4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi Proksimat Lele Dumbo Afkir Bahan baku yang digunakan untuk membuat konsentrat protein ikan dan tepung tulang adalah ikan lele dumbo (Clarias gariepienus) afkir. Komposisi proksimat ikan lele dumbo afkir dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8 Komposisi proksimat ikan lele dumbo afkir Komposisi Air Protein Lemak Abu Karbohidrat
Persentase (% bb) 73,82±18 16,63±0,39 0,90±0,14 0,75±0,08 7,92±1,15
Venugoval (2008) menyatakan bahwa ikan yang tergolong berlemak rendah mempunyai kadar lemak kurang dari 3%, berlemak sedang memiliki kadar lemak 3-5% dan berlemak tinggi mempunyai kadar lemak lebih dari 7%, sedangkan ikan yang berprotein tinggi mempunyai kisaran protein 15-20%. Berdasarkan pernyataan Venugoval (2008) tersebut, maka hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa ikan lele dumbo afkir mempunyai kadar lemak rendah, yaitu 0,90% (bb) dan kadar protein yang tinggi, yaitu 16,63% (bb). Ikan berkadar lemak rendah merupakan bahan baku yang sesuai untuk pembuatan KPI. Proses pembuatan KPI melibatkan proses pengurangan kandungan lemak dan air melalui proses ekstraksi sehingga penggunaan ikan berkadar lemak rendah diharapkan dapat mempermudah proses pengurangan lemak agar dihasilkan KPI dengan kadar protein yang tinggi. Kandungan abu ikan lele dumbo afkir sebesar 0,75%. Kandungan abu dapat berasal dari kandungan mineral, jenis-jenis mineral yang banyak terdapat dalam ikan lele adalah kalsium, fosfor dan kalium (Khairuman dan Khairul 2002). 4.2 Karakteristik KPI Lele Dumbo Afkir Konsentrat protein ikan dibuat berdasarkan perlakuan kombinasi lama (20, 30, 40 menit) dan pengulangan tahapan ekstraksi (1, 2, 3, 4 kali) dengan
menggunakan pelarut etanol 95%, kemudian dipilih metode perlakuan terbaik dari salah satu metode tersebut untuk diaplikasikan dalam penelitian selanjutnya. Metode terbaik dipilih berdasarkan standar FAO 1976 KPI tipe A dengan kriteria kadar lemak maksimal 0,75%, kadar protein minimal 67,5%, skor organoleptik bau ikan lemah dan derajat putih tinggi serta rendemen tinggi. 4.2.1 Kadar lemak KPI lele dumbo afkir Kadar lemak merupakan salah satu parameter penentu mutu KPI. FAO (1976) membagi kriteria mutu KPI berdasarkan kadar lemak, yaitu KPI tipe A, tipe B, dan tipe C. Konsentrat protein ikan tipe A memiliki kadar lemak dibawah 0,75%, KPI tipe B mengandung kadar lemak dibawah 3% sedangkan KPI tipe C memiliki kadar lemak dibawah 10%. Konsentrat protein ikan lele dumbo afkir terbaik adalah KPI yang mengandung kadar lemak yang rendah, dalam hal ini adalah KPI tipe A. Pemilihan metode pembuatan KPI lele dumbo afkir terbaik adalah metode yang dapat menghasilkan KPI lele dumbo afkir berkadar lemak paling rendah. Hasil analisis ragam kadar lemak KPI lele dumbo afkir dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan histogram rerata kadar lemak KPI lele dumbo
Kadar lemak (% bk)
afkir dapat dilihat pada Gambar 6.
5,0 4,5 4,0 3,5 3,0 2,5 2,0 1,5 1,0 0,5 0,0
a b b b
1x
2x
3x
4x
Pengulangan tahapan ekstraksi
Gambar 6
Histogram pengaruh lama ekstraksi dan pengulangan ekstraksi terhadap kadar lemak KPI lele dumbo afkir. Lama ekstraksi: 20 menit, 30 menit, 40 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Berdasarkan analisis ragam lama ekstraksi dan interaksi antara faktor pengulangan tahapan ekstraksi dan lama ekstraksi tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata (p>0,05). Kadar lemak dipengaruhi secara nyata (p<0,05) oleh faktor pengulangan tahapan ekstraksi. Gambar 8 menunjukkan bahwa semakin banyak pengulangan tahapan ekstraksi menyebabkan kadar lemak KPI lele dumbo afkir semakin menurun. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rerata kadar lemak KPI lele dumbo afkir tertinggi dihasilkan oleh perlakuan satu kali pengulangan tahapan ekstraksi, yaitu 3,07% sedangkan rerata kadar lemak KPI lele dumo afkir terendah dihasilkan oleh perlakuan tiga kali pengulangan tahapan ekstraksi dengan nilai kadar lemak 0,91%. Pengulangan tahapan ekstraksi berpengaruh terhadap kadar lemak KPI lele dumbo afkir, hal ini dikarenakan semakin banyak tahapan pengulangan ekstraksi maka daging lumat lele dumbo afkir akan semakin sering kontak dengan etanol yang berfungsi sebagai pelarut lemak, sehingga lemak yang terekstrak juga akan semakin banyak. Adnan (1997) diacu dalam Winarni 2007 menyatakan pada saat ekstraksi terdapat interaksi hidrofobik antara molekul-molekul nonpolar etanol, yaitu gugus metil dengan lemak ikan yang bersifat nonpolar sehingga dengan adanya interaksi tersebut pada saat ekstraksi lemak ikut larut dalam etanol. kelarutan lemak dan turunannya dalam pelarut organik juga dipengaruhi oleh jumlah ikatan rangkap dan panjang rantai karbon, semakin banyak jumlah ikatan rangkap maka kelarutan lemak semakin tinggi (Kirk dan Othmen 1978). Ikan merupakan bahan pangan yang mempunyai lemak berantai karbon panjang (18) dan mempunyai banyak ikatan rangkap sehingga dengan semakin banyak pengulangan ekstraksi maka semakin banyak lemak yang terlarut. Hasil keseluruhan analisis kadar lemak KPI lele dumbo afkir menunjukkan dengan semakin banyak pengulangan tahapan ekstraksi nilai kadar lemak yang dihasilkan semakin rendah. Hasil analisis kadar lemak KPI lele dumbo afkir berdasarkan FAO (1976), KPI yang dihasilkan tergolong ke dalam KPI tipe B, yaitu kadar lemak kurang dari 3%. konsentrat protein ikan tipe B juga dihasilkan pada penelitian Santoso et al. (2008) ikan nila hitam dengan kadar lemak 1,13% dan penelitian KPI yang dilakukan oleh Rieuwpassa (2005) berbahan baku ikan teri tawar yang menghasilkan KPI tipe A dengan kadar lemak 0,3%.
4.2.2 Kadar protein KPI lele dumbo afkir Kadar protein merupakan salah satu parameter mutu KPI. Konsentrat protein ikan memiliki mutu yang baik bila memiliki kandungan protein yang tinggi. Jenis KPI berdasarkan kadar protein menurut FAO (1976) adalah KPI Tipe A dengan kadar protein minimum 67,5%, KPI tipe B dengan kadar protein minimum 65% dan KPI tipe C dengan kadar protein minimum 60%. Berdasarkan analisis ragam, kadar protein KPI lele dumbo afkir dipengaruhi secara nyata (p<0,05) oleh faktor pengulangan tahapan ekstraksi. Rerata kadar protein KPI lele dumbo afkir tertinggi dihasilkan oleh perlakuan dua kali pengulangan tahapan ekstraksi, yaitu 85,85% yang tidak berbeda nyata dengan satu dan tiga kali tahapan pengulangan, sedangkan rerata kadar protein KPI lele dumbo afkir terendah dihasilkan oleh perlakuan empat kali tahapan pengulangan ekstraksi dengan kadar protein 79,54%. Lama ekstraksi dan interaksi antara faktor tahapan pengulangan ekstraksi dan lama ekstraksi tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata (p>0,05). Hasil analisis ragam dapat dilihat pada Lampiran 4, sedangkan histogram rerata kadar protein dapat dilihat pada Gambar 7.
b
b
b
a
Kadar protein (% bk)
110 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
1x
2x
3x
4x
Pengulangan tahapan ekstraksi
Gambar 7 Histogram pengaruh lama dan pengulangan ekstraksi terhadap kadar protein KPI lele dumbo afkir. Lama ekstraksi: 20 menit, 30 menit, 40 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Berdasarkan persyaratan kadar protein KPI menurut FAO (1976), kadar protein KPI lele dumbo afkir pada semua metode tergolong dalam KPI tipe A, yaitu minimal 67,5%. Kadar protein yang tinggi pada KPI lele dumbo afkir dibandingkan dengan protein pada ikan lele dumbo afkir segar dipengaruhi oleh adanya penurunan kandungan lemak dan air pada saat proses ekstraksi dan pengeringan (Buckle et al. 1987). Proses ekstraksi menggunakan etanol 95% dengan empat kali tahapan pengulangan menunjukkan penurunan kadar protein. Hal ini diduga karena etanol 95% tidak hanya melarutkan lemak dan air saja pada saat ekstraksi, akan tetapi juga dapat melarutkan sebagian kecil protein karena etanol merupakan pelarut organik yang bersifat polar. Etanol 95% memiliki gugus hidroksil yang bersifat polar dan gugus metil yang bersifat non polar sehingga juga dapat melarutkan sebagian kecil protein (Winarno 2008). Gugus hidroksilnya yang bersifat polar memungkinkan protein yang bersifat polar ikut terlarut pada pengulangan tahapan ekstraksi yang lebih banyak. 4.2.3 Derajat putih KPI lele dumbo afkir Derajat putih bukan merupakan salah satu kriteria mutu KPI, namun merupakan karakteristik fisik, yaitu warna yang dapat mempengaruhi penerimaan konsumen, sehingga derajat putih digunakan sebagai parameter untuk menentukan metode terbaik dalam pembuatan KPI lele dumbo afkir. Derajat putih merupakan tingkat keputihan suatu bahan yang erat kaitannya dengan mutu penerimaan. Bahan pangan yang memiliki warna cerah umumnya lebih disukai oleh konsumen. Hasil analisis ragam derajat putih KPI lele dumbo afkir dapat dilihat pada Lampiran 5, sedangkan histogram rerata derajat putih KPI lele dumbo afkir dapat dilihat pada Gambar 8. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai derajat putih KPI lele dumbo afkir dipengaruhi secara nyata (p<0,05) oleh faktor pengulangan tahapan ekstraksi, sedangkan lama ekstraksi dan interaksi antara lama dan tahapan pengulangan ekstraksi tidak menunjukkan pengaruh nyata (p>0,05). Nilai rata-rata derajat putih KPI lele dumbo afkir tertinggi diperoleh dari KPI lele dumbo afkir yang dihasilkan dengan perlakuan empat kali pengulangan tahapan ekstraksi,
sedangkan nilai rata-rata derajat putih KPI lele dumbo afkir terendah dihasilkan oleh perlakuan dua kali pengulangan tahapan ekstraksi. Peningkatan nilai derajat putih diduga disebabkan oleh penurunan kadar lemak KPI yang dihasilkan. Lemak dalam jaringan secara alamiah bergabung dengan pigmen, sehingga apabila jumlah lemak semakin rendah pigmen yang terkandung juga akan semakin rendah (Ketaren 2008). Konsentrat protein lele dumbo afkir yang cenderung berwarna coklat kekuningan diduga, juga dikarenakan telah terjadi reaksi mailard pada KPI lele dumbo afkir. Reaksi Mailard, yaitu reaksi-reaksi antara karbohidrat khususnya gula pereduksi dan gugus amina primer (Muctadi 1993), KPI lele dumbo afkir yang dihasilkan berwarna coklat kekuningan.
Derajat putih ( %)
50 40
a
a
b
b
3x
4x
30 20 10 0 1x
2x
Pengulangan tahapan ekstraksi
Gambar 8 Histogram pengaruh lama ekstrksi dan pengulangan ekstraksi terhadap derajat putih KPI lele dumbo afkir. Lama ekstraksi: 20 menit, 30 menit, 40 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). 4.2.4 Bau KPI lele dumbo afkir Bau merupakan salah satu syarat mutu KPI. Konsentrat protein ikan bernilai mutu baik apabila memiliki nilai bau ikan lemah pada saat diseduh dengan air panas. Proses ekstraksi dengan menggunakan etanol 95% selain bertujuan untuk meminimalkan kadar lemak dan kadar air, ekstraksi juga bertujuan untuk menghilangkan bau amis pada konsentrat protein ikan. Rawdkuen et al. (2009) menyatakan bahwa proses ekstraksi tidak hanya mampu
menghilangkan lemak akan tetapi juga menghilangkan material-material lain seperti darah, pigmen dan bahan penyusun bau. Konsentrat protein ikan yang tidak dihilangkan lemaknya memiliki bau ikan yang lebih kuat dibandingkan dengan
konsentrat
protein
ikan
yang
telah
dihilangkan
lemaknya
(Buckle et al. 1987). Penilaian bau KPI lele dumbo afkir dilakukan secara organoleptik menggunakan uji skoring dengan skala 1-5. Semakin tinggi nilai skala KPI lele dumbo afkir maka semakin tidak berbau ikan. Konsentrat protein ikan lele dumbo afkir yang dihasilkan diharapkan memiliki bau ikan lemah terutama jika tepung KPI akan diaplikasikan pada produk pangan, sehingga tidak merubah penerimaan konsumen terhadap produk tersebut. Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa interaksi antara lama dan pengulangan tahapan ekstraksi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap bau KPI lele dumbo afkir. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan lama dan pengulangan tahapan ekstraksi tidak berbeda nyata (p>0,05), sedangkan interaksi antara keduanya berbeda nyata (p<0,05). Hasil analisis Kruskal Wallis dapat dilihat pada Lampiran 6, dan histogram rerata bau KPI lele dumbo afkir dapat dilihat pada Gambar 9. 4
Skor Bau
3,5 3
b
b
ab
ab a
ab
ab ab ab a a
ab
2,5 2 1,5 1 0,5 0 20
30
40
Lama ekstraksi (menit)
Gambar 9
Histogram pengaruh interaksi lama dan pengulangan ekstraksi terhadap bau KPI lele dumbo afkir. Pengulangan tahapan ekstraksi: 1x, 2x, 3x, 4x. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Skor organoleptik bau tertinggi terdapat pada KPI lele dumbo afkir yang dihasilkan dari perlakuan lama ekstraksi 20 menit dengan tiga kali pengulangan tahapan ekstraksi dengan deskripsi tidak berbau ikan, sedangkan skor organoleptik bau terendah terdapat pada KPI lele dumbo afkir yang dihasilkan dari perlakuan lama ekstraksi 40 menit dengan dua kali tahapan pengulangan ekstraksi dengan deskripsi berbau ikan kuat. Penilaian organoleptik bau berhubungan erat dengan kadar lemak KPI lele dumbo afkir yang dihasilkan. Semakin rendah kadar lemak KPI lele dumbo afkir maka nilai organoleptik bau KPI lele dumbo afkir akan semakin tinggi. Menurut Rieuwpassa (2005), proses ekstraksi lemak dan air menggunakan pelarut etanol 95% juga bertujuan untuk mengurangi bau ikan, sehingga bau ikan juga dipengaruhi oleh efektivitas pengurangan kandungan lemak dan air melalui ekstraksi. 4.2.5 Rendemen KPI lele dumbo afkir Rendemen bukan merupakan syarat mutu KPI, tetapi perhitungan rendemen bertujuan untuk memperkirakan persentase jumlah bagian dari ikan yang dapat digunakan untuk pembuatan KPI lele dumbo afkir. Hasil analisis ragam untuk parameter rendemen dapat dilihat pada Lampiran 7, sedangkan histogram rerata rendemen KPI lele dumbo afkir dapat dilihat pada Gambar 10. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa rendemen KPI lele dumbo afkir dipengaruhi secara nyata (p<0,05) oleh pengulangan tahapan ekstraksi, sedangkan lama ekstraksi dan interaksi antara lama dan pengulangan ekstraksi tidak berpengaruh secara nyata (p>0,05) terhadap nilai rendemen KPI lele dumbo afkir. Metode pembuatan KPI lele dumbo afkir yang menghasilkan rendemen tertinggi adalah pembuatan KPI lele dumbo afkir dengan satu kali pengulangan ekstraksi. Rendemen KPI lele dumbo afkir terendah dihasilkan dari perlakuan empat kali pengulangan tahapan ekstraksi. Berdasarkan hasil penelitian, semakin banyaknya pengulangan tahapan ekstraksi menyebabkan rendemen KPI lele dumbo afkir yang dihasilkan semakin rendah. Rieuwpassa (2005) menyatakan bahwa dengan semakin banyak pengulangan tahapan ekstraksi, tidak hanya lemak dan air saja yang berkurang pada saat dilakukan ekstraksi, tetapi juga protein yang bersifat polar juga ikut terlarut sehingga rendemen KPI semakin berkurang.
Rendemen (%)
18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
c c b
1x
2x
3x
a
4x
Pengulangan Tahapan ekstraksi (menit)
Gambar 10
Histogram pengaruh lama ekstraksi dan pengulangan ekstraksi terhadap rendemen KPI lele dumbo afkir. Lama ekstraksi: 20 menit, 30 menit, 40 menit. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
4.2.6 Pemilihan metode pembuatan KPI lele dumbo afkir terbaik Konsentrat protein ikan lele dumbo afkir yang akan diaplikasikan pada penelitian selanjutnya dipilih berdasarkan hasil analisis metode lama ekstraksi dan pengulangan
tahapan
ekstraksi
yang
telah
dilakukan.
Parameter
yang
dipertimbangkan dalam penentuan metode pembuatan KPI lele dumbo afkir terbaik adalah KPI yang memiliki kadar protein yang minimal 67,5%, kadar lemak 0,75%, derajat putih yang tinggi, skor organoleptik mempunyai bau ikan lemah serta rendemen yang tinggi. Hasil analisis ragam untuk lama ekstraksi tidak memberikan pengaruh nyata (p>0,05) pada parameter kadar lemak, kadar protein, derajat putih, organoleptik bau dan rendemen. Dengan demikian, lama ekstraksi yang dipilih adalah lama ekstraksi yang paling singkat, yaitu 20 menit. Hasil analisis ragam untuk pengulangan tahapan ekstraksi memberikan pengaruh nyata (p<0,05) pada parameter kadar lemak, protein, derajat putih dan rendemen. Interaksi antara kedua faktor perlakuan menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) pada penilaian bau. Berdasarkan keempat parameter tersebut, maka metode tiga kali pengulangan tahapan ekstraksi dipilih sebagai metode terbaik karena mampu menghasilkan KPI
lele dumbo afkir dengan hasil analisis uji kadar lemak terendah, kadar protein tinggi, nilai organoleptik bau rendah, derajat putih tinggi dan rendemen tinggi, sehingga metode yang akan digunakan dalam pembuatan KPI lele dumbo afkir yang akan diaplikasikan pada penelitian selanjutnya adalah metode tiga kali pengulangan tahapan ekstraksi selama 20 menit. 4.2.7 Karakteristik KPI lele dumbo afkir metode terbaik Karakterisasi KPI lele dumbo afkir metode terbaik meliputi daya serap air, daya serap minyak, densitas kamba, kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat dan daya cerna protein in vitro dan asam amino. Karakteristik fisiko-kimia KPI lele dumbo afkir metode terbaik dapat dilihat pada Tabel 9. Karakteristik fisik berhubungan dengan sifat fungsional suatu bahan pangan dan interaksinya dengan bahan pangan lainnya serta berkaitan dengan proses pengolahan selanjutnya. Tabel 9 Karakteristik fisiko-kimia KPI lele dumbo afkir metode terbaik Karakteristik Fisik Daya serap air (g/mL) Daya serap minyak (g/g) Densitas kamba (g/mL) Karakteristik Kimia Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar lemak (%) Kadar protein (%) Kadar karbohidrat by difference (%) Daya cerna protein in vitro (%)
Nilai 3,56±0,03 2,49±0,00 0,11±0,62 Nilai 8,65±0,06 3,91±0,43 1,24±0,15 81,60±0,44 13,25±0,10 99,35±0,01
Daya serap air merupakan salah satu sifat fungsional protein yang penting. Daya serap air KPI lele dumbo afkir adalah 3,58 g/mL yang artinya setiap 3,58 gram KPI dapat menyerap 1 mL air. Hutton dan Cambell (1981) menyatakan bahwa interaksi antara protein-air menentukan sifat hidrasi, kelarutan, viskositas dan gelasi. Interaksi tersebut terutama terjadi pada sisi polar molekul protein yang sebagian besar terletak disepanjang kerangka peptida sehingga membuatnya
menjadi bersifat hidrofilik. Daya ikat air dari protein berhubungan dengan gugus yang bersifat polar, yaitu karbonil, hidroksil, amino, karboksil dan sufhidril; sedangkan asam amino yang bersifat polar antara lain adalah asam aspartat, asam glutamat, aspargin, glutamin, lisin, arginin, histidin, prolin, treonin, serin, sistein, alanin, glisin dan tirosin (Lehninger 1993). Daya serap minyak pada tepung terutama berkaitan dengan kadar lemak dan kadar protein. Nilai daya serap minyak KPI lele dumbo afkir adalah 2,49 g/g. Menurut Ravi dan Sushelamma (2005), mekanisme penyerapan minyak melalui pemerangkapan minyak secara fisik yang berhubungan dengan keberadaan gugus non polar protein. Kandungan protein dan jenis protein berkontribusi terhadap sifat kapasitas penyerapan minyak bahan pangan. Asam amino yang bersifat non polar seperti fenilalanin, leusin, isoleusin, metionin, valin, dan triptofan dapat membentuk ikatan hidrofobik dengan minyak (Winarno 2008). Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempati dan dinyatakan dalam satuan g/mL. Nilai densitas kamba KPI lele dumbo afkir adalah 0,62 g/mL. Nilai tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan nilai densitas kamba KPI nila hitam (Santoso et al. 2008), yaitu 0,51 g/mL. Konsentrat protein ikan lele dumbo afkir metode terbaik memiliki kadar air sebesar 8,65% dan kadar protein sebesar 81,60%, sehingga KPI lele dumbo afkir telah memenuhi standar FAO (1976) untuk KPI tipe A dengan syarat kadar air maksimum, yaitu 10% dan kadar protein maksimum 67%. Kadar lemak KPI lele dumbo afkir metode terbaik (1,24%) lebih besar dibandingkan syarat FAO (1976) untuk kadar lemak KPI tipe A sehingga secara keseluruhan KPI lele dumbo afkir tergolong KPI tipe B. Pengukuran kadar karbohidrat KPI lele dumbo afkir dilakukan dengan cara by difference. Kadar karbohidrat KPI lele dumbo afkir metode terbaik sebesar 13,25%. Nilai kadar karbohidrat KPI lele dumbo afkir tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan Penelitian Santoso et al. (2008) mengenai pembuatan KPI ikan nila hitam dengan metode yang sama, yaitu 20 menit dengan tiga kali ulangan tahapan ekstraksi yang menghasilkan KPI dengan kadar karbohidrat 13,93%. Kadar karbohidtrat konsentrat protein ikan lele afkir lebih kecil apabila
dibandingkan dengan kadar karbohidrat KPI teri air tawar yang dihasilkan oleh Rieuwpassa (2005) dengan nilai sebesar 5,6%. Menurut Santoso et al. (2008), nilai karbohidrat yang tinggi pada KPI diduga bukan merupakan komponen karbohidrat seluruhnya karena pada umumnya ikan memiliki kadar karbohidrat yang kecil. Daya cerna protein in vitro adalah kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan. Nilai gizi protein ditentukan oleh nilai daya cerna terhadap ketersediaan asam-asam aminonya secara biologis (Muctadi 1993). Daya cerna KPI lele dumbo afkir metode terbaik secara in vitro adalah 99,24 %. Daya cerna in vitro KPI lele dumbo hasil penelitian ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan daya cerna in vitro KPI nila hitam (Santoso et al. 2008), yaitu sebesar 91,71% yang dilakukan dengan metode pengujian yang sama. Konsentrat protein ikan lele dumbo afkir menghasilkan nilai daya cerna protein yang lebih besar dibandingkan dengan daya cerna protein in vitro KPI standar FAO (1976), yaitu 92%. Hal ini, dikarenakan pada metode pengujian daya cerna protein in vitro KPI FAO (1976) pengujian dilakukan dengan satu enzim (pepsin) sedangkan pada pengujian daya cerna protein in vitro KPI lele dumbo afkir pengujian dilakukan dengan menggunakan multienzim (tripsin, kemotripsin dan peptidase). Suatu protein yang mudah dicerna menunjukkan bahwa jumlah asam-asam aminonya mudah diserap dan mampu digunakan secara maksimal oleh tubuh. Sebaliknya, suatu protein yang sukar dicerna berarti jumlah asam amino yang dapat diserap dan digunakan oleh tubuh rendah karena sebagian besar protein yang diasup dibuang kembali bersama feses (WNPG 2004). Asam amino adalah unit-unit penyusun protein yang terkandung dalam suatu bahan pangan. Protein dikatakan bernilai gizi tinggi apabila mengandung asam-asam amino esensial yang susunannya lengkap serta komposisinya sesuai dengan kebutuhan tubuh, serta asam-asam amino tersebut dapat digunakan oleh tubuh (Muchtadi 1993). Jenis dan jumlah asam amino esensial yang terkandung dalam suatu jenis protein dapat dilihat melalui profil asam amino. Profil asam amino KPI lele dumbo afkir metode terbaik dapat dilihat pada Tabel 10,
sedangkan perhitungan profil asam amino KPI lele dumbo afkir dapat dilihat pada Lampiran 8. Asam amino esensial tertinggi yang terkandung di dalam KPI lele dumbo afkir metode terbaik adalah asam amino lisin, yaitu sebesar 106,42 mg/g atau setara dengan 7,91%, sedangkan histidin mempunyai nilai jumlah asam amino terkecil, yaitu 23,69 mg/g atau setara dengan 1,76%. Husein et al. (2007) menyatakan bahwa ikan mengandung asam amino lisin dalam jumlah yang tinggi tetapi memiliki asam amino metionin yang rendah jika dibandingkan dengan beras dan bahan pangan sereal lainnya. Kandungan asam amino lisin KPI lele dumbo afkir hasil penelitian lebih tinggi dibandingkan dengan KPI nila hitam hasil penelitian Santoso et al. (2008), yaitu 19,60 mg/g protein atau setara dengan 1,6%. Menurut Adeyeye (2009), ikan lele mempunyai nilai asam amino lisin (50,2 mg/g protein) lebih tinggi dibandingkan dengan ikan nila (43,2 mg/g protein). Tabel 10 Komposisi asam amino KPI lele dumbo afkir metode terbaik Jenis Asam Amino Asam aspartat Asam glutamat Serin Histidin Glisin Treonin Arginin Alanin Tirosin Metionin Valin Fenilalanin Isoleusin Leusin Lisin
Kandungan (mg/g protein) 109,51 157,94 46,82 23,68 39,15 50,32 71,17 63,10 40,50 35,65 53,55 46,68 52,20 92,16 106,42
4.3 Karateristik tepung tulang ikan lele dumbo afkir Pembuatan
tepung
tulang
ikan
dilakukan
menggunakan
metode
penepungan yang berbeda, yaitu dengan metode basah dan metode kering.
Aplikasi untuk penelitian selanjutnya, dipilih satu metode penepungan metode terbaik dengan kriteria jumlah total kalsium dan rendemen tertinggi. 4.3.1 Total kalsium tepung tulang ikan lele dumbo afkir Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan total rerata kalsium tulang ikan yang dihasilkan dengan metode basah adalah 4773 mg/100 g tepung tulang ikan lele dumbo afkir dan metode kering sebesar 3568 mg/100 g tepung tulang ikan lele dumbo afkir. Berdasarkan analisis t-test, metode penepungan berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap total kalsium tepung tulang ikan lele dumbo afkir, dimana total kalsium tepung tulang ikan lele dumbo afkir yang dihasilkan dari metode basah lebih besar dibandingkan dengan metode kering. Total kalsium tepung tulang ikan lele dumbo afkir hasil penelitian lebih rendah jika dibandingkan dengan standar kalsium International of Seafood Alaska (ISA) (2002), yaitu 11900 mg/100 g tepung tulang ikan. Kaya et al. (2008) menyatakan bahwa perbedaan jumlah total kalsium ini diduga karena pengaruh suhu pengolahan, waktu dan metode yang dilakukan sehingga menghasilkan tepung tulang ikan dengan kadar kalsium yang berbeda pula. Hasil analisis ragam total kalsium dapat dilihat pada Lampiran 9,
Total kalsium (mg/100 g)
sedangkan histogram rerata total kalsium dapat dilihat pada Gambar 11.
5000
b
4000
a
3000 2000 1000 0 Metode basah
Metode kering
Metode Penepungan
Gambar 11 Histogram rerata total kalsium tepung tulang ikan lele dumbo afkir. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
4.3.2 Rendemen tepung tulang ikan lele dumbo afkir Rendemen merupakan persentase antara produk akhir tepung tulang ikan lele dumbo afkir yang dihasilkan dengan produk awal tulang ikan lele dumbo afkir. Menurut Kaya et al. (2008), semakin tinggi rendemen suatu produk maka dapat dikatakan bahwa produk tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi pula. Nilai rendemen tepung tulang ikan lele dumbo afkir dapat dilihat pada Gambar 12 sedangkan analisis rendemen tepung tulang ikan lele dumbo afkir dapat dilihat pada Lampiran 10. Hasil uji t-test menunjukkan bahwa rendemen tepung tulang lele dumbo afkir yang dihasilkan dipengaruhi secara nyata oleh metode penepungan yang digunakan. Metode basah menghasilkan rendemen tepung tulang ikan sebesar
Rendemen (%)
88,14%, lebih tinggi dibandingkan metode kering, yaitu 79,6%.
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
b a
Metode basah
Metode kering
Metode Penepungan
Gambar 12 Histogram rerata rendemen tepung tulang ikan lele dumbo afkir. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). 4.3.3 Karateristik tepung tulang ikan lele dumbo afkir metode terbaik Tepung tulang ikan lele dumbo afkir yang akan diaplikasikan pada penelitian selanjutnya dibuat berdasarkan satu metode penepungan terbaik yang telah diperoleh, yaitu metode basah. Metode tersebut dipilih berdasarkan nilai total kalsium dan rendemen tertinggi. Tepung tulang ikan lele dumbo afkir metode
terbaik kemudian dikarakterisasi lebih lanjut dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 11. Nilai derajat putih tepung tulang ikan lele dumbo afkir yang dihasilkan adalah 64,58%. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dengan derajat putih tepung tulang patin yang dihasilkan oleh penelitian Kaya (2008), yaitu sebesar 62,31%. Derajat putih bahan pangan berkaitan dengan penerimaan konsumen, sehingga semakin tinggi nilai derajat putih suatu jenis tepung ikan maka semakin baik pula mutu tepung tersebut (Buckle et al. 1987). Tabel 11 Karakteristik tepung tulang lele dumbo afkir Karakteristik Fisik Derajat putih (%) Daya serap air (mL/g) Daya serap minyak (g/g) Densitas kamba (g/mL) Karakteristik Kimia Kadar abu (%) Kadar protein (%) Total kalsium (%) Kadar lemak (%) Kadar air (%) pH
Nilai 64,58±0,15 1,80±0,01 2,03±0,56 1,02±0,00 Nilai 72,77±0,05 26,36±0,03 47,73±0,42 5,53±0,34 8,65±0,06 8
Nilai daya serap air adalah nilai rerata penyerapan air. Nilai daya serap air tepung tulang ikan lele dumbo afkir yang dihasilkan adalah 1,80 g/mL yang artinya setiap 1,80 g tepung tulang mampu menyerap 1 mL air. Semakin rendah kadar air atau semakin kering produk maka tingkat kelarutannya akan semakin tinggi. Kusumaningrum et al. (2007) menyatakan bahwa semakin besar nilai daya serap air dalam bahan maka akan semakin mudah air terserap ke dalam tepung dan mengisi rongga di dalam granula-granula penyusun tepung. Nila daya serap minyak tepung tulang ikan lele dumbo afkir yang dihasilkan adalah 2,03 g/g yang artinya dalam setiap 2,03 g tepung tulang mampu menyerap 1 g minyak. Menurut Hutton dan Campbell (1981), faktor-faktor yang mempengaruhi daya serap minyak adalah interaksi protein-lemak, konformasi
protein, interaksi protein-protein dan susunan ruang dari interaksi lemak dengan lemak. Densitas kamba merupakan sifat fisik bahan pangan yang dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Hasil analisis densitas kamba tepung tulang ikan lele dumbo afkir yang dihasilkan adalah 1,02 g/mL. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada volume 1 mL, berat tepung adalah 1,02 g. Nilai densitas kamba tepung tulang ikan lele dumbo afkir lebih besar jika dibandingkan dengan nilai densitas kamba tepung tulang ikan patin (Kaya 2008), yaitu sebesar 0,80 g/mL. perbedaan ini diduga dipengaruhi oleh ukuran partikel dan kekerasan permukaan tepung tulang ikan. Nilai kadar abu tepung tulang lele dumbo afkir yang dihasilkan adalah 72,77% dan lebih tinggi dari nilai kadar abu tepung tulang patin hasil penelitian Kaya (2008), yaitu sebesar 58,15% dan nilai standar kadar abu yang dikeluarkan oleh ISA (2002), yaitu sebesar 33,1%. Menurut Martinez et al. (1998) Perbedaan kadar abu tersebut dikarenakan kandungan mineral yang ada pada tulang ikan dipengaruhi oleh jenis ikan serta faktor ekologis seperti musim, tempat pembesaran, jumlah ketersediaan nutrisi, suhu dan salinitas yang berbeda. Nilai kadar protein tepung tulang lele dumbo afkir yang dihasilkan adalah 26,41%. Protein yang banyak terdapat dalam tulang ikan adalah protein kolagen. Kolagen adalah protein fibrilar yang banyak terdapat pada kulit dan tulang pada ikan dan mamalia (Glicksman 1969). Kadar protein tepung ikan lele dumbo afkir hasil penelitian lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar protein tepung tulang ikan patin penelitian Kaya (2008), yaitu sebesar 22,23%, tetapi lebih rendah dari standar kadar protein menurut ISA (2002), yaitu 34,2%. Hal ini diduga karena perbedaan metode penepungan serta jenis tulang ikan yang digunakan. Nilai kadar lemak tepung tulang ikan lele dumbo afkir hasil penelitian adalah 5,53%. Nilai kadar lemak ikan dumbo afkir tersebut hampir sama dengan nilai kadar lemak yang dikeluarkan oleh ISA (2002), yaitu 5,6%; dan lebih tinggi dari kadar lemak tepung tulang ikan patin hasil penelitian Kaya (2008), yaitu 2,73%. Lemak tulang ikan berada dalam bentuk lemak sederhana, yaitu trigliserida dari asam lemak. Lemak sederhana ini diklasifikasikan ke dalam
lemak netral yang mengandung unsur-unsur organik karbon, hidrogen dan oksigen yang terikat dalam ikatan gliserida (Suhardjo dan Kusharto 1999). Nilai kadar air tepung tulang ikan lele dumbo afkir yang dihasilkan adalah 8,79%. Hasil yang diperoleh tersebut masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan tepung tulang ikan patin hasil penelitian Kaya (2008), yaitu sebesar 4,95% dan kadar air standar yang ditetapkan oleh ISA (2002), yaitu 3,6%. Kaya et al. (2008) menduga bahwa perbedaan tersebut dipengaruhi oleh jenis tulang ikan, metode pembuatan serta proses pengeringan yang dilakukan. Air merupakan komponen utama bahan makanan sehingga dapat mempengaruhi rupa, tekstur maupun rasa bahan makanan. Air juga merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap daya awet suatu bahan olahan (Winarno 2008). Menurut Ibrahim (2010) keberadaan air erat kaitannya dengan kemampuan mikoroorganisme untuk hidup dan berkembang biak dan mengurai bahan pangan. Tepung tulang ikan lele dumbo afkir memiliki pH 8. Nilai pH tepung tulang hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Kaya (2008) yang menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan pH 7,88. Informasi nilai pH suatu bahan pangan diperlukan karena akan mempengaruhi proses penanganan dan pengolahan bahan pangan tersebut selanjutnya. Nilai pH sangat memegang peranan penting dalam proses penyerapan zat gizi dalam tubuh khususnya kalsium. Kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan terlarut karena kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air (Almatsier 2003). 4.4 Penelitian lanjutan Penelitian lanjutan bertujuan untuk mengetahui pengaruh substitusi KPI lele dumbo afkir dengan konsentrasi yang berbeda dan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir terhadap mutu organoleptik MP-ASI yang dihasilkan. Pengujian organoleptik dilakukan oleh 30 orang ibu yang mempunyai anak bayi. Hasil uji organoleptik akan dijadikan parameter penentu untuk menentukan formula terpilih dari 30 formula MP-ASI yang diteliti. Formula terpilih kemudian dikarakterisasi lebih lanjut untuk dibandingkan dengan formula kontrol dan produk MP-ASI komersial.
4.4.1 Uji organoleptik skoring Pengujian organoleptik skoring meliputi 6 jenis parameter uji, yaitu kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan, kelengketan dalam mulut, bau, rasa dan kesukaan keseluruhan. Menurut Mirdhayanti (2004), sifat kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan, dan kelengketan dalam mulut merupakan syarat utama untuk makanan bayi pendamping ASI berbentuk bubur. Pengujian bau, rasa dan kesukaan keseluruhan bertujuan untuk mengetahui pengaruh perbedaan substitusi KPI lele dumbo afkir serta penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir terhadap kualitas organoleptik produk MP-ASI yang dihasilkan. Pada pengujian ini, nilai 5 dianggap sebagai nilai tertinggi dan nilai 1 dianggap sebagai nilai terendah. (1) Kehalusan dalam mulut Kehalusan dalam mulut merupakan parameter yang menentukan sifat kehalusan formula MP-ASI apabila telah dilarutkan dengan air. Sifat kehalusan dalam mulut MP-ASI yang berbentuk bubur merupakan hal yang harus diperhatikan karena berhubungan dengan kenyamanan bayi dalam mencicipinya. bubur MP-ASI yang mempunyai tekstur yang kasar, apabila di konsumsi bayi dikhawatirkan bayi tidak menyukai dan akan disemburkan. Skor organoleptik yang tinggi menunjukkan bubur MP-ASI terasa halus dalam mulut, sedangkan skor yang rendah menunjukkan bubur terasa berpasir di dalam mulut. Hasil analisis Kruskal Wallis untuk parameter kehalusan dalam mulut dapat dilihat pada Lampiran 11, dan histogram rerata kehalusan dalam mulut dapat dilihat pada Gambar 13. Hasil analisis Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perbedaan jenis formula MP-ASI berpengaruh secara nyata terhadap nilai organoleptik kehalusan dalam mulut. Skor organoleptik tertinggi terdapat pada formula A0 (kontrol) dan nilai skor terendah pada formulasi E0 (substitusi KPI 45% dan penambahan tepung tulang 5 g). Nilai kehalusan formula yang paling disukai serta tidak berbeda nyata dengan MP-ASI formula kontrol adalah formula B1 (substitusi KPI 25% dan penambahan tepung tulang 1 g). Secara umum, semakin besar substitusi KPI lele dumbo afkir dan semakin banyak penambahan tepung tulang ikan lele
dumbo afkir maka skor organoleptik kehalusan dalam mulut menunjukkan nilai skor semakin kecil 1 dengan deskripsi berpasir. Hal ini diduga karena pada saat pembuatan bubur MP-ASI, KPI dan tepung tulang ikan lele dumbo afkir tidak larut secara sempurna dengan air sehingga menyebabkan tekstur bubur berpasir. Marta (2011) mengemukakan bahwa sifat kehalusan bubur dalam mulut dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu bahan penyusun, proses penyerapan air
ab c c
a
a a
a
a
a a
2,00
a
ab
a
a
c
c c ab ab
2,50
c
c bc ab
3,00
c
3,50
bc bc c bc
Skoring kehalusan
4,00
cd
4,50
cd
dan proses pengolahan MP-ASI.
1,50 1,00 0,50 0,00 A
B
C
D
E
Jenis Formula Gambar 13 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap skor kehalusan dalam mulut. Substitusi (KPI : susu skim); A (0%:100%), B (25%:75%), C (50%:50%), D (75%:25%), E (100%:0%). Konsentrasi tepung tulang; 0 g, 1 g, 2 g, 3 g, 4 g, 5 g. Angkaangka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata.
(2) Kelengketan dalam mulut Kelengketan dalam mulut menentukan sifat lengket bubur bayi setelah dilarutkan dengan air dan termasuk salah satu syarat utama untuk MP-ASI. Hasil analisis Kruskal wallis dapat dilihat pada Lampiran 12, dan histogram rerata skor kelengketan dalam mulut dapat dilihat pada Gambar 14. Berdasarkan analisis Kruskal Wallis, perbedaan formula MP-ASI berpengaruh nyata terhadap skor organoleptik kelengketan dalam mulut yang diamati. Nilai organoleptik tertinggi pada formula A5, yaitu 4 dengan deskripsi agak lengket, sedangkan nilai organoleptik terendah pada A4, yaitu 2 dengan
deskripsi agak encer. Penilaian secara umum hasil organoleptik menunjukkan bahwa dengan semakin banyak substitusi KPI dan penambahan tepung tulang ikan
bcd cd d
ab bcd
ab bc ab bcd cd
a a a C
a
a
ab ab
a
a
ab ab cd
ab
bc a
B
a
5,00 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
ab a ab ab
Skoring Kelengketan
lele dumbo afkir bubur MP-ASI semakin terasa lengket dimulut.
A
D
E
Jenis Formula Gambar 14 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula terhadap skor kelengketan dalam mulut. Substitusi (KPI : susu skim); A (0%:100%), B (25%:75%), C (50%:50%), D (75%:25%), E (100%:0%). Konsentrasi tepung tulang; 0 g, 1 g, 2 g, 3 g, 4 g, 5 g. Angka-angka yang diikuti menunjukkan berbeda nyata.
huruf
superskrip
berbeda
(a,b,c,d)
(3) Kemudahan ditelan Kemudahan ditelan termasuk syarat utama untuk makanan bayi yang berbentuk bubur. Hasil analisis Krusskal Wallis untuk parameter kemudahan ditelan dapat dilihat pada Lampiran 13, dan histogram rerata kemudahan ditelan dapat dilihat pada Gambar 15. Skor organoleptik kemudahan ditelan dipengaruhi secara nyata oleh perbedaan formula MP-ASI berdasarkan analisis Kruskal Wallis. Nilai organoleptik tertinggi pada formula kontrol, yaitu 4 dengan deskripsi mudah ditelan, sedangkan nilai organoleptik terendah pada formula E0, yaitu 2 dengan deskripsi agak sukar ditelan. Hasil organoleptik secara umum menunjukkan bahwa dengan semakin banyak substitusi KPI dan penambahan tulang ikan lele dumbo afkir menunjukkan nilai skor organoleptik kemudahan ditelan juga semakin menurun. Kemudahan ditelan dipengaruhi oleh sifat kehalusan dalam mulut dan kelengketan dalam mulut. Semakin tinggi skor organoleptik
kemudahan ditelan menunjukkan MP-ASI formula semakin halus dan tidak
B
C
D
a
ab ab a ab a
abc abc abc abc ab abc
d abc abc ab abc ab
abc ab ab
d
ab
d
cd A
ab
b
5,00 4,50 4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
d d d
Skor Kemudahan ditelan
lengket sehingga semakin mudah untuk ditelan.
E
Jenis Formula Gambar 15 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula terhadap skor kemudahan ditelan. Substitusi (KPI : susu skim); A (0%:100%), B (25%:75%), C (50%:50%), D (75%:25%), E (100%:0%). Konsentrasi tepung tulang; 0 g, 1 g, 2 g, 3 g, 4 g, 5 g. Angka-angka yang diikuti menunjukkan berbeda nyata.
huruf
superskrip
berbeda
(a,b,c,d)
(4) Bau Bau merupakan parameter organoleptik yang penting dalam penerimaan suatu makanan. Bau lebih banyak berhubungan dengan panca indera pembau. Nilai bau pada formula MP-ASI berkaitan dengan substitusi KPI lele dumbo afkir terhadap susu skim dan adanya penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir. Adanya substitusi KPI dan penambahan tepung tulang lele dumbo afkir tersebut diharapkan tidak merubah bau bubur bayi sehingga masih memiliki bau seperti bubur bayi pada umumnya. Skor yang tinggi menunjukkan adanya bau susu kuat sedangkan skor rendah menunjukkan adanya bau asing yang kuat. Hasil analisis Krusskal Wallis untuk parameter bau dapat dilihat pada Lampiran 14, dan histogram rerata bau dapat dilihat pada Gambar 16. Hasil analisis Kruskal Wallis organoleptik bau menunjukkan bahwa terdapat perbedaan bau yang nyata antar jenis formula MP-ASI. Skor organoleptik bau tertinggi terdapat pada formula A1 (tanpa substitusi KPI dan penambahan tepung tulang 1 g) dengan nilai skor 3, yaitu tidak beraroma asing/susu (netral).
Skor organoleptik bau terendah adalah C4 (substitusi KPI 50% dan penambahan tepung tulang 4 g). Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan, semakin banyak substitusi KPI dan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir, bau pada bubur semakin tidak berbau susu atau semakin berbau asing. Hal ini diduga karena dengan adanya substitusi KPI dan penambahan tepung tulang lele dumbo afkir, bau dari susu tersebut tergantikan dengan bau dari KPI dan tepung tulang
2,5
ab ab ab a a
a
a
bc ab ab ab ab
cd bcd bcd ab a ab
bcd
bcd cd bcd ab
ab
3
Skor bau
bcd
bcd bcd
3,5
ab
4
cd d
ikan lele dumbo afkir serta bahan-bahan lain yang ditambahkan (esens).
2 1,5 1 0,5 0 A
B
C
D
E
Jenis Formula Gambar 16 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula terhadap skor bau. Substitusi (KPI : susu skim); A (0%:100%), B (75%:25%), C (50%:50%), D (75%:25%), E (100%:0%). Konsentrasi tepung tulang; 0 g, 1 g, 2 g, 3 g, 4 g, 5 g. Angkaangka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata. (5) Rasa Rasa merupakan parameter yang melibatkan panca indera lidah dan merupakan faktor yang sangat menentukan pada keputusan terakhir konsumen untuk menerima atau menolak suatu makanan. Hasil analisis dapat dilihat pada Lampiran 15, dan histogram rerata organoleptik rasa formula MP-ASI dapat dilihat pada Gambar 17. Subtitusi KPI dan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir diharapkan tidak merubah rasa susu yang umumnya dimiliki oleh produk bubur
MP-ASI bayi. Skor organoleptik rasa yang tinggi menunjukkan adanya rasa susu kuat sedangkan skor rendah menunjukkan adanya rasa asing yang kuat. Hasil analisis Kruskal Wallis menyatakan bahwa perbedaan substitusi KPI dan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir dalam formula MP-ASI berpengaruh nyata terhadap skor rasa formula MP-ASI yang diamati. Skor organoleptik rasa tertinggi terdapat pada formula A1 (tanpa substitusi KPI dan penambahan tepung tulang 1 g) dengan nilai skor 3, yaitu tidak memiliki rasa asing atau susu (netral), sedangkan skor organoleptik rasa terendah adalah E5 (substitusi KPI 100% dan penambahan tepung tulang 5 g) dengan nilai 2, yaitu berasa asing. Hal ini menunjukkan bahwa adanya substitusi KPI dan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir akan menimbulkan rasa asing yang dapat menggantikan rasa susu.
2,50
a
a
ab ab ab ab
bc bcde bcd
bcde bc bc bc bc
ab bc bc ab bc ab
3,00
ab ab ab
Skor Rasa
3,50
bc
4,00
d de bcd bcd ab bc
4,50
2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 A
B
C
D
E
Jenis Formula Gambar 17 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula terhadap skor rasa. Substitusi (KPI : susu skim); A (0%:100%), B (25%:75%), C (50%:50%), D (75%:25%), E (100%:0%). Konsentrasi tepung tulang: 0 g, 1 g, 2 g, 3 g, 4 g, 5 g. Angkaangka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata.
(6) Kesukaan secara keseluruhan Parameter organoleptik kesukaan secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh kesukaan panelis secara subjektif. Skor organoleptik kesukaan secara
keseluruhan yang tinggi menunjukkan bubur formua MP-ASI disukai oleh panelis, sedangkan skor yang rendah menunjukkan bubur formula MP-ASI tidak disukai oleh panelis. Hasil analisis organoleptik kesukaan secara keseluruhan formula MP-ASI dapat dilihat pada Lampiran 16, dan histogram rerata kesukaan
abc b abc abc a
a
a
2,50
abcd cd abc abc abc
de de de
cd abcd cde abcd bcd abc
3,00
bcd bcd
Skor kesukaan
3,50
cd
4,00
e de de de bcd de
secara keseluruhan dapat dilihat pada Gambar 18.
2,00 1,50 1,00 0,50 0,00 A
B
C
D
E
Jenis formula Gambar 18 Histogram pengaruh perbedaan jenis formula terhadap skor kesukaan keseluruhan. Substitusi (KPI : susu skim); A (0%:100%), B (25%:75%), C (50%:50%), D (72%:25%), E (100%:0%). Konsentrasi tepung tulang: 0 g, 1 g, 2 g, 3 g, 4 g, 5 g. Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata.
Substitusi KPI dan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir pada MP-ASI bayi diharapkan dapat disukai oleh panelis. Skor yang tinggi menunjukkan
bahwa
MP-ASI
sangat
disukai,
sedangkan
skor
rendah
menunjukkan MP-ASI sangat tidak disukai. Skor organoleptik kesukaan secara keseluruhan tertinggi terdapat pada formula A0 (kontrol) dengan nilai skor 4 (disukai), sedangkan skor organoleptik kesukaan terendah adalah E0 (substitusi KPI 100% dan tanpa penambahan tepung tulang) dengan nilai 2 (sangat tidak disukai). Secara umum semakin banyak substitusi KPI dan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir dalam formula MP-ASI, memiliki skor kesukaan yang semakin rendah. Hal ini menunjukkan bahwa panelis lebih menyukai rasa susu dibandingkan KPI lele dan tepung tulang ikan lele dumbo afkir.
4.4.2 Pemilihan formula MP-ASI terpilih Penentuan MP-ASI formula terpilih didasarkan pada hasil uji penilaian organoleptik tertinggi untuk setiap parameter. Secara keseluruhan MP-ASI formula B1 menunjukkan nilai organoleptik (kehalusan dalam mulut, kelengketan dalam mulut, kemudahan ditelan, bau, rasa dan kesukaan secara keseluruhan) yang tidak berbeda nyata dengan formula kontrol sehingga formula ini ditentukan sebagai formula MP-ASI terpilih. Formula MP-ASI selanjutnya yang dipilih adalah MP-ASI formula C1 dengan nilai organoleptik tidak berbeda nyata dengan formula kontroldan formula B1 pada parameter kehalusan dimulut, kelengketan dalam mulut, kemudahan ditelan, bau dan rasa, tetapi pada nilai kesukaan secara keseluruhan menunjukkan berbeda nyata dengan MP-ASI formula kontrol. Alasan lain pemilihan MP-ASI formula B1 dan C1 ini adalah karena pada masingmasing formula dilakukan perlakuan substitusi KPI terhadap susu skim dan diberikan tambahan tepung tulang ikan sehingga dengan karakterisasi lebih lanjut dapat diketahui perbedaannya. 4.4.3
Karakteristik fisik MP-ASI formula terpilih Formula MP-ASI terpilih dikarakterisasi lebih lanjut meliputi daya serap
air, daya serap minyak dan densitas kamba, kemudian hasilnya dibandingkan dengan MP-ASI formula kontrol dan MP-ASI produk komersial. Data hasil analisis karakteristik fisik MP-ASI formula kontrol, formula terpilih dan MP-ASI produk komersial dapat dilihat pada Lampiran 17-19. Daya serap air sangat berhubungan dengan proses rehidrasi produk berbentuk bubuk yang nantinya akan diolah menjadi bahan berbentuk bubur sehingga apabila daya serap air bahan tinggi maka memerlukan jumlah air lebih banyak untuk proses rehidrasinya. Histogram rerata daya serap air MP-ASI formula kontrol, formula terpilih dan MP-ASI produk komersial dapat dilihat pada Gambar 19.
Daya Serap Air (g/mL)
7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00
c
a
a
A0 (kontrol)
B1
b C1
Produk komersial
Jenis Formulasi
Gambar 19 Histogram rerata perbedaan jenis formula MP-ASI terhadap daya serap air. Substitusi (KPI : susu skim + tepung tulang ikan); A0 (0%:100% + 0 g), B1 (25%:75% + 1 g), C1 (50%:50% + 1 g). Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai daya serap air MP-ASI formula C1 berbeda nyata (p<0,05) dengan MP-ASI formula kontrol, formula B1 dan MP-ASI produk komersial. Nilai daya serap air tertinggi ditunjukkan oleh MP-ASI produk komersial, yaitu sebesar 6,03 g/mL. Makanan pendamping ASI formula terpilih apabila dibandingkan dengan MP-ASI produk komersial, maka MP-ASI formula terpilih hasil penelitian lebih baik sifatnya dalam hal daya serap air. Nilai daya serap air terendah adalah MP-ASI formula kontrol dengan nilai 0,09 g/mL. Secara umum formulasi MP-ASI dengan substitusi KPI dan penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir yang semakin banyak menyebabkan nilai daya serap airnya juga semakin tinggi. Marta (2011) mengemukakan bahwa sifat yang diharapkan dari daya serap air makanan dalam bentuk bubur adalah nilai daya serap air yang rendah yang menunjukkan semakin sedikit jumlah air yang diperlukan untuk merehidrasi MP-ASI. Nilai daya serap air yang tinggi mengakibatkan semakin banyak air yang diperlukan untuk merehidrasi MP-ASI sehingga menyebabkan bayi akan merasa cepat kenyang. Rieuwpassa (2005) menyatakan bahwa daya serap air suatu bahan dipengaruhi oleh komponen-komponen penyusun MP-ASI seperti protein dan karbohidrat. Molekul karbohidrat memiliki kemampuan menyerap air enam hingga tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan molekul protein. Selain itu,
beberapa faktor lain yang mempengaruh, yaitu kemampuan grup-grup polar protein seperti karboksil, hidroksil, amina dan sufhidril dalam menyerap air. Kemampuan molekul protein untuk menyerap air terutama juga berlangsung pada sisi polar asam-asam amino protein. Daya serap minyak dalam bahan pangan terutama berkaitan dengan kadar lemak dan kadar protein. Semakin besar kadar lemak atau protein dalam suatu bahan pangan, semakin besar kemampuan daya serap minyaknya. Histogram rerata daya serap minyak MP-ASI formula kontrol, formula terpilih dan MP-ASI
Daya serap minyak (g/g)
produk komersial dapat dilihat pada Gambar 20.
3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00
d
c
b
a
A0 (kontrol)
B1
C1
Produk komersial
Jenis formulasi
Gambar 20
Histogram rerata perbedaan jenis formula terhadap daya serap minyak. Substitusi (KPI : susu skim + tepung tulang ikan); A0 (0%:100% + 0 g), B1 (25%:75% + 1 g) C1 (50%:50% + 1 g). Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa daya serap minyak MP-ASI formula kontrol berbeda nyata (p<0,05) dengan MP-ASI formula B1, C1 dan MP-ASI produk komersial. Nilai daya serap minyak terendah terdapat pada MPASI formula C1 sebesar 0,90 g/g sedangkan nilai daya serap minyak tertinggi ditunjukkan pada MP-ASI produk komersial sebesar 3,00 g/g. Menurut Ravi dan Sushelamma (2005), mekanisme penyerapan minyak dalam bahan pangan diduga melalui pemerangkapan minyak secara fisik yang berhubungan dengan keberadaan gugus nonpolar protein. Kandungan protein dan jenis protein berkontribusi terhadap sifat kapasitas penyerapan minyak bahan
pangan dimana asam amino protein yang bersifat nonpolar, yaitu fenilalanin, leusin, isoleusin, methionin, valin, dan triptofan yang bersifat hidrofobik dapat berikatan dengan minyak (Winarno 2008). Densitas kamba merupakan perbandingan antara berat bahan dengan volume ruang yang ditempati. Histogram rerata densitas kamba MP-ASI formula kontrol, formula terpilih dan produk komersial terdapat pada Gambar 21.
0,70 Densitas kamba (g/mL)
0,60 0,50 0,40
b
b a
ab
0,30 0,20 0,10
0,00 A0 (kontrol)
B1
C1
Jenis formulasi
Gambar 21
produk komersial
Histogram rerata perbedaan jenis formula terhadap densitas kamba. Substitusi (KPI : susu skim + tepung tulang ikan); A0 (0%:100% + 0 g), B1 (25%:75% + 1 g), C1 (50%:50% + 1 g). Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa densitas kamba MP-ASI formula kontrol tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan MP-ASI formula B1, C1 dan MPASI produk komersial, sedangkan MP-ASI produk komersial menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) dengan MP-ASI formula B1 dan C1. Nilai densitas kamba terendah pada MP-ASI formula kontrol sebesar 0,39 g/mL, sedangkan nilai densitas kamba tertinggi pada MP-ASI formula C1 sebesar 0,56 g/mL. Jika dikaitkan dengan nilai densitas kamba KPI lele dumbo afkir (0,62 g/mL) maka secara umum menunjukkan bahwa adanya substitusi KPI lele dumbo afkir dalam MP-ASI formula terpilih menyebabkan nilai densitas kamba MP-ASI semakin tinggi.
Makanan bayi tidak boleh memiliki sifat kamba, yaitu MP-ASI mempunyai nilai densitas kamba kecil, yang berarti MP-ASI tersebut untuk berat yang ringan membutuhkan ruang/volume yang besar, sehingga dikhawatirkan MP-ASI memiliki volume yang besar tetapi kandungan gizinya rendah. Dengan demikian harus memperhatikan jumlah kandungan protein serta energi yang terkandung dalam makanan bayi harus tinggi (Krisnatuti dan Yenrina 2000). Makanan yang bersifat kamba akan cepat memberikan rasa kenyang sehingga bayi tidak mau meneruskan makannya. Di lain pihak, terdapat kemungkinan bahwa energi dan zat gizi yang dibutuhkan oleh bayi kurang terpenuhi. Sifat kamba antara lain terdapat pada bahan karbohidrat atau bahan mengandung pati yang tinggi, seperti serealia dan umbi-umbian. 4. 4. 4 Komposisi gizi MP-ASI formula terpilih Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi gizi yang terdapat pada formula MP-ASI, untuk dibandingkan dengan standar komposisi gizi makanan tambahan bayi menurut FAO (1991). Analisis yang dilakukan meliputi kadar air, protein, lemak dan karbohidrat serta analisis total kalsiumdapat dilihat pada Lampiran 20. Komposisi proksimat formula terpilih dapat dilihat pada Tabel 12. Hasil analisis menunjukkan bahwa MP-ASI produk komersial memiliki kadar air terendah dan berbeda nyata (p<0,05) dengan MP-ASI formula kontrol, B1 dan C1. Makanan pendamping ASI formula C1 memiliki kadar air tertinggi dan berbeda nyata (p<0,05) dengan MP-ASI formula kontrol dan formula B1, sedangkan kadar air MP-ASI kontrol tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan MP-ASI formula B1. Perbedaan kandungan air pada MP-ASI kontrol, formula B1 dan C1 diduga disebabkan karena perbedaan jumlah substitusi KPI lele dumbo afkir terhadap susu skim. Konsentrat protein ikan lele afkir sendiri sebagai bahan substitusi memiliki kadar air sebesar 8,65% yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kadar susu skim (4,95%), sehingga semakin banyak KPI lele dumbo afkir yang disubstitusikan maka semakin tinggi nilai kadar air formula MP-ASI.
Tabel 12 Komposisi gizi MP-ASI formula kontrol, formula terpilih dan MP-ASI produk komersial Formula (susu skim:KPI) + tepung tulang ikan Komponen
Air (%) Protein (%) Lemak (%) Abu (%) Karbohidrat (%) Kalsium (mg) Energi (kkal)
A0 kontrol (0%:0%) +1g 6,83b 11,74a 11,16c 2,54a 74,56c 208C 367,19a
B1 (75%:25%) +1g 6,84b 17,65b 11,03c 3,51b 67,81b 172b 380,47c
C1 (50%:50%) +1g) 8,28c 24,73c 9,65b 2,93a 62,89a 162b 379,50c
Produk Komersial
2,49a 11,84a 2,14a 2,66a 83,36d 142a 246,66a
FAO 1991
Min. 15 10-25 533,3 400
Keterangan: angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05).
Berdasarkan analisis ragam MP-ASI formula kontrol memiliki kadar protein terendah dan berbeda nyata (p<0,05) dengan MP-ASI formula B1 dan C1, sedangkan MP-ASI formula C1 memiliki kadar protein tertinggi dan berbeda nyata (p<0,05) dengan MP-ASI formula kontrol, formula B1, dan MP-ASI produk komersial. Hal ini dikarenakan KPI lele dumbo afkir yang disubstitusikan pada susu skim merupakan bahan yang berprotein tinggi (81,60%) sehingga apabila semakin banyak ditambahkan ke dalam formula MP-ASI maka akan meningkatkan kadar protein formula MP-ASI tersebut. Berdasarkan persyaratan makanan bayi menurut FAO (1991), MP-ASI formula C1 telah memenuhi persyaratan kandungan protein minimal, yaitu 15 g /100 g bahan. Hasil analisis ragam kadar lemak menunjukkan bahwa MP-ASI produk komersial memiliki kadar lemak terendah dan berbeda nyata (p<0,05) dengan MP-ASI formula kontrol, formula B1, dan formula C1. Kadar lemak tertinggi adalah MP-ASI formula C1 dan berbeda nyata (p<0,05) dengan MP-ASI formula kontrol, formula B1 dan MP-ASI produk komersial. Makanan pendamping ASI formula kontrol menunjukkan tidak berbeda nyata (p>0,05) dengan MP-ASI formula B1. Kandungan lemak MP-ASI formula kontrol, formula B1 dan formula C1 tersebut tidak berbeda jauh karena konsentrasi minyak nabati yang ditambahkan pada formula MP-ASI terpilih konsentrasinya sama, yaitu sebanyak
10g/100g. Berdasarkan persyaratan makanan pendamping bayi menurut FAO (1991) MP-ASI formula B1 (11,03%) telah memenuhi syarat dengan kandungan lemak, yaitu sebesar 10-25% per 100 g bahan. Sedangkan kandungan lemak MP-ASI produk komersial jauh dibawah persyaratan kadar lemak untuk MP-ASI menurut FAO (1991), yaitu sebesar 2,14%. Berdasarkan hasil analisis ragam MP-ASI formula B1 memiliki kadar abu tertinggi dan berbeda nyata (p<0,05) dengan MP-ASI formula kontrol, formula C1 dan MP-ASI produk komersial, sedangkan MP-ASI formula kontrol tidak berbeda nyata (p>0,05) terhadap MP-ASI formula C1 dan MP-ASI produk komersial. Hal ini diduga karena pada MP-ASI formula B1 mempunyai komposisi susu skim lebih banyak dari pada jumlah KPI (75%:25%) yang disubstitusikan. Jumlah susu skim yang lebih banyak tersebut diduga dapat memberikan nilai kadar abu yang lebih tinggi karena kandunga mineralnya tinggi (kandungan mineral kalsium 1,80 mg/g) dibandingkan MP-ASI formula C1 yang perbandingan susu skimnya lebih sedikit meskipun dengan penambahan tepung tulang yang sama (1 g). Jumlah kadar abu pada MP-ASI formula B1 juga lebih tinggi dibandingkan MP-ASI formula kontrol. Hal ini dikarenakan pada MP-ASI formula kontrol tidak ada penambahan tepung tulang ikan lele dumbo afkir. Berdasarkan hasil analisis ragam, MP-ASI produk komersial memiliki kadar karbohidrat yang paling tinggi, yaitu 83,36% dan berbeda nyata (p<0,05) dengan MP-ASI formula A0, B1 dan formula C1. Makanan pendamping ASI formula C1 memiliki kadar karbohidrat terendah, yaitu 62,89% dan berbeda nyata (p<0,05) dengan formula A0, B1 dan produk komersial, sedangkan MP-ASI formula B1 menunjukkan berbeda nyata dengan MP-ASI formula kontrol, formula C1 dan MP-ASI produk komersial. Perbedaan kandungan karbohidrat tersebut diduga karena perbedaan komposisi susu skim sebagai salah satu bahan penyusun formula MP-ASI. Hal ini karena sebagian besar penyusun susu skim merupakan laktosa yang termasuk kedalam karbohidrat, sehingga semakin banyak perbandingan susu skim maka semakin tinggi kadar karbohidrat dalam formula MP-ASI. Berdasarkan hasil analisis ragam MP-ASI formula kontrol mempunyai total kalsium tertinggi, yaitu sebesar 207 mg/100 g bahan, sedangkan produk
komersial mempunyai jumlah total kalsium paling rendah, yaitu 142 mg/100g bahan. Hal ini dikarenakan MP-ASI formula kontrol mempunyai kandungan susu skim (kandungan mineral kalsium 1,80 mg/g) lebih banyak dibandingkan MP-ASI formula lain dimana susu merupakan salah satu sumber kalsium pada bahan pangan. Susu nonfat (susu skim) merupakan sumber terbaik kalsium karena ketersediaan biologiknya yang tinggi (Almatsier 2003). Jumlah energi dihitung berdasarkan hasil konversi jumlah kandungan makronutrien karbohidrat (4 kkal/g), protein (4 kkal/g), dan lemak (9 kkal/g). Berdasarkan hasil analisis ragam, MP-ASI formula C1 memiliki kandungan energi tertinggi, yaitu 379,50 kkal tetapi nilai tersebut tidak berbeda nyata dengan nilai energi pada MP-ASI formula B1, yaitu 380,47 kkal. Formula yang mempunyai kandungan energi terendah adalah pada MP-ASI produk komersial, yaitu sebesar 246,66 kkal. Berdasarkan standar energi acuan makanan tambahan bayi yang dikeluarkan oleh FAO (1991) maka MP-ASI formula kontrol, formula B1, formula C1 dan MP-ASI produk komersial belum memenuhi persyaratan kandungan energi minimal, yaitu 400 kkal dalam 100 gram bahan. 4.4.5 Profil asam amino MP-ASI terpilih Asam amino esensial digunakan untuk menentukan mutu suatu protein dalam bahan pangan. Komposisi dan jumlah asam-sam amino esensial yang semakin lengkap maka semakin tinggi mutu protein tersebut (WNPG 2004). Kandungan asam amino esensial pada makanan bayi merupakan hal yang penting karena berfungsi antara lain sebagai imunitas, perkembangan otak dan pertumbuhan tubuh bayi. Profil asam amino MP-ASI formula kontrol, formula terpilih dan MP-ASI produk komersial dapat dilihat pada Lampiran 20. Profil asam amino esensial formula MP-ASI kontrol terpilih, dan produk komersial dapat dilihat pada Tabel 13, sedangkan skor asam amino esensial formula MP-ASI kontrol, formula terpilih, dan MP-ASI produk komersial dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 13 Profil asam amino esensial formula kontrol, formula terpilih dan MP-ASI produk komersial Jenis asam amino esensial Histidin Isoleusin Leusin Valin Lisin Treonin Metionin Tirosin + Fenilalanin
Formula (kontrol) A0 (mg/g protein) 34,92 66,43 127,75 80,91 80,06 56,21 32,36 100,50
Formula B1 (mg/g protein)
Formula C1 (mg/g protein)
28,97 56,65 104,24 65,15 97,44 50,42 30,59
25,48 53,38 97,06 58,64 99,89 50,55 30,73
107,99
82,71
Produk komersial (mg/g protein) 28,97 51,80 60,58 40,39 43,90 43,02 57,07 76,43
Tabel 14 Skor asam amino esensial formula kontrol, formula terpilih dan MP-ASI produk komersial Jenis asam amino esensial Histidin Isoleusin Leusin Valin Lisin Treonin Metionin Tirosin + Penilalanin
Pola ref. (bayi 6-24 bln) (mg/g) 16 28 66 35 58 34 25 47
Formula A0 %
Formula B1 %
Formula C1 %
100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100
100 100 100 100 100 100 100
100
100
100
Produk komersial % 100 100 91,79 100 75,69 100 100 100
Hasil analisis profil asam amino secara keseluruhan menunjukkan MP-ASI produk komersial mempunyai jumlah asam amino lebih kecil jika dibanding dengan jumlah asam amino MP-ASI formula kontrol dan formula terpilih. Profil asam amino pada Tabel 13 menunjukkan bahwa jumlah asam amino susu skim menunjukkan nilai jumlah asam amino lebih besar pada asam amino isoleusin, leusin, valin dan histidin tetapi rendah asam amino lisin jika dibandingkan dengan jumlah asam amino KPI lele dumbo afkir. Pada formula kontrol dan formula terpilih B tidak terdapat asam amino pembatas, sedangkan pada MP-ASI Produk komersial yang berperan sebagai asam amino pembatas pertama adalah lisin dan asam amino pembatas kedua adalah leusin. Asam amino pembatas tersebut ditandai dengan angka yang ditebalkan. Asam amino pembatas adalah asam amino yang ketersediaannya dalam jumlah terbatas sehingga menyebabkan
sintesis protein hanya dapat berlangsung selama masih tersedia asam amino tersebut (Muctadi 1993). Pada umumnya empat asam amino yang sering defisit dalam makanan anak-anak adalah lisin, metionin+sistein, treonin dan triptofan (WNPG 2004). 4.3.5 Daya cerna protein in vitro MP-ASI terpilih Daya cerna protein in vitro adalah kemampuan suatu protein untuk dihidrolisis menjadi asam-asam amino oleh enzim-enzim pencernaan. Nilai gizi protein ditentukan oleh ketersediaan asam-asam aminonya secara biologis (Muctadi 1993). Histogram daya cerna in vitro MP-ASI formula kontrol, formula terpilih, dan MP-ASI produk komersial dapat dilihat pada Gambar 22, sedangkan perhitungan hasil analisis daya cerna in vitro dapat MP-ASI formula kontrol,
Daya Cerna protein in vitro (%)
formula terpilih, dan MP-ASI produk komersial dapat dilihat pada Lampiran 21.
100
a
d
c
B1
C1
b
80 60 40 20 0
A0
produk komersial
Jenis formula
Gambar 22 Histogram rerata daya cerna in vitro pada jenis formula yang berbeda. Substitusi KPI : susu skim + tepung tulang ikan; A0 (0%:100% + 0 g), B1 (25%:75% + 1 g), C1 (50%:50% + 1 g). Angka-angka yang diikuti huruf superskrip berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Uji lanjut Duncan MP-ASI formula kontrol, formula terpilih dan MP-ASI produk komersial menunjukkan berbeda nyata (p<0,05). Makanan pendamping ASI formula B1 mempunyai daya cerna protein in vitro tertinggi, yaitu 92,86% sedangkan MP-ASI formula kontrol mempunyai nilai daya cerna protein in vitro
terendah, yaitu 88,86%. Nilai daya cerna protein in vitro MP-ASI terpilih menunjukkan lebih besar dibandingkan dengan nilai daya cerna protein in vitro MP-ASI produk komersial. Hal ini menunjukkan bahwa substitusi KPI lele dumbo afkir dapat meningkatkan nilai derajat cerna protein pada formula MP-ASI. Mutu protein selain ditentukan oleh komposisi dan jumlah asam amino yang terkandung dalam suatu bahan pangan, juga ditentukan oleh daya cerna proteinnya (WNPG 2004). Semakin tinggi daya cerna protein makan semakin tinggi mutu protein pada bahan pangan tersebut.