22
4
4.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Rendemen dan Komposisi Kimia Kerang Darah (A. granosa) Kerang darah termasuk dalam kelas pelecypoda atau sering disebut juga
bivalvia memiliki karakteristik yang khas yaitu tubuh yang terdiri dari dua cangkang pipih lateral. Rendemen adalah presentase suatu bahan baku yang dimanfaatkan. Rendemen merupakan suatu parameter yang paling penting untuk mengetahui nilai ekonomis dan efektifitas suatu produk atau bahan. Semakin besar nilai rendemen, semakin besar pula bagian bahan baku yang dapat dimanfaatkan. Dokumentasi sampel kerang darah disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Sampel kerang darah. Rendemen yang dapat diperoleh dari sampel kerang darah berupa daging dan cangkang. Rendemen kerang darah merupakan bagian tubuh kerang darah yang masih bisa dipergunakan yang diperoleh dengan cara membedah kerang, kemudian memisahkan bagian daging dengan cangkang. Rendemen daging kerang darah dihitung berdasarkan presentase perbandingan bobot daging terhadap bobot utuh sampel. Rendemen kerang darah disajikan pada Gambar 4. Gambar 4 menunjukkan bahwa rendemen yang paling besar adalah cangkang sebesar 70,71%, sedangkan rendemen daging sebesar 29,28%. Kerang darah memiliki rendemen cangkang yang lebih tinggi dibandingkan rendemen daging, hal ini dapat dikarenakan kerang darah memiliki 2 keping cangkang yang tebal dan mengandung kalsium karbonat (Nurjanah et al. 2005). Kadar zat kapur (CaCO3) dan zat tanduk pada cangkang membuat rendemen cangkang menjadi paling tinggi diantara rendemen daging.
23 26
Gambar 4 Rendemen kerang darah segar:
= cangkang;
= daging.
Analisis proksimat yang dilakukan menghasilkan data mengenai kandungan gizi yang terdapat dalam suatu bahan pangan. Pada umumnya zat gizi dibagi dalam lima kelompok utama, yaitu karbohidrat, lemak, protein, abu atau mineral, serta air (Budiyanto 2002). Hasil analisis proksimat daging kerang darah disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil analisis proksimat kerang darah Parameter Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein Kadar Lemak Kadar Karbohidrat (by difference)
Kandungan (%) 81,61 1,09 6,65 0,58 10,07
Air merupakan komponen yang mempunyai peranan yang sangat besar bagi bahan pangan. Keberadaan air dalam bahan pangan sering dihubungkan dengan mutu bahan pangan, sebagai pengukur bagian bahan kering atau padatan, penentu indeks kestabilan selama penyimpanan serta penentu mutu organoleptik terutama rasa dan keempukan (Andarwulan et al. 2011). Tabel 3 menunjukkan kadar air kerang darah yang berasal dari PPI Muara Angke adalah sebesar 81,61%. Hal ini tidak berbeda jauh dengan hasil penelitian Daluningrum (2009) yang menyatakan bahwa kadar air kerang darah sebesar 81,81% (bb). Lehninger (1988) menjelaskan bahwa air merupakan senyawa paling berlimpah dalam sistem hidup dan mencakup 70% atau lebih dari bobot hampir semua bentuk kehidupan. Hal ini
24 27 diperkuat oleh pernyataan Winarno (2008) yang menyebutkan bahwa produk hasil perikanan memiliki kandungan air yang cukup tinggi. Bahan pangan mengandung senyawa anorganik yang disebut mineral atau abu selain mengandung bahan organik dan air. Keberadaan mineral pada bahan pangan sangat dibutuhkan oleh tubuh manusia meskipun jumlahnya sangat sedikit (Andarwulan et al. 2011). Hasil analisis kadar abu menunjukkan nilai kadar abu pada kerang darah sebesar 1,09%. Hasil ini lebih rendah namun tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan hasil penelitian Daluningrum (2009) dimana kadar abu yang diperoleh sebesar 2,00% (bb). Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh perbedaan habitat dan lingkungan hidup. Setiap lingkungan perairan dapat menyediakan asupan mineral yang berbeda-beda bagi organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Selain itu, masing-masing individu organisme juga memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam meregulasi dan mengabsorbsi mineral yang masuk ke dalam tubuh, sehingga hal ini nantinya akan memberikan pengaruh pada nilai kadar abu masing-masing bahan (Susanto 2010). Protein adalah salah satu zat gizi makro yang dibutuhkan tubuh karena fungsinya yang khusus dalam pertumbuhan. Protein merupakan sumber asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N. Hasil analisis protein menunjukkan bahwa nilai protein yang didapat yaitu sebesar 6,65%. Hasil ini lebih rendah jika dibandingkan dengan hasil penelitian Yusefi (2011) yaitu kadar protein kerang bulu sebesar 9,72% (bb). Perbedaan kadar protein dapat dikarenakan oleh faktor spesies, umur, makanan yang tersedia, laju metaboisme, tingkat kematangan gonad, dan laju pergerakan (Andarwulan et al. 2011). Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan tubuh manusia (Winarno 2008). Hasil analisis kadar lemak pada kerang darah yang dihasilkan yaitu sebesar 0,58%. Nilai tersebut tidak berbeda jauh dibandingkan penelitian Daluningrum (2009) yang menghasilkan kadar lemak kerang darah sebesar 0,60% (bb). Menurut pendapat Yunizal et al. (1998) diacu dalam Susanto (2010), menyatakan bahwa kadar air umumnya berhubungan terbalik dengan kadar lemak. Apabila kadar air yang terkandung dalam bahan pangan cukup tinggi, akan mengakibatkan semakin rendahnya kadar lemak.
25 28 Hasil
perhitungan
karbohidrat
menggunakan
cara
by
difference
menunjukkan nilai kadar karbohidrat pada kerang darah sebesar 10,07%. Hasil ini lebih besar jika dibandingkan dengan hasil penelitian Daluningrum (2009) yang menyebutkan kadar karbohidrat kerang darah sebesar 3,75% (bb). Karbohidrat yang terdapat dalam hewan ternak, khususnya daging, tersimpan dalam bentuk glikogen yang banyak terdapat pada jaringan otot dan hati (Winarno 2008). Pada kelompok bivalvia, cangkang terhubung oleh jaringan ikat (ligamen) yang berfungsi seperti engsel untuk membuka dan menutup cangkang dengan cara mengencangkan dan mengendurkan otot aduktor yang terdapat pada bagian anterior dan posterior tubuh (Suwignyo et al. 2005).
4.2
Komposisi Mineral Kerang Darah (A. granosa) Mineral merupakan bagian dari tubuh dan memegang peranan penting
dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ, maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Disamping itu, mineral berperan dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas enzim. Mineral digolongkan ke dalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari (Almatsier 2009). Informasi mengenai kandungan mineral makro dan mikro yang terkandung pada kerang darah yang berasal dari PPI Muara Angke disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Komposisi mineral kerang darah (mg/100 g bk) A. granosa hasil penelitian Natrium 857,69 ± 146,65 Kalium 654,39 ± 29,14 Kalsium 142,39 ± 76,49 Magnesium 171,31 ± 37,52 Fosfor 558,90 ± 15,46 Besi 45,98 ± 3,40 Seng 3,61 ± 0,08 Tembaga 1,08 ± 0,22 Timbal 1,24 ± 0,33 Kadmium 0,10 ± 0,02
Komposisi mineral
Makro
Mikro Logam berat
* Nurjanah et al. (2005) **Purwaningsih (2012) ***Ozden et al. (2009)
A.granosa* 272,50 36,53 5,43 1,24 -
Cerithidea obtusa** 283,45 259,22 39,78 82,05 96,73 5,81 3,87 0,29 -
Chamelea gallina*** 0,13 0,04
26 29 Kandungan mineral makro pada kerang darah meliputi natrium, kalium, kalsium, magnesium, dan fosfor. Sementara kandungan mineral mikro meliputi besi, seng, dan tembaga, sedangkan timbal dan kadmium termasuk kedalam golongan logam berat yang biasanya menimbulkan efek toksik pada tubuh makhluk hidup. Kandungan mineral makro dengan konsentrasi tertinggi pada kerang darah yang berasal dari PPI Muara Angke adalah natrium sebesar 857,69 mg/100 g bk, diikuti oleh kalium, fosfor, magnesium, dan kalsium, masing-masing sebesar 654,39; 558,90; 171,31 dan 142,39 mg/100 g bk. Kandungan mineral mikro dengan konsentrasi tertinggi pada kerang darah adalah besi sebesar 45,98 mg/100 g bk, diikuti oleh seng sebesar 3,61 mg/100 g bk, dan tembaga sebesar 1,08 mg/100 g bk. Analisis kandungan mineral kerang darah juga menemukan adanya logam berat yaitu timbal dan kadmium dengan konsentrasi masing-masing sebesar 1,24 mg/100 g bk dan 0,10 mg/100 g bk. Kandungan natrium pada kerang darah yang diteliti lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan natrium pada kerang menurut USDA (2006) yaitu sebesar 313,650 mg/100 g. Kandungan natrium kerang darah juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan natrium pada keong matah merah menurut Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 283,45 mg/100 g bk. Kandungan kalium kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan kalium pada kerang menurut USDA (2006) yaitu sebesar 227,800 mg/100 g. Kandungan kalium kerang darah juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan kalium pada keong matah merah menurut Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 259,22 mg/100 g bk. Kandungan kalsium pada kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan kalsium pada kerang menurut USDA (2006) yaitu sebesar 28,050 mg/100 g. Kandungan kalsium kerang darah juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan kalsium pada keong matah merah menurut Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 39,78 mg/100 g bk, namun lebih rendah jika dibandingkan
dengan
kandungan
kalsium
pada
kerang darah
menurut
Nurjanah et al. (2005) yaitu sebesar 272,50 mg/100 g bk. Kandungan magnesium kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan magnesium pada kerang menurut USDA (2006) yaitu sebesar
27 30
31,450 mg/100 g. Kandungan magnesium kerang darah juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan magnesium pada keong matah merah menurut Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 82,05 mg/100 g bk. Kandungan fosfor kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan fosfor pada kerang menurut USDA (2006)
yaitu sebesar
242,250 mg/100 g. Kandungan fosfor kerang darah juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan fosfor pada keong matah merah menurut Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 96,73 mg/100 g bk. Kandungan seng kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan
seng
pada
kerang
menurut
USDA
(2006)
yaitu
sebesar
2,269 mg/100 g. Kandungan seng kerang darah tidak berbeda jauh jika dibandingkan dengan kandungan seng pada keong matah merah menurut Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 3,87 mg/100 g bk, namun lebih kecil jika dibandingkan
dengan
kandungan
seng
pada
kerang
darah
menurut
Nurjanah et al. (2005) yaitu sebesar 5,43 mg/100 g bk. Kandungan besi kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan
besi
pada
kerang
menurut
USDA
(2006)
yaitu
sebesar
5,712 mg/100 g. Kandungan besi kerang darah juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan besi pada keong matah merah menurut Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 5,81 mg/100 g bk, dan kandungan besi pada kerang darah menurut Nurjanah et al. (2005) yaitu sebesar 36,53 mg/100 g bk. Kandungan tembaga kerang darah lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan tembaga pada kerang menurut USDA (2006) yaitu sebesar 0,127 mg/100 g. Kandungan tembaga kerang darah juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan tembaga pada keong matah merah menurut Purwaningsih (2012) yaitu sebesar 0,29 mg/100 g bk, namun lebih rendah jika dibandingkan dengan kandungan tembaga pada kerang darah menurut Nurjanah et al. (2005) yaitu sebesar 1,24 mg/100 g bk. Kandungan logam berat timbal pada kerang darah didapat sebesar 1,24 mg/100 g bk, hasil ini lebih tinggi dibandingkan dengan hasil yang didapatkan oleh Ozden et al. (2009) yang menyebutkan kandungan timbal pada bivalvia Chamelea gallina sebesar 0,13 mg/100 g. Begitu pula kandungan
28 31 kadmium pada kerang darah sebesar 0,10 mg/100 g bk, lebih tinggi jika dibandingkan dengan kandungan kadmium pada Chamelea gallina, yaitu sebesar 0,04 mg/100 g. Wardiatno et al. (2012) menjelaskan bahwa komposisi mineral pada hewan invertebrata laut dipengaruhi oleh kebiasaan makan, umur, jenis kelamin, iklim, dan kondisi habitat. Pernyataan ini juga didukung oleh Amiard et al. (2008) yang menyebutkan bahwa kebiasaan makan suatu organisme dapat mempengaruhi kemampuan menyerap mineral yang terdapat pada lingkungan. Umumnya makanan yang berasal dari laut merupakan sumber vitamin dan mineral yang sempurna (Ersoy dan Ozeren 2009).
4.3
Kelarutan Mineral Santoso et al. (2006) menjelaskan bahwa kandungan mineral dalam bahan
pangan merupakan salah satu parameter awal untuk menilai kualitas suatu bahan pangan, karena yang lebih penting adalah bioavailabilitasnya. Bioavailabilitas adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan proporsi nutrisi dalam makanan yang dapat dimanfaatkan untuk fungsi-fungsi tubuh normal. Mineral yang bersifat bioavailable harus dalam bentuk terlarut, walaupun tidak semua mineral terlarut bersifat bioavailable. Pada penelitian ini diamati kelarutan mineral makro (natrium, kalium, kalsium, fosfor, dan magnesium), mineral mikro (besi, seng, dan tembaga), serta logam berat (timbal dan kadmium) dari kerang darah dalam berbagai pelarut yang digunakan yaitu akuades, asam asetat 2,5%; asam sitrat 2,5%; dan asam format 2,5%. Kelarutan mineral adalah kemampuan suatu mineral untuk larut (solute) dalam suatu pelarut (solvent). 4.3.1 Kelarutan mineral makro Mineral makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg per hari (Almatsier 2009). Proses perendaman menggunakan berbagai media asam memberikan nilai berbeda terhadap kelarutan kalsium kerang darah. Kelarutan kalsium tertinggi yaitu 7,98% diperoleh dengan menggunakan pelarut asam format, sedangkan kelarutan kalsium terendah terdapat pada perendaman
29 32 menggunakan akuades yaitu sebesar 3,06%. Kelarutan kalsium pada kerang darah yang berasal dari PPI Muara Angke dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5 Rata-rata kelarutan mineral makro kerang darah; huruf yang berbeda adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap media pelarut yang menunjukkan beda nyata (p<0,05). Hasil analisis ragam kelarutan kalsium kerang darah yang berasal dari PPI Muara Angke menunjukkan bahwa dengan perendaman menggunakan asam organik memberikan pengaruh nyata terhadap kelarutan kalsium (Lampiran 1). Uji lanjut Duncan menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata antara media perendaman akuades dengan asam asetat, akuades dengan asam sitrat, dan akuades dengan asam format (Lampiran 2). Idris (2010) menjelaskan penggunaan asam asetat 0,5% sebagai media perebusan dapat melarutkan kalsium pada udang mantis sebanyak 23,26% pada udang mantis asal Jambi, dan 22,11% pada udang mantis asal Cirebon. Mineral pada umumnya dapat membentuk ikatan dengan bahan-bahan organik alami maupun bahan-bahan organik buatan. Proses pembentukan ikatan tersebut dapat terjadi melalui pembentukan garam organik dengan gugus karboksilat yaitu, misalnya asam sitrat, tartrat, dan lain-lain (Palar 2008).
30 33 Asam merupakan salah satu jenis sekuestran (zat pengikat logam). Menurut Tranggono (1990) sekuestran dapat mengikat mineral dan logam dalam bentuk ikatan kompleks sehingga dapat mengalahkan sifat dan pengaruh jelek logam tersebut dalam bahan makanan. Kemampuan asam dalam mengikat ion-ion logam juga dapat menghilangkan ion-ion logam yang terakumulasi dalam daging. Sifat-sifat asam organik yang penting dalam pelarutan mineral ditentukan oleh gugus karboksil (COO- ) dan gugus hidroksil (OH- ) fenolat, serta tingkat disosiasinya. Jumlah gugus karboksil menentukan jumlah proton yang mungkin dapat dilepas. Contohnya asam asetat hanya ada satu proton yang mungkin dapat dilepaskan, tetapi pada asam oksalat dan juga asam suksinat dan malat ada dua proton yang mungkin dapat dilepaskan, demikian pada asam sitrat mungkin dapat melepaskan tiga proton. Selain menghidrolisis suatu senyawa melalui anionnya, COO- juga dapat membentuk ikatan kompleks dengan logam penghubung kerangka mineral, misalnya Fe, Al, Ca, dan Mg, dan mengakibatkan terlepasnya mineral tersebut dari jaringan suatu bahan, dan terbentuklah senyawa kompleks (Ismangil dan Hanudin 2005). Penelitian yang dilakukan Ismangil dan Hanudin (2005) terhadap kelarutan mineral pada batuan menunjukkan kemampuan asam humat (pH 2,5) dalam melarutkan mineral Si dan Al lebih besar dibandingkan dengan asam fulfat (pH 7,0). Hal ini terjadi karena asam fulfat pada pH 7,0 disosiasinya tidak sempurna, sehingga pelepasan ion H menjadi menurun yang juga berakibat pada kelarutannya. Adanya asam organik misalnya asam oksalat dan asam sitrat mampu mempercepat kelarutan mineral dengan adanya ion H yang berasal dari disosiasi asam, reaksi tersebut adalah asidolisis (Ismangil dan Hanudin 2005). Hubungan antara nilai pH dengan kelarutan mineral juga dijelaskan pada penelitian Sariningrum (2009) mengenai penanganan masalah karies gigi pada anak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komponen mineral gigi tersusun atas hidroksiapatit (Ca10(PO4)6(OH)2). Hidroksiapatit bersifat reaktif terhadap ion hidrogen ketika lingkungan berada dalam kondisi pH dibawah 5,5 (pH kritis). Ketika hal ini terjadi, ion PO43- akan berubah menjadi HPO42- karena penambahan ion H+. Akibatnya HPO42- yang terbentuk ini tidak mampu menjaga hidroksiapatit dalam kondisi seimbang sehingga akhirnya kristal hidroksiapatit terlarut.
31 34 4.3.2 Kelarutan mineral mikro Pada kerang darah yang berasal dari PPI Muara Angke, proses perendaman menggunakan asam organik memberikan nilai berbeda terhadap kelarutan besi. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa proses perendaman menggunakan asam organik memberikan pengaruh nyata terhadap kelarutan besi pada kerang darah (Lampiran 3). Uji lanjut Duncan terhadap kelarutan besi pada kerang darah menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata antara media pelarut akuades dengan asam sitrat, akuades dengan asam format, dan asam asetat dengan asam format (Lampiran 4). Kelarutan besi tertinggi diperoleh pada media pelarut asam format sebesar 1,25%, sementara kelarutan besi terendah diperoleh pada perendaman menggunakan media pelarut akuades sebesar 0,38%. Kelarutan besi pada kerang darah yang berasal dari PPI Muara Angke dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6 Rata-rata kelarutan mineral mikro kerang darah; huruf yang berbeda adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap media pelarut yang menunjukkan beda nyata (p<0,05). Gambar 6 juga menunjukkan adanya pengaruh yang ditimbulkan proses perendaman terhadap kelarutan tembaga. Perendaman menggunakan larutan asam format memberikan nilai kelarutan tembaga tertinggi yaitu 1,47%, sedangkan kelarutan tembaga terendah terdapat pada proses perendaman menggunakan
32 35 media akuades sebesar 0,82%. Proses penanganan dan pengolahan yang berbeda dapat mempengaruhi peningkatan maupun penurunan kandungan mineral. Ersoy dan Ozeren (2009) menjelaskan adanya perubahan tembaga pada ikan African catfish setelah dimasak yang berkisar antara 9,30-21,5 g/100 g. Hasil analisis ragam kelarutan tembaga menunjukkan bahwa proses perendaman menggunakan asam organik memberikan pengaruh nyata terhadap kelarutan tembaga pada kerang darah (Lampiran 5). Uji lanjut Duncan terhadap kelarutan tembaga pada kerang darah menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata antara media pelarut akuades dengan asam asetat, akuades dengan asam sitrat, akuades dengan asam format, asam asetat dengan asam sitrat, dan asam sitrat dengan asam format (Lampiran 6). Santoso et al. (2006) menjelaskan bahwa mineral pada makanan dapat berubah struktur kimianya pada waktu proses pemasakan atau akibat interaksi dengan bahan lain. Greffeuille et al. (2011) menjelaskan bahwa proses pengolahan berupa penggilingan pada tepung jagung menyebabkan penurunan mineral yang cukup besar dimana presentase ketersediaan besi menurunkan sebanyak 1,4%. Mineral umumnya adalah senyawa anorganik yang berupa padatan dan berbentuk kristal. Apabila mineral tersebut mengalami pelarutan, maka reaksi yang berlangsung adalah difusi. Reaksi ini merupakan reaksi antara atom-atom pada lapisan permukaan kristal (yang terikat kuat oleh atom di lapisan bagian dalamnya) dengan air atau larutan yang reaktif yang berada di luar kristal. Hasilnya, pada permukaan mineral terjadi penyingkiran atom penyusun yang kemudian masuk ke dalam air atau larutan. Selanjutnya dalam lapisan tersebut mencari kesetimbangan baru dan pada bagian larutan terjadi penambahan atom (ion) atau peningkatan konsentrasi (Ismangil dan Hanudin 2005). Jumlah proton yang terlepas juga ditentukan oleh pH lingkungan. Santoso et al. (2006) melaporkan bahwa kelarutan mineral Fe pada tiga jenis rumput laut yang berasal dari Jepang, yaitu Porphyra yezoensis, Enteromorpha intestinalis dan Hiziki fusiformis pada pH 2 lebih tinggi dibandingkan pada pH 6. Sementara itu Porsepwandi (1998) menjelaskan pada konsisi pH asam yang berkisar antara 1,5-3,0 mampu melarutkan kandungan logam berat pada kerang hijau Mytilus
33 36
viridis lebih dari 25%. Hal ini terjadi karena protein kerang hijau terdenaturasi dengan perlakuan asam. Denaturasi akibat perlakuan asam diduga dapat menyebabkan ikatan komplek logam keluar dari daging kerang hijau, bersama dengan cairan tubuh. 4.3.3 Kelarutan logam berat Timbal, merkuri, dan kadmium adalah logam yang mencemari lingkungan serta memberi dampak toksik yang berbahaya bagi kesehatan. Timbal tersebar luas dibandingkan dengan logam toksik lainnya. Kadarnya dalam lingkungan meningkat karena penambangan, peleburan, pembersihan, dan berbagai penggunaannya dalam industri (Lu 2006). Proses perendaman menggunakan asam organik memberikan nilai kelarutan timbal tertinggi pada media pelarut asam format sebesar 1,28%, sedangkan nilai kelarutan timbal terendah diperoleh pada media pelarut akuades sebesar 0,77%. Hasil analisis ragam kelarutan timbal menunjukkan bahwa proses perendaman kerang darah pada beberapa media asam organik tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelarutan timbal. Diagram batang kelarutan timbal kerang darah dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7
Rata-rata kelarutan logam berat kerang darah.
Gambar 7 menunjukkan persentase kelarutan logam berat kadmium akibat proses perendaman pada asam organik berbeda. Nilai kelarutan kadmium tertinggi
34 37 didapat pada pelarut asam format sebesar 35,73%, sementara kelarutan terendah diperoleh pada pelarut akuades sebesar 22,47%. Hasil analisis ragam kelarutan kadmium menunjukkan bahwa proses perendaman asam tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kelarutan kadmium. Houlbrèque et al. (2011) menjelaskan bahwa proses pengolahan dapat mempengaruhi ketersediaan kadmium pada Mytilus chilensis. Ketersediaan kadmium terserap melalui proses pemasakan menggunakan air jeruk sebanyak 42% dari total kandungan kadmium sehingga dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan terhadap kesehatan akibat mengkonsumsi makanan yang tercemar kadmium. Hasil serupa juga didapatkan oleh Yulianda (2010), yang menyebutkan bahwa kandungan kadmium pada kerang darah berkurang hingga 55,95% setelah mengalami proses perebusan dalam larutan jeruk nipis selama 1 menit. Apabila dibandingkan antara kelarutan logam berat kerang darah pada berbagai media asam organik, perendaman kerang darah pada asam format dapat melarutkan kadmium hingga 35,73% (0,36 ppm bobot kering) dari total kadmium kerang segar sebanyak 1,00 ppm. Hasil tersebut menunjukkan bahwa asam format memiliki sifat mengikat logam kadmium pada kerang darah. Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (2005), hasil kelarutan ini masih berada dibawah batas maksimum penetapan cemaran kimia dalam makanan. Batas maksimum kadmium yang diizinkan terdapat dalam kerang-kerangan (bivalvia) yaitu sebesar 1,00 ppm. Daging, unggas, dan ikan mempunyai kadar Cd yang relatif rendah, sedangkan kadar dalam hati, ginjal, dan kerang-kerangan jauh lebih tinggi. Kadar Cd dalam lingkungan meningkat karena peleburan dan penggunaannya dalam industri. Efek akut Cd terutama mengakibatkan iritasi lokal. Setelah termakan Cd akan menimbulkan gejala klinis berupa mual, muntah-muntah, dan nyeri perut. Dampak pada sistem pernapasan terjadi akibat adanya Cd yang terhirup (Lu 2006).
4.4
Kelarutan Protein Kelarutan protein adalah persen dari total protein yang terdapat dalam bahan
pangan yang dapat diekstrak oleh atau larut dalam air pada kondisi tertentu. Jenis-
35 38 jenis protein seperti albumin, globulin, prolamin, dan glutein dapat larut dalam air, larutan garam encer, 60-80% alkohol alifatik, dan 0,2% NaOH (Andarwulan et al. 2011). Pada penelitian ini dilakukan pengamatan terhadap kelarutan protein dari daging kerang darah dalam berbagai pelarut diantaranya akuades, asam asetat 2,5%, asam asetat 2,5%, dan asam format 2,5%. Kelarutan protein tertinggi diperoleh pada media pelarut asam format sebesar 0,022%, sementara kelarutan protein terendah diperoleh pada perendaman menggunakan media pelarut akuades sebesar 0,017%. Diagram batang kelarutan protein kerang darah disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Rata-rata kelarutan protein kerang darah; huruf yang berbeda adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap media pelarut yang menunjukkan beda nyata (p<0,05). Hasil analisis ragam kelarutan protein menunjukkan bahwa proses perendaman menggunakan asam organik memberikan pengaruh nyata terhadap kelarutan protein pada kerang darah (Lampiran 7). Uji lanjut Duncan terhadap kelarutan protein pada kerang darah menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata antara media pelarut akuades dengan asam asetat, akuades dengan asam sitrat, dan akuades dengan asam format (Lampiran 8).
36 39
Kelarutan protein ditentukan oleh sifat ionisasi asam aminonya di dalam larutan, dimana asam amino dapat bersifat asam atau basa. Sifat kelarutan protein juga tergantung pada jenis protein, jenis pelarut, pH, konsentrasi dan muatan ion, dan suhu (Andarwulan et al. 2011). Penurunan pH menyebabkan denaturasi protein. Akibat denaturasi protein, maka terjadi penurunan kelarutan protein. Protein yang terdenaturasi akan berkurang kelarutannya. Denaturasi protein dapat disebabkan oleh berbagai cara, yaitu panas, pH, bahan kimia, mekanik, dan sebagainya. Masing-masing cara mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap denaturasi protein (Winarno 2008). Menurut Finger dan Smith (1987), kelenjar pencernaan hewan laut yaitu cepalopoda memiliki sejumlah sifat yang mirip dengan logam dan mampu berikatan dengan metallotionin. Soto et al. (2007) diacu dalam Kurnia et al. (2010), menjelaskan bahwa protein metallotionin (protein MT) adalah protein sistein dengan berat molekul rendah, mudah larut, tahan terhadap terhadap suhu tinggi (protein termofilik), kaya akan unsur belerang (lebih dari 30%) serta memiliki afinitas yang kuat dengan ikatan logam. Dalam organisme air, protein MT bertanggungjawab untuk menjaga konsentrasi logam tetap pada tingkat rendah. Protein MT khusus berikatan dengan logam seperti Cd, Cu, Hg, dan ion Zn. Kenaikan tingkat protein MT terkait dengan peningkatan kapasitas sel untuk mengikat ion logam berat yang meningkat seiring perlindungan terhadap toksisitas logam berat.
4.5
Hubungan antara Kelarutan Mineral dengan Protein terhadap Perubahan Nilai pH Mineral agar dapat dipecah dan direduksi menjadi bentuk molekul-molekul
yang mudah diserap oleh tubuh membutuhkan faktor pendorong daya larut. Faktor yang menjadi pendorong tersebut adalah suhu dan kondisi pH asam (Sediaoetama 1993). Selama penelitian dilakukan juga pengukuran terhadap perubahan pH pada masing-masing pelarut yang digunakan sebelum dan sesudah proses perendaman. Hasil rata-rata pengukuran pH dapat dilihat pada Tabel 5, dan diagram batang hubungan antara kelarutan mineral dengan protein terhadap perubahan nilai pH larutan perendam kerang darah dilihat pada Gambar 9.
37 40 Tabel 5 Pengukuran nilai pH pada proses perendaman Nilai pH Sebelum perendaman Setelah perendaman 7,18 6,22 2,13 3,16 1,79 2,36 1,58 2,08
Pelarut Akuades Asam asetat Asam sitrat Asam format
10
0,030
7
6
0,025
8
0,010
6
4
3
4
Nilai pH
0,015
Kelarutan mineral (%)
Kelarutan protein (%)
5
0,020
2
0,005
0,000
2 1
0
0
Kalsium
Besi
Tembaga
Protein
pH
Keterangan: Akuades Asam asetat Asam asetat Asam format
Gambar 9 Hubungan antara kelarutan mineral dengan protein terhadap perubahan nilai pH larutan perendam kerang darah; huruf yang berbeda adalah hasil uji lanjut Duncan terhadap media pelarut yang menunjukkan beda nyata (p<0,05). Hasil analisis ragam terhadap pengukuran nilai pH menunjukkan bahwa penggunaan jenis asam organik yang berbeda memberikan pengaruh nyata terhadap perubahan nilai pH terukur pada proses perendaman kerang darah (Lampiran 9). Uji lanjut Duncan terhadap pengukuran nilai pH larutan setelah proses perendam kerang darah menunjukkan adanya pengaruh yang berbeda nyata antara media pelarut akuades dengan asam asetat, akuades dengan asam sitrat,
38 41 akuades dengan asam format, asam asetat dengan asam sitrat, asam asetat dengan asam format, dan asam sitrat dengan asam format (Lampiran 10). Diagram batang pengukuran nilai pH larutan perendam disajikan pada Gambar 9. Penelitian yang dilakukan menghasilkan rata-rata kelarutan mineral terbanyak diperoleh pada media asam format. Hal ini dapat dikarenakan asam format memiliki nilai pH yang paling rendah jika dibandingkan dengan nilai pH pada jenis asam yang lain, sehingga kemampuannya dalam melarutkan mineral semakin baik. Nilai pH untuk asam format berkisar antara 1,5 hingga 2. Menurut Santoso et al. (2006), pH dapat mempengaruhi kelarutan mineral. Hal ini juga disampaikan oleh Shi et al. (2012) yang menjelaskan bahwa pada percobaan laboratorium ditemukan sejumlah besi yang dapat larut pada nilai pH lebih rendah dari 4. Sugiarto et al. (2009) menyebutkan bahwa pada kisaran pH 5,5-7,0 tidak mempengaruhi banyaknya besi yang terikat pada natrium kaseinat, sedangkan dalam kisaran keasaman (pH berkisar 5,0-3,0) menyebabkan penurunan sejumlah besi yang ditandai dengan adanya besi yang terikat whey protein isolate. Suzuki et al. (1992) diacu dalam Idris (2010) menjelaskan, asam organik dan lignin dapat memberikan kelarutan besi yang lebih tinggi pada kisarah pH 2,5-3,1 dibandingkan dengan pH 5,5. Wang (2011) melaporkan pengaruh pH pada absorbsi ion Cd2+ terhadap asam metakrilik (PMAA). pH memiliki pengaruh yang besar terhadap absorbsi ion Cd2+, dimana kapasitas absorbsi bervariasi pada berbagai pH, pada pH < 7 kapasitas absorbsi meningkat, sementara pengukuran pH > 7 menyebabkan kemampuan absorbsi menurun. Protein secara keseluruhan merupakan polipeptida yang tersusun oleh serangkaian asam-asam amino dengan berat molekul yang relatif sangat besar. Protein bersifat amfoter, yaitu dapat bereaksi dengan larutan asam maupun basa. Daya larut protein berbeda di dalam air, asam, dan basa. Sebagian ada yang mudah larut dan ada pula yang sukar larut. Adanya ion H+ menyebabkan sebagian jembatan atau ikatan peptida terputus. Pada suasana asam, ion H+ akan bereaksi dengan gugus COO– membentuk COOH sedangkan sisanya (asam) akan berikatan dengan gugus amino NH2 membentuk NH3+, sehingga apabila larutan peptida
39 42 dalam keadaan isoelektris diberi asam akan menyebabkan bertambahnya gugus bermuatan yang membentuk afinitas terhadap air dan kelarutan dalam air. Kelarutan protein akan meningkat jika diberi perlakuan asam yang berlebih, hal ini terjadi karena ion positif pada asam yang menyebabkan protein yang semula bemuatan netral menjadi bermuatan positif yang menyebabkan kelarutannya bertambah. Semakin jauh derajat keasaman larutan protein dari titik isoelektrisnya, maka kelarutannya akan semakin bertambah (Darmawan 2008).