31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05o49’45’’- 06o 02’00’’LS dan 106o03’20’’- 106o16’00’’BT. Teluk Banten berbentuk setengah lingkaran (Suadela, 2004). Teluk Banten terletak di Pantai Utara Jawa pada jarak 60km di sebelah barat kota Jakarta, termasuk wilayah administrasi Kabupaten Serang di Provinsi Banten yang sebelumnya mejadi bagian barat dari provinsi Jawa Barat. Kawasan ini mempunyai panjang pantai sekitar 22 km dengaan variasi kedalaman 0,2 - 9 meter. Sebagian besar kawasan teluk bagian barat dimanfaatkan untuk kawasan industri dan pelabuhan Bojonegara. Kawasan teluk bagian selatan dimanfaatkan untuk industri, perumahan nelayan, pertambakan dan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Bagian timur meliputi kawasan pertambakan serta bagian dari kawasan lindung Cagar Alam Pulau Dua (Tiwi, 2004). Pasang surut perairan Teluk Banten sangat dipengaruhi oleh kondisi peraian Selat Sunda, dengan tinggi air pasangnya mencapai 90 cm. Berg (1999) in Pasisingi (2011) juga menyatakan bahwa endapan yang membentuk dasar perairan Teluk Banten berasal dari berbagai proses alam. Sebagian kecil endapan berasal dari Sungai Cibanten, dimana endapan inilah yang menyebabkan proses pendangkalan di Pulau Dua mulai tahun 1970. Lapisan di bawahnya berupa endapan yang berasal dari tsunami sebagai akibat dari letusan Gunung Krakatau tahun 1883 (Tiwi, 2004). Teluk Banten mempunyai kawasan perairan seluas sekitar 150 km2 yang termasuk perairan dangkal dengan turbiditas tinggi. Terdapat beberapa pulau di kawasan ini yaitu Pulau Panjang, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, Pulau Semut, Pulau Tarahan, Pulau Pisang, Pulau Gosong Dadapan, Pulau Kubur, Pulau Tanjung Gundul, Pulau Lima dan Pulau Dua. Kawasan perairan terutama di sekitar pulau kecil mempunyai kekayaan ekosistem dan biodiversitas yang bernilai tinggi. Padang lamun, terumbu karang, hutan bakau dan kawasan konservasi burung Pulau Dua yang ada di kawasan ini terkenal sampai tingkat internasional. Kawasan padang lamun mempunyai luasan 365 hektar, 100 hektar diantaranya berada di kawasan barat Teluk Banten yang merupakan kawasan padang lamun terbesar di Indonesia.
32 Kawasan terumbu karang diperkirakan meliputi luasan 2,5 km2, 22%nya merupakan karang hidup. Ekosistem bakau lebih mendominasi kawasan teluk bagian timur selatan terutama di sekitar Pulau Dua. Pengamatan faktor hidrologi perairan Teluk Banten secara keseluruhan sangat dipengaruhi oleh Laut Jawa. Salinitas menurun pada musim hujan, kecuali pada perairan muara sungai dan sekitarnya. Pengamatan pada tahun 1998-1999 menunjukkan bahwa suhu air berkisar 28-31,50C. Salinitas di daerah penangkapan ikan sekitar 28 – 33,8 ppm. Salinitas rendah (< 20 ppm) di perairan dekat muara sungai. Kecerahan di sekitar pulau-pulau karang di tengah Teluk Banten hingga utara Pulau Panjang bervariasi berkisar 2-10 meter. Kecerahan pada musim hujan di kawasan pantai dapat mencapai 10 cm (Nuraini 2004).
4.1.2. Perikanan di Teluk Banten Teluk Banten merupakan bagian dari perairan Laut Jawa. Sumberdaya ikan yang berada di Teluk Banten sangat bervariasi, mulai dari ikan demersal, pelagis sampai ikan karang. Jenis-jenis ikan yang ditangkap di perairan Teluk Banten disajikan pada Gambar 8.
11% 1%
2%
7%
6%
6% 10%
15%
7% 14%
10%
3% 3%
2%
3%
Teri Kembung Selar Cumi-cumi Rajungan Sotong Kuniran
Tembang Peperek Kuwe Beloso Kurisi Gulamah Udang
Gambar 8. Persentasi hasil tangkapan per jenis ikan yang didaratkan di PPN Karangantu (laporan Statistik PPN Karangantu 2012) Berdasarkan Gambar 8 terlihat bahwa hasil tangkapan rajungan yang didaratkan di PPN Karangantu masih tergolong rendah yaitu sebesar 3% dari jumlah keseluruhan. Hal ini didasari karena secara umum alat tangkap yang digunakan untuk menangkap rajungan tergolong alat tangkap yang bersifat tradisional yaitu jaring insang tetap, jaring dogol, jaring payang, jaring tiga lapis, dan bagan perahu.
33 Pada Tabel 2 menunjukkan hasil tangkapan dengan satuan ton yang diperoleh oleh nelayan di Teluk Banten yang mendaratkan rajungannya di PPN Karangantu selama tahun 2005-2011. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan rajungan tersebut yaitu jaring insang tetap, jaring dogol, jaring payang, jaring tiga lapis, dan bagan perahu. Hasil tangkapan yang diperoleh per tahun masing-masing alat tangkap sangat berfluktuasi. Tabel 2. Hasil tangkapan rajungan (ton) per jenis alat tangkap di Teluk Banten kurun waktu 2005-2011 Jaring Insang Jaring Jaring Jaring Bagan Tahun Tetap Dogol Payang Tiga Lapis Perahu 2005 17,126 23,498 22,494 8,824 1,025 2006 4,141 4,060 3,522 1,100 2,037 2007 13,159 9,887 4,127 1,508 9,638 2008 11,586 7,450 1,491 3,920 1,141 2009 12,890 8,475 1,567 1,426 3,032 2010 11,720 5,693 0,852 0,382 3,774 2011 9,483 1,217 0,193 0,387 3,259 (laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012) Tabel 3 menunjukkan upaya tangkapan tahunan dalam satuan trip rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten yang menggunakan lima jenis alat tangkap yaitu jaring insang tetap, jaring dogol, jaring payang, jaring tiga lapis, dan bagan perahu. Tabel 3 Upaya per jenis alat tangkap (trip) rajungan di Teluk Banten kurun waktu 2005-2011 Jaring Jaring Jaring Jaring Tiga Bagan Tahun Insang Tetap Dogol Payang Lapis Perahu 2005 820 1.162 822 1.562 705 2006 601 569 502 543 510 2007 1.100 882 668 336 678 2008 1.864 1.351 270 567 854 2009 1.899 1.804 186 167 508 2010 4.390 2.449 258 129 449 2011 1.478 183 102 139 808 (laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012)
34 Berdasarkan hasil perhitungan standarisasi upaya pada Lampiran 2 maka diperoleh data runut waktu total tangkapan rajungan serta jumlah upaya penangkapan dalam satuan trip dari lima jenis alat tangkap, dimana yang menjadi upaya standar adalah trip menggunakan alat tangkap dogol sebagaimana terlihat pada Tabel 4. Fluktuasi tangkapan dari tahun 2005 sampai tahun 2011 dapat dilihat pada Gambar 9, secara visual. Tabel 4. Jumlah tangkapan (c) dan jumlah upaya penangkapan (f) rajungan di Teluk Banten berdasarkan hasil standarisasi kurun waktu 2005-2011 Tahun
c (kg)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
f (trip)
122.967 14.860 38.319 25.588 27.390 22.421 14.539
3.228 1.754 2.459 3.102 3.200 5.124 1.400
(Laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012) Pada Tabel 4, terlihat bahwa hasil tangkapan dari standarisasi kurun waktu 2005-2011, hasil tangkapan tertinggi diperoleh di tahun 2005 sebesar 122.967 kg dan upaya tertinggi diperoleh pada tahun 2010 yaitu sebesar 5.124 trip. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian terdahulu oleh Pasisingi (2011) dengan standarisasi kurun waktu 2005-2010 bahwa hasil tangkapan tertinggi diperoleh tahun 2005 sebesar 112.328 kg dan upaya tertinggi pun diperoleh pada tahun 2010
Hasil Tangkapan (Ton)
sebesar 7.349 trip. 120 100 80 60 40 20 0
87,501
96,227
79,203
70,998
50,358
63,554
19,225 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 9. Grafik jumlah tangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu 2005-2011
35 Produksi rajungan di Teluk Banten selama tujuh tahun ditunjukan oleh Gambar 9. Selama tujuh tahun kurun waktu tersebut, terlihat bahwa hasil tangkapan tertinggi pada tahun 2005, sedangkan tangkapan terendah pada tahun 2006. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala PPN Karangantu, hasil tangkapan 2006 yang menurun secara drastis diduga karena kenaikan bahan bakar minyak (BBM) khususnya solar yang digunakan oleh nelayan untuk melaut. Hal ini berakibat nelayan menurunkan effort sehingga hasil tangkapan yang didapatkan menurun pada tahun tersebut. Namun, secara keseluruhan, hasil tangkapan rajungan di Teluk Banten cukup fluktuatif. Pada Gambar 10 menunjukkan fluktuasi tahunan upaya penangkapan rajungan dalam satuan trip di Teluk Banten oleh nelayan PPN Karangantu. Upaya tangkapan tertinggi pada tahun 2010, sedangkan upaya tangkapan terendah pada tahun 2006. Upaya tangkapan mulai menurun lagi pada tahun 2011 namun secara keseluruhan terlihat adanya peningkatan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu
Upaya (trip)
dari tahun 2006 sampai tahun 2010. 9000 8000 7000 6000 5000 4000 3000 2000 1000 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 10. Grafik upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu 2005-2011 Gambar 11 menunjukkan tangkapan per satuan upaya (Catch per unit Effort/CPUE) rajungan di Teluk Banten. Selama tujuh tahun CPUE cukup berfluktuasi. CPUE tertinggi pada tahun 2011, sedangkan terendah pada tahun 2006. Pada tahun 2008 hingga 2010, CPUE di Teluk Banten menurun namun meningkat kembali pada tahun 2011.
36
CPUE (ton/trip)
0,025 0,02 0,015 0,01 0,005 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 11. Grafik tangkapan per satuan upaya penangkapan rajungan oleh nelayan Karangantu di Teluk Banten kurun waktu 2005-2011
4.1.3. Daerah dan Musim Penangkapan Daerah penangkapan atau fishing ground nelayan rajungan di Teluk Banten berdasarkan hasil wawancara dengan para nelayan rajungan berada di Pulau Tunda, Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan Besar, dan Pulau Panjang. Hasil tangkapannya didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu. Lama waktu tempuh nelayan untuk mencapai fishing ground
Pulau Pamujan Kecil, Pulau Pamujan
Besar, dan Pulau Panjang adalah sekitar 30 menit dengan jarak tempuh 1,5 mil sedangkan untuk Pulau Tunda adalah sekitar 1 jam hingga 1 jam 30 menit dengan jarak tempuh sekitar 4 mil. Usaha penangkapan rajungan dengan skala kecil operasi penangkapannya adalah one day fishing. Spesies rajungan yang umumnya ditangkap oleh nelayan adalah Portunus pelagicus. Penentuan fishing ground dilakukan hanya dari pengalaman nelayan dan perkiraan cuaca. Perkiraan cuaca diperoleh dengan pengamatan sendiri berdasarkan berbagai gejala alam, seperti angin besar dan gelombang tinggi. Musim penangkapan rajungan di perairan Teluk Banten berdasarkan hasil wawancara terdiri atas tiga musim yaitu musim puncak, sedang, dan musim paceklik. Musim puncak terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari. Musim sedang terjadi pada bulan September – November. Musim paceklik terjadi pada bulan Maret – Agustus. Hasil wawancara tersebut didukung oleh data produksi rajungan per bulan oleh nelayan di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu dengan kurun waktu 2005-2011 pada Tabel 5.
37 Berdasarkan Tabel 5, terlihat bahwa produksi terbanyak diperoleh di bulan Desember, Januari dan Februari, hal ini membuktikan bahwa musim puncak diperoleh pada bulan tersebut. Musim sedang penangkapan rajungan terlihat pada data tersebut di bulan September – November. Pada bulan Maret – Agustus produksi rajungan berjumlah sedikit dan hal ini dapat membuktikan pada bulan tersebut merupakan musim paceklik. Tabel 5. Produksi rajungan per bulan di PPN Karangantu tahun 2005-2011 BULAN
HASIL TANGKAPAN (KG) TAHUN KE2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Januari
26.070
2.765
668
19.761
8.211
22.536
3.456
Februari
29.300
1.950
427
13.403
23.408
4.523
4.385
Maret
16.200
3.700
88
4.703
2.573
4.577
3.095
April
9.321
2.220
488
5.325
2.511
683
4.812
Mei
1.810
2.890
595
3.928
2.739
14.724
4.530
Juni
803
2.225
351
1.624
942
300
4.518
Juli
845
700
393
3.328
3.368
2.562
2.867
Agustus
786
532
67
4.144
1.312
4.566
5.093
September
12.400
363
40
4.710
3.516
3.200
3.328
Oktober
10.600
560
183
3.359
8.287
4.512
10.031
November
5.000
440
16.615
15.519
12.141
4.840
12.783
Desember
218
880
30.443
7.669
10.195
3.975
4.656
4.1.4. Model Surplus Produksi A.
Model Schaefer (1954) Model Schaefer mengikuti model pertumbuhan logistik. Penurunan hasil
tangkapan per satuan upaya CPUE terhadap upaya penangkapan F mengikuti pola regresi linear. Hasil tangkapan rajungan C dalam satuan ton, upaya penangkapan F dalam satuan trip serta tangkapan per satuan upaya CPUE dalam satuan ton/trip disajikan pada Tabel 6. Kolom 2 menunjukkan hasil tangkapan, sedangkan kolom 3 menunjukkan upaya trip yang dilakukan oleh nelayan. Hubungan parabolik antara hasil keseimbangan dan upaya penangkapan optimum akan memberikan informasi mengenai hasil tangkapan maksimum lestari MSY dan tingkat penangkapan optimum FMSY yang akan menghasilkan MSY. Adapun tangkapan per satuan upaya CPUE (kolom 4) diperoleh dari hasil bagi antara tangkapan C (kolom 2) dengan upaya tangkapan F (kolom 3) setiap tahunnya dari tahun 2005 sampai 2011.
38 Tabel 6. Jumlah tangkapan (C), jumlah upaya penangkapan (F) dan jumlah tangkapan per satuan upaya (CPUE) rajungan di Teluk Banten Tahun
C (kg)
F (trip)
CPUE(kg/trip)
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
122967 14860 38319 25588 27390 22421 14539
3228 1754 2459 3102 3200 5124 1400
38,0915 8,4735 15,5837 8,2475 8,5590 4,3755 10,3857
(Laporan Statistik PPN Karangantu 2011 dan 2012) Regresi antara CPUE (kolom 4) dan upaya penangkapan (kolom 3) pada Tabel 6, menghasilkan persamaan regresi linear sebagai berikut:
Upaya optimum model Schaefer dapat diperoleh dari hasil perhitungan pada Lampiran 3 dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a= 1,5090 dan b = 0,0006, sehingga diperoleh hasil sebesar 1.283 trip/tahun dan R2 sebesar 0,0397. Berdasarkan model Schaefer, selama satu tahun jumlah trip upaya tangkapan tidak boleh melebihi 1.283 trip. Adapun hasil tangkapan maksmum lestari MSY dapat diduga dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi a dan b sehingga diperoleh hasil sebesar 968 kg/tahun. Artinya, untuk dapat memanfaatkan sumberdaya rajungan secara lestari di Teluk Banten, maka potensi ikan yang boleh ditangkap selama satu tahun maksimal 968 kg. Artinya hasil tangkapan maksimum lestari atau MSY rajungan di Teluk Banten sebesar 968 kg/tahun, dengan dugaan upaya penangkapan optimum 1.283 trip selama satu tahun. Gambar 12 menunjukkan grafik hubungan antara jumlah tangkapan maksimum lestari dengan upaya penangkapan rajungan di Teluk Banten. MSY yang dihasilkan pada model Schaefer sebesar 968 kg diperoleh dengan upaya optimum 1.283 trip selama setahun.
Hasil Tangkapan (kg)
39
1000 900 800 700 600 500 400 300 200 100 0 0
500
1000
1500
2000
2500
Upaya (trip)
Gambar 12. Kurva hubungan jumlah tangkapan (C) dan jumlah upaya penangkapan (F) rajungan di Teluk Banten berdasarkan model Schaefer Hasil tangkapan aktual dan hasil tangkapan dengan model Schaefer dari tahun 2005 sampai tahun 2011 diperlihatkan pada Gambar 13. Pola perubahan hasil tahunan aktual cenderung berbeda dengan perubahan produksi tahunan model Schaefer. Hasil tangkapan dengan model Schaefer pada tahun 2005 jauh lebih tinggi dibandingkan hasil tangkapan aktual nelayan Karangantu sedangkan di tahun 20062010 hasil tangkapan dengan model Schaefer jauh lebih rendah kemudian naik lagi pada tahun 2011.
Hasil Tangkapan (ton)
200 150 100 Produksi Aktual 50
Schaefer
0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun
Gambar 13. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schaefer perikanan rajungan di Teluk Banten
40 B.
Model Fox (1970) Berdasarkan model Fox upaya optimum yang diperlukan dalam pemanfaatan
sumberdaya rajungan di Teluk Banten dari hasil perhitungan pada Lampiran 4 sebesar 5.787 trip. Adapun hasil tangkapan maksimum lestari sebesar 37.595,59 kg/tahun dan R2 sebesar 0,6796. Hasil tersebut menunjukkan bahwa tingkat upaya optimum untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten tidak boleh melebihi 5.787 trip selama satu tahun sedangkan jumlah tangkap maksimal yang diperbolehkan tidak melebihi 37.595,59 kg per tahun. Jumlah tangkapan lestari per tahun pada model Fox disajikan pada Gambar 14 hasil tersebut dibandingkan dengan jumlah tangkapan aktual oleh nelayan rajungan di Teluk Banten.
Hasil Tangkapan (ton)
600 500 400 300
Produksi Aktual
200
Fox
100 0 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun
Gambar 14. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Fox perikanan rajungan di Teluk Banten Pola tangkapan tahunan perikanan rajungan di Teluk Banten antara tangkapan aktual dan pada model Fox secara visual terlihat hampir mirip untuk tangkapan tahun 2006 sampai tahun 2010. Namun sangat berbeda untuk tahun 2005 dan 2011.
C.
Model Walter Hilborn (1976) Pada model Walter dHilborn, regresi dilakukan dengan memasukkan data
CPUEt+1/CPUEt sebagai variabel bebas. Sedangkan variabel tidak bebas X1 dan X2 masing-masing CPUE dan F. Sehingga, hasil yang diperoleh dari persamaan regresi tersebut sebagai berikut:
41
Berdasarkan persamaan tersebut maka nilai parameter biologi dapat diduga dengan mensubtitusikan nilai koefisien regresi tersebut (Lampiran 5) sehingga diperoleh R2 sebesar 0,5130 dan hasil tingkat pertumbuhan alami (r) sebesar 1,0121. Sedangkan koefisien kemampuan tangkapan (q) pada model Walter Hilborn sebesar 0,00021. Hasil tersebut kemudian dapat menduga parameter dari daya dukung lingkungan (K) sebesar 113.121,6 kg/tahun. Pada model Walter Hilborn nilai MSY yang didapatkan sebesar 28.621,4 kg/tahun, artinya untuk dapat menjamin kelestariaan sumberdaya rajungan di Teluk Banten maka potensi rajungan yang dapat ditangkap dan akan menjamin keslestarian stok adalah sebesar 28.621,4 kg selama satu tahun. Adapun upaya optimum untuk memperoleh tangkapan maksimum lestari dapat diperoleh dengan mensubtitusikan parameter yang diperoleh melalui persamaan r dan q, sehingga hasil yang didapatkan sebesar 2.400 trip. Jumlah tangkapan lestari untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten yang diperoleh oleh model Walter Hilborn tiap tahunnya dapat ditunjukan pada Gambar 15 berikut dengan perbandingan antara jumlah tangkapan aktual.
Hasil Tangkapan (ton)
140 120 100 80 60
Produksi Aktual
40
WH
20 0 2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
Tahun
Gambar 15. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Walter Hiborn perikanan rajungan di Teluk Banten Pada gambar tersebut terlihat bahwa hasil tangkapan lestari pada model Walter Hilborn
dari
tahun
2005-2011
sangat
berfluktuasi.
Secara
visual
tidak
menggambarkan kemiripan dengan hasil tangkapan aktual perikanan rajungan di Teluk Banten.
42
D.
Model Schnute (1977) Model Schnute dipandang sebagai modifikasi model Schaefer dalam bentuk
diskrit (Roff 1983 in Pasisingi 2011). Pada model ini diperoleh persamaan: Semua perhitungan menggunakan data yang tertera pada Lampiran 6. Nilai R2 yang diperoleh sebesar 0,8632 dan nilai parameter biologi seperti tingkat pertumbuhan alami (r) pada model Schnute sebesar 4,0073. Sedangkan untuk koefisien kemampuan penangkapan (q) sebesar 0,5477 serta daya dukung lingkungan (K) sebesar 1,4683 kg. Hasil tangkapan maksimum lestari dengan menggunakan model Schnute diperoleh dengan mensubstitusikan koefisien dan parameter yang diperoleh dari hubungan linear (Lampiran 6) sehingga hasil yang didapat sebesar 1,4710 kg/tahun, artinya dalam waktu satu tahun jumlah tangkapan yang diperbolehkan tidak boleh melebihi dari nilai 1,4710 kg. Sedangkan upaya optimum untuk model ini sebesar 3,5679 trip. Pada Gambar 16 menunjukkan perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schnute. Berdasarkan gambar apabila terlihat secara visual, kemiripan kurva terlihat dari tahun 2006-2008, namun selebihnya kurva model Schnute cenderung berfluktuasi dibanding produksi aktual yang cenderung
Hasil Tangkapan (ton)
menurun dari tahun 2007-2011. 140 120 100 80 60 40 20 0
Produksi Aktual Schnute
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun
Gambar 16. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Schnute perikanan rajungan di Teluk Banten
43 E. Model Clarke Yoshimoto Pooley (CYP) (1992) Metode Clarke Yoshimoto Pooley atau disingkat CYP menggunakan persamaan regresi linear berganda dengan konsep least square. Perhitungan model CYP menggunakan data yang disajikan pada Lampiran 7. Hasil persamaan yang dihasilkan berdasarkan model CYP yaitu: Nilai R2 yang diperoleh pada model CYP sebesar 0,9826, adapun nilai parameter-parameter pertumbuhan yaitu nilai r sebesar 3,7875, sedangkan nilai koefisien penangkapan (q) sebesar 0,0001 dan daya dukung lingkungan (K) sebesar 40.170,46 kg. Hasil tangkapan maksimum lestari dengan menggunakan model CYP diperoleh dengan mensubtitusikan koefisien dan parameter yang diperoleh dari hubungan linear (Lampiran 7) sehingga hasil yang didapatkan sebesar 38.036,41 kg/tahun, artinya dalam waktu satu tahun jumlah tangkapan yang diperbolehkan tidak boleh melebihi dari nilai 38.036,41 kg. Sedangkan untuk upaya optimum pada model ini yaitu sebesar 70.867 trip. Gambar 17 menunjukkan perbandingan antara tangkapan aktual dengan tangkapan lestari menggunakan model CYP sumberdaya rajungan di Teluk Banten dari tahun 2005 sampai 2011. Melalui grafik tersebut maka terlihat bahwa pola perubahan jumlah tangkapan tahunan antara produksi aktual dengan model lestari
Hasil Tangkapan(ton)
CYP hampir mirip. 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
Produksi Aktual CYP
2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Tahun
Gambar 17. Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari model Clarke Yoshimoto Pooley perikanan rajungan di Teluk Banten
44 Perbandingan jumlah tangkapan aktual dengan jumlah tangkapan lestari masing-masing model dapat dilihat secara visual pada Lampiran 8. Pada Tabel 7, menunjukkan perbandingan koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan (K), serta parameter pertumbuhan intriksik (r) sumberdaya rajungan di Teluk Banten antara model Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute, serta model Clarke Yoshimoto Pooley. Tabel 7. Perbandingan parameter koefisien penangkapan (q), daya dukung lingkungan (K), pertumbuhan intrinsik (r), nilai koefisien determinasi (R2), dan Standar error (SE) antara lima model produksi surplus rajungan di Teluk Banten Model Schaefer Fox WH Schnute CYP
q 0,00060 0,00017 0,00021 0,54775 0,00005
K 2.566,49 1.767,23 113.121,58 1,47 40.170,46
r 27,23 0,31 1,01 4,01 3,79
R2 0,0397 0,6796 0,5130 0,8632 0,9826
SE 1,2459 0,0980 0,7659 1,7510 0,0701
Ketiga paramteter pada masing-masing model disajikan dengan nilai yang berbeda-beda. Parameter q, K dan r model Schaefer dan Fox diperoleh melalui perhitungan algoritma. Sedangkan untuk model Walter Hilborn, Schnute dan Clarke Yoshimoto Pooley parameter-parameter tersebut diperoleh melalui subtitusi dan perhitungan menggunakan koefisien regresi liniear berganda. Indikator statistik yang digunakan adalah koefisien determinasi (R2) Nilai koefisien determinasi masingmasing-masing model juga berbeda-beda. Nilai koefisien determinasi terbesar ditunjukkan oleh model Clarke Yoshimoto Pooley yaitu 0,9826. Sedangkan nilai koefisien determinasi terendah adalah model Schaefer yaitu 0,0397. Indikator statistik lain yang dapat mendukung hal ini adalah nilai standar error. Standar error model CYP juga relatif rendah dibandingkan model lainnya.
4.1.5. Analisis Bioekonomi Berdasarkan lima model surplus produksi yang telah diperoleh ternyata yang memiliki kemiripan kurva dengan produksi aktual yaitu model Clarke Yoshimoto Pooley dengan nilai R2 atau koefisien determinasi sebesar 0,9826. Berdasarkan
45 model Clarke Yoshimoto Pooley, analisis bioekonomi untuk sumberdaya rajungan diperoleh melalui nilai dari parameter pada Tabel 8. Tabel 8. Nilai parameter biologi dan ekonomi dalam penentuan MEY, MSY, dan Open Access Parameter Satuan Nilai Koefisien kemampuan alat tangkap (q) (kg/trip) 0,0001 Daya dukung perairan (K) (kg/tahun) 40.170,46 Laju intrinsik populasi (r) (%/tahun) 3,79 Harga (p) (Rp/kg) 29.000 Biaya (c) (Rp/trip) 3.773 Pada Tabel 8, harga rajungan (p) dan biaya operasional (c) diperoleh dari hasil wawancara oleh 30 orang nelayan di Karangantu, hasil tersebut dapat terlihat pada Lampiran 9. Berdasarkan nilai dari parameter biologi dan ekonomi yang disajikan pada Tabel 8, maka dapat ditentukan jumlah tangkapan lestari dari rezim pengelolaan diantaranya rezim MEY, MSY, dan Open Access. Pada Tabel 9, diperoleh hasil perhitungan dari ketiga rezim yang dilakukan selengkapnya pada Lampiran 10. Tabel 9. Hasil Perhitungan bioekonomi sumberdaya rajungan di Teluk Banten Variabel
38.036,41
Aktual 14.539
33.535,00
35.434,00
1.400
67.070
TR (Rp)
1.099.889.224,00
1.103.055.930,00
42.1631.000
223.741.400
TC (Rp)
111.870.700,00
118.204.110,00
4.669.983
223.741.400
984.851.819,00
416.961.017
0
Yield (kg) Effort (trip)
Rente ekonomi (π)
MEY 37.927,21
988.018.525,00
MSY
OA 7.715,22
Berdasarkan Tabel 9 terlihat perbedaan dari masing-masing nilai rezim pengelolaan. Pada kondisi aktual yang merupakan data terakhir yaitu data tahun 2011 cenderung lebih rendah dibanding nilai dari ketiga rezim. Nilai yang paling tertinggi dari variabel yield, effort, TR, serta TC diperoleh oleh rezim MSY, sedangkan untuk rente ekonomi tertinggi diperoleh oleh rezim MEY.
46 A.
Rezim Pengelolaan MEY Pada Tabel 9, hasil perhitungan menunjukkan bahwa hasil tangkapan
maksimum berdasarkan rezim ini senilai 37.927,21 kg dengan upaya sebesar 33.535 trip sedangkan rente ekonomi yang diperoleh sebesar Rp 988.018.525,00, hasil rente ekonomi tersebut merupakan rente ekonomi terbesar. Upaya yang dihasilkan sebesar 33.535 trip dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar dari nilai rezim lainnya sehingga jumlah alat tangkap yang digunakan jauh lebih efisien dan menghasilkan banyak keuntungan. Apabila dibandingkan dengan jumlah aktual dengan rezim MEY, kondisi aktual pada tahun terakhir memiliki upaya sebesar 1.400 trip/tahun menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 416.961.017,00 yang jauh lebih rendah dari nilai rezim MEY sebesar 33.535 trip/tahun dan menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 988.018.525,00. Hal ini dapat dikatakan bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami economic overfishing.
B.
Rezim Pengelolaan MSY Konsep MSY didasarkan atas suatu model yang sangat sederhana dari suatu
populasi ikan yang dianggap sebagai unit tunggal. Konsep ini dikembangkan dari kurva biologi yang menggambarkan yield sebagai fungsi dari effort dengan suatu nilai maksimum yang jelas, terutama bentuk parabola dari model Scaefer yang paling sederhana (Widodo & Suadi 2008). Berdasarkan hasil perhitungan analisis untuk rezim MSY didapatkan nilai upaya untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten sebesar 35.434 trip/tahun. Pada rezim ini didapatkan nilai rente ekonomi sebesar Rp 984.851.819,00, hasil ini lebih rendah daripada hasil rente ekonomi yang diperoleh dari rezim pengelolaan MEY yaitu sebesar Rp 988.018.525,00. Meskipun pada rezim MSY hasil tangkapan dan upaya penangkapan lebih besar, namun rezim yang dapat dikatakan paling efisien yaitu rezim pengelolaan MEY, sebab dengan effort yang lebih rendah, rezim MEY dapat menghasilkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan rezim ini serta tidak memberi dampak adanya eksploitasi yang berlebih bagi sumberdaya rajungan di Teluk Banten. Berdasarkan kondisi MSY yang telah diperoleh, apabila dibandingkan dengan kondisi aktual, maka dapat dikatakan sumberdaya rajungan di Teluk Banten
47 belum mengalami biologic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai hasil tangkapan aktual sebesar 14.539 kg/tahun dengan upaya 1.400 trip/tahun yang tidak melebihi dari nilai rezim pengelolaan MSY.
C.
Rezim Pengelolaan Open Access Rezim pengelolaan yang bersifat open access merupakan sistem perikanan
yang tidak asing lagi bagi sumberdaya perikanan, hal tersebut terlihat di Teluk Banten dimana para pelaku perikanan yang mendapatkan izin menangkap ikan dapat melakukan operasi penangkapan. Pada rezim open access bagi sumberdaya rajungan di Teluk Banten memiliki nilai effort atau upaya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai MEY maupun MSY. Pada kondisi rezim pengelolaan MEY hasil tangkapan maksimum yang didapat sebesar 37.927,21 kg dengan upaya sebesar 33.535 sedangkan pada kondisi MSY hasil tangkapan maksimum yang didapat sebesar 38.036,41 kg dengan upaya sebesar 35.434 trip/tahun. Akan tetapi hasil tersebut berkebalikan dengan kondisi pada rezim pengeloaan Open Access yaitu dengan upaya yang jauh lebih tinggi sebesar 67.070 trip/tahun menghasilkan hasil tangkapan sebesar 7.715,22 kg/tahun serta rente ekonomi yang berkebalikan yakni bernilai nol. Gordon in Fauzi 2010 menyebutkan bahwa keseimbangan open access tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Oleh karena itu untuk memperoleh keuntungan secara fisik (biologi) dan ekonomis untuk kelestarian sumberdaya ikan maka input dalam usaha perikanan yang ideal berada pada titik MEY.
4.2. Pembahasan Model surplus produksi yang didasarkan pada keseimbangan biomassa homogen ikan di suatu perairan yang digunakan pada penelitian ini terdapat lima model yaitu model Schaefer, Fox, Walter Hilborn, Schnute dan model Clarke Yoshimoto Pooley. Konsep surplus produksi merupakan konsep dasar dalam ilmu perikanan. Schaefer (1954) in Widodo dan Suadi (2008) menyebutkan bahwa salah satu cara untuk menduga stok didasarkan pada model surplus produksi logistik. Artinya dalam suatu perairan tidak dilakukan analisis secara rinci mengenai kematian, kelahiran serta migrasi ikan yang terjadi di suatu wilayah perairan.
48 Namun, kondisi ini tidak perlu diragukan karena dalam satu tahun, dinamika yang terjadi secara alami di suatu perairan khususnya Teluk Banten adalah seimbang atau dengan kata lain kondisi perairam secara alami berada pada keseimbangan dinamis. Oleh karena itu dibutuhkan data runut waktu tahunan untuk dapat mengaplikasikan model ini. Hasil wawancara oleh tiga puluh orang nelayan di Karangantu yang menangkap rajungan di Teluk Banten menunjukkan bahwa musim penangkapan rajungan di perairan Teluk Banten terdiri atas tiga musim yaitu musim puncak, sedang, dan musim paceklik. Musim puncak terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari. Musim sedang terjadi pada bulan September – November. Musim paceklik terjadi pada bulan Maret – Agustus. Hasil wawancara tersebut didukung oleh data produksi rajungan per bulan oleh nelayan di Teluk Banten yang didaratkan di PPN Karangantu dengan kurun waktu 2005-2011 Berdasarkan perbandingan grafik tangkapan aktual dan tangkapan masingmasing model surplus produksi maka dapat dilihat bahwa grafik aktual yang mirip dengan grafik tangkapan masing-masing model ditunjukkan oleh model Clarke Yoshimoto Pooley. Jika dilihat dari indikator statistik yaitu koefisien determinasi maka nilai R2 paling besar terdapat pada model Clarke Yoshimoto Pooley yaitu sebesar 0,9826. Hasil tersebut hampir mendekati dengan penelitian terdahulu yaitu oleh Pasisingi (2011) dengan nilai R2 pada model CYP untuk rajungan di Teluk Banten sebesar 0,9897. Menurut pendapat Pindyck dan Rubnfield (1998) in Aminah (2010) bahwa nilai determinasi atau R2 lazim digunakan untuk mengukur goodness of fit dari variabel tidak bebas dalam model, dimana semakin besar nilai R2 menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Hal ini menunjukkan bahwa model CYP merupakan model yang paling sesuai dan cocok untuk diterapkan pada perikanan rajungan (Portunus pelagicus) di perairan Teluk Banten. Sedangkan untuk nilai tangkapan maksimum lestari pada model CYP diperoleh sebesar 38.036,41 kg dengan upaya optimum sebesar 70.867 trip. Analisis bioekonomi yang digunakan pada sumberdaya rajungan di Teluk Banten diperoleh dari hasil perhitungan pada model Clarke Yoshimoto Pooley. Rezim pengelolaan yang dipakai yaitu MEY, MSY, dan Open Access. Menurut Anderson dan Seijo (2010) bahwa maximum economic yield (MEY) dapat dicapai
49 apabila kurva penerimaan marginal memotong kurva biaya marginal, sedangkan produksi open access terjadi bila penerimaan total seimbang dengan biaya total sehingga laba upaya penangkapan sama dengan nol. Analisis bioekonomi yang telah dilakukan, ditunjukkan dengan nilai yang paling tertinggi dari variabel yield, effort, TR, serta TC diperoleh oleh rezim MSY, sedangkan untuk rente ekonomi tertinggi diperoleh oleh rezim MEY. Analisis MEY lebih menekankan pada keuntungan maksimum namun tetap terjaga kelestarian sumberdaya ikan tersebut. Berdasarkan hasil perhitungan analisis untuk rezim MSY didapatkan nilai upaya untuk sumberdaya rajungan di Teluk Banten sebesar 35.434 trip/tahun. Pada rezim ini didapatkan nilai rente ekonomi sebesar Rp 984.851.819,00 hasil ini lebih rendah daripada hasil rente ekonomi yang diperoleh dari rezim pengelolaan MEY yaitu sebesar Rp 988.018.525,00. Analisis bioekonomi pada kondisi MSY yang telah diperoleh, apabila dibandingkan dengan kondisi aktual dapat dikatakan bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami biologic overfishing. Hal tersebut dilihat dari nilai hasil tangkapan aktual sebesar 14.539 kg/tahun dengan upaya 1.400 trip/tahun tidak melebihi dari nilai MSY sebesar 38036,41 kg/tahun. Sedangkan apabila dibandingkan dengan jumlah aktual dengan rezim MEY, kondisi aktual pada tahun terakhir memiliki upaya sebesar 1400 trip/tahun menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 416.961.017,00 yang jauh lebih rendah dari nilai rezim MEY sebesar 33.535 trip/tahun dan menghasilkan rente ekonomi sebesar Rp 988.018.525,00 , hal ini berarti bahwa sumberdaya rajungan di Teluk Banten belum mengalami economic overfishing. Pengelolaan yang optimal dan efisien secara sosial ada pada rezim MEY. Rezim MEY ini bisa diperoleh jika perikanan dikendalikan dengan kepemilikan yang jelas atau disebut “sole owner” (Fauzi 2010). Oleh karena itu untuk memperoleh keuntungan secara fisik (biologi) dan ekonomis untuk kelestarian sumberdaya ikan maka input dalam usaha perikanan yang ideal berada pada titik MEY (Anderson & Seijo 2010). Pada rezim open access bagi sumberdaya rajungan di Teluk Banten memiliki nilai effort atau upaya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan nilai MEY maupun MSY yaitu sebesar 66.573 trip/tahun. Akan tetapi dengan upaya yang jauh lebih besar menghasilkan rente ekonomi yang berkebalikan yakni bernilai nol.
50 Hasil tersebut sesuai dengan pernyataan Gordon in Fauzi 2010 bahwa effort yang dibutuhkan pada kondisi open access dengan rente ekonomi nol, jauh lebih besar daripada yang dibutuhkan pada keuntungan maksimum yaitu pada kondisi rezim MEY. Gordon in Fauzi 2010 menyebutkan bahwa keseimbangan open access tidak optimal secara sosial karena biaya korbanan yang terlalu besar. Hasil tangkapan rajungan pada kondisi rezim open access jauh lebih rendah dibandingkan dengan kondisi aktual maupun pada rezim MSY dan MEY yaitu sebesar 7.715,22 kg/tahun. Menurut pernyataan Widodo dan Suadi (2008) bahwa pengelolaan perikanan membutuhkan bukti-bukti ilmiah terbaik, proses diskusi melalui konsultasi dengan berbagai pemangku kepentingan (stakeholder), dan penetapan berbagai tujuan dan strategi pengelolaan melalui pembuat keputusan, alokasi sumber daya dan implementasi
aturan
mainnya.
Berdasarkan
hasil
penelitian,
pemanfaatan
sumberdaya rajungan di Teluk Banten melalui analisis bioekonomi menunjukkan bahwa saat ini belum mengalami biologic overfishing maupun economic overfishing. Hal tersebut didukung dengan penelitian terdahulu mengenai studi pertumbuhan rajungan di perairan Teluk Banten oleh Diskibiony (2012). Hasil yang didapatkan oleh penelitian tersebut menunjukkan bahwa laju eksploitasi rajungan di Teluk Banten sebesar 0,4847 atau 48,47%. Nilai laju eksploitasi ini dibawah nilai eksploitasi optimum sebesar 0,5 artinya tidak adanya indikasi tekanan penangkapan yang tinggi terhadap stok rajungan di Teluk Banten. Untuk menanggulangi terjadinya kondisi overfishing yang melewati daya dukung lingkungan maka dibutuhkan monitoring berupa upaya pengelolaan atau kebijakan melalui total allowable catch (TAC) atau dikenal dengan istilah jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) dapat diterapkan. JTB atau TAC yaitu 80% dari tangkapan maksimum lestari berdasarkan hasil perhitungan pada model Clark Yoshimoto Pooley dan rezim pengelolaan MSY. Maka JTB untuk perikanan rajungan Portunus pelagicus di perairan Teluk Banten adalah sebesar 30.429,13 kg/tahun. Nilai JTB ini apabila dibandingkan dengan nilai hasil tangkapan maksimum berdasarkan rezim yang paling efisien yaitu rezim MEY senilai 37.927,21 kg lebih rendah dikarenakan untuk menghindari kesalahan perhitungan pada rezim MEY. Melalui JTB ini maka akan cukup untuk mencegah estimasi yang
51 berlebihan (over estimate) dan diharapkan dapat menjamin kelestarian dan ketersediaan sumberdaya rajungan sepanjang tahun. Selain itu, upaya pengelolaan lain berupa pengaturan effort (alat tangkap) pada ukuran mata jaring berdasarkan umur rajungan dan lebar karapas. Pengaturan effort ini diharapkan dapat mencapai keuntungan maksimum berdasarkan rezim pengelolaan MEY. Menurut Kumar et al. (2000) in Firman (2008) rajungan menjadi dewasa sekitar usia satu tahun. Perkiraan umur rata-rata rajungan dari lebar karapas tertentu dapat bervariasi. Pada umur 12 bulan, lebar karapas rata-rata rajungan adalah 90 mm. Rajungan jantan dan betina umumnya mencapai kematangan seksual pada ukuran lebar karapas 7 hingga 9 cm. Rajungan pada ukuran tersebut berumur sekitar satu tahun. Berdasarkan kondisi tersebut, rajungan yang boleh ditangkap oleh nelayan di Teluk Banten adalah rajungan yang telah melewati masa matang gonad yaitu yang berukuran melebihi 90mm. Hal ini berarti bahwa para nelayan harus mengatur ukuran mata jaring agar dapat menangkap rajungan yang berukuran menebihi 90mm. Menurut Rounsenfell (1975) in Setriana (2011) rajungan yang mempunyai nilai ekonomis setelah mempunyai lebar karapas antara 95-228 mm.