kali 6 (20.0) 7 (25.0) 4 kali 1 (3.3) 0 (0.0)
19 (32.8) 25 (43.1) 13 (22.4) 1 (1.7)
30 Frekuensi makan rumah tangga dapat menggambarkan kebiasaan makan suatu rumah tangga. Secara umum, kelompok kontrol dan intervensi memiliki pola makan dan konsumsi sayur yang serupa. Tabel 17 menunjukkan bahwa lebih dari separuh rumah tangga responden makan 3 kali sehari dan lebih dari sepertiganya memiliki kebiasaan makan 2 kali sehari. Sementara itu, frekuensi konsumsi sayuran sebagian besar responden di kedua kelompok kurang dari 3 kali sehari, dan kurang dari seperempatnya yang mengonsumsi sayuran 3 kali sehari. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Riskesdas 2007 yang menyatakan konsumsi sayur dan buah hampir seluruh penduduk Indonesia (93.6%) masih kurang dari lima porsi sehari (Balitbangkes 2008). Kemenkes (2011) menganjurkan konsumsi sayur 2-3 porsi setiap hari, bahkan PUGS menganjurkan konsumsi sayur yang sedikit lebih banyak, yaitu 3-5 porsi setiap hari. Tabel 18 Sebaran responden berdasarkan kebiasaan makan sayur Kontrol Intervensi Total Kebiasaan makan n (%) n (%) n (%) Waktu makan sayur rumah tangga dan balita makan dalam jumlah banyak 2 (7.7) 7 (23.3) 9 (16.1) Makan pagi 18 (64.3) 14 (46.7) 32 (55.2) Makan siang 20 (71.4) 21 (70.0) 41 (70.7) Makan sore/malam Waktu makan sayur rumah tangga dan balita makan dalam jumlah sedikit 27 (90.0) 20 (66.7) 47 (78.3) Makan pagi 5 (19.2) 8 (27.6) 13 (23.6) Makan siang 6 (23.1) 8 (27.6) 14 (25.5) Makan sore/malam Ibu menyediakan camilan dari sayuran 11 (36.7) Ya 19 (63.3) Tidak
12 (40.0) 18 (60.0)
23 (38.3) 37 (61.7)
Berapa kali sebaiknya rumah tangga dan balita ibu mengonsumsi sayuran 0 (0.0) 1 (3.3) 1 (1.7) 1x/hari 11 (36.7) 12 (40.0) 23 (38.3) 2x/hari 19 (63.3) 17 (56.7) 36 (60.0) 3x/hari 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0) Tidak perlu setiap hari Tabel 18 menunjukkan lebih dari separuh responden kelompok kontrol mengonsumsi sayuran dalam jumlah yang banyak pada waktu makan siang (60.0%) dan makan sore/malam hari (66.7%). Sementara itu, sebagian besar (76.7%) responden di kelompok intervensi mengonsumsi sayuran dalam jumlah yang banyak pada waktu makan sore/malam dan kurang dari separuhnya (43.3%) pada waktu makan siang. Waktu makan pagi merupakan waktu makan sayuran dalam jumlah yang sedikit. Sebagian besar (90.0%) responden di kelompok kontrol dan lebih dari separuh (66.7%) responden di kelompok intervensi, memakan sayur dalam jumlah yang sedikit pada waktu makan pagi. Pada umumnya ibu memasak setelah sarapan dan rumah tangga responden banyak yang membeli sarapan berupa nasi uduk, dan gorengan sehingga konsumsi sayur pada waktu makan pagi lebih sedikit dibandingkan makan siang dan malam.
31 Lebih dari separuh responden di kedua kelompok tidak menyediakan camilan dari sayuran dengan alasan banyak biaya, tidak bisa membuatnya, bahannya sulit, malas, repot, tidak sempat/tidak ada waktu, lebih baik membeli daripada membuat sendiri. Camilan dari sayuran seperti combro isi sayuran, bakwan isi sayuran, nugget isi sayuran dan camilan lainnya, merupakan camilan sehat yang dapat dibuat oleh ibu dengan memanfaatkan sayuran yang ada di rumah dengan menambahkan sedikit bahan seperti singkong parut, tepung terigu, tepung beras atau bahan lainnya agar lebih menarik. Camilan yang dibuat di rumah lebih terjamin kebersihan dan keamanannya dibandingkan dengan jajanan di luar rumah yang banyak mengandung bahan tambahan pangan berbahaya. Jawaban responden cukup beragam ketika ditanya berapa kali sebaiknya rumah tangga dan balita mengonsumsi sayuran dalam sehari. Sebanyak 63.3% responden di kelompok kontrol menjawab 3 kali sehari dan sisanya (36.7%) menjawab 2 kali sehari. Sementara itu, responden di kelompok intervensi yang mengatakan konsumsi sayuran sebaiknya 3 kali sehari sebanyak 46.7%, 2 kali sehari sebanyak 36.7%, 1 kali sehari (3.3%) dan tidak perlu tiap hari sebanyak 6.7%. Kurangnya pemahaman responden mengenai PUGS terutama konsumsi sayur yang dianjurkan sebanyak 3-5 porsi mengakibatkan tidak ada satupun responden yang menjawab konsumsi sayur yang baik lebih dari 4 kali sehari. Responden merasa bahwa konsumsi sayur sebanyak 4 kali sehari terlalu banyak dan tidak mungkin dilakukan. Tabel 19 Sebaran responden berdasarkan konsumsi sayuran berwarna Frekuensi Kontrol Intervensi Total (per minggu) n (%) n (%) n (%) 1 kali 4 (13.3) 4 (13.3) 8 (13.3) 2 kali 3 (10.0) 1 (3.3) 4 (6.7) 3 kali 9 (30.0) 7 (23.3) 16 (26.7) 4 kali 2 (6.7) 8 (26.7) 10 (16.7) 5 kali 4 (13.3) 2 (6.7) 6 (10.0) 6 kali 1 (3.3) 0 (0.0) 1 (1.7) 7 kali 7 (23.3) 8 (26.7) 15 (25.0) Median (IQR) 3.0 (3.5) 4.0 (4.0) 4.0 (3.8) p value 0.629 Konsumsi sayuran berwarna di kedua kelompok cukup beragam. Kelompok kontrol paling banyak mengonsumsi sayuran berwarna 3 kali dan 7 kali per minggu. Sementara itu, kelompok intervensi 4 kali dan 7 kali per minggu. Rata-rata konsumsi sayuran berwarna di kedua kelompok sama yaitu 4 kali per minggu. Hasil uji beda Mann Whitney (p=0.629) menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok kontrol dengan kelompok intervensi. Konsumsi sayuran tidak hanya dilihat dari jumlah dan frekuensinya saja, akan tetapi juga dari kualitasnya. Sayuran berwarna mengandung lebih banyak fitokimia yang bermanfaat bagi tubuh dibandingkan sayuran tidak berwarna. Kandungan fitokimia yang terdapat dalam sayur dan buah dapat berfungsi sebagai antioksidan. Karotenoid, flavonoid, fitoestrogen, fenol, capsaisin, resveritrol, dan antosianin dapat menjadi prekursor vitamin A, menghambat proliferasi sel, membantu diferensiasi sel epitel normal, meningkatkan kerja vitamin C, menghambat penyumbatan darah, antiinflamatori,
32 menghambat pertumbuhan sel kanker, menurunkan tingkat kolesterol darah, dan mencegah zat karsinogenik berikatan dengan DNA. Kandungan fitokimia lainnya seperti sulfida dapat menstimulasi enzim anti kanker dan detoksifikasi karsinogenik. Isothiosianat dan fenol dapat meningkatkan aktifitas enzim detoksifikasi glutation tranferase (Van Duyn dan Pivonka 2000). Tabel 20 Sebaran responden berdasarkan frekuensi pembelian sayur Frekuensi Kontrol Intervensi Total (per minggu) n (%) n (%) n (%) 2 kali 1 (3.3) 0 (0.0) 1 (1.7) 3 kali 4 (13.3) 9 (30.0) 13 (21.7) 4 kali 8 (26.7) 5 (16.7) 13 (21.7) 5 kali 2 (6.7) 4 (13.3) 6 (10.0) 6 kali 1 (3.3) 2 (6.7) 3 (5.0) 7 kali 14 (46.7) 10 (33.3) 24 (40.0) Median (IQR) 5.5 (3.0) 5.0 (4.0) 5.0 (3.0) p value 0.346 Tabel 20 menunjukkan bahwa rata-rata frekuensi pembelian sayur kelompok kontrol dan intervensi hampir sama yaitu 5 kali per minggu. Hasil uji Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara pembelian sayur kedua kelompok tersebut. Lebih dari sepertiga responden di kedua kelompok membeli sayuran setiap hari. Terdapat kecenderungan pembelian sayur yang lebih sedikit pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol. Hal ini dapat dilihat dari proporsi responden yang membeli sayur 2-3 kali di kelompok intervensi lebih banyak dibandingkan di kelompok kontrol. Tabel 21 Sebaran responden berdasarkan tempat mendapatkan sayuran Tempat mendapatkan Kontrol Intervensi Total sayuran n (%) n (%) n (%) Warung dekat rumah Tukang sayur Kebun Pekarangan
30 (100.0) 15 (50.0) 10 (33.3) 3 (10.0)
27 (90.0) 20 (66.7) 12 (40.0) 27 (90.0)
57 (95.0) 35 (58.3) 22 (36.7) 30 (50.0)
Hampir seluruh responden di kedua kelompok mendapatkan sayuran dari warung yang terletak dekat rumah. Lebih dari separuhnya dari tukang sayur, dan sepertiga responden mendapatkan sayuran dari kebun. Sebagian besar responden di kelompok intervensi mendapatkan sayur dari pekarangannya sendiri dan hanya 10% responden di kelompok kontrol yang mendapatkan sayuran dari pekaranganya sendiri. Penurunan frekuensi pembelian sayur dan peningkatan pemanfaatan pekarangan dapat menjadi indikator yang positif untuk pengurangan pengeluaran pangan rumah tangga. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Arifin et al. (2012) yang menunjukkan bahwa pemanfaatan pekarangan sempit (<200 m2) dapat mengurangi pengeluaran pangan rumah tangga sampai 9.9%, dan dapat berkontribusi dalam menyediakan sumber vitamin A (12.4%) dan C (23.6%).
33 Data konsumsi sayur yang meliputi berat dan jumlah jenis sayur diperoleh menggunakan recall 2x24 jam. Konsumsi sayur dibagi menjadi dua yaitu konsumsi sayur buah dan sayur lainnya. Sayuran buah memberikan kontribusi produksi perkarangan yang cukup besar dibandingkan sayuran daun dan sayuran umbi. Ratarata konsumsi sayur total responden kelompok kontrol (58.5 g/kap/hari) dan kelompok intervensi (69.0 g/kap/hari) masih kurang dari 1 porsi sehari. Setelah dilakukan intervensi berupa penyuluhan gizi dan pemanfaatan pekarangan, konsumsi sayur mengalami sedikit peningkatan, akan tetapi tidak signifikan. Ratarata konsumsi sayur buah dan sayur lainnya dapat di lihat pada Tabel 22. Data pre menunjukkan rata-rata konsumsi sayur buah baru mencapai 29.5 g/kap/hari (kelompok kontrol) dan 29.4 g/kap/hari (kelompok intervensi). Intervensi yang dilakukan meningkatkan konsumsi sayur buah akan tetapi tidak signifikan. Sementara itu konsumsi sayur lainnya memiliki pola yang berbeda dengan sayur buah, dimana konsumsi sayur lainnya mengalami sedikit penurunan (p<0.1). Banyaknya jenis sayur yang dikonsumsi tidak mengalami perubahan yang bermakna baik sebelum maupun sesudah intervensi dilaksanakan. Konsumsi sayur di kedua kelompok masih berada di bawah rata-rata konsumsi sayur penduduk Indonesia (150.2 g/kap/hari). Kemenkes dalam PHBS nya merekomendasikan 2-3 porsi sayuran sehari atau sekitar 200-300 gram/orang/hari. Tabel 22 Rata-rata dan standar deviasi konsumsi sayur rumah tangga Konsumsi sayur Kontrol Konsumsi sayur buah (g/kap/hari) Pre 29.5 (40.3) Post 30.8 (34.5) Selisih 1.3 (50.0) p value 0.890 Konsumsi sayur lainnya (g/kap/hari) Pre 29.0 (24.7) Post 27.4 (36.2) Selisih -1.6 (42.1) p value 0.835 Jumlah jenis konsumsi sayur Pre 3.9 (2.2) Post 4.0 (3.0) Selisih 0.2 (3.3) p value 0.736
Intervensi
Total
p value
29.4 (26.7) 45.4 (46.0) 16.1 (51.8)
29.5 (34.0) 38.1 (40.9) 8.6 (51.0)
0.260
0.100
0.195
39.6 (35.3) 24.3 (26.5) -15.3 (42.9)
34.2 (30.5) 25.9 (31.6) -8.3 (42.7)
0.061
0.134
4.3 (2.6) 4.7 (2.9) 0.4 (3.2)
4.1 (2.4) 4.3 (2.9) 0.3 (3.2)
0.470
0.448
0.214
0.791
Luas pekarangan yang sangat sempit mengakibatkan produksi sayur dari pekarangan masih sangat sedikit (produktivitas=600 gram/bulan) sehingga belum dapat memberikan konstribusi yang nyata terhadap konsumsi sayur rumah tangga. Hasil korelasi Spearman juga menunjukkan banyaknya jumlah anggota rumah tangga berkorelasi negatif dengan konsumsi sayur (p<0.05) dan kuantitas sayur (berat) yang dikonsumsi berkorelasi positif dengan kualitas (jumlah jenis) sayur yang dikonsumsi (p<0.001 untuk sayur buah, dan p<0.01 untuk sayur lainnya). Diet tinggi sayur dan buah secara luas dianjurkan untuk meningkatkan kesehatan tubuh karena kandungan vitamin (terutama vitamin C dan A), mineral
34 (terutama elektrolit), dan fitokimia (terutama antioksidan). Selain itu, sayur dan buah juga merupakan sumber serat makanan yang baik (Slavin dan Llyod 2012). Kombinasi fitokimia yang sinergis dalam sayur dan buah merupakan komponen yang penting dalam pencegahan penyakit kronis. Konsumsi dalam bentuk makanan sebagai diet lebih disarankan dan lebih baik dibandingkan dengan suplementasi zat gizi tunggal (Liu 2003). Rata-rata jumlah jenis konsumsi sayur pada kelompok intervensi sedikit lebih tinggi yaitu 4.3 jenis dibandingkan dengan kelompok intervensi 3.9 jenis. Setelah intervensi dilakukan, terdapat peningkatan banyak jenis sayur yang dikonsumsi kelompok intervensi sebanyak 0.2 poin dan kontrol sebanyak 0.4 poin. Akan tetapi tidak ada perbedaan yang nyata antar kedua kelompok. Seluruh responden di kedua kelompok mencuci sayuran sebelum dimasak. Hal ini menunjukkan bahwa responden mengerti akan kebersihan dan keamanan pangan terutama sayuran. Pengolahan sayuran dilakukan dengan berbagai cara seperti dibuat sayur (kuah), tumis, kukus dan lalap (mentah). Seluruh responden di kelompok kontrol dan sebagian besar (93.3%) responden di kelompok intervensi menghidangkan sayuran untuk rumah tangga dalam bentuk sayur (kuah). Hampir seluruh (96.7%) responden di kelompok intervensi dan sebagian besar (80.0%) kelompok kontrol menghidangkan sayuran untuk rumah tangga dalam bentuk tumis. Sementara itu lebih dari separuh responden kelompok kontrol sering memasak sayur dalam bentuk tumis dan mentah. Kurang dari separuh responden kelompok intervensi yang mengukus sayur, dan hanya sedikit responden yang memakan sayuran dalam bentuk mentah. Tabel 23 Sebaran responden berdasarkan kebiasaan mencuci dan mengolah sayuran Kontrol Intervensi Total Kebiasaan makan n (%) n (%) n (%) Ibu mencuci sayuran sebelum dimasak Ya 30 (100.0) 30 (100.0) 60 (100.0) Tidak 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0) Pengolahan sayuran yang sering dimasak untuk rumah tangga Mentah 16 (53.3) 5 (16.7) Tumis 24 (80.0) 29 (96.7) Kukus 16 (53.3) 12 (40.0) Sayur (kuah) 30 (100.0) 28 (93.3)
21 (35.0) 53 (88.3) 28 (46.7) 58 (96.7)
Pengolahan sayuran yang sering dimasak untuk balita Mentah 5 (16.7) 0 (0.0) Tumis 22 (73.3) 20 (66.7) Kukus 10 (33.3) 6 (20.0) Sayur (kuah) 29 (96.7) 28 (93.3)
5 (8.3) 42 (70.0) 16 (26.7) 57 (95.0)
Pengolahan sayuran untuk balita sedikit berbeda dengan rumah tangga. Sebagian besar responden di kedua kelompok mengolah sayuran dalam bentuk kuah, dan lebih dari separuhnya ditumis. Sepertiga (33.3%) responden kelompok kontrol dan 20.0% kelompok intervensi mengukus sayuran untuk balitanya. Sebanyak 16.7% responden di kelompok kontrol menyajikan sayuran mentah untuk
35 balitanya, sementara itu tidak ada satupun responden di kelompok intervensi yang menyajikan sayuran mentah untuk balitanya. Pengolahan sayuran dapat meningkatkan atau menurunkan kandungan gizi ataupun non gizi sayuran tersebut. Slavin dan Llyod (2012) menyatakan bahwa pada umumnya pengolahan pangan meningkatkan kandungan serat terutama ketika kandungan airnya berkurang. Pemasakan, pembakaran atau perlakuan panas pada pengolahan pangan akan meningkatkan kandungan serat dengan cara mengeluarkan air, sehingga serat terkumpul atau terbentuknya reaksi Maillard yang tertangkap sebagai serat dalam metode gravimetri. Sementara itu, sayur dan buah yang dikupas dapat menurunkan kandungan seratnya. Anggur yang dimakan dengan kulitnya memiliki kandungan serat yang lebih banyak dibandingkan dengan anggur tanpa kulit (1.4 g vs 0.4 g per porsi). Sayuran sering kali dikonsumsi dalam bentuk olahan (bukan mentah) seperti direbus, ditumis, digoreng atau bentuk pengolahan lainnya. Jika kentang direbus menjadi pangan yang memiliki densitas gizi yang tinggi, dan jika digoreng maka akan menyumbang lemak dan natrium dalam diet. Ketersediaan zat gizi mikro yang terkandung dalam sayuran dapat dipengaruhi oleh penanganan, penyimpanan dan pengolahan sayuran. Sayuran yang direbus dapat meningkatkan bioavalibilitas besinya. Bioavalibilitas zat besi kol meningkat dari 5% menjadi 18% melalui pemasakan dan berkurang bioavalibilitasnya dari 18% menjadi 12% jika kol tersebut dimasak, setelah disimpan dalam kulkas selama 3 hari pada suhu 4°C (Tsou et al., 1995 diacu dalam Ali dan Tsou 1997). Bioavalibilitas zat besi pada tauge juga meningkat 9% menjadi 19.5% jika di masak, setelah tauge tersebut direndam dalam air selama 6 jam (AVRDC 1995). Provitamin A terdegradasi dengan adanya asam, panas, dan cahaya, dan bioavalibilitas zat gizi ini pada umumnya lebih baik pada sayuran segar dibandingkan pada produk olahannya (AVRDC 1987 diacu dalam Ali dan Tsou 1997). Tabel 24 menunjukkan sayuran yang disukai oleh anggota rumah tangga responden. Sebanyak 12.7% ayah kelompok kontrol dan 6.9% kelompok intervensi menyukai semua jenis sayuran. 5 jenis sayuran yang paling disukai ayah di kelompok kontrol adalah kangkung, sayur asam, sayur sop, bayam, dan buncis. Sementara itu, di kelompok intervensi sayuran yang disukai ayah adalah kangkung, sayur asam, bayam, sawi, daun singkong dan sayur sop. Sebanyak 14.5% ibu di kelompok kontrol dan 21.6% di kelompok intervensi menyukai semua jenis sayuran. 5 jenis sayuran yang paling banyak disukai ibu kelompok kontrol adalah kangkung, bayam, sayur asem, kacang panjang, sayur sop, dan daun singkong. Jenis sayuran yang disukai ibu kelompok intervensi adalah kangkung, sayur asem, bayam, dan sawi. Lebih dari 30% anak non balita di kedua kelompok menyukai semua jenis sayuran. Kangkung, sayur sop, bayam, tauge, sawi, dan wortel merupakan sayuran yang banyak disukai anak non balita di kelompok kontrol. Sementara itu, kangkung, bayam, sawi, sayur asam, dan wortel merupakan 5 jenis sayuran yang banyak disukai anak non balita di kelompok intervensi. Kangkung, bayam, sayur sop (wortel, kentang dan kol) , sayur asam (kacang panjang, labu siam, melinjo dan kacang merah), sawi, dan daun singkong merupakan sayuran yang selalu tersedia di warung atau tukang sayur terdekat dengan hanya yang terjangkau (Rp. 1 000 - 3 000 per ikat/bungkus). Sehingga dengan paparan yang sering dan kersediaan yang selalu ada dapat menyebabkan sayuran tersebut lebih disukai oleh responden dan rumah tangganya. Orangtua,
36 terutama ibu merupakan gatekeeper asupan gizi anak. Ibu biasa membeli, menyiapkan dan menyediakan makanan. Orangtua memiliki peranan yang penting dalam pembentukan kebiasaan makan dan preferensi anak-anak. Preferensi merupakan salah satu faktor sosio-psikologis yang menjadi determinan konsumsi sayur dan buah (Maclellan et al. 2004). Blanchette dan Brug (2005) menyatakan bahwa determinan utama konsumsi sayur dan buah anak usia 612 tahun adalah ketersediaan, akses dan preferensi rasa. Wild et al. (2013) menambahkan bahwa paparan intik sayuran yang lebih sering dapat meningkatkan preferensi sayuran, sehingga anak-anak menjadi lebih menyukai sayur. Selain itu, adanya berbagai pilihan sayuran untuk dimakan juga meningkatkan intik sayuran total anak 4-6 tahun (Dominguez et al. 2013). Tabel 24 Persentase responden berdasarkan sayuran yang disukai Ayah Ibu Anak non balita Sayuran Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kangkung 23.6 22.4 20.0 19.6 16.7 17.4 Buncis 7.3 1.7 5.5 0.0 0.0 2.2 Kacang 3.6 0.0 7.3 0.0 0.0 0.0 panjang Sayur sop 10.9 5.2 7.3 2.0 14.3 2.2 Sayur asem 10.9 17.2 9.1 17.6 0.0 8.7 Labu siam 0.0 0.0 3.6 0.0 0.0 0.0 Bayam 9.1 15.5 12.7 17.6 11.9 15.2 Sawi 1.8 8.6 3.6 5.9 4.8 10.9 Wortel 3.6 3.4 1.8 3.9 4.8 4.3 Daun 3.6 5.2 7.3 2.0 2.4 0.0 singkong Toge 1.8 1.7 1.8 0.0 4.8 2.2 Sayur lodeh 1.8 0.0 1.8 0.0 0.0 0.0 Katuk 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.2 Terong 0.0 3.4 0.0 3.9 0.0 2.2 Paria 1.8 3.4 3.6 3.9 0.0 0.0 Daun 1.8 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 pepaya Kacang1.8 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 kacangan Kentang 1.8 0.0 0.0 0.0 2.4 0.0 Ketimun 1.8 1.7 0.0 0.0 0.0 0.0 Suka semua 12.7 6.9 14.5 21.6 38.1 30.4 sayuran Leunca 0.0 0.0 0.0 2.0 0.0 0.0 Jamur 0.0 1.7 0.0 0.0 0.0 0.0 Jaat 0.0 1.7 0.0 0.0 0.0 0.0 Jengkol 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.2 Ruel et al. (2005) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi pola konsumsi sayur dan buah adalah pendapatan, harga, ketersediaan, preferensi, produksi di rumah sendiri, dan pengambilan keputusan di dalam rumah tangga.
37 Seiring dengan peningkatan pendapatan maka konsumsi sayur dan buah juga meningkat. Sementara itu dengan adanya kenaikan harga dan rendahnya ketersediaan akan membatasi konsumsi sayur dan buah. Variasi yang tinggi pada konsumsi per kapita antar rumah tangga, walaupun dengan pendapatan dan harga yang konstan, mengindikasikan bahwa preferensi konsumen mempunyai peranan yang penting. Preferensi sangat universal, tergantung budaya, spesifik per rumah tangga atau bahkan spesifik per individu. Pola asuh makan merupakan faktor utama dari pengenalan lingkungan makanan dan mempengaruhi preferensi makanan anak dan asupan energinya. Tabel 25 Persentase responden berdasarkan sayuran yang tidak disukai Sayuran Kangkung Buncis Kacang panjang Sayur sop Sayur asem Bayam Sawi Wortel Daun singkong Toge Sayur lodeh Terong Paria Daun pepaya Kacangkacangan Kentang Ketimun Kol Tidak suka semua sayuran
Ayah Ibu Anak non balita Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi Kontrol Intervensi 10.5 0.0 0.0 0.0 2.9 0.0 0.0 5.7 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
0.0
0.0
0.0
2.9
0.0
5.3 7.9 10.5 10.5 7.9
5.7 5.7 0.0 5.7 0.0
0.0 0.0 3.1 3.1 0.0
0.0 3.4 0.0 6.9 0.0
2.9 2.9 2.9 5.9 2.9
3.4 0.0 0.0 3.4 0.0
2.6
2.9
3.1
0.0
0.0
0.0
0.0 0.0 7.9 0.0 0.0
2.9 2.9 17.1 8.6 0.0
0.0 0.0 12.5 3.1 0.0
0.0 0.0 0.0 0.0 3.4
0.0 0.0 5.9 2.9 0.0
0.0 0.0 6.9 3.4 3.4
0.0
0.0
0.0
0.0
2.9
0.0
2.6 0.0 2.6
0.0 2.9 0.0
0.0 0.0 3.1
0.0 3.4 0.0
0.0 0.0 0.0
0.0 0.0 0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
5.9
0.0
Tidak ada satupun ayah dan ibu di kelompok kontrol dan intervensi yang tidak menyukai semua jenis sayuran. Hanya 5.9% anak non balita kelompok kontrol yang tidak menyukai semua jenis sayuran, dan tidak ada satupun anak non balita kelompok intervensi yang tidak menyukasi semua jenis sayuran. Sayuran yang banyak tidak disukai ayah di kelompok kontrol adalah kangkung, bayam, sawi, sayur asam, dan sayur sop, sementara itu ayah di kelompok intervensi tidak menyukai terong, paria, buncis, sayur sop, dan sayur asam. Ibu relatif menyukasi semua jenis sayuran, di kelompok kontrol sayuran yang paling tidak disukai ibu adalah terong dan di kelompok intervensi adalah sawi. Anak non balita juga lebih sedikit yang tidak menyukai sayuran dibandingkan dengan para ayah di kedua
38 kelompok. Terong merupakan sayuran yang paling tidak disukai anak non balita kedua kelompok. Data selengkapnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Konsumsi zat gizi diperoleh dari konversi konsumsi pangan rumah tangga yang dikumpulkan dengan metode recall 2x24 jam. Recall konsumsi pangan mencakup jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Selanjutnya konsumsi pangan tersebut dikonversi ke dalam zat gizi dengan menggunakan DKBM. Agudo (2005) menyatakan bahwa recall menggambarkan konsumsi pada periode waktu yang pendek yang berdekatan dengan waktu wawancara. Oleh karena itu, metode recall ini cocok digunakan untuk menilai perbedaan rata-rata intik sayur dan buah, dengan asumsi sampel populasi yang representatif dan survei recall 24 jam terdistribusi dengan baik antar musim maupun antar hari kerja atau hari libur. Secara umum, sebagian besar rumah tangga di kedua kelompok memiliki tingkat kecukupan zat gizi per kapita di bawah 77% AKE pada data awal. Setelah intervensi diberikan, tingkat kecukupan zat gizi di kedua kelompok mengalami sedikit peningkatan walaupun hasil uji beda Mann Whitney menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar kedua kelompok, kecuali konsumsi dan tingkat kecukupan kalsium. Responden di kelompok kontrol memiliki rata-rata konsumsi dan tingkat kecukupan kalsium yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok intervensi. Hal tersebut dapat terjadi karena pendapatan rumah tangga responden di kelompok kontrol lebih tinggi dibandingkan kelompok intervensi, sehingga mampu membeli pangan sumber kalsium. Kamphuis et al. (2006) menyatakan bahwa ketersediaan pangan yang beragam sepanjang waktu dalam jumlah yang cukup di tingkat rumah tangga dapat dipengaruhi oleh pendapatan. Tabel 26 menunjukkan median dan IQR konsumsi pangan perkapita. Sebelum intervensi penyuluhan gizi dan pemanfaatan pekarangan dilakukan, median konsumsi energi dan protein kelompok kontrol sebesar 920 kkal dan 21.1 g, kelompok intervensi 1 259 kkal dan 29 g. Setelah dilakukan intervensi, konsumsi energi dan protein meningkat di kedua kelompok (peningkatan kelompok kontrol=409 kkal; 10 g dan kelompok intervensi=154 kkal; 5 g). Meskipun demikian, hasil uji beda menunjukkan tidak ada perbedaan nyata antara konsumsi energi dan protein pada kedua kelompok tersebut. Peningkatan ini terjadi terutama pada konsumsi beras. Beras merupakan sumber energi dan protein nabati yang cukup penting bagi rumah tangga responden, karena sumbangan konsumsi beras terhadap energi mencapai 56.1% dan terhadap protein sebesar 35.6%. Data akhir menunjukkan terjadinya peningkatan konsumsi dan tingkat kecukupan vitamin A pada kedua kelompok. Pada kelompok intervensi, tingkat kecukupan vitamin A >77% mengalami peningkatan sebanyak 20%. akan tetapi setelah diuji secara statistik, hasilnya menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antar kelompok intervensi dengan kelompok kontrol. Tingkat kecukupan vitamin A dapat menjadi perkiraan konsumsi sayur yang baik. Agudo (2005) menyatakan bahwa pengukuran komponen makanan melalui cairan tubuh dan jaringan dapat digunakan sebagai biomarker konsumsi. Biomarker yang baik untuk intik sayur dan buah adalah pengukuran plasma karotenoid. Pada umumnya karotenoid yang diukur adalah komponen provitamin A seperti αcarotene, ß-carotene, ß-cryptoxanthin lycopene, lutein dan zeaxanthin (ACAORN 2010). Pada penelitian ini tidak dilakukan pemeriksaan cairan tubuh (darah) ataupun jaringan. Oleh karena itu, pendekatan peningkatan konsumsi sayur dilihat
39 dari peningkatan konsumsi vitamin A. Sayuran memberikan kontribusi sebesar 48% terhadap total konsumsi vitamin A dan 91% vitamin C pada rumah tangga responden. Tabel 26 Median (IQR) konsumsi rumah tangga (per kapita per hari) Median (IQR) konsumsi Zat gizi Kontrol Intervensi Total Energi (kkal) Pre 920.0 (475.5) 1 259.6 (551.6) 1 059.9 (531.4) Post 1 255.0 (447.7) 1 270.6 (695.0) 1 270.6 (502.0) Selisih 409.1 (493.5) 153.5 (742.7) 269.5 (622.0) p value 0.553 Protein (g) Pre 21.1 (12.3) 28.9 (19.3) 26.4 (16.4) Post 32.9 (13.6) 35.9 (13.9) 34.5 (12.7) Selisih 10.3 (10.6) 4.9 (23.1) 9.1 (14.7) p value 0.214 Kalsium (mg) Pre 129.4 (104.9) 190.7 (164.4) 142.2 (155.0) Post 221.2 (187.5) 180.8 (154.7) 198.7 (160.9) Selisih 73.9 (177.4) 2.6 (185.2) 49.9 (189.5) p value 0.031 Fosfor (mg) Pre 300.9 (267.7) 502.8 (324.6) 376.2 (332.6) Post 518.7 (169.5) 692.5 (272.8) 588.1 (265.0) Selisih 195.9 (219.2) 149.7 (306.3) 173.7 (264.5) p value 0.416 Besi (mg) Pre 6.2 (3.4) 7.7 (5.3) 6.8 (5.1) Post 8.5 (5.1) 9.7 (6.2) 9.2 (5.6) Selisih 2.3 (4.8) 0.7 (9.2) 1.9 (6.7) p value 0.533 Vitamin A (RE) Pre 120.4 (187.2) 146.7 (240.4) 130.9 (213.9) Post 213.6 (274.6) 341.7 (368.3) 251.8 (309.6) Selisih 66.2 (286.4) 103.9 (325.9) 78.2 (295.2) p value 0.344 Vitamin B (mg) Pre 0.5 (0.3) 0.6 (0.9) 0.6 (0.6) Post 0.9 (0.8) 1.0 (0.9) 0.9 (0.9) Selisih 0.3 (0.9) 0.4 (1.3) 0.3 (1.1) p value 0.777 Vitamin C (mg) Pre 8.8 (13.3) 13.4 (24.3) 10.3 (16.7) Post 12.3 (16.6) 18.8 (24.6) 13.8 (18.8) Selisih 3.1 (22.7) 2.5 (20.1) 2.9 (21.8) p value 0.544
40 Pemberian intervensi berupa pemanfaatan tanaman pekarangan dan penyuluhan gizi belum mampu meningkatkan konsumsi sayur responden. Meskipun, pemanfaatan pekarangan dengan budidaya sayuran dapat mengurangi rata-rata belanja sayuran Rp 9 800 per minggu, akan tetapi sayuran yang diproduksi masih sedikit dan waktu panen belum berkesinambungan. Sehingga konsumsi sayuran dari pekarangan belum optimal. Peningkatan pengetahuan mengenai gizi dan kesehatan responden, juga belum dapat mengubah perilaku konsumsi sayuran responden dan rumah tangganya. Tabel 27 Sebaran rumah tangga responden berdasarkan tingkat kecukupan zat gizi (%) Tingkat Kecukupan Energi Pre Post Protein Pre Post Kalsium Pre Post Fosfor Pre Post Besi Pre Post Vitamin A Pre Post Vitamin B Pre Post Vitamin C Pre Post
Kontrol ≤ 77 >77
Intervensi ≤ 77 >77
Total ≤ 77
>77
27 (87.1) 19 (63.3)
4 (12.9) 11 (36.7)
20 (66.7) 18 (62.1)
10 (33.3) 11 (37.9)
47 (77.0) 37 (62.7)
14 (23.0) 22 (37.3)
26 (83.9) 17 (58.6)
5 (16.1) 12 (41.4)
18 (60.0) 16 (53.3)
12 (40.0) 14 (46.7)
44 (72.1) 33 (55.9)
17 (27.9) 26 (44.1)
29 (96.7) 28 (93.3)
1 (3.3) 2 (6.7)
29 (96.7) 28 (93.3)
1 (3.3) 2 (6.7)
58 (96.7) 56 (93.3)
2 (3.3) 4 (6.7)
21 (67.7) 9 (30.0)
10 (32.3) 21 (70.0)
12 (40.0) 4 (13.3)
18 (60.0) 26 (86.7)
33 (54.1) 13 (21.7)
28 (45.9) 47 (78.3)
29 (93.5) 20 (66.7)
2 (6.5) 10 (33.3)
24 (80.0) 19 (65.5)
6 (20.0) 10 (34.5)
53 (86.9) 39 (66.1)
8 (13.1) 20 (33.9)
28 (90.3) 23 (79.3)
3 (9.7) 6 (20.7)
26 (86.7) 20 (66.7)
4 (13.3) 10 (33.3)
54 (88.5) 43 (72.9)
7 (11.5) 16 (27.1)
25 (80.6) 11 (37.9 )
6 (19.4) 18 (62.1)
17 (56.7) 10 (33.3)
13 (43.3) 20 (66.7)
42 (68.9) 21 (35.6)
19 (31.1) 38 (64.4)
30 (100.0) 28 (93.3)
0 (0.0) 2 (6.7)
29 (96.7) 30 (100.0)
1 (3.3) 0 (0.0)
59 (98.3) 58 (96.7)
1 (1.7) 2 (3.3)
Peningkatan tingkat kecukupan zat gizi di kedua kelompok dapat diakibatkan oleh adanya variasi konsumsi yang dilakukan oleh responden. Sehingga pada saat pengambilan data recall hari pertama dan kedua kurang dapat menggambarkan perkiraan intik yang biasa dimakan, selain itu ACAORN (2010) menyatakan bahwa persepsi dan konseptualisasi mengenai ukuran porsi makanan, dapat menjadi bias recall 24 jam. Pada orang dewasa bias recall cenderung underestimate intik sebesar 10% dibandingkan dengan intik yang diamati atau melalui pengamatan.
41 Tabel 28 Median (IQR) tingkat kecukupan zat gizi rumah tangga (%) Median (IQR) tingkat Kecukupan gizi (%) Zat Gizi Kontrol Intervensi Total Energi Pre 51.6 (25.2) 69.5 (28.8) 58.6 (28.1) Post 69.1 (29.8) 72.9 (42.3) 71.2 (32.6) Selisih -20.8 (27.0) -7.7 (44.2) -11.4 (36.2) p value 0.621 Protein Pre Post Selisih p value
47.0 (33.4) 72.2 (34.6) -21.0 (25.0)
Kalsium Pre Post Selisih p value
16.2 (14.5) 29.3 (25.1) -10.3 (23.6)
Fosfor Pre Post Selisih p value
49.5 (60.6) 90.2 (48.3) -31.6 (40.9)
Besi Pre Post Selisih p value
39.7 (21.7) 57.8 (36.7) -13.0 (32.9)
Vitamin A Pre Post Selisih p value
24.1 (35.7) 41.2 (54.9) -12.7 (56.1)
Vitamin B Pre Post Selisih p value
52.5 (36.2) 91.7 (89.8) -35.4 (99.0)
Vitamin C Pre Post Selisih p value
13.8 (18.0) 17.0 (24.8) -4.3 (32.7)
65.9 (40.2) 76.0 (28.7) -5.3 (47.0)
55.9 (40.7) 74.8 (29.2) -16.6 (34.1)
27.8 (24.2) 26.4 (22.3) 0.5 (27.8)
20.8 (22.4) 27.0 (24.1) -6.4 (26.5)
85.3 (55.1) 121.8 (51.7) -21.2 (68.9)
70.8 (66.1) 101.1 (50.7) -29.4 (55.6)
54.3 (34.5) 65.1 (46.4) 2.2 (59.6)
48.0 (33.6) 60.8 (41.0) -11.0 (47.5)
29.5 (47.3) 65.1 (72.5) -16.1 (64.8)
26.0 (41.2) 48.1 (61.5) -14.7 (59.0)
67.4 (96.3) 102.5 (102.5) -37.8 (144.8)
62.8 (67.9) 93.7 (97.4) -35.4 (117.9)
21.4 (37.7) 29.8 (32.7) -2.0 (28.5)
15.1 (27.4) 20.5 (25.9) -3.6 (31.2)
0.220
0.035
0.584
0.582
0.337
0.798
0.451
42 Kebiasaan Makan dan Asupan Zat Gizi Balita Lebih dari separuh balita di kelompok kontrol berjenis kelamin laki-laki, sedangkan di kelompok intervensi jumlah balita laki-laki sama banyak dengan balita perempuan. Sebagian besar balita di kelompok kontrol dan intervensi berada di rentang usia 12-36 bulan dengan rata-rata 18.5 bulan pada kelompok kontrol dan 19.4 bulan pada kelompok intervensi. Pada usia 12 bulan anak sudah mulai diperkenalkan pada makanan rumah tangga atau makanan padat, serta makanan yang bisa dipegang seperti biskuit, cookies, potongan sayuran rebus, buah, dan lainlain, sehingga ketika balita sudah berusia 24 bulan dapat memakan makanan rumah tangga. Tabel 29 Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin dan usia Kontrol Intervensi Total Karakteristik n (%) n (%) n (%) Jenis kelamin Laki-laki 20 (64.5) 15 (50.0) 35 (57.4) Perempuan 11 (35.5) 15 (50.0) 26 (42.6) Usia <12 bulan 12 – 36 bulan >36 bulan Rata-rata±sd
9 (29.0) 22 (72.0) 0 (0.0) 18.5 ± 9.6
6 (20.0) 23 (76.7) 1 (3.3) 19.4 ± 10.1
15 (24.6) 45 (73.8) 1 (1.6) 18.9 ± 9.8
Lingkungan rumah yang diciptakan orangtua (yang berhubungan dengan makanan) membentuk preferensi pangan anak dan pola penerimaan makanan, selain itu, ketersediaan dan paparan terhadap pangan tertentu akan mempengaruhi pemilihan dan asupan pangan anak (Scaglioni et al. 2011; Patrick & Nicklas 2005). Orangtua, terutama ibu, merupakan gatekeepers konsumsi rumah tangga terutama anak-anaknya. Ibu biasanya membeli, menyediakan, dan menyajikan makanan di rumah. Oleh karena itu, ibu mempunyai peran yang penting dalam pembentukan kebiasaan makan anak.
Tabel 30 Sebaran responden berdasarkan kebiasaan mencuci tangan Kebiasaan Kontrol Intervensi Total mencuci n (%) n (%) n (%) tangan Ibu selalu mencuci tangan ketika hendak menyuapi anak makan Ya 30 (100.0) 28 (93.3) 58 (96.7) Tidak 0 (0.0) 2 (6.7) 2 (3.3) Anak mencuci tangan sebelum makan Ya 28 (93.3) Tidak 2 (6.7) NA 0 (0.0)
25 (83.3) 4 (13.3) 1 (3.3)
53 (88.3) 6 (10.0) 1 (1.7)
Kebiasaan mencuci tangan sebelum melakukan aktivitas yang berhubungan dengan makanan merupakan awal dari kebiasaan yang baik. Mencuci tangan
43 sebelum makan dan menyuapi anak merupakan salah satu pencegahan berpindahnya kuman dan bakteri dari tangan ke mulut. Hampir semua responden di kedua kelompok mencuci tangan sebelum menyuapi anaknya, dan sebagian besar balita ikut mencuci tangannya sebelum makan. Tabel 31 Sebaran balita berdasarkan konsumsi lauk pauk yang disukai balita Kontrol Intervensi Total Lauk pauk n (%) n (%) n (%) 11 (16.7) 12 (18.5) 23 (17.6) Telur 11 (16.7) 8 (12.3) 19 (14.5) Daging ayam 8 (12.1) 6 (9.2) 14 (10.7) Tongkol 13 (19.7) 13 (20.0) 26 (19.8) Tempe 12 (18.2) 11 (16.9) 23 (17.6) Tahu 6 (9.1) 6 (9.2) 12 (9.2) Ikan asin/rebon 4 (6.1) 9 (13.8) 13 (9.9) Ikan mas/segar 1 (1.5) 0 (0.0) 1 (0.8) Semua suka Berdasarkan Tabel 31 dapat diketahui bahwa lauk pauk yang disukai balita cukup beragam. 4 jenis lauk-pauk yang paling disukai balita di kedua kelompok adalah tempe, tahu, telur, daging ayam. Ikan asin merupakan lauk yang paling banyak tidak disukai balita kelompok kontrol dan intervensi. Separuh balita di kelompok kontrol dan lebih dari sepertiga di kelompok internensi menyukai semua jenis lauk-pauk. Peningkatan usia balita dan perkembangan gigi geligi dan organ pencernaan yang semakin sempurna menyebabkan balita mampu memakan semua jenis makanan seperti orang dewasa. Sehingga balita lebih banyak mencoba dan mengenal rasa berbagai lauk-pauk dibandingkan 1 tahun sebelum pelaksanaan program. Tabel 32 Sebaran balita berdasarkan konsumsi lauk pauk yang tidak disukai balita Lauk pauk Telur Daging ayam Tongkol Tempe Tahu Ikan asin/rebon Ikan mas/segar Semua suka Daging sapi dan kambing
Kontrol n (%) 2 (6.3) 1 (3.1) 2 (6.3) 0 (0.0) 1 (3.1) 8 (25.0) 2 (6.3) 16 (50.0)
Intervensi n (%) 1 (2.8) 2 (5.6) 1 (2.8) 1 (2.8) 4 (11.1) 8 (22.2) 2 (5.6) 14 (38.9)
Total n (%) 3 (4.4) 3 (4.4) 3 (4.4) 1 (1.5) 5 (7.4) 16 (23.5) 4 (5.9) 30 (44.1)
0 (0.0)
3 (8.3)
3 (4.4)
Pola asuh makan merupakan faktor utama dari pengenalan lingkungan makanan dan mempengaruhi preferensi makanan anak dan asupan energinya. Birch dan Fisher (1998) menyatakan bahwa hanya sedikit pilihan makanan yang diperkenalkan orangtua, kebanyakan diketahui melalui pengalaman makan dan
44 berhubungan dengan kemampuan mengunyah makanan dan lingkungan makan terutama konteks sosial dan psikologis. Tabel 33 Sebaran balita berdasarkan kebiasaan jajan Kontrol n (%)
Intervensi n (%)
Total n (%)
29 (96.7) 1 (3.3)
30 (100.0) 0 (0.0)
59 (98.3) 1 (1.7)
Anak sering mengonsumsi makanan dengan warna mencolok Ya 15 (50.0) 13 (43.3) Tidak 15 (50.0) 17 (56.7)
28 (46.7) 32 (53.3)
Kebiasaan makan Anak balita suka jajan Ya Tidak
Kebiasaan jajan merupakan kebiasaan yang sulit dihindari, terutama jika banyak jenis jajanan tersedia di sekitar rumah. Sebagian besar balita di kedua kelompok memiliki kebiasaan jajan. Makanan jajanan yang berwarna mencolok lebih menarik perhatian dan cenderung disukai oleh anak-anak dibandingkan dengan makanan yang berwarna tidak mencolok. Kebiasaan anak mengonsumsi makanan berwarna mencolok di kelompok kontrol lebih tinggi 7% dibandingkan kelompok intervensi. Makanan yang berwarna mencolok umumnya menggunakan zat pewarna berbahaya seperti pewarna tekstil pada proses pembuatannya sehingga dapat memberikan efek negatif serta membahayakan tubuh apabila dikonsumsi baik dalam jangka pendek atau pun jangka panjang. Tabel 34 Sebaran balita berdasarkan makanan jajanan yang disukai Makanan jajanan Kontrol n (%) Intervensi n (%) Total n (%) kesukaan Makanan pedas 1 (3.2) 1 (3.0) 2 (3.1) Agar-agar 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6) Biskuit 2 (6.5) 2 (6.1) 4 (6.3) Bakso 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6) Chiki 4 (12.9) 2 (6.1) 6 (9.4) Buras 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6) Permen 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6) Makanan manis 0 (0.0) 2 (6.1) 2 (3.1) Roti 4 (12.9) 2 (6.1) 6 (9.4) Sosis 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6) Kerupuk 1 (3.2) 3 (9.1) 4 (6.3) Wafer 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0) Sukro 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0) Minuman 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0) Suka semua 14 (45.2) 21 (63.6) 35 (54.7) Chiki, roti dan biskuit merupakan 3 jenis makanan jajanan yang banyak disukai balita kelompok kontrol dan intervensi. Setelah intervensi dilaksanakan (1 tahun), kebiasaan jajan anak dan konsumsi makanan berwarna mencolok
45 mengalami peningkatan, selain itu, jenis makanan jajanan yang disukai anak juga semakin beragam. Sebanyak 45.2% balita kelompok kontrol dan 63.6% balita kelompok intervensi menyukai semua jenis makanan jajanan. Mengubah kebiasaan anak-anak tidaklah mudah dan memerlukan upaya ibu yang lebih optimal, berkesinambungan dan konsisten untuk mengurangi kebiasaan jajan anak yang tidak sehat. Patrick dan Nicklas (2005) menyatakan bahwa faktor lingkungan seperti lingkungan rumah tangga, preferensi anggota rumah tangga, kemampuan daya beli, ketersediaan dan akses pangan mempengaruhi konsumsi dan asupan zat gizi. Orangtua memiliki peran langsung dalam membentuk pola makan anak melalui perilaku, sikap dan pola pemberian makan. Data awal menunjukkan bahwa biskuit dan permen merupakan makanan jajanan yang tidak disukai oleh banyak balita di kedua kelompok. Setelah 1 tahun intervensi dilaksanakan, makanan jajanan yang tidak disukai oleh banyak balita di kedua kelompok adalah gorengan, chiki dan biskuit. Biskuit merupakan makanan yang memiliki kandungan gizi yang baik dibandingkan dengan chiki dan gorengan. Biskuit dapat menjadi alternatif makanan jajanan yang sehat bagi anak. Tabel 35 Sebaran balita berdasarkan makanan jajanan yang tidak disukai Kontrol Intervensi Total Makanan jajanan n (%) n (%) n (%) Agar-agar 5 (7.7) 3 (4.3) 8 (6.0) Gorengan 11 (16.9) 15 (21.7) 26 (19.4) Baslok 0 (0.0) 3 (4.3) 3 (2.2) Biskuit 9 (13.8) 14 (20.3) 23 (17.2) Wafer 2 (3.1) 2 (2.9) 4 (3.0) Chiki 11 (16.9) 6 (8.7) 17 (12.7) Kacang sukro 1 (1.5) 1 (1.4) 2 (1.5) Pilus 2 (3.1) 4 (5.8) 6 (4.5) Permen 6 (9.2) 4 (5.8) 10 (7.5) Coklat 4 (6.2) 1 (1.4) 5 (3.7) Roti 4 (6.2) 5 (7.2) 9 (6.7) Sosis 4 (6.2) 3 (4.3) 7 (5.2) Minuman 4 (6.2) 3 (4.3) 7 (5.2) Kerupuk 1 (1.5) 5 (7.2) 6 (4.5) Konsumsi sayuran dan buah yang tinggi akan kandungan vitamin, mineral dan serat, memiliki dampak kesehatan yang baik bagi tubuh. Diet tinggi sayur dan buah secara luas dianjurkan untuk meningkatkan kesehatan tubuh karena kandungan vitamin, terutama vitamin C dan A, mineral terutama elektrolit, dan fitokimia, terutama antioksidan. Selain itu, sayur dan buah juga merupakan sumber serat makanan yang baik (Slavin dan Llyod 2012). Kebiasaan mengonsumsi sayur dan buah perlu dibiasakan sejak dini agar anak terbiasa mengonsumsi sayur dan buah pada saat dewasa.
46
Tabel 36 Sebaran balita berdasarkan kebiasaan mengonsumsi sayur dan buah Kontrol n (%) Intervensi n (%) Kebiasaan makan Pre Post Pre Post Anak balita dibiasakan sejak dini mengonsumsi buah 28 (90.3) 30 (100.0) 24 (80.0) 28 (93.3) Ya 0 (0.0) 0 (0.0) 2 (6.7) 2 (6.7) Tidak 3 (9.7) 0 (0.0) 4 (13.3) 0 (0.0) NA Anak balita dibiasakan sejak dini mengonsumsi sayuran 25 (83.3) 28 (93.3) 24 (80.0) 30 (100.0) Ya 0 (0.0) 2 (6.7) 0 (0.0) 0 (0.0) Tidak 5 (16.7) 0 (0.0) 6 (20.0) 0 (0.0) NA
Total n (%) Pre Post 52 (85.2)
58 (96.7)
2 (3.3) 7 (11.5)
2 (3.3) 0 (0.0)
49 (81.7) 0 (0.0) 11 (18.3)
58 (96.7) 2 (3.3) 0 (0.0)
Sebagian besar balita di kedua kelompok telah dibiasakan mengonsumsi sayur dan buah sejak dini. Buah yang banyak disukai balita kelompok kontrol adalah jeruk, pisang, dan rambutan dan yang disukai balita kelompok intervensi adalah jeruk, dukuh, apel dan rambutan. Buah yang disukai ini tidak banyak berubah setelah 1 tahun intervensi dilaksanakan. Tabel 37 Sebaran balita berdasarkan buah yang disukai Buah Kontrol n (%) Intervensi n (%) Total n (%) Jeruk 15 (22.4) 16 (25.4) 31 (23.8) Apel 6 (9.0) 4 (6.3) 10 (7.7) Pisang 6 (9.0) 6 (9.5) 12 (9.2) Rambutan 14 (20.9) 10 (15.9) 24 (18.5) Salak 1 (1.5) 1 (1.6) 2 (1.5) Manggis 2 (3.0) 2 (3.2) 4 (3.1) Semangka 6 (9.0) 3 (4.8) 9 (6.9) Pepaya 2 (3.0) 2 (3.2) 4 (3.1) Melon 0 (0.0) 3 (4.8) 3 (2.3) Alpukat 1 (1.5) 0 (0.0) 1 (0.8) Kelengkeng 5 (7.5) 3 (4.8) 8 (6.2) Mangga 4 (6.0) 2 (3.2) 6 (4.6) Dukuh 0 (0.0) 9 (14.3) 9 (6.9) Pir 3 (4.5) 1 (1.6) 4 (3.1) Jambu biji 1 (1.5) 0 (0.0) 1 (0.8) Suka semua 1 (1.5) 1 (1.6) 2 (1.5) Orangtua yang peduli pada kesehatan dan asupan makanan anaknya dapat mengubah kebiasaan makannya ketika anaknya ada di sekitar mereka (Maclellan et al. 2004). Pengalaman terhadap makanan tertentu pada awal kehidupan merupakan faktor yang kuat dalam membentuk kebiasaan konsumsi sayur dan buah, partisipasi dalam aktifitas rumah tangga yang melibatkan sayur dan buah dengan suasana yang menyenangkan seperti menyiapkan sayur dan buah bersama, ingatan yang baik mengenai rasa sayur dan buah merupakan beberapa alasan orang menyukai sayur dan buah pada masa dewasanya (Devine et al. 1998).
47 Tabel 38 Sebaran balita berdasarkan buah yang tidak disukai Buah Kontrol n (%) Intervensi n (%) Total n (%) Jeruk 0 (0.0) 1 (3.2) 1 (1.6) Apel 2 (6.5) 1 (3.2) 3 (4.8) Pisang 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6) Rambutan 0 (0.0) 1 (3.2) 1 (1.6) Salak 0 (0.0) 2 (6.5) 2 (3.2) Anggur 1 (3.2) 1 (3.2) 2 (3.2) Semangka 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6) Kedongkong 2 (6.5) 0 (0.0) 2 (3.2) Melon 4 (12.9) 0 (0.0) 4 (6.5) Alpukat 0 (0.0) 1 (3.2) 1 (1.6) Kelengkeng 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6) Mangga 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6) Dukuh 0 (0.0) 1 (3.2) 1 (1.6) Pir 1 (3.2) 0 (0.0) 1 (1.6) Jambu biji 0 (0.0) 1 (3.2) 1 (1.6) Suka semua 15 (48.4) 21 (67.7) 36 (58.1) Durian 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0) Manggis 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0) Lainnya 2 (6.5) 1 (3.2) 3 (4.8) Buah yang tidak disukai oleh balita kelompok kontrol adalah pisang, rambutan, melon, dukuh, dan manggis. Sementara itu, buah yang tidak disukai balita di kelompok intervensi adalah rambutan dan durian. Seiring dengan bertambahnya usia, pengenalan terhadap berbagai macam buah semakin beragam sehingga 49.4% balita kelompok kontrol dan 67.7% intervensi menyukai semua jenis buah. Tabel 39 Rata-rata dan standar deviasi konsumsi sayur dan jumlah jenis konsumsi sayur Konsumsi sayur
Kontrol
Berat konsumsi sayur buah 2.1 (5.3) Pre 10.4 (22.8) Post 8.3 (22.9) Selisih 0.054 p value Berat konsumsi sayur lainnya Pre 16.9 (21.0) 9.8 (17.4) Post Selisih -7.1 (19.4) p value 0.049 Jumlah jenis konsumsi sayur Pre 3.7 (2.4) Post 4.2 (3.1) Selisih 0.7 (2.7) p value 0.167
Intervensi
Total
1.6 (5.7) 13.5 (27.5) 11.9 (28.7) 0.030
1.8 (5.5) 11.9 (25.1) 10.1 (25.8) 0.003
9.6 (15.9) 16.4 (22.0) 6.8 (25.8) 0.159
13.3 (18.8) 13.1 (19.9) -0.3 (23.6) 0.928
4.3 (2.6) 4.7 (2.9) 0.4 (3.2) 0.470
4.0 (2.5) 4.5 (3.0) 0.6 (3.0) 0.144
p value
0.582
0.020
0.731
48 Tabel 39. menunjukkan bahwa konsumsi sayur kedua kelompok masih sanngat rendah atau kurang dari 1 porsi per hari. Rata-rata konsumsi sayur total balita kelompok kontrol adalah 25.6 g dan kelompok intervensi sebesar 18.7 g. Konsumsi sayur balita memiliki keragaman data yang cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari standar deviasi yang lebih tinggi dibandingkan nilai rata-ratanya. Data akhir menunjukkan bahwa konsumsi sayur buah mengalami peningkatan di kedua kelompok (p<0.05) dibandingkan dengan data awal. Peningkatan kelompok intervensi sedikit lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, akan tetapi tidak berbeda nyata. Konsumsi sayur lainnya memiliki pola yang berbeda dengan konsumsi sayur buah pada balita. Data awal menunjukkan rata-rata konsumsi sayur lainnya yang lebih tinggi pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok intervensi. Sementara itu, data akhir menunjukkan terjadinya penurunan konsumsi sayur lainya yang signifikan pada kelompok kontrol dan terjadi sedikit peningkatan yang tidak signifikan pada kelompok intervensi. Hasil uji beda menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara konsumsi sayur lainnya kelompok komtrol dengan intervensi (p<0.01). Rata-rata jumlah jenis sayur yang dikonsumsi balita sebanyak 3.7 jenis (kontrol) da 4.3 jenis (intervensi). Meskipun terdapat peningkatan jumlah jenis sayur yang dikonsumsi, namun, tidak ada perbedaan yang nyata antara kelompok kontrol dan intervensi setelah diberikannya perlakuan penyuluhan dan pemanfaatan pekarangan. Berdasarkan PUGS, rekomendasi konsumsi sayur untuk balita adalah sebanyak 1-2 porsi atau 100-200 gram sayuran. Konsumsi balita di kedua kelompok masih jauh di bawah ketentuan PUGS. Semakin banyak hambatan maka semakin sedikit orang mengonsumsi sayur dan buah. Persepsi harga yang tinggi membuat orang berpikir untuk menambahkan sayur dan buah dalam anggaran pangan. Persepsi yang salah mengenai kecukupan asupan yang sudah tinggi, preferensi anak, sikap ibu, pengalaman masa kecil termasuk paparan yang terbatas terhadap sayur dan buah atau memori negatif dapat mempengaruhi konsumsi sayur dan buah. Baranowski et al. (2006) menyatakan bahwa pola pembelian pangan mempengaruhi ketersediaan dan akses sayur dan buah di rumah. Harga buah yang mahal, penyajian sayuran yang membosankan, sedikitnya kandungan zat gizi (hilang pada saat pemasakan), kurang disukai rumah tangga, kurang berguna dalam menurunkan berat badan dan lebih sulit mempersiapkannya merupakan beberapa alasan yang menjadi penghambat asupan sayur dan buah. Selain itu, Maclellan et al. (2004) menyatakan bahwa penghambat utama konsumsi sayur dan buah adalah rendahnya usaha, kurangnya pengetahuan, faktor sosio-psikologis (preferensi, kebiasaan, mood), faktor lingkungan sosial (pengaruh anggota rumah tangga, pengalaman masa kecil) dan ketersediaan. Meningkatkan ketersediaan dan akses pangan merupakan dua cara untuk meningkatkan konsumsi sayur dan buah rumah tangga. Sebuah review mengenai sayur dan buah menunjukkan bahwa konsumsi anak-anak, remaja, dan dewasa berhubungan dengan ketersediaan di rumah dan hubungan tersebut berlaku sepanjang waktu (Jago et al. 2007).
49 Tabel 40 Sebaran balita berdasarkan sayuran yang disukai Sayuran Kontrol n (%) Intervensi n (%) Total n (%) Bayam 19 (33.3) 27 (40.9) 46 (37.4) Kangkung 6 (10.5) 12 (18.2) 18 (14.6) Sayur sop 8 (14.0) 2 (3.0) 10 (8.1) Wortel 13 (22.8) 7 (10.6) 20 (16.3) Ketimun 0 (0.0) 2 (3.0) 2 (1.6) Tauge 3 (5.3) 1 (1.5) 4 (3.3) Sawi 1 (1.8) 4 (6.1) 5 (4.1) Labu siam 2 (3.5) 1 (1.5) 3 (2.4) Buncis 1 (1.8) 2 (3.0) 3 (2.4) Jamur tiram 0 (0.0) 1 (1.5) 1 (0.8) Daun singkong 0 (0.0) 1 (1.5) 1 (0.8) Kentang 2 (3.5) 1 (1.5) 3 (2.4) Semua sayuran suka 2 (3.5) 1 (1.5) 3 (2.4) Sayur asem 0 (0.0) 2 (3.0) 2 (1.6) Katuk 0 (0.0) 1 (1.5) 1 (0.8) Jagung 0 (0.0) 1 (1.5) 1 (0.8) Kacang panjang 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0) Bayam dan wortel merupakan sayuran yang banyak digemari balita di kelompok kontrol, sedangkan bayam, sayur asam, dan sawi adalah 3 jenis sayuran yang banyak disukai balita kelompok intervensi. Setelah 1 tahun data awal diambil, sayuran yang disukai balita kelompok kontrol lebih beragam, namun yang paling banyak disukai tetap bayam dan wortel. Balita di kelompok intervensi mengalami sedikit perubahan preferensi dibandingkan 1 tahun yang lalu, yaitu lebih menyukai bayam, kangkung, dan wortel. Tabel 41 Sebaran balita berdasarkan sayuran yang tidak disukai Sayuran Buncis Kangkung Sayur sop Wortel Semua sayuran Tauge Sawi Labu siam Paria Kacang panjang Daun singkong Kentang Tidak ada Sayur asem Makanan pedas Belum dicoba berbagai macam sayuran Lainnya Brokoli Bayam
Kontrol n (%)
Intervensi n (%)
Total n (%)
1 (2.6) 7 (17.9) 1 (2.6) 1 (2.6) 1 (2.6) 1 (2.6) 3 (7.7) 1 (2.6) 0 (0.0) 2 (5.1) 0 (0.0) 2 (5.1) 11 (28.2) 3 (7.7) 1 (2.6)
2 (6.1) 1 (3.0) 1 (3.0) 0 (0.0) 0 (0.0) 0 (0.0) 3 (9.1) 0 (0.0) 2 (6.1) 0 (0.0) 1 (3.0) 0 (0.0) 13 (39.4) 6 (18.2) 1 (3.0)
3 (4.2) 8 (11.1) 2 (2.8) 1 (1.4) 1 (1.4) 1 (1.4) 6 (8.3) 1 (1.4) 2 (2.8) 2 (2.8) 1 (1.4) 2 (2.8) 24 (33.3) 9 (12.5) 2 (2.8)
1 (2.6)
1 (3.0)
2 (2.8)
3 (7.7) 0 (0.0) 0 (0.0)
2 (6.1) 0 (0.0) 0 (0.0)
5 (6.9) 0 (0.0) 0 (0.0)
50 Bayam merupakan sayuran yang paling tidak disukai balita di kelompok kontrol dan kangkung adalah sayuran yang paling tidak disukai balita di kelompok intervensi. Setelah pelaksaan intervensi penyuluhan dan pemanfaatan pekarangan selesai, sebanyak 28.2% balita kelompok kontrol dan 39.4% balita kelompok intervensi menyukai semua jenis sayuran. Sayuran yang banyak tidak disukai setelah intervensi adalah kangkung (kontrol) dan sayur asam (intervensi). Kepuasaan atau kenikmatan merupakan determinan konsumsi sayur dan buah seperti rasa, daya cerna dan rasa kenyang. Giskes et al. (2007) menyatakan bahwa determinan konsumsi sayur dan buah adalah faktor lingkungan seperti ketersediaan dan akses (akses terhadap toko dan ketersediaan makanan), kondisi sosial (hubungan interpersonal dan sosial) kondisi budaya (keterlibatan dengan kelompok masyarakat, budaya makan, sikap kesehatan, pengalaman makanan pada masa kecil, partisipasi budaya) dan kondisi materi (keuangan, materi dan sosial). ASI merupakan makanan yang paling ideal untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi. ASI menyediakan semua energi dan zat gizi yang dibutuhkan pada 6 bulan awal kehidupan bayi, lebih setengah kebutuhan energi bayi pada usia 6-12 bulan, dan sepertiga kebutuhan energi pada usia 12-24 bulan. ASI meningkatkan perkembangan kognitif dan sensoris bayi, selain itu ASI juga dapat memberikan perlindungan terhadap penyakit infeksi dan penyakit kronis. Oleh karena itu, WHO merekomendasikan pemberian ASI ekslusif sampai 6 bulan pertama kehidupan bayi (WHO 2013). Tabel 42 Sebaran balita berdasarkan kebiasaan konsumsi susu Kontrol Intervensi n (%) n (%) Anak ibu diberikan susu formula (saat di bawah usia 1 tahun) 10 (33.3) 9 (30.0) Ya 20 (66.7) 21 (70.0) Tidak
19 (31.7) 41 (68.3)
Anak balita masih diberikan susu sapi (bukan SKM) 3 (10.0) 9 (30.0) Ya 27 (90.0) 21 (70.0) Tidak
12 (20.0) 48 (80.0)
Kebiasaan minum susu
Total n (%)
Manfaat ASI telah banyak diketahui oleh masyarakat terutama ibu, akan tetapi ada beberapa hal yang menyebabkan seorang ibu tidak dapat memberikan ASI kepada bayinya karena alasan kesehatan atau alasan pribadi. Hampir sepertiga bayi di kelompok kontrol dan kurang dari seperempat bayi di kelompok intervensi mengonsumsi susu formula. Hal ini terjadi karena ASI tidak keluar atau produksi ASI sedikit sehingga rumah tangga memberikan susu formula sebagai tambahan. Setelah program penyuluhan dan pemanfaaatan pekarangan dilakukan, kebiasaan ini tidak banyak berubah, kecuali di kelompok intervensi terdapat peningkatan pemberian susu formula sebesar 13.3% karena balita sakit, berat badannya turun, ibu bekerja sehingga anak ditinggal di rumah, dan terdapat 1 balita yang termasuk dalam gizi kurang sehingga mendapat bantuan susu dari puskesmas. Hampir semua ibu mampu memproduksi ASI untuk satu bahkan dua bayi. Jumlah produksi ASI tergantung pada jumlah yang bayi makan, dan akan meningkat jika bayi menginginkan lebih dari biasanya. Bahkan pada ibu yang kekurangan makan, mereka masih mampu untuk memproduksi ASI yang cukup
51 untuk pertumbuhan bayi yang baik. Hanya sedikit saja kasus ibu yang tidak bisa memproduksi susu karena gangguan hormon atau perkembangan kelenjar payudara yang kurang baik (WHO 1995). Bayi tidak mendapatkan ASI yang cukup karena bayi kurang menghisap/menyedot ASI atau hisapannya tidak efektif. Ketika bayi menghisap payudara, maka bayi menstimulasi saraf yang ada di puting payudara. Stimulasi ini menyebabkan pelepasan hormon ke pembuluh darah. Hormon prolaktin mengaktifkan jaringan yang memproduksi susu, dan hormon oksitosin berperan dalam mengeluarkan ASI dari payudara atau yang disebut dengan let down reflex sehingga ASI bisa diminum oleh bayi (ABA 2012). Anak balita sebaiknya tetap diberikan susu, karena susu merupakan sumber protein dan mineral khususnya kalsium yang baik untuk anak. Tabel diatas menunjukkan bahwa konsumsi susu balita di kedua kelompok masih sangat rendah. Sebagian besar balita sudah tidak mengonsumsi susu. Harga susu yang mahal menjadi kendala utama dalam pemberian susu pada balita. Oleh karena itu, banyak ibu memberikan susu kental manis kepada balita karena harganya yang lebih murah. Susu kental manis sebaiknya tidak dikonsumsi oleh balita karena susu tersebut mengandung lebih banyak gula dibandingkan susu bubuk atau susu cair. Energi merupakan salah satu hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak, yang berfungsi sebagai zat tenaga. Kelebihan energi disimpan sebagai cadangan energi, dalam jangka pendek disimpan sebagai glikogen dan jangka panjang sebagai lemak. Tabel 43. Menunjukkan median konsumsi energi balita di kelompok kontrol adalah 671 kkal atau TKE sebesar 81% sedangkan di kelompok intervensi median konsumsi energi adalah 738 kkal dan telah memenuhi TKE sebesar 78%. Data akhir menunjukkan adanya peningkatan konsumsi energi di kedua kelompok sehingga terjadi peningkatan rata-rata TKE sebesar 48% pada kelompok kontrol dan 28% pada kelompok intervensi. Asupan energi dan TKE kelompok kontrol lebih baik dibandingkan kelompok intervensi (p<0.05). Hal ini dapat diakibatkan oleh perbedaan penghasilan rumah tangga kontrol yang lebih baik dibandingkan dengan penghasilan rumah tangga intervensi, sehingga rumah tangga kontrol memiliki akses pangan yang lebih baik dibandingkan dengan kelompok intervensi. Data akhir konsumsi protein menunjukkan adanya peningkatan konsumsi rata-rata protein sebesar 16 gram dan TKP 47% pada kelompok kontrol serta peningkatan 7 gram pada kelompok intervensi dan TKP 3%. Terdapat perbedaan yang nyata antara konsumsi dan TKP (p<0.01) kelompok kontrol dan intervensi. Konsumsi dan tingkat kecukupan kalsium (p<0.01) dan fosfor (p<0.01) antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi juga berbeda nyata. Kelompok kontrol mengalami peningkatan konsumsi kalsium sebesar 166 mg, fosfor sebesar 326 mg dan peningkatan tingkat kecukupan kalsium sebesar 33%, serta fosfor 56%. Asupan fosfor kelompok intervensi juga meningkat sebesar 44 mg atau Sementara itu, asupan kalsium menurun sebanyak 54 mg, dan penurunan tingkat kecukupan kalsium sebesar 20%. Penurunan konsumsi dan tingkat kecukupan kalsium dan fosfor pada kelompok intervensi dapat diakibatkan oleh menurunnya pengeluaran pangan untuk lauk pauk sebesar 7%. Lauk pauk merupakan pangan hewani sumber protein, kalsium, fosfor dan besi yang baik untuk tubuh.
52 Tabel 43 Median (IQR) konsumsi balita Zat Gizi Energi (kkal) Pre Post Selisih p value Protein (g) Pre Post Selisih p value
Kontrol 671.5 (481.2) 1 398.8 (637.8) 727.7 (654.3) 0.097 14.3 (12.8) 33.6 (14.5) 16.4 (10.5)
Total
737.9 (302.5) 1 114.8 (436.5) 384.3 (653.1)
705.9 (455.5) 1 187.5 (519.1) 535.4 (630.2)
15.9 (10.4) 23.5 (9.0) 6.5 (15.6)
14.8 (10.8) 27.2 (15.0) 13.8 (17.2)
223.0 (341.2) 167.8 (312.7) -54.4 (369.6)
273.3 (341.4) 255.3 (572.0) -15.1 (429.1)
242.5 (145.1) 320.8 (229.8) 44.6 (197.8)
223.1 (165.8) 374.6 (332.3) 140.6 (354.7)
4.7 (6.0) 7.3 (6.5) 2.6 (8.5)
4.5 (4.9) 9.5 (8.9) 4.2 (8.4)
169.3 (407.8) 290.2 (407.0) -4.1 (446.3)
183.3 (356.7) 294.5 (345.9) 61.1 (408.5)
0.8 (0.6) 1.1 (0.7) 0.2 (0.9)
0.8 (0.6) 1.1 (0.9) 0.2 (0.8)
10.3 (10.6) 9.9 (29.0) -0.4 (35.7)
10.2 (18.7) 9.5 (25.7) -1.9 (22.7)
0.003
Kalsium (mg) Pre Post Selisih p value
296.4 (401.6) 489.2 (706.7) 166.1 (625.7)
Fosfor (mg) Pre Post Selisih p value
183.8 (271.1) 507.9 (336.0) -326.3 (325.8)
Besi (mg) Pre Post Selisih p value
Konsumsi Intervensi
0.004
0.002 4.2 (5.2) 11.2 (11.0) 6.5 (11.4) 0.004
Vitamin A (RE) Pre Post Selisih p value
183.3 (271.1) 297.6 (314.5) 95.2 (406.8)
Vitamin B (mg) Pre Post Selisih p value
0.8 (0.5) 1.1 (1.2) 0.2 (0.8)
Vitamin C (mg) Pre Post Selisih p value
9.1 (27.2) 8.9 (20.0) -2.2 (24.4)
0.716
0.395
0.130
53 Tingkat kecukupan besi lebih dari separuh balita di kedua kelompok pada data awal masih di bawah 77%. Setelah 1 tahun intervensi, terjadi peningkatan konsumsi dan tingkat kecukupan besi pada balita di kedua kelompok sehingga tingkat kecukupan besi balita yang di bawah 77% tinggal sepertiganya. Tingkat kecukupan besi kelompok kontrol meningkat 67% dan kelompok intervensi 27%. Uji t test menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara konsumsi (p<0.01) dan tingkat kecukupan besi (p<0.01) pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Tabel 44 Sebaran balita berdasarkan klasifikasi tingkat kecukupan zat gizi Tingkat Kecukupan Energi Pre Post Protein Pre Post Kalsium Pre Post Fosfor Pre Post Besi Pre Post Vitamin A Pre Post Vitamin B Pre Post Vitamin C Pre Post
Kontrol ≤ 77% >77%
Intervensi ≤ 77% >77%
Total ≤ 77%
>77%
13 (41.9) 3 (10.0)
18 (58.1) 27 (90.0)
14 (46.7) 6 (20.0)
16 (53.3) 24 (80.0)
27 (44.3) 9 (15.0)
34 (55.7) 51 (85.0)
18 (58.1) 4 (13.3)
13 (41.9) 26 (86.7)
14 (46.7) 10 (33.3)
16 (53.3) 20 (66.7)
32 (52.5) 14 (23.3)
29 (47.5) 46 (76.7)
18 (58.1) 14 (46.7)
13 (41.9) 16 (53.3)
17 (56.7) 20 (66.7)
13 (43.3) 10 (33.3)
35 (57.4) 34 (56.7)
26 (42.6) 26 (43.3)
19 (61.3) 6 (20.0)
12 (38.7) 24 (80.0)
15 (50.0) 13 (43.3)
15 (50.0) 17 (56.7)
34 (55.7) 19 (31.7)
27 (44.3) 41 (68.3)
21 (67.7) 4 (13.3)
10 (32.3) 26 (86.7)
20 (66.7) 12 (40.0)
10 (33.3) 18 (60.0)
41 (67.2) 16 (26.7)
20 (32.8) 44 (73.3)
22 (71.0) 16 (53.3)
9 (29.0) 14 (46.7)
18 (60.0) 16 (53.3)
12 (40.0) 14 (46.7)
40 (65.6) 32 (53.3)
21 (34.4) 28 (46.7)
4 (12.9) 4 (13.3)
27 (87.1) 26 (86.7)
3 (10.0) 2 (6.7)
27 (90.0) 28 (93.3)
7 (11.5) 6 (10.0)
54 (88.5) 54 (90.0)
24 (77.4) 26 (86.7)
7 (22.6) 4 (13.3)
28 (93.3) 23 (76.7)
2 (6.7) 7 (23.3)
52 (85.2) 49 (81.7)
9 (14.8) 11 (18.3)
Konsumsi vitamin A, dan vitamin B balita secara umum mengalami peningkatan dikedua kelompok. Akan tetapi setelah di uji beda hasilnya menunjukkan tidak adanya perbedaan yang nyata antara kedua kelompok tersebut. Trend konsumsi vitamin C mengalami sedikit penurunan pada kedua kelompok. Pada kelompok kontrol konsumsi vitamin C mengalami penurunan sebesar 2 mg, dan kelompok intervensi 0.2 mg. Akan tetapi tidak berbeda secara nyata.
54 Tabel 45 Median (IQR) tingkat kecukupan zat gizi balita Zat Gizi Energi Pre Post Selisih p value Protein Pre Post Selisih p value Kalsium Pre Post Selisih p value Fosfor Pre Post Selisih p value Besi Pre Post Selisih p value Vitamin A Pre Post Selisih p value Vitamin B Pre Post Selisih p value Vitamin C Pre Post Selisih p value
Median (IQR) tingkat Kecukupan gizi (%) Kontrol Intervensi Total 81.0 (57.9) 135.6 (61.2) 47.8 (71.0)
79.7 (56.3) 114.5 (45.3) 27.7 (75.1)
80.8 (47.6) 121.0 (50.4) 38.1 (76.7)
83.5 (70.9) 89.6 (49.3) 3.3 (64.3)
75.0 (49.4) 100.3 (65.6) 23.7 (76.8)
53.9 (160.1) 33.6 (62.0) -20.0 (153.7)
63.2 (93.5) 52.6 (112.2) -4.4 (93.3)
76.6 (103.5) 81.3 (60.0) -0.5 (115.2)
67.5 (67.5) 105.6 (82.5) 16.9 (102.1)
60.5 (55.8) 132.3 (139.9) 67.4 (147.4) 0.006
62.8 (72.9) 91.7 (81.5) 26.5 (107.6)
60.7 (59.1) 111.6 (110.1) 49.9 (108.1)
45.8 (67.8) 71.6 (79.7) 21.7 (103.1)
42.3 (101.9) 69.1 (101.8) -3.3 (111.6)
45.8 (89.2) 70.5 (88.4) 13.4 (100.9)
192.6 (147.5) 191.2 (115.9) 37.8 (144.8)
180.5 (139.3) 198.7 (159.6) 35.4 (117.9)
23.5 (23.8) 20.8 (67.8) -4.3 (72.1)
22.7 (38.5) 20.8 (59.7) -3.5 (57.6)
0.018 73.7 (38.8) 131.2 (68.9) 47.4 (70.9) 0.003 66.8 (59.8) 97.8 (139.9) 33.2 (124.5) 0.004 62.3 (54.3) 127.0 (78.1) 56.2 (94.3) 0.002
0.684 173.6 (134.9) 212.5 (211.1) 35.4 (99.0) 0.798 21.0 (56.0) 22.2 (47.1) -3.5 (53.7) 0.148
55 Pemberian intervensi penyuluhan gizi dan pemanfaatan pekarangan tidak memberikan dampak yang nyata pada konsumsi dan asupan zat gizi kelompok intervensi. Hal ini dapat disebabkan oleh penghasilan dan pengeluaran pangan masih tergolong rendah dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu, Pengetahuan, sikap dan praktek ibu yang baik dan ditambah dengan peningkatan pemanfaatan tanaman pekarangan tidak cukup memberikan perubahan yang nyata pada konsumsi dan asupan zat gizi anak karena faktor lingkungan dan sosial yang tidak berubah juga dapat menghambat perubahan kebiasaan makan ke arah yang lebih baik. Contento (2008) menyatakan bahwa pemilihan makanan dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu faktor perilaku predisposisi secara biologis (secara lahirian manusia lebih menyukasi rasa manis dibandingkan rasa pahit dan hambar, terdapat mekanisme lapar dan kenyang), faktor yang kedua adalah pengalaman terhadap makanan (manusia memiiki kapasitas untuk menyukai makanan melalui kondisi fisiologis dan sosial tertentu). Faktor ketiga adalah faktor pribadi atau personal seperti keyakinan, pengetahuan, sikap, keterampilan, norma sosial, rumah tangga dan jaringan sosial lainnya juga ikut mempengaruhi pemilihan makanan. Faktor yang terakhir adalah faktor lingkungan. Faktor ini memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam pemilihan makanan. Ketersediaan dan akses pangan, sumberdaya materi, lingkungan sosial, dan budaya dapat memfasilitasi atau menghambat orang untuk bertndak sesuai dengan kepercayaan, sikap dan pengetahuanya tentang makanan yang sehat. Keempat faktor ini berinteraksi satu sama lain secara dinamis.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsumsi Sayur dan Asupan Zat Gizi Hasil uji multivariate menunjukkan adanya pengaruh variabel independen terhadap variabel dependen (p<0.05). Tabel 47. Menunjukkan bahwa luas pekarangan dan pengeluaran rumah tangga berpengaruh signifikan (p<0.1) terhadap konsumsi sayur buah. Responden dengan luas pekarangan yang sempit dapat menghasilkan sayuran buah dengan jumlah yang cukup untuk di konsumsi sendiri. Sementara itu, responden dengan pekarangan yang lebih luas dapat menghasilkan sayuran buah yang lebih banyak. Produksi sayur buah dengan rata-rata 34.7 kg/bulan, berkontribusi besar (79%) terhadap hasil panen pekarangan secara keseluruhan. Hasil panen yang melimpah pada waktu yang sama membuat sayuran buah tersebut tidak dapat dikonsumsi oleh rumah tangga itu sendiri. Oleh karena itu, responden menjual dan membagikannya kepada tetangga atau rumah tangganya. Tabel 46 Hasil uji manova konsumsi sayur buah dan lainnya rumah tangga Statistic
Value
F value
Num DF
Den DF
Pr > F
Wilks’ Lambda Pillai’s trace HotellingLawley Trace Roy’s Greatest Root
0.68498 0.34467 0.41661
2.71 2.78 2.68
6 6 6
78 80 50.3
0.0193 0.0167 0.0248
0.21863
2.92
3
40
0.0459
56 Pengeluaran pangan merupakan salah satu faktor tidak langsung yang mempengaruhi konsumsi sayur buah rumah tangga. Pengeluaran rumah tangga yang rendah mengakibatkan tingginya konsumsi sayur buah. Hal ini dapat terjadi karena produksi sayur dari pekarangan meningkatkan ketersediaan dan akses sayuran rumah tangga. Rumah tangga tidak perlu membeli sayuran, karena sayuran dapat langsung di konsumsi dari pekarangan sesuai dengan jumlah yang dibutuhkan. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa semakin tinggi produksi sayur maka pengeluaran pangan akan semakin rendah (p<0.01). Alokasi pengeluaran sayuran yang tidak digunakan dapat di alokasikan untuk pembelian pangan lainnya. Tabel 47 Faktor-faktor yang mempengaruhi konsumsi sayur rumah tangga Statistic Sayur buah Intercept Luas pekarangan Pengeluaran RT Adj R-Sq F (p) Sayur lainnya Intercept Jumlah ART*Usia ibu Adj R-Sq F (p)
Parameter estimate
Standar error
t value
Pr > │t│
5.19950 -0.03903 -0.000004
1.59767 0.02222 0.000002
3.25 -1.76 -1.91
0.0023 0.0866 0.0632
0.1064 2.71 (0.0580) 0.96150 0.56729
1.28053 0.19386
0.75 2.93
0.4571 0.0056
0.1161 2.88 (0.0476)
Luas pekarangan dan pengeluaran rumah tangga hanya dapat menjelaskan 10.6% dari variabel yang mempengaruhi konsumsi sayur buah rumah tangga. Sementara itu, interaksi antara jumlah anggota rumah tangga dan usia ibu hanya dapat menjelaskan 11.6% dari variabel yang mempengaruhi konsumsi sayur lainnya. Interaksi antara jumlah anggota rumah tangga dan usia ibu mempengaruhi konsumsi sayur lainnya. Semakin banyak jumlah anggota rumah tangga dan semakin tua usia ibu maka konsumsi sayur lainnya semakin banyak. Kepuasaan terutama rasa merupakan faktor penting yang mempengaruhi konsumsi sayur dan buah. Selain itu, musim, ketersediaan, kebiasaan, kesadaran mengenai pentingnya konsumsi sayur dan buah untuk kesehatan, pengaruh sosial (pengaruh anggota rumah tangga), efikasi diri, kemampuan/keahlian dan waktu untuk menyiapkan dan mengolah sayur dan buah merupakan faktor yang mempengaruhi konsumsi sayur dan buah orang dewasa (Brug et al. 1995).Variabel psikososial, preferensi, kebiasaan makan sayuran yang dicontohkan orang tua, efikasi diri, niat, paparan terhadap sayuran, ketersediaan dan kebiasaan anak dapat menjelaskan konsumsi sayur anak usia 4-12 tahun sebanyak 33% (Rienaerts et al. 2007).
57 Hasil uji manova menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara jumlah anggota rumah tangga, usia ibu, tingkat pendidikan ibu, luas pekarangan, efikasi ibu, pengeluaran rumah tangga, produksi sayur pekarangan, dan pengetahuan gizi ibu terhadap asupan vitamin A dan vitamin C rumah tangga. Tabel 48 Hasil uji Manova Vitamin A dan C rumah tangga Statistic
Value
F value
Num DF
Den DF
Pr > F
Wilks’ Lambda Pillai’s trace HotellingLawley Trace Roy’s Greatest Root
0.56140359 0.49156778 0.68689451
1.42 1.43 1.43
16 16 16
68 70 52.162
0.1580 0.1554 0.1652
0.49707272
2.17
8
35
0.0542
Hasil uji manova menunjukkan tidak ada pengaruh yang signifikan antara jumlah anggota rumah tangga, usia ibu, tingkat pendidikan ibu, luas pekarangan, efikasi ibu, pengeluaran rumah tangga, produksi sayur pekarangan, dan pengetahuan gizi ibu, sikap gizi ibu, dan kebiasan mengkonsumsi sayuran sejak dini terhadap konsumsi sayur buah dan sayur lainnya balita. Tabel 49 Hasil uji Manova konsumsi sayur buah dan lainnya balita Statistic
Value
F value
Num DF
Den DF
Pr > F
Wilks’ Lambda Pillai’s trace HotellingLawley Trace Roy’s Greatest Root
0.7036 0.3205 0.3873
0.62 0.63 0.60
20 20 20
64 66 50.35
0.8870 0.8759 0.8905
0.2516
0.83
10
33
0.6032
Hasil uji manova menunjukkan bahwa ada variabel independen yang berpengaruh signifikan terhadap asupan vitamin A atau vitamin C balita (p<0.05). Jumlah anggota rumah tangga yang semakin banyak, pendidikan ibu yang semakin tinggi, pengeluaran rumah tangga yang semakin besar, pengetahuan gizi ibu yang rendah, dan kebiasaan makan sayur sejak dini dapat berpengaruh terhadap asupan vitamin A dan vitamin C balita. Tabel 50 Hasil uji Manova Vitamin A dan C balita Statistic
Value
F value
Num DF
Den DF
Pr > F
Wilks’ Lambda Pillai’s trace HotellingLawley Trace Roy’s Greatest Root
0.3896 0.7126 1.3047
1.93 1.83 2.04
20 20 20
64 66 50.35
0.0252 0.0355 0.0214
1.0565
3.49
10
33
0.0032
58 Uji anova dilakukan untuk vitamin A dan vitamin C karena hasil uji manova menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan dari variabel independen. Hasil uji anova yang tersaji pada Tabel 51 menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah anggota rumah tangga maka asupan vitamin A dan C balita semakin tinggi. Hal ini diduga karena balita merupakan anggota rumah tangga yang kebutuhan makannya menjadi prioritas utama. Sumber vitamin A terdiri dari pangan hewani dan pangan nabati. Sementara itu, sumber vitamin C banyak terdapat pada pangan nabati. Pangan hewani memiliki bioavalibilitas vitamin A lebih baik, walaupun relatif lebih mahal dibandingkan pangan nabati. Harga pangan yang mahal dapat mengakibatkan ketersediaan yang terbatas pada rumah tangga. Ketika jumlah anggota rumah tangga banyak dan pangan yang tersedia terbatas, maka balita pada umumnya yang lebih diutamakan untuk mengonsumsi pangan tersebut dibandingkan anggota rumah tangga lainnya. Tabel 51 Faktor-faktor yang mempengaruhi asupan vitamin A dan C balita Statistic Asupan Vitamin A Intercept Jumlah ART Pendidikan Ibu Pengeluaran RT Pengetahuan Gizi Ibu Kebiasaan makan sayur sejak dini Adj R-Sq F (p) Asupan Vitamin C Intercept Jumlah ART Pengeluaran RT Pengetahuan Gizi Ibu Kebiasaan makan sayur sejak dini Adj R-Sq F (p)
Parameter estimate
Standar error
t value
Pr > │t│
2.75132 0.30100 0.28094 0.00000235 -0.01509 -0.00453
1.71851 0.10505 0.11717 0.00000134 0.00759 0.00115
1.60 2.87 2.40 1.75 -1.99 -3.94
0.1189 0.0072 0.0223 0.0886 0.0553 0.0004
0.3368 3.18 (0.0058) 1.09709 0.32734 0.00000265 -0.01344 -0.00263
1.69521 0.10363 0.00000132 0.00749 0.00114
0.65 3.16 2.00 -1.79 -2.32
0.5220 0.0034 0.0533 0.0819 0.0270
0.2100 2.14 (0.0489)
Tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap asupan vitamin A balita. Hasil penelitian Marian et al. (1992) menunjukkan bahwa asupan vitamin A balita pada ibu yang berpendidikan menengah ke atas lebih baik dibandingkan dengan ibu berpendidikan menengah ke bawah. Hal ini membuktikan pentingnya peningkatan pendidikan wanita sebagai upaya yang penting dalam meningkatkan gizi balita. Pengeluaran rumah tangga yang semakin besar dapat meningkatkan asupan vitamin A dan vitamin C. Ketika satu rumah tangga mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli pangan terutama pangan hewani dan sayur dan buah sumber vitamin A dan C maka asupan vitamin A dan C balita akan meningkat. Pengetahuan gizi berpengaruh terhadap asupan vitamin A dan vitamin C. Penelitian yang sudah ada pada umumnya menunjukkan dengan semakin tingginya pengetahuan gizi maka asupan zat gizi juga semakin baik. Akan tetapi hasil