26
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Komposisi Proksimat Ikan Bandeng Tipe ikan bandeng yang ditemukan di Indonesia memiliki ciri adanya perpanjangan sirip dorsal dan pektoral. Tipe ikan dengan perpanjangan ini hanya ditemukan di Indonesia (Schuster 1959). Bandeng mampu mentolelir salinitas perairan yang luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan eurihalin. Ikan bandeng mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH, dan kekeruhan air serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghufron dan Kardi 1997). Hasil pengujian proksimat yang dilakukan pada daging ikan bandeng disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Hasil pengujian proksimat daging ikan bandeng Komponen proksimat Air Protein Lemak Abu Karbohidrat
Rata-rata 77,54 ± 0,46% 12,45 ± 1,79% 1,08 ± 0,12% 1,55 ± 0,03% 7,38 ± 2,10%
Kandungan protein ikan bandeng dari pengujian adalah 12,45 ± 1,79%. Kadar protein tersebut lebih rendah dibandingkan kadar protein yang diperoleh Wibowo (2000) yaitu 22,84%. Perbedaan tersebut dapat disebabkan pakan yang diberikan tidak mengandung jumlah protein yang cukup. Berdasarkan hasil penelitian Fatimatussholikhah (2007) diketahui bahwa pemberian bungkil kelapa yang memiliki kadar protein besar sangat berpengaruh terhadap kadar protein ikan lele dumbo. Murray et al. (1977) mengatakan bahwa peningkatan suplementasi lemak pada pakan ikan dapat meningkatkan jumlah protein jaringan ikan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan yang cukup nutrisi sangat berpengaruh terhadap komposisi protein ikan. Menurut Burgess et al. (1967) ikan sangat beragam dalam konsumsi makanannya, tergantung dari musim dan lokasi dimana mereka hidup. Temperatur juga memiliki efek langsung selain musim dan geografis terhadap nafsu makan ikan.
27
Lemak merupakan bentuk cadangan energi. Lemak tidak dapat menggantikan protein untuk pertumbuhan tetapi dapat menjaga cadangan protein (Burgess et al. 1967). Kadar lemak ikan bandeng berdasarkan hasil penelitian adalah 1,08 ± 0,12%, sedangkan menurut Wibowo (2000) adalah 1,51%. Kandungan lemak yang kecil tersebut dapat disebabkan oleh komposisi pakan yang diberikan pembudidaya jumlah lemaknya sangat sedikit. Jumlah lemak pada ikan menurut Tarr (1954) dipengaruhi oleh spesies, musim, umur, lingkungan dan kematangan seksual. Faktor lingkungan dan pakan dapat menjadi kontributor utama rendahnya kadar lemak pada ikan bandeng yang diambil dari tambak ini. Burgess et al. (1967) mengatakan bahwa otot ikan yang diambil dari lokasi yang berbeda menunjukkan perbedaan dalam kandungan lemaknya. Faktor lain dari rendahnya komposisi lemak tersebut adalah distribusi lemak tidak sama pada tubuh ikan. Lemak paling banyak terdapat pada lapisan tipis dan dikenal dengan nama jaringan adiposa yang terdapat di bawah kulit. Pengujian proksimat lemak ikan pada penelitian ini tidak mengikutkan kulit ikan sehingga lemak di bawah kulit tidak diperhitungkan. Karbohidrat dalam daging ikan merupakan polisakarida, yaitu glikogen yang terdapat dalam sarkoplasma diantara miofibril (Hadiwiyoto 1993). Komposisi karbohidrat dari hasil penelitian adalah 7,38 ± 2,10%. Perhitungan komposisi karbohidrat dilakukan berdasarkan metode by difference sehingga sangat tergantung pada jumlah protein dan lemaknya. Jumlah protein dan lemak yang kecil menyebabkan jumlah karbohidrat menjadi tinggi. Pakan merupakan faktor yang sangat penting terhadap komposisi ketiga unsur tersebut. Pakan yang diberikan pembudidaya kemungkinan memiliki kandungan karbohidrat tinggi, rendah lemak serta protein. Air merupakan komponen sel hidup yang ada dimana-mana dan merupakan 60-95% dari berat organisme (Amstrong 1995). Air dalam makanan biasanya terbagi dua yaitu air imbibisi dan air kristal. Air imbibisi adalah air yang masuk ke dalam bahan pangan dan menyebabkan pengembangan volume. Air kristal merupakan air yang terikat dalam semua bahan, baik pangan maupun non pangan yang berbentuk kristal, yaitu gula, garam, dan CuSO 4, dan lain-lain (Winarno 1992). Komposisi air ikan bandeng dari hasil pengujian adalah 77,54 ±
28
0,46% sedangkan menurut Wibowo (2000) adalah 70,45%. Perbedaan kadar air tersebut diduga karena adanya kemampuan bahan mengikat air yang disebut water holding capacity (WHC). Molekul air akan terikat melalui ikatan hidrogen berenergi besar. Molekul air akan membentuk hidrat dengan molekul yang mengandung atom O dan N layaknya protein dan karbohidrat (Pearson dan Dutson 1999; Winarno 1997). Mineral dalam makanan ditentukan dengan pengabuan atau insinerasi (pembakaran) (deMan 1997). Dalam proses pembakaran, bahan-bahan organik terbakar tetapi zat anorganiknya tetap yang disebut abu (Winarno 1992). Elemenelemen yang termasuk mineral adalah potasium, sodium, kalsium, magnesium, besi, tembaga, mangan, zink, dan kobalt. Ada juga elemen yang tidak termasuk metal, yaitu fosfor, sulfur, klorin, iodin dan elemen lain dengan jumlah yang sangat kecil. Semua elemen di atas ditemukan dalam daging ikan. (Burgess et al. 1967). Kadar abu ikan bandeng yang didapat dari penelitian adalah 1,55 ± 0,03%, sedangkan Wibowo (2000) memperoleh kadar abu ikan bandeng 2,15 %. Perbedaan kadar abu ini diduga akibat perbedaan lingkungan ikan, sehingga mineral yang terakumulasi pun berbeda tergantung habitatnya. 4.2 Organoleptik Daging dan Mata Ikan Bandeng Pengujian organoleptik adalah salah satu jenis pengujian kesegaran yang paling awal yang dikenal manusia. Uji ini menggunakan sensor (indera) yang dimiliki oleh manusia. Berdasarkan hasil pengujian organoleptik (Gambar 8) diketahui bahwa pada jam ke-0, kondisi mata dan daging ikan bandeng masih sangat segar yang ditunjukkan dengan penampakan mata yang cerah, bola mata menonjol, dan kornea jernih. Kondisi daging juga sangat baik yang dapat dilihat dari sayatannya yang sangat cemerlang dan dinding perut utuh. Pada jam ke-120 sampai 192, ikan berada dalam kondisi yang agak segar dengan ciri-ciri mata agak cerah, bola mata rata sampai agak cekung, pupil agak keabu-abuan sampai keabuabuan dan kornea agak keruh, pada daging terlihat sayatan daging sedikit kurang cemerlang. Pada jam ke-264 sampai 480 ikan telah berada dalam keadaan tidak segar, bola mata telah cekung, pupil menjadi putih susu dan kornea keruh sampai agak kuning, sayatan daging terlihat sangat kusam dan dinding perut ikan sangat lunak. Pengelompokan tersebut dilakukan berdasarkan pada SNI 01-2346-2006.
29
10 8 6 4 2 0 0
120
192
Nilai Organoleptik Daging
264
336
480
Nilai Organoleptik Mata
Gambar 8 Hasil pengujian organoleptik daging dan mata ikan bandeng. Menurut Sulaksana (1999) semakin lama waktu pengamatan (jam postmortem) kecenderungan degenerasi serabut otot semakin meningkat, hal ini disebabkan oleh semakin banyaknya asam laktat yang tertimbun sehingga terjadi denaturasi protein otot dan menyebabkan degradasi serabut otot. Selama proses kemunduran mutu mata ikan mengalami perubahan yang diakibatkan oleh berhentinya aliran darah yang menyumplai oksigen. Winkler dan Hopkins (1982) menyatakan bahwa aktivitas ATPase pada retina manusia menurun setelah 24 jam postmortem, mencapai titik stabil setelah 48 jam. Hal ini disebabkan oleh rendahnya aktivitas Mg2+ dan N+-K+ untuk menstimulasi ATPase. Hal yang sama terjadi pada vertebrata lainnya. Retina dan pigmen epitelium dari berbagai jenis vertebrata memiliki beberapa jenis ATPase yang aktivitasnya distimulasi oleh Mg2+, N+ dan K+, HCO3- (atau anion yang lain) dan Ca2+. 4.3 Kekerasan Daging dan Mata Ikan Bandeng Setiap fase kemunduran mutu memiliki karakteristik kekerasan daging yang berbeda akibat adanya perubahan kimia dan biologi pada daging ikan. Hasil pengujian kekerasan ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 6.
30
Tabel 6 Hasil pengujian kekerasan daging ikan bandeng Fase Pasca Kematian
Rata-rata (mm/10''/50g)
Prerigor Rigor Postrigor Busuk
2,34 ± 0,08 1,42 ± 0,17 3,75 ± 0,07 33,00 ± 2,83
Hasil pengujian penetrometer fase prerigor menunjukkan nilai 2,34 ± 0,08 mm/10''/50g yang artinya bahwa penetrasi jarum pada daging ikan sampai kedalaman 2,34 mm dari permukaan dengan pemberat 50 g. Eskin (1990) menyatakan saat fase pre rigor kondisi daging ikan masih lembut dan lunak, secara kimiawi terjadi penurunan jumlah ATP dan kreatin fosfat yang disebabkan terhentinya suplai oksigen ke jaringan setelah ikan mati. Hasil pengujian memperlihatkan bahwa pada fase rigor kondisi daging ikan paling keras dengan hasil penetrometer 1,42 ± 0,17 mm/10''/50g yang menunjukkan bahwa penetrasi jarum pada daging ikan hanya sampai kedalaman daging 1,42 mm dengan pemberat yang digunakan 50 g. Keadaan daging ikan yang keras tersebut menurut Eskin (1990) disebabkan oleh terjadinya ikatan elektrostatik antara filamen aktin dan miosin (aktomiosin) yang ditandai dengan terjadinya pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible) atau biasa disebut kejang otot (rigor mortis). Nilai hasil uji penetrometer fase postrigor adalah 3,75 ± 0,07 mm/10''/50g. Pada post rigor terjadi kenaikan pH ikan secara perlahan-lahan dengan meningkatnya laju perubahan autolitik yang ditandai dengan proses pelunakan daging ikan (Govidan 1985). Menurut Dwiari et al. (2008) saat post rigor terjadi pelunakan daging yang disebabkan aktivitas enzim meningkat sehingga terjadi penguraian daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri. Keadaan daging paling lunak adalah saat busuk. Hasil pengujian penetrometer menunjukkan nilai 33,00 ± 2,83 mm/10''/50 g yang artinya bahwa jarum penetrometer dapat masuk ke sedalam 33 mm ke dalam daging ikan dengan berat pemberat 50 g. Keadaan ini disebabkan kondisi daging yang telah rusak
31
akibat serangan bakteri. Bakteri yang umum ditemukan pada ikan adalah bakteri dari golongan Pseudomonas, Alcaligenes, Micrococus, Sarcina, Flavobacterium, Serratia, Vibrio, dan Bacillus. Pada ikan segar yang baru ditangkap bakteri yang dominan adalah jenis Micrococus dan Flavobacterium, kemudian setelah pembusukan berlangsung dominasi beralih kepada jenis-jenis bakteri pembusuk seperti Pseudomonas dan Achromobacter (Ilyas 1983). 4.4 Histologis Daging dan Mata Ikan Bandeng Sistem otot pada telestoi terdiri dari sel yang disebut serabut otot, yang elemen utamanya adalah miofibril. Miofibril terdiri dari ratusan protein miofilamen yang terbagi menjadi bagian tipis (aktin) dan bagian tebal (miosin). Jika dilihat secara longitudinal penampakan lurik pada serabut otot adalah akibat susunan aktin dan miosin ini (Chinabut et al. 1991). Jaringan otot pada fase prerigor (Gambar 9) terlihat sangat kompak. Sel otot menyatu dengan baik, hubungan antar sel otot atau biasa disebut serabut otot terlihat erat. Fase ini merupakan saat daging ikan berada dalam kondisi paling optimal. Jaringan otot juga nornal, tidak mengalami penebalan. Histologis jaringannya sama dengan saat ikan masih hidup karena belum mengalami perubahan kimia dan biologi yang dapat mengubah bentuk serta susunan sel dalam jaringan otot ikan bandeng. Menurut Eskin (1990), daging ikan pada fase ini lembut dan lunak seperti saat ikan masih hidup, kondisi daging paling ideal untuk konsumsi dan paling segar.
Gambar 9 Kondisi histologis daging ikan bandeng fase pre rigor; panah: serabut otot (H&E).
32
A
B
Gambar 10 Kondisi histologis daging ikan bandeng fase rigor; A: serabut otot (H&E); B: perenggangan. Pada fase rigor (Gambar 10) mulai terjadi perenggangan jaringan otot ikan. Perenggangan serabut otot itu terlihat sangat jelas dengan adanya ronggarongga antar serabut otot. Perubahan yang menarik pada fase ini dibandingkan dengan fase sebelum dan sesudahnya adalah serabut otot terlihat lebih tebal akibat penyatuan filamen aktin dan miosin membentuk aktomiosin yang ditandai dengan terjadinya pengkerutan atau kontraksi serabut otot yang tidak dapat balik (irreversible). Kondisi kejang penuh (full-rigor) ketika kandungan ATP sekitar 1 µmol/g (Eskin 1990). Pada fase ini juga mulai terlihat perjadi perenggangan jaringan otot, hal tersebut kemungkinan disebabkan karena terjadi penurunan pH yang meningkatkan kerja enzim autolisis. Menurut Haard (1994), enzim lisosomal proteinase aktif saat pH asam yang termasuk dalam tipe enzim ini adalah jenisjenis enzim katepsin. Jiang et al. (1990) diacu dalam Haard (1994) mengatakan bahwa terdapat dua jenis enzim mirip katepsin A pada ikan bandeng. Pada Gambar 11 dapat dilihat bahwa telah terjadi perenggangan yang jelas pada serabut-serabut otot. Jarak antarserabut otot semakin besar yang disebabkan aktifitas enzim autolitik meningkat (Govidan 1985). Pada fase ini serabut otot tidak tebal lagi seperti pada fase sebelumnya, mulai terlihat adanya kerusakan pada serabut otot, yakni serabut otot terlihat terpotong-potong.
33
50µm
Gambar 11 Kondisi histologis daging ikan bandeng fase post rigor. Menurut Okitani et al. 1981 diacu dalam Haard (1994), katepsin D yang terdapat pada ikan dapat mendegradasi protein aktin dan miosin. Alkalin protease juga berperan dalam perubahan jaringan otot ikan fase post mortem. Enzim lain yang aktif adalah kalpain yang dapat dengan cepat mendegradasi miofibril dan protein sitoskeletal yang terdiri dari desmin, vimentin, gelsolin, spektrin, nebulin, vinkulin, dan troponin T.
Gambar 12 Kondisi histologis daging ikan bandeng fase busuk. Fase terakhir dalam kemunduran mutu adalah kebusukan. Gambar 12 memperlihatkan keadaan serabut otot yang renggang. Jarak suatu serabut otot dengan serabut otot yang lain terlihat dengan jelas. Serabut otot tidak utuh lagi, telah terpotong-potong menjadi potongan kecil. Jaringan otot terlihat rusak dan sangat renggang. Fase busuk ini merupakan fase saat mikroorganisme telah
34
intensif menghancurkan daging ikan. Dekomposisi oleh mikroorganisme yang berasal dari permukaan kulit, insang dan saluran cerna berjalan intensif, khususnya setelah ikan melewati fase rigor mortis, saat itu jaringan otot longgar dan jarak antar serta diisi oleh cairan (Irianto dan Giyatmi 2009). Tarr (1954) mengatakan bahwa mikroorganisme yang sangat aktif dalam proses pembusukan daging ikan adalah dari jenis Pseudomonas dan Achromobacter. Mata merupakan alat indera lihat yang sangat penting bagi kehidupan organisme. Bagian mata yang utama adalah kornea, lensa, retina dan koroid. Setiap bola mata dihubungkan dengan lobus optikus dari otak melalui syaraf optik (Angka et al. 1990). Mata ikan yang baik adalah yang masih cerah, utuh, belum mengeruh dan tidak terdapat lapisan lendir yang tebal di permukaan mata.
A B C
D
Gambar 13 Kondisi histologis mata ikan bandeng bagian posterior fase pre rigor; A : inner plexiform layer; B: inner nuklear layer; C: outer plexiform layer; D: outer nuklear layer. Gambar 13 memperlihatkan bahwa saat fase prerigor mata masih utuh. Batas antar satu komponen dengan komponen lainnya terlihat jelas. Mata berada dalam kondisi paling segar. Komponen mata tersusun rapi dan kompak. Keadaan jaringan mata pada fase ini secara umum mirip dengan keadaan mata yang ditunjukkan oleh Morrison et al. (2007) (Gambar 5). Berdasarkan kemiripan tersebut dapat disimpulkan bahwa bagian mata ikan di atas adalah bagian pada posterior mata ikan. Menurut Samuelson
(2007), bagian ini juga dapat pula
35
dikatakan sebagai bagian ketiga dan yang paling sentral yang terdiri dari retina dan kumpulan dari saraf optik. Pembagian lapisan mata pada fase ini masih terlihat jelas saat mata ikan berada dalam fase pre rigor.
A
B
Gambar 14 Kondisi histologis mata ikan bandeng bagian posterior fase rigor; A: bagian retina; B: koroid. Gambar 14 adalah kondisi histologis mata ikan saat dalam fase rigor. Gambar di atas menunjukkan mulai terjadi perenggangan antarkomponen dalam mata. Batas antar komponen mulai rusak. Lapisan-lapisan yang menyusun mata sudah tidak terlihat jelas lagi walaupun jenis komponen masih dapat dikenali melalui kemiripannya. Penamaan komponen mata Gambar 14 mengacu pada kemiripan gambar histologis mata hasil pengamatan dengan yang terdapat dalam buku Histology for Pathologists oleh Mills (2007). Winkler dan Hopkins (1982) menyatakan bahwa aktifitas ATPase pada retina menurun setelah 24 jam postmortem, mencapai titik stabil setelah 48 jam. Hal ini dikarenakan rendahnya aktivitas Mg2+ dan N+-K+ untuk menstimulasi ATPase.
36
Gambar 15 Kondisi histologis mata ikan bandeng bagian posterior fase post rigor.
Gambar 16 Kondisi histologis mata ikan bandeng bagian posterior fase busuk. Pada Gambar 15 dan Gambar 16 dapat dilihat bahwa mata ikan semakin lama semakin terurai. Gambar 15 menunjukkan kondisi mata ikan pada saat fase post rigor. Pelapisan komponen telah rusak. Perbedaan antar satu komponen dengan komponen lainnya masih dapat dikenali dengan melihat persamaan warna dan struktur kompenen dalam gambar. Mata telah rusak sedangkan pada saat busuk (Gambar 16), mata telah benar-benar rusak. Batas antarkomponen sudah tidak terlihat lagi. Perbedaannya lapisannya sudah tidak terlihat sama sekali. Mata
37
sudah mengalami kerusakan total. Kerusakan yang terjadi selamat fase kemunduran mutu pada daging dan mata ikan bandeng dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Ringkasan kerusakan daging dan mata ikan bandeng Organ Daging
Prerigor Utuh
Rigor Serabut otot menebal, mulai terjadi perenggangan
Mata
Utuh
Mulai terjadi penguraian
Postrigor Serabut otot mulai terpotong, terjadi perenggangan Bagian mata terburai
Busuk Serabut otot rusak
Komponen mata rusak