4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pertumbuhan Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Hasil pengamatan pengaruh kelimpahan sel Scenedesmus sp. terhadap limbah industri dengan dua pelakuan yang berbeda yaitu menggunakan limbah influent dan effluent serta air tawar sebagai media kultivasi disajikan pada Gambar 8. Gambar 8 diperoleh data kelimpahan yang berbeda-beda di setiap perlakuan pada setiap harinya.
Gambar 8. Kurva kelimpahan rata-rata mikroalga Scenedesmus sp.
Gambar 8 menunjukan bahwa kurva kelimpahan Scenedesmus sp. pada hari pertama menunjukkan kelimpahan yang berbeda di masing-masing perlakuan. Perhitungan kelimpahan dimaksudkan untuk melihat seberapa besar mikroalga Scenedesmus sp. dapat memanfaatkan kandungan organik maupun anorganik yang ada dalam media kultur. Oleh karena itu laju pertumbuhan dalam penelitian ini tidak diperhatikan. Perbedaan tersebut menyebabkan tidak bisanya analisis
22
23
statistik diterapkan untuk mengolah data pertumbuhan Scenedesmus sp. pada penelitian ini, karena kultivasi dengan kelimpahan sel yang lebih tinggi cenderung dinyatakan kultivasi yang berasal dari kelimpahan inokulan yang tinggi.
4.1.1. Kelimpahan Sel Scenedesmus sp. pada Media Kontrol Kelimpahan Scenedesmus sp. pada hari pertama di media kontrol lebih tinggi dibandingakan dengan media influent dan effluent. Pada media kontrol kelimpahannya 8x106 sel/ml, di media influent kelimpahannnya 2,5x106 sel/ml dan media effluent 1,5x106 sel/ml. Pada kurva media kontrol, kelimpahan Scenedesmus sp. terus meningkat di setiap harinya dengan kelimpahan tertinggi sebesar 51×106 sel/ml di hari kelima, namun pada saat hari keenam kelimpahan Scenedesmus sp. menurun dengan kelimpahan mencapai 26×106 sel/ml pada hari kesepuluh. Peningkatan pertumbuhan tersebut menunjukkan mikroalga mengalami fase log (logaritmik) dan kemudian mengalami fase mortalitas. Angka kelimpahan pada media kontrol, diduga disebabkan karena jumlah nutrien yang berasal dari pupuk yang digunakan dapat mendukung perkembangan dan pertumbuhan sel dari hari pertama hingga hari kelima yang ditunjukan dengan kurva yang cenderung naik dari hari pertama hingga hari kelima yang kemudian menurun pada hari berikutnya hingga hari kesepuluh. Peningkatan pertumbuhan pada hari pertama hingga hari kelima ini disebabkan oleh ketersediannya nutrisi dalam media terutama N, P, dan Fe. Meningkatnya pertumbuhan sel ini mengakibatkan meningkatnya kebutuhan akan nutrisi dan jumlah ketersediaannya tidak bertambah. Hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan populasi yang menunjukan media kultivasi berada dalam kondisi terbatas baik volume dan kandungan nutrisinya seperti pada gambar 9.
24
(a)
(b)
(c)
Gambar 9. (a) Hari pertama kultivasi, (b) hari kelima kultivasi, (c) hari kedelapan kultivasi pada media kontrol. . 4.1.2. Kelimpahan Sel Scenedesmus sp. pada Media Influent Hasil pengamatan kelimpahan sel Scenedesmus sp. pada media influent menunjukan pola kurva kelimpahan Scenedesmus sp. tidak berbeda jauh dengan kurva media kontrol. Namun, angka kelimpahan pada media influent relatif rendah jika dibandingkan dengan angka kelimpahan sel Scenedesmus sp. pada media kontrol, Gambar 8 menunjukan kelimpahan tertinggi yaitu 44×106 sel/ml. Pada kurva kultivasi media influent menunjukan bahwa pola pertumbuhan berada pada fase logaritmik dari hari ketiga hingga hari ketujuh. Pertumbuhan yang signifikan terjadi pada hari ketiga sebesar 11×106 sel/ml hingga hari kelima yaitu sebesar 37.5×106 sel/ml. Fase mortalitas terjadi dari hari ketujuh hingga hari kesepuluh dengan angka kelimpahan sel sebesar 26×106 sel/ml. Pertumbuhan ini diduga disebabkan oleh faktor dari kandungan kimia air limbah tersebut (Tabel 2).
25
Tabel 2. Hasil uji kandungan kimia pada limbah influent Parameter
Satuan
INFLUENT
BOD5
mg/L
385.33
Amonia (NH3¯N)
mg/L
5.56
Nitrat (NO3¯N)
mg/L
2.88
Dari tabel hasil uji tersebut menunjukan angka BOD5 relatif tinggi yang menunjukkan bahwa bahwa pemanfaatan oksigen terlarut oleh mikroalga Scenedesmus sp. tinggi. Nilai BOD berbanding terbalik dengan DO dalam perairan (Effendi, 2003). DO yang rendah menunjukkan bahwa pada media tersebut proses nitrifikasi yang akan menghasilkan nitrat pada akhir prosesnya tidak banyak terjadi. DO yang rendah menyebabkan ammonia dalam perairan tersebut menjadi meningkat. Peningkatan angka kelimpahan Scenedesmus sp. pada media influent diduga disebabkan oleh faktor lain seperti kandungan ammonia yang tinggi pada media tersebut. Ammonia bersifat racun bagi mikroalga, namun berbeda halnya jika ammonia yang tinggi disertai dengan pH perairan < 7, maka akan terjadi proses ionisasi ammonia yang pada akhir prosesnya akan menghasilkan ammonium. Ammonium inilah yang merupakan sumber nutrien bagi mikroalga tersebut. Menurut Oh-Hama dan Miyachi (1988), bentuk senyawa nitrogen yang lebih disukai oleh mikroalga adalah ammonium (NH4+), karena proses transportasi dan asimilasi ion ammonium oleh sel fitoplankton membutuhkan energi yang lebih sedikit dibandingkan dengan transportasi dan asimilasi ion nitrat (NO3-). Dari Tabel 2 dapat kita lihat bahwa Scenedesmus sp. dapat memanfaatkan ammonia sebanyak 64% dan nitrat sebanyak 98% selama proses kultivasi.
26
4.1.3. Kelimpahan Sel Scenedesmus sp. pada Media Effluent Hasil pengamatan kelimpahan sel Scenedesmus sp. pada media effluent menunjukkan angka kelimpahan yang sangat rendah dibandingkan dengan angka kelimpahan mikroalga tersebut pada media kontrol dan influent. Pada kurva kelimpahan (Gambar 8) menunjukan sel Scenedesmus sp. mengalami fase logaritmik yang cenderung lambat yaitu dengan angka kelimpahan sebesar 1,5x106 sel/ml pada hari pertama sampai hari kelima sebesar 11,5x106 sel/ml hingga akhirnya mengalami fase mortalitas pada hari keenam hingga hari kesepuluh dengan angka kelimpahan sel Scenedesmus sp. sebesar 3,6x106 sel/ml. Turunnya angka kelimpahan sel Scenedesmus sp. pada media effluent tersebut dapat disebabkan oleh tiga hal, yaitu berkurangnya mikronutrien sebagai faktor pembatas karena telah banyak dimanfaatkan selama fase eksponensial, adanya toksik yang dihasilkan oleh mikroalga itu sendiri sebagai hasil dari metabolisme yang meracuni mikroalga itu sendiri dan berkurangnya proses fotosintesis akibat bertambahnya jumlah sel sehingga hanya bagian permukaan kultur saja yang memperoleh cahaya (Riley dan Chester, 1971 in Nugraheny, 2001). Mikronutrien yang dimanfaatkan antara lain adalah nitrat sebanyak 91% selama proses kultivasi. Gambar 10 menunjukan bahwa mikroalga Scenedesmus sp. lebih produktif saat di kultivasi pada media influent dibandingkan dengan hasil kultivasi pada media kontrol dan effluent. Perbedaan warna media pada setiap fase yang terjadi selama kultivasi penelitian t pada media influent disajikan pada Gambar 10.
27
(a)
(b)
(c)
Gambar 10. (a) kultivasi pada hari pertama, (b) kultivasi pada hari kelima, (c) kultivasi pada hari kedelapan pada limbah effluet.
Gambar 10 menunjukan perbedaan warna media setiap rentang harinya, hal ini diduga disebabkan oleh aktifitas mikroalga Scenedesmus sp. dalam media kultivasi.
4.2. Parameter Fisika dan Kimia pada Kultivasi Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Perbedaan bentuk kurva pertumbuhan kultivasi Scenedesmus sp. pada penelitian utama skala semi massal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor yang mempengaruhi kultivasi selama dilakukannya penelitian berlangsung, yaitu temperatur, pH, dan kandungan kimia yang terkandung pada media tersebut.
28
4.2.1 Pengaruh Temperatur (oC) pada Media Kultivasi Selama penelitian ini berlangsung nilai rata-rata temperatur yang tercatat pada media kultivasi berkisar antara 29,5-30,5 oC. Kurva rata-rata temperatur pada meda kultivasi disajikan pada Gambar 11:
Gambar 11. Kurva perubahan rata-rata temperatur (oC) medium kultivasi Scenedesmus sp.
Gambar 11 menunjukkan kurva yang relatif sama antara ketiga media tersebut. Angka tersebut diduga disebabkan oleh faktor penempatan bath tub masing-masing perlakuan yang ditempatkan sejajar di tempat yang sama sehingga asupan panas dari sinar matahari merata pada setiap perlakuan. Jika dibandingkan dengan angka kelimpahan sel Scenedesmus sp. pada setiap media kultivasi, temperatur bukanlah faktor pembatas bagi pertumbuhan Scenedesmus sp. Temperatur menurut Soeder dan Hegewald (1992) in Cahyaningsih dan Subyakto (2008) yang optimum untuk pertumbuhan Scenedesmus sp. adalah antara 31-32 oC, pada temperatur antara 34-36 oC Scenedesmus sp. akan berhenti
29
tumbuh dan akan mati. Perubahan temperatur tersebut diduga dipengaruhi oleh siklus penyinaran harian matahari terhadap media kultivasi.
4.2.2. Pengaruh Salinitas pada Media Kultivasi Selama penelitian berlangsung nilai salinitas yang tercatat disajikan pada Gambar 12:
Gambar 12. Kurva perubahan rata-rata salinitas (ppt) medium kultivasi Scenedesmus sp.
Gambar 12 menunjukkan angka salinitas berkisar antara 3-4 ppt untuk kultivasi pada media kontrol. Pada media influent dan effluent nilai salinitas yang tercatat berkisar antara 14,8-17,3 ppt, nilai tersebut dikarenakan kondisi media kultivasi yang cenderung payau. Kisaran salinitas pada media kontrol cenderung tawar hal ini dikarenakan nilai perbandingan antara air tawar dan inokulan yaitu 19:1 liter. Menurut Rostini (2007), kenaikan salinitas kultur dapat terjadi karena adanya hasil metabolisme sel ataupun pengendapan garam dan nutrien dalam
30
medium. Gambar 8 menunjukan kurva kelimpahan pada medium kontrol cenderung meningkat hingga hari kelima pada kisaran salinitas 3,33-3,67 ppt dan menurun di hari berikutnya pada salinitas 3,1-4 ppt. Pada kurva kelimpahan, medium influent cenderung mengalami peningkatan setiap harinya meskipun kenaikan tersebut terjadi secara perlahan. Kenaikan tertinggi terjadi pada hari ketujuh yaitu mencapai nilai 44x106 sel/ml pada salinitas 16,2 ppt. Pada kurva kelimpahan effluent menunjukkan pertumbuhan yang lambat dari hari pertama hingga hari kelima dan mengalami fase mortalitas pada hari keenam hingga hari kesepuluh pada kisaran salinitas 14,8-15,8 ppt. Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa Scenedesmus sp. dapat mentoleransi salinitas yang berbeda dari habitat aslinya dan menunjukan bahwa salinitas bukan menjadi faktor pembatas pada penelitian ini.
4.2.3. Pengaruh Keasaman Derajat (pH) pada Media Kultivasi Selama penelitian berlangsung pH yang tercatat pada setiap medium berkisar antara 6-8,5 seperti disajikan pada Gambar 13.
Gambar 13. Kurva perubahan rata-rata keasaman derajat (pH) medium kultivasi Scenedesmus sp.
31
Gambar 13 menunjukan bahwa medium influent cenderung bersifat asam yang ditunjukan dengan nilai pH yang berkisar antara 5,9-7,1. Pada medium kontrol dan effluent medium cenderung bersifat basa yang ditunjukan dengan nilai pH yang berkisar antara 7,1-8,4. Kurva kelimpahan (Gambar 8) medium influent cenderung mengalami peningkatan hingga hari ketujuh sebesar 44x10 6 sel/ml seiring dengan pH medium yang cenderung bersifat asam. Tingginya angka kelimpahan tersebut diduga disebabkan oleh proses ionisasi ammonia yang terjadi pada medium influent yang pada akhir proses akan menghasilkan ammonium yang merupakan sumber nutrien bagi mikroalga Scenedesmus sp tersebut. Pada medium effluent pH cenderung bersifat basa yang menyebabkan ammonia tidak dapat terionisasi sehingga tetap menjadi ammonia bebas yang bersifat racun dalam medium tersebut. Hal tersebut yang diduga menjadi penyebab angka kelimpahan sel Scenedesmus sp. pada medium effluent rendah. Perbandingan nilai pH dengan angka kelimpaan sel Scenedesmus sp. pada masing-masing media menunjukan bahwa pH menjadi faktor pembatas pada penelitian ini.
4.3. Penyerapan Bahan Kimia dan Logam Berbahaya pada Kultivasi Mikroalga Laut Scenedesmus sp. Kultivasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa limbah organik dan anorganik (influent dan effluent), proses yang selalu terjadi salah satunya adalah proses dekomposisi. Dekomposisi adalah proses penguraian yang melibatkan organisme dan reaksi kimia. Dekomposisi bahan organik pada dasarnya terjadi melalui dua tahap (Effendi, 2003). Tahap pertama bahan organik diuraikan menjadi bahan anorganik. Tahap kedua, bahan anorganik yang tidak stabil mengalami oksidasi menjadi bahan
32
organik yang lebih stabil, misalnya saat amonia mengalami oksidasi menjadi nitrit dan nitrat melalui proses nitrifikasi. Proses dekomposisi bahan organik, mikroba memanfaatkan bahan organik sebagai sumber makanan dari suatu rangkaian reaksi biokimia yang kompleks. Penelitian ini digunakan limbah industri dengan kandungan kimia yang cukup berbahaya (mengandung toksik), karena dimaksudkan mikroalga Scenedesmus sp. disini dapat berperan sebagai biofilter yang berfungsi untuk menurunkan kandungan kimia berbahaya seperti kromium (Cr) dan tembaga (Cu), untuk menduga peran Scenedesmus sp. tersebut maka dilakukanlah uji kualitas air pada saat sebelum dilakukan kultivasi dan sesudah dilakukan kultivasi Scenedesmus sp. Data hasil uji kualitas air sebelum dan sesudah kultivasi disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Uji Kualitas Air Sebelum dan Sesudah Dilakukan Kultivasi Parameter
Satuan
Sebelum Kultivasi Influent Effluent
Sesudah Kultivasi Influent Effluent
Standar Baku Mutu *)
150 BOD5 mg/L 385,33 113,88 65,57 48,47 5 Amonia (NH3-N) mg/L 5,56 3,78 1,99 0,612 30 Nitrat (NO3-N) mg/L 2,88 0,22 0,04 0,02 1 Kromium (Cr) mg/L 0,3 0,11 <0,002 <0,002 3 Tembaga (Cu) mg/L 0,22 0,14 <0,034 0,016 Keterangan: *) Standar Baku Mutu Menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 202 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Limbah Cair Kegiatan Industri. Data hasil uji kualitas air diatas menunjukan bahwa terjadi perbedaan nilai pada hasil uji antara limbah influent dan effluent. Nilai hasil uji analisis kualitas air untuk BOD sebelum kultivasi yang tercatat pada limbah influent adalah 385.33 mg/L, pada limbah effluent adalah 113.88 mg/L. BOD (Biochemical Oxygen Demand) merupakan jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroba untuk
33
mengoksidasi bahan organik dan nilai BOD selalu berbanding terbalik dengan nilai DO (Disolved Oxygen) (Effendi, 2003). Nilai BOD influent sebelum kultivasi tergolong lebih tinggi jika dibandingkan dengan nilai BOD pada effluent. Hal tersebut disebabkan oleh banyaknya mikroba yang berada pada limbah influent, sehingga oksigen yang ada dalam limbah tersebut dimanfaatkan oleh mikroba untuk mengoksidasi bahan organik dan proses respirasi. Nilai BOD sesudah kultivasi cenderung mengalami penurunan baik pada medium influent maupun effluent. Hal tersebut diduga disebabkan oleh berkurangnya mikroba akibat tingginya aktivitas mikroalga Scenedesmus sp. yang memanfaatkan bahan anorganik untuk proses fotosintesis yang kemudian akan menghasilkan oksigen terlarut menjadi tinggi. Nilai ammonia pada medium influent pada saat sebelum kultivasi tergolong tinggi jika dibandingkan dengan standar baku mutu menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 202 Tahun 2004. Kadar nitrat tergolong rendah yang menunjukan bahwa pada media influent sebelum kultivasi proses nitrifikasi kurang berjalan karena jumlah oksigen terlarut dalam media tersebut rendah yang menyebabkan ammonia bebas menjadi bertambah. Kondisi medium yang asam menyebabkan proses ionisasi ammonia berjalan dengan baik yang menyebabkan ammonium dalam medium tersebeut berlimpah. Diduga ammonium inilah yang dimanfaatkan oleh mikroalga Scenedesmus sp. untuk pertumbuhan pada saat kultivasi. Nilai ammonia dan nitrat pada medium effluent tergolong rendah (Tabel 3) jika dibandingkan dengan medium influent dan standar baku mutu menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 202 Tahun 2004. Namun, oksigen terlarut pada medium effluent tinggi yang menunjukan proses nitrifikasi berjalan
34
dengan baik. Kondisi medium yang basa menyebabkan proses ionisasi ammonia menjadi terhambat sehingga terjadi penumpukan ammonia bebas dalam medium tersebut. Konsentrasi kromium (Cr) dan tembaga (Cu) pada media influent dan effluent pada saat sebelum kultivasi tergolong rendah jika dibandingkan dengan standar baku mutu menurut SK Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 202 Tahun 2004. Setelah dilakukan kultivasi konsentrasi kromium menjadi menurun sebanyak 99% (limbah influent) 98% (limbah effluent) menjadi setelah dilakukan kultivasi. Begitu pula dengan nilai tembaga yang menurun sebanyak 85% (limbah influent) dan 88% (limbah effluent) setelah dilakukan kultivasi. Penurunan konsentrasi logam berat kromium (Cr) dan tembaga (Cu) diduga disebabkan oleh kemampuan tubuh mikroalga laut Scenedesmus sp. yang dapat menyerap logam berat, sehingga konsentrasi logam dalam media menjadi berkurang. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Brady et al. (1994) yang menyebutkan bahwa beberapa spesies mikroalga, termasuk Scenedesmus sp. mampu mengakumulasi logam berat seperti Cu, Pb, dan Cr hingga 98%. Kemampuan tersebut menjadikan mikroalga dikembangkan sebagai salah satu teknik untuk memperbaiki kualitas air yang tercemar limbah. Vyzamal (1984) dalam Brady et.al (1994) menyatakan bahwa akumulasi logam berat oleh mikroalga yang dilakukan dengan cara mengikat kation logam berat pada permukaan dinding sel mikroalga tersebut. Tingginya persentase penyerapan logam berat kromium dan tembaga tersebut menjadikan mikroalga laut Scenedesmus sp. dapat digunakan sebagai penyerap bahan kimia berbahaya dalam air limbah indistri.