27
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penentuan Formula Biskuit Spirulina Terpilih Pembuatan biskuit Spirulina menggunakan tiga formula yaitu penambahan S. platensis sebanyak 4 gram (P1), 6 gram (P2), dan 9 gram (P3). Penentuan formula terpilih dengan menggunakan uji hedonik dan aktivitas antioksidan. 4.2.1 Pengujian hedonik Pengujian biskuit secara hedonik dilakukan melalui penilaian beberapa parameter kesukaan panelis terhadap biskuit. Parameter yang dinilai yaitu penampakan, tekstur, warna, rasa, dan aroma. 1) Penampakan Penampakan merupakan salah satu parameter yang menentukan tingkat penerimaan dari panelis yang dinilai dengan penglihatan antara lain bentuk, ukuran, warna dan sifat-sifat permukaan (halus, kasar, suram, mengkilap, homogen, heterogen dan datar bergelombang). Penampakan produk memegang peranan penting dalam hal penerimaan konsumen, karena penilaian awal dari suatu produk adalah penampakannya sebelum faktor lain dipertimbangkan secara visual (Kaya 2008). Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap penampakan biskuit Spirulina berkisar antara 5,23 sampai 5,73 (netral). Histogram nilai rata-rata penampakan biskuit Spirulina disajikan pada Gambar 6. Analisis dengan menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang sama terhadap parameter penampakan biskuit (P>0,05). Penampakan biskuit cenderung seragam, karena pembuatan biskuit dilakukan dengan bentuk dan ukuran yang relatif sama, sehingga penilaian panelis terhadap penampakan panelis cenderung sama dan tidak berbeda nyata antar biskuit meskipun dengan penambahan berbagai konsentrasi Spirulina.
Nilai kesukaan
28
7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
5.73a
4 gram
5.70a
5.23a
6 gram
9 gram
Konsentrasi Spirulina Huruf a dan b menunjukkan pengaruh yang berbeda antar perlakuan (P<0,05).
Gambar 6 Histogram nilai rata-rata penampakan biskuit Spirulina. 2) Tekstur Tekstur merupakan segi penting dari mutu makanan, seringkali lebih penting dari pada aroma, rasa, dan warna. Tekstur penting pada makanan lunak dan makanan renyah. Ciri yang paling penting diacu adalah kekerasan, kekohesifan, dan kandungan air dari makanan tersebut (deMan 1999). Nilai ratarata uji hedonik terhadap tekstur disajikan dalam Gambar 7. Hasil penilaian rata-rata kesukaan panelis terhadap tekstur biskuit yang dihasilkan berkisar antara 5,60 sampai 5,90 (agak suka). Hasil uji menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang sama terhadap parameter tekstur biskuit (P>0,05). Penilaian panelis terhadap tekstur biskuit menunjukkan hasil agak suka. Hal ini diduga karena biskuit Spirulina memiliki tekstur yang berongga sehingga tingkat kerenyahan dengan biskuit komersial berbeda. Tekstur biskuit banyak dipengaruhi oleh proses pemanasan serta bahanbahan pembentuk adonan biskuit. Selain itu, proses pembuatan biskuit juga mempengaruhi tekstur biskuit yang dihasilkan. Metode pembentukan adonan seperti fermentasi dan laminasi, serta metode pemotongan adonan seperti datar atau timbul juga mempengaruhi tekstur biskuit yang dihasilkan. Penambahan tepung beras dalam jumlah kecil menyebabkan tekstur menjadi lebih renyah. Adanya tepung terigu (pati) dalam pembuatan biskuit, selama pemanasan akan mengalami gelatinisasi yang menyebabkan biskuit memiliki tektur yang sangat lembut (Manley 2000). Gelatinisasi adalah pembengkakan granula pati dengan
29
adanya air (Winarno 2008). Pemanasan atau pemanggangan biskuit dengan kondisi yang sama baik alat maupun suhunya menyebabkan biskuit memiliki tekstur yang seragam. Biskuit Spirulina dibuat dengan menggunakan metode serta proses pemanasan yang sama sehingga menghasilkan tekstur yang hampir
Nilai kesukaan
seragam. 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
5.90a
4 gram
5.60a
5.77a
6 gram
9 gram
Konsentrasi Spirulina Huruf a dan b menunjukkan pengaruh yang berbeda antar perlakuan (P<0,05).
Gambar 7 Histogram nilai rata-rata tekstur biskuit Spirulina. 3) Warna Mutu bahan pangan pada umumnya tergantung pada beberapa faktor. faktor tersebut antara lain cita rasa, tekstur, nilai gizi, mikrobiologis, dan warna. Warna merupakan faktor yang penting untuk makanan, baik yang belum atau sudah diproses. Warna dengan rasa dan tekstur memainkan peran penting sebagai daya terima makanan tersebut. Selain itu, warna dapat memberikan tanda terjadinya perubahan kimia, seperti pencoklatan dan karamelisasi (deMan 1999). Sebelum faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna akan tampil terlebih dahulu. Suatu bahan pangan yang dinilai bergizi dan teksturnya sangat baik tidak akan dikonsumsi apabila memiliki warna yang tidak seharusnya (Winarno 2008). Hasil penilaian rata-rata panelis terhadap warna biskuit Spirulina berkisar antara 5,36 sampai 5,76 (netral). Histogram nilai rata-rata warna biskuit Spirulina disajikan pada Gambar 8.
Nilai kesukaan
30
7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
5.47a
4 gram
5.77a
5.37a
6 gram
9 gram
Konsentrasi Spirulina Huruf a dan b menunjukkan pengaruh yang berbeda antar perlakuan (P<0,05).
Gambar 8 Histogram nilai rata-rata warna biskuit Spirulina. Hasil uji menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang sama terhadap parameter warna biskuit (P>0,05). Biskuit dengan penambahan Spirulina menghasilkan biskuit berwarna hijau kecoklatan. Warna hijau tersebut disebabkan oleh kandungan pigmen pada Spirulina yang disebut klorofil. Selain klorofil, Spirulina memiliki pigmen lain seperti fikosianin dan karotenoid. Chauhan dan Pathak (2010) menyatakan bahwa Spirulina disarankan untuk dijadikan pewarna alami, karena mikroalga tersebut adalah salah satu sumber terbesar klorofil di alam. Kandungan klorofil pada S. platensis yang dikultur dengan media Zarrouk pada suhu 28±1°C, intensitas cahaya 3000 lux dan dikultivasi selama
16 hari yaitu 13,8 mg/g.
Warna biskuit yang ditambah Spirulina yaitu hijau kecoklatan. Warna kecoklatan pada biskuit diduga karena adanya reaksi Maillard. Reaksi Maillard terjadi antara gugus aldehid dari gula pereduksi dengan gugus amina dari asam amino yang menyebabkan produk menjadi berwarna coklat. Reaksi ini tidak hanya pada biskuit, tetapi juga pada proses pembuatan roti, pemanggangan daging, dan lain-lain (Winarno 2008). Gugus aldehid diduga berasal dari asam amino dari protein, yang berasal salah satunya dari Spirulina. Alvarenga et al. (2011) melaporkan bahwa pada Spirulina mengandung berbagai asam amino, antara lain glutamat, aspartat, serin, glisin, histidin, arginin, treonin, alanin, prolin, tirosin, valin, metionin, sistein, isoleusin, leusin, fenilalanin, dan lisin. Gula pereduksi diduga berasal dari karbohidrat bahan-bahan pembuat
31
biskuit, antara lain gula dan tepung terigu. Ginting dan Suprapto (2005) melaporkan bahwa tepung terigu memiliki kandungan gula pereduksi 1,49% (bk). 4) Rasa Rasa (flavor) merupakan sensasi yang ditimbulkan oleh bahan di mulut, dirasakan terutama oleh indera rasa dan bau (deMan 1999). Rasa merupakan faktor penentu daya terima konsumen terhadap produk pangan. Rasa lebih banyak dinilai menggunakan indera pengecap atau lidah. Faktor rasa memegang peranan penting dalam pemilihan produk oleh konsumen, karena meskipun kandungan gizinya baik tetapi rasanya tidak dapat diterima oleh konsumen maka target meningkatkan gizi masyarakat tidak dapat tercapai dan produk tidak laku. Rasa lebih banyak melibatkan panca indera lidah. Penginderaan rasa dapat dibagi menjadi empat yaitu asam, asin, manis, dan pahit (Winarno 2008). Histogram nilai
Nilai kesukaan
rata-rata rasa biskuit Spirulina disajikan pada Gambar 9. 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
6.10a
4 gram
5.97a
5.83a
6 gram
9 gram
Konsentrasi Spirulina Huruf a dan b menunjukkan pengaruh yang berbeda antar perlakuan (P<0,05).
Gambar 9 Histogram nilai rata-rata rasa biskuit Spirulina. Nilai hedonik rasa biskuit Spirulina berkisar antara 5,83 sampai 6,10 (agak suka). Hasil uji menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang sama terhadap parameter rasa biskuit (P>0,05). Rasa dari biskuit cenderung dipengaruhi oleh bahan pembuat biskuit, seperti garam dan gula. Penambahan bahan-bahan tersebut jumlahnya sama yang kemudian menyebabkan rasa biskuit yang dihasilkan cenderung sama, sehingga penambahan Spirulina tidak mempengaruhi tingkat kesukaan panelis. Gula memberikan rasa manis terhadap biskuit yang dihasilkan.
32
5) Aroma Aroma makanan dapat menentukan kelezatan dari makanan itu sendiri. Aroma menjadi daya tarik tersendiri dalam menentukan rasa enak dari produk makanan. Aroma lebih banyak dipengaruhi oleh panca indera penciuman. Pada umumnya, aroma yang dapat diterima oleh hidung dan otak merupakan campuran empat macam aroma, yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno 2008). Histogram nilai rata-rata aroma biskuit Spirulina disajikan pada Gambar 10. Nilai sensori aroma biskuit Spirulina berkisar antara 5,83 sampai 6,40 (agak suka). Hasil uji menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang sama terhadap parameter aroma biskuit (P>0,05). Aroma biskuit yang dihasilkan dipengaruhi oleh bahan pembuat biskuit tersebut seperti vanili yang ditambahkan dalam adonan. Penambahan bahan tersebut memiliki komposisi yang sama,
Nilai kesukaan
sehingga aroma yang dihasilkan juga cenderung sama. 7.00 6.00 5.00 4.00 3.00 2.00 1.00 0.00
6.40a
4 gram
5.97a
5.83a
6 gram
9 gram
Konsentrasi Spirulina Huruf a dan b menunjukkan pengaruh yang berbeda antar perlakuan (P<0,05).
Gambar 10 Histogram nilai rata-rata aroma biskuit Spirulina. 4.2.2 Aktivitas antioksidan Vitamin C, vitamin E, vitamin A, polifenol, selenium, β-karoten, dan karotenoid
yang
telah
banyak
digunakan
sebagai
antioksidan
alami
(McCarthy et al. 2001). Spirulina platensis mengandung beberapa vitamin serta pigmen yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Penambahan Spirulina dalam pembuatan biskuit diharapkan dapat meningkatkan aktivitas antioksidan pada biskuit. Hasil uji aktivitas antioksidan dengan penambahan DPPH (2,2-DiPhenyl1-Picryl-Hydrazyl) disajikan pada Gambar 11.
33
10000.00
9883
9748
IC50 (ppm)
8000.00 6108 6000.00 4000.00 2000.00 0.00 4 gram
6 gram
9 gram
Konsentrasi Spirulina
Gambar 11 Hasil uji aktivitas antioksidan biskuit Spirulina pada berbagai penambahan. Nilai IC50 yang terukur yaitu 9883 ppm pada sampel P1, 9748 ppm pada P2, dan 6180 ppm pada sampel P3. Gambar 10 menunjukkan bahwa aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada biskuit P3. Hal ini berarti untuk mereduksi 50% DPPH dibutuhkan sebanyak 6180 ppm. Semakin kecil nilai IC50, maka aktivitas antioksidan semakin tinggi. Tingginya aktivitas antioksidan pada biskuit P3 sesuai dengan penambahan Spirulina dengan konsentrasi yang paling tinggi yaitu sebanyak 9 gram. 4.2.3 Penentuan formula terpilih Hasil uji menggunakan Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa penambahan Spirulina dengan berbagai konsentrasi memberikan pengaruh sama terhadap semua parameter hedonik yang dinilai (P>0,05), namun pada pengujian aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa biskuit P3 memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi. Berdasarkan kedua data tersebut, disimpulkan bahwa formula biskuit terpilih adalah biskuit P3 yaitu perlakuan penambahan Spirulina sebanyak 9 gram.
4.2 Karakteristik Spirulina platensis Karakterisasi dilakukan terhadap biomassa kering S. platensis komersial dan biomassa basah S. platensis hasil kultivasi. Hasil pengujian proksimat dan antioksidan dari S. platensis disajikan pada Tabel 4.
34
Tabel 4 Hasil karakterisasi Spirulina platensis Karakteristik
Kadar air (%) Kadar abu (%) Kadar protein (%) Kadar lemak (%) Karbohidrat (%) Antioksdian (IC50)
Hasil pengujian Spirulina kultivasi Spirulina komersil Basis Basis Basis Basis basah (bb) kering (bk) basah (bb) kering (bk) 93,15 4,28 0,95 13,87 5,99 6,26 3,85 56,20 61,06 63,79 1,65 24,09 0,14 0,15 0,4 5,84 28,53 29,81 1625 ppm 931 ppm
Kadar air pada S. platensis kultivasi cukup tinggi yaitu 93,15%, sedangkan kadar air S. platensis komersial yaitu 4,28%. Perbedaan ini dikarenakan Spirulina hasil kultivasi dianalisis dalam keadaan biomassa basah yang mengandung air cukup banyak, sedangkan Spirulina komersial yang dianalisis merupakan biomassa kering. Kadar abu S. platensis kultivasi yaitu 13,87% (bk), sedangkan kadar abu S. platensis komersial yaitu 6,26% (bk). Data tersebut menunjukkan bahwa kadar abu S. platensis kultivasi lebih besar dari S. platensis komersial. Abu yang terukur dalam analisis merupakan mineral yang terkandung dalam bahan. Thomas (2010) menyebutkan bahwa mineral yang terdapat pada S. platensis diantaranya kalsium, fosfor, magnesium, besi, sodium, potassium, seng, tembaga, mangan, chromium, dan selenium. Li et al. (2007) melaporkan bahwa mineral yang terkandung dalam Spirulina antara lain kalsium, magnesium, besi, seng, tembaga, mangan, nikel, dan stronsium. Spirulina platensis merupakan mikroalga yang telah diketahui memiliki kadar protein yang tinggi. Analisis protein yang dilakukan yaitu untuk mengetahui protein kasar (crude protein) atau untuk mengetahui total keseluruhan kandungan unsur N pada bahan. Kadar protein S. platensis kultivasi yaitu 56,20% (bk), sedangkan kadar protein S. platensis komersial yaitu 63,79% (bk). Perbedaan kandungan protein ini diduga karena perbedaan media kultur yang digunakan. Spirulina komersial ditumbuhkan dengan media Walne, sedangkan Spirulina kultivasi ditumbuhkan dalam media Zarrouk teknis modifikasi. Kedua media kultur tersebut memiliki komposisi yang berbeda. Media Walne memiliki komponen nutrien yang lebih lengkap dibanding media Zarrouk teknis modifikasi.
35
Goksan et al. (2007) menyatakan bahwa pada media yang kandungan N nya tercukupi akan mendukung produksi protein dan lemak, tetapi akan menurunkan sintesis karbohidrat. Colla et al. (2005) melaporkan bahwa kultivasi S. platensis dengan sumber N sodium nitrat (NaNO3) dengan jumlah 0,625 g/L dan 1,875 g/L pada suhu kultivasi 35°C memiliki kandungan protein berturut-turut 58,92±0,96% dan
70,15±0,82%,
sedangkan
kandungan
lemaknya
yaitu
berturut-turut
7,49±1,10% dan 10,37±0,63%. Komposisi kimia protein dalam S. platensis salah satunya dipengaruhi oleh sumber N pada media tumbuhnya. Potasium juga berpengaruh terhadap sintesis protein, karena merupakan kofaktor enzim sintesis protein. Nitrogen diperlukan pada proses sintesis asam amino sebagai penyusun protein dalam sel (Colla et al. 2005). Sumber N pada media Walne adalah sodium nitrat (NaNO3), sedangkan sumber N pada media Zarrouk teknis modifikasi adalah urea (N2H4CO). Kadar urea pada media Zarrouk teknis modifikasi yaitu 0,13 g/L, sedangkan kadar NaNO3 pada media Walne yaitu 100 g/L. Hal ini sesuai dengan kadar protein dari Spirulina komersial yang lebih tinggi dari Spirulina hasil kultivasi. Costa et al. (2001) menyatakan bahwa urea dimetabolisme oleh cyanobacter melalui aktivitas enzim seperti enzim urease, oleh karena itu urea merupakan sumber nitrogen yang baik. Selain urea, S. platensis juga bisa memanfaatkan nitrat sebagai sumber nitrogen, karena struktur tersebut yang paling umum di alam. Lemak merupakan salah satu gizi yang diperlukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan kalori sehari-hari. Kadar lemak pada S. platensis kultivasi yaitu 24,09% (bk), sedangkan kadar lemak S. platensis komersial yaitu 0,15% (bk). Hal ini menunjukkan bahwa kadar lemak S. platensis kultivasi lebih besar dari S. platensis komersial. Vonshak et al. (2004) menyatakan bahwa perbedaan oleh komposisi protein dan lemak pada mikroalga disebabkan perbedaan komposisi biokimia pada tubuhnya, dimana unsur yang paling penting berupa C dan N. Spirulina mengandung asam lemak tak jenuh berkisar 1,3–1,5%, yang didominasi oleh γ-linolenat 30–35% dari total lemak. Kandungan asam
36
lemak pada Spirulina yaitu diantaranya palmitic acid (44,6–54,1%), oleic acid (1–15,5%), linoleic acid (10,8–30,7%), dan γ-linolenic acid (8,0–31,7%) (FAO 2008). Berbeda dengan kadar lemak, kadar karbohidrat total pada S. platensis kultivasi lebih kecil daripada S. platensis komersial. Kadar karbohidrat S. platensis kutivasi yaitu 5,84% (bk), sedangkan kadar karbohidrat S. platensis komersial yaitu 29,81% (bk). Perbedaan kandungan karbohidrat tersebut diduga karena jumlah kandungan abu, protein, dan lemak pada Spirulina hasil kultivasi lebih tinggi dibanding jumlah kandungan protein, abu, dan lemak pada Spirulina komersial, sehingga karbohidrat pada Spirulina komersial lebih tinggi. Antioksidan merupakan suatu senyawa yang dapat menunda atau mencegah oksidasi lemak atau molekul lain dengan cara menghambat terjadinya proses inisiasi atau propagasi reaksi rantai oksidatif. Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan dengan penambahan DPPH (2,2-DiPhenyl-1-PicrylHydrazyl). Sampel akan mendonorkan ion H+ sehingga akan terjadi perubahan warna ungu menjadi kuning pucat. Semakin tinggi aktivitas antioksidannya, perubahan warna akan semakin jelas. Aktivitas antioksidan S. platensis kultivasi yang terukur yaitu pada IC50 adalah 1625 ppm, sedangkan pada S. platensis komersial 931 ppm. Nilai IC50 merupakan banyaknya ekstrak bahan (S. platensis) yang dibutuhkan untuk mereduksi 50% aktivitas radikal bebas oleh DPPH yang ditambahkan. Semakin rendah nilai IC50 maka semakin tinggi aktivitas antioksidannya, sehingga berdasarkan pernyataan tersebut maka dapat diketahui bahwa aktivitas antioksidan pada S. platensis komersial lebih tinggi. Hal tersebut diduga karena perbedaan bahan dalam analisis. Spirulina komersial yang digunakan untuk analisis adalah biomassa kering, sedangkan Spirulina kultivasi yang digunakan untuk analisis adalah biomassa basah. Biomasaa kering mengandung Spirulina yang lebih banyak dibandingkan biomassa basah, sehingga aktivitas antioksidan pada Spirulina komersial yang terukur lebih besar.
4.3 Karakteristik Biskuit Karakteristik yang diamati adalah biskuit dengan penambahan 9 gram Spirulina hasil kultivasi dan biskuit tanpa penambahan Spirulina (kontrol).
37
Parameter yang diamati yaitu komposisi kimia, aktivitas antioksidan, kerusakan mikrobiologis, dan Angka Kecukupan Gizi (AKG) biskuit. 4.3.1 Komposisi kimia biskuit Komposisi kimia pada biskuit ditentukan berdasarkan analisis proksimat yang meliputi pengukuran kadar abu, kadar protein, serta kadar lemak. Komposisi kimia biskuit kontrol (tanpa penambahan Spirulina) dan biskuit dengan penambahan 9 gram Spirulina kultivasi dapat dilihat pada Gambar 12. 13.28b
14.00 Kadar basis kering (%)
12.00 9.36a
10.00
a 7.24a 7.49
8.00 6.00 4.00
3.81b 2.61a
2.00 0.00 Kadar abu
Kadar protein
Kadar lemak
Pengujian Huruf a dan b menunjukkan pengaruh yang berbeda antar perlakuan (P<0,05).
Gambar 12 Histogram komposisi kimia biskuit ( : biskuit kontrol, : biskuit Spirulina). 1) Kadar abu Kadar abu dikenal sebagai unsur mineral atau zat anorganik. Sekitar 96% bagian pada bahan makanan terdiri bahan organik dan air, sedangkan sisanya yaitu unsur-unsur mineral (Winarno 2008). Hasil analisis menunjukkan bahwa pada kadar abu pada biskuit kontrol yaitu 2,61% (bk), sedangkan pada biskuit Spirulina yaitu 3,81% (bk). Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar abu biskuit Spirulina lebih besar dibandingkan kadar abu biskuit kontrol. Penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kadar abu (P<0,05). Abu biasanya banyak dihubungkan dengan banyaknya mineral yang terdapat pada bahan. Besarnya mineral yang terdapat pada biskuit dapat dipengaruhi dari bahan-bahan pembuat biskuit tersebut. Kadar abu pada biskuit kontrol diduga berasal dari tepung terigu, tepung beras, dan garam,
38
sedangkan pada biskuit Spirulina berasal dari tepung terigu, tepung beras, garam, dan Spirulina. Kadar abu pada tepung terigu yaitu 1,83% (Suarni 2001), sedangkan kadar abu pada tepung beras yaitu 0,59% (Rustanti et al. 2012). Garam yang digunakan dalam pembuatan biskuit merupakan garam komersial yang memiliki kandungan mineral antara lain natrium, klorida, iodium, besi, kalsium, magnesium, besi, dan kalium. Spirulina memberikan kontribusi terhadap tingginya kadar abu pada biskuit Spirulina. Spirulina kultivasi memiliki kadar abu 13,87% (bk). Tingginya kadar abu pada Spirulina tersebut diduga mempengaruhi kadar abu biskuit Spirulina. Biskuit Spirulina memiliki kadar abu yang lebih tinggi dibandingkan biskuit kontrol, sesuai dengan adanya penambahan Spirulina yang memiliki kadar abu cukup tinggi. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kaya et al. (2008) yang menunjukkan adanya peningkatan kadar abu biskuit setelah ditambahkan tepung tulang ikan patin yang kaya akan mineral dan penelitian Yanuar et al. (2009) melakukan penambahan tepung cangkang rajungan pada pembuatan crackers sehingga meningkatkan kadar abu crackers. 2) Kadar protein Protein merupakan zat makanan yang penting bagi tubuh karena berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur, serta sebagai bahan bakar yang digunakan untuk keperluan energi tubuh (Winarno 2008). Hasil analisis kadar protein menunjukkan bahwa kadar protein pada biskuit Spirulina yaitu 13,28%, sedangkan kadar protein pada biskuit kontrol yaitu 9,36%. Penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kadar protein biskuit (P<0,05). Protein pada biskuit kontrol diduga berasal dari tepung terigu, tepung beras, gula, sedangkan pada biskuit Spirulina berasal dari tepung terigu, tepung beras, gula, dan Spirulina. Kadar protein pada tepung terigu yaitu 14,45% (bk) (Suarni 2001), tepung beras 9,59% (bk), dan gula 0,43% (bk) (Rustanti et al. 2012). Spirulina hasil kultivasi memiliki kadar protein yang cukup tinggi, yaitu 56,2% (bk). Tingginya kadar protein pada Spirulina diduga mempengaruhi kadar protein pada biskuit Spirulina. Kadar protein biskuit Spirulina lebih besar dibandingkan biskuit kontrol, sesuai dengan adanya penambahan Spirulina yang memiliki kandungan protein 56,2% (bk).
39
3) Kadar lemak Lemak memiliki efek shortening pada makanan yang dipanggang seperti biskuit, kue kering, dan roti. Lemak memecah struktur kemudian melapisi pati dan gluten sehingga dihasilkan biskuit yang renyah. Lemak dapat memperbaiki struktur
fisik
seperti
pengembangan,
kelembutan,
tekstur,
dan
aroma
(Manley 2000). Kadar lemak pada biskuit kontrol yaitu 7,24% (bk), sedangkan kadar lemak pada biskuit Spirulina yaitu 7,49% (bk). Penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang sama terhadap kadar lemak biskuit (P>0,05). Kadar lemak pada biskuit relatif rendah, hal ini diduga karena penambahan lemak (minyak) pada pembuatan biskuit relatif kecil, yaitu 5 ml per adonan. Penelitian Asni (2004) menunjukkan bahwa penambahan lemak (margarin) 17,5 gram dan kuning telur 5 gram menghasilkan biskuit dengan kadar lemak 24,24%. 4.3.2 Aktivitas antioksidan biskuit Aktivitas antioksidan dinyatakan dalam IC50, yaitu banyaknya konsentrasi yang digunakan untuk mereduksi senyawa oksidan sebanyak 50%. Aktivitas antioksidan pada biskuit disajikan pada Gambar 13. 10000
9283a 8017a
IC50 (ppm)
8000 6000 4000 2000 0 biskuit kontrol biskuit Spirulina Jenis biskuit Huruf a dan b menunjukkan pengaruh yang berbeda antar perlakuan (P<0,05).
Gambar 13 Aktivitas antioksidan biskuit kontrol biskuit Spirulina ( : biskuit kontrol, : biskuit Spirulina). Nilai IC50 pada biskuit kontrol yaitu 9283 ppm, sedangkan pada biskuit Spirulina yaitu 8017 ppm. Penambahan Spirulina memberikan pengaruh yang sama terhadap aktivitas antioksidan biskuit (P>0,05). Spirulina platensis mengandung beberapa vitamin serta pigmen yang dapat berfungsi sebagai antioksidan. Senyawa antioksidan berperan penting untuk mengurangi kerusakan
40
oksidatif sel maupun jaringan yang disebabkan antara lain oleh Reactive Oxygen Species (ROS) seperti radikal superoksida, radikal nitrat hidroksida, radikal lipid peroksil, dan radikal hidroksil. Wang et al. (2007) melaporkan bahwa terdapat beberapa senyawa dari S. platensis yang berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan. Komponen tersebut diantaranya flavonoid 85,1±7,3 g/kg, β-karoten 77,8±6,8 g/kg, vitamin A 113,2±2,7 g//kg, dan α-tokoferol 3,4±0,3 g/kg dari S. platensis bobot kering. Aktivitas antioksidan pada produk pangan tidak hanya bergantung pada aktivitas kimia dari antioksidan tersebut, tetapi juga pada beberapa faktor seperti interaksi dengan komponen bahan dan kondisi lingkungan. Salah satu faktor yang menyebabkan antioksidan mampu menangkap radikal bebas pada pangan adalah kebiasaan berpisah pada lemak dan air. Kecenderungan antioksidan yang bersifat lipofilik adalah bekerja pada kandungan air yang tinggi, sebaliknya antioksidan yang bersifat polar efektif pada minyak dalam jumlah besar yang biasa disebut dengan antioxidant paradox (Miron et al. 2010). Mau et al. (2002) menyatakan bahwa secara alamiah semua organisme memiliki mekanisme untuk mengatasi radikal bebas, misalnya dengan enzim superoksida dismutase dan katalase, atau dengan senyawa asam askorbat, tokoferol, dan glutation. 4.3.3 Kerusakan mikrobiologis Kerusakan mikrobiologis dapat diketahui diantaranya dengan menghitung total mikroba dan aktivitas air. Total mikroba dihitung dengan menggunakan metode Total Plate Count (TPC). Aktivitas air (aw) diukur dengan menggunakan alat aw meter Novasina ms1. 1) Total mikroba Daya simpan suatu produk pangan erat kaitannya dengan keadaan sanitasi pada waktu produk tersebut diproduksi dan ditangani. Hal ini terkait dengan kontaminasi mikroba yang dapat mempengaruhinya. Pengamatan yang dilakukan terhadap total mikroba pada penyimpanan hari pertama yaitu pada biskuit kontrol berjumlah 1,5x103 cfu/g (3,18 log) dan pada biskuit Spirulina yaitu 1,1x103 cfu/g (3,04 log), sedangkan total mikroba pada akhir masa simpan pada biskuit kontrol yaitu 4,8x103 cfu/g (3,68 log) dan pada biskuit Spirulina yaitu 6,8x103
41
cfu/g (3,83 log). Grafik hubungan antara total mikroba dengan lama penyimpanan biskuit disajikan pada Gambar 14. 4.00
3,66ax 3,18ax
3,04ax
3,68ax
3,83ax
3,23ax
Log TPC
3.00
2.00
1.00
0.00 1
16
31
Hari keHuruf a dan b menunjukkan pengaruh yang berbeda antar biskuit (P<0,05) Huruf x dan y menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar waktu penyimpanan
Gambar 14 Perubahan nilai total mikroba selama penyimpanan ( : biskuit kontrol, : biskuit Spirulina). Penambahan Spirulina dan waktu penyimpanan memberikan pengaruh yang sama terhadap total mikroba biskuit (P>0,05). Terdapat mikroba dari awal penyimpanan, namun masih memenuhi standar biskuit karena masih dibawah nilai batas maksimum total mikroba biskuit, yaitu 1,0x104 cfu/g (4 log) (BSN 2011a). Hal tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Nagi et al. (2012) yang menyebutkan bahwa biskuit yang dikemas dengan menggunakan kemasan plastik jenis HDPE dan disimpan selama tiga bulan pada suhu ruang memiliki total mikroba yang masih berada dibawah standar maksimum. Terdapat adanya mikroba pada biskuit kontrol dan biskuit Spirulina. Adanya mikroba tersebut diduga terjadi rekontaminasi dan atau kontaminasi silang pada saat pembuatan biskuit. Menurut Damongilala (2009), nilai TPC dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik, yaitu kondisi lingkungan dan cara penanganan dan penyimpanan produk. Cara penanganan, pengolahan, dan penyimpanan yang tidak higiene terhadap bahan mentah maupun produk olahan, dapat menyebabkan kontaminasi bahan mentah/produk olahan dengan mikroba yang berasal dari lingkungan pengolahan dan penyimpanan.
42
2) Aktivitas air (aw) Aktivitas air (water activity) merupakan jumlah air yang dapat digunakan oleh mikroorganisme untuk pertumbuhannya. Nilai aktivitas air selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 15.
Huruf a dan b menunjukkan pengaruh yang berbeda antar biskuit (P<0,05) Huruf x dan y menunjukkan pengaruh perbedaan nyata antar waktu penyimpanan
Gambar 15 Perubahan aktivitas air biskuit selama penyimpanan ( : biskuit kontrol, : biskuit Spirulina). Penambahan Spirulina dan waktu penyimpanan memberikan pengaruh yang berbeda terhadap aktivitas air biskuit pada hari ke-1 (P<0,05). Pengukuran pada hari ke-1, nilai aw pada biskuit kontrol yaitu 0,433 dan pada biskuit Spirulina yaitu 0,125. Perbedaan nilai aktivitas air ini diduga karena bentuk biskuit yang diukur kurang seragam. Pencetakan dilakukan manual menggunakan roller, sehingga memungkinkan terjadinya ketidakseragaman bentuk biskuit. Pengukuran pada hari ke-16, nilai aw pada biskuit kontrol yaitu 0,535 dan pada biskuit Spirulina yaitu 0,557. Pengukuran pada hari ke-31, nilai aw pada biskuit kontrol yaitu 0,558 dan pada biskuit Spirulina yaitu 0,607. Penambahan Spirulina dan waktu pengamatan memberikan pengaruh yang sama terhadap aktivitas air biskuit pada pengamatan hari ke-16 dan hari ke-31 (P<0,05). Hal tersebut diduga karena biskuit telah mengalami absorbsi air dari udara selama penyimpanan. Kerusakan produk biskuit sering dihubungkan dengan kerusakan tekstur. Kerenyahan merupakan tekstur penting pada biskuit. Kerenyahan produk kering
43
akan menurun dengan meningkatnya aw produk. Arimi et al. (2010) menyatakan bahwa kerenyahan produk akan berkurang jika aw berkisar 0,5±0,2. Selain itu, bahan dasar tepung terigu juga dapat menyebabkan peningkatan aw selama penyimpanan. Hal ini diduga karena adanya tepung (pati). Pati yang telah tergelatenisasi dan dikeringkan masih mampu menyerap air dalam jumlah besar (Winarno 2008). Aktivitas air dapat diturunkan dengan cara pengeringan atau penambahan senyawa yang larut dalam air seperti gula dan garam. Mikroba hanya dapat tumbuh pada kisaran aktivitas air tertentu. Kisaran aw untuk pertumbuhan bakteri adalah 0,9, khamir 0,8–0,9, dan kapang 0,6-0,7 (Winarno 2008). Bahan yang mempunyai aktivitas air 0,7 atau pada kelembaban relatif dibawah 70% sudah dianggap cukup baik dan tahan selama penyimpanan (Saenab et al. 2010). Hubungan aktivitas air (aw) dengan laju reaksi relatif disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16 Hubungan aw dengan laju reaksi relatif (Labuza 1971 dalam Winarno 2008). Gambar 16 menunjukkan bahwa pada aktivitas air 0-0,2 (Daerah I) tidak ada reaksi yang terjadi pada produk, sedangkan pada selang aw 0,25-0,8 (Daerah II) reaksi yang dapat terjadi yaitu browning nonenzimatis, oksidasi lemak, aktivitas enzim, dan reaksi hidrolisis. Biskuit Spirulina dan biskuit kontrol memiliki nilai aw 0,125-0,607, sehingga nilai aw tersebut termasuk dalam Daerah II. Reaksi yang terjadi pada biskuit yang dipengaruhi oleh nilai aw diduga adalah reaksi oksidasi lemak. Kandungan lemak pada biskuit kontrol 7,24% dan biskuit Spirulina 7,49%. Hal ini sesuai dengan pernyataan Arpah (2007) yang
44
menyebutkan bahwa oksidasi lemak dapat terjadi pada produk yang mengandung lemak. Reaksi oksidasi merupakan reaksi suatu senyawa lemak yang tidak (atau belum) mengandung radikal peroksida dan hidroperoksida mengalami serangan senyawa oksigen reaktif yang mampu melepaskan satu atom hidrogen dari asam lemak membentuk radikal. Aktivitas
air
pada
selang
0,7-0,9
adalah
nilai
aktivitas
yang
memungkinkan bakteri, kapang, dan khamir dapat tumbuh. Biskuit kontrol dan biskuit Spirulina memiliki aw 0,125-0,607, sehingga mikroba tidak dapat tumbuh. Adanya mikroba pada hari ke-1 yaitu 1,5x103 cfu/g dan 1,1x103 cfu/g, diduga karena adanya rekontaminasi dan atau kontaminasi silang pada saat pembuatan biskuit. 4.3.4 Angka Kecukupan Gizi (AKG) Biskuit Spirulina Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan atau Recommended Dietary Allowances (RDA) adalah taraf konsumsi zat-zat gizi esensial, yang dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir semua orang sehat. Angka kecukupan gizi digunakan sebagai standar guna mencapai status gizi optimal. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik (Almatsier 2006). Kebutuhan gizi per hari mengacu pada kebutuhan perhari untuk konsumen umum dari BPOM (2005) yaitu karbohidrat 300 g (1200 kkal), protein 60 g (240 kkal), dan lemak 62 g (560 kkal). Informasi gizi mengenai Angka Kecukupan Gizi biskuit Spirulina disajikan pada Tabel 5, sedangkan pada biskuit kontrol disajikan pada Tabel 6. Penentuan takaran saji merujuk pada takaran saji biskuit komersial yang terdapat di pasaran. Biskuit Spirulina per takaran saji dapat menyumbangkan energi 70,21 kkal, sedangkan pada biskuit kontrol dapat menyumbangkan energi total yang lebih besar yaitu 73,34 kkal. Namun, biskuit Spirulina mampu memenuhi kebutuhan protein 3,68% per hari, lebih tinggi jika dibandingkan dengan protein dari biskuit kontrol. Wanita dan pria pada usia 20–59 tahun memerlukan protein masing-masing 50 mg dan 60 mg (Permenkes 2005). Biskuit Spirulina per serving size mengandung protein 2,21 gram. Hal ini berarti dengan mengkonsumsi biskuit sebanyak 18 gram, maka kebutuhan terhadap protein akan
45
terpenuhi. Food and Agriculture Organization (FAO) (2008) menyatakan bahwa Spirulina merupakan pangan yang GRAS (Generally recognized as safe) atau yang sudah dinyatakan aman. Spirulina yang digunakan sebagai pangan, konsumsi per sajinya diperbolehkan pada kisaran 2,0 sampai 8,0 gram, yang berarti mengandung 60% protein berkisar 1,2–4,8 gram. Tabel 5 Informasi nilai gizi biskuit Spirulina Takaran saji Per sajian kemasan Energi total Nutrisi Karbohidrat (by different) Protein Lemak
18 g
Jumlah per sajian (g) 12,54 2,21 1,24
70,21 kkal *AKG 4,18 3,68 2,00
*Persen AKG berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal
Tabel 6 Informasi nilai gizi biskuit kontrol Takaran saji Per sajian kemasan Energi total Nutrisi Karbohidrat (by different) Protein Lemak
18 g
Jumlah per sajian (g) 13,85 1,60 1,27
73,34 kkal *AKG 4,62 2,68 2,05
*Persen AKG berdasarkan kebutuhan energi 2000 kkal
Angka kecukupan untuk protein dan zat-zat gizi lain dinyatakan sebagai taraf suapan terjamin (safe level of intake), yaitu rata-rata kebutuhan ditambah 2,5% dari kebutuhan tersebut. Hal tersebut bertujuan untuk memenuhi atau melebihi hampir semua individu. Apabila seseorang mengkonsumsi protein atau zat gizi lain pada nilai yang sama atau sedikit lebih besar dari konsumsi yang dianggap aman, jumlah yang sedikit lebih besar ini tidak akan menimbulkan akibat merugikan (Almatsier 2006).
4.4 Saran Penyajian Biskuit Spirulina memiliki kadar protein yang cukup tinggi yaitu 13,28%, sedangkan dalam BSN (2011a) disebutkan bahwa syarat minimal protein yaitu 5%. Berikut perbandingan jumlah karbohidrat, protein, dan lemak dari biskuit
46
Spirulina dan biskuit komersial merk X. Perbandingan nilai gizi biskuit Spirulina dan biskuit komersial disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 Perbandingan nilai gizi biskuit Spirulina dan komersial Takaran saji Per sajian kemasan Nutrisi Karbohidrat Protein Lemak
18 g Biskuit Spirulina Jumlah per sajian (g) 12,54 2,21 1,24
Biskuit komersial Jumlah per sajian (g) 12,21 1,28 3,20
Kandungan protein pada biskuit komersial dengan takaran saji 18 gram adalah 1,28 gram, sedangkan lemak yang disumbangkan dari biskuit komersial yaitu 3,20 gram. Protein tersebut lebih kecil dibandingkan protein dari biskuit Spirulina, namun memiliki kandungan lemak yang lebih tinggi. Hal ini dikarenakan bahan baku pembuatan biskuit komersial ditambahkan telur, minyak nabati, margarin, dan susu bubuk. Penambahan bahan – bahan tersebut dapat meningkatkan lemak. Selain itu, telur mengandung kolesterol yang cukup tinggi. FAO (2008) menyatakan bahwa 10 gram Spirulina menyediakan 1,3 mg kolesterol dan 36 kkal energi, sedangkan dalam jumlah yang sama, telur menyediakan 300 mg kolesterol dan 80 kkal energi. Tabel 8 Kandungan gizi biskuit Spirulina dalam berbagai takaran saji Kandungan gizi Karbohidrat Protein Lemak Total kalori
Jumlah yang disumbangkan Takaran saji 18 g Takaran saji 27 g Takaran saji 36 g gram % AKG gram % AKG gram % AKG 12,54 4,18 18,81 6,27 25,08 8,36 2,21 3,68 3,31 5,52 4,42 7,36 1,25 2,00 1,87 3,00 2,49 4,00 70,21 kkal 105,32 kkal 140,43 kkal
Biskuit dengan takaran saji 18 gram, 27 gram, dan 36 gram memilki total kalori 70,21 kkal, 105,32 kkal, dan 140,43 kkal. Protein yang disumbangkan yaitu 2,21 gram, 3,31 gram, dan 4,42 gram. Jittanoonta et al. (1999) melaporkan bahwa dalam 9 gram Spirulina yang diujikan pada tikus memiliki kandungan asam nukleat 1,21 g/kg berat badan. Batas asam nukleat dalam tubuh berdasarkan acceptable daily intake (ADI) adalah 4,33 g/kg, sehingga penambahan 9 gram
47
Spirulina masih aman. Konsumsi 36 gram biskuit Spirulina menyumbangkan protein 4,42 gram (7,36% AKG) dan kalori 140,43 kkal. Konsumsi biskuit Spirulina dengan takaran saji tersebut tidak akan mendapatkan kalori berlebih, dengan syarat tidak mengkonsumsi makanan ringan (snack) yang lain. BPOM (2011) menyebutkan bahwa makanan dalam bentuk padat yang memiliki kandungan protein 35% AKG atau ALG per 100 gram merupakan makanan yang tinggi protein (high protein), sedangkan kandungan protein 20% ALG per 100 gram merupakan makanan sumber protein. Biskuit Spirulina memiliki kandungan protein 12,27% (bb). Acuan label gizi (ALG) berdasarkan BPOM (2005) menyebutkan bahwa kebutuhan protein perhari adalah 60 gram. Hal tersebut menunjukkan bahwa biskuit Spirulina memiliki kandungan protein 20,45% ALG, sehingga biskuit Spirulina merupakan makanan sumber protein. Protein merupakan substansi yang dibutuhkan dalam pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain itu, protein membantu membangun dan memperbaiki jaringan protein tubuh yang rusak. Kandungan protein pada biskuit Spirulina yang cukup tinggi sangat dianjurkan untuk anak-anak dan remaja karena fungsi protein yang sangat penting untuk masa pertumbuhan. Apabila konsumsi kebutuhan protein tercukupi, maka hal tersebut membantu mengatasi masalah gizi yaitu kurangnya konsumsi energi dan protein di Indonesia (KEP). Manfaat lain yang dapat diperoleh dari konsumsi biskuit Spirulina yaitu adanya kandungan antioksidan alami. Biskuit Spirulina memiliki aktivitas antioksidan, namun masih termasuk nilai aktivitas yang rendah. Antioksidan alami aman dikonsumsi.